Top Banner
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id commit to user PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI TAHUN PELAJARAN 2011/2012 SKRIPSI Oleh : STEF RIKO SAPUTRA X7107079 FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
110

STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

Oct 05, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN

TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA

SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI

TAHUN PELAJARAN 2011/2012

SKRIPSI

Oleh :

STEF RIKO SAPUTRA

X7107079

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 2: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN

TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA

SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI

TAHUN PELAJARAN 2011/2012

SKRIPSI

Oleh :

STEF RIKO SAPUTRA

X7107079

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 3: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ii

PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND

LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN

TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA

SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI

TAHUN PELAJARAN 2011/2012

Oleh :

STEF RIKO SAPUTRA

X7107079

SKRIPSI

Ditulis dan diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan

gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar

Jurusan Ilmu Pendidikan

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2011

Page 4: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user iii

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi dengan judul Contextual Teaching and

Learning (CTL) dan Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar

Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran

Oleh :

Nama : STEF RIKO SAPUTRA

NIM : X7107079

Telah disetujui untuk dipertahankan dihadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Hari : Selasa

Tanggal : 29 November 2011

Oleh:

Pembimbing I

Page 5: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

Page 6: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user v

HALAMAN MOTTO

1. Student learn best by actively constructing their own understanding

(CTL Academy Fellow, 1999)

(Cara belajar terbaik yaitu siswa mengkonstruksikan pemahamannya

sendiri secara aktif)

2. He who has not tasted bitter things, knows not what sweet is. (German

Proverbs)

(Dia yang belum merasakan pahit, tidak mengerti rasa manis itu seperti

apa)

3. Parents can only give good advice or put them on the right paths, but

the final forming of a person's character lies in their own hands. (Anne

Frank)

(Orang tua hanya bisa memberi nasihat yang baik atau menempatkan

mereka pada jalan yang benar, tetapi akhir pembentukan karakter

seseorang terletak di tangan mereka sendiri.)

4. make your own by experience.

(Penulis)

Belajar bukan hanya menyalin sebuah kamus, tetapi membuatnya

sendiri menurut pengalaman.

Page 7: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vi

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan

kepada:

1. Bapak Joko Harianto dan

Ibu Sri Wiji, orang tua yang

selalu merajut kehidupan saya.

2. Kedua adik saya, Loudi dan

Andre, tanpa mereka saya tidak

pernah menyangka bahwa hari

seperti ini akan ada.

3. Alamamater UNS yang

membanggakan, serta

4. Persahabatan dalam Klan

Stifler dan C-Lover yang

hangatnya takkan tergantikan.

Terima Kasih.

Tuhan Memberkati.

Page 8: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis senantiasa panjatkan kepada Tuhan yang begitu baik

melimpahkan kasih dan anugerah-Nya sehingga penulis dapat menyusun skripsi

dengan judul Contextual Teaching and Learning (CTL)

dan Kemampuan Membaca Pemahaman Terhadap Hasil Belajar Matematika Soal

. Penulis

sangat bersyukur karena dapat menyelesaikan skripsi ini guna memenuhi sebagai

persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan pada Fakultas Keguruan

dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret. Dalam proses penyusunan skripsi

ini penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan

sehingga pada akhirnya skripsi ini dapat berjalan dengan lancar. Oleh karena itu,

pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. H. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. Dekan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta.

2. Drs. R.Indianto, M. Pd. Ketua Jurusan Ilmu Pendidikan Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret.

3. Drs. Hadi Mulyono, M. Pd. Ketua Program Studi Pendidikan Guru Sekolah

Dasar Universitas Sebelas Maret Surakarta.

4. Prof. Dr. H. Soegiyanto, SU. Dosen Pembimbing I dan Drs. Chumdari, M.Pd.

Dosen Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan

dorongan kepada peneliti sehingga skripsi ini dapat peneliti selesaikan.

5. Sri Saparinsih, S.Pd. Kepala SDN 1 Pokoh Kidul, Endang Kristini, SR, BA.

Kepala SDN 2 Sendang, serta Sukarsih Heni Yanti, S.Pd. Kepala SDN 3

Wuryorejo, yang telah memberikan ijin tempat, dan bantuan dalam penelitian.

6. Ngatini, A.Ma Guru kelas V SDN 1 Pokoh Kidul, Siti Nur Harjati Budi

Hastuti, S.Pd Guru kelas V SDN 2 Sendang, dan Sri Hartati, S.Pd Guru kelas V

SDN 3 Wuryorejo, Siswa-siswi beserta segenap pihak sekolah yang telah

membantu terlaksananya penelitian ini.

Page 9: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user viii

7. Segenap Dosen PGSD UNS yang secara tulus memberikan ilmu dan masukan

kepada peneliti.

8. Keluargaku yang selalu memberikan cinta, kasih sayang, serta dukungan baik

material maupun spiritual.

9. Keluarga mahasiswa PGSD UNS khususnya Retno Witanti yang telah

membantu peneliti selama menjadi mahasiswa dan dalam menyelesaikan

skripsi ini.

10. Berbagai pihak yang telah membantu peneliti baik secara langsung maupun

tidak langsung, yang tidak mungkin peneliti sebutkan satu persatu.

Dengan segala kerendahan hati, Penulis menyadari bahwa karya ini masih

belum sempurna, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun dari

berbagai pihak sangat diharapkan. Akhirnya semoga skripsi ini dapat berguna dan

bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan pembaca pada umumnya.

Surakarta, 12 Desember 2011

Penulis

STEF RIKO SAPUTRA

Page 10: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user ix

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN ............................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN ......................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... iv

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... v

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vi

KATA PENGANTAR .................................................................................... vii

DAFTAR ISI ................................................................................................... ix

DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xii

DAFTAR TABEL ........................................................................................... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xiv

ABSTRAK ...................................................................................................... xv

ABSTRACT ....................................................................................................... xvi

BAB I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................... 1

B. Identifikasi Masalah ............................................................................. 5

C. Pembatasan Masalah ............................................................................ 6

D. Rumusan Masalah ................................................................................ 6

E. Tujuan Penelitian .................................................................................. 6

F. Manfaat Penelitian ................................................................................ 7

BAB II. LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka .................................................................................. 8

1. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) 8

2. Tinjauan Tentang Model Pembelajaran Konvensional ................. 17

3. Tinjauan Tentang Kemampuan Membaca Pemahaman ................ 22

4. Tinjauan Tentang Hasil Belajar Metematika Soal Cerita .............. 41

Page 11: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user x

Halaman

B. Hasil Penelitian yang Relevan .............................................................. 50

C. Kerangka Berpikir ................................................................................ 51

D. Hipotesis Penelitian .............................................................................. 53

BAB III. METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................................. 55

B. Populasi dan Sampel ........................................................................... 55

C. Teknik Pengumpulan Data .................................................................. 58

D. Definisi Operasional Variabel .............................................................. 59

E. Instrumen Penelitian ............................................................................. 61

F. Rancangan Penelitian ........................................................................... 68

G. Teknik Analisis Data ............................................................................ 71

BAB IV. HASIL PENELITIAN

A. Persiapan Penelitian ............................................................................. 78

1. Menetapkan Subyek Penelitian ..................................................... 78

2. Uji Keseimbangan ......................................................................... 78

B. Hasil Ujicoba Instrumen ....................................................................... 79

1. Instrumen Soal Pretest .................................................................. 79

2. Instrumen Soal Tes Hasil Belajar (Postest)................................... 81

3. Instrumen Soal Kemampuan Membaca Pemahaman .................... 82

C. Deskripsi Data Hasil Penelitian ............................................................ 83

1. Hasil Belajar Matematika Kelas Contextual Teaching and Learning ............................................... 83

2. Hasil Belajar Matematika Kelas Konvensional ............................ 84

D. Pengujian Prasyarat Analisis ................................................................ 85

1. Uji Normalitas ............................................................................... 85

2. Uji Homogenitas ........................................................................... 86

E. Uji Hipotesis Penelitian ........................................................................ 87

1. Uji Hipotesis Pertama.................................................................... 88

2. Uji Hipotesis Kedua ...................................................................... 88

Page 12: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xi

Halaman

3. Uji Hipotesis Ketiga ...................................................................... 88

F. Pembahasan Hasil Analisa Data ........................................................... 89

1. Hipotesis Pertama .......................................................................... 89

2. Hipotesis Kedua ............................................................................ 89

3. Hipotesis Ketiga ............................................................................ 90

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN SARAN

A. Simpulan ............................................................................................... 91

B. Implikasi ............................................................................................... 91

C. Saran ..................................................................................................... 92

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 94

LAMPIRAN ..................................................................................................... 98

Page 13: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar: Halaman 1. Ranah Kognitif Bloom dan Taksonomi Barret .................................. 33

2. Kerangka Pemikiran........................................................................... 53

3. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual Teaching and Learning. ..................................................................... 84

4. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional ..................................................................................... 85

Page 14: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xiii

DAFTAR TABEL Tabel: Halaman

2.1. Perbedaan Pendekatan CTL dengan Pendekatan Tradisional .......... 20

3.1. Kisi-Kisi Soal Pemahaman Membaca ............................................. 63

3.2. Kisi-Kisi Soal Tes Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V ................................................................................. 64

3.3. Interpretasi Indek Kesukaran Soal (P) ............................................. 68

3.4 Klasifikasi Daya Beda Soal (D)....................................................... 68

3.5 Rancangan Analisis Faktorial 2 x 2 ................................................. 69

3.6 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalur ........................................ 77

4.1. Hasil Pengelompokan Data Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual Teaching and Learning. ...................................... 84

4.2. Hasil Pengelompokan Data Hasil belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional ........................................................................ 85

4.3. Hasil Uji Normalitas ....................................................................... 86

4.4. Hasil Uji Homogenitas ................................................................... 86

4.5. Rangkuman Anava Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama ................................................................................................ 87

4.6. Rangkuman Rataan Antar Sel dan Rataan Marginal ...................... 88

Page 15: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran: Halaman 1. Rencana Pelaksanaan Pembelajaran .................................................. 98

2. Instrument Pretest Hasil Belajar ........................................................ 179

3. Instrument Postest Hasil Belajar ........................................................ 184

4. Instrument Kemampuan Membaca Pemahaman ............................... 190

5. Hasil Pengamatan Siswa dan Guru .................................................... 201

6. Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan Reliabilitas Soal Pretest ..................................................................... 204

7. Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan Reliabilitas Soal Postest ..................................................................... 219

8. Uji Validitas, Tingkat Kesukaran, Daya Pembeda dan Reliabilitas Soal Kemampuan Membaca Pemahaman ...................... 212

9. Skor Jawaban Pretest Kelas Eksperimen ........................................... 215

10. Skor Jawaban Pretest Kelas Kontrol ................................................. 216

11. Daftar Nilai Pretest ............................................................................ 217

12. Uji Normalitas Data Pretest ............................................................... 218

13. Uji Homogenitas Data Pretest ........................................................... 220

14. Uji Keseimbangan .............................................................................. 222

15. Skor Jawaban Kemampuan Membaca Pemahaman Kelas Eksperimen ........................................................................................ 223

16. Skor Jawaban Kemampuan Membaca Pemahaman Kelas Kontrol ............................................................................................... 224

17. Skor Jawaban Postest Kelas Eksperimen .......................................... 225

18. Skor Jawaban Postest Kelas Kontrol ................................................. 226

19. Data Induk Penelitian ......................................................................... 227

20. Distribusi Frekuensi Data .................................................................. 228

21. Uji Normalitas .................................................................................... 229

22. Uji Homogenitas ................................................................................ 233

23. Pengujian Hipotesis ........................................................................... 237

24. Tabel-Tabel Statistik .......................................................................... 243

25. Rekap nilai UAS SD Kec. Wonogiri semester I 2010/2011 ............. 250

26. Gambar Pembelajaran Penelitian ....................................................... 252

Page 16: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xv

ABSTRAK

Stef Riko Saputra. X7107079. PENGARUH PENERAPAN MODEL CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DAN KEMAMPUAN MEMBACA PEMAHAMAN TERHADAP HASIL BELAJAR MATEMATIKA SOAL CERITA SISWA KELAS V SD KECAMATAN WONOGIRI TAHUN PELAJARAN 2011/2012. Skripsi. Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta. November. 2011.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD ditinjau dari kemampuan membaca pemahaman siswa.Penelitian ini menggunakan metode eksperimental semu (Quasi experimental research). Populasi adalah seluruh siswa kelas V SD Negeri di Kecamatan Wonogiri Kabupaten Wonogiri. Sampel diambil dengan Cluster Random Sampling sejumlah tiga kelas, yaitu kelas eksperimen, kelas kontrol dan kelas uji coba. Kelas eksperimen berjumlah 32 siswa dan kelas kontrol berjumlah 34 siswa untuk memenuhi persyaratan sebagai sampel maka dilaksanakan uji keseimbangan kemampuan awal antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dengan Uji t. Data penelitian ini berupa hasil belajar dan tingkat kemampuan membaca pemahaman. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan uji normalitas metode Liliefors yang digunakan untuk menguji keadaan distribusi sampel, uji homogenitas dengan metode Bartlet. Uji hipotesis menggunakan analisis variansi dua jalur.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa (1) ada pengaruh antara model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran. Hasil belajar matematika dengan menerapkan model pembelajaran CTL lebih baik daripada model pembelajaran konvensional, dengan harga statistik uji FA > Ftabel, yaitu 4,480 > 3,996 dan rata-rata nilai hasil belajar dari siswa yang dikenai model pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih besar dari model pembelajaran konvensional, yaitu 76,69 > 72,74. (2) Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kemampuan membaca pemahaman siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan harga statistik uji Fb > Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996 dan rata-rata hasil belajar matematika siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman tinggi lebih besar daripada rata-rata hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman rendah yaitu 80,68 > 68,25. (3) Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan dengan harga statistik uji Fab < Ftabel, yaitu 0,206 < 3,996.

Kata Kunci : Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL), Kemampuan Membaca Pemahaman, Hasil Belajar Matematika Soal Cerita.

Page 17: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user xvi

ABSTRACT

Stef Riko Saputra. X7107079. THE EFFECTS OF CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) MODEL APPLICATION AND READING COMPREHENSION SKILL ON THE LEARNING ACHIEVEMENT IN MATHEMATICAL WORD PROBLEMS FIFTH GRADE ELEMENTARY SCHOOL STUDENTS OF SUBDISTRICT WONOGIRI YEAR 2011/2012. Skripsi. Teacher Training and Education Faculty. Sebelas Maret University of Surakarta. November 2011.

The aim of the research is to find out the effects of Contextual Teaching and Learning (CTL) model application on the learning achievement in mathematical word problems reading comprehension skill. This research uses quasi-experimental methods (Quasi experimental research). Population is the entire fifth grade students in subdistrict Wonogiri. samples were selected with Cluster Random Sampling amounts of three classes, the experimental class, control class and the test class. Experimental class is amount to 32 students and control class is amount to 34 students, to qualify as a sample of the test carried out beginning balance ability between the experimental group and control group by Matching Test. This research data is learning achievement and reading comprehension skill level. Analysis of the data in this research uses the normality test Liliefors methods to test the state distribution of samples, the test of homogenity by the method of Bartlet. The test of hypothesis by two way anova.

Based on this research can be concluded that (1) there is effect between learning models which used in class. learning achievement in mathematics with Contextual Teaching and Learning model is better than conventional model, which FA > Ftabel, 4,480 > 3,996 and learning achievement average with Contextual Teaching and Learning model had an advantage than conventionally, 76,69 > 72,74. (2) there is a significant effect reading comprehension skill level and learning achievement, which Fb > Ftabel, 38,428 > 3,996 and

learning achievement average who have high reading comprehension skill level learning achievement average who have low reading comprehension skill level 80,68 > 68,25 (3) there is no interactions between learning models and reading comprehension skill level in learning achievement, which Fab < Ftabel, 0,206 < 3,996.

Key words : Contextual Teaching and Learning model (CTL), Reading Comprehension Skill, Mathematical Words Problems Learning Achievement.

Page 18: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan teknologi yang sangat pesat mempunyai pengaruh yang

sangat besar didalam dunia pendidikan. Dengan berkembangnya teknologi ini

mengakibatkan berkembangnya ilmu pengetahuan yang memiliki dampak positif

maupun negatif. Perkembangan teknologi yang dimulai dari negara-negara maju ini

mengakibatkan Indonesia sebagai negara berkembang perlu mensejajarkan diri

dengan negara-negara yang sudah maju tersebut. Pendidikan matematika merupakan

salah satu fondasi dari kemampuan sains dan teknologi. Pemahaman terhadap

matematika, dari kemampuan yang bersifat keahlian sampai kepada pemahaman

yang bersifat apresiatif akan berhasil mengembangkan kemampuan sains dan

teknologi yang cukup tinggi (Buchori, 2001: 120-121).

Di satu sisi, matematika dianggap sangat penting bagi kehidupan manusia

karena memiliki keterkaitan dan menjadi pendukung berbagai bidang ilmu serta

berbagai aspek kehidupan manusia. Tetapi di sisi lain, matematika juga dianggap

sebagai suatu mata pelajaran yang cukup sulit bagi siswa, bahkan cukup

mengkhawatirkan (menakutkan) bagi beberapa siswa. Hal ini mungkin karena

matematika memiliki sifat abstrak, atau karena dalam pembelajaran, matematika

diposisikan terlalu tinggi atau di awang-awang (terlalu menonjolkan sifat deduktif

aksiomatik) dan kurang membumi atau kurang realistik, kurang dikaitkan dengan

kenyataan-kenyataan yang ada atau yang biasa ditemui siswa dalam lingkungan

kehidupan siswa atau pun juga karena guru menganggap siswa sebagai botol kosong

yang perlu diisi dan kurang memperhatikan bahwa sebenarnya siswa dapat

membangun/mengkonstruksi pengertian sendiri terhadap suatu konsep pengetahuan

(Hartini, 2008: 8).

Mengingat akan pentingnya matematika dalam pengembangan generasi

melalui kemampuan mengadopsi maupun mengadakan inovasi sains dan teknologi di

era globalisasi, maka tidak boleh dibiarkan adanya generasi muda yang buta

Page 19: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

2

matematika. Kebutaan matematika yang dibiarkan menjadi suatu kebiasaan,

membuat masyarakat kehilangan kemampuan berpikir secara disipliner dalam

menghadapi masalah-masalah nyata. Pendidikan merupakan proses untuk membantu

manusia dalam mengembangkan dirinya dan untuk meningkatkan harkat dan

martabat manusia, sehingga manusia mampu untuk menghadapi setiap perubahan

yang terjadi, menuju arah yang lebih baik. Namun kenyataannya prestasi belajar

mata pelajaran matematika pada kelas V sekolah dasar di Kecamatan Wonogiri

masih rendah dibanding dengan prestasi belajar mata pelajaran lain. Hal ini

dibuktikan dari rekap nilai hasil UAS SD/MI Kecamatan Wonogiri semester I tahun

pelajaran 2010/2011. Rata-rata nilai hasil UAS di Kecamatan Wonogiri pada tahun

2010/2011 pada kelas V yaitu Bahasa Indonesia 71.21; IPA 73.42; IPS 69.12;

Matematika 67.64; dan PKn 72.02. Berdasarkan data nilai rata-rata beberapa mata

pelajaran di atas dapat diketahui nilai rata-rata matematika masih rendah daripada

nilai rata-rata pelajaran lain. Rata-rata nilai tertinggi adalah pelajaran IPA dengan

nilai rata-rata 73,42 sedangkan matematika nilai rata-ratanya hanya 67,64. Hal ini

menunjukkan bahwa prestasi belajar siswa kelas V SD di Kecamatan Wonogiri pada

pelajaran matematika masih rendah.

Pembelajaran adalah membelajarkan siswa menggunakan asas pendidikan

maupun teori belajar merupakan penentu utama keberhasilan pendidikan.

Pembelajaran merupakan proses komunikasi dua arah, mengajar dilakukan oleh

pihak guru sebagai pendidik, sedangkan belajar dilakukan oleh peserta didik atau

murid (Syaiful Sagala, 2006: 61). Mengajar bukan semata persoalan menceritakan.

Belajar bukanlah konsekuensi otomatis dari penuangan informasi ke dalam benak

siswa. Belajar memerlukan keterlibatan mental dan kerja siswa sendiri. Dalam hal

inilah keaktifan siswa dalam belajar sangat diperlukan. Siswa harus menggunakan

otak, mengkaji gagasan, memecahkan masalah dan menerapkan apa yang mereka

pelajari. Belajar aktif harus gesit, menyenangkan, penuh semangat dan bergairah.

Siswa bahkan sering meninggalkan tempat duduk mereka, bergerak leluasa dan

berpikir keras (moving about dan thinking about). Bukan hanya itu, siswa perlu

sesuatu dengan cara mereka sendiri,

menunjukkan contohnya, mencoba mempraktekkan ketrampilan dan mengerjakan

Page 20: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

tugas yang menuntut pengetahuan yang harus mereka dapatkan (Silberman, Melvin

L, 2004 : 1-2).

Proses pembelajaran membutuhkan metode yang tepat. Kesalahan

menggunakan metode, dapat menghambat tercapainya tujuan pendidikan yang

diinginkan. Dampak yang lain adalah rendahnya kemampuan bernalar siswa dalam

pembelajaran matematika. Hal ini disebabkan karena dalam proses siswa kurang

dilibatkan dalam situasi optimal untuk belajar, pembelajaran cenderung berpusat

pada guru, dan klasikal. Selain itu siswa kurang dilatih untuk menganalisis

permasalahan matematika, jarang sekali siswa menyampaikan ide untuk menjawab

pertanyaan bagaimana proses penyelesaian soal yang dilontarkan guru. Dari

beberapa model pembelajaran, ada model pembelajaran yang menarik dan dapat

memicu peningkatan penalaran siswa yaitu model pembelajaran Contextual Teaching

and Learning (CTL). Model pembelajaran CTL Merupakan konsep belajar yang

membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkannya dengan situasi dunia

nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang

dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga

dan masyarakat (Depdiknas, 2002: 1). Pada dasarnya, pembelajaran CTL atau

kontekstual adalah suatu sistem pengajaran yang cocok dengan otak yang

menghasilkan makna dengan menghubungkan muatan akademik dengan konteks dari

kehidupan sehari-hari siswa. Dalam pembelajaran ini siswa harus dapat

mengembangkan kemampuan dan pemahaman konsep matematika untuk

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Pengajaran matematika mempunyai

tujuan yang sangat luas, salah satu tujuannya adalah agar siswa memiliki

kemampuan menghubungkan matematika dengan kehidupan sehari-hari dan

menerapkannya dalam soal-soal. Dengan demikian penggunaan model pembelajaran

CTL perlu diberikan oleh guru dalam proses belajar, agar dapat mencapai hasil

belajar yang lebih baik.

