STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM Penulisan Hukum (Skripsi) Disusun dan diajukan untuk Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta Oleh Imam Mualim Kusuma Hadi NIM : E.0003348 FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2008
89
Embed
STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN …/Studi...KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM” Penulisan hukum ini membahas mengenai perbandingan sanksi pidana
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN
DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA
(KUHP) DENGAN HUKUM ISLAM
Penulisan Hukum (Skripsi)
Disusun dan diajukan untuk
Melengkapi Persyaratan Guna Meraih Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Oleh
Imam Mualim Kusuma Hadi NIM : E.0003348
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA
2008
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB
UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM
ISLAM
Disusun oleh :
IMAM MUALIM KUSUMA HADI NIM : E.0003348
Disetujui untuk Dipertahankan
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II Rofikah, S.H., M.H. M. Adnan, S.H., M.Hum. NIP. 131 287 424 NIP. 131 411 014
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skripsi)
STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN HUKUM
ISLAM
Disusun oleh : IMAM MUALIM KUSUMA HADI
NIM : E. 0003348
Telah diterima dan disahkan oleh Tim Penguji Penulisan Hukum (Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
pada : Hari : Tanggal :
TIM PENGUJI
1. Sabar Slamet, S.H.,M.H. : …………………………………….. Ketua 2. M. Adnan, S.H.,M.Hum. : …………………………………….. Sekretaris 3. Rofikah, S.H.,M.H. : …………………………………….. Anggota
MENGETAHUI Dekan,
Moh. Jamin, S.H., M.Hum. NIP. 131 570 154
Kata Pengantar
Bismillahirrohmanirrohiim
Alhamdulillahirobbil’alamiin. Segala puji dan syukur senantiasa penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan limpahan rahmat dan hidayah-Nya
penulis dapat menyelesaikan penulisan hukum (skripsi) yang berjudul :
“STUDI KOMPARASI SANKSI PIDANA PEMBUNUHAN DALAM
KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM PIDANA (KUHP) DENGAN
HUKUM ISLAM”
Penulisan hukum ini membahas mengenai perbandingan sanksi pidana
pembunuhan yang diatur dalam KUHP dan yang diatur menurut hukum Islam.
Dimana kedua sistem hukum tersebut terdapat perbedaan dalam memberikan
sanksi terhadap pelaku tindak pidana pembunuhan.
Penulis menyadari bahwa penulisan hukum ini tidak akan terwujud tanpa
adanya bantuan, motivasi, dan bimbingan dari berbagai pihak, baik secara
langsung maupun tidak langsung. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Bapak Moh. Jamin, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret dan selaku Dosen Pembimbing Akademik yang selalu
memberikan nasehat dan masukan akademis pada penulis
2. Ibu Rofikah S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I yang
membimbing, mengarahkan, dan menerima kehadiran penulis untuk
berkonsultasi dengan tangan terbuka hingga penulis dapat menyelesaikan
penulisan hukum ini.
3. Bapak M. Adnan S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II dan
Ketua Bagian Hukum dan Masyarakat Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing dan memberikan
pengarahan kepada penulis dalam rangka penyelesaian penulisan hukum ini.
4. Bapak dan Ibu Dosen beserta segenap karyawan Fakultas Hukum Universitas
Sebelas Maret.
5. Keluarga besarku, semua adik dan kakakku, dan semua keponakanku, terima
kasih atas dukungannya.
6. Untuk seseorang yang jauh dimata dekat dihati “Ayi” yang senantiasa
merupakan salah satu cara yang digunakan dalam penelitian normatif
untuk membandingkan salah satu lembaga hukum dari sistem hukum yang
satu dengan sistem hukum yang lain. Dari perbandingan tersebut dapat
ditemukan unsur-unsur persamaan dan perbedaaan kedua sistem hukum
tersebut. Dalam hal ini ialah sistem hukum pidana (KUHP ) dan hukum
Islam.
4. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data
sekunder, yaitu data yang tidak diperoleh langsung dari sumbernya, tetapi
diperoleh dari bahan pustaka, antara lain buku-buku, literatur, peraturan
perundang-undangan, hasil penelitian terdahulu, artikel, internet dan
sumber lain yang berkaitan dengan penelitian ini.
5. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian normatif adalah
sumber data sekunder, yaitu data yang bersumber dari bahan-bahan
kepustakaan, berupa dokumen, buku, laporan, arsip, dan literatur-literatur
yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sumber data sekunder yang
akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer dalam penelitian ini antara lain : Al
Qur’an, Hadist Rasulullah SAW dan Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder sebagai pendukung dari data sekunder
bahan hukum primer yang akan digunakan dalam penelitian ini yaitu
terdiri atas : buku- buku teks yang ditulis oleh ahli hukum, dokumen
resmi, karya ilmiah, artikel, dan internet. c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan
petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan
hukum sekunder, yaitu kamus maupun ensiklopedia.
6. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah studi kepustakaan, yaitu pengumpulan data sekunder dari peraturan
perundang-undangan, buku-buku, dokumen, artikel, dan pengumpulan
data yang diambil melalui internet, yang digunakan sebagai data
penunjang dalam penulisan penelitian hukum.
7. Teknik Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, teknik analisis data yang
digunakan adalah non statistik. ”Analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengurutkan data ke dalam pola, kategori, dan
satuan uraian dasar, sehingga dapat ditentukan tema dan dapat dirumuskan
menjadi hipotesis kerja seperti yang terdapat di dalam data” (Lexy J.
Moleong, 2002: 103). Teknik analisis data dalam penelitian penting agar
data-data yang sudah terkumpul, kemudian dianalisis agar dapat
menghasilkan jawaban yang dapat dipertanggungjawabkan dari
permasalahan.
Teknis analisis data yang dipergunakan peneliti dalam penelitian
ini adalah teknik analisis data yang bersifat content analysis, yaitu teknik
analisis data dengan cara mengkaji isi suatu data sekunder yang sudah
dikumpulkan agar disusun, kemudian dijelaskan dari materi perundang-
undangan.
F. Sistemetika Penulisan Hukum
Untuk memberikan gambaran yang menyeluruh mengenai sistematika
penulisan hukum yang sesuai dengan aturan baru dalam penulisan hukum,
maka penulis menyiapkan suatu sistematika penulisan hukum. Adapun
sistematika penulisan hukum ini terdiri dari 4 (empat) bab, yang tiap-tiap bab
terdiri dari sub-sub bagian yang dimaksud untuk memudahkan pemahaman
terhadap keseluruhan hasil penelitian ini. Sistematika penulisan hukum
tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHULUAN
Dalam bab ini diuraikan mengenai latar belakang
masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian,
metodelogi penelitian, dan sistematika penulisan hukum.
BAB II : TINJAUAN PUSTAKA
Dalam bab kedua ini diuraikan mengenai tinjauan tentang
hukum pidana, didalamnya menjelaskan mengenai pengertian
hukum pidana, tindak pidana, fungsi dan tujuan hukum pidana,
tinjauan mengenai teori pemidanaan, jenis-jenis sanksi dalam
hukum pidana. Tinjauan mengenai Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP), yang menjelaskan tentang sejarah
berlakunya KUHP di Indonesia dan sistematika KUHP. Tinjauan
mengenai hukum Islam, didalamnya menjelaskan mengenai
pengertian Islam, sumber-sumber hukum Islam, dan tinjauan
mengenai hukum pidana Islam. Terakhir tinjauan mengenai
tindak pidana pembunuhan.
BAB III : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Dalam bab ini penulis membahas sekaligus menjawab
permasalahan yang telah ditentukan sebelumnya yaitu tentang
perbandingan penerapan sanksi pidana pembunuhan yang diatur
dalam hukum Islam dan dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP).
BAB IV : PENUTUP
Dalam bab ini berisi tentang kesimpulan atas
permasalahan yang telah dibahas dan saran dari penulis setelah
melakukan penelitian atas penulisan hukum ini.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan mengenai Hukum Pidana
a. Pengertian Hukum Pidana
Hukum pidana adalah sistem aturan yang mengatur semua
perbuatan yang tidak boleh dilakukan (yang dilarang untuk dilakukan)
disertai sanksi yang tegas bagi setiap pelanggar aturan pidana tersebut,
serta tata cara yang harus dilalui bagi para pihak yang berkompeten
dalam penegakannya. Dari isi atau materi yang diatur, hukum pidana terdiri atas
hukum pidana umum dan hukum pidana khusus. Hukum pidana umum
adalah hukum pidana yang dari sisi subjek atau pelakunya serta dari
jangkauan berlakunya mengatur seluruh manusia yang berada pada
wilayah Indonesia, tanpa pengecualian. Hukum pidana umum pada
prinsipnya sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP). Hukum pidana khusus adalah hukum pidana yang berlaku bagi
orang-orang yang mempunyai kualifikasi khusus atau tertentu di wilayah Indonesia dan memiliki peraturan yang tersendiri diluar ketentuan yang ada dalam KUHP. Misalnya, hukum pidana militer, dimana hukum pidana ini berlaku bagi anggota militer, hukum pidana ekonomi, yaitu hukum pidana yang berlaku pada bidang perekonomian Indonesia, yaitu semua kegiatan yang mengakibatkan kerugian atau kelemahan perekonomian Indonesia, contoh : korupsi, kejahatan perbankan ( Ilham Bisri, 2004: 40-41).
Menurut Moeljatno, dalam bukunya Asas-asas Hukum Pidana,
pengertian hukum pidana adalah bagian daripada keseluruhan hukum
yang berlaku disuatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-
aturan untuk:
1) Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh
dilakukan, yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi
yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa melanggar larangan
tersebut.
2) Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang
telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan pidana
sebagaimana yang telah diancamkan.
3) Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut (Moeljatno, 1980 :1).
Disamping definisi tersebut diatas, Simons memberikan
definisi hukum pidana sebagai berikut :
1) Keseluruhan larangan atau perintah yang oleh Negara diancam
dengan nestapa yaitu suatu “pidana” apabila tidak ditaati
2) Keseluruhan peraturan yang menetapkan syarat-syarat untuk
penjatuhan pidana
3) Keseluruhan ketentuan yang memberikan dasar untuk penjatuhan
dan penerapan pidana (Sudarto, 1990: 9). Dalam menentukan definisi hukum pidana menurut ilmu
pengetahuan, Pompe membedakan beberapa golongan pendapat
(Bambang Poernomo, 2000 :19-20) :
1) Hukum pidana adalah hukum sanksi.
Definisi ini diberikan berdasarkan ciri hukum pidana yang
membedakan dengan lapangan hukum yang lain yaitu bahwa
hukum pidana sebenarnya tidak membedakan norma sendiri
melainkan sudah terletak pada lapangan hukum lain, dan sanksi
pidana diadakan untuk menguatkan ditaatinya norma-norma diluar
hukum pidana.
2) Hukum pidana adalah keseluruhan aturan ketentuan hukum
mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dihukum dan aturan
pidananya.
b. Pengertian Tindak Pidana
Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam
hukum pidana Belanda yaitu Strafbaar feit. Terdapat banyak
perbedaan pendapat dari para ahli hukum mengenai pengertian istilah
Strafbaar feit ini. Pompe merumuskan bahwa suatu Strafbaar feit
sebenarnya adalah suatu tindakan yang menurut rumusan undang-
undang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum.
Sedanglan Vos merumuskannya sebagai suatu kelakuan manusia yang
diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan (Adami Chazawi,
2005: 72). Menurut Moeljatno, suatu tindak pidana setidaknya harus
mengandung tiga unsur pokok, yaitu :
1) Perbuatan
2) Dilarang oleh aturan hukum
3) Adanya ancaman pidana bagi yang melanggarnya
Apabila terdapat salah satu unsur yang tidak terpenuhi, maka suatu
perbuatan tidak dapat disebut sebagai tindak pidana.
Simons menyebutkan, adanya unsur objektif dan subjektif
dalam tindak pidana, yang termasuk unsur objektif yaitu :
1) Perbuatan orang
2) Akibat yang kelihatan dari perbuatan itu
3) Adanya keadaan tertentu yang menyertai perbuatan itu.
Sedangkan unsur subjektif dari tindak pidana ialah :
1) Orang yang mampu bertangguang jawab;
2) Adanya kesalahan (dolus atau culpa). Perbuatan harus dilakukan
dengan kesalahan (Sudarto, 1990 : 41).
J.E. Jokers memberikan definisi strafbaar feit menjadi dua
pengertian (Bambang Poernomo, 2000 :91) :
1) Definisi pendek memberikan pengertian strafbaar feit adalah suatu
kejadian (feit) yang dapat diancam pidana oleh undang-undang
2) Definisi panjang atau yang lebih mendalam memberikan
pengertian strafbaar feit adalah suatu kelakuan yang melawan
hukum berhubung dilakukan dengan sengaja atau alpa oleh orang
yang dapat dipertanggungjawabkan. Dari beberapa definisi tentang strafbaar feit diatas, secara garis
besar dapat diambil dua arti yaitu menunjuk pada perbuatan yang
diancam dengan pidana oleh undang-undang, dan menunjuk kepada
perbuatan yang melawan hukum yang dilakukan dengan kesalahan
oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan.
c. Fungsi dan Tujuan Hukum Pidana
Secara umum hukum pidana berfungsi mengatur dan
menyelenggarakan kehidupan masyarakat agar dapat tercipta dan
terpeliharanya ketertiban umum. Manusia hidup dipenuhi oleh
berbagai kepentingan dan kebutuhan. Dalam rangka memenuhi
kebutuhan dan kepentingan ini, manusia bersikap dan berbuat. Agar
sikap dan perbuatannya tidak merugikan hak dan kepentingan pihak
lain, hukum memberikan batasan-batasan sehingga manusia tidak
sebebas-bebasnya berbuat dan bertingkah laku. Fungsi yang demikian
itu terdapat pada setiap jenis hukum termasuk hukum pidana. Oleh
karena itu, fungsi yang demikian disebut dengan fungsi umum hukum
pidana. Sedangkan secara khusus hukum pidana berfungsi sebagai
berikut :
1) Melindungi kepentingan hukum dari perbuatan yang menyerang
atau memperkosanya
2) Memberi dasar legitimasi bagi negara dalam rangka menjalankan
fungsi negara mempertahankan kepentingan hukum yang
dilindungi
3) Mengatur dan membatasi kekuasan negara dalam rangka
menjalankan fungsi negara mempertahankan kepentingan hukum
yang dilindungi (Adami Chazami, 2005: 16-20). Tujuan hukum pidana (strafrechtscholen) terdapat aliran untuk
maksud dan tujuan dibentuknya peraturan hukum pidana yaitu aliran
klasik dan aliran modern. Menurut aliran klasik, tujuan susunan hukum
pidana untuk melindungi individu dari kekuasaan penguasa atau
Negara. Sedangkan aliran modern mengajarkan tujuan susunan hukum
pidana itu untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Menurut Van
Bemmelen, bahwa tujuan terakhir hukum pidana adalah menyebutkan
dan melukiskan hal-hal dimana pemerintah atas nama wewenang yang
diberikan oleh masyarakat yang berhubungan dengan ketertiban,
2. Tinjauan mengenai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
a. Sejarah Berlakunya KUHP di Indonesia
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), nama aslinya
ialah “Wetboek van Strafrecht voor Nedherlandsch Indie” (WvS),
sebuah Titah Raja (Koninklijk Besluit atau disingkat K.B), tanggal 15
Oktober 1915 nomor 33 dan mulai berlaku sejak tanggal 1 Januari
1918. KUHP ini merupakan kopian atau turunan dari Wetboek van
Strafrecht Negeri Belanda, yang selesai dibuat pada tahun 1881 dan
mulai berlaku pada tahun 1886. Tidak seluruhnya sama melainkan
diadakan penyimpangan-penyimpangan sesuai dengan kebutuhan dan
keadaan tanah jajahan Hindia Belanda dahulu, akan tetapi asas-asas
dan dasar filsafatnya tetap sama. Sebelum tahun 1918 dalam KUHP ada dualisme, bagi
golongan Eropa ada WvS untuk orang Eropa ( K.B. 1866 Nomor 55)
dan juga terdapat WvS untuk bumiputra dan yang dipersamakan
(Ordonansi 6 Mei 1872). Namun setelah tahun 1918 diadakan
Unifikasi pada KUHP, yang memberlakukan untuk semua golongan
penduduk, yaitu golongan Bumiputra, Timur Asing dan Eropa. KUHP yang berlaku sekarang ini setelah Proklamasi
Kemerdekaan terdapat perubahan yang penting berdasarkan Undang-
Undang Nomor 1 tahun 1946 Pasal 1, yang menyatakan bahwa
peraturan hukum pidana yang sekarang berlaku ialah peraturan-
peraturan hukum pidana yang ada pada tanggal 8 Maret 1942. Hal ini
disebabkan karena pada tahun 1945, Belanda kembali lagi ke
Indonesia setelah keluar dari Indonesia pada masa pendudukan Jepang
pada tahun 1942-1945. Pada tahun 1945 Belanda mengadakan
perubahan-perubahan terhadap W.v.S. misalnya dengan Stb. 1945 No.
