Top Banner

of 26

stress kerja pada pegawai negri sipil (pns)

Oct 19, 2015

Download

Documents

stress kerja yang dialami oleh pegawai negri sipil
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
  • BAB II

    LANDASAN TEORI

    A. STRES KERJA

    1. Pengertian Stres Kerja

    Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan

    dengan pekerjaan mereka. Menurut Beer dan Newman (dalam Luthans, 1998),

    stres kerja adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu

    dengan pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan

    perubahan-perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan.

    Gibson dkk (1996), menyatakan bahwa stres kerja adalah suatu tanggapan

    penyesuaian diperantarai oleh perbedaan- perbedaan individu dan atau proses

    psikologis yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan dari luar

    (lingkungan), situasi, atau peristiwa yang menetapkan permintaan psikologis dan

    atau fisik berlebihan kepada seseorang.

    Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu

    proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan

    tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-

    variabelnya saling berkaitan. Selye (dalam Rice, 1992) menyatakan bahwa stres

    kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi

    individu berupa reaksi fisiologis, psikologis, dan perilaku.

    Morgan & King (1986) say that job stress as an internal state which can be caused by physical demands on the body (disease conditions, exercise,

    Universitas Sumatera Utara

  • extremes of temperature, and the like) or by environmental and social situations which are evaluated as potentially harmful, uncontrollable, or exceeding our resources for coping & rdquo

    Definisi stres kerja menurut Morgan & King (1986) adalah suatu keadaan

    yang bersifat internal, yang bisa disebabkan oleh tuntutan fisik, atau lingkungan,

    dan situasi sosial yang berpotensi merusak dan tidak terkontrol. Cooper (1994)

    juga mengatakan bahwa stres kerja juga didefinisikan sebagai tanggapan atau

    proses internal atau eksternal yang mencapai tingkat ketegangan fisik dan

    psikologis sampai pada batas atau melebihi batas kemampuan pegawai.

    Beehr dan Franz (dalam Retnaningtyas, 2005), mendefinisikan stres kerja

    sebagai suatu proses yang menyebabkan orang merasa sakit, tidak nyaman atau

    tegang karena pekerjaannya, tempat kerja atau situasi kerja tertentu. Ditambahkan

    lagi oleh Caplan, et al (dalam Rice, 1992) yang mengatakan bahwa stres kerja

    diakibatkan oleh jenis kerja yang mengancam pegawai.

    Beberapa aspek penting yang perlu disoroti dalam stres kerja, yaitu :

    1. Urusan stres yang dialami melibatkan juga pihak organisasi atau

    perusahaan tempat individu bekerja. Namun penyebabnya tidak hanya di

    dalam perusahaan, karena masalah rumah tangga yang terbawa ke

    pekerjaan dan masalah pekerjaan yang terbawa ke rumah dapat juga

    menjadi penyebab stres kerja Rousseau (dalam Rice, 1992).

    2. Mengakibatkan dampak negatif bagi perusahaan dan juga individu (Rice,

    1992).

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Memerlukan kerjasama antara kedua belah pihak untuk menyelesaikan

    persoalan stres tersebut (Ivancevich, Matteson, Freedman, & Phillips,

    (dalam Rice, 1992)).

    Stres kerja tidak selalu membuahkan hasil yang buruk dalam kehidupan

    manusia. Selye (dalam Rice, 1992) membedakan stres menjadi 2 yaitu distress

    yang destruktif dan eustress yang merupakan kekuatan positif. Stres diperlukan

    untuk menghasilkan prestasi yang tinggi. Demikian pula sebaliknya stres kerja

    dapat menimbulkan efek yang negatif, namun, pada umumnya gejala-gejala yang

    ditimbulkan oleh stres kerja memiliki lebih banyak dampak yang merugikan diri

    pegawai maupun perusahaan. Dampak merugikan yang diakibatkan oleh stres

    disebut juga dengan distress (Selye dalam Rice, 1992). Yang menjadi fokus dalam

    penelitian ini distress

    2. Sumber Stres Kerja

    Sumber stres kerja dikenal dengan job stressor yang sangat beragam dan

    reaksinya beragam pula pada setiap orang. Berikut ini beberapa sumber stres kerja

    menurut Cary Cooper (dalam Rice, 1992) yaitu :

    a. Kondisi Kerja

    Kondisi kerja ini meliputi kondisi kerja quantitative work overload,

    qualitative work overload, assembli line- hysteria , pengambilan

    keputusan, kondisi fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja, dan

    kemajuan teknologi (technostres).

    Universitas Sumatera Utara

  • Pengertian dari masing-masing kondisi kerja tersebut adalah

    sebagai berikut :

    1. Quantitative work overload

    Work overload (beban kerja yang berlebihan) biasanya terbagi dua,

    yaitu quantitative dan qualitative overload. Quantitative overload

    adalah ketika kerja fisik pegawai melebihi kemampuan nya. Hal ini

    disebabkan karena pegawai harus menyelesaikan pekerjaan yang

    sangat banyak dalam waktu yang singkat. Qualitative overload

    terjadi ketika pekrejaan yang harus dilakukan oleh pegawai terlalu

    sulit dan kompleks.

