Top Banner
SURVEI CAKUPAN IMUNISASI DI PROVINSI SULAWESI TENGAH SYAMSUDDIN HM JAMALUDDIN SAKKUNG NUR HASNI HARUN NI WAYAN FUAD ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (a) Untuk mengetahui respon ibu balita terhadap program imunisasi; (b)Untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah; (c) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi Penelitian ini mengambil lokasi pada tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Ketiga kabupaten /kota tersebut adalah Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Parimo. Pengambilan ketiga kabupaten/kota ini dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa ketiga kabupaten tersebut dapat merepresentasifan keadaan sebagai berikut. Kabupaten Banggai memiliki cakupan tinggi akan tetapi mengalami KLB campak. Kabupaten Morowali merepresentasikan cakupan rendah dengan KLB tinggi dan Kabupaten Parimo merepresentasikan cakupan tinggi tetapi tidak mengalami KLB di Sulawesi Tengah. Langkah – langkah penentuan sampel adalah sebagai berikut : Untuk penentuan sampel lokasi kabupaten ditentukan dengan pendekatan purposive sampling. Sementara untuk penentuan sampel kecamatan dan sampel desa dilakukan secara cluster. Sedangkan penentuan sampel ibu bayi dilakukan secara snowball method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon ibu balita terhadap program imunisasi masih relatif rendah. Rendahnya respon tercermin pada masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi bayi dari berbagai antigen yang ada.Tingkat cakupan imunisasi dari 5 antigen yang ada adalah sebagai berikut : Cakupan imunisasi kumulatif untuk vaksin BCG adalah sebesar 88 %. Cakupan Imunisasi kumulatif untuk DPT 75,75 %, Sementara untuk cakupan imunisasi campak sebesar 25,7 %.Tingkat cakupan imunisasi kumulatif polio sebesar 91,3% Sedangkan cakupan imunisasi kumulatif untuk HB sebesar 76,5 %.Faktor yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi adalah sebagai berikut : (1). adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah sebelum berusia 1 bulan,(2) masih adanya keengganan ibu bayi untuk mengimunisasi karena takut resiko sakit pada anak.(3) Jarak rumah dengan tempat pelayananan imunisasi. (4) Kurang tetapnya jadual imunisasi pada posyandu-posyandu tertentu.
21

Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

Jun 07, 2015

Download

Documents

api-3711316

Survei Cakupan Imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

SURVEI CAKUPAN IMUNISASI DI PROVINSI SULAWESI TENGAH

SYAMSUDDIN HM JAMALUDDIN SAKKUNG

NUR HASNI HARUN NI WAYAN

FUAD

ABSTRAK Penelitian ini bertujuan (a) Untuk mengetahui respon ibu balita terhadap

program imunisasi; (b)Untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah; (c) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya cakupan imunisasi Penelitian ini mengambil lokasi pada tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi Tengah. Ketiga kabupaten /kota tersebut adalah Kabupaten Morowali, Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Parimo. Pengambilan ketiga kabupaten/kota ini dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa ketiga kabupaten tersebut dapat merepresentasifan keadaan sebagai berikut. Kabupaten Banggai memiliki cakupan tinggi akan tetapi mengalami KLB campak. Kabupaten Morowali merepresentasikan cakupan rendah dengan KLB tinggi dan Kabupaten Parimo merepresentasikan cakupan tinggi tetapi tidak mengalami KLB di Sulawesi Tengah. Langkah –langkah penentuan sampel adalah sebagai berikut : Untuk penentuan sampel lokasi kabupaten ditentukan dengan pendekatan purposive sampling. Sementara untuk penentuan sampel kecamatan dan sampel desa dilakukan secara cluster. Sedangkan penentuan sampel ibu bayi dilakukan secara snowball method. Hasil penelitian menunjukkan bahwa respon ibu balita terhadap program imunisasi masih relatif rendah. Rendahnya respon tercermin pada masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi bayi dari berbagai antigen yang ada.Tingkat cakupan imunisasi dari 5 antigen yang ada adalah sebagai berikut : Cakupan imunisasi kumulatif untuk vaksin BCG adalah sebesar 88 %. Cakupan Imunisasi kumulatif untuk DPT 75,75 %, Sementara untuk cakupan imunisasi campak sebesar 25,7 %.Tingkat cakupan imunisasi kumulatif polio sebesar 91,3% Sedangkan cakupan imunisasi kumulatif untuk HB sebesar 76,5 %.Faktor yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi adalah sebagai berikut : (1). adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah sebelum berusia 1 bulan,(2) masih adanya keengganan ibu bayi untuk mengimunisasi karena takut resiko sakit pada anak.(3) Jarak rumah dengan tempat pelayananan imunisasi. (4) Kurang tetapnya jadual imunisasi pada posyandu-posyandu tertentu.

Page 2: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

2

I. PENDAHULUAN

Pembangunan kesehatan yang telah dan tetap berlangsung sekarang ini

telah memberikan pengaruh yang cukup berarti terhadap perbaikan kesehatan

masyarakat. Kenyataan ini dapat dilihat dengan semakin membaiknya derajat

kesehatan masyarakat seperti angka kematian bayi yang semakin menurun,

angka kematian balita, dan angka kematian ibu juga memperlihatkan

kecenderungan yang semakin menurun serta umur harapan hidup yang semakin

meningkat. Tapi bila dibandingkan dengan negara-negara di Asean tingkat

derajat kesehatan masyarakat Indonesia justru menjadi terendah. Rendahnya

kinerja kesehatan ini tidak terlepas dari masih terbatasnya infrastruktur

kesehatan kita. Alokasi dana kesehatan masih sangat rendah. Keadaan ini sangat

berpengaruh pada implementasi program-program kesehatan.

Walaupun alokasi dana yang relatif terbatas jika dibandingkan program-program

kesehatan yang ada, Sebagai institusi yang bertanggung jawab terhadap masalah

kesehatan tetap melakukan beberapa strategi dalam upaya meningkatkan derajat

kesehatan masyarakat. Diharapkan dengan adanya strategi-strategi ini akan memberikan

dampak pada perbaikan pelayanan kesehatan yang selanjutnya akan memberikan

pengaruh pada perbaikan derajat kesehatan masyarakat.

Kematian Bayi, Kematian Balita, dan Kematian Ibu serta umur harapan hidup

merupakan indikator-indikator yang dapat digunakan untuk menilai keberhasilan

pembangunan di bidang kesehatan. Tinggi rendahnya angka kematian bayi dan balita

serta angka kematian ibu sangat berhubungan dengan keadaan sosial dan ekonomi serta

budaya masyarakat.

