Top Banner
Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com Kontak Persons : Syahrul Mustofa Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 1 LAPORAN KAJIAN EVALUASI PEMILIHAN KEPALA DESA Penulis Syahrul Mustofa, SH.,M.H INSTITUTE FOR RESEACH AND ADVOCACY OF CIVIL SOCIETY (LEGITIMID) WEST SUMBAWA TAHUN 2006
74

Studi Pilkades KSB

Jul 26, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 1

LAPORAN KAJIAN

EVALUASI PEMILIHAN KEPALA

DESA

Penulis

Syahrul Mustofa, SH.,M.H

INSTITUTE

FOR RESEACH AND ADVOCACY OF CIVIL SOCIETY

(LEGITIMID) WEST SUMBAWA

TAHUN

2006

Page 2: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 2

KATA PENGANTAR

Studi perda No.5 Tahun 2001 adalah sebagai langkah Legitimid KSB bekerjasama dengan Pemda KSB untuk melakukan evaluasi pelaksanaan Perda tentang Desa di Kabupaten Sumbawa Barat. Studi evaluasi perda ini sangat penting bagi Kabupaten Sumbawa Barat untuk merumuskan kebijakan pengaturan tentang desa mengingat pengaturan tentang desa selama ini masih mengacu pada Perda Kabupaten Sumbawa (kabupaten induk), secara yuridis maupun politis maka berbagai peraturan daerah kabupaten induk tersebut perlu dikaji—untuk melihat sejauhmanakah efektifitas berbagai aturan tersebut diterapkan di Kabupaten Sumbawa Barat. Pengalaman dalam pelaksaan perda No. 5 tahun 2001 adalah merupakan modal bagi pemerintah daerah KSB untuk dapat merumuskan kebijakan pengaturan tentang desa kearah yang lebih baik. Hal ini seiring pula dengan semangat baru UU.No.32 tentang Pemerintahan Daerah serta PP. No.72 tahun 2005 tentang Pemerintahan Desa. Maka, sudah seyogyanya sebagai daerah otonom, pemerintah daerah KSB memiliki peraturan desa yang berbasiskan situasi ekonomi, politik, sosial, budaya, nilai masyarakat setempat. Sehingga kedepan, peraturan daerah bukan hanya sebagai symbol dari eksistensi daerah otonom baru, melainkan pula sebagai alat perubahan sosial di daerah.

Studi evaluasi perda ini—sebagai bahan pertimbangan pemerintah daerah dalam merumuskan kebijakan pengaturan tentang desa. Studi diarahkan untuk menemukan dan menganalisis masalah, penyebab masalah, perilaku dan aktor bermasalah, dampak perilaku bermasalah, solusi dan strategi pemecahan masalah. Metodelogi Pemecaham Masalah (MPM) ini dibantu dengan alat analisis (pisau analisa) ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process dan ideology) Analisis ROCCIPI ini dipakai untuk lebih memperdalam dan merinci sebab-sebab bermasalah baik Aktor Rule (orang yang diatur) maupun Implementing Agency (Badan Pelaksana). Setelah laporan studi final. Maka, hasil studi ini dilanjutkan--perumusan rancangan peraturan daerah. Dengan demikian, basis penyusunan perda adalah berangkat dari hasil studi ini.

Tentu hasil studi dan rumusan peraturan daerah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh sebab itu, kritik, saran, masukan untuk kesempurnaan laporan hasil studi dan rancangan peraturan daerah ini kami tunggu—sebagai bahan perbaikan dimasa mendatang.

Sumbawa Barat, 10 Maret 2006 Peneliti

Syahrul Mustofa. S.H.

Page 3: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 3

RINGKASAN LAPORAN HASIL PENELITIAN

Perda Kabupaten Sumbawa No.5 tahun 2001 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan Pemberhentian Kepala Desa lahir sebagai respons atas berlakunya UU.No.22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah. Kehadiran Perda ini, tanpa melalui studi yang mendalam. Sehingga, berbagai rumusan pengaturannya memiliki banyak kelemahan, dari analisis MPM dengan alat ROCCIPI ( rule, ooportunity, capacity, communication, interest, process, ideologi) ditemukan kelemahan-kelemahan sebagai berikut :

(1) . Aspek Rule (peraturan) ;

a) Bahasa yang digunakan peraturan rancu atau membingungkan. Diantaranya adalah pasal 4, pasal 9, pasal 10, pasal 15, pasal 43 dan beberapa pasal lainnya.

b) Perda telah memberikan peluang terjadinya perilaku bermasalah,

karena sejumlah pasal yang seyogyanya diatur lebih lanjut namun tidak diatur, seperti misalnya, tata cara pembatalan calon kepala desa terpilih, mekanisme sengketa pilkades, tata cara kampanye, tata cara proses penyaringan dan penyaringan, tatacara pembentukan panitia pilkades.

c) Peraturan daerah tidak memberikan kerangka aturan yang jelas kepada

Implementing Agency (Badan Pelaksana) dan Aktor Rule (pihak yang diatur) tentang apa yang diperintahkan, apa yang dibolehkan, dan apa yang dilarang.

(2). Aspek opportunity (kesempatan) dan kemampuan (kapasitas)

a) Kesempatan untuk terjadinya pelanggaran dalam pilkades terbuka lebar, karena minimnya penguatan kapasitas personil maupun lembaga pelaksana disatu sisi dan rendahnya kemampuan dan kesadaran masyarakat disisilain. Disamping itu, kendala keterbatasan sarana dan prasarana pendukung dalam pilkades juga menjadi penyumbang terjadinya berbagai masalah dalam proses pilkades.

b) Keterbatasan SDM, dana, fasilitas pelaksana dan masyarakat telah

mendorong pula aktor elite desa (calon kades ) untuk “bermain” dalam kancah aksi massa yang mengarah kepada tindakan anarkhis. Sementara, disisi lain perangkat aturan yang ada kurang memadai, disilain penagakkan hukum dan aturan main dalam pilkades lemah, sehingga potensi terjadinya kerusahan dalam pilkades selalu terbuka lebar.

(3). Aspek communication (komunikasi)

Page 4: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 4

a) Proses penyusunan perda kurang melibatkan partisipasi publik disamping itu pula proses sosialiasi perda sangat minim, serta tidak adanya mekanisme feedback atas perda bagi public--menyebabkan actor rule (pihak yang diatur) dan Implementing Agency (Badan Pelaksana) kurang memahami isi peraturan daerah. Ketidakmampuan memahami isi perda ini telah menimbulkan terjadinya multitafsir dalam setiap pasal (isi) perda—dan seringkali menjadi pemicu terjadinya masalah.

b) Ketiadaan mekanisme public untuk “mengeluh”, menyampaikan

aspirasi atas perda juga menjadi salah satu kondisi yang memberikan konstribusi terjadinya berbagai masalah. Ketidaktahuan saluran ini—telah mendorong Implementing Agency maupun Aktor Rule untuk menyalurkan aspirasinya secara sendiri-sendiri, melalui demonstrasi misalnya jika terjadi dugaan kecurangan dalam pilkades.

(4). Aspek Interest (kepentingan)

a) Kecendrungan perancang untuk mensimplikasi isi peraturan, tanpa

proses pemahaman secara mendalam atas masalah-masalah desa, sehingga berbagai isi berbenturan antara satu pasal dengan pasal lainnya.

b) Penyerahan kewenangan penuh pilkades ditingkat desa, tanpa

dibarengi dengan upaya penguatan kapasitas masyarakat dan pemerintahan desa—pelepasan “kewajiban” pemerintah untuk melakukan supervisi ini menunjukkan pemerintah terkesan ingin “melepaskan” persoalan ke desa.

c) Pilkades bukanlah ruang kosong, tetapi ruang politik dimana

pertarungan politik berlangsung secara terbuka, berbagai kepentingan dalam proses pilkades begitu beragam, para pelakunya juga begitu banyak, bukan hanya ditingkat elite desa, melainkan pula kepentingan para elite di tingkat kabupaten. Karena itu, gesekan politik—berpotensi kuat dipengaruhi pula oleh kepentingan para elite di tingkat atas.

d) Perda Pilkades sarat dengan nuansa pertarungan, proses dan isi

peraturannya diwarnai berbagai kepentingan, baik legislative maupun eksekutive. Buah pertarungan politik yang tidak mendasarkan basis rasionalisasi hukum dan realitas sosial telah melahirkan perda yang jauh dari semangat da kondisi masyarakat setempat.

(5). Aspek Process (proses)

Page 5: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 5

Proses penyusunan perda, pelaksanaan dan evaluasi perda tidak tersedia ruang bagi masyarakat untuk dapat terlibat secara luas. Proses pengkajian dan pembahasan perda yang tidak secara komprehensif telah melahirkan dominasi kekuasaan. Persfektif kekuasaan, yang cenderung mencari “aman” menegasikan realitas obyektif—basis aturan itu sendiri, masyarakat. Berakibat pada ketiadaan partisipasi dan kesadaran masyarakat untuk bertindak sesuai dengan perilaku yang diinginkan dari peraturan itu sendiri.

(6). Aspek Ideologi

Paradigma perancang yang meletakkan posisi masyarakat desa sebagai masyarakat bawah yang awam. Sehingga menempatkan perda hanya sebagai “milik” perancang, tanpa perlu mendegar suara arus bawah.

Berikut temuan-temuan pelaksanaan perda bermasalah :

(1) Penyelenggaran Pemilihan Kepala Desa (panitia 9). Unsur panitia sembilan adalah BPD dan Perangkat Desa dibentuk berdasarkan keputusan BPD. Namun, perda tidak mengatur tata cara dan syarat-syarat sebagai Panitia 9 (sembilan), mekanisme pembentukan, pertanggungjawaban panitia sembilan, serta kode etik sebagai penyelenggara pilkades. Sehingga terjadi varian di setiap desa. Dan dalam menjalankan tugasnya panitia sembilan kurang independen, jujur dan adil.

(2) Badan Perwakilan Desa, memiliki otoritas yang terlalu besar, diantaranya adalah dalam penyaringan bakal calon, pengesahan calon terpilih dan usul pembatalan hasil pemilihan kepala desa. Kedudukan, tugas dan fungsi BPD tumpang tindih dengan panitia sembilan. Sehingga melahirkan ketidakpastian dan kejelasan terhadap BPD maupun Panitia Sembilan itu sendiri. Seperti misalnya, dalam hal penyaringan bakal calon dan usul pembatalan hasil pilkades. Disatu sisi BPD adalah sebagai bagian dari Panitia 9 (sembilan) yang bertugas melaksanakan pemilihan namun disisilain juga sebagai pengawas pilkades bertugas mengawasi, bahkan mengusulkan pembatalan hasil pilkades. Padahal, BPD adalah merupakan Panitia sembilan.

(3) Perda tidak mengatur tentang kampanye. Padahal, kampanye adalah bagian

dari tahapan pelaksanaan pilkades dan dalam prakteknya selama ini telah berlangsung kampanye pilkades. Dengan tidak diaturnya kampanye, maka pelaksanaan kampanye tidak memiliki rambu-rambu yang jelas, dan ketidakjelasan inilah yang seringkali memicu terjadinya konflik dan kerawanan sosial.

(4) Pendaftaran pemilih. Perda tidak menjabarkan pendataan dan penetapan

pemilih. Syarat pemilih rancu, khususnya menyangkut persyaratan domisili selama 6 bulan secara terus-menerus. Penafsiaran ketentuan ini sangat beragam disemua desa. Sehingga, dalam implementasinya pendataan dan

Page 6: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 6

pendaftaran pemilih sangat bervariasi. Dan kondisi ini menjadi salah satu pemicu terjadinya masalah dalam pendataan dan pendaftaran pemilih.

(5) Penyelesaian Sengketa Pilkades. Perda tidak mengatur secara jelas lembaga

yang berwenang dalam penyelesaian sengketa pilkades, tata cara pengajuan keberatan hasil pilkades, maupun kriteria pelanggaran pilkades. Dalam perda, pembatalan hasil pilkades dilaksanakan oleh Bupati atas usul BPD. Persoalannya, indikator yang digunakan sebagai tolak ukur terlalu umum yakni pelanggaran terhadap asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Akibatnya, makna pelanggaran melahirkan multiinterprestasi dan penilaian cenderung bersifat subyektif. Sehingga, tidak ada kepastian dan keadilan yang obyektif dalam penyelesaian sengketa pilkades.

(6) Pembiayaan Pemilihan Kepala Desa. Biaya pemilihan Kepala Desa selama ini,

dibebankan pada APB Desa. Padahal, hampir sebagian besar APB desa di semua desa mengalami keterbatasan untuk membiayai pilkades. Terbatasnya anggaran tersebut menyebabkan sejumlah tahapan pelaksanaan pilkades tidak dapat berjalan maksimal. Bahkan, sejumlah desa terpaksa menunda pelaksanaan pilkades karena tidak tersedianya anggaran.

(7) Penjaringan Bakal Calon, Penyaringan dan Kriteria/syarat calon kepala desa.

Proses penjaringan Bakal Calon dilaksanakan oleh Panitia Pilkades, namun proses penyaringan Bakal Calon untuk menjadi Calon dilaksanakan oleh BPD. Pada saat proses penjaringan Bakal Calon, Panitia Pilkades menerima berkas administratif (syarat formil) Bakal Calon Kepala Desa dan diserahkan kepada BPD. BPD kemudian melakukan proses penyaringan Bakal Calon. Perda tidak mengatur tata cara penilaian dan indikator penilaian sebagai barometer BPD untuk melakukan seleksi. Dalam ketentuan perda, hanya memberikan saran berupa pertimbangan agar BPD dalam melaksanakan proses penyaringan mempertimbangkan visi dan misi, kemampuan dan kepribadian Bakal Calon. Kriteria inilah yang kemudian dijadikan sebagai landasan BPD untuk melaksanakan penyaringan bakal calon. Padahal, kriteria tersebut selama ini bersifat subyektif dan indikator yang digunakan tidak jelas. Beberapa kasus, menunjukkan sejumlah Bakal Calon Kepala Desa gugur karena jumlah makalah visi dan misinya 2 lembar, kurang sopan dalam menyampaikan visi dan misi dihadapan BPD, tidak mampu menjawab, memiliki banyak isteri dan suka kawin cerai dan sebagainya. Pada tahap inipula terjadi diskresi kewenangan antara BPD dan Panitia Pilkades.

Atas dasar hal tersebut diatas, maka beberapa rekomendasi yang perlu dilakukan perubahan kedepan yang mendasar adalah perubahan pada tingkat kelembagaan penyelenggara Pemilihan Kepala Desa antara lain ; rekruitmen dan seleksi, kedudukan panitia, tugas dan fungsi panitia pilkades, hak dan kewajiban, pertanggungjawaban, dan sebagainya. Salah satu alternative solusi adalah mendorong adanya institusi penyelenggara pilkades yang independen dan bersifat adhoc, serta diisi oleh orang-orang yang memiliki integritas, kapasitas dan kapabilitas. Seperti misalnya, Komisi Pemilihan Kepala Desa (Komisi Pilkades). Komisi Pemilihan Kepala Desa bertugas dan bertanggung jawab penuh atas seluruh rangkaian tahapan proses

Page 7: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 7

persiapan dan pelaksanaan pemilihan Kepala Desa. Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya Komisi Pemilihan Kepala Desa berpegang pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersikap adil, transparans, profesional, jujur dan bertanggungjawab.

Page 8: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 8

BAB I

PENGANTAR

A. Latar Belakang Masalah Pemilihan Kepala Desa secara langsung adalah merupakan demokrasi “tertua” yang pernah ada dan terus berlangsung dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Jauh sebelum Pemilihan Presiden, Gubernur, Bupati dan Walikota dipilih secara langsung, pemilihan Kepala Desa telah lama diselenggarakan secara langsung, meski dilakukan dengan cara yang sangat sederhana. Salah satu ciri yang menonjol dari demokrasi dilevel desa antara lain adalah ; Proses dalam Pemilihan Kepala Desa dan BPD serta pemilihan Lembaga-Lembaga Desa secara langsung yang mengkedepankan musyawarah mufakat dalam menentukan para calon tersebut, mendasarkan pada ketokohan dan kedekatan hubungan dengan masyarakat serta mengkedepankan kepentingan bersama. Inilah ciri dari demokrasi desa.

Dalam konteks, Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat selama ini mengacu pada Peraturan Daerah Kabupaten Sumbawa (Kabupaten Induk) No. 5 Tahun 2005 tentang Tata Cara Pencalonan, Pemilihan dan Pemberhentian Kepala Desa. Penerapan perda tersebut, khususnya di Kabupaten Sumbawa Barat dikarenakan hingga saat ini (Maret 2006), Pemerintah Daerah belum mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa. Belum diterbitkannya, perda tersebut terkait dengan dua hal : (1) Peraturan Pemerintah yang dijadikan pedoman pengaturan desa , PP No. 72 Tahun 2005 tentang desa baru dikeluarkan Pemerintah Pusat di penghujung akhir tahun 2005. (2) Penyusunan Peraturan Daerah tentang Pemilihan Kepala Desa membutuhkan kehatian-hatian dan diperlukan suatu kajian yang mendalam, mengingat implikasi perda tersebut yang berhubungan langsung dengan persoalan politik di tingkat desa. Dimana, kita ketahui dalam perjalanan sejarah beberapa tahun terakhir ini eskalasi politik dalam pemilihan kepala desa begitu tinggi seiring dengan dibukanya kran partisipasi dan kebebasan politik masyarakat (reformasi) sehingga jika kebijakan pengaturan pilkades tidak baik, maka dapat menimbulkan kerentanan sosial, terjadi konflik. Berangkat dari dua hal tersebut diatas, maka sebelum dilaksanakan penyusunan perda tentang Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat, dipandang perlu terlebih dahulu melihat sejauhmanakah efektifitas pelaksanaan peraturan daerah Kabupaten Sumbawa No.5 Tahun 2001 sebagai bahan evaluasi dan bahan untuk merumuskan peraturan daerah Kabupaten Sumbawa Barat tentang Pemilihan Kepala Desa. Jika kita telusuri, semangat lahirnya Perda No.5 Tahun 2001 sesungguhnya adalah merupakan respons sekaligus implikasi dari diberlakukannya UU.No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Peraturan Pemerintah 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa. Situasi yang melatarbelakangi lahirnya UU.No.22 tahun 1999 maupun PP 76 Tahun 2001 adalah tuntutan reformasi, desentralisasi dalam berbagai bidang pemerintahan. Diantaranya adalah tuntutan terhadap penyelenggaraan pemerintahan desa, dari pola penyeragaman kearah keberagaman, otoriter menjadi demokratis, sub ordinasi antar pemerintahan menjadi mitra sejajar, kebijakan yang terpusat menjadi kebijakan yang terdesentralistik, perencaan dari atas (top down) menjadi perencaaan dari bawah (buttom up), sesuai

Page 9: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 9

karakteristik daerah dan karakteristik desa. Perubahan kebijakan tersebut berlangsung begitu cepat, di Desa di bentuk sebuah Lembaga baru yakni Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai “parlemen desa” yang diharapkan dapat mendorong checks and balance dalam struktur pemerintahan desa. Seiring dengan hal tersebut diatas, eforia politik pun muncul. Dinamika politik, menampakkan potret yang mulai suram, berbagai praktek penyimpangan kekuasaan (a buse of power) mulai berlangsung, sejumlah DPRD Kabupaten maupun provinsi di hampir seluruh Indonesia di duga terlibat korupsi anggaran. Begitupun dengan Kepala Daerah (Bupati maupun Gubernur). Pola kekuasaan yang berubah dari eksekutive heavy ke legislative heavy melahirkan ketidakseimbangan kekuasaan dan kolaborasi negative dalam proses pembangunan yang hanya menguntungkan para pemegang kekuasaan. Hal tersebut diatas perlahan-lahan mulai merambah ke ranah desa. BPD yang pada awal kelahirannya disambut positif dan antusias masyarakat desa, perlahan-lahan mulai ditinggalkan, karena dianggap gagal mengakomodasi kepentingan masyarakat desa. Sementara disisilain, Kepala Desa merasa terus dihantui dengan keberadaan BPD, penolakan LPJ yang terjadi dihampir seluruh Desa di Kabupaten Sumbawa maupun Sumbawa Barat sepanjang tahun 2002 sampai dengan 2005 menyebabkan penyelenggaraan pemerintahan desa mengalami “kepincangan”. Fungsi-fungsi pemerintahan tidak dapat berjalan maksimal, karena kedua lembaga “gagal” membangun mitra sejajar yang sejatinya. Pemilihan Kepala Desa yang berlangsung sepanjang tahun 2002-2005, yang diharapkan dapat membawa perubahan kemajuan desa, justeru telah banyak melahirkan masalah dan konflik yang berkepanjangan. Berbagai aksi demonstrasi penolakan atas kepala desa terpilih mencuat dimana-mana, mulai dari aksi pemboikotan kantor desa, BPD hingga aksi pembakaran kantor desa. Berikut ini adalah potret yang berlangsung dalam Pemilihan Kepala Desa di NTB :

PPOOTTRREETT DDIINNAAMMIIKKAA PPOOLLIITTIIKK PPEEMMIILLIIHHAANN KKEEPPAALLAA DDEESSAA

DDII NNTTBB TTAAHHUUNN 22000022--22000055

NO Nama Desa/Kec/

Kab

Potret Kasus PIlkades

1

Kanca/Bima

Dalam teori peluang, mungkin 1000 banding 1, jika Pemilihan Kepala Desa akan berakhir dengan perolehan suara yang sama. Hal ini terjadi di Desa Kanca, Kecamatan Monta Kabupaten Bima. Dimana Pemilihan calon kepala Desa berakhir dengan hasil perolehan suara yang sama, dua calon kandidat Kepala Desa, Kaharudin dan Aminunsyah memperoleh masing-masing 261 suara. Atas dasar itu, kemudian BPD (Badan Perwakilan Desa) memutuskan untuk melakukan proses pemilihan ulang. Namun, kebijakan BPD tersebut ternyata menimbulkan kerancuan/kerusuhan, salah seorang Calon Kepala Desa, tidak puas atas kepeutusan tersebut, kemudian Ia melakukan penganiyaan terhadap salah seorang anggota BPD. Atas kejadian tersebut, Kepala Desa maupun BPD sama-sama melaporkan kesalahan masing-masing keaparat kepolisian maupun DPRD (sumber : Lombok Post, 19/02/02, diolah).

2

Plambik/Praya Barat Daya/Loteng

Dekrit Presiden Abdurrahman Wahid Gusdur, 2001 untuk membubarkan DPR/MPR ternyata telah membawa atmosfer ketingkat desa, Kepala Desa Plambik, Kecamatan Praya Barat Daya, (2001) Kabupaten Lombok Tengah melakukan hal yang serupa, yakni mengeluarkan Dekrit Pembubaran BPD. Kasus ini bermula dari proses pemilihan Kepala Desa. BPD Plambik merasa dilangkahi kewenangannya oleh pemerintah kabupaten. Pasalnya, BAP (Berita acara pengesahan) belum disahkan oleh BPD, tiba-tiba saja pemkab (bupati) Lombok Tengah langsung melantik Kades. Padahal, BPD sedang menindaklanjuti laporan masyarakat terkait adanya dugaan kasus money politik Kades terpilih. Merasa karena sudah dilantik, Kepala Desa menganggap bahwa ttindakan BPD untuk melakukan investigasi bertentangan dengan aturan main, karena keputusan sudah final. Upaya BPD mempersoalkan kasus money politik oleh Kades Plambik dianggap “angin lalu”. Sementara itu, BPD terus memperpertanyakan keabsahannya Kepala Desa terpilih. Dan menganggap bahwa Kades Plambik terpilih illegal, karena belum ditetapkan oleh BPD. Melihat sikap BPD seperti itu, Kepala Desa terpilih terinspirasi dengan Dekrit Gusdur Pembubaran MPR, mengeluarkan Dekrit Pembubaran BPD. Tentu keputusan ini membuat BPD menjadi semakin “garang”. Langkah BPD kemudian adalah mengajukan gugatan ke PTUN agar Kepala Desa terpilih yang telah dilantik untuk dibatalkan karena belum ditetapkan oleh BPD. Gugatan BPD ditujukan kepada Bupati Lombok Tengah atas keputusannya menetapkan pelatikan Kades Plambik. Dalam proses persidangan, Keputusan Pengadilan Tata Usaha Negara di mataram memenangkan gugatan BPD. Sehingga Kades terpilih dianggap batal/tidak sah. Kepala Desa tidak puas atas putusan tersebut, Kepala Desa ‘terpilih’ sangat keberatan. Ia kemudian mengajukan Banding. Ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha di Surabaya (Sumber : Syahrul Mustofa, hasil pemantauan pilkades,2002):.

Page 10: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 10

2

Kabar/Sakra/Lotim

Puluhan warga desa kabar, Kecamatan Sakra Kabupaten Lombok Timur berunjuk rasa ke Kantor Bupati untuk menuntut pemilihan Kepala Desa (Kades) yang baru untuk dibatalkan, dengan alasan kelebihan suara dari jumlah warga yang memilih.Massa merobohkan tiang bendera dihalaman depan kantor Bupati. “kalau tidak dibatalkan kami akan membakar kantor Kepala Desa, bila perlu Kades yang terpilih juga dibakar hidup-hidup” Ancam koordinator lapangan (Sumber : NTB Post, 29 Juni 2001 dan hasil pemantauan Pilkades, 2001 )

3

Sekotong Tengah/Lobar

Di desa Sekotong Tengah Kabupaten Lombok Barat proses pemilihan Pilkades juga telah menimbulkan pro-kontra, sebagian masyarakat melakukan aksi demonstrasi pada saat pelantikan Kepala Desa terpilih, bahkan salah seorang Warga yang juga pemimpin aksi demonstrasi melakukan pemukulan terhadap Kades terpilih pada saat pelantikan Kades. Akibat pukulan itu Kades terpilih mengalami luka, darahs egar mengucur dari hidungnya (Sumber : Lombok Post, 29 Agustus 2001)

4

Juru Mapin/Buer/

Sumbawa

Di desa Jurumapin Kecamatan Alas Kab Sumbawa, proses pemilihan Kepala Desa berlangsung cukup menegangkan. Dua calon terkuat yang merupakan rival pada setiap proses pemilihan Kepala desa, kembali bertarung dalam pemilihan kepala desa untuk masa jabatan 2002 s/d 2007, yakni Drs. H.Darussalam dan Wildan S.H. Keduanya adalah Tokoh Masyarakat. Panitia 9 yang notabennya anggota BPD telah menjaring 3 Bakal Calon. Dari 3 Bakal Calon tersebut, satu Calon Kepala Desa adalah orang Wildan yang dipsang sebagai “Kuda Hitam”. BPD telah menetapkan jadwal pemungutan suara, dan pada saat bersamaan jadwal pemungutan suara tersebut Drs. H.Darussalam akan menenuaikan ibadah haji. Calon (H.Darus) beserta pendukung meminta untuk diundurkan untuk ditolak, Ia juga telah meminta salah seorang saksinya untuk hadir sebegai pengganti dirinya pada hari pemungutan suara, namun ditolak Panitia 9. Dengan alasan, Perda No.5 Tahun 2001 Calon pada saat pemungutan suara harus hadir di TPS. Alasan itu digunakan BPD/Panitia 9 untuk membatalkan calon. Dipenghujung, pilkades ternyata panitia 9 adalah pendukung Wildan. Wildan yang saat itu diperkirakan menang mutlak, justeru kalah mutlak dengan “kuda hitam” yang Ia pasang dalam Pilkades. (Sumber : laporan pemantauan Pilkades, Syahrul Mustofa 2001-2003)

5

Kala Beso/Buer

/Sumbawa

Proses penyeleksian calon-calon Kepala desa dilakukan dengan cara melakukan “voting mundur” yakni suatu voting yang dilakukan secara tertutup, dimana pemenangnya adalah yang memiliki suara sedikit. Saat itu salah satu calon harus tersingkirkan, karena dinilai memiliki dukungan yang cukup luas dari sebagian BPD (sumber : Syahrul Mustofa, Laporan pemantauan desa Kalabeso, 2001-2002)

6

Ranggata

/Praya Barat Daya/Loteng

Di desa Ranggagata Kecamatan Praya Barat Daya, Kepala Desa yang menjabat dan akan berakhir masa Jabatannya, tahun 2002 bertekad untuk tetap mencalonkan dirinya kembali sebagai calon kepala desa. Padahal, BKD pemda Kab Loteng telah mengeluarkan surat untuk melarang Kepala Desa tersebut mencalonkan kembali, karena tenaga guru kekurangan, dan posisi Kepala Desa sebagai Tenaga Guru SD yang sangat dibutuhkan. Selama ini, Kepala Desa merangkap jabatan, disamping sebagai Kepala Desa juga sebagai guru, dan tugas-tugas keguruan banyak terabaikan. BPD meminta sebelum berakhirnya jabatan Kepala Desa, agar Kepala Desa melaporkan LPJ. Sebelumnya, BPD telah 2 kali menolak LPJ Kades. Namun, permintaan BPD ditolak oleh Kepala Desa, Kades tidak mau melaporkan LPJ akhir masa jabatan.. Karena itu kemudian BPD menolak pencalonan Kepala desa tersebut.. Keputusan BPD, membuat Kepala Desa Marah, terlebih lagi BPD telah menolak pencalonannya sebagai Kepala Desa kembali. Kepala Desa kemudian melakukan gugatan ke PTUN Mataram atas putusan BPD, dalam proses persidangan aksi demonstrasi pro-BPD dan Kades datang silih berganti, konflik antar pendukung pun tidak dapat dielakkan. Bahkan, perkelahian mulut ibu rumah tangga pun berlangsung. Hingga pada akhirnya terjadi aksi saling “tarik rambut” Ibu rumah tangga yang pro BPD dan pro Kepala Desa. (Sumber :, Laporan Pemantauan Pilkades,Syahrul Mustofa, 2002)

7

Kelebuh/Praya Barat Daya/Loteng

Pemilihan kepala desa di desa Kelebuh, Kecamatan Praya Tengah Kabupaten Lombok Tengah menimbulkan gejolak, selasa malam 3 Oktober 2001 Kantor Desa di rusak oleh sjumlah pendukung salah satu calon kades karena merasa tidak puas dengan hasil proses pemilihan Kades. Gejolak juga terjadi didesa Kute Kecamatan Pujut kab.Lombok Tengah, massa berencana menggalkan proses pelatikan kepala Desa.