    2. Assembli line- hysteria

    Beban kerja yang kurang dapat terjadi karena pekerjaan yang harus

    dilakukan tidak menantang atau pegawai tidak lagi tertarik dan

    perhatian terhadap pekerjaannya.

    3. Pengambilan keputusan dan tanggungjawab

    Pengambilan keputusan yang akan berdampak pada perusahaan dan

    pegawai sering membuat seorang manajer menjadi tertekan. Terlebih

    lagi apabila pengambilan putusan itu juga menuntut

    tanggungjawabnya, kemungkinan peningkatan stres juga dapat

    terjadi.

    Universitas Sumatera Utara

  • 4. Kondisi fisik yang berbahaya

    pekerjaan seperti SAR, Polisi, penjinak bom sering berhadapan

    dengan stres. Mereka harus siap menghadapi bahaya fisik sewaktu-

    waktu.

    5. Pembagian waktu kerja

    Pembagian waktu kerja kadang-kadang mengganggu ritme hidup

    pegawai sehari-hari, misalnya pegawai yang memperoleh jatah jam

    kerja berganti-ganti. Hal seperti ini tidak selalu berlaku sama bagi

    setiap orang yang ada yang mudah menyesuaikan diri, tetapi ada

    yang sulit sehingga menimbulkan persoalan.

    6. Stres karena kemajuan teknologi (technostres). Technostres adalah

    kondisi yang terjadi akibat ketidakmampuan individu atau organisasi

    menghadapi teknologi baru.

    b. Ambiguitas Dalam Berperan

    Pegawai kadang tidak tahu apa yang sebenarnya diharapkan oleh

    perusahaan, sehingga ia bekerja tanpa arah yang jelas. Kondisi ini akan

    menjadi ancaman bagi pegawai yang berada pada masa karier tengah baya,

    karena harus berhadapan dengan ketidakpastian. Akibatnya dapat

    menurunkan kinerja, meningkatkan ketegangan dan keinginan keluar dari

    pekerjaan

    c. Faktor Interpersonal

    Hubungan interpersonal dalam pekerjaan merupakan faktor penting untuk

    mencapai kepuasan kerja. Adanya dukungan sosial dari teman sekerja,

    Universitas Sumatera Utara

  • pihak manajemen maupun keluarga diyakini dapat menghambat timbulnya

    stres. Dengan demikian perlu kepedulian dari pihak manjemen pada

    pegawai agar selalu tercipta hubungan yang harmonis.

    d. Perkembangan Karier

    Pegawai biasnya mempunyai berbagai harapan dalam kehidupan karier

    kerjanya, yang ditujukan pada pencapaian prestasi dan pemenuhan

    kebutuhan untuk mengaktualisasikan diri. Apabila perusahaan tidak

    memenuhi kebutuhan tersebut, misalnya : sistem promosi yang tidak jelas,

    pegawai akan merasa kehilangan harapan yang dapat menimbulkan gejala

    perilaku stres.

    e. Struktur Organisasi

    Struktur organisai berpotensi menimbulkan stres apabila diberlakukan

    secara kaku, pihak manajemen kurang memperdulikan inisiatif pegawai,

    tidak melibatkan pegawai dalam proses pengambilan keputusan dan tidak

    adanya dukungan bagi kreatifitas pegawai.

    f. Hubungan antara pekerjaan dan rumah

    Rumah adalah sebuah tempat yang nyaman yang memungkinkan

    membangun dan mengumpulkan semangat dari dalam diri individu untuk

    memenuhi kebutuhan luar. Ketika tekanan menyerang ketenangan

    seseorang, ini dapat memperkuat efek stres kerja. Denise Prosseau (dalam

    Rice, 1992). Spillover mengatakan kekurangan dukungan dari pasangan,

    konflik dalam rumah tangga merupakan faktor yang dapat mempengaruhi

    stres dan karir.

    Universitas Sumatera Utara

  • 3. Gejala Stres Kerja

    Robbins (2005), mengelompokkan gejala stres kerja ke dalam tiga aspek,

    yaitu:

    a. Gejala fisiologikal

    Yang termasuk dalam simptom-simptom ini yaitu:

    1) Sakit perut

    2) Detak jantung meningkat dan sesak nafas

    3) Tekanan darah meningkat

    4) Sakit kepala

    5) Serangan jantung

    Simptom-simptom pada fisiologkal memang tidak banyak ditampilkan,

    karena menurut Robbin (2005) pada kenyataannya selain hal ini menjadi

    kontribusi terhadap kesukaran untuk mengukur stres kerja secara objektif. Hal

    yang lebih menarik lagi adalah simptom fisiologikal hanya mempunyai sedikit

    keterkaitan untuk mempelajari perilaku organisasi.

    Berikut ini ada dua kategori simptom dari stres kerja yang lebih penting

    yaitu:

    b. Gejala psikologikal

    Adapun simptom-simptomnya sebagai berikut:

    1) Kecemasan

    2) ketegangan

    3) Kebosanan

    4) ketidakpuasan dalam bekerja

    Universitas Sumatera Utara

  • 5) irritabilitas

    6) menunda-nunda

    Gejala-gejala psikis tersebut merupakan gejala yang paling sering

    dijumpai, dan diprediksikan dari terjadinya ketidakpuasan kerja. Pegawai kadang-

    kadang sudah berusaha untuk mengurangi gejala yang timbul, namun menemui

    kegagalan sehingga menimbulkan keputusasaan yang seolah-olah terus dipelajari,

    yang biasanya disebut dengan learned helplessness yang dapat mengarah pada

    gejala depresi Bodner & Mikulineer (dalam Robbin, 2005)

    c. Gejala Perilaku

    Yang termasuk dalam simptom-simptom perilaku yaitu:

    1) Meningkatnya ketergantungan pada alkohol dan konsumsi rokok

    2) Melakukan sabotase dalam pekerjaan

    3) Makan yang berlebihan ataupun mengurangi makan yang tidak wajar

    sebagi perilaku menarik diri.

