Top Banner
1
28

Swara Brawijaya

Jul 29, 2016

Download

Documents

Swara Brawijaya edisi perdana, Kedaulatan Program Kerja. Tidak dapat dipungkiri, kegiatan mahasiswa menjadi salah satu elemen yang berpengaruh besar membentuk atmosfer kampus. Lalu sudah mampukah mahasiswa menghirup nafas di alam tempatnya berada? Tidak perlu cemas. Ini hanya satu fenomena yang terlalu sempit untuk ditarik simpulnya. Pembahasan lebih lengkap ada dalam Buletin Swara Brawijaya.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Swara Brawijaya

1

Page 2: Swara Brawijaya

2

Daftar IsiSusunan Redaksi

Pemimpin Umum

Pemimpin Redaksi

Redaktur Pelaksana

Staf Media Cetak

M.Iqbal Yunazwardi

Efrem Limsan Siregar

Bunga Astana

Rizqi Nurhuda RamadhaniTim Desain KreatifRizqi Nurhuda R

Ajeng Gradianti MTim Riset

Aulia NabilaKhusnul Khotimah

ReporterBunga Astana

Ainun SyahidaRaditya Sumardani

Vina WylasmiRahmawati Nur Azizah

EditorM. Iqbal Yunazwardi

Efrem Limsan SiregarSirkulasi dan Sponsor

Ahmad Ridlo ZamzamiVina Wylasmi

Fitria Hayulinda P

Alamat Redaksi, Iklan dan PromosiSekber Rusunawa Unit Kegiatan Mahasiswa Kav. 2Surel: [email protected]: www.kavling10.comTwitter: @uapkm_ubfacebook: Lpm Kavling SepuluhLine official account: @TAZ3417QRedaksi menerima tulisan berupa kritik, saran, opini, hak jawab, iklan, dan media partner.Contact: Efrem (082218840691) Bunga (085784806763)

Gerbang Utama: Rektorat Tak Rekomendasikan Usul EM

4Gerbang Khusus:

Mempertanyakan Fungsi DPM

Editorial: Kedaulatan Mahasiswa dan Rektorat yang Cemas

Si Kasep

Dari Redaksi: Kelahiran SWARA Brawijaya

Kabar Kampus: E-Vote Pemira UB 2015: Ternyata Masih ‘Uji Coba’

Jajak Massa: Partisipasi Mahasiswa Menurun

Gerbang Khusus: Disintelektual Mahasiswa dalam Elit Politik Kampus dan Golongan

Kilas: Wawancara Ekslusif Bisri: Masa Kita

Komunis?Opini: Diskursus Sistem Politik Kampus Demi Mencapai Substansi Demokrasi Kampus yang Ideal

Iklan Layanan Masyarakat

3 6 1012

1416

20222527

SWARA BRAWIJAYA EDISI 1

PembinaDr. Asvi Manzilati

PelindungM. Bisri

Page 3: Swara Brawijaya

3

Awak UAPKM UB adalah wartawan yang dibekali kartu pers atau surat tugas saat terjun lapang, serta memiliki etika dalam proses peliputan. Tetap berhati-hati pada pihak yang

setiap saat bisa saja melakukan tindakan intimidatif.

Kelahiran Swara Brawijaya“Kami tidak merasa berada di rumah di dalam alam, di mana kami

harus membuat rumah.” - F. Nietzsche

Muhammad Iqbal Yunazwardi & Bunga Astana

DARI REDAKSI

14

20

Hujan makin mengaum marah, jalanan tak khayalnya arena sepatu luncur. Kami masih berusaha bersenda gurau dengan tumpukan deadline yang menjadi-jadi. Begitulah para reporter kami mencoba untuk membunuh waktu dalam proses penyelesaian berita. Awal tahun 2016 menjadi sesuatu yang memacu aktivitas kami untuk sesegera mungkin menyelesaikan tanggung jawab sebagai seorang pers mahasiswa, yaitu menciptakan produk berita.

Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa Universitas Brawijaya (UAPKM UB) kembali menerbitkan buletin setelah mandeg penerbitan selama beberapa bulan. Buletin yang semula bernama Ketawanggede kini hadir dengan nama baru.

Diskusi bersama pihak rektorat, akhirnya UAPKM-UB melahirkan nama baru buletin yaitu Swara Brawijaya. Rektorat menginginkan kami untuk mampu merepresentasikan UB di dalam buletin Pers Mahasiswa. Sebagai organisasi kemahasiswaan di bawah naungan UB, sewajarnya dalam beberapa hal kami menunjukkan ‘kecintaan’ kami terhadap kampus. Oleh karena itu, melalui diskusi panjang lahirlah nama tersebut.

Swara dapat didefinisikan sebagai awal penciptaan. Dalam sejarah kebudayaan Hindu-Buddha Nusantara, penggunaan kata swara dapat dilihat dari Dewa Swara yang merepresentasikan sifat Brahma dalam penciptaan dunia. Swara sendiri merupakan

penyesuian kata ‘svara’ yang berarti suara dalam bahasa sansakerta.

Brawijaya sendiri nama dari kampus biru tercinta Universitas Brawijaya. Swara Brawijaya hadir untuk memberikan warna baru bagi buletin keluaran terbaru dari UAPKM UB. Transformasi ini diharapkan berdampak baik bagi sivitas akademika Universitas Brawijaya. Tidak hanya sekedar memberikan informasi, buletin ini dapat memberikan wacana kritis dan analisa mendalam terkait kehidupan sosial masyarakat UB dan sekitarnya.

Adaptasi adalah sebuah kunci yang membuat kami tetap hidup. Makin berserakannya segala rintangan dan tantangan membuat kami menjadi dewasa. Kami semakin berpikir jauh terhadap apa yang harus kami lakukan untuk melangsungkan eksistensi organisasi ini yang hampir berumur 33 tahun. Sekalipun buletin berganti identitas, kami tetap menolak kompromi terhadap sesuatu yang pada ujungnya berakhir dimakan waktu. Kami terus berkembang seiring makin rumitnya memahami lingkungan dimana kami lahir dan dibesarkan.

Optimisme adalah kunci dari awak UAPKM UB sebagai insan pers mahasiswa untuk terus bergerak maju menjunjung tinggi kebenaran. UAPKM UB sendiri tetap independen dan menjaga keberpihakan kepada mahasiswa dan mereka yang tertindas sebagai representasi utama dari karya-karya jurnalistik kami.

Page 4: Swara Brawijaya

4

Editorial

KEDAULATAN MAHASISWA DAN REKTORAT YANG

CEMAS

Ada yang tidak berubah pada perubahan zaman, matinya kedaulatan mahasiswa. Maksudnya begini, di dunia ini, tempat yang paling bebas membicarakan kehidupan adalah perguruan tinggi. Ruang akademi memperbolehkannya. Semua yang dibicarakan dan dilakukan sama-sama untuk perwujudan tridharma perguruan tinggi. Suatu waktu kebebasan bereskpresi dihambat, dipakailah istilah ‘mati’.

Lekatan kematian pada dasarnya terhubung pada badan. Ada yang meyakini jiwa tak ikut mati bersama badan. Tentu dalam kedaulatan maknanya sulit ditemukan. Kedaulatan bebas berpendapat, itu pun bisa absurd. Sebabnya pendapat dinyatakan sah dan masuk akal menurut pembuat persepsi.

Kampus sebagai miniatur negara, misalnya. Pandangan ini ampuh benar melembagakan kedaulatan mahasiswa. Ada lembaga eksekutif dan legislatif, minus yudikatif. Mahasiswa di luarnya tergabung dalam Kongres Mahasiswa. Nah, muncul kebingungan, rektorat sebagai apa?

Tabrakan fungsi masing-masing lembaga pun terjadi. Keduanya merasa titisan yang mendapat amanah melaksanakan tridharma perguruan tinggi. Itu pula yang terjadi pada EM dan DPM, saling mengklaim atas nama mahasiswa. Kalau pun bersinergis, paling banter hanya di Raja Brawijaya dan Pemira. Selebihnya melelahkan. Kedua LKM ini tak memiliki kekuasaan lebih selain menyelenggarakan rutinitas porgram kerja. Pelembagaan hanya ilusi semata, semua mahasiswa sejajar.

Ini perlu perhatian lebih. Namanya juga amanah, EM dan DPM harusnya berani kritis terhadap Rektorat. Ini baru jiwa mahasiswa. Rektorat bukanlah lembaga adat yang pantang dikoreksi keputusannya. Apa yang dilakukan Rektorat pada mahasiswa justru menerangkan posisi mahasiswa vis a vis rektorat. Ini menggelikkan sebab keduanya lahir dari rahim seibu, sama-sama mahasiswa.

Kecemasan rektorat bisa dipahami. Misalnya menambah jumlah mahasiswa baru, ekspetasi selalu gagal di tengah perjalanan. Ada saja yang perlu dibenahi soal kualitas mahasiswa. Ini tentu berbeda dengan

Page 5: Swara Brawijaya

5

kepastian membayar uang kuliah. Sayangnya, rektorat harus membayar lebih mahal. Alih-alih memberi kebebasan mimbar, mahasiswa justru dilarang berdiskusi ‘tabu’ di kampus ini. Padahal minta kesadaran mahasiswa, sekalinya sadar malah begitu jadinya.