Hasil penelitian yang dilakukan oleh para pakar kesehatan menunjukkan bahwa

penyebab kematian bayi adalah penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I),

seperti tetanus, neonatorum, difteri, pertussis dan campak. Melalui program imunisasi di

masyarakat maka angka kematian bayi dapat diturunkan. Beberapa hal yang

mempengaruhi upaya meningkatkan dan mempertahan Universal Child Immunisation

(UCI) adalah pemantapan cold chain, peningkatan kemampaun pelayanan kesehatan

untuk menjangkau seluruh lapisan masyarakat, pemahaman keluarga dan tokoh

Page 3: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

3

masyarakat tentang pentingnya imunisasi serta upaya penggerakaan masyarakat (Rois,

2000 dalam Hariadi, 2001.)

Sehubungan dengan adanya keinginan kuat dari pemerintah untuk membangun

kesehatan masyarakat yang lebih baik di masa yang akan datang. Pemerintah telah

berupaya dengan maksimal untuk usaha tersebut. Sebagai wujud dari keseriusan

pemerintah dalam memperhatikan masalah kesehatan ini, maka langka awal yang harus

dibangun adalah membuat komitmen lalu komitmen dituangkan dalam bentuk kebijakan

dan program aksi. Salah satu program aksi pemerintah dalam upaya meningkatkan

harapan hidup serta menurunkan angka kematian bayi adalah dengan

mengimplementasikan program imunisasi. Penyakit-penyakit yang dapat dicegah

dengan program imunisasi ada 7 yaitu tuberkulosis, Difteri, pertusis, tetanus, polio,

campak dan hepatitis B.

Walaupun telah lama dilaksanakan program imunisasi ini, akan tetapi dalam

kenyataannya bahwa masih saja terdapat kejadian luar biasa terhadap penyakit –

penyakit yang dapat dicegah dengan program imunisasi. Data tahun 2006 berdasarkan

hasil laporan investigasi dan pemeriksaan dokter di Morowali telah terjadi kejadian luar

biasa (KLB) penyakit campak sebesar 364 kasus, sementara kejadian luar biasa (KLB)

campat juga terjadi di beberapa daerah lain di Sulawesi Tengah seperti Toli-Toli sebesar

31 kasus, Banggai sebesar 19 kasus dan Kabupaten Bangkep sebesar 21 kasus.

Masih tetap tingginya kejadian luar biasa (KLB) pada penyakit campak tidak

terlepas dari masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi baik untuk ibu hamil, bayi dan

wanita usia subur. Data tahun 2004 cakupan imunisasi campak di Propinsi Sulawesi

Tengah sebesar 90,1 %. Kemudian pada tahun 2005 tingkat cakupan imunisasi campak

menurun menjadi 74,3 %. Khusus Kabupaten Morowali yang banyak mengalami

kejadian luar biasa penyakit campak. Data tahun 2004 tingkat cakupan imunisasi

campak sebesar 79,6 % dan pada tahun 2005 menurun menjadi 38,3 %. Penurunan

tingkat cakupan ini telah memberikan pengaruh yang cukup berarti pada peningkatan

kasus kejadian luar biasa penyakit campak di daerah ini. Data ini pula membuktikan

bahwa ada hubungan yang cukup berarti antara peningkatan cakupan imunisasi dengan

kasus kejadian yang luar biasa terhadap suatu penyakit yang dapat dicegah dengan

imunisasi

Page 4: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

4

Keadaan tersebut di atas memberikan pengaruh pula pada adanya deferensiasi

kematian bayi pada masing-masing daerah. Meskipun angka kematian bayi dari

beberapa kali sensus dan survei yang telah dilakukan selama ini memperlihatkan

kecenderungan yang makin menurun, akan tetapi penurunan tersebut pada masing-

masing daerah tidak relatif sama. Ada daerah-daerah yang relatif cepat penurunan angka

kematian bayi dan balitanya dan ada pula daerah-daerah yang relatif lamban. Perbedaan

ini mungkin disebabkan oleh karena adanya perbedaan dalam beberapa hal antara lain

cakupan imunisasi serta mungkin akses masyarakat terhadap sarana-sarana kesehatan

relatif terbatas.

Melihat kenyataan dari latar belakang tersebut di atas itulah yang mendorong

untuk melakukan penelitian survei cakupan imunisasi dan juga sebagai bahan evaluasi

terhadap program –program kesehatan yang dilaksanakan selama ini. Hasil dari

penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih aktual, sehingga dapat

dilakukan intervensi kebijakan kesehatan yang lebih tepat bagi pemerintah khususnya

dalam strategi pemberian imunisasi. Dengan demikian sasaran kebijakan untuk

menekan angka kematian bayi, dan balita serta kematian ibu serta peningkatan

kesejahteraan penduduk bisa tercapai.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka yang menjadi

pertanyaan penelitian ini adalah Bagaimana respon ibu balita terhadap program

imunisasi; Sejauh mana tingkat cakupan imunisasi di Provinsi Sulawesi Tengah dan

Faktor-faktor apa yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi di Provinsi

Sulawesi Tengah?

II. TUJUAN PENELITIAN DAN KEGUNAAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan (a) Untuk mengetahui respon ibu balita terhadap

program imunisasi; (b)Untuk mengetahui tingkat cakupan imunisasi di Provinsi

Sulawesi Tengah; (c) Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan rendahnya

cakupan imunisasi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi pemerintah dalam

menentukan arah kebijakan khususnya pada :

1. Dinas Kesehatan, dapat dijadikan pedoman untuk menentukan arah kebijakan

khususnya program imunisasi, sehingga resiko kesakitan dan kematian yang

Page 5: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

5

disebabkan oleh penyakit –penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi di

Provinsi Sulawesi Tengah bisa diturunkan.

2. Bagi pengembangan ilmu, hasil penelitian ini dapat menjadi referensi dalam

upaya pengembangan penelitian khususnya yang berkaitan dengan masalah

program imunisasi.

III. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep dan definisi

Imunisasi adalah pemacuan reaksi kekebalan dengan menggunakan organisme

dalam dosis yang sangat kecil yang terlalu lemah untuk menyebabkan timbulnya suatu

penyakit. (Sitorus, 1996 :136). Salah satu penyebab penyakit adalah berbagai jenis

kuman atau mikroba (bakteri, virus, parasit), atau zat racun dari kuman tersebut (racun

difteria, tetanus) kesemuanya disebut antigen. Pemberian antigen ini tidak dapat begitu

saja karena justru akan membuat bayi atau anak sakit.Maka sebelumnya antigen tersebut

harus dilemahkan atau dimatikan terlebih dulu sebelum pada bayi. Antigen yang berasal

dari kuman yang dimatikan atau dilemahkan ini disebut vaksin. Jadi vaksin adalah bibit

penyakit yang sudah dilemahkan yang digunakan untuk vaksinasi. Vaksinasi adalah

penanaman vaksin ke dalam tubuh manusia untuk mengaktifkan antibodinya agar orang

kebal terhadap penyakit tersebut. Jadi imunisasi bertujuan untuk membentuk

kekebalan tubuh terhadap sesuatu penyakit.