Belajar dengan model pembelajaran CTL akan mampu mengembangkan

kemampuan siswa dalam menyelesaikan masalah-masalah serta mengambil

keputusan secara objektif dan rasional. Disamping itu juga akan mampu

mengembangkan kemampuan berfikir kritis, logis, dan analitis. Karena itu siswa

Page 21: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

4

harus benar-benar dilatih dan dibiasakan berfikir secara kritis dan mandiri. Dengan

menggunakan model pembelajaran CTL diharapkan siswa mampu menyelesaikan

soal-soal cerita matematika dengan baik. Penerapan model pembelajaran CTL dalam

pembelajaran matematika khususnya soal cerita melibatkan siswa untuk dapat

berperan aktif dengan bimbingan guru, agar peningkatan kemampuan siswa dalam

memahami konsep dapat terarah lebih baik.

Dalam mata pelajaran matematika, sebagai upaya agar materi yang

disampaikan benar benar dapat diterima dan dikuasai oleh siswa dapat dilakukan

dengan memberikan soal soal, salah satunya yaitu dengan memberikan soal cerita.

Secara umum, langkah-langkah yang ditempuh siswa dalam menyelesaikan soal

cerita antara lain membaca dan memahami soal. Dengan membaca dan memahami

soal diharapkan siswa dapat menceritakan kembali soal tersebut dengan kata-kata

sendiri. Kemungkinan siswa menentukan apa yang diketahui dan apa yang

ditanyakan dari soal yang diberikan. Pada langkah ini siswa menggunakan bilangan-

bilangan yang beserta dengan hubungannya kemudian membuat model

matematikanya. Apabila model matematika yang dimaksud telah ditentukan, siswa

menyelesaikan model matematika tersebut dengan melakukan operasi-operasi

aritmatika dan aljabar beserta algoritmanya. Dan langkah terakhir siswa

menggunakan penyelesaian itu untuk menjawab pertanyaan yang diberikan dalam

soal dengan menggunakan kalimat jawab. Kebanyakan siswa menganggap langkah-

langkah tersebut terlalu rumit. Biasanya siswa-siswa berpikir praktis hanya

mempelajari jawaban dari contoh-contoh soal, lalu menghafalkannya, tanpa

memahami konsep-konsep yang seharusnya dipelajari dan dipahami. Hal ini

berkaitan dengan kemampuan anak dalam kegiatan membaca pemahaman. (Hidayah

Adi Romanita, 2008: 5-6)

Kemampuan membaca pemahaman menjadi bagian dari penguasaan dan

perbendaharaan kata, tema topik dan pengalaman baru yang setiap saat menjadi lebih

meningkat. Dengan seringnya membaca dan beragam tema bacaan yang dibaca

siswa, maka siswa makin terbuka dalam memperoleh tambahan sejumlah kata-kata

dan memperkaya katanya serta wawasan pengetahuan dan pengalaman. Penguasaan

sejumlah kata sangat diperlukan untuk menentukan sebuah kalimat yang memiliki

Page 22: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

5

makna. Makna kalimat tersebut sedemikian komplek sehingga kemampuan

menyusun kalimat yang tepat dan mudah ditangkap maknanya oleh lawan bicara atau

pendengar dalam bentuk bahasa lisan dalam bercerita memerlukan pembendaharaan

kata dan kejelasan tema atau topik. Usaha memperkaya kata tema-tema dan topik-

topik baru melalui membaca pemahaman perlu dilakukan secara terus menerus yang

disesuaikan dengan usia tingkat perkembangan dan pengalaman siswa,

penggunaannya disesuaikan pula dengan perkembangan dan tingkat kesulitannya

(Depdikbud, 1993: 17-19).

Atas dasar uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui adakah

pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

dan kemampuan membaca pemahaman siswa terhadap hasil belajar matematika soal

cerita. Oleh karena itu dalam penelitian ini penulis mengangkat judul Pengaruh

Penerapan Model Contextual Teaching and Learning (CTL) dan Kemampuan

Membaca Pemahaman terhadap Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V

SD Kecamatan Wonogiri Tahun Pelajaran 2011/2012

B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, terdapat beberapa

masalah yang berkaitan dengan proses pembelajaran. Berbagai masalah tersebut

dapat diidentifikasikan sebagai berikut:

1. Rendahnya kemampuan siswa dalam mengerjakan soal cerita matematika

mengakibatkan hasil belajar matematika siswa menjadi rendah.

2. Penerapan model pembelajaran yang tepat akan mampu meningkatkan

kemampuan siswa dalam mengerjakan soal cerita.

3. Keberhasilan pembelajaran matematika khususnya soal cerita dipengaruhi oleh

tingkat kemampuan membaca siswa dalam memahami soal yang diberikan.

Page 23: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

6

C. Pembatasan Masalah

Agar hasil penelitian ini lebih mendalam dan permasalahan yang dikaji tidak

menyimpang dari tujuan penelitian maka peneliti membatasi ruang lingkup penelitian

sebagai berikut:

1. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model

pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning (CTL) atau

pembelajaran kontekstual.

2. Aspek kemampuan membaca dibatasi pada kemampuan siswa dalam memahami

isi bacaan secara cepat dan tepat.

3. Hasil belajar siswa dibatasi pada hasil belajar matematika tentang soal cerita

siswa kelas V SD.

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan pembatasan masalah di atas maka penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah ada pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning

(CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD?

2. Apakah ada pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar

matematika soal cerita siswa kelas V SD?

3. Apakah ada pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning

(CTL) dan kemampuan membaca pemahaman secara bersama-sama terhadap

hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD?

E. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka

tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning

(CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD.

2. Mengetahui pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar

matematika soal cerita siswa kelas V SD.

Page 24: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

3. Mengetahui pengaruh penerapan model Contextual Teaching and Learning

(CTL) dan kemampuan membaca pemahaman secara bersama-sama terhadap

hasil belajar matematika soal cerita siswa kelas V SD.

F. Manfaat Penelitian

Dengan diadakan penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dan dapat

digunakan dalam mengembangkan kemampuan matematika. Secara rinci manfaat

penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Manfaat secara Teoritis

Secara teoritis hasil penelitian penggunaan model Contextual Teaching

and Learning (CTL) dan kemampuan membaca pemahaman ini dapat

dimanfaatkan untuk menambah khasanah pengetahuan mengenai pembelajaran

soal cerita pada mata pelajaran matematika terhadap dunia pendidikan serta

kepada para pembaca pada umumnya.

2. Manfaat Praktis

a) Bagi peserta didik

Dapat meningkatkan prestasi belajar peserta didik dalam pembelajaran

matematika khususnya pada soal cerita.

b) Bagi guru

Memberikan masukan pada guru untuk meningkatkan kemampuan

membaca pemahaman serta menggunakan model pembelajaran Contextual

Teaching and Learning (CTL) khususnya pada soal cerita matematika.

c) Bagi sekolah

Sebagai acuan dalam penerapan dalam penyelesaian masalah

pembelajaran, khususnya yang berkaitan dengan peningkatan prestasi belajar

peserta didik. Siswa mampu menerapkan cara belajar dengan model

pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam kelas dengan

kehidupan nyata.

Page 25: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

8

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Tinjauan tentang Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

a. Pengertian Belajar

Lee J Cronbach dalam Sumadi Suryabrata (1984: 231) menyatakan

bahwa yang

artinya belajar sebagai suatu aktivitas yang ditunjukkan oleh perubahan tingkah

laku sebagai hasil dari pengalaman. Menurut Ernest R. Hilgard dalam Sumadi

Suryabrata (1984: 252) belajar merupakan proses perbuatan yang dilakukan

dengan sengaja, yang kemudian menimbulkan perubahan, yang keadaannya

berbeda dari perubahan yang ditimbulkan oleh lainnya. Howard L. Kingsley

dalam Djamarah (2008:13) menyatakan bahwa

behavior (in broader sense) is originated or changed through practice or

yang artinya belajar adalah proses di mana tingkah laku (dalam arti

luas) ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan. Winkel (2005: 59)

merumuskan bahwa belajar merupakan suatu aktivitas mental/psikis, yang

berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan, yang menghasilkan

sejumlah perubahan dalam pemahaman-pemahaman, keterampilan dan nilai-

sikap. Perubahan itu bersifat secara relatif konstan dan berbekas.

James P. Chaplin (2002: 272) membatasi belajar (learning) dengan dua

macam rumusan. Pertama

yang artinya belajar

adalah perolehan dari sebarang perubahan yang relatif permanen dalam tingkah

laku, sebagai hasil dari praktek atau hasil pengalaman. Kedua

yang artinya belajar yaitu

proses mendapatkan reaksi-reaksi sebagai hasil dari praktek dan latihan khusus.

Hintzman dalam Muhibbin Syah (2009: 65) menyatakan bahwa

Page 26: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

yang artinya belajar merupakan perubahan yang terjadi

dalam diri organisme, manusia atau hewan disebabkan oleh pengalaman yang

dapat mempengaruhi tingkah laku organisme tersebut. Muhibbin Syah (2009: 68)

menjelaskan bahwa belajar merupakan tahapan perubahan perilaku siswa yang

relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang

melibatkan aspek kognitif. Daryanto (2010: 2) menyatakan bahwa belajar

merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil

dari interaksi dengan lingkungannya dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.

Oemar Hamalik (1999: 36-37) mendefinisikan dua pengertian yang

umum tentang belajar yaitu;

1) Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman

(learning is defined as the modification or strengthening of behavior through

experiencing)

2) Belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu melalui interaksi

dengan lingkungan.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa belajar

adalah proses perubahan pada diri seseorang yang relatif positif ditandai dengan

adanya perubahan tingkah laku, pengetahuan, pemahaman, keterampilan,

kecakapan dan kebiasaan sebagai hasil dari latihan dan pengalamannya sendiri

dalam interaksi dengan lingkungannya.

b. Pengertian Model

Menurut Udin S. Winataputra (1992: 34) secara umum istilah model

diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam

melakukan suatu kegiatan. Dalam pengertian lain model juga diartikan sebagai

barang atau benda tiruan dari benda yang sesungguhnya, seperti, globe adalah

model dari bumi tempat kita hidup. James P. Chaplin (2002: 306) mendefinisikan

model dengan empat macam pengertian. Pertama, model berarti satu kopi,

tembusan, salinan, turunan dari sesuatu. Kedua, satu bentuk ideal, atau standar.

Ketiga, satu penyajian fisik dari satu sistem untuk memperlihatkan cara kerja

sistem tersebut. Keempat, satu kumpulan asumsi atau postulat, seringkali dalam

Page 27: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

10

bentuk matematis yang berusaha untuk menetapkan konsepsi kerja yang

digeneralisasikan, yang dapat menerangkan data empitris atau relasi empiris.

Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas, menyatakan bahwa model

adalah rencana, representasi, atau deskripsi yang menjelaskan suatu objek, sistem,

atau konsep, yang seringkali berupa penyederhanaan atau idealisasi. Bentuknya

dapat berupa model fisik (maket, bentuk prototipe), model citra (gambar

rancangan, citra komputer), atau rumusan matematis

(http://id.wikipedia.org/ wiki/Model diakses tanggal 17 april 2011 jam 15.00 wib).

Dalam konteks pembelajaran, Joyce dan Weil mendefinisikan model

sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan

suatu kegiatan. Soekamto (1997: 5) mengemukakan model pembelajaran adalah

kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,

dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.

c. Pengertian Contextual Teaching and Learning (CTL)

Elaine B. Johnson (2002: vii) mendefinisikan Contextual Teaching and

Learning (CTL) sebagai berikut: Contextual teaching and learning is a system of

instruction based on the philosophy that students learn when they can connect

new information with prior knowledge and their own experience

Yang artinya CTL adalah sebuah sistem belajar yang didasarkan pada

filosofi bahwa peserta didik mampu menyerap pelajaran apabila mereka

menangkap makna dalam materi akademis yang mereka terima, dan menangkap

makna dalam tugas-tugas sekolah jika mereka bisa mengaitkan informasi dengan

pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya.

Johnson (2002: 25) juga berpendapat bahwa Contextual Teaching and

Learning (CTL) adalah:

An educational process that aims to help students see meaning in the academic material they are studying by connecting academic subjects with the context of their daily lives, that is, with context of their personal, social, and cultural circumstance. To achieve this aim the system encompasses the following eight components: making meaningful

Page 28: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

connections, doing significant work, self-regulated learning, collaborating, critical and creative thinking, nurturing the individual, reach reaching high standards, using authentic assessment

Yang artinya sistem CTL adalah sebuah proses pendidikan yang

bertujuan menolong para siswa melihat makna didalam materi akademik dalam

kontek kehidupan keseharian mereka, yaitu dengan konteks keadaan pribadi,

sosial, dan budaya mereka. Untuk mencapai tujuan ini, system tersebut meliputi

delapan komponen: membuat keterkaitan keterkaitan yang bermakna, melakukan

pekerjaan yang berarti, melakukan pembelajaran yang diatur sendiri, melakukan

kerjasama, berpikir kritis dan kreatif, membantu individu untuk tumbuh dan

berkembang, mencapai standar yang tinggi dan menggunakan penilaian autentik.

Menurut Rosalin (2008: 72) model pembelajaran kontekstual (CTL)

merupakan model pembelajaran yang mengarah pada pengembangan kecakapan

hidup, di mana dalam hal ini pembelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan

peserta didik agar mereka belajar menerapkan isi pelajaran dalam pemecahan

masalah yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari. Nurhadi (2009: 14)

menerjemahkan bahwa pembelajaran CTL (contextual teaching and learning)

adalah konsep belajar yang mendorong guru untuk menghubungkan antara materi

yang diajarkan dengan situasi dunia nyata dan mendorong peserta didik untuk

membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dan penerapannya

dalam kehidupan mereka sendiri. Pada pembelajaran kontekstual, mata pelajaran

diintegrasikan antara satu dengan yang lain agar sesuai dengan kehidupan nyata,

dimana pembelajaran dikaitkan dengan konteks kehidupan peserta didik sehingga

memungkinkan mereka untuk belajar menerapkan isi mata pelajaran dalam

memecahkan permasalahan yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari.

Dari beberapa pendapat para ahli dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu model pembelajaran yang

menekankan keterlibatan peserta didik secara penuh untuk menkonstruksikan

pengetahuannya sendiri serta menghubungkan materi dengan situasi kehidupan

nyata peserta didik sehingga peserta didik mampu menangkap makna dalam

materi akademis yang di terima.

Page 29: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

12

d. Prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning (CTL)

Para pendidik yang menyetujui pandangan ilmu pengetahuan bahwa alam

semesta itu hidup, tidak diam, dan bahwa alam semesta ditopang oleh tiga prinsip

kesalingbergantungan, diferensiasi, dan organisasi diri, harus menerapkan

pandangan dan cara berpikir baru mengenai pembelajaran dan pengajaran.

Menurut Johnson (2004: 15) tiga pilar dalam sistem CTL, yaitu:

1) CTL mencerminkan prinsip kesaling-bergantungan. Kesaling-tergantungan

mewujudkan diri, misalnya ketika para siswa bergabung untuk memecahkan

masalah dan ketika para guru mengadakan pertemuan dengan rekannya. Hal

ini tampak jelas ketika subjek yang berbeda dihubungkan, dan ketika

kemitraan menggabungkan sekolah dengan dunia bisnis dan komunitas.

2) CTL mencerminkan prinsip diferensiasi. Diferensiasi menjadi nyata ketika

CTL menantang para peserta didik untuk saling menghormati keunikan

masing-masing, untuk menghormati perbedaan-perbedaan, untuk menjadi

kreatif, untuk bekerjasama, untuk menghasilkan gagasan dan hasil baru yang

berbeda, dan untuk menyadari bahwa keragaman adalah tanda kemantapan

dan kekuatan.

3) CTL mencerminkan prinsip pengorganisasian diri. Pengorganisasian diri

terlihat ketika para peserta didik mencari dan menemukan kemampuan dan

minat mereka sendiri yang berbeda, mendapat manfaat dari umpan balik yang

diberikan oleh penilaian autentik, mengulas usaha-usaha mereka dalam

tuntunan tujuan yang jelas dan standar yang tinggi, dan berperan serta dalam

kegiatan-kegiatan yang berpusat pada peserta didik yang membuat hati

mereka bernyanyi.

e. Komponen Model Pembelajaran Contextual Teaching and Learning

Johnson (2002: 65) menjelaskan bahwa dalam sistem pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL) mencakup delapan komponen penting,

yaitu (1) Membuat keterkaitan-keterkaitan yang bermakna; (2) Melakukan

pekerjaan yang berarti; (3) Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri

(Pembelajaran Mandiri); (4) Bekerja Sama; (5) Berpikir Kritis dan Kreatif; (6)

Page 30: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang; (7) Mencapai standar yang

tinggi; (8) Menggunakan penilaian autentik. Penjelasannya adalah sebagai

berikut:

1) Membuat Keterkaitan-Keterkaitan yang Bermakna

Keterkaitan yang mengarah pada makna adalah jantung dari pengajaran

dan pembelajaran kontekstual. Ketika murid dapat mengaitkan isi dari mata

pelajaran akademik seperti matematika, ilmu pengetahuan alam, atau sejarah

dengan pengalaman mereka sendiri, mereka menemukan makna, dan makna

memberi mereka alasan untuk belajar. Mengaitkan pembelajaran dengan

kehidupan seseorang membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan inilah

inti dari CTL.

2) Melakukan Pekerjaan yang Berarti

Pekerjaan yang memiliki tujuan, berguna untuk orang lain, yang

melibatkan proses menentukan pilihan, dan menghasilkan produk yang nyata atau

tidak nyata.

3) Melakukan Pembelajaran yang Diatur Sendiri (Pembelajaran Mandiri)

Pembelajaran mandiri adalah suatu proses belajar yang mengajak siswa

melakukan tindakan mandiri yang melibatkan terkadang satu orang, biasanya satu

kelompok. Tindakan mandiri ini dirancang untuk menghubungkan pengetahuan

akademik dengan kehidupan siswa sehari-hari secara seemikian rupa untuk

mencapai tujuan yang bermakna. Tujuan ini mungkin menghasilkan hasil yang

nyata maupun yang tidak nyata.

4) Bekerja Sama

Kerja sama dapat menghilangkan hambatan mental akibat terbatasnya

pengalaman dan cara pandang yang sempit. Jadi akan lebih mungkin untuk

menemukan kekuatan dan kelamahan diri, belajar untuk menghargai orang lain,

mendengarkan dengan pikiran terbuka, dan membangun persetujuan bersama.

Dengan bekerja sama, para anggota kelompok kecil akan mampu mengatasi

berbagai rintangan, bertindak mandiri dan dengan penuh tanggung jawab,

mengandalkan bakat setiap anggota kelompok, mempercayai orang lain,

mengeluarkan pendapat dan mengambil keputusan.

Page 31: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

14

5) Berpikir Kritis dan Kreatif

Berpikir kritis merupakan sebuah proses yang terarah dan jelas yang

digunakan dalam kegiatan mental seperti memecahkan masalah, mengambil

keputusan, membujuk, menganalisis asumsi, dan melakukan penelitian ilmiah.

Berpikir kritis adalah kemampuan untuk berpendapat dengan cara yang

terorganisasi. Berpikir kritis merupakan kemampuan untuk mengevaluasi secara

sistematis bobot pendapat pribadi dan pendapat orang lain. Berpikir kreatif adalah

kegiatan mental yang memupuk ide-ide asli dan pemahaman-pemahaman baru.

Berpikir kreatif dan kritis memungkinkan siswa untuk mempelajari masalah

secara sistematis, menghadapi berjuta tantangan dengan cara yang terorganisasi,

merumuskan pertanyaan inovatif, dan merancang solusi original.

6) Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang

Mengetahui dan mengenal murid dengan baik, memberi perhatian, dan

meletakkan harapan yang tinggi untuk setiap anak. Memotivasi dan mendorong

setiap siswa. Siswa tidak dapat sukses tanpa dukungan dari orang dewasa. Para

siswa menghormati teman sebayanya dan orang dewasa.

7) Mencapai standar yang tinggi

Pendidikan tradisional, yang menyampaikan materi dalam jumlah yang

sangat banyak dan sebagian besar dipelajari dengan cara menghafalkan diluar

kepala dan berbentuk ceramah-ceramah, telah gagal dan terus menggagalkan

yang terabaikan mendapatkan keuntungan dari sistem pengajaran dan

pembelajaran kontekstual. CTL berhasil karena tetap berfokus pada standar

akademik yang tinggi. CTL mengajak siswa untuk berani menerima tujuan-tujuan

berat pendidikan seperti yang dibuat oleh asosiasi profesional internasional

departemen pendidikan diberbagai tempat. CTL membuat tujuan-tujuan tersebut

menjadi jelas dan eksplisit, menjadikan tujuan-tujuan tersebut bermakna, dan

memasukkannya ke setiap tugas sekolah.

8) Menggunakan penilaian autentik

Penilaian autentik mengajak para siswa untuk menggunakan pengetahuan

akademik dalam konteks dunia nyata untuk tujuan yang bermakna.