8

Hu’u/Dompu

Dua calon Kades Hu’u mengajukan tuntutan agar proses pemilihan Kepala Desa Hu’U Kabupaten Dompu di proses ulang karena dinilai calon terpilih tidak memenuhi criteria sebagaimana yang ditentukan dalam Perda No.4 tahun 2000 kab.Dompu pasal 10 huruf I, karena calon diduga korup (narapidana) dan ijazah yang digunakan SLTP yang digunakan kandidat terpilih adalah palsu (sumber : NTB Post, 24 September 2001, dan NTB post 3 Oktober 2001).

9

Bonjeruk/Loteng

Pemilihan kepala Desa Bonjeruk Kabupaten Lombok Tengah berhasil menempatkan Satup Spt sebagai pemenang, hasil yang diperoleh sebanyak 1.944 suara, sementara dua calon lainnya Drs. Lalu Sahwadi memperoleh 594 suara dan Lalu Antarwirya sebanyak 1.087 suara. Dua kandidat yang gagal menjadi Kades definistif bersurat ke Bupati. Mereka tidak mengakui Pilkades. Bahkan mereka bersama pendukungnya meminta agar Pilkades Bonjeruk diulang. Tidak diterimanya Satum (Kades terpilih) menjadi Kades, konon lebih disebabkan yang bersangkutan (Satum) bukan bangsawan. Sebab, sudah menjadi tradisi Desa Bonjeruk selalu dimpin bangsawan. Kasus ini dipicu oleh kelebihan jumlah suara sebanyak 3 suara.

10

Wanasaba/Lotim

Puluhan warga Desa Wanasaba Kecamatan Pembantu Wanasaba, kabupaten Lombok Timur berunjuk rasa ke kantor Bupati menunut calonnya yang dijagokan dalam pemilihan Kepala Desa supaya diluluskan. Karena calon tersebut dinilai warga lebih dikenal dan lebih dekat dengan masyarakat. Akan tetapi oleh karena calon masih berstatus guru yang masih aktif, maka calon tidak dilulukan oleh Tim Penilai Pilakdes Kabupaten Lombok Timur, karena dalam seleksi calon tidak lulus. Menurut Tim Penilai Pilakdes Kab.Lotim masyarakat tidak boleh semau-maunya mengangakat seorang Kades. Sumber :Lombok Post 26 Juni 2001)

11

Nanga Miro/Pekat/Dompu

Lima orang anggota BPD Desa Nanga Miro Kecamatan Pekat, kabupaten Dompu tidak berani pulang ke Desa dikarenakan tiak membawa hasil yang diharapkan oleh masyarakat setempat. Hal itu terkait dengan calon kades yang dimintai pengesahan di kantor Pemkab, masyarakat meminta agar salah seorang calon dapat diberikan peluang dan kesempatan mengikuti Pilakdes, namun oleh Pemkab calon tersebut dianggap bata, karena tidak memenuhi syarat sebagaimana dalam Perda Nomor 4 tahun 2001. Kelima anggoata BPD tidak mau keluar dari ruangan kantor Bupati. Mereka tetap memilih duduk teras depan ruang tunggu utama Bupati. Mereka takut pulang karena tidak membawa hasil yang menggembirakan bagi masyarakat (Sumber :Lombok Post 5 September 2001)

Page 11: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 11

12

Montong Sapah/Loteng

Pemilihan Kepala desa di Montong Sapah diduga adanya praktek money politik. Aroma suap pilkades sudah terasa sejak 2 bulan lalu, sebelum pilkades dimulai. Kata salah seorang warga. “Salah seorang calon membagi-bagikan “jajan” kepada sejumlah warga setempat. Kegiatan sosial yang sebelumnya jarang/belum pernah dilakukan itu tiba-tiba menjadi kegiatan yang ramai/sering dilakukan olehnya. Curiga !!!. Itulah kemudian sikap yang muncul dikalangan warga Montong Sapah yang kritis menilainya. Termasuk salah seorang calon kades lainnnya, rival Kades. ‘Diluar hitungan politik, calon kades yang merasa akan menang, ternyata kalah cukup telak. Ia kemudian melakukan gugatan, pasalnya selain mencium aroma money politik, dibelakang, telah siap warga untuk membeberkan kecurangan yang dilakukan oleh Kades terpilih. di Pengadilan Tata Usaha Negara Loteng, sedikitnya 60 warga desa montong sapah, Kecamatan Praya Barat Daya Lombok Tengah, telah menjadi saksi adanya praktek suap yang dilakukan oleh Kades terpilih. Hasil pemeriksaan, ternyata benar. Pengadilan pun akhirnya memvonis Kades terpilih dinyatakan bersalah. atas putusan ini Kades terpilih kemudian melakukan banding PTUN di Surabaya (hasil :wawancara dengan masyarakat)

13

O’o/Bima

Para calon Kades Desa O’0 dan Desa kalla Kabupaten Bima mengundurkan diri sebagai calon Kades. Pasalnya, untuk Desa O’o misalnya biaya pelaksanaan Pilkades sebesar Rp. 10 juta, sedangkan untuk Desa Kalla 12 Juta yang dibebankan Kepada Calkades. Misalnya Desa O’o hanya dua calon yang memenuhi syarat, maka biaya Rp.10 juta tersebut ditanggung oleh dua calon tersebut. Penetapan biaya ini dilakukan secara sepihak oleh BPD dan panitia, dengan tidak ada kejelasan, pos apasaja yang memanfaatkan alokasi dana tersebut. Akibat penetapan biaya yang dinilai emberatkan tersebut, pelaksanaan Pilkades Desa O’o yang dijadwalkan 20 Febuari 2003 terpaksa diundur, persoalan yang sama juga terjadi di desa Kalla. ( Sumber : Lombok Post, 12 Febuari 2003)

14

Batu Rotok/Batu Lanteh/Sumbawa

BPD dan Kades Baturotok, Kecamatan Batulanteh berseteru, kasus ini diawali dengan munculnya mosi tidak percaya yang dilontarkan sebagian pengurus BPD terhadap Kades (M.Jamaluddin). BPD menilai sejak kepemimpinan jamaluddin, justru pembangunan Desa Baturotok, tidak menunjukkan perkembangan yang berarti, bahkan, BPD menuding jika Jamaluddin lebih banyak berada diluar desa mengurus bisnis pribadi sebagai pengusaha kopi. Pemkab memfasilitasi konflik antara BPD dengan Kades Sumber : gaung NTB, 4 desember 2002

15

Pukat/Sumbawa

Kades Pukat dinilai tidak mampu jalankan tugasnya . Indikatornya Penyusunan APBDes saja hingga saat ini belum tuntas, bagaimana program pembangunan bisa teralisasi. Karenanya Ketua BPD Pukat Arahman Sag meminta Bupati Sumbawa untuk memberhentikan.Kepala Desa Pukat, Abdullah membantah dirinya dituding tidak mampu menjalankan tugas “saya sudah bekerja sesuai prosedur dan aturan yang berlaku dan tetap memberikan pelayanan kepada masyarakat:”. Kata Abdullah Sumber : gaung NTB, 23 Nopember 2002

SSuummbbeerr :: ddookkuummeennttaassii,, SSyyaahhrruull MMuussttooffaa ttaahhuunn 22000011 ss//dd 22000033

Gambaran diatas, menunjukkan bahwa dinamika pemilihan kepala desa di NTB masih diwarnai dengan politik kekerasan, yang disebabkan antaralain adalah tidak tersedianya istrumen hukum yang memadai untuk mengatur perilaku bermasalah. Dalam kontek inipula, maka kita patut mempertanyakan sejauhmanakah efektifitas penerapan Perda No.5 tahun 2001 dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa? Kemajuan apasajakah yang telah kita peroleh dalam pembangunan demokrasi di desa? Faktor-faktor apasajakah yang menjadi kendala/hambatan menuju sebuah pilkades yang demokratis aman dan damai? Pertanyaan diatas penting untuk kita jawab bersama. Sebab, Dinamika Pemilihan Kepala Desa sesungguhnya adalah merupakan cermin dari demokrasi ditingkat lokal dan merupakan indikator penting untuk menilai sejauhmanakah keberhasilan program pembangunan politik dan demokratisasi di daerah, khususnya desa. Pada dasarnya pembangunan politik dan demokrasi daerah akan sangat tergantung dari pondasi (sub sistem) pembangunan politik ditingkat desa. Kendati, terkadang pengaruh politik pada tingkat elite cukup signifikan dalam memberikan warna atau corak demokrasi desa, namun desa sebagai basis demokrasi “tertua” dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia diyakini mampu membendung arus kekuatan politik dari luar, karena desa telah memiliki ciri atau karakteristik tersendiri dalam membangun capacity building politic sebagai self defensif unit untuk merespons berbagai perubahan politik yang berlangsung, baik ditingkat lokal maupun nasional. Oleh sebab itu, demokrasi desa diyakini sebagian kalangan sebagai demokrasi sesungguhnya (“demokrasi sejati”), dan diyakini pula bahwa penyeragaman

Page 12: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 12

kebijakan politik otonomi desa, berpotensi untuk melahirkan “bom” waktu di kemudian hari. Semangat itulah yang nampak dalam perubahan Undang-undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 maka Peraturan Pemerintah Nomor 76 Tahun 2001 Tentang Pedoman Umum Pengaturan Mengenai Desa pun pada kahirnya harus disesuaikan dengan Undang-Undang Nomor 8 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004. Walaupun terjadi pergantian Undang-Undang namun prinsip dasar sebagai landasan pemikiran pengaturan mengenai desa tetap yaitu; (1) Keanekaragaman, yang memiliki makna bahwa istilah Desa dapat disesuaikan dengan asal usul dan kondisi sosial budaya masyarakat setempat. Hal ini berarti pola penyelenggaraan pemerintahan serta pelaksanaan pembangunan di Desa harus menghormati sistem nilai yang berlaku pada masyarakat setempat namun harus tetap mengindahkan sistem nilai bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam kaitan ini Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menegaskan bahwa Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, (2) Partisipasi, memiliki makna bahwapenyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan desa harus mampu mewujudkan paran aktif masyarakat agar masyarakat senantiasa memiliki dan turut serta bertanggungjawab terhadap perkembangan kehidupan bersama sebagai sesama warga desa, (3) otonomi asli, memiliki makna bahwa kewenangan pemerintahan desa dalam mengatur dan mengurus masyarakat setempat didasarkan pada hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang terdapat pada masyarakat setempat namun harus diselenggarakan dalam perspektif adiminstrasi pemerintahan negara yang selalu mengikuti perkembangan jaman, (4) Demokratisasi, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa harus mengakomodasi aspirasi masyarakat yang diartikulasi dan diagregasi melalui BPD dan Lembaga Kemasyarakatan sebagai mitra Pemerintah Desa, (5) Pemberdayaan masyarakat, memiliki makna bahwa penyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Desa ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat melalui penetapan kebijakan, program dan kegiatan yang sesuai dengan esensi masalah dan prioritas kebutuhan masyarakat. Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah disebutkan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain selanjutnya disebut Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah mengakui adanya otonomi yang dimiliki oleh desa dan kepada desa dapat diberikan penugasan ataupun pendelegasian dari pemerintah ataupun pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah tertentu. Sedang terhadap desa diluar desa gineologis yaitu desa yang bersifat administratif seperti

Page 13: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 13

desa yang dibentuk karena pemekaran desa atau karena transmigrasi ataupun karena alasan lain yang warganya pluralistis, majemuk ataupun heterogen, maka otonomi desa yang merupakan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat berdasarkan hak asal usul dan nilai-nilai sosial budaya yang ada pada masyarakat setempat diberikan kesempatan untuk tumbuh dan berkembang mengikuti perkembangan desa itu sendiri. Dengan demikian urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Desa mencakup urusan pemerintahan yang sudah ada berdasarkan hak asal-usul Desa, urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota yang diserahkan pengaturannya kepada Desa, tugas pembantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah, urusan pemerintahan lainnya yang oleh peraturan perundang-undangan yang diserahkan kepada Desa. Dalam rangka melaksanakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan desa dan untuk peningkatan pelayanan serta pemberdayaan masyarakat, desa mempunyai sumber pendapatan yang terdiri atas pendapatan asli Desa, bagi hasil pajak daerah dan retribusi daerah kabupaten/kota, bagian dari dana perimbangan keuangan pusat dan daerah yang diterima oleh kabupaten/kota, bantuan dari Pemerintah dan Pemerintah Daerah serta hibah dan sumbangan dari pihak ketiga. Berangkat dari paradigma tersebut diatas, maka sudah selayaknya Kabupaten Sumbawa Barat yang merupakan Kabupaten Otonom Baru untuk merumuskan kebijakan pengaturan tentang desa, khususnya dalam Pemilihan Kepala Desa. Hal ini penting untuk dilaksanakan mengingat ; (1) bahwa secara politik hukum, lahirnya peraturan daerah tentang Pemilihan Kepala Desa akan menegaskan eksistensi Kabupaten Sumbawa Barat sebagai Kabupaten Otonom Baru yang memiliki kewenangan penuh dalam pengaturan mengenai desa. (2) bahwa tuntutan dinamika politik desa dengan perkembangannya saat ini memerlukan sarana dan instrumen hukum yang memadai untuk mengakomodasikan berbagai kepentingan politik, ekonomi, sosial budaya. Pola perubahan ekonomi, hukum, sosial-politik dan budaya seiring dengan perkembangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi menuntut tersedianya sarana dan prasarana hukum yang dapat mengkosntruksi perubahan nilai, norma, situasi dan kondisi perubahan kearah keteraturan sosial yang lebih konstruktif untuk pembangunan daerah, khususnya desa. Oleh karena itu, Pemilihan Kepala Desa bukan hanya sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi masyarakat semata, melainkan sebagai instrumen untuk melahirkan demokrasi yang mampu mendorong lahirnya proses percepatan pembangunan, peningkatan pelayanan publik, kesejahteraan sosial dan pemenuhan kebutuhan dasar. Kecendrungan politik sebagai panglima dewasa ini disatu sisi telah mendorong meningkatnya partisipasi politik masyarakat, namun disislain, keterpurukan ekonomi dan hukum dewasa ini melahirkan pula berbagai gejolak sosial, khususnya dalam pemilihan Kepala Desa. Hal ini menunjukkan bahwa partisipasi politik masyarakat, tanpa dibarengi dengan peningkatan kesadaran hukum, hanya akan melahirkan partisipasi politik semu. Karena itu, kehadiran peraturan daerah tentang Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat diharapkan mampu menjadi salah satu instrumen yang dapat mendorong adanya kesadaran politik dan hukum masyarakat. (3) bahwa Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2001 yang selama ini dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan

Page 14: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 14

pemilihan kepala desa, sudah tidak relevan lagi dengan situasi dan kondisi masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat. Untuk merspons hal tersebut diatas, maka untuk dapat melahirkan suatu peraturan daerah yang menjamin efektivitas penerapan perda nantinya, dipandang perlu dilakukan suatu studi evaluasi peraturan daerah melalui Metodelogi Pemecahan Masalah (MPM) dengan melihat Aktor Rule maupun Implementing Agency melalui alat analisis teori ROCCIPI (rule, opportunity, capacity, communication, interest, process ideology) diharapkan tinjauan evaluasi atas penerapan perda No.5 Tahun 2001 dapat secara rinci menemukan gejala dan masalah sosial, dampak, penyebab masalah, dan solusi-solusi yang efektif untuk nantinya dapat sebagai bahan dalam perumusan peraturan daerah di Kabupaten Sumbawa Barat. Lembaga Penelitian dan Pengembangan Masyarakat Desa (Legitimid) Kabupaten Sumbawa Barat yang berkedudukan di Sekongkang sebagai lembaga yang concern untuk melakukan penelitian dan pengembangan memandang perlu untuk menjalin kerjasama dengan Pemerintah Daerah dan DPRD, khususnya dalam perancangan peraturan daerah mengingat pentingnya metodelogi dan teori perundangan-undangan sangat dibutuhkan untuk penyusunan perancangan peraturan daerah, dalam konteks kerjasama ini LEGITIMID hanya sebagai pendamping dalam penyusunan perda dengan memberikan laporan hasil penelitian dan rancangan peraturan daerah, sedangkan untuk keputusan apakah rancangan tersebut dapat diterima atau tidak sepenuhnya berada ditangan Pemerintah Daerah dan DPRD sebagai lembaga yang berwenang. B. Konteks Makro Wacana demokrasi langsung, kini menjadi wacana dunia. Tuntutan terhadap pemilihan para pejabat publik secara langsung mulai merambah keseluruh negara, baik negara yang berfahamkan komunis maupun negara kapitalis atau Negara maju maupun negara berkembang. Demokrasi secara langsung dianggap sebagian besar kalangan sebagai demokrasi yang paling baik dari seluruh mekanisme politik yang pernah ada. Karena itu, berbagai program kesepakatan PBB mengagendakan pembangunan demokrasi sebagai skala prioritas yang harus ditegakkan oleh semua negara yang menjadi anggota PBB. Salah satu ciri dari negara demokrasi adalah mengakui adanya hak-hak komunitas masyarakat setempat (adat) sebagai bagian dari hak sipil dan politik yang harus dilindungi oleh negara. Bentuk perlindungan tersebut adalah berupa jaminan kebebasan kelangsungan sistem nilai atau norma yang berlaku dalam masyarakat adat sebagai sebuah hak komunitas yang harus dilindungi oleh negara. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) sebagai salah satu perhimpunan masyarakat adat di Indonesia telah mendeklarasikan dirinya, “jika negara tidak mengakui hak-hak masyarakat adat, maka masyarakat adatpun tidak mengakui negara” (baca : deklarasi Aman, di NTB 2002). Tuntutan yang terlihat begitu ekstrems ini adalah sebagai bentuk dari keinginan dan kepedulian untuk menjaga kelangsungan masyarakat adat untuk tetap hidup dan berkembang ditengah-tengah kuatnya pengaruh komunitas global saat ini.

Page 15: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 15

Indonesia sebagai negara yang sangat plural, dengan beraneka ragam suku bangsa, adat-istiadat, kebiasaan, norma dan nilai memiliki begitu banyak karakteristik masyarakat adat, antar satu daerah dengan daerah lain berbeda-beda, bahkan dalam satu daerah (Kabupaten) memiliki banyak perbedaan. Oleh karena itu, pengaturan mengenai desa, termasuk pemilihan kepala desa tidaklah meski harus seragam. Sebab, selain akan menghilangkan ciri dari masing-masing desa, juga dapat berpotensi melahirkan kerawanan sosial. Pengaturan desa, khususnya pemilihan kepala desa secara langsung di Indonesia saat ini diarahkan pada upaya membangun demokrasi desa berlandaskan pada prinsip good governance di satu sisi dengan tidak menegasikan nilai-nilai tradisi masyarakat desa adat disisi lainnya. Karena itu, diharapkan pemilihan kepala desa secara langsung dapat melahirkan pemerintahan desa yang mampu menerapkan prinsip good governance disatu sisi dan meletakkan dasar-dasar nilai-nilai atau norma masyarakat adat sebagai modal sosial untuk menuju good governance itu sendiri. Dengan model kolaborasi seperti ini diharapkan menjadi ciri tersendiri dalam pembangunan demokrasi desa di Indonesia. Memang hampir sebagian besar, pemilihan kepala desa di Indonesia dalam beberapa dekade tahun terakhir dipenuhi dengan gejolak sosial. Berbagai aksi demonstrasi seringkali mewarnai proses pilkades, mulai dari pembentukan panitia pilkades hingga pelantikan kepala desa terpilih. Bahkan, aksi demonstrasi juga dilakukan ribuan Kepala Desa ke Departeman Dalam Negeri dan DPR pada bulan Febuari dan Maret 2006, mereka menuntut agar UU.No.32 tahun 2004 dan PP No.72 tahun 2006 untuk direvisi karena kurang dianggap dapat mencerminkan kepentingan para Kepala Desa. Selain itu, perubahan peraturan perundang-undangan di tingkat Pusat, yang silih berganti berlangsung dalam waktu yang cepat juga menjadi salah satu pemicu lahirnya ketidakpastian dan kebimbangan ditengah-tengah masyarakat. Oleh karena itulah, perlu ada perubahan paradigma perancangang peraturan perundang-undangan kearah partisipatif, transparans dan akuntabel. C. Sejarah Permasalahan Umum C. 1. Sejarah Perjalanan Perkembangan Desa di Indonesia

Pemilihan pejabat publik secara langsung sebagai mekanisme demokrasi modern yang selama ini didengung-degungkan oleh negara maupun donor asing, ternyata telah lama tumbuh dan berkembang dalam sistem pemerintahan desa. Pemilihan Kepala Desa secara langsung sebagai mekanisme demokrasi modern sesungguhnya adalah merupakan tradisi politik masyarakat desa, jauh hari sebelum pemilihan Kepala Darah atau Pemilihan Presiden secara langsung. Hal ini merupakan cermin bahwa desa, kendati merupan sub sistem terkecil dalam struktur pemerintahan, namun dalam hal membangun tradisi berdemokrasi telah memiliki banyak pengalaman. Tentu dalam proses perjalananya mengalami pasang surut. Berikut ini adalah potret dinamika desa dari orde ke orde.

1.1. Desa di Jaman Feodal,

Page 16: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 16

Pada masa ini rakyat dibawah sistem feodal, pada dasarnya hanya sebagai hamba sahaya. Posisi yang demikian, berkait erat dengan teori milik raja (voestendomein), dimana dikatakan bahwa raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, dan dalam pemerintahannya dibantu oleh birokrat yang terdiri dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan status dan askripsi. Mereka diberi tanah apanege atau tanah lungguh sebagai gaji yang merupakan jasanya1. Hampir semua desa di Indonesia mengenal hal ini. Di Lombok dikenal dengan tanah Pecatu, di Sumbawa dan Sumbawa Barat di kenal dengan Tanah Pemangan Yakni, tanah kas desa yang diperuntukkan untuk menggaji Kepala Desa pada masa periode tertentu. Di Jawa biasanya disebut dengan tanah Bengkok.

Pada masa feodal, warga desa (petani) tidak cukup memiliki akses terhadap hasil produksi, karena hasil produksi sebagain besar diserahkan pada raja dan pejabat kerajaan. Pada umumnya para petani menyewa tanah dari bangsawan atau raja, mereka bekerja bukan berdasarkan kebutuhan dan selera mereka melainkan atas dasar selera dan kebutuhan raja yang menguasai tanah desa. Hal ini tidak lepas dari kedudukan raja yang menguasai segalanya dalam kehidupan negara. Dengan demikian, segala perlengkapan dan sumber daya yang ada, diarahkan untuk kepentingan kelanggengan kekuasaan. Tidak jarang pula, desa menjadi sasaran untuk mobilisasi tenaga kerja dan pasukan, bagi keperluan kerajaan. Dalam hal ini, rakyat harus mempunyai kepatuhan yang tinggi, sebab raja adalah pemilik kehidupan mereka. Agar rakyat bisa patuh ( menuruti apa yang dikehendaki raja) dan tidak memberontak akibat ketidakadilan yang ditanggungnya, Raja membentuk penguasa lokal (elite lokal), sampai ketingkat desa (Kepala desa atau Lurah), berfungsi sebagai organ kontrol untuk mengawasi petani, agar setia dan bersedia membayar pajak. Fungsi Kepala Desa bukan saja pengumpul pajak (tax collector), tetapi juga power holder. Kepala desa berhak mengeluarkan petani dari desa. Kepala Desa berhak mengeluarkan petani dari desa. Dalam masyarakat patrimonial, loyalitas rakyat juga merupakan syarat yang tidak dapat ditawar. Oleh karena itu, ikatan patron-klien menjadi pengikat loyalitas rakyat. Dengan demikian, desa merupakan wilayah kekuasaan raja yang berfungsi sebagai : pertama, penyedia kebutuhan material, sebagai penyetor pajak-dari hasil kerja petani. Kedua, sebagai penyedia tenaga kerja dan sekaligus pasukan, bila sewaktu-waktu raja membutuhkan. Elite lokal, bukan berfungsi sebagai wahana penyalur kehendak rakyat, sebaliknya menjadi kaki tangan penguasa (raja), yang justru menekan rakyat.

Rakyat pada masa ini memiliki hak untuk berpendapat dan tidak setuju atau protes. Ada dua jenis hak protes kolektif oleh rakyat pada masa ini. Pertama, hak desa untuk menempatkan diri dibawah yurisdiksi seorang pejabat lain atau anggota-anggota tertentu dari suatu kelompok keuarga penguasa atau pemungut pajak lainnya. Kedua, hak untuk mengadu pada pejabat yang lebih tinggi dalam suatu arak-arakan. Cara lain adalah melakukan protes dengan bentuk berjemur dialun-alun . Protes rakyat hanya akan ditanggapi bila raja berkenan, sebaliknya bila raja tetap tidak berkenan, maka apa yang diminta tidak akan pernah dipenuhi, dan disini rakyat hanya bisa memohon belas kasihan dari raja. Bila dilihat dari struktur dan hak yang dimiliki nya,

1 Tanah untuk gaji Kepala Desa di Lombok dikenal dengan tanah pecatu di Sumbawa dan Sumbawa Barat di kenal dengan Tanah Pemangan, tanah tersebut diberikan semasa menjabat dengan luas sebesar 1 hektar.

Page 17: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 17

rakyat desa hanya merupakan sub-ordinat kekuasaan raja. Gerak maju dan gerak mundur desa, sangat tergantung pada intervensi kekuasaan raja. Dalam konteks inipula Perubahan tidak dilihat sebagai proses wajar dalam kehidupan, melainkan merupakan berkah dari raja. Hal inilah yang mendorong terbangunnya suatu kultur feodal, yang tidak kondusif bagi demokrasi2.

1.2. Desa di Masa Kolonial.

Perkembangan desa dimasa kolonial, tentu saja tidak lepas dari watak kolonial sendiri. Ciri pokok hubungan kolonial pada dasarnya berpangkal pada prinisp dominasi, eksploitasi, diskriminasi dan depedensi. Pokok pikiran yang dibawa oleh penjajah adalah penduduk jajahan, khususnya desa, adalah komunitas yang memiliki watak statis, yang perkembangannya akan sangat tergantung pada adanya intervensi pihak eksternal. Masuknya penguasa kolonial tentu tidak menjadi momentum pembaruan desa, terutama mengangkat tata hidup yang lebih baik, justeru sebaliknya. Dibawah penguasa Vereeninging Oost Indsche Companie (V.O.C) kerangka penjajahan dibungkus dalam bentuk perdagangan. Dalam menjalankan misinya V.O.C.menggunakan strategi “menyesuaikan diri” atau tidak mengadakan konfrontasi dengan sistem lokal yang ada baik dalam soal perdagangan, maupun pemerintahan. Akar feodal dalam masyarakat (lokal), dimanfaatkan sebaik mungkin oleh V.O.C, dengan menjalin hubungan harmonis dengan elit lokal-raja atau bupati, dengan maksud agar dapat mengendalikan desa. Dalam rangka produksi rempah-rempah oleh V.O.C—pengaturan dan pengendalian desa dilakukan dengan memanfaatkan struktur kekuasaan yang ada. V.O.C. memberikan semacam “kewenangan” bagi kepala desa, untuk menetapkan kebijakan pajak dan kerja, namun dengan target tertentu untuk keperluan V.O.C. Model ini menekan elit lokal, dan akibatnya elit lokal melakukan tekanan pada rakyat. Sehingga rakyat mengenyam penderitaan ganda. Pada masa V.O.C, tidak terlalu mencampuri urusan internal masyarakat (pribumi), kecuali pada sejumlah kewajiban yang dibebankan untuk keperluan perdagangan. Kondisi ini memungkinkan berbagai macam bentuk sistem pemerintahan desa, sesuai dengan relasi desa dengan kekuatan supra desa. Struktur feodal tidak mengalami transformasi, bahkan terjadi intensifikasi. Model yang dikembangkan oleh penguasa V.O.C. tentu membuahkan berbagai bentuk akibat, baik menyangkut kehidupan rakyat maupun perlawanan yang di dorong oleh kondisi hidup rakyat. Reaksi ini pula yang pada gilirannya memaksa penguasa untuk menciptakan organ baru penindasan atas rakyat. Digantikannya kongsi dagang dengan pemerintah Belanda.

1.3. Desa di Masa Pemerintah Belanda,

Bila sebelumnya penguasa berasal dari organisasi ekonomi (V.O.C), maka sekarang (masa belanda) adalah merupakan organisasi politik. Elit lokal yang pada masa feodal mendapatkan gaji berupa lungguh, telah digantikan dengan gaji tetap—dalam mana gaji tersebut lebih rendah dari hasil pemungutan pajak, hasil tanah lungguh, upeti dan

2 Studi yang dilakukan Lapera Yogyakarta menunjukan bahwa pertumbuhan dan perkembangan desa sangat dipengaruhi oleh kekuatan eksternal. Lihat, Suhartono, 2000, Parlemen Desa Dinamika DPR Kalurahan dan DPRK Gorong Royong, Lapera Pusata, Yogyakarta.

Page 18: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 18

lain-lain. Pola hubungan yang baru ini, membuat elit lokal lebih bergantung pada penguasa kolonial, dan berjarak dengan rakyat-terutama juga karena ikatan tradisionalnya telah diputuskan melalui ideology liberal. Kedudukan pemerintah desa, khususnya Kepala desa, tidak lebih sebagai perantara antara pemerintah kolonial dengan rakyat pribumi. rakyat desa dijadikan alat kekuasaan. Karenanya, masyarakat desa mengalami kemunduran, khsusunya sesudah tahun 1830, rakyat tidak mempunyai waktu lagi untuk mengerjakan tanahnya dengan baik, karena harus melakukan pekerjaan paksa (culturstelsel,1825-1830) untuk keperluan pemerintah kolonial. Meski demikian, dipenghujung masa jajahannya pada tahun 1941 pemerintah kolonial Beanda mempertinggi status dengan mengeluarkan sebuah Ordonantie atau dikenal dengan sebutan Desa Ordonantie. Dimasa penjajahan Belanda pula otonomi desa diperkenalkan, berdasarkan konsitusi Kerajaan Belanda tahun 1848 diterbitkanlah Indische Staatsregeling yang berlaku mulai tahun 1854. Adapun ketentuan mengenai desa diatur dalam pasal 128. Dimana desa-desa bumiputera dibiarkan memilih anggota pemerintahan desanya sendiri, dengan persetujuan penguasa yang ditunjuk untuk itu menurut ordonansi. Gubernur Jenderal menjaga hak tersebut terhadap segala pelanggarannya. Dengan ordonansi itu dapat ditentukan keadaan dimana Kepala desa dan anggota pemerintah desa diangkat oleh penguasa yang ditunjuk untuk itu. Kepala Desa bumiputera diberikan hak mengatur dan mengurus rumah tangganya dengan memperhatikan peraturan-peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal, pemerintah wilayah dan residen atau pemerintah otonom yang ditunjuk dengan ordonansi. Namun, bila hal tersebut diatas, tidak sesuai dengan lembaga masyarakat atau dengan hak-hak yang diperkenankan dimiliki, maka berlakunya ditangguhkan. dengan ordonansi Kepala desa bumiputera emiliki “wewenang” untuk (a) memungut pajak dibawah pengawasan tertentu () didalam batas-batas tertentu menatapkan hukuman terhadap pelanggaran atas aturan yang diadakan oleh desa. Kleintjes (sebagaimana dikutip Surianingrat, 1992) menuliskan : “……….Desa dibiarkan mempunyai wewenang untuk mengurus rumah tangga menurut kehendaknya, dibidang kepolisian maupun pengaturan tetapi dalam penyelenggaraannya Desa tidak bebas sepenuhnya. Desa diberi otonomi dengan memperhatikan peraturan yang dibuat oleh Gubernur Jenderal, Kepala Wilayah atau pemerintah dari kesatuan masyarakat yang berdiri sendiri, yang ditunjuk dengan ordonansi…..”.

