Top Banner
Sumber Daya Alam Sisdiati Lifenty Tangdilintin B111 12 329 Tugas Pengganti Final
36

Sumber Daya Alam

Dec 17, 2015

Download

Documents

tugas pengganti final
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Sumber Daya Alam

Sumber Daya AlamSisdiati Lifenty Tangdilintin B111 12 329Tugas Pengganti Final

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa, karena atas berkat dan limpahan rahmatnyalah maka saya boleh menyelesaikan sebuah karya tulis dengan tepat waktu.Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah dengan judul "Penerapan Hukum Sumber Daya Alam", yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk mempelajari Hukum Sumber Daya Alam.Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf dan memohon permakluman bila mana isi makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat.Dengan ini saya mempersembahkan makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga Tuhan memberkati makalah ini sehingga dapat memberikan manfaat.

Makassar, 21 Mei 2014Penulis

DAFTAR ISIKata Pengantar.Daftar IsiPendahuluan.1. Latar belakang..2. Rumusan masalahPembahasan1. Pengertian Hukum Sumber Daya Alam2. Landasan Hukum Positif Indonesia tentang Sumber Daya Alam..3. Penerapan Hukum Sumber Daya Alam di Indonesia..Penutup.1. Kesimpulan2. Saran.Daftar Pustaka.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Sumber daya alam merupakan karunia dan amanah dari Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerahkan kepada bangsa Indonesia sebagai kekayaan yang tak ternilai harganya. Oleh karena itu sumber daya alam wajib dikelola secara bijaksana agar dapat dimanfaatkan secara berdaya guna, berhasil guna dan berkelanjutan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun generasi yang akan datang. Ketersediaan sumber daya alam baik hayati maupun non-hayati sangat terbatas, oleh karena itu pemanfaatannya baik sebagai modal alam maupun komoditas harus dilakukan secara bijaksana sesuai dengan karakteristiknya.Sejalan dengan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka pengelolaan sumberdaya alam harus berorientasi kepada konservasi sumberdaya alam (natural resource oriented) untuk menjamin kelestarian dan keberlanjutan fungsi sumberdaya alam, dengan menggunakan pendekatan yang bercorak komprehensif dan terpadu.

Namun kenyataannya apa yang diidealkan dan diharapkan sebagaimana uraian di atas adalah jauh dari harapan, telah terjadi banyak kerusakan atas SDA kita, yang ternyata persoalan pokok dari sumber daya alam (dan lingkungan hidup) yang terjadi selama ini justru dipicu oleh persoalan Hukum dan Kebijakan atas sumber Daya Alam tersebut.

Oleh karenanya dengan melihat kondisi di atas Hukum Sumber Daya Alam sebagai bagian dari Hukum Tata Ruang dan Sumber Daya Alam, di mana hal ini sebagai mata kuliah di linkungan Fakutas Hukum Universitas Hasanuddin, yang pada dasarnya merupakan materi kuliah yang mempelajari persoalan-persoalan hukum yang berkaitan dengan atau tentang sumber daya alam adalah menjadi hal yang penting untuk dipahami dan dipelajari guna memahami persoalan-persoalan hukum yang muncul dan melingkupi sumber daya alam di Indonesia.

2. Rumusan Masalah2.1. Pengertian hukum sumber daya alam2.2. Landasan hukum positif Indonesia tentang sumber daya alam2.3. Bagaimana penerapan hukum sumber daya alam di Indonesia

PEMBAHASAN

1. Pengertian Hukum Sumber Daya AlamIstilah Sumber Daya Alam sendiri secara yuridis dapat ditemukan di Ketetapan MPR RI Nomor IV/MPR RI/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara Tahun 1999-2004, khususnya Bab IV Arah Kebijakan Hurup H Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup angka 4, yang menyatakan: Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang. Demikian juga pada ketentuan Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam, khususnya Pasal 6 yang menyatakan: Menugaskan kepada Dewan Perwakilan Rakyat bersama Presiden Republik Indonesia untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut,mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan dengan Ketetapan ini. Sedang pengertian Sumber Daya Alam (SDA) sendiri secara yuridis cukup sulit ditemukan, namun kita dapat meminjam pengertian SDA ini dari RUU Pengelolaan SDA yang memberikan batasan/pengertian sebagai berikut: Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukanDemikian juga halnya dengan istilah dan pengertian Hukum Sumber Daya Alam sendiri ternyata cukup sulit untuk mencari hal tersebut. Secara yuridis kita dapat menemukan istilah Hukum Sumber Daya Alam (yang dapat kita interpretasikan secara bebas) adalah di Undang-undang Nomor 35 Tahun 2000 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001 Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) Tahun 2001, khususnya Lampiran Bab VIII Bidang Sumber daya Alam dan Lingkungan Hidup Butir VIII.2.4. Program Penataan Kelembagaan dan Penegakan Hukum Pengelolaan Sumber daya Alam dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang menyatakan: Kegiatan pokok program ini dalam tahun 2001 adalah: (1).; (2) ; (3) Penyusunan undang-undang sumber daya alam berikut perangkat peraturannya; (4) dan seterusnya. Namun demikian penjelasan dan pengertian atas istilah Hukum Sumber Daya Alam pada UU No. 35/2000 tersebut juga belum memberikan pemahaman yang tuntas.Sedangkan berdasarkan Pengertian Sumber Daya Alam (UU Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 angka 10) :Segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat memenuhi kebutuhan manusia pada umumnya.Kekayaan alam hayati dan non-hayati.Penjelasan yang agak cukup gamblang dapat kita pahami dari Sundari Rangkuti, yang menyatakan:Pada pengelolaan lingkungan kita berhadapan dengan hukum sebagai sarana pemenuhan kepentingan. Berdasarkan kepentingan-kepentingan lingkungan yang bermacam-macam dapat dibedakan bagian-bagian hukum lingkungan: a. Hukum Bencana (Ramperenrecht);b. Hukum Kesehatan Lingkungan (Milieuhygienerecht);c. Hukum tentang Sumber Daya Alam (Recht betreffende natuurlijke rijkdommen) atau Hukum Konservasi (Natural Resources Law);d.Hukum tentang Pembagian Pemakaian Ruang (Recht betreffende de verdeling van het ruimtegebruik) atau Hukum Tata Ruang;e. Hukum Perlindungan Lingkungan (Milieu beschermingsrecht).

Dari penjelasan itu tampak bahwa sebetulnya Hukum SDA merupakan bagian dari Hukum Lingkungan, menurut Rangkuti Hukum Lingkungan menyangkut penetapan nilai-nilai (waardenbeoordelen), yaitu nilai-nilai yang sedang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan diberlakukan di masa mendatang serta dapat disebut hukum yang mengatur tatanan lingkungan hidup. Dengan demikian Hukum Lingkungan adalah hukum yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

Apabila hal tersebut kemudian kita kaitkan dengan persoalan SDA maka Hukum Sumber Daya Alam adalah Hukum yang merupakan bagian dari Hukum Lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya dalam hal soal SDA, yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi.

