Top Banner
Sejarah Singkat dan Kontroversi Supersemar - Surat Perintah 11 Maret 1966 Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang sangat populer dikenal melalui akronim "Supersemar" adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang sangat buruk pada masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hingga saat ini, naskah Supersemar yang menyebar di kalangan masyarakat secara luas melalui buku-buku teks pelajaran sejarah nasional adalah keluaran versi Markas Besar TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1966 dan semakin diperkuat setelah Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1968. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia meyakini bahwa ada beberapa versi naskah Supersemar, sehingga masih perlu adanya penelusuran dan penelitian terhadap naskah Supersemar yang asli yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno di Istana Bogor. Sampai saat ini pun, naskah Supersemar yang asli masih misterius dan belum ditemukan, karena para pelaku sejarah lahirnya Supersemar semuanya telah meninggal dunia. Presiden Sukarno Melantik Letnan Jenderal Suharto Sebagai Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat Sejarah Lahirnya Supersemar Menurut versi resmi yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan Presiden Suharto, sejarah awal lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno mengadakan
16

Super Se Mar

Dec 03, 2015

Download

Documents

.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Super Se Mar

Sejarah Singkat dan Kontroversi Supersemar - Surat Perintah 11 Maret 1966

Surat Perintah 11 Maret 1966 atau yang sangat populer dikenal melalui akronim "Supersemar" adalah surat perintah yang ditandatangani oleh Presiden/Panglima Tertinggi Angkatan Bersenjata/Mandataris MPRS/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno pada tanggal 11 Maret 1966. Isinya adalah perintah Presiden Sukarno kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Pangkopkamtib) agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan stabilitas situasi keamanan yang sangat buruk pada masa itu, terutama setelah meletusnya peristiwa Gerakan 30 September 1965. Hingga saat ini, naskah Supersemar yang menyebar di kalangan masyarakat secara luas melalui buku-buku teks pelajaran sejarah nasional adalah keluaran versi Markas Besar TNI Angkatan Darat (TNI AD) yang telah dipublikasikan sejak tahun 1966 dan semakin diperkuat setelah Orde Baru mulai berkuasa di tahun 1968. Sebagian kalangan sejarawan Indonesia meyakini bahwa ada beberapa versi naskah Supersemar, sehingga masih perlu adanya penelusuran dan penelitian terhadap naskah Supersemar yang asli yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno di Istana Bogor. Sampai saat ini pun, naskah Supersemar yang asli masih misterius dan belum ditemukan, karena para pelaku sejarah lahirnya Supersemar semuanya telah meninggal dunia.

Presiden Sukarno Melantik Letnan Jenderal Suharto Sebagai Menteri/Panglima TNI Angkatan Darat

Sejarah Lahirnya SupersemarMenurut versi resmi yang disetujui oleh pemerintahan rezim Orde Baru pimpinan

Presiden Suharto, sejarah awal lahirnya Supersemar terjadi pada tanggal 11 Maret 1966. Saat itu, Presiden/Pemimpin Besar Revolusi Sukarno mengadakan sidang pelantikan "Kabinet Dwikora yang Disempurnakan", yang juga dikenal dengan istilah "Kabinet Seratus Menteri", karena jumlah menterinya mencapai lebih dari 100 orang. Pada saat sidang kabinet dimulai, Brigadir Jenderal Sabur sebagai Panglima Tjakrabirawa (pasukan khusus pengawal Presiden Sukarno) melaporkan bahwa banyak 'pasukan liar' atau 'pasukan tak dikenal' yang belakangan diketahui adalah pasukan Kostrad (Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat) di bawah pimpinan Mayor Jenderal Kemal Idris yang bertugas menahan orang-orang di kabinet yang diduga terlibat dalam Gerakan 30 September 1965. Salah satu anggota kabinet tersebut adalah Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio.