Program immunisasi adalah sebuah program aksi yang diluncurkan oleh

pemerintah dalam upaya mengeliminir resiko kesakitan dan kematian khususnya

kematian bayi yang disebabkan oleh penyakit-penyakit yang dapat dicegah dengan

immunisasi. Tujuan umum dari program ini adalah menurunnya angka kesakitan dan

kematian akibat penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Sementara

tujuan khusunya adalah tercapainya UCI desa, tercapainya Erapo (Eradiksi polio) yaitu

tidak adanya virus polio liar, tercapainya ETN (Eliminasi Tetanus Neonatorum),

tercapainya recam (reduksi campak), dan tercapainya mutu pelayanan imunisasi yang

standar.

Setiap manusia selalu menjadi sasaran serangan mikro organisme yang tersebar di

mana-mana, dan tubuh kita telah mengembangkan sistem kekebalan yang efektif untuk

melawan serangan mikro organisme tersebut. Untuk melawan organisme yang masuk,

Page 6: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

6

tubuh kita membentuk antibodi. Tubuh kita juga memproduksi mekanisme perlawanan

lainnya, seperti sel-sel darah putih yang melahap organisme yang masuk ke tubuh kita,

dan hati yang menghancurkan racun yang dihasilkan oleh organsime tersebut. Kita perlu

mendapat serangan dari organisme tertentu (cukup sekali saja) untuk memacu tubub

membentuk anti bodi yang akan terus berfungsi seumur hidup kita.(Ronald H. Sitorus,

1996).

Kemajuan ilmu pengetahuan dan tehnolog, khususnya tehnologi kedokteran

telah memberikan pengaruh yang cukup berarti dalam pembangunan di bidang

kesehatan. Akibat dari pengembangan tehnologi ini banyak sekali penyakit-penyakit

yang sudah mampu dieliminasi dengan adanya vaksin sebagai intrumen untuk

membentuk zat antibodi yang menyebabkan adanya kekebalan tubuh manusia untuk

menghadang antigen kuman yang masuk dalam tubuh. Keberhasilan manusia dalam

menemukan vaksin untuk memerangi campak, telah memberikan pengaruh yang cukup

berarti dalam menurunkan resiko kesakitan dan kematian yang disebabkan oleh campak.

Selanjutnya para ahli kedokteran pula telah menemukan suatu vaksin untuk memerangi

rubella yaitu suatu penyakit infeksi yang apabila ditularkan oleh seorang ibu selama 3

bulan pertama dari masa kehamilan, akan mengandung resiko tinggi dalam

menimbulkan keterbelakangan mental serta cacad jasmani pada si bayi yang

dikandungnya. (Sitorus, 1996 : 136).

Kekurangan gizi merupakan satu rentetan yang saling kait mengkait antara satu

dengan lainnya. Dari segi epidemilogik kejadian ini merupakan interaksi antara

lingkungan (environment) dan manusia (host) melalui agennya yaitu kekurangan energi

dan protein pada tingkat sel-sel tubuh. Lingkungan sendiri dibagi menjadi dua yaitu

lingkungan yang bersifat makro misalnya berupa kemiskinan (poverty), tingkat

pendidikan yang rendah, tingkat kesehatan yang jauh dari memuaskan, produktifitas

yang rendah, neraca ekononi yang tidak menguntungkan, utilisasi sumber daya alam

yang tidak tepat, dan sebagainya. Kesemuanya ini menimbulkan tidak cukupnya

produksi pangan dan rendahnya tabungan serta terjadinya ketimpangan dalam

pendistribusian. Kedua, lingkungan yang bersifat mikro, misalnya adanya daya beli

masyarakat yang rendah, konsep yang salah mengenai makanan dan pengolahannya

serta distribusi makanan diantara anggota rumah tangga yang tidak merata, pola

Page 7: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

7

penyapihan (penghentian menyusui anak) serta pemberian makan tambahan yang cukup

(Munir, 1986).

Pendidikan ibu yang tinggi memberikan kontribusi bagi dirinya dalam memahami

tentang masalah-masalah kesehatan melalui bacaan, media cetak dan media elektronik.

Sebagai implikasi dari pemahaman terhadap masalah-masalah kesehatan tersebut akan

membentuk suatu tingkat keterampilan yang baik terhadap masalah kesehatan serta

adanya waktu yang dimanfaatkan dalam perawatan anak akan berpengaruh langsung

terhadap kelangsungan hidup balita. Karena hubungan biologis antara ibu dan bayinya

selama masa kehamilan dan masa menyusui, kesehatan dan status gizi ibu serta pola

reproduksinya akan mempengaruhi kesehatan dan kelangsungan hidup anaknya.

Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988) mengemukan bahwa tingkat pendidikan dapat

mempengaruhi kelangsungan hidup balita melalui peningkatan keterampilan dalam

upaya perawatan kesehatan yang berkaitan dengan kontrasepsi, gizi, ilmu kesehatan,

pencegahan dan pengobatan penyakit.

Di samping pendidikan ibu, pendidikan ayah juga ikut memberi peranan dalam

menurunkan angka mortalitas balita. Mosley, 1983 (dalam Singarimbun, 1988)

menyatakan pendidikan ayah merupakan faktor yang sangat mempengaruhi aset rumah

tangga dan komoditi pasar yang dikonsumsi oleh rumah tangga. Pendidikan ayah dapat

mempengaruhi sikap dan kecenderungan dalam memilih barang-barang konsumsi,

termasuk pelayanan pengobatan anak. Efek ini merupakan hal yang paling berarti untuk

kelangsungan hidup anak pada saat ayah yang lebih berpendidikan menikah dengan

wanita yang kurang berpendidikan.