Page 32: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

f. Penerapan Pembelajaran CTL di Kelas

Yatim Riyanto (2009: 168-176) menjelaskan secara sederhana langkah

penerapan CTL dalam kelas secara garis besar adalah sebagai berikut:

1) Mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan

cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan sendiri

pengetahuan dan keterampilan barunya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa.

b) Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri.

c) Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

2) Melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri untuk semua topik. Langkah-

langkah kegiatan menemukan (inquiry) yaitu:

a) Merumuskan masalah

b) Mengamati atau melakukan observasi

c) Menganalisis atau menyajikan hasil dalam tulisan, gambar laporan, bagan,

tabel, atau karya lainnya.

d) Mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman

sekelas, guru, atau audiensi yang lain.

3) Mengembangkan sifat ingin tahu peserta didik dengan bertanya. Bertanya

merupakan strategi utama pembelajaran yang berbasis CTL. Bertanya dalam

pembelajaran dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong,

membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Bagi siswa bertanya

merupakan bagian penting dalam melaksanakan pembelajaran yang berbasis

inquiry, yaitu menggali informasi, mengonfirmasikan apa saja yang sudah

diketahui dan mengarahkan perhatian pada aspek yang belum diketahuinya.

Dalam sebuah pembelajaran yang produktif, kegiatan bertanya berguna untuk:

a) Menggali informasi baik administrasi maupun akademis.

b) Mengecek pemahaman siswa

c) Membangkitkan respons kepada siswa.

d) Mengetahui sejauh mana keingintahuan siswa.

e) Mengetahui hal-hal yang sudah diketahui siswa.

f) Memfokuskan perhatian siswa pada sesuatu yang dikehendaki guru.

Page 33: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

16

g) Membangkitkan lebih banyak lagi pertanyaan dari siswa.

h) Untuk menyegarkan kembali pengetahuan siswa.

4) Menciptakan masyarakat belajar. Konsep masyarakat belajar (learning

community) menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari kerja sama

dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar

kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Praktik metode ini dalam

pembelajaran terwujud dalam:

a) Pembentukan kelompok kecil.

b) Pembentukan kelompok besar.

c) Mendatangkan ahli kedalam kelas.

d) Bekerja kelompok dengan kelas di atasnya.

e) Bekerja dengan masyarakat.

5) Menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran. Dalam sebuah

pembelajaran keterampilan tertentu, ada model yang bisa ditiru. Model itu bisa

berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olahraga,

contoh karya tulis, cara melafalkan, dan sebagainya. Atau guru memberikan

contoh cara mengerjakan sesuatu. Dalam pendekatan CTL guru bukan satu-

satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa. Seorang

siswa dapat ditunjuk untuk memberi contoh temannya cara melafalkan suatu

kata. Contoh itu disebut sebagai model. Siswa lain dapat menggunakan model

sebagai standar kompetensi yang harus dicapainya.

6) Melakukan refleksi di akhir pertemuan. Pada akhir pembelajaran, guru

menyisakan waktu sejenak agar siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa

kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a) Pernyataan langsung tentang apa-apa yang diperolehnya pada hari itu.

b) Catatan atau jurnal dibuku siswa.

c) Kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu.

d) Diskusi

e) Hasil karya.

7) Melakukan penilaian yang sebenarnya (authentic assessment) dengan berbagai

cara. Authentic assessment menekankan pada proses pembelajaran maka data

Page 34: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

yang dikumpulkan harus diperoleh dari kegiatan nyata yang dilakukan siswa

pada saat proses pembelajaran. Karakteristik authentic assessment antara lain:

a) Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.

b) Bisa digunakan untuk formatif dan sumatif.

c) Yang diukur keterampilan dan performasi, bukan mengingat fakta.

d) Berkesinambungan

e) Terintegrasi.

f) Dapat digunakan sebagai feed back

8) Hal-hal yang dapat digunakan sebagai dasar menilai prestasi siswa antara lain:

a) Proyek/kegiatan dan laporannya.

b) PR

c) Kuis

d) Karya siswa

e) Presentasi atau penampilan siswa

f) Demonstrasi

g) Laporan

h) Jurnal

i) Hasil tes tulis

j) Karya tulis.

2. Tinjauan tentang Model Pembelajaran Konvensional

a. Pengertian Pembelajaran Konvensional

berfikir serta bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat

kebiasaan yang ada secara turun temurun. Oleh karena itu, metode konvensional

juga dapat disebut sebagai metode tradisional. Dimyati dan Mudjiono (1999: 69)

lama dan biasa digunakan. Misalnya dengan metode ceramah. Pada metode ini

guru cenderung mendominasi dan memegang peranan utama dalam menentukan

Page 35: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

18

isi dan mengakibatkan siswa hanya pasif, mudah jenuh, kurang inisiatif, sangat

Purwoto etode ceramah merupakan metode

Hal ini mungkin dianggap guru sebagai metode

pembelajaran yang paling mudah untuk dilaksanakan. Kalau bahan pelajaran

sudah dikuasai dan sudah ditentukan urutan penyampaiannya, guru tinggal

memaparkannya di kelas. Murid murid memperhatikan guru berbicara, mencoba

menangkap apa isinya, dan membuat penggalan-penggalan catatan. Sementara

Hasibuan dan Mudjiono (2002:13) menjelaskan metode ceramah merupakan

metode penyampaian bahan pelajaran dengan komunikasi lisan. Metode ini

ekonomis dan efektif bila untuk penyampaian informasi dan pengertian. Akan

tetapi, dalam pembelajaran dengan metode ini siswa cenderung bersifat pasif,

cenderung menempatkan pengajar sebagai otoritas terakhir, pengaturan kecepatan

secara klasikal ditentukan oleh pengajar, sehingga metode ini kurang cocok untuk

pembentukan keterampilan dan sikap siswa.

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran

konvensional adalah pembelajaran dimana guru memiliki sikap, cara berpikir, dan

bertindak yang selalu berpegang teguh pada norma dan adat yang ada secara turun

temurun. Dalam pembelajaran konvensional, proses belajar mengajar didominasi

oleh guru. Guru mengajar sejumlah siswa dalam ruangan yang kapasitasnya besar

dan siswa diasumsikan mempunyai kemampuan dan kecakapan yang sama. Hal

ini mengakibatkan siswa bersikap pasif, reseptif sehingga antara siswa yang

mempunyai kemampuan tinggi dalam menerima materi pelajaran dengan siswa

yang memiliki kemampuan yang rendah mendapatkan perlakuan yang sama.

Karena siswa hanya menerima apa yang disampaikan oleh guru, hal ini

mengakibatkan siswa menjadi kurang inisiatif, sangat tergantung pada guru dan

tidak terlatih untuk mengembangkan pemikiran sendiri, menemukan sendiri, dan

mengkonstruksikan sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya.

Wijaya dalam jurnal pendidikan dan kebudayaan (2006: 7)

mengemukakan bahwa dalam pembelajaran matematika agar model konvensional

menjadi efektif dan efisien, menyarankan guru sebagai berikut:

Page 36: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

1) Persiapan pendahuluan, guru membangkitkan perhatian dan minat siswa

dengan mengulangi bahan pelajaran yang telah diberikan, menerangkan tujuan

yang hendak dicapai serta masalah yang hendak dipecahkan.

2) Penyajian bahan, kegiatan belajar diciptakan secara variatif, membangkitkan

motivasi selama pembelajaran berlangsung, mempergunakan media

pembelajaran yang variatif sesuai dengan tujuan pembelajaran yang akan

disampaikan.

3) Penutup, guru menyimpulkan isi dari bahan pelajaran yang baru saja disajikan,

kemudian memberikan waktu kepada siswa untuk mencatat, meresapi dan

memahaminya, serta penilaian yang komprehensif untuk mengukur perubahan

tingkah laku.

Menurut Purwoto (2003: 67) keunggulan dan kelemahan metode

ceramah adalah sebagai berikut:

1) Keunggulan

a) Dapat menampung kelas besar, tapi murid mendapatkan kesempatan yang

sama untuk mendengarkan dan karenanya biaya yang diperlukan relative

lebih murah,

b) Bahan pelajaran atau keterangan dapat diberikan secara lebih urut oleh guru,

konsep-konsep yang disajikan secara hierarki akan memberikan fasilitas

belajar kepada siswa,

c) Guru dapat memberikan tekanan terhadap hal-hal yang penting hingga

waktu dan energi dapat digunakan sebaik mungkin,

d) Isi silabus dapat diselesaikan dengan mudah karena guru tidak harus

menyesuaikan dengan kecepatan belajar siswa,

e) Kekurangan atau tidak adanya buku pelajaran dan alat bantu pelajaran tidak

menghambat dilaksanakannya pelajaran dengan ceramah.

2) Kelemahan

a) Pembelajaran berjalan membosankan, murid pasif karena tidak

berkesempatan untuk menemukan sendiri konsep yang diajarkan. Murid

hanya aktif membuat catatan.

Page 37: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

20

b) Kepadatan konsep-konsep yang diajarkan dapat membuat murid tidak

mampu menguasai bahan yang diajarkan

c) Pengetahuan yang diperoleh murid melalui ceramah akan lebih cepat

terlupakan.

d) Ceramah menyebabkan belajar murid menjadi belajar menghafal (role

learning) yang tidak mengakibatkan timbulnya pengertian.

b. Perbedaan Pendekatan Contextual Teaching and Learning dengan

Pendekatan Tradisional (Behaviorisme/Strukturalisme)

Menurut Yatim Riyanto (2009: ) terdapat beberapa aspek perbedaan yang

terlihat jelas antara pendekatan Contextual Teaching and Learning (CTL) dengan

pendekatan tradisional/konvensional. Perbedaan tersebut dinyatakan Riyanto

dalam tabel berikut ini.

Tabel 2.1. Perbedaan Pendekatan CTL dengan Pendekatan Tradisional No. PENDEKATAN CTL PENDEKATAN TRADISIONAL

1. Siswa secara aktif terlibat dalam

proses pembelajaran

Siswa adalah penerima informasi

secara pasif.

2. Siswa belajar dari teman melalui

kerja kelompok, diskusi, saling

mengoreksi.

Siswa belajar secara individual.

3. Pembelajaran dikaitkan dengan

kehidupan nyata dan atau masalah

yang disimulasikan

Pembelajaran sangat abstrak dan

teoritis.

4. Perilaku dibangun atas kesadaran diri. Perilaku dibangun atas kebiasaan.

5. Keterampilan dikembangkan atas

dasar pemahaman.

Keterampilan dikembangkan atas

dasar latihan.

6. Hadiah untuk perilaku baik adalah

kepuasan diri.

Hadiah untuk perilaku baik adalah

pujian atau nilai (angka) rapor.

7. Siswa tidak melakukan yang jelek

karena dia sadar itu keliru dan

merugikan dirinya

Siswa tidak melakukan yang jelek dia

takut hukuman.

Page 38: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

21

8. Bahasa yang diajarkan dengan

pendekatan komunikatif, siswa

diajak menggunakan bahasa dalam

konteks nyata.

Bahasa diajarkan dengan pendekatan

struktural, rumus diterangkan sampai

paham, kemudian dilatih (drill).

9. Pemahaman rumus dikembangkan

atas dasar skemata yang sudah ada

dalam diri siswa.

Rumus itu ada diluar diri siswa, yang

harus diterangkan, diterima, dihafal

dan dilatih.

10. Pemahaman rumus itu relatif berbeda

antara siswa yang satu dengan yang

lainnya, sesuai dengan skemata siswa

(on going process of development)

Rumus adalah kebenaran absolut

(sama untuk semua orang). Hanya

ada dua kemungkinan, yaitu

pemahaman rumus yang salah atau

pemahaman rumus yang benar.

11. Siswa berfikir kritis, terlibat penuh

dalam mengupayakan proses

pembelajaran yang efektif, ikut

bertanggung jawab atas terjadinya

proses pembelajaran yang efektif,

dan membawa skemata dalam proses

pembelajaran.

Siswa secara pasif menerima rumus

atau kaidah (membaca,

mendengarkan, mencatat,

menghafal), tanpa memberikan

konstribusi ide dalam proses

pembelajaran.

12. Pengetahuan yang dimiliki siswa

dikembangkan oleh siswa sendiri.

Siswa menciptakan atau membangun

pengetahuan dengan cara memberi

arti dan memahami pengalamannya.

Pengetahuan adalah penangkapan

terhadap serangkaian fakta, konsep,

atau hukum yang berada diluar diri

manusia.

13. pengetahuan dikonstruksi oleh siswa

sendiri, sementara siswa selalu

mengalami peristiwa baru, maka

pengetahuan itu tidak pernah stabil,

selalu berkembang (tentative and

incomplete)

Kebenaran bersifat absolut dan

pengetahuan bersifat final.

Page 39: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

22

14. Siswa diminta bertanggung jawab

memonitor dan mengembangkan

pembelajaran mereka sendiri.

Guru adalah penentu jalannya proses

pembelajaran.

15. Penghargaan terhadap pengalaman

siswa sangat diutamakan.

Pembelajaran tidak memperhatikan

pengalaman siswa.

16. Hasil belajar diukur dengan berbagai

cara; proses kerja, hasil karya,

penampilan, rekaman, tes dll.

Hasil belajar diukur hanya dengan

tes.

17. Pembelajaran terjadi di berbagai

tempat, konteks, dan setting.

Pembelajaran hanya terjadi di dalam

kelas.

18. Penyesalan adalah hukuman dari perilaku jelek.

Sanksi adalah hukuman dari perilaku

jelek

19. Perilaku baik berdasar motivasi

intrinsik

Perilaku baik berdasarkan motivasi

ekstrinsik.

20. Seseorang berperilaku baik karena

dia yakin itulah yang terbaik dan

bermanfaat.

Seseorang berperilaku baik karena

dia terbiasa melakukan begitu.

Kebiasaan ini dibangun dengan

hadiah yang menyenangkan.

3. Tinjauan tentang Kemampuan Membaca Pemahaman

a. Pengertian Kemampuan

James P. Chaplin (1981:1) mendefinisikan kemampuan sebagai berikut

ability (kemampuan, kecakapan, ketangkasan, bakat, kesanggupan)

merupakan tenaga (daya kekuatan) untuk melakukan suatu perbuatan. Menurut

Woodworth dan Marquis dalam Suryabrata (2002:161) kemampuan (ability)

mempunyai tiga arti yaitu:

1) Achievement yang merupakan actual ability, yang dapat diukur langsung

dengan alat atau tes tertentu.

2) Capacity yang merupakan potential ability, yang dapat diukur secara tidak

langsung dengan melalui pengukuran terhadap kecakapan individu, di mana

Page 40: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

23

kecakapan ini berkembang dengan perpanduan antara dasar dengan training

yang intensif dan pengalaman.

3) Atitude, yaitu kualitas yang hanya data diungkap/diukur dengan tes khusus

yang sengaja dibuat untuk itu.

Kemampuan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 2002:

707- bisa atau sanggup. Kemampuan

adalah suatu kesanggupan dalam melakukan sesuatu. Seseorang dikatakan mampu

apabila ia bisa melakukan sesuatu yang harus ia lakukan. Sedangkan menurut

Wikipedia Indonesia kemampuan adalah kapasitas seorang individu untuk dapat

melakukan berbagai macam tugas dalam suatu pekerjaan tertentu.

(http://id.wikipedia.org/wiki/Kemampuan, diakses 17 april 2011 jam 15.02 wib).

Berdasarkan pendapat diatas kemampuan adalah kesanggupan seseorang

dalam melakukan suatu perbuatan atau pekerjaan yang berupa bawaan dari lahir

maupun hasil dari latihan dan praktek, kemampuan ini dapat diukur langsung

maupun secara tidak langsung dengan alat atau tes tertentu.

b. Pengertian Membaca

Sejumlah definisi membaca telah disampaikan oleh para pakar

pengajaran membaca. Namun seperti juga keterampilan berbahasa lain, pada

dasarnya membaca adalah proses komunikasi, terutama antara teks tertulis

(gagasan penulis) dan pembaca. Dalam hal ini keberhasilan membaca akan sangat

bergantung pada keberhasilan komunikasi itu sendiri. McKenna & Robinson

(1993: 21) menjelaskan bahwa membaca adalah sebuah proses interaktif antara

pengetahuan awal pembaca tentang isi bacaan dan tujuan membaca sehinggga

mempengaruhi apa yang dipelajari dari teks. Dalam menjelaskan proses membaca

ini, McKenna & Robinson (1993) menyatakan bahwa reading is defined as the

reconstruction in the mind of meaning encoded in print (membaca dapat pula

dikatakan sebagai rekonstruksi makna di dalam pikiran pembaca)

Membaca

(2002: 31) merupakan proses memperoleh makna dari barang cetak. Ada dua cara

Page 41: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

24

yang ditempuh pembaca dalam memperoleh makna dari barang cetak yaitu secara

langsung dan tak langsung:

1) Langsung, yakni menghubungkan ciri penanda visual bunyi dari tulisan dengan

maknanya, biasanya digunakan oleh pembaca lanjut.

2) Tidak langsung, yakni mengidentifikasi bunyi dalam kata dan

menghubungkannya dengan makna, biasanya digunakan oleh pembaca

permulaan.

Comb

membaca menjadi tiga tahap, yaitu :

1) Dalam tahap persiapan, anak mulai menyadari tentang fungsi barang cetak,

konsep tentang cara kerja barang cetak, konsep tentang huruf, konsep tentang

kata.

2) Dalam tahap perkembangan, anak mulai memahami pola bahasa yang terdapat

dalam barang cetak. Anak mulai belajar memasangkan satu kata dengan kata

yang lain.

Pengajaran membaca sangat tepat digunakan sebagai sarana untuk

membimbing anak menjadi pembaca yang mandiri dan menumbuhkan minat baca.

Melalui pengajaran membaca bersuara, guru dapat menjadikan barang cetak

(mati) menjadi hidup. Melalui kegiatan ini guru dapat memberikan contoh cara

membaca dengan kecepatan, irama dan suara yang tepat. Selain itu, guru dapat

mengajak anak dengan bahasa tulis. Cara yang ditempuh untuk mengajak anak

mengakrabi buku sebagai berikut:

1) Ciptakan lingkungan yang menyenangkan

2) Perkenalkan buku-buku baru

3) Pilih waktu yang paling tepat

4) Beri kesempatan untuk merespon isi buku

5) Berikan bimbingan dalam memahami bacaan

6) Gunakan cara dan waktu yang bervariasi.

Untuk dapat memacu perkembangan anak dalam membaca. Clay dalam

Page 42: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

25

yang kondusif bagi kegiatan membaca. Kondisi yang dimaksud adalah sebagai

berikut:

1) Kemahiran membaca diperoleh melalui interaksi sosial dan tingkah laku

emulatif (kompetitif).

2) Anak menguasai kemahiran membaca sebagai hasil dari pengalaman hidupnya.

3) Anak akan menguasai kemahiran membaca jika ia tahu tujuan dan memerlukan

proses.

4) Kegiatan bermain memainkan peran dalam penguasaan bahasa.

Dari apa yang dikemukakan di atas, dapat dikatakan bahwa membaca

adalah sebuah proses kompleks yang membuat pengajarannya sebagai proses yang

kompleks pula. Namun, guru membaca yang baik mempunyai satu hal yang sama,

yaitu mereka berpikir tentang membaca. Hal ini tidak berarti bahwa semua guru

membaca yang baik mempunyai pikiran yang sama. Banyak guru membaca yang

baik tidak memiliki pengetahuan atau preferensi tertentu tentang teori proses

membaca atau teori pengajaran membaca. Apa yang membedakan mereka adalah

kecenderungan untuk memikirkan peranan mereka dalam pengajaran membaca,

untuk mengembangkan pendekatan personal terhadap pengajaran membaca yang

menggabungkan apa yang mereka ketahui tentang proses membaca, tentang diri

mereka sebagai guru, tentang pengajaran membaca dan tentang pembelajar yang

mereka ajari.

Sementara itu, Otto, dkk (1979: 4) mengakui bahwa proses membaca dan

pengajaran membaca memang begitu kompleks, sehingga para ahli dapat

memantaunya dari berbagai sudut pandang. Sedikitnya ada lima disiplin ilmu

yang dapat memberikan penjelasan tentang bagaimana proses membaca

berlangsung.

Disiplin ilmu pertama adalah psikologi, yang mengkaji proses ini melalui

pendekatan perseptual/konseptual, behavioristik, nativistik, kognitif, dan

psikometrik. Psikolinguistik adalah disiplin ilmu kedua yang juga memberikan

kontribusi terhadap pemaparan proses membaca. Bidang pengolahan informasi

(information processing) adalah bidang ketiga yang mengkaji proses membaca

Page 43: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

26

dari sudut pandang sibernetika, analisis sistem dan teori komunikasi umum.

Sosiolinguistik adalah bidang ilmu keempat yang memberikan kontribusi terhadap

pemahaman tentang proses membaca dan khususnya tentang proses pengajaran

membaca. Terakhir, ilmu-ilmu perilaku juga membantu meningkatkan wawasan

dan pemahaman tentang aspek-aspek tertentu dalam proses membaca.

Selain itu, para teoritikus mendekati proses membaca dengan berbagai

cara dan sudut pandang yang berbeda. Misalnya, ada beberapa jenis teori: teori

makro dan teori mikro. Teori makro berusaha membahas kegiatan membaca

dalam seluruh kompleksitasnya. Sedangkan teori mikro dirancang untuk

menjelaskan satu segmen kecil dalam proses membaca. Selain itu, ada pula teori

perkembangan dan teori deskriptif. Teori perkembangan adalah upaya untuk

menjelaskan kegiatan membaca menurut cara proses membaca itu dipelajari,

sedangkan teori deskriptif berusaha mendeskripsikan tindakan-tindakan pembaca

yang proses membaca. Terakhir, ada pendekatan molekuler dan pendekatan

holistik terhadap pengembangan kemampuan membaca. Pendekatan molekuler

berusaha menguraikan proses membaca ke dalam perilaku-perilaku atau

keterampilan-keterampilan tertentu dan menunjukkan bagaimana semua perilaku

ini digabungkan dalam mencapai keberhasilan membaca. Sebaliknya, pendekatan

holistik kurang menekankan perilaku-perilaku tertentu, tetapi lebih

menitikberatkan pada hubungan atau keterkaitan yang kompleks di antara

komponen-komponen proses membaca.