Page 2: Super Se Mar

Pelantikan Kabinet Dwikora yang Disempurnakan Oleh Presiden Sukarno

Setelah mendengarkan laporan tersebut, Presiden Sukarno bersama Wakil Perdana Menteri I Dr. Soebandrio dan Wakil Perdana Menteri III Chaerul Saleh langsung berangkat menuju Bogor menggunakan helikopter yang telah disiapkan. Sidang kabinet itu sendiri akhirnya ditutup oleh Wakil Perdana Menteri II Dr. J. Leimena yang juga kemudian ikut menyusul ke Bogor.

Situasi tersebut dilaporkan kepada Letnan Jenderal Suharto yang pada saat itu menjabat sebagai Panglima TNI Angkatan Darat menggantikan Letnan Jenderal Ahmad Yani yang gugur akibat peristiwa Gerakan 30 September (G-30-S) 1965. Konon, Letnan Jenderal Suharto saat itu tidak menghadiri sidang kabinet karena sakit. Sebagian kalangan menilai ketidakhadiran Suharto dalam sidang kabinet dianggap sebagai skenario Pak Harto untuk 'menunggu situasi', karena cukup janggal.

Malam harinya, Letnan Jenderal Suharto mengutus tiga orang perwira tinggi Angkatan Darat ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno, yaitu Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, Brigandir Jenderal Amir Machmud, dan Brigadir Jenderal Basuki Rachmat. Setibanya di Istana Bogor, terjadi dialog antara tiga perwira tinggi AD tersebut dengan Presiden Sukarno mengenai situasi yang terjadi. Ketiga perwira tersebut menyatakan bahwa Letnan Jenderal Suharto mampu mengendalikan situasi dan memulihkan stabilitas keamanan nasional apabila diberikan surat tugas atau surat kuasa yang memberikan wewenang kepadanya untuk mengambil tindakan.

Brigjen. Muhammad Jusuf, Brigjen. Basuki Rachmat, dan Brigjen. Amir Machmud

Page 3: Super Se Mar

Menurut Brigadir Jenderal Muhammad Jusuf, pembicaraan dengan Presiden Sukarno berlangsung hingga pukul 20.30 WIB malam. Akhirnya, Presiden Sukarno setuju terhadap usulan tersebut sehingga dibuatlah surat perintah yang dikenal sebagai Surat Perintah Sebelas Maret (Supersemar) yang ditujukan kepada Letnan Jenderal Suharto selaku Panglima TNI Angkatan Darat agar mengambil segala tindakan yang dianggap perlu untuk memulihkan keamanan dan ketertiban.

Ilustrasi Presiden Sukarno Menandatangani Supersemar Versi Rezim Orde Baru

Supersemar tersebut tiba di Jakarta pada tanggal 12 Maret 1966 dini hari pukul 01.00 WIB yang dibawa oleh Sekretaris Markas Besar TNI AD Brigadir Jenderal Budiono. Hal tersebut berdasarkan penuturan Sudharmono, di mana saat itu ia menerima telepon dari Mayor Jenderal Sutjipto selaku Ketua G-5 KOTI pada tanggal 11 Maret 1966 sekitar pukul 22.00 WIB malam. Sutjipto meminta agar konsep tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI) disiapkan dan harus selesai malam itu juga. Permintaan itu atas perintah Pangkopkamtib Letnan Jenderal Suharto. Bahkan, Sudharmono sempat berdebat dengan Murdiono mengenai dasar hukum teks tersebut sampai Supersemar tiba.

Berbagai Kontroversi Sejarah Lahirnya Supersemar

Lahirnya Supersemar ternyata diiringi oleh berbagai kontroversi yang menyebabkan sejarah pasti terbitnya surat perintah tersebut masih 'gelap' hingga saat ini.