Bila seseorang dikenai sesuatu penyebab penyakit atau ditulari bibit penyakit,

belum tentu akan menjadi sakit, karena masih tergantung pada beberapa hal. Salah satu

diantaranya adalah daya tahan tubuh yang tinggi baik jasmani, rohani maupun sosialnya

dapat menghindarkan manusia dari berbagai jenis penyakit. Menurut Entjang (1993)

daya tahan tubuh ini dapat dipertinggi dengan :

1. Makanan yang sehat, cukup kualitas maupun kuantitasnya

2. Vaksinasi untuk mencegah penyakit infeksi tertentu

3. Cara hidup teratur seperti bekerja, beristirahat, berekreasi dan menikmati hiburan

pada waktunya

4. Pemeliharaan pembinaan jasmani dengan olah raga secara teratur

Page 8: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

8

5. Patuh pada ajaran agama

6. Menambah pengetahuan baik dengan menuntut ilmu di bangku sekolah ataupun dari

pengalaman-pengalaman hidup dalam masyarakat.

Daya tahan masyarakat tergantung pula daya tahan perorangan yang membentuk

masyarakat tersebut. Makin tinggi daya tahan perorangan, serta makin banyak

perorangan yang meningkatkan daya tahan tubuhnya, akan makin tinggi pula daya tahan

masyarakat, sehingga kesehatan masyarakat akan lebih terjamin.

Keberhasilan daripada peningkatan kesehatan seseorang sangat tergantung dari

perilaku kesehatannya. Notoatmodjo (1993) menyatakan bahwa perilaku seseorang

terhadap sakit atau penyakit, yaitu bagaimana seseorang merespon baik secara pasif

(mengetahui, bersikap, dan mempersepsikan) tentang penyakit dan rasa sakit yang

ada pada dirinya dan luar dirinya, maupun aktif (tindakan) yang dilakukan sehubungan

dengan penyakit dan sakit tersebut.

Selanjutnya Notoatmodjo, (1993) menyatakan bahwa proses dan terbentuknya

perilaku tersebut dipengaruh oleh faktor intern yang mencakup pengetahuan,

kecerdasan, persepsi, emosi, motivasi, dan sebagainya yang berfungsi untuk mengolah

rangsangan dari luar. Sedangkan faktor ekstern meliputi lingkungan sekitar, baik fisik

maupun non fisik seperti iklim, manusia, sosial, ekonomi, kebudayaan dan sebagainya.

2.2 Konsep dasar Terjadinya Penyakit.

Suatu penyakit timbul akibat dari beroperasinya berbagai faktor baik dari agen,

induk semang atau lingkungan atau yang dikenal dengan istilah penyebab majemuk

(multiple causation of disease) sebagai lawan dari penyebab tunggal (single causation).

Menurut para ahli berdasarkan hasil penelitian-penelitian yang pernah dilakukan bahwa

model-model timbulnya penyakit dewasa ini dikenal tiga model yaitu (1) segi tiga

epidemologi (the epidemologic triangle),Menurut model ini ada ada tiga faktor yang

menyebabkan penyakit yaitu : penyebab penyakit (agen), Lingkungan (environment)

dan Induk semang (host). (2) Jaring-jaring sebab akibat (the web of causation). Menurut

model ini adanya perubahan dari salah satu faktor akan mengubah keseimbangan antara

mereka, yang berakibat bertambah atau berkurangnya penyakit yang bersangkutan. dan

(3) roda (the weel). Model ini memerlukan identifikasi dari berbagai faktor yang

berperan dalam timbulnya penyakit dengan tidak begitu menekankan pentingnya agen.

Page 9: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

9

Di sini dipentingkan hubungan antara manusia dengan lingkungan hidupnya. Besarnya

pengaruh dari masing-masing lingkungan tergantung pada penyakit yang

bersangkutan.(Notoatmodjo, 2003 : 32).

2.3 Penyakit Menular

Yang dimaksud dengan penyakit menular adalah penyakit yang dapat ditularkan

atau berpindah dari orang yang satu ke orang yang lain, baik secara langsung maupun

melalui perantaraan. Penyakit menular ditandai dengan hadirnya agen atau penyebab

penyakit yang hidup dan dapat berpindah. Suatu penyakit dapat menular dari orang

yang satu kepada orang yang lain, ditentukan oleh tiga faktor, yaitu : Agen (penyebab

penyakit), Host (induk semang) dan route of transmission (jalannya penularan). Apabila

diumpamakan berkembangnya suatu tanaman, dapat diumpamakan sebagi biji (agen)

tanah (host) dan iklim (route of transmission).

Dalam hal penyakit menular, maka terdapat agen-agen infeksi (penyebab

infeksi). Mahluk hidup sebagai pemegang peranan di dalam epidemiologi yang

merupakan penyebab penyakit dapat dikelompokkan menjadi:

1. Golongan virus, misalnya influenza, trachoma, cacar dan sebagainya.

2. Golongan riketsia, misalnya typus

3. Golongan bakteri, misalnya disentri

4. Golongan protozoa, mnisalnya malaria, filaria, schistosoma dan sebagainya.

5. Golongan jamur yakni bermacam-macam cacing perut seperti ascaris (cacing

gelang), cacing kremi, cacing pita, cacing tambang dan sebagainya.

Kemampuan agen penyakit ini untuk tetap hidup pada lingkungan manusia adalah

suatu faktor penting di dalam epidemiologi infeksi. Setiap bibit penyakit (penyebab

penyakit ) mempunyai habitat sendiri-sendiri, sehingga ia dapat tetap hidup yang

disebut reservoar, yang diartikan sebagai (1) habitat dimana bibit penyakit tersebut dan

berkembang (2) survival dimana bibit penyakit tersebut sangat tergantung pada habitat,

sehingga ia dapat tetap hidup.

Page 10: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

10

IV. METODE PENELITIAN

Penelitian ini mengambil lokasi pada tiga kabupaten di Provinsi Sulawesi

Tengah. Ketiga kabupaten /kota tersebut adalah Kabupaten Morowali,

Kabupaten Banggai, dan Kabupaten Parimo. Pengambilan ketiga kabupaten/kota

ini dilakukan dengan purposive sampling dengan pertimbangan bahwa ketiga

kabupaten tersebut dapat merepresentasifan keadaan sebagai berikut. Kabupaten

Banggai memiliki cakupan tinggi akan tetapi mengalami KLB campak.

Kabupaten Morowali merepresentasikan cakupan rendah dengan KLB tinggi

dan Kabupaten Parimo merepresentasikan cakupan tinggi tetapi tidak

mengalami KLB di Sulawesi Tengah.

Langkah –langkah penentuan sampel adalah sebagai berikut : Untuk

penentuan sampel lokasi kabupaten ditentukan dengan pendekatan purposive

sampling. Sementara untuk penentuan sampel kecamatan dan sampel desa

dilakukan secara cluster. Sedangkan penentuan sampel ibu bayi dilakukan

secara snowball method.