135 Pasal 570 yaitu tentang “ketentuan-ketentuan sementara yang luar
biasa mengenai hukum pidana”. Disamping itu selama pendudukan
Jepang pada tahun 1942-1945, Jepang juga membuat perubahan
perubahan terhadap peraturan hukum pidana. Jadi dengan adanya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 maka segala perubahan
terhadap KUHP yang diadakan setelah tanggal 8 Maret 1942 dianggap
tidak berlaku. Berdasarkan Aturan Peralihan Pasal 1 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945 Amandemen IV, yang menyatakan
bahwa “segala peraturan perundang-undangan yang ada masih tetap
berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang
Dasar ini.” Sehingga KUHP peninggalan Belanda tersebut masih tetap
berlaku sampai sekarang selama belum ada pembentukan KUHP yang
baru.
b. Sistematika Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)
Dalam KUHP yang sekarang berlaku di Indonesia terdiri dari
tiga buku, dan tiap-tiap buku terdiri dari beberapa title atau bab dan
tiap-tiap bab terdiri dari pasal-pasal serta setiap pasal terdiri dari ayat-
ayat. Buku Kesatu yaitu tentang “Ketentuan Umum”. Dalam Buku
Kesatu terdiri atas 9 titel atau Bab dan 103 Pasal, yang berisi
ketentuan-ketentuan umum mengenai KUHP. Ketentuan umum
memuat asas-asas umum mengenai berbagai hal atau bidang dalam
hukum pidana, misalnya tentang batas-batas berlakunya hukum
pidana, tentang pidana dan hal-hal yang meniadakan, mengurangi serta
yang memberatkan pidana, tentang percobaan, perbarengan,
penyertaaan dan sebagainya. Pada Pasal 103 KUHP disebutkan bahwa
ketentuan-ketentuan umum hukum pidana ini tidak hanya berlaku bagi
tindak pidana yang ada dalam KUHP, melainkan juga terhadap tindak
pidana diluar KUHP, sepanjang dalam undang-undang lain tersebut
tidak ditentukan lain. Buku Kedua yaitu tentang “Kejahatan”, terdiri atas 31 Bab, dan
385 Pasal, tentang perbuatan-perbuatan yang dikategorikan sebagai
“Kejahatan”. Buku Ketiga yaitu tentang “Pelanggaran”. Terdiri atas 10 Bab,
yang memuat 88 Pasal. Dalam Buku Ketiga ini berisi tentang
perbuatan-perbuatan yang tergolong sebagai “Pelanggaran”.
3. Tinjauan mengenai Hukum Islam
a. Pengertian Islam
Agama Islam adalah agama penutup dari semua agama-agama
yang diturunkan berdasarkan wahyu Illahi (Al-Quran) kepada Nabi
Muhammad SAW, melalui malaikat Jibril, untuk diajarkan kepada
seluruh umat manusia sebagai Way of Life atau pedoman hidup lahir
batin dari dunia sampai akhirat, sebagai agama yang sempurna, sebagai
mana firman Allah dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3 yang
artinya : “Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu,
dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai
Islam itu jadi agama bagimu” (Depag RI, 1971:157). Berdasarkan firman Allah tersebut tegaslah bahwa agama yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW adalah agama Islam,
sedangkan Nabi Muhammad SAW adalah Nabi penutup dari seluruh
Nabi. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al Ahzab ayat 40 yang
artinya : “Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang
laki-laki di antara kamu., tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup
nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
(Depag RI, 1971:674) “Islam” sebagai kata benda berasal dari bahasa Arab jenis
masdar, yaitu berasal dari kata kerja (fi’il). Kata kerja asal tersebut
terdiri dari :
1) Aslama
Yang berarti “berserah diri”. Hal ini bermakna bahwa
manusia dalam berhadapan dengan Tuhannya (Allah), merasa
kerdil, dan harus bersikap mengakui kelemahannya dan mengakui
kekuasaan Allah SWT. Akal dan budi manusia yang berwujud ilmu
pengetahuan, bila dibandingkan dengan kekuasaan Allah amatlah
kecil dan sangat terbatas.
2) Salima
Sebagai kata kerja transitif, sehingga artinya,
“menyelamatkan, menentramkan, mengamankan orang lain baik
dari dan oleh lisan maupun perbuatannya”. Berasal dari hadist
Rasulullah SAW, yang diriwayatkan oleh Bukhori dan Muslim, hal
ini bermakna bahwa islam itu berisi ajaran tentang larangan dan
petunjuk-petunjuk untuk kemaslahatan umat, baik di dunia maupun
di akhirat.
3) Salama
Sebagai kata bendanya, salaam berarti menyelamatkan,
menentramkan, dan mengamankan. Dengan arti kata lain, Islam itu
harus dapat menimbulkan perasaan aman dan damai (Mohd. Idris
R., 1997 : 8-9).
b. Sumber-sumber Hukum Islam
Pada pokoknya sumber hukum islam terdiri dari : Al Quran,
Hadist/sunnah, Ijma, dan Qiyas (Saidus Syahar, 1996 : 45).
1) Al Quran
Al Quran adalah wahyu dari Allah SWT, yang diturunkan
kepada nabi Muhammad SAW dengan perantaraan malaikat Jibril.
Secara garis besar hukum dalam Al Quran dibagi menjadi dua
macam, yaitu pertama mengenai hukum-hukum yang berhubungan
dengan kepercayaan dan peribadatan kepada Allah SWT (Ibadah).
Kedua mengenai hukum yang berhubungan dengan kenegaraan,
masyarakat dan hubungan antar sesama masyarakat (muamalah),
seperti pidana(jinayat), perdata, hubungam kekeluargaan. Segala sesuatu baik yang telah terjadi maupun yang belum
terjadi sudah ada hukumnya dalam Al Quran, sesuai dengan firman
Allah dalam Al Quran surat Al-An’am ayat 38 yang artinya :
“ tidaklah Kami tinggalkan segala sesuatu peristiwa itu kecuali
ada penyelesaiannya dalam Al Quran”
Dalam surat An Nahl ayat 89 juga dijelaskan, yang artinya :
“(Dan ingatlah) akan hari (ketika) Kami bangkitkan pada tiap-tiap umat seorang saksi atas mereka dari mereka sendiri dan Kami datangkan kamu (Muhammad) menjadi saksi atas seluruh umat manusia. Dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar
gembira bagi orang-orang yang berserah diri” (Depag RI, 1971 : 415).
2) Hadist
Sunnah atau hadist ialah ucapan (sunnah qauliyah),
perbuatan (sunnah fi’liyah) atau penetapan (sunnah taqririyah) dari
Nabi Muhammad SAW. Hadist merupakan sumber hukum Islam
kedua setelah Al Quran. Adapun fungsinya adalah sebagai berikut :
a) Menguatkan hukum yang telah disebutkan dalam Al Quran
b) Menafsirkan ketentuan-ketentuan Al Quran yang belum jelas
c) Menetapkan hukum yang belum ada dalam Al Quran.
Kedudukan Sunnah atau Hadist sebagai sumber ajaran
Islam selain didasarkan pada keterangan ayat-ayat Al Quran dan
Hadist juga didasarkan kepada pendapat kesepakatan para sahabat,
yakni seluruh sahabat sepakat untuk menetapkan tentang wajib
mengikuti Hadist, baik pada masa Rasulullah masih hidup maupun
setelah beliau meninggal (Abuddin Nata, 2001 : 72). Allah SWT telah mewajibkan kaum muslimin untuk
mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, seperti yang dijelaskan
dalam Al Quran Surat An Nisaa’ Ayat 59, yang artinya “Hai
orang-orang yang beriman taatilah Allah, taatilah Rasul, dan
taatilah penguasa dari kamu. Jika kamu berselisih mengenai
sesuatu maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul” (Depag RI,
1971:128). 3) Ijma’
Para ahli ushul fiqih mengatakan bahwa yang dimaksud
dengan Ijma’ adalah kesepakatan mujtahidin dari umat Islam dari
suatu masa atas hukum Islam. “Kesepakatan” artinya ialah
pendapat yang satu sesuai dengan yang lain. Jadi bila hanya sedikit
yang menyelisihi maka sudah dianggap sebagai Ijma’. Hal ini
dijelaskan dalam Al Quran Surat An Nisa’ ayat 59 yang artinya :
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya” (Depag RI, 1971:128).
4) Qiyas
Qiyas merupakan metode pertama yang dipegang para
mujtahid untuk mengistinbathkan hukum yang tidak diterangkan
nash, sebagai metode terkuat dan yang paling jelas. Menurut istilah Ulama Ushul, qiyas adalah
mempersamakan satu peristiwa hukum yang tidak ditentukan
hukumnya oleh nash, dengan peristiwa hukum yang ditentukan
oleh nash bahwa ketentuan hukumnya sama dengan hukum yang
ditentukan nash. Pengertian qiyas ialah menyamakan hukum suatu hal yang
tidak terdapat ketentuannya dalam Al Quran dan Hadist dengan hal
lain yang hukumnya disebut dalam al Quran dan Hadist karena
persamaan illat (penyebab atau alasan).
c. Tinjauan mengenai Jinayat (Hukum Pidana Islam)
1) Pengertian jinayat
Secara bahasa kata jinayat adalah bentuk jamak dari kata
jinaayah yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashdar
(kata dasar), kata jinaayah dijamakkan karena mencakup banyak
jenis perbuatan dosa. Jinaayah dapat mengenai jiwa dan anggota
badan, baik disengaja ataupun tidak. Menurut istilah syar’i, kata
jinaayah berarti menganiaya badan sehingga pelakunya wajib
dijatuhi hukuman qishas atau membayar diyat
(www.alislamu.com).
Sebagian fuqoha berpendapat bahwa yang dimaksud
dengan jinayat ialah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’
mengenai jiwa dan anggota badannya, yaitu pembunuhan,
pelukaan, pemukulan, dan penjerumusan. Sebagian fuqoha lain
mengatakan bahwa jinayat ialah perbuatan-perbuatan yang
dilarang oleh syara’ mengenai jarimah hudud dan qishas diyat
(Marsum, 1988: 1-2). Jarimah ialah melakukan perbuatan-perbuatan yang
dilarang dan meninggalkan perbuatan-perbuatan yang wajib yang
diancam syara’ dengan hukuman hadd atau hukuman ta’zir.
Pengertian jarimah ini sama dengan peristiwa pidana atau tindak
pidana atau delik dalam hukum positif. Namun bedanya, hukum
positif membedakan antara kejahatan dan pelanggaran berdasarkan
berat ringannya hukuman, sedangkan syariat Islam tidak
membedakannya. Semuanya disebut jarimah atau jinayat
mengingat sifat pidananya.
Para fuqaha sering memakai kata jinayat untuk jarimah. Semula pengertian jinayat ialah hasil perbuatan seseorang dan biasanya dibatasi pada perbuatan yang dilarang saja. Di kalangan fuqaha, yang dimaksud dengan kata jinayat ialah perbuatan yang dilarang oleh syara’, baik perbuatan itu mengenai (merugikan) jiwa atau harta benda (Ahmad Hanafi, 1967 : 1).
Faedah atau manfaat dari jinayat ialah :
a) Menjaga keselamatan nyawa dari kejahatan pembunuhan.
b) Menjaga keamanan di dalam masyarakat dari segala fitrah
tuduh-menuduh.
c) Menjaga keamanan harta benda dan nyawa dari pencurian,
perampasan dan lain-lain.
d) Menjaga keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan
diri (www. Al Az-zim. com).
2) Lingkup berlakunya hukum pidana Islam
Pada dasarnya hukum Islam itu bersifat universal yang
diturunkan kedunia untuk seluruh umat manusia. Islam diturunkan
tidak hanya untuk satu negara saja, tapi untuk semua bangsa di
dunia. Namun tidak semua orang percaya pada syariat Islam dan
tidak mungkin dipaksakan kepada mereka, maka syariat Islam
hanya diterapkan kepada negara-negara yang berada dibawah
kekuasaan kaum muslim atau hanya pada negara-negara Islam saja.
Adapun yang dimaksud negara Islam adalah :
a) Negara dimana hukum Islam nampak didalamnya
b) Negara dimana penduduknya yang beragama Islam dapat
menjalankan hukum- hukum Islam (Marsum, 1988 : 20). Contoh negara Islam ialah Saudi Arabia, Irak, Palestina.
Negara-ngara tersebut menggunakan syariat atau hukum Islam
sebagai landasan hukum utamanya.
3) Bentuk-bentuk sanksi atau hukuman dalam hukum pidana Islam.
Di dalam hukum pidana Islam yang disebutkan dalam Al
Quran dan Hadist terdapat beberapa bentuk sanksi atau hukuman
terhadap seseorang yang melakukan jinayat, yaitu antara lain :
a) Hukuman Hudud
Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan
dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits.
Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan saja tidak
boleh diganti hukumannya atau diubah tapi juga tidak boleh
dimaafkan oleh siapapun di dunia. Bagi yang melanggar
ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan
Rasul-Nya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim.
Firman Allah SWT dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat
229. yang artinya "Dan barang siapa yang melanggar aturan-
aturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang
zalim"
b) Hukuman Qishas
Hukuman qishas adalah sama seperti hukuman hudud
juga, yaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam
Al Qur'an dan Al Hadits. Hukuman qishas ialah kesalahan yang
dikenakan hukuman balas. Membunuh dibalas dengan bunuh
(nyawa dibalas dengan nyawa), melukai dibalas dengan
melukai, mencederai dibalas dengan mencederai.
c) Hukuman Diyat
Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan
diberikan oleh pelaku jinayat kepada wali atau ahli warisnya
sebagai ganti rugi atas jinayat yang telah dilakukan terhadap
korbannya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahan-
kesalahan yang berhubungan dengan kesalahan qishas dan ini
merupakan sebagai ganti rugi atas kesalahan-kesalahan yang
berupa penganiayaan atau melukai anggota badan (www. Al
Az-zim.com).
d) Hukuman Ta’zir
“Hukuman ta’zir ialah jinayat yang tidak dijatuhkan
hukuman hudud atau qishas. Hukuman ta’zir adalah hukuman
yang tidak ditentukan kadar dan bentuk hukuman di dalam Al-
Qur'an dan Al-Hadits. Hukuman ta’zir dapat berupa celaan,
kurungan, diasingkan, dera, dan ganti kerugian” (Ahmad Azhar
Basyir, 2006 : 56). Jenis, kadar dan bentuk hukuman ta’zir tergantung
kepada kearifan hakim untuk menentukan dan memilih
hukuman yang patut dikenakan atas pelaku jinayat itu karena
hukuman ta`zir bertujuan untuk mencegah pelaku jinayat
mengulangi kembali kejahatan yang mereka lakukan dan bukan
untuk menyiksa mereka (www. Al Az-zim.com).