    4) Tingkat absensi meningkat dan performansi kerja menurun

    5) Gelisah dan mengalami gangguan tidur

    6) Berbicara cepat.

    Robbins, (2005) mengatakan bahwa gejala psikologikal akibat stres kerja

    adalah ketidakpuasan kerja yang lebih ditunjukkan dengan, kecemasan,

    ketegangan, kebosanan, irritabilitas dan menunda-nunda.

    Gejala stres kerja menurut Terry B dan John N (dalam Rice, 1992), dapat

    dibagi dalam 3 aspek yaitu :

    Universitas Sumatera Utara

  • a. Gejala Psikologis

    1. Cemas, tegang, kebingungan, dan sensitif

    2. Merasa frustasi, marah, dan kebencian

    3. Hipersensitif emosi dan hiperaktif

    4. Merasa tertindas

    5. Berkurangnya efektifitas berkomunikasi

    6. Menarik diri dan depresi

    7. Merasa terisolasi dan terasing

    8. Kebosanan dan ketidakpuasan kerja

    9. Kelelahan mental dan penurunan fungsi intelektual

    10. Kehilangan konsentrasi

    11. Kehilangan spontanitas dan kreatifitas

    12. Menurunnya Self-esteem

    b. Gejala fisiologis

    1. Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah,

    2. meningkatnya sekresi adrenalin dan nonadrenalin,

    3. gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan lambung),

    4. mudah terluka,

    5. mudah lelah secara fisik,

    6. kematian,

    7. gangguan kardiovaskuler,

    8. gangguan pernafasan,

    9. lebih sering berkeringat,

    Universitas Sumatera Utara

  • 10. gangguan pada kulit,

    11. kepala pusing, migrain,

    12. kanker,

    13. ketegangan otot,

    14. problem tidur (sulit tidur, terlalu banyak tidur).

    c. Gejala perilaku, meliputi :

    1. Menunda atau menghindari pekerjaan atau tugas,

    2. penurunan prestasi dan produktivitas,

    3. meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk,

    4. perilaku sabotase,

    5. meningkatnya frekuensi absensi,

    6. perilaku makan yang tidak normal (kebanyakan atau kekurangan),

    7. kehilangan nafsu makan dan penurunan drastis berat badan,

    8. meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti berjudi,

    9. meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan mencuri,

    10. penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman

    serta

    11. kecenderungan bunuh diri.

    Carry Cooper dan Alison Straw (1995) membagi gejala stres kerja menjadi

    tiga yaitu :

    1. Gejala fisik

    Gejala stres menyangkut fisik bisa mencakup: nafas memburu, mulut dan

    kerongkongan kering, tangan lembab, merasa panas, otot tegang, pencernaan

    Universitas Sumatera Utara

  • terganggu, mencret- mencret, sembelit, letih yang tak beralasan, sakit kepala,

    salah urat, gelisah.

    2. Gejala- gejala dalam wujud perilaku

    Banyak gejala stres yang menjelma dalam wujud perilaku, mencakup:

    a. Perasaan, berupa: bingung, cemas, dan sedih, jengkel, salah paham, tak

    berdaya, tak mampu berbuat apa- apa, gelisah, gagal, tak menarik,

    kehilangan semangat.

    b. Kesulitan dalam: berkonsentrasi, berfikir jernih, membuat keputusan.

    c. Hilangnya: kreatifitas, gairah dalam penampilan, minat terhadap orang

    lain.

    3. Gejala- gejala di tempat kerja

    Sebagian besar waktu bagi pegawai berada di tempat kerja, dan jika dalam

    keadaan stres, gejala- gejala dapat mempengaruhi kita di tempat kerja, antara

    lain:

    a. Kepuasan kerja rendah

    b. Kinerja yang menurun

    c. Semangat dan energi hilang

    d. Komunikasi tidak lancar

    e. Pengambilan keputusan jelek

    f. Kreatifitas dan inovasi berkurang

    g. Bergulat pada tugas- tugas yang tidak produktif.

