Top Banner
STUDI KOMPARATIF KONSEP TANZIL ARKOUN DAN AZ-ZARQANI Anwar Ma'rufi 1 A. Pendahuluan Belakangan ini, paradigma definisi al-Qur'an mulai bergeser dari konsep tanzil, menjadi sesuatu yang tercipta oleh sosio-historis. Mengenai konsep tanzil sendiri, ulama telah sepakat bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah yang di-tanzil-kan kepada Muhammad saw melalui Malaikat Jibril, baik lafazh maupun maknanya, 2 yang susunan ayat maupun surah al-Qur'an merupakan hak Allah sebagai pemilik kitab tersebut. 3 Hanya Allahlah yang mengetahui alasan mengenai susunan al-Qur'an yang menurut manusia modern dianggap kurang ilmiah. 4 Dan Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Qu'ran yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslim, dimana detail bacaan dari tafkhimat, 5 tarqiqat, 6 imalat, 7 al-ishmam, 8 wasal dan waqaf 9 terpelihara sebagaimana pada zaman Nabi. 10 1 Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. 2 Lihat Abdul Shabur Syahin, Tarikh al-Quran, (Mesir: Nahdlah Mishr, 2007), hal. 23. 3 M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 74. 4 Ibid 5 Secara bahasa adalah menebalkan bacaan, ibarat kekuatan masuk pada bunyi huruf hingga bunyinya memenuhi mulut. Huruf Tafkhim terdiri dari tujuh huruf yang terkandung di dalam bait syair ( خص ضغطقظ) 6 Secara bahasa adalah menipiskan bacaan. Secara istilah ilmu tajwid adalah gambaran perubahan yang berlaku pada bunyi huruf yang mengakibatkan bunyi tersebut tidak memenuhi mulut. 7 Imalah menurut bahasa adalah miring, sedangkan menurut istilah adalah membaca harakat fathah dengan menyandarkan kepada harkat kasrah sekitar dua pertiganya. Ini adalah bacaan yang dikhususkan untuk huruf Ra' saja. Ra' dibaca dengan tipis kerana baris atas yang cenderung kepada baris bawah. Huruf Alif yang cenderung kepada Ya' terdapat di dalam satu kalimah saja di dalam al-Quran yaitu kalimah(ھا مجرا). 8 Isymam menurut bahasa adalah moyang, sedangkan menurut istilah adalah mengkombinasikan atau mencampur adukan harakat fathah dengan dammah sambil memoyang (mecucu). 9 Waqaf menurut bahasa adalah berhenti, sedangkan menurut istilah adalah menghentikan bacaan, baik untuk tidak diteruskan atau mengambil nafas untuk melanjutkan bacaan selanjutnya 10 Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi, Kitab al-Tabsirah fi al-Qiraat al-Sab' lil Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi yang dikutip oleh Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. Januari 2005, hal. 51-52.
32

Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Jul 05, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

STUDI KOMPARATIF KONSEP TANZIL ARKOUN DAN AZ-ZARQANI Anwar Ma'rufi1

A. Pendahuluan

Belakangan ini, paradigma definisi al-Qur'an mulai bergeser dari

konsep tanzil, menjadi sesuatu yang tercipta oleh sosio-historis. Mengenai

konsep tanzil sendiri, ulama telah sepakat bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah

yang di-tanzil-kan kepada Muhammad saw melalui Malaikat Jibril, baik lafazh

maupun maknanya,2 yang susunan ayat maupun surah al-Qur'an merupakan

hak Allah sebagai pemilik kitab tersebut.3 Hanya Allahlah yang mengetahui

alasan mengenai susunan al-Qur'an yang menurut manusia modern dianggap

kurang ilmiah.4 Dan Mushaf Utsmani adalah satu-satunya Mushaf Al-Qu'ran

yang telah disepakati oleh seluruh kaum Muslim, dimana detail bacaan dari

tafkhimat,5 tarqiqat,6 imalat,7 al-ishmam,8 wasal dan waqaf9 terpelihara

sebagaimana pada zaman Nabi.10

1 Peserta Program Kaderisasi Ulama (PKU) Institut Studi Islam Darussalam (ISID)

Pondok Modern Darussalam Gontor Ponorogo. 2 Lihat Abdul Shabur Syahin, Tarikh al-Quran, (Mesir: Nahdlah Mishr, 2007), hal. 23. 3 M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian

Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 74.

4 Ibid 5Secara bahasa adalah menebalkan bacaan, ibarat kekuatan masuk pada bunyi huruf

hingga bunyinya memenuhi mulut. Huruf Tafkhim terdiri dari tujuh huruf yang terkandung di dalam bait syair ( قظ ضغط خص)

6 Secara bahasa adalah menipiskan bacaan. Secara istilah ilmu tajwid adalah gambaran perubahan yang berlaku pada bunyi huruf yang mengakibatkan bunyi tersebut tidak memenuhi mulut.

7 Imalah menurut bahasa adalah miring, sedangkan menurut istilah adalah membaca harakat fathah dengan menyandarkan kepada harkat kasrah sekitar dua pertiganya. Ini adalah bacaan yang dikhususkan untuk huruf Ra' saja. Ra' dibaca dengan tipis kerana baris atas yang cenderung kepada baris bawah. Huruf Alif yang cenderung kepada Ya' terdapat di dalam satu kalimah saja di dalam al-Quran yaitu kalimah(مجراھا ).

8 Isymam menurut bahasa adalah moyang, sedangkan menurut istilah adalah mengkombinasikan atau mencampur adukan harakat fathah dengan dammah sambil memoyang (mecucu).

9 Waqaf menurut bahasa adalah berhenti, sedangkan menurut istilah adalah menghentikan bacaan, baik untuk tidak diteruskan atau mengambil nafas untuk melanjutkan bacaan selanjutnya

10 Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi, Kitab al-Tabsirah fi al-Qiraat al-Sab' lil Imam al-Muqri' Abi Muhammad Makkiy bin Abi Talib Hamush ibn Mukhtar al-Qaisi al-Qairuwani al-Qurtubi yang dikutip oleh Ali Ahmadi, Al-Qiraat dan Orisinalitas Al-Quran, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian Islam, Vol. 1. Januari 2005, hal. 51-52.

Page 2: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Pemahaman mengenai tanzil di atas kemudian didekonstruksi oleh

Arkoun, yang kini sering dirujuk oleh kalangan Islam liberal.11 Secara tegas

Arkoun menyatakan bahwa wahyu ketika di-tanzil-kan oleh Allah telah

terpengaruh oleh realitas sejarah dan sosiol budaya Arab. Menurutnya al-

qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang disampaikan pada manusia,

dikonstruksi dalam bahasa manusia, ditransmisikan secara oral oleh suara

manusia, dan di bakukan dalam bentuk tertulis.12 Transmisi dari wahyu oral ke

dalam tulisan ini menjadikannya sama dengan Kitab-kitab dunia lainya.

Menurutnya al-Qu'ran lebih suci, lebih autentik, dan lebih dapat dipercaya

ketika masih dalam bentuk oral dibandingkan dengan ketika dalam bentuk

tertulis.13 Karenanya, Arkoun menolak kesucian al-Qur’an yang kita miliki

sekarang. Baginya yang Suci itu adalah yang ada di al-Lauh al-Mahfudh,

bukan yang termanifestasikan dalam Mushaf. Dalam pandangan Arkoun,

Mushaf Usmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan budaya masyarakat yang

disebabkan semata-mata oleh kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi.14 Jadi

konsepsi bahwa al-Qur'an, lafazh dan maknanya, adalah dari Allah swt

merupakan angan-angan keagamaan saja (al-khayal ad-diny).

Pendapat Arkoun di atas sangat bertentangan dengan az-Zarqani, ia

menyatakan al-Qu'ran adalah Kalam Allah yang berupa lafazh-lafazh yang

diturunkan kepada Nabi Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.15

Rincinya ia mengatakan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur'an dari Allah

swt. dengan cara sima'an (mendengarkan), yang lafazh-nya, dari surat al-

Fatikhah hingga al-Nas, merupakan mu'jizat. Dan lafazh tersebut adalah kalam

Allah yang tidak terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril dan Nabi

11 Banyak kalangan Islam yang merujuk pendapatnya menganai wahyu, diantaranya

adalah Ulil Absar Abdala, Abd Muqsith Ghazali, dan Lutfi Assyaukani dalam bukunya yang berjudul 'Metodolgi Studi Al-Quran" yang mana, nalar berpikirnya persis dengan Arkoun ketika mengatakan wahyu pada masa aural atau oral dan ketika wahyu sudah berubah menjadi tertulis. Lihat Abd Muqsith Ghazali, dkk, Metodolgi Studi Al-Quran, (Jakarta: Gramedia, 2009).

12 Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih bahasa: Ruslani, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), hal. 41.

13 Muhammad Arkoun, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, (Beirut: Dar al-Saqi, 1995), hal. 59.

14 Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 65.

15 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-Quran, juz I, (Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi, 1995), hal. 20.

Page 3: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Muhammad dalam pembentukannya maupun tartib-nya.16 Ia adalah kitab yang

memuat aturan-aturan hidup dari Sang Pencipta untuk manusia di bumi.

Dengannya manusia berakidah, beribadah, bermuamalah, berakhlak dan

membangun peradaban Islam.17

Kedua pendapat di atas mengenai tanzil memang sangat bertolak

belakang. Pendapat Az-Zarqani mewakili pandangannya umat Islam secara

keseluruhan, sedangkan Arkoun menggambarkan pemikir postmodern. Namun

apakah benar bahwa al-qur’an merupakan jelmaan kata-kata Tuhan yang

dikonstruksi dalam bahasa manusia, Mushaf Usmani adalah hasil sosial budaya

yang tidak suci lagi dan al-Qur'an sekrang ini tidak sama ketika pada masa

Nabi Muhammad. Persoalan ini penting dibahas, karena pemahaman yang

tepat mengenai konsep tanzil, wahyu dan al-Qu'ran merupakan langkah awal

dalam menentukan metodologi penafsiran al-Qur'an. Jika asumsi dasar

mengenai wahyu dan tanzil-nya salah maka bagaimana akan membangun

penafsiran di atas pondasi yang rapuh. Karenanya, penulis menganggap

penting membahas permasalahan tersebut dengan cara studi komparatif.

Melalui makalah singkat ini, penulis akan membahas bagaimana

sejatinya landasan epistemologi pemikiran Arkoun dan pandangannya terhadap

tanzil dan al-Qur'an. Kemudian penulis komparasikan dengan pandangan az-

Zarqani.

B. Landasan Metodologi Arkoun dan az-Zarqani

1. Metodologi Arkoun

Validitas ilmu tergantung metodologi dan epistemologi seseorang.