Versi CIABerbagai versi tentang dalang dari peristiwa G30S bermunculan, salah satunya adalah

CIA(pemerintah AS). CIA bekerjasama dengan sebuah klik AD untuk memprovokasi PKI, dengantujuan akhir menggulingkan Soekarno.Versi ini sangat kuat mengingat AS dalam rangka PerangDingin berusaha mati-matian agar Indonesia bersih dari komunis.

Salah satu bukti kedekatan AD dengan CIA menurut Peter Dale Scott dalam paper singkatnya yang berjudul “Konspirasi Soeharto-CIA: Penggulingan Soekarno 1965 - 1967” dibuktikan bahwa pada 1 Agustus 1958 AS memberikan bantuan militer ke Indonesia mencapai $ 20 juta setahun.Tendensi AS memberikan bantuan karena menganggap hanya AD yang mampu mengimbangikekuatan PKI. Lalu didirikanlah SESKOAD tahun 1958 di Bandung yang mendapatkandukungan penuh dari Pentagon, RAND dan Ford Foundation.

CIA sebagai dalang dari peristiwa G30S juga didukung oleh konspirasi Inggris-AS untuk menjatuhkan Soekarno. Inggris terlibat karena selain sebagai sekutu AS, Inggris mempunyai kepentingan menyingkirkan Soekarno karena melakukan konfrontasi politik

Page 4: Super Se Mar

“GanyangMalaysia”. Soekarno melakukan konfrontasi itu sebagai penentangan terhadap maksud Inggris untuk mendirikan negara British Malaysia. Konspirasi ini dilakukan dengan mendorong kudetaG30S agar sayap kanan dari tentara Indonesia punya alasan untuk menghabisi saingan-saingannya di pusat AD, dan dengan demikian melapangkan jalan untuk menghabisi kaum kirisipil yang sudah lama direncanakan, dan pada akhirnya mendirikan suatu kediktatoran militer.

Dewi Soekarno, putri Jepang yang diperistri Bung Karno, merasa yakin bahwa CIA ikut bermaindalam proses kejatuhan Bung Karno. Dewi mengungkapkan 14 item dokumen CIA yangmengindikasikan adanya kudeta terhadap bung karno. Dokumen rahasia itu terdiri dari 10 lembar folio yang terdiri dari tiga bagian. Yang pertama adalah surat pribadi bung karno kepada dewi,yang kedua merupakan dokumen salinan telegram Duta Besar AS di Indonesia Howard Jones.Dokumen ketiga adalah dokumen Gillchirst yang menjelaskan keberadaan dewan jendral.Dokumen tadi mengidinkasikan keterlibatan AD dalam peristiwa G30S.Akibat yang paling parah dari G30S adalah situasi keamanan dan ekonomi yang kian memburuk.Sehingga para mahasiswa melakukan aksi protes dan menuntut Tritura (bubarkan PKI, bubarkan100 menteri, dan turunkan harga). Tuntutan pembubaran PKI terjadi karena para mahasiswamenganggap PKI adalah dalang G30S, padahal CIA yang memprovokasi PKI.Untuk mengatasi masalah keamanan yang semakin mengkhawatirkan maka Presiden Soekarnomenugaskan Soeharto dengan Supersemar. Namun, Soeharto menginterpretasikan Supersemar ini menjadi sebuah “pelimpahan kekuasaan”. Hal ini terlihat dari bagaimana Soeharto merespon Supersemar bersama MPRS membuat Kepres 1/3/1966 tentang pembubaran PKI dan pelaranganPKI di seluruh wilayah Indonesia. Kepres ini ditandatangani oleh Soeharto yangmengatasnamakan Presiden Soekarno, tentu hal ini menjadi janggal karena bagaimana mungkinseorang Panglima AD dapat membuat Kepres.