2. Landasan Hukum Positif di Indonesia tentang Sumber Daya Alam

Dasar Hukum Sumber Daya Alam di Indonesia : UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria. UU Nomor 5 Tahun 1967 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 6 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Peternakan dan Kesehatan Hewan. UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan. UU Nomor 9 Tahun 1985 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan. UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati. UU Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman. UU Nomor 16 Tahun 1992 tentang Karantina Hewan, Ikan dan Tumbuhan. UU Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran. UU Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nation Convention On Biogilical Deversity (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Keanekaragaman Hayati). UU Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan. UU Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. UU Nomor 29 Tahun 2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman. Tap MPR Nomor IX/ MPR/ 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. UU Nomor 20 Tahun 2002 tentang Ketenagalistrikan. UU Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air. UU Nomor 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan. UU Nomor 21 Tahun 2004 tentang Pengesahan Catargena Protocol on Biosafety to the Convention on Biological Diversity (Protokol Catargena tentang Keamanan hayati atas Konvensi Keanekaragaman Hayati). UU Nomor 26 Tahun 2007 UU Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang. UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. PP Nomor 32 Tahun 1969 PP Nomor 75 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan UU Nomor 11 Tahun 1967. PP Nomor 28 Tahun 1985 tentang Perlindungan Hutan. PP Nomor 29 Tahun 1986 PP Nomor 51 Tahun 1993 PP Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan. PP Nomor 19 Tahun 1994 PP Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun. PP Nomor 27 Tahun 1991 tentang Rawa. PP Nomor 35 Tahun 1991 tentang Sungai. PP Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zona Pemanfaatan Tanaman Nasional. PP Nomor 6 Tahun 1995 tentang Perlindungan Tanaman. PP Nomor 44 Tahun 1995 tentang Pembenihan Tanaman. PP Nomor 62 Tahun 1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah di Bidang Kehutanan kepada Daerah. PP Nomor 68 Tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam. PP Nomor 6 Tahun 1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada Hutan Produksi. PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa PP Nomor 8 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa PP Nomor 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum PP Nomor 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. Keppres Nomor 23 Tahun 1990 tentang Pembentukan Bappedal. Keppres Nomor 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung. Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional. Instruksi Presiden Nomor 2 Tahun 2006 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Batubara yang penyediaan dan pemanfaatan batubara yang dicairkan sebaga bahan bakar lain. Kepmen Lingkungan Hidup Nomor 45 Tahun 1997 tentang Indeks Pencemaran Udara.

Pengertian Sumber Daya Alam (UU Nomor 23 Tahun 1997 Pasal 1 angka 10) : Segala sesuatu yang muncul secara alami yang dapat memenuhi kebutuhan manusia pada umumnya. Kekayaan alam hayati dan non-hayati.

Persoalan Sumber Daya Alam : Penebangan liar. Penambangan tanpa ijin. Pencurian ikan. Pemanasan global. Bencana alam (banjir, tsunami, gempa bumi, longsor, dan lain-lain). Limbah. Kebakaran hutan. Polusi udara. Gagal panen. Pencemaran sungai.

Permasalahan lingkungan : Pencemaran lingkungan: pencemaran air, udara, masalah Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, dan lain-lain yang disebabkan karena human error (eksploitasi berlebihan). Kerusakan sumber daya alam: masalah erosi lahan, kepunahan plasma nutfah dan lain sebagainya yang ditimbulkan karena bencana alam. Masalah pemukiman : sanitasi, air bersih, kesehatan lingkungan, dan lain-lain.

Tujuan pengaturan terkait Sumber Daya Alam : Pelestarian/ Mencegah eksploitasi berlebihan, pengembangan. Penyelamatan (UU Kehutanan). Menangani tindak kriminalitas. Pengelolaan.Pengelolaan Sumber Daya Alam : Melingkupi bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. (Pasal 33 Ayat 3 UUDN RI 45). Diperluas dengan unsur ruang angkasa (UU Nomor 5 Tahun 1960 UUPA).

Ketentuan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 memberikan penegasan tentang :a. Memberikan kekuasaan kepada negara untuk menguasai bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung di dalanya sehingga negara mempunyai hak menguasai. Hak ini adalah hak yang berfungsi dalam rangkaian hak-hak penguasaan sumber daya alam di Indonesia.b. Membebaskan serta kewajiban kepada negara untuk mempergunakan sumber daya alam yang ada untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pengertian sebesar-besar kemakmuran rakyat menunjukkan kepada kita bahwa rakyatlah yang harus menerima manfaat kemakmuran dari sumber daya alam yang ada di Indonesia.

Arah kebijakan pembangunan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup :a. Mengelola sumber daya alam dan memelihara daya dukungnya agar bermanfaat bagi peningkatan kesejahteraan rakyat dari generasi.b. Meningkatkan pemanfaatan potensi sumber daya alam dan lingkungan hidup dengan melakukan konservasi, rehabilitasi dan penghematan penggunaan dengan menerapkan teknologi ramah lingkungan.c. Mendelegasikan secara bertahap wewenang pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dalam pelaksanaan pengelolaan sumber daya alam secara selektif dan pemeliharaan lingkungan hidup sehingga kualitas ekosistem tetap terjaga yang diatur dengan undang-undang.d. Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dnegan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.e. Menerapkan indikator-indikator yang memungkinkan pelestarian kemampuan, keterbatasan sumber daya alam yang dapat diperbaharui untuk mencegah kerusakan yang tidak dapat balik.

Kebijakan bidang sumber daya alam dan lingkungan hidup ditujukan untuk :a. Mengelola sumber daya alam, yang dapat diperbaharui maupun tidak melalui penerapan teknologi ramah lingkungan dengan memperhatikan daya dukung dan daya tampungnya.b. Menegakkan hukum secara adil dan konsisten untuk menghindari kerusakan sumber daya alam dan pencemaran lingkungan.c. Mendelegasikan kewenangan dan tanggung jawab kepada pemerintah daerah dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup secara bertahap.d. Memberdayakan masyarakat dan kekuatan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat global.e. Menerapkan secara efektif penggunaan indikator-indikator untuk mengetahui keberhasilan pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan hidup.f. Memelihara kawasan konservasi yang sudah ada dan menetapkan kawasan konservasi baru di wilayah tertentu, dan g. Mengikutsertakan masyarakat dalam rangka menanggulangi permasalahan lingkungan global.

Pembaharuan agraria dan pengelolaan sumber daya alam harus dilaksanakan sesuai prinsip :a. Memelihara dan mempertahankan keutuhan negara kesaturan Republik Indonesia.b. Menghormati dan menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia.c. Menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum;d. Mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumber daya manusia Indonesia;e. Mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat;f. Mewujudjan keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, peruntukan, penggunaan pemanfaatan dan pemeliharaan sumber daya agraria / sumber daya alam.g. Memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal baik untuk generasi sekarang maupun generasi yang akan datang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan h. Melaksanakan fungsional, kelestarian, dan fungsi ekologi sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat.i. Meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antar pembangunan antar daerah dalam pelaksanaan pembangunan agraria dan pengelolaan sumber daya alam;j. Mengakui, mengirmati dan melindungi hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sdagraria / sumber daya alam;k. Mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten / kota dan daesa atau yang setingkat) masyarakat dan individu;l. Melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten / kota dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alasan dan pengelolaan sdagraria / sumber daya alam.