Karenanya keduanya menempati kedudukan penting dalam dunia pemikiran. Ia

tidaklah muncul secara tiba-tiba dalam diri seseorang yang tidak memiliki latar

belakang atau tradisi keilmuan. Ia merupakan produk langsung dari

worldview18 yang dimilikinya. Worldview terbentuk dari adanya akumulasi

16 Ibid, hal. 43. 17 Ibid, hal. 12. 18 Worldview atau pandangan hidup sering diartikan filsafat hidup. Setiap kepercayaan,

bangsa, kebudayaan atau peradaban dan bahkan setiap orang memiliki worldview masing-masing. Maka dari itu jika worldview diasosiasikan kepada suatu kebudayaan maka spektrum maknanya dan juga termanya akan mengikuti kebudayaan tersebut. Lihat: Hamid Fahmy Zarkasyi, Worldview

Page 4: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

pengetahuan dalam pikiran seseorang, baik a priori (pengetahuan yang

diperoleh melalui asumsi atau cara berpikir tertentu terhadap fakta-fakta, tanpa

obesevasi atau pengalaman khusus) maupun a posteriori (pengetahuan yang

diperoleh tidak secara a priori), konsep-konsep serta sikap mental yang

dikempangkan oleh seseorang sepanjang hidupnya.19

Demikian halnya Muhammad Arkoun dan az-Zarqani, pandangannya

terhadap al-Qu'ran merupakan gambaran akumulasi pengetahuan yang ada

dalam pikirannya. Arkoun sendiri mengakui bahwa bahwa seluruh periode

yang dilalui dalam menempuh pendidikan memainkan peran yang cukup besar

dalam membentuk pemikirannya.20 Arkoun tumbuh pada saat pesatnya

perkembangan science, baik yang sosial-humaniora maupun ilmu-ilmu alam di

dunia Barat, begitu juga dengan az-Zarqani. Namun, tampaknya Arkoun

memang lebih menyukai Barat (sarang orientalis, Prancis) dari pada tanah

airnya sendiri (Aljazair). Karena milleu masyarakatnya yang rasionalis,

Arkoun mampu berpikir dengan bebas tanpa ada rasa takut. Dia juga termasuk

pendukung paham pluralisme agama versi John Hick.21

Kajian Arkoun mengenai al-Qur'an tergolong cukup berani dan radikal.

Arkoun mempersoalkan kembali esensi wahyu sebagai Kalam Allah yang

transenden untuk kemudian ditarik dalam tataran immanen,22 yakni Kalam

Allah yang besentuhan dengan realitas budaya dan sejarah yang profan. Maka

dari itu, Arkoun juga menyeru untuk mengkajinya dengan metode historis.

Tindakan ini bukannya tidak disadari oleh Arkoun, ia sendiri mengakui bahwa

Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005, hal 10-20.

19 Ibid, hal 13. 20 Muhammad Arkoun, Rethinking Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hal. 221. 21 Lihat Malki Ahmad Nasir, Dekonstruksi Arkoun…, hal. 61. Dalam pluralisme Agama

terdapat dua mazhab, yang pertama adalah aliran John Hick dan yang kedua adalah Fithjof Schuon. Yang pertama, mengemukakan bahwa walau Tuhan memiliki banyak nama, namun sejatinya para penganutnya menyembah pada Wujud yang terakhir. Lihat John Hick, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma'ruf dan Taufik Aminuddin, (Yogyakarta: Interfidei, 2006), hal. 74. Sedangkan Fithjof Schuon punya asumsi bahwa sekalipun dogma, hukum, moral, ritual agama berbeda, namun nun jauh di kedalaman masing-masing agama, masih ada apa yang ia sebut sebagai "a common ground". Kesamaan asas ini, olehnya disebut dengan Religion Perennis (Agama abadi). Lihat Adnin Armas, Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama, dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004, hal. 9.

22 Thohatul Choir dkk, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), hal. 99

Page 5: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

dengan pendekatan historis akan menentang semua penafsiran yang

mensakralkan dan mentransendensikan yang dihasilkan oleh penalaran teologis

tradisional.23 Karena memang Arkoun adalah sosok pemikir yang tidak takjub

terhadap fenomena wahyu dan keajaiban (baca: mukijzat) penurunannya

(tanzil).24 Hal tersebut dapat dipahami oleh kenyataan bahwa Kalam Allah

turun dalam bentuk bahasa Arab.

Keberanian Arkoun ini dapat dipahami juga sebagai konsekuensi

pendekatannya terhadap al-Qur'an melalui perangkat linguistik modern,

antropologi strukturalisme dan filsafat post-modern. Dengan linguistik modern,

meminjam istilahnya Ferdinand de Saussure, Arkoun menyamakan teks al-

Qur'an sebagaimana teks-teks sastra lain yang tidak memandang lagi subjek

pembicara, yakni maksud Allah. Model pembacaannya adalah dengan

penjelajahan sinkronis dan diakronis25 dalam memahami al-Quran dan tanzil-

nya. Hasil dari penelusuran diakronis, Arkoun merekonstruksi tanzil al-Quran

yang akan penulis paparkan nanti. Dari Saussure, Arkoun juga meminjam

istilah parole dan langue untuk penamaan Kalam Allah.

Dengan pendekatan antropologi, Arkoun berusaha menyelami gagasan

wahyu dalam tradisi semitis, konsep masyarakat berkitab, mitos, angan-angan

masyarakat keagamaan, kesakralan, kebahasaan dan pemikiran dalam

masyarakat berkitab.26 Antropologi strukturalisme yang digagas oleh Claud

Levi Strauss bertujuan untuk menyelami logika simbolis atas budaya-budaya

manusia. Budaya dalam pandangan Strauss, ibarat bahasa yang memiliki

logika internalnya yang mengikat manusia dalam kerja dan intuisinya yang

secara kuat didominasi oleh ketidaksadaran.27

23 Muhammad Arkoun, Rethinking,… hal. 58. 24 Ali Harb, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, (Yogyakarta: LKiS,

2003), hal. 96. 25 Asal kata dari istilah singkronis dan diakronis dari kata Yunani, yaitu khronos (waktu)

dan dua awalan syn dan dia, masing-masing berarti "bersama" dan "melalui". Maka dari itu sinkroni dapat dijelaskan sebagai "bertepatan menurut waktu". Diakroni adalah pendekatan historis sedangkan sinkroni menujukan pandangan yang sama sekali lepas dari perspektif historis; sinkroni adalah peninjauan ahistoris. Lihat K. Bertens, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2006), hal. 204.

26 Baedhowi, Antropologi,...hal. 174. 27 Fahmi Salim, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, (Jakarta: Perspektif,

2010), hal. 379.

Page 6: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Arkoun juga tidak secara keseluruhan mengambil ide-ide filsafat post-

modern. Ia hanya meramu pemikirian-pemikiran filsuf Barat sehingga

melahirkan pemikiran Arkoun yang rumit. Ia terkesan hanya mencomot

sebagian sambil mengabaikan perdebatan sengit antar aliran filsafat. Semisal

perdebatan aliran strukturalisme dengan fenomenologi dan eksitensialisme.28

Hal ini akan memperparah sikap objektivitas (jika ada), karena ia akan

memilih-milih metodologi yang sesuai dengan ideologinya.29

Selain konsen dengan dialektika wacana di Barat, Arkoun juga sangat

kagum dengan kajian-kajian orientalis. Tokoh orientalis yang dikagumi

semisal Th. Noldeke, Arthur Jeffery, R. Paret, R. Blachere, John Wansbrough,

Johan Gottfried Herder, dan lain sebagainya. Menurutnya, Noldeke telah

berjasa besar dalam meperkenalkan persoalan yang tak terelakkan dari sejarah

kritis naskah al-Qu'ran dalam karyanya Geschichte des Qorans.30 Arkoun

sangat menyayangkan jika sarjana muslim tidak mau mengikuti jejak sarjana

Yahudi-Kristen.31

Demikian gambaran landasan epistemologi pemikiran Arkoun. Dalam

menganalisa konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an, Arkoun banyak dipengaruh

berbagai wacana yang berkembang di Barat. Pemikirannya yang terbilang

rumit, sehingga banyak pemikir yang kesulitan untuk mengidentifikasikan

dalam satu mazhab. Kadang Arkoun masuk pada kategori strukturalis dan di

28 Contoh perdebatannya adalah mengenai kesadaran. Bagi Descartes, kesadaran

merupakan hakikat manusia. Temuan ini kemudian dikembangkan oleh Kant dan Hegel yang berpangkal pada kesadaran yang sering disebut sebagai "filsafat reflektif". Fenomenologi dan eksistensialisme termasuk dalam tradisi filsafat reflektif ini. Pada puncaknya Nietzsche menproklamirkan "kematian Tuhan". Namun pendirian ini ditolak oleh penganut strukturalisme, menurutnya manusia tidak lagi merupakan titik pusat otonom yangn tidak dapat diasalkan dari suatu yang lain. Subjektifitas merupakan buah hasil suatu proses strukturisasi yang tidak dikuasai oleh manusia. Jadi manusia berdiri pada ketidaksadaran. Momentum ini dimanfaatkan oleh Foucault dengan ramalanya "kematian manusia". Lihat K. Bertens, Filsafat Barat..., hal. 244-245.

29Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 486. 30 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah,

(Bandung: Pustaka, 1998), hal. 26-27. 31 Dalam bahasa Inggris, sebagaimana yang diterjemahkan oleh Robert D. Lee dalam

Rethinking Islam: Common Questions, Uncommon Answers, Arkoun menyatakan: "It is unfortunate that philosophical critique ofsacred texts - which has been applied to the Hebrew Bible and to the New Testament without thereby engendering negative consequences for the notion of revelation - continues to be rejected by Muslim scholarly opinion. The works of the German school continue to be ignored, and erudite Muslims do not dare draw upon such research even though it would strengthen the scientific foundations of the history of the mushaf and of the theology of revelation. " Lihat Adnin Armas, Metodologi Bible ..., hal.

Page 7: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

lain kesempatan dia tergolong post-strukturalis, post-modernis atau juga post-

tradisionalis. Dari sini sudah dapat dilihat bahwa landasan epsitemologi

Arkoun banyak terpengaruh oleh metode historis-materialis yang merupakan

produk worldview Barat.

2. Metodologi az-Zarqani

Berbeda dengan Arkoun, Az-Zarqani32 sebagaimana ulama klasik

lainya memiliki epistemologi yang sudah sejak dahulu dipraktikkan oleh Nabi,

sahabat, tabi'in, dan ulama salaf shalih. Konsepsinya mengenai tanzil dan al-

Qur'an, tidak berbeda dengan kebanyakan ulama mayoritas. Dalam hal perkara

yang bersifat metafisis, Az-Zarqani lebih sering mengkonsepsikannya dari

sumber khabar shadiq, yakni al-Qur'an, sunnah dan perkataan sahabat. Contoh

hasil konsepsinya akan penulis paparkan ketika menjelaskan pandangannya

terhadap tanzil al-Qur'an. Inilah yang membedakannya dengan Arkoun yang

sangat mengabaikan data riwayat mengenai fenomena wahyu beserta tanzil-

nya.

Metode yang az-Zarqani gunakan dikenal dengan istilah metode tafsir

bil-ma'tsur. Ini adalah metode tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan

yang shahih, yakni khabar shadiq. Yaitu menafsirkan al-Qur'an dengan al-

Qur'an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan Kitabullah, dengan

perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui Kitabullah, atau

dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi'in karena pada umumnya

mereka menerimanya dari para sahabat.33

Demikian epistemologi pemikiran az-Zarqani mengenai wahyu, tanzil

dan al-Qur'an yang besifat meta-historis. Bagi mayoritas ulama, semua aktifitas

intelektual dimaksudkan untuk menambah keimanan kepada Allah. Begitu juga

az-Zarqani, dalam mengeksplorasi konsep tanzil, wahyu dan al-Qur'an semata-

32 Nama lengkapnya Muhammad Abdul 'Adzim az Zarqani, ia termasuk dari keluarga

Ja'fariyah dari Propinsi Gharbeyya-Mesir. Namanya dinisbahkan ke daerah yang beranama Zarqan di kawasan propinsi Manovia-mesir. Beliau termasuk Ulama Azhar bermadzhab Asya'iroh.Beliau menimba ilmu Ma'had al-Ahmadi pada tahun 1911 M. beliau kuliah di fakultas Ushuludin al-Azhar skaligus menadapat gelar Syeh pada tahun 1925. Ia menjadi guru di Ma'had Zagozig tahun 1926. Kemudian pindah ke Ma'had Thanta dan terpilih menjadi Imam, kemudian pindah ke Ma'had Kairo dan mengajar di kuliah Ushuludin tahun 1939. Buku beliau yang lain adalah 'Al Manhal Al Hadits Fi 'Ulumil Hadis. Beliau wafat tahun 1367 H.