Nonton film Senyap, Samin vs Semen dan Alkimonikiye, unjuk rasa mahasiswa, penolakan UKT, Seminar semacam LGBT, ini hanya beberapa realitas eksistensial yang selalu dilewati setiap kampus. Jangan sampai kebijakan yang keluar sebagai upaya defentif semata. Percuma saja membatasi vitalitas kegiatan mahasiswa tersebut, bayang-bayang tetap hidup dalam syeol, dunia bawah tanah.

Rektorat boleh saja bernafas lega tak ada keonaran dalam kampus. Namun, ketika mau membuktikan kepatuhan mahasiswa, Rektorat justru harap-harap cemas lagi. Apa mau dikata, regulasi tiba-tiba terbit, langsung sosialisasi. Membuat kebijakan, namun tak pernah melibatkan mahasiswa.

Tak perlu cemas begitu. Ini hanya satu fenomena yang terlalu sempit untuk ditarik simpulnya. Banyak persepsi melihat fenomena kemahasiswaan saat ini. Rektorat tak perlu menyesali terjadinya ‘kenakalan’ mahasiswa. Kenakalan bukan suatu pengulangan masa lalu. Kampus perlu mengalami dinamika, terbentur lalu terbentuk.

Pengerdilan peran mahasiswa sama saja mengerdilkan Brawijaya sebagai kawah candradimuka. Sudah cukup bertindak waras. Bukankah segala inovasi lahir dari kemustahilan

dan kegilaan? Sejarah sudah banyak merekam putar balik kegilaan dan kewarasan.

Namun dalam kondisi seperti ini, mereka yang berada di depan justru meredup seakan ada tawaran menarik untuk menukar kebebasan tersebut. Yang merisaukan manakala kesempatan menduduki posisi LKM segaris dengan kedekatan emosional kepada pihak Rektorat. Konsekuensinya, LKM membuat jarak kepada mahasiswa.

Skeptisme keberadaan EM dan DPM semata datang bukan akibat nalar yang terpengaruh kadar mecin makanan. Kritik sampai sindiran terasa hangat saat berada di antara perbincangan santai mahasiswa. Sesantai-santainya perbincangan, ada semacam pesan, purna sudah harapan akan keterwakilan suara mahasiswa.

Situasi paradoks. LKM bukan tak mungkin disebut melarikan diri dan menghindari kodratnya sebagai pembela wong cilik. Roh wong cilik pun enggan meminjam badannya. LKM memang harus berbenah.

Kalau memang Brawijaya ingin membawa perubahan, Rektorat perlu mengembalikan ruang mimbar sebenarnya. Tanpa kebebasan, mahasiswa hanya agen perubahan manipulatif, yang buruk biarlah menjadi buruk. Entah harus berapa lama lagi rektorat dan masyarakat luas memandang sinis mahasiswa. Kedaulatan mahasiswa harus dikembalikan. Ini awal pembuktian mahasiswa tak akan kalah oleh berbagai kecemasan.

Editorial

Page 6: Swara Brawijaya

6

Gerbang Utama

Rektorat Tak Rekomendasikan

Usul EMAinun Syahida A.

Khusnul KhotimahBunga Astana

Rektorat kerap kali membuat kebijakan top-

down yang terkesan mengabaikan pendapat mahasiswa. Contohnya,

rektorat jarang diskusi dengan mahasiswa. Tiba-

tiba saja peraturan keluar. Berkali-kali pula mahasiswa

harus mematuhinya.

Page 7: Swara Brawijaya

7

Dalam kondisi seperti ini biasanya Eksekutif Mahasiswa (EM) yang selalu dipertanyakan. Semestinya EM bertindak untuk menebus perpanjangan tangan dan lidah kepada mahasiswa. Kebijakan stiker kendaraan bermotor, misalnya. Sudut-sudut strategis yang tenang mendadak terpampang banner yang isinya melarang masuk kendaraan bermotor tanpa stiker. Diskusi antar mahasiswa jalan menuju solusi tak pernah dibuka luas. Sayang sekali UB sebagai lingkungan akademisi tak melakukannya.

Berada di antara aparatus kampus dan mahasiswa punya konsekuensi tersendiri. EM harus berdiri di garis depan demi menjaga tempat bagi mahasiswa mengembangkan keilmuan dan keterampilan sebelum mengabdi pada masyarakat. LKM mau tak mau harus bersedia disebut penyalur aspirasi, pemberdayaan, dan pemersatu mahasiswa Universitas Brawijaya.

Legalitas atas nama mahasiswa salah satu wewenangnya. Aspirasinya menunjukkan kesan almamater kampus. Lebih-lebih Eksekutif Mahasiswa telah menjadi lembaga tinggi. Mereka yang berada dalam tataran pengurus mewakili

mahasiswa dalam berbagai aktivitas internal maupun eksternal kampus. Kesempatan ini begitu besar didapatkan mengingat kedekatan mereka terhadap birokrat kampus. Namun seintim apapun kedekatan itu, keberpihakan EM harus tetap kepada mahasiswa dan kepada masyarakat.

Lebih mulia lagi, pemimpinnya (presiden) dipilih langsung oleh mahasiswa. Agar merata dalam bagi peran, di tingkat Universitas, EM bersama DPM Pusat dan UKM satu garis datar lurus menjaga kedaulatan mahasiswa.

Meski tampak dalam deretan yang sejajar, EM berada pada pola kerja direktif kepada UKM bahkan dengan BEM Fakultas. EM tampak superior dari legalitas kekuasaan, fungsi, dan hubungannya terhadap LKM lain. Lazim tentunya kalau permintaan atau sekadar harapan mahasiswa alamatnya kepada EM. Apalagi mahasiswa menuntut menghapus kebijakan kampus yang dirasa mengganggu kehidupan akademis.

Reza Adi Pratama, Presiden EM 2015 menerangkan lembaga yang dipimpinnya sebenarnya telah mengawal berbagai isu kampus yang terkait langsung dengan kepentingan mahasiswa. “Kita mengawal kebijakan itu dengan dua cara. Bisa dengan advokasi, bisa dengan membuat program,” ujarnya. Catatan penting untuk kinerja mereka. Jalan keluar belum tampak melegakan karena beberapa kebijakan kampus. Batasan jam malam salah satunya, mengurangi waktu kegiatan mahasiswa. Hingga sekarang pemberlakuan batasan jam kampus ini masih pada keputusan awal yang dikeluarkan pihak rektorat.

Keamanan dan ketertiban parkir jadi alasan pembuatan peraturan. EM sempat membuat kelompok kerja (Pokja) bersama BEM Fakultas. Melegakan sekali terlebih EM memiliki usulan beda dengan kebijakan stiker Rektorat. “Kita usulkan untuk membuat sistem kartu. Bentuknya seperti kartu ATM, menggunakan scan. Jadi ketika masuk gerbang kartunya langsung di scan. Jadi kendaraan yang

Kenyataannya kita ini apa-apa sudah diatur

Rektorat. Bahkan opini saya ketika soal stiker sepeda motor DPM tak diberi kesempatan ber-

pendapat. Mengambil keputusannya sepihak,”

kata Dito.

Page 8: Swara Brawijaya

8

Gerbang Utama

masuk lebih terdata,” kata Reza. Namun, usul tersebut belum

ampuh. Rektorat kembali memilih stiker kendaraan bermotor. yang pernah dilakukan UB sebelumnya. Padahal penerapan stiker ini pernah gagal diterapkan beberapa tahun silam. Reza tak keberatan usulnya tak direkomendasi. Sistem kartu parkir yang diusulkan EM dan program stiker Rektorat, katanya, memiliki prinsip yang sama. “Prinsipnya sama untuk pendataan kendaraan yang masuk dan parkir di lingkungan kampus,” ungkapnya. “Mungkin tujuannya untuk menghemat anggaran, mungkin.”

Akhir tahun 2015 keluarlah kebijakan stiker untuk kendaraan

bermotor. Stiker bukan semata hiasan. Ini syarat masuk bagi kendaraan bermotor ke lingkungan UB. Stiker dibagi gratis kepada mahasiswa dan karyawan. Bagi yang menginginkannya perlu melewati tahap pendataan di masing-masing fakultas. “Untuk mendapatkan stiker ini, mahasiswa nanti menyerahkan KTM dan fotokopi STNK,” ungkap Koordinator Parkir UB Isharyono.

Kebijakan stiker ini mengingatkan kenangan kampus tujuh tahun silam. Aturannya sama. Kendaraan bermotor harus masuk dengan stiker keluaran rektorat. Bedanya pada banderolan harga. Dulu stiker harus dibeli pengendara baik mahasiswa maupun karyawan.

Page 9: Swara Brawijaya

9

Gerbang Utama

Besarannya masing-masing 50.000 rupiah bagi sepeda motor dan 100.000 rupiah bagi mobil. Stiker berlaku selama satu semester dengan layanan bebas masuk dan parkir di area kampus.

Sementara kawalan EM terkait isu parkir dan kendaraan bermotor mandeg, isu lain masih mengantri diselesaikan. Terlambatnya penerimaan beasiswa menjadi masalah yang tidak kalah penting untuk diperhatikan. Beasiswa PPA/BBP molor dari jadwal yang semestinya. Beasiswa yang dijanjikan Rektorat pada September lalu ternyata baru bisa diakses Desember. “Insyallah dalam waktu ini bisa segera dicairkan,” ujarnya.