Dengan kata lain, ta’zir ialah hukuman yang bersifat
edukatif yang ditentukan oleh hakim atas pelaku jinayat atau
pelaku perbuatan maksiat yang hukumannya belum ditentukan
dalam Al Quran maupun Hadits.
4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan
“Dalam KUHP, pembunuhan disebut sebagai perampasan nyawa
terhadap orang lain. Pembunuhan disebut juga sebagai kejahatan terhadap
nyawa yang berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain” (Adami
Chazawi, 2001:55). Perampasan nyawa merupakan menghilangkan nyawa
orang dari raganya sehingga menyebabkan matinya orang tersebut. Dalam
hukum Islam tindak pidana pembunuhan dikategorikan menjadi 3(tiga)
macam, yaitu :
a. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (‘amad)
b. Pembunuhan yang dilakukan dengan serupa sengaja (syabah ‘amad).
c. Pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja (khatha’)
Pembunuhan dengan sengaja ialah seorang secara sengaja dan
terencana membunuh orang lain dengan niat yang kuat bahwa dia harus
membunuhnya. Pada tindak pidana pembunuhan yang disengaja terdapat
2(dua) unsur, yang terdiri dari :
a. Perbuatan itu dikehendaki
b. Akibat dari perbuatan itu dikehendaki oleh pelakunya.
Dalam KUHP, pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja dibagi
menjadi beberapa macam, antara lain:
a. Pembunuhan biasa dalam bentuk pokok.
b. Pembunuhan yang diikuti, disertai, atau didahului dengan tindak
pidana lain.
c. Pembunuhan berencana.
d. Pembunuhan ibu terhadap bayinya pada saat atau tidak lama setelah
dilahirkan.
e. Pembunuhan atas permintaan korban.
f. Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri.
g. Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan (Adami Chazawi,
2001 : 56).
Pembunuhan dengan tidak sengaja ialah seorang secara tidak
sengaja dan tidak terencana telah mengakibatkan terbunuhnya seseorang.
Misalnya kecelakaan lalulintas yang hingga mengakibatkan meninggalnya
orang lain, atau memanah binatang buruan, ternyata anak panahnya nyasar
mengenai orang hingga meninggal dunia.
Pembunuhan dengan menyerupai sengaja contonya seorang
bermaksud memukulnya, yang secara kebiasaan tidak bertujuan hendak
membunuhnya, namun ternyata yang jadi korban meninggal dunia. Dalam Islam, para ulama sepakat bahwa delik pembunuhan
merupakan delik yang besar, sehingga ada Hadits riwayat dari Ibnu
Mas’ud yang mengatakan bahwa yang pertama diadili pada hari kiamat
adalah soal “darah”. Juga ada Hadist lain yang artinya “ yang pertama kali
diperhitungkan atas diri hamba ialah sholatnya dan yang mula-mula
diadili diantara manusia adalah darah” Begitu juga dalam Al- Quran
Surat Al Maidah Ayat 32, Allah SWT berfirman mengenai kejamnya
tindak pidana pembunuhan, yang artinya : “Oleh Karena itu kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau
bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya” (Depag RI, 1971:164). Dalam ayat
tersebut Allah SWT menggambarkan bahwa betapa besarnya dosa
membunuh seseorang tanpa alasan yang dibenarkan, sehingga
digambarkan seakan-akan membunuh seluruh manusia yang ada di dunia.
B. Kerangka Pemikiran
Perbandingan hukum merupakan suatu disiplin ilmu hukum yang
bertujuan menemukan persamaan dan perbedaan serta menemukan pula
hubungan-hubungan erat antara pelbagai sistem-sistem hukum. Melihat
perbandingan-perbandingan lembaga hukum dan konsep-konsep serta mencoba
menentukan suatu penyelesaian atas masalah-masalah tertentu dalam sistem
hukum dengan tujuan seperti pembaharuan hukum, unifikasi hukum dan lain-lain
(Romli Atmasasmita, 2000 :7-10).
Kejahatan merupakan fenomena kehidupan masyarakat. Karena itu tidak
dapat dilepaskan dari ruang dan waktu. Kejahatan adalah masalah manusia yang
berupa kenyataan sosial, yang sebab-musababnya kurang kita pahami. Terjadi
dimana saja dan kapan saja dalam pergaulan hidup. Kita berhadapan dengan suatu
gejala yang luas dan mendalam, yang bersarang sebagai penyakit dalam tubuh
masyarakat, sehingga membahayakan kehidupan, setidak-tidaknya menimbulkan
kerugian. Salah satu tindak kejahatan yang sangat membahayakan dan sekaligus
merugikan masyarakat ialah tindak pidana pembunuhan. Selain merugikan
korbannya secara langsung, pembunuhan terhadap seseorang juga merugikan
anggota keluarga yang ditinggalkannya. Di berbagai negara, tindak pidana
pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang dapat dikenai sanksi yang
berat. Dalam penelitian ini, penulis mencoba menggunakan perbandingan sistem
hukum dalam hal membandingkan pengenaan sanksi terhadap tindak pidana
pembunuhan dalam hukum pidana di Indonesia yang diatur dalam KUHP dengan
yang diatur dalam hukum Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits
Rasulullah SAW.
Skema dari kerangka pemikiran ini adalah sebagai berikut :
Tindak pidana pembunuhan
Sanksi pidana
Hukum Islam Hukum pidana
Al Quran, Hadist & Ijma’
KUHP
Persamaan dan Perbedaan
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian 1. Tinjauan Sanksi Pidana Pembunuhan menurut Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP)
Tindak pidana pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa dalam
KUHP secara garis besar dikelompokkan menjadi 2(dua) golongan, yaitu
pertama berdasarkan unsur kesalahannya, kedua berdasarkan objeknya. Berdasarkan unsur kesalahannya tindak pidana pembunuhan dibedakan
menjadi 2(dua) macam, yaitu :
a. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja (dolus
misdrijven). Kejahatan ini diatur dalam Buku Kedua Bab XIX KUHP
Pasal 338 sampai dengan Pasal 350.
b. Kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan tidak sengaja (culpose
misdrijven). Tindak pidana ini diatur dalam Buku Kedua Bab XXI KUHP
Pasal 359. Berdasarkan objeknya/korban (kepentingan hukum yang dilindungi)
kejahatan terhadap nyawa dibedakan menjadi 3(macam), yaitu :
a. Kejahatan terhadap nyawa manusia pada umumnya, diatur pada Pasal 338,
339, 340, 344, dan 345 KUHP.
b. Kejahatan terhadap nyawa bayi pada saat dilahirkan atau sesaat/tidak lama
setelah dilahirkan, perbuatan ini diatur dalam Pasal 341, 342, dan 343
KUHP.
c. Kejahatan terhadap nyawa bayi yang masih ada dalam kandungan atau
masih berupa janin, dimuat dalam Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Pada penelitian ini penulis mengkategorikan tindak pidana
pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa menjadi 2(dua) macam, yaitu
kejahatan terhadap nyawa yang dilakukan dengan sengaja dan yang dilakukan
tidak dengan sengaja.
a. Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) mengatur
mengenai tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja
terdiri dari 7(tujuh) macam, yaitu sebagai berikut :
1) Pembunuhan biasa.
2) Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului dengan tindak pidana
lain.
3) Pembunuhan berencana.
4) Pembunuhan oleh ibu terhadap bayinya.
5) Pembunuhan atas permintaan korban sendiri.
6) Penganjuran dan pertolongan pada bunuh diri.
7) Pengguguran dan pembunuhan terhadap janin dalam kandungan.
Dibawah ini akan diuraikan mengenai ketujuh macam tindak
pidana pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja yang diatur dalam
KUHP.
1) Pembunuhan dalam Bentuk Biasa
Delik ini diatur dalam Pasal 338 KUHP yang merumuskan
bahwa :
“barangsiapa sengaja merampas nyawa orang lain, diancam, karena
pembunuhan, dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Pada pembunuhan biasa ini, pelaksanaannya haruslah tidak
lama setelah timbulnya kehendak (niat) dari pelaku untuk
menghilangkan nyawa korban. Sebab apabila terdapat tenggang waktu
yang cukup lama dari timbulnya kehendak untuk membunuh dengan
pelaksanaannya, maka pembunuhan tersebut termasuk dalam
pembunuhan berencana.
Pada pembunuhan biasa ini, Pasal 338 KUHP menyatakan
bahwa pemberian sanksi atau hukuman pidananya adalah pidana
penjara paling lama lima belas tahun. Disini disebutkan bahwa “paling
lama”, jadi tidak menutup kemungkinan hakim akan memberikan
sanksi pidana pidana kurang dari lima belas tahun penjara. 2) Pembunuhan yang Diikuti, Disertai atau Didahului dengan Tindak
Pidana Lain
Delik ini diatur dalam pasal 339 KUHP, yang rumusannya
sebagai berikut :
“Pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh sesuatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiap atau mempermudah pelaksanaannya, atau melepaskan diri sendiri maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan, ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara melawan hukum, diancam dengan pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pada pembunuhan dalam Pasal 339 KUHP merupakan suatu
bentuk khusus pembunuhan yang diperberat. Dalam pembunuhan yang
diperberat ini terdapat 2(dua) macam tindak pidana sekaligus, yaitu
pembunuhan biasa dan tindak pidana lain. Adanya unsur diikuti,
disertai atau didahului oleh tindak pidana lain artinya tindak pidana
lain ini harus sudah terjadi, tidak boleh baru percobaan, sebab apabila
pembunuhannya sudah terjadi namun tindak pidana lainnya belum
terjadi maka delik tersebut belum termasuk dalam Pasal 339 KUHP
ini. Oleh karena terdapat 2(dua) tindak pidana, yaitu pembunuhan dan
tindak pidana selain pembunuhan, maka orang yang
dipertangungjawabkan adalah orang yang melaksanakan pembunuhan
tersebut, sedangkan bagi orang lain yang tidak terlibat secara objektif,
maka ia hanya bertanggungjawab atas tindak pidana lain yang
dilakukannya saja.
Pada kasus pembunuhan yang diatur dalam Pasal 339 KUHP
ini, ancaman pidananya adalah pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun. Sanksi pidana
pada pembunuhan ini termasuk relatif berat dibandingkan dengan
pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP, karena dalam
perbuatan ini terdapat dua delik sekaligus. 3) Pembunuhan Berencana
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 340 KUHP, yang
menyebutkan sebagai berikut :
“Barangsiapa sengaja dan dengan rencana lebih dahulu merampas
nyawa orang lain, diancam, karena pembunuhan dengan rencana
(moord), dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau
selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”
Pembunuhan berencana ini mencakup pada pembunuhan biasa
atau yang diatur dalam Pasal 338 KUHP ditambah dengan adanya
unsur perencanaan terlebih dahulu.
Ancaman pidana pada pembunuhan berencana ini lebih berat
daripada pembunuhan yang ada pada Pasal 338 dan 339 KUHP bahkan
merupakan pembunuhan dengan ancaman pidana yang paling berat,
yaitu pidana mati, dimana sanksi pidana mati ini tidak tertera pada
kejahatan terhadap nyawa lainnya, yang menjadi dasar beratnya
hukuman ini adalah pada adanya perencanaan terlebih dahulu tersebut.
Selain diancam dengan pidana mati, pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana juga dapat dipidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu paling lama dua puluh tahun. 4) Pembunuhan oleh Ibu terhadap Bayinya
Tindak pidana pembunuhan terhadap bayi ini dibagi menjadi
2(dua) macam, yaitu : Pertama, pembunuhan bayi yang dilakukan
dengan tidak berencana (pembunuhan bayi biasa). Kedua, pembunuhan
bayi yang dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu.
a) Pembunuhan bayi yang dilakukan dengan tidak berencana
(pembunuhan bayi biasa)
Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 341 KUHP,
rumusannya adalah sebagai berikut :
“Seorang ibu yang, karena takut akan ketahuan melahirkan anak,
pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian, dengan
sengaja merampas nyawa anaknya, diancam, karena membunuh
anak sendiri, dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun”
Pada kasus pembunuhan ini KUHP memberikan ancaman
hukuman bagi pelakunya dengan pidana penjara paling lama tujuh
tahun. Sanksi pidana pembunuhan ini jauh lebih ringan
dibandingkan dengan pembunuhan biasa. Penulis berpendapat
bahwa lebih ringannya sanksi pidana tersebut karena dilihat dari
subjek atau pelaku pembunuhannya. Pada saat melakukan
pembunuhan, pelaku sedang mengalami kondisi kejiwaan yang
labil atau sedang dalam keadaan tertekan batinnya karena adanya
perasaan takut diketahui orang lain. Sehingga kondisi kejiwaan
yang demikian dinilai sebagai mengurangi kesalahan pelaku (ibu)
atas tindak pidana pembunuhan yang telah dilakukan terhadap
bayinya. Namun hal tersebut tidak dapat dijadikan sebagai alasan
yang sah untuk menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan
ibu membunuh bayinya.
b) Pembunuhan bayi yang dilakukan dengan perencanaan terlebih
dahulu
Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 342 KUHP, yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
“Seorang ibu yang untuk melaksanakan niat yang ditentukan karena takut akan ketahuan bahwa akan melahirkan anak, pada saat anak dilahirkan atau tidak lama kemudian merampas nyawa anaknya, diancam, karena melakukan pembunuhan anak sendiri dengan rencana, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun”
Munculnya kehendak untuk membunuh ini haruslah pada
saat sebelum bayi tersebut dilahirkan. Ini merupakan syarat utama
untuk dapat dikualifikasikan sebagai pembunuhan bayi berencana.
Apabila kehendak itu muncul pada saat bayi dilahirkan, maka
pembunuhan tersebut termasuk pada pembunuhan bayi Pasal 341
KUHP.
Ancaman sanksi pidana pada pembunuhan berencana ini
relatif lebih berat dibandingkan dengan pembunuhan biasa pada
bayi (Pasal 341 KUHP). Hal ini didasarkan pada adanya
perencanaan terlebih dahulu sebelum melakukan pembunuhan.
Dalam KUHP disebutkan bahwa ancaman sanksi pidana terhadap
ibu yang membunuh bayinya sendiri pada saat atau tidak lama
setelah dilahirkan yang didahului dengan perencanaan adalah
dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun. Sama halnya
dengan pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP) dimana
ancaman pidananya juga lebih berat daripada pembunuhan biasa
(Pasal 338 KUHP).
Kaitannya dengan Pasal 341 dan 342 KUHP, dalam KUHP
juga diatur mengenai orang lain yang turut serta melakukan tindak
pidana pembunuhan terhadap bayi. Hal ini diatur dalam Pasal 343
KUHP, yang menyatakan bahwa :
“Kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 341 dan 342 dipandang,
bagi orang lain yang turut serta melakukan, sebagai pembunuhan atau
pembunuhan dengan rencana”
Artinya bahwa orang lain yang turut serta dalam pembunuhan
bayi tidak dapat diberlakukan ketentuan seperti pada Pasal 341 dan
342 KUHP, namun ia diberlakukan terhadap pelanggaran pada
pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) atau pembunuhan berencana
(Pasal 340 KUHP). Jadi sanksi pidana terhadap orang lain yang turut
melakukan pembunuhan tersebut adalah diberlakukan sama dengan
pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) atau pembunuhan berencana
(Pasal 340 KUHP). Tujuan dari ketentuan Pasal 343 KUHP ini adalah
supaya orang lain yang turut melakukan tersebut tidak mendapatkan
keringanan hukuman sebagaimana yang telah didapatkan oleh pelaku
(ibu bayi), sebab sudah barang tentu latar belakang dari pembunuhan
ini berbeda. Apabila pelakunya adalah ibu, dia membunuh bayinya
karena adanya tekanan jiwa (takut), namun pada orang lain motifnya
mungkin lain, bukan karena takut. 5) Pembunuhan atas Permintaan Korban Sendiri
Pembunuhan ini diatur dalam Pasal 344 KUHP yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
“Barangsiapa merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu
sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun”
Pembunuhan yang diatur dalam Pasal 344 KUHP ini berbeda
dengan pembunuhan biasa yang diatur dalam Pasal 338 KUHP.