Supersemar digunakan Soeharto sebagai pintu masuk untuk merebut kekuasaan dari Soekarnoyang sudah direncanakannya dengan matang. Pada 8 Maret 1967, Sidang Istimewa MPRS yang berlangsung dengan punuh ketegangan dan perdebatan alot menyepakati tentang nasib Soekarno.Antara lain disebutkan ketidakmampuan Soekarno melaksanakan petanggungjawabankonstitusional, disamping kegagalan mengimplemantasikan sentimen dan keputusan yang dibuatMPRS. Selanjutnya, Soekarno digantikan oleh Soeharto selaku pejabat Presiden Ripublik Indonesia.

Versi NasutionKetika terjadi G30S, AD berbeda sikap politik dengan Presiden Soekarno. AD dengan

sendirinya mengikuti Jenderal Nasution sebagai perancang strategi AD dalam usaha untuk menaklukan front pembela G30S. Situasi ini disadari oleh Presiden Soekarno. Hubungan PresidenSoekarno dengan AD kian menegang bahkan menjelang keluarnya supersemar. Meski sudah terbukti bahwa beberapa anggota PKIterlibat dalam G30S, Presiden Soekarno menolak tekanan AD untuk membubarkan PKI. Presiden Soekarno juga menolak desakan AD untuk mengganti menteri-menteri yang dianggaployalis Bung Karno.Sepak terjang AD yang selalu melawan Presiden Soekarno memunculkan dugaan bahwa semuaitu adalah strategi dari Jendral Nasution sendiri. Hanya saja, yang mempunyai akses langsun dalam menggerakkan AD adalah Soeharto.

Meskipun hubungan Nasution dan Soeharto padamasa itu kurang baik, mereka dipersatukan dengan kondisi untuk menggulingakn Soekarno dan membubarkan PKI sebagai akibat dari G30S. Jika benar demikian, berarti supersemar adalahtitik puncak dari perjuangan panjang AD yang menjadikan dirinya sebagai kekuatan politik yang punya pengaruh besar.Sebenarnya, situasi intern AD tidak sesederhana yang dibayangkan orang. Ketika hubunganPresiden Soekarno dan AD semakin menajam, maka desakan untuk memunculkan surat perintah sesegera mungkin semakin kuat. Surat perintah tersebut adalah rencana AD untuk menggulingkan Soekarno. Karena surat perintah

Page 5: Super Se Mar

tersebut dikeluarkan ketika situasi intern ADsedang rumit, maka AD tidak punya pilihan lain selain memunculkan Soeharto sebagai pelaksana supersemar, dengan konsekuensi Soeharto yang akan menjadi Presiden.Ketika diwawancarai, Nasution dengan tegas mengatakan bahwa sebenarnya Supersemar bukanlah pengalihan kekuasaan.

Menurut Nasution, supersemar tidak lain adalah interpretasidari Presiden Soekarno sendiri, yang kemudian menyusut.

Versi M. Jusuf Pada pagi tanggal 11 Maret 1966, ribuan mahasiswa turun kejalan. Mereka bergerak

ke Istana Merdeka untuk satu tujuan yaitu membubarkan sidang kabinet Dwikora yang sedang berlangsung. Slogan - slogan yang berisi tuntutan, yang dikenal dengan “Tritura”.

Sementara itu, di lapangan Monas, pasukan liar tanpa identitas bergerak kearah yang sama. Pengerahan tentaraliar itu, berkaitan dengan rapat SUAD (Staf Umum Angkatan Darat). Yang dilakukan beberapa hari menjelang sidang Kabinet. Selain mengerahkan pasukan liar, Letjen Soeharto juga bekerjasama dengan arus demonstrasi mahasiswa.