John B. Carroll (1987:424) dalam penelitiannya menggunakan salah satu

skala kemampuan membaca pemahaman yang disusun oleh Departemen

Pendidikan Amerika Serikat yang membidangi National Assessment of

Educational Progress yaitu sebagai berikut.

1) Rudimentary (Sangat Dasar)

Pembaca yang telah menguasai keterampilan dan strategi membaca yang

sangat dasar dapat mengikuti petunjuk tertulis yang singkat. Mereka juga dapat

memilih kata, frase, atau kalimat untuk menjelaskan sebuah gambar sederhana

dan dapat menafsirkan isyarat-isyarat sederhana untuk mengenal sebuah objek

Page 44: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

27

biasa. Kemampuan pada taraf ini menunjukkan kemampuan untuk melakukan

tugas-tugas membaca yang sederhana.

2) Basic (Dasar)

Pembaca yang telah mempelajari keterampilan dan strategi pemahaman

dasar dapat menemukan, dan mengenali fakta-fakta dari paragraf informasi, cerita

dan artikel berita sederhana. Di samping itu, mereka dapat menggabungkan

berbagai gagasan dan menarik kesimpulan yang didasarkan pada bahan bacaan

pendek. Kemampuan pada taraf ini adalah memahami informasi spesifik.

3) Intermediate (Menengah)

Pembaca yang memiliki kemampuan dan strategi ini dapat mencari,

menemukan, dan menyusun informasi yang ada dalam bahan bacaan yang relatif

panjang dan dapat membuat parafrase dari apa yang telah mereka baca. Mereka

juga dapat menarik kesimpulan dan mencapai generalisasi tentang gagasan utama

dan tujuan penulis. Pada taraf ini kemampuan yang dikuasai adalah mencari

informasi spesifik, menghubungkan berbagai gagasan, dan membuat generalisasi.

4) Adept (Terampil)

Pada taraf terampil ini pembaca dapat memahami teks sastra dan

informasi yang rumit, termasuk bahan bacaan tentang topik-topik yang mereka

pelajari di sekolah. Mereka juga dapat menganalisis bahan bacaan serta

memberikan reaksi atau penjelasan tentang teks secara menyeluruh. Dengan kata

lain, mereka dapat menemukan, memahami, merangkum, dan menjelaskan

informasi yang relatif kompleks.

5) Advanced (Mahir)

Pembaca yang menggunakan keterampilan dan strategi membaca mahir

ini dapat mengembangkan dan membentuk kembali gagasan-gagasan yang

disajikan dalam teks yang kompleks. Mereka juga mampu memahami hubungan

di antara gagasan-gagasan sekalipun hubungan itu tidak dinyatakan secara

eksplisit, dan bahkan membuat generalisasi yang tepat meskipun teks tidak

memuat keterangan yang jelas.

Page 45: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

c. Pengertian Membaca Pemahaman

Robert Lado (1977: 223) menyatakan bahwa kemampuan membaca

pemahaman merupakan kemampuan memahami arti dalam suatu bacaan melalui

tulisan atau bacaan. Dari pengertian ini dapat dikatakan bahwa Lado menekankan

adanya dua hal pokok dalam membaca pemahaman, yaitu bahasa dan simbol

grafis. Lado lebih lanjut menyatakan bahwa hanya orang yang telah menguasai

bahasa dan symbol grafislah yang dapat melakukan kegiatan membaca

pemahaman. Grellet (1986: 13) menyatakan bahwa kemampuan membaca

pemahaman merupakan kemampuan menyimpulkan informasi yang diperlukan

dalam bacaan. Sejalan hal tersebut, Goodman (1980: 15) menyatakan bahwa

membaca pemahaman merupakan suatu proses merekonstruksikan pesan yang

terdapat dalam teks yang dibaca. Goodman lebih lanjut menerangkan bahwa

proses rekonstruksi pesan itu berlapis, interaktif, dan didalamnya terjadi proses

pembentukan dan pengujian hipotesis. Selanjutnya hasil dari pengujian hipotesis

tersebut akan dipakai oleh pembaca sebagai dasar menarik kesimpulan mengenai

pesan atau informasi yang disampaikan oleh penulis.

Tarigan (1994: 9) menyebutkan bahwa kegiatan membaca ialah

memahami pola pola bahasa dari gambaran tertulisnya. Seseorang yang

melakukan kegiatan membaca pemahaman harus menguasai bahasa serta tulisan

agar memahami isi bacaan tersebut. Membaca pemahaman merupakan suatu

kegiatan yang tujuan utama adalah memahami bacaan secara cepat dan tepat.

Menurut Burns dalam Slamet (2008: 72) pemahaman merupakan hal yang penting

dalam membaca karena dengan pemahaman kita dapat mengetahui informasi dari

bacaan secara keseluruhan. Pemahaman sangat dipengaruhi oleh pengalaman dan

pengetahuan pembaca. Pembaca yang mempunyai pengetahuan dan pengalaman

yang lebih luas berpeluang lebih besar untuk dapat mengembangkan pemahaman

kata dan konsep dari pada yang lainnya.

Dari berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa kegiatan membaca

pemahaman terjadi apabila terdapat suatu ikatan yang aktif antara daya pikir dan

kemampuan yang diperoleh pembaca melalui pengalaman membaca mereka.

Membaca pemahaman dengan demikian merupakan proses pengolahan informasi

Page 46: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

29

secara intensif, kritis, kreatif, dan apresiatif yang dilakukan dengan tujuan

memperoleh pemahaman yang bersifat menyeluruh.

Menurut Broughton (dalam Tarigan, 1987:11-12) tingkat kemampuan

membaca pemahaman terdiri atas dua jenis, yaitu kemampuan yang bersifat

mekanik dan kemampuan membaca yang bersifat pemahaman. Kemampuan

membaca yang bersifat mekanik merupakan keterampilan membaca tingkat

rendah. Indikator atau penanda yang dapat digunakan untuk menentukan apakah

seseorang pembaca berada pada tingkat mekanik ini adalah sebagai berikut.

1) Pengetahuan pembaca baru sekedar mengenal bentuk-bentuk huruf, angka, dan

tanda-tanda yang lain.

2) Pembaca baru mengenal bentuk-bentuk linguistik, misalnya: fonem/grafem,

kata, frase, klausa, dan kalimat.

3) Pembaca baru mengenal hubungan/korespondensi pola ejaan dan bunyi, atau

hanya sekedar mampu menyuarakan apa yang ditulis.

4) Biasanya kecepatan membaca masih lambat.

Keterampilan membaca pemahaman merupakan kelanjutan dari

keterampilan membaca mekanik. Pada tingkat ini, kepada pembaca tidak hanya

dituntut untuk mampu mengenal dan membaca unsur-unsur linguistik, melainkan

lebih dari itu. Penelitian ini dilakukan di perguruan tinggi, yaitu dengan tingkat

pemahaman bacaan. Aspek-aspek yang hendak dicapai pada taraf membaca

tingkat pemahaman adalah seperti berikut.

1) Pembaca memahami pengertian-pengertian sederhana dalam hal leksikal (kata-

kata), gramatikal (kalimat), dan retorikal (wacana).

2) Pembaca dapat memahami signifikansi dan makna yang dibaca.

3) Pembaca mampu mengevaluasi bacaan, misalnya evaluasi dari segi bentuk, isi,

tanda baca, dan lain-lain.

4) Pembaca mampu mengukur kecepatan membacanya, dalam arti pembaca

mengetahui kapan ia harus membaca hati-hati, kapan ia harus membaca cepat

atau membaca sekilas.

Membaca tingkat pemahaman sangat diperlukan di dalam dunia

pendidikan, terutama untuk jenjang perguruan tinggi. Menurut Herbert H. Clark

Page 47: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

dan Eva V. Clark (1977: 43) membaca pemahaman merupakan suatu proses

pembentukan interpretasi atau pengertian. Pemahaman lahir setelah pembaca

mengerti apa yang dibacanya. Pengertian ini merupakan jawaban atas pertanyaan

yang diajukan pada bacaan. Sejalan dengan pendapat di atas, Smith (1982: 62)

mengemukakan bahwa pemahaman berarti jawaban-jawaban yang diperoleh dari

pertanyaan-pertanyaan yang diajukan terhadap suatu bacaan. Dari kedua pendapat

tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemahaman merupakan suatu kegiatan

membaca untuk memperoleh pengertian yang mendalam dari informasi yang

disampaikan penulis. Pengertian yang baik ini akan memudahkan pembaca untuk

menginterpretasikan dan menilai permasalahan yang terdapat dalam bacaan,

sehingga apabila diajukan pertanyaan-pertanyaan kepada pembaca tersebut

dengan mudah akan mudah dijawabnya. Lebih dari itu, pemahaman terhadap

suatu bacaan dapat menimbulkan perubahan-perubahan yang positif dari pembaca,

baik perubahan dalam bentuk pengetahuan, sikap maupun perubahan dalam

bentuk keterampilan.

Menurut Barret dalam Dupuis (1982: 25-27), pada dasarnya tingkat

pemahaman seseorang terhadap bacaan dapat diklasifikasikan atas beberapa

tingkat:

1) Kemampuan mengingat atau memahami kata-kata secara harfiah;

2) Kemampuan membentuk pengertian (apresiasi) berdasarkan pemahaman di

atas;

3) Kemampuan menarik kesimpulan; dan

4) Kemampuan mengadakan evaluasi.

Berdasarkan pendapat Barret tersebut, terlihat bahwa kegiatan membaca

pemahaman sangat perlu dilakukan untuk mengungkapkan makna dari seluruh

bacaan. Melalui kegiatan membaca pemahaman maka dengan mudah kita dapat

memperoleh gagasan dan pesan yang terdapat dalam bacaan, sehingga dengan

mudah pula pembaca mampu menghubung-hubungkan gagasan yang satu dengan

gagasan yang lain.

Sejalan dengan pendapat Barret, Gray dalam Gardner (1978: 65-81)

mengemukakan beberapa tingkatan pemahaman terhadap bacaan. Tingkat

Page 48: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

31

pemahaman bacaan tersebut dapat diklasifikasikan atas lima tingkatan, yaitu

berikut di bawah ini.

1) Persepsi awal yang terdiri dari (a) pemahaman terhadap kosakata, (b)

pengenalan struktur bacaan, (c) memahami dan mengikuti petunjuk yang

terdapat dalam bacaan.

2) Pemahaman atau interpretasi terhadap bacaan yang terdiri dari (a) merasakan

atau mengetahui tujuan yang hendak dicapai penulis, (b) menemukan

hubungan sebab akibat yang terdapat dalam bacaan, (c) mengetahui suasana

dan perasaan penulis, (d) menganalisis karakter dan motif yang terdapat dalam

bacaan, (e) mencatat kriteria-kriteria dan hubungan-hubungan yang terdapat

dalam bacaan, (f) membuat kesimpulan bacaan, dan (g) mampu dan mau

berspekulasi dengan peristiwa dan kenyataan.

3) Mengadakan evaluasi, yaitu mengukur seberapa jauh pembaca dapat menilai

baik tidaknya bacaan yang dibacanya.

4) Memberikan reaksi terhadap apa yang dibacanya. Reaksi ini dapat bersifat

emosional intelektual (penuh pertimbangan baik buruk).

5) Mengadakan integrasi bacaan dengan latar belakang pembaca.

Berhasil tidaknya seseorang dalam melakukan kegiatan membaca

pemahaman dapat dilakukan dari berbagai hal, yaitu berdasarkan kemampuan

mengungkap kembali apa yang telah dibacanya, kemampuan memberikan

penilaian terhadap permasalahan yang dikemukakan penulis, kemampuan

menerapkan petunjuk-petunjuk yang terdapat dalam bacaan, kemampuan

menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan bacaan. Bila pembaca

mampu menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan baik, besar

kemungkinan baik pulalah pemahaman pembaca tersebut. Demikian pula

sebaliknya, banyak aspek yang dinyatakan untuk mengetahui tingkat pemahaman

seseorang dalam membaca.

Farr (1969: 3) menyatakan bahwa aspek-aspek membaca pemahaman

meliputi (1) faktor verbal umum atau a general verbal factor, (2) pemahaman

ekesplisit bahan yang dinyatakan atau comprehension of explicitly stated material

(3) pemahaman implisit arti yang sebenarnya atau comprehension of implicit of

Page 49: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

latent meaning, dan (4) apresiasi atau appreciation. Sementara Tierney (1990:

235) menjelaskan bahwa aspek membaca pemahaman meliputi (1) tingkat literal

atau literal level, (2) tingkat interpretasi atau interpretative level, dan (3) tingkat

penerapan atau applied level. Selain itu, Dubois (1972: 24) mengemukakan

taksonomi B Barret membagi tingkatan membaca pemahaman menjadi tingkat

lateral, tingkat inferensial, tingkat evaluasi, dan tingkat apresiasi. Pemahaman

lateral membutuhkan ingatan pada gagasan-gagasan, informasi, kegiatan-kegiatan

yang dinyatakan secara jelas pada bahan bacaan. Pemahaman inferensial

merupakan pemahaman yang ditunjukan ketika pembaca menggunakan sintesis

pada isi lateral tersebut pada suatu seleksi, pengetahuan personalnya, intuisinya,

dan imajinasinya sebagai suatu dasar untuk penghubung-penghubung hipotesis.

Pemahaman evaluasi merupakan pemahaman yang ditunjukkan ketika pembaca

menilai suatu bacaan. Pemahaman apresiasi adalah pemahaman yang

bersangkutan dengan kesadaran akan teknik-teknik sastra, bentuk, gaya, dan

struktur yang digunakan penulis untuk membangkitkan respon-respon emosional

pembacanya. Sheila (1982: 41) telah mengemukakan aspek-aspek membaca

pemahaman yang lebih lengkap, yaitu (1) lateral; (2) reorganisasi; (3) apresiasi;

(4) evaluasi; (5) ekstrapolasi. Pemahaman lateral adalah pengidentifikasian dan

pengingatan rincian-rincian, ide-ide, fakta, pendapat, konsep, instruksi, contoh,

simpulan, dan petunjuk-petunjuk. Pemahaman reorganisasi berisi identifikasi ide-

ide dan rekonstruksinya ke dalam ringkasan dan abstrak. Pemahaman apresiasi

berupa penghayatan terhadap gaya, perasaan, nuansa-nuansa. Pemahaman

evaluasi merupakan tafsiran pendapat, argumen, kritik, dan uraian isi yang

disampaikan. Pemahaman ekstrapolasi adalah kesimpulan di luar wacana,

penerapan pada situasi lain.

Pendapat tersebut di atas senada dengan tingkatan membaca pemahaman

yang diajukan oleh Barret yang terkenal dengan sebutan

Dupuis (1972: 24-28) menyebutkan keempat tingkatan membaca pemahaman itu,

yakni (1) pemahaman literal, (2) pemahaman inferensial, (3) pemahaman evaluasi,

dan (4) pemahaman apresiasi. Selanjutnya, Dupuis mengemukakan bahwa

pemahaman lateral adalah pemahaman yang membutuhkan ingatan mengenai

Page 50: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

33

gagasan-gagasan, informasi, kejadian-kejadian yang dinyatakan secara jelas pada

bahan bacaan. Pemahaman inferensial merupakan pemahaman yang ditujukan

ketika pembaca menggunakan sintesis pada isi lateral tersebut pada suatu seleksi,

pengetahuannya personalnya, intuisi, dan imajinasinnya sebagai suatu dasar untuk

penghubung-penghubung hipotesis. Pada pemahaman inferensial ini, pernyataan-

pernyataan imajinasi memerlukan pemikiran. Evaluasi merupakan yang

ditunjukan ketika pembaca menilai isi bacaan. Ia membandingkan kriteria

eksternal dan internal. Kriteria eksternal ditunjukkan dari subjektivitas pengarang

dan internal berdasarkan pengalaman pembaca, pengetahuannya yang

menghubungkan antara yang ditulis dengan pembaca. Apresiasi adalah

pemahaman yang berkaitan dengan kesadaran teknik sastra, bentuk, gaya, dan

struktur yang dikerjakan pengarang untuk mendorong respon-respon emosional

pembacanya.

Ketiga tingkatan Barret yaitu literal, inferensial, dan evaluasi

berhubungan dengan taksonomi Bloom. Pada tingkatan keempat (apresiasi),

taksonomi Barret berhubungan dengan tingkat afektif Bloom karena respon dari

pembaca terhadap apa yang terkandung dalam bacaan. Jika dibandingkan antara

ranah kognitif Bloom dan taksonomi Barret dapat dilihat sebagai berikut.

Gambar 1. Ranah kognitif Bloom dan taksonomi Barret

Bidang Kognitif Bloom

Taksonomi Membaca Barret

(6) evaluasi 3. evaluasi

(5) sintesis

(4) analisis 2. inferensial

(3) penerapan

(2) pemahaman 1. Lateral

(1) ingatan

Gray dalam Keith Gardner (1978: 65-81) mengklasifikasikan tingkat

pemahaman dalam membaca menjadi lima, tingkat seperti berikut.

Page 51: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

1) Persepsi awal, yang meliputi: (a) memahami kata, (b) mengenal struktur, (c)

membuat ringkasan, dan (d) mengikuti dan memahami petunjuk yang ada

dalam bacaan.

2) Pemahaman atau interpretasi yang mencakup: (a) merasakan atau mengetahui

tujuan pengarang, (b) menemukan hubungan kausal, (c) mengetahui suasana

hati perasaan pengarang, (d) menganalisis karakter dan motif, (e) mencatat

kriteria dan hubungan, (f) membuat kesimpulan, dan (g) berspekulasi antara

peristiwa dan kenyataan.

3) Evaluasi, yakni bagaimana pembaca dapat menilai baik tidaknya teks bacaan.

4) Reaksi, baik emosional maupun intelektual dari pembaca.

5) Integrasi, antara bacaan dan latar belakang pembaca.

Pada pendapat Gray di atas terlihat bahwa pemahaman tidaklah terbatas

hanya mengerti makna harfiah yang disampaikan, tetapi hendaknya pembaca tahu

tujuan pengarang dan dapat merasakan suasana hati dan perasaan yang dikandung

dalam karangan itu. Pembaca dapat bereaksi, baik secara emosional maupun

intelektual terhadap materi yang dibacanya.

Smith (1973: 231-234) mengemukakan bahwa aktivitas pemahaman

membaca dapat dikategorikan menjadi tiga tingkatan, yaitu (1) literal, (2)

inferensial, dan (3) evaluasi. Tahap literal pembelajar diharapkan dapat

memparafrasekan arti arti yang diberikan dengan jelas dalam wacana. Tahap

inferensial merupakan tahap pencarian beberapa jenis organisasi dari bahan dan

mencari ide-ide pada informasi yang ada dalam bacaan. Pada tahap elaboratif,

pemahaman yang diharapkan dari pembelajar adalah proses berfikir baru.

Penekanannya di sini pada daya kreatif yang dimiliki pembelajar.

Berdasarkan uraian di atas, tingkatan-tingkatan pemahaman secara garis

besar ada tiga, yaitu (1) lateral, (2) inferensial, dan (3) ekstrapolasi. Peningkatan

literal merupakan tingkat pemahaman yang menanyakan apa yang dimaksud oleh

pengarang atau pembaca dapat menjelaskan makna secara jelas pada teks atau

yang tersurat. Tingkatan inferensial adalan tingkatan pemahaman yang

menanyakan apa yang dimaksud oleh pengarang atau pembaca dapat menerapkan

organisasi dari bahan dan mencari ide-ide pada bacaan itu. Ekstrapolasi

Page 52: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

35

merupakan tingkatan pemahaman yang menyatakan di luar bacaan. Pada tingkatan

ini pembaca membuat kesimpulan di luar wacana, kreasi ide-ide dan konsep-

konsep serta kesimpulan-kesimpulan lebih jauh dari bacaan.

d. Pendekatan Dalam Membaca Pemahaman

Proses membaca pemahaman pada hakikatnya tidak terlepas dari adanya

penerapan pendekatan yang digunakan. Secara umum adanya dua konsep

pendekatan dalam membaca pemahaman yakni pendekatan bottom-up dan

pendekatan top-down.

Pendekatan bottom-up, membaca dipandang sebagai suatu proses

menafsirkan simbol-simbol tertulis yang memulai dari satuan-satuan yang lebih

kecil (huruf) dan kemudian mengarah kesatuan-satuan yang lebih besar (kata,

klausa, dan kalimat). Jadi pembaca menggunakan strategi menafsirkan bentuk-

bentuk tertulis guna memperoleh pemahaman makna suatu bacaan.

Pendekatan top-down sebaliknya lebih menekankan pada rekonstruksi

makna dari pada sekedar penafsiran sandi-sandi bentuk bahasa. Dalam pendekatan

top-down, interaksi antara pembaca dan teks merupakan inti kegiatan membaca.

Proses interaksi tersebut pembaca akan membawa pengetahuan yang dimiliki

sebelumnya tentang subjek yang dibacanya. Pembaca akan memanfaatkan

pengetahuan kebahasaan, motivasi, minat serta sikapnya terhadap isi teks untuk

merekonstruksikan makna suatu bacaan. Nunan (1989: 65-66) menyatakan bahwa

dalam pendekatan top-down pembaca tidak lagi menterjemahkan setiap symbol

atau bahkan setiap kata tetapi akan membentuk hipotesis-hipotesis tentang unsur

yang terdapat dalam teks dan kemudian menggunakan teks tersebut sebagai

semacam sampel untuk menemukan betul tidaknya hipotesis yang telah diajukan.

