Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kidung adalah karya cipta rasa karsa manusia yang menggunakan sistem tanda bahasa tingkat kedua (bahasa sekunder). Kidung dikatakan demikian karena sastra menggunakan bahasa (sistem tanda tingkat pertama) sebagai media ekspresinya (Wiyatmi, 2006:93). Penuangan ide-ide manusia dari bahasa, sastra, dan budaya merupakan dokumentasi dari zaman tertentu, salah satunya dalam bentuk kidung. Berbagai macam kidung muncul di Indonesia. Salah satu di antaranya adalah Kidung Tantri yang menggunakan babon dari India, yaitu Pañcatantra. Khususnya di Jawa, pada awal periode Hindu-Jawa, sebelum abad ke-15 atau sekitar abad ke-12, teks Pañcatantra disadur ke dalam bahasa Jawa dalam bentuk prosa. Saduran itu dinamakan Tantricarita yang kemudian lebih dikenal dengan Tantri Kāmandaka. Perkembangan selanjutnya, teks Tantri Kāmandaka Jawa Kuno itu menyebar ke Bali dan ditransformasikan ke dalam berbagai bentuk dan jenis pernaskahan Bali, seperti gañcaran, kakawin, kidung, geguritan, dongeng, lakon wayang, lakon dramatari, ataupun prasi (Suarka, 2007:1--3). Tantri Kāmandaka Jawa Kuno menyebar ke Bali dan ditransformasikan ke dalam bentuk Kidung Tantri Piśācaraņa, Kidung Tantri Nandakaharana, Kidung Tantri Mandukaprakaraņa, dan Kidung Tantri Pitrayajña. Hasil penelitian menyebutkan bahwa penyaduran kidung ini terjadi di Bali. Kidung Tantri Piśācaraņa dikarang oleh Ida Pedanda Made Sidemen dari Geria Intaran, Sanur, 1
38

suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

Dec 14, 2016

Download

Documents

buibao
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kidung adalah karya cipta rasa karsa manusia yang menggunakan sistem

tanda bahasa tingkat kedua (bahasa sekunder). Kidung dikatakan demikian karena

sastra menggunakan bahasa (sistem tanda tingkat pertama) sebagai media

ekspresinya (Wiyatmi, 2006:93). Penuangan ide-ide manusia dari bahasa, sastra,

dan budaya merupakan dokumentasi dari zaman tertentu, salah satunya dalam

bentuk kidung. Berbagai macam kidung muncul di Indonesia. Salah satu di

antaranya adalah Kidung Tantri yang menggunakan babon dari India, yaitu

Pañcatantra. Khususnya di Jawa, pada awal periode Hindu-Jawa, sebelum abad

ke-15 atau sekitar abad ke-12, teks Pañcatantra disadur ke dalam bahasa Jawa

dalam bentuk prosa. Saduran itu dinamakan Tantricarita yang kemudian lebih

dikenal dengan Tantri Kāmandaka. Perkembangan selanjutnya, teks Tantri

Kāmandaka Jawa Kuno itu menyebar ke Bali dan ditransformasikan ke dalam

berbagai bentuk dan jenis pernaskahan Bali, seperti gañcaran, kakawin, kidung,

geguritan, dongeng, lakon wayang, lakon dramatari, ataupun prasi (Suarka,

2007:1--3).

Tantri Kāmandaka Jawa Kuno menyebar ke Bali dan ditransformasikan ke

dalam bentuk Kidung Tantri Piśācaraņa, Kidung Tantri Nandakaharana, Kidung

Tantri Mandukaprakaraņa, dan Kidung Tantri Pitrayajña. Hasil penelitian

menyebutkan bahwa penyaduran kidung ini terjadi di Bali. Kidung Tantri

Piśācaraņa dikarang oleh Ida Pedanda Made Sidemen dari Geria Intaran, Sanur,

1

Page 2: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

2

Denpasar, Bali sekitar tahun 1934--1944. Kidung Tantri Nandakaharana dikarang

oleh Ida Pedanda Nyoman Pidada dan Ida Pedanda Ketut Pidada dari Geria Punia,

Sidemen, Karangasem, Bali pada tahun 1728. Kidung Tantri Mandukaprakaraņa

dikarang oleh I Gusti Made Tangeb dari Desa Sidemen, Karangasem, Bali.

Kidung Tantri Pitrayajña dikarang oleh Si Mekel Gede Banang Tegoga dari

Mengwi, Kabupaten Badung (Agastya, 1994:3; Suarka, 2007:3--4).

Kidung yang menjadi kajian penelitian ini adalah Kidung Tantri

Nandakaharana, selanjutnya disingkat dengan KTN. Pemilihan ini karena

masyarakat Bali lebih banyak mengenal KTN dan menembangkannya untuk

upacara manusa yadnya dibandingkan dengan kidung Tantri yang lain. Selain itu,

cerita yang menarik menjadikan kidung ini layak menjadi sebuah bahan

penelitian. Petikan cerita berbingkai dalam KTN diawali dari Raja Eswaryadala

menginginkan gadis untuk dikawini tiap malam. Keadaan tersebut ditentang oleh

Patih Niti Bandeswarya yang berdebat dengannya, tetapi sang patih tetap tidak

berdaya. Akhirnya, keinginan sang prabu harus dituruti. Beliau pun kawin setiap

hari dengan seorang gadis jelita. Pada suatu hari habislah gadis-gadis jelita yang

ada di negaranya. Hati Sang Patih sedih kemudian mengeluh kepada putrinya

Tantri, seorang gadis istimewa. Tantri bersedia dipersembahkan kepada sang

prabu keesokan harinya dan berusaha mengobati ‘penyakitnya’ dengan mengajari

petikan-petikan kitab Niti Sastra. Setelah dipersembahkan kepada raja, Tantri pun

bercerita tentang kebijaksanaan. Tantri bercerita tentang kisah-kisah berbingkai

mulai dari Nandaka, Kutu lan Tuma, I Cangak, dan cerita-cerita lainnya yang

saling terkait. Setiap hari Tantri selalu menceritakan satu cerita kepada raja. Raja

Page 3: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

3

terkesima dengan cara Tantri bercerita dan ingin terus mendengarkan sambungan-

sambungan ceritanya. Lama kelamaan raja pun lupa dengan keinginannya untuk

mengawini gadis-gadis tiap malam.

KTN sebagai bentuk kidung menggunakan bahasa Jawa Pertengahan

(Sukesi dalam Suarka, 2007: 5). Kidung memiliki sistem yang lebih rumit

daripada kakawin dan menggunakan metrum Tĕngahan yang memang membuat

kurang diminati oleh para ilmuwan khususnya linguistik (Zoetmulder, 1985:511).

Metrum Tĕngahan mempunyai karakteristik yang lebih fleksibel, dalam arti

penembang bebas mengekspresikan tembang ini tanpa terpaku pada jeda kalimat

dan aturan-aturan kebahasaan yang menginginkan adanya keutuhan makna

(Nabeshima, 2009:13--14). Meskipun demikian, dari segi kebahasaannya KTN

menggunakan bahasa Jawa Pertengahan yang mudah dimengerti, memiliki

kontekstual yang tepat antara bait yang satu dan bait yang lainnya, serta prosodi

yang teratur karena menggunakan satu metrum, yaitu metrum demung sawit. Hal

ini merupakan dasar untuk melakukan penelitian yang lebih komprehensif di

bidang kidung sehingga permasalahan pungtuasi, intonasi, tempo, tekanan, dan

kuantitas suara dapat dikerjakan dengan tuntas. Sebagai contoh KTN memiliki

satu kalimat dalam satu bait.

1. 1 a. ndan purwa sira winuwus swamulweng sarat saksat hyang Giripati mukya sireng praja andiri atur uripning samanta bupati sang lwir Paramarteng rat tan lyan patirtaning sang Wipradi pangastuleng wong; Terjemahannya: Maka pada mulanya diceritakanlah beliau yang sungguh mulia di seluruh dunia, beliau yang bagaikan Raja Gunung Yang Agung yang memerintah rakyatnya. Beliau seakan-akan betul-betul unggul di seluruh dunia, seperti kehidupan semua raja menjadi satu. Beliau tiada lain adalah guru dan pandita utama, tempat pemujaan Dewa.