33 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, juz II, hal. 12-13

Page 8: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

mata hanya untuk mendapatkan ridlo-Nya agar kelak dapat bertemu Allah

dengan bekal intelektual yang hasanah. Dalam merum uskan pemikirannya

dia juga senantiasa berdoa agar dibimbing oleh-Nya. Kenyataan seperti inilah

yang luput dari pemikir kontemporer.

Landasan epistemologi kedua pemikir muslim di atas memang sangat

berbeda. Epistemologi yang dibangun oleh Arkoun untuk merombak dan

mendekonstruksi ilmu keislaman banyak mengadopsi wacana dialektika Barat,

seperti, dekonstruksi, antropologi, linguistik-semiotika, demitologisasi dan

sosiologi. Penggunaan wacana-wacana tersebut dimaksudkan untuk

membangun "masyarakat Kitab", yakni paham pluralisme gaya baru yang

intinya dilarang mengakui bahwa kitab sucinya yang paling orisinil dan

otentik. Ini adalah hasil dari adopsi worldview Barat.

Berbeda dengan Arkoun, az-Zarqani lebih banyak menggunakan

analisa data-data riwayat atau khabar shadiq untuk menganalisa konsep tanzil

al-Qur'an. Ini adalah metodologi yang telah diwariskan sejak zaman Nabi

hingga sekarang ini yang masih peduli dengan informasi meta-historis, yakni

tradisi dari worldview Islam. Metodologi analisa az-Zarqani bertujuan untuk

menambahkan keimanan umat Islam sendiri, bukan untuk mengikis

keyakinannya terhadap keotentikan al-Qur'an..

Sejauh mana keabsahan di antara keduanya, alangkah baiknya penulis

kutip peringatan Margaret Marcus (Maryam Jameela).34 Beliau mengingatkan

jika pandangan hidup Barat menelusup ke dalam sistem kepercayaan Islam,

tidak lagi ada sesuatu yang orisinal yang akan tersisa.35 Karena menurut Yusuf

Qardawi, Peradaban Barat Modern adalah Peradaban Sekular yang jauh dari

nilai-nilai ketuhanan.36

34 Maryam Jameela (Lahir di New York, Amerika Serikat, 3 Mei 1934) adalah seorang

muallaf. Sebelum masuk Islam, ia bernama Margaret Marcus. Dia seorang pemikir dari keluarga Yahudi yang dibesarkan dalam masyarakat multinasional. Ia adalah seorang intelektual dan penulis di bidang agama, filsafat, sejarah dan peradaban. Ia meyakini teks-teks al-Qur'an dengan keimanan yang tinggi. Lihat http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010.

35 Lihat Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425, hal. 119.

36 Yusuf al-Qaradawi, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, (Cairo: Maktabah Wahbah, 1416 H/1995 M), hal. 13-14.

Page 9: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Dalam artikel pendeknya Hamid Fahmi Zarkasy menyatakan, Barat

adalah alam pikiran pandangan hidup. Seperti juga Barat, Kristen, Islam,

Hindu, bahkan jawa adalah sama-sama pandangan hidup. Meski sama namun

kesamaan hanya pada tingkat genus, bukan species. Masing-masing memiliki

karakter dan elemennya sendiri-sendiri. Jika elemen-elemen suatu pandangan

hidup dimasuki oleh pandangan hidup lain, maka akan terjadi confusion alias

kebingungan.37

Metodologi yang mengadopsi produk pandangan hidup Barat ini,

seperti linguistik modern, antropologi strukturalis atau filsafat post-modern,

tidak dapat menjangkau fenomena al-Qur'an dan tanzil-nya yang bersifat

metafisis. Metodologi ini mempunyai eksposisi bahwa setiap teks (suci

maupun manusiawi) pasti dilahirkan oleh lingkungan sosiololgis dan

antropologis saat teks itu diciptakan. Pemahaman seperti inilah yang dikenal

dengan tafsir materialis atas sejarah yang menyatakan bahwa segala hal yang

terjadi di pentas sejarah harus berasal dari faktor sosio-historis yang

melingkupinya.38 Arkoun sebagai pemakainya, dalam konsepsinya terhadap

tanzil dan al-Qur'an yang akan penulis paparkan nanti, sangat jelas bahwa ia

penganut historis-materialis. Dalam hal ini Muhammad al-Kattani

menjelaskan:

"Jika kita sepakat dengan logika materialisme historis, kita akan anggap remeh embusan spirit yang menghasilkan lompatan sejarah. Memahami fenomena sejarah tak cukup hanya dengan pendekatan materialistik, sehingga sejarah yang tak diterima oleh logika materialistik ini dinilai mitos dan transenden. Namun ada banyak pertanyaan yang segera menyergap kita dari berbagai sudut jika kita hanya mengakui logika materialis untuk menafsirkan sejarah."39

Keberatan ini sebenarnya bukan saja karena metodologi itu berasal dari

Barat. Namun adanya unsur ideologi sekuler yang diinfiltrasikan ke dalam

Islam melalui metodologi nir-Islami itulah alasannya. Dan jika benar-benar

diterapkan dalam kajian al-Qur'an, maka akan bertentangan dengan hal-hal

aksioma di dalam Islam.40 Selain itu metodologi Barat (ilmu-ilmu humaniora)

37 Hamid Fahmy Zarkasy, Barat, hal. 119. 38 Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 260. 39 Ibid 40 Ibid, hal. 490.

Page 10: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

juga masih memiliki problem internal. Metodologi Barat ini, dalam kajiannya

tak pernah mengenal tahap final. Karena perkembangan metodologi humaniora

Barat masih dalam tahap pematangan dan berproses untuk menjadi sesuatu.

Oleh karena itu, mustahil bagi umat Islam untuk bisa sampai kepada

pengetahuan yang pasti jika menggunakan metodologi tersebut.41 Suasana

kompetisi antar ilmuwan Barat, yakni kawasan Eropa Barat dan Amerika

Serikat, juga turut memperparah ramuan metodologinya. Pasalnya, mereka

terbiasa menyisipkan pengalaman individu ke dalam penafsiran objek

kajiannya. Dan pada akhirnya teori-teori temuannya tidak mampu menembus

dilema-dilema yang mereka hadapi, bahkan semakin memperparah krisis

pemikiran di Barat.42

Kiranya sudah jelas, dalam hal ini, Arkoun telah keliru mengambil

epistemologi dan pandangan hidupnya (worldview). Karena pada dasarnya

setiap epistemologi, konsep atau worldview memiliki tempat dan rumahnya

masing-masing. Menurut al-Attas, manusia yang ber-adab adalah yang dapat

meletakkan makna pada setiap konsep dan terminologinya.43 Ketiadaan adab

akan mengakibatkan kezaliman, kebodohan, bahkan kegilaan secara alami.

Kezaliman adalah meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya. Kebodohan

menurut al-Ghazali adalah melakukan cara yang salah untuk mencapai tujuan

tertentu, sedangkan kegilaan adalah perjuangan berdasarkan tujuan dan

maksud yang salah.44 Alih-alih ingin memajukan Islam dari dalam, namun

sebenarnya Arkoun telah merusak tatanan dasar epistemologi dan worldview

Islam.

C. Tanzil al-Qur'an dalam Pandangan Arkoun dan az-Zarqani

1. Konsep Tanzil Arkoun

Agar tidak ada kerancuan dalam memahami wahyu dan tanzil al-

Qur'an, sebaiknya penulis bahas mengenai terminologi wahyu terlebih dahulu.

Secara umum, pengertian wahyu dapat dilihat dari dua sisi makna. Pertama,

41 Ibid, hal. 486. 42 Ibid, hal. 487. 43 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik…,hal. 292. 44 Ibid, hal. 199.

Page 11: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

wahyu dalam makna ihaa, yakni proses penyampaian wahyu. Kedua, wahyu

dalam makna al-muha bihi yakni objek wahyu itu sendiri.45 Wahyu dalam

makna proses penyampaian Kalam Allah (tanzil) inilah yang akan menjadi

kajian komparasi antara Arkoun dengan az-Zarqani. Dimana kita akan melihat

perbedaan yang sangat serius di antara mereka.

Bagi Arkoun, selama ini kalangan ortodoks muslim46 (az-Zarqani

termasuk dalam kritikannya Arkoun) telah banyak memanipulasi konsep tanzil,

wahyu dan al-Qur'an. Karenanya, Islam bersifat ekslusif, selalu memandang

bahwa ia yang unggul dari agama-agama yang lain. Untuk itu, dengan

perspektif antropologi dan fenomenologi,47 Arkoun berusaha

mendekonstruksi48 konsep wahyu yang masing-masing agama saling

berlainan.49 Baru kemudian, Arkoun merekonstruksi bagaimana al-Qu'ran bisa

45 H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal Kajian

Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005, hal. 86. 46 Ortodoksi didefinisikan oleh Arkoun sebagai sistem kepercayaan dan representasi-

representasi mitologis yang melaluinya, dan dengannya, sebuah kelompok masyarakat yang telah ada menerima dan menghasilkan sejarahnya sendiri. Dengan kata lain, ia adalah sebuah sistem nilai yang fungsi utamanya adalah untuk menjamin perlindungan dan keamanan kelompok tersebut. Lihat Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 102.

47 Husserl menggunakan istilah fenomenologi untuk menunjukkan apa yang nampak dalam kesadaran kita dengan membiarkannya termanifestasi apa adanya tanpa memasukkan kategori pikiran kita padanya atau menurut ungkapan Husserl: zuruck zu den sachen selbt (kembalilah kepada realitas itu sendiri. Seorang fenomenolog harus menanggalkan segenap teori, praanggapan serta presangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya. Fenomenologi Husserl bertujuan untuk mencari yang essensial atau eidos (essensi) dari apa yang disebut fenomena. Metodenya adalah dengan membiarkan fenomena itu berbicara sendiri tanpa dibarengi dengan perasangka (presuppositionlessness) Lihat Mohammad Muslih, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: Belukar, 2008), hal. 146. Lihat juga Bernard Delfgaauw, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono Soemargono, cet. Kedua, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya, 2001), hal. 105.

48 Dekonstruksi adalah ide dari filsuf asal Perancis, Derrida, ia menekankan bahwa dekonstruksi tidak sama dengan destruksi (pemusnahan), karena ia tidak memusnahkan atau menghapuskan sesuatu wacana. Dekonstruksi adalah menggoyang, menjungkirbalikkan, mencemaskan, tetapi ia hanya mengobrak-abrik dengan tujuan memberi peluang membangun hal-hal baru dan menemukan makna baru. Ia membuka pemikiran yang tertutup. Lihat Kevin O'Donnell, Postmodernisme, (Yogyakarta: Kanisisus, 2009), hal. 58. Tesisnya Derrida oleh Arkoun lebih diperjelas dengan menyatakan bahwa dekonstruksi (pembongkaran) harus disertai rekonstruksi (pembangunan kembali) suatu wacana atau kesadaran yang meninggalkan keterbatasan, pembekuan dan penyelewengan wacana sebelumnya. Lihat juga Asep Ahmad Hidayat, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa, Makna dan Tanda, (Bandung: PT Remaja Rosda Karya, 2006), hal. 231.

49 Pengertian wahyu dalam Perjanjian Lama diartikan sebagai "Firman Tuhan" dalam pengertian yang benar-benar harfiah. Sehingga dalam tradisi mereka sering dikatakan, "Thus say the Lord…" demikian Tuhan berfirman. Dalam Bible (terutama di kalangan kaum fundamentalis Kristen) juga demikian. Meskipun dalam perkembangan belakangan, wahyu dalam pengertian Kristen dimaknai bukan melulu secara verbal-redaksional dalam bentuk firman tertulis, tetapi

Page 12: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

sampai kepada Nabi Muhammad saw dan hingga saat ini. Tujuannya agar

terwujud Islam yang inklusif, terbuka dengan peradaban selainnya.