Nunan lebih lanjut menyatakan bahwa pendekatan top-down sangat diperlukan

dan merupakan koreksi atas pendekatan bottom-up, karena dalam kenyataan

sehari-hari proses membaca mengikuti urutan terbalik dari pendekatan bottom-up

yaitu menafsirkan makna terlebih dahulu kemudian mengidentifikasikan kata dan

huruf (1989: 33). Jadi dalam hal ini Nunan berpendapat bahwa dalam membaca

seseorang perlu memahami makna terlebih dahulu agar dapat mengidentifikasi

Page 53: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36

kata-kata dan perlu mengenal kata-kata untuk mengidentifikasi huruf dan bukan

sebaliknya.

Berdasarkan uraian di atas, bahwa pendekatan bottom-up maupun

topdown masing-masing memiliki kelemahan. Kelemahan utama dari pendekatan

bottom-up bahwa inisiatif proses pemahaman makna dalam tataran yang lebih

tinggi harus menunggu proses penafsiran (decoding) simbol-simbol sandi bahasa

seperti huruf dan kata yang berada pada proses tataran yang rendah. Sedangkan

kelemahan pendekatan top-down adalah kurang memberikan peluang pada proses

tataran yang lebih rendah untuk mengarah proses tataran yang lebih tinggi seperti

pemahaman makna global melalui pengetahuan latar. Beranjak dari dua

kelemahan pendekatan di atas, Stanovich dalam Nunan (1989: 67) mengajukan

alternatif pendekatan yang berupa intergrasi dua pendekatan sebelumnya.

Pendekatan Stanovich dikenal sebagai model pendekatan interactive-

compensatory. Dalam pendekatan ini pembaca memproses teks dengan

memanfaatkan semua informasi yang tersedia secara simultan dari berbagai

sumber yang meliputi fonologis, leksikal, sintaksis, maupun pengetahuan tentang

wacana.

Berdasarkan uraian di atas, meskipun dari beberapa pendapat

memberikan gambaran yang berbeda-beda tentang proses membaca pemahaman,

jika dicermati setidaknya terdapat empat ciri umum yang berkaitan dengan proses

membaca pemahaman. Pertama, membaca adalah berinteraksi dengan bahasa

yang sudah disandikan dalam bentuk tulisan. Kedua dari hasil interaksi dengan

bahasa tertulis harus berupa pemahaman. Ketiga, kemampuan membaca erat

kaitanya dengan kemampuan berbahasa lisan. Keempat, membaca merupakan

proses yang aktif dan berkelanjutan yang secara langsung dipengaruhi oleh

interaksi-interaksi dalam lingkunganya.

e. Tujuan Membaca Pemahaman

Slamet (2009: 85) mengemukakan bahwa membaca dalam konteks

ilmiah merupakan kebutuhan yang tidak dapat ditinggalkan, karena bisa

mengembangkan potensi-potensi intelektual dan bakat-bakat artistik kita, serta

Page 54: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

37

dapat mengaktualisasi diri dan memasuki proses sosialisasi diri sebaik-baiknya.

Senada dengan pendapat di atas, Morrow sebagaimana dikutip Utari dan Subyakto

(1993: 164-165) menyatakan bahwa tujuan membaca adalah mencari informasi

yang: (1) kognitif dan intelektual yaitu yang digunakan seseorang untuk

menambah keilmuanya sendiri; (2) referensial dan faktual, yaitu yang digunakan

seseorang untuk mengetahui fakta-fakta yang nyata di dunia ini; (3) afektif dan

emosional, yaitu yang digunakan seseorang untuk mencari kenikmatan dalam

membaca. Dalam aktivitas berbahasa, membaca pemahaman selalu melibatkan

beberapa psikologis (mental) seperti kegiatan penilaian, penalaran, pertimbangan,

pengkhayalan, dan pemecahan masalah. Selain itu membaca pemahaman

memiliki empat faktor landasan psikologis, antara lain (1) kapasitas lisan, yaitu

kemampuan bawaan untuk mempelajari bahasa simbol dan kemampuan

menangkap konsep-konsep abstrak; (2) pemahaman pendidikan, yaitu keseluruhan

gagasan, pengertian dan pengetahuan praktis yang diperoleh melalui kontak

pribadi dengan lingkungan; (3) kemampuan berkonsentrasi, yaitu pengarahan

pikiran pada pengetahuan tertentu, gagasan-gagasan dan informasi yang

berhubungan dengan pemecahan dan analisis; dan (4) adanya tujuan sehingga

kemampuan mental dapat difokuskan dalam mempelajari hal-hal tertentu.

Berpijak pada uraian di atas, maka pembaca pemahaman dituntut dapat

melibatkan dirinya secara aktif dalam bacaan, mengolah informasi visual dan non

visual, serta mengkonstruksikan isi yang tersurat dan tersirat dalam bacaan.

f. Pengukuran Kemampuan Membaca Pemahaman

Tes yang bersifat subjektif maupun berbentuk objektif dapat

dipergunakan untuk mengukur kemampuan membaca pemahaman seseorang.

Menurut Soenardi Djiwandono (1996: 64-65) bahwa tujuan pokok

penyelenggaraan tes membaca adalah mengetahui dan mengukur tingkat

kemampuan memahami makna tersurat, tersirat maupun implikasi dari isi suatu

bacaan, oleh karenanya dapat dipilih tes bentuk subjektif maupun objektif. Tes

bentuk subjektif dapat dibuat dalam bentuk pertanyaan yang dijawab melalui

jawaban panjang dan lengkap atau sekedar jawaban pendek. Sedangkan tes

Page 55: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

objektif dapat disusun dalam bentuk tes melengkapi, menjodohkan, pilihan ganda

atau bentuk-bentuk gabungan. Burhan Nurgiantoro (1988: 248) berpendapat

bahwa pengukuran kegiatan membaca dapat mencakup dua segi yaitu kemampuan

dan kemauan. Kemampuan membaca lebih berkaitan dengan aspek kognitif yang

mencakup enam tingkatan sedangkan faktor kemauan berkaitan dengan aspek

afektif. Lebih lanjut Burhan Nurgiantoro (1988: 249) menyatakan bahwa tes esai

maupun objektif dapat dipilih, hanya saja untuk mengukur tingkat sintesis dan

evaluasi bentuk tes esai lebih mudah disusun. Berdasarkan pendapat di atas dapat

disimpulkan bahwa pengukuran kemampuan membaca pemahaman dapat

dilakukan melalui tes bentuk esai ataupun objektif dengan memperhatikan

beberapa indikator.

Berbicara tentang indikator kemampuan membaca pemahaman, David

Russel yang dikutip Dikjen Dikti (1985: 65-66) menyatakan bahwa kemampuan

membaca adalah kemampuan memberi respon yang tepat dan akurat terhadap

tuturan tertulis yang dibaca. -49)

membedakan pemahaman atas empat tingkatan yaitu (1) tingkat pemahaman

literal, yaitu pemahaman arti kata, kalimat, serta paragraf dalam bacaan; (2)

tingkat pemahaman interpretatif, yaitu pemahaman isi bacaan yang tidak langsung

dinyatakan dalam teks bacaan; (3) tingkat pemahaman kritis, yaitu pemahaman isi

bacaan yang dilakukan pembaca dengan berfikir secara kritis terhadap isi bacaan;

(4) tingkat pemahaman kreatif, yaitu pemahaman terhadap bacaan yang dilakukan

dengan kegiatan membaca melalui berfikir secara interpretatif dan kritis untuk

memperoleh pandangan-pandangan baru, gagasan-gagasan baru, gagasan yang

segar dan pemikiran-pemikiran orisinal.

Sedangkan Anderson (1980: 106) membedakan tingkatan membaca

pemahaman atas tiga tingkatan yaitu (1) membaca barisan, (2) membaca

antarbarisan, dan (3) membaca di luar barisan. Untuk tiga tingkatan tersebut,

Anderson (1990: 106), menyatakan terdapat tujuh keterampilan yang terkandung

di dalam tingkat pemahaman yaitu (1) pengetahuan makna kata, (2) pengetahuan

tentang fakta, (3) pengetahuan menentukan tema pokok, (4) kemampuan

mengikuti hal yang mengatur sebuah wacana, (5) kemampuan memahami

Page 56: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

39

hubungan timbal balik, (6) kemampuan menyimpulkan, dan (7) kemampuan

melihat tujuan pengarang. Sehubungan dengan kompetensi yang dituntut dalam

membaca pemahaman, menurut Henry Guntur Tarigan (1987: 37) mengatakan

bahwa sesuai dengan tujuan pengajaran membaca pemahaman, maka indikator

kemampuan membaca pemahaman siswa dapat dilihat dari kemampuan siswa

dalam (1) menetapkan ide pokok; (2) memilih butir-butir penting; (3) mengikuti

petunjuk-petunjuk; (4) menentukan organisasi bahan bacaan; (5) menentukan citra

visual dan citra lainya dalam bacaan; (6) menarik kesimpulan-kesimpulan; (7)

menduga dan meramalkan dampak dan kesimpulan; (8) merangkum bacaan; (9)

membedakan fakta dari pendapat; (10) memperoleh dari aneka sarana khusus

seperti ensiklopedi.

Pendapat yang agak berbeda diutarakan oleh Alan Davies dan

Widdowson (1974: 167-175) menyatakan bahwa indikator-indikator untuk

mengukur kemampuan membaca pemahaman terdiri atas: (1) acuan langsung

yang dirinci dalam kemampuan memahami makna kata, istilah, ungkapan,

kemampuan menangkap informasi dalam kalimat, dan kemampuan menjelaskan

istilah; (2) penyimpulan yang dirinci dalam kemampuan menemukan sifat

hubungan suatu ide dan kemampuan menangkap isi bacaan yang tersurat maupun

tersirat; (3) dugaan yang dirinci dalam kemampuan menduga pesan yang

terkandung dalam bacaan dan kemampuan menghubungkan teks dengan situasi.

g. Pokok Uji Membaca Pemahaman

Menurut Nurgiyantoro (1995: 86-88) terdapat beberapa bentuk tes yang

dipergunakan untuk mengukur membaca pemahaman, antara lain tes pilihan

ganda dan tes cloze.

1) Tes pilihan ganda

Tes pilihan ganda merupakan suatu bentuk pertanyaan yang

menghendaki subyek yang dites untuk memilih salah satu alternatif jawwaban

yang disediakan. Pilihan jawaban (option) yang disediakan pada umumnya

berkisar antara tiga sampai lima butir, sedang jawaban yang benar (biasanya

dikatakan paling tepat) hanya satu butir.

Page 57: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

2) Tes Cloze

Tes cloze merupakan suatu tugas untuk melengkapi kembali kata-kata

yang sengaja dihilangkan pada sebuah wacana. Penghilangan kata-kata itu

biasanya bersifat sistematis, yaitu setiap kata yang ke-n (5,6, atau 7). Oller (1979:

345) memandang tes cloze sebagai sebuah tugas pragmatik dan juga merupakan

salah satu bentuk tes komunikatif berhubung pengisian kata-kata tersebut harus

tidak semata-mata mempertimbangkan kelayakan kebahasaan melainkan juga

ketepatan makna konteks. Menurut Brown (1993: 94) faktor-faktor yang

mempengaruhi tingkat reabilitas dan validitas tes cloze adalah (1) cara

penyekoran, (2) banyaknya kata-kata yang dihilangkan, (3) frekuensi

penghilangan atau jarak antara kata-kata yang dihilangkan (4) tingkat keterbacaan

wacana (5) hasil tes untuk penutur asli dan bukan penutur asli dan panjangnya tes

atau jumlah keseluruhan butir tes.

Penelitian Nurgiyantoro (1995: 95) menyimpulkan bahwa terdapat

kesejajaran antara bentuk tes pilihan ganda dengan tes cloze. Artinya kedua

bentuk tes tersebut sama-sama dapat dipakai untuk menyadap kemampuan

membaca pemahaman. Keduanya dapat dipakai secara bersama-sama, saling

melengkapi dan saling menggantikan, dan akan memberikan hasil yang kurang

lebih sama.

4. Tinjauan tentang Hasil Belajar Metematika Soal Cerita

a. Pengertian Hasil Belajar

Abdurrahman (2003: 37) menyatakan bahwa hasil belajar adalah

kemampuan yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar. Reigeluth

dalam Uno (2007: 137) mengemukakan bahwa hasil belajar adalah semua efek

yang dapat dijadikan sebagai indikator tentang nilai dari penggunaan suatu

metode di bawah kondisi yang berbeda.

Gagne (1992: 43-49) menjelaskan bahwa

human beings and in their capabilities for particular behaviors take place

following their experience within certain yang artinya

hasil belajar merupakan kapasitas terukur dari perubahan individu yang

Page 58: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

41

diinginkan berdasarkan ciri-ciri atau variabel bawaannya melalui perlakuan

pengajaran tertentu. Gagne membagi lima kategori hasil belajar, yakni

Keterampilan intelektual (intellectual skill), Strategi kognitif (cognitive

strategies), Informasi verbal/lisan (verbal information), Keterampilan motoris

(motor skills), dan Sikap (attitude).

1) Keterampilan intelektual (intellectual skill), intellectual skill enable individuals

to interract with their environment in terms of symbols or conceptualizations.

Keterampilan intelektual memungkinkan individu untuk berinteraksi dengan

lingkungannya dalam bentuk simbol-simbol maupun konseptualisasi.

2) Strategi kognitif (cognitive strategies), cognitive strategies are special and

very important kind of skills. They are the capabilities that govern the

and thinking behavior. Strategi

kognitif merupakan jenis keterampilan yang istimewa dan sangat penting.

Strategi-strategi tersebut yaitu kemampuan yang menentukan pembelajaran

individu itu sendiri, mengingat, dan tingkah laku berpikir.

3) Informasi verbal/lisan (verbal information), verbal information is the kind of

knowledge we are able to state. It is knowing that, or declarative knowledge.

Informasi verbal/lisan merupakan jenis pengetahuan yang memungkinkan kita

untuk menyatakan sesuatu. Informasi tersebut yaitu mengetahui sebab, atau

pengetahuan untuk menyatakan sesuatu.

4) Keterampilan motoris (motor skills), another kind of capability we expect

human beings to learn is a motor skill (Fitts and Posner, 1967; Singer, 1980) ...

a motor skill is one of the most obvious kinds of human capabilities. Fitts and

Posner, 1967; Singer, 1980 dalam Gagne (1992: 47) menyatakan bahwa jenis

kemampuan yang lain yang kami harapkan untuk dipelajari oleh umat manusia

adalah keterampilan motoris ... keterampilan motoris adalah satu yang paling

nyata dari sekian banyak jenis kemampuan manusia.

5) Sikap (attitude), considered as a human capability, an attitude is a persisting

Sebagai kemampuan

manusia, sikap merupakan pernyataan yang mengubah pilihan individu untuk

bertindak.

Page 59: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

42

Bloom, dkk dalam Winkel (2005: 272-276) mengklasifikasikan hasil

belajar menjadi 3 ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah

psikomotorik.

1) Ranah kognitif (cognitive domain) berkenaan dengan hasil belajar intelektual

yang terdiri dari enam aspek, yakni:

a) Pengetahuan (knowlegde), mencakup ingatan akan hal-hal yang pernah

dipelajari dan disimpan dalam ingatan. hal-hal itu dapat meliputi fakta,

kaidah dan prinsip, serta metode yang diketahui. Pengetahuan yang

disimpan dalam ingatan, digali pada saat dibutuhkan melalui bentuk ingatan

mengingat (recall) atau mengenal kembali (recognition).

b) Pemahaman (comprehension), mencakup kemampuan untuk menangkap

makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan ini

dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan; mengubah data

yang disajikan dalam bentuk tertentu ke bentuk lain, seperti rumus

matematika kedalam bentuk kata-kata; membuat perkiraan tentang

kecenderungan yang nampak dalam data tertentu, seperti dalam grafik.

Kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada kemampuan 1 (pengetahuan)

c) Penerapan (application), mencakup kemampuan untuk menerapkan suatu

kaidah atau metode bekerja pada suatu kasus/problem yang konkret dan

baru. Adanya kemampuan dinyatakan dalam aplikasi suatu rumus pada

persoalan yang belum dihadapi atau aplikasi suatu metode kerja pada

pemecahan problem baru. kemampuan ini setingkat lebih tinggi daripada

kemampuan 2 (pemahaman), karena memahami suatu kaidah belum tentu

membawa kemampuan untuk menerapkannya terhadap suatu kasus atau

problem baru.

d) Analisis (analisys), mencakup kemampuan untuk merinci suatu kesatuan

kedalam begian-bagian, sehingga struktur keseluruhan atau organisasinya

dapat dipahami dengan baik. Adanya kemampuan ini dinyatakan dalam

penganalisaan bagian-bagian pokok atau komponen-komponen dasar,

bersama dengan hubungan/relasi antara semua bagian itu. Kemampuan ini

setingkat lebih tinggi daripada kemampuan 3 (penerapan), karena sekaligus

Page 60: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

43

harus ditangkap adanya kesamaan dan adanya perbedaan antara sejumlah

hal.

e) Sintesis (synthesis), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu

kesatuan atau pola baru. Bagian-bagian dihubungkan satu sama lain,

sehingga terciptakan suatu bentuk baru. Adanya kemampuan ini dinyatakan

dalam membuat suatu rencana, seperti penyusunan satuan pelajaran atau

proposal penelitian ilmiah, dalam mengembangkan suatu skema dasar

sebagai pedoman dalam memberikan ceramah dan lain sebagainya.

Kemampuan ini setingkat lebih daripada kemampuan 4 (analisis), karena

dituntut kriteria untuk menemukan pola dan struktur organisasi.

f) Evaluasi (evaluation), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu

pendapat mengenai sesuatu atau beberapa hal, bersama dengan

pertanggungjawaban pendapat itu, yang berdasarkan kriteria tertentu.

2) Ranah afektif (affective domain) berkenaan dengan sikap menurut Kratwohl,

Bloom, dkk dalam winkel (2005: 276-278) terdiri dari lima aspek yakni:

a) Penerimaan (receiving), mencakup kepekaan akan adanya suatu perangsang

dan kesediaan untuk memperhatikan rangsangan itu, seperti buku pelajaran

atau penjelasan yang diberikan oleh guru.

b) Partisipasi (responding), mencakup kerelaan untuk memperhatikan secara

aktif dan berpartisipasi dalam suatu kegiatan.

c) Penilaian/penentuan sikap (valuing), mencakup kemampuan untuk

memberikan penilaian terhadap sesuatu dan membawa diri sesuai dengan

penilaian itu. Mulai dibentuk suatu sikap: menerima, menolak atau

mengabaikan; sikap itu dinyatakan dalam tingkah laku yang sesuai dan

konsisten dengan sikap batin.

d) Organisasi (organization), mencakup kemampuan untuk membentuk suatu

sistem nilai sebagai pedoman dan pegangan dalam kehidupan. Nilai-nilai

yang diakui dan diterima ditempatkan pada suatu skala nilai: mana yang

pokok dan selalu harus diperjuangkan, mana yang tidak begitu penting.

e) Pembentukan pola hidup (characterization by a value or value complex),

mencakup kemampuan untuk menghayati nilai-nilai kehidupan sedemikian

Page 61: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

44

rupa, sehingga menjadi milik pribadi (internalisasi) dan menjadi pegangan

nyata dan jelas dalam mengatur kehidupannya sendiri.

3) Ranah psikomotorik (Psychomotoric Domain) berkenaan dengan hasil belajar

keterampilan dan kemampuan bertindak. Menurut Simpson ada tujuh aspek

psikomotorik yakni:

a) Persepsi (perception), mencakup kemampuan untuk mengadakan

diskriminasi yang tepat antara dua perangsang atau lebih, berdasarkan

pembedaan antara ciri-ciri fisik yang khas pada masing-masing rangsangan.

b) Kesiapan (set), mencakup kemampuan untuk menempatkan dirinya dalam

keadaan akan memulai sustu gerakan atau rangkaian gerakan.

c) Gerakan terbimbing (guided response), mencakup kemampuan untuk

melakukan suatu rangkaian gerak-gerik, sesuai dengan contoh yang

diberikan (imitasi).

d) Gerakan yang terbiasa (mechanical response), mencakup kemampuan untuk

melakukan suatu rangkaian gerak-gerik dengan lancar, karena sudah dilatih

secukupnya, tanpa memperhatikan lagi contoh yang diberikan.

e) Gerakan yang kompleks (complex response), mencakup kemampuan untuk

melaksanakan suatu keterampilan, yang terdiri atas beberapa komponen,

dengan lancar, tepat, dan efisien.

f) Penyesuaian pola gerakan (adjustment), mencakup kemampuan untuk

mengadakan perubahan dan menyesuaikan pola gerak-gerik dengan kondisi

setempat atau dengan menunjukkan suatu taraf keterampilan yang telah

mencapai kemahiran.

g) Kreativitas (creativity), mencakup kemampuan untuk melahirkan aneka pola

gerak yang baru, seluruhnya atas dasar prakarsa dan inisiatif sendiri.

Ketiga ranah tersebut menjadi objek penilaian hasil belajar. Di antara

ketiga ranah itu, ranah kognitiflah yang paling banyak dinilai oleh para guru di

sekolah karena berkaitan dengan kemampuan para peserta didik dalam menguasai

isi bahan pengajaran.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan

bahwa hasil belajar adalah suatu bentuk pencapaian perubahan perilaku yang

Page 62: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

45

cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dari proses

belajar yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu.

b. Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar

Purwanto (2002: 107) mengemukakan faktor-faktor yang mempengaruhi

hasil belajar meliputi: a. Faktor dari luar, meliputi: lingkungan yang terdiri dari

lingkungan alam dan lingkungan sosial dan instrumental yang terdiri dari

kurikulum/ bahan pelajaran, guru/ pengajar, sarana dan fasilitas, administrasi/

manajemen; Faktor dari dalam, meliputi fisiologis yang terdiri dari kondisi fisik

dan panca indera dan psikologis yang terdiri dari bakat, minat, kecerdasan,

motivasi, dan kemampuan kognitif.