Perbedaannya ialah pada pembunuhan ini :
a) Dilakukan atas permintaan korban sendiri
b) Secara jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati.
Apabila kedua unsur diatas tidak terbukti atau tidak ada, maka
pembunuhan tersebut akan masuk dalam pembunuhan biasa. Semua
syarat diatas bersifat kumulatif, artinya bahwa semua syarat tersebut
harus dipenuhi untuk dapat dikualifikasikan sebagai tindak pidana
pembunuhan yang melanggar Pasal 344 KUHP.
Menurut Pasal 344 KUHP, ancaman pidana pada pembunuhan
atas permintaan korban sendiri adalah pidana penjara paling lama dua
belas tahun. Hukuman ini relatif lebih ringan daripada pembunuhan
biasa (Pasal 338 KUHP), mengingat bahwa inisiatif dari pembunuhan
ini dari permintaan korban itu sendiri, bukan dari pelaku. Sehingga
pelaku sedikit mendapatkan keringanan ancaman pidananya.
6) Penganjuran dan Pertolongan pada Bunuh Diri
Tindak pidana ini diatur di dalam Pasal 345 KUHP, yang
rumusannya adalah sebagai berikut :
“Barangsiapa sengaja mendorong orang lain untuk bunuh diri,
menolongnya dalam perbuatan itu atau memberi sarana kepadanya
untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun
kalau orang itu jadi bunuh diri”
Pada kejahatan terhadap nyawa yang diatur dalam Pasal 345
KUHP ini, pelakunya diancam dengan pidana penjara paling lama
empat tahun. Sanksi pidana ini termasuk yang paling ringan diantara
sanksi pidana kejahatan terhadap nyawa pada umumnya lainnya. Hal
ini didasarkan pada subjek/pelaku tindak pidananya tidak secara
langsung melakukan pembunuhan, melainkan korban sendirilah yang
membunuh dirinya sendiri. Pelaku hanya sebagai pendorong,
menolong, atau memberi sarana dalam perbuatan bunuh diri. Berbeda
dengan pembunuhan biasa atau pembunuhan berencana dimana yang
melakukan pembunuhan terhadap korban adalah pelakunya sendiri. 7) Pengguguran dan Pembunuhan terhadap Kandungan
Tindak pidana pengguguran terhadap janin ini berdasarkan
subjeknya dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu :
a) Dilakukan sendiri.
b) Dilakukan oleh orang lain, juga dibagi menjadi 2(dua) macam,
yaitu :
(1) Atas persetujuan wanita yang mengandung janin.
(2) Tanpa persetujuan wanita yang mengandung janin.
Pada kejahatan terhadap nyawa ini, diatur dalam empat pasal,
yaitu Pasal 346, 347, 348, dan 349 KUHP. Masing-masing akan
diuraikan sebagai berikut :
a) Pengguguran dan pembunuhan terhadap janin yang dilakukannya
sendiri
Tindak pidana ini diatur dalam Pasal 346 KUHP, yang
isinya sebagai berikut :
“seorang wanita yang sengaja menggugurkan atau mematikan
kandungnnya atau menyuruh orang lain untuk itu, diancam dengan
pidana penjara paling lama empat tahun”
Adapun inisiatif dari dilakukannya kejahatan ini adalah dari
wanita yang mengandung janin itu sendiri, bukan orang lain. Oleh
karena itu wanita tersebut telah menghendaki perbuatannya dan
mengetahui akibat dari perbuatannya itu berupa gugur/matinya
janin yang ada dikandungannya. Terhadap wanita yang melakukan
tindak pidana ini, KUHP memberikan ancaman sanksi pidana
berupa pidana penjara paling lama empat tahun. Ancaman sanksi
pidana pada kejahatan ini juga relatif ringan dibandingkan dengan
kejahatan terhadap nyawa lainnya.
b) Pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan tanpa
persetujuan wanita yang mengandung
Kejahatan terhadap nyawa ini diatur dalam Pasal 347
KUHP yang menyatakan sebagai berikut :
“ (1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama lima belas tahun”
Maksud dari “tanpa persetujuannya” adalah wanita tersebut
tidak menghendaki akibat perbuatan tersebut yang berupa
gugurnya atau matinya kandungan yang ada di rahimnya. Contoh
kasus misalnya seorang wanita yang sedang hamil diancam oleh
orang lain (pacarnya) untuk menggugurkan kandungannya dengan
cara meminumkan jamu/obat penggugur kehamilan, karena adanya
ancaman kekerasan akhirnya wanita tersebut menggugurkan
kandungannya. Pada contoh kasus ini yang dapat dipidana adalah
laki-laki (pacarnya) tersebut, sedangkan terhadap wanitanya tidak
dapat dipidana karena dia dalam keadaan terpaksa atau adanya
daya paksa (overmacht), sebagaimana diatur dalam Pasal 48 KUHP
yang menyatakan bahwa “barangsiapa melakukan perbuatan
karena pengaruh daya paksa, tidak dipidana”
Tindak pidana yang berupa pengguguran dan pembunuhan
terhadap kandungan tanpa persetujuan wanita yang mengandung
ini dalam Pasal 347 KUHP ancaman hukumannya adalah yang
paling berat diantara kejahatan terhadap kandungan lainnya, yaitu
dalam ayat (1) disebutkan bahwa ancaman pidananya adalah
pidana penjara paling lama dua belas tahun. Bahkan dalam ayat (2)
disebutkan apabila perbuatannya itu menyebabkan meninggalnya
wanita tersebut, pelaku diancam dengan pidana penjara paling lama
lima belas tahun..
c) Pengguguran dan pembunuhan kandungan dengan persetujan
wanita yang mengandung.
Kejahatan ini diatur dalam Pasal 348 KUHP, yang isinya sebagai
berikut :
“(1) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan atau mematikan kandungan seorang wanita dengan persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan (2) Jika perbuatan itu mengakibatkan matinya wanita tersebut, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun”
Oleh karena adanya persetujuan dari wanita yang
mengandung inilah sehingga ancaman pidananya juga jauh lebih
ringan daripada tanpa adanya persetujuan (Pasal 347 KUHP).
Dalam ayat (1) Pasal 348 disebutkan bahwa ancaman pidana
terhadap pelaku adalah pidana penjara paling lama lima tahun
enam bulan, sedangkan pada ayat (2) disebutkan bahwa apabila
perbuatannya tersebut mengakibatkan matinya wanita itu,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
d) Pengguguran atau pembunuhan kandungan oleh tabib/dokter,
bidan, atau juru obat.
Pada kejahatan terhadap kandungan ini diatur dalam
ketentuan Pasal 349 KUHP, yang rumusannya adalah sebagai
berikut :
“Jika seorang tabib, bidan, atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut Pasal 346, ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencarian dalam mana kejahatan dilakukan,”
Pada ketentuan pasal diatas, disebutkan bahwa yang
bertindak sebagai subjek/pelaku adalah tabib/dokter, bidan, atau
juru obat. Perbuatan ini dapat berupa secara langsung mauapun
hanya membantu melakukan.
Ancaman bagi pelaku kejahatan ini lebih berat daripada
pelaku kejahatan yang ada dalam Pasal 347 maupun 348 KUHP,
yaitu pidananya dapat ditambah dengan sepertiganya, meskipun
sekedar sebagai pembantu saja. Selain itu, pelaku juga dapat
dipidana dengan dicabutnya haknya untuk melakukan
pencahariaannya itu. Misalnya seorang dokter atau bidan dapat
dicabut ijin prakteknya. Tentu hal ini tidak sesuai dengan ketentuan
Pasal 57 KUHP tentang Pembantuan, dimana dalam Pasal 57
ancaman pidana bagi Pembantu kejahatan justru dikurangi
sepertiganya.
Bagi pelaku tindak pidana pembunuhan, selain diancam dengan
pidana pokok berupa penjara, juga dapat diberikan sanksi pidana
tambahan, sebagaimana diatur dalam Pasal 350 KUHP, yang menyatakan
sebagai berikut : “Dalam pemidanaan karena pembunuhan, karena pembunuhan dengan
rencana, atau karena salah satu kejahatan yang diterangkan dalam Pasal
344, 347, dan 348, dapat dijatuhkan pencabutan hak tersebut Pasal 35
nomor 1-5”
b. Tindak Pidana Pembunuhan yang Dilakukan Tidak dengan Sengaja
Tindak pidana pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja
merupakan bentuk kejahatan yang akibatnya tidak dikehendaki oleh
pelaku. Kejahatan ini diatur dalam Pasal 359 KUHP, yang rumusannya
sebagai berikut : “Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain,
diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan
paling lama satu tahun”
Letak perbedaan bentuk kejahatan pembunuhan terhadap nyawa
orang lain antara Pasal 338 dan 359 KUHP ini adalah pada Pasal 338
terdapat unsur kesengajaan dan sedangkan pada Pasal 359 adanya unsur
kealpaan.
Terhadap kejahatan yang melanggar Pasal 359 KUHP ini, ada dua
macam hukuman yang dapat dijatuhkan terhadap pelakunya yaitu berupa
pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama
satu tahun. Sehingga bentuk sanksi hukuman ini juga merupakan unsur
yang membedakan bentuk pembunuhan yang disengaja dengan yang tidak
disengaja. Sebab dalam pembunuhan yang disengaja tidak ada sanksi
pidana kurungan, semuanya berupa pidana penjara. Adapun yang
mendasari perbedaan ini adalah pada unsur kesengajaan. Pada
pembunuhan yang tidak disengaja, pelaku tidak menghendaki timbulnya
akibat yang berupa kematian pada orang lain, sedangkan pada
pembunuhan yang disengaja pelaku menghendaki akibat yang akan terjadi.
2. Tinjauan Sanksi Pidana Pembunuhan menurut Hukum Islam
Dalam hukum Islam tindak pidana pembunuhan dibagi menjadi tiga
macam, yaitu :
d. Pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja (‘amad)
e. Pembunuhan yang dilakukan dengan serupa sengaja (syabah ‘amad)
f. Pembunuhan yang dilakukan dengan tidak sengaja (khatha’)
Dibawah ini akan diuraikan mengenai ketiga macam bentuk
pembunuhan yang ada dalam hukum Islam :
a. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Sengaja (‘amad)
Imam Nawawi merumuskan bahwa kesengajaan ialah perbuatan
seseorang terhadap orang lain dengan apa-apa yang biasanya dapat
membunuh, baik yang melukai maupun mutsaqqol (memberatkan). Jadi
unsurnya ada 3(tiga) macam, yaitu :
1) Perbuatan itu dikehendaki
2) Akibat perbuatan itu dikehendaki oleh si pelaku
3) Dengan alat yang biasanya membunuh (Marsum, 1988 : 120).
Adapun mengenai sanksi pidana pembunuhan yang disengaja dan
terencana dalam hukum Islam, pihak wali dari terbunuh diberi dua
alternatif hukuman yang akan dijatuhkan terhadap pelaku yang telah
membunuh ahli waris atau keluarganya, yaitu :
1) Menuntut hukum qishas
2) Memaafkan dengan mendapat imbalan diyat.
Pembunuhan dengan sengaja ini diatur dalam Al Quran Surat Al
Baqarah ayat 178, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan
kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Depag RI, 1971:43).
Berdasarkan ayat diatas disebutkan Allah telah mewajibkan hukum
qishas dan pembalasan yang setimpal dalam pelaksanaannya, yakni orang
merdeka dihukum mati karena telah membunuh orang merdeka, bukan
karena membunuh budak, dan budak dihukum mati karena membunuh
budak lainnya, wanita dihukum mati karena telah membunuh wanita.
Namun apabila wali dari korban memaafkan, maka terhadap pelakunya
diwajibkan untuk membayar diyat. Diyat ini sebagai pengganti dari
hukuman qishas.
Dalam Al Quran Surat Al Israa’ Ayat 33 Allah berfirman , yang artinya : “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaaan kepada ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang medapatkan pertolongan” (Depag RI, 1971 : 429).
Ahli waris dari korban tidak boleh menuntut balas atau hukuman
melebihi batas yang telah ditentukan oleh Allah, misalnya ahli waris sudah
menuntut qishas kepada korban namun juga masih menuntut pembayaran
diyat. Inilah yang dilarang oleh Allah karena telah melampaui batas, sebab
diyat merupakan pengganti qishas.
Hukum qishas tidak boleh dilaksanakan, kecuali telah memenuhi
beberapa syarat berikut ini:
1) Si pembunuh haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak
kecil, orang gila, dan orang yang tidur tidak terkena hukum qishas.
Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
“Diangkat pena dari tiga golongan: (Pertama) dari anak kecil hingga
baligh, (kedua) dari orang tidak waras pikirannya hingga sadar
(sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga terjaga” (H.R.
Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi).
2) Orang yang terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu
bukan orang yang darahnya terancam dengan salah satu sebab yang
disebutkan dalam hadist Nabi saw, yang artinya :
"Tidak halal darah seorang muslim kecuali dengan satu di antara
tiga...“ (H.R. Abu Dawud dan Nasa'i).
3) Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si pembunuh, karena ada Hadist
Nabi Muhammad SAW, yang artinya :
Umar Ibnu al-Khaththab Radliyallaahu 'anhu berkata: Aku mendengar
Rasulullah Shallallaahu 'alaihi wa Sallam bersabda: "Seorang ayah
tidak dituntut karena membunuh anaknya" (H.R. Ahmad, Tirmidzi,
dan Ibnu Majah).
4) Hendaknya si korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh
orang muslim. Nabi Muhammad SAW bersabda, yang artinya :
“Orang muslim tidak boleh dibunuh karena telah (membunuh) orang
kafir” (H.R. Tirmidzi dan Nasa’i).
Mengenai besarnya diyat, dijelaskan dalam Hadist Rasulullah
SAW, yang artinya : "Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diyat" (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan yang disengaja jika
dimaafkan oleh keluarganya, tidak dituntut pembayaran diyat yang telah
ditentukan besarnya melainkan tergantung dari persetujuan dari keluarga
korban dengan pelaku, dan apa yang telah disepakati oleh kedua belah
pihak harus dibayar tunai dari harta si pembunuh itu sendiri. Pendapat Abu
Hanifah ini didasarkan atas tidak disebutkannya dengan jelas berapa besar
penggantian diyat dalam Al Quran (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 21).
Apabila pelaku pembunuhannya lebih dari seorang atau
sekelompok orang maka mereka semua akan terkena hukum qishas.
Dasarnya ialah apa yang diriwayatkan oleh Imam Maliki dalam kitabnya
Al muwaththa, yang artinya : “dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia berkata, 'Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya kubunuh mereka semuanya” Dalam Hadist juga dijelaskan, Rasulullah SAW bersabda, yang artinya :
“Seandainya penduduk langit dan penduduk bumi semuanya bersekutu
dalam mengalirkan darah seorang mukmin, niscaya Allah akan
menjerumuskan mereka semuanya kedalam neraka” (H.R. Tirmidzi).