Page 4: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

4

1. 1 b. prasasta ring rat sang prabu Eswaryapala parama sakti ring para parata tĕka sama anungkul saka sĕngkĕ inganing samudra asrah pangawasa tuhu swamining bumi sireki prabuning katong (Soekatno, 2009:76); Terjemahannya: Termasyhur di seluruh dunia Sri Baginda Eswaryapala. Beliau sungguh kuat di antara para rakyat jelata. Mereka semua datang menghormatinya dari daerah pegunungan sampai ke tepi samudera, semuanya menyerahkan kekuasaan mereka. Benar-benar seorang penguasa dunia beliau Raja dari Raja.

Petikan kidung di atas terdiri atas satu kalimat. Karena hanya terdapat satu

kalimat dalam sebuah bait serta tidak terdapat jeda dan baris yang pasti,

kepopuleran kidung di kalangan ilmuwan kurang diminati. Hal ini berbeda dengan

kakawin karena kakawin memiliki metrum yang lebih rapi dengan tata klausa

yang teratur dibandingkan dengan kidung. Kidung sendiri membebaskan kerapian

pemenggalan klausa tersebut dan lebur menjadi satu. Hal ini memperumit naskah

kidung untuk disentuh oleh para peneliti. Berangkat dari permasalahan ini, KTN

layak diteliti dari segi fitur-ftur suprasegmentalnya untuk memberikan penjelasan

seberapa banyak klausa yang dapat dipenggal dalam satu bait. Penelitian ini juga

memberikan pembaruan dalam melihat kidung dari segi linguistik yang jarang

ditemukan, yaitu untuk memerikan kidung ke dalam struktur baku khususnya

dalam bidang fitur-fitur suprasegmental.

Suprasegmental memiliki fitur-fitur penting dalam analisisnya. Fitur-fitur

suprasegmental tersebut meliputi empat hal. Keempat hal itu yaitu ritme, tekanan,

intonasi, dan durasi (Ladefoged, 1993: 109--113; Cruttendent, 1997: 20). Ritme

meliputi kualitas suara, lemah lembut dan tingkat suara (tinggi-rendah), intonasi

merupakan nada dalam sebuah kalimat, yaitu naik, turun, atau datar, sedangkan

Page 5: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

5

durasi, yaitu waktu yang diperlukan untuk menembangkan sebuah silabel

(berkaitan dengan pemendekan dan pemanjangan suara) (Ladefoged, 1993: 109--

113; Cruttendent, 1997: 20). Beberapa ahli menyamakan fitur-fitur

suprasegmental dengan prosodi. Prosodi hanya meneliti tentang nada, irama,

intonasi, dan durasi, sedangkan fitur-fitur suprasegmental juga meneliti adanya

variasi yang terjadi pada tiap-tiap prosodi tersebut sehingga dalam penelitiannya

fitur-fitur prosodi termasuk ke dalam fitur-fitur suprasegmental (Ladefoged,

1993:14--15; Dardjowidjojo, 2009:160).

Penelitian tentang fitur-fitur suprasegmental belum begitu mendapat

perhatian yang banyak di Indonesia. Beberapa peneliti muncul di Indonesia untuk

menganalisis lebih banyak tentang prosodi dalam tuturan sehari-hari. Adapun

penelitian yang dimaksud, yaitu (1) Halim (1969) melakukan penelitian terhadap

intonasi bahasa Indonesia yang berkaitan dengan sintaksis. Contoh: guru saya’

baik sekali; (2) Sugiyono (2003) melakukan kajian yang bertujuan mencari

parameter prosodi yang menandai kontras antara ciri akustik tuturan deklaratif dan

interogatif bahasa Melayu Kutai; dan (3) Syarfina (2003) terhadap bahasa Melayu

Deli di Provinsi Sumatera Utara. Syarfina meneliti nada dasar penutur bahasa

Melayu Deli berdasarkan variasi sosial. Ketiga penelitian ini masih meneliti

masalah kebahasaan yang terjadi dalam tuturan sehari-hari bukan dalam karya

sastra. Meskipun demikian, penelitian ini dapat menjadi referensi untuk

menyempurnakan penelitian dalam karya sastra yang berbeda dengan tuturan

sehari-hari. Oleh karena itu, kelayakan KTN dijadikan objek penelitian tidak

Page 6: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

6

terlepas dari kekurangan bahan referensi mengenai fitur-fitur suprasegmental

dalam bidang sastra.

Sebagai karya sastra, penembangan KTN didasarkan pada metrum

pertengahan khususnya demung sawit. Metrum ini memberikan kesempatan bagi

penembangnya untuk melakukan variasi-variasi yang sesuai dengan kidung yang

dinyanyikan (Robson, 1978:8). Variasi fitur-fitur suprasegmental KTN menjadi

sangat menarik untuk dideskripsikan dan diperbandingkan. Perbandingan yang

dapat dilakukan biasanya pada intonasi, jeda, panjang-pendeknya suara, atau

adanya tekanan-tekanan yang lebih mengkhusus daripada pakem KTN. Contoh

salah satu bait KTN memiliki tekanan dan nada seperti di bawah.

Tuhwatut bhiseka nrepati Sri Aiswaryadala dala kusuma patra anglung Aiswarya raja laksmi sangkula amenuhi rājya kwehing bāla di warga mukya si rakryan patih Sang Nīti Bandeswarya patrārum. Terjemahannya : Di tiap-tiap desa bersenang-senang, berpesta pora diiringi bunyi gamelan seperti semar pegulingan, suara rebab dan seruling serta kidung bersahut-sahutan, termasuk upacara widhiwidhana pawiwahan yang dilaksanakan oleh orang tua terhadap anaknya yang cantik.

Gambar 001 Penggalan bait pemawak KTN

Page 7: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

7

Tinggi rendahnya nada memiliki struktur yang konstan. Namun, pada saat

menembangkan aiswaryadala, ada jeda antara aiswarya-dala. Ini menyebabkan

ambiguitas pada intonasi, apakah jeda tersebut berarti memisahkan kata aiswarya

dan dala karena aiswaryadala merupakan satu kesatuan bentuk yang utuh dan

satu makna. Pause/jeda perlu mendapat perhatian dari para penembang kidung

agar tidak terfokus pada keindahan nyanyian, tetapi juga berdasarkan bentuk dan

kata-kata penyusun KTN.

Keindahan susunan kata tertuang dalam berbagai jenis sastra. Kidung

sebagai bentuk sastra menggunakan bahasa yang harmonis. Keharmonisannya

biasanya ditimbulkan dari adanya metafora yang menghiasi Kidung Tantri

Nandakaharana. Metafora termasuk gaya bahasa. Metafora adalah semacam

analogi yang membandingkan dua hal secara langsung, tetapi dalam bentuk

singkat seperti bunga bangsa, buaya darat, wastra mulya, dan sebagainya (Keraf,

2008:139). Keindahan suatu sastra terbalut rapi ketika bahasa dan bentuk lebur

menjadi satu. Bahasa figuratif sering digunakan dalam kidung yang memperindah

jalinan cerita sebuah kidung khususnya KTN. Merujuk pada hal tersebut maka

tidak dapat ditinggalkan penelitian metafora dalam penelitian Kidung Tantri

Nandakaharana sebagai faktor terjadinya variasi fitur-fitur suprasegmental pada

tiap-tiap bait. Adanya faktor-faktor ini berguna untuk menemukan keterkaitan

antara tekanan, intonasi, dan jeda dengan bahasa-bahasa figuratif tersebut. Contoh

di atas misalnya patrārum terdiri dari patra – arum. Secara leksikal patra berarti

‘nama’ dan arum berarti ‘harum’. Jadi artinya adalah ‘nama yang harum’. Maksud

Page 8: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

8

kata ini adalah menunjukkan ketenaran seseorang dengan segala perbuatan

baiknya.

Gambar 002 Penggalan bait pemawak KTN

Fitur-fitur suprasegmental dari kata-kata metaforis memiliki fitur-fitur

suprasegmental yang unik. Kedua kata patrā-rum memiliki tipe fitur-fitur

suprasegmental yang hampir mirip. Suku kata pertama menempati puncak silabel.