Sayangnya pengawalan isu beasiswa dari EM terputus sampai di Rektorat. Langkah tak berlanjut pada pendampingan penerima BBP agar dapat mengakses tabungan tersebut. Salah satu mahasiswa penerima PPA/BBP Fadilah Rohim justru mendapat pemberitahuan melalui website UB dan SIAM. Dia dan beberapa temannya sempat merasakan susahnya akses dana beasiswa. Prosedurnya tidak cukup jelas di awal.

“Kita tahunya aktivasi itu dari orang bank yang di kantor,” ujar Fadilah ketika akhirnya berhasil mengakses beasiswa PPA/BBP.

Menyelenggarakan berbagai acara, bentuk mahasiswa berdaulat

EM punya tugas lain. Acara kampus berorientasi wirausaha perlu terselenggara, sebut saja Pasar Brawijaya dan Creator Fest. Mahasiswa perlu diberi wadah mengembangkan kewirausahaannya. Ada lagi Olimpiade Brawijaya dan Raja Brawijaya.

Ada kontradiksi terhadap fenomena di atas. Sebagai LKM, kehadiran EM seharusnya menegakkan kedaulatan rakyat berdampingan dengan kedaulatan mahasiswa. Namun isu nasional, kata Reza, tak begitu intensif dikawal selayaknya isu-isu internal kampus. “Kalau isu nasional memang perlu aksi,”

ujar Reza. Lingkup pembahasan yang luas memerlukan koordinasi yang luas pula.

Indikator kedaulatan mahasiswa tak mudah diterbitkan begitu saja. Peran EM sebagai manifestasi kedaulatan mahasiswa muncul karena adanya kekuatan dari mahasiswa sendiri. “Maksudnya, mahasiswa sendiri bisa mandiri, dia bisa memimpin diri sendiri dan mungkin juga bisa menentukan langkah, kelihatan dia mau berbuat seperti apa,” ungkap Reza. Mahasiswa berdaulat, tambahnya, ketika dapat membuat kegiatan secara mandiri tanpa didikte pihak-pihak tertentu.

Kekuasaan Rektorat Ancaman Kedaulatan Mahasiswa

Sementara itu Ketua DPM Pusat 2015 Dito Suryo Saputro melihat kebijakan-kebijakan yang keluar dari Rektorat belakangan ini mengakibatkan kedaulatan mahasiswa UB sedang terancam. Dito mendasari penilaiannya sebab kedaulatan mahasiswa hanya bisa diperoleh lewat mahasiswa yang bersatu tanpa memandang golongan-golongan. Memperjuangkan kepentingan mahasiswa ke Rektorat sekarang tidak bisa hanya dilakukan DPM atau EM saja.

“Kenyataannya kita ini apa-apa sudah diatur Rektorat. Bahkan opini saya ketika soal stiker sepeda motor DPM tak diberi kesempatan berpendapat. Mengambil keputusannya sepihak,” kata Dito.

Ia pesimis apakah rektorat bisa lebih mendengar suara mahasiswa paska berakhirnya kepengurusan DPM dan EM 2015. “Otomatis kesadaran mahasiswa se-Brawijaya sudah lagi bukan kesadaran soal golongan. Saat ini harus ada kesadaran. Kita sama-sama sebagai mahasiswa yang kita hadapi itu bukan orang biasa. Pihak Rektorat berkuasa. Dan yang bisa mengawal ini mahasiswa selanjutnya untuk angggota DPM dan EM yang terpilih,” jelas Dito.

Page 10: Swara Brawijaya

10

Gerbang Khusus

Pasca Pemilihan Mahasiswa Raya Universitas Brawijaya (Pemira UB) yang berlangsung sengit Desember lalu, telah terpilih para perwakilan mahasiswa: Presiden/Wakil Presiden EM dan Anggota DPM. Mereka konon datang sebagai penyambung lidah kepada pihak rektorat.

Pimpinan lembaga tinggi kehidupan kemahasiswaan ini dilantik Rektor M. Bisri di Gedung Kebudayaan Mahasiswa pada penghujung Januari lalu (28/01). Sayangnya, sebagian besar mahasiswa justru tidak mengenal bahkan tidak mengetahui wakil mereka sendiri. Penyebabnya bisa jadi karena dua kemungkinan, mahasiswa yang apatis atau wakil mahasiswa yang memang kurang menampakkan kinerjanya.

Belum lagi EM tampil lebih populer di mata mahasiswa. “Ketua EM-nya Mas Reza, Ketua DPM-nya saya tidak tahu,” ujar salah satu mahasiswa semester delapan FTP saat ditanyai nama Presiden EM dan Ketua DPM UB 2015. Mendengar pernyataan demikian, EM terlihat mempunyai pamor yang lebih unggul dibandingkan dengan DPM.

“Saya tahunya yang DPM Fakultas saja, kalau untuk yang di universitas saya kurang mengetahui. Kinerjanya juga tidak terlalu jelas. Kalau yang EM saya mengetahui. Kan kemarin juga ada kayak kampung budaya gitu-gitu. Kinerjanya terlihat lebih jelas,” imbuhnya.

Rendahnya pamor DPM Universitas salah satunya akibat kinerja mereka kurang nampak di hadapan mahasiswa. M. Dito Suryo Saputro, Ketua DPM UB 2015, menilai wajar perspektif mahasiswa menganggap DPM UB kurang terlihat kinerjanya. “Kepanitiaan kita tidak sebanyak EM,” ujar mahasiswa jurusan Hukum tersebut.

Sebagai lembaga tinggi legislatif, DPM memang lebih banyak bekerja di balik layar. Berbanding terbalik dengan EM sebagai

lembaga tinggi eksekutif. EM dianggap bekerja karena ada banyak even, mulai dari tingkat universitas hingga tingkat nasional.

Menyadari hal tersebut, DPM telah melakukan berbagai upaya guna menyosialisasikan kegiatan mereka kepada mahasiswa. Contohnya melalui media sosial, twitter, dengan nama akun @DPMUB.

“Kita kerja memang tidak pernah terlihat. Walaupun kita sudah upayakan sosialisasi melalui media sosial dan sebagainya. Belum terlalu masif, tapi sudah kita usahakan,” pungkas Dito.

Hingga berita ini diterbitkan, twitter @DPMUB telah diikuti oleh 1.819 mahasiswa. Dilihat dari penerimaan mahasiswa baru UB tiap tahunnya yang mencapai kurang lebih 13.000 mahasiswa, angka tersebut relatif kecil. Hanya 3,5% dari jumlah mahasiwa aktif UB empat angkatan (2012-2015). Twitter tersebut cukup aktif dengan jumlah tweet sebanyak 2.170. Namun, tweet berakhir sejak November, satu bulan menjelang pelaksanaan Pemira. Ajang demokrasi kampus sekaligus salah satu program kerja DPM harusnya menjadi momentum tepat bagi @DPMUB untuk melakukan sosialisasi lebih gencar. Sungguh disayangkan, twitter malah tidak aktif.

Menilik Peran dan Fungsi DPMDito menjelaskan gamblang

beberapa peran dan fungsi DPM UB: aspirasi, legislasi, advokasi, dan kontroling. Intinya, mahasiswa dapat menyampaikan aspirasi melalui banyak jalur.

“Kalau sekarang mungkin ada kotak saran ke rektorat secara langsung. Ada di website. Terus bisa juga lewat DPM Fakultas. DPM Universitas bisa,” terangnya. Tetapi Dito menegaskan bahwa aspirasi yang diatasi atau ditampung oleh pihak DPM adalah masalah-masalah ditingkat Universitas. Sedangkan untuk masalah di tingkat fakultas dapat disampaikan kepada DPM Fakultas masing-masing.

Terkait peran legislasi, DPM mempunyai wewenang untuk merevisi dan membuat Undang-Undang (UU) baru. Selama satu periode kepengurusan ini, DPM telah merevisi UU Pemira dan UU PK2MU (Pengenalan Kehidupan Kampus

Mempertanyakan Fungsi DPM

Bunga Astana

Page 11: Swara Brawijaya

11

Mahasiswa Universitas). DPM juga merancang UU baru

tentang advokasi yang membahas manajemen advokasi di EM dan DPM supaya tidak bersinggungan. Rancangan ini muncul lantaran terjadi kerancuan advokasi antara EM dan DPM.

DPM membuat UU tentang advokasi yang nantinya akan dijalankan oleh EM. Sayangnya, sampai saat ini UU tersebut belum ada. “Lagi proses pembuatan. Sebenernya sudah disusun sedemikian rupa,” ungkap Dito.

Peran advokasi kedua lembaga ini memang nampak tumpang tindih. Wewenang tentang siapa yang harus mengawal program Uang Kuliah Tunggal (UKT), secara fungsional kedua LKM ini dapat memasuki ranah yang sama. Mungkin saja kedua lembaga ini langkahnya ternyata mirip. Dalam bidang advokasi, secara kelembagaan DPM berfungsi sebagai pengawas dalam berjalannya advokasi. Akan tetapi, DPM merasa perannya terkait advokasi UKT dibatasi pihak Rektorat

“Advokasi masalah UKT ternyata pada tahun ini DPM ngga punya wewenang apapun. EM pun termasuk tidak punya wewenang apapun,” ujar Dito.