Dapat dikatakan bahwa penghujung kekuasaan kolonial, terdapat proses otonomisasi desa. Dalam mana desa tidak lagi ditempatkan sebagai sub-ordinat dari kekuasaan diatasnya, melainkan diakui haknya untuk mengelola rumah tangganya sendiri. Namun demikian, pengaturan tersebut tidak bersifat umum, melainkan parsial, legalistik dan untuk keperluan menjaga status quo, bukan dalam arti menstransformasi desa melalui proses demokratisasi. Oleh sebab itu realisasi proses otonomi tidak atau belum berjalan sepenuhnya, sampai kemudian kekuatan Jepang masuk.

1.4. Desa di masa Pemerintahan Jepang

Page 19: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 19

Pada masa Pemerintahan Jepang, desa ditempatkan sebagai institusi diatas aza (kampung, dusun) yang merupakan institusi terbawah. Sebuah desa dibagi dalam beberapa kampung. Jika pada masa pemerintah Belanda, desa berusaha dibebaskan dari berbagai intervensi dan diberikan hak otonomnya, maka dibawah kekuasaan Jepang justeru sebaliknya, seperti masa feodal, pengaturan dan pengendalian desa. Rakyat desa dimobilisasi untuk keperluan perang, menjadi satuan-satuan milisi, seperti Heiho, Kaibodan, Seinendan, dan lain-lain. kepala Desa difungsikan sebagai pengawas rakyat untuk menanam tanaman yang dikehendaki Jepang. Pemerintah desa terdiri dari 9 (sembilan) pejabat : luarh, carik, 5 (lima) orang mandor, polisi desa dan amir (mengerjakan urusan agama). Dimasa Jepang, Perangkat desa hanya menjalankan fungsi pengawasan dan tidak mengandung unsure “pembangunan”—perbaikan nasib rakyat. Posisi penguasa lokal yang demikian, menjadikan ketegangan antara rakyat dan penguasa lokal menjadi sangat tinggi. Berbagai perubahan yang dijalankan oleh penguasa kolonial, dari model penjajahan yang konservatif ke liberal, hingga penjajahan Jepang pada dasarnya hanya merupakan perubahan dalam pendekatan, pola dan pelaku, akan tetapi esensi dasarnya tidak berubah : eksploitasi penduduk pribumi. Hal ini dapat ditunjukkan dari kenyataan hidup rakyat yang tidak banyak bergeser : tetap menderita.

Berdasarkan atas pengalaman sejarah diatas ada tiga (tiga) pelajaran penting. Pertama, situasi dan kondisi desa, sangat ditentukan oleh sistem kekuasaan negeri (institusi supra desa). Bentuk dan struktur pemerintahan, hubungan antara perangkat desa dan rakyat, dan hubungan antara desa dengan kalangan penguasa, ditentukan pula oleh kepentingan dari pihak penjah. meskipun ada nuansa otonomi, namun hal tersebut tidak lepas dari (skenam) eksploitasi. Kedua, elit desa atau penguasa desa, pada dasarnya lebih menunjukkan kedekatannya dengan penguasa supra desa ketimbang dengan rakyat desa. Hal ini menunjukkan bahwa elit lokal lebih berfungsi sebagai mediator, perantara atau bahkan alat politik dari penguasa jajahan, dan tidak menjaankan fungsi memberikan perlindungan ataupun sebagai wahana memperjuangkan aspirasi rakyat. Ketiga, dikalangan rakyat sendiri menghadapi skema kekuasaan yang demikian, dan mengalami kondisi kehidupan yang tidak menguntungkan sebagai akibat dari struktur kekuasaan yang menampatkan rakyat dalam posisi subordinat, pada dasarnya tidak dapat berbuat banyak. Kalaupun gerakan untuk melawan struktur keadilan, dibeberapa tempat, maka hal tersebut tidak lepas dari peran elit lokal yang menjadi elemen penggerak. Perubahan skema kekuasaan sendiri, tidak disebabkan oleh desakan arus bawah, melainkan sebagai akibat dari pergeseran atau perubahan konfigurasi kekuasaan. Dengan demikian, ketergantungan rakyat desa dengan kekuatan supra desa, elit, pada dasarnya sangat besar ( Suhartono, 2000 : 55)

1.5. Desa di Era Orde Lama dan Orde Baru

Jika pada masa penjajahan, situasi dan kondisi desa sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh situasi dan kondisi eksternal (supra desa). Maka, pertanyaannya apakah dengan Indonesia Merdeka, Dinamika situasi dan kondisi Desa akan berangkat dari internal di desa itu sendiri?. Ternyata jawabnya tidak, situasi dan kondisi desa tetap akibat dari supra-desa (negara). Di zaman era Orde Lama (Soekarno), pergolakan politik nasional telah membawa implikasi terhadap tatanan struktur politik dan pemerintahan dilevel desa. Desa yang semula tidak menjadi panggung politik, pada pemilu 1955 yang merupakan pemilu pertama telah

Page 20: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 20

mendorong friksi politik masyarakat di desa. 4 (empat) kekuatan politik yang dominan dalam pemilu 1955 membawa masyarakat desa terjebak dalam politik aliran. Kondisi ini tentu saja memicu terjadinya konflik yang berujung pada perubahan politik tahun 1965. Perubahan mendasar, dalam struktur dan tatanan pemerintahan desa, pada tahun 1955 tercermin dari menguatnya peran partai dalam percaturan politik daerah. Kondisi ini semakin, memperkeruh situasi dan kondisi masyarakat desa. Banyaknya kegiatan partai di desa sebagai upaya proses politisasi warga desa telah menumbuhkan “fanatisme” politik aliran yang berlebihan. Disislain, nampak bahwa desa kemudian menjadi basis utama seluruh parpol. Akibatnya, dinamika politik desa sangat kental dengan nuansa kepentingan dari berbagai kepentingan parpol. Intervensi parpol mulai merasuki struktur, kelembagaan, nilai-nilai yang ada di desa. Karenanya, tidaklah mengherankan bila PKI menjadi sangat besar karena mampu memobilisir kekuatan politik dilevel pedesaan. Perubahan politik ini memberikan ruang bagi tumbuhnya dominasi supra-desa dalam menentukan corak pemerintahan desa. Misalnya, kasus di Yogyakarta DPRK diubah bentuknya secara mendasar. Bukan saja pada cara pemilihan, tetapi juga posisi dan ideologinya : nasionalisme, agama , dan komunis (NASAKOM).

Gagasan pembangunan desa sendiri pada awal kemerdekaan adalah pembangunan pertanian yang berorientasi pada peningkatan produksi pangan. gagasan ini dikenal dengan “Rencana Kesejahteraan Kasimo” atau Kasimo Welfare Plan yang dicanang pada tahun 1952. Karena saat itu situasi devisa amat langka, terpenuhinya kebutuhan pangan berarti penghematan devisa. Strategi ini dipengaruhi oleh pemerintah kolonial yang dikenal dengan strategi olie vlek atau percikan minyak. Yakni, pada lokasi yang dipandang kritis diadakan semacam demonstration plot yang memberikan contoh teknis bertani yang baik dengan harapan tehnik ini akan menyebar kedaerah sekitarnya. Namun, kebijakan ini tidak dapat dilaksanakan, karena terbatas dana dan keahlian. Karenanya, pada tahun 1959, strategi pembangunan desa berubah, dan banyak diilhami konsep community development. Titik berat pembangunan desa adalah pada pembangunan masyarakatnya dengan sasaran adalah pada pembentukan kader-kader pembangunan masyarakat desa yang diharapkan akan menopang tercapainya masyarakat desa yang berswasembada. Karenanya, istilah yang digunakan (Repelita 1956-1960) adalah Pembangunan Masyarakat Desa (PMD) tujuan PMD adalah :

“….meninggikan taraf penghidupan masyarakat desa dengan jalan melaksanakan pembangunan yang integral daripada masyarakat desa berdasarkan azas kekuatan sendiri daripada masyarakat desa serta azas permufakatan bersama antara anggota-anggota masyarakat desa dengan bimbingan serta bantuan alat-alat pemerintah yang bertindak sebagai suatu keseluruhan (kebulatan) dalam rangka kebijaksanaan umum yang sama”.

Kerangka pembangunan desa diletakkan pada 3 azas, yaitu : pertama, azas pembangunan integral, yakni pembangunan yang seimbang dari semua segi-segi masyarakat desa (pertanian, pendidikan, kesehatan, perumahan dan sebagainya), sehingga menjamin suatu perkembangan yang selaras dan tidak berat sebelah. Meski, pada tahap awal perlu meletakkan skala prioritas. Kedua, azas kekuatan sendiri, yakni tiap-tiap usaha pertama-tama harus didasarkan pada kekuatan atau kemampuan desa sendiri, dengan tidak menunggu-nunggu pemberian dari pemerintah. ketiga, azas pemufakatan bersama yakni usaha pembangunan harus dilaksanakan dalam

Page 21: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 21

lapangan-lapangan yang benar-benar dirasakan sebagai kebutuhan oleh anggota-anggota masyarakat desa yang bersangkutan, sedang putusan untuk melaksanakan proyek itu bukannya berdasarkan atas perintah atasan, melainkan merupakan putusan bersama anggota masyarakat desa. Namun, gagasan tentang kemandirian dalam pembangunan desa ini telah terkalahkan dengan politik—karena “politik telah menjadi panglima”, sehingga rencana pembangunan desa, hanya tinggal rencana.

Orde Baru lahir untuk menjawab berbagai persoalan, khususnya masalah pembangunan desa. Situasi dan kondisi politik, ekonomi, sosial dan budaya yang terus bergejolak, diawal pemerintahan Orde Baru (Soeharto), mendorong pemerintahan Orba untuk segera melakukan konsolidasi, rehabilitasi dan stabilisasi. Karenanya, pilihan kebijakan pembangunan adalah mengacu pada paradigma pertumbuhan ekonomi didalam melaksanakan pembangunan nasionalnya. hal ini tercermin dari pernyataan Meteri Sadli (1973) pada awal pemerintahan Orde Baru :

“….pemerintah baru berusaha membangun kembali perekonomian diatas prinisp-prinisp mekanisme pasar, perekonomian terbuka, iklim moneter yang stabil, pembatasan campur tangan pemerintah dalam perekonomian, serta bantuan investasi dari luar negeri. Sistem ekonomi baru ini lebih merupakan sistem insentif daripada sistem alokasi dan distribusi. Mekanisme harga, kebijaksanaan pajak dan tarif, anggaran pemerintah serta kebijaksanaan-kebijaksanaan moneter dan perkreditan serta lain-lain, semua ini dipergunakan untuk melengkapi sebuah kerangka yang melalui isyarat-isyarat harga dan kestabilan merangsang kaum etrpreneur untuk mengadakan investasi, inovasi dan produksi”.

Jawaban ini bila merujuk pada Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 1979 tentu adalah tidak ada. Sebab, memang UU.No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa tidak bermaksud memberi atau mengakui otonomi desa. Sebab, UU tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan keragaman pemerintah desa. Karenanya, Pemerintah Orde Baru menyeragamkan pemerintahan desa di seluruh Indonesia. Keseragaman itu terjadi baik pada sisi bentuk, susunan, tugas serta cara kerja pemerintahan desa. Hal ini dikarenakan Pemerintah Orde Baru lebih mengkedepankan aspek Bhinneka Tunggal Ika dalam konsep "tunggalnya" semata, sehingga makna kesatuan diterjemahkan menjadi unifornity (keseragaman) bukan unity (persatuan)3.

Akibat pola penyeragaman oleh Orba inisiasi, partisipasi dan demokrasi i hancur, mengakibatkan masyarakat semakin mengalami ketidakberdayaan. Pemberlakukan UU.No.5 tahun 1979, jelas-jelas telah menghacurkan konstruksi nilai-nilai kearifan lokal dan institusi sosial desa. Dikarenakan, hampir seluruh institusi social di desa yang dibentuk oleh penguasa, bukan untuk mengakomodasikan kepentingan masyarakat desa, melainkan sebagai instrumens penguasa sebagai “tandingan” sekaligus berperan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintahan diatas. Dengan adanyanya penyeragaman ini, penguasa dengan mudah dapat mengkooptasi desa. Bahkan, dengan mudah memobilisir suara untuk memenangkan setiap pemilihan umum.

3 Lihat Selo Soemarjan, “Adakah itu, Otonomi Desa?”, Artikel, 9 Oktober 2000

Page 22: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 22

Karenanya pula, dimasa Orba pemerintah desa dijadikan pemerintah paling bawah dalam struktur pemerintahan sipil. Desa dipisahkan dari adat yang menjadi landasan tata hidup masyarakat desa. Lembaga-lembaga adat seperti kepala adat, rapat rembug desa, hak tanah menurut adat, dan sumber-sumber penghasilan yang secara adat diperlukan mengisi kas desa, secara de jure meskipun tidak dilarang, tetapi de facto tidak dilindungi negara. Pemerintah desa menjadi alat pemerintah atasan dan tidak bertanggung jawab pada masyarakat desa. Orang Jawa mengatakan, UU No 5/1979 bertentangan dengan filsafat Manunggaling kawula lan Gusti. Kawula dalam hal ini adalah masyarakat dengan adatnya, Gusti adalah pemerintah desa yang berkuasa. Akibat pola kebijakan ini, kinerja dan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan desa oleh penyelenggara ditingkat desa tidak nampak, bahkan semakin menjauh dari masyarakat. Pada sisilain, LPJ (laporan Pertangungjawaban) Kepala Desa asal bapak senang“ atau ABS saja.Kondisi ini tentu saja membawa dampak yang cukup besar bagi kemajuan pembangunan di desa.

Kebijakan pengaturan desa, pada masa Orba sebenarnya dapat dilihat dari struktur kenegaraan RI saat itu. Di masa Orba kita mengenal dua bentuk daerah bagian. Pertama, daerah otonom yang diatur melalui UU No 5/1974 tentang Pemerintah Desa (provinsi, kabupaten, kotamadya). Kedua, daerah administratif (tanpa perwakilan rakyat) seperti kecamatan dan kelurahan, diatur dengan UU No 5/1979. Meski bernama UU tentang Pemerintahan Desa, namun UU No 5/1979 tidak memberi otonomi kepada desa, juga tidak menyatakan desa adalah daerah administratif, berbeda dengan kelurahan dalam kotamadya yang dinyatakan daerah administratif. Kondisi ini mengakibatkan status desa menjadi tidak jelas, karena Otonomi tidak, administratif pun juga tidak. Bahkan pemerintah desa yang lama berakar kuat dalam adat, dipisahkan dari adat (Selo Soemardjan, 2000). Pemisahan menurut hukum adat dan pemerintahan desa yang semula bersatu itu, membawa konsekuensi jauh. Dengan pemisahan itu, pemerintah desa berkewajiban lebih besar melayani pemerintah, proyek dan program yang datang dari atas. Bila hal-hal itu bertentangan dengan adat yang pada dasarnya melindungi kepentingan masyarakat desa, maka pemerintah desa terjepit antara pemerintah di atasnya (camat, bupati, gubernur, presiden) dan masyarakat adat di bawahnya. Oleh karena, kepala (pemerintah) desa menurut UU bertanggung jawab kepada bupati (via camat), dan tidak lagi pada masyarakat di bawahnya, maka dengan sendirinya kepala desa memihak pada pemerintah di atasnya dan mengusahakan agar masyarakat desa tunduk pada pemerintah atasan. Dengan demikian kepala desa tidak lagi berfungsi sebagai pelindung masyarakat di desanya, tetapi dia terpaksa melindungi diri sendiri terhadap kekuasaan di atasnya yang menurut UU berwenang menentukan nasibnya sebagai aparat pemerintah yang paling rendah tingkatnya.

Hilangnya perlindungan pada masyarakat desa melebarkan jalan buat melancarkan pelaksanaan sistem sentralisme pemerintahan yang memusatkan semua kekuasaan negara di satu tangan di tingkat nasional. Masyarakat desa khususnya dan masyarakat adat umumnya kehilangan daya untuk mencegah dikuasainya tanah hak adat mereka oleh pemerintah dan diizinkan pada perusahaan dalam atau luar negeri untuk mengeksploitasinya. Semua itu dilakukan tanpa konsultasi dengan masyarakat adat yang merasa memilikinya. Lagipula masyarakat adat, tidak atau hanya sedikit diberi bagian hasil eksploitasi tanah itu.

Page 23: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 23

Strategi ini digunakan oleh Orba adalah untuk mempermudah pengawasan, intervensi, hegemoni bahkan dominasi Pemerintah terhadap desa. Kondisi mengakibatkan pemerintahan desa mengalami proses pelemahan dan menjadi sangat rapuh. Banyak kasus-kasus perselisihan ditingkat desa yang tidak mampu terselesaikan dengan baik, karena perangkat dan nilai-nilai kearifan lokal telah diberangus oleh penguasa. Misalnya, saja Lembaga Krama Desa di Lombok, Provinsi NTB. Institusi ini kehilangan entitas dan identitasnya sebagai lembaga penyelesaian sengketa ditingkat desa karena penguasa tidak mengakui keberadaanya sebagai institusi ditingkat desa. Ditingkat infrastuktur sosial desa terjadi proses kemiskinan dan keterbelakangan budaya permisif terhadap kekuasaaan semakin meningkat, kekuasaan menjadi cenderung otoriter dan korup, budaya musyawarah di desa menjadi tumpul, dan akhirnya desa kehilangan arah dalam mencapai tujuannya.

Beragai kritik dan protespun muncul seiring dengan adanya arus reformasi, Namun, tidak mendapat respons dari pemerintah. Akibatnya, masyarakat adat kecewa terhadap pemerintah pusat, rasa hormat pun merosot. Dalam keadaan demikian itu, mereka seolah menemukan "jalan keluar" dari perasaan yang mencekam itu dengan mendukung gerakan-gerakan politik di Aceh, Riau, Irian Jaya, dan Kalimantan Timur, untuk memisahkan diri dari Indonesia. Salah satu solusi yang ditawarkan pemerintah mengatasi itu adalah melakukan perubahan dalam otonomi desa. Kondisi inipulalah yang menjadi salah satu faktor pendorong lahirnya UU.No.22/41999

1.6. Desa di Era Reformasi dan Kontek Sumbawa Barat Proses perjalanan panjang sejarah pemilihan kepala desa di Indonesia, khususnya di Kabupaten Sumbawa Barat nampaknya tidak dibarengi dengan peningkatan demokrasi secara substantif, yakni perlindungan dan peningkatan terhadap hak-hak sipil masyarakat dalam berdemokasi. Dari orde ke orde, Pemilihan Kepala Desa menjadi sarana pertarungan elite partai politik di tingkat desa, peran Kepala Desa yang sangat signifikan dalam memberikan konstribusi terhadap perolehan hasil Pemilu bagi partai politik tertentu, menyebabkan proses pemilihan kepala desa sering diintervensi oleh kekuatan politik dari luar (khususnya partai politik), sehingga pemilihan kepala desa sangat kental dengan nuansa kepentingan elite di tingkat atas. Situasi ini, terus berlangsung dalam jangka waktu yang panjang, sehingga potensi kader independen desa untuk menjadi Kepala Desa, cukup sulit jika tidak ada back-up dari kekuatan politik partai (termasuk masssa partai). Meski situasi politik berubah dengan adanya perubahan kebijakan UU.No.5 tahun 1975 dengan UU.No.22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dengan hadirnya Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga “Dewan Perwakilan Rakyat” di tingkat Desa, sebagai penyalur aspirasi masyarakat desa, sekaligus pengawas pemerintah desa yang diharapkan mampu mengembalikan kedaulatan rakyat desa—serta menjaga check and balancing dalam struktur penyelenggaraan pemerintahan desa. Berikut ini peta pergeseran perubahan pengaturan Desa :

Pergeseran Perubahan Desa

Materi UU.No.5 tahun 1974 UU.No.22 tahun 1999 UU No.32 tahun 2004

Pengertian desa Desa merupakan kesatuan wilayah

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum

Desa merupakan kesatuan masyarakat hukum. Tidak

Page 24: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 24

semua Daerah Kota menjadi Kelurahan

Pemerintah desa Desa berada dibawah Camat (bertanggungjawab kepada Camat)

Desa bukan bawahan Camat (bertanggungjawab kepada BPD)

Kepala Desa Bertanggung jawab kepada Bupati melalui Camat, kepada BPD berupa progrest report dan kepada masyarakat

Pengembangan dan penggabungan desa

Diatur oleh peraturan Mendagri dan Perda

Prakarsa masyarakat setelah disetujui oleh BPD dan diusulkan oleh BPD dan diusulkan ke Bupati (diperdakan)

Prakarsa masyarakat

Lembaga Masyarakat

LMD (ketua kepala Desa, anggota adalah aparat dan tokoh masyarakat)

BPD (Ketua dan anggota dipilih oleh masyarakat, masa jabatan 5 Tahun

BPD berubah menjadi Badan Permusyawaratan Desa (“MPR Desa”) adalah tokoh masyarakat, perangkat desa, dan lembaga desa lainnya. Masa Jabatan 6 Tahun

Masa jabatan Kepala desa

2 x 8 tahun 2 x 5 tahun 2 x 6 tahun

Keuangan Pendapatan Asli Daerah PADes dan BUMDes PAD es, BUMDES dan Dana Perimbangan

Kerjasama dan pengawasan

Diatur oleh Pejabat ditingkat atas Diputuskan oleh desa sendiri Diputuskan oleh Desa namun harus melapor kepada Bupati i

Pembinaan dan Pengawasan

Bupati/Walikota KDH II BPD (Badan Perwakilan Desa) Pemerintah Kabupaten dan Provinsi

Sumber : Data diolah dari berbagai sumber, Syahrul Mustofa 2006

Pada awal kelahirannya BPD mendapatkan apresiasi dari masyarakat yang cukup baik. Karena lembaga ini dianggap cukup potensial dalam rangka pembangunan politik, ekonomi, sosial maupun budaya ditingkat desa. Terlebih lagi dengan kewenangan yang dimiliki BPD yang dapat “menjatuhkan” Kepala Desa. Kedudukan BPD secara politik menjadi sangat strategis. Oleh sebab itu, perhatian masyarakat pada awal perubahan sistem pemerintahan desa banyak menyoroti pada kelembagaan BPD (sebagai lembaga baru). Perjalanan sejarah kemudian membuktikan selama 4 tahun lebih, sejak Perda No.4 tahun 2001 .tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa diberlakukan, kedudukan, peran dan fungsi BPD yang diharapkan sebagaimana sebelumnya tak jua kunjung tiba. Berbagai persoalan justeru merebak diberbagai desa, mulai dari konflik BPD dengan Kepala Desa, Pilkades yang curang, pemberhentian Kepala Desa, hingga aksi Dekrit Pembubaran BPD oleh Kepala Desa. Disisi lain, kendala internal juga terus melanda BPD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya, minimnya anggaran, terbatasnya SDM, serta sarana dan prasarana, menyebabkan kinerja BPD tidak dapat berjalan optimal—dan kondisi ini terus berlanjut hingga lahirnya arus balik dari masyarakat, berupa turunnya tingkat kepercayaan masyarakat terhadap BPD. Persoalan yang juga tidak lepas dari sorotan masyarakat adalah pemilihan Kepala Desa, hampir sebagian besar pemilihan kepala desa melahirkan masalah sosial, mulai dari bentrokan antar masa, kecurangan data pemilih, money politik, panitia pilkades tidak independen, hingga aksi pemboikotan pelantikan calon kepala desa terpilih baik yang dilakukan oleh massa pendukung salah satu calon maupun aksi yang dilakukan oleh BPD (baca : Potret Dinamika Pilkades di NTB). Hal tersebut adalah merupakan cermin dari rapuhnya bangunan demokrasi tertua (demokrasi desa) di Indonesia ini. Benang kusut, inilah yang kemudian coba diperbaiki melalui UU.No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang didalamnya mengatur tentang pemerintahan desa. Disamping merubah kedudukan, tugas dan kewenangan BPD, juga merubah

Page 25: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 25

aturan main tentang Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa. Diantaranya adalah jabatan kepala desa dari sebelumnya selama 5 tahun menjadi 6 tahun. Kondisi ini berimplikasi pula terhadap acuan pedoman yang digunakan dalam Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat. (1) Perda tentang Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat selama ini mengacu pada Perda Kabupaten Sumbawa No.5 tahun 2001. Perda tersebut mengacu pada UU.No.22 tahun 1999, dimana UU.No.22 tahun 1999 sendiri dinyatakan tidak berlaku lagi. (2) Kabupaten sumbawa berdasarkan UU.No. 30 tahun 2003 tentang Pembentukan Kabupaten Sumbawa Barat secara yuridis dan deacto adalah Daerah Otonom yang memiliki kapasitas dan otoritas untuk mengatur wilayah dan masyarakat sendiri sesuai dengan aturan yang ada. Oleh sebab itu, maka sudah seyogyanya jika pemerintah daerah melakukan perubahan untuk peraturan pemilihan kepala desa agar lebih sesuai dengan nilai dan norma serta perkembangan peraturan yang ada. Sehingga kedepan, penyelenggaraan pemilihan kepala desa di Kabupaten Sumbawa Barat memiliki landasan yuridis yang kuat untuk dijadikan sebagai pedoman bagi badan pelaksana baik ditingkat daerah maupun di tingkat desa untuk melaksanakan pemilihan kepala desa secara demokratis, jujur dan adil. D. Metodelogi dan Teori

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Metodelogi Pendekatan Masalah (MPM) dengan tahapan sebagaii berikut ; (1) menemukan dan memahami masalah sosial. Dalam MPM masalah sosial bukan “apa saja yang bermasalah”. Masalah sosial dalam MPM adalah satu rangkaian perilaku berulang (a set of representative behaviour) yang menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan kondisi fisik. Ciri dari masalah sosial dalam konteks penelitian ini adalah (a) masalah yang muncul terjadi berulang-ulang (b) masalah tersebut memiliki dampak negatif yang dapat dirasakan (c) masalah tersebut dibentuk oleh sekumpulan perilaku atau oleh satu perilaku tunggal. Atas dasar untuk itu, maka ada dua hal penting yang dilakukan untuk memahamai masalah sosial, yakni ; pertama dengan cara membuktikan dampak negatif dari masalah sosial—dan untuk membuktikannya, dimulai dengan melakukan pembuktian atas gejala-gelala sosial, karena pada dasarnya gejala sosial tersebut merupakan wujud nyata dari masalah sosial. Proses indetifikasi gejala-gejala sosial diperoleh dari data lapangan (fakta-fakta lapangan), pemberitaan media massa, hasil-hasil penelitian, kajian peraturan dan sebagainya. Analisa gejala sosial, dibutuhkan karena dalam rancangan perda harus dapat diarahkan pada upaya bagaimana memecahkan masalah sosial. Kedua adalah dengan cara menemukan dan membuktikan perilaku bermasalah yang turut menimbulkan masalah. Yakni menemukan apa dan siapa yang turut serta menimbukan masalah (pembuktian perilaku bermasalah). Ada dua kelompok kategori, yakni (a) Aktor (Role Occupant/RO) yakni pihak-pihak individu, kelompok individu atau organisasi yang perilakunya bermasalah sehingga turut menimbukan masalah sosial. (b) Pelaksana Peraturan (Implementing Agent), yakni pihak-pihak yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk memastikan bahwa aktor berperilaku sesuai

Page 26: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 26

aturan (pelaksana peraturan juga dapat masuk sebagai aktor). Hal ini dilakukan karena rancangan perda ditujukan bagi perilaku atau mengatur perilaku bermasalah.

(2) menemukan penyebab perilaku bermasalah. Proses dimulai dengan melakukan identifikasi menemukan apa, siapa dan perilaku apa (whose and what behaviour) yang melahirkan masalah sosial. Dalam kategori ini diklasifikasi menjadi dua, yakni analisa terhadap ; (a) Pelaksana Peraturan (implementing agency) yakni pihak-pihak yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk memastikan bahwa aktor berperilaku sesuai peraturan. Dalam Perda No. 5 tahun 2001, Implementing Agency (IA) tersebut antara lain adalah Badan Perwakilan Desa, Pemerintah Desa, Panitia Pemilihan Kepala Desa, serta Pemerintah Daerah (b) analisa terhadap Aktor (Rule occupant), yakni pihak-pihak (individu, kelompok individu atau organisasi) yang perilakunya bermasalah sehingga turut menimbulkan masalah sosial. Hal ini perlu dilakukan karena dengan menemukan penyebab perilaku bermasalah itu, maka rancangan peraturan diharapkan dapat mengubah atau menghilangkan berbagai penyebab perilaku bermasalah. Artinya dengan mengetahui berbagai penyebab perilaku bermasalah, maka akan memudahkan bagi perancang untuk dapat menemukan “obat” untuk mengatasi berbagai penyebab dari perilaku yang bermasalah. Asumsi diyakini bahwa satu perilaku bermasalah bisa disebabkan oleh berbagai penyebab. Dengan kata lain, satu perilaku bermasalah tidak berdiri sendiri karena satu penyebab, melainkan banyak penyebab. Dan untuk menyusun hipotesis-hipotesis tentang berbagai penyebab perilaku bermasalah tersebut, Dalam MPM ini menggunakan alat ROCCIPI—untuk dapat merinci dan mensistematiskan ruang lingkup hipotesis yang muncul tentang penyebab suatu perilaku bermasalah. (3). Mengusulkan solusi. Usulan solusi menyajikan rangkaian tindakan peraturan perundang-undangan yang mungkin dapat mengubah atau menghilangkan penyebab perilaku bermasalah dan mendorong kearah perilaku yang diinginkan. (4) Memantau dan mengevaluasi pelaksanaan peraturan. Yakni, melakukan pemantauan dan menilai sejauhmanakah pelaksanaan peraturan yang sudah diundangkan.