Mayjen Basuki Rahcmat, Brigjen M.Jusuf, dan Brigjen Amirmachmud yang membawa surat dariBung Karno, yang isinya melimpahkan kekuasaan kepada Letjen Soeharto untuk mengambilsegala tindakan yang dianggap perlu untuk mengamankan situasi (menurut Kemal Idris).Dr.Soebandrio yang ikut mengoreksi naskah supersemar juga membenarkan adanya poin yangmenyebutkan kata pengembalian kekuasaan.Soeharto CS pun menyiasati status hukum supersemar, dengan memperkuat basis konstitusionalSupersemar dengan mengukuhkannya Supersemar menjadi sebuah keteapan MPRS. Sebelummengadakan sidang MPRS pun, Soeharto lebih dulu menggantikan anggota MPRS para pendukung Soekarno dengan para pendukung dirinya. Pada awalnya hal ini ditentang oleh Soekarno, namun pada akhirnya juga disetujui oleh Soekarno. Pikirannya yang bisamengalahkan Soeharto apabila ia dapat merebut hati anggota MPRS dengan penampilannya padaawal persidangan.

Namun, semua pikiran itu meleset ternyata pidato pertanggungjawabannyaditolak oleh MPRS. Bahkan kekuasaan Soekarno dipreteli oleh MPRS dan mencabut gelar  presiden seumur hidup dari diri Soekarno. Supersemar diputuskan menjadi Ketetapan MPRS No.IX/MPRS/1966, hal tersebut hasil rekayasa yang sistematis.

Menurut Sumarkidjo berdasarkan kesaksian M.jusuf, dokumen asli Supersemar terdiri dari duahalaman. Padahal menurut versi resmi yang bersumber sekretariat Negara, dikatakan dokumenini hanya satu halaman.Belakangan, keluarga M. Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar asli ada pada dokumen pribadi M. Jusuf yang disimpan dalam sebuah bank.

Menurut penuturan salah satu dari ketiga perwira tinggi TNI AD yang akhirnya menerima surat itu, ada seorang perwira tinggi yang membaca naskah Supersemar, kemudian kaget dan berkomentar, "Lho, ini 'kan perpindahan kekuasaan?". Naskah asli Supersemar semakin tidak jelas, karena beberapa tahun kemudian dinyatakan hilang. Hilangnya naskah asli Supersemar pun tidak jelas oleh siapa dan di mana, karena pelaku sejarah peristiwa Supersemar tersebut saat ini sudah meninggal dunia semua. Belakangan, keluarga Muhammad Jusuf mengatakan bahwa naskah Supersemar itu ada dalam dokumen pribadi sang jenderal yang disimpan di sebuah bank.

Menurut kesaksian salah satu pasukan pengawal Presiden Sukarno (Tjakrabirawa) di Istana Bogor, Letnan Dua Sukardjo Wilardjito, perwira tinggi militer yang hadir ke Istana Bogor pada malam hari tanggal 11 Maret 1966 bukan hanya tiga orang, melainkan empat orang, karena Brigadir Jenderal Maraden Panggabean juga ikut serta. Berdasarkan kesaksiannya, Sukardjo Wilardjito menerangkan bahwa Brigadir