Selain itu, tekanan-tekanan yang dberikan berkisar antara 150 Hz -- 350Hz. Ini

menunjukkan bahwa metafora memengaruhi fitur-fitur suprasegmental sehingga

layak untuk diteliti. Selain faktor metafora, terdapat pula faktor lain yang

mempengaruhi, baik itu secara linguistik maupun nonlinguistik. Faktor linguistik,

antara lain adanya vokal panjang, konsonan rangkap, dan harmonisasi vokal

dengan konsonan. Faktor nonlinguistik mencakup adanya kekuatan olah vokal,

persepsi, dan interpretasi penembang.

Adanya perbedaan fitur-fitur suprasegmental karena faktor-faktor tersebut

menyebabkan muncul berbagai variasi. Meskipun demikian, penelitian di bidang

ini belum begitu populer karena adanya tolok ukur yang sulit ditentukan.

Kesulitan tolok ukur bukanlah alasan yang kuat untuk tidak meneliti di bidang ini.

Semakin banyak hal yang bisa diteliti dari sebuah kidung memberikan dampak

Page 9: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

9

positif mengenai cara pandang peneliti terhadap kidung tersebut. Secara

menyeluruh penelitian ini menghasilkan temuan baru dalam bentuk formula fitur-

fitur suprasegmental kidung.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas dapat ditarik beberapa

permasalahan dalam penelitian ini. Permasalahan tersebut dirangkum dalam

bentuk pertanyaan seperti di bawah ini.

1. Bagaimanakah fitur-fitur suprasegmental KTN?

2. Bagaimanakah variasi fitur-fitur suprasegmental yang terjadi dalam

KTN?

3. Faktor-faktor apa saja yang memengaruhi variasi fitur-fitur

suprasegmental dalam KTN?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan sebuah penelitian berguna untuk menentukan arah dalam sebuah

penelitian. Untuk itu, tujuan penelitian ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu tujuan

umum dan tujuan khusus. Adapun tiap-tiap tujuan dijabarkan sebagai berikut:

1.3.1 Tujuan Umum

Tujuan umum penelitian ini adalah memberikan wawasan tentang kidung

yang lebih mendetail dalam bidung linguistik. Penelitian ini dapat memberikan

sumbangan pengetahuan kepada pencinta kidung dan masyarakat luas dari

Page 10: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

10

perspektif yang baru. Perspektif baru tersebut, yaitu melihat sisi kelinguistikan

khususnya fitur-fitur suprasegmental dari sebuah kidung bukan hanya dari segi

sastra dan perbandingan naskah kidung yang bervariasi di masyarakat. Penelitian

ini dapat membantu peneliti-peneliti berikutnya untuk memahami kidung lebih

komprehensif.

1.3.2 Tujuan khusus

Tujuan khusus penelitian ini berkaitan dengan rumusan masalah yang telah

dikemukakan, yaitu sebagai berikut.

1. Menganalisis fitur-fitur suprasegmental KTN.

2. Mengkaji variasi fitur-fitur suprasegmental yang terjadi pada KTN.

3. Menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi variasi fitur-fitur

suprasegmental yang terjadi pada KTN.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini di samping memiliki tujuan juga memiliki dua manfaat, yaitu

manfaat praktis dan manfaat teoretis. Adapun tiap-tiap manfaat dijabarkan sebagai

berikut.

1.4.1 Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis penelitian ini untuk dijadikan salah satu sumber informasi

di bidang linguistik khususnya fonetik. Di samping itu, penelitian ini dapat

menjadi bahasa perbandingan untuk peneliti-peneliti selanjutnya khususnya

Page 11: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

11

fonetik dalam kidung. Penelitian ini juga dapat menjadi salah satu penelitian yang

memberikan sumbangan pengetahuan kepada perkembangan linguistik.

1.4.2 Manfaat Praktis

Manfaat praktis penelitian ini adalah memberikan wawasan terhadap

kidung. Penelitian ini juga dapat dimanfaatkan untuk pengajaran kidung sehingga

dapat pula merangsang kembali penelitian-penelitian kidung yang kurang diminati

karena kurangnya pedoman dan referensi yang menunjang. Selain itu, penelitian

ini menjadi salah satu bahan bacaan untuk menambah wawasan mengenai budaya

zaman dahulu yang tetap menjadi refleksi hidup hingga saat ini.

Tersusunnya metrum yang tepat dalam sebuah kidung memudahkan para

pelajar mempelajarinya. Ini berguna untuk pedoman dasar dalam belajar yang

juga dapat berimbas kepada sistem penjurian lomba-lomba kidung yang sering

dilaksanakan di Indonesia khususnya Bali.

1.5 Ruang Lingkup

Karya sastra walaupun menggunakan bahasa sebagai sarana, tetapi terdapat

perbedaan dalam representasinya, khususnya bagaimana menyanyikan kidung

yang terikat dengan length (panjang pendek suara), loudness (keras lemahnya

suara/tekanan), pitch (nada dan intonasi), dan durasi (tempo yang diperlukan

untuk satu segmen, silabel, kata, frasa hingga kalimat dalam satu kali nyanyian)

(semuanya dikaji dalam bidang fonetik). Fokus penelitian ini adalah (1) KTN

yang terikat dengan fitur-fitur suprasegmental di setiap bait dari kidung, ada yang

Page 12: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

12

sama dan ada pula yang berbeda; (2) variasi fitur-fitur suprasegmental yang

muncul akibat adanya perbedaan jumlah silabel pada bait yang satu dengan bait

yang lainnya; dan (3) pengaruh faktor linguistik meliputi faktor di bidang

linguistik khususnya fonetik-fonologi, misalnya adanya konsonan rangkap atau

proses fonologi. Bidang nonlinguitik, misalnya gaya estetik dan interpretasi

penembang. Penelitian ini berlandaskan teori fonetik suprasegmental, yaitu

prosodi beserta dengan jeda, durasi, frekuensi yang muncul di setiap tembang

KTN. Penerapan teori ini dimaksudkan untuk mendapatkan penelitian yang lebih

tajam dan terarah pada hasil analisis data yang diperoleh.

Page 13: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

13

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI,

DAN MODEL PENELITIAN

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian kidung tentang fitur-fitur suprasegmental belum ada yang

melakukan secara khusus tetapi penelitian kidung di bidang lain cukup banyak

ditemukan. Kajian pustaka yang dijadikan bahan perbandingan, yaitu mengambil

penelitian-penelitian terdahulu yang relevan tentang kidung dan fitur-fitur

suprasegmental. Analisis kidung yang sering dilakukan, yaitu meneliti mengenai

filologi untuk membandingkan beberapa naskah dengan judul yang sama dan

menentukan naskah sumber dan naskah turunan, sedangkan penelitian fitur-fitur

suprasegmental diteliti untuk analisis kalimat lisan dan masih jarang ditemukan

penelitian pada kalimat dalam kidung. Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu

dipaparkan sebagai berikut.

Prosodi sebagai dasar dari sebuah karya sastra yang berupa puisi telah

ditulis ratusan tahun lalu. Brown (1869) dalam bukunya Sanskrit Prosody and

Numerical Symbols Explained menjelaskan beberapa jenis metrum yang terdapat

dalam bahasa Sanskerta. Ada sebelas metrum yang dikenali di Indonesia seperti

Totaka, Udgata, Sārdūla, Vasanta Tilaka, Mālinī, Sikhari, dan yang lainnya.

Metrum-metrum tersebut digunakan dalam bahasa Sanskerta yang menyimpan

berbagai macam ilmu pengetahuan, karya sastra, dan mantra. Tiap-tiap karya

tersebut dinyanyikan dan karya tersebut menggunakan metrum yang memiliki

prosodi tersendiri atau Channdah dalam bahasa Sanskerta. Channdah dipengaruhi

Page 14: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

14

oleh suara ringan atau la-ghu atau hraswa dan suara berat atau guru atau dīrgha.

Beliau juga memaparkan munculnya suara berat dan suara ringan dipengaruhi

oleh gugus konsonan yang mengikutinya, yaitu apabila sebuah suku kata diikuti

oleh dua konsonan seperti kata asti atau vakra. Guru tidak berfungsi pada vokal

Ŗi dan Lri sebagai akibat dari pengaruh jumlah suku kata setiap barisnya,

sedangkan la-ghu muncul pada vokal [a, i, u, ri, lu].