    Universitas Sumatera Utara

  • B. PROKRASTINASI

    1. Pengertian Prokrastinasi

    Prokrastinasi (procrastination) dalam literatur ilmiah psikologi diartikan

    sebagai perilaku yang tidak menghargai waktu. American College Dictionary

    (dalam Burka dan Yuen, 1983) menjelaskan tentang prokrastinasi sebagai

    menangguhkan suatu tindakan untuk melaksanakan suatu tugas yang akan

    dilaksanakan pada waktu atau hari lainnya. Menurut kamus American Heritage

    Dictionary of the English Language : Fourth Edition (2000), perilaku penundaan

    adalah tidak mengerjakan tugas, menunda atau membatalkan mengerjakan

    sesuatu. Pendapat ini sejalan dengan ulasan Ellis dan Knaus (dalam the

    procrastination work book, 2010) yang mendefinisikan prokrastinasi sebagai

    suatu kegagalan untuk memulai maupun menyelesaikan suatu pekerjaan atau

    aktivitas pada waktu yang telah ditentukan. Solomon & Rothblum, 1984 (dalam

    Andrew J. Howell & David C. Watson, 2007) mengatakan bahwa prokrastinasi

    adalah suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun

    menyelesaikan tugas secara menyeluruh untuk melakukan aktivitas lain yang tidak

    berguna, sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas

    tepat pada waktunya, serta sering terlambat dalam menghadiri pertemuan-

    pertemuan. Prokrastinasi juga merupakan kebiasaan atau dengan sengaja menunda

    dan karena suatu alasan tertentu dianggap sebagai perilaku yang patut dicela

    seperti kemalasan atau pengabaian tanggungjawab (Websters Third International

    Dictionary dalam Benard, 1992).

    Universitas Sumatera Utara

  • Ferrari, Johnson, dan Mc.Cown (dalam Yakub, 2000) menambahkan,

    bahwa prokrastinasi adalah perilaku menunda yang dilakukan oleh individu dalam

    melaksanakan suatu pekerjaan atau tugas yang menyebabkan perasaan yang tidak

    nyaman. Solomon dan Rothblum, (1984) juga mengatakan bahwa suatu perilaku

    penundaan yang dilakukan oleh individu dapat dikatakan suatu prokrastinasi

    apabila perilaku penundaan itu dilakukan oleh individu pada tugas yang penting

    dan dilakukan berulang-ulang secara sengaja dan menimbulkan perasaan tidak

    nyaman pada diri individu.

    Menurut Johnson dan Bloom (dalam steel, 2004) perilaku penundaan

    adalah perilaku menunda penyelesaian sebuah tugas karena perasaan tidak

    nyaman yang dialami individu. Steel (2004) mengemukakan bahwa perilaku

    penundaan adalah perilaku menunda suatu pekerjaan yang dilakukan dengan

    sengaja walaupun penundaan ini dapat membuat hasil yang tidak maksimal.

    Menurut Ferrari et.al (1995) menyimpulkan bahwa pengertian

    prokrastinasi dapat dipandang dari berbagai sudut pandang yaitu 1).prokrastinasi

    adalah setiap perbuatan untuk menunda mengerjakan tugas tanpa

    mempermasalahkan tujuan dan alasan penundaan 2). Prokrastinasi sebagai suatu

    pola perilaku (kebiasaan) yang mengarah kepada trait, penundaan yang dilakukan

    sudah merupakan respon yang menetap seseorang dalam menghadapi tugas dan

    biasaanya disertai dengan keyakinan yang irrasional 3). Prokrastinasi sebagai

    suatu trait kepribadian, tidak hanya perilaku menunda tetapi melibatkan struktur

    mental yang saling terkait.

    Universitas Sumatera Utara

  • 2. Sumber Perilaku Prokrastinasi

    Sumber-sumber yang dapat mempengaruhi perilaku prokrastinasi pada

    pegawai dikategorikan menjadi dua macam menurut Burka & Yuen (dalam

    LaForge, 2008 & Steele, 2007) yaitu sumber internal dan sumber eksternal.

    1. Sumber internal

    Sumber-sumber yang terdapat dalam diri individu yang mempengaruhi

    perilaku prokastinasi pada pegawai. Sumber-sumber itu meliputi kondisi fisik dan

    kondisi psikologis dari individu, yaitu:

    a. Kondisi fisik individu

    Faktor dari dalam diri individu yang turut mempengaruhi munculnya

    prokastinasi pada pegawai adalah berupa keadaan fisik dan kondisi

    kesehatan individu misalnya kelelahan. Seseorang yang mengalami

    kelelahan akan memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk

    melakukan prokastinasi daripada yang tidak (Bruno, 1998; Millgram,

    dalam Ferrari dkk, 1995 dalam Erikha, 2009). Tingkat intelegensi yang

    dimiliki seseorang tidak mempengaruhi perilaku prokastinasi, walaupun

    prokastinasi sering disebabkan oleh adanya keyakinan-keyakinan yang

    irrasional yang dimiliki seseorang Ferrari (dalam Blunt, 1998).

    b. Kondisi psikologis pegawai.

    Menurut Millgram, dkk (dalam Rizvi, 1998), trait kepribadian individu

    yang turut mempengaruhi munculnya perilaku prokrastinasi, misalnya trait

    kemampuan sosial yang tercermin dalam self regulation dan tingkat

    kecemasan dalam berhubungan sosial, Janssen dan Carton (1999).

    Universitas Sumatera Utara

  • Besarnya motivasi yang dimiliki seorang pegawai juga akan

    mempengaruhi prokastinasi secara negatif, dimana semakin tinggi

    motivasi intrinsik yang dimiliki pegawai ketika menghadapi tugas, akan

    semakin rendah kecenderungannya untuk pegawai melakukan prokastinasi

    (Briordy, dalam Ferrari, dkk, 1995). Steele (2007) menambahkan,

    kebencian kepada tugas, cemas akan kegagalan, depresi atau yang

    berkaitan dengan mood, kekurangan energi atau tingkat motivasi yang

    rendah, masalah pada manajemen tugas, pemberontakan, menikmati

    bekerja dibawah tekanan dan impulsif juga termasuk dalam kategori

    sumber prokrastinasi instrinstik pada kondisi psikologis pegawai.