Page 6: Super Se Mar

Jenderal Muhammad Jusuf membawa stopmap berwarna merah jambu berlogo Markas Besar Angkatan Darat, kemudian mengeluarkan secarik kertas berisi naskah Supersemar untuk ditandatangani Bung Karno. Setelah membaca naskah Supersemar, Bung Karno sempat heran dan bertanya, "Lho, kok ini diktumnya diktum militer, bukan diktum kepresidenan?". Brigadir Jenderal Amir Machmud lantas menjawab, "Untuk mengubah waktunya sudah sempit. Tandatangani sajalah, Paduka. Bismillah." Kemudian, Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean mencabut pistol dari pinggangnya, lalu menodongkannya ke arah Presiden Sukarno. Melihat keselamatan Presiden Sukarno sedang terancam dalam bahaya, Sukardjo pun segera mengeluarkan pistolnya juga dan menodongkannya ke arah Basuki Rachmat dan Maraden Panggabean. Segera setelah itu, Presiden Sukarno langsung mengatakan, "Jangan, jangan! Sudah, sudah! Baiklah kalau memang surat ini harus aku tandatangani dan harus aku serahkan kepada Harto. Tetapi, kalau situasi sudah kembali pulih, mandat ini agar dikembalikan lagi kepadaku."Presiden Sukarno pun menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol Brigadir Jenderal Basuki Rachmat dan Brigadir Jenderal Maraden Panggabean. Setelah Supersemar ditandatangani oleh Presiden Sukarno, pertemuan pun bubar. Setelah memberikan salam kepada Presiden Sukarno, para jenderal utusan Suharto kemudian kembali menuju ke Jakarta. Saat itu, Sukardjo langsung merasakan firasat buruk, terlebih seusai Bung Karno berpesan, "Mungkin aku harus meninggalkan istana. Berhati-hatilah kamu." Itulah kata-kata terakhir Presiden Sukarno kepada Sukardjo, yang langsung dijawab dengan anggukan kepala untuk memberikan hormat sekaligus bentuk kekagumannya kepada Bung Karno. Sukardjo langsung yakin bahwa peristiwa penandatanganan Supersemar yang diawali dengan penodongan pistol ke arah Presiden Sukarno tersebut pasti akan diselewengkan oleh Suharto. Benar saja, tidak lama kemudian (sekitar 30 menit) Istana Bogor sudah diduduki oleh pasukan RPKAD dan Kostrad. Letnan Dua Sukardjo Wilardjito beserta rekan-rekan pengawalnya sesama anggota pasukan Tjakrabirawa dilucuti senjatanya, kemudian ditangkap dan ditahan di sebuah Rumah Tahanan Militer. Mereka semua lantas diberhentikan dari dinas militer. Hingga saat ini, kesaksian Sukardjo Wilardjito adalah referensi sejarah yang paling sering dirujuk dan paling dipercaya oleh banyak orang terkait kontroversi lahirnya Supersemar, meskipun beberapa kalangan menyatakan keraguannya terhadap penuturannya tersebut. Bahkan, dua di antara para pelaku sejarah Supersemar, yakni Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf dan Jenderal (Purn.) Maraden Panggabean dengan tegas membantah peristiwa tersebut. Mereka menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar dalam 'kondisi baik dan hangat', bukan di bawah todongan senjata.

Menurut kesaksian Anak Marhaen Hanafi (A. M. Hanafi), seorang mantan Duta Besar Republik Indonesia untuk Kuba yang dipecat secara inkonstitusional oleh Presiden Suharto, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean tidak ikut ke Istana Bogor bersama tiga jenderal lainnya (Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad Jusuf). Hanafi pun membantah kesaksian Letnan Dua Sukardjo Wilardjito yang menyatakan bahwa Presiden Sukarno menandatangani Supersemar di bawah todongan pistol pada malam hari tanggal 11 Maret 1966. Menurut A. M. Hanafi, pada saat itu Presiden Sukarno sedang menginap di Istana Merdeka, Jakarta, untuk keperluan sidang kabinet esok pagi harinya. Sebagian besar menteri juga sudah menginap di istana untuk menghindari hadangan berbagai demonstrasi yang sudah berjubel di Jakarta jika berangkat keesokan harinya. Hanafi sendiri hadir pada sidang itu bersama

Page 7: Super Se Mar

Wakil Perdana Menteri (Waperdam) Chaerul Saleh. Menurut kesaksiannya, hanya ada tiga jenderal yang pergi ke Istana Bogor untuk menemui Presiden Sukarno yang telah berangkat terlebih dahulu, yakni Amir Machmud, Basuki Rachmat, dan Muhammad Jusuf. Sebelum bertolak dari Istana Merdeka, Amir Machmud dikatakannya menelepon Komisaris Besar Sumirat, pengawal pribadi Presiden Sukarno, untuk meminta izin datang ke Istana Bogor menghadap Bung Karno. "Semua itu ada saksi-saksinya," ujar Hanafi. Ketiga jenderal tersebut rupanya sudah membawa naskah Supersemar. Di Istana Bogor yang ternyata sudah dikelilingi berbagai demonstrasi dan tank militer, Bung Karno pun menandatangani Supersemar, tetapi tidak ditodong pistol oleh para jenderal, karena mereka dikatakannya datang secara baik-baik. Hanafi menyatakan bahwa atas sepengetahuannya, Brigadir Jenderal Maraden Panggabean selaku Menteri Pertahanan dan Keamanan tetap berada di Istana Merdeka bersama menteri-menteri yang lain, sehingga tidak mungkin Panggabean ikut hadir ke Istana Bogor.