Bekerjasama dengan EM, DPM dalam advokasi masalah UKT melakukan tabulasi data mahasiswa yang keberatan dengan golongan UKT yang diterima. Data tersebut dicocokkan dengan latar belakang mahasiswa yang bersangkutan, lalu diserahkan ke DPM Fakultas masing-masing. Dito menyayangkan DPM tidak mempunyai wewenang untuk langsung mengadvokasi.

Berperan sebagai kontroling, DPM telah mengingatkan EM saat laporan pertanggungjawaban tengah tahun terkait kinerja EM yang disebut-sebut menyerupai Event Organizer (EO). Seperti halnya pertanyaan salah satu penonton dalam debat terbuka Pemira UB (14/12/2015) kepada calon Presiden dan Wakil Presiden EM nomor urut satu. “Bagaimana tanggapan anda tentang EM yang disebut sebagai EO?” tanya penonton tersebut.

Dito menyebut memang EM seolah menjadi lembaga EO. Penyebabnya, karena ketidakjelasan arah gerak tujuan. “Maka dari itu seakan-akan EM yang baik itu

EM yang banyak acara,” ujarnya. Lembaga pemerintahan mahasiswa seharusnya mengutamakan fungsi kontrol, baik terhadap pemerintah, rektorat, dan sebagainya.

Selain keempat peran diatas, Dito mengungkapkan DPM masih mempunyai satu peran. “Selain itu juga ada fungsi budgeting, tapi dihilangkan pada saat kenyataannya,” imbuh mahasiswa angkatan 2012 tersebut. EM merasa keberatan untuk di budgeting DPM.

Apabila universitas dianalogikan sebagai negara, Dito menyebut anggaran universitas seperti halnya Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). APBN adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

“Begitu seharusnya anggaran di EM. Itu harusnya disetujui sama DPM. Tapi dirasa EM ini merasa keberatan soal itu,” ungkapnya. EM mengajukan anggarakan dana langsung ke rektorat, tanpa melalui DPM, dengan alasan dapat menghambat kinerja.

Vokasi tanpa DPMPeran dan fungsi DPM yang begitu

penting dampaknya kurang dirasakan mahasiswa Vokasi. Sebab, belum terdapat lembaga legislatif tingkat fakultas disana. Hal ini juga menciderai hukum pada kehidupan kemahasiswaan di UB. Sesuai Anggaran Dasar Lembaga Kedaulatan Mahasiswa (AD LKM) UB, BAB VII Alat Kelengkapan Organisasi, pasal 11 poin 8 tentang adanya DPM Fakultas.

Menanggapi hal tersebut, Dito membantah kalau terdapat kecacatan hukum. “Bukan cacat hukum, tapi memang beberapa fakultas baru. Seperti Vokasi,” ujarnya. Dito menambahkan bahwa BEM Vokasi saja masih dua periode. Saat ini DPM UB sedang mengusahakan berdirinya DPM di Vokasi.

Dalam kasus seperti ini, secara otomatis BEM Vokasi juga memegang kendali sebagai DPMF. Dito mengatakan bahwa DPM UB tidak mempunyai wewenang untuk mengintervensi langsung ke fakultas. “Karena sub koordinatif,” jelasnya.

Kontributor: Vina Wylasmi, Ainun Syahida Atsari, Raditya Sumardani.

Gerbang Khusus

Page 12: Swara Brawijaya

12

E-Vote Pemira UB 2015: Ternyata Masih ‘Uji Coba’

Di hari pelaksanaan Pemira UB, Jumat (11/12/2015) lalu, malfungsi sistem pelaksanaan e-vote terjadi di berbagai Tempat Pemungutan Suara (TPS). Di Fakultas Ilmu Komputer pemungutan suara mengalami penundaan selama tiga jam. Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, para pemilih harus mengantri selama empat jam.

“Tadi sempat terjadi gangguan dua jam pertama. Jadi data yang masuk selama waktu itu tidak dapat terekap. ‘Kan sayang, pemilihan suara yang dilakukan jadi terbuang,” ujar Velika Cecilia, mahasiswi FISIP saat diwawancarai pada Pemira lalu.

Permasalahan pun tidak hanya hal-hal teknis. Akibat waktu yang singkat, sosialisasi pelaksanaan Pemira pun tidak maksimal. Mahasiswa Fakultas Kedokteran belum mendapat informasi yang cukup mengenai penyelenggaraan Pemira. Mahasiswa pun memilih untuk golput.

Awal sistem baru ini papar Ketua DPM UB M. Dito Suryo Saputro, dilatarbelakangi oleh pendapat pihak rektorat karena UB merupakan pemenang Pekan Ilmiah Mahasiswa Nasional (PIMNAS). Kebanggaan itu kemudian diwujudkan dalam bentuk inovasi pemilihan secara digital. Selain itu juga teknisi atau sistem elektronik yang baik menambah kuat realisasi e-vote.

“Memang dari tahun ke tahun, e-vote ini hanya sekedar jadi wacana, maka dari itu direalisasikan. Salah satu alasannya juga karena memang dilihat untuk jadi pengujian apakah sistem e-vote ini baik atau tidak,” papar Dito.

Dito mengakui bahwa uji coba semacam ini memang rawan untuk gagal. Resiko kegagalan itu juga sudah

Pesta demokrasi mahasiswa Brawijaya, Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira) UB 2015 memperkenalkan inovasi baru. Metode pemungutan suara yang awalnya dilakukan secara manual dengan media kertas surat suara, diperbarui ke dalam sistem digital yang dikenal dengan e-vote. Namun, sistem ini dipertanyakan, mengingat waktu yang singkat untuk persiapan dan sosialisasi.

Kabar Kampus

WWW.KAVLING10.COM

Aulia Nabila

Page 13: Swara Brawijaya

13

Kabar Kampus

dikhawatirkan, walaupun juga sudah dilaksanakan studi banding ke Universitas Indonesia (UI).

“Mereka pernah gagal waktu itu, tapi bukan di tahun yang pertama. Di tahun yang ketiga atau yang kedua. Dari situ ‘kan kita berpikir ulang untuk memakai e-vote. Tapi memang ini desakan dari rektorat secara langsung. Dan kita nggak bisa lagi menolak memakai itu,” jelas Dito. Ditambahkannya bahwa dorongan inovasi e-vote ini juga berasal dari pelaksanaan pemilihan mahasiswa di universitas-universitas lain yang juga sudah menggunakan e-vote seperti Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Universitas Airlangga, dan masih banyak lagi.

Tak pelak, karena waktu persiapan yang singkat, berbagai kendala baik teknis maupun non-teknis pun terjadi di banyak TPS. Walaupun begitu, Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan, Arief Prajitno, mengatakan bahwa realisasi sistem e-vote harus terlaksana tahun ini. Ia mengatakan bahwa kerja tim Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Informasi (PPTI) UB yang membuat sistem ini, harus diapresiasi.

“Pak Rektor sendiri sangat mendukung dan harus sekarang (realisasi sistem e-vote, red). Kalo ditunda, nanti tahun depan tunda lagi tunda lagi. Karena esensinya bahwa UB ini adalah kampus juara (PIMNAS, red),” papar Arief.

Mengenai malfungsi yang terjadi di TPS saat pelaksanaan Pemira, Wakil Rektor III Arief Prajitno membenarkan kejadian tersebut namun tidak menyeluruh di semua TPS. Ia menjelaskan bahwa malfungsi terjadi karena spesifikasi komputer atau laptop sebagai sarana yang digunakan tidak sama.

“Kemampuan masing-masing laptop berbeda, sehingga sistem menyesuaikan itu. Itu yg jadi kendala, sehingga memang perlu pembenahan sistem tadi. Perlu waktu,” jelas Arief.

Namun menurut penuturan Dito, malfungsi ini terjadi hampir di semua fakultas, kecuali di Fakultas Hukum (FH). “Saya yang jadi pemantau, tahu langsung yang terjadi di lapangan. Saya dapat konfirmasi dari Panpel (Panitia Pelaksana, red) langsung. Bahkan Fakultas Hukum pun tidak seratus persen tidak error. Ada dua suara yang error. Di fakultas-fakultas lain itu yang mengalami error yang cukup besar,” jelasnya.

Dito menambahkan bahwa panitia pelaksana Pemira tidak begitu paham cara mengatasi malfungsi ini, karena sistem ini dibuat oleh tim PPTI. Pembuatannya juga dilakukan dalam waktu yang singkat.

“DPM beserta Panitia hanya berwenang untuk memberikan masukan,” jelas mahasiswa FH angkatan 2012 ini. Ia menambahkan, simulasi e-vote ini pun sudah dilaksanakan namun tidak secara keseluruhan.

“Ternyata yang dilaksanakan di lapangan, simulasinya cuma simulasi langsung dan satu komputer. Artinya ‘kan pertimbngan jaringan dan lain sebagainya nggak dilihat,” ujarnya.

Mengenai langkah untuk meminimalisasi kendala tersebut, Arief menyebutkan bahwa ada alternatif solusi yang didapatkan dari pihak DPM. “Kita memperpanjang waktu dengan mengulang. Memperpanjang waktu selama dua jam atau mengulang di TPS yang bermasalah. Artinya (memperbaiki) sistemnya, atau diulang semua. Ini kan berarti energi terbuang, biaya membengkak. sehingga opsi yang diambil adalah perpanjangan waktu dua jam tadi. Ternyata sebelum maghrib sudah selesai semua,” papar Arief.