Kewenangan Pemerintah Pusat dalam pengelolaan sumber daya alam (Pasal 2 PP Nomor 25 Tahun 2000) : Penetapan pedoman pengendalian sumber daya alam dan kelestarian fungsi lingkungan. Pengaturan pengelolaan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya laut di luar 12 mil. Penilaian AMDAL bagi kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat dan atau menyangkut pertahanan dan keamanan yang lokasinya meliputi lebih dari 1 wilayah propinsi, kegiatan yang berlokasi di wilayah sengketa dengan negara lain, di wilayah laut bawah 12 mil dan berlokasi di lintas batas negara. Penetapan baku mutu lingkungan hidup dan penetapan pedoman tentang pencemaran lingkungan hidup.

Kewenangan Propinsi : Pengendalian lingkungan hidup lintas kabupaten / kota. Pengaturan pengelolaan lingkungan dalam pemanfaatan sumberdaya laut 4 mil sampai 12 mil. Pengaturan tentang pengamanan dan pelestarian sumberdaya air lintas kabupaten / kota. Penilaian AMDAL bagi kegiatan-kegiatan yang potensial berdampak negatif pada masyarakat luas yang lokasinya meliputi lebih dari satu kabupaten / kota. Pengawasan pelaksanaan konservasi lintas kabupaten/kota. Penetapan baku mutu lingkungan hidup berdasarkan baku mutu lingkungan hidup nasional.

Dasar Hukum Pertambangan di Indonesia : UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33. UU Nomor 11 Tahun 1967 UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara. PP Nomor 22 Tahun 2010 tentang Wilayah Pertambangan. PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Pertambangan. UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah. UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.UU Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang. UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. UU Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal Asing. UU Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Intisari dari UUD 1945 Pasal 33 : Hak penguasaan negara berisi kewenangan untuk mengatur, mengurus, dan mengawasi pengelolaan atau pengusahaan bahan galian, serta kewajiban untuk mempergunakannya sebesar-besarnya demi kemakmuran rakyat. Perekonomian nasional diselenggarakan berdasarkan atas prinsip kebersamaan, efisiensi, berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

3. Penerapan Hukum Sumber Daya Alam di IndonesiaSebagaimana yang telah disinggung di atas undang-undang yang berkaitan dengan sumber daya alam pada pokoknya adalah: (1) Undang-undang Nomor 5 tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; (2) Undang-undang Nomor 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan; (3) Undang-undang Nomor 7 tahun 2004 tentang Pengairan; (4) Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang Perikanan; (5) Undang-undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; (6) Undang-undang Nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan.

Pada bagian ini berbagai undang-undang tersebut dikaji untuk melihat bagaimana pengaturan pada aspek-aspek keberlanjutan, perlindungan pada masyarakat adat, partisipasi publik, daya penegakan hukum, hubungan negara dengan sumber daya alam, sinkronisasi dengan perundang-undangan lain, penghormatan hak asasi manusia, desentralisasi, dan kelembagaan.

1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA)

UUPA adalah produk hukum nasional pertama yang mengatur tentang sumber daya alam. UUPA mengartikan sumber daya alam (agraria) sebagai bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Pasal 1 ayat (2) menyatakan bahwa seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia, sebagai karunia Tuhan YME adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional.

Berkaitan dengan cakupan agraria ini, maka muncul pertanyaan apakah sumber daya alam yang terdiri dari bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu harus dipandang sebagai kesatuan ekologi yang utuh dan saling terkait (ekosistem), atau dapat dipandang sebagai jenis-jenis sumber daya alam yang bisa dikuasai dan dikelola secara terpisah? Dalam hubungan ini, UUPA memang tidak secara tegas membahas mengenai keutuhan dan saling terkaitan antara sumber daya alam ini, namun pengaturan tentang penguasaan tanah memberikan jawaban pada pertanyaan itu. Pasal 4 ayat (2) UUPA menyatakan bahwa hak-hak atas tanah memberikan wewenang untuk mempergunakan tanah, tubuh bumi, air serta ruang yang ada di atasnya sekedar diperlukan untuk kepentingan yang langsung berhubungan dengan penggunaan tanah dan dalam batas-batas yang diatur oleh undang-undang.

UUPA lebih banyak mengatur tentang dasar-dasar penguasaan sumber daya alam. Hanya ada satu pasal yang mengatur tentang pengalokasian pemanfaatan sumber daya alam. Pasal 14 yang menjadi dasar bagi perencanaan pengalokasian dan pemanfaatan sumber daya alam menyatakan bahwa perencanaan pemanfataan sumber daya alam dilakukan untuk keperluan negara, peribadatan, pusat kehidupan sosial budaya dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan produksi pertanian, peternakan, perikanan serta pengembangan industri, transmigrasi, dan pertambangan. Sementara itu, berkaitan dengan kelestarian pengelolaan sumber daya alam, UUPA hanya menyebutkan di Pasal 15 bahwa memelihara tanah, termasuk menambah kesuburannya serta mencegah kerusakannya adalah kewajiban tiap-tiap orang, badan hukum, atau instansi yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah itu, dengan memperhatikan pihak yang ekonominya lemah.

Namun demikian, selama tiga dekade terakhir ini kebijakan pertanahan selama pemerintahan orde baru yang bercorak sentralistik telah menimbulkan dampak bagi sumber daya alam, terutama degradasi kualitas tanah pertanian yang banyak dialihfungsikan menjadi areal perumahan mewah (real estate), kawasan industri, dan bahkan menjadi komoditi untuk investasi dan spekulasi para pemilik modal yang mengakibatkan tanah ditelantarkan dalam jangka waktu yang tidak tertentu. Implikasi sosial-budaya yang ditimbulkan adalah terjadinya berbagai konflik vertikal maupun horisontal di daerah antara masyarakat dengan pemerintah atau masyarakat dengan pemodal besar, karena terjadi penggusuran atau pengabaian atas hak-hak masyarakat adat/lokal dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam.

UUPA yang secara tegas menyatakan berlandaskan hukum adat, memberikan batasan pada hukum adat. Dalam Pasal 5 disebutkan bahwa hukum agraria yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan pada persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam UUPA dan dengan peraturan perundang-undangan lainnya, serta segala sesuatu yang mengindahkan unsur-unsur yang bersandarkan pada hukum agama.

Pilihan untuk menjadikan hukum adat sebagai dasar hukum agraria nasional dilakukan mengingat UUPA dimaksudkan sebagai undang-undang yang bersumber dari kesadaran hukum rakyat banyak. Dalam kenyataannya bagian terbesar dari rakyat Indonesia tunduk pada hukum adat. Namun, UUPA memandang bahwa hukum adat perlu disempurnakan karena dalam perkembangannya tidak terlepas dari pengaruh kolonial yang kapitalistik dan masyarakat swapraja yang feodal. Penyempurnaan hukum adat dilakukan melalui penyesuaian dengan kepentingan masyarakat dalam konteks negara moderen dan hubungan negara dengan dunia internasional serta sosialisme Indonesia (penjelasan umum III angka 1).

Dalam kenyataannya, tanpa kriteria yang jelas, kepentingan bangsa dan negara acapkali ditafsirkan sama dengan kepentingan beberapa kelompok orang yang sedang memegang kekuasaan (pemerintah). Dengan mengatasnamakan kepentingan bangsa dan negara maka hak-hak rakyat atas sumber daya alam yang bersumber dari hukum adat sering diabaikan. Hak-hak rakyat yang dalam bahasa UUPA dikatakan sebagai hak ulayat dan hak serupa itu diberikan dalam konteks kesesuaiaannya dengan kepentingan nasional dan kepentingan negara yang tidak terdefinisikan secara jelas serta kesesuaiannya dengan peraturan perundang-undangan lain yang pada kenyataannya justru mengingkari hak-hak masyarakat adat.