Tentang pengetik naskah asli Supersemar pun masih 'gelap' hingga saat ini. Masih tidak jelas siapa sebenarnya yang mengetik naskah asli Supersemar. Ada beberapa orang yang mengaku mengetik naskah asli Supersemar. Dari beberapa pengakuan tersebut, yang paling dipercaya adalah Letnan Kolonel Ali Ebram, yang pada saat peristiwa Supersemar menjabat sebagai staf Asisten I Intelijen Resimen Tjakrabirawa.

Sejarawan asing bernama Ben Anderson mengungkapkan bahwa ada salah satu tentara yang pernah bertugas di Istana Bogor bersaksi tentang kop surat yang dipakai dalam naskah asli Supersemar. Menurut tentara yang tidak diketahui namanya tersebut, teks naskah asli Supersemar diketik di atas surat yang berkop Markas Besar Angkatan Darat, bukan di atas surat yang berkop Presiden Republik Indonesia. Hal inilah yang menurut Ben dapat menjadi jawaban mengapa Supersemar hilang atau sengaja dihilangkan.

Pasca-tumbangnya rezim Orde Baru pimpinan Presiden Suharto, ada beberapa versi tentang isi naskah Supersemar. Akan tetapi, dari beberapa versi yang bermunculan tersebut, setidaknya ada tiga versi yang paling dipercaya sebagai 'representasi' atau gambaran dari isi naskah Supersemar yang asli, dimana salah satunya tentu saja adalah versi rezim Orde Baru yang telah 'dilestarikan' selama 32 tahun. Tiga versi naskah Supersemar dapat disimak melalui gambar-gambar di bawah ini.

Page 8: Super Se Mar

VERSI REZIM ORDE BARU

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Rezim Orde Baru

Page 9: Super Se Mar

VERSI SUMBER LAIN

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Sumber Lain

Page 10: Super Se Mar

Perbedaan Dua Klausa Dalam Dua Versi Supersemar (Versi Rezim Orde Baru dan Versi Sumber Lain)

Page 11: Super Se Mar

VERSI TNI AD

Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) Versi Pusat Sejarah dan Tradisi Tentara Nasional Indonesia (TNI)

Berbagai usaha pernah dilakukan oleh Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) untuk mendapatkan kejelasan mengenai naskah asli Supersemar. Bahkan, Arsip Nasional telah berkali-kali meminta kepada Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf yang merupakan saksi terakhir hingga akhir hayatnya pada tanggal 8 September 2004 silam agar bersedia menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi, namun selalu gagal. Arsip Nasional juga sempat meminta bantuan Muladi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sekretaris Negara, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla, dan Maulwi Saelan, bahkan DPR untuk memanggil Jenderal (Purn.) Muhammad Jusuf. Akhirnya, usaha Arsip Nasional tersebut tidak pernah terwujud. Saksi kunci lainnya adalah mantan Presiden Suharto. Akan tetapi, dengan wafatnya Pak Harto pada tanggal 27 Januari 2008 membuat misteri sejarah Supersemar semakin sulit untuk diungkap. Atas kesimpangsiuran Supersemar tersebut, kalangan sejarawan dan hukum Indonesia sepakat mengatakan bahwa peristiwa G-30-S 1965 dan Supersemar 1966 adalah salah satu dari sekian sejarah nasional Indonesia yang masih 'gelap'.