Menurut Sudjana (1989: 39-

dipengaruhi oleh dua faktor yakni faktor dari dalam diri siswa itu dan faktor yang

ri diri

siswa terutama kemampuan yang dimilikinya. Di samping itu faktor kemampuan

yang dimiliki siswa, juga ada faktor lain, seperti motivasi belajar, minat dan

perhatian, sikap dan kebiasaan belajar, ketekunan, sosial, ekonomi, faktor fisik

dan psikis. Sungguhpun demikian, hasil yang dapat diraih masih tergantung pada

lingkungan. Salah satu lingkungan belajar yang paling dominan mempengaruhi

hasil belajar di sekolah ialah kualitas pengajaran. Yang dimaksud kualitas

pengajaran adalah tinggi rendahnya atau efektif tidaknya proses belajar mengajar

dalam mencapai tujuan pengajaran. Caroll dalam Sudjana (1989: 40) berpendapat

bahwa hasil belajar yang dicapai siswa di pengaruhi oleh lima faktor, yakni (a)

bakat belajar, (b) waktu yang tersedia untuk belajar, (c) waktu yang diperlukan

peserta didik untuk menjelaskan pelajaran, (d) kualitas pengajaran, dan (e)

kemampuan individu.Empat faktor yang disebut di atas (a, b, c, e) berkenaan

dengan kemampuan individu dan faktor (d) adalah faktor di luar individu

(lingkungan).

Dari berbagai pendapat para ahli diatas dapat disimpulkan bahwa faktor

yang mempengaruhi hasil belajar peserta didik yaitu yang berasal dari dalam

peserta didik seperti motivasi belajar, minat dan perhatian, kecerdasan,

Page 63: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

46

kemampuan kognitif, faktor psikis dan fisik, kebiasaan belajar, ketekunan, sosial

dan ekonomi sedangkan faktor dari luar diri peserta didik seperti lingkungan dan

instrumental.

c. Pengertian Matematika

Menurut Jonson dan Rising dalam Jihad (2008: 152) mengemukakan

pola berfikir, pola mengorganisasikan pembuktian

yang logic, matematika itu adalah bahasa yang menggunakan istilah yang

didefinisikan dengan cermat, jelas, akurat dengan simbul yang padat, lebih berupa

bahasa simbul mengenai arti dari pada bunyi; matematika adalah pengetahuan

struktur yang terorganisasi, sifat-sifat atau teori-teori dibuat secara deduktif

berdasarkan kepada unsur yang tidak didefinisikan, aksioma, sifat atau teori yang

telah dibuktikan kebenarannya; matematika adalah ilmu tentang pola keteraturan

pola atau ide; dan matematika adalah suatu seni, keindahannya terdapat pada

keterurutan dan keharmonisan. Reys dan Kline dalam Jihad (2008: 152)

menjelaskan secara simpel bahwa matematika diartikan sebagai telaah tentang

pola dan hubungan, suatu jalan atau pola berfikir, suatu seni, suatu bahasa dan

suatu alat karena matematika bukan pengetahuan yang menyendiri, tetapi

keberadaannya untuk membantu manusia dalam memahami dan menguasai

permasalahan sosial, ekonomi dan alam. Menurut Soedjadi (2000: 11) ada

beberapa pengertian matematika yaitu: matematika adalah cabang ilmu

pengetahuan eksak dan terorganisir secara sistematik, pengetahuan tentang

bilangan dan kalkulasi, tentang penalaran logik dan berhubungan dengan

bilangan, tentang fakta-fakta kuantitatif dan masalah ruang dan bentuk, struktur-

struktur yang logik dan pengetahuan tentang aturan-aturan yang ketat. Dalam

Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990: 566) matematika adalah ilmu tentang

bilangan-bilangan, hubungan antara bilangan, prosedur operasional yang

digunakan dalam penyelesaian masalah mengenai bilangan.

Kline dalam Abdurahman (2003: 252) mengemukakan bahwa

matematika merupakan bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan

cara bernalar deduktif tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif.

Page 64: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

47

Sedangkan menurut Paling dalam Abdurrahman (2003: 252) matematika adalah

suatu cara untuk menemukan jawaban menggunakan pengetahuan tentang bentuk

dan ukuran, menggunakan pengetahuan tentang berhitung, dan yang paling

penting adalah memikirkan dalam diri manusia itu sendiri dalam melihat dan

menggunakan hubungan-hubungan. Menurut Sutawijaya dalam Aisyah (2007:

1.1) mengemukakan bahwa matematika mengkaji benda abstrak (benda pikiran)

yang disusun dalam suatu sistem aksiomatik dengan menggunakan simbol

(lambang) dan penalaran deduktif. Pendapat lain menurut Hudoyo dalam Aisyah

(2007: 1.1) menjelaskan bahwa matematika berkenan dengan ide (gagasan-

gagasan), aturan-aturan, hubungan-hubungan yang diatur secara logis sehingga

matematika berkaitan dengan konsep-konsep abstrak. Menurut Hilbert dalam Uno

(2007: 127) mengemukakan bahwa matematika adalah sebagai sistem lambang

yang formal sebab matematika bersangkut paut dengan sifat-sifat struktural dari

simbol-simbol melalui berbagai sasaran yang menjadi objek matematika.

Sedangkan menurut Lerner yang dikutip dalam Abdurrahman (2003: 252)

merupakan bahasa universal yang memungkinkan manusia memikirkan, mencatat,

dan mengkomunikasikan ide menge

Andrew Nydam dalam Johnson (2002: 160) menyatakan:

predictions. Understand and make inferences based on the analysis of d refine mathematical

information in multiple ways: reflecting, verbalizing, discussing, or writing.

Yang artinya matematika: Merancang dan melakukan percobaan untuk

membuktikan atau menyanggah prediksi. Memahami dan membuat kesimpulan

berdasarkan analisis hasil percobaan...Mengatur, menjelaskan, dan menyaring

informasi matematis dengan berbagai cara: merenungkan, mengungkapkan secara

lisan, mendiskusikan, atau menulis.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka peneliti menyimpulkan

bahwa matematika adalah pengetahuan struktur yang terorganisasi yang memiliki

objek tujuan abstrak sebagai bahasa simbolis serta memiliki pola pikir deduktif.

Page 65: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

48

d. Pengertian Soal cerita

Permasalahan Matematika dalam kehidupan nyata sehari-hari yang

diwujudkan dalam kalimat-kalimat verbal adalah soal cerita. Soal cerita menurut

Abdia dalam Marsudi Raharjo (2009:2) adalah soal yang disajikan dalam bentuk

cerita pendek. Cerita yang diungkapkan dapat merupakan masalah kehidupan

sehari-hari atau masalah lainnya. Bobot masalah yang diungkapkan akan

mempengaruhi panjang pendeknya cerita tersebut. Makin besar bobot masalah

yang diungkapkan, memungkinkan semakin panjang cerita yang disajikan.

Sementara itu, menurut Haji dalam Marsudi Raharjo (2009:2), soal cerita

merupakan soal yang dapat digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam

bidang matematika dapat berbentuk cerita dan soal bukan cerita/soal hitungan.

Dalam hal ini, soal cerita merupakan modifikasi dari soal-soal hitungan yang

berkaitan dengan kenyataan yang ada di lingkungan siswa.

Menurut pendapat diatas disimpulkan bahwa soal cerita merupakan soal

yang digunakan untuk mengetahui kemampuan siswa dalam bidang Matematika

yang disajikan dengan bentuk cerita pendek dan berkaitan dengan permasalahan

sehari-hari.

e. Soal Cerita di Sekolah Dasar

Kenyataan yang terjadi di Sekolah Dasar sering dijumpai soal

matematika dalam bentuk cerita. Dalam silabus matematika kelas V Sekolah

Dasar semester I terdapat 26 jam pelajaran soal cerita. Soal cerita sering disiapkan

dalam bentuk cerita pendek yang menyangkut kehidupan sehari-hari. Panjang dan

pendeknya kalimat yang digunakan untuk mengungkapkan soal cerita tersebut

sangat berpengaruh. Dalam penelitian ini yang dimaksud soal cerita adalah soal

cerita yang disajikan dengan kalimat-kalimat yang berkaitan dengan kehidupan

sehari-hari, serta memuat masalah yang menuntut pemecahan. Soal cerita dalam

pengajaran matematika di Sekolah Dasar sangat penting bagi perkembangan

proses berpikir siswa, sehingga keberadaannya mutlak diperlukan.

Page 66: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

49

f. Langkah-Langkah Menyelesaikan Soal Cerita

Polya dalam Herman Maier (1985: 81) mengatakan bahwa dalam proses

pemecahan masalah soal cerita terdapat empat tahap utama yaitu.

1) Pemahaman soal

2) Pemikiran suatu rencana

3) Pelaksanaan rencana

4) Peninjauan kembali

Dari pendapat di atas, dapat uraikan langkah-langkah yang digunakan

dalam menyelesaikan soal cerita adalah sebagai berikut.

1) Memahami masalah atau soal yang akan diselesaikan

Langkah ini dimulai dengan aktivitas siswa untuk membaca soal sampai

akhirnya dapat menyebutkan apa yang diketahui dan apa yang akan dicari,

ditanyakan ataupun yang akan diselesaikan dalam soal tersebut. Jadi dalam

mempelajari matematika diperlukan juga kemampuan bahasa sehingga siswa

dapat mengerti akan maksud soal yang akan diselesaikan, dapat menggunakan

logika, imajinasi dan kreativitas dalam mencari solusinya.

2) Merumuskan penyelesaian masalah

Langkah ini berkaitan dengan bagaimana siswa dapat mentransfer hasil

yang telah diperoleh dari langkah pertama ke dalam model matematika yang

sesuai serta mengaitkannya dengan materi yang telah dipelajari untuk menentukan

langkah penyelesaian yang benar. Kesalahan dalam pemodelan ataupun dalam

memilih langkah penyelesaian, secara beruntun akan menyebabkan kesalahan

dalam menyelesaikan soal tersebut.

3) Melakukan langkah penyelesaian masalah

Langkah penyelesaian masalah dilakukan dengan menguraikan proses

penyelesaian masalah yang telah dirumuskan dalam langkah dua. Ketepatan serta

ketelitian algoritma sangat berperan dalam langkah ini.

4) Evaluasi / memeriksa kembali hasil pengerjaan soal

Langkah terakhir yang berupa evaluasi, berhubungan dengan bagaimana

siswa dapat menerjemahkan hasil penyelesaian yang berupa model ataupun

kalimat matematika ke dalam permasalahan yang pertama dicari dalam soal yang

Page 67: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

50

diselesaikan. Ada kecenderungan beberapa siswa yang melewatkan langkah ini

dan terlupa untuk menyimpulkan hasil penyelesaian soal serta mengaitkannya

dengan permasalahan yang ditanyakan di awal.

B. Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini mengacu pada penelitian terdahulu yang relevan dengan yang

dilaksanakan saat ini. Beberapa hasil penelitian menunjukkan keberhasilan

penerapan model Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pelajaran

matematika maupun pengaruh membaca pemahaman dalam pelajaran matematika.

Penelitian-penelitian tersebut antara lain:

Michael Crawford dan Mary Witte (1999: 34-38) dalam Strategies For

Mathematics: Teaching In Context telah melakukan penelitian terhadap lingkungan

pembelajaran yang berbasis kontekstual dan hasilnya adalah lima hal yang biasa

disebut dengan contextual teaching strategy (strategi pembelajaran kontekstual) yang

diterapkan dalam pembelajaran matematika oleh guru-guru matematika didalam

kelas, lima hal tersebut antara lain relating (membuat hubungan), experiencing

(mengalami), applying (penerapan), cooperating (kerjasama), dan transferring

(pemindahan pengetahuan).

Jackie Davis (2008: 11-12) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa: Students who receive direct reading comprehension instruction related

specifically to math content will improve their word problem scores. Students who receive reading comprehension instruction to help facilitate word problem success feel better about their role as a mathematician. The use of technology increases the students' participation in the activities and provides a multi-sensory approach that benefits the students. By combining using reading comprehension instruction with a specific math emphasis, and using technology to further enhance and motivate, students were able to have success in working with math word problems.

Yang artinya siswa yang mendapatkan pelajaran membaca pemahaman

langsung yang berkaitan secara khusus dengan materi pelajaran matematika akan

meningkatkan nilai soal cerita mereka. Siswa yang menerima pelajaran membaca

pemahaman untuk membantu memudahkan soal cerita merasa lebih baik tentang

peranan mereka sebagai pelajar matematika. Penggunaan teknologi meningkatkan

partisipasi siswa dalam berbagai kegiatan dan memberikan pendekatan multi-indera

Page 68: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

51

yang menguntungkan siswa. Dengan menggabungkan penggunaan pelajaran

membaca pemahaman dengan penekanan matematika tertentu, dan menggunakan

teknologi untuk lebih meningkatkan dan memotivasi, siswa mampu untuk berhasil

dalam mengerjakan soal cerita matematika.

Piia Maria Vilenius-Tuohimaa, Kaisa Aunola dan Jari-Erik Nurmi (2007:

409 426), yang telah melakukan penelitian terhadap 225 siswa kelas 4 (usia 9-10

tahun) tentang pengaruh membaca pemahaman terhadap soal cerita matematika

menyimpulkan bahwa:

The results showed that performance on maths word problems was strongly related to performance in reading comprehension. There were no gender differences in maths word problem-solving performance, but the girls were better in technical reading and in reading comprehension. Parental levels of education positively predicted -solving performance and reading comprehension skills.

Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa prestasi belajar soal cerita

matematika berhubungan sangat kuat dengan prestasi belajar dalam membaca

pemahaman. Tidak ada pembedaan terhadap jenis kelamin dalam penelitian ini,

namun siswa perempuan memiliki teknik membaca dan kemampuan membaca

pemahaman yang lebih baik. Tingkat pendidikan orang tua diperkirakan memberikan

pengaruh yang positif terhadap keterampilan menyelesaikan soal cerita dan

kemampuan membaca siswa.

C. Kerangka Berpikir

Kerangka berpikir pada hakekatnya bersumber dari kajian teoritis dan sering

diformulasikan dalam bentuk anggapan dasar. Menurut Arikunto (2006:68) yang

nnya oleh peneliti

yang Berdasarkan kajian teoritis sebagaimana telah

dipaparkan di atas, maka dalam penelitian ini dipandang perlu mengajukan kerangka

pemikiran, dengan dua macam pengajaran yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu:

pertama menggunakan model konvensional yang dalam penelitian ini metode

ekspositori dan yang kedua pengajaran dengan menggunakan model Contextual

Teaching and Learning (CTL).

Page 69: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

52

Dilihat dari cara pelaksanaannya kedua metode pengajaran ini jelas berbeda

apabila diterapkan untuk menyampaikan pelajaran matematika. Pengajaran dengan

menggunakan metode konvensional (ekspositori) adalah pengajaran dimana guru

yang dominan sebagai sumber informasi, sedangkan siswa tidak dituntut aktif, hanya

memperhatikan, membuat catatan, dan mengerjakan latihan seperlunya. Lain halnya

dengan pengajaran menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and

Learning (CTL). Dengan metode ini, siswa dituntut untuk aktif, membuat hubungan

dari materi yang dipelajari, mengalami sendiri materi pembelajaran, menerapkan

teori yang dipelajari pada kehidupan nyata. siswa dikondisikan untuk saling

membantu dan bekerjasama antar anggota kelompoknya dalam menyelesaikan tugas-

tugas yang terstruktur. Pemindahan pengetahuan tidak hanya dilakukan oleh guru,

tetapi juga bisa dilakukan siswa yang telah memahami permasalahan tertentu kepada

anggota kelompoknya yang belum paham. Karena siswa dituntut aktif, maka dalam

proses pembelajaran siswa akan lebih sungguh-sungguh sehingga prestasi belajarnya

akan baik. Dengan kata lain prestasi belajar matematika siswa yang diberi pelajaran

dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) lebih baik jika

dibandingkan dengan siswa yang diberi pelajaran dengan menggunakan metode

konvensional.

Perbedaan kemampuan membaca pemahaman tentu juga dapat

mempengaruhi tinggi rendahnya prestasi belajar siswa. Siswa yang memiliki

kemampuan membaca pemahaman tinggi akan lebih mudah untuk memahami

masalah yang berupa soal cerita matematika sehingga mereka dapat berprestasi lebih

baik bila dibandingkan siswa yang memiliki kemampuan membaca pemahaman

rendah.

Jika dibandingkan dengan model konvensional, model pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL) akan menghasilkan prestasi belajar

matematika soal cerita yang lebih baik. Hal ini tidak hanya terbatas pada siswa yang

memiliki kemampuan membaca pemahaman tinggi saja namun siswa yang memiliki

kemampuan membaca pemahaman rendah juga akan mencapai prestasi belajar

matematika soal cerita yang lebih baik. Hal tersebut disebabkan karena model

pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) menekankan pada proses

Page 70: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

53

belajar siswa aktif, jadi model ini dapat meningkatkan prestasi belajar matematika

bagi siswa baik yang memiliki kemampuan membaca pemahaman tinggi maupun

rendah. Dengan kata lain, tidak terdapat interaksi antara metode pembelajaran dan

tingkat kemampuan membaca pemahaman terhadap prestasi belajar matematika

siswa. Berdasarkan pemikiran diatas dapat digambarkan paradigma penelitian

sebagai berikut:

Gambar 2. Kerangka Pemikiran

Keterangan:

X1 : Penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).

X2 : Kemampuan membaca pemahaman.

Y : Hasil belajar matematika soal cerita.

D. Hipotesis Penelitian

Menurut S. Margono (2005: 80) hipotesis berasal dari perkataan hipo (hypo)

dan tesis (thesis). Hipo berarti kurang dari, sedang tesis berarti pendapat. Jadi

hipotesis adalah suatu pendapat atau kesimpulan yang sifatnya masih sementara

belum benar-benar berstatus sebagai suatu tesis. Sedangkan Yulius Slamet (2007: 76)

menjelasan bahwa hipotesis adalah suatu pernyataan tentang hubungan antara dua

variabel atau lebih yang dapat diuji kebenarannya. Yang dimaksud dengan menguji

hipotesis ialah membuktikan kebenaran atau kesalahan di dalam penelitian.

X I

X 2

Y

Page 71: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

54

Berdasarkan pernyataan yang dipaparkan oleh para ahli diatas, hipotesis

merupakan petunjuk jalan bagi kegiatan-kegiatan dalam pola-pola research (research

design). Berdasarkan landasan teori dan kerangka berpikir dapat diajukan hipotesis

alternatif sebagai berikut:

1. Ada pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning

(CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa.

2. Ada pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar

matematika soal cerita siswa.

3. Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran Contextual

Teaching and Learning (CTL) dan tingkat kemampuan membaca pemahaman

terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa.

Sedangkan sebagai hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini dinyatakan

dalam bentuk hipotesis nihil (H0) sebagai berikut:

1. Tidak ada pengaruh penerapan model pembelajaran Contextual Teaching and

Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa.

2. Tidak ada pengaruh kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar

matematika soal cerita siswa.

3. Terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran Contextual Teaching and

Learning (CTL) dan tingkat kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil

belajar matematika soal cerita siswa.

Page 72: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 55

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat

Dalam penelitian ini peneliti memilih tempat penelitian di Kecamatan

Wonogiri, Kabupaten Wonogiri. Alasan Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan

Wonogiri, Kabupaten Wonogiri adalah karena banyak Sekolah Dasar di Kecamatan

Wonogiri masih mempunyai nilai matematika yang belum memuaskan, dalam arti

target nilai rata-rata belum memenuhi standar. Nilai rata-rata yang yang kurang

memenuhi standar ini diduga karena dipengaruhi oleh penerapan model mengajar

yang kurang tepat atau masih konvensional. Pemilihan lokasi ini juga dikarenakan

adanya ketersediaan data dan terjangkaunya lokasi oleh peneliti. Sekolah Dasar di

Kecamatan Wonogiri terdiri dari 50 Sekolah Dasar Negeri yang tersebar di

Kecamatan Wonogiri.

2. Waktu

Penelitian ini terdiri dari tiga tahapan, tahap pertama yaitu persiapan, terdiri

dari pengajuan judul penelitian, penyusunan proposal penelitian, pengajuan proposal

penelitian, serta mengurus ijin penelitian. Kegiatan ini dilakukan selama bulan Maret

hingga bulan Juli 2011. Tahap kedua pelaksanaan penelitian, tahap ini terdiri dari uji

coba instrumen, uji validitas instrument, pelaksanaan penelitian dan analisis data

penelitian. Kegiatan pelaksanaan penelitian ini dilaksanakan pada semester ganjil

tahun ajaran 2011/2012, yaitu mulai bulan Juli sampai dengan bulan Agustus 2011.

Sedangkan tahap ketiga penyusunan laporan, terdiri dari penyusunan laporan,

pelaksanaan ujian skripsi, revisi, hingga pengesahan dilakukan selama bulan Agustus

hingga bulan Oktober 2011.

B. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subyek penelitian. (Suharsimi Arikunto, 1996:

115). Pernyataan diatas dapat diartikan bahwa populasi adalah keseluruhan subyek

Page 73: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

56 penelitian yang paling sedikit mempunyai satu sifat yang sama. Dilihat dari sifatnya

populasi dibedakan menjadi dua yaitu :

a. Populasi yang bersifat homogen, adalah populasi yang unsur- unsurnya memiliki

sifat yang sama sehingga tidak perlu dipersoalkan jumlahnya secara kuantitatif.

b. Populasi bersifat heterogen, adalah populasi yang unsur-unsurnya memiliki sifat

atau keadaaan yang bervariasi sehingga perlu ditetapkan batas-batasnya baik

secara kualitatif maupun kuantitatif.