Metodelogi ini digunakan untuk memastikan bahwa rancangan peraturan nantinya diharapkan dapat memecahkan masalah sosial yang dituju. Dan untuk memastikan rancangan peraturan tersebut dapat memecahkan masalah sosial. Langkah-langkah yang dilakukan adalah : (1) menemukan gejala sosial dan masalah sosial. (2) menemukan dan menganalisis penyebab-penyabab masalah sosial dan pelakunya (3) menemukan dan menganalisis dampak dari penyebab masalah sosial (4) menyusun solusi kriteria dan prosedurnya (5) melakukan analisa faktor pendukung/penghambat dan kondisi-kondisi yang diperlukan untuk melaksanakan solusi (6) menganalisas biaya dan manfaat (7) merumuskan kalimat peraturan daerah yang ditujukan untuk mengatasi secara langsung maupun tidak langsung dari perilaku bermasalah. Teori untuk dapat memahami perilaku bermasalah yang menjadi masalah sosial baik faktor hukum maupun non hukum sebagaimana dimaksud diatas adalah dengan menggunakan MPM dengan alat analisis ROCCIPI Rule (peraturan), Opportunity (peluang/kesempatan), Capacity (kapasitas), Communication (komunikasi), Interest (kepentingan), Process (proses) dan Ideology (ideologi).

Page 27: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 27

Ketujuh kategori ini dibagi menjadi 2 kelompok faktor penyebab, yaitu faktor obyektif dan faktor subyektif : A. Faktor obyektif 1. Peraturan (rule) Peraturan pada dasarnya mengatur perilaku, karena itu peraturan sangat menentukan perilaku setiap individu, kelompok atau suatu organisasi. Aktor Rule mungkin punya keinginan untuk berperilaku sesuai aturan, sebab tatkala ia tidak sesuai aturan maka perilakunya bermasalah dan karena bermasalah maka dapat dikenakan sanksi atau akibat hukum yang lain. Keinginan Aktor untuk berperilaku sesuai aturan kadang terhambat dari peraturan itu sendiri. Peraturan yang seharusnya menjadi acuan berperilaku, bisa menyebabkan munculnya perilaku bermasalah dikarenakan antara lain ; (a) bahasa yang digunakan peraturan rancu atau membingungkan. Misalnya, tidak menjelaskan apa yang harus dan apa yang dilarang dilakukan aktor. (b). Beberapa peraturan mungkin justeru memberikan peluang terjadinya perilaku bermasalah, hal ini dapat disebabkan karena bertentangan atau karena antar peraturan tidak saling mendukung. (c) peraturan tidak menghilangkan penyebab-penyebab perilaku bermasalah. (d) Peraturan membuka peluang bagi perilaku yang tidak transprans, tidak akuntabel dan tidak partisipatif (e) peraturan memberikan wewenang yang berlebihan kepada Pelaksana Peraturan dalam mengatasi perilaku bermasalah. 2. Kesempatan/Peluang (opportunity) Sebuah peraturan mungkin telah tegas melarang perilaku tertentu. Namun, apabila terbuka kesempatan untuk tidak mematuhinya, maka aktor dapat dengan mudah melakukan perilaku bermasalah. Dengan kata lain, terbukanya kesempatan dapat mempengaruhi aktor untuk berperilaku atau tidak berperilaku tertentu dihadapan peraturan. Kesempatan itu sendiri diciptakan oleh lingkungan, baik itu politik, ekonomi, sosial-budaya, atau lingkungan alam dan geografis. 3. Kemampuan (capacity) Suatu peraturan bisa tidak efektif, bila peraturan tidak dapat memerintahkan Aktor yang diperintahkan untuk melakukan sesuatu yang Aktor tidak mampu. Kemampuan tersebut terkait dengan kemampuan politik, ekonomi, sosial-budaya. Oleh sebab itu perlu dilakukan upaya untuk menemukan/mengetahui kondisi-kondisi di dalam diri aktor. 4. Komunikasi (communication)

Perilaku bermasalah seorang aktor dapat disebabkan oleh ketidaktahuan suatu peraturan, aktor tidak mengetahui larangan atau bolehan atas suatu peraturan, atau tidak mengetahui bagaimana seyogyanya berperilaku sesuai aturan, karena aparat

Page 28: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 28

pelaksana yang berwenang tidak mengkomunikasikan secara efektif kepada pihak yang dituju. 5. Proses (proces) Proses bertujuan untuk menemukan penyebab perilaku bermasalah yang dilakukan oleh organisasi. Kategori proses terdiri dari, proses pengumpulan input, proses pengolahan inut menjadi keputusan, proses output dan proses umpan balik. B. Faktor Subyektif 1. Kepentingan (interest) Kategori ini bertujuan untuk menjelaskan pandangan Aktor tentang akibat dan manfaat dari setiap pelakunya. Akibat dan manfaat tersebut bukan bukan saja bersifat material, seperti keuntungan ekonomis. Namun juga non material, seperti penghargaan dan pengakuan. 2. Nilai dan Sikap (ideology) Nilai dan sikap memiliki pengertian yang luas, karena itu sulit untuk menemukan definisi yang baku. Namun, secara umum nilai dan sikap merupakan sekumpulan nilai yang dianut oleh suatu masyarakat untuk merasa, berpikir dan bertindak, termasuk sikap-mental, pandangan, pemhaman agama.

BAB II MASALAH SOSIAL

Metodelogi Pemecahan Masalah (MPM) ditujukan untuk memastikan bahwa rancangan peraturan dapat memecahkan masalah sosial yang dituju. Dan untuk memastikan rancangan peraturan tersebut dapat memecahkan masalah sosial, maka langkah pertama adalah Memahami masalah sosial. Masalah sosial bukan berarti “apa saja asal bermasalah”, masalah sosial adalah suatu rangkaian perilaku berulang (a set of repetitive behaviour) yang menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan kondisi fisik. Ciri dari masalah sosial adalah : (a) masalah yang muncul terjadi berulang-ulang (b) masalah tersebut memiliki dampak negatif yang dapat dirasakan (c) masalah tersebut dibentuk oleh sekumpulan perilaku atau oleh satu perilaku tunggal.

Page 29: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 29

Untuk memudahkan menemukan masalah sosial, kita perlu mengetahui gejala sosial Dalam pelaksanaan pemilihan Kepala Desa banyak persoalan yang muncul, seperti ; bentrokan antar massa, panitia pilkades curang, penjaringan dan penyaringan calon diskriminatif, pemilih fiktif, money politik, hingga persoalan berlarut-larutnya penepatan calon kepala desa terpilih. Hal tersebut adalah merupakan gejala sosial, kita perlu melakukan identifikasi gejala-gejala sosial, sebab masalah sosial akan mudah ditemukan bila gejala-gejala sosial telah ditemukan, dan gejala-gejala sosial tersebut akan semakin diketahui secara mendalam, jika penyebab-penyebab dari gejala tersebut dapat pula ditemukan. Dalam konteks penelitian peraturan, kita perlu melakukan analisa untuk menemukan apa, siapa dan perilaku apa (whose and what behaviour) yang melahirkan masalah sosial dan untuk memperjelas, apa, siapa dan perilaku apa yang bermasalah, maka dalam penelitian ini diklasifikasi menjadi dua, yakni analisa terhadap ; (a) Pelaksana Peraturan (implementing agency) yakni pihak-pihak yang diberi kewenangan oleh peraturan untuk memastikan bahwa aktor berperilaku sesuai peraturan. Dalam Perda No. 5 tahun 2001, Implementing Agency (IA) tersebut antara lain adalah Badan Perwakilan Desa, Pemerintah Desa, Panitia Pemilihan Kepala Desa, serta Pemerintah Daerah (b) analisa terhadap Aktor (Rule occupant), yakni pihak-pihak (individu, kelompok individu atau organisasi) yang perilakunya bermasalah sehingga turut menimbulkan masalah sosial. A. Uraian Gejala Sosial Pemilihan Kepala Desa Penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat sejak tahun 2001 hingga saat ini menunjukkan banyak persoalan yang muncul. Persoalan tersebut terjadi sejak masa persiapan penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa hingga proses pelantikan Kepala Desa terpilih. Beberapa titik rawan dalam proses pilkades sebagai berikut : 1. Pembentukan Panitia 9 Pilkades Dalam pasal 3 ayat (1) dikatakan bahwa untuk pencalonan dan pemilihan Kepala Desa, BPD membentuk Panitia Pemilihan yang terdiri dari unsur Anggota BPD dan Perangkat Desa kemudian pada ayat (2) dijelaskan bahwa Panitia Pemilihan dibentuk dengan Keputusan BPD selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum berakhirnya masa jabatan Kepala Desa. Dalam implementasi pelaksanaan ketentuan tersebut telah menimbulkan persoalan. Praktek pembentukan panitia pemilihan kepala desa selama ini cenderung bersifat tertutup dan dimonopoli oleh Badan Perwakilan Desa (BPD). Padahal disisilain, BPD sebagai Panitia Pemilihan kecendrungannya selama ini kurang independen dan fair dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Panitia Pilkades. Beberapa indikator misalnya, menyangkut proses penjaringan dan penyaringan bakal calon kepala desa, beberapa kasus bakal calon kepala desa digugurkan pada saat proses penyaringan bakal calon dengan alasan, seperti karena visi dan misi yang ditulis oleh bakal calon hanya 2 lembar, bakal calon tidak piawai atau tidak bisa menjawab saat menyampaikan visi dan misi, dan sebagainya. Akibatnya, proses pemilihan kepala

Page 30: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 30

desa mengalami kericuhan—terlebih lagi jika bakal calon yang digugurkan adalah bakal calon yang memiliki dukungan massa yang luas dari masyarakat desa. Masalah ini sesungguhnya tidak terlepas dari aturan main dalam peraturan daerah No.5 tahun 2001 yang mengandung beberapa unsur kelemahan-kelemahan sebagai berikut : (a) Perda tidak mengatur secara jelas bagaimana tata cara atau mekanisme

Pembentukan Panitia Pemilihan Kepala Desa, kriteria atau syarat-syarat sebagai Panitia Pemilihan Kepala Desa. Akibatnya, terbukanya peluang dan kesempatan (opportunity) bagi BPD atau Perangkat Desa yang merupakan tim kampanye (tim sukses) calon kepala desa untuk menjadi Panitia Pemilihan Kepala Desa.

(b) Perda tidak mengatur bagaimana para penyelenggara pemilihan Kepala Desa

agar berlaku independen, profesional, jurdil dan bertanggungjawab dalam pemilihan kepala desa. Karena itu, dalam penyelenggaraan pemilihan kepala desa sangat rentan terjadi kecurangan.

(c) Perda memberikan kewenangan kepada BPD yang “berlebihan” , antara lain

berupa pembentukan Panitia Pemilihan Kepala Desa, penyaringan Bakal Calon, Pengusulan Pembatalan Hasil Pilkades. Sementara tidak ada laporan pertanggungjawaban BPD. Sehingga dengan demikian, BPD berpotensi untuk menyalahgunakan kekuasaan.

(d) Perda tidak mengatur secara jelas berapa jumlah (komposisi) masing-masing

wakil dari anggota BPD dan Perangkat Desa yang dapat duduk sebagai Panitia Pemilihan Kepala Desa. Apakah 4 anggota BPD dan 5 Perangkat Desa ataukah sebaliknya atau 1, 2, 3, 4 dan seterusnya. Oleh karena ketidakjelasan tersebut, maka maka akibat yang muncul dalam penerapan perda adalah (1) terjadi perbedaan penafsiran mengenai komposisi Kepanitiaan Pemilihan Kepala Desa antara BPD, Pemerintah Desa dan masyarakat. Perbedaan penafasiran dan pemahaman ini biasanya tidak selesai pada tingkat kesepakatan musyawarah, tetapi juga berkembang dalam proses pelaksanaan pemilihan kepala desa. Panitia Pemilihan Kepala Desa yang berbeda pemahaman cara pandang terbagi dalam kubu-kubu atau kelompok-kelompok (terbelah menjadi dua kelompok bahkan lebih). Sehingga konsolidasi organisasi (Panitia Pemilihan Kepala Desa) menjadi sangat rapuh. Rapuhnya konsolidasi organisasi ini juga ditopang oleh ketiadaan kode etik Panitia Pemilihan Kepala Desa. Sehingga, Panitia Pemilihan Kepala Desa, baik secara individual maupun secara kelembagaan dapat secara bebas menafsirkan sendiri atauran main, termasuk di dalamnya adalah secara bebas “bermain secara politik” untuk menggolkan salah satu calon. (2) adanya ketidakseragaman dalam Kepanitian Pemilihan Kepala Desa, terjadi berbagai varian disetiap desa menyangkut komposisi unsur dalam Panitia Pemilihan Kepala Desa. Varian –varian dalam Kepanitian Pemilihan Kepala Desa ini melahirkan kecendrungan ketidakpastian hukum disamping melahirkan kesulitan bagi Pemerintah sendiri untuk melakukan supervisi terhadap Panitia Pemilihan Kepala Desa.

Page 31: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 31

Dalam hal jumlah panitia pilkades, selama ini Pola yang diterapkan BPD dalam membentuk Panitia Pemilihan adalah menggunakan pola maksimal 9 (sembilan) orang. Pengertian unsur Anggota BPD dan Perangkat Desa sebagaimana dalam pasal 3 ayat 1, dalam prateknya dimaknai BPD sebagai kalimat perintah (imperatif) berupa keharusan untuk berbuat sesuatu, karena itu dimaknai pula jika tidak melaksanakan ketentuan tersebut ada anggapan bahwa BPD melanggar aturan perda dan jika melanggarnya maka akan dikenakan sanksi. Dengan asumsi inilah BPD membentuk Panitia 9 yang dalam proses pembentukan dan keanggotanya hanya BPD dan Perangkat Desa. Pemahaman yang sama juga terjadi dalam menafsirkan pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa Jumlah Anggota Panitia Pemilihan sebagaimana dimaksud ayat (1) paling banyak berjumlah 9 (sembilan) orang termasuk Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris dan Bendahara. Padahal, kalimat perda tersebut tidak memerintahkan harus berjumlah 9 karena dalam rumusan terakhir dikatakan paling banyak. Artinya, bahwa BPD dapat membentuk Panitia Pilkades kurang dari 9. Pasal 4 ayat 2, tersebut sesunguhnya adalah merupakan kalimat perintah pilihan kepada BPD sebagai pembentuk Panitia Pilkades untuk memilih apakah memilih jumlah panitia sebanyak 9 orang ataukah kurang dari jumlah tersebut. Kelemahannnya kalimat ini adalah samar tidak menjelaskan apakah kalimat tersebut bersifat larangan atau kebolehan. Meski maksud dari perancang mungkin adalah bertujuan sebagai bentuk perintah pilihan. Namun, karena kurangnya sosialisasi dan ketidakjelasan kalimat tersebut menyebabkan munculnya kesalahan pemahaman dalam menafsirkan pasal ini. Sehingga, hampir seluruh desa dalam menyelenggarakan pilkades, Panitianya selalu 9. dan kalau bukan/tidak berjumlah 9 seakan-akan panitia pilkades yang dibentuk BPD tersebut tidak legal atau sah. Dan penafsiran seperti itu juga berkembang terhadap pasal 4 ayat (1), kecendrungan yang muncul bahwa susunan kepengurusan panitia 9 adalah exsosficio dari kedudukan dalam susunan keanggotaan dalam BPD. Sehingga, biasanya Ketua BPD adalah Ketua Panitia 9, Wakil Ketua 9 adalah Wakil Ketua BPD, Sekretaris Panitia 9 adalah Sekretaris Desa dan seterusnya. Meski dalam pasal 4 ayat (3) dijelaskan bahwa Jabatan Ketua, Wakil Ketua, Sekretaris, Wakil Sekretaris dan Bendahara dipilih secara demokratis oleh Anggota Panitia Pemilihan. Selain ditingkat Implementing Agency, anggapan Panitia Pilkades harus berjumlah 9 orang juga muncul dalam penilaian dan pemikiran (mindset) masyarakat bahwa ketentuan tersebut adalah bersifat mutlkak (keharusan). Sehingga lahir anggapan bahwa jika Panitia Pilkades kurang dari 9 orang, maka dianggap Panitia Pilkades yang akan, sedang telah dibentuk dianggap tidak sah atau illlegal. Karena dianggap tidak sah, maka desa yang akan melaksanakan pemilihan kepala desa ditunda sementara sampai Panitia Pilkades berjumlah 9 orang, dan bagi desa yang telah melaksanakan pilkades hasilnya dianggap tidak sah, dan Pilkades diulang, atau proses pengesahan tidak dapat disahkan (tidak sah) jika hanya 3, 4 , 5 atau 6 orang yang menandatangani Berita Acara hasil Pemilihan Kepala Desa.

Berdasarkan temuan hasil penelitian sebenarnya panitia pemilihan sebanyak 9 orang kurang efektif dan efisien. Dari pengalaman sejumlah Panitia Pemilihan Kepala Desa mengaku bahwa dengan jumlah Panitia Pemilihan sebanyak 9 orang, banyak kendala yang dihadapi dilapangan, diantaranya adalah misalnya dalam pengambilan

Page 32: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 32

keputusan rapat dan koordinasi, panitia kesulitan untuk mengambil suatu keputusan rapat—karena seringkali rapat tidak memenuhi quorum. Disamping itu, biasanya dalam praktek hanya beberapa anggotapanitia yang aktif untuk melaksanakan tugasnya sebagai Panitia Pemilihan. Kondisi ini dikarenakan antara lain Panitia Pilkades umumnya adalah orang-orang yang kurang cukup memiliki waktu untuk melaksanakan pemilihan kepala desa. Disisi lain, keterbatasan anggaran dalam pilkades (ketiadaan tunjangan anggaran yang memadai)—menyebabkan panitia pilkades pada akhirnya tidak dapat fokus terhadap teknis pelaksanaan pilkades—karena disamping harus mempersiapkan perangkat teknis pilkades, mereka juga dibebankan menanggung beban anggaran pilkades. (2). Penjaringan Bakal Calon Kepala Desa Penjaringan Bakal Calon Kepala Desa dilaksanakan oleh Panitia Pemilihan. Dalam pasal 9 ayat 1 dikatakan bahwa Panitia Pemilihan melakukan penjaringan Bakal Calon dari Warga Desa setempat dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Persoalannya kemudian adalah bagaimana penjaringan Bakal Calon yang seyogyanya dilakukan oleh Panitia 9. Bagaimanakah model penjaringannya ? Kelompok masyarakat mana yang harus dijaring aspirasinya? Seberapa besar Panitia Pemilihan harus menjaring aspirasi? Apasaja kriteria yang digunakan sebagai alat indikator untuk memberikan penilaian? Siapa yang menjaring? Berapa lama proses penjaringan? Dan sebagainya. Dalam Perda tidak mengatur hal tersebut diatas, dan tidak ada juga petunjuk teknis mengenai penjaringan tersebut. Mengenai penjaringan Bakal Calon Kepala Desa hanya diatur dalam satu pasal, yakni pasal 9. Perda hanya mengatur bahwa ayat (2) Bakal Calon yang telah memenuhi persyaratan administrasi oleh Panitia Pemilihan diajukan kepada BPD untuk dilakukan penyaringan dan ditetapkan sebagai Calon. ayat (3) Panitia 9 melakukan penjaringan Bakal Calon sekurang-kurangnya 2 (dua) orang, dan ayat (4) apabila Bakal Calon sebagaimana dimaksud ayat (3) belum terpenuhi, maka Panitia Pemilihan memperpanjang masa penjaringan selama 30 (tiga puluh) hari, dan jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tetap belum terpenuhi, maka proses selanjutnya ditentukan oleh BPD. Dalam Perda No.5 Tahun 2001, nampak bahwa sistematika perda rancu. Kerancuan tersebut nampak pada pasal 9 ayat (2), seyogyanya ketentuan persyaratan calon ditempatkan terlebih dahulu, justeru ditempatkan pada bagian kelima tentang mekanisme penyaringan dan penetapan Calon (lihat pasal 10 perda No.5 Tahun 2001), padahal apa yang dirumuskan dalam pasal 10 tersebut adalah ketentuan tentang persyaratan Bakal Calon Kepala Desa. Kerancuan juga terjadi pada pasal 9 ayat (4) apabila Bakal Calon sebagaimana dimaksud ayat (3) belum terpenuhi, maka Panitia Pemilihan memperpanjang masa penjaringan selama 30 (tiga puluh) hari, dan jika dalam waktu 30 (tiga puluh) hari tetap belum terpenuhi, maka proses selanjutnya ditentukan oleh BPD. Dalam ketentuan ayat ini tidak dijelaskan proses atau langkah seperti apa yang harus atau yang boleh dilakukan oleh BPD? Apa bentuk tindakan BPD? Apakah menunda pemilihan kepala desa? Menetapkan Bakal Calon tunggal ataukah tetap memperpanjang masa jabatan Kepala Desa/Penjabat Desa atau tindakan apa? Berapa

Page 33: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 33

lama BPD harus memperosesnya? Bagaimana proses tersebut harus ditempuh BPD? Bukankah panitia 9 adalah sebagian besar juga anggota BPD? Kalimat perda tersebut berpotensi melahirkan ketidakpastian hukum dalam proses pilkades, karena tidak menjelaskan tindakan apa yang harus diperbuat oleh pelaku implementing agency maupun actor rule. Dalam praktek selama ini proses penjaringan Bakal Calon yang dilakukan oleh Panitia sembilan, sangat bervariasi, ada Panitia sembilan yang melakukan dengan cara mendatangi seluruh rumah-rumah penduduk dan mewancarai penduduk, ada yang hanya mendatangi tokoh-tokoh masyarakat, dan sebagainya. Bentuk pertanyaan maupun indikator penilaiannya pun berbeda-beda, ada yang melihat dari sisi ketokohan, kekerabatan, pendidikan, kekayaaan, visi dan misi, dan sebagainya. Perbedaan tersebut bukan hanya terjadi pada Panitia Pemilihan di setiap desa, melainkan juga terjadi dalam satu Panitia Pemilihan di satu desa. Sehingga, proses dalam proses penjaringan menjadi bersifat sangat subyektif, bervariatif dan sangat terkandung pada “selera” masing-masing personal. (3). Penyaringan Bakal Calon Proses penyaringan Bakal Calon dilakukan oleh BPD setelah menerima berkas persyaratan yang diajukan oleh Panitia Pemilihan. Dalam proses penyaringan ini BPD diperintahkan dalam pasal 10 ayat 2 bahwa BPD setelah menerima Bakal Calon yang telah melalui proses penjaringan kemudian BPD melakukan penyaringan untuk menetapkan nama-nama Calon yang berhak dipilih, sekurang-kurangnya 2 (dua) orang dan sebanyak-banyaknya 3 (tiga) orang yang disusun berdasarkan urutan abjad. Ayat (3) penyaringan sebagaimana dimaksud ayat (2) dilakukan dengan mempertimbangkan penyampaian visi dan misi serta kemampuan dan kepribadian Bakal Calon. (4) penetapan nama-nama Calon yang berhak dipilih sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan keputusan BPD. Ketentuan pasal 10 ayat 2 secara tegas memerintahkan kepada BPD bahwa BPD harus menyaring sekurang-kurangnya 2 Calon dan sebanyak-banyaknya 3 Calon. Persoalan kemudian yang muncul adalah mengenai kriteria penyaringan yang dalam perda tersebut menjelaskan bahwa penyaringan yang dilakukan BPD dengan mempertimbangkan penyampaian visi dan misi serta kemampuan dan kepribadian Bakal Calon. Tiga kriteria inilah yang secara eksplisit dijelaskan dalam perda. Namun, perda ini menimbulkan pertanyaan dan kerancuan tentang ; (a) penyampaian visi dan misi. Visi dan misi pada umumnya adalah merupakan cita-cita dan program yang akan dilaksanakan bakal calon—setiap Bakal Calon memiliki visi dan misi--tentunya adalah bercita-cita untuk memajukan desanya. Persoalannya kemudian hanya bagaimana mengkomunikasikan visi dan misi tersebut, baik dalam bahasa lisan maupun tulisan serta bagaimana kapasitas audien memahami bahasa tersebut sehingga memahami maksud dan tujuan dari visi dan misi yang disampaikan Bakal Calon. Uji kelayakan visi dan misi oleh BPD—sangat tergantung dari kapasitas anggota BPD. Apakah BPD

Page 34: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 34

mampu memahami ataukah sebaliknya. Jika Bakal Calon Kepala Desa, misalnya lulusan S2 atau S1 sementara anggota BPD hanya berpendidikan SLTP tentu secara formal kapasitas Bakal Calon lebih memadai dibandingkan dengan BPD. Bahkan, dapat dikatakan bukan Bakal Calon yang akan diuji oleh BPD justeru BPD lah yang seyogyanya diuji oleh Bakal Calon. Selain hal tersebut diatas. visi dan misiBakal Calon juga berkaitan dengan sejauhmanakah visi dan misi tersebut dapat mengakomodir suatu kepentingan perseorangan maupun kelompok Jika merujuk pasal diatas, maka pertanyaannya adalah apakah yang dimaksud penyampaian visi dan misi tersebut adalah cara Bakal Calon menyampaikan, visi dan misinya dalam arti kemampuan dalam berorasi dan beretorika dihadapan BPD atau masyarakat? cara Bakal Calon bersopan santun? atau cara duduk atau berdiri Calon? atau perilaku Calon ketika menyampaikan visi dan misinya dihadapan BPD? Ataukah yang dimaksud dengan penyampaian visi dan misi diatas adalah menyangkut substansi dari visi dan misi Bakal Calon? Sistematika penulisan visi dan misi serta penyampaiannya? Ataukah banyaknya lembaran isi makalah visi dan misi? Lalu, ukuran apa yang bisa dijadikan sebagai indikator penilaian BPD suatu visi dan misi dikatakan baik dan buruk? Bukankah visi dan misi adalah berupa tawaran (barang dagangan) Bakal Calon Kepala Desa dimana para “pembelinya” sangat tergantung dari selera?. Seorang petani mungkin akan mengatakan visi dan misi Calon si A baik, karena program-programnya banyak mengarah pada kepentingan petani, misalnya menurunkan harga pupuk petani. Tetapi Seorang Pengusaha akan mengatakan Calon si B yang lebih baik karena programnya lebih banyak membantu Pengusaha dengan menaikkan harga pupuk petani. Artinya bahwa kriteria visi dan misi sangat sulit untuk dijadikan sebagai faktor obyektif untuk indikator keluluasan Bakal Calon karena sifat unsurnya yang cenderung subyektif. (b) Kriteria Kemampuan. Dalam perda tersebut juga tidak dijelaskan kemampuan apa yang dapat dijadikan sebagai tolak ukur oleh BPD untuk melakukan penilaian Bakal Calon. Apakah kemampuan di bidang pemerintahan, hukum, politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, manajemen dan sebagainya? ataukah kemampuan Bakal Calon menjawab pertanyaan yang diajukan BPD?. sangat sulit obyektifitas penilian BPD untuk dapat melaksanakan ketentuan penilaian tersebut, terlebih lagi kemampuan SDM BPD sendiri terbatas, dan waktu penyampaian visi dan misi Bakal Calon yang dilaksanakan sekitar 2 jam efektif bagaimana mungkin BPD dapat menilai kemampuan seorang Calon. (c) Kriteria kepribadian Calon. Kriteria ini menjadi sangat kabur karena tidak menjelaskan kerpibadian Calon seperti apa yang dinilai BPD? Apakah cara berpakaian, makan, berbicara, berkomunikasi, berhubungan, atau apa? Disamping tidak ada ukuran yang jelas dalam perda tersebut, juga tidak menjelaskan bagaimana cara BPD memberikan penilaian atas hal tersebut.

Page 35: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 35

Selam ini pada umumnya penilaian visi dan misi, kemampuan dan kepribadian bakal calon yang dilakukan oleh BPD ternyata lebih bertitik tolak pada persoalan like and dislike. Karena umunya sebagaian besar BPD tidak memiliki tolak ukur dan variabel-variabel atau barameter/indikator yang jelas untuk memberikan penilaian.. Atau dengan katalain tidak ada landasan secara obyektif- mengenai standarisasi penilaian atas hal tersebut. Dominasi kepentingan dan subyektifitaslah yang selama ini cenderung digunakan sebagai instumen penilaian. Oleh sebab itulah, dalam proses penyaringan Bakal calon muncul kesan perlakuan yang kurang fair dan adil terhadap bakal calon tertentu. Dalam praktek selama ini, beberapa kriteria penyaringan Bakal Calon oleh BPD misalnya saja seprti jumlah makalan visi dan misi, sejumlah kasus pembatalan calon karena tulisan makalah calon hanya 2 lembar, calon tidak bisa menjawab sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh BPD pada saat penyampaian visi dan misi, calon kurang sopan dalam menyampaikan visi dan misi dan sebagainya. Bahkan terkadang persoalan yang sifatnya privacy juga diujikan dalam ruang publik dan digunakan sebagai indikator penilaian seperti masalah perkawian, perceraian Bakal calon dengan isterinya dan sebagainya. Dengan tidak adanya tolak ukur tersebut, selama ini proses penyaringan Bakal Calon mengalami banyak varian dan mengalami ketidakpastian. d). Tentang pembatasan Calon Pembatasan jumlah Calon yang hanya 3 Calon juga menjadi pertanyaan besar. Banyak Bakal Calon yang sesungguhnya memperoleh dukungan masyarakat luas, namun karena hubungannya kurang baik dengan BPD digugurkan sebagai Bakal Calon. Pembatasan jumlah Calon ini jelas mengurangi kreatifitas masyarakat, seyogyanya dalam proses pemilihan Kepala Desa, Pemerintah Daerah membuka peluang dan kesempatan seluas-luasnya kepada Warga Desa untuk dapat berpartisipasi—mendorong lahirnya potensi kader desa potensial untuk terlibat sebagai Calon. Dengan tidak dibatasinya jumlah batas maksimal, kompetisi pemilihan Kepala Desa diharapkan dapat berlangsung lebih fair, karena proses penyaringan bakal calon menjadi Calon hingga Calon Kepala Desa terpilih, dipilih dari, oleh dan untuk masyarakat desa. Karena itu seyogyanya, masyarakatlah yang diberikan kewenangan untuk memilih atau tidak memilih Calon Kepala Desa yang diinginkan. Dari sisi proses, penjaringan dan penyaringan Calon, nampak adanya deskresi kewenangan antara BPD dengan Panitia sembilan. Proses penjaringan Bakal Calon dilakukan oleh Panitia Sembilan, namun pada saat penyaringan di lakukan oleh BPD. Dan setelah proses penyaringan dilakukan dikembalikan lagi oleh BPD kepada Panitia Sembilan. Dari sisi proses ini, nampak bahwa selain melahirkan proses penjaringan yang berbelit-belit, juga menimbulkan ketidakjelasan kewenangan dan pertanggungjawaban publik, yang berpotensi pula terjadi penyimpangan kewenangan. (4) Pendataan dan Pendaftaran Pemilih Perda tidak mengatur secara jelas berapa lama pendaftaran pemilih harus dilakukan oleh panitia, bagaimana pendataan dan pendaftaran pemilih dilakukan? disamping

Page 36: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 36

itu kriteria tentang syarat pemilih juga nampak rancu. Pasal 6 dikatakan bahwa Yang dapat memilih Kepala Desa adalah Penduduk Desa Warga Negara Indonesia yang :

a. Terdaftar sebagai penduduk Desa yang bersangkutan secara sah sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dengan tidak terputus-putus;

b. Sudah mencapai usia 17 (tujuh belas) tahun atau telah pernah kawin; c. Tidak di cabut hak pilihnya berdasarkan keputusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap ; d. Tidak terlibat baik secara langsung maupun tidak langsung dalam suatu

kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasial dan Undang-Undang Dasar 1945 seperti G 30 S/PKI atau organisasi terlarang lainnya.