Terkait jumlah suara yang masuk, Arief mengatakan bahwa hasil yang didapat dengan e-vote ini bisa dipertanggungjawabkan. Ia juga membandingkan efisiensi perhitungan suara sistem e-vote ini dengan sistem manual, sebagaimana dengan pelaksanaan di tahun-tahun sebelumnya.

“Tahun lalu dengan manual, yang sampai hampir seminggu dan sampai malam-malam. Kalo (menggunakan e-vote) ini ‘kan sebentar,” jelasnya. Untuk selanjutnya, Arief mengatakan bahwa spesifikasi laptop yang digunakan untuk e-vote akan disamakan dan untuk itu akan didanai oleh rektorat.

Di akhir wawancara, Dito menyampaikan bahwa ke depannya mahasiswa UB harus memiliki kesadaran akan hal-hal semacam ini dan mengesampingkan kesadaran golongan-golongan. Ia juga menyayangkan persiapan dan simulasi yang kurang matang. “Padahal kita sudah studi banding di UI. Hasilnya kita menolak e-vote. Karena UI sendiri menyarankan kita untuk menunda. Karena mereka sudah melaksanakan selama tiga tahun, dan ternyata sistem selalu error,” ujarnya.

Page 14: Swara Brawijaya

14

Jajak Massa

TIM DESAIN KREATIF

Page 15: Swara Brawijaya

15

Jajak Massa

Pemilihan Mahasiswa Raya (Pemira) merupakan agenda tahunan yang digelar di Universitas Brawijaya. Pagelaran ini melibatkan seluruh mahasiswa Universitas Brawijaya (UB). Pemira merupakan ajang mahasiswa dalam pemilihan calon presiden dan wakil presiden Eksekutif Mahasiswa (EM). Mereka yang terpilih nantinya akan memimpin, mengawal, dan mengadvokasi kegiatan mahasiswa UB selama satu tahun. Maka setiap tahunya akan dibentuk kepanitiaan untuk pelaksanaan Pemira. Peran panitia sangat penting karena Pemira akan melibatkan seluruh mahasiswa di Universitas Brawijaya.

Universitas Brawijaya setiap tahunnya mengalami penurunan jumlah partisipasi Pemira dalam tiga tahun terkhir. Total mahasiswa baru di Universitas Brawijaya tiga tahun terakhir yaitu tahun ajaran 2012/1013 sebanyak 51.515 mahasiswa. Jumlah partisipasi mahasiswa dalam pemira tahun 2013 total 14.079 suara. Hasil suara pasangan Setya Nugraha nomor urut satu dengan total suara 7504. Sedangkan nomor urut dua pasangan Suroto dengan total 4490 suara.

Jumlah partisipasi mahasiswa 13.585 suara dalam pemira tahun 2014. Total pemilih pasangan Reza Adi Pratama 8.240 suara. Sedangkan untuk pasangan Sahril Mubarok 3.989 suara. Jumlah mahasiswa di Universitas Brawijaya sebanyak 60.393 orang.

Penggunaan sistem pencoblosan baru e-vote pemira tahun 2015 jumlah partisipasi pemilih 11.597 suara. Pasangan Muhammad Zahid memperoleh 7.568 suara. Sedangan pasangan Abdul J.J total 3.079 suara. (Sumber: presetya.ub.ac.id dan mediamahasiswa.com)

Partisipasi Mahasiswa Menurun

TIM DESAIN KREATIF

LITBANG KAVLING 10

Page 16: Swara Brawijaya

16

Universitas adalah rekonstruksi dari sebuah negara Indonesia kecil dimana ia memiliki lembaga Eksekutif, Legislatif, dan Yudikatif. EM sebagai Eksekutif, DPM sebagai Legislatif, dan Kongres Mahasiswa sebagai Yudikatif. Terlepas dari peran Rektorat yang sudah semakin mirip “Tuhan” yang kata-katanya seakan merupakan kebenaran prostulat, peran mahasiswa yang duduk di jajaran elit politik kampus seharusnya mampu menjadi tombak kuntawijayadanu yang membela hak-hak mahasiswa.

Akan tetapi jika boleh mengoreksi kinerja EM dan DPM di Universitas tercinta Brawijaya ini, terlalu banyak hal yang menunjukkan bahwa kinerja badan elit tersebut masih belum optimal, terutama EM yang berfungsi sebagai pelaksana kebijakan.

Pada tataran fakultas maupun pusat, banyak kritik maupun komplain mengenai kinerja mereka. Seperti yang terjadi di awal Januari, saat situs resmi EM diretas dan bertuliskan kritikan terhadap EM (lihat www.kavling10.com). Hal tersebut menunjukkan perlunya mengaji kembali posisi EM dalam relasi antara mahasiswa dengan pihak rektorat. Terlebih, krisis identitas lembaga eksekutif perlu dikaji ulang seiring makin terdesaknya posisi mahasiswa dihadapan rektorat dalam berbagai permasalahan yang terjadi. Selain itu pada saat Pemira (Pemilihan Mahasiswa Raya) di penghujung tahun lalu EM dan DPM menuai banyak kritik terkait kinerja panitia e-vote. Pihak DPM malah seakan-akan menyalahkan rektorat. Hal ini menunjukkan kerendahan intelektualitas sebagai akademisi yang menduduki kursi elit politik yang seharusnya mampu mewakili suara mahasiswa Universitas Brawijaya.

Disisi lain, peran EM yang tidak mampu menyentuh tiap-tiap fakultas menambah citra buruk tersebut. “Ketika ada permasalahan di dalam fakultas, peran EM

di situ tidak pernah terlihat. Contohnya UKT, yang menyelesaikan masalah pasti anak BEM. EM tidak kelihatan fungsinya, terutama masalah koordinasi, paling hanya sebatas kunjungan, seminar, dan sosialisasi, Hal tersebut hanya bersifat formalitas semata,” Ungkap Kholilurrohman, salah seorang anggota Kementerian Advokesma BEM Fakultas Teknik tahun 2015.

Doddy Prasetya, mahasiswa Ilmu Kedokteran 2013, mengaku bahwa peran BEM dan EM masih kurang terasa. “Di Fakultas Kedokteran sendiri banyak LOF dan LSO yang tidak diwadahi oleh BEM. Baru jika ada tuntutan dan protes dari mahasiswa kepada ketua atau presiden BEM, baru mereka menangani. Mereka terlalu fokus terhadap akademik, Apalagi EM, malah tidak pernah kelihatan fungsinya di fakultas,” ujar Mahasiswa yang tergabung dalam himpunan jurusan tersebut.

Pendapat lain diutarakan oleh mahasiswa yang berasal dari Fakultas Ilmu Budaya (FIB). Menurut pendapat Bobby Dwinanda dan Ignatius Janitra, kurangnya kinerja EM maupun DPM disebabkan karena kurangnya kompetensi dan kemampuan yang ada pada mahasiswa jajaran elit tersebut. Janitra, yang akrab dipanggil Jeje, menceritakan pengalamannya dalam mengamati anggota DPM. “Salah satu calon DPM FIB sendiri pernah curhat pada saya tentang masalah birokrasi, dari yang saya lihat, baik calon maupun anggota tahun sebelumnya pun banyak tidak paham masalah birokrasi dan ketika terpilih pun faktanya mereka tidak kelihatan. Mereka cuma sebatas menjalankan proker inti, misal rapat koordinasi LOF mereka dan ya sudah selesai,” ujarnya mengritisi.

Senada dengan Janitra, Bobby mengungkapkan bahwa EM dan DPM hanya mengerjakan tugasnya sesuai

Disintelektual Mahasiswa dalam Elit Politik Kampus dan Golongan

Rizqi Nurhuda Ramadhani

Gerbang Khusus

Page 17: Swara Brawijaya

17

Gerbang Khususdengan program saja, tanpa bisa peka terhadap kondisi dan melakukan hal yang solutif terhadap permasalahan yang ada. “Mereka bertanggung jawab untuk mengadakan rapat untuk hima (himpunan mahasiswa, red.) dan LKM serta mengawasi kegiatan tersebut, tapi setelah itu tidak ada tindak lanjut. Mereka ada kesalahan secara praktek atau teori, dan bahkan kebanyakan mereka tidak paham keduanya, baik secara praktek maupun teori,” ujar mahasiswa jurusan Sastra Inggris tersebut.

Bobby juga menambahkan bahwa masih banyak mahasiswa di jajaran elit yang berbicara tentang hal-hal besar misal mengritik presiden dan lain sebagainya tetapi tidak ada koreksi diri yang nyata. “Menurut saya, negara yang baik berasal dari individu-individu yang baik,” imbuh mahasiswa yang saat ini menjabat sebagai Ketua Himpunan Sastra Inggris FIB tersebut.

Terkait tentang penyebab disintegrasi kinerja mahasiswa yang berada di jajaran elit politik, Kholilurrohman mengemukakan, hal itu dipengaruhi oleh peran golongan yang menggantikan kepentingan mahasiswa umum. Sebagai contoh, pada saat Pemira sudah pasti terjadi perebutan kursi antar golongan. “Apa pedulinya orang-orang awam yang tidak punya bendera terhadap Pemira? Tidak ada. Saya memilih ataupun tidak, sama saja tidak ada dampak yang signifikan. Yang berkepentingan dalam Pemira hanya orang-orang yang memiliki kepentingan atas nama bendera mereka, “ujarnya.