Ide rekonstruksi tanzil al-Qur'an ini merupakan buah dari penjelajahan

diakronis. Hasilnya, Arkoun membagi konsep tanzil menjadi empat fase.50

Pertama adalah fase Kalam Allah. Kalam Allah merujuk kepada logos, ide

atau sabda Allah yangn tidak terbatas, yang kekal bersama-Nya, dan

transenden. Kalam Allah yang turun kepada manusia hanyalah penggalan dari

logos tersebut. Fase ini juga sering disebut sebagai wahyu yang masih menjadi

parole51 (firman, sabda, kalam) Allah yang transenden, tak terbatas (infinite),

besifat abadi serta mengandung kebenaran tertinggi. Akan tetapi, kebenaran

absolute ini di luar jangkauan manusia,52 alasannya karena bentuk wahyu yang

seperti itu diamankan dalam al-lauh al-Mahfuzh53 (the well preserved tablet)

pribadi Yesus juga dianggap sebagai wahyu yang "mendaging". Dalam perkembangan yang lebih belakangan, Wahyu dilingkungan Kristeb dimengerti sebagai "tindakan" atau "karya" Tuhan secara keseluruhan. Dalam agama-agama non-Semit, seperti agama-agama Timur, wahyu cenderung dimengerti sebagai rekamang sabda yang diucapkan oleh orang-orang bijak atau guru-guru suci dalam sejarah agama yang bersangkutan. Lihat Moqshit GHazali, Metodologi…, hal. 56-58.

50 Muhammad Arkoun, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih, (London: Dar al-Saqi, 1998), hal 89.

51 Istilah parole ini diadopsi dari pemikirannya Saussure. Menurut Saussure fenomena bahasa secara umum ditunjukkan dengan istilah langage. Dalam langage terdapat dikotomi antara parole dan langue. Parole adalah tindakan individu kegiatan seleksi dan aktualisasi,51 ia adalah bagian dari bahasa yang sepenuhnya individual. Pertama-tama parole terdiri atas kombinasi-kombinasi yang digunakan si subjek agar bisa menggunakan kode langue untuk mengungkapkan pemikiran pribadinya, dan selanjutnya parole terdiri atas mekanisme psiko-fisik yang memungkinkan si subjek tadi meng-eksterior-kan kombinasi-kombinasi tadi. Satu hal yang menjadi karakteristik dari parole adalah adanya keunikan bahasa dari tiap pribadi. Sedangkan Langue adalah suatu institusi sosial dan sistem valuer-valuer (nilai). Sebagai institusi sosial, Langue sama sekali bukan suatu tindakan. Secara esensial, Langue adalah suatu kontrak kolektif, siapapun yang ingin menggunakannya untuk berkomunikasi maka harus tunduk sepenuhnya pada aturan-aturannya.51 Ia adalah sistem kode yang diketahui oleh semua anggota masyarakat pemakai bahasa tersebut, seolah-olah kode-kode tersebut telah disepakati bersama di masa lalu di antara pemakai bahasa tersebut. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar Herwinarko, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hal. 17.

52 Konsepsi ini sama dengan pemikirannya Nasr Hamid, menurutnya teks yang mutlak dan suci (al-Qur'an), hanyalah yang berada di al-lauh al-mahfudz. Teks suci tersebut ridak pernah diketahui oleh seorang muslim pun. Lihat Henri Shalahuddin, al-Qur'an Dihujat, (Jakarta: al-Qolam, 2007), hal. 27.

53 Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: "Bahkan yang didustakan mereka itu ialah Al Qur'an yang mulia, yang (tersimpan) dalam al-Lauh al-Mahfuzh." (al-Buruj [85]: 21-22)

Page 13: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

atau umm al-Kitab (the Archetype Book)54 dan tetap berada bersama Tuhan

sendiri.55

Secara tidak langsung, Arkoun menganggap bahwa pada fase ini, al-

Qur'an masih berwujud "ide" atau pengetahuan ('ilm) Allah. Ia belum

terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh atau teks, lebih-lebih tersusun dalam surah

atau ayat dengan sistematika yang ada untuk sekarang ini. "Ide" dan

pengetahuan Allah ini mampu dipahami oleh manusia ketika pada fase kedua,

yakni fase pembentukan lafazh-lafazh al-Qur'an. Anggapannya memiliki

konsekuensi logis bahwa lafazh al-Qur'an merupakan hasil kerja sama antara

Nabi Muhammad dengan Tuhannya. Di sini, Arkoun berbeda dengan az-

Zarqani. Mengenai bagaimana perbedaannya akan penulis paparkan kemudian.

Fase kedua berlangsung ketika pewahyuan (610-632 M). Periode ini

menunjuk penampakan wahyu dalam sejarah.56 Ia diistilahkan sebagai wacana

kenabian (verbal) atau wacana Qur'an.57 Pada fase ini, wahyu menampakkan

diri sebagai langue. Ia bersinggungan langsung dengan realitas sejarah. Pada

peringkat inilah, wahyu menjelma dalam bahasa manusia, yakni bahasa Arab

yang berupa lafazh-lafazh. Dengan pemahaman seperti ini, meminjam

pemikiran Saussure, parole Allah yang ada di al-lauh al-Mahfuzh harus tunduk

pada aturan-aturan langue bahasa Arab.58

54 Dasar istilahnya adalah Firman Allah yang artinya: "Allah menghapuskan apa yang Dia

kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan disisi-Nya-lah terdapat Ummul-Kitab (Lauh Mahfuzh)." (Ar-Rad [13]: 39).

55 Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun: Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA: Majalah Pemikiran Dan Peradaban Islam, Thn I No 2, Juni-Agustus 2004, hal. 22.

56 Sholihan, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, (Semarang: Walisongo Press, 2009), hal. 72.

57 Wacana Qur'an adalah sebuah hubungan komunikasi yang terkait dengan situasi wacana. Situasi wacana bukan suasana lingkungan pewahyuan (asbab al-nuzul). Ia adalah pengujaran yang mengandaikan adanya seorang pembicara dan pendengar dengan niat dari yang pertama untuk menyampaikan kepada yang kedua suatu pesan, dan kemungkinan bagi yang kedua untuk bereaksi secara langsung. Hubungan komunikasi antara Tuhan dan Nabi selalu terkait dengan situasi wacana atau lingkungan semiologis ketika pelepasan dan penangkapan pesan berlangsung, yang terjadi sekali untuk selamanya dan tidak bisa diulang lagi. Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 105. dan lihat juga Cecep Ramli Bihar Anwar, Mohammed Arkoun, Cara membaca al-Qur'an, dalam situs http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli 2002.

58 Dalam hal ini, pemikiran Arkoun mirip dengan kajiannya Nasr Hamid Abu Zayd. Nashr Hamid memanfaatkan pembedaan dari Ferdinand de Saussure, antara "langue" (lughah) dan "parole" (kalâm), Nashr Hamid mengatakan bahwa teks al-Qur'an merupakan parole dan bahasa arab adalah langue.58 Dengan kata lain Kalam Tuhan tunduk kepada bahasa manusia.

Page 14: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Sesuai dengan kajian semiotika juga, pada masa Prophetic Discourse,

al-Qur'an masih berbentuk ujaran-ujaran lisan yang didengarkan. Muqsith

Ghazali menjelaskan, ujaran tersebut bukanlah dalam pengertian "suara" yang

dihasilkan secara fisik oleh anggota tubuh manusia seperti yang kita alami

dalam percakapan sehari-hari. Yang dimaksud dengan ujaran di sini adalah

sebuah "ide" yang cemerlang serta mempunyai daya yang tak terelakkan

sehingga ia menyerupai suara yang didengarkan. Ini dapat dipahami, yang

terjadi adalah komunikasi melalui ide dan gagasan.59 Masih menggunakan

analisa semiotika, pada masa pengujaran ini suasana komunikasi, studi

pengucapan, daftar dan tingkatan kode-kode budaya, dan susunan serta fungsi-

fungsi cerita masih terpelihara dengan baik.60 Namun wacana Qur'ani sudah

hilang sama sekali karena terjadi hanya sekali ketika pengujaran.

Masa wacana kenabian (verbal), dalam pandangan Arkoun, lebih layak

menyandang predikat sakral serta lebih dipercaya ketimbang fase-fase

setelahnya. Karena al-Qur'an pada fase ini (verbal) masih terbuka untuk semua

makna, sementara pada fase berikutnya (tekstual) telah turun derajatnya dari

kitab yang diwahyukan menjadi kitab yang biasa, sehingga ia tidak berhak lagi

menyandang predikat sakral dan kesucian.61

Pandangan Arkoun mengenai wacana kenabian (verbal) mirip dengan

Johan Gottfried Herder (1744-1803 M). Gagasan Gottfried dimaksudkan untuk

menolak tiga versi Injil (Matius, Markus, dan Lukas) dikarenakan

mengabaikan Injil-Injil versi selain tiga tersebut. Gottfried mengatakan dengan

jelas bahwa masing-masing Bible yang tidak digunakan memiliki tujuan,

waktu, dan tempatnya sendiri yang khusus bagi mereka, dengan menekankan

bahwa Injil yang asasi adalah yang berbentuk verbal daripada tertulis. Bentuk

Injil yang paling awal adalah penjelasan verbal dari Almasih.62

Al-Qur'an pada fase ketiga, berlangsung ketika koleksi dan penetapan

mushaf. Al-Qur'an pada periode ini sudah mensejarah63 yang diistilahkan

59 Abd Moqsith Ghazali dkk., Metodologi…, hal. 40-41. 60 Baedhowi, Antropologi…, hal. 169. 61 Muhammad Arkoun, Min Faishal..., hal. 59. 62 Fahmi Salim, Kritik terhadap..., hal. 161-162. 63 Statemen Arkoun yang menyatakan bahwa teks al-Qur'an sudah mensejarah mirip

dengan gagasan Wilhem Dilthey. Dilthey menggambarkan bahwa pengarang tidak mempunyai

Page 15: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

sebagai Closed Official Corpus (Korpus Resmi Tertutup).64 Berdasar pada

periode tersebut, Arkoun mendefinisikan al-Qur'an sebagai sebuah Korpus

resmi yang selesai (tertutup) dan terbuka yang diungkapkan dalam bahasa

Arab.65 Dikatakan "resmi" karena teks-teks al-Qur'an merupakan akibat dari

seperangkat keputusan yang diambil oleh "otoritas-otoritas" yangn diakui oleh

komunitas. Dikatakan "tertutup" karena tidak seorang lagipun diperkenankan

untuk menambah atau mengurangi kata-kata, memodifikasi suatu bacaan

dalam Korpus yang sekarang dinyatakan otentik.66 Dan dikatakan "terbuka"

karena korpus ini masih memungkinkan untuk dipahami dan digali makna-

makna yang tereliminasi.