    2. Sumber eksternal

    Fakor-faktor yang terdapat di luar diri pegawai yang mempengaruhi perilaku

    prokastinasi antara lain berupa tugas yang terlalu banyak atau terlalu sedikit,

    tekanan dari atasan dan waktu yang diberikan untuk melaksanakan tugas-

    tugas. lingkungan yang kondusif juga menjadi suber penyebab perilaku

    prokrastinasi Steele (2007).

    3. Penyebab Perilaku prokrastinasi

    Bernard (1992) mengemukakan ada 10 penyebab seseorang melakukan

    perilaku prokrastinasi. Kesepuluh penyebab perilaku prokrastinasi tersebut adalah :

    a. Kecemasan

    Bernard menyatakan bahwa kecemasan yang dialami oleh seseorang

    dipengaruhi oleh stressful attitude orang tersebut. stressful attitude

    Universitas Sumatera Utara

  • merupakan sikap dan kognisi seseorang akan kejadian yang mereka alami.

    Individu cenderung menilai bahwa situasi-situasi yang dihadapinya

    membawa ancaman dan berpotensi menimbulkan stres bagi dirinya. Hal

    ini mengakibatkan respon emosional individu berupa kecemasan

    meningkat. Bernard juga menyatakan semakin tinggi tingkat kecemasan

    yang dialami oleh individu maka semakin tinggi pula kecenderungannya

    untuk melakukan perilaku prokrastinasi.

    b. Kurangnya penghargaan akan diri (self-depreciation)

    Bernard (1992) menyatakan bahwa terdapat sebagian orang yang memiliki

    kecenderungan self-depreciation yang lebih tinggi dibandingkan orang

    lain. Individu dengan self-depreciation tinggi mudah menyalahkan diri

    sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu penting. Ketika ada sesuatu

    yang sedikit saja berjalan dengan tidak semestinya, individu ini

    menyalahkan dirinya sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu penting.

    Individu mengalami kesulitan dalam menyusun rencana dan arah tujuan

    hidupnya. Saat individu melakukan penundaan, individu semakin merasa

    tidak yakin dengan dirinya sendiri dan ini akan semakin mempersulitnya

    dalam melakukan pekerjaannya.

    c. Rendahnya toleransi terhadap ketidakyakinan (low discomfort tolerance)

    Ketika menghadapi tugas yang membosankan ataupun sulit untuk

    dikerjakan ada sebagian orang yang menjadi sangat tertekan sementara

    oranglain tidaklah menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat

    menekan. Individu yang lebih mudah mengalami frustasi dan memiliki

    Universitas Sumatera Utara

  • toleransi terhadap ketidaknyamanan yang lebih rendah dibandingkan orang

    lain saat menghadapi stressor yang sama disebut Bernard (1992) sebagai

    sensation sensitive. Individu yang sensation sensitive ini terbiasa

    menghindari dan menarik diri dari tugas-tugas yang ia rasa menimbulkan

    frustasi.

    d. Pencarian kesenangan (pleasure seeking)

    Individu dengan pleasure seeking yang tinggi menolak mengorbankan

    kesenangannya untuk mengerjakan suatu tugas sekalipun tugas itu penting.

    e. Disorganisasi waktu (time disorganization)

    Individu dapat menunda melakukan pekerjaannya karena tidak memiliki

    waktu yang cukup untuk mengerjakannya, namun dapat pula disebabkan

    terlalu banyak waktu yang terbuang dengan sia-sia.

    f. Disorganisasi lingkungan (environmental disorganization)

    Lingkungan yang terlalu bising dan terlalu banyak gangguan akan

    mengakibatkan sulitnya berkonsentrasi pada individu sehingga membuat

    individu menunda melakukan pekerjaannya. Lingkungan yang berantakan

    dan penyimpanan dokumen-dokumen mengenai tugas yang tidak rapi juga

    dapat menghambat seseorang untuk dapat segera mngerjakan tugasnya.

    g. Rendahnya pendekatan terhadap tugas ( poor task approach)

    Bila seseorang tidak mengerti bagaimana mengawali atau bagaimana

    mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya maka hal ini dapat membuat

    seseorang menunda mengerjakan tugas tersebut.

    Universitas Sumatera Utara

  • h. Kurangnya asertifitas (lack of assertion)

    Individu yang sulit berkata tidak atau sulit untuk menolak permintaan

    orang lain, walaupun sebenarnya ia tak memiliki cukup waktu untuk

    melakukan permintaan tersebut karena harus mengerjakan pekerjaan

    lainnya, akan membuat individu semakin sulit mengatur waktunya dan

    harus menunda salah satu dari pekerjaan yang sebenarnya harus

    dikerjakan.

    i. Kekerasan terhadap orang lain (hostility with others)

    Perilaku menunda dapat juga didorong oleh faktor kemarahan individu

    terhadap orang lain. Kemarahan itu dapat berupa menolak untuk bekerja

    sama dengan orang tersebut ataupun menunda melakukan tugas yang

    diperintahkan dan diharapkan oleh orang tersebut.

    j. Stres dan kelelahan

    Stres dan kelelahan ini seringkali menimbulkan kecenderungan pada

    individu untuk menunda melakukan tugasnya.