Saat ditanya mengenai apatisme yang mendominasi mahasiswa di Fakultas Teknik, ia menjawab bahwa fungsi-fungsi kampanye berbanding terbalik dengan kenyataan yang ada di lapangan. “Dalam poster-poster kampanye, banyak kata-kata amanah dan mengayomi. Amanah untuk siapa? Mengayomi untuk siapa? Apa yang mereka tulis di poster-poster kampanye itu tidak realistis dan terrlalu mengada-ada. Fakta bicara berbeda dan itu yang menyebabkan mahasiswa menjadi apatis,” tukasnya.

Kinerja EM maupun DPM yang dinilai kurang terlihat tersebut karena mereka kurang bersentuhan langsung

dengan mahasiswa lainnya, bahkan reporter Swara Brawijaya kesulitan untuk menemui anggota DPM karena kesekretariatan DPM selalu tertutup rapat tanpa terlihat aktifitas apapun. Ditanyai mengenai suasana kesekretariatan DPM yang terlihat selalu sepi, ketua DPM 2015 Dito Suryo tidak mau diwawancarai. Sementara Gio Prananda, anggota Advokesma DPM UB 2015 beralasan bahwa anggota DPM jarang ke sekret karena mereka adalah orang – orang yang juga memiliki kesibukan di luar. “Ada yang bekerja, mengurus organisasi sosial, pergi ke luar negeri, dan ada pula yang sering diundang untuk kunjungan ke universitas lain,”ujarnya.

Dalam kinerja advokasi mahasiswa, ia menambahkan bahwa dari pihak DPM sudah sering membantu mahasiswa dalam penurunan UKT, pemberian sarana dan prasarana meskipun kebanyakan stafnya saja yang turun. Untuk kebijakan yang dibuat DPM, ia menambahkan, “Sebenarnya banyak, tetapi beberapa tidak gol. Contohnya peninjauan kembali kebijakan jam malam, perluasan lahan parkir, wifi yang sering dibobol, dan sarpras (sarana dan prasarana) terkait toilet yang tidak memadai, terutama toilet gedung UKM. Tetapi dari rektorat sering mengelak, itu (toilet UKM, red.) adalah tanggung jawab mahasiswa, itu mahasiwa yang pakai, jadi mahasiswa yang bertanggung jawab menjaga kebersihannya. Jadi pada akhirnya setiap LKM dan UKM jadi egois menjaga kebersihan,” Ungkapnya.

Banyak kritik tentang konflik antar golongan yang dilontarkan mahasiswa. Gio mengungkapkan bahwa keberagaman golongan dalam DPM memiliki peran yang penting, yang mampu memperkaya sudut pandang terhadap kebijakan yang dirumuskan. “Orang yang mampu melakukan perubahan yang besar adalah orang yang berasal dari golongan OMEK. Orang yang banyak melakukan kesalahan adalah mereka yang justru memusuhi golongan,” tegas Gio menyikapi sikap antipati mahasiswa terhadap OMEK.

Terkait masalah intervensi golongan dalam hubungan kerja antara EM dan DPM, Gio tidak menampik bahwa terjadi kesenjangan antar golongan yang

Page 18: Swara Brawijaya

18

terjadi antara EM dan DPM. Gio bercerita bahwa yang sering menjadi kendala adalah ketidaksinkronan kepentingan antara EM dan DPM. “Golongan bendera dalam DPM jumlahnya beragam, sementara EM hanya memiliki satu bendera saja. Banyak kegiatan yang dibuat oleh EM yang sebenarnya tidak disukai oleh DPM, karena banyak kegiatan yang dilakukan oleh EM didasari oleh kepentingan salah satu OMEK. Salah satu hal yang tidak disukai DPM adalah sistem rekrutmen staf magang yang bertujuan untuk kaderisasi golongan OMEK tertentu,” imbuhnya.

Fanatisme Golongan dalam Ruang Politik Kampus

Jangan melupakan sejarah. Ungkapan yang mengharu biru dari Bapak Proklamator kita, Soekarno, tampaknya begitu saja diacuhkan oleh mayoritas mahasiswa saat ini. Kondisi yang terjadi saat ini adalah, mahasiswa yang menjabat melakukan kinerja untuk kepentingan pribadi dan OMEK. Hal yang merupakan permasalahan klasik sejak zaman Soe Hok Gie. Dimana tiap golongan saling sikut demi kepentingan golongan yang agendanya jauh dari kemajuan bersama Indonesia. Rahmat Gustomi selaku dosen dari Program Studi Ilmu Pemerintahan memberikan pandangan terkait fenomena gerakan mahasiswa dan fragmentasi antar golongan yang terjadi.

Beliau menjelaskan bahwa, “Dalam ilmu politik, demokrasi ada dua: prosedural dan substansial. Secara prosedural, UB sudah memenuhi: ada pemira, ada partainya, dan ada kampanye. Tetapi secara substansial belum,” Ujarnya.

Hal tersebut merefleksikan bahwa aktivitas politik mahasiswa UB masih kacangan. Yang terjadi adalah onani politik, dimana tiap golongan melakukan aktifitas politik demi kepuasan sendiri tanpa eksekusi yang nyata. Gustomi mengungkapkan baik OMEK maupun non-OMEK sama-sama bermasalah. OMEK, kebanyakan anggotanya fasis, ditambah lagi agendanya tidak nyata. Jika fokus agendanya indonesia, semua OMEK pasti sama, satu tujuan. “Yang muncul adalah OMEK menjadi partisan, sehingga mahasiswa yang tergabung dalam OMEK bukan lagi menjadi mahasiswa yang kritis, yang terkonsolidasi melawan musuh bersama, tetapi mereka malah bertengkar sendiri-sendiri sehingga yang terjadi adalah fanatisme, dan orang yang fanatik adalah orang yang bodoh,”ujarnya.

Gustomi memaparkan pandangan terkait keanehan kampus yang seharusnya merupakan tempat orang-orang yang intelek. Semakin cerdas seseorang, maka ia akan semakin plural, semakin mampu memahami perbedaan perspektif secara luas. “OMEK bermusuhan dengan sesama OMEK lain itu adalah hal yang abstrak, tidak

“Kondisinya sekarang, kenapa mahasiswa lebih suka menjadi sekedar panitia OSIS-OSISan, petantang-petenteng ke-sana kemari, yang kem-ana-mana pamer? Mau jadi apa? Orang yang mudah terbawa pop cul-ture itu hanyalah kelas disintelektual.”

Page 19: Swara Brawijaya

19

Gerbang Khususjelas. Kalau tujuannya untuk berebut kursi BEM atau EM, sekarang pertanyaannya apa sih manfaat BEM atau EM untuk mahasiswa? Yaitu seharusnya untuk mencerdaskan dan membela hak-hak mahasiswa. Pernah tidak BEM atau EM berjuang membela mahasiswa dengan bersungguh-sungguh, bukan hanya formalitas program kerja?” kritik Gustomi dengan berapi-api saat diwawancarai di Mipa Corner (mipcor,red) Universitas Brawijaya.

Jika harus berkaca pada sejarah, betapa memalukan bahwa lebih dari 2300 tahun yang lalu, Plato sudah mengungkapkan dasar-dasar menjadi penguasa. Bahwasanya negarawan haruslah mewarisi sifat dan rasa keadilan yang setingkat dengan para dewa. Mereka yang berhak menjadi penguasa hanyalah mereka yang mengerti sepenuhnya prinsip kebijaksanaan setara seorang filsuf. Sedangkan menurut Robert Nisbet, negarawan tidak boleh mempunyai kepemilikan pribadi, apalagi kepentingan individu, sehingga menghindari kompetisi yang mempengaruhi kebijakan yang seharusnya bersifat universal, yang disebut sebagai “nihilism social”. Tetapi hal tersebut berbanding terbalik dengan kondisi politik kampus UB yang tiap golongannya saling sikut demi memperoleh kursi kekuasaan. Ironisnya, mahasiswa yang menyandang status cendekiawan tidak sepenuhnya memahami konsep filsafat dan logika dasar.

Sambil menyeruput kopinya, Gustomi mengungkapkan bahwa politisi yang baik adalah yang konsisten dengan yang dia katakan dan tidak berbohong. Beliau menjelaskan bahwa banyak mahasiswa yang memiliki pemikiran ala politisi Indonesia, yang berjuang demi kepentingan pribadi. Contohnya bisa dilihat dari kampanye yang mengandalkan kebohongan dan foto diri yang penuh pencitraan. “Itu pasti fotonya di studio, kamera DSLR, dan berbagai macam persiapan supaya kelihatan ganteng. Tulisan kampanye juga muluk-muluk. Memperjuangkan kepentingan mahasiswa, ini dan itu. Saya bilang hal itu tidak mungkin terjadi karena mereka tidak mempunyai wewenang untuk melakukan hal itu. Kemampuan mereka hanya sebatas mengajukan suara terhadap kebijakan

rektorat, kalau tidak diterima bagaimana? Apakah mereka akan memperjuangkan ? bohong itu,” Ungkap Gustomi yang akrab dipanggil Pak Tomi oleh mahasiswanya.