Penjelasan tentang prosodi dalam puisi juga ditulis oleh Carey (1816)

dengan judul Practical English Prosody and Versification. Beliau menjelaskan

bahwa prosodi mengajarkan kuantitas-kuantitas yang benar dan aksen suku kata

serta kata, dan ukuran bait. Kuantitas puisi berbahasa Inggris bergantung kepada

accent (tekanan) dan jumlah suku kata dalam tiap baris sajak. Berdasarkan hal ini,

beliau memberikan beberapa istilah penekanan dalam puisi, seperti verses (satu

buah kalimat dalam baris), hemistich (setengah dari baris), distich/couplet (dua

baris dengan kalimat utuh), stanza (kombinasi beberapa baris yang tergantung

pada keinginan penyair dengan memerhatikan jumlah, matra, rima, dan bentuk

komposisi yang biasa atau bagian dari lagu biasa atau jenis puisi yang lain). Matra

dalam pemaparannya adalah ukuran komposisi baris, konsisten dengan jumlah

suku kata, dan letak tekanan dalam puisi bahasa Inggris. Rima merupakan

kemiripan dan penyesuian dari bunyi di akhir suku kata, contoh:

Ye nymphs of Solyma, begin the song! To heav’nly themes subliner strains belong.

Hypermeter (pengulangan sajak, terdapat pemanjangan aksen, tetapi tidak

dipanjangkan pada bentuk yang lain), blank (sajak tanpa rima), the caesura

Page 15: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

15

(pemisahan, atau jeda, yang terletak pada sajak, berbeda baris berbeda bentuk

kalimat atau berbeda baris dengan bentuk kalimat yang sama). Pada intinya, puisi

bahasa Inggris dipengaruhi oleh suku kata, rima, jeda, dan tekanan.

Halim (1969) melakukan penelitian terhadap intonasi bahasa Indonesia yang

berkaitan dengan sintaksis. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk

memeriksa intonasi bahasa Indonesia dalam konteks ciri-ciri, seperti kontur,

tingkat tinggi nada, jeda, kelompok jeda, dan penempatan tekanan atau aksen.

Kemudian, penelitian ini memberikan penjelasan tentang letak intonasi dalam

kalimat yang meliputi pola-pola intonasi, satuan-satuan fonologis yang menandai

ciri-ciri intonasi, dan fungsi intonasi. Halim menemukan bahwa karakterisasi

bahasa Indonesia memerlukan empat unit intonasi distingtif, yaitu pola intonasi,

kelompok jeda, kontur (baik prakontur maupun kontur pokok), dan fonem intonasi

seperti tingkat tinggi nada (TT), tekanan, dan jeda. Dari temuan ini, Halim

menyimpulkan bahwa suatu pola intonasi terdiri atas sebuah kelompok jeda atau

lebih. Suatu kelompok jeda itu sendiri dapat terdiri atas sebuah kontur, baik pokok

maupun gabungan sebuah prakontur dan sebuah kontur pokok. Kedua kontur

tersebut diawali oleh tingkat tinggi nada (TT). Tingkat tinggi nada tersebut terdiri

atas tingkat tinggi nada yang secara kebahasaan tidak relevan dan tinggi nada

konstrastif. Tinggi nada konstrastif di dalam bahasa Indonesia terdiri atas tiga

buah, yaitu tinggi (TT3), netral atau tengah (TT2), dan rendah (TT1).

Zoetmulder (1985) dalam buku yang berjudul Kalangwan memaparkan

sastra kidung dan bahasa kidung. Di sini Zoetmulder memberikan penekanan pada

sastra kidung karena memiliki sistem yang lebih rumit daripada kakawin dan

Page 16: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

16

menggunakan metrum Tĕngahan. Meskipun dikatakan menggunakan metrum

Tĕngahan tidak dijelaskan secara terperinci fitur-fitur suprasegmental kidung yang

pernah ada dan tidak ada di Bali. Selanjutnya lebih banyak mengulas tentang

Kidung Harsawijaya, Sorandaka, Sudamala, Sri Tanjung dan Panji dari sudut

pandang kesejarahannya yang disertai dengan ringkasan cerita dari tiap-tiap

kidung. Oleh karena itu, dapat dikatakan fitur-fitur suprasegmental kidung belum

mendapat sentuhan linguistik secara mendetail.

Sugiyono memusatkan perhatian pada bahasa daerah Melayu Kutai.

Sugiyono (2003) melakukan kajian yang bertujuan mencari parameter prosodi

yang menandai kontras antara ciri akustik tuturan deklaratif dan interogatif bahasa

Melayu Kutai. Ciri prosodi dikaji dalam perspektif produksi dan perspektif

persepsi. Kajian perspektif produksi dilakukan dengan menggunakan kerangka

fonetik eksperimental, sedangkan kajian perspektif persepsi menggunakan

psikoakustik dan teori jejak.

Berdasarkan penelitian tersebut, Sugiyono mendeskripsikan pengukuran

komponen-komponen melodik dalam bahasa Melayu Kutai, seperti tinggi nada

awal, nada final, puncak nada, dan julat nada. Pada setiap komponen tersebut

ditemukan nilai terendah dan nilai tertinggi setiap melodik yang diukur. Di

samping itu, ditemukan juga nilai rata-rata dan ambang atas serta ambang bawah

atas Fo setiap komponen. Dengan demikian, Sugiyono menggunakan prosodi

fonetik dan prosodi musik dalam menemukan ciri akustik tuturan deklaratif dan

interogatif bahasa Melayu Kutai.

Page 17: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

17

Penelitian fonetik akustik yang bersifat tempatan dilakukan oleh Syarfina

(2003) terhadap bahasa Melayu Deli di Provinsi Sumatra Utara. Syarfina meneliti

nada dasar penutur bahasa Melayu Deli berdasarkan variasi sosial. Kajian ini

bermula pada pengukuran nada dasar yang diikuti kajian makna ciri-ciri nada

dasar tersebut sebagai pengelompok sosial. Untuk itu digunakan teori fonetik

akustik, frekuensi, intonasi, dan fonetik eksperimental. Di dalam hubungan

dengan stratifikasi sosial dalam bahasa Melayu Deli digunakan teori diglosia.

Hasilnya, penelitian nada dasar sebagai pemarkah sosial penutur bahasa

Melayu Deli ditemukan kenyataan bahwa rerata nada dasar tuturan laki-laki lebih

kecil dibandingkan dengan nada dasar tuturan perempuan serta nada dasar tuturan

generasi tua lebih kecil daripada nada dasar tuturan generasi muda. Kemudian,

nada dasar tuturan kelas sosial ke bawah lebih besar daripada nada dasar kelas

sosial menengah ke atas. Berdasarkan penelitian itu, dalam bahasa Melayu Deli,

ketika bertutur dapat diduga kepada siapa seseorang bertutur, di peringkat mana

seseorang itu disapa berdasarkan stratifikasi sosialnya.

Hubungan satuan-satuan sintaktik dan metrik pada sastra kidung

diungkapkan Gonda (dalam Suarka, 2007:10) dalam tulisan berjudul “Some Notes

on the Relations between Syntactic and Metrical Units in Javanese Kidung”.

Gonda menyimpulkan bahwa hubungan antara satuan sintaktik dan metrik dalam

kidung menunjukkan gaya keseimbangan yang bersifat alami, tidak dipaksakan,

dan merupakan hasil aktivitas kepenyairan yang sukses dalam sebuah tradisi

puitik yang panjang.

Page 18: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

18

Suarka (2007) meneliti Kidung Tantri Piśācaraņa. Penelitian ini

menganalisis Kidung Tantri Piśācaraņa secara filologis dan estetis meskipun

dalam beberapa hal menyentuh pula Kidung Tantri yang lainnya. Suarka

membuktikan beberapa hal yang berkaitan dengan adanya tranformasi tersebut.

Saduran Kidung Tantri ini berasal dari kelisanan dengan adanya kata

“pirĕngang”. Adanya kode budaya, bahasa, dan sastra Bali yang mewujudkan

karya Tantri bernuansa Bali yang disebut dengan “Tantri Bali”, yaitu cerita Tantri

disajikan dalam bentuk tembang, alur cerita tidak selalu sama seperti pada Tantri

Kāmandaka, tetapi ada pula penyisipan cerita. Ada tiga cara transformasi teks

yang dilakukan, yaitu (1) menyadur seluruh cerita, (2) menyadur semua cerita,

dan (3) menyadur salah satu judul cerita. Muncul karya sastra baru akibat

pengaruh cerita Tantri. Penyebaran teks Tantri Kāmandaka memunculkan tradisi

“nantri” di mana membawakan kidung dengan metrum Dĕmung Sawit. Adanya

pergeseran pandangan dari satua ke tatwa. Penelitian ini pula membicarakan

masalah cara menyanyikan Kidung Tantri Piśācaraņa yang menggunakan metrum

Tĕngahan, yaitu metrum Demung dan Kadiri dengan varian metrum kawitan

bawak dan kawitan dawa serta pengawak bawak dan pengawak dawa.