Fase ini berlanjut sampai masa ortodoksi, yakni masa standarisasi

Mushaf (324 H./ 936 M.). Pada periode ini, menurut Arkoun kalangan ortodoks

telah banyak memasukan secara diam-diam berbagai hasil suatu ilmu, lalu

menegaskan secara tak terbantah bahwa ia sama sekali tidak memodifikasi

ajaran-ajaran yang telah dicapai berbagai disiplin ilmu tradisional.67

Menurutnya lagi, kalangan ortodoks telah menggunakan berbagai bahan,

prosedur dan suatu kerangka historiografis untuk mendehistorisasikan masa

wahyu serta masa pengumpulan dan pembakuan Mushaf.68

Masih menurut Arkoun, Ibn Mujahidlah yang sebenarnya bertanggung

jawab atas pembaruan yang menentukan pada tahun 324 H. Tindakannya ini

ternyata harus dibayar dengan keterputusan epistemis dan epistemologi. Lebih-

lebih setelah pembaruan Ibn Mujahid dengan adanya penerbitan edisi buku al-

Qur'an di Kairo pada tahun 1924.69

Dengan membandingkan bentuk lisan dan tulisan dari al-Qur'an,

Arkoun menyatakan dengan tegas bahwa ia lebih suci, autentik dan dapat otoritas atas makna teks, tetapi sejarahlah yang menentukan maknanya. Lihat Ilham B. Saenong, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-Qur'an Menurut Hasan Hanafi, (Teraju: Jakarta, 2002), hal. 36.

64 Dalam kajian semiotika, istilah korpus dimaksudkan untuk suatu koleksi terbatas material-material yang ditentukan sebelumnya oleh si analis, menurut suatu arbitrer tertentu (yang tidak terhindarkan) dan atas korpus itulah si analis akan bekerja. Lihat Roland Barthes, Petualangan Semiologi…, hal. 87.

65 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 13 66 Muhammad Arkoun, Rethinking…, hal. 50. 67 Muhammad Arkoun, Kajian Kontemporer…, hal. 16. 68 Ibid, hal. 17. 69 Ibid, hal. 17-18

Page 16: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

dipercaya ketika masih dalam diskursus dibanding dengan ketika dalam bentuk

tertulis.70 Alasannya menurut Arkoun adalah karena al-Qur'an terbuka untuk

semua arti ketika dalam bentuk lisan, dan dalam bentuk tulisan tidak lagi

begitu. Sebaliknya dia mengatakan, penggunaan alat-alat tulis seperti pena dan

kertas telah mengurangi status al-Qur'an yang bersifat ketuhanan menjadi

sebuah buku dunia.71

Fase keempat adalah fase korpus tertafsir. Fase ini dikaitkan Arkoun

dengan produktivitas teks, bukan produktifitas wacana. Tradisi keagamaan

dihasilkan dari penafsiran teks tertulis, bukan penafsiran terhadap wacana

Qur'an. Para pembaca menuliskan kembali teks sesuai dengan kisi-kisi persepsi

dan prinsip penafsirannya. Kisi dan prinsip tersebut, menurut Arkoun, terkait

dengan dengan budaya pembaca dan determinasi kelompok pada masanya.

Dalam konteks itulah terjadi penggandaan semantis, simbolis, dan ideologis

atas teks dalam ruang sejarah sosial, politik, dan kebudayaan.72 Mushaf standar

ini telah kehilangan daya magnetik dan fungsionalitasnya, karena ditempatkan

pada posisi yang begitu tinggi yang digambarkan seolah-olah tidak ada lagi

orang yang mampu memahaminya selain para imam maksum dan Mujtahid

dan bahwa makna mushaf telah tergali secara keseluruhan oleh meraka.

Kemungkinan besar, ini terjadi akibat berlapis-lapisnya teks-teks tafsiran

terhadap teks pertama, Mushaf yang menurut Arkoun menyerupai lapisan

geologis pada bumi.73

Dengan rekonstruksi tahapan turunnya wahyu kepada audiens, Arkoun

ingin memberikan porsi pendekatan antropologis dan semiotis kepada wahyu

sebelum ia dipahami oleh para ulama dan menjadi cabang-cabang keilmuan

Islam. Tiga tahap terakhir turunnya wahyu dipandang Arkoun sebagai tahap

70 Muhammad Arkoun, Min Faishal…,hal. 59. 71 Abdul Kabir Hussain Solihu, Hermeniutika Al-Qur'an…, hal 23. 72 Gagasan Arkoun mengenai kaitannya produksi teks dengan konteks ideologi sama

dengan gagasan Nasr Hamid Abu Zayd. Al-Qur'an dalam tataran immanen tidak lepas dari proses budaya dan dipahami dalam konteks budaya tertentu. Zayd juga melihat proses ideologi (talwiin) dibalik pembakuan ushlf fiqh yang disusun oleh as-Syafi'i, dengan sentralitas bahasa Arab Qurays sebagai standar pemahamannya. Zayd menyebut proses tersebut sebagai "pemihakkan ideologis". Lihat Thohatul Choir dkk, Islam dalam…, hal. 106.

73 Aksin Wijaya, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar Taesir Gender, (Yogyakarta: Safira Insani Press, 2004), hal. 90-91.

Page 17: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

semio-linguistik karena ketiganya berada dalam tataran sejarah dan budaya

manusia.74

Persoalan mendasar yang ingin dianalisis oleh Arkoun dengan disiplin

ilmu antropologis adalah menyangkut beralihanya ujaran-ujaran lisan dari

wacana kenabian ke dalam sebuah al-Qur'an yang tertulis, yang kemudian

dibakukan menjadi Mushaf standar. Menurutnya peralihan wacana semacam

ini tentu mereduksi berbagai macam bacaan, dialek, dan bahkan makna yang

terbuka dan luas menjadi suatu penafsiran logosentris yang sempit dan kaku.

Artinya peralihan dari wacana kenabian yang bersifat orale (lisan) ke wacana

masyarakat melek huruf yang pandai membaca dan menulis ternyata

memunculkan masalah tersendiri.75

Dengan demikian, paparan Akoun dapat disimpulkan bahwa pada

masing-masing tingkatan, kandungan al-Qur'an sudah mengalami perubahan.

Pada tingkatan pertama, Kalam Allah/al-Qur'an masih berupa "ide" atau

pengetahuan Allah yang dinilai paling benar, namun tidak dapat dijangkau oleh

manusia, karena belum terwujud dalam lafazh-lafazh terlebih dalam susunan

surah dan ayat seperti yang sekarang ini. Dan pada tingkatan kedua, Kalam

Allah yang menjelma ke dalam bahasa Arab hanya sebagian dari penggalan

yang ada di umm al-Kitab (the Archetype Book), dan itupun sudah tidak ada

lagi. Dan lain lagi ketika dalam bentuk mushaf. Pasalnya, walau bagaimanapun

juga, mushaf telah mengalami modifikasi, revisi dan subtitusi. Arkoun

menganggap al-Qur'an yang sekarang ini tidak sama ketika pada masa Nabi

Muhammad saw. lebih-lebih ketika di al-lauh al-Mahfuzh. Konsepsi tanzil di

atas juga berlaku untuk Taurat dan Injil. Tidak ada bedanya.

Setelah penulis paparkan dan simpulkan inti dari pemikiran Arkoun,

selanjutnya penulis sandingkan dengan hasil dari kajian az-Zarqani mengenai

tanzil-nya al-Qur'an. Meski az-Zarqani termasuk dalam jajaran ulama yang

dikritik Arkoun, namun tidak ada salahnya penulis paparkan konsepsinya

mengenai tanzil, dengan tujuan apakah tepat kritikan Arkoun di atas.

74 Ibid, hal. 107-108. 75 Baedhowi, Antropologi…, hal. 201.

Page 18: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

2. Tanzil dalam Pandangan Az-Zarqani

Jika Arkoun tidak mendefinisikan sekaligus mengagumi fenomena

wahyu yang luar biasa dan menggambarkannya secara detail, maka az-Zarqani

sebaliknya. Wahyu dalam pengertian, al-muha bihi, yakni objek wahyu itu

sendiri dibagi menjadi dua macam. Pertama, al-matlu (yang dibaca). Kedua,

ghairu al-matlu (yang tidak terbaca). Wahyu yang dibaca adalah al-Quran

yang Allah jadikan mukjizat bagi Nabi Muhammad saw. dan menjadi penjamin

pemeliharaannya dari perubahan-perubahan.76 Sedangkan wahyu yang tidak

dibaca ialah hadits Nabi Muhammad saw.77 Yang termasuk hadits ialah

perkataan, perbuatan dan keputusan Nabi serta sifat-sifatnya.78

Menurut pandangan az-Zarqani, wahyu dalam pengertian ihaa (proses

penyampaian wahyu) mempunyai arti pemberitahuan (i'lam) dari Allah swt

kepada hamba pilihan-Nya, berupa hidayah atau ilmu pengetahuan dengan cara

yang amat rahasia dan lain dari kebiasaan manusia.79 Fenomena wahyu ini

bukanlah peristiwa baru yang terjadi pada masa Nabi Muhammad saja. Jauh

sebelumnya sudah dikenal oleh kebanyakan orang. Namun, khusus untuk al-

Qur'an (al-muha bihi) proses pewahyuannya memiliki kekhususan tersendiri.

Menurut az-Zarqani, proses pewahyuan al-Qur'an semuanya melalui perantara

Malaikat Jibril,80 tidak seperti para Nabi sebelumnya.81 Di sini terdapat

perbedaan dengan Arkoun. Hasil rekonstruksinya terhadap wahyu, Arkoun

menyatakan bahwa semua Kitab Suci (al-Qur'an, Taurat dan Injil) adalah

Firman Tuhan yang dimanifestasikan, dijelmakan dalam bahasa manusia,

ditransmisikan secara oral oleh bahasa manusia, atau ditetapkan dalam bahan-

bahan tertulis.82 Arkoun tidak menyinggung perbedaan-perbedaan cara

pewahyuan masing-masing Kitab Suci, juga tidak mengindahkan pemberitaan

76 Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: "Kami menurunkan adh-Dhikra (al-Quran) dan Kami yang memeliharanya." (Al-Hijr [15]: 9)

77 Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: "Dia (Nabi) tidak berkata dari hawa nafsunya, tidak lain ia adalah wahyu yang diwahyukan (Allah) kepadanya." (al-Najm [53]: 3-4)

78 H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 87. 79 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 55. 80 Ibid, 81 Sebagaimana yang dialami oleh nabi Musa as. Proses pewahyuannya berupa

pembicaraan Allah dengan hamba-Nya secara langsung tanpa perantara. Dasarnya Firman Allah yang artinya: "....dan (ketahuilah) Allah telah berbicara langsung dengan Musa." (Al-Nisa' [4]: 164 ).

82 Muhammad Arkoun, Islam Kontemporer…, hal. 41.

Page 19: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

tentang penyelewengan (tahrif) terhadap wahyu Allah dalam kitab-kitab

sebelumnya.

Az-Zarqani secara khusus melukiskan turunnya wahyu ke dalam hati

Muhammad saw melalui perantara Malaikat Jibril dengan beberapa cara.83

Secara garis besarnya dapat diklasifikasikan menjadi dua (2) bentuk; Pertama,

kadangkala Nabi diperlihatkan bentuk rupa malaikat penyampai wahyu

sebagaimana wujud aslinya atau dalam wujud manusia. Ketika malaikat Jibril

datang kepada Muhammad saw dengan menampakkan dirinya sebagai

manusia, para sahabat mampu melihat dan mendengarkannya. Bentuk Kedua

inilah yang paling sering, yakni kedatangan malaikat tanpa memperlihatkan

bentuk rupanya, tetapi Nabi hanya mendengar suara seperti suara lebah atau

suara lonceng. Yang diketahui oleh para sahabatnya hanyalah tanda-tanda

lahiriah seperti merasa adanya beban berat atau berkeringat dan lain

sebagainya.84 Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Aisyah r.a. dalam hadits

al-Bukhari, ketika sahabat Harits bin Hisyam bertanya, "Wahai Rasulallah

bagaimana kedatangan wahyu kepadamu"? Rasulallah menjawab, "Kadangkala

ia datang seperti suara lonceng yang sangat keras namun aku tetap sadar

menangkap suara itu. Kadang-kadang lewat malaikat yang tampil berupa

seorang laki-laki kemudian ia menyampaikan wahyu kepadaku, akupun

menyadari pesan-pesan wahyu tersebut.85 Data-data riwayat seperti ini tidak

disinggung oleh Arkoun, bagi yang menggunakan data-data riwayat (sunnah

dan perkataan sahabat) malah dituduh sebagai muslim ortodoks yang telah

banyak memanipulasi wahyu.