    4. Karakteristik Perilaku Prokrastinasi

    Ferrari et al (1995), mengatakan bahwa sebagai suatu perilaku penundaan,

    prokrastinasi dapat termanifestasikan dalam indikator tertentu yang dapat diukur

    dan diamati ciri-ciri tertentu berupa:

    a. Penundaan untuk memulai maupun menyelesaikan kerja pada tugas yang

    dihadapi.

    Universitas Sumatera Utara

  • Seseorang yang melakukan prokrastinasi tahu bahwa tugas yang

    dihadapinya harus segera diselesaikan dan berguna bagi dirinya, akan

    tetapi dia menunda-nunda untuk mulai mengerjakannya atau menunda-

    nunda untuk menyelesaikan sampai tuntas jika dia sudah mulai

    mengerjakan sebelumnya.

    b. Keterlambatan dalam mengerjakan tugas, karena melakukan hal-hal lain

    yang tidak dibutuhkan.

    Orang yang melakukan prokrastinasi memerlukan waktu yang lebih lama

    daripada waktu yang dibutuhkan pada umumnya dalam mengerjakan suatu

    tugas. Seorang prokratinator menghabiskan waktu yang dimilikinya untuk

    mempersiapkan diri secara berlebihan, maupun melakukan hal-hal yang

    tidak dibutuhkan dalam penyelesaian suatu tugas, tanpa memperhitungkan

    keterbatasan waktu yang dimilikinya. Kadang-kadang tindakan tersebut

    mengakibatkan seseorang tidak berhasil menyelesaikan tugasnya secara

    memadai. Kelambanan, dalam arti lambannya kerja seseorang dalam

    melakukan suatu tugas dapat menjadi ciri yang utama dalam prokrastinasi.

    c. Kesenjangan waktu antara rencana dan kinerja aktual.

    Seorang prokrastinator mempunyai kesulitan untuk melakukan sesuatu

    sesuai dengan batas waktu yang telah ditentukan sebelumnya. Seorang

    prokrastinator sering mengalami keterlambatan dalam memenuhi deadline

    yang telah ditentukan, baik oleh orang lain maupun rencana-rencana yang

    telah dia tentukan sendiri. Seseorang mungkin telah merencanakan untuk

    mulai mengerjakan tugas pada waktu yang telah ia tentukan sendiri, akan

    Universitas Sumatera Utara

  • tetapi ketika saatnya tiba dia tidak juga melakukannya sesuai dengan apa

    yang telah direncanakan, sehingga menyebabkan keterlambatan maupun

    kegagalan untuk menyelesaikan tugas secara memadai.

    d. Melakukan aktivitas lain yang lebih menyenangkan daripada melakukan

    tugas yang harus dikerjakan.

    Seorang prokrastinator dengan sengaja tidak segera melakukan tugasnya,

    akan tetapi menggunakan waktu yang dia miliki untuk melakukan aktivitas

    lain yang dipandang lebih menyenangkan dan mendatangkan hiburan,

    seperti membaca (koran, majalah, atau buku cerita lainnya), nonton,

    ngobrol, jalan, mendengarkan musik, dan sebagainya, sehingga menyita

    waktu yang dia miliki untuk mengerjakan tugas yang harus

    diselesaikannya.

    C. HUBUNGAN ANTARA PROKRASTINASI DENGAN STRES KERJA

    PADA PEGAWAI NEGERI SIPIL

    Dalam bekerja hampir setiap orang mempunyai stres yang berkaitan dengan

    pekerjaan mereka. Menurut Beer dan Newman (dalam Luthans, 1998), stres kerja

    adalah suatu kondisi yang muncul akibat interaksi antara individu dengan

    pekerjaan mereka, dimana terdapat ketidaksesuaian karakteristik dan perubahan-

    perubahan yang tidak jelas yang terjadi dalam perusahaan.

    Stres kerja menurut Kahn, dkk (dalam Cooper, 2003) merupakan suatu

    proses yang kompleks, bervariasi, dan dinamis dimana stressor, pandangan

    tentang stres itu sendiri, respon singkat, dampak kesehatan, dan variabel-

    Universitas Sumatera Utara

  • variabelnya saling berkaitan. Selye (dalam Rice, 1992) menyatakan bahwa stres

    kerja dapat diartikan sebagai sumber atau stressor kerja yang menyebabkan reaksi

    individu berupa gejala pada fisiologis, psikologis, dan perilaku.