Berdasarkan kedua dalil diatas disebutkan bahwa barang siapa
yang membantu dalam suatu pembunuhan seorang mukmin tanpa alasan
yang dibenarkan, maka hukumannya sama dengan pembunuhan dalam
hukum qishas di dunia dan siksaan di akhirat kelak.
Hukuman qishas maupun diyat bisa tidak dijatuhkan atau
dibebasakan terhadap pelaku apabila pihak wali telah memafkan pelaku
terhadap perbuatan yang telah dilakukannya secara cuma-cuma.
Memaafkan secara cuma-cuma tanpa menuntut apa-apa kepada si
pembunuh adalah sikap yang paling utama lagi mulia. Allah SWT
berfirman dalam Al Quran Surat Al Baqarah Ayat 237, yang artinya :
"Dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa"
Dalam Hadist juga disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda,
yang artinya : “Dan, Allah tidak menambah pada seorang karena
pemaafannya, melainkan kemuliaan” (H.R. Tirmidzi dan Muslim).
Jadi barangsiapa (wali) yang memaafkan pelaku pembunuhan atas
perbuatan yang telah dilakuan terhadap ahli warisnya tanpa menuntut
pembayaran diyat (pemaafan cuma-cuma), mereka akan lebih dekat
dengan ketakwaan mendapatkan kemuliaan disisi Allah.
b. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Serupa Sengaja (syabah ‘amad)
Pengertian dari pembunuhan yang menyerupai sengaja ialah suatu
perbuatan yang pada umumnya dilakukan dengan sesuatu yang biasanya
tidak menyebabkan kematian. Misalnya dengan kerikil, tongkat, memukul
dengan tangan kosong. Terdapat 3(tiga) unsur dalam pembunuhan yang
menyerupai sengaja ini, yaitu :
1) Adanya perbuatan yang mengakibatkan kematian
2) Adanya maksud untuk penganiayaan
3) Ada hubungan sebab akibat antara perbuatan pelaku dengan kematian
Imam Nawawi memberikan rumusan pembunuhan serupa sengaja
ialah pemukulan dengan apa yang biasanya tidak membunuh. Seandainya
pukulan tersebut hanya menggunakan kayu ringan dan hanya dipukulkan
satu atau dua kali saja lalu orang tersebut meninggal, maka ini dapat
disebut sebagai pembunuhan serupa sengaja.
Dasar hukum pembunuhan yang menyerupai sengaja ini adalah
Ad-Daruquthni meriwayatkan sebuah hadist dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi
SAW pernah bersabda, yang artinya : “Kesengajaaan (mengharuskan) hukuman qishas, dan kesalahan hanya
bayar diat tanpa qishas. Barang siapa dibunuh diluar kesengajaan dengan
batu atau tongkat, atau cemeti, maka (si pembunuh) wajib atasnya diyat
yang diberatkan dalam bentuk onta yang sudah cukup umur”
Imam Ahmad, Abu Daud dan An Nasa’I meriayatkan sebuah
hadist bahwa Nabi Muhammad SAW pernah berkhotbah sewaktu
penaklukan kota Mekah, disitu Beliau bersabda, yang artinya :
“Ingatlah, sesungguhnya orang-orang yang terbunuh secara menyerupai
kesengajaan adalah (yang dibunuh) memakai cemeti, tongkat, dan batu”
Berdasarkan dalil-dalil diatas disebutkan bahwa pada dasarnya
pembunuhan serupa sengaja hampir sama dengan pembunuhan sengaja.
Bedanya adalah pada pembunuhan sengaja menggunakan alat yang tidak
selazimnya dapat mengakibatkan kematian atau untuk membunuh.
Misalnya dengan cemeti, tongkat atau batu. Ketiga alat tersebut pada
umumnya tidak dapat digunakan sebagai alat untuk membunuh. Oleh
sebab itu dinamai sebagai pembunuhan serupa sengaja, bukan
pembunuhan sengaja sepenuhnya atau bukan pembunuhan kesalahan
secara mutlak.
Ancaman sanksi pidana pembunuhan serupa sengaja ini adalah
diyat mughallazhah yaitu diyat yang diperberat. Diyat ini seperti pada
pembunuhan sengaja karena mengingat perbuatannya bukanlah merupakan
suatu kesalahan yang murni, sebab pemukulannya itulah yang menjadi
tujuan dari perbuatannya, bukan pada meninggalnya korban atau untuk
membunuh korban. Akan tetapi terhadap pelaku pembunuhan menyerupai
sengaja tidak boleh dituntut hukuman qishas.
Imam Ahmad meriwayatkan dari Abu Daud dari ‘Amr Ibn Syu’aib,
bahwa Rasulullah bersabda, yanga artinya : “Diyat membunuh serupa sengaja diberatkan sama dengan membunuh
sengaja, akan tetapi pelakunya tidak dihukum mati. Demikian itu supaya
setan menyingkir dari kalangan manusia, sehingga peristiwa pembunuhan
tersebut dapat diselesaikan dengan kepala dingin tanpa dendam atau
mengangkat senjata”
Adapun dasar bahwa diyat sebagai hukuman pokok adalah dari
hadist yang menyebutkan bahwa, yang artinya :
“Ketahuilah bahwa pada pembunuhan sengaja yang tersalah yaitu
pembunuhan dengan cambuk, tongkat, dan batu wajib diyat seratus ekor
onta”
Menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad waktu pembayaran diyat
pada pembunuhan serupa sengaja adalah dalam jangka waktu tiga tahun
sejak meninggalnya korban. Sedangkan menurut Imam Abu Hanifah
adalah mulai dijatuhkannya vonis atas pembunuh (H.A. Djazuli, 2000 :
146).
c. Pembunuhan yang Dilakukan dengan Tidak Sengaja (khatha’)
Pembunuhan yang tidak disengaja adalah seorang mukallaf
melakukan perbuatan yang mubah baginya, seperti memanah binatang
buruan, ternyata anak panahnya nyasar mengenai orang hingga meninggal
dunia. Seperti pada hukum pidana Indonesia, pada pembunuhan yang tidak
disengaja ini pelakunya tidak menghendaki timbulnya akibat yang akan
terjadi.
Unsur pembunuhan kesalahan (tidak sengaja) ada 3(tiga) macam,
yaitu :
1) Adanya perbuatan yang menyebabkan kematian
2) Terjadinya perbuatan itu karena kesalahan
3) Adanya hubungan sebab-akibat antara perbuatan kesalahan dengan
kematian.
Kesalahan ialah apabila sesuatu terjadi bukan karena kehendak orang yang
melakukan perbuatan itu. Pada umumnya kesalahan itu terjadi karena
kealpaan, kurang hati-hati, kecerobohan, dan sebagainya.
Ketentuan mengenai hal ini dijelaskan dalam firman Allah SWT
dalam Al Quran Surat An Nisa’ Ayat 92, yang artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Depag RI, 1971:135).
Menurut Ayat diatas, ada tiga macam bentuk pembunuhan yang
tidak disengaja berdasarkan objek/korbannya, yaitu :
1) Membunuh orang mukmin
2) Membunuh orang yang memusuhi orang Islam, padahal ia mukmin
3) Membunuh orang kafir yang ada perjanjian (damai) dengan orang
Islam.
Pada pembunuhan yang tidak sengaja terhadap orang mukmin ini,
pelaku diberikan sanksi hukuman berupa membayar kifarat yaitu
memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diyat
yang diserahkan kepada keluarganya (wali). Namun keluarga korban juga
boleh bersedekah, maksudnya adalah membebaskan pelaku pembunuhan
dari pembayaran diyat atau memaafkan secara cuma-cuma.
Seorang mukmin yang membunuh kaum yang memusuhinya
padahal dia (korban) juga seorang mukmin karena kesalahan atau tidak
sengaja hanya diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan hamba
sahaya yang beriman. Pada pembunuhan ini pelaku tidak diwajibkan
membayar diyat kepada keluarga korban.
Seorang mukmin yang membunuh orang kafir yang mempunyai
perjanjian damai kaum muslim dengan tidak sengaja dikenai hukuman
diyat yang dibayarkan kepada keluarga korban serta wajib membayar
kifarat berupa memerdekakan hamba sahaya yang beriman
Dalam ayat diatas disebutkan bahwa “Barangsiapa yang tidak
memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan
berturut-turut” maksudnya adalah apabila si pembunuh tidak dapat
memenuhi kewajibannya yaitu membayar diyat dan memerdekakan hamba
sahaya yang beriman, maka ia diwajibkan untuk menggantinya dengan
cara berpuasa selama dua bulan berturut-turut tanpa terputus.
B. Pembahasan
Tindak pidana pembunuhan dalam KUHP disebut juga sebagai
kejahatan terhadap nyawa. Kejahatan terhadap nyawa ialah kejahatan yang
dilakukan berupa penyerangan terhadap nyawa orang lain. Objek dari
kejahatan ini adalah nyawa manusia. Jadi dalam hal ini suatu perbuatan dapat
disebut sebagai tindak pidana pembunuhan apabila korbannya adalah manusia,
bukan hewan atau sejenisnya.
Dalam perbuatan menghilangkan nyawa orang lain terdapat 3(tiga)
syarat yang harus dipenuhi, yaitu :
a. Adanya wujud perbuatan
b. Adanya suatu kematian (orang lain)
c. Adanya hubungan sebab dan akibat (causal verband) antara perbuatan dan
akibat kematian (Adami Chazawi, 2001 : 57).
Pembunuhan atau kejahatan terhadap nyawa merupakan delik materiil,
yaitu suatu tindak pidana yang melarang timbulnya akibat tertentu. Jadi yang
dipandang dari delik materiil adalah timbulnya akibat dari perbuatan tersebut
dan pada selesainya perbuatan itu, bukan pada bagaimana cara yang
dilakukannya (dibacok, ditembak, dipukul). Misalnya ditembak ternyata tidak
mengakibatkan matinya korban, maka ini belum termasuk pada delik
pembunuhan, namun masih berupa percobaan pembunuhan.
Timbulnya akibat dari hilangnya nyawa tidaklah harus seketika atau
sesaat setelah perbuatan terjadi, namun dapat timbul beberapa waktu
kemudian, yang penting akibatnya benar-benar disebabkan karena perbuatan
tersebut. Misalnya pada kasus penembakan, karena korban menderita luka
berat, setelah seminggu kemudia ia meninggal, maka hal ini dapat disebut
sebagai pembunuhan yang disebabkan karena penembakan.
Persoalan hubungan sebab-akibat (kausalitas) ini terdapat beberapa
teori atau ajaran-ajaran kausalitas, antara lain sebagai berikut:
a) Teori ekivalensi
Teori ini menyatakan bahwa setiap syarat adalah sebab, dan semua
syarat nilainya sama, jika salah satu syarat tidak ada, maka akibatnya akan
berbeda. Contoh, A dianiaya oleh B, kemudian di bawa ke rumah sakit,
dijalan A tertabrak motor, lalu meninggal, maka penganiayaan yang
dilakukan oleh B ini juga merupakan sebab dari matinya A.
Kelemahan dari teori ini adalah hubungan kausalnya membentang
kebelakang tanpa akhir, karena setiap “sebab” merupakan “akibat” dari
“sebab” yang terjadi sebelumnya.
Kelebihan dari teori ini adalah mudah diterapkan, karena teori ini
menarik secara sangat luas dalam berlakunya pertanggungjawaban pidana.
b) Teori individualisasi
Teori ini dalam menentukan faktor “sebab” hanya melihat faktor
mana yang paling berperan atau yang paling menentukan.terhadap
timbulnya “akibat”.
c) Teori generalisasi
Teori ini dalam menentukan faktor “sebab” melihat pada faktor
mana yang pada umumnya menurut kewajaran atau menurut perhitungan
yang layak dapat menimbulkan “akibat”.
Tindak pidana pembunuhan dalam hukum Islam terdapat perbedaan
pendapat diantara para ulama dalam mengkategorikannya. Imam Malik hanya
menetapkan dua macam pembunuhan yaitu pembunuhan yang disengaja dan
pembunuhan yang tidak disengaja, hal ini disebabkan karena Al Quran hanya
menyebutkan dua macam pembunuhan, yaitu sengaja dan tidak sengaja.
Pembunuhan semi sengaja hanya disebutkan dalam Hadist. Namun Hadist
yang menyebutkan adanya pembunuhan semi sengaja itu dinilai lemah karena
riwayatnya mudhtharib. (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 33). Pada pembahasan
ini akan dibandingkan mengenai sanksi pidana pembunuhan yang disengaja
dan pembunuhan yang tidak disengaja yang diatur dalam KUHP dan
berdasarkan hukum Islam.
1. Pembunuhan yang Disengaja.
Pengertian dari pembunuhan dengan sengaja dalam hukum Islam
ialah seorang mukalaf secara sengaja dan terencana membunuh orang yang
terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar kehendak yang kuat
bahwa dia harus dibunuh olehnya. Kata sengaja berasal dari kata “amida”
atau “amad”. Dalam Al Quran menggunakan kata “muta’ami” yang
artinya dengan sengaja. Pengertian dari pembunuhan yang disengaja ini
mirip dengan yang diatur dalam hukum pidana Indonesia yaitu pelaku
menghendaki akibat yang akan terjadi dari perbuatan yang dilakukannya,
yaitu meninggalnya orang lain.
Dalam KUHP, pembunuhan yang disengaja diatur pada Pasal 338
sampai dengan Pasal 350. Pada umumnya sanksi pidana terhadap
pembunuhan yang disengaja yang diatur pada KUHP adalah berupa pidana
penjara selama waktu tertentu yang lamanya tergantung pada
subjek/pelaku, objek/korban, bentuknya, dan ada atau tidak adanya
perencanaan terlebih dahulu.
Pembunuhan yang disengaja dalam hukum Islam diatur dalam Al
Quran Surat Al Baqarah ayat 178, yang artinya : “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih” (Depag RI, 1971:43).
Pada ayat diatas disebutkan bahwa pidana qishas ditetapkan atas
dasar persamaan antara pelaku dan korban. Orang merdeka di-qishas
karena membunuh orang merdeka; budak di-qishas karena membunuh
budak; wanita di-qishas karena membunuh wanita; Namun para fukaha
berselisih pendapat mengenai syarat persamaan tersebut. Dengan
memperhatikan ajaran Islam tentang hak hidup bagi umat manusia, maka
pembunuhan dengan sengaja secara umum dapat mengakibatkan hukuman
qishas.
Hukum pidana Islam memberikan sanksi pidana pembunuhan yang
disengaja berupa hukuman qishas, yaitu hukuman yang sama dengan
perbuatan yang telah dilakukannya, oleh karena perbuatannya berupa
pembunuhan, maka pelaku juga akan mendapatkan sanksi pidana
pembalasan berupa dibunuh atau dihukum mati. Namun dalam hukum
pidana Islam dikenal adanya pemaafan atas perbuatan yang dilakukan oleh
pelaku dari keluarga korban. Pemaafan ini dapat meringankan hukuman
terhadap pelaku, dimana yang seharusnya pelaku mendapatkan sanksi
hukuman qishas, namun karena adanya pemaafan dari keluarga korban
maka pelaku dapat dibebaskan dari hukuman qishas diganti dengan
membayar diyat kepada keluarga korban atau wali.
Wali adalah orang yang berhak menuntut pembalasan, yaitu ahli
waris dari korban. Wali inilah yang berhak menuntut dijatuhkannya pidana
terhadap pelaku, bukan penguasa (pemerintah). Tugas pemerintah
hanyalah menangkap si pembunuh. Oleh karena itu keputusan sepenuhnya
diserahkan kepada wali korban. Menurut Imam Malik orang yang berhak
menuntut qishas atau memaafkannya adalah ashabah bi nafsih, yaitu
orang yang paling dekat dengan korban. Sedangkan menurut Imam Abu
Hanifah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad orang yang paling berhak adalah
seluruh ahli waris laki-laki maupun perempuan.