Penelitian yang dipaparkan di atas relevan dengan penelitian yang

dilaksanakan, tetapi juga memiliki perbedaan. Beberapa penelitian yang telah

disebutkan di atas, telah memberikan wawasan baru bagi para ilmuwan. Di satu

sisi, penelitian tersebut ada yang mengkhusus meneliti kidung baik secara

intrinsik maupun ekstrinsik, sedangkan di sisi lain mengkhusus pada penelitian di

bidang prosodi dan objek penelitiannya bukan kidung. Pada penelitian ini

Page 19: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

19

mengambil objek KTN dengan mengkhususkan pada fitur-fitur

suprasegmentalnya. Perbedaan objek kajian dan kajian yang diambil memberikan

nuansa baru bagi penelitian fitur-fitur suprasegmental yang masih minim.

2.2 Konsep

Konsep dapat mempunyai tingkat generalisasi yang berbeda. Semakin

dekat suatu konsep kepada realita semakin mudah konsep tersebut diukur dan

diartikan. Konsep mempunyai fungsi untuk menyederhanakan arti kata atau

pemikiran tentang ide-ide, hal-hal, dan kata benda-benda serta gejala sosial yang

digunakan agar orang lain yang membacanya dapat segera memahami maksudnya

sesuai dengan keinginan penulis yang memakai konsep tersebut (Mardalis,

1995:46). Konsep dalam penelitian ini mencakup empat hal yaitu fitur, fonetik

suprasegmental, prosodi, dan metrum kidung. Keempat konsep tersebut

dijabarkan ke dalam pembahasan yang lebih mendalam di bawah ini.

2.2.1 Fitur

Ahli fonologi menyetujui bahwa fitur sama dengan segmen. Segmen

fonetis berarti bahwa bunyi bahasa yang dapat dijelaskan menurut wujud saluran

suara yang digunakan untuk menghasilkan bunyi itu dan/atau menurut sifat dari

bentuk gelombang akustiknya (Schane, 1992:1; Carr, 2008:53).

Fitur dalam fonologi generatif adalah satuan unit terkecil yang

membedakan arti atau sering disebut dengan fitur distingif. Fitur distingtif

berfungsi untuk membedakan, baik antara konsonan yang satu dan yang lain

Page 20: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

20

maupun antara vokal yang satu dan yang lain. Perbedaan tersebut dapat berupa

konsonan bersuara tak bersuara, vokal tinggi atau rendah, dan fitur-fitur lainnya

(Carr, 2008:54).

2.2.2 Fitur Suprasegmental

Fitur suprasegmental adalah fitur-fitur yang menyertai fitur segmental.

Fitur-fitur suprasegmental dapat diuraikan berdasarkan ciri-ciri ucapannya. Ciri-

ciri fitur suprasegmental dapat berupa ciri-ciri prosodi (Marsono, 1993:115).

Fitur-fitur suprasegmental, antara lain, nada, intonasi, dan tekanan. Semua

fitur ini diperoleh berdasarkan fakta yang dideskripsikan, baik dari tuturan

maupun dari kidung yang telah dilagukan (Ladefoged, 1993:15).

2.2.3 Prosodi

Prosodi adalah bagian dari fonetik yang menelaah segmen suprasegmental

tekanan kata, ritme, dan intonasi. Selain itu, juga menganalisis fenomena-

fenomena yang berhubungan dengan bidang fonetik lainnya seperti nasalitas

sebagai karakteristik potensial prosodi (Carr, 2008: 138). Prosodi pertama kali

dikemukakan oleh J.R Firth (1890--1960). Pandangannya membedakan antara

“structure” hubungan sintagmatik dan unit-unit pembentuknya dengan “system”

fungsi paradigmatik dan kelas-kelasnya (Jørgensen, 1975: 60).

Fonologi prosodis mendeskripsikan objeknya bukan sebagai segmen yang

terpisah-pisah, melainkan sebagai segmen yang membentuk sebuah struktur.

Bunyi segmental yang terpisah-pisah itu disebut dengan satuan fonematik,

Page 21: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

21

sedangkan sistem hubungan atau struktur yang merangkaikan satu segmen dengan

segmen yang lain disebut prosodi (Sugiyono, 2003: 71). Hubungan yang

membentuk satu satuan yang terikat memberikan karakteristik tersendiri pada

fonologi prosodis ini. Fischer-Jørgensen (1975: 61) memberikan karakteristik

prosodi sebagai (1) kombinasi fonem yang membentuk struktur kata atau silabel,

(2) sinyal pembatas (baoundary signal) atau yang dalam tradisi linguistik

Amerika disebut jungtur (juncture), dan (3) realisasi fonetik yang mencakupi

satuan yang lebih luas daripada fonem.

Karakteristik yang dimiliki prosodi memunculkan beberapa fitur prosodi

yang ikut serta dalam sebuah tindak tutur. Cruttenden (1997: 2) mengatakan

bahwa hubungan prosodi dengan tuturan dapat dianalisis dan dideskripsikan

dalam variasi fitur-fitur prosodi. Ada tiga fitur, yaitu pitch (nada), length

(panjang-pendek suara), dan loudness (keras-lemahnya suara). Ketiga fitur ini

didengarkan oleh petutur. Ciri-ciri fisiologi dan akustik ketiga fitur tersebut

adalah (1) length (panjang-pendeknya suara) memberikan sedikit perbedaan,

adanya durasi waktu yang diperlukan penutur untuk melanjutkan bagian-bagian

tuturannya, merupakan durasi hubungan akustik unit-unit pembentuk tuturan

pada spektogram, atau lamanya waktu dari unit yang didengarkan oleh petutur; (2)

loudness (keras-lemahnya suara) apa yang didengarkan oleh petutur berhubungan

dengan kekuatan napas yang digunakan; dan (3) pitch (nada) merupakan fitur

prosodi yang meliputi intonasi, adanya tingkatan vibrasi vokal pada laring yang

dikontrol oleh faktor intrinsik (atau mungkin juga dipengaruhi oleh faktor

ekstrinsik).

Page 22: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

22

2.2.4 Metrum Kidung

Metrum macapat yang digunakan dalam kidung memiliki prosodi, antara

lain terikat oleh jumlah baris dalam satu bait, jumlah suku kata dalam setiap baris,

dan bunyi akhir pada setiap baris (Suarka, 2007: 131; Zoetmulder, 1985: 142).

Dalam pergantian metrum yang satu ke metrum yang lain, ada kalanya disertai

dengan isyarat pergantian metrum (Jw: sasmita ning təmbang) di samping

dilengkapi dengan asonansi (Jw: purwakanthi) dan aliterasi (Marsono, 1996: 75).

Hal ini menjadi salah satu ciri khas kidung yang membedakannya dengan jenis

karya sastra lainnya meskipun sama-sama menggunakan metrum macapat.

Melodi metrum macapat dalam sastra kidung berjalan terus perlahan-lahan dan

belum tentu berhenti sesuai dengan jumlah suku kata atau bunyi akhir setiap baris

(BI: carik). Melodi akan berhenti di akhir bait (BI:pada). Tampaknya, prosodi

metrum kidung lebih banyak ditentukan oleh jumlah suku kata dan bunyi akhir

pada setiap bait daripada jumlah suku kata dan bunyi akhir pada setiap larik atau

baris. Dalam kaidah metrum kidung, aturan jumlah suku kata dan bunyi akhir

berlaku dalam satu kesatuan bait (Suarka, 2007:131).