Sedangkan populasi apabila dilihat dari jumlahnya dapat dibedakan menjadi dua

macam, yaitu:

a. Populasi terhingga, yaitu populasi yang terdiri dari elemen atau unsure yang

memiliki batas.

b. Populasi tak terhingga, adalah populasi yang terdiri dari elemen atau unsur dengan

jumlah yang sukar sekali dicari batasnya.

Berdasarkan ketentuan-ketentuan diatas maka populasi yang dijadikan

obyek penelitian ini adalah populasi yang bersifat homogen karena memiliki unsur-

unsur dan sifat yang sama. Apabila dilihat dari jumlahnya, populasi yang diteliti

adalah populasi terhingga karena memiliki jumlah populasi yang jelas. Maka dapat

dikatakan yang menjadi populasi target penelitian ini adalah seluruh siswa kelas V

Sekolah Dasar di Kecamatan Wonogiri yang terbagi dalam 50 Sekolah Dasar.

2. Sampel

Menurut Sutrisno Hadi (1983: 221), sampel adalah sejumlah penduduk yang

jumlahnya kurang dari jumlah populasi. Sedangkan Menurut Suharsimi Arikunto

(1993: 104), sampel diartikan sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti. Dari

pengertian-pengertian diatas dapat diberikan simpulan bahwa sampel adalah wakil

dari populasi yang diteliti dengan menggunakan teknik tertentu. Random sampling

adalah cara untuk memperoleh sampel yang representative. Menurut Sutrisno Hadi

(1983: 222-225), suatu sampel adalah sampel random jika tiap-tiap individu dalam

populasi diberi kesempatan yang sama untuk ditugaskan menjadi anggota sampel.

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V yang diambil dua kelas dari SD

Negeri I Pokoh Kidul dan SD Negeri III Wuryorejo yaitu kelas V SD Negeri III

Wuryorejo sebagai kelas eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran

Page 74: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

57 Contextual Teaching and Learning (CTL) dan kelas V SD Negeri Pokoh Kidul I

sebagai kelas kontrol dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

Sedangkan sebagai sampel Uji Validitas dan Uji Reabilitas instrument adalah siswa

kelas V SD Negeri II Sendang.

3. Sampling

Teknik sampling adalah cara atau teknik yang digunakan untuk mengambil

sampel (Suharsimi Arikunto, 2002:109). Teknik pengambilan sampel yang

digunakan dalam penelitian ini adalah Cluster Random Sampling. Menurut Nazir

(1988: 366), Cluster Random Sampling adalah teknik memilih sebuah sampel dari

kelompok-kelompok unit yang kecil. Populasi dari cluster merupakan subpopulasi

dari total populasi. Pengelompokan secara cluster menghasilkan unit elementer yang

heterogen seperti halnya populasi sendiri.

Sebelum diberi perlakuan, kedua kelas tersebut diuji terlebih dahulu apakah

kelas eksperimen dan kelas kontrol dalam keseimbangan. Uji keseimbangan yang

digunakan adalah dengan menguji kesamaan dua variansi yang disebut Uji Matching.

Adapun prosedur uji keseimbangan tersebut adalah sebagai berikut :

a. Hipotesis

H0 : 1 = 2 (kedua kelompok mempunyai keadaan awal yang sama)

H1 : 1 2 (kedua kelompok mempunyai keadaan awal yang berbeda)

b. Tingkat signifikan : = 5 %

c. Statistik uji

21

21

11nn

S

XXt

p

h it

Dengan: pS = 2

)1()1(

21

222

211

nnSnSn

Ket: t = t ~ 221 nnt

1X = rata-rata nilai kelas eksperimen

Page 75: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

58

2X = rata-rata nilai kelas kontrol

21s = variansi kelas eksperimen

22s = variansi kelas kontrol

1n = jumlah siswa kelas eksperimen

2n = jumlah siswa kelas control

d. Daerah Kritik (DK)

DK = 2;2 21 nn

tt

e. Keputusan Uji

Tolak H0, jika thit > 221 nnt . Artinya, kedua kelompok memiliki

keadaan awal yang berbeda. (Budiyono, 2000:156).

C. Teknik Pengumpulan Data

Untuk memperoleh data dan keterangan-keterangan yang dibutuhkan dalam

suatu penelitian, maka perlu menentukan metode pengumpulan data yang sesuai

dengan masalah yang diteliti. Di dalam penelitian ini metode yang digunakan untuk

memperoleh data adalah :

1. Metode Tes

Menurut Suharsimi Arikunto (2002: 127), tes adalah serentetan pertanyaan

atau latihan atau data lain yang digunakan untuk mengukur ketrampilan pengetahuan

intelegensi, kemampuan atau bakat yang dimiliki individu atau kelompok. Pada

penelitian ini metode tes digunakan untuk mengumpulkan data mengenai hasil

belajar matematika, dengan cara memberi tes pada kedua kelas sampel sebelum dan

setelah perlakuan dengan strategi pembelajaran konvensional maupun Contextual

Teaching and Learning (CTL) dengan menggunakan soal yang sama.

Page 76: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

59

2. Metode Dokumentasi

Menurut Suharsimi Arikunto (2002:135), metode dokumentasi adalah cara

yang digunakan untuk mengetahui segala sesuatu dengan melihat catatan-catatan,

dokumen-dokumen yang berhubungan dengan obyek yang diteliti. Pada penelitian

ini metode dokumentasi digunakan untuk mengetahui data mengenai nilai semester

ganjil bidang studi matematika untuk uji keseimbangan dan daftar nama siswa.

D. Definisi Operasional Variabel

1. Variabel bebas

Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model pembelajaran yang

digunakan peneliti dan kemampuan membaca pemahaman siswa.

a. Model Pembelajaran

1). Definisi Operasional

Dalam konteks pembelajaran, Joyce dan Weil mendefinisikan model

sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan

suatu kegiatan. Soekamto (1997: 5) mengemukakan model pembelajaran adalah

kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang sistematis dalam

mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan belajar tertentu,

dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para

pengajar dalam merencanakan aktivitas belajar mengajar.

2). Indikator

Penggunaan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning

(CTL) untuk kelas eksperimen dan model pembelajaran konvensional untuk kelas

kontrol. Sebagai instrument pembelajaran yaitu Rencana Pelaksanaan

Pembelajaran (RPP), Guru Kelas, Lembar Observasi Guru, dan Lembar Observasi

Siswa.

3). Skala Pengukuran

Skala nominal yang terdiri dari dua kategori yaitu:

Page 77: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

60

a). Kelas eksperimen: siswa yang diberikan pembelajaran dengan model

pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).

b). Kelas kontrol: siswa yang diberikan pembelajaran dengan model

pembelajaran konvensional.

4). Simbol: ; i = 1,2

A1 = Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL).

A2 = Model pembelajaran konvensional

b. Kemampuan Membaca Pemahaman Siswa

1). Definisi Operasional

Kemampuan membaca pemahaman merupakan kemampuan memahami

arti dalam suatu bacaan melalui tulisan atau bacaan (Robert Lado, 1977: 223).

Dalam penelitian ini kemampuan membaca pemahaman siswa dibagi menjadi dua

kelompok yaitu kelompok membaca pemahaman tinggi dan kelompok membaca

pemahaman rendah.

2). Indikator

Indikator untuk menentukan kemampuan membaca pemahaman siswa

dalam penelitian ini adalah nilai tes membaca pemahaman.

3). Skala pengukuran

Skala interval diubah menjadi skala ordinal dalam dua kategori yaitu:

tinggi dan rendah.

Kategori tinggi : SDXX

21

Kategori rendah : SDXX

21

4). Simbol: 2,1; jB j

B1 = Kemampuan membaca pemahaman rendah

B2 = Kemampuan membaca pemahaman tinggi

Page 78: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

61

2. Variabel terikat

Variabel terikat dalam penelitian ini adalah hasil belajar matematika soal

cerita siswa.

a. Definisi operasional

Hasil belajar adalah suatu bentuk pencapaian perubahan perilaku yang

cenderung menetap dari ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik dari proses

belajar yang dilakukan dalam kurun waktu tertentu. hasil belajar merupakan

kapasitas terukur dari perubahan individu yang diinginkan berdasarkan ciri-ciri

atau variabel bawaannya melalui perlakuan pengajaran tertentu. hasil belajar

dibagi dalam lima kategori, yakni Keterampilan intelektual, Strategi kognitif,

Informasi verbal/lisan, Keterampilan motoris, dan Sikap.

b. Indikator

Indikator untuk menentukan hasil belajar matematika soal cerita siswa

dalam penelitian ini adalah Nilai tes pada pokok bahasan soal cerita yang

menggunakan KPK dan FPB.

c. Skala Pengukuran

Skala pengukuran yang digunakan adalah interval. Skala pengukuran

interval mempunyai tiga karakteristik yaitu: dapat dilakukannya klasifikasi

pengamatan, dapat dilakukannya pengurutan pengamatan, dan terdapatnya satuan

pengukuran.

d. Simbol : Y

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan untuk mengumpulkan data menggunakan

instrumen tes kemampuan membaca pemahaman dan tes hasil belajar matematika

soal cerita. Setelah instrumen selesai disusun harus diujicobakan terlebih dahulu

sebelum dikenakan pada sampel penelitian. Tujuan ujicoba ini adalah untuk melihat

apakah tes yang telah disusun valid atau tidak valid. Untuk mendapatkan instrumen

yang benar dan akurat harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

Page 79: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

62

1. Penyusunan instrumen

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berupa nilai untuk

memperoleh data tentang kemampuan membaca pemahaman dan hasil belajar

matematika soal cerita, pembuatan instrumen pada penelitian ini meliputi:

a. Tes Kemampuan Membaca Pemahaman

Instrumen pengumpul data kemampuan membaca pemahaman dalam

penelitian ini adalah berupa tes. Siswa diberi soal teks yang berbentuk wacana

pendek. Yang dimaksud dengan wacana pendek adalah wacana yang terdiri satu

atau dua alinea atau kira-kira sebanyak 50 sampai 100 kata. Wacana pendek

bahkan dapat berupa satu kalimat, atau satu pernyataan, yang kemudian dibuat

parafrasenya. Penilaian kemampuan membaca dalam hal ini adalah memahami

dan memilih parafrase tersebut yang sesuai dengan pernyataan. Bentuk wacana

yang dipergunakan sebagai bahan untuk penilaian kemampuan membaca dapat

berbentuk prosa, puisi, dan drama. Pada penelitian ini wacana yang dipergunakan

adalah berbentuk prosa. bacaan dmatematikahami atau dibaca dengan teliti,

kemudian siswa mengerjakan soal pemahaman terhadap isi bacaan yang telah

dibaca siswa. Soal pemahaman terhadap isi bacaan berbentuk tes cloze - pilihan

ganda yang dikembangkan sendiri oleh peneliti berdasarkan penelitian

nurgiyantoro (1995), instrumen tes berjumlah 5 teks dengan 5 butir soal pada

setiap teks, tiap soal mempunyai empat pilihan jawaban (option). Prosedur

pemberian skor untuk jawaban tes adalah nilai 1 jika benar dan nilai 0 jika salah.

Untuk menjamin validitas isi (content validity) dilakukan dengan

menyusun kisi-kisi, sehingga masing-masing sub pokok bahasan tersusun secara

proporsional. Kisi-kisi soal dapat dilihat pada tabel berikut.

Page 80: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

63

Tabel 3.1. Kisi-Kisi Soal Pemahaman Membaca

Variabel Indikator Alat Ukur

Sumber Data

Jumlah Item Butir Tes

Membaca Pemahaman

Mengidentifikasi unsur-unsur cerita

TES Siswa

6 4, 6, 13, 15, 16,

21

Menemukan ide pokok 5 1, 9, 11, 18, 25

Melengkapi kalimat rumpang 5 2, 8, 12, 17, 22

Pemahaman isi bacaan 5 3, 7, 10, 19, 23

Penguasaan kosakata 4 5, 14, 24,20

JUMLAH 25

b. Tes Hasil Belajar Matematika Soal Cerita.

Brown (1970: 2) menyatakan bahwa A test will be defined as a

systematic procedure for measuring a sample behavior. Yang

artinya tes dapat didefinisikan sebagai salah satu teknik pengukuran individu.

Definisi tersebut mengandung dua hal pokok yang perlu di perhatikan dalam

memahami makna tes, yaitu:

1). systematic procedure, yang artinya bahwa suatu tes harus disusun,

dilaksanakan (diadministrasikan) dan diolah berdasarkan aturan-aturan

tertentu yang telah ditetapkan. Sistematis di sini meliputi tiga langkah, yaitu

(a) sistematis dalam isi, artinya butir-butir soal (item) suatu tes hendaknya

disusun dan dipilih berdasarkan kawasan dan ruang lingkup tingkah laku

yang akan dan harus diukur atau dites, sehingga tes tersebut benar-benar

tingkat validitasnya dapat dipertanggungjawabkan, (b) sistematis dalam

pelaksanaan (administrasi) artinya tes itu hendaknya dilaksanakan dengan

mengikuti prosedur dan kondisi yang telah ditentukan; dan (c) sistematis di

dalam pengolahannya, artinya data yang dihasilkan dari suatu tes diolah dan

ditafsirkan berdasarkan aturan-aturan dan tolak ukur (norma) tertentu.

2). yang artinya bahwa tes itu hanya

mengukur suatu sampel dari suatu tingkah laku individu yang dites. Tes tidak

Page 81: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

64

dapat mengukur seluruh (populasi) tingkah laku, melainkan terbatas pada isi

(butir soal) tes yang bersangkutan.

Pada penelitian ini instrumen yang akan digunakan untuk mengukur hasil

belajar matematika soal cerita siswa terdiri dari beberapa bagian, yaitu:

1). Soal tes matematika soal cerita siswa kelas V. instrument tes berbentuk 25

buah soal cerita.

2). Kunci jawaban soal tes,

Untuk menjamin validitas isi (content validity) dilakukan dengan

menyusun kisi-kisi, sehingga masing-masing sub pokok bahasan tersusun secara

proporsional. Kisi-kisi soal dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3.2. Kisi-Kisi Soal Tes Hasil Belajar Matematika Soal Cerita Siswa Kelas V

Indikator Bentuk Soal Nomor Soal Jumlah

1) Menggunakan Faktor Prima untuk menentukan KPK dan FPB

Pilihan ganda 1,2,3,4,5 5

2) Menentukan FPB 2 bilangan puluhan dari soal cerita

Pilihan ganda 6,7,8,9,10 5

3) Menentukan KPK 2 bilangan puluhan dari soal cerita

Pilihan ganda 11,12 2

4) Menentukan FPB 3 bilangan puluhan dari soal cerita

Pilihan ganda 13,14,15 3

5) Menentukan KPK 3 bilangan puluhan dari soal cerita

Pilihan ganda 16,17 2

6) Menentukan FPB 2 bilangan ratusan dari soal cerita

Pilihan ganda 18,19 2

7) Menentukan KPK 2 bilangan ratusan dari soal cerita

Pilihan ganda 20,21 2

8) Menentukan KPK dan FPB dari 2 bilangan atau lebih secara bersamaan

Pilihan ganda 22,23,24,25 4

JUMLAH SOAL 25

Page 82: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

65

2. Tahap Uji Coba

Sebelum instrumen ini digunakan maka diteliti dulu kualitasnya melalui uji

coba. Kualitas instrumen ditunjukkan oleh kesahihan dan keterandalannya dalam

mengungkapkan apa yang akan diukur. Syarat-syarat tes yang baik paling sedikit

memiliki: kesahihan (validitas), keterandalan (reliabilitas), tingkat kesukaran, dan

daya pembeda.

Menurut Sutrisno Hadi (1991: 1), validitas tes adalah ketepatan alat ukur

dengan apa yang hendak diukur. Sedangkan menurut Kerlinger (1973: 709),

Reliabilitas tes adalah kemampuan mempertahankan kestabilan/kemantapan,

keterpercayaan dan ketepatan dari suatu ramalan. Selain memenuhi validitas dan

reliabilitas, suatu tes juga harus memiliki daya pembeda dan keseimbangan dari

tingkat kesulitan soal tersebut, yaitu adanya soal-soal yang mudah, sedang dan sukar

secara proporsional.

Untuk mengetahui validitas butir soal digunakan korelasi product moment,

sedangkan reliabilitas menggunakan rumus Kuder-Richardson 20 (KR-20). Rumus

KR-20 digunakan karena masing-masing butir soal memiliki tingkat kesukaran yang

relatif sama. Rumus-rumus yang digunakan untuk perhitungan adalah sebagai

berikut:

a. Uji Validitas

Untuk mengukur validitas item digunakan rumus korelasi product moment

dimana hasil tes tiap butir soal dikorelasikan dengan skor tes totalitas. Untuk

mengetahui valid dan reliabilitas product moment sebagai berikut:

2222 YYNXXN

YXXYNrxy

Keterangan:

xyr = koefisien korelasi suatu butir item

N = banyaknya subyek

X = jumlah skor tiap item

Page 83: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

66

Y = jumlah skor total item

XY = jumlah perkalian skor item X dan skor total item Y

Setelah diperoleh xyr, kemudian dikonsultasikan dengan harga kritik r

produk moment. Apabila ta belxy rr maka dikatakan butir soal tes itu valid,

sedangkan apabila tebelxy rr maka dikatakan soal tes tersebut tidak valid

(Suharsimi Arikunto,2006: 170).

b.

Untuk mengetahui tingkat reliabilitas tes digunakan rumus reliabilitas KR-

20 sebagai berikut:

(Djaali, Pudji Mulyono, dan Ramly, 2000:145)

Dimana :

K = banyaknya butir soal

p = proporsi peserta tes yang menjawab dengan benar.

q = 1 p

Sebelum instrumen kemampuan pemahaman membaca digunakan untuk

mengumpulkan data, terlebih dahulu dilakukan uji coba selanjutnya dianalisis

dengan analisis butir soal. Analisis tersebut dimaksudkan untuk menentukan butir-

butir soal yang layak dan yang tidak layak dgunakan dalam penelitian.

Kelayakan butir soal didasarkan pada dua hal yaitu (a) tingkat kesukaran

soal atau indeks kesukaran item, dan (b) daya pembeda atau indeks diskriminasi

item. Tingkat kesukaran soal tercermin dari indeks kesukaran yang merupakan

sebuah kontinum yang bergerak dan 0,00 - 1,00. Butir soal dengan indeks 0,00

adalah soal atau item yang sangat sulit, karena tidak ada satu pun siswa yang

menjawab dengan benar. Sebaliknya, butir soal dengan indeks 1,00 adalah soal

yang sangat mudah. Karena semua siswa menjawab dengan benar. Kedua jenis

soal tersebut tidak layak digunakan dalam pengumpulan data. Sementara soal-soal

Page 84: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

67

atau item yang dianggap layak untuk digunakan dalam penelitian adalah yang

memiliki indeks antara kedua kutub tersebut. Daya Pembeda soal atau indeks daya

diskriminasi item adalah kemampuan soal untuk membedakan antara siswa yang

memiliki kemampuan tinggi dan siswa yang mempunyai kemampuan rendah.

Daya pembeda tersebut tercermin dari indeks diskriminasi yang bergerak antara -

1,00 sampai 1,00. Suatu soal dengan indeks diskriminasi -1,00 menunjukkan

bahwa soal tersebut dapat dijawab dengan benar oleh seluruh siswa kelompok

rendah, tetapi tidak dapat dijawab dengan benar oleh seluruh siswa kelompok

tinggi. Soal yang demikian ini tidak memiliki daya pembeda yang baik. Oleh

karena itu, soal tersebut tidak layak untuk digunakan dalam penelitian. Sebaliknya

suatu soal dengan indeks dikriminasi 1,00 menunjukkan bahwa soal tersebut dapat

dijawab dengan benar oleh seluruh siswa pada kelompok tinggi, tetapi tidak dapat

dijawab dengan benar oleh seluruh siswa pada kelompok rendah. Soal yang

demikian ini memiliki daya diskriminasi yang baik. Dalam penelitian ini soal

yang dianggap layak adalah soal dengan indeks diskriminasi 0,00. Berdasarkan

dua kriteria tersebut, maka dapat ditentukan layak dan tidaknya suatu butir soal

atau item dapat diambil atau digunakan. Tes objektif diuji dengan menganalisis

butir soal untuk mengetahui taraf kesukaran dan daya pembedanya.

Taraf atau tingkat kesukaran soal dapat dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

(Suharsimi Arikunto, 2003 : 208)

Dimana:

P = indek kesukaran

B = banyaknya siswa yang menjawab soal itu dengan betul

JS = jumlah seluruh siswa peserta tes

Lebih lanjut dijelaskan oleh Suharsimi Arikunto (2003: 210) indek

kesukaran soal sering diklasifikasikan menjadi tiga kelompok sebagaimana

dijelaskan dalam tabel berikut ini.

Page 85: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

68

Tabel 3.3. Interpretasi Indek Kesukaran Soal (P)

Nilai P Klasifikasi Interprestasi

0,00 0,30 Soal sukar

0,30 0,70 Soal sedang

0,70 1,00 Soal mudah

Sedangkan untuk menentukan daya pembeda soal atau indek daya

diskriminasi item dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(Suharsimi Arikunto, 2003 :213)

dimana:

D = indek daya diskriminasi item

BA = banyaknya peserta kelompok atas menjawab soal dengan benar

BB = banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar

JA = banyaknya peserta kelompok atas

JB = banyaknya peserta kelompok bawah

Lebih lanjut dijelaskan Suharsimi Arikunto (2003 : 218) bahwa indek

daya beda dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok sebagaimana dalam

tabel berikut ini.