Meskipun UUPA memberikan pengakuan yang mendua pada masyarakat adat, namun untuk perorangan warga negara Indonesia, cukup diberikan peluang untuk mendapatkan hak individual atas tanah. Pasal 16 UUPA memberikan berbagai peluang untuk menguasai tanah dengan berbagai alas hak: hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, hak sewa, dan sebagainya. UUPA menganut pandangan bahwa urusan agraria pada dasar-nya adalah urusan pemerintah pusat. UUPA tidak mengatur secara rinci tentang kewenangan dan peran pemerintah daerah. Kewenangan pemerintah daerah adalah pelaksanaan dari tugas pembantuan.

Pemerintah, atau lebih khusus lagi pemerintah pusat menempati peran strategis dalam UUPA. Dengan demikian dapat dipahami jika partisipasi publik tidak mendapat ruang dalam undang-undang ini.

Penegakan hukum dalam UUPA utamanya diarahkan pada pelanggaran kewajiban memelihara tanah dari para pemegang hak atas tanah, pendaftaran tanah, pelanggaran berkaitan dengan hak milik adat, penggunaan tanah bukan oleh pemilik, dan pelanggaran ketentuan peralihan hak atas tanah. UUPA tidak memberikan penjelasan mengapa penegakan hukum hanya diberikan pada hal-hal tersebut, tetapi tidak pada hal lain, seperti halnya pelanggaran dalam prosedur pencabutan hak atas tanah atau tidak terpenuhinya berbagai kewajiban pemerintah yang ditetapkan dalam UUPA.

2. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pertambangan

Pemahaman tentang sumber daya alam dalam Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 bersifat reduksionis. Sumber daya alam lebih banyak dilihat sebagai komoditi. Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang pertambangan mengartikan sumber daya tambang sebagai bahan galian (unsur kimia, mineral, biji dan batuan yang merupakan endapan alam) yang merupakan kekayaan nasional yang dikuasai dan dipergunakan negara untuk kemakmuran rakyat.

Selain pandangan reduksionis tentang sumber daya alam, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 lebih menitikberatkan perhatian pada eksploitasi (use-oriented) dari pada kelestarian sumber daya tambang. Undang-undang ini hanya memberikan satu pasal ini hanya memberikan satu pasal perlindungan lingkungan dari kegiatan pertambangan. Pengaturan tersebut bahkan hanya berlaku pada kegiatan pasca penambangan, dengan menyatakan bahwa apabila selesai melakukan penambangan bahan galian pada suatu tempat pekerjaan, pemegang kuasa pertambangan yang bersangkutan diwajibkan mengembalikan tanah sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan bahaya penyakit atau bahaya lain bagi masyarakat sekitarnya. Dengan ketentuan semacam itu maka undang-undang ini kurang memberi perhatian pada upaya konservasi sumber daya alam dan lingkungannya.

Pemanfaatan sumber daya tambang diarahkan untuk meningkat-kan pendapatan negara yang dilakukan dengan mengundang investor besar. Dengan demikian undang-undang ini sarat dengan orientasi ekonomi dan kapital (economic and capital oriented).

Undang-undang pertambangan ini juga bersifat sentralistik. Penguasan, pemanfaatan, dan pengusahaan serta perijinan usaha pertambangan umum ditetapkan oleh pemerintah pusat (Menteri Pertambangan). Pemerintah daerah hanya berhak melaksanakan penguasaan negara dan mengatur usaha pertambangan untuk bahan galian golongan C seperti pasir, kapur, belerang, dan lain-lain yang kurang bernilai ekonomis tinggi. Sedangkan, bahan galian tambang golongan A dan B seperti emas, tembaga, nikel, minyak dan gas bumi, batu bara, timah, bauksit, dan lain-lain menjadi bagian dari kewenangan pemerintah pusat.

Dengan semangat sentralistik itu pula maka tidak ada ruang bagi pengaturan mengenai partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan dan pembuatan kebijakan pengelolaan sumber daya tambang. Kontrol publikpun dalam pengelolaan sumber daya tambang sejak awal tidak diatur dalam undang-undang ini. Masyarakat terutama yang berdiam di wilayah yang akan dilakukan kegiatan pertambangan tidak pernah diberi informasi dan dimintakan persetujuan bagi rencana pemberian ijin pertambangan. Hal ini mengabaikan satu prinsip penting dalam pengelolaan sumber daya alam yang dikenal sebagai prior informed-consent principle.

Pengakuan pada hak-hak masyarakat adat diintegrasikan dalam pengaturan tentang pertambangan rakyat. Undang-undang ini menafsirkan bahwa rakyat setempat yang mengusahakan kegiatan pertambangan dipastikan sebagai masyarakat yang terikat oleh hukum adat. Dalam kenyataannya, tidak semua rakyat setempat adalah masyarakat adat, dan tidak semua pertambangan rakyat dilakukan oleh masyarakat adat. Membatasi hak masyarakat adat hanya pada pengelolaan tambang skala kecil (pertambangan rakyat) merupakan wujud sikap diskriminatif pada masyarakat adat dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya tambang.

Implikasi pengaturan pengelolaan sumber daya tambang yang bercorak sentralistik, sektoral, dan diskriminatif secara nyata menimbulkan dampak negatif bagi ekologi dan lingkungan hidup. Operasi dari usaha pertambangan menimbulkan kerusakan tanah, air, dan degradasi sumber daya alam hayati. Pasal 30 yang mengatur kewajiban pengusaha untuk melakukan reklamasi dan rehabilitasi ternyata bukan dimaksudkan sebagai upaya untuk konservasi, reklamasi, rehabilitasi, atau mengembalikan fungsi lingkungan hidup, tetapi hanya sekadar sebagai upaya untuk mencegah kemungkinan timbulnya penyakit.

3.Undang-undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air

Air yang dimaksudkan dalam UU ini adalah semua air yang terdapat pada, di atas, ataupun di bawah permukaan tanah, termasuk dalam pengertian ini air permukaan, air tanah, air hujan, dan air laut yang berada di darat.

Meski tergolong relatif baru semangat yang ada di dalam UU ini adalah penguasaan air beserta sumber-sumbernya termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya yang masih berpusat pada negara, semangat ini kemudian mendorong munculnya semangat privatisasi air yang lebih sekedar menguntungkan pihak swasta. Semangat privatisasi ini lebih melihat air sebagai komoditas yang jelas-jelas bertentangan dengan UUD 1945, hak-hak masyarakat termasuk di dalamnya masyarakat adat tidak diakomodatif. Peran yang besar dari pemerintah itu sekaligus menunjukkan bahwa pengelolaan sumber daya air bertumpu pada negara yang pelaksanaannya dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah.