Mengenai besarnya diyat, dijelaskan dalam Hadist Rasulullah
SAW, yang artinya : "Barangsiapa yang membunuh (orang tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika mau, mereka menuntut diyat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan, apa saja yang mereka tuntut kepada si pembunuh sebagai
imbalan perdamaian, maka ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada diat" (H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Besarnya diyat yang harus dibayarkan adalah sebanyak 100 ekor
onta, dengan spesifikasi sebagai berikut :
a. Tiga puluh hiqqah (onta betina berusia tiga tahun yang masuk tahun
keempat)
b. Tiga puluh jadza’ah (onta yang masuk tahun kelima atau sudah
dewasa)
c. Empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting).
Pada diyat pembunuhan yang disengaja adalah diyat mughallazhah
(diyat berat), yaitu diyat yang diperberat, diyat ini pembayarannya hanya
diambil dari harta pelaku saja dan harus dibayar tunai. Pembayaran diyat
hendaknya diminta dengan baik, misalnya dengan dengan tidak mendesak
yang membunuh apabila memang belum mampu untuk membayarnya, dan
yang membunuh hendaknya juga membayarnya dengan baik, misalnya
tidak menunda-nunda pembayarannya jika memang sudah mampu untuk
membayarnya. Selain itu juga tidak boleh menuntut pembayaran diyat
yang melebihi batas yang besarnya sudah ditentukan seperti pada tersebut
diatas.
Abu Hanifah berpendapat bahwa pembunuhan yang disengaja jika dimaafkan oleh keluarganya, tidak dituntut pembayaran diyat yang telah ditentukan besarnya melainkan tergantung dari persetujuan dari keluarga korban dengan pelaku, dan apa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak harus dibayar tunai dari harta si pembunuh itu sendiri. Pendapat Abu Hanifah ini didasarkan atas tidak disebutkannya dengan jelas berapa besar penggantian diyat dalam Al Quran (Ahmad Azhar Basyir, 2006 : 21).
Namun apabila keluarga korban memberikan pemaafan secara
cuma-cuma, yaitu pemaafan secara mutlak kepada pelaku dari keluarga
korban tanpa menuntut hukuman apapun maka pelaku pembunuhan dapat
terbebas dari hukuman qishas maupun diyat. Para ulama sepakat tentang
kebolehan pemaafan secara cuma-cuma ini.
Pada hukum pidana yang diatur dalam KUHP, tidak dikenal
adanya pemaafan secara cuma-cuma dari keluarga korban apabila telah
terjadi tindak pidana pembunuhan yang disengaja. Pada hukum Islam,
pemaafan cuma-cuma ini dapat memungkinkan pelaku terbebas dari
hukuman qishas dan diyat, namun dalam hukum pidana Indonesia
pemaafan dari keluarga korban terhadap pelaku pembunuhan tidak dapat
mempengaruhi ancaman pidananya karena keputusannya sepenuhnya
ditangan Hakim yang memeriksa dan mengadili berdasarkan bukti-bukti
yang telah ada.
Sanksi pidana pembunuhan dalam KUHP tidak terdapat hukuman
yang mengharuskan memberikan ganti rugi kepada keluarga korban,
misalnya membayar diyat seperti pada hukum Islam. Karena dalam hukum
pidana yang diatur dalam KUHP, hukum pidana merupakan mutlak hukum
publik dimana penyelesaiannya sepenuhnya menjadi hak negara. Namun
bila kita perhatikan, sebenarnya pihak yang paling dirugikan apabila
terjadi tindak pidana pembunuhan adalah keluarga korban, sebab sudah
barang tentu keluarga korban akan merasa kehilangan salah satu anggota
keluarganya dan mungkin akan kehilangan sumber penghasilannya apabila
korbannya merupakan tulang punggung keluarga yang bekerja untuk
mencari nafkah bagi keluarganya. Oleh karena itu sanksi pidana penjara
yang diatur dalam KUHP mungkin hanya akan memberikan keadilan dari
aspek batiniah dari keluarga korban karena pelaku sudah mendapatkan
sanksi pidana yang setimpal berupa dipidana penjara selama waktu
tertentu, namun dari aspek materiil keluarga korban tidak mendapatkan
balasan atau ganti rugi apapun dari pelaku. Sehingga dalam hukum Islam
tujuan dari pembayaran diyat kepada keluarga korban ini adalah sebagai
ganti rugi materiil dari pelaku karena telah membunuh salah satu anggota
keluarga korban yang menjadi sumber pencari penghasilan bagi
keluargnya.
Pada pembunuhan yang berencana, KUHP memberikan sanksi
pidana yang paling berat diantara bentuk pembunuhan yang lainnya, yaitu
berupa pidana mati atau penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu
paling lama dua puluh tahun sebagaimana diatur pada 340 KUHP. Faktor
adanya perencanaan inilah yang menjadi dasar beratnya hukuman ini
dibandingkan dengan pembunuhan yang lain. Terdapat 3(tiga) syarat/unsur
dari adanya rencana terlebih dahulu ini (Adami Chazawi, 2001 : 82), yaitu:
a) Memutuskan kehendak dalam suasana batin yang tenang
Maksudnya ialah pada saat melaksanakan kehendak untuk
membunuh dilakukan dalam suasana batin yang tenang. Suasana batin
yang tenang adalah suasana yang tidak tergesa-gesa atau tiba-tiba,
tidak dalam keadaan terpaksa dan emosi yang tinggi. Sebelum
memutus kehendak untuk membunuh, sudah dipertimbangkan dan
dipikirkan mengenai untung dan ruginya, resiko, cara yang digunakan,
alat yang digunakan dan sebagainya.
b) Adanya waktu yang cukup lama sejak timbulnya kehendak sampai
dengan pelaksanaan kehendak
Waktu yang cukup lama atau tenggang waktu ini adalah relatif,
artinya tidak diukur dari lamanya waktu tertentu, melainkan tergantung
pada keadaan atau kejadian konkret yang berlaku. Dalam tenggang
waktu ini terdapat hubungan antara pengambilan putusan kehendak
dengan pelaksanaan kehendak. Artinya bahwa pelaku masih mungkin
untuk menarik kehendaknya untuk membunuh, dan ada waktu untuk
memikirkan cara dan alat apa yang akan digunakannya.
c) Pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana batin yang tenang
Maksudnya ialah pada saat melaksanakan pembunuhan tidak
dalam suasana yang tergesa-gesa, rasa takut, ancaman, emosi yang
berlebihan, dan sebagainya.
Ketiga unsur/syarat mengenai perencanaan diatas, bersifat
kumulatif, artinya apabila salah satu dari unsur/syarat tersebut tidak
terpenuhi, maka sudah tidak dapat lagi disebut sebagai perencanaan.
Namun untuk membuktikan ketiga unsur tersebut tidaklah mudah, karena
bentuknya menyerupai pembunuhan biasa. Disinilah peran aparat penegak
hukum untuk dapat membuktikan bahwa suatu tindak pidana pembunuhan
apakah tergolong pada pembunuhan biasa (Pasal 338 KUHP) atau
termasuk pada pembunuhan berencana (Pasal 340 KUHP).
Sedangkan dalam hukum Islam tidak membedakan antara
pembunuhan yang direncanakan terlebih dahulu atau tidak, hukum Islam
hanya mengkategorikan berdasarkan unsur kesengajaannya. Jadi selama
pembunuhan itu dilakukan dengan sengaja entah itu dengan perencanaan
terlebih dahulu atau tidak hukumannya tetap sama, yaitu hukuman qishas
atau diyat.
Pada pembunuhan yang dilakukan oleh ayah terhadap anak
kandungnya sendiri, dalam hukum Islam terdapat pengecualian mengenai
sanksi hukumannya. Menurut hukum Islam, seorang ayah yang membunuh
anaknya sendiri tidak dikenakan hukuman, sebagaimana disebutkan dalam
Hadist, yang artinya : “seorang ayah tidak dituntut karena membunuh
anaknya” ( H.R. Ahmad, Tirmidzi, dan Ibnu Majah). Jadi berdasarkan
Hadist tersebut bahwa apabila seorang ayah membunuh anaknya sendiri,
pelaku (ayah) tidak dapat dituntut hukuman qishas atau diyat. Hal ini tentu
berbeda dengan yang diatur dalam KUHP. KUHP tidak memandang
pelaku pembunuhan berdasarkan ada atau tidaknya hubungan
kekeluargaan dengan korbannya. Setiap orang yang melakukan tindak
pidana pembunuhan akan diancam dengan pidana penjara selama waktu
tertentu. KUHP hanya memberikan sedikit keringanan ancaman pidana
terhadap seorang ibu yang membunuh anaknya sendiri saat dilahirkan atau
tidak lama setelah dilahirkan, itupun dengan alasan karena ibu tersebut
takut akan ketahuan melahirkan anak, sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 341 dan 342 KUHP.
Pasal 341 KUHP menyebutkan bahwa latar belakang atau motif
dari tindak pidana ini adalah karena adanya rasa takut akan ketahuan orang
lain apabila ia melahirkan anak. Waktu pelaksanaan dari pembunuhan bayi
ini dibagi menjadi 2(dua) macam, yaitu :
(1) Pada saat bayi dilahirkan
Maksudnya ialah waktu dari pembunuhan ini pada saat atau selama
proses persalinan berlangsung. Jadi bayi yang dibunuh haruslah
benar-benar sudah diluar rahim ibunya, meskipun hanya sebagian
anggota tubuh bayi itu yang baru keluar.
(2) Tidak lama setelah dilahirkan
Maksudnya adalah pembunuhan bayi ini jangka waktunya tidak lama
setelah bayi itu dilahirkan atau keluar dari rahim ibunya. Apabila
dilakukan dalam jangka waktu yang lama setelah dilahirkan, maka
pembunuhan tersebut termasuk dalam pembunuhan biasa (Pasal 338
KUHP).
Di media masa sering ada berita bahwa motif dari pembunuhan
bayi oleh ibu kandungnya sendiri ialah karena si pelaku merasa malu dan
takut dengan orang lain apabila ia melahirkan bayi sebab anak tersebut
bukanlah hasil dari perkawinan yang sah. Contohnya di Suara Merdeka
diberitakan bahwa seorang wanita bernama Mitun Jayanti (27 tahun),
warga Desa Srinahan, Kesesi, Kabupaten Pekalongan, telah membunuh
bayinya sendiri yang baru saja dilahirkannya. Tersangka mengaku kalut
dan takut karena melahirkan tanpa suami pada Senin (14/3/2005) sekitar
pukul 04.30. Beberapa saat setelah melahirkan tanpa bantuan bidan, Mitun
yang beranak satu, kemudian mengambil jarik (kain batik) warna hijau dan
menutupkannya ke muka bayi itu. Dia kemudian menekan leher bayi yang
tak berdosa itu sampai meninggal (www.Suara Merdeka.com).
Mengenai pembunuhan atas permintaan korban sendiri,
sebagaimana diatur pada Pasal 344 KUHP terhadap pelaku diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Pembunuhan atas
permintan korban sendiri ini harus memenuhi unsur sebagai berikut :
a) Dilakukan atas permintaan korban sendiri
Pengertian permintaan disini adalah berupa pernyataan
kehendak yang ditujukan kepada orang lain untuk melakukan suatu
perbuatan tertentu yang diminta oleh orang yang memintanya itu. Jadi
inisiatif untuk melakukan pembunuhan ini datang dari korban sendiri.
b) Secara jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati
Artinya bahwa pernyataan untuk dilakukan pembunuhan ini
harus dinyatakan dengan sungguh-sungguh atau harus dinyatakan
secara tegas dan jelas. Korban harus menyadari atau menginsafi secara
betul mengenai niatannya itu. Pernyataan tersebut harus benar-benar
muncul dari permintaan korban sendiri untuk memerintahkan kepada
orang lain untuk mengakhiri hidupnya.
Sedangkan menurut hukum Islam terdapat perbedaan pendapat
mengenai pemberian sanksi pembunuhan atas permintaan korban sendiri.
Menurut Imam Abu Hanifah, Abu Yusuf dan Muhammad sanksinya
adalah membayar diyat, karena pemberian ijin untuk membunuh tersebut
menimbulkan syubhat atau keraguan. Menurut Zulfar sanksinya tetap
qishas, karena ijin tersebut tidak menimbulkan syubhat. Menurut Imam
Ahmad, pelaku tidak diberi sanksi qishas maupun diyat karena kerelaan
untuk dibunuh tersebut berarti korban telah memaafkan pelaku dari
hukuman.
Pada kasus pembunuhan seorang ibu terhadap anaknya sendiri,
menurut hukum Islam si pelaku tetap diancam dengan hukuman qishas.
Sebab dari Hadist diatas yang tidak dapat dituntut hukuman qishas karena
membunuh anaknya sendiri adalah ayahnya, bukan ibunya. Namun Imam
Maliki berpendapat lain, seorang ayah yang dengan sengaja membunuh
anaknya sendiri juga dapat dijatuhi hukuman qishas, karena kandungan
ayat qishas dalam Al Quran bersifat umum, dan adanya Hadist yang
menyebutkan bahwa diantara yang menghalalkan darah seorang mukmin
adalah pembunuhan yang disengaja tanpa alasan yang dibenarkan.
Pada tindak pidana terhadap kandungan yaitu berupa pengguguran
dan pembunuhan terhadap kandungan atau janin menurut KUHP diatur
dalam Pasal 346 sampai Pasal 349, dimana ancaman pidananya berupa
pidana penjara selama waktu tertentu. Menurut Pasal 346, ada 4(empat)
perbuatan yang dirumuskan, yaitu :
(1) Menggugurkan kandungan
Pengertianya adalah suatu perbuatan yang dilakukan terhadap
kandungan seorang wanita yang mengakibatkan lahirnya janin yang
dikandungnya sebelum pada waktunya (tidak alami). Dalam istilah
kedokteran perbuatan ini sering disebut abortus provocatus.
(2) Mematikan kandungan
Pengertiannya adalah suatu perbuatan dilakukan terhadap kandungan
seorang wanita dengan tujuan untuk mematikan janin yang ada di
dalam rahim wanita tersebut. Artinya mematikan suatu kehidupan yang
ada di dalam rahim seorang wanita.
(3) Menyuruh orang lain untuk menggugurkan kandungan
Maksudnya adalah adanya orang lain yang disuruh oleh wanita yang
mengandung untuk menggugurkan kandungannya.
(4) Menyuruh orang lain untuk mematikan kandungan
Maksudnya hampir sama dengan pengertian diatas, yaitu menyuruh
orang lain untuk mematikan kandungan atau janin yang ada dirahim
wanita tersebut.
Dalam rumusan Pasal 346 ini, disebutkan bahwa pelaku/subjek
hukumnya adalah seorang wanita, bukan seorang ibu seperti pada Pasal
341 dan 342 KUHP. Hal ini dikarenakan pada Pasal 341 dan 342 KUHP
disebutkan bahwa pembunuhannya dilakukan terhadap bayi yang sudah
dilahirkan, sehingga orang tersebut sudah selayaknya disebut sebagai
seorang ibu karena sudah melahirkan seorang anak. Sedangkan pada Pasal
346, pembunuhannya dilakukan terhadap janin yang masih ada di dalam
kandungan atau belum dilahirkan secara alami dan tidak disyaratkan janin
tersebut sudah berbentuk bayi atau belum, sehingga orang ini belum layak
disebut sebagai seorang ibu karena belum melahirkan anak yang
dikandungnya. Sedangkan menurut Pasal 347 sampai dengan Pasal 349
KUHP merupakan pengguguran dan pembunuhan terhadap kandungan
yang dilakukan oleh orang lain.