Persoalan yang muncul terkait dengan syarat pemilih ini adalah ketentuan huruf (a) tentang waktu berdomisili sekurang-kurangnya 6 (enam) bulan dengan tidak terputus-putus. Kalimat tidak terputus-putus sebagaimana dimaksud tersebut melahirkan multiinterprestasi sekaligus pertanyaan bagaimana dengan penduduk yang memiliki 2 domisili, 4 hari Ia tinggal di desa A dan 4 hari tinggal di Desa B, seperti halnya kasus para pegawai Newmont yang tinggal di camp PT.NNT? atau bagaimana dengan penduduk asli desa A, ia berdomisili di desa A, selama 5 tahun ia bekerja menjadi TKI, dan pulang ke desanya menjelang 3 bulan atau 2 bulan menjelang pemilihan. Atau pemilih yang kuliah di luar daerah (desa), kemudian 2 bulan menjelang Pilkades pulang ke desa? Bagaiaimana dengan pendatang yang sudah berdomisili disatu desa selama 5 bulan 29 hari (kurang 1 hari) apakah bisa menjadi pemilih? atau seseorang pendatang yang berdomisi di desa A sudah 6 bulan, namun pada dalam jangka waktu 6 bulan, tersebut pertengahan bulan, Ia meninggalkan desa selama 10 hari atau 15 hari. Dapatkah Ia menjadi pemilih? Atau mereka yang belum tinggal selama 6 bulan, namun karena begitu mudahnya proses pembuatan KTP, akhirnya Penduduk A tersebut meski belum tinggal 6 bulan ia memperoleh KTP, dapatkah ia menjadi pemilih? Jika tidak, bukankah KTP adalah alat bukti yang sah yang menunjukkan identitas seseorang adalah penduduk desa A, B, C, D, dan seterusny? Pertanyaan lainnya adalah kapan perhitungan 6 bulan tersebut dimulai?, apakah 6 bulan dimaksud adalah sejak seseorang tinggal sampai dengan hari H (pencoblosan) pemilihan ataukah 6 bulan dimaksud adalah sejak seseorang tinggal disuatu desa sampai dengan penetapan daftar pemilih sementara atau tambahan?. Ketidakjelasan perhitungan ini menyebabkan dalam praktek pendataan pemilih banyak panitia pemilihan Kepala Desa yang mengalami kesulitan untuk menentukan bagaimana melakukan pendataan pemilih. Khususnya, didaerah yang tingkat mobilitas penduduknya tinggi, seperti Desa Maluk, Desa Sekongkang Atas, Desa-Desa dalam Kecamatan Taliwang. Terlebih lagi, selama ini desa tidak memiliki database kependudukan. Disisilain, partisipasi masyarakat untuk pro-aktif mendaftarkan diri sebagai pemilih juga masih sangat rendah. Akibatnya dalam proses pendataan pemilih banyak penduduk desa yang seyogyanya dapat memilih, tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena tidak terdaftar dalam Daftar Pemilih Tetap. Dan sebaliknya, pemilih yang tidak memenuhi syarat terdaftar sebagai pemilih tetap. Kondisi inilah yang terkadang menjadi pemicu terjadinya konflik dalam pilkades.

Page 37: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 37

(5) Kampannye Perda No.5 tahun 2001 tidak mengatur satu pasalpun tentang kampanye. Padahal, dalam prakteknya kampanye pilkades menjadi bagian dalam penyelenggaraan pulkades. Ketiadaan aturan main dalam kampanye ini menyebabkan praktek kampanye dalam pilkades, seringkali menuai berbagai masalah. Mulai dari praktek money politik, bentrokan antar pendukung, waktu pelaksanaan kampanye dan sebagainya. Dan Panitia Pemilihan Kepala Desa, Pemerintah Daerah maupun aparat penegak hukum tidak dapat bertindak apa-apa atas pelanggaran yang di lakukan oleh Calon, karena tidak adanya landasan hukum bagi implementing agency untuk bertindak sesuatu atas perilaku bermasalah dalam kampanye. (6) Pemungutan dan penghitungan Suara Pemungutan dan penghitungan suara adalah puncak dalam penyelenggaraan pilkades. Persoalan yang seringkai muncul adalah terkait dengan antara lain ; waktu pemungutan suara dan perhitungan suara yang tidak konsisten diterapkan oleh panitia pilkades, pemilih yang tidak hadir diwakili oleh orang lain (anak, bapak/ibu, atau keluarganya), Kotak suara dibawa keliling oleh panitia pilkades untuk menemui pemilih yang belum memilih, kotak surat tidak dikunci, bilik suara tidak menjamin kerahasian pemilih, pengelembungan suara. Pasal 13 ayat (1) dikatakan bahwa Rapat Pemilihan Calon Kepala Desa dibuka oleh Ketua BPD dengan dihadiri oleh Panitia Pemilihan, para Calon yang berhak dipilih, para saksi yang ditunjuk oleh masing-masing Calon yang berhak dipilih dan pemilih. Pertanyaan yang muncul adalah mengapa Ketua BPD yang membuka dimulainya Rapat Pemilihan? Mengapa bukan Ketua Panitia Pemilihan? Bukankah Ketua Panitia Pemilihan Kepala Desa adalah penyeleggara pilkades yang bertanggung jawab mulai persiapan pemilihan hingga perhitungan suara? Mengapa kewenangan untuk membuka saja harus dari Ketua BPD? Bagaimanakah jika Ketua BPD tidak hadir? Apakah Rapat Pemilihan tetap dianggap sah?. Mengapa pertanyaan diatas muncul, karena dalam ayat (2) dikatakan bahwa Rapat pemilihan calon kepala desa berlangsung dalam 1 (satu) hari dibuka pukul 08.00 Wita ditutup pukul 14.00 wita. Ayat (3) dikatakan apabila sampai batas waktu yang ditentukan sebagaimana dimaksud ayat (2) belum mencapai kuorum (2/3 jumlah pemilih), maka batas waktu diperpanjang paling lama 2 (dua) jam. Ayat (4) apabila perpanjangan sebagaimana dimaksud ayat (3) tetap belum mencapai kuorum maka batas waktu pemilihan diperpanjang untuk kedua kalinya paling lama 1 (satu) jam. (5) Apabila perpanjangan sebagaimana dimaksud ayat (4) tetap belum mencapai kuorum, maka rapat pemilihan ditutup dan dinyatakan sah. Merujuk pada ketentuan diatas, ayat 3 dan 4, maka ada 3 jam waktu pengunduran jadwal Rapat pemilihan. Dengan demikian, jika hal tersebut berlangsung maka pelaksanaan pemilihan baru dapat dimulai pukul 11.00 wita. Hal ini memiliki implikasi terhadap ketentuan ayat 2 yang menyatakan bahwa rapat dibuka pukul

Page 38: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 38

08.00 wita sampai dengan 14.00 wita. Lalu, pertanyaan jika panitia konsisten menerapkan peraturan daerah pasal 13 ayat 2, maka waktu pelaksanaan pemilihan 08.00 wita s/d 14.00 atau 6 jam efektif. Dan jika Panitia pilkades konsisten pula menerapkan hal tersebut, berarti dalam kasus tidak terpenuhinya kuorum sebagaimana dimaksud ayat (3) dan ayat (4 ) maka pemilihan baru dapat dimulai pukul 11.00 wita s/d 14.00 wita, atau 3 jam efektif. Hal ini tentu tidak realistis, terutama bagi desa yang jumlah pemilihnya besar. Dan jika dipaksakan, maka berpeluang besar sejumlah pemilih tidak dapat menggunakan hak pilihnya karena keterbatasan waktu yang disediakan oleh Panitia Pilkades. Sementara itu, jika Panitia Pilkades mengundurkan waktu pelaksanaan, sesuai dengan waktu efektif, yakni selama 6 jam efektif. Maka, pelaksanaan pemungutan suara dimulai pukul 11.00 wita s/d 17.00 wita. Dengan demikian, maka rapat perhitungan suara berpeluang hingga malam hari dan kondisi ini justeru akan melahirkan kerawanan. Perda tidak mengatur bagaimana mekanisme pengunduran waktu rapat pemungutan suara. Padahal, meski hal ini terlihat sepele. Namun, dalam prakteknya, selama ini seringkali masalah waktu pemungutan suara sering menjadi pemicu terjadi kericuhan dalam pemilihan kepala desa, terutama bila sejumlah pendukung Calon tertentu tidak dapat memberikan suaranya, disebabkan waktu pemungutan suara sudah selesai. Ketentuan ayat 3 dan 4, kendati mungkin perancang bermaksud baik, agar proses pemungutan suara bisa disaksikan oleh pemilih secara luas, namun aturan tersebut kurang efektif. Karena tersedianya kesempatan dan peluang bagi pemilih untuk tidak menghadiri rapat pemungutan suara terbuka lebar, begitupun kapasitas pemilih untuk menghadiri rapat pembukaan pemungutan suara, sangat sulit—khususnya bagi pemilih yang memiliki aktifitas dan mobilitas yang tinggi. Pasal yang juga bermasalah adalah pasal 17 ayat (3) dikatakan bahwa pada saat pemungutan suara dilaksanakan, para Calon yang berhak dipilih harus menempati tempat yang telah ditentukan oleh Panitia Pemilihan untuk mengikuti dan menyaksikan jalannya pemungutan suara, kecuali pemungutan suara dilaksanakan dibeberapa tempat. Penafsiran kata harus menempati tempat, sebagaimana dimaksud pasal 17 ayat 3 oleh sebagian Panitia Pilkades dimaknai sebagai suatu kalimat imperatif yang bersifat perintah keharusan (mutlak), yang memiliki implikasi jika Calon tidak hadir di tempat, maka Calon yang bersangkutan dianggap melanggar ketentuan perda, dan karenanya Calon tersebut dinyatakan batal/Gugur. Ketidakjelasan aturan inilah yang menyebabkan kericuhan di sejumlah desa dalam pemilihan kepala desa. (7). Penetapan dan Pelantikan Calon Terpilih Penetapan Calon Kepala Desa terpilih ditetapkan dengan Keputusan BPD. Pasal 24 ayat (1) setelah perhitungan suara selesai, Panitia Pemilihan membuat Berita Acara Perhitungan Suara yang ditanda tangani oleh Ketua Panitia Pemilihan dan masing-masing Calon yang berhak dipilih dan menyerahkannya kepada BPD. Ayat (2) Berdasarkan Berita Acara sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Calon yang berhak dipilih yang memperoleh suara terbanyak ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa Terpilih dengan Keputusan BPD. Ayat (3) Keputusan BPD sebagaimana dimaksud ayat (2) berikut Berita Acara Perhitungan Suara disampaikan kepada Bupati dengan

Page 39: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 39

tembusan keapda Camat Paling lambat 30 (tiga puluh hari) setelah hari pemilihan untuk disahkan dengan Keputusan Bupati tentang Pengesahan Calon Kepala Desa Terpilih. Ayat (4) Keputusan Bupati sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal Keputusan BPD diterima. Persoalan yang muncul dari ketentuan Perda tersebut adalah bahwa perda tidak mengatur berapa lama BPD harus menetapkan Calon Kepala Desa terpilih tersebut sejak menerima Berita Acara dari Panitia Pilkades? Berapa lama Panitia Pilkades harus menyerahkan Berita Acara Pemilihan kepada BPD?. Hal, menjadi penting karena dalam prakteknya selama ini seringkali ditemukan proses penetapan Calon Kepala Desa berlarut-larut, Panitia Pilkades “sesukanya” menyerahkan kapan saja Panitia Pilkades mau untuk menyerahkan, begitupun dengan BPD. Setelah BPD meneyarahkan Berita Acara, BPD “sesukanya” menetapkan kapan Ia mau untuk menetapkan Calon Terpilih. Akibatnya, proses pelantikan juga berlarut-larut. Apalagi, jika sebagian besar anggota BPD, tidak menyetujui Calon Kepala Desa terpilih tersebut. Maka, BPD biasanya memperlambat proses pelantikan. (8). Penolakan LPJ Kades Pertanggungjawaban Kepala Desa diatur dalam Perda mulai pasal 30 s/d 32. Dalam Pasal 30 ayat (2) dikatakan bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya, Kepala Desa bertanggung jawab kepada Masyarakat Desa melalui BPD dan menyampaikan laporan mengenai pelaksanaan tugasnya kepada Bupati melalui Camat. Persoalan pertanggungjawaban ini kemudian dalam prakteknya banyak menimbulkan masalah, khususnya ketentuan pasal 31 ayat (1) dikatakan bahwa pertanggungjawaban Kepala Desa yang ditolak oleh BPD termasuk pertanggungjawaban keuangan harus dilengkapi atau disempurnakan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan disampaikan kembali kepada BPD. Ayat (2) Dalam hal pertanggungjawaban Kepala Desa yang telah dilengkapi atau disempurnakan ditolak untuk kedua kalinya, BPD dapat mengusulkan pemberhentian Kepala Desa kepada Bupati melalui Camat. Pasal 32 Tata Cara pertanggungjawaban dan laporan pelaksanaan tugas Kepala Desa akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bupati. Hampir seluruh desa di Kabupaten Sumbawa maupun Sumbawa Barat, terjadi Penolakan LPJ Kades oleh BPD. Alasan penolakan LPJ Kades oleh BPD sangat beragam, ada yang karena diduga Kades melakukan praktek korupsi, melanggar aturan agama (mabuk-mabukan), tidak disiplin (jarang masuk kantor), hingga persoalan pribadi, seperti memiliki isteri muda. Kriteria dan tolak ukur penilaian LPJ yang beragam tersebut, karena tidak ada kriteria dan tolak ukur yang jelas bagi BPD untuk melakukan pengawasan/memberikan penilaian, materi apa sajakah yang harus dimintai pertanggungjawaban Kades kepada BPD? Dan sejauhmanakah kriteria suatu LPJ kades dapat ditolak oleh BPD. Disisi lain, batasan kewenangan BPD dalam hal LPJ juga tidak jelas. Jika merujuk pada ketentuan diatas, bahwa sesungguhnya LPJ Kades adalah kepada masyarakat melalui “pintu” BPD. Seyogyanya BPD melakukan konsultasi publik kepada masyarakat sebelum memutuskan apakah akan menolak atau tidak menolak LPJ. Namun, sedikit sekali BPD yang melakukan konsultasi

Page 40: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 40

publik. Karena BPD beranggapan bahwa masyarakat telah memberikan mandat “penuh” kepada BPD. Penolakan LPJ Kades oleh BPD juga banyak ditenggarai persoalan politik. Banyak penolakan LPJ Kades oleh BPD, karena sebelumnya Ketua BPD atau Anggota BPD yang menjadi Calon Kepala Desa dikalahkan. LPJ kemudian dijadikan sebagai momentum politik untuk menjegal atau menjatuhkan Kepala Desa terpilih. Dalam banyak kasus menunjukkan pula bahwa biasanya dalam persaingan politik seringkali BPD juga dijadikan sebagai instrumen politik oleh kekuatan politik tertentu. Dinamika hubungan BPD dan Kades dalam 5 tahun terakhir menunjukkan hubungan vis a vis bukan sebagai mitra sejajar. Kedua lembaga, berusaha untuk saling mendominasi struktur kekuasaan di tingkat desa. Persaingan inilah yang kemudian mengakibatkan hubungan BPD dan Kades seringkali tidak berjalan harmonis. Bahkan, disejumlah Desa BPD membubarkan diri atau sebaliknya Kepala Desa yang mengundurkan diri. (9). Penyelesaian Sengketa dan Pelanggaran Pilkades Perda tidak mengatur pelanggaran atas setiap tahapan pelanggaran pilkades serta tidak mengatur lembaga mana yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkades. Dalam Perda diatur dalam Bab XIV tentang Pembatalan Pemilihan dan hanya satu pasal, yakni pasal 43 mengatakan bahwa Bupati dapat membatalkan/menyatakan tidak sah hasil pemilihan Kepala Desa atas usul BPD apabila terbukti adanya pelanggaran/kecurangan dalam proses pemilihan sebagaimana dimaksud pasal 15 ayat (1) Peraturan Daerah ini. Adapun pasal 15 ayat (1) menyebutkan bahwa pemilihan Calon yang berhak dipilih dijalankan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Ketentuan pasal 43 sebagaimana diatas menjadi rancu, karena Panitia Pemilihan Kepala Desa terdiri dari BPD dan Perangkat Desa. Artinya BPD menjadi Bagian dari Penyelenggara Pemilihan Kepala Desa, jika BPD yang mengusulkan pembatalan/menyatakan tidak sah hasil pemilihan kepala desa berarti BPD membatalkan hasil kerja mereka sendiri. Kewenangan BPD untuk mengusulkan pembatalan hasil pemilihan Kepala Desa juga menjadi aneh, dan patut dipertanyakan atas dasar apa (perda) BPD diberikan kewenangan untuk mengusulkan pembatalan hasil? Karena di dalam Perda No.5 tahun 2001 tidak ada aturan satupun pasal yang memberikan landasan kewenangan BPD untuk dapat mengusulkan pembatalan hasil. Begitupun Perda No.4 tahun 2001 tentang Pembentukan Badan Perwakilan Desa, Bab pasal 12, 13, 14 dan pasal 15 yang mengatur tentang tugas dan wewenang BPD tidak ada satupun yang menyabutkan kewenangan maupun hak BPD untuk mengusulkan pembatalan pilkades. Kedudukan BPD dalam Pilkades menjadi rancu, apakah BPD berkedudukan sebagai Lembaga Pengawas, Pelaksana atau Lembaga Penyelesaian Perselisihan Sengketa Pilkades. Perda juga tidak menjelaskan pelanggaran/kecurangan apa yang dapat membatalkan hasil pemilihan Kepala Desa. Kecurangan/pelanggaran siapa dimaksud dalam ketentuan perda? Apakah pelanggaran yang dilakukan oleh pemilih, Calon kepala Desa, ataukah Panitia Pilkades dan bentuk pelanggaran seperti apa yang dapat dikategorikan atau dijadikan ukuran sebagai dasar untuk pembatalan hasil pemilihan. Dalam konteks itu Perancang hanya merumuskan bahwa kriteria yang digunakan

Page 41: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 41

adalah pasal 15 ayat (1) bahwa pemilihan Calon yang berhak dipilih dijalankan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Kalimat peraturan diatas sangat tidak jelas. Kepada siapa sebenarnya kalimat tersebut ditujukan, apakah aktor rule ataukah implementing agency. Disamping itu, jika ukuran/kriteria yang digunakan untuk pembatalan hasil pilkades dirumuskan seperti ini, yakni kriteria langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil tanpa penjabaran lebih lanjut, maka dapat dipastikan melahirkan multiinterprestasi. Misalnya saja pelanggaran terhadap asas langsung, salah seorang pemilih karena sakit pada hari pemungutan suara. Ia tidak bisa hadir, karena ketidaktahuannya Ia kemudian meminta anaknya untuk mewakilinya memberikan suara ke TPS. Panitia Pilkades, sengaja meloloskan anak tersebut, dan anak itupun akhirnya bisa mencoblos. Dalam proses perhitungan Calon A memperoleh 100 suara, sementara Calon B 50 suara. Dan Anak tadi memberikan suara ke Calon A. Selesai perhitungan saksi B baru mengetahui bahwa ternyata ada pemilih yang tidak berhak mencoblos tetapi diberikan mencoblos. Kemudian atas dasar itu, Saksi B mengajukan keberatan kepada BPD karena diduga Calon A dan Panitia melakukan kecurangan dalam pemilihan. Jika, dilihat dari sisi kriteria pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pasal 15 ayat 1, maka jelas asas langsung, dan jurdil telah dilanggar oleh Panitia Pilkades, pertanyaannya kemudian apakah dengan pelanggaran tersebut Calon terpilih dapat dibatalkan? Inilah persoalan yang tidak terjawab dalam rumusan perda. 10. Biaya Pemilihan Pilkades Biaya Pemilihan Pilkades selama ini dibebankan oleh APB Desa. Padahal, kita ketahui bahwa hampir sebagian besar desa, APB Desa tidak cukup memadai untuk membiayai penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa. Ketidaktersediaan APB Desa tersebut menyebabkan sejumlah tahapan dalam pelaksanaan pilkades tidak dapat berjalan maksimal. Banyak anggota Panitia sembilan yang tidak aktif (sepenuh waktu) untuk menyelenggarakan pemilihan Kepala Desa, karena mereka harus mencari sumber ekonomi keluarganya. Biaya pemilihan Kepala Desa dalam prakteknya tergolong cukup tinggi. Berdasarkan data dilapangan, biaya yang dihabiskan untuk Pemilihan Kepala Desa berkisar antara 10 juta s/d 25 juta. Sementara, rata-rata kemampuan keuangan desa (APB Desa) untuk membiayai pemilihan kepala desa hanya berkisar Rp. 5 juta. Dengan kondisi seperti itu, pada akhirnya dalam pemilihan Kepala Desa, biasanya Panitia Pilkades, Perangkat Desa maupun BPD mencari sumber-sumber lain, biasanya sumber tersebut adalah sumbangan pihak ketiga, seperti bantuan PT.NNT dan perusahaan lainnya. Terkadang dalam kondisi tertentu, Panita Pilkades terkadang meminta bantuan kepada Calon yang bersangkutan. Bahkan, banyak Panitia Pilkades yang harus mengeluarkan biaya sendiri untuk membiayai sejumlah kegiatannya. Kondisi ini tentu saja, menyebabkan banyak anggota masyarakat yang tidak bersedia untuk menjadi Panitia Pilkades. Karena, disamping harus menanggung resiko politik, tenaga dan pikiran, mereka juga harus menanggung biaya. 11. Bentrokan massa

Page 42: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 42

Bentrokan massa antar pendukung calon adalah merupakan akibat dari berbagai masalah yang muncul dalam pilkades. Pemicunya beragam, mulai dari panitia pilkades yang dianggap curang, jumlah pemilih yang tidak sesuai, money politik, salah coblos dan sebagainya. Dalam kondisi masyarakat kita yang tingkat kesadaran politiknya masih sangat terbatas, maka berpotensi untuk terjadinya bentrokan antar massa pendukung. Sikap masyarakat yang tidak siap menerima kekalahan disatu pihak dan adanya provokasi dari Calon Kepala Desa dipihak lain menyebabkan masyarakat mudah untuk tersulut melakukan berbagai aksi kerusuhan. Sementara itu, ketiadaan mekanisme penyelesaian sengketa pilkades dan lemahnya penegakkan hukum telah memberikan pula konstribusi untuk berlangsungnya aksi kerusuhan massa dalam pelaksanaan pilkades yang kian meluas. 2. Dampak Perilaku Bermasalah Analisa dampak dari perilaku bermasalah adalah dimaksudkan untuk melihat sejauhmanakah dampak dari perilaku bermasalah, baik dampak secara langsung maupun secara tidak langsung. Siapa yang terkena dari dampak tersebut? Perilaku siapa yang bermasalah ?. Hal-hal tersebut merupakan tema analisa utama dalam bagian ini. Berikut ini hasil temuan dalam penelitian :

NO

IA/RO

PERILAKU BERMASALAH

DAMPAK DARI PERILAKU

BERMASALAH

YANG DIRUGIKAN

1

BPD

Melakukan kecurangan dalam pembentukan Panitia Pilkades, seperti menempatkan orang-orang yang duduk sebagai panitia pilkades adalah orang yang sama-sama mendukung salah satu calon (kroni).

1. Panitia Pilkades yang terbentuk kurang independen dan profesional serta cenderung berpihak kesalah satu calon

2. Kinerja Panitia Pilkades kurang optimal.

1. Masyarakat,

khususnya mereka yang memiliki kapasitas, integritas dan independen

2. Calon Kepala Desa

2

PANITIA PILKADES

Melakukan kecurangan dalam Pendataan dan Pendaftaran Pemilih

1. Pemilih yang berhak memilih tidak dapat mengikuti pemilihan kepala desa.

2. Kepala Desa terpilih bukan pilihan pemilih yang sebenarnya

1. Pemilih 2. Calon Kepala Desa

3

PANITIA PILKADES

Penjaringan Bakal Calon bersifat tertutup, tidak demokratis, bersifat subyektif/diskriminatif.

Bakal Calon Kepala Desa yang terjaring kurang aspiratif dan memiliki kapasitas yang memadai.

1. Bakal Calon Kepala

Desa. 2. Masyarakat

4

BPD

Penyaringan Bakal Calon tidak demokratis, mekanisme serta tolak ukur penilaian bersifat subyektif/diskriminatif.

1. Bakal calon kepala desa

yang memiliki dukungan rakyat serta kredibel gugur dalam proses penyaringan.

2. Calon yang lulus penyaringan bukanlah calon

1. Bakal Calon 2. Masyarakat

Page 43: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 43

yang benar-benat piliha masyarakat

5

PANITIA PILKADES

Pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih mencoblos, kertas suara dirusak, penghitungan suara tidak konsisten, pelaksanaan pemilihan tidak tepat waktu, kotak suara di bawah kerumah pemilih yang belum mendaftar, kotak suara tidak dikunci, waktu penghitungan suara lebih awal dari aturan dsb.

1. Hasil dari penghitungan

suara diragukan masyarakat, bahkan seringkali terjadi penolakan atas hasil pemilihan

2. Terjadinya kerusuhan dalam pilkades

1. Pemilih 2. Masyarakat Desa 3. Calon Kepala Desa

6

BPD DAN PANITIA PILKADES

Panitia dan BPD tidak mau menetapkan Calon Kepala Desa terpilih

1. Proses penetapan yang

berlarut-larut melahirkan ketegangan sosial dan peluang konflik antar pendukung.

2. Lahirnya ketidakpastian hukum

1. Calon Terpilih 2. Masyarakat

7

CALON KEPALA DESA

Membagi-bagikan uang kepada pemilih agar dipilih (money politik)

1. Kepala Desa terpilih bukan

atas dasar nurani rakyat, tapi “nurani uang”.

2. Calon yang memiliki kapasitas, kredebilitas, integritas tidak terpilih

3. Kepala Desa terpiih melakukan korupsi

1. Calon Kepala Desa 2. Masyarakat

8

BUPATI

Penegakkan hukum terhadap pelanggaran pemilihan kepala desa lemah.

1. Tingginya tingkat

pelanggaran dalam pemilihan kepala desa dan tidak ada kepastian dan keadilan hukum.

2. Terbukanya peluang kerawanan sosial

1. masyarakat 2. Calon Kades

9

PANITIA PILKADES

Panitia Pilkades tidak independen, profesional dan jurdil

1. Hasil Pilkades tidak

dipercaya masyarakat. 2. Pemicu terjadinya konflik

idem

10

BPD

BPD menolak LPJ Kepala Desa tanpa dasar dan tujuan yang jelas/motif mengarah pada kepentingan politis

1. Hubungan BPD dan Kades

tidak harmonis dan sinergis 2. Pemerintahan tidak berjalan

stabil

idem

11

MASYARAKAT

Tindakan anarkhis dalam Penyelesaian pemilihan Kepala Desa (bentrok antar massa)

1. Bentrok dan konflik (instabilitas politik dan keamanan)

2. Adanya korban

Masyarakat, pemda, pemdes

Page 44: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 44

BAB HIPOTESA PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

Hipotesa Penyebab perilaku bermasalah diperlukan sebab sesungguhnya suatu peraturan dapat dikatakan berhasil apabila suatu peraturan tersebut mampu untuk mengubah atau menghilangkan penyebab perilaku bermasalah. Dengan mengetahui penyebab terjadinya perilaku bermasalah, maka nantinya rancangan peraturan daerah ditujukan untuk menemukan /menyusun cara-cara pemecahannya di dalam rancangan peraturan daerah nantinya. Menemukan penyebab perilaku bermasalah dalam konteks ini sangatlah penting, sebab bila kita salah dalam melakukan diagnosa terhadap sebab-sebab dari perilaku bermasalah. Maka, besar kemungkinan rancangan peraturan daerah nantinya tidak dapat menghilangkan perilaku bermasalah. Dalam rumus MPM bahwa satu perilaku bermasalah selalu ditimbulkan oleh banyak penyebab. Untuk memudahkan analisis maka dirumukan hipotesis tentang sebab-sebab terjadinya perilaku bermasalah dan berbagai hipotesis tersebut kemudian dibuktikan dengan fakta empirik dan dijelaskan dalam hubungan sebab-akibat. Oleh karena perilaku bermsalah ditimbulkan oleh banyak penyebab, maka cara mendapatkan hipotesis-hipotesis tentang berbagai penyebab perilaku bermsalah dalam MPM ini menggunakan alat analisis ROCCIPI. Analisis tersebut terdiri dari analisis aktor (rule occupant) dan analisis Pelaksana Peraturan (impelemnting agency) terhadap perilaku apa saja yang bermasalah dan

Page 45: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 45

sebab-sebab dari perilaku bermasalah yang dilakukan baik oleh RO maupun IA. Berikut ini hasil analisis penyebab-penyabab perilaku bermasalah dan pelaku ( RO/IA ) yang bermasalah dilihat dengan alat ROCCIPI : 1. Pembentukan Panitia Pilkades tidak demokratis dan jurdil.