    Terry B dan John N menyatakan gejala stres kerja dapat dibagi dalam 3

    aspek yaitu gejala psikologis seperti : hipersensitif emosi dan hiperaktif, merasa

    frustasi, marah, dan kebencian, cemas, tegang, kebingungan dan sensitive, merasa

    tertindas, berkurangnya efektifitas berkomunikasi, menarik diri dan depresi,

    merasa terisolasi dan terasing, kebosanan dan ketidakpuasan kerja, kelelahan

    mental dan penurunan fungsi intelektual, kehilangan konsentrasi, kehilangan

    spontanitas dan kreatifitas, menurunnya self-esteem. Sedang gejala fisiologis

    seperti : meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, meningkatnya sekresi

    adrenalin dan nonadrenalin, gangguan gastrointestinal (misalnya gangguan

    lambung), mudah terluka, mudah lelah secara fisik, kematian, gangguan

    kardiovaskuler, gangguan pernafasan, lebih sering berkeringat, gangguan pada

    kulit, kepala pusing, migrain, kanker, ketegangan otot, problem tidur (sulit tidur,

    terlalu banyak tidur). Serta gejala perilaku seperti : Menunda atau menghindari

    pekerjaan atau tugas, meningkatnya penggunaan minuman keras dan mabuk,

    perilaku sabotase, meningkatnya frekuensi absensi, perilaku makan yang tidak

    normal (kebanyakan atau kekurangan), kehilangan nafsu makan dan penurunan

    drastis berat badan, meningkatnya kecenderungan perilaku beresiko tinggi seperti

    berjudi, kecenderungan bunuh diri, meningkatnya agresifitas, kriminalitas dan

    mencuri, penurunan kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan teman,

    serta penurunan prestasi dan produktivitas.

    Universitas Sumatera Utara

  • Banyak hal yang dapat menyebabkan pegawai mengalami stres kerja,

    seperti yang dikatakan oleh (Rice, 1992) ada beberapa hal yang dapat

    menyebabkan stres kerja, salah satunya adalah kondisi kerja, seperti people

    decisions, kondisi fisik yang berbahaya, pembagian waktu kerja, kemajuan

    teknologi (technostres), beban kerja yang kurang (work underload) dan beban

    kerja yang berlebihan (work overload).

    Seringkali beban kerja yang berlebihan (work overload) diakibatkan oleh

    pegawai sendiri yang selalu menunda dan tidak dapat mengatur jadwal dalam

    menyelesaikan tugasnya, namun terkadang pegawai menunda mengerjakan

    tugasnya diakibatkan karena pekerjaan yang terlalu mudah ataupun sedikit

    (Bernard, 1992). Pada umumnya pegawai yang menunda-nunda mengerjakan

    tugasnya akan merasa terbebani dengan pekerjaan yang menumpuk dan dikejar

    batas waktu pekerjaan yang harus terselesaikan dan target harus terpenuhi,

    padahal pekerjaan tersebut tertunda, kemudian hal itu akan menyebabkan pegawai

    mengalami stres kerja. Tidak hanya itu, pegawai yang menunda-nunda tersebut

    juga memiliki kekhawatiran, depresi dan kecemasan yang lebih tinggi dibanding

    pegawai yang tidak melakukan penundaan, sehingga tidak heran bila tingkat stres

    yang lebih tinggi dan persepsi kesehatan yang lebih buruk dimiliki oleh mereka

    yang suka menunda-nunda tugas (Tice & Baumeister, 1997).

    Menunda-nunda atau sering juga disebut sebagai prokrastinasi adalah

    suatu kecenderungan untuk menunda dalam memulai maupun menyelesaikan

    kinerja secara menyeluruh untuk melakukan aktivitas lain yang tidak berguna,

    sehingga kinerja menjadi terhambat, tidak pernah menyelesaikan tugas tepat pada

    Universitas Sumatera Utara

  • waktunya, serta sering terlambat dalam menghadiri pertemuan-pertemuan

    (Solomon & Rothblum, 1984). Steel (2004) juga mengatakan bahwa perilaku

    prokrastinasi adalah perilaku menunda suatu pekerjaan yang dilakukan dengan

    sengaja yang dapat membuat hasil yang tidak maksimal. Ferrari, Johnson, dan

    Mc.Cown (1977) juga menambahkan, bahwa prokrastinasi adalah perilaku

    menunda yang dilakukan oleh individu dalam melaksanakan suatu pekerjaan atau

    tugas yang menyebabkan perasaan yang tidak nyaman.

    Bernard (1992) mengemukakan ada 10 penyebab seseorang melakukan

    perilaku prokrastinasi antara lain : kecemasan terhadap apa saja yang sedang

    dihadapinya. Bernard menyatakan bahwa kecemasan yang dialami oleh seseorang

    dipengaruhi oleh stressful attitude orang tersebut. Stressful attitude merupakan

    sikap dan kognisi seseorang akan kejadian yang mereka alami. Individu

    cenderung menilai bahwa situasi-situasi yang dihadapinya membawa ancaman

    dan berpotensi menimbulkan stres bagi dirinya. Hal ini mengakibatkan respon

    emosional individu berupa kecemasan meningkat. Bernard juga menyatakan

    semakin tinggi tingkat kecemasan yang dialami oleh individu maka semakin

    tinggi pula kecenderungannya untuk melakukan perilaku prokrastinasi. Kemudian

    kurangnya penghargaan akan diri (self-depreciation), Bernard (1992) menyatakan

    bahwa terdapat sebagian orang yang memiliki kecenderungan self-depreciation

    yang lebih tinggi dibandingkan orang lain. Individu dengan self-depreciation

    tinggi mudah menyalahkan diri sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu

    penting. Ketika ada sesuatu yang sedikit saja berjalan dengan tidak semestinya,

    individu ini menyalahkan dirinya sendiri bahkan dalam hal yang tidak terlalu

    Universitas Sumatera Utara

  • penting. Individu mengalami kesulitan dalam menyusun rencana dan arah tujuan

    hidupnya. Saat individu melakukan penundaan, individu semakin merasa tidak

    yakin dengan dirinya sendiri dan ini akan semakin mempersulitnya dalam

    melakukan pegawaiannya.