Mengenai bagaimana al-Qu'ran (al-muha bihi) di-tanzil-kan, az-

Zarqani tidak mengartikan secara harfiah bahwa al-Qur'an diturunkan dari

langit, yakni laksana turunnya (tanzil) benda dari atas ke bawah. Alasannya,

karena al-Qur'an bukanlah berupa benda yang membutuhkan tempat. Az-

83 Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi,

hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam. 84 Siti 'Aisyah, Ummul Mu'minin ra. mengatakan: "Pada suatu hari yang amat dingin

kulihat beliau sedang menerima wahyu. Kulihat dahi beliau bercucuran keringat." Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.

85 Redaksi haditsnya lihat Shahih al-Bukhari, Lihat, Shahih al-Bukhari, Bad'ul Wahyi, hadits nomor 2. Hadits diriwayatkan oleh al-Harits bin Hisyam.

Page 20: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Zarqani menganggap bahwa kata tanzil dalam Firman Allah86 dan hadits

Nabi87 dipahami sebagai majas/metafor saja. Baginya tanzil diartikan sebagai

i'lam (pemberitahuan).88

Sebagaimana ulama klasik lainnya, az-Zarqani menjelaskan tanzil-nya

al-Qur'an dengan tiga fase: pertama, al-Qur'an awal mulanya berada di al-lauh

al-Mahfuzh.89 Ditempat ini, al-Qu'ran sudah dalam bentuk yang utuh, yakni

sudah terbentuk dalam lafazh-lafazh yang sistematis seperti sekarang ini.

Tentang bagaimana dan kapan keberadaannya di sana, semua tidak ada yang

mengetahui kecuali Allah swt.90 Ibnu 'Asyur dalam kajian tafsirnya

menjelaskan, bahwa al-Qu'ran sebelum turun ke bumi sudah tertulis91 di al-

lauh al-Mahfuzh sebagaimana Taurat-nya Nabi Musa a.s. Ia terpelihara dari

bentuk tambahan, pengurangan, penyimpangan dan perubahan.92 Pandangan

az-Zarqani ini sangat berbeda dengan Pendapatnya Arkoun. Menurutnya, pada

level ini Kalam Allah masih berupa parole dan belum terkonsepsikan dalam

lafazh-lafazh bahasa Arab. Ia masih berbentuk "ide" atau "ilmu" Tuhan.

Az-Zarqani memang membedakan Kalam Allah menjadi dua, yakni

Kalam nafsi dan Kalam lafdhi. Yang pertama menunjuk pada ke-qadim-an al-

Qur'an yang berwujud ide dan pengetahuan ('ilm) yang telah ada sejak zaman

azali sebelum ter-lafazh-kan dan diwahyukan kepada Nabi Muhammad.93 Jadi

86Diantaranya adalah Firman Allah: �������� ��� ������� ��� ������ �� ���� � � yang artinya: "Dan Kami turunkan

(Al Qur'an itu dengan sebenar-benarnya dan Al Qur'an itu telah turun dengan (membawa) kebenaran". (al-Isra' [17]: 105)

87 Diantaranya adalah hadits : �� �� � ��� ��� �� �� � �� � ! " #� $� yang artinya: "sesungguhnya

al-Qur'an itu diturunkan dengan tujuh huruf" (HR. Al-Bukhari) no. 4706. 88Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 38. 89 Dalam 'ilmu qira'at, bacaan lafadh al-Mahfuzh diriwayatkan dengan dua versi bacaan

yang berbeda. Pertama kata Mahfuzh dibaca dengan katsratain Mahfuzhin sebagai kata sifat dari kata lauhin yaitu penulisan al-Qur'an pertama kali. Maksudnya ialah bahwa apa yang terkandung dan tertulis di dalam lauh sungguh-sungguh terpelihara. Bacaan kedua adlah kata Mahfuzh dibaca marfu' (dammatain) yakni Mahfuzhun berarti posisinya sebagai kata sifat dari kata Qur'anun, sehingga berarti bahwa al-Qur'an terpelihara di lauh. Lihat jalaludin as-Suyuti, al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an, jus 1, (Beirut: al-Maktabah al-Ashriyah, 1988), hal. 116 yang dikutip oleh H.M Idris A. Shomad, Al-Quran Sebagai …, hal. 84-85.

90 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 39. 91 Dasarnya adalah Firman Allah yang artinya: " Dan telah Kami tuliskan untuk Musa

pada luh-luh (Taurat) segala sesuatu sebagai pelajaran dan penjelasan bagi segala sesuatu…". (al-'Araf [7]: 145)

92 Lihat Ibn 'Asyur, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16, hal. 202. 93 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 18.

Page 21: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

segala peristiwa yang termaktub dalam al-Qur'an sudah dalam pengetahuan

Allah semenjak azali. Sebab sifat mengetahui bagi Allah adalah qadim, dan

tidak terbatasi dengan ruang dan waktu.94 Kajian ini menjadi ciri khas ulama

ahli kalam. Yang kedua, Kalam lafdhi, merujuk pada Kalam Allah yang sudah

terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Untuk yang kedua ini, biasanya menjadi

pusat kajian fuqaha. Konsepsinya Arkoun tentang Parole Allah boleh

dikatakan hampir sama dengan dengan az-Zarqani. Bedanya, Arkoun

menyebutkannya untuk yang di al-lauh al-Mahfuzh. Sedangkan az-Zarqani

merujuk pada sifat Kalam Allah sendiri.

Menurut az-Zarqani, meskipun ada perbedaan sudut pandang diantara

ulama ahli ilmu kalam dengan Fuqaha mengenai Kalam Allah, namun mereka

sepakat bahawa al-Qur'an berupa lafazh (Kalam Allah) yang diturunkan (al-

munazzal) kepada Nabi Muhammad saw mulai dari surah al-Fatikhah hingga

surah al-Nas yang ditulis dalam mushaf, ditransmit secara mutawatir, dan

membacanya termasuk ibadah.95 Perbedaan mereka hanya seputar konsentrasi

kajiannya saja.

Fase kedua, setelah al-Qur'an berada di al-lauh al-Mahfuzh kemudian

diturunkan ke langit dunia, bait al-'izzah96 pada malam al-qadar.97 Pada tahap

yang kedua ini, al-Qur'an diturunkan secara keseluruhan, baru kemudian turun

ke bumi selama 20 tahun atau 23 tahun sesuai dengan perbedaan ulama tentang

lama berdiamnya Nabi saw di Makkah setelah diangkat menjadi Rasul.98

94 Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur'an Nasr Hamid

dan Mu'tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-AGUSTUS 2004, hal. 41.

95 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 21. 96 Penamaan bait al-'izzah berdasarkan keterangan Ibn Abbas r.a. beliau berkata: "Allah

menurunkan al-Qur'an sekaligus (dari al-lauh al-makhfud), dan meletakkannya di bait al-'izzah di langit dunia baru kemudian diturunkan oleh Mmalaikat Jibril kepada Nabi Muhammad saw untuk menjawab perkataan manusia dan segala amalnya" lihat at-Thabrani, Mu'jam al-Kabir, Juz 12, (Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam, 1983), hal 32. dalam riwayat yang lain Ibn Abbas berkata; "Al-Qur'an dipisahkan dari ad-Dzikr (al-lauh al-makhfud) kemudian diletakkanya di bait al'izzah di langit dunia baru kemudian Malaikat Jibril as menurunkannya kepada Nabi Muhammad saw." Lihat Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 40. Menurut Imam Suyuti, hadits ini dianggap shahih, karena diriwayatkan oleh Ibnu 'Abbas yang dinilai marfu' kepada Nabi Muhammad saw. Dan diperbolehkan berhujjah dengan hadits ini. Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 40.

97 Dasarnya adalah Firman-Nya: "Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (al-Qur'an) pada malam lailatul qadar." (al-Qadr [97]: 1)

98 Ibid, hal. 40.

Page 22: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Pandangan az-Zarqani ini didukung oleh kebanyakan ulama. Ibnu

Katsir,99 al-Qurthubi,100 as-Syaukani,101 Fahrudin ar-Razi,102 dan yang lainnya

juga memiliki pendapat yang sama dengan az-Zarqani, bahwa sebelum al-

Qur'an disampaikan kepada Nabi Muhammad, ia diturunkan sekaligus ke

langit dunia, yaitu bait al'izzah pada malam al-qadar. Sumbernya adalah

riwayat dari Ibn Abbas r.a. Seperti biasanya, Arkoun juga tidak tertarik dengan

data-data riwayat seperti ini. Apa lagi ini adalah perkataan sahabat Nabi.

Fase ketiga, al-Qur'an diturunkan sedikit demi sedikit (gradual) melalui

perantara malaikat Jibril ke dalam hati Muhammad saw, baru kemudian beliau

mendakwahkannya sebagai hidayah dan pelita kehidupan bagi manusia di

dunia.103 Hikmah diturunkannya secara gradual adalah untuk menguatkan atau

meneguhkan hati Rasulullah saw, tarbiyah bagi umat Islam dari segi keilmuan

dan pengamalan, kesesuaian dengan peristiwa-peristiwa dan pertahapan dalam

penerapan hukum, dan menunjukan bahwa al-Qur'an adalah Kalam Allah

swt104 yang berupa lafazh-lafazh105 yang diturunkan (tanzil) kepada Nabi

Muhammad saw dengan perantara Malaikat Jibril.106

Mengenai apa yang diturunkan oleh Allah, az-Zarqani menjelaskan

bahwa yang dibawa oleh malaikat Jibril adalah al-Qur'an, yang berupa lafazh-

lafazh dalam artian hakiki, mulai dari surah al-Fatikhah hingga surah al-Nas.

Dan lafalh-lafalh tersebut adalah Kalam Allah swt sendiri yang tidak

terkontaminasi oleh perkataan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw.

Dialah Allah yang menyusun107 sendiri lafazh-lafazh al-Qur'an.108 Adapun

99 Lihat Ibn Katsir, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz I, (Daar Thayyibah, 1999), hal 105. 100 Lihat al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II, (tp, tt), hal. 297. 101 Lihat as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I, (tp, tt), hal. 240. 102 Lihat Fahrudin ar-Razi, Mafatih al-Ghaib, Juz 17, (tp, tt), hal. 125. 103 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 42. 104 Ibid, hal. 48-52. 105 Azh-Zhahabi menambahkan sekaligus dengan maknanya. Tanzil al-Qur'an dengan

lafadh dan maknanya adalah definisi yang digunakan oleh jumhur ulama ahli syariah. Lihat Muhammad Husain Azh-Zhahabi, Buhuts fi 'Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa ad-Da'wah, (Mesir: Dar al-Hadits, 2005), hal. 267.