KUHP tidak mempermasalahkan mengenai berapa bulan usia janin
tersebut yang digugurkan atau dibunuh. Selama dalam rahim wanita sudah
terdapat janin, maka apabila digugurkan akan dapat dikenai sanksi pidana.
Sedangkan dalam hukum Isalam ada perbedaaan pendapat dikalangan para
ulama. Al Quran menjelaskan bahwa sebuah janin baru diberikan roh atau
nyawa setelah berumur empat bulan. Apabila janin yang digugurkan
tersebut belum berumur empat bulan, ada sebagian ulama yang
memakruhkan hukumnya dan ada pula yang mengharamkannya. Hampir
tidak ada ulama yang membolehkannya (mubah), apalagi sunah atau
wajib. Para ulama yang memakruhnya beranggapan bahwa janin tersebut
belum dirasakan kehidupannya karena masih berupa segumpal darah atau
daging. Namun para ulama sepakat bahwa menggugurkan kandungan
setelah janin berumur empat bulan atau lebih adalah haram, sehingga
perbuatan tersebut dapat dikategorikan sebagai jinayat yang dapat dikenai
hukuman qishas atau diyat. Sebab janin tersebut dipandang sudah menjadi
manusia.
Apabila seseorang melakukan penganjuran dan pertolongan pada
orang lain yang ingin bunuh diri, menurut hukum pidana orang tersebut
dapat dikenai sanksi pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 345 KUHP
terhadap orang yang melakukan penganjuran dan pertolongan atau
memberi sarana terhadap bunuh diri dapat diancam dengan pidana penjara
paling lama empat tahun. Berdasarkan Pasal 345 KUHP ini, terdapat
3(tiga) bentuk perbuatan yang dilakukan, yaitu :
a) Dengan sengaja mendorong orang lain untuk melakukan bunuh diri
Mendorong artinya adalah suatu perbuatan yang dilakukan
dengan cara atau bentuk apapun yang sifatnya untuk mempengaruhi
atau mendukung orang lain untuk melakukan kehendak tertentu yang
diinginkannya. Sehingga karena adanya dorongan ini, inisiatif untuk
melakukuan perbuatan bunuh diri tersebut berasal dari orang lain,
bukan dari korban itu sendiri. Pada perbuatan mendorong ini ada
pengaruh batin antara korban dan pelaku (pendorong).
b) Dengan sengaja menolong orang lain dalam melakukan bunuh diri
Menolong artinya membantu orang lain dalam melakukan
suatu perbuatan tertentu. Dalam hal ini adalah menolong orang lain
untuk melakukan bunuh diri. Apabila pada perbuatan mendorong
terdapat hubungan batin, pada perbuatan menolong ini lebih bersifat
riil atau perbuatannya nyata. Misalnya dengan mempermudah atau
memperlancar bagi orang lain untuk melakukan bunuh diri, contohnya
A ingin bunuh diri dengan cara membakar tubuhnya, B membantu A
menyiramkan bensin ke tubuh A. Dari contoh tersebut bahwa
perbuatan B tampak nyata dalam membantu proses bunuh diri A.
Pada perbuatan menolong ini, inisiatif untuk bunuh diri berasal
dari korban sendiri, bukan dari orang lain (penolong). Sehingga yang
menentukan apakah perbuatan tersebut akan dilanjutkan atau tidak,
sepenuhnya tergantung pada orang yang akan bunuh diri itu sendiri.
c) Dengan sengaja memberikan sarana kepada orang lain yang akan
bunuh diri
Bentuk dari perbuatan ini hampir sama dengan menolong.
Peranan dari kedua perbuatan tersebut adalah untuk mempermudah
atau memperlancar terjadinya bunuh diri. Karena hanya sebatas
mempermudah atau memperlancar saja, maka pada perbuatan ini juga
tidak bersifat menentukan apakah bunuh dirinya akan dilanjutkan atau
dibatalkan. Sepenuhnya tergantung dari pelaku bunuh diri itu sendiri.
Misalnya A ingin bunuh diri, kemudian B meminjamkan pistol kepada
A. Keputusan untuk melakukan bunuh diri ini sepenuhnya tergantung
pada A. Namun apabila B ikut merayu A supaya melanjutkan bunuh
diri, maka ia termasuk kedalam 2(dua) perbuatan sekaligus, yaitu
memberikan sarana dan mendorong terjadinya bunuh diri.
Pada akhir kalimat dalam Pasal 345 KUHP menyatakan bahwa
“kalau orang itu jadi bunuh diri”. Ini berarti bahwa ketiga macam
perbuatan diatas, yaitu mendorong, menolong, memberikan sarana untuk
bunuh diri, baru dapat dipertanggungjawabkan apabila mengakibatkan
meninggalnya korban. Jadi pada unsur ini merupakan syarat yang mutlak
untuk dapat dipidana seseorang karena melanggar Pasal 345 KUHP.
Contohnya, A pada waktu bunuh diri dengan membakar dirinya atas
pertolongan dari B, ternyata A tidak mati karena ada tetangganya yang
tahu kemudian dirawat di rumah sakit. Pada kasus ini B tidak dapat dijerat
dengan Pasal 345 KUHP, karena kejadian ini baru sebatas pada percobaan
bunuh diri sehingga tidak dapat dipidana.
Dalam hukum Islam tidak ada dalil yang menyebutkan mengenai
sanksi pidana terhadap orang yang menganjurkan dan menolong pada
perbuatan bunuh diri. Orang yang melakukan bunuh diri itulah yang nanti
akan mendapatkan hukuman dari Allah kelak di akhirat, sebagaimana
dijelaskan dalam Hadist, yang artinya : “ barang siapa menjatuhkan dirinya dari atas gunung untuk membunuh dirinya, maka ia akan terjun kedalam neraka jahanam dan kekal disana selamanya. Barang siapa meminum racun kemudian ia mati karenanya, maka kelak racun yang ia minum ditangannya akan ia minum selamanya di neraka jahanam. Barang siapa membunuh dirinya dengan besi maka besi yang berada ditangannya itu akan dipukulkan kepadanya terus-menerus di neraka jahanam untuk selamanya” (H.R. Imam Bukhari dan Muslim).
Dalam Al Quran Surat An Nisaa’ Ayat 29 Allah berfirman, yang
artinya : “ …dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah
terhadap kamu adalah Maha Penyayang “
Berdasarkan dalil diatas dijelaskan bahwa manusia dilarang untuk
melakukan bunuh diri dan terhadap orang yang melakukan bunuh diri akan
mendapatkan hukuman di neraka jahanam berupa pembalasan yang sama
dengan cara dilakukannya bunuh diri pada waktu di dunia. Manusia
diwajibkan untuk saling tolong-menolong dalam hal kebaikan dan
kesabaran, sebagaimana disebutkan dalam Al Quran Surat Al ‘Ashr Ayat
1-3, yang artinya : “ Demi masa. Sesunggungnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan
nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati
supaya menetapi kesabaran“(Depag RI, 1971:1099).
Seseorang dapat dituntut hukuman qishas apabila pelakunya adalah
mukalaf, yaitu orang yang dapat memepertanggung-jawabkan
perbuatannya. Sebab dalam hukum Islam seorang yang bukan mukalaf
tidak dapat dituntut hukuman, sebagaimana disebutkan dalam hadist
Rasulullah SAW, yang artinya : “Diangkat pena dari tiga golongan:
(Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras
pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur
hingga terjaga.” (H.R. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi). Jadi terhadap
anak kecil (belum baligh) dan orang gila yang melakukan pembunuhan
tidak dapat dituntut hukuman qishas. Sama halnya yang diatur dalam
KUHP, pada Pasal 44 diterangkan bahwa orang yang sakit jiwa
(gebrekkige ontwikkeling) atau orang gila yang melakukan tindak pidana
pembunuhan juga tidak dapat dipidana. Sedangkan terhadap seseorang
yang belum berumur 16 tahun yang melakukan tindak pidana
pembunuhan, dalam Pasal 45 dijelaskan bahwa hakim dapat menentukan
supaya dikembalikan kepada orang tua/walinya atau tanpa dipidana
apapun. Namun jika hakim menjatuhkan pidana, menurut Pasal 47 KUHP
maka maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga, atau jika perbuatannya
merupakan kejahatan yang diancam dengan pidana mati, atau pidana
penjara seumur hidup maka dijatuhkan pidana penjara paling lama lima
belas tahun.
Pada percobaan pembunuhan, menurut hukum Islam pelaku dapat
dijatuhi hukuman ta’zir. Namun para ulama berbeda pendapat mengenai
ketentuan ta’zirnya. Imam Malik dan Imam al-Laits berpendapat bahwa
bila si pelaku dimaafkan maka ta’zirnya adalah dijilid seratus kali dan
dipenjara selama satu tahun. Sedangkan menurut KUHP, mengenai
percobaan diatur pada Pasal 53. Suatu perbuatan dapat disebut sebagai
percobaan pembunuhan jika niat untuk melakukannya telah nyata dari
adanya permulaan pelaksanaan, dan tidak selesainya pelaksanaan itu
bukan disebabkan karena kehendaknya sendiri. Terhadap pelaku
percobaan pembunuhan ini, ancaman pidananya adalah maksimum pidana
pokok dikurangi sepertiga, atau dapat dipidana penjara paling lama lima
belas tahun apabila pelaku melakukan percobaan pembunuhan berencana.
Apabila ada dua orang yang melakukan pembunuhan dimana salah
satu orang hanya memegang saja bukan bertujuan untuk membunuh, maka
menurut hukum Islam ia (yang memegang) tidak dapat dituntut qishas.
Namun apabila memegang dengan maksud untuk membunuhnya, dan
pembunuhnya adalah orang yang ketiga, dikalangan ulama terdapat
perbedaaan pendapat. Imam Malik berpendapat bahwa yang memegang
juga mendapatkan hukuman qishas. Sedangkan Imam Abu Hanifah dan
Imam Syafi’I berpendapat bahwa orang yang memegang tersebut diancam
dengan hukuman ta’zir, karena ia tidak membunuhnya secara langsung.
Sedangkan menurut KUHP, orang yang memegang tersebut disebut
sebagai pembantu (medeplichtige). Mengenai kasus ini diatur dalam Pasal
56 dan 57 KUHP. Pembantu ialah orang yang sengaja memberi bantuan,
kesempatan, sarana, atau keterangan untuk melakukan kejahatan.
Terhadap pembantu kejahatan, ancaman pidananya adalah maksimum
pidana pokok dikurangi sepertiga, dan jika kejahatannya diancam dengan
pidana mati atau penjara seumur hidup, maka diancam dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
Dalam KUHP pada setiap ancaman sanksi pidana terdapat kalimat
“paling lama”. Hal ini menunjukan bahwa hakim diberikan kebebasan
untuk menentukan lamanya pidana penjara yang akan dijatuhkan kepada
terdakwa. Namun kebebasan hakim tersebut bukan berarti kebebasan yang
mutlak tidak terbatas. “Menurut Gunter Warda, dalam menentukan berat-
ringannya hukuman yang akan dijatuhkan oleh hakim harus
memperhatikan beberapa aspek, antara lain mengenai sifat dan seriusnya
delik yang dilakukan, kepribadian dari pelaku, umur, tingkat pendidikan,
jenis kelamin, lingkungan tempat tinggal pelaku dan sebagainya” (Oemar
Seno Adji, 1984 : 8).
Pembunuhan sengaja yang dimaafkan dari hukuman qishas dan
diyat adalah aturan yang baik dan membawa kemaslahatan. Namun
pembunuhan itu tidak hanya melanggar hak perorangan melainkan juga
melanggar hak jamaah atau masyarakat, oleh sebab itu hukuman ta’zir
sebagai sanksi atas hak masyarakat. Imam Malik dan Imam al Laits
berpendapat bahwa bila dalam kasus pembunuhan dimaafkan, maka
sanksinya adalah dijilid/dera seratus kali dan dipenjara selama satu tahun..
Jadi hukuman ta’zir dapat dijatuhkan terhadap pembunuh dimana sanksi
qishas tidak dilaksanakan ( H.A. Djazuli, 2000 : 175).
Dalam hukum pidana Islam, selain akan mendapatkan sanksi
pidana berupa qishas atau membayar diyat, terhadap pelaku pidana
pembunuhan juga akan mendapatkan hukuman di akhirat, sebagaimana
firman Allah SWT dalam Surat An Nisaa’ Ayat 93, yang artinya : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja
maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka
kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar
baginya” (Depag RI, 1971:136).
Pembunuhan terhadap seorang mukmin dengan sengaja akan
dimasukkan ke dalam neraka jahanam selamanya dan Allah murka dan
mengutuknya serta akan mendapatkan azab yang besar bagi pelakunya.
Namun ulama-ulama Syafi’i berpendapat bahwa pembunuh dapat bertobat
dan meminta ampunan dari Allah atas perbuatan yang telah dilakukannya.
Sebagaimana firman Allah dalam Surat An Nisaa’ Ayat 48 : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia
mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang
dikehendaki-Nya” (Depag RI, 1971:126).
Ibnu Abbas r.a. telah menceritakan hadist berikut, bahwa Nabi
SAW pernah bersabda, yang artinya :
“Manusia yang paling dibenci oleh Allah ada tiga macam, yaitu : orang
yang durhaka di tanah suci, orang yang melakukan perbuatan jahiliyah
dalam Islam, dan orang yang menuntut darah orang lain tanpa alasan
yang hak selain untuk mengalirkan darahnya (membunuhnya)” (H.R.
Bukhari)
Menurut Hadist tersebut bahwa membunuh orang tanpa ada alasan
yang dibenarkan merupakan salah satu perbuatan yang paling dibenci oleh
Allah. Ketiga orang tersebut merupakan orang yang paling jahat di sisi
Allah.
2. Pembunuhan Tidak Disengaja
Pembunuhan yang tidak disengaja adalah pembunuhan yang terjadi
karena pelaku tidak menghendaki akibat dari perbuatannya. Mengenai
tindak pidana pembunuhan yang tidak disengaja ini, diatur dalam Pasal
359 KUHP. Terhadap setiap orang karena kealpaannya menyebabkan
matinya orang lain, menurut KUHP diancam dengan pidana penjara paling
lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun.
Bentuk dari kealpaan ini dapat berupa perbuatan yang pasif
maupun aktif. Contoh perbuatan yang pasif misalnya penjaga palang pintu
kereta api karena tertidur pada waktu ada kereta yang melintas dia tidak
menutup palang pintu sehingga mengakibatkan tertabaraknya mobil yang
sedang melintas. Bentuk kealpaan penjaga palang pintu ini berupa
perbuatan yang pasif karena tidak melakukan apa-apa. Sedangkan contoh
perbuatan yang aktif misalnya seseorang yang sedang menebang pohon
ternyata menimpa orang lain sehingga matinya orang itu karena tertimpa
pohon. Bentuk kealpaan dari penebang pohon ini berupa perbuatan yang
aktif.
Hukum Islam mendefinisikan pembunuhan yang tidak disengaja
adalah seorang mukalaf yang melakukan pembunuhan karena adanya
kesalahan. Pembunuhan karena kesalahan diatur dalam Al Quran Surat
An-Nisa’ ayat 92, yang artinya : “Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah. Jika ia (si terbunuh) dari kaum yang memusuhimu, padahal ia mukmin, maka (hendaklah si pembunuh) memerdekakan hamba sahaya yang mukmin. Dan jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana” (Depag RI, 1971:135).
Dalam ayat diatas terdapat ketentuan sebagai berikut :
a. Seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh mukmin lainnya,
maka diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan seorang
hamba sahaya mukmin dan membayar diyat yang diserahkan kepada
keluarga korban.
b. Seorang mukmin yang membunuh mukmin lainnya dari kaum yang
memusuhinya karena tidak sengaja, hanya diwajibkan membayar
kifarat berupa memerdekakan seorang hamba sahaya mukmin.
c. Seorang mukmin yang tidak sengaja membunuh orang kafir yang ada
perjanjian damai, diwajibkan membayar kifarat berupa memerdekakan
seorang hamba sahaya mukmin dan membayar diyat yang diserahkan
kepada keluarga korban.
d. Jika tidak mungkin memerdekakan budak, maka dapat diganti dengan
cara berpuasa selama dua bulan berturut-turut.