Menurut Suarka (2007:133--134) di samping mengggunakan metrum

macapat, ada pula jenis sastra kidung menggunakan metrum Tengahan. Sekar

Madia atau Tembang Tengahan sebagai jenis metrum yang digunakan dalam

karya sastra Kidung mempunyai prosodi yang terdiri atas (1) jumlah suku kata dan

bunyi akhir dihitung dalam satu bait (BI: pada), bukan setiap baris (BI: carik)

sebagaimana dalam metrum macapat. Dipandang dari sudut ini, Tembang

Tengahan atau Sekar Madia merupakan bentuk Macapat/Sekar Alit yang lebih

Page 23: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

23

fleksibel (Sutjiati dalam Suarka, 2007:134); (2) mempunyai dua bait pendek (BI:

pada bawak) dan dua bait panjang (BI: pada dawa); (3) mempunyai bait-bait

pembukaan (BI: kawitan), terdiri atas dua bait pendek dan dua bait panjang yang

mengawali sebuah bab; (4) mempunyai bait-bait batang tubuh (BI: pangawak)

dengan komposisi dua bait pendek dan dua bait panjang yang menjadi bab cerita

(Suarka, 2007:134).

2.3 Landasan Teori

Pada bidang ini, dua hal penting yang menjadi dasar yaitu adanya fitur

segmental dan fitur suprasegmental. Keduanya ini saling memengaruhi dalam

KTN. Untuk itu teori yang digunakan pada penelitian ini berdasarkan teori fonetik

akustik dan teori fitur. Malmberg (dalam Marsono (2006:2)) menyatakan fonetik

akustik mempelajari bunyi bahasa dari segi bunyi sebagai gejala fisis. Dengan

demikian, bunyi-bunyi diselidiki frekuensi getarannya, amplitudo, intensitas, dan

timbrenya. Dimana teori tersebut membawahkan teori fonetik suprasegmental.

Pertama teori fonetik suprasegmental membedah kidung secara menyeluruh. Teori

ini digunakan untuk memecahkan permasalahan yang telah dibatasi. Pemilihan

teori ini didasarkan pada keperluan analisis kidung yang memiliki fitur-fitur

suprasegmental dasar dengan adanya variasi yang berbeda. Perbedaan ini dapat

disebabkan, baik oleh faktor-faktor linguistik maupun nonlinguistik. Hal itu

berupa pengaruh harmonisasi vokal, adanya vokal rangkap, maupun suara panjang

pada kalimat yang merangkainya.

Page 24: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

24

Fonetik suprasegmental memadukan antara prosodi (ritme, tekanan,

intonasi, dan durasi) dan variasi antara length, tone, pitch, dan jeda. Pada teori ini

prosodi menjadi bagian dari fonetik suprasegmental. Pada fitur-fitur

suprasegmental tidak hanya menganalisis bagian dasar seperti pada prosodi, tetapi

lebih luas, yaitu mencakup pada variasi fitur-fitur prosodi pada aspek yang

menyeluruh dari suku kata hingga kalimat (Ladefoged, 1993: 14).

Metrum dasar kidung dianalisis terlebih dahulu. Metrum dasar kidung

meliputi fitur-fitur prosodi, yaitu ritme, tekanan, intonasi, dan durasi. Pada

analisis ini yang diperlukan adalah mencari bagian dasar dari metrum KTN tanpa

adanya variasi-variasi di tiap-tiap fitur prosodi. Setelah dasar kidung ditemukan

barulah beranjak pada variasi yang terjadi pada fitur-fitur suprasegmental KTN.

Fitur-fitur suprasegmental meliputi variasi tekanan, variasi intonasi, variasi durasi,

dan jeda. Variasi tekanan lebih mudah diteliti pada silabel (suku kata)

dibandingkan dengan pada kata. Tekanan dihasilkan dengan mendorong lebih

banyak udara keluar dari paru-paru dalam satu silabel tertentu ke silabel yang

lainnya. Ada silabel yang mendapatkan tekanan dan ada silabel yang tidak

mendapatkan tekanan. Biasanya silabel dengan vokal [ə] tidak mendapatkan

tekanan karena dapat dilesapkan seperti [səlamãt] menjadi [slamãt]. Tekanan pada

umumnya berfungsi untuk menekankan kata atau membedakan kata yang satu

dengan yang lainnya dan memberikan penanda sederhana pada hubungan

sintaktik antara kata-kata atau bagian dari kata-kata penyusun kalimat tersebut

(Ladefoged, 1993: 113-115).

Page 25: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

25

Intonasi yang terjadi pada tuturan dengan pada saat bernyanyi memiliki

perbedaan. Pada saat bernyanyi ada note atau nada yang menentukan panjang dan

pendeknya suara dan kemudian ke nada selanjutnya, sedangkan pada tuturan biasa

tidak terdapat intonasi yang statis. Meskipun demikian, keduanya sama-sama

memiliki intonasi naik dan intonasi turun. Intonasi terjadi akibat adanya

perubahan nada. Bagian kalimat yang dipanjangkan disebut dengan tone group,

sedangkan bila pemanjangannya terjadi pada silabel disebut dengan tonic syllable

(Ladefoged, 1993: 109). Pause (jeda) dalam sebuah nyanyian merupakan bagian

penting. Jeda ini memberikan kesempatan kepada penyanyi untuk beristirahat dan

kembali berkonsentrasi untuk nada selanjutnya. Biasanya jeda diikuti oleh glottal

stop dan/atau creaky vocalic onset (Darcy, Isabelle dkk, 2009 :286; Grabriel,

Christoph dan Trudel Meisunberg, 2009 :186).

Fitur-fitur suprasegmental yang muncul di setiap tuturan hingga

menyanyikan sebuah lagu atau kidung memiliki keharmonisan. Keharmonisan ini

didukung oleh beberapa hal, yaitu sebagai berikut pertama adanya vowel

sequences (urutan vokal). Beberapa bahasa melarang adanya urutan vokal ini

sehingga akan dihilangkan. Urutan vokal muncul karena kombinasi. Penghilangan

urutan vokal ini berimplikasi pada vokal awal akan berubah menjadi bunyi

luncuran, sedangkan pada vokal yang sama akan terjadi pemanjangan vokal.

Contoh dalam bahasa Indonesia keluarga /kəluwarga/ muncul luncuran /w/ di

antara /u/ dan /a/, sedangkan contoh lain dalam bahasa Bali kata ampun mendapat

morfem {sa-} akan menjadi /sāmpun/. Kedua Vowel epenthesis (penyisipan

vokal). Beberapa bahasa tidak mengizinkan urutan konsonan melebihi dua

Page 26: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

26

konsonan. Apabila ada urutan konsonan yang lebih dari dua, akan disisipkan

vokal. Contoh dalam bahasa Fula penyisipan vokal pada kata yotto ‘arrive’ saat

dibubuhkan akhiran –na menjadi yottina. Ketiga onset creation (membentuk

onset), yaitu penyisipan konsonan untuk menghindari urutan vokal, seperti yang

terjadi pada bahasa Arab /al-walad/ [ʔalwalad] ‘the boy’. Keempat stress

lengthening and reduction (pemanjangan dan pengurangan tekanan) adalah

adanya pemanjangan tekanan pada vokal. Ini biasanya terjadi pada vokal selain

vokal tengah. Kemudian pengurangan vokal tanpa tekanan terjadi pada bahasa

Inggris, contohnya barometer - barometric [bə rɔ´mətr+ _ bε`rəmε´trιk] dan

monopoly [mɔ´nə powl _ mənɔ´pə liy]. Kelima syllabel weigth limits (pembatasan

silabel). Adanya beberapa bahasa melarang silabel dengan vokal panjang ditutup

oleh konsonan karena silabel dengan vokal panjang memiliki kontribusi yang

lebih berat. Keenam stress patern (pola-pola tekanan) merupakan bagian penting

dari sebuah karya sastra khususnya kidung, yaitu metrum yang dianut memiliki

pola-pola tekanan yang berbeda. Adanya pola-pola tekanan ini memberikan

keindahan pada penyanyi yang menyanyikannya dan pada pendengar yang

mendengarkan kidung tersebut (Odden, 2005: 244--250).

Seperti yang telah disebutkan, teori yang juga mendukung penelitian ini

adalah teori fitur. Teori fitur memberikan karakteristik tiap-tiap konsonan dan

vokal. Pernyataan yang mendukung, yaitu sebagai berikut. all vowels change place of articulation so that the original difference in formant frequency between F1 and F3 is reduced to half what it originally was, when the vowel appears before a consonant whose duration ranges from 100 to 135 ms (Odden, 2005:136).