106 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 20. 107 Beberapa riwayat menyebutkan bahwa Nabi Muhammad memberi interuksi kepada

para penulis tentang letak ayat pada setiap surah. Usman menjelaskan baik wahyu itu mencakup ayat panjang maupun satu ayat terpisah, Nabi Muhammad selalu memanggil penulisanya dan berkata, "Letakkan ayat-ayat tersebut ke dalam surah seperti yang beliau sebut." Zaid bin Tsabit menegaskan, "Kami akan kumpulkan al-Qur'an di depan Nabi Muhammad." Menurut Usman bin

Page 23: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

bagaimana caranya Malaikat Jibril mengambil dari Allah swt, az-Zarqani

menjelaskan bahwa Malaikat Jibril mengambil al-Qur'an dari Allah swt.

dengan cara sima'an (mendengarkan).109 Yakni mendengarkan Kalam Allah

yang berupa lafazh-lafazh-Nya tadi.110

Mengenai bahasa al-Quran, az-Zarqani berpandangan bahwa bahasa

yang dipakai oleh al-Qur'an adalah bahasa yang disusun sendiri oleh Allah swt.

tanpa ada campur tangan Malaikat Jibril atau Nabi Muhammad saw, lebih-

lebih terkonstruk oleh sosial budaya masyarakat Arab. Lebih lanjut az-Zarqani

mengatakan bahwa al-Qu'ran adalah sumber tata bahasa Arab.111 Pemahaman

az-Zarqani di atas sangat berbeda dengan Arkoun, dengan teori ilmu linguistik-

semiotik modern Arkoun menamakan Kalam Allah sebagai parole, yang ketika

di al-lauh al-Mahfuzh belum terkonsepsikan dalam lafazh-lafazh. Agar parole

ini mampu dipahami oleh manusia dibumi, maka parole harus menyesuaikan

diri dengan bahasa manusia yang disitilahkan dengan langue, dimana parole

harus tunduk dengan sistem bahasa, sosial dan budaya manusia. Dari sinilah

Arkoun mengatakan bahwa al-Quran telah terkontaminasi oleh sejarah

manusia yang profan. Maka dari itu, al-Qur'an yang sekarang ini tidak layak

diberi label sakral.

Pandangan az-Zarqani tentunya sangat argumentatif. Hal ini dikuatkan

oleh al-Attas. Menurutnya justru Al-Qur'an telah mengislamkan bahasa Arab Abi al-'As, Malaikat Jibril menemui Nabi Muhammad memberi perintah akan penempatan ayat tertentu. Lihat M. M. al-A'zami, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, (Jakarta: Gema Insani, 2005), hal. 75.

108Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 43-44. 109 Ibid., hal. 43. Dasarnya adalah Firman Allah, yang artinya: "Dan apabila dibacakan

kepada mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang-orang yang tidak mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata: "Datangkanlah Al Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia". Katakanlah: "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku sendiri. Aku tidak mengikut kecuali apa yang diwahyukan kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai Tuhanku kepada siksa hari yang besar (kiamat)." (Yunus [10]: 15)

110 Ada yang mengatakan bahwa Jibril menghafalnya dari al-lauh al-Mahfuzh. Selain itu ada yang mengatakan bahwa maknanya disampaikan kepada Jibril, sedang lafadh-nya adalah redaksi dari Malaikat Jibril, atau dari lafadh-nya Nabi Muhammad saw. Menurut Manna' Khalil al-Qattan, pendapat pertama tidak bisa dijadikan pegangan, sebab adanya al-Qur'an di al-lauh al-Mahfuzh itu seperti hal-hal ghaib lainnya. Dan pendapat ketiga lebih sesuai untuk Hadits, sebab Hadits itu wahyu dari Allah kepada Malaikat Jibril, kemudian disampaikan kepada Nabi Muhammad saw secara maknawi saja. Kemudian hal itu diungkapkan dengan ungkapan beliau sendiri. Dan oleh sebab itulah diperbolehkan meriwayatkan hadits menurut maknanya, sedang al-Qur'an tidak. Lihat Manna' Khalil al-Qattan, Mabahits…, hal. 35-36.

111 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal.12.

Page 24: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

pra-Islam, yang pada waktu itu masih mencerminkan pandangan dunia jahiliah,

dengan cara menyusun dan membentuk kembali struktur konsep, bidang-

bidang semantik dan perbendaharaan katanya. Karena bahasa Arab yang

dibawa oleh al-Qur'an adalah bahasa Arab bentuk baru. Sejumlah kosa-kata

pada saat itu telah di Islamkan maknanya. Khususnya istilah-istilah dan

konsep-konsep kunci, yang digunakan untuk memproyeksikan hal-hal yang

bukan dari pandangan hidup Islam.112

Beberapa contoh konkrit yang dipaparkan oleh al-Attas adalah kata

penghormatan (muruwwah) dan kemuliaan (karam). Dua kata tersebut adalah

bagian dari sejumlah elemen penting dalam pandangan dunia kehidupan pr-

Islam yang maknanya berhubungan erat dengan kepemilikan banyak anak,

kekayaan dan karakter tertentu yang dianggap mencerminkan kejantanan. Al-

Qur'an mengubah makna tersebut dengan sangat mendasar, dengan

memperkenalkan faktor kunci, ketakwaan (taqwa). Al-Qur'an menyebutkan:

"Sesungguhnya yang paling mulia disisi Tuhanmu adalah orang yang paling

bertakwa."113

Selain itu, al-Qur'an juga merubah semantik dasar dari kata karim.

Kemuliaan disini diasosiasikan dengan al-Qur'an: Kitab Karim atau ucapan

kepada orang tua dengan qaul karim. Padahal orang-orang Arab sebelum Islam

tidak pernah menghubungkan kemuliaan dengan buku-buku, kata-kata (words

or speech), sekalipun mereka sangat menghargai kemampuan pengarang dan

membaca puisi. Contoh lain terjadi juga kepada kata persaudaraan (ikhwah),

yang berkonotasi kekuatan dan kesombongan kesukuan, yang terkait dengan

darah, dan tidak merujuk kepada makna lain. Al-Qur'an lagi-lagi mengubah ini

dengan memperkenalkan gagasan persaudaraan yang dibangun atas dasar

keimanan, yang lebih tinggi daripada persaudaraan darah.114

112 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan..., hal. 341. 113 Ayat al-Qur'annya adalah surat al-Hujuraat ayat 13 yang artinya: "Hai manusia,

sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal."

114 Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan..., hal. 342.

Page 25: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Jika lafazh dan bahasa al-Qur'an terpengaruh oleh sejarah dan sosial

budaya Arab, maka bahasa al-Qur'an akan dengan mudah dipahami oleh orang

Arab pada saat itu. Ternyata, bukan hanya saat itu saja, sekarang pun tak

semua orang Arab bisa memahaminya. Tidak semua kata di dalam al-Quran

dapat dipahami sahabat. Abdullah ibn Mas’ud tidak tahu makna fathara. Pun,

Abu Bakr dan Umar soal makna abb. Selain itu, wujud al-ahruf al-muqata’ah

di dalam al-Quran tidak sesuai dengan perkembangan sastra Arab saat itu115

Melihat kenyataan tersebut di atas, tesis Arkoun mengenai bahasa Arab

al-Qur'an (wahyu langue) terpengaruh atau harus menyesuaikan dengan situasi

sosial atau semantik bahasa Arab pra-Islam, adalah tidak tepat. Justru

sebaliknya, al-Qur'an telah merubah budaya pagan Arab dan pandangan

hidupnya serta semantik bahasa Arab.

Selain itu, Arkoun juga mempermasalahkan urutan surah dan ayat

dalam al-Qur'an. Kenyataan yang ada sekarang, baginya sangat menyulitkan

untuk menguraikan kembali situasi wacana yang dapat membantu untuk

menyusun kembali tindak penuturan lisan al-Qur'an. Namun bagi az-Zarqani,

mengutip pendapatnya jumhur ulama, suasana wacana tanzil al-Qur'an (asbab

an-nuzul) tidaklah menjadi orientasi penafsiran atau pengambilan hukum.

Yang menjadi pegangan adalah lafazh yang umum dan bukan sebab yanng

khusus (al-'ibrah bi 'umum al-lafazh la bi khusus as-sabab). Asbab an-nuzul

hanya berfungsi sebagai penjelas saja. Jadi mengenai urutan surah atau ayat al-

Qu'ran bukan menjadi problem, karena yang berwenang membuat urutan

tersebut adalah Allah sang Pemilik al-Qur'an.116

Banyak riwayat yang mengetengahkan tentang tartib surah dan ayat al-

Qur'an. Diantaranya Ubbay bin Ka'b menjelaskan, "Kadang-kadang permulaan

surah itu diwahyukan kepada Nabi Muhammad, kemudian saya

menuliskannya, dan wahyu yang lain turun pada beliau lalu berkata, "Ubbay!

Tulislah ini dalam surah yang menyebut ini dan itu." Dalam kesempatan lain

wahyu diturunkan kepada beliau dan saya menunggu perintah yang hendak

115 Lihat Adnin Armas, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam

http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas diambil tanggal 6 Juni 2010.

116 Lihat selengkapnya M. M. al-A'zami, Sejarah Teks…, hal. 74.

Page 26: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

diberikan sehingga beliau memberi tahu tempat yang sesuai dari suatu ayat."

Mengenai penamaan surah juga sudah ada pada waktu zaman Nabi. Abu

Mas'ud al-Badri memberi laporan bahwa Nabi Muhammad bersabda, "Ayat

terakhir dari surah al-Baqarah dapat mencukupi bagi siapa saja yang membaca

di waktu malam."117

Melihat kenyataan adanya perbedaan dalam perintah meletakkan ayat-

ayat dalam surah tertentu, serta keunikan susunan al-Qur'an yang merupakan

wewenang Allah, telah memberi peluang tiap surah berfungsi sebagai satuan

bebas, independen unit, di mana tidak tergantung pada kronologi turunnya

ayat-ayat al-Qur'an. Dalam hal ini, upaya Arkoun yang menekankan wacana

Qur'ani dari pada teks-teks al-Qur'an (al-'ibrah bi khusus as-sabab, la bi

'umum al-lafzh) adalah kurang tepat.

Masih menurut informasi az-Zarqani, ulama telah bersepakat,

dimanapun tempat al-Qu'ran dibaca ia tetap Kalam Allah, ketika ia di al-lauh

al-Mahfuzh yang selalu dijaga, ketika ia tertulis di atas mushaf atau kulit,

terukir di atas batu, dihafal dalam hati, diucapkan oleh lisan, ia tetap Kalam

Allah yang masih terjada baik lafazh maupun maknanya. Siapa saja yang

mengingkarinya dia telah kafir.118 Di sini, Arkoun berbeda dengan az-Zarqani.

Ia mengatakan bahwa al-Qur'an yang sekarang ini sudah tidak sama lagi ketika

masih di al-lauh al-mahfuzh, baik lafazh maupun maknanya.

Pandangan az-Zarqani ini bukannya tanpa alasan. Dengan pemahaman

bahwa al-Qur'an adalah petunjuk (hudan) bagi manusia, sudah seharusnya

pesan-pesan Allah dapat termuat seluruhnya dalam al-Qur'an atau wahyu yang

di-tanzil-kan. Jadi mana mungkin Allah tidak kuasa memasukkan semua

pesan-pesan-Nya dalam wahyu yang di-tanzil-kan. Kalau pemikirannya

Arkoun diterapkan, berarti Allah belum menurunkan al-Qur'an dengan

sempurna. Anggapan ini bertentangan dengan Firman Allah sendiri yang

117 Ibid, hal. 76 118 Muhammad 'Abd al-'Adzim az-Zarqani, Manahil al-'Irfan…, hal. 19.

Page 27: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

menyatakan bahwa agama Islam/al-Qur'an telah diwahyukan dengan sempurna

kepada umat manusia.119 Dalam hal ini, argumentasi Arkoun tidaklah tepat.