Dalam upaya untuk mendapatkan informasi yang lebih valid pada

penelitian ini, maka ada 2 sumber data yang diperlukan yaitu sumber data

primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer berasal dari informasi

ibu bayi yang menjadi responden dalam penelitian ini. Adapun yang menjadi

tehnik pengumpulan data primer adalah sebagai berikut :

1. Observasi (Pengamatan)

Yaitu melakukan pengamatan langsung di lapangan terhadap obyek yang diteliti.

Pengamatan dilakukan pada aktifitas pegawai dalam melakukan pelayanan kepada

masyarakat serta kegiatan lain yang berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya.

2. Interview (wawancara)

Wawancara adalah merupakan salah satu tehnik yang dipergunakan dalam

menjaring informasi yang dibutuhkan dalam melakukan penelitian ini.

Sebagai instrumen yang lebih handal dalam merekam informasi, maka

peneliti menggunakan dua pendeketan wawancara yaitu pendekatan

wawancara terstruktur dengan bantuan kuesioner dan pendekatan wawancara

tidak terstruktur yang dilakukan untuk mendapatkan data terutama dari

Page 11: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

11

informasi kunci yang dianggap paling mengetahui dan memahami tentang

cakupan imunisasi dan kendala dalam meningkatkan cakupan imunisasi.

Dalam upaya untuk lebih memudahkan penelusuran penelitian ini, maka

penjelasan secara operasional tentang variabel-variabel penelitian mutlak diperlukan

dalam kontek penelitian ini. Adapun yang menjadi variabel dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut :

1. UCI (Universal Child Immunization) adalah sebuah indikator untuk mengukur

tercapainya imunisasi dasar lengkap ≥ 80 % sebelum anak berusia 1 tahun.

2. Tingkat cakupan imunisasi adalah persentase bayi yang telah mendapatkan

imunisasi pada masing-masing penyakit yang memiliki vaksin pada program

imunisasi.

3. Pengetahuan ibu tentang imunisasi adalah sejauhmana pemahaman ibu tentang

imunisasi yang diukur dengan pendekatan skala Likers.

4. Respon ibu tentang imunisasi adalah merefleksikan tanggapan ibu akan imunisasi

anaknya

5. Status imunisasi lengkap apabila seorang bayi yang berumur 12 bulan telah

mendapatkan 12 kali vaksin dari 5 antigen yang ada.

Untuk menganalisis sejauhmana tingkat cakupan imunisasi di daerah penelitian,

maka metode analisis yang digunakan adalah metode deskriptif. Sedangkan untuk

menganalisis tentang pengetahuan serta respon dan cakupan imunisasi pada masing-

masing daerah penelitian adalah dengan menggunakan analisis Chi-Square.

VI. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

1. Pendidikan Responden

Pendidikan responden dalam penelitian lebih bervariasi, ada yang berpendidikan

sekolah SD tidak tamat, sebanyak 39 responden. Dari 39 responden yang berpendidikan

SD tidak tamat tersebut yang relatif besar ada di wilayah Kabupaten Banggai yaitu

sebesar 46,2 %, kemudian disusul dengan kabupaten Parimo 28,2 % dan Kabupaten

Morowali sebesar 25,6 %. Kemudian pengamatan terhadap Pendidikan SD, 37,0 %

terdapat di Kabupaten Banggai kemudian disusul Kabupaten Parimo sebesar 35,9 %

dan 27,2 % lainnya di Kabupaten Morowali.

Page 12: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

12

Kemudian pengamatan terhadap pola distribusi responden berdasarkan

pendidikan lanjutan pertama memperlihatkan pola sebaliknya. Kabupaten Parimo justru

responden yang lebih tinggi berpendidikan SLTP disusul Kabupaten Banggai sebesar

33,6 % dan menempatai jumlah respondren terrendah pendidikan SLTPnya adalah

Kabupaten Morowali. Kemudian pengamatan terhadap pola distribusi responden

menurut pendidikan SLTA dan Pendidikan Tinggi serta Akademi justru

memperlihatkan pola terbalik lagi yakni Kabupaten Morowali menempati urutan

tertinggi responden yang memiliki pendidikan SLTA dan Pendidikan Tinggi. Dari

kedua strata pendidikan tersebut Kabupaten Morowali menempati urutan pertama dan

menyusul Kabupaten Banggai dan Kabupaten Morowali (Tabel 1).

2. Pendapatan Responden

Pola distribusi pendapatan responden menurut tempat tinggal juga

memperlihatkan keragaman. Sebagian besar dari responden yaitu 306 responden yang

terpilih dalam penelitian ini memiliki pendapatan antara 200000 hingga 500.000. Dari

306 responden tersebut 31,0 % bertempat tinggal di Kabupaten Parimo, Sementara 36,9

% bertempat tinggal di Kabupaten Banggai dan lainnya sebesar 32,0 % bertempat

tinggal di Kabupaten Morowali.

Sementara untuk responden yang berpendapatan 1.500.000 ke atas sebagian

besar (33,9 %) responden bertempat tinggal di Kabupaten Morowali. Disusul Kabupaten

Banggai dan Kabupaten Parimo.

Jika dilihat dari aspek pendapatan, tampak responden Kabupaten Morowali dan

Kabupaten Banggai memiliki pendapatan yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan

Kabupaten Parimo akan tetapi jika dilihat dari aspek cakupan iminisasi justru kabupaten

Parimo lebih tinggi tingkat cakupannya dibandingkan dengan kabupaten Morowali

maupun kabupaten Banggai. Keadaan ini memberikan gambaran bahwa pendapatan

tidak memberikan pengaruh yang berarti dalam cakupan imunisasi. Demikian pula

dengan aspek pendidikan. Hasil uji beda antara pendidikan dan cakupan imunisasi tidak

memperlihat perbedaan yang berarti.

Page 13: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

13

3. Pemberian Vaksin Imunisasi

Aktifitas untuk mengetahui seorang bayi telah mendapat imunisasi lengkap atau

belum adalah dengan melihat di Kartu Menuju Sehat (KMS) dimana setiap kotak

imunisasi sudah terisi penuh atau telah mendapat imunisasi campak setelah berumur 9

bulan sampai sebelum satu tahun.

Perilaku dari 460 responden yang benar tentang upaya untuk mengetahui

imunisasi lengkap, mengalami peningkatan untuk bayi yang telah memperoleh vaksin

imunisasi lengkap (12 kali) sebanyak 103 responden (22,4%) yakni vaksin BCG 1 kali,

DPT 3 kali, polio 4 kali, campak 1 kali dan hepatitis B 3 kali. Nilai proporsi pemberian

vaksin imunisasi yang bervariasi juga ditentukan dengan umur bayi dari responden,

berdasarkan hal tersebut mempengaruhi frekwensi jumlai pemberian vaksin imunisasi.