Tabel 3.4 Klasifikasi Daya Beda Soal (D)

Daya Beda Nilai D Klasifikasi Interpretasi

Negatif Semuanya tidak baik, dibuang saja

0,00 - 0,20 Jelek ( )

0,20 - 0,40 Cukup baik ( )

0,40 - 0,70 Baik ( )

0,70 - 1,00 Baik sekali (E )

F. Rancangan Penelitian

Rancangan analisis penelitian ini adalah rancangan faktorial 2 X 2. Faktor

pemilahnya adalah variabel moderator membaca pemahaman siswa. Pemilahan

dibagi atas dua tingkatan yaitu membaca pemahaman di atas rata-rata kelompok dan

Page 86: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

69 di bawah rata-rata kelompok setelah data diurutkan dari yang paling besar ke yang

paling kecil. Dengan pemilahan ini diharapkan dapat menambah kecermatan

penelitian ini. Dalam pelaksanaan penelitian ini, pemisahan tingkat membaca

pemahaman siswa bersifat semu artinya dalam kegiatan eksperimen, para siswa tidak

dipisahkan secara nyata antara yang memiliki tingkat membaca pemahaman di atas

dan di bawah rata-rata kelompok.

a. Faktor metode pembelajaran (A) terdiri atas dua kategori:

1). Metode pembelajaran kontekstual (A1)

2). Metode pembelajaran konvensional (A2)

b. Faktor membaca pemahaman (B) terdiri atas dua kategori:

1). Membaca pemahaman tinggi (B1)

2). Membaca pemahaman rendah (B2)

Tabel 3.5 Rancangan Analisis Faktorial 2 x 2

Faktor A

Faktor B

Model Pembelajaran

CTL / Kontekstual

(A1)

Konvensional

(A2)

Pemahaman

Membaca

Tinggi (B1) A1B1 A2B1

Rendah (B2) A1B2 A2B2

keterangan :

A1 = Model Belajar Contextual teaching and learning (CTL)

A2 = Model Belajar Konvensional

B1 = Membaca pemahaman Tinggi

B2 = Membaca pemahaman Rendah

A1B1 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca

pemahaman tinggi yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode

pembelajaran kontekstual

A2B1 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca

pemahaman tinggi yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode

pembelajaran konvensional

Page 87: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

70 A1B2 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca

pemahaman rendah yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode

pembelajaran kontekstual

A2B2 = Kelompok siswa yang mempunyai tingkat kemampuan membaca

pemahaman rendah yang diberi perlakuan pembelajaran dengan metode

pembelajaran konvensional

Tabel diatas menyatakan bahwa penelitian ini akan memberikan perlakuan

dalam pembelajaran melalui dua model yaitu contextual teaching and learning (CTL)

untuk kelas eksperimen, dan konvensional untuk kelas kontrol, yang akan

menunjukkan pengaruh terhadap hasil belajar matematika soal cerita setelah

menerima perlakuan tersebut.

Pada masing-masing kelas terdapat kelompok yang memiliki pemahaman

membaca tinggi dan rendah. Dengan demikian ada 4 kelompok yaitu: (1) siswa yang

diberikan model pembelajaran contextual teaching and learning (CTL) untuk

membaca pemahaman tinggi, (2). siswa yang diberikan model pembelajaran

contextual teaching and learning (CTL) untuk membaca pemahaman rendah, (3)

siswa yang diberikan model pembelajaran konvensional untuk membaca pemahaman

tinggi dan (4) siswa yang diberikan model pembelajaran konvensional untuk

membaca pemahaman rendah.

Pengontrolan validitas dilakukan agar hasil eksperimen benar-benar sebagai

akibat dari pengaruh perlakuan. Menurut Campbell (1966: 5-6) ada dua belas faktor

penyebab rendahnya validitas internal suatu penelitian, yaitu : (1) faktor sejarah, (2)

proses kematangan (3) testing, (4) instrumen pengukuran, (5) regresi statistik, (6)

seleksi subyek, (7) mortalitas pada eksperimen, (8) interaksi antara pemilihan dan

kematangan, (9) efek interaksi testing, (10) efek interaksi dari bias seleksi dan

variabel eksperimen, (11) efek reaksi terhadap perencanaan / persiapan eksperimen,

(12) perlakuan ganda.

Faktor sejarah dalam penelitian ini telah dikendalikan dengan melaksanakan

post tes waktunya serentak antara kelompok kontrol dan eksperimen. Instrumen

Page 88: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

71 dikontrol dengan memberikan instrumen yang valid dan reliabel untuk mengetahui

membaca pemahaman dan hasil belajar matematika soal cerita siswa.

Pada penelitian ini dilakukan pengambilan kelompok kontrol, maka

tindakan ini telah mampu mengendalikan faktor sejarah, kematangan, testing dan

instrumentasi. Sedangkan dengan menggunakan rancangan post-tes memungkinkan

untuk mengendalikan faktor kematangan subyek. Selama penelitian ini dilaksanakan

tidak ada siswa yang mengundurkan diri sehingga faktor mortalitas dapat

dikendalikan.

Untuk meningkatkan validitas eksternal penelitian ditempuh langkah-

langkah sebagai berikut : (1) pemilihan kelompok diambil secara random, dalam hal

ini kelompok eksperimen dan kontrol telah memiliki kesetaraan karena berasal dari

masukan siswa yang memiliki rerata nilai siswa dan nilai rerata kelas pada raport

untuk mata pelajaran matematika relatif sama, (2) uji perbedaan pra tes antara kelas

eksperimen dan kontrol dilakukan untuk melihat sejauh mana kesetaraan antara kelas

eksperimen dan kontrol, hasil analisis dengan uji-t untuk menunjukkan bahwa antara

kelas eksperimen dan kelas kontrol tidak berbeda secara signifikan (3) selama

pelaksanaan eksperimen diusahakan tidak diketahui atau disadari oleh siswa karena

dilaksanakan sesuai dengan pembelajaran rutin, hal ini dilakukan guna menghindari

perubahan sikap pada saat diberi perlakuan, (4) selama eksperimen berlangsung

diharapkan tidak terjadi peristiwa atau kejadian khusus yang mengganggu jalannya

eksperimen. Dengan pengambilan langkah tersebut maka validitas internal dan

eksternal penelitian ini dapat dipenuhi sehingga hasil penelitian dapat digeneralisasi

pada populasi.

G. Teknik Analisis Data

1. Uji Prasyarat Analisis

a. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan terhadap data hasil belajar matematika soal

cerita siswa yang diberi pembelajaran dengan model contextual teaching and

learning (CTL) baik secara keseluruhan maupun berdasarkan kemampuan

pemahaman membaca siswa. Uji normalitas ini bertujuan untuk mengetahui

Page 89: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

72

apakah sampel yang diambil berasal dari populasi yang berdistribusi normal atau

tidak. Metode yang digunakan dalam uji normalitas ini adalah metode Lilliefors

dengan

1). Hipotesis

H0 = sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal

Hi = sampel tidak berasal dari populasi yang berdistribusi normal

2). Taraf signifikan %5

3). Statistik Uji yang Digunakan

iZSiZFmak L

Dimana:

L = koefisien liliefors dari pengamatan

N (0,1)

S(Z

Zi = skor standar, untuk S

XXZ i

i

S = standar deviasi = NN

XX

22

4). Daerah Kritik

DK = {L | L > L :n }dengan n adalah ukuran sampel

5). Keputusan Uji

H0 ditolak jika L > L :n, sedangkan H0 :n

(Budiyono, 2000: 169)

b. Uji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk menguji apakah kelompok mempunyai

variansi sama. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode uji

Bartlett yang prosedurnya sebagai berikut:

1). Hipotesis

H0 = sampel berasal dari populasi yang homogen

Hi = sampel tidak berasal dari populasi yang homogen

Page 90: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

73

2). Taraf signifikan %5

3). Statitiska uji yang digunakan

22 loglog203.2

jj SfRKGfc

Dengan : 122 k

2 = chi kuadrat

k = banyaknya populasi = banyaknya sampel

f = derajat kebebasan untuk RKG = N-k

fj = derajat kebebasan untuk Sj = nj 1

j

N = banyaknya seluruh nilai (ukuran)

Nj = banyaknya nilai (ukuran sampel ke- j)

jfkc

j

1113

11

j

j

f

SSRKG

j

jjj n

XXSS

22

4). Daerah kritik

1:22| kDK

5). Keputusan uji

H0 ditolak jika DK2 sedangkan H0 diterima jika DK2

(Budiyono, 2000: 176)

c. Uji Hipotesis

Dalam penelitian ini menggunakan analisis variansi dua jalur.

1). Model

Page 91: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

74

Dengan

Xijk = data amatan ke-k pada baris ke-i dan kolom ke-j

= rerata dari seluruh data amatan

Xi = efek baris ke-i pada variabel terikat

j = efek kolom ke-j pada variabel terikat

( )ij = kombinasi efek baris ke-i dan kolom ke-j pada variabel terikat

ijk = deviasi data amatan terhadap rataan populasi (galat eror)

;2,1i 1 = pemberian pembelajaran dengan menggunakan Model

pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)

2 pemberian pembelajaran dengan menggunakan Model pembelajaran

konvensional

;2,1j 1 kemampuan membaca pemahaman siswa rendah

2 kemampuan membaca pemahaman siswa tinggi

nk ,...,,2,1 (Budiyono, 2000: 225)

2). Prosedur

a). Hipotesis

H0A: i = 0, untuk setiap i

H1A: j 0, untuk paling sedikit satu i

H0B: i = 0, untuk setiap j

H1B: j 0, untuk paling sedikit satu i

H0AB: ( )ij = 0 = 0, untuk setiap i dan j

H1AB: ( )ij 0, untuk paling sedikit satu ( )ij

b). Taraf signifikan = 5%

c). Komputasi

i. = NG 2

ii. = jijSS

Page 92: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

75

iii. = i

i

qA 2

iv. = j

j

p

B 2

v. = ij

ijAB 2

Dimana:

Aij = i

ijAB 2

= jumlah rataan pada baris ke-i

Bj = j

ijAB 2

= jumlah rataan pada kolom ke-j

G = ij

ijAB 2

= jumlah rataan semua sel

ijk

kijk

kijij n

X

XSS

2

2

= jumlah kuadrat deviasi amatan pada sel uji

N = ijijn

= banyaknya seluruh data amatan

n h = rataan harmonik frekuensi seluruh sel = ij ijn

pq1

nij = rataan sel ij = banyaknya data amatan sel ij

d). Jumlah kuadrat

JKA = n h {(3)-(1)}

JKB = n h {(4)-(1)}

JKAB = n h {(1)+(5)-(3)-(4)}

JKG = (2)

JKT = JKA + JKB +JKAB + JKG

Page 93: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

76

e). Jumlah kebebasan

dk A = p-1

dk B = q-1

dk AB = (p-1) (q-1)

dk G = N pq

dk T = N-1

f). Rataan kuadrat

RK A = dkA

JKA

RK B = dkBJKB

RK AB = dkAB

JKAB

RK G = dkGJKG

g). Statistika uji

RKG

RKAFa

RKGRKB

Fb

RKG

RKABFab

h). Daerah kritik

(1) Dka = {FIF > F :p-1, N-pq}

(2) Dkb = {FIF > F :q-1, N-pq}

(3) Dkab = {FIF > F :(p-1)(q-1), N-pq}

i). Keputusan uji

H0 ditolak jika harga statistika uji yang bersesuaian melebihi harga

kritik masing-masing. (Budiyono, 2000: 226-228)

Page 94: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

77

3). Rangkuman analisis

Tabel 3.6 Rangkuman Analisis Variansi Dua Jalur

Sumber JK dk RK F ,5 P

Baris

Kolom

Interaksi

Galat

Total

JKA

JKB

JKAB

JKG

JKS

p-1

q-1

(p-1)(q-1)

N-pq

N-1

RKA

RKB

RKAB

RKG

-

Fa

Fb

Fab

-

-

< atau >

< atau >

< atau >

-

-

Page 95: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 78

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Persiapan Penelitian

Untuk memperoleh hasil penelitian yang maksimal, sebelum dilaksanakan

penelitian terlebih dahulu dilakukan berbagai persiapan penelitian. Adapun hal-hal

yang disiapkan adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan Subyek Penelitian

Sampel dalam penelitian ini adalah siswa kelas V SD Negeri I Pokoh Kidul

dan SD Negeri III Wuryorejo. Siswa kelas V SD Negeri III Wuryorejo sebagai kelas

eksperimen dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and

Learning (CTL) dan siswa kelas V SD Negeri I Pokoh Kidul sebagai kelas kontrol

dengan menggunakan model pembelajaran konvensional.

2. Uji Keseimbangan

Tujuan dari uji keseimbangan adalah untuk menguji keseimbangan

kemampuan awal antara kelas Contextual Teaching and Learning dan kelas

konvensional sebelum perlakuan. Data untuk uji keseimbangan diambil dari nilai

hasil pretest yang terdiri dari 21 butir soal pilihan ganda. Statistik uji yang digunakan

adalah uji t (uji kesamaan rata-rata).

Berdasarkan tabulasi data untuk kelas Contextual Teaching and Learning

dengan jumlah sampel 32 siswa diperoleh rata-rata 72,1 dan standar deviasi 11,5444,

sedangkan untuk kelas konvensional dengan sampel 34 siswa diperoleh rata-rata 71,6

dan standar deviasi 12,1203.

Berdasarkan hasil uji t diperoleh thitung = , sedangkan DK = {t | t <

1,998 atau t > 1,998}. Karena thitung = DK maka H0 diterima, sehingga

dapat disimpulkan bahwa sebelum perlakuan kelas Contextual Teaching and

Learning dan kelas konvensional mempunyai kemampuan awal yang seimbang.

perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 14 (hal 222).

Page 96: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

79

B. Hasil Ujicoba Instrumen

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah soal pretest, soal

postest dan soal kemampuan membaca pemahaman. Sebelum instrumen diberikan

kepada subyek penelitian terlebih dahulu dilakukan ujicoba. Tujuan ujicoba adalah

mengukur validitas dan reliabilitas instrumen. Uji coba dilakukan sekali, adapun

subyek ujicoba adalah 32 siswa kelas V SD Negeri II Sendang tahun ajaran 2010/

2011. Dalam penelitian ini uji validitas soal pretest, soal postest dan soal

kemampuan membaca pemahaman dilakukan menggunakan rumus korelasi product

moment. Sedangkan untuk uji reliabilitas digunakan rumus KR-20.

1. Instrumen Soal Pretest

a. Uji Validitas Soal Pretest

Hasil uji validitas menunjukan bahwa instrumen penelitian yang berupa

soal pretest yang berbentuk pilihan ganda sebanyak 25 butir soal diperoleh 21 soal

yang valid, yaitu soal nomor 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20,

21, 22, 23 dan 25. Sedangkan untuk soal nomor 5, 11, 14 dan 24 dinyatakan tidak

valid. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6 (hal 204).

b. Tingkat Kesukaran Soal Pretest

Soal yang baik adalah soal yang mempunyai tingkat kesukaran yang

memadai artinya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar. Dalam penelitian ini

soal mempunyai tingkat kesukaran yang memadai jika 0,30 P 0,70, dimana

P adalah indeks kesukaran.

Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dari 25 item soal diperoleh 3

item soal yang tidak memadai yaitu item soal nomor 5 mempunyai indeks

kesukaran 0,91 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 11 mempunyai indeks

kesukaran 0,88 termasuk kriteria mudah, dan item soal nomor 24 mempunyai

indeks kesukaran 0,84 termasuk kriteria mudah. Sedangkan item soal yang lain

mempunyai tingkat kesukaran yang memadai. Perhitungan selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 6 (hal 204).

Page 97: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

80

c. Daya Pembeda Soal Pretest

Daya pembeda masing-masing butir soal dilihat dari perbedaan rata- rata

(mean) antara rata-rata dari kelas atas dengan rata-rata dari kelas bawah untuk

tiap-tiap item. Dalam penelitian ini soal dianggap mempunyai daya beda yang

memadai jika memiliki daya beda cukup, yang ditunjukkan dengan D > 0,21,

dimana D adalah indeks daya beda. Berdasarkan hasil uji coba 25 butir soal

terhadap 32 responden menunjukkan bahwa 4 item soal mempunyai daya beda

yang kurang memadai yaitu untuk item soal nomor 5 mempunyai indeks daya

beda 0,06, item soal nomor 11 mempunyai daya beda 0,00, item soal nomor 14

mempunyai daya beda 0,13 dan item soal nomor 24 mempunyai indeks daya beda

0,06, sehingga keempat item soal dianggap tidak baik. Perhitungan selengkapnya

dapat dilihat pada Lampiran 6 (hal 204).

d. Analisis Butir Soal Pretest

Berdasarkan indeks kesukaran dan daya beda yang ditetapkan dari 25

item soal terdapat 4 item soal yang tidak efektif yaitu soal nomor 5, 11, 14 dan 24.

Selanjutnya diperoleh 21 item soal yang mewakili semua indikator yang akan

dipakai untuk menentukan kemampuan awal siswa. Soal-soal yang digunakan

tersebut adalah item soal nomor: 1, 2, 3, 4, 6, 7, 8, 9, 10, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19,

20, 21, 22, 23 dan 25. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 6

(hal 204).

e. Uji Reliabilitas Soal Pretest

Teknik perhitungan yang digunakan untuk menghitung indeks reliabilitas

menggunakan Kuder Richardson KR-20. Uji reliabilitas dilakukan untuk item soal

yang akan digunakan sebagai instrumen penelitian, sehingga uji reliabilitas hanya

dilakukan untuk 21 soal yang dipakai. Hasil perhitungan diperoleh indeks

reliabilitas dari 21 soal yang dipakai sebesar 0,792 yang berarti instrumen soal

pretest tersebut adalah baik dan reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,70.

Perhitungan selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 6 (hal 204).

Page 98: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

81

2. Instrumen Soal Tes Hasil Belajar (Postest)

a. Uji Validitas Soal Tes Hasil Belajar

Hasil uji validitas menunjukan bahwa instrumen penelitian yang berupa

soal tes hasil belajar yang berbentuk pilihan ganda sebanyak 25 butir soal

diperoleh 22 soal yang valid, yaitu soal nomor 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14,

15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 23, 24 dan 25. Sedangkan untuk soal nomor 2, 7 dan 22

dinyatakan tidak valid. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7

(hal 209).

b. Tingkat Kesukaran Soal Tes Hasil Belajar

Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dari 25 item soal diperoleh 3

item soal yang tidak memadai yaitu item soal nomor 2 mempunyai indeks

kesukaran 0,91 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 7 mempunyai indeks

kesukaran 0,84 termasuk kriteria mudah, dan item soal nomor 22 mempunyai

indeks kesukaran 0,88 termasuk kriteria mudah. Sedangkan item soal yang lain

mempunyai tingkat kesukaran yang memadai. Perhitungan selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 7 (hal 209).

c. Daya Pembeda Soal Tes Hasil Belajar

Berdasarkan hasil uji coba 25 butir soal terhadap 32 responden

menunjukkan bahwa 3 item soal mempunyai daya beda yang kurang memadai

yaitu untuk item soal nomor 2 mempunyai indeks daya beda 0,06, item soal

nomor 7 mempunyai daya beda 0,06, dan item soal nomor 22 mempunyai indeks

daya beda 0,13, sehingga ketiga item soal dianggap tidak baik. Perhitungan

selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7 (hal 209).

d. Analisis Butir Soal Tes Hasil Belajar

Berdasarkan indeks kesukaran dan daya beda yang ditetapkan dari 25

item soal terdapat 3 item soal yang tidak efektif yaitu soal nomor 2, 7 dan 22.

Selanjutnya diperoleh 22 item soal yang mewakili semua indikator yang akan

dipakai untuk menentukan hasil belajar siswa. Soal-soal yang digunakan tersebut

adalah item soal nomor: 1, 3, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19,

Page 99: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

82

20, 21, 23, 24 dan 25. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran 7

(hal 209).

e. Uji Reliabilitas Soal Tes Hasil Belajar

Hasil perhitungan diperoleh indeks reliabilitas dari 22 soal yang dipakai

sebesar 0,828 yang berarti instrumen soal tes hasil belajar tersebut adalah baik dan

reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,70. Perhitungan selengkapnya

ditunjukkan pada Lampiran 7 (hal 209).

3. Instrumen Soal Kemampuan Membaca Pemahaman

a. Uji Validitas Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman

Hasil uji validitas menunjukan bahwa instrumen penelitian yang berupa

soal tes kemampuan membaca pemahaman yang berbentuk pilihan ganda

sebanyak 25 butir soal diperoleh 21 soal yang valid, yaitu soal nomor 1, 2, 4, 6, 7,

9, 10, 11, 12, 13, 15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25. Sedangkan untuk

soal nomor 3, 5, 8 dan 14 dinyatakan tidak valid. Perhitungan selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 8 (hal 212).

b. Tingkat Kesukaran Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman

Berdasarkan perhitungan tingkat kesukaran dari 25 item soal diperoleh 4

item soal yang tidak memadai yaitu item soal nomor 3 mempunyai indeks

kesukaran 0,97 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 5 mempunyai indeks

kesukaran 0,94 termasuk kriteria mudah, item soal nomor 8 mempunyai indeks

kesukaran 0,88 termasuk kriteria mudah, dan item soal nomor 14 mempunyai

indeks kesukaran 0,91 termasuk kriteria mudah. Sedangkan item soal yang lain

mempunyai tingkat kesukaran yang memadai. Perhitungan selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 8 (hal 212).

c. Daya Pembeda Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman

Berdasarkan hasil uji coba 25 butir soal terhadap 32 responden

menunjukkan bahwa 4 item soal mempunyai daya beda yang kurang memadai

yaitu untuk item soal nomor 3 mempunyai indeks daya beda 0,06, item soal

Page 100: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

83

nomor 5 mempunyai daya beda 0,00, item soal nomor 8 mempunyai daya beda

0,13, dan item soal nomor 14 mempunyai indeks daya beda 0,06, sehingga

keempat item soal dianggap tidak baik. Perhitungan selengkapnya dapat dilihat

pada Lampiran 8 (hal 212).

d. Analisis Butir Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman

Berdasarkan indeks kesukaran dan daya beda yang ditetapkan dari 25

item soal terdapat 4 item soal yang tidak efektif yaitu