Pada pembunuhan yang tidak disengaja, besarnya diyat yang harus
dibayarkan kepada keluarga korban jumlahnya sama dengan pembunuhan
yang disengaja, yaitu berupa 100 ekor onta. Tetapi jenis/klasifikasi
ontanya berbeda. Abdullah Ibnu Mas’ud r.a telah menceritakan Hadist
berikut, bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda, yang artinya : “Diyat pembunuhan karena keliru (tersalah) ialah dua puluh ekor onta
hiqqah, dua puluh ekor onta jadza’ah, dua puluh ekor onta bintu
makhadh, dua puluh ekor onta bintu labun, dua puluh ekor onta bani
makhadh yang betina” (H.R. Ash-habus Sunan). Berdasarkan Hadist diatas disebutkan bahwa besarnya diyat yang yang
harus dibayarkan berupa :
a. 20 ekor onta hiqqah,
b. 20 ekor onta jadza’ah,
c. 20 ekor onta bintu makhadh,
d. 20 ekor onta bintu labun,
e. 20 ekor onta bani makhadh yang betina
Pada pembunuhan tidak sengaja, diyatnya ialah mukhafafah (diyat
ringan), diyat ini pembayarannya tidak hanya dibebankan kepada korban
saja, melainkan juga bisa kepada keluarganya, selain itu pembayarannya
juga dapat diangsur selama tiga tahun.
Membebankan diyat mukhafafah kepada keluarga pelaku dengan
pertimbangan bahwa pelaku sedang tertimpa musibah karena
ketidaksengajaanya menyebabkan matinya orang lain sehingga diwajibkan
membayar diyat maupun kifarat, oleh sebab itu keluarganya sepantasnya
menolong saudaranya yang sedang mengalami musibah. Namun apabila
pelaku maupun keluarganya benar-benar tidak mampu untuk
membayarnya, maka yang membayar diyat adalah Negara yang diambil
dari baitulmal (kas Negara). Hal ini didasarkan pada Hadist Nabi SAW
yang mengajarkan, yang artinya“Aku adalah wali bagi orang yang tidak
mempunyai wali sama sekali”.
Pembunuhan yang tidak disengaja, menurut hukum Islam dan
KUHP sanksi pidananya lebih ringan daripada pembunuhan yang
disengaja. KUHP hanya memberikan sanksi pidana penjara paling lama
lima tahun atau bahkan mungkin hanya dipidana kurungan paling lama
satu tahun. Hal ini tentu jauh lebih ringan bila dibandingkan dengan
pembunuhan yang disengaja yang diatur pada Pasal 338 KUHP dimana
ancaman pidananya bisa lima belas tahun penjara. Sedangkan menurut
hukum Islam, sanksi pidana pembunuhan yang tidak disengaja juga lebih
ringan daripada pembunuhan yang disengaja. Pada pembunuhan yang
tidak disengaja tidak diancam dengan hukuman qishas.
Apabila ada dinding yang roboh menimpa orang lain hingga mati,
menurut Imam Hanafi orang yang memiliki tembok tersebut dapat
dimintai pertanggung-jawaban apabila sebenarnya ia mampu untuk
memperbaikinya, namun apabila ia tidak mampu maka pemilik tembok
tidak dapat dimintai pertanggung-jawaban. Apabila seseorang menggali
sumur atau lubang, lalu ada orang lain yang terperosok kedalamnya hingga
mati, Imam Malik berpendapat bahwa apabila menggalinya di suatu
tempat yang biasa untuk membuat sumur atau lubang, maka si penggali
tidak dapat dituntut pertanggung-jawaban., tetapi apabila penggaliannya
melewati batas penggalian, si penggali dapat dituntut pertanggung-
jawaban (Sayyid Sabiq, 1984 : 148-149).
Pada kedua kasus diatas menurut hukum pidana orang yang
memiliki dinding dan yang menggali sumur/lubang dapat dituntut
pertanggung-jawaban apabila memang terbukti ada kelalaian atau kealpaan
dari pemilik dinding atau penggali sumur/lubang. Apabila pemilik dinding
sudah mengetahui bahwa dindingnya akan roboh namun ia tetap
membiarkannya, lalu ada orang lain yang tertimpa hingga mati, maka ia
dapat dituntut pertanggung-jawaban dan terhadap penggali sumur/lubang
yang menggali ditempat yang tidak biasanya atau yang sering dilewati
orang, kemudian ada orang lain yang terperosok hingga mati karena tidak
ada tanda peringatan atau menutup lubangnya maka ia dapat dituntut
pertanggungjawaban karena kealpaan/kelalaiannya menyebabkan matinya
orang lain.
“Abdul Aziz Amir berpendapat bahwa pembunuhan yang tidak
disengaja yang merupakan akibat ketidak hati-hatian selain dikenai
hukuman diyat, juga dapat digabungkan dengan hukuman ta’zir, karena
ta’zir itu bersifat perorangan dan bukan merupakan hukum yang bersifat
umum” ( H.A. Djazuli, 2000 : 176). Sedangkan dalam KUHP, pelaku
pembunuhan yang tidak disengaja selain dapat dikenai sanksi pidana
penjara dapat juga dikenai sanksi pidana kurungan. Pidana kurungan
sifatnya lebih ringan daripada pidana penjara, misalnya pidana kurungan
ini bisa diganti dengan membayar denda sehingga tidak perlu
melaksanakan hukuman kurungan bila sudah membayar denda.
Sebagai contoh dari sanksi pidana yang dijatuhkan hakim terhadap
pelaku tindak pidana kejahatan terhadap nyawa, diambil dari putusan
Pengadilan nomor : 88/ Pid.B/ 2004/ PN. Ska. Seorang supir truk bernama
Slamet, umur 35 tahun, telah menabrak seorang pengendara motor
bernama Soedarmadi hingga tewas. Berdasarkan keterangan saksi dan
bukti yang ada, maka terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan
bersalah melakukan tindak pidana karena “kesalahannya menyebabkan
matinya orang lain” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 359 KUHP.
Hakim menjatuhkan hukuman berupa pidana penjara selama 6(enam)
bulan. Meskipun dalam KUHP terhadap pelaku pembunuhan karena
kesalahan atau kealpaan diancam dengan pidana penjara paling lama lima
tahun atau kurungan paling lama satu tahun. Hakim memberikan
keringanan hukuman ini dengan pertimbangan bahwa terdakwa mengakui
terus terang akan perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi,
terdakwa menyesali atas perbuatannya, dan terdakwa juga belum pernah
dipidana sebelumnya.
Tujuan dari pemberian sanksi pidana pembunuhan yang tidak
disengaja ini adalah supaya orang lebih berhati-hati dalam melakukan
perbuatannya agar tidak merugikan orang lain lebih-lebih sampai berakibat
kematian. Sebab agama dan negara sangat menghormati hak hidup
manusia, sehingga tidak mungkin akan membiarkan hilangnya nyawa
yang disebabkan karena kelalaian orang lain tanpa dikenai sanksi.
Wallahu’alam.
BAB IV
SIMPULAN DAN SARAN
A. Simpulan
Tindak pidana pembunuhan ialah kejahatan yang dilakukan berupa
penyerangan terhadap nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan yang
dilakukan dengan sengaja dalam KUHP diatur dalam Buku Kedua Bab XIX
Pasal 338 sampai dengan Pasal 350 mengenai Kejahatan Terhadap Nyawa.
Sedangkan pada tindak pidana pembunuhan yang tidak sengaja diatur dalam
Buku Kedua Bab XXI KUHP Pasal 359. Hukum Islam membagi tindak
pidana pembunuhan menjadi tiga macam, yaitu pembunuhan yang dilakukan
dengan sengaja, pembunuhan yang dilakukan tidak dengan sengaja dan
pembunuhan yang dilakukan menyerupai sengaja. Landasan hukum mengenai
tindak pidana pembunuhan ini diatur dalam beberapa ayat dalam Al Quran dan
juga diatur dalam Hadist Nabi Muhammad SAW.
Hukum pidana Indonesia maupun hukum pidana Islam menguraikan
unsur kesengajaan adalah berupa perbuatan yang dikehendaki pelakunya akan
menimbulkan suatu akibat tertentu. Dalam hal tindak pidana pembunuhan
yang disengaja, akibat yang dikehendaki oleh pelaku adalah meninggalnya
orang lain. Sedangkan pada pembunuhan yang tidak disengaja pelaku tidak
menghendaki akibat yang akan terjadi. Oleh sebab itu dalam KUHP maupun
hukum Islam sanksi pidana pembunuhan yang disengaja akan lebih berat
daripada yang tidak disengaja.
Sanksi pidana pembunuhan yang diatur dalam KUHP dapat berupa
pidana mati, pidana penjara, pidana kurungan dan pidana tambahan.
Sedangkan dalam hukum pidana Islam sanksi pidana pembunuhan dapat
berupa hukuman qishash, hukuman diyat, kifarat, dan hukuman ta’zir.
Hukum pidana Indonesia merupakan mutlak hukum publik (hukum
Negara), yaitu hukum yang mengatur hubungan antara orang/perseorangan
(warga negara) dengan Negara. Sehingga yang berhak untuk menentukan
hukumannya adalah Negara tanpa ada campur tangan dari orang lain.
Sedangkan dalam hukum pidana Islam tidak membedakan antara hukum
privat dan hukum publik. Sehingga memungkinkan adanya campur tangan
dari orang/perseorangan maupun dari pemerintah (penguasa) dalam
menentukan hukumannya. Hukum pidana Indonesia dalam hal terjadi tindak
pidana pembunuhan, proses hukumnya secara mutlak menjadi hak Negara
untuk menentukan hukuman apa yang akan dijatuhkan kepada pelaku, Negara
yang akan menentukan berat-ringannya hukuman berdasarkan bukti-bukti
yang ada. Sedangkan dalam hukum pidana Islam, apabila terjadi tindak pidana
pembunuhan yang berhak menentukan sanksi pidananya adalah pihak
keluarga atau ahli waris dari korban, apakah pelaku akan dijatuhi hukuman
qishas, atau dimaafkan dengan membayar diyat atau dimaafkan secara cuma-
cuma.
Hukum pidana Islam mengenal adanya pemaafan secara cuma-cuma
dari keluarga korban kepada pelaku atas pembunuhan yang telah
dilakukannya. Pemaafan secara cuma-cuma ini memungkinkan pelaku
pembunuhan tidak akan mendapatkan sanksi pidana apapun. Sedangkan dalam
hukum pidana Indonesia meskipun pelaku tindak pidana pembunuhan sudah
mendapatkan pemaafan dari keluarga korban, proses hukumnya masih tetap
berjalan karena yang menentukan hukumannya adalah Negara.
Sanksi pidana pembunuhan dalam hukum Islam selain diberikan di
dunia, pelaku juga akan mendapatkan hukuman di akhirat berupa dimasukkan
kedalam neraka Jahannam dan mendapatkan azab yang pedih dari Allah
apabila pelaku tidak bertobat kepada Allah atas perbuatan yang telah
dilakukannya.
B. Saran 1. Manusia merupakan mahluk yang paling dimuliakan Allah. Hak yang
paling utama dan dijamin oleh agama maupun oleh Negara adalah hak
hidup. Hak tesebut merupakan hak milik manusia secara mutlak tanpa
mempertimbangkan agama, bangsa dan kedudukan dalam masyarakat.
Oleh sebab itu seharusnya hak hidup tersebut harus dijaga dan dilindungi. 2. Pembunuhan itu menghancurkan tata nilai hidup yang telah dibangun oleh
kehendak Allah SWT dan merampas hak hidup orang yang menjadi
korban, sekaligus dapat mengakibatkan permusuhan dengan keluarga
korban dan juga mungkin dapat mengganggu kesejahteraan dan
kemakmuran kehidupan keluarga korban apabila korban merupakan
tulang punggung keluarga. Sehingga sepantasnya terhadap pelaku
pembunuhan, khususnya yang disengaja dan terencana mendapatkan
hukuman yang seberat-beratnya mengingat kejahatan yang telah
dilakukannya. 3. Apabila terjadi tindak pidana pembunuhan hendaknya pelaku segera
meminta maaf kepada keluarga korban dan keluarga korban hendaknya
juga dengan lapang dada menerima permintan maaf tersebut dengan baik.
Saling memaafkan merupakan perbuatan yang paling mulia disisi Allah
dan akan lebih mendekatkan kepada ketakwaan. 4. Kepada aparat penegak hukum, berikanlah keadilan yang seadil-adilnya
baik kepada pelaku kejahatan maupun kepada keluarga korban pada waktu
memberikan hukuman. Supaya dapat membuat jera terhadap pelakunya
agar tidak mengulanginya lagi dan juga sebagai peringatan terhadap orang
lain supaya tidak melakukan tindak pidana pembunuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku : Abuddin Nata. 2001. Sejarah Perkembangan dan Pendidikan Islam di Indonesia.
Jakarta : Gramedia. Adami Chazawi. 2001. Kejahatan Terhadap Tubuh & Nyawa. Jakarta : Raja
Grafindo Persada. . 2005. Pelajaran Hukum Pidana I. Jakarta. Raja Grafindo
Yogyakarta : Universitas Islam Indonesia Press. Ahmad Hanafi. 1967. Asas-asas Hukum Pidana Islam. Jakarta : Bulan Bintang. Andi Hamzah. 1986. Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke
Reformasi. Jakarta : Pradnya Paramita. Bambang Poernomo. 2000. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Ghalia
Indonesia. C.S.T.Kansil. 1989. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta :
Balai Pustaka. H.A. Djazuli. 2000. Fiqh Jinayah. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Ilham Bisri. 2004. Sistem Hukum Indonesia. Prinsip-Prinsip dan Implementasi
Hukum di Indonesia. Jakarta : Raja Grafindo Persada. Lexy J. Moelong. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja
Rosdakarya. Johnny Ibrahim. 2006. Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Malang :
Bayumedia. Leden Marpaung. 2005. Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana. Jakarta : Sinar
Grafika. Marsum. 1988. Jinayat (Hukum Pidana Islam). Yogyakarta : Universitas Islam
Indonesia Press.
Moeljatno. 1980. Asas-asas Hukum Pidana. Yogyakarta : Universitas Gadjah
Mada Press. Mohd. Idris. Ramulyo. 1997. Asas-asas Hukum Islam. Jakarta : Sinar grafika. Oemar Seno Adji. 1984. Hukum-Hakim Pidana. Jakarta : Erlangga. Romli Atmasasmita. 2000. Perbandingan Hukum Pidana. Bandung : CV. Mandar
Maju Sayyid Sabiq. 1984. Fikih Sunnah. Bandung : PT. Alma’arif. Soerjono Soekanto. 2006. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Universitas
Indonesia Press. Sudarto. 1990. Hukum Pidana I. Semarang : Yayasan Sudarto. Perundang-undangan : Al Hadist. Al Qur’an dan Terjemahannya. 1971. Jakarta : Departemen Agama RI. Moeljatno. 1996. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta : Bumi
Aksara.
Internet : http://www. Al-azim.com ( 9 Maret 2008 pukul 15.00 WIB.) http://www. Alislamu.com ( 9 Maret 2008 pukul 15.00 WIB.) http://digilib.itb.ac.id ( 24 Februari 2008 pukul 19.00 WIB.) http://www.Suara Merdeka.com ( 8 April 2008 pukul 15.00 WIB.)