Ia menambahkan bahwa golongan mahasiswa yang tidak berlandaskan tri dharma perguruan tinggi hanyalah omong kosong. Contoh sederhananya adalah event-event yang diadakan tidak merepresentasikan nilai tri dharma perguruan tinggi. “Kondisinya sekarang, kenapa mahasiswa lebih suka menjadi sekedar panitia OSIS-OSISan, petantang-petenteng kesana kemari, yang kemana-mana pamer? Mau jadi apa? Orang yang mudah terbawa pop culture itu hanyalah kelas disintelektual,” Imbuhnya.

“Yang lebih parah lagi,” ungkapnya, “Ada anti OMEK, golongan anti golongan, di UB. Terlebih di FISIP. FISIP itu Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, kok ada orang politik tapi anti politik? Absurd itu namanya.”

Dosen yang sering melakukan diskusi santai dengan mahasiswa tersebut mengungkapkan perhatiannya terhadap degradasi intelektual mahasiswa saat ini. “Musuh OMEK itu bukan OMEK A, OMEK B, atau OMEK lainnya, tapi adalah sikap tidak demokratis dan sikap tidak menjunjung intelektualitas di kampus ini. Lalu janji mereka untuk memperjuangkan kepentingan mahasiswa mana? Justru mereka merupakan bagian dari pendzoliman struktur demokrasi itu sendiri,” tukasnya.

Bagaimanapun juga, terlepas dari apapun golongannya, mahasiswa haruslah menjunjung keagungan ilmu pengetahuan dibalik segala sikap yang diambil.“Yang tidak ada pada mahasiswa sekarang adalah logika dan analitik dari daya pikir mahasiswa, yaitu analisis logis dari masalah sosial dan pencarian solusi yang sesuai. Jika mengaku seorang aktivis, tetapi tidak pernah baca, tidak pernah menulis, artinya omong kosong,” Tutupnya. Seperti yang dikatakan oleh Peter L. Berger, seorang cendekiawan haruslah memiliki mental subversif, dalam arti senantiasa berkeinginan untuk untuk membongkar hal-hal yang sudah mapan dan mencari apa yang sebenarnya sudah mapan dan mencari apa sebenarnya yang ada dan terjadi di balik realitas yang manifes.

Page 20: Swara Brawijaya

20

Kilas

Masuk kampus, pengendara wajib menempelkan stiker. Hologram dan gedung Rektorat wajib tergambar pada kendaraan. Satuan pengamanan kampus sudah siap sedia melihat secara teliti dari gerbang masuk. Mahasiswa merasa keberatan. Wajar, karena esensi pemberlakuan stiker ini tidak pernah ketahuan maksudnya apa.

Berkaca pada kebijakan yang sama di tahun 2011, stiker pun tidak lantas mengurai padatnya kendaraan bermotor. Itu dulu. Sekarang rektorat sudah mengetuk palu untuk aturan ini. Awal perkuliahan semua kendaraan wajib berstiker.

Ini hanya satu dari bermacam kejadian sepanjang tahun 2015. Kebetulan saja pemberlakuan stiker ini terjadi di penghujung tahun bertepatan dengan aktivitas UAS dan menjelang libur mahasiswa. Itu pun tidak lepas dari masalah kuota stiker yang tidak

memenuhi jumlah seluruh mahasiswa.

Kembali pada pertengahan tahun, berita datang dari Kediri. UB Kampus IV akhirnya tutup usia. UB tak lagi membuka pendaftaran mahasiswa baru di kota Kediri tahun ini. Berangsur-angsur mahasiswa di sana pindah rumah ke Malang.

Di luar persoalan klasik seperti kemacetan dan perparkiran, fenomena baru yang menarik perhatian banyak akademisi adalah diskusi mengenai Lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT). Diskursus ini berkesudahan tanpa hasil. Seminar Internasional LGBT yang semestinya berlangsung di FISIP tak jadi dilaksanakan.

Suatu ironi bagi kehidupan kampus. Kampus yang seharusnya menyediakan mimbar akademik, entah persoalan yang dibicarakan itu turun dari Neptunus atau dari

Wawancara EkslusifBisri: Masa Kita Komunis?

Rahmawati Nur AzizahEfrem Siregar

Page 21: Swara Brawijaya

21

Kilas

dunia ini, nyatanya gagal mendudukkan secara sederajat.

Bahkan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang menyayangkan sikap jajaran UB melarang pemutaran film Alkimonekiye. “Ini mengkhianati kebebasan pers, karena film merupakan salah satu cara menyebarluaskan informasi,” ujar Yatimul Ainun, Sekjen AJI Malang saat Aksi Damai memperingati Hari Kebebasan Pers Dunia (World Press Day Freedom), Minggu (3/5/2015). “Jangan sampai kejadian seperti ini diikuti oleh universitas lain.”

Persoalan kecil seakan tampak besar di kampus ini. Berbagai prestasi kalah pamor dengan kejadian-kejadian menyedihkan di kampus ini. Menanggapi persoalan kehidupan kampus yang sempat hangat dibincangkan mahasiswa, awak Kavling 10 mewawancarai Rektor M. Bisri (12/1). Rektor kelahiran Malang ini mengingatkan sivitas akademika sebagai satu keluarga agar waspada terhadap pihak luar.

Beberapa waktu lalu isu paling besar menyangkit kebebasan mimbar kampus soal pembatalan seminar internasional LGBT di UB, bagaimana Bapak menanggapi?

Kebebasan itu jangan sebebas-bebasnya. Maksudnya, silahkan mengadakan tetapi jangan di dalam kampus, jangan atas nama Brawijaya. Ini menjadi polemik. Saya harus mempunyai sikap. Karena saya orang Islam. Kalau moderatnya, saya dengan resiko apapun akan saya tutup.

Begitu juga dengan isu nasional?

Itu harus dijelaskan dahulu. Begini, mahasiswa mengritik tetapi dia juga melakukan hal yang tidak baik. Maksud saya, konsekuenlah jika mengritik orang, harus berlaku baik.

Berlaku baik. Bukankah ini pandangan ini relatif?

Kalau kamu Islam, ya pandangan baik menurut Islam, jangan yang universal. Setiap agama memiliki pandangan tentang baik. Kita harus punya norma dan pegangan. Kita harus teguh akan hal itu.

Harus ada semangat religi?

Iya pasti. Pegangan kita dari muda sampai tua ya agama. Masa kita komunis. Kita harus teguh.

Untuk stiker masuk dan penataan parkir?

Pengurusan stiker masing-masing di KTU (Kantor Tata Usaha, red.) masing-masing fakultas. Mahasiswa harus aktif. Jadi masing-masing komponen sudah aktif, tidak bisa saling menunggu. Seperti masalah jaket yang sudah selesai, namun fakultas saling menunggu. Di sini juga banyak kerjaan akhirnya banyak kelupaan.

Terkait itu, bagaimana pola komunikasi yang Bapak bangun dengan mahasiswa, penyampaian informasi?

Anak-anak BEM dan EM itu ada komunikasi ke WR III. Masalah di jaket karena pengadaannya ada di akhir. Mahasiswa baru memberikan komplain karena ada kesempitan atau kebesaran. Oke, mahasiswa diukur satu per satu. Begitu diukur satu per satu membuat terlambat pengadaannya. Makanya 2016 nanti, saya tidak lagi seperti itu. Ukurannya sudah dipaketkan dan siap dibagikan. Kalau nanti ukuran tidak cocok, mahasiswa bisa tukar.

Menyoal kesadaran mahasiswa, apa wadah yang bisa mempertemukan mahasiswa dengan pihak rektorat?

Ada Wakil Rektor III, di fakultas ada Wakil Dekan III. Namun, senangnya pengen ketemu rektor. Padahal bertemu dengan wakil rektor dan wakil dekan sudah cukup.

Ada keinginan aktif menggunakan media sosial?

Saya sendiri ada yang mengelola media sosial. Tapi namanya seperti itu tidak hanya di Brawijaya. Di seluruh Indonesia lagi senangnya medsos. Jangan sampai lembaga kita sendiri diudul-udul keluar. Ini kan keluarga besar Brawijaya. Jangan sampai keluarga ini hanya karena ada kekurangan sedikit kemudian di blow up besar, yang rugi kan kita sendiri.

Page 22: Swara Brawijaya

22

Opini

Perguruan Tinggi merupakan sebuah kawah candradimuka. Jikalau penyematan kata candradimuka dipahami benar oleh seorang mahasiswa, hal ini tidak bisa terlepas dari apa yang dimaksud dengan tugas pokok sebagai seorang creator of change, pencipta ide – ide revolusioner dalam laboratorium hidup di ranah kampus.

Namun pada kenyataannya kita sebagai seorang mahasiswa masih tidak percaya diri atas kemampuan mencipta sebuah hal baru. Kemandulan ide masih terbayang dalam alam pikiran mahasiswa, khususnya dalam ranah ide pemikiran sosial politik kampus. Jargon di kalangan birokrat kampus mainstream pun masih berlaku hingga sekarang, seperti halnya “menjalankan tongkat estafet untuk meneruskan perjuangan.”

Apakah tugas mahasiswa dari tahun ke tahun hanya meneruskan saja, lalu membenarkan hal yang belum tentu benar, seperti halnya ungkapan “Saat ini dunia masih terlihat baik – baik saja, keep calm and stay woles?”