Page 27: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

27

Pada hakikatnya setiap konsonan dan vokal memiliki fitur-fitur tersendiri.

Fitur-fitur tersebut dapat terdiri atas satu sampai dua nilai, plus atau minus. Jadi

tiap-tiap fitur dapat berupa ((+) F1) atau ((-) F1). Penentuan fitur-fitur berdasarkan

kelas-kelas tertentu, seperti untuk membedakan konsonan dan vokal terdapat kelas

utama, yaitu silabel, konsonantal, dan sonoran. Kemudian untuk membedakan

tiap-tiap konsonan dibagi ke dalam beberapa kelas berdasarkan artikulasi, yaitu

bersuara, tak bersuara, beraspirasi, tak lepas, diglotalisasi, dipalatalisasi, dan

dilabialisasi. Perbedaan vokal dibedakan atas fitur-fitur tinggi, rendah, bundar,

belakang, depan, dan ketegangan (Odden, 2005:137--141; Schane, 1992: 9--25).

2.4 Model Penelitian

Model penelitian ini berdasarkan pendekatan kualitatif dengan mengambil

naskah KTN yang menggunakan metrum demung sawit. Metrum demung sawit

mempunyai fitur-fitur suprasegmental beserta variasinya. Berdasarkan fitur-fitur

suprasegmental dasar ini, para penembang dapat mengimprovisasikan tekanan,

kuantitas suara, intonasi, dan fitur-fitur suprasegmental lainnya. Dengan

menggunakan metode pangumpulan data, KTN yang diperoleh sesuai dengan

kriteria untuk dianalisis dalam penelitian ini. Data yang didapatkan tersebut

dianalisis dengan teori fonetik suprasegmental. Berdasarkan hasil analisis fitur-

fitur suprasegmental ini didapatkan temuan berupa formula yang dapat menjadi

referensi pada kemudian hari.

Page 28: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

28

Kidung Tantri Nandakaharana Fitur-fitur Suprasegmental

Data Analisis

Temuan

Keterangan

= pendekatan

= naskah dan bagian yang akan diteliti

= teori yang digunakan

= metode penelitian

= temuan

= merupakan garis penghubung

------- = memiliki keterkaitan

Pendekatan Kualitatif

Metode Penelitian

Teori Fonetik Akustik

Page 29: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

29

BAB III METODE PENELITIAN

Sugiyono (2000:9--14) berpendapat bahwa penelitian yang bersifat

deskriptif kualitatif memiliki tiga hal pokok, yaitu aksioma, proses penelitian, dan

karakteristik penelitian. Aksioma penelitian, yaitu berdasarkan realitas yang ada.

Sifat realitas artinya berdasarkan kenyataan yang terjadi di lapangan. Dalam

penelitian yang bersifat kualitatif, peneliti langsung sebagai human instrument

ditunjang dengan metode observasi dan wawancara. Dengan adanya metode ini,

peneliti dapat memahami sumber data dengan baik dan mampu menginterprestasi

data yang diperoleh serta mendeskripsikan apa yang menjadi temuannya. Dengan

demikian, sifat holistik ini menggiring peneliti kepada proses penelitian secara

menyeluruh pada data serta didukung oleh metode induktif dan metode deduktif

sebagai karakteristik penelitian.

3.1 Lokasi Penelitian

Penelitian Kidung Tantri Nandakaharana dilaksanakan di Kota Denpasar

Provinsi Bali. Penelitian ini mengambil data pada sekaa santhi Dharma Santhi

Banjar Biaung, Desa Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur. Pemilihan ini

berdasarkan kemampuan tiap-tiap anggota sekaa santhi yang mampu

menembangkan KTN. Sekaa santhi ini berdiri tahun 2007 dan sekarang memiliki

tujuh belas orang anggota. Dari ketujuh belas anggota tersebut dua belas anggota

anggota (delapan orang perempuan dan empat orang laki-laki) mampu bernyanyi

secara aktif, baik tembang geguritan, kidung, maupun kakawin, sedangkan

29

Page 30: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

30

sisanya belum bisa menembangkan nyanyian tradisional tersebut. Di antara

delapan orang anggota wanita tersebut terdapat seorang yang menguasai tembang

KTN paling fasih, yaitu Ida Ayu Putu Sasih kelahiran Angantaka, 20 April 1950.

Berdasarkan pertimbangan kemampuan yang dimiliki, maka beliau dipilih untuk

menjadi informan tunggal dalam menyanyikan tembang ini. Pemilihan informan

tunggal ini untuk memudahkan analisis formula dasar agar tidak memunculkan

variasi yang terlalu banyak.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data yang digunakan pada penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan

data sekunder. Data tulisan yang dilisankan (ditembangkan) digunakan sebagai

data primer. Data tulisnya diambil dari naskah KTN yang telah diterbitkan oleh

Dinas Pendidikan Dasar Provinsi Bali pada tahun 1997 disertai dengan terjemahan

diketik menggunakan aksara Bali. KTN yang digunakan merupakan cetakan

kedua. Cetakan pertama terbit tahun 1996. Naskah KTN yang diterbitkan berasal

dari Desa Sidemen, Karangasem. Pada kolofon naskah dijelaskan bahwa naskah

babon itu ditulis oleh Ida Padanda Gde Nyoman Pidada pada Senin Pon

Dungulan, tahun 1761 saka. Naskah ini dipilih karena mengambil sumber dari

naskah tertua yang diterbitkan dan naskah ini yang sering dinyanyikan oleh

masyarakat di Bali khususnya. Karena memelurkan nyanyian lisannya, maka

diperlukan informan yang mampu memberikan data yang lengkap. Pemilihan

informan mempunyai kriteria (1) berjenis kelamin perempuan; (2) menguasai

KTN dengan fasih; (3) mampu menembangkan KTN; (4) dapat dipercaya dan

Page 31: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

31

memiliki waktu yang cukup; (5) memiliki artikulasi yang baik; dan (6)

mempunyai pengalaman yang cukup dalam menyanyikan kidung baik sendiri

maupun di depan khalayak ramai. Selain itu, diperlukan juga data rekaman yang

benar nyata dinyanyikan oleh informan.

Rekaman yang didapatkan dari informan, yaitu informan makidung secara

rekayasa untuk mendapatkan data yang sesuai dengan kriteria. Rekaman yang

didapatkan memiliki kriteria, yaitu terekam secara bagus, intonasi dapat terbaca

dengan baik pada speech analyser, volume suara tidak terlalu keras dan tidak

terlalu lemah, dan tidak terganggu suara bising di sekitarnya. Contoh data

rekaman awal yang telah dimasukkan ke dalam speech analyser yaitu seperti

berikut.

Gambar 003 Penggalan bait pemawak KTN

Contoh data di atas diambil dari potongan bait KTN yang memiliki ktiteria

yang disebutkan di atas. Data di atas terekam dengan bagus, intonasi dapat

terbaca, terdapat puncak-puncak tekanan, adanya pemanjangan suara yang

divariasikan, dan volume cukup. Oleh karena itu, dapat ditentukan berapa durasi

yang dimiliki, berapa frekuensi puncak silabelnya, dan bagaimana intonasinya.

Meskipun demikian, contoh data ini hanya bagian dari bait bukan keseluruhan

Page 32: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

32

bait. Apabila memasukkan data keseluruhan, tidak dapat dianalisis dengan baik

sehingga dalam analisis selanjutnya data yang diberikan merupakan potongan-

potongan data yang dibagi menjadi beberapa bagian dalam speech analyser.

Keseluruhan data KTN terdiri atas 397 bait tetapi hanya diambil empat bait

yang mewakiliki metrum demung sawit (kawitan dan pengawak) pada KTN.

Kawitan terdiri atas satu bait kawitan pendek dan satu bait kawitan panjang,

sedangkan pengawak terdiri atas satu bait pemawak dan satu bait penawa.

Sumber data sekunder yang menunjang penelitian ini menggunakan buku-

buku yang berkaitan dengan KTN dan buku-buku tentang fitur-fitur

suprasegmental.

3.3 Instrumen Penelitian

Penelitian yang bersifat kualitatif mementingkan kualitas data. Data harus

mempunyai validitas dan reliabilitas. Untuk mendapatkan data tersebut berkenaan

dengan metode dan teknik untuk pengumpulan data (Sugiyono, 2005:59).