4.Undang-undang Nomor tahun 2004 tentang PerikananUndang-undang Perikanan ini terdiri dari 17 bab dan 110 pasal yang pada intinya mengatur dan meberikan landasan hukum bagi pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya perikanan secara optimal dan berkelanjutan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Salah satu aspek yang diatur dalam UU ini adalah wilayah dan pengelolaan perikanan. Disebutkan bahwa wilayah pengelolaan perikanan mencakup perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), dan sungai, danau, waduk, dan genangan air lainnya yang dapat digunakan untuk kegiatan pembudidayaan ikan. Dilihat dari sisi ini, cakupan UU ini sudah cukup memayungi semua kegiatan perikanan yang ada sehingga semua kegiatan pengelolaan perikanan diatur oleh UU ini. Selanjutnya juga disebutkan bahwa kegiatan pengelolaan perikanan selain diatur oleh peraturan perundang-undangan yang ada juga diselenggarakan berdasarkan peraturan standar internasional yang diterima secara umum. Ciri sumberdaya perikanan adalah terbuka dan milik bersama serta bersifat migratif. Dan, oleh kerja sama internasional memegang peranan penting dan menentukan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Kerja sama internasional baik secara bilateral maupun multilateral yang bersifat mengikat maupun sukarela akan menjadi dominan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan di masa mendatang.

Dengan dicantumkannya pasal ini yang merupakan ketentuan baru yang sebelumnya tidak diatur dalam UU terdahulu maka UU Perikanan ini telah mengakomodasi dengan baik masalah kerja sama internasional ini. Pasal ini merupakan ketentuan penting yang menjadi bukti kesiapan Indonesia dalam menghadapi berbagai kerja sama dan kompetisi internasional dalam pengelolaan sumberdaya perikanan. Dengan demikian UU Perikanan telah secara baik mengantisipasi berbagai kecenderungan yang berkembang dewasa ini dalam dunia perikanan.

Aspek lain yang menarik dalam UU Perikanan ini adalah pengakuan akan hukum-hukum adat, kearifan lokal dan peran serta masyarakat. Ketentuan ini diatur dalam pasal 6 ayat (2). Ayat sebelumnya dalam pasal 6 tersebut menyebutkan bahwa pengelolaan perikanan dalam wilayah Republik Indonesia dilakukan untuk tercapainya manfaat yang optimal dan berkelanjutan, serta terjaminnya kelestarian sumberdaya ikan. Dari pasal-pasal yang disebutkan tersebut tampak jelas bahwa konsepsi yang melatarbelakangi pengelolaan perikanan di Indonesia sebagaimana yang diatur dalam UU Perikanan ini adalah memakai prinsip-prinsip dari sustainable development dalam arti yang sesungguhnya. Pada saat yang sama UU Perikanan ini juga sangat berwawasan internasional dan berdimensi lokal. Dilihat dari sisi ini UU Perikanan ini merupakan UU yang sangat up to date dan beorientasi jauh ke depan mengikuti perkembangan dan kecenderungan internasional yang ada.

UU Perikanan juga mengatur ketentuan tentang usaha perikanan. Disebutkan bahwa usaha perikanan dilaksanakan dengan sistem bisnis perikanan yang meliputi kegiatan pra-produksi, produksi, pengolahan, dan pemasaran. Selanjutnya pasal-pasal lain dalam Bab Usaha Perikanan mengatur penyelenggaraan pembinaan dan pengaturan izin bagi para pelaku usaha perikanan. Satu hal yang menarik adalah bahwa UU Perikanan tidak hanya mengatur aspek produksi tapi juga aspek pendukung lainnya seperti pengolahan dan pemasaran. Dengan demikian pembinaan terhadap usaha perikanan dilakukan secara bersama oleh instansi terkait.

Sebagaimana diketahui selama ini pembinaan terhadap aspek pengolahan dan pemasaran dilaksanakan oleh instansi yang bertanggung jawab di bidang perdagangan dan perindustrian yang terkadang kurang memiliki koordinasi dan keterkaitan dengan instansi yang bertanggung jawab di bidang pra-produksi dan produksi. Dengan adanya pengaturan ini maka diharapkan adanya koordinasi yang lebih baik sehingga pembinaan dan pengembangan usaha perikanan akan semakin tertata dengan baik dan menghasilkan sebuah industri yang kuat dan tangguh.

Selain mengatur usaha perikanan secara keseluruhan UU Perikanan juga memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan nelayan dan pembudi daya ikan berskala kecil. Perhatian khusus ini diwujudkan dalam pasal-pasal yang mengatur tanggung jawab pemerintah untuk menyediakan skim kredit dan akses manajemen, penyelenggaraan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan bagi nelayan dan pembudi daya ikan kecil. UU Perikanan juga mengatur usaha kemitraan antara pengusaha perikanan dan kelompok-kelompok nelayan kecil dalam suatu kerja sama yang menguntungkan. Di sisi lain, nelayan-nelayan kecil pun diberikan akses yang sangat luas untuk menangkap dan mengelola kegiatan perikanan di seluruh wilayah pengelolaan perikanan Indonesia. Dilihat dari sisi ini tampak bahwa UU Perikanan disusun dengan semangat pemerataan yang kuat namun tanpa mengorbankan pertumbuhan yang biasa didapat dari kegiatan ekonomi berskala besar. Aspek ini penting untuk dikedepankan agar pengalaman pahit dalam pengelolaan sumberdaya hutan yang justru menimbulkan konflik-konflik sosial di masa lalu tidak terulang. Hal ini karena ketentuan dan peraturan yang ada tidak secara eksplisit dan spesifik memberikan perhatian dan komitmen bagi pemberdayaan masyarakat dan usaha berskala kecil. Dengan pengaturan sedemikian maka akan tercipta secara proporsional hak dan kewajiban berbagai pelaku usaha perikanan sehingga manfaat yang setara diperoleh para nelayan dan pembudidaya kecil maupun para pengusaha perikanan dari kegiatan pengelolaan sumberdaya perikanan.

Selain dari aspek-aspek itu, UU Perikanan juga mengatur pengawasan dan ketentuan peradilan lainnya. Hal yang penting diatur dalam aspek ini adalah pembentukan pengadilan perikanan yang berada di lingkungan peradilan umum. Dalam aspek ini juga diatur kegiatan penyidikan dalam perkara tindak pidana yang ada dalam kewenangan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Perikanan, Perwira TNI AL, dan Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, serta berbagai sanksi pidana bagi pihak yang melakukan pelanggaran terhadap UU Perikanan ini.

Sebagaimana diketahui praktik illegal, unregulated, dan unreported (IUU) atau pencurian ikan merupakan salah satu faktor yang menyebabkan manfaat dari sumberdaya perikanan belum sepenuhnya dinikmati oleh masyarakat Indonesia. Kegiatan ini telah membawa kerugian banyak kepada negara, dan diperkirakan jumlah kerugian yang diakibatkan oleh IUU sebesar 2-4 milliar dolar AS per tahun. Berbagai upaya telah banyak dilakukan untuk memberantas kegiatan ini, namun karena legal means yang ada belum cukup kuat dalam mengatur dan menangani kegiatan ini maka penyelesaiannya berjalan sangat lamban dan bertele-tele. Di samping itu, koordinasi antara instansi juga belum terjalin dengan baik dalam penanganan masalah ini. Adanya ketentuan yang mengatur masalah ini sebagaimana tercantum dalam UU Perikanan baik yang menyangkut kewenangan instansi dalam penyidikan, pembentukan peradilan perikanan, dan sanksi hukum yang cukup berat maka kini diharapkan penyelesaian kasus-kasus pencurian ikan dapat ditangani lebih cepat dan tidak ada alasan lagi bagi aparat hukum untuk berlindung di balik ketiadaan dan kekurangkuatan landasan hukum. Dengan demikian kita mengharapkan kegiatan IUU dapat ditekan seminimal mungkin dan ketersediaan sumberdaya perikanan memberikan manfaat ekonomi yang lebih besar lagi bagi masyarakat dan pemerintah.