Pemberian vaksin Bacillus Calmette-Guerin (BCG) yang diberikan pada bayi

yang baru lahir atau umur 0-1 bulan terutama bayi lahir di rumah sakit/bidan praktek

menunjukkan peningkatan proporsi bayi responden yang telah memperoleh vaksin BCG

sebanyak 405 responden dari 460 responden (88%), masih adanya bayi yang belum

memperoleh vaksin BCG (12%) dikarenakan berbagai alasan diantaranya takut, sibuk

dan tempat imunisasi yang jauh.

Pemberian vaksin Difteria, Pertusis dan Tetanus (DPT) pada bayi sebanyak 3

kali (DPT1, DPT2 dan DPT 3) dengan selang waktu pemberian minimal 4 minggu,

sehingga pemberian vaksin DPT berdasarkan umur bayi. Variasi umur bayi responden

menyebabkan proporsi jumlah bayi responden memperoleh vaksin DPT sebanyak 1 kali

terdiri atas 85 bayi responden (18,5%), sebanyak 2 kali terdiri atas 82 bayi responden

(17,8%) dan sebanyak 3 kali terdiri atas 181 bayi responden (39,3%). Hal tersebut

menunjukkan sebagian besar bayi responden telah memperoleh vaksin DPT (75,7%)

dari 460 responden.

Pemberian imunisasi campak merupakan upaya potensial untuk mecegah wabah

penyakit campak, pemberian vaksin campak yang dilakukan pada bayi pada usia 9

bulan menyebabkan menurunnya kepedulian ibu untuk membawa bayi untuk

mendapatkan vaksin campak. Dari 460 responden hanya 118 bayi responden (25,7%)

yang sudah mendapatkan vaksin campak, sisanya 342 bayi responden (74,3%) belum

mendapatkan vaksin campak. Berdasarkan hal tersebut maka perlu diadakan tindakan

Page 14: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

14

untuk memberikan pemahaman terhadap ibu tentang manfaat pemberian vaksin campak

dan dampak yang ditimbulkankan.

Menurunnya cakupan imunisasi campak pada daerah riset disebabkan oleh

Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) yang telah dijalani bayi pada saat pemberian

vaksin sebelumnya yang diduga membuat bayi kesakitan (gejala panas) dan bahkan

mengalami kematian.

Proporsi bayi responden yang telah memperoleh vaksin imunisasi polio hampir

setengah (44,6%), menunjukkan peningkatan disebabkan jadwal penerimaan vaksin

polio yang teratur oleh petugas kesehatan, selain itu pemahaman ibu tentang manfaat

dan dampak bagi bayi yang tidak menerima vaksin polio. Walaupun sekitar 40 bayi

responden (8.7%) yang belum memperoleh vaksin polio, hal tersebut menunjukkan

masih ada responden yang tidak mau membawa bayi untuk diberi vaksin imunisasi

disebabkan berbagai alasan. Variasi pada bayi responden yang telah memperoleh vaksin

polio disebabkan oleh variasi umur bayi responden yang tidak merata, seiring dengan

pemberian vaksin polio yang diberikan dalam selang waktu pemberian minimal 4

minggu.

Pemberian imunisasi pada bayi dengan menggunakan vaksin HB yang dilakukan

selama 3 kali menunjukkan variasi proporsi yang disebabkan oleh variasi umur bayi

responden. Bayi responden yang telah memperoleh vaksin imunisasi HB sudah 3 kali

mencapai 167 bayi responden (36,3%), bayi yang telah memperoleh vaksin imunisasi 1

kali mencapai 20,7%, hal ini terjadi pada bayi yang lahir dipuskesmas langsung

menerima vaksin HB dalam kurun waktu 24 jam pertama kelahiran.

Masih adanya bayi responden yang belum pernah memperoleh vaksin HB

mencapai 108 bayi responden (23,5%) menunjukkan bahwa masih ada responden yang

tidak memahami menfaat imunisasi HB.

Status vaksin yang diberikan pada imunisasi rutin pada bayi adalah Vaksin BCG

1 kali, DPT 3 kali, Polio 4 kali, campak 1 kali dan HB 3 kali. Distribusi status imunisasi

yang tidak lengkap artinya ada 357 bayi responden (77,6%) yang rata-rata baru

memperoleh imunisasi 1 hingga 11 kali. Proporsi 22,4% yang telah memperoleh vaksin

imunisasi lengkap artinya sekitar 103 bayi responden telah memperoleh 12 kali vaksin

imunisasi.

Page 15: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

15

Alasan responden yang tidak mengimunisasikan bayinya sebagian besar adanya

budaya pada masyarakat yang tidak mengizinkan anaknya keluar rumah karena belum

berumur 1 bulan, dari 460 responden sekitar 37 responden (8.0%) yang memberikan

alasan tersebut. Namun, sebagian besar mencapai 78,5% (361 responden) yang tidak

memberikan alasan tidak mengimunisasikan bayinya karena memang sebagian besar

responden telah mengimunisasikan bayinya walaupun belum lengkap.

4. Reaksi Pada Tubuh Bayi Atau Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI)

Peningkatan jawaban responden yang merasakan defek pemberian vaksin

imunisasi mencapai 63,3% (291 responden dari 460 responden) dengan variasi reaksi

yang berbeda-beda diantaranya peningkatan suhu tubuh mencapai 41,5%, demam

19,6%, bekas suntikan bengkak 1,3% dan Diare 0,7%. Reaksi yang terjadi pada bayi

setelah memperoleh vaksin imunisasi merupakan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi

(KIPI) berupa kejadian kesakitan, hal itu terjadi karena reaksi vaksin atau gejala yang

timbul dipicu oleh vaksin walaupun diberikan secara benar karena sifat dasar dari

vaksin tersebut.

Kejadian reaksi setelah imunisasi selain disebabkan vaksin juga faktor kebetulan

ditemukannya kejadian yang sama disaat bersamaan pada masyarakat setempat dengan

karakter serupa tetapi tidak mendapat imunisasi (adanya jawaban responden gejala diare

yang merupakan faktor kebetulan), reaksi suntikan juga merupakan penyebab kejadian

ikutan pasca imunisasi misalnya rasa sakit dan bengkak.