Di sini az-Zarqani tidak mempermasalahkan adanya standarisasi

mushaf al-Qur'an. Berbeda dengan Arkoun, ia menganggapnya bahwa dengan

adanya standarisasi mushaf berakibat hilangnya makna-makna yang sama

persis ketika pada masa kenabian. Pandangan az-Zarqani dikuatkan oleh

Isma'il Raji al-Faruqi. Ia menyatakan bahwa makna bentukan al-Quran, yakni

makna yang sama persis ketika masa kenabian tidaklah berubah secara

konseptual dan semantiknya, meskipun perbendaharaan kata-kata akarnya

telah sedikit bertambah untuk mengimbangi perkembangan-perkembangan

baru.120

Dalam memahami mushaf al-Qur'an, Arkoun memang salah paham, ia

menganggap yang namanya al-Qur'an untuk saat ini adalah mushaf yang sudah

dibakukan. Anggapan ini tidaklah benar, masalahnya, pada dasarnya al-Qur'an

bukanlah tulisan (rasm atau writing) atau mushaf, ia merupakan "bacaan"

(qiraat atau recitation) dalam arti ucapan dan sebutan. Proses pewahyuannya

maupun cara penyampaian, pengajaran dan periwayatannya dilakukan melalui

lisan dan hafalan, bukan tulisan. Sejak zaman dahulu, yang dimaksud dengan

membaca al-Qur'an adalah membaca dari ingatan. Tulisan hanya berfungsi

sebagai penunjang semata.121

Menurut Abdul Shabur Syahin, penulisan al-Qur'an atau dibakukannya

dalam sebuah Mushaf berfungsi untuk memelihara teks secara valid, sehingga

setiap generasi dapat mengetahui tentang hakikatnya.122 Lagi pula, dengan

adanya Mushaf standar, hukum bacaan beserta cara membacanya masih

tersimpan dengan baik sampai sekarang. Sudah menjadi maklum, kalau ingin

memperbaiki bacaan al-Qur'an, tidak mungkin dapat tecapai, kecuali dengan

mempelajarinya dari orang-orang yang mempelajari bacaan al-Qur'an dengan

119 Lihat al-Maidah ayat 3 yang artinya: "…Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk

kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridai Islam itu jadi agama bagimu..."

120 Isma'il Raji al-Earuqi, Tauhid, (Bandung: Pustaka, 1988), hal. 29. 121 Syamsudin Arif, Orientalis…, hal. 10. 122 Abdul Shabur Syahin, Saat al-Qur'an Butuh Pembelaan, (Jakarta: Erlangga, 2005), hal.

110.

Page 28: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

metode langsung dan sima'i kepada para ahli baca al-Qur'an, 123 bukan kepada

orang Mushafi atau shahafi.124

D. Analisis dan Kesimpulan

Konsepsi kedua cendekiawan muslim di atas mengenai Kalam Allah,

wahyu, al-Qur'an dan tanzil-nya sangat berbeda sekali. Berbagai pendekatan

ilmu modern, yang dipakai Arkoun untuk merekonstruksi konsep tanzil al-

Qur'an, telah meletakannya pada status immanen. Dan pada akhirnya, Arkoun

menyamakan status al-Qur'an dengan kitab suci agama lainnya, seperti Taurat

dan Injil, yang secara historis dan teologis sudah memiliki problem tersendiri.

Tujuannya Arkoun dengan dekonstruksi dan rekonstruksi tanzil al-Qur'an

adalah agar ia tidak dianggap sakral lagi sehingga dapat dikaji dengan kritis

seperti Taurat dan Injil.

Anggapan Arkoun mengenai tanzil dan al-Qur'an, semuanya keliru.

Dan sekalil lagi penulis tegaskan, al-Qur'an adalah Kalam Allah yang di-tanzil-

kan oleh-Nya kepada Nabi Muhammad, lafazh dan maknanya serta tartib surah

maupun ayatnya, melalui perantara Malaikat Jibril. Al-Qur'an yang tertulis atau

dihafal semuanya adalah Kalam Allah, dan tidak ada permasalahan mengenai

transformasi al-Qur'an dari lisan (orale) ke tulisan, pasalnya tulisan al-Qur'an

selalu mengikuti bacaan lisan. Selain itu, tulisan berfungsi sebagai penunjang

semata.

123 Ibid, hal. 25. 124 Para ahli baca al-Qur'an tempo dulu mengatakan, "Janganlah kalian mempelajari dari

orang mushafi. Dan jangan pula kalian mengambil ilmu dari seorang shahafi." Yang dimaksud dengan mushafi adalah orang yang mempelajari al-Qur'an dan ia bersandar pada bacaan yang terdapat dalam mushaf, tanpa ada seorang ahli bacaan yang memperbaiki dan meluruskan bacaannya. Sedang yang dimaksud dengan shahafi adalah orang yang mengambil ilmu dari mushaf-mushaf, bukan dari ulama. Lihat Ibid, hal. 25-26.

Page 29: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

DAFTAR PUSTAKA

Al-Qur'an al-Kariim Adian Husaini dan Henri Salahudin, Studi Komparatif: Konsep al-Qur'an Nasr

Hamid dan Mu'tazilah, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 2/JUNI-AGUSTUS 2004

Al-A'zami, M. M., 2005, Sejarah Teks al-Qur'an dari Wahyu sampai

Kompilasi: Kajian Perbandingan dengan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, alih bahasa: Sohirin Solihin dan Anis Malik Toha, Jakarta: Gema Insani

Al-Qattan, Manna' Khalil, 1990, Mabahits fi 'Ulum al-Qur'an, Riyadh:

Mansyurat al'Ashr al-Hadits al-Qurthubi, Tafsir al-Qurthubi, Juz II Arif, Syamsudin, Prinsip-prinsip Dasar Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA,

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005

------------, 2008, Orientalis dan Diabolisme Pemikiran, Jakarta: Gemas Insani Arkoun, Muhammad, 1995, Min Faishal at-Tafriqah lia Fashl al-Maqal: Aina

Huwa al-Fikr al-Islamy al-Mu'ashir, alih bahasa: Hasyim Shalih, Beirut: Dar al-Saqi

------------, 2005, Islam Kontemporer Menuju Dialog Antar Agama, alih

bahasa: Ruslani, Yogyakarta: Pustaka Pelajar ------------, 1996, Rethinking Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar ------------, 1998, al-fikr al-Islamy Naqd wa Ijtihad, alih bahasa hasyim Shalih,

London: Dar al-Saqi ------------, 1998, Kajian Kontemporer Al-Quran, alih bahasa: Hidayatullah,

Bandung: Pustaka ------------, 2003, al-Fikr al-Usuli wa Istilahat al-Ta'sil Nahwa Tarikhin Akhar

lil Fikr al-Islami, alih bahasa Hasyim Shalih, London: Dar al-Saqi Armas, Adnin Gagasan Fithjof Schuon tentang Titik-temu Agama-agama,

dalam dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN 1 NO. 3/SEPTEMBER-NOVEMBER 2004

Page 30: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

.................., 2005, Metodologi Bible dalam Studi Al-Quran: Kajian Kritis, Jakarta: Gema Insani

---------------, Kritik terhadap Teori al-Quran Nasr Hamid, dalam

http://insistnet.com/index.php?ption=com_content&view=article&id=46:kritik-terhadap-teori-al-quran-nasr-hamid-&catid=8:adnin-armas

ar-Razi, Fahrudin Mafatih al-Ghaib, Juz 17 as-Syaukani, Fath al-Qadir, Juz I 'Asyur, Ibn, at-Tahrir wa at-Tanwir, jus 16 at-Thabrani, 1983, Mu'jam al-Kabir, Juz 12, Maktabah al-'Ulum wa al-Hikam Azh-Zhahabi, Muhammad Husain, 2005, Buhuts fi 'Ulum Tafsir wa al-Fiqh wa

ad-Da'wah, Mesir: Dar al-Hadits az-Zarqani, Muhammad 'Abd al-'Adzim, 1995, Manahil al-'Irfan fi 'Ulum al-

Quran, juz I, Beirut: Dar al-Kitab al-'Arabi Baedhowi, 2009, Antropologi Al-Qur'an, Yogyakarta: Lkis Barthes, Roland, 2007, Petualangan Semiologi, alih bahasa: Stephanus Aswar

Herwinarko, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Bertens, K. 2006, Filsafat Barat Kontemporer Prancis, Jakarta: Gramedia

Pustaka Utama Bleicher, Josef, 2007, Hermeneutika Kontemporer: Hermeneutika Sebagai

metode, Filsafat, dan kritik, alih bahasa: Imam Khoiri, Yogyakarta: Fajar Pustaka

Choir Thohatul dkk, 2009, Islam dalam Berbagai Pembacaan Kontemporer,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar Daud, Wan Mohd Nor Wan, 2002, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam Syed

M. Naquib Al-Attas, alih bahasa: Hamid Fahmy Zarkasy dkk., Jakarta: Mizan

Delfgaauw, Bernard, 2001, Filsafat Abad 20, alih bahasa: Soejono

Soemargono, cet. Kedua, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Yogya Ghazali, Abd Moqsith dkk., 2009, Metodologi Studi Al-Qur'an, Jakarta:

Gramedia

Page 31: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Harb, Ali, 2003, Kritik Nalar al-Qur'an, alih bahasa: M. Faisol Fatawi, Yogyakarta: LkiS

Hick, John, 2006, Tuhan Punya Banyak Nama, alih bahasa: Amin Ma'ruf dan

Taufik Aminuddin, Yogyakarta: Interfidei Hidayat, Asep Ahmad, 2006, Filsafat Bahasa: Mengungkap Hakikat bahsa,

Makna dan Tanda, Bandung: PT Remaja Rosda Karya http://ianaja.multiply.com/reviews/item/17, diambil pada tanggal 8 April 2010 http://islamlib.com/id/artikel/cara-membaca-al-quran/Diposting tanggal 09 Juli

2002 Ibn Katsir, 1999, Tafsir al-Qur'an al-'Adzim, Juz I, Daar Thayyibah Muslih, Mohammad, 2008, Filsafat Ilmu: Kajian atas Asumsi Dasar

Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta: Belukar

O'Donnell, Kevin, 2009, Postmodernisme, Yogyakarta: Kanisisus Saenong, Ilham B., 2002, Hemeneutika Pembebasan: Metodologi Tafsir al-

Qur'an Menurut Hasan Hanafi, Teraju: Jakarta Salim, Fahmi, 2010, Kritik terhadap Studi al-Qur'an Kaum Liberal, Jakarta:

Perspektif Shalahuddin, Henri, 2007, al-Qur'an Dihujat, Jakarta: al-Qolam Shahih al-Bukhari Sholihan, 2009, Mohammad Arkoun dan Kritik Nalar Islam: mengkritik

Ortodoksi Membangun Islam Masa Depan, Semarang: Walisongo Press

Shomad, H.M Idris A., Al-Qu'ran Sebagai Wahyu Ilahi, dalam Al-Insan, Jurnal

Kajian Islam, Vol. 1. No. 1. Januari 2005 Solihu, Abdul Kabir Hussain, Hermeniutika Al-Qur'an menurut Arkoun:

Sebuah Kritik, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN I No.2/Juni-Agustus 2004

Sumaryono, E., 1993, Hermeneutika Sebuah Metode Filsafat, Yogyakarta:

Kanisius Sunan Abu Daud

Page 32: Studi Komparatif Konsep Tanzil Arkoun Dan Az-zarqani

Syahin, Abdul Shabur, 2007, Tarikh al-Quran, Mesir: Nahdlah Mishr Wijaya, Aksin, 2004, Menggugat Otentisitas Wahyu Tuhan: Kritik Atas Nalar

Taesir Gender, Yogyakarta: Safira Insani Press Yusuf al-Qaradawi, 1995, Al-Islam Hadharat Al-Gharb, Cairo: Maktabah

Wahbah Zarkasy, Hamid Fahmy, Barat, dalam ISLAMIA, Majalah Pemikiran dan

Peradaban Islam, THN I No.1/MUHARRAM 1425 ------------, Worldview Sebagai Asas Epistemologi Islam, dalam ISLAMIA,

Majalah Pemikiran dan Peradaban Islam, THN II No.5 April-Juni 2005