Meski UU ini cukup akomodatif dan visioner, namun sayang bahwa pengaturannya masih bersifat sectoral

5.Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Penegasan tentang sifat keutuhan dan kesalingterkaitan sumber daya alam tampak dalam Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Undang-undang ini mengartikan sumber daya alam hayati sebagai unsur-unsur hayati di alam yang terdiri dari sumber daya alam nabati (tumbuhan) dan sumber daya alam hewani (satwa) yang bersama dengan unsur non hayati di sekitarnya yang secara keseluruhan membentuk ekosistem. Unsur-unsur dalam sumber daya alam hayati dan ekosistemnya pada dasarnya saling tergantung antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi sehingga kerusakan dan kepunahan salah satu unsur akan berakibat terganggunya ekosistem.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 lebih banyak memusatkan perhatian pada pengaturan tentang kelestarian sumber daya alam. Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya bertujuan mengusahakan terwujudnya kelestarian sumber daya alam hayati serta keseimbangan ekosistem, sehingga dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Konservasi sumber daya alam dilakukan dengan kegiatan perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemhya serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam dan ekosistemnya.

Pasal 4 undang-undang ini menyebutkan bahwa konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya merupakan tanggung-jawab dan kewajiban pemerintah serta masyarakat. Namun, bagian terbesar dari isi undang-undang berkaitan dengan dominasi peran pemerintah. Pengaturan tentang peran masyarakat diberikan dalam Bab IX Pasal 37. Peran serta rakyat dalam konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya diarahkan dan digerakkan oleh pemerintah melalui berbagai kegiatan yang berdaya guna dan berhasil guna (Pasal 37 ayat (1)). Dengan pengertian demikian, maka peran serta yang dimaksud bukan partisipasi sejati dari rakyat (genuine public participation) melainkan mobilisasi yang dilakukan pemerintah pada rakyat.

Peran pemerintah sangat besar dalam kegiatan-kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Pemerintah menetapkan wilayah tertentu sebagai wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pola dasar pembinaan wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan pengaturan cara pemanfaatan wilayah perlindungan sistem penyangga kehidupan; mengatur dan menertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan hak pengusahaan di perairan yang terletak dalam wilayah perlindungan dan sistem penyangga kehidupan; menetapkan dan mengelola kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa) dan pelestarian alam (taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam). Dengan besarnya peran pemerintah itu maka ruang bagi masyarakat adat melakukan kegiatan konservasi sumber daya alam hampir tidak ada. Undang-undang ini tidak menyebutkan sedikitpun pengaturan tentang masyarakat adat, meskipun masyarakat adat di berbagai tempat mempunyai pranata, pengetahuan dan pengalaman konservasi sumber daya alam.

Peran pemerintah dalam konservasi sumber daya alam dan ekosistemnya dipahami sebagai konsekuensi dari penguasaan negara pada sumber daya alam (penjelasan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 34 ayat (1)). Karena itulah maka hak masyarakat adat tidak mendapat tempat yang memadai. Undang-undang ini bahkan lebih memilih menyerahkan pengelolaan zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam melalui pemberian hak pengusahaan kepada koperasi, badan usaha milik negara, perusahaan swasta dan perorangan.

Konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya dalam pandangan undang-undang ini adalah urusan negara yang kemudian dilaksanakan oleh pemerintah pusat. Pemerintah daerah hanya dapat menjalankan urusan ini jika mendapat pendelegasian wewenang ataupun menjalankannya sebagai tugas pembantuan dari pemerintah pusat. Meskipun memberi porsi besar bagi pemerintah pusat, tidak ada penjelasan tentang unsur pemerintahan mana yang bertanggung-jawab secara kelembagaan untuk menjalankan undang-undang ini. Karena itu tidak ditemukan kegiatan konservasi sumber daya alam hayati yang terpadu, karena masing-masing lembaga menginter-pretasikan sendiri mengenai konservasi ini sesuai dengan dasar-dasar kebijakannya yang bersifat sektoral.

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 ini sarat mengatur hak negara tetapi tidak banyak memberikan pengaturan tentang hak rakyat, apalagi dalam konteks pengakuan hak asasi manusia. Pengaturan yang diberikan kepada rakyat semata-mata berkaitan dengan kewajiban dan larangan-larangan yang diancam dengan hukuman pidana.

6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 mendefinsikan hutan sebagai kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Sumber daya hutan dengan demikian tidak dilihat sebagai sekumpulan komoditi tetapi juga ekosistem yang unsur-unsurnya saling terkait.

Penyelenggaraan kehutanan disebutkan berasaskan pada manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan. Asas manfaat dan lestari dimaksudkan agar setiap pelaksanaan penyelenggaraan kehutanan memperhatikan keseimbang-an dan kelestarian unsur lingkungan, sosial-budaya dan ekonomi. Pengejawantahan asas itu kemudian dilakukan dengan mengalokasi-kan kawasan hutan sesuai fungsinya menjadi hutan lindung, hutan produksi, dan hutan konservasi. Secara khusus diatur pula tentang perlindungan hutan dan konservasi alam. Pengaturan ini dimaksud-kan untuk menjaga agar fungsi hutan tetap lestari. Oleh karena itu, Undang-Undang ini merinci berbagai perbuatan yang dianggap memberi kontribusi pada kerusakan fungsi hutan, menetapkan larangan-larangan serta mekanisme penegakan hukumnya.

Negara yang dalam hal ini ditafsirkan sebagai pemerintah memegang peran penting dalam penguasaan dan pengelolaan sumber daya hutan. Pasal 4 menyebutkan bahwa semua hutan termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Penguasaan hutan oleh negara memberikan wewenang kepada pemerintah (pusat) untuk mengatur dan mengurus segala sesuatu yang berkaitan dengan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan; menetapkan status wilayah tertentu sebagai kawasan hutan; mengatur dan menetapkan hubungan-hubungan hukum antara orang dengan hutan serta perbuatan hukum mengenai kehutanan. Pengurusan hutan meliputi kegiatan perencanaan kehutanan, pengelolaan hutan, penelitian dan pengembangan, pendidikan dan latihan, penyuluhan kehutanan serta pengawasan. Dengan demikian, pemerintah berfungsi sebagai pengatur, pengalokasi, pemberi izin, perencana, pengelola, peneliti, pendidik, penyuluh sekaligus pengawas.

Pereduksian negara menjadi pemerintah dalam konteks hak menguasai sumber daya hutan bertentangan dengan UUPA. Hak menguasai negara menurut UUPA bisa dilimpahkan kepada daerah swatantra dan masyarakat hukum adat tertentu.