Walaupun adanya reaksi atau kejadian ikutan pasca imunisasi tidak terlalu

berdampak secara proporsional terhadap sikap responden untuk tetap melanjutkan

imunisasi berikutnya mencapai lebih dari setengah responden (61,7%) atau sekitar 284

responden dari 460 responden, dengan alasan sebagian besar menyatakan supaya

anaknya tetap sehat dan kebal terhadap penyakit (61,1%) atau 281 responden, hal ini

menunjukkan adanya pemahaman ibu tentang manfaat dan dampak yang timbul akibat

tidak diimunisasinya bayi.

Masih adanya responden yang tidak melanjutkan imunisasi akibat reaksi pasca

imunisasi (37,2%) atau 171 responden disebabkan reaksi suntikan tidak langsung yakni

rasa takut dan kurangnya pengetahuan responden terhadap imunisasi. Gejala klinis yang

Page 16: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

16

timbul secara cepat maupun lambat yang menyebabkan terjadinya gejala yang berat

pada bayi menyebabkan responden trauma melakukan imunisasi lanjutan.

5. Pelayanan Kesehatan Dalam Penyelenggaraan Imunisasi

Reaksi yang terjadi karena pemberian imunisasi atau KIPI menyebabkan bayi

menjadi sakit sehingga terjadi aksi terhadap responden untuk membawa bayi untuk

berobat ketempat pelayanan kesehatan yang ada di daerah riset. Peningkatan proporsi

responden membawa bayi kepuskesmas (30,2%), Polindes (30%) dan posyandu (27%)

menunjukkan pemahaman responden tentang tempat berobat yang benar.

Ketersediaan pelayanan kesehatan sampai ke desa menunjukkan perhatian

pemerintah terhadap pentingnya hidup sehat bagi masyarakat dan menunjukkan pada

masyarakat tempat berobat yang benar dan tepat, dengan jarak rumah rumah yang tidak

terlalu jauh rata-rata kurang dari 1 kilometer 73,3% (337 responden) menyebabkan

kunjungan ketempat berobat tersebut meningkat.

Pengorganisasian dan ketenagaan dalam pelaksanaan imunisasi sebagian besar

responden menjawab dilakukan oleh petugas kesehatan (78,5%) atau 361 responden

mengatakan petugas kesehatan yang melakukan imunisasi, selebihnya dilakukan oleh

bidan desa yang telah mengikuti pelatihan untuk tenaga petugas imunisasi sekitar 96

responden (20,9%). Sekitar 0,7% yang tidak menjawab.

Petugas kesehatan yang sangat tempat memberikan imunisasi karena pelayanan

yang cukup (8.5%), baik (64,3%), dan sangat baik (25%). Pelayanan yang rata-rata baik

yang diberikan petugas kesehatan merupakan sugesti terhadap responden untuk tetap

melakukan imunisasi terhadap bayinya.

Anggapan responden bahwa yang paling tepat memberikan imunisasi adalah

petugas kesehatan mencapai 329 responden (71,5%) dan bidan desa mencapai 113

responden (24, %) menunjukkan pemahaman responden bahwa petugas kesehatan dan

bidan desa mempunyai kualifikasi tentang program dan pelayanan imunisasi dengan

reaksi yang terjadi atau KIPI. Ketersediaan petugas kesehatan pada lokasi riset

menunjukkan tingkat kepercayaan responden yang meningkat tentang manfaat

imunisasi.

Page 17: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

17

6. Pemahaman Responden Tentang Program Imunisasi

Pengetahuan tentang tujuan imunisasi dapat dinilai secara kuantitatif jumlah

responden yang mengalami peningkatan pengetahuan sebesar 78,3% (360 responden)

menjawab tujuan imunisasi menurunkan angka kesakitan atau kematian dari penyakit

yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I). Pengetahuan tentang Kejadian Ikutan

Pasca Imunisasi (KIPI) dapat dinilai tidak mempengaruhi terhadap pemahaman

responden tentang tujuan program imunisasi tersebut. Perilaku responden yang tetap

melakukan imunisasi terhadap bayinya karena telah mendengar program imunisasi dan

manfaatnya, peningkatan tersebut ditunjukkan dengan sekitar 456 responden dari 460

responden (99,6%) pernah mendengar program imunisasi tersebut.

Dari 460 responden menyatakan pernah mendengar program dan penjelasan

tentang imunisasi dari petugas kesehatan sebanyak 345 responden (75,0%), Radio dan

televisi sebanyak 73 responden (15,8%), petugas KB dan lainnya sebanyak 41

responden (8,9%) dan 1 responden (0,2%) yang menyatakan tidak pernah. Informasi

tersebut berguna dalam menentukan bentuk intervensi khususnya menetapkan serta

mengembangkan metode yang tepat dalam penyebaran informasi kesehatan pada

sasaran.

7. Pengaruh Faktor Jarak

Jarak tempat tinggal antara pusat pelayanan imunisasi dengan tempat tinggal

dapat berpengaruh terhadap kecenderungan ibu balita untuk melakukan imunisasi pada

anaknya. Ada beberapa faktor yang berhubungan dengan faktor jarak ini. Pertama :

Apabila jarak antara tempat pelayanan imunisai dengan rumah tempat tinggal ibu dan

kesulitan alat transportasi, maka kecenderungan ibu untuk melakukan imunisasi anak

akan berkurang. Kedua; Apabila jadual imunisasi tidak tepat waktu, walaupun ada

dukungan transportasi, kecenderungan mengimunisasi kemungkinan akan tetap rendah.

Data hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin dekat rumah tempat tinggal ibu bayi

dengan tempat pelayanan, maka semakin tinggi kemungkinan seorang untuk melakukan

imunisasi kepada anaknya. Data hasil penelitian ini sejalan dengan pernyataan tersebut

di atas. Dari 405 ibu bayi yang pernah melakukan imunisasi pada anaknya, 73, 1 % di

antaranya adalah mereka yang memiliki rumah yang jaraknya dengan tempat imunisasi

Page 18: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

18

kurang dari 1 km. Sementara mereka yang rumahnya lebih dari 4 km dari tempat

pelayanan imunisasi hanya sebesar 1,7 %.

Hasil uji beda antara jarak dengan kemungkinan imunisasi juga membuktikan

pernyataan tersebut di atas. Hasil uji beda dengan tingkat kepercayaan 5 % bahwa ada

berbedaan yang signifikan antara jarak rumah dengan keinginan imunisasi. Data hasil

penelitian ini memberikan makna bahwa dalah upaya memudahkan akses masyarakat

terhadap pusat-pusat pelayanan kesehatan di harapkan untuk membangunan sarana-

sarana kesehatan yang mudah terjangkau oleh masyarakat.