Instrumen penelitian yang digunakan adalah alat rekam beserta peneliti. Peneliti

sebagai instrument, baik menjadi pewawancara maupun participant observation

mengadakan penelitian fitur-fitur suprasegemental dalam kidung dengan

pendekatan teori fonetik akustik.

Adapun kartu data yang dapat digunakan untuk mempermudah penelitian yaitu

seperti berikut.

Page 33: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

33

3.4 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Dalam pengumpulan data penelitian ini digunakan dua metode, yaitu

metode simak dan metode cakap. Metode simak adalah menyimak KTN yang

ditembangkan oleh para penembang (Sudaryanto, 1993:133). Di sini penembang

melantunkan empat bait dalam KTN sesuai dengan yang telah disebutkan di atas,

yaitu bait kawitan pendek, kawitan panjang, pemawak, dan penawa tanpa adanya

campur suara dari peneliti atau biasa disebut dengan teknik simak bebas libat

cakap. Pada saat melantunkan tiap-tiap bait ini digunakanlah teknik rekam dan

teknik catat (Sudaryanto, 1993:135). Dari hasil rekaman keempat bait inilah yang

disimak, baik dengan pendengaran langsung maupun dengan pencitraan.

DATA REKAMAN

1. Informan Nama : Umur : Jenis kelamin : Profesi : Asal : No kidung : 2. Peneliti Nama : Tanggal data dikumpulkan : Tempat data dikumpulkan : 3. Variasi Kidung Pemanjangan : Pemendekan : Penurunan suara : Penaikan suara : Pengerasan suara : Pelemahan suara :

Page 34: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

34

Metode simak didukung dengan metode cakap, yaitu pengumpulan data

yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui

bercakap-cakap dan berhadapan muka dengan informan yang dapat memberikan

keterangan mengenai variasi-variasi fitur-fitur suprasegmental KTN berserta

teknik makidung yang digunakan oleh penembang (Sudaryanto, 1993:137).

Metode cakap dibantu teknik cakap semuka, yaitu dengan percakapan langsung,

tatap muka, atau semuka, lisan. Teknik lanjutan yang digunakan, yaitu teknik

rekam dan teknik catat (Sudaryanto, 1993:133-139).

3.5 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode dan teknik analisis data yang digunakan pada penelitian prosodi

Kidung Tantri Nandakaharana adalah metode fonetik impresionistik dan metode

fonetik eksperimental. Pada metode fonetik impresionistik, data yang dianalisis

adalah gejala akustik yang konkret. Identifikasi dan analisis terhadap bunyi

didasarkan sepenuhnya pada kemampuan indra pendengaran, penglihatan, dan

kesadaran tentang aktivitas organ tutur ketika bunyi diujarkan. Analisis dengan

metode fonetik impressionistik memiliki tiga asumsi dasar, yaitu: (1) tuturan

dapat direpresentasikan sebagai deretan segmen; (2) setiap segmen mempunyai

target tertentu dan setiap target berkorespondensi dengan persepsi auditoris

tertentu dalam pikiran peneliti yang terlatih; dan (3) setiap target segmental dapat

diperikan dengan menggunakan dimensi artikulatoris. Misalnya, kata fan dalam

bahasa Inggris, mungkin direalisasikan dengan [fæn] dan itu menunjukkan bahwa

kata fan terdiri atas tiga segmen seperti terlihat pada ejaannya. Secara

Page 35: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

35

konvensional, segmen itu disebut bunyi frikatif-labiodental-tak bersuara, yaitu

bunyi yang diucapkan dengan mengembuskan udara pada penyempitan ruang

antara bibir bawah dan gigi atas, dengan pita suara yang tidak bergetar. Istilah

bunyi frikatif-labiodental-tak bersuara ini merujuk pada dimensi artikulatoris

dalam deskripsi bunyi berbagai bahasa (Hayward dalam Suparwa, 2008:2).

Penggunaan metode fonetik impressionistik dalam analisis data ini juga

didukung dengan metode fonetik eksperimental untuk menunjang validitas dan

reliabilitas analisis yang dilakukan. Metode fonetik eksperimental menganalisis

dengan cara di mana ciri bunyi dari berbagai bahasa dapat identifikasi dan

dianalisis tidak hanya berdasarkan kekuatan impresi, tetapi dapat dilakukan

dengan bantuan alat ukur yang akurat, baik dengan teknik pencitraan (imaging

technique), pelacakan gerak pita suara, maupun pengukuran ciri akustik

(Sugiyono, 2003:76). Teknik pencitraan ini menggunakan peralatan dengan

teknologi yang memadai dalam program di komputer seperti Computerized

Research Speech Environment (CRSE), praat, dan speech analyser.

Penelitian ini menggunakan teknik pencitraan speech analyser. Pemilihan

teknik ini dikarenakan speech analyser digunakan oleh para linguis secara

menyeluruh dan mendapatkan akurasi analisis yang memadai, seperti contoh di

bawah ini.

Page 36: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

36

Gambar 004 Ciri akustik segmen kata [elɔʔ]

Bahasa Inggris say boat again.

Gambar di atas (terutama gambar bagian bawah) memperlihatkan bahwa

simpangan frekuensi bunyi bahasa dari frekuensi dasar berkisar antara 75--150

Hz. Maksimum frekuensi terjadi ketika pengucapan boat yang mencapai 135 Hz

dan minimum frekuensi adalah pada titik 91 Hz. Hal itu berarti bahwa

pengucapan boat memerlukan energi yang paling besar dalam produksinya dan

secara persepsi bunyi tersebut terdengar paling nyaring atau keras dibandingkan

dengan bunyi yang lainnya. Untuk itu, pada prinsipnya tekanan ditentukan

berdasarkan pembandingan sebuah bunyi dengan bunyi lainnya di sekelilingnya.

Gambar 005 Ciri akustik say boat again

Page 37: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

37

Karena kata pada contoh tersebut hanya terdiri atas satu vokal, berarti secara

otomatis vokal tersebut mendapat tekanan dalam kata boat.

Analisis faktor-faktor yang menyebabkan variasi dalam Kidung Tantri

Nandakaharana menggunakan metode distribusional dibantu dengan teknik

substitusi (penyulihan). Teknik subtitusi, yaitu mencari atau menentukan sinonimi

pada batas tertentu (Djajasudarma, 2006:71).

Ibi sanja mancing ajak I Komang. (DBD) /ibi sanjə manciŋ ajak i komaŋ/ ‘diajak memancing oleh I Komang kemarin sore’.

Subtitusi juga dapat terjadi pada tataran jeda misalnya:

guru/ saya baik sekali// guru saya/ baik sekali//

Perbedaan letak jeda di atas membedakan makna yang dimaksudkan. Pada

kalimat pertama yang dimaksudkan baik adalah “saya”, sedangkan pada kalimat

kedua yang dimaksudkan baik adalah “guru”.

3.6 Metode dan Teknik Penyajian Hasil Analisis Data

Pada penyajian hasil analisis data digunakan metode informal dan formal.

Metode informal merupakan perumusan dengan menggunakan kata-kata biasa.

Metode formal merupakan perumusan dengan tanda-tanda dan lambang-lambang.

Tanda yang dimaksud, seperti tanda ‘menjadi’, tanda (+), tanda kurung

kurawal ({}), tanda kurung biasa (()), sedangkan lambang yang dimaksud, seperti

lambang ( : ) untuk bunyi panjang, ( / ) untuk nada naik, ( \ ) untuk nada turun

(Sudaryanto, 1993:145).

Page 38: suprasegmental features in kidung tantri nandakaharana

38

Teknik yang digunakan dalam penyajian analisis data, yaitu teknik deduktif

dan teknik induktif. Teknik deduktif, yaitu berasumsi pada pola pikir dari

pengetahuan bersifat umum menjadi pengetahuan yang mengkhusus. Teknik ini

berfungsi untuk menyelaraskan teori dengan fakta yang terdapat di lapangan. Lain

halnya dengan teknik induktif yang memakai pola pikir berangkat dari fakta-fakta

khusus, peristiwa-peristiwa konkret, kemudian digeneralisasi menjadi hal yang

bersifat umum. Teknik ini berfungsi untuk menemukan hal yang universal dari

fakta sederhana yang ditemukan selama penelitian (Hadi, 2004:47).