Dengan peran yang besar dari pemerintah itu maka paradigma pengelolan sumber daya alam yang berpusat pada negara (state-based forest management) tetap dipegang oleh undang-undang ini. Kalaupun masyarakat mendapat peran maka peran itu hanyalah pelengkap. Hal ini merupakan konsekuensi dari penerapan paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh negara yang menempatkan pemerintah dalam posisi sentral dan menentukan. Sebaliknya, paradigma pengelolaan sumber daya alam oleh masyarakat (community-based forest management) menjadikan masyarakat sebagai pelaku utama dalam pengelolaan hutan, sedangkan pemerintah hanya berperan sebagai fasilitator dan administrator untuk mendukung proses tersebut.

Perwujudan lain dari paradigma pengelolaan hutan oleh negara dalam undang-undang ini tampak jelas dalam pengaturan tentang masyarakat adat. Hal ini dimulai dari ketentuan yang tidak mengakui adanya hutan adat sebagai hutan berdasarkan statusnya. Undang-undang ini hanya mengakui hutan negara dan hutan hak sebagai hutan berdasarkan statusnya. Sedangkan, hutan adat dinyatakan sebagai bagian dari hutan negara yang berada dalam wilayah dan dikelola oleh masyarakat adat. Karena itu, hak-hak masyarakat adat atas sumber daya hutan diposisikan sebagai bagian dari hak negara. Hutan adat ditetapkan pemerintah sepanjang dalam kenyataannya masyarakat hukum adat masih ada dan diakui keberadaannya. Pengukuhan keberadaan dan hapusnya hak masyarakat adat ditetapkan dengan Peraturan Daerah yang disusun dengan mempertimbangkan hasil penelitian para pakar hukum adat, aspirasi masyarakat dan tokoh adat serta instansi terkait.

Ketentuan yang sifatnya birokratik dan sangat mengandalkan ilmu pengetahuan dan teknologi ini berpotensi mengingkari keberadaan masyarakat adat secara faktual, dan pada gilirannya kemudian mengingkari hak masyarakat adat untuk mengidentifikasikan dirinya sendiri (self-identification) dan hak menentukan kehidupannya sendiri (self-determination). Undang-undang ini juga mengingkari hak asasi masyarakat adat untuk memiliki sumber daya alamnya. Hak-hak masyarakat adat yang diakui hanyalah hak memanfaatkan sumber daya alam dan mengelola dalam skala terbatas untuk keperluan hidup sehari-hari.

Meskipun memberi batasan pada hak masyarakat adat, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 memberi ruang cukup besar pada peran publik untuk berpartisipasi dalam penyelenggaraan kehutanan. Peran serta masyarakat diatur dalam sebuah bab tersendiri yang menyebutkan antara lain hak masyarakat memanfaatkan hutan dan hasil hutan, mengetahui rencana peruntukan hutan, pemanfaatan hasil hutan dan informasi kehutanan, memberikan informasi dalam pembangunan kehutanan serta melakukan pengawasan secara langsung atau tidak langsung. Selain itu, masyarakat juga berhak mengajukan gugatan perwakilan (class action) terhadap tindakan yang merusak hutan dan merugikan kehidupan masyarakat.

Undang-undang kehutanan ini belum mampu sepenuhnya menerjemahkan gagasan hutan untuk kesejahteraan rakyat. Meskipun kata-kata rakyat atau masyarakat banyak muncul, namun esensi pengelolaan hutan oleh masyarakat belum terwujud. Selain peran besar yang dimiliki pemerintah (mayoritas isi undang-undang mengatur pelaksanaan hak menguasai negara), pengaturan sistem pengelolaan hutanpun tidak mendukung sistem pengelolaan oleh masyarakat. Satuan pengelolaan hutan ditetapkan berdasarkan fungsi (produksi, lindung dan konservasi), bukan berdasarkan satuan wilayah sebagaimana dikenal masyarakat.

Kelembagaan pengelolaan hutan oleh masyarakat dianggap terwakili oleh lembaga semacam koperasi. Koperasi dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi masyarakat untuk mengembangkan perekonomiannya seperti dipersepsikan oleh pemerintah. Karena itu, pengaturan seperti ini secara nyata mengabaikan keberadaan institusi-institusi lokal atau kelembagaan adat yang hidup dan berkembang dalam masyarakat adat/lokal.

Undang-undang ini juga tidak bisa diharapkan untuk menyelesaikan banyak kasus-kasus konflik kehutanan terutama antara masyarakat adat/lokal da antara masyarakat adat/lokal demegang konsesi kehutanan. Konflik-konflik tersebut pada umumnya bersumber dari penguasaan atas wilayah masyarakat adat/lokal yang di kemudian hari ditetapkan pemerintah sebagai kawasan hutan. Proses penetapan kawasan hutan secara sepihak dengan tidak melibatkan seluruh masyarakat, terutama masyarakat yang mempunyai hak historis dan kultural pada kawasan hutan, merupakan akar konflik kehutanan yang terjadi di berbagai daerah.

Undang-undang kehutanan ini justru memperteguh cara penetapan kawasan hutan yang tidak adil dan tidak demokratis itu. Pasal 81 menyebutkan bahwa kawasan hutan yang telah ditunjuk dan atau ditetapkan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku sebelum undang-undang ini dinyatakan tetap sah. Sementara itu, pada bagian menimbang butir c disebutkan bahwa pengurusan hutan harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat dan budaya serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.

Ketidakpuasan masyarakat adat pada proses penetapan kawasan hutan yang acapkali berujung pada konflik adalah salah satu bentuk aspirasi masyarakat dan pertentangan antara norma hukum nasional dengan norma-norma hukum adat dan nilai-nilai budaya yang dianut masyarakat. Dengan tetap diakuinya cara penunjukan dan penetapan kawasan hutan seperti dimaksud dalam pasal-pasal Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 berarti telah terjadi kontradiksi internal, karena mengingkari pernyataan dalam butir c konsiderans undang-undang tersebut.

Semangat desentralisasi dalam undang-undang ini dimuat dalam Pasal 66. Dalam rangka penyelenggaraan kehutanan pemerintah pusat menyerahkan sebagian kewenangannya kepada pemerintah daerah. Namun kewenangan yang diserahkan itu hanyalah kewenangan kebijakan yang bersifat operasional. Kebijakan umum dan mendasar tetap dipegang pemerintah pusat. Pemerintah daerahpun tidak terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pusat. Ketentuan tentang desentralisasi semacam ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 khususnya Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 10 ayat (1).

Dari aspek kelembagaan, undang-undang ini memberikan kewenangan terlampau luas kepada Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan berwenang menetapkan status dan fungsi hutan. Khusus dalam penetapan status hutan yang berkaitan dengan penguasaan tanah tidak ada satupun ketentuan yang menyebutkan perlunya koordinasi antara Departemen Kehutanan dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hal ini berpotensi menimbulkan perebutan kewenangan dalam pengaturan mengenai lahan hutan antar instansi pemerintah serta tumpang tindih pengaturan dalam wilayah yang sama.

Penegakan hukum diatur cukup rinci dalam undang-undang ini. Sanksi yang diberikan tidak hanya pidana tetapi juga perdata dan administratif. Selain itu diatur juga tentang penyelesaian sengketa kehutanan yang tidak hanya bisa dilakukan melalui pengadilan, tetapi juga upaya penyelesaian sengketa kehutanan melalui jalur luar pengadilan (alternative dispute resolution).