    Penyebab ketiga yaitu rendahnya toleransi terhadap kemampuannya dalam

    menyelesaikan tugas yang sedang dihadapinya (low discomfort tolerance). Ketika

    menghadapi tugas yang membosankan ataupun sulit untuk dikerjakan ada

    sebagian orang yang menjadi sangat tertekan sementara oranglain tidaklah

    menganggap hal tersebut sebagai sesuatu yang sangat menekan. Individu yang

    memiliki toleransi terhadap ketidaknyamanan yang lebih rendah akan mudah

    mengalami frustasi jika dibandingkan dengan orang lain saat menghadapi stressor

    yang sama disebut Bernard (1992) sebagai sensation sensitive. Individu yang

    sensation sensitive ini terbiasa menghindari dan menarik diri dari tugas-tugas

    yang ia rasa menimbulkan frustasi.

    Penyebab yang keempat yaitu pencarian kesenangan (pleasure seeking).

    Individu dengan pleasure seeking yang tinggi menolak mengorbankan

    kesenangannya untuk mengerjakan suatu tugas sekalipun tugas itu penting.

    Penyebab yang kelima yaitu disorganisasi waktu (time disorganization). Individu

    dapat menunda melakukan pekerjaannya karena tidak memiliki waktu yang cukup

    untuk mengerjakannya, namun dapat pula disebabkan terlalu banyak waktu yang

    terbuang dengan sia-sia. Penyebab berikutnya yaitu disorganisasi lingkungan

    (environmental disorganization). Lingkungan yang terlalu bising dan terlalu

    banyak gangguan akan mengakibatkan sulitnya berkonsentrasi pada individu

    Universitas Sumatera Utara

  • sehingga membuat individu menunda melakukan pekerjaannya. Lingkungan yang

    berantakan dan penyimpanan dokumen-dokumen mengenai tugas yang tidak rapi

    juga dapat menghambat seseorang untuk dapat segera mngerjakan tugasnya.

    Penyebab yang kelima adalah kurangnya pemahaman terhadap tugas (

    poor task approach). Bila seseorang tidak mengerti bagaimana mengawali atau

    bagaimana mengerjakan tugas yang diberikan kepadanya maka hal ini dapat

    membuat seseorang menunda mengerjakan tugas tersebut. Kemudian adalah

    kurangnya asertifitas (lack of assertion) yaitu individu yang sulit berkata tidak

    atau sulit untuk menolak permintaan orang lain, walaupun sebenarnya ia tak

    memiliki cukup waktu untuk melakukan permintaan tersebut karena harus

    mengerjakan pekerjaan lainnya, akan membuat individu semakin sulit mengatur

    waktunya dan harus menunda salah satu dari pekerjaan yang sebenarnya harus

    dikerjakan.

    Penyebab kesembilan adalah kekerasan terhadap orang lain (hostility with

    others) . Perilaku menunda dapat juga didorong oleh faktor kemarahan individu

    terhadap orang lain. Kemarahan itu dapat berupa menolak untuk bekerja sama

    dengan orang tersebut ataupun menunda melakukan tugas yang diperintahkan dan

    diharapkan oleh orang tersebut dan penyebab terakhir adalah stres dan kelelahan.

    Stres dan kelelahan ini seringkali menimbulkan kecenderungan pada individu

    untuk menunda melakukan tugasnya.

    Kesepuluh uraian menurut Bernard (1992) yang telah diuraikan

    sebelumnya adalah merupakan hal yang dapat menyebabkan seseorang menunda-

    nunda atau prokrastinasi terhadap tugasnya sehingga pegawai seringkali tidak

    Universitas Sumatera Utara

  • menyelesaikan tugas tepat waktu atau menyelesaikannya secara terburu-buru serta

    memperoleh hasil yang maksimal. (Flett, Blankstein & Martin; Melia-Gordon dan

    Pychyl; Tice & Baumeister (dalam Sirois, 2004)) menambahkan bahwa perilaku

    prokrastinasi juga dapat mempertinggi stres pada pegawai. Djamarah (2002),

    menemukan bahwa akibat menunda-nunda menyelesaikan tugas, banyak individu

    yang gelisah seperti tidur kurang nyenyak, duduk tidak tenang, berjalan terburu-

    buru, istirahat tidak sepenuhnya dapat dinikmati.

    D. HIPOTESIS PENELITIAN

    Dalam penelitian ini diajukan sebuah hipotesis sebagai jawaban sementara

    terhadap permasalahan yang telah dikemukakan. Adapun hipotesis yang diajukan

    dalam penelitian ini adalah :

    Ada hubungan positif antara prokrastinasi dengan stres kerja pada

    Pegawai Negeri Sipil (PNS).

    Semakin tinggi prokrastinasi maka akan semakin tinggi stres kerja pada Pegawai

    Negeri Sipil (PNS). Sebaliknya semakin rendah prokrastinasi maka akan semakin

    rendah stres kerja pada Pegawai Negeri Sipil (PNS).

    Universitas Sumatera Utara