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Badan Perwakilan Desa

Melakukan kecurangan dalam pembentukan Panitia Pilkades, seperti menempatkan orang-orang yang duduk sebagai panitia pilkades adalah orang yang sama-sama mendukung salah satu calon.

R

� Tidak mengatur bagaimana mekanisme seleksi, kriteria/syarat-

syarat, komposisi keterwakilan, serta indikator penilaian untuk membentuk Panitia Pemilihan Kepala Desa.

� Tidak ada kode etik yang menjaga/mengatur bagaimana agar BPD dalam proses pembentukan Panitia Pilkades harus bersikap/bertindak jujur dan adil, independen dan profesional

� Tidak ada sanksi atau hukuman bagi BPD yang melanggar aturan main dalam pembentukan Panitia Pilkades.

� Tidak ada aturan yang mengharuskan BPD memberikan ruang dan kesempatan pada masyarakat luas (independen) sebagai panitia pilkades

O

� Tidak adanya pengawasan dari masyarakat maupun pemerintah

dalam proses pembentukan Panitia Pilkades. � Pembentukan Panitia Pilkades dilakukan secara tertutup (hanya

BPD dan Perangkat Desa)

C

� BPD diberikan kewenangan “penuh” oleh aturan untuk

menentukan/membentuk Panitia Pilkades. � Terbatasnya kemampuan ekonomi, sehingga BPD sulit untuk

membentuk Panitia Pilkades dengan metode partisipatif. � Tidak memiliki kemampuan secara teknis untuk melakukan proses

seleksi secara objective, karena tidak ada standar atau pedoman untuk melakukan proses seleksi Panitia Pilkades.

C

� Tidak mengetahui aturan main secara komprehensif. � Terbatasnya akses informasi dan komunikasi � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda

I

� BPD berkepentingan secara politik berupa kepentingan politik,

seperti kepentingan untuk menempatkan orang-orangnya atau diri sendiri untuk duduk sebagai Panitia Pilkades dengan harapan agar dapat menentukan kebijakan dalam pilkades—sehingga menguntungkan calon tertentu yang didukungnya.

� BPD berkepentingan untuk memperoleh proyek /anggaran.

P

� Meknisme pengambilan keputusan secara kelembagaan BPD

didominasi oleh ketua BPD.

I

� BPD menganggap dirinya adalah sebagai wakil rakyat yang telah

diberikan mandat penuh oleh rakyat, karena itu BPD menganggap tidak perlu melakukan konsultasi publik dengan masyarakat atas kebijakan yang akan diambilnya.

2. Terjadinya manipulasi pendataan dan pendaftaran pemilih

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Page 46: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 46

Panitia Pemilihan Kepala Desa

Melakukan kecurangan dalam Pendataan dan Pendaftaran Pemilih . Seperti, misalnya ; pemilh yang berhak memilih tidak terdaftar.

R

� Tidak mengatur secara tegas dan jelas tentang persyaratan dan tata cara

pendaftaran pemilih.

O

� Tidak adanya pengawasan dari masyarakat maupun pemerintah dalam

proses pendaftaran pemilih, sehingga terbuka peluang terjadi pelanggaran.

� Tidak adanya database yang memadai tentang kependudukan desa, sehingga tidak diketahui secara jelas dan pasti jumlah penduduk dan jumlah pemilih.

� Masyarakat kurang pro-katif dalam proses pendaftaran pemilih

C

� Terbatasnya kemampuan ekonomi, sehingga Panitia Pilkades sulit untuk

melakukan proses pendataan penduduk dan pemilih secara optimal. � Terbatasnya waktu pendataan penduduk dan pemilih, serta kondisi

geografis desa yang sulit (berbukit-bukit)., disisilain keterbatasan sarana dan prasana transportasi.

C

� Kurang memathui aturan main secara komprehensif. � Terbatasnya akses informasi dan komunikasi � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda

I

� Panitia Pilkades berkepentingan secara politik, seperti kepentingan

untuk memenangkan salah satu calon kades—dengan harapan, jika terpilih memperoleh akses ekonomi maupun politik.

� Salah satu calon adalah kalangan keuarga, atau sama-sama pengurus partai politik tertentu, atau sama-sama almamater, atau sama-sama profesi dsb..

P

� Meknisme pengambilan keputusan secara kelembagaan Panitia Pilkades

didominasi oleh ketua Pilkades.

I

� BPD menganggap pendaftaran pemilih tidak urgen/krusial.

3. Penjaringan Bakal Calon tidak aspiratif dan demokratis

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Panitia Pemilihan Kepala Desa

Penjaringan Bakal Calon bersifat tertutup, tidak demokratis, bersifat subyektif/diskriminatif.

R

� Tidak mengatur secara tegas dan jelas tatacara, kriteria dan tolak ukur

yang jelas tentang penjaringan bakal calon yang digunakan Panitia Pilkades untuk melakukan proses penjaringan bakal calon.

� Tidak mengatur bagaimana tatcara penyampaian aspirasi masyarakat dalam proses penjaringan aspirasi bakal calon.

O

� Tidak adanya pengawasan dari masyarakat maupun pemerintah daerah

dalam proses penjaringan bakal calon kepala desa. � Tidak jelasnya kewenangan Panitia Pemilihan dalam proses penjaringan

bakal calon. � Tertutupnya sistem, kriteria dan tolak ukur penilaian dalam proses

penjaringan bakal calon.

C

� Terbatasnya kemampuan ekonomi, sehingga Panitia Pilkades sulit untuk

melakukan proses penjaringan secara menyeluruh. � BPD tidak melakukan proses penjaringan Bakal calon secara partisipatif

karena tidak mengetahui bagaimana proses penjarinan bakal calon secara partisipatif

Page 47: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 47

C

� Kurang mematuhi aturan main secara komprehensif. � Terbatasnya akses informasi dan komunikasi � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda

I

� Panitia Pilkades berkepentingan secara politik, seperti kepentingan

untuk memenangkan salah satu calon kades—dengan harapan, jika terpilih memperoleh akses ekonomi maupun politik.

� Panitia Pilkades berkepentingan karena salah satu calon adalah kalangan keuarga, atau sama-sama pengurus partai politik tertentu, atau sama-sama almamater, atau sama-sama profesi dsb..

P

� Dalam proses input (Masukan) dalam proses penjaringan bakal calon

dilakukan oleh Panitia Pilkades hanya pada kelompok-kelompok tertentu (cenderung kelompok masyarakat pendudkung calon—yang sejalan dengan pilihan/dukungan panitia pilkades).

� Proses pengambilan keputusan dilakukan tanpa ada proses pelibatan publik.

� Meknisme pengambilan keputusan dalam proses penjaringan bakal calon didominasi olej Ketua Panitia Pilkades.

� Tidak ada penjelasan/pengumuman argumentatif kepada masyarakat atas putusan yang dimbil oleh Panitia Pilkades. Sehingga, masyarakat tidak mengetahui metode, kriteria, ukuran dan sebagainya dalam proses penjaringan.

I

� Ada anggapan bahwa jika melalui proses penjaringan secara partisipatif

akan menimbulkan banyak masalah, karena banyak input baik berupa sara, ide dan sebagainya.

� Pemilihan Kepala Desa—sudah diketahui masyarakat, dan hanya tokoh-tokoh masyarakat sajalah yang akan mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa, karena itu tidak perlu dilakukan penjaringan bakal calon secara partisipatif, percuma saja. Karena calonnya sudah diketahui.

4. Proses Penyaringan Bakal Calon Diskriminatif

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Panitia Pemilihan Kepala Desa

Penyaringan Bakal Calon tidak demokratis, mekanisme serta tolak ukur penilaian bersifat subyektif/diskriminatif.

R

� Terjadi ketidakjelasan kewenangan antara BPD dengan Panitia

Pemilihan Kepala Desa. Dalam proses penjaringan di lakukan oleh Panitia Pilkades sedangkan dalam proses penyaringan dilakukan oleh BPD.

� Tidak mengatur tata cara, kriteria dan tolak ukur penilaian visi dan misi calon kepala desa yang baik, selama ini umumnya kriteria yang digunakan BPD beragam, salah satunya adalah visi namun ukuran visi sebenarnya lebih kepada “selera” karena itu cenderung bersifat subyetif.

� Adanya Pembatasan jumlah calon kepala desa maksimal 3 orang, hal ini tidak demokratis, tidak mendorong perluasan lahirnya alternatif pilihan-pilihan bagi pemilih terhadap kepala desa yang akan dipilih pemilih.

Badan Perwakilan Desa

O

� Tidak adanya pengawasan. � Tertutupnya sistem, kriteria dan tolak ukur penilaian dalam proses

penyaringan bakal calon.

C

� BPD tidak memiliki kemampuan dalam merumuskan kriteria dan tolak

ukur penilaian secara objective/independen dalam proses penyaringan bakal calon.

� BPD memiliki kewenangan dan menggunakan kewenangan tersebut untuk memberikan penilaian secara subjective

C

� Kurang mematuhi aturan main secara komprehensif. � Terbatasnya akses informasi dan komunikasi � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda

Page 48: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 48

I

� Panitia Pilkades berkepentingan secara politik, seperti kepentingan

untuk memenangkan salah satu calon kades—dengan harapan, jika terpilih memperoleh akses ekonomi maupun politik.

� Panitia Pilkades berkepentingan karena salah satu calon adalah kalangan keuarga, atau sama-sama pengurus partai politik tertentu, atau sama-sama almamater, atau sama-sama profesi dsb..

P

� Dalam proses input (Masukan) dalam proses penjaringan bakal calon

dilakukan oleh Panitia Pilkades hanya pada kelompok-kelompok tertentu (cenderung kelompok masyarakat pendudkung calon—yang sejalan dengan pilihan/dukungan panitia pilkades).

� Proses pengambilan keputusan dilakukan tanpa ada proses pelibatan publik.

� Meknisme pengambilan keputusan dalam proses penjaringan bakal calon didominasi olej Ketua Panitia Pilkades.

� Tidak ada penjelasan/pengumuman argumentatif kepada masyarakat atas putusan yang dimbil oleh Panitia Pilkades. Sehingga, masyarakat tidak mengetahui metode, kriteria, ukuran dan sebagainya dalam proses penjaringan

I

� Ada perasaan no nyaman rasa untuk membatalkan calon yang berasal

dari kalangan yang berpengaruh dalam masyarakat.

5. Pemungutan Suara terjadi kecurangan

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Panitia Pemilihan Kepala Desa

Pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih mencoblos, kertas suara dirusak, penghitungan suara tidak konsisten, pelaksanaan pemilihan tidak tepat waktu, kotak suara di bawah kerumah pemilih yang belum mendaftar, kotak suara tidak dikunci, waktu penghitungan suara lebih awal dari aturan dsb.

R

� Tidak mengatur secara jelas sanksi atas pelanggaran pemungutan suara. � Tidak ada petunjuk teknis tentang pelaksanaan pemungutan suara.

Badan Perwakilan Desa

O

� Tidak adanya pengawasan yang kuat dalam proses pemungutan dan

penghitungan suara. � Saksi tidak melakukan penelitian secara mendalam.

C

� Panitia Pilkades sengaja tidak mendata dan mendaftar pemilih yang

seharusnya memilih � Panitia Pilkades tidak melakukan validasi data pemilih sebelum

pemungutan suara dimulai. � Panitia Pilkades tidak menerapkan aturan secara konsisten tentang

jadwal waktu pemungutan dan penghitungan suara serta konsisten dalam menerapkan suara sah dan suara tidak sah.

C

� Kurang mematuhi aturan main secara komprehensif. � Terbatasnya akses informasi dan komunikasi � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda

I

� Panitia Pilkades berkepentingan secara politik, seperti kepentingan

untuk memenangkan salah satu calon kades—dengan harapan, jika terpilih memperoleh akses ekonomi maupun politik.

� Panitia Pilkades berkepentingan karena salah satu calon adalah kalangan keuarga, atau sama-sama pengurus partai politik tertentu, atau sama-sama almamater, atau sama-sama profesi dsb..

P

� Dalam proses input (Masukan) pemungutan dan penghitungan suara,

dilakukan oleh panitia pilkades yang ditunjuk untuk itu, otoritas dalam menentukan suara sah dan tidak sah, boleh atau tidaknya pemilih menggunakan hak pilihnya pada saat pemungutan suara berada

Page 49: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 49

ditangan Ketua Panitia Pilkades.

I

� Ada nilai (kebiasaaan) pelaksanaan pemungutan dan penghitungan

suara adalah tradisi dari pelaksanaan sebelumnya, yang penting aman dan lancar. Sehingga, aturan yang dijadikan landasan tidak dipakai oleh panitia pilkades, karena dianggap bertentangan dengan kebiasaan pelaksanaan pilkades sebelumnya. Misalnya untuk warga yang sakit dapat diwakili oleh anak, menantu, atau saudara yang lainnya.

6. Penetapan Calon Terpilih Berlarut-Larut

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Badan Perwakilan Desa

Panitia BPD tidak mau menetapkan Calon Kepala Desa terpilih

R

� Calon Kepala Desa terpilih ditetapkan sebagai Calon Kepala Desa

terpilih dengan Keputusan BPD. � Tidak ada kejelasan waktu, dalam aturan paling lambat 30 hari setelah

pemilihan surat keputusan calon kepala desa terpilih beserta berita acara yang dihsakan BPD harus disampaikan kepada Bupati.

� Bupati mengeluarkan Keputusan Bupati paling lambat 30 hari sejak tanggal keputusan BPD diterima. Artinya jangka waktu hampir 2 bulan jika, dihitung dari pemilihan hingga keputusan bupati.

� Tidak dijelaskan apakah 30 hari dimaksud adalah hari kerja/kalender kerja ataukah juga termasuk hari libur.

� Tidak ada sanksi atas keterlambatan dalam proses penerbitan keputusan baik BPD maupun Bupati.

O

� Adanya ketidakjelasan waktu menyebabkan BPD menafsirakan sendiri

jadwal waktu pnetapan calon Kepala Desa terpilih � Tidak ada sanksi bagi BPD untuk mengulur-ulur waktu. � Tidak ada pengawasan masyarakat.

C

� BPD sengaja tidak mengesahkan Calon Kepala Desa terpilih. � Tidak memiliki anggaran untuk memperoses.

C

� Kurang mematuhi aturan main secara komprehensif. � Terbatasnya akses informasi dan komunikasi � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda

I

� Panitia Pilkades berkepentingan secara politik, seperti kepentingan

untuk memenangkan salah satu calon kades—dengan harapan, jika terpilih memperoleh akses ekonomi maupun politik.

� Panitia Pilkades berkepentingan karena salah satu calon adalah kalangan keuarga, atau sama-sama pengurus partai politik tertentu, atau sama-sama almamater, atau sama-sama profesi dsb..

P

� Keputusan Pengesahan di dominasi oleh Ketua BPD.

I

� Kebiasaan mempermudah sesuatu.

7.Praktek Money Politic Pilkades

RO

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

(1) (2) (3) (4)

Calon

Membagi-bagikan uang

R

� Tidak diatur mengenai kampanye

Page 50: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 50

Kepala Desa

kepada pemilih agar dipilih

� Tidak diatur dana kampanye � Tidak diatur larangan kampanye

O

� Pemilih sangat mudah dibujuk/dirayu dengan uang. � Pemilih tidak mengetahui dampak dari adanya praktek money politik � Pemilih dalam kondisi miskin/butuh uang. � Tidak adanya sanksi bagi kepala desa bila melakukan money politik � Panitia Pilkades membiarkan praktek money politik � Tidak ada pengawasan masyarakat

C

� Calon Kepala Desa memiliki kemampuan ekonomi yang lebih/uang.

C

� Perda tidak mengatur tentang kampanye maupun dana kampanye.

I

� Calon berkepentingan untuk memenangkan pilkades, apapun caranya.

P

� Keputusan untuk melakukan praktek money politik, ditentukan oleh

calon sendiri.

I

� Ada anggapan bahwa uang adalah segala-galanya..

8.Penegakkan hukum atas pelanggaran Pilkades lemah.

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

Bupati

Penegakkan hukum terhadap pelanggaran pemilihan kepala desa lemah.

R

� Hanya ada satu Pasal 43 perda No.5 tahun 2001 Kabupaten Sumbawa

yang mengatur tata cara pembatalan calon � Tidak mengatur tatacara penyelesaian sengketa dalam pemilihan kepala

desa

O

� Tidak ada kejelasan yuridis tentang sengketa pilkades. � Kewenangan penyelesaian sengketa berda penuh pada Bupati. � Tidak ada mekanisme pertanggungjawaban publik atas sengketa

pilkades.

C

� Bupati tidak menyusun aturan tentang penyelesaian sengketa pilkades. � Bupati tidak menggunakan perangkat daerah secara maksimal untuk

menyelesaikan sengketa pilkades. � Bupati cenderung menyerahkan penyelesaian sengketa pilkades ke

tingkat Dea (BPD)

C

� Sosialiasi penyelesaian sengketa pilkades tidak dilakukan.

I

� Kepentingan stabilitas politik dan keamanan dalam proses pilkades,

sehingga kasus-kasus dalam pilkades cenderung diabaikan. � Adanya keinginan untuk segera mendefenitifkan kepala desa. � Pembatalan atau pilkades ulang akan berdampak pada biaya ekonomi

yang tinggi. � Pembatalan pemilihan dihawatirkan memicu terjadinya konflik massa

pendukung. � Jika penegakkan hukum diterapkan secara maksimal akan berdampak

pada Bupati, karena sebagai Kepala Pemerintahan Bupati turut pula bertanggung jawab atas suksesnya penyelenggaraan pilkades.

P

� Proses pengambilan keputusan berada ditangan Bupati. � Tidak ada mekanisme bersifat terbuka bagi publik.

I

� Mempertahankan korps

Page 51: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 51

9. Penolakan LPJ Kepala Desa tanpa dasar alasan dan tujuan yang jelas.

IA

PERILAKU

BERMASALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

Badan Perwakilan Desa (BPD)

BPD menolak LPJ Kepala Desa tanpa dasar dan tujuan yang jelas/motif mengarah pada kepentingan politis

R

� Tidak diatur mengenai mekanisme LPJ, Tolak ukur LPJ, Kriteria LPJ dan

sebagainya.

O

� Tidak adanya pengawasan masyarakat maupun pemerintah daerah

terhadap kinerja BPD. � Tidak ada mekanisme pertanggungjawaban BPD kepada masyarakat. � Ketidakjelasan LPJ (ukuran/indikator, kriteria, tatacara dsb). � Adanya dukungan sebagian masyarakat untuk melakukan penolakan

atas LPJ kepala Desa. .

C

� BPD memiliki kewenangan yang sangat luas. � Kemampuan dan kekuatan politik BPD lebih besar dibandingkan

dengan Pemerintah Desa.

C

� Tidak mengetahui aturan main secara komprehensif. � Kurangnya sosialisasi peraturan daerah dari pemda kepada Panitia

Pilkades

I

� Kuatnya kepentingan pribadi dalam panitia pilkades untuk memperoleh kedudukan/posisi jika calon kades tertentu terpilih

� memperoleh “pendapatan” tambahan/keuntungan secara ekonomis

P

� Input untuk mengambil keputusan berasal dari kelompok tertentu � Ouput keputusan yang dihasilkan cenderung tidak obyektif � Tidak ada mekanisem feedback dari keputusan yang diambil BPD

kepada publik

I

� Politik balas dendam

10.Tindakan anarkhis dalam proses pemilihan kepala desa (bentrok antar pendukung, bentrok antara pendukung dengan Panitia, bentrok antar calon kepala desa dan sebagainya).

IA

PERILAKU BERMSALAH

ANALISIS ROCCIPI

PENYEBAB-PENYEBAB PERILAKU BERMASALAH

Masyarakat

Tindakan anarkhis dalam Penyelesaian pemilihan Kepala Desa

R

� Tidak ada mekanisme yang jelas untuk penyelesaian sengketa

pemilihan kepala desa � Tidak ada sanksi yang tegas terhadap pelanggaran tahapan pemilihan

kepala desa yang dilakukan oleh masyarakat.

O

� Tidak ada sanksi yang tegas, tidak ada perlindungan bagi masyarakat

yang melapor jika terjadi pelanggaran, tidak ada lembaga dan mekenisme bagi masyarakat untuk melaporkan/mengadukan pelanggaran.

� Minimnya penyelesaian kasus-kasus pelanggaran pilkades, tidak adanya kontrol dari aparat pemerintah serta sistem pengawasan pilkades yang rendah.

� Masyarakat membiarkan praktek kecuarangan dalam pilkades bahkan turut memberikan konstribusi atas perilaku bermasalah.

C

� Masyarakat tidak memiliki kemampuan dalam penyelesaian sengketa

Page 52: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 52

karena tidak ada kewenangan masyarakat untuk menyelesaikan sengketa, disamping ketiadaan aturan yang memberikan peluang dan mekanisme penyelesaian.

� Masyarakat tidak memiliki kesadaran politik yang tinggi. � Terbatasnya pemahaman dan kemampuan masyarakat tentang aturan

main dalam pilkades (demokrasi)

C

� Masyarakat tidak mengetahui aturan hukum karena kurangnya

sosialisasi peraturan daerah dari pemda, Pemerintahan Desa, maupun Panitia Pilkades kepada masyarakat

I

� Masyarakat ingin memperoleh prestises sebagai pendukung yang loyal

dihadapan calon (kepentingan sosial) � Masyarakat ingin menunjukkan kekuatan politik dari yang lain

(kepentingan politik) � Masyarakat memperoleh banyaran dari calon tertentu (kepentingan

ekonomi)

P

� Keputusan untuk mengabil tindakan anarkhis disebabkan dua faktor (1)

kepeutusan dari dalam diri sendiri (internal), karena sangat fanatik terhadap calon tertentu (2) adanya dorongan dari calon Kepala Desa atau Tim pendukung lainnya.

I

� Masyarakat belum dapat menerima kekalahan, karena kekalahan

dipandang sebagai suatu yang “hina” . � Demokrasi diartikan sebagai kemenangan, jika tidak menang maka tidak

demokratis.

BAB IV SOLUSI-SOLUSI

4.1. SOLUSI-SOLUSI ALTERNATIVE Setelah menemukan gejala sosial, aktor, dan penyebab-penyebab perilaku bermasalah, maka langkah selanjutnya adalah menyusun rincian solusi dan alternative-alternative yang dimungkinkan atau peluang untuk mengatasi masalah sosial. Tahapan Proses yang dilakukan adalah ;

(1) Memeriksa kembali gejala dan masalah sosial (2) Memeriksa Aktor Rule dan Implementing Agency yang prilakunya

bermasalah (3) Memeriksa kembali apa perilaku bermasalah dari Aktor Rule dan

Implementing Agency (4) Memeriksa kembali dampak dari perilaku bermasalah.

Setelah melakukan pemeriksaan atas empat item diatas, langkah selanjutnya adalah menyusun Solusi dan Alternative Solusi. Penyusunan solusi tersebut ditujukan untuk mengatasi penyebab perilaku masalah, dan untuk itu disusunlah solusi yang merupakan tindakan langsung untuk mengatasi penyebab perilaku bermasalah, yakni berupa sanksi pidana, perdata dan administratif. Solusi ini umumnya ditujukan untuk menghilangkan penyebab perilaku bermasalah berupa kepentingan (interest) dan ideologi. Selain itu, juga terdapat solusi yang merupakan tindakan angsung ditujukan untuk mengubah ideologi. Dan untuk memastikan efektivias pelaksanaan peraturan, maka dalam rumusan solusi ini juga diupayakan dapat menemukan dan

Page 53: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 53

menentukan lembaga pelaksana peraturan yang berkompeten dan mampu melaksanakan tugas dan dari peraturan yang akan dibuat nantinya. Dalam proses penyusunan solusi ini, beberapa langkah dan tahapan yang dilakukan sebagai bahan pertimbangan adalah (1) Mempertimbangkan berbagai solusi (solusi dan alternative-alternative solusi). (2) Menyusun Kerangkan Solusi : Kategori-Kategori Dalam Solusi, antara lain adalah melakukan inventarisasi daftar usulan peraturan yang telah disusun dalam rincian solusi, dan memilah serta mengelompokkan daftar usulan tersebut kedalam ; (a) Usulan yang ditujukan untuk aktor (b) usulan yang ditujukan kepada lembaga pelaksana (c) usulan yang ditujukan untuk ketentuan yang mengatur sanksi (d) usulan ditujukan untuk mengatur mekanisme penyelesaian sengketa. (d) usulan yang ditujukan untuk mengatur pembiayaan (e) usulan yang mengatur masalah-masalah teknis. (f) Mempertimbangkan Pengaruh dan Dampak.(g) Mempertimbangkan Akibat dan Mafaat Ekonomi, Sosial dan Politik.

1. Pembentukan Panitia Pilkades

DAMPAK YANG DIHARAPKAN DARI SOLUSI

KELOMPOK /SASARAN YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

TINDAKAN KRITERIA DAN PROSEDUR

(1) (2) (3) (4)

1. Panitia Pilkades dibentuk atas dasar profesionalitas, integritas dan independens. 2. Proses Seleksi dilaksanakan oleh Team seleksi Panitia Pilkades yang independen dan dalam proses seleksi memperhatikan kriteria dan syarat-syarat yang ditentukan dalam peraturan, BPD tidak lagi menjadi team seleksi dan sebagai Panitia Pilkades.

Pemda dan BPD

� BPD perlu membentuk

panitia khusus untuk melakukan proses seleksi calon Panitia Pemilihan Kepala Desa, dan dalam proses seleksi panitia pilkades harus diatur bagaimana mekanisme seleksi, kriteria/syarat-syarat, komposisi keterwakilan, serta indikator penilaian berdasarkan pedoman dari pemerintah daerah

� Perlu ada kode etik yang menjaga/mengatur bagaimana agar BPD dalam proses pembentukan Panitia Pilkades harus bersikap/bertindak jujur dan adil, independen dan profesional

� Perlu da sanksi atau hukuman bagi BPD yang melanggar aturan main dalam pembentukan Panitia Pilkades.

� Perlu aturan yang mengharuskan BPD memberikan ruang dan kesempatan pada masyarakat luas (independen) sebagai panitia pilkades

� Panitia khusus berjumlah 3-5 orang

yang independen, proses seleksi dimulai dari pembukaan pendaftaran, seleksi administratif, seleksi wawancara dan uji publik calon. Hasil dari uji publik (meminta pendapat masyarakat) diplenokan oleh panitia khusus untuk menentukan calon yang lulus seleksi. Hasil seleksi diumumkan panitia kepada masyarakat.

� Dalam proses seleksi panitia secara internal harus menyepakati apa-apa saja yang boleh dilakukan panitia dan apa yang tidak boleh dilakukan panitia. Dan apabila panitia khusus melanggar kesepakatan (etik) maka harus diberikan sanksi.

� Panitia Pilkades dapat berbentuk Komisi yang bersifat adhoc dengan jumlah anggota 5-7 orang. Komisi khusus (pilkades) tersebut adalah wakil-wakil dari masyarakat/organisasi masyarakat yang ada di desa—dan orang yang duduk dalam Komisi tersebut harus independen (tidak boleh memihak) atau menjadi pendukung salah satu calon kepala desa.

Adanya partisipasi masyarakat dalam proses pembentukan panitia pilkades

Aktor Rule dan IA (Pemda)

� Perlu adanya pengawasan

dari masyarakat maupun pemerintah dalam proses pembentukan Panitia Pilkades.

� Dalam proses pembentukan Panitai

Pilkades (Komisi Pilkades) masyarakat berhak melakukan pengawasan terhadap proses pembentukan panitia pilkades. Hak masyarakat tersebut, berupa hak

Page 54: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 54

� Pembentukan Panitia Pilkades dilakukan harus dilakukan secara terbuka dan partisipatif

memperoleh informasi tentang calon Panitia Pilkades.

� Panitia Khusus seleksi harus mengumumkan nama-nama calon Komisi Pilkades kepada masyarakat dan memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk memberikan penilaian terhadap para calon. Pemberian penilaian dilakukan dengan cara penyampaian aspirasi langsung atu melalui surat resmi dengan dilampiri bukti-bukti/data-data calon.

Adanya check and balance dalam pemerintahan

IA (Pemda) dan Aktor Rule

� Kewenangan BPD terbatas

pada pembentukan Panitia Khusus untuk seleksi penerimaan calon

� Perlu ada anggaran khusus untuk Panitia Seleksi untuk melakukan proses seleksi Calon panitia Pilkades.

� Perlu ada panduan teknis untuk panitia seleksi untuk melakukan proses seleksi panitia pilkades.

� Kedudukan BPD dalam proses

pembentukan Panitia Seleksi Calon Komisi Pilkades adalah sebagai fasilitator, proses seleksi kewenangan penuh panitia seleksi. Panitia Seleksi melaporkan hasil seleksinya kepada publik melalui BPD dan BPD selaku wakil masyarakat berkewajiban mengumumkan kepada masyarakat.

� Anggaran khusus untuk panitia seleksi disesuaikan dengan kemampuan keuangan daerah dan keuangan desa..

� Panduan khsusus dimaksud terutama terkait dengan item/kriteria apa saja yang digunakan untuk memberikan penilaian oleh Panitia khusus pilkades dan bagaimana tatacara pemberian penilaian..

Meningkatnya kapasitas BPD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya

IA (Pemda)

� Perlu ada sosialiasi perda

dan pembinaan hukum.

Sosialiasi perda dan pembinaan hukum harus dilakukan pemerintah daerah untuk meningkatkan pengetahuan/pemahaman BPD maupun masyarakat.

Adanya mekanisme BPD dalam melaksanakan tugas dan fungsinya serta etika politik BPD

IA (Pemda dan BPD)

� Perlu ada tatib dan kode etik

BPD dan memberikan sanki kepada personal BPD yang melakukan pelanggaran atas tatib dan kode etik BPD..