Dari hasil kajian perundang-undangan yang terkait dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup di atas, memiliki karakteristik dan kelemahan substansial seperti berikut:a. Undang-undang tersebut berorientasi pada eksploitasi (use-oriented) sehingga mengabaikan kepentingan konservasi dan keberlanjutan fungsi sumber daya alam, karena semata-mata digunakan sebagai perangkat hukum untuk mendukung pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan pendapatan dan devisa negara.

b. Orientasi pengelolaan sumber daya alam lebih berpihak pada pemodal-pemodal besar, sehingga mengabaikan kepentingan dan akses atas sumber daya alam serta mematikan potensi-potensi perekonomian masyarakat lokal.

c. Ideologi penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam berpusat pada Negara, sehingga pengelolaan sumber daya alam bercorak sentralistik.

d. Implementasi pengelolaan yang dilakukan Pemerintah bersifat sektoral, sehingga sumber daya alam tidak dilihat sebagai sistem ekologi yang terintegrasi (ecosystem). Implikasinya, bangunan kelembagaan dalam pengelolaan sumber daya alam menjadi tidak terintegrasi dan tidak terkoordinasi antara sektor yang satu dengan sektor yang lain, sehingga setiap sektor cenderung berjalan sendiri-sendiri sesuai dengan visi sektornya masing-masing.

e. Undang-undang tersebut tidak mengatur secara proporsional mengenai perlindungan hak-hak asasi manusia (HAM) dalam penguasaan, pemanfaatan, dan pengelolaan sumber daya alam.

Dalam perkembangan selanjutnya, setelah pemerintah menyadari adanya kelemahan-kelemahan substansial tersebut, maka dilakukan upaya-upaya*untuk membuat undang-undang dan atau meratifikasi konvensi PBB yang berkaitan dengan sumber daya alam dan lingkungan hidup yang lebih bercorak responsif. Hal ini dapat diindikasikan dari diberlakukannya undang-undang seperti berikut: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistemnya; 2. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang;3. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati, dan 4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Walaupun demikian, jika dicermati dari substansi perundang-undangan tersebut di atas, maka masih ditemukan adanya kelemahan-kelemahan substansial terutama dalam pengaturan mengenai hal-hal sebagai berikut :a. Peran Pemerintah yang masih mendominasi penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam (state-based resource management).b. Keterpaduan dan Koordinasi antar sektor dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih lemah.c. Hak-hak masyarakat adat atas penguasaan dan pengelolaan sumber daya alam yang belum diakui secara utuh.d. Partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya alam yang masih terbatas.e. Transparansi dan demokratisasi dalam proses pengambilan keputusan yang belum diatur secara utuh.f. Akuntabilitas Pemerintah kepada publik dalam pengelolaan sumber daya alam yang belum diatur secara tegas.

Selain itu, jika dicermati dari perkembangan pembangunan hukum pada satu dekade terakhir ini, setelah pemerintah meratifikasi Konvensi PBB tentang Keanekaragaman Hayati menjadi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan Konvensi PBB tentang Keaneka-ragaman Hayati, dan kemudian diberlakukannya (1) Undang-undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak-hak Asasi Manusia; dan (2) Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, maka prinsip-prinsip penting yang mendukung pengelolaan sumber daya alam yang adil, demokratis, dan berkelanjutan belum diakomodasikan dan diintegrasikan ke dalam perundang-undangan mengenai sumber daya alam dan lingkungan hidup yang telah ada.

Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam

Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam, kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui Ketetapan MPR RI Nomor 1X/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharap memberikan arah yang dimaksud.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).

PENUTUP

1. Kesimpulan

Berdasarkan pengertian sumber daya alam yaitu Sumber daya alam adalah semua benda, daya, keadaan, fungsi alam, dan makhluk hidup, yang merupakan hasil proses alamiah, baik hayati maupun non hayati, terbarukan maupun tidak terbarukan. Maka defenisi dari hukum sumber daya alam adalah hukum atau aturan yang merupakan bagian dari hukum lingkungan yang mengatur hubungan timbal balik antara manusia dengan mahluk hidup lainnya dalam hal soal sumber daya alam, yang apabila dilanggar dapat dikenankan sanksi. Tujuannya untuk Mendayagunakan sumber daya alam untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan hidup, pembangunan yang berkelanjutan, kepentingan ekonomi dan budaya masyarakat lokal, serta penataan ruang, yang pengusahaannya diatur dengan undang-undang.Melihat begitu kayanya Indonesia akan sumber daya alam sehingga berbanding lurus dengan hukum positif yang berlaku di Indonesia seperti yang paling mendasar adalah UUD Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 33. Kemudian ada pula UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, UU Nomor 5 Tahun 1967 UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, UU Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan, UU Nomor 9 Tahun 1985 UU Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, UU Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayat, dll.Dalam penerapannya sendiri di Indonesia, hukum-hukum positif tentang sumber daya alam adalah baik adanya, tetapi manusia tidak lepas dari ketidaksempurnaan sehingga penerapan hukum sumber daya alam belum maksimal. Banyak perubahan baik yang terjadi karena aturan-aturan tersebut sehingga lingkungan hidup dan sumber dayanya boleh terkelola dengan baik pula, hanya saja yang menjadi kecacatan adalah ketidaksadaran sebagian besar manusia untuk terus memelihara lingkungan hidup dan sumber daya yang terkandung dalamnya.Namun demikian, dalam perkembangan terakhir ada upaya untuk membuat arah kebijakan bagi pengelolaan sumber daya alam sebagaimana termuat dalam Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber daya Alam

Persoalan pelik pengelolaan sumber daya alam yang diricikan antara lain dari tumpang tindih kewenangan antar sektor, ketidaksinkronan kebijakan, konflik, kerusakan sumber daya alam, kemiskinan, dan ketidakadilan, dicoba untuk diselesaikan melalui Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001. Ketetapan MPR ini berangkat dari kesadaran bahwa pengelolaan sumber daya alam menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Oleh karena itu perlu arah pengelolaan sumber daya alam yang mampu menjawab semua persoalan tersebut. Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 diharap memberikan arah yang dimaksud.

Ketetapan MPR RI Nomor IX/MPR/2001 merupakan landasan peraturan perundang-undangan mengenai pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam. Dengan ketentuan inilah maka Ketetapan MPR ini menyebutkan pentingnya pengkajian ulang pada semua peraturan perundang-undangan berkaitan dengan agraria/pengelolaan sumber daya alam. Atas dasar itulah maka MPR menugaskan DPR bersama dengan Presiden untuk segera mengatur lebih lanjut pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumber daya alam serta mencabut, mengubah dan/atau mengganti semua undang-undang dan peraturan pelaksanaannya yang tidak sejalan dengan Ketetapan MPR tersebut (Pasal 6).

2. Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas penulis ingin memberikan saran, bahwa menjaga kelestarian sumber daya alam dapat kita lakukan melalui hal kecil seperti tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan kendaraan bermotor, dll. Sehingga aturan-aturan yang telah dibuat tidak sia-sia dan fungsi sumber daya alam bisa maksimal kita rasakan sejak generasi sekarang sampai generasi yang akan datang.

DAFTAR PUSTAKA

http://azaleeya.blogspot.com/2012/01/materi-kuliah-pengantar-hukum-sumber.html

http://dwinofi.blogspot.com/2012/01/hukum-sumber-daya-alam.html

http://www.dpr.go.id/uu/uu2000/UU_2000_35.pdf