Ketika berbicara mengenai hingar bingar perpolitikan di dalam lingkup universitas, pasti kita mendengar kata demokrasi yang digaungkan oleh para sesepuh birokrat kampus. Ketika yang terbesit dalam benak sivitas akademika adalah kebebasan dan kedaulatan, tidak dipungkiri demokrasi tumbuh dan berkembang pasca perang dunia ke II.

Secara etimologi demokrasi sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu demos diartikan sebagai common people dan kratos sebagai indicates government or rule. Hal ini tidak terlepas dari pandangan

dunia yang percaya bahwa demokrasi merupakan wujud dari wajah dunia yang humanis. Prinsip demokrasi sendiri mengatasnamakan rakyat di seluruh elemennya. Biasanya konsep ini disebut sebagai governance from the people, of the people, by the people.

“Demokrasi hanyalah sebuah istilah, bangsa Indonesia dalam sejarahnya mempunyai konsep demokrasi yang lahir daripada budi luhur masyarakat, yaitu musyawarah yang berdasarkan permufakatan.”

Demokrasi kita bukan berarti sebuah demokrasi yang bebas tanpa

Diskursus Sistem Politik Kampus Demi Mencapai Substansi

Demokrasi Kampus yang IdealOleh : Ahmad Dafiq Ardiansyah

“Kita (Mahasiswa) adalah kehendak perjuangan sejarah”

Page 23: Swara Brawijaya

23

Opini

koridor yang jelas, demokrasi kita lahir dari nilai substansi budaya politik yang luhur dari rahim social conscience of man.

Esensi dari sebuah demokrasi sebenarnya adalah suatu alat untuk menjalankan sebuah proses dari suatu tatanan politik dinamis dan bersifat kompleks yang berdasarkan kehendak daripada kedaulatan rakyat. Dalam tatanan sivitas akademika UB kita sering menyebut demokrasi kampus belum mampu disempurnakan secara menyeluruh. Masih banyak kekurangan dan bentrokan rumusan fungsi lembaga kemahasiswaan. Kiblat dari demokrasi kampus pun belum jelas dan samar-samar.

Mengimajinasikan UB adalah negara berbentuk demokrasi yang terdapat lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif, kemudian di dalamnya terdapat elemen citizen dalam ranah ini adalah mahasiswa non struktural.

Prinsip corak demokrasi akan dianalisis dari pendapat John Locke dan Montesquieu tentang pembagian pola kekuasan terdiri dari tiga bagian yaitu

(i) eksekutif yang berfungsi sebagai menjalankan amanat UU yang dibuat legislatif. Dalam ranah kampus lembaga eksekutif ini merupakan Eksekutif Mahasiswa (EM), (ii) legislatif yang berfungsi sebagai perumus undang-undang. Dalam hal ini sivitas akademika UB menyebutnya sebagai Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM), (iii) yudikatif yaitu badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan UU memeriksa dan mengadilinya dengan bentuk laporan pertanggung jawaban.

Kita mengenal Kongres Mahasiswa (KM) yang di dalamnya terdapat lembaga Kemahasiswaan UB seperti halnya Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), DPM, EM, dan komponen mahasiswa lainya. Undang-Undang dalam sistem pemerintahan organisasi kampus disebut sebagai Anggaran Dasar Rumah Tangga (ADRT) yang memuat berbagai dasar intisari pokok dari sebuah program kerja yang dijalankan.

Sistem pemilihan umum tergambar seperti pada Pemira dalam memilih Presiden EM dan DPM. Kemudian di ranah fakultas kita mengenal Pemilwa. Perlu dikaji secara mendalam terkait sistem pemilihan ini. Majunya kandidat calon pada sistem pemilihan tersebut masih sebatas perseorangan. Masing-masing calon mendaftarkan diri dengan mengumpulkan KTM. Sayangnya, mahasiswa yang meminjamkan KTM kepada kandidat perwakilan mahasiswa cenderung tidak mengetahui ide apa yang akan dibawa dalam membangun sistem perpolitikan kampus nantinya.

Terjadi distorsi ketika demokrasi tidak memiliki wadah perjuangan kepentingan kolektif berupa ide. Demokrasi cenderung pragmatis, intinya siapa yang mampu ‘memasarkan’ dirinya dengan baik maka dialah yang akan terpilih.

Paradigma perjalanan mahasiswa dalam kontestasi politik tentunya harus mempunyai budaya ideologi yang tersusun dalam perbedaan cara berfikir,

Page 24: Swara Brawijaya

24

Opini

gagasan inovatif dan gerakan menyeluruh. Kontestasi ini juga harus tetap pada garis perjuangan yang sama, memperjuangkan nilai kedaulatan mahasiswa itu sendiri, dan bukan hanya mengatasnamakan individu.

Akar munculnya permasalahan ini adalah tidak ada sama sekali sebuah partai politik di dalam kampus, yang sebenarnya bermanfaat sebagai sarana (i) pendidikan politik bagi anggota kader partai dan elemen mahasiswa UB secara keseluruhan, (ii) penciptaan iklim yang kondusif bagi mahasiswa yang nantinya mampu untuk menjalankan sebuah konsep ideologi yang dibawa, (iii) penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik mahasiswa dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan kedaulatan mahasiswa, hal ini sangat berfungsi dalam menyeimbangkan pengelolaan sistem politik dalam ranah demokrasi kampus, (iv) partisipasi politik mahasiswa akan menjadi dinamis dan tidak monoton, dan (v) rekrutmen politik dalam proses pendidikan kepemimpinan yang berfungsi sebagai penggodokan kandidat dalam mengisi lembaga kedaulatan mahasiswa.

Hal semacam inilah nantinya menopang sebuah sistem demokrasi di lingkup lembaga kedaulatan mahasiswa UB dalam terselenggaranya demokrasi kampus yang ideal sebagai penggerak perjuangan mahasiswa.

Kemudian yang perlu dikaji kembali adalah tidak adanya Garis Besar Haluan Organisasi (GBHO) yaitu sebuah manifesto sebagai upaya penyusunan pernyataan kehendak dari kedaulatan mahasiswa itu sendiri. Dapat dipahami dalam setiap pergantian kepengurusan lembaga kemahasiswaan, manifesto politik belum tertuang secara menyeluruh. Setiap pergantian struktur mempunyai visi misi sesuai kepentingan masing-masing.

Irama sebuah kepengurusan dalam setiap lembaga kedaulatan mahasiswa pun sering tumpang tindih karena tidak adanya manifesto politik. Perspektif mengenai lembaga kemahasiswaan demikian melaju tanpa adanya ruh dalam setiap program yang dijalankanya. Apalagi banyak suara skeptis yang mengatakan Lembaga

Kedaulatan Mahasiswa (LKM) hanya sebatas Event Organizer ataupun lembaga yang tidak mencermikan Tridharma Perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan juga pengabdian masyarakat. Dengan adanya haluan manifesto politik itulah, LKM diharapkan tidak hanya sebagai pengisi tampuk kepemimpinan saja.

Politik itu adalah macthvorming dan machtsaanwending. Penggunaan dan pemanfaatan cita – cita politik, penyadaran ruang politik luas dalam sistem demokrasi menghasilkan demokrasi ‘tanpa rel’ yang tidak terbatas. Seringkali kita mendengar istilah mahasiswa kelas menengah ngehek, hedonis dan mahasiswa apatis, namun kita tidak melihat akar sebuah permasalahan realitas politik yang ada. Hal ini terjadi ketika mahasiswa tidak didasarkan pada landasan manifesto politik dan ideologi yang jelas.

Kompleksitas ini adalah hasil mode of production sistem politik kita. Cobalah bertanya, apakah sudah benar pendidikan dan sistem politik dalam kampus kita? Apakah kesadaran proses politik hanya bersifat momentum saja?

Hal yang telah dijabarkan di atas nantinya menjadi koreksi bersama dalam pendewasaan demokrasi di lingkup universitas. Kita harus sadar siapa diri kita dan dimana letak kemauan untuk bergerak bersama. Segera hilangkan kemandulan ide ‘bagaikan tubuh tanpa kepala’ dan lakukan perubahan secara menyeluruh dan mendasar.

Penulis adalah :Peneliti LPPM Center For

Culture And Frontier Studies Universitas Brawijaya

Kami mengapresiasi karya yang masuk berupa Opini, Cerpen, Resensi, Foto, Puisi, dan Karikatur.

Sertakan biodata singkatmu dan kirimkan ke: [email protected]

Page 26: Swara Brawijaya

26

Selamat JalanATAS DIWISUDANYA KELUARGA KAMI MENUJU

BELENGGU KEHIDUPAN SESUNGGUHNYA

YAN MULYANA, S. Pt.

A. HIKMAH RAMADHAN, S. AB.

THEOFILLUS RICHARD, S. IP.

Kadept Humas2013 - 2014

Pemimpin Redaksi2014-2015

Kadept Litbang2014-2015

Adalah hal yang mengecewakan saat akhirnya kita harus berpisah dengan kalian semua, terlebih hidup

diluar sana lebih berat dari kavling 10.

FIA - Ilmu Administrasi Bisnis 2011

Fapet - Peternakan 2011

FISIP - Ilmu Politik 2011

Page 27: Swara Brawijaya

27

Selamat JalanSirotol MustaqimSI KASEP

Page 28: Swara Brawijaya

28Ajeng G. M.