8. Aspek Urutan Anak yang dilahirkan

Urutan anak yang dilahirkan sangat berpengaruh terhadap kecenderungan ibu

bayi untuk mengimunisasikan anaknya. Biasanya anak pertama selalu menjadi pusat

perhatian pada seorang ibu. Belas kasihannya serta perhatian selalu lebih termasuk

perhatiannya terhadap masalah kesehatan anaknya. Hasil penelitian dalam survei

kesehatan dan demografi Indonesia tahun 2003 menunjukkan bahwa kecenderungan

untuk mengimunisasikan anak yang pertama lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak

yang kedua atau anak yang ketiga. Hasil penelitian dalam survei kesehatan dan

demografi tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini. Anak pada urutan pertama

persentase dalam imunisasi BCG jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan anak kedua

maupun anak yang ketiga. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut ini

Hasil uji beda dengan menggunakan pendekatan analisis Chi-Squares

memperlihatkan bahwa ada perbedaan yang signifikan antara urutan anak yang pernah

dilahirkan dengan kecenderungan untuk melakukan imunisasi kepada anaknya. Data

hasil uji beda tersebut di atas memperkuat pernyataan bahwa ada perbedaan perhatian

orang tua kepada anak khususnya perhatian terhadap imunisasi. Anak yang dilahirkan

pertama sekali menempati perhatian yang sangat tinggi pada imunisasi, sedangkan

anak-anak berikutnya kurang mendapatkan perhatian yang serius seperti anak pertama

dalam hal imunisasi.

9. Aspek Pekerjaan

Salah satu informasi yang diperoleh dalam penelitian ini yang bersumber dari

ibu bayi, tentang penyebab tidak dilakukan imunisasi kepada anak mereka adalah

Page 19: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

19

karena alasan sibuk bekerja. Pertanyaan penelitian apakah memang benar secara

kumulatif pekerjaan berpengaruh terhadap pelaksanaan imunisasi pada bayi mereka?

Data hasil penelitian memperlihatkan bahwa dilihat dari jenis pekerjaan yang

ditekuni oleh ibu rumah tangga, sebagian besar tidak bekerja atau hanya mengurus

rumah tangga, sementara sebagian lainnya bekerja sebagai pegawai negeri sipil,

ABRI/Polri, bertani, wiraswasta dan sebagainya. Dilihat dari perilaku imunisasi kepada

anak mereka, tampak tidak memperlihatkan perbedaan yang berarti. Pernyataan ini

diperkuat dengan hasil uji beda antara kecenderungan imunisasi dengan jenis pekerjaan

diperoleh Chi-Squares hitung lebih kecil jika dibandingkan dengan Chi-Squares tabel

dengan derajat bebas sebesar 4, yang memberi makna bahwa tidak ada perbedaan yang

signifikan antara jenis pekerjaan ibu bayi dengan kecenderungan mereka untuk

melakukan imunisasi pada bayi mereka.

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil dan pembahasan tersebut di atas, maka dapat ditarik beberapa

kesimpulan sebagai berikut :

1. Respon ibu balita terhadap program imunisasi masih relatif rendah. Rendahnya

respon tercermin pada masih rendahnya tingkat cakupan imunisasi bayi dari

berbagai antigen yang ada.

2. Tingkat cakupan imunisasi dari 5 antigen yang ada adalah sebagai berikut :

Cakupan imunisasi kumulatif untuk vaksin BCG adalah sebesar 88 %. Cakupan

Imunisasi kumulatif untuk DPT 75,75 %, Sementara untuk cakupan imunisasi

campak sebesar 25,7 %.

3. Tingkat cakupan imunisasi kumulatif polio sebesar 91,3% Sedangkan cakupan

imunisasi kumulatif untuk HB sebesar 76,5 %.

4. Faktor yang menyebabkan masih rendahnya cakupan imunisasi adalah sebagai

berikut : (1). adanya kepercayaan masyarakat yang melarang bayi keluar rumah

sebelum berusia 1 bulan,(2) masih adanya keengganan ibu bayi untuk

mengimunisasi karena takut resiko sakit pada anak.(3) Jarak rumah dengan tempat

pelayananan imunisasi. (4) Kurang tetapnya jadual imunisasi pada posyandu-

posyandu tertentu.

Page 20: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

20

Saran-Saran

1. Perlunya pemberian penyuluhan secara intensif kepada masyarakat tentang

pentingnya dan manfaat dari mengimunisasi anak.

2. Perlunya ketersediaan vaksin yang teratur dalam menunjang pelaksanaan imunisasi.

3. Perlunya ada ketepatan jadual untuk pelaksanaan imunisasi di setiap posyandu.

4. Perlunya pemberian penghargaan kepada petugas dan kader kesehatan desa yang

berprestasi

5. Dalam upaya meningkatkan partisipasi kader kesehatan di desa, maka disyarankan

untuk memberikan insentif kepada mereka dalam bentuk pembebasan biaya

pelayanan kesehatan baik untuk kader maupun untuk keluarganya yaitu suami/isteri

dan anak pada pelayanan kesehatan di puskesmas maupun di rumah sakit.

6. Perlunya penentuan pusat pelayanan imunisasi yang mudah terjangkau oleh ibu

bayi untuk melakukan imunisasi pada bayinya.

Page 21: Survei Cakupan Imunisasi Di Prov Sulteng

21

DAFTAR KEPUSTAKAAN Anonim, 1981. Pedoman Operasional Program Imunisasi, Subdirektorat Imunisasi

Direktorat Pengamatan EPIM dan Kesma Direktorat Jenderal PPM dan PL Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial, Jakarta.

Anonim, 2003. Indikator Indonesia Sehat 2010 dan Pedoman Penetapan Indikator

Provinsi Sehat dan Kabupaten/Kota Sehat, Departemen Kesehatan, Jakarta.

Hasbullah Thabrani, 2005. Pendanaan Kesehatan dan Alternatif Mobilisasi Dana

Kesehatan di Indonesia, PT. Raja Gravindo Persada, Jakarta. Indah Entjang, 1993. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Penerbit PT. Citra Aditya Bakti,

Bandung. Nasrul Effendy, 1995. Dasar-Dasar Keperawatan Kesehatan Masyarakat, Penerbit

Buku Kedokteran , Jakarta.

Soekidjo Notoatmodjo, 1993. Pengantar Pendidikan Kesehatan dan Ilmu Perilaku Kesehatan, Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.

Soekidjo Noto atmodjo, 2003, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-Prinsip Dasar,

Penerbit, Rineka Cipta, Jakarta. Soekidjo Notoatmodjo, 2005. Promosi Kesehatan Teori dan Aplikasi, Penerbit

Rineke Cipta Jakarta.