� Sebelum diberikan sanksi BPD

melakukan rapat rapat sekurang-kurangnya dihadiri 2/3 dari jumlah anggota BPD dan dari 2/3 yang hadir 50 + 1 setuju atau tidak setuju memberikan sanksi kepada agoota BPD yang melanggar kode etik dan tatib.

idem

IA (BPD)

� Pengambilan keputusan

harus memenuhi quorum, sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota BPD hadir dan 50+1 menyetujui atau tidak menyetujui rapat paripurna BPD.

� Perlu diatur jenis-jenis rapat dan mekanisme masing-masing rapat dalam kelembagaan BPD.

� Keputusan Rapat BPD harus

mengkedepankan aspek musyawarah untuk mufakat. Keputusan rapat melalui jalur voting adalah upaya terakhir, manakala berbagai upaya telah ditempuh dan mengalami deadlock.

� Keputusan voting tidak boleh dilakukan terhadap perkaran menyangkut dugaaan korupsi, terhadap dugaan korupsi harus diserahkan sesuai mekanisme yang berlaku dalam ketentuan perundang-undangan. BPD menyerahkan laporan dugaan korupsi kepada pihak terkait.

.

Adanya akuntabilitas publik BPD

IA (Pemda dan BPD)

� Perlu ada mekanisme

konsultasi publik dengan masyarakat atas kebijakan yang akan diambil BPD serta pertanggungjawaban BPD kepada masyarakat.

� Dalam hal penyusunan Perdes dan

APBDES BPD harus melakukan penyerapan aspirasi kepada masyarakat dan mensosialiasikan rancangan Perdes maupun APBDES kepada masyarakat.

� Masyarakat berhak untuk menyampaikan aspirasi melalui

Page 55: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 55

penyampaian langsung (publik hearing) atau melalui surat untuk memberikan masukan/saran/kritik atas rancangan perdes dan ABDES.

� Masukan masyarakat tersebut harus pula memuat solusi-solusi atau rekomendasi yang diinginkan secara jelas dan dapat dipertanggungjawabkan..

2. Terjadinya manipulasi pendataan dan pendaftaran pemilih

DAMPAK YANG DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

TINDAKAN-TINDAKAN KRITERIA DAN PROSEDUR

(1) (2) (3) (4)

Berkurangnya kecurangan dalam pendataan pemilih

IA (Pemda pemdes Panitia Pilkades)

� Perlu diatur secara tegas

dan jelas tentang persyaratan dan tata cara pendaftaran pemilih.

� Pemerintah daerah harus

menyusun kriteria pemilih yang lebih spesifik dan harus memberikan pelatihan (supervisi) kepada Panitia Pilkades tentang tata cara pendaftaran pemilih.

� Dalam proses pendataan pemilih dapat dibentuk POKJA (kelompok Kerja) terdiri dari RT, RW, BPD, Panitia Pilkades.

Adanya database kependudukan (penduduk dan pemilih)

IA (Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil, BPS, PemdesPanitia Pilkades)

� Pemerintah Desa perlu

menyusun dan mendokumentasikan database penduduk desa dan sekurang-kuranya 2 tahun sekali melakukan updating data penduduk dan sekurang-kurangya 1 tahun sebelum masa berakhir jabatan kepala desa telah melakukan updating pemilih dalam proses pendataan penduduk pemerintah desa dapat berkoordinasi dengan Dinas kependudukan Catatan Sipil dan Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten.

� Sosialiasi pendaftaran pemilih perlu dilakukan panitia pilkades melalui sarana-sarana yang efektif didesa, seprti mesjid, papan informasi, ketua RT, RW.

� Pemerintah Desa perlu menyusun

dan mendokumentasikan database penduduk desa dan sekurang-kuranya 2 tahun sekali melakukan updating data penduduk dan sekurang-kurangya 1 tahun sebelum masa berakhir jabatan kepala desa telah i melakukan updating pemilih.

� Sosialiasi pendaftaran pemilih perlu dilakukan panitia pilkades melalui sarana-sarana yang efektif didesa, seprti mesjid, papan informasi, ketua RT, RW.

Meningkatnya kapasitas pemerintah desa dan perangkat desa dalam pencatatan penduduk

IA (Pemda dan Pemerintah Desa beserta perangkat desa)

Pemerintah Daerah (Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil) harus melakukan supervisi kepada Panitia Pilkades dalam hal pencatatan penduduk.

� Pemerintah Daerah dan

Pemerintah Desa perlu untuk menganggarkan pendataan penduduk.

� Pendataan penduduk (updating data penduduk) harus dilakukan pemerintah desa 1 (satu) tahun sekali dan

� Pemerintah Daerah (Dinas

Kependudukan dan Catatan Sipil) harus melakukan supervisi kepada Panitia Pilkades dalam hal pencatatan penduduk

� Anggaran pendataan penduduk harus dialokasikan dalam APBD Kabupaten dan APBDES, Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa dapat melakukan sharing anggraan untuk pendataan penduduk. Besarnya anggaran tersebut sangat tergantung dari jumlah penduduk, kondisi geografis desa, dsb.

Page 56: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 56

pendataan pemilih sekurang-kurangnya dilakukan 1 bulan sebelum pelaksanaan pemilihan kepala desa

� Updating data penduduk dilakukan oleh Pemerintah Desa, metode updating dapat dilakukan secara berjenjang, yakni dari RT, RW, Kadus, Kepala Desa, Camat dan Kabupaten. Untuk kelancaran proses pendataan penduduk Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil melakukan supervisi kepada Pemerintah Desa.

� Untuk updating data pemilih pemerintah daerah dan desa dapat melakukan kerjsama dengan Komisi Pemilihan Umum Kabupaten.

� updating data penduduk dilakukan pemerintah desa 1 (satu) tahun sekali dan pendataan pemilih sekurang-kurangnya dilakukan 1 bulan sebelum pelaksanaan pemilihan kepala desa dimaksudkan agar data penduduk dan pemilih betul-betul valid.

Adanya partisipasi masyarakat untuk mendaftarkan diri sebagai penduduk dan pemilih

IA (Pemda, Pemdes Desa dan Panitia Pilkades)

� Perlu ada sosialisasi tentang

pendataan penduduk dan pemilih.

� Sosialiasi pendataan penduduk

dilakukan oleh Pemerintah Daerah yang menangani bidang kependudukan.

� Da;a hal pendataan pemilih, pemerintah daerah dapat melakukan kerjsama dengan Komisi Pemeilihan Umum.

Mengurangi penyimpangan dalam pelaksanaan pilkades

IA (Pemda)

� Pemerintah Daerah perlu

Menyusun Kode Etik Panitia Pilkades

� Pemerintah Daerah perlu

Menyusun Kode Etik Panitia Pilkades

Adanya pengawasan (feedback) masyarakat dan memnimalisir penyimpangan

IA (Panitia Pilkades)

� Panitia Pilkades membentuk

Pokja Pendataan Penduduk dan Pemilih.

� Hasil pendataan penduduk diumumkan secara luas kepada masyarakat.

� Masyarakat memberikan tanggapan atas hasil pendataan penduduk dan pemilih

� Panitia pilkades menumumkan kembali hasil revisi/tanggapan masyarakat.

� Proses mengacu pada tatib dalam

pendataan penduduk dan pemilih yang disepakati oleh para anggota.

Meningkatnya pemahaman dan kesadaran penyelenggara pilkades (adanya perubahan cara pandang)

IA (Pemda dan Panitia Pilkades)

� Perlu ada pemberian

pemahaman/penjelasan dari pemerintah daerah atau instansi terkait pentingnya pendataan penduduk dan pemilih (manfaat pendataan penduduk dan pemilih).

3. Penjaringan dan penyaringan Bakal Calon tidak aspiratif dan demokratis

DAMPAK YANG DIINGINKAN/ DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

TINDAKAN-TINDAKAN KRITERIA DAN PROSEDUR

Page 57: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 57

(1) (2) (3) (4)

1. Adanya kriteria yang obyektif, tata cara serta tolak ukur yang memadai sehingga penjaringan bakal calon transparans, partisipatif dan akuntabel. 2. Terjaringnya bakal calon kepala desa yang memiliki ingeritas yang baik.

IA (pemda dan Panitia Pilkades)

� Pemerintah perlu mengatur

secara tegas dan jelas tatacara, kriteria dan tolak ukur penjaringan bakal calon Panitia Pilkades dalam melakukan proses penjaringan bakal calon.

� Perlu diatur bagaimana tatcara penyampaian aspirasi masyarakat dalam proses penjaringan aspirasi bakal calon.

� Proses penjaringan bakal calon,

dimulai dengan pengumuman pendaftaran bakal calon, bakal calon mengajukan diri dan harus melengkapi persyaratan, selain persyaratan administratif juga harus memperoleh dukungan awal dari masyarakat yang dibuktikan dengan tanda tangan dukungan dan foto copy KTP.

� Panitia Pilkades (Komisi Pilkades) melakukan verifikasi atas syarat-syarat administratif yang diajukan bakal calon dan melakukan verifikasi administratif dan verifikasi dukungan bakal calon.

� Hasil verifikasi diumumkan keapda masyarakat

� Masyarakat dapat memberikan tanggapan, denganc ara mengajukan secara tertulis atas hasil verifikasi atau berdialog secara langsung dengan panitai pilkades.

� Masukan tersebut menjadi salah satu bahan pertimbangan Panitia Pilkades untuk menentukan lulus atau tidaknya bakal calon.

� Bakal Calon yang dinyatakan lulus dinyatakan sebagai .calon kepala desa dan Panitia pilkades menumumkan kepada masyarakat.

Adanya keterbukaan dalam proses penjaringan serta partisipasi masyarakat untuk melakukan pengawasan

IA (Panitia Pilkades)

� Panitia Pilkades harus

melakukan Proses penjaringan bakal calon secara terbuka (transparans).

� Dalam proses penjaringan bakal calon masyarakat berhak untuk melakukan pengawasan dan pemerintah harus melakukan pemantauan terhadap proses penjaringan bakal calon kepala desa.

� Panitia Pilkades mengumumkan

pendaftaran bakal calon kepala desa secara terbuka. Pengumuman dapat dilakukan dengan cara menumumkan melalui pengeras suara di mesjid, papan informasi desa, sosialiasi dari RT, RW dan Pemdes langsung kemasyarakat..

� Bentuk pengawasan yang dilakukan masyarakat adalah dalam bentuk memberikan masukan/saran/ide/atau pendapat kepada panitia pilkades dengan cara berdialog atau melalui surat pengaduan.

� Panitia Pilkades berdasarkan aturan yang ada memutuskan bakal calon lulus atau tidak verifikasi. Keputusan Panitia Pilkades bersifat final dan mengikat..

Meningkatnya kapasita panitia pilkades dalam melaksanakan pemilihan

IA (Pemda Daerah dan Panitia Pilkades)

� Pemerintah Daerah dan

Pemerintah Desa perlu menganggarkan Panitia Pilkades untuk melakukan proses penjaringan bakal calon.

� Pemerintah daerah perlu memberikan pembekalan kepada Panitia Pilkades untuk melakukan proses penjaringan Bakal calon secara partisipatif

� Proses penjaringan bakal calon menjadi kewenangan penuh Panitia Pemilihan Kepala Desa

� Anggaran Pilkades adalah berasal

dari APBD dan APBDES. Salah satu item penggunaan anggaran tersebut adalah untuk melakukan proses penjaringan bakal calon.

� Pembekalan Panitia Pilkades dapat berupa pelatihan, pemberian buku petunjuk teknis, konsultasi (supervisi) dan sebagainya.

Page 58: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 58

Meningkatnya pemahaman masyarakat

IA (Pemda)

� Pemerintah Daerah Perlu

melakukan sosialisasi perda

Mengurangi penyimpangan dalam pelaksanaan pilkades

IA (pemda dan panitia pilkades)

� Perlu ada kode etik Panitia

Pilkades.

Tersusunnya sistematika proses pejaringan dan penyaringan bakal calon sehingga dapat memudahkan dan mendorong panitia pilkades bekerja lebih profesional

IA (pemda dan panitia pilkades)

Proses yang perlu dirumuskan : � Pendaftaran bakal calon � Verifikasi administrasi � Verifikasi lapangan � Pengumuman hasil verifikasi � Penyampaian aspirasi

masyarakat � Pengumuman bakal calon � Pengundian nomor urut

calon secara terbuka..

Meningkatnya pemahaman panitia pilkades (merubah cara pandang) tentang partisipasi

IA (pemda dan panitia pilkades)

Pemerintah daerah perlu memberikan pemahaman tentang petingnya partsipasi pada panitia pilkades

4. Penyaringan Bakal Calon DAMPAK YANG DIINGINKAN/ DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Proses penyaringan bakal calon didasarkan atas “pilihan” rakyat secara obyektif

IA (Pemdapanitia Pilkades) RO (masyarakat)

� Kewenangan proses penyaringan bakal calon

menjadi calon kepala desa berada di tangan Panitia Pilkades. BPD tidak memiliki kewenangan untuk melakukan proses penyaringan bakal calon. Kepala desa.

� Pemerintah Daerah perlu mengatur secara umum tata cara, kriteria dan tolak ukur penilaian visi dan misi calon kepala desa sebagai pedoman umum bagi panitia pilkades dalam memberikan penilaian..

� Panitia Pilkades tidak perlu melakukan pembatasan Calon Kepala Desa. Melalui proses dukungan sekurang-kurangnya 10% dari jumlah pemilih pada tahap pengajuan bakal calon yang akan dicantumkan dalam rancangan peraturan daerah ini telah membatasi jumlah calon kepala desa. Pembatasan tersebut lebih bersifat demokratis dan obyektif, karena langsung dihdapakan pada keinginan masyarakat..

Page 59: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 59

Adanya partisipasi masyarakat serta mekanisme penilaian secara obyektif dari masyarakat

IA (Panitia pilkades)

� Masyarakat perlu diberikan kesempatan oleh

Panitia Pilkades untuk melakukan pengawasan dalam proses pelaksanaan penyaringan bakal calon.

� Panitia Pilkades perlu memberikan penjelasan kepada publik tentang sistem, kriteria dan tolak ukur penilaian dalam proses penyaringan bakal calon. Sehingga, masyarakat dapat memahamai.

Meningkatnya kapasitas panitia pilkades serta terbentuknya kelembagaan penyelenggaraan pemilihan kepala desa yang independen.

IA (Pemerintah Daerah)

� Permerintah Daerah perlu memberikan

penguatan kapasitas kepada Panitia Pilkades dalam merumuskan kriteria dan tolak ukur penilaian secara objective/independen .

� Dengan terbentuknya Komisi Pilkades, maka kewenangan BPD dalam proses penyaringan bakal calon berpindah ketangan Komisi Pilkades. Namun, demikian BPD berhak melakukan pengawasan terhdap panitia pilkades.

Meningkatnya pemahaman terhadap peraturan

IA (Pemerintah daerah )

� Pemerintah daerah perlu melakukan sosialiasi

terhadap aturan main (khususnya penyaringan bakal calon) secara komprehensif.

Mengurangi penyimpangan dalam pelaksanaan pilkades

IA (Pemerintah Daerah)

� Perlu ada kode etik Panitia Pilkades.

Adanya mekanisme dalam penyampaian visi dan misi calon dan kriteria obyektif dalam penilian

IA (pemerintah Daerah)

Penyampaian Visi dan Misi Calon Kepala Desa disampaikan dalam rapat paripurna BPD tanpa ada dialog. Proses yang perlu dirumuskan : � Kriteria penilaian � Tata Cara penyampaian visi, misa dan program � Waktu pelaksanaan dll.

Adanya perubahan cara pandang dalam penilaian calon kepala desa didasarkan pada landsan hukum, bukan subyektifitas.

IDEOLOGY

Panitia Pilkades harus mengkedepankan aspek hukum

5. Pemungutan Suara terjadi kecurangan

DAMPAK YANG DIINGINKAN/ DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Adanya sanksi dan penegakkan hukum terhadap kecurangan dalam pemungutan dan penghitungan suara sehingga kecurangan dapat berkurang

IA (pemda, aparat penegak hukum)

� Pemerintah daerah perlu mengatur

secara jelas sanksi atas pelanggaran pemungutan suara.

� Pemerintah Daerah perlu menyusun pedoman umum teknis tentang tatacara pemungutan suara.

� Tidak mengatur secara jelas

sanksi atas pelanggaran pemungutan suara.

� Tidak ada petunjuk teknis tentang pelaksanaan pemungutan suara.

Meningkatnya pengawasan

� Pemerintah Daerah harus

� Aaparat pemerintah ang

Page 60: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 60

sehigga peluang melakukan kecurangan semakin sempit (berkurang)

IA (Pemda, Pemdes, BPD, LPM, Saksi)

melakukan pengawasan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara.

� Pemerintah Desa, BPD, LPM, masyarakat secara bersama-sama dapat membentuk team pemantau

� Para calon Kepala desa perlu melakukan sosialiasi kepada Saksi tentang tata cara pemungutan suara

membidangi bidang pemerintahan perlu ditugaskan untuk turun langsung melakukan pemantauan jalnnya proses rapat pemungutan dan penghitungan suara.

� Team pemantau yang dibentuk harus orang-orang yang independen dan pemantau tersebut di daftarkan kepada panitia pilkades sebagai tim pemantau. Jumlah tim pemantau antara 3-5 orang.

� Para calon kepala desa berkoordinasi dengan Panitia Pilkades harus memberikan pemahaman kepada para saksi calon kepala desa tentang tata cara rapat pemungutan dan penghitungan suara.

Berkurangnya pemicu konflik dalam pemungutan dan perhitungan suara

� Panitia Pilkades harus menerapkan

aturan secara konsisten tentang jadwal waktu pemungutan dan penghitungan suara serta konsisten dalam menerapkan suara sah dan suara tidak sah.

Jadwal rapat pemungutan suara dan penghitungan suara harus diumumkan dan para calon menandatangani jadwal waktu pemungutan dan waktu perhitungan suara.

Idem

� Pemerintah daerah perlu

melakukan sosialiasi perda

Idem

� Perlu ada kode etik untuk anggota

anitia Pilkades..

idem

Proses pemungutan dan penghitungan suara harus dilakukan secara terbuka dan demokratis. Panitia Pilkades harus mengambil keputusan secara bersama-sama dan mengkonsultasikan/memberikan kesempatan kepadacalon/saksi untuk menyampaikan keberatasan dalam proses pemungutan dan penghitungan suara..

Proses pemungutan dan penghitungan suara : � Panitia Pilkades harus

mengumumkan tempat dan waktu pemungutan dan penghitungan suara kepada pemilih.

� Pemungutan suara dimulai pukul 07.00 wita s/d 13.00 wita

� Pukul 13.00 wita s/d selesai. � Apabila ada keputusan seperi

misalnya, pengitungan dimulai pukul 12.00 wita, syarat pemilih terdaftar sudah selesai memilih semuanya dan ada kesepakatan antar calon..

Idem

� Panitia pilkades harus konsisten

menegakkan aturan main dalam pilkades. Misalnya untuk warga yang sakit tidak dapat diwakili oleh anak, menantu, atau saudara yang lainnya.

6. Penetapan Calon Terpilih Berlarut-Larut DAMPAK YANG DIINGINKAN/ DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Penetapan calon terpilih

� Panitia Pilkades menetapkan

� Penentuan calon kepala desa

Page 61: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 61

cepat, sederhana, efektif dan efisien (keputusan penetapan calon terpilih terletak di Panitia Pilkades, BPD hanya meneruskan surat keputusan panitia pilkades)

IA (Panitia Pilkades, BPD, Camat, Bupati)

perolehan suara dan menetapkan calon kepala desa terpilih berdasarkan urutan perolehan suara dengan Surat Keputusan Panitia Pilkades.

� Pemerintah Daerah perlu memberikan sanksi atau teguan kepada perangkat kecamatan atau perangkat desa yang sengaja lalai atau mengabaikan proses pelantikan kepala desa.

terpilih didasarkan pada jumlah suara terbanyak. Setelah menetapkan calon Kepala Desa terpilih, panitia pilkades menyampaikan berkas-berkas persyaratan dan hasil perolehan suara kepada BPD untuk kemudian diteruskan BPD kepada Bupati melalui Camat untuk proses pelantikan.

� Waktu penyerahan berkas persyaratan dan hasil perolehan suara dari Panitia Pilkades kepada BPD paling lambat 7 hari, sejak tanggal ditetapkan sebagai calon kepala desa terpilih.

� BPD meneruskan berkas tersebut kepada Bupati melalui Camat paling lambat 7 hari, sejak menerima berkas administrasi dan penetapan hasil dari panitia pilkades.

� Camat meneruskan kepada Bupati berkas administasi dan hasil perolehan suara tersebut kepada Bupati paling lambat 7 hari sejak menerima berkas adminitasi dan hasil perolehan suara dari BPD.

� Bupati mengeluarkan Surat Keputusan Penetapan dan Pelantikan Calon Kepala Desa terpilih paling lambat 15 hari sejak diterimanya berkas administrasi dan perolehan suara dari camat..

� Paling lambat 7 hari setelah menandatanganan Surat Keputusan Bupati tentang Penetapan dan Pelatikan, BPD melalui Camat telah menerima Surat Keputusan Bupati.

� Bupati melantik Kepala Desa terpilih paling lambat 15 hari setelah diterimanya Surat Keputusan Bupati kepada BPD.

� Pelantikan dilaksanakan 1 hari efektif dalam rapat paripurna BPD.

� Pada saat pelantikan juga dilakukan prosesi penyerahan jabatan dari kepala desa lama kepada kepala desa baru.

� Setelah dilantik Kepala Desa terpilih menyampaikan pidato politik dalam sidang paripurna.

Tersusunya jadwal pelaksaaan pilkades secara sistematis dan diketahui secara luas oleh masyarakat

IA (panitia pilkades dan BPD)

� Jadwal waktu pelaksanaan

pilkades harus disusun oleh panitia pilkades.

� Jadwal waktu pelantikan calon Kepala Desa harus disusun BPD dan jadwal tersebut harus disampaikan kepada Camat dan Bupati.

� Jadwal waktu pelaksanaan

pilkades diumumkan kepada masyarakat dan harus disampaikan pula kepada Bupati, Camat, Polsek, Lembaga Desa.

� Jadwal waktu pelaksanaan pelantikan harus diumumkan oleh BPD kepada masyarakat dan harus disampaikan pula kepada Bupati, Camat, Polsek, lembaga-lembaga di desa.

� Keputusan jadwal waktu dan program tersebut bersifat final dan mengikat..

Meningkatnya kinerja BPD dan panitia pilkades

IA (Pemda, BPD,

� Pemerintah Daerah perlu

memberikan teguran atau sanksi kepada BPD yang tanpa landasan

� Teguran Pemerintah Daerah dapat

berupa teguran tertulis dan teguran lisan, sanksi tersebut dapat

Page 62: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 62

Pemdes, Panitia Pilkades)

dan alasan yang jelas sengaja tidak mengesahkan Calon Kepala Desa terpilih.

� APBD dan APBDES untuk Anggaran Pilkades harus pula menanggarkan untuk proses pelantikan dan acara pelantikan kepada desa terpilih.

berupa sanksi perdata atau sanksi administratif.

� Anggaran tersebut dapat pula anggaran dari pihak ketiga yang tidak mengikat..

Meningkatnya pengetahuan dan kesadaran penyelenggara pilkades maupun masy

IA (Pemda, Panitia Pilkades, Pemdes dan masyarakat)

� Pemerintah Daerah perlu

melakukan sosialisasi peraturan daerah

Mencegah dan mengurangi kecurangan dalam pilkades

IA (pemda dan Panitia pilkades)

� Perlu ada Tatib dan Kode Etik

Panitia Pilkades

Idem

idem

Perlu ada Tatib BPD

Merubah cara pandang “santai sajalah”.

IA (pemda dan BPD)

Pemerintah Daerah perlu menertbkan BPD dan perangkat daerah agar bertindak disipilin

7. Praktek Money Politic Pilkades DAMPAK YANG DIINGINKAN/ DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Pelaksanaan kampanye dapat berjalan tertib, aman dan damai

IA (Pemda)

� Pemerintah Daerah perlu

mengatur tentang kampanye

Hal-hal yang perlu diatur dalam kampanye adalah : 1. Materi Kampanye 2. Bentuk-Bentuk Kampanye 3. Waktu pelaksanaan Kampanye 4. Larangan kampanye 5. Dana kampanye 6. Sanksi atas pelanggaran kampanye

Meningkatnya pemahaman dan kesadaran masyarakat ttg kampanye

IA (pilkades) RO (masyarakat dan calon kades)

� Paniti pilkades perlu melakukan

sosialisi tentang tata cara kampanye kepada masyarakat..

� Panitia Pilkades harus memberikan sanksi yang tegas kepada calon kepala desa atau tim kampneye yang melakukan pelanggaran kampanye.

� Masyarakat harus melakukan pengawasan terhadap proses kampanye para calon kepala desa

Kampanya yang dibolehkan adalah kampanye dialogis (diskusi publik), iklan dan pemasangan alat peraga. Kampanye Arak-arakan dilarang.

Pilkades tidak didominasi oleh orang yang “beruang” Kompetisi pilkades dapat lebih fair, pemilih dapat memilih secara obyektif. bukan karena atas dasar uang.

IA (pemda dan Panitia Pilkades)

� Pembatasan jumlah dana

kampanye

Dana kampanye :

a. Calon Kepala Desa maksimal 10.000.000

b. Sumbangan pihak ketiga maksimal 10.000.000

Meningkatnya

IA

� Pemerintah daerah harus

Page 63: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 63

pemahaman dan kesadaran masyarakat ttg kampanye

(pemerintah daerah)

mensosialisasikan perda tentang kampanye dan dana kampanye.

Mencegah dan mengurangi kecurangan dalam pilkades

IA (panitia pilkades)

� Panitia Pilkades harus

memberikan sanksi kepada Calon Kepala Desa yang melakukan segala cara yang tidak halal untuk memenangkan pilkades, seperti money politik.

� Panitia Pilkades dapat

membatalkan calon kepala desa yang terbukti melakukan praktek money politik

Mendorong adanya kesepakatan pilkada damai secara bersama=sama

RO (para calon kepala desa)

� Perlu ada kesepakatan tentang

etika kampanye para calon.

� Perlu ada kesepakatan tertulis para

pihak untuk melaksanakan kampanye secara damai dan aman. Kesepakatan tersebut bersifat final dan mengikat para pihak.

Adanya perubahan cara pandang masyarakat terhadap demokrasi

RO dan IA

� Pemerintah Daerah, Pemdes,

Panilitas pilkades, BPD dan stakeholders lainnya perlu membangun kesadaran masyarakat bahwa money politik akan sangat berbhaya (ancaman) bagi demokrasi desa.

8. Penegakkan hukum atas pelanggaran Pilkades lemah. DAMPAK YANG DIINGINKAN/ DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Adanya penegakkan hukum dalam sengketa pilkades

IA (Pemerintah Daerah)

Pemerintah Daerah perlu mengatur tatacara penyelesaian sengketa dalam pemilihan kepala desa

Surat Keputusan Bupati tentang Petunjuk Teknis Penyelesaian Sengketa Pilkades

Adanya kejelasan atas kriteria dan indikator kasus pembatalan calon serta lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkades

IA (Pemerintah Daerah, Panitia Pilkades)

Perlu dijelaskan tatcara penyelesaian sengketa pilkades, kriteria dan bobot hasil pilkades yang dapat dibatalkan serta lembaga yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa pilkades. .

idem

Meningkatnnya pemahaman masyarakat terhadap proses penyelesaian sengketa pilkades

IA ( Pemerintah Daerah)

Pemerintah Daerah perlu menyusun petunjuk teknis untuk menyelesaikan sengketa pilkades.

Idem

idem

idem

Perlu ada Sosialiasi tentang penyelesaian sengketa pilkades oleh pemerintah daerah

idem

idem

Perlu ada lembaga khusus untuk menyelesaikan sengketa pilkades untuk peegkkan hukum.

Alternative : 1. Pengadilan Negeri 2. Pemerintah Daerah 3. Badan Penyelesaian Sengketa

Pilkades (Desa atau Kabupaten)

4. Lembaga “Adat” masyarakat desa

Keputusan sesuai dengan prosedur dan substansi perda

IA (Badan Penyelesaian

� Proses pengambilan keputusan berada

ditangan manjelis yang akan menyesalaikan sengketa pilkades.

Keputusan bersifat final dan mengikat. Tidak ada upaya hukum lainnya.

Page 64: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 64

Sengketa Pilkades)

� Keputusan dalam menentukan penyelasaiakan sengketa pilkades harus berdasarkan fakta-fakta dan bukti-bukti yang memadai.

Penerapan hukum yang tidak diskriminatif (kepastian, kemanfaatan dan keadilan)

IA (Pemda/Badan Penyelesaian Sengketa Pilkades)

Pemerintah Daerah/Badan Penyelesaian Sengketa Pilkades perlu melakukan pengakkan hukum tanpa bersikap diskriminatif

9. Penolakan LPJ Kepala Desa tanpa dasar alasan dan tujuan yang jelas. DAMPAK YANG DIHARAPKAN

PELAKU YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Terbangunnya hubungan BPD dan Kepala Desa sebagai mitra yang harmonis,

IA (Pemda )

� Pemerintah Daerah perlu mengatur teknis

penyusunan LPJ Kepala Desa, mekanisme LPJ Kepala Desa, Tolak ukur penilaian LPJ Kepala Desa, dan sebagainya.

� Perlu ada kriteria yang jelas seberapa besar dukungan masyarakat yang dijadikan sebagai patokan suatu krisis kepercayaan kepala desa sehingga BPD dapat melakukan penolakan LPJ kepala Desa.

Surat Keputusan Bupati/Peraturan Daerah tentang LPJ Kepala Desa

Adanya laporan LPJ BPD kepada publik sehingga dapat mendorong peningkatan kinerja BPD s

IA (Pemda )

� Pemerintah Daerah perlu mengatur

bagaimana mekanisme pertanggungjawaban BPD, Tata Cara Pertanggungjawaban BPD kepada masyarakat, Tolak Ukur Kinerja BPD.

Surat Keputusan Bupati?peraturan Daerah tentag LPJ BPD

Adanya chek and balace

IA (Pemda dan BPD )

� Kewenangan BPD perlu dibatasi.

Idem

Meningkatnya pemahaman BPD

IA (Pemda )

� Pemerintah daerah perlu melakukan

sosialisi perda

Mengurangi/mencegah penyimpangan kekuasaan

IA (Pemda dan BPD )

� Kode etik dan tatib BPD

Pedoman dari Pemda dan penjabaran oleh Surat Keputusan BPD

Keputusan yang diambil BPD mencerminkan kehendak masyarakat (demokratis)

IA (BPD )

� BPD perlu melakukan penyerapan aspirasi

dalam pengembilan suatu keputusan yang menyangkut kepentingan publik.

Idem

idem

idem

� Kode etik dan tatib

Idem

10.Tindakan anarkhis DAMPAK YANG DIHARAPKAN

IA/RO YANG DITUJU

RINCIAN SOLUSI DAN ALTERNATIVE SOLUSI

Page 65: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 65

Tindakan-tindakan Kriteria dan prosedur

(1) (2) (3) (4)

Adanya Badan Penyelesaian Sengketa dan kesadaran politik serta hukum masyarakat—untuk menyelesaikan sengketa pilkades sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku

PEMERINTAH DAERAH

( RULE )

� Pemerintah Daerah perlu mengatur

adanya mekanisme dan Badan Independen (komisi) yang diberikan kewenangan untuk menyelesaikan sengketa pemilihan kepala desa. a. Badan Penyelesaian Sengketa

Pilkades (untuk kasus administratif)

b. Pengadilan (untuk kasus pidana)

c. Pemerintah Daerah (mediator/kasus administratif)

� Pemerintah Daerah perlu melakukan pelatihan dan pendidikan politik pada masyarakat, khususnya terhadap masyarakat yang akan melaksanakan pemilihan kepala desa.

� Perlu diberikan reward bagi masyarakat desa yang menjaga keamanan dan ketertiban desa dalam pilkades (piagam penghargaan untuk masyarakat desa)

� Komisi Sengketa Pilkades (KSP)

adalah sebuah Badan/Komisi Independen bersifat adhoc yang dibentuk untuk menyelesaikan sengketa Pilkades melalui jalur perdamaian (mediasi/arbitrase) dengan cara musyawarah mufakat. (perdamaian) Jumlah Anggota sebanyak 3 orang yang berasal dari tokoh masyarakat dan tokoh agama setempat.

� Penyelesaian Sengketa melalui Pengadilan hanya sengketa berkaitan dengan tindak pidana dengan ancaman pidana 5 tahun keatas.

� Kedudukan Pemerintah Daerah dalam penyelesaian sengketa adalah sebagai pihak yang turut serta membantu KSP dalam menyelesaikan sengketa pilkades (melakukan supervisi)

� Pemberian Reward dapat diberikan pemerintah kepada suatu desa yang menjaga kondisi kondusif selama pelaksanaan pilkades (tidak terjadi bentrok), bentuk penghargaan yang diberikan dapat berupa ; pemberian piagam penghargaan, uang pembinaan (bonus), dan bentuk lainnya.

Mendorong masyarakat dan aparat untuk meningkatkan pengawasan

Aparat Penegak Hukum, Pemda dan masyarakat OPPORTUNITY

� Aparat penegak hukum harus

memberikan perlindungan dan penghargaan kepada masyarakat yang aktif untuk menegakkan ketertiban (melapor jika terjadi pelanggaran).

� Pemerintah daerah dan aparat penegak hukum (kepolisian) perlu untuk melakukan pengawasan dalam proses pilkades.

� Masyarakat perlu diberikan penyadaran oleh pemerintah daerah, pemerintah desa, panitia pilkades dan Implementing Agency lainnya agar masyarakat memahami sistem pilkades..

� Bentuk perlindungan yang

diberikan oleh Aparat Kepolisian dan Polisi Pamong Praja adalah dalam bentuk pengamanan selama proses pemilihan kepala desa, seperti ; melakukan pemantauan/pengawasan

� Sosialiasi tentang pilkades dan demokrasi dilakukan dengan cara dialogis/tata muka, penerbitan pamplet, spanduk, baliho dan sebagainya.

Meningkatkan penguatan kapasitas pada masyarakat

Panitia Pilkades, Masyarakat, Pemda CAPACITY

� Perlu dibangun mekanisme dialogis

antara Panitia Pilkades dengan masyarakat agar masyarakat terbiasa untuk menyelesaikan persoalan melalui jalur dialogis.

� Implementing Agency perlu memberdayakan masyarakat dan membuka ruang partisipasi masyarakat untuk turut serta terlibat tahapan-tahapan pilkades.

� Sosialiasi atauran main pilkades (demokrasi) perlu ditingkatkan, terutama terhadap desa yang akan melaksanakan pemilihan kepala desa.

� Mekanisme dialogis berupa

transparansi, partisipasi dan akuntabilitas panitia pilkades, misalnya ; dalam hal pengambilan keputusan yang bersifat strategis seperti penjaringan bakal calon dan penyaringan calon Panitia Pilkades perlu memberikan peluang kepada masyarakat untuk memberikan masukan atau penilaian (feed back)..

Masyarakat mengetahui aturan

Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa COMUNICATION

� Pemerintah Daerah perlu melakukan

sosialiasi kedesa-desa tentang perda pilkades.

� Sosialiasi perda dapat

dilakukan dengan cara pengumuman/iklan di media massa, seminar, rapat, penggadaan perda dan sarana

Page 66: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 66

lainnya yang efektif bagi masyarakat.

Pemilih yang rasional

Pemerintah Daerah dan Masyarakat INTEREST

� Memberikan pendidikan kepada

masyarakat agar menjadi pemilih yang rasional.

� Pendidikan politik kepada

masyarakat harus dilakukan secara berkesinambungan baik oleh pemerintah daerah, partai politik, LSM, dan sebagainya.

Membatasi upaya provokasi dari calon kepala desa

Calon Kepala Desa, aparat penegak hukum dan masyarakat PROCESS

� Tindakan anarkis yang dilakukan atas

dorongan (provokasi) calon kepala desa harus dibatasi dengan cara memberikan sanksi kepada provokator yang lebih tinggi/berat.

� Perlu ada penguatan masyarakat terhdap tahapan/proses pelaksanaan pilkades.

� Calon Kepala Desa yang

terbukti melakukan provokasi harus diberikan sanksi, seperti diskualifikasi.

� Pemberian sanksi diskualifikasi dilakukan oleh Komisi Penyelesaian Sengketa Pilkades setelah memperoleh bukti-bukti yang kuat adanya tindakan provokasi oleh calon kepala desa.

� Aparat penegak hukum harus menangani persoalan ini apabila upaya provokasi mengarah pada tindak pidana.

.

Merubah cara pandang/nilai dan sikap masyarakat tentang demokrasi

Pemerintah Daerah IDEOLOGY

� Pemerintah daerah perlu memberikan

pemahaman kepada masyarakat bahwa dalam demokrasi kalah dan menang adalah hal yang lazim, karenanya kekalahan bukan sesuatu yang hina.

� Salah satu cara adalah dengan

membangun kesepakatan-kesepakatan damai melalui dialog/rapat musyawarah desa.

4.1.1. Analisa Biaya dan Manfaat

A. Analisa Biaya Pembiayaan Pemilihan Kepala Desa adalah merupakan kewenangan Daerah. Oleh karena itu, kepada siapakah beban biaya penyelenggaraan pemilihan kepala desa itu dibebankan. Apakah kepada masyarakat melalui swadaya masyarakat? Pemerintah desa melalui APB Desa? Pemerintah Daerah melalui APBB Kabupaten? ataukah sharing anggaran? Serta berapa alokasi anggaran? Jawabannya akan sangat tergantung dari kebijakan pemerintah daerah. Dalam konteks inipula akan tercermin sejauhmanakah komitmen dan political will pemerintah daerah dalam melakukan pemberdayaan masyarakat desa. Disamping itu, juga memperlihatkan sejauhmanakah bantuan perimbangan keuangan desa diberikan pemerintah daerah kepada desa. Dalam Perda No.5 Tahun 2001 biaya Pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada APB Desa. Biaya pemilihan Kepala Desa yang dibebankan oleh pemerintah daerah tanpa melalui proses studi terlebih dahulu untuk melihat sejauhmanakah kemampuan keuangan desa. Sikap demikian, juga menunjukkan bahwa pemerintah daerah ingin melepaskan tanggungjawab pembiayaan penyelenggaraan pemilihan kepala desa atau dengan kata lain, pemerintah daerah tidak mau APBD kabupaten digunakan untuk pembiayaan pemilihan kepala desa. Padahal, bagaimanapun juga dan sudah menjadi keharusan bagi pemerintah daerah untuk membantu pemerintah desa, khususnya

Page 67: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 67

dalam membiayai penyelenggaraan pemilihan kepala desa, karena momentun pilkades hanya dilaksanakan dalam 5-6 tahun sekali, dan sangat menentukan bagi keberlangsungan penyelenggaraan pemerintahan. Biaya pemilihan kepala desa yang dibebankan APB desa ternyata beban tersebut selama ini tidak mampu dipikul oleh Desa karena keterbatasan APB Desa (baca : analisas masalah). Berdasarkan hal tersebut diatas, LEGITIMID mencoba untuk merumuskan solusi dan alternative solusi dalam pembiayaan Pemilihan Kepala Desa. Dan dari data hasil analisis biaya penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa apabila rancangan perda ini disahkan, maka biaya Pemilihan Kepala Desa untuk satu desa adalah sebesar Rp. 19.475.000 (sembilan belas juta empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Dengan rincian perkiraan biaya sebagai berikut :

ACTIVITIES

ITEM

Vol Unit

Cost (Rp)

sub total

SHARING ANGGARAN NO

DURASI

total

APBD KAB

APB DES

PT.NNT

I PERSIAPAN PILKADES

1 Pembentukan Pansus seleksi

1.1. Rapat Pembentukan

3 kali x 1 paket @ 75.000 1 bulan

3

75.000

225.000 75.000 75.000 75.000

1.1. Lumsump Anggota Pansus

3 orang x 1 bulan @100.000 1 bulan 3 75.000

225.000 75.000 75.000 75.000

sub total 1 6

450.000

450.000 150.000 150.000 150.000

2 Pembentukan Komisi Pilkades

1.1. Rapat Pembentukan Komisi Pilkades

3 kali x 1 paket @ 75.000 1 bulan 3 75.000

225.000 75.000 75.000 75.000

1.2. Transportasi 3 orang x 1 [email protected] 1 bulan 20 75.000

1.500.000 500.000 500.000 500.000

1.3. Konsumsi 1 paket x 1 [email protected] 1 bulan 1

200.000

200.000 66.700 66.700 66.600

1.4. ATK 1 bulan x 1 [email protected] 1 bulan 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.300

sub total 2 25

2.025.000

2.025.000 675.050 675.050 674.900

II PELAKSANAAN PILKADES

1 Pendataan Pemilih

1.1. Transportasi 1 paket x 1 bulan @200.000 1 bulan 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.2. Pengadaan dan penggadaan formulir

1 paket x 1 [email protected] 1

500.000

500.000 167.000 167.000 166.000

1.3. ATK (ballpoint, kertas, blocnote dll)

1 paket x 1 kegiatan @100.000 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.4. Lumsump Pokja

9 orang x 1 [email protected] 1 bulan 9 75.000

675.000 225.000 225.000 225.000

1.5. rapat team

3 kali x 1 [email protected] 3 hari 3 75.000

225.000 75.000 75.000 75.000

sub total 1 15

1.475.000

1.475.000 570.350 565.350 564.350

2 Penjaringan Bakal Calon

1.1. Sosialisasi 2 kali x 1 paket 7 hari 2 100.00 33.350 33.350 33.300

Page 68: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 68

@ 100.000 0 200.000

1.2. Pengadaan dan penggadaan formulir

1 kali x 1 paket @100.000 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.300

1.3. ATK (ballpoint, kertas, blocnote dll)

1 paket x 1 [email protected] 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.300

1.4. Lumsump Pokja

9 orang x 1 kegiatan 9 75.000

675.000 225.000 225.000 225.000

1.5. rapat team 3 kali x 1 kegiatan 3 75.000

225.000 75.000 75.000 75.000

sub total 2 16

1.075.000

1.075.000 400.050 400.050 399.900

3 Penyaringan Calon Kepala Desa

1.1. Sosialisasi 2 kali x 1 paket @ 100.000 7 hari 2

100.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.2. Pengadaan dan penggadaan formulir

1 kali x 1 paket @100.000 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.3. ATK (ballpoint, kertas, blocnote dll)

1 paket x 1 [email protected] 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.4. Verifikasi Calon

1 calon x 5 calon x 1 [email protected] 5

100.000

500.000 167.000 167.000 166.000

1.5. Lumsump Pokja

9 orang x 1 [email protected] 9 75.000

675.000 225.000 225.000 225.000

1.6. rapat team

3 kali x 1 [email protected] 3 75.000

225.000 75.000 75.000 75.000

sub total 3 21

1.800.000

1.800.000 603.700 598.700 597.700

4 Kampanye

1.1. Rapat Deklarasi Pilkades Damai

1 paket x 1 bulan @250.000 4 hari 1

250.000

250.000 83.350 83.350 83.350

1.2. Rapat Jadwal dgn tim kampanye

1 paket x 1 kegiatan @150.000 1

150.000

150.000 50.000 50.000 50.000

1.3. ATK (ballpoint, kertas, blocnote dll)

1 paket x 1 kegiatan @100.000 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.4. Lumsump Pokja

9 orang x 1 [email protected] 1 bulan 9 75.000

675.000 225.000 225.000 225.000

1.5. Pengawasan Kampanye

1 paket x 1 [email protected]

1 minggu 1

250.000

250.000 83.350 83.350 83.350

1.6. Debat Publik Calon

1 paket x 1 kali [email protected] 4 hari 1

250.000

250.000 83.350 83.350 83.350

1.7. Rapat Penyampaian visi Calon di BPD

1 paket x 1 kali @ 250.000 1

250.000

250.000 83.350 83.350 83.350

sub total 4 15

1.925.000

1.925.000 641.750 641.750 641.750

6 Pemungutan Suara

1.1. Sosialisasi 5 kali x 1 [email protected] 1 bulan 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.2. Pengadaan formulir kertas suara

1 kertas suara@250 x 5000

5000 250

1.250.000 416.700 416.700 416.700

1.3. Pembuatan Kotak Suara

3 kotak x 1 [email protected] 2 hari 3 50.000

150.000 50.000 50.000 50.000

1.4. Pembuatan TPS

1 TPS x 1 [email protected] 2 hari 1

150.000

150.000 50.000 50.000 50.000

1.5. Papan White board

1 buah x 1 [email protected] 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.6. ATK (Ballpoint, Spidol, Kertas)

1 paket x 1 [email protected] 1

100.000

100.000 33.350 33.350 33.350

1.7. Atribut panitia 9 orang x 1 kegiatan 9 10.000

90.000 30.000 30.000 30.000

Page 69: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 69

1.8. Rapat Pleno 2 kali x 1 paket @ 75.000 2 hari 2 75.000

150.000 50.000 50.000 50.000

1.9. Lumpsum Pokja

9 orang x 1 [email protected] 9 75.000

675.000 225.000 225.000 225.000

1.10. Konsumsi panitia

1 paket x 1 [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.11. Biaya tak terduga

1 kali x 1 paket @500.000 1

500.000

500.000 167.000 167.000 166.000

sub total 5 502

9

3.465.000

3.475.000

1.158.750

1.153.750

1.152.750

7 biaya Pengamanan

1. 1. Pengamanan Pembentukan Komisi

1 paket [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.2. Pegamanan penyaringan Calon

1 paket [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.3. Pengamanan Kampanye

1 paket [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.4. Pengamanan Pencoblosan

1 paket [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.5. Pengamanan Pelantikan

1 paket [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

sub total 6 5

1.000.000

1.000.000 350.000 325.000 325.000

III

PENETAPAN DAN PELANTIKAN

1.1. Transportasi 1 paket x 1 [email protected] 1

200.000

200.000 70.000 65.000 65.000

1.2. Pengumuman Hasil

1 paket x 1 [email protected] 1 50.000

50.000 16.650 16.650 16.650

1.3. Rapat Pelantikan

1 paket x 1 [email protected] 1

500.000

500.000 167.000 167.000 166.000

sub total 7 3 750.000

750.000 253.650 248.650 247.650

IV HONORARIUM

Uang Kehormatan Komisi Pilkades

Ketua 1 orang x 4 [email protected] 4 bulan 4

250.000

1.000.000 333.350 333.350 333.350

Anggota 4 orang x 4 [email protected] 4 bulan 16

200.000

3.200.000

1.066.700

1.066.700

1.066.700

Sub total 8 20

4.200.000

4.200.000

1.400.050

1.400.050

1.400.050

Sekretariat Komisi Pilkades

Sekretaris 1 orang x 4 [email protected] 4 bulan 4

100.000

400.000 133.350 133.350 133.350

Staf Teknis 3 orang x 4 [email protected] 4 bulan 12 75.000

900.000 300.000 300.000 300.000

sub total 9 16

1.300.000

1.300.000 433.350 433.350 433.350

TOTAL KESELURUHAN

19.475.000

6.636.700

6.591.700

6.587.400

Berdasarkan perhitungan real apabila penyelenggaraan pemilihan kepala desa secara langsung dilaksanakan sesuai dengan rancangan peraturan daerah, maka dibutuhkan anggaran dalam 1 (satu) desa untuk menyelenggakan pilkades sebesar Rp. 19.475.000 (sembilan belas juta empat ratus tujuh puluh lima juta rupiah). Jika jumlah desa di Kabupaten Sumbawa Barat sebanyak 37 desa maka Rp. 19.475.000 x 37 Desa jumlah

Page 70: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 70

yang dibutuhkan keseluruhan adalah sebesar Rp. 720.575.000 (Tujuh Ratus Dua Puluh Juta Lima Ratus Lima Puluh Tujuh Ribu Rupiah). jika diasumsikan jumlah desa dibagi rata-rata pemilihan kepala desa dalam satu tahun, maka jumlah rata-rata Pilkades di KSB adalah sebanyak 6 kali (desa)/tahun. Dengan demikian, dalam satu Tahun Anggaran dibutuhkan dana untuk pemilihan kepala desa sebesar Rp. 116.850.000 (seratus enam belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah). Pertanyaannya sekarang adalah kepada siapakah kebutuhan biaya penyelenggaraan tersebut akan dibebankan? Menurut hemat kami, ada beberapa pola yang dapat digunakan untuk pembiayaan penyelenggaraan pemilihan kepala desa. 1. Pembiayaan Pemilihan Kepala Desa di bebankan melalui APBD Kabupaten Salah satu tuntutan Asosiasi Pemerintahan Desa Seluruh Indonesia (APDESI) Pemilihan Kepala Desa dibebankan kepada APBD Kabupaten. Tuntutan tersebut, karena selama ini pembiayaan pemilihan kepala desa dibebankan kepada desa. Padahal, APB Desa selama ini mengalami keterbatasan. Forum Kepala Desa Seluruh Indonesia (Parade Nusantara) pada beberapa bulan terakhir ini, telah beberapa kali melakukan aksi demonstrasi ke Kementrian Dalam Negeri maupun DPR RI, mereka mendesak agar Pemerintah melakukan revisi terhadap UU.No.32 tahun 2004, dan PP 72 tahun 2006 tentang Desa yang dinilai kurang mengakomodasikan kepentingan Kepala Desa. Satu dari sekian banyak tuntutan yang diakomodir oleh Pemerintah melalui Menteri Dalam Negeri, Moh. Mahruf adalah biaya penyelenggaraan pemilihan kepala desa dibebankan kepada pemerintah daerah melalui APBD. Karena itu Menteri Dalam Negeri akan menginstruksikan kepada Kepala Daerah diseluruh Indonesia agar dalam penyusunan peraturan daerah tentang pemilihan kepala desa agar pembiayaan di tanggung oleh pemerintah daerah. (lihat : kompas, maret 2006). Meski demikian, secara implisit Mendagri juga meminta agar dalam pengalokasian anggaran pilkades pemerintah daerah memperhatikan kemampuan APBD. Berangkat dari hal tersebut diatas, maka pertanyaannya sekarang adalah sejauhmanakah kemampuan keuangan daerah Kabupaten Sumbawa Barat untuk mengalokasikan anggaran biaya pemilihan kepala desa. Tentu akan sangat tergantung dari kebutuhan anggaran pembangunan daerah (belanja pelayanan publik, belanja modal dan belanja aparatur) serta penerimaaan daerah, baik PAD, DAU, dan sebagainya. Dalam konteks ini, penelitian hanya menggambarkan biaya pemilihan Kepala Desa, jika menerapkan pola pembiayaan sepenuhnya menjadi tanggung jawab pemerintah daerah melalui APBD. Berdasarkan analisa biaya pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat, maka untuk 1 (satu) pemilihan Kepala Desa diperlukan biaya sebesar Rp. 19.475.000 (sembilan belas juta empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah). Artinya, jika jumlah desa di KSB sebanyak 37 Desa, maka total keseluruhan anggaran yang dibutuhkan untuk penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa di KSB adalah sebesar RP. 720.575.000

Page 71: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 71

(Tujuh Ratus Dua Puluh Juta Lima Ratus Lima Puluh Tujuh Ribu Rupiah). Dana tersebut adalah digunakan selama 6 tahun. Jika kita rata-ratakan dalam satu tahun maka sebanyak 6 kali pemilihan kepala desa dengan kebutuhan anggaran sebesar Rp. 116.850.000 (seratus enam belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah) . Dan bila melihat kemampuan keuangan daerah KSB maka masih dimungkinkan bagi daerah untuk membiayai dana tersebut (lihat : APBD KSB 2006) Pesoalannya sekarang adalah bagaimana pemerintah desa dan masyarakat desa merasa memiliki tanggungjawab terhadap pelaksanaan pilkades serta turut serta memberikan konstribusi terhadap pelaksanaan pilkades, dalam bentuk apa konstribusi tersebut harus diberikan oleh masyarakat. Hal ini penting agar kendatipun biaya pilkades dibebankan kepada pemerintah daerah melalui APBD, namun pembiayaan tersebut tidak merusak swadaya masyarakat desa. Sebab, pada umumnya masyarakat akan lebih merasa memiliki dan bertanggungjawab bilamana mereka juga memberikan atau mengorbankan sesuatu yang mereka inginkan. 2. Pembiayaan Pemilihan Kepala Desa dengan pola sharing APBD dan APB Desa. Pembiayaan penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa dengan pola sharing aggaraan antara pemerintah daerah dan pemerintah desa adalah pola yang sangat dimungkinkan untuk dapat diterapkan. Hal ini bila rujukan yang digunakan adalah logika pemilihan kepala daerah dan pemilu. Dalam PP No. 72 tahun 2005, Bagian keempat tentang Pemilihan Kepala Desa pasal 43 memberikan kewenangan kepada daerah untuk menentukan biaya pemilihan kepala desa. Biaya pemilihan tersebut diatur dalam peraturan daerah tentang pilkades. Persoalannya sekarang adalah bagaimana bentuk/model sharing yang akan diterapkan oleh pemerintah daerah, dan berapa sharing yang ideal untuk biaya pilkades antara pemda dan pemdes?. Jawaban tersebut sangat tergantung kesepakatan antara pemdes dan pemda. Namun, untuk memperoleh gambaran awal, maka diasumsikan pola sharing anggaran yang diterapkan adalah fifty-fifty. Jika pola sharing anggaran dilakukan antara Pemerintah Desa dengan Pemerintah Daerah digunakan dalam bentuk pola sharing anggaran 50 : 50 maka Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa masing-masing harus menanggung biaya pilkades sebesar Rp. 9.737.500 (sembilan juta tujuh ratus tiga puluh tujuh ribu lima ratus rupiah). Dengan asumsi bahwa dalam satu tahun pemilihan Kepala Desa sebanyak 6 desa, maka total anggaran yang dibutuhkan adalah sebesar Rp. 116.850.000 (seratus enam belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah) dan bila menggunakan pola sharing sebagaimana diatas, maka total anggaran dalam satu tahun anggaran yang harus ditanggung pemerintah daerah dalam APBD Kabupaten adalah sebesar 58.425.000 (lima puluh delapan juta empat ratus dua puluh lima juta rupiah). Keuntungan pola sharing dengan model ini adalah (a) pembagian distribusi beban anggaran lebih merata sehingga rasa memiliki dan rasa untuk bertanggungjawab terhadap suksesnya pilkades juga dapat dimiliki oleh Pemerintah Desa maupun Pemerintah Daerah (b) mendorong adanya pengawasan dari pemerintah desa

Page 72: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 72

maupun kabupaten untuk melakukan pengawasan terhadap anggaran (c) pertanggungjawaban pengelolaan akan lebih bersifat terbuka dan bertanggungjawab karena adanya beban pertanggungjawaban anggaran yang berimbang (d) mendorong adanya supervisi dari pemerintah daerah disatu sisi dan partisipasi masyarakat desa disisilain. Namun, kelemahan penerapan model ini kemungkinan besar adalah ; (a) Panitia Pilkades kesulitan untuk dapat menyusun laporan keuangan karena harus melaporkan penggunaaan anggaran yang bersumber dari APBD kabupaten dan APB desa. (b) jika tidak adanya kejelasan rincian anggaran, maka pembiayaan dari APBD dan APB Desa, dapat terjadi tumpang tindih anggaran (double account) 3. Pembiayaan Pemilihan Kepala Desa bersumber (sharing) APBD Kabupaten, APB Desa dan PT.NNT Pola pembiayaan pilkades dengan pola sharing APBD Kabupaten, APB Desa dan PT.NNT berangkat dari cara pandang bahwa : (1) tanggung jawab sosial pembangunan masyarakat adalah merupakan tanggung jawab sosial bersama seluruh stakeholders, pemerintah, pengusaha dan masyarakat. Ketiga aktor ini dipandang sebagai pelaku utama untuk mendorong lahirnya good governance. Wujud konkrit dari pembangunan masyarakat adalah pemberdayaan kesadaran politik dan hukum masyarakat di tingkat desa. Salah satunya adalah mendorong lahirnya demokrasi dalam pemilihan kepala desa secara langsung. (2) Kabupaten Sumbawa Barat adalah Kabupaten Baru sehingga untuk mendorong lahirnya proses percepatan pembangunan saat ini membutuhkan anggaran dalam jumlah yang besar. Ketersediaan anggaran yang terbatas, menyebabkan pemerintah daerah maupun pemerintah desa harus memprioritaskan pembangunan yang bertujuan pada pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, kesehatan, ekonomi rakyat miskin. Sehingga, ketersediaan dan alokasi anggaran dalam jumlah sebagaimana diatas, mungkin akan sulit untuk diterapkan jika sepenuhnya menjadi tanggung jawab Pemerintah Daerah atau Pemerintah Desa. (3) Pembiayaan pilkades dengan pola sharing anggaran antara Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan PT.NNT akan semakin mengurangi beban anggaran bagi Pemerintah Daerah dan Pemerintah Desa. Sehingga ketersediaan anggaraan yang lainnya dapat dialokasikan pada bidang pembangunan lainnya. Jika pola sharing ini diterapkan dengan asumsi pemilihan kepala desa sebanyak 6 kali/desa dalam satu tahun, maka dana sharing yang dibutuhkan untuk satu pemilihan kepala desa adalah sebesar Rp. 6.491.667 (enam juta empat ratus sembilan puluh satu enam ratus enam puluh tujuh rupiah) x 37 desa = 240.191.667. Jumlah tersebut adalah total anggaran selama 6 tahun. Artinya, bahwa jika angggaran tersebut dialokasikan dalam rata-rata pertahun, maka masing-masing adalah sebesar 38.950.000 (tiga puluh delapan juta sembilan ratus ribu lima rupiah).

Untuk dapat dilaksanakannya pola sharing tersebut, maka ada beberapa prsayarat yang perlu diperhatikan (1) Pemerintah Daerah perlu membangun kerjasama dengan PT.NNT dalam pembiayaan pemilihan kepala desa dalam bentuk MOU kesepakatan antara PT.NNT dengan Pemerintah Daerah (2) adanya komitmen dan political will dari Pemerintah Daerah, Pemerintah Desa dan PT.NNT untuk secara bersama-sama membagi peran tanggung jawab sosial dalam pemilihan kepala desa (3) adanya

Page 73: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 73

dukungan dan partisipasi dari masyarakat setempat (4) adanya transparansi dan akuntabilitas yang jelas dalam pengeloalaan anggaran (5) adanya landasan hukum yang memadai yang melagalkan adanya pola kerjasama tersebut. Manfaat Perda Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat adalah merupakan kebutuhan daerah. Selama ini, penyelenggaraan Pemilihan Kepala Desa mengacu pada Perda Kabupaten Sumbawa Nomor 5 Tahun 2001. Dimana dalam implemntasinya banyak menimbulkan persoalan. Dengan adanya perda pemilihan kepala desa KSB, maka manfaat yang diharapkan adalah : (1). Pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat dapat berlangsung

secara luber dan jurdil, sehingga Kepala Desa terpilih adalah merupakan kehendak rakyat. Dengan demikian, maka kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah desa semakin menguat dan diharapkan partisipasi masyarakat dalam proses pembangunan dan pemerintahan pun akan semakin meningkat ;

(2) Perda pemilihan Kepala Desa adalah instrument penting untuk memberikan

jaminan kepastian, kemanfaatan dan keadilan dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa di Kabupaten Sumbawa Barat, sekaligus sebagai sarana untuk menunjukkan eksistensi Kabupaten Sumbawa Barat sebagai Daerah otonom yang memiliki kewenangan untuk mengatur pemerintahan desa. Sehingga, perda Kabupaten Sumbawa yang selama ini dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pemilihan Kepala Desa dapat digantikan dengan Perda Kabupaten Sumbawa Barat yang lebih aspiratif dan lebih sesuai dengan karakteristik, nilai, norma masyarakat Kabupaten Sumbawa Barat ;

(3) Perda Pemilihan Kepala Desa Kabupaten Sumbawa Barat diharapkan dapat

bermanfaat untuk mendorong lahirnya mekanisme demokrasi desa yang lebih efektif, adanya check and balance dalam struktur pemerintahan desa disatu sisi dan adanya penguatan institusi kelembagaan demokrasi desa di sisilain sehingga diharapkan akan lahir transparansi, partisipasi dan akuntabilitas publik dalam penyelenggaraan pemerintahan desa.

Page 74: Studi Pilkades KSB

Lembaga Penelitian dan Advokasi Masyarakat (LEGITIMID-Kab.Sumbawa Barat-NTB

Office : Sekongkang Atas, Kecamatan Sekongkang Sumbawa Barat-NTB kode pos 84357 Emai: [email protected] atau legitimid_sumbawabarat @yahoo.com

Kontak Persons : Syahrul Mustofa

Legitimid bekerjasama dengan Pemda Kabupaten Sumbawa Barat-Bag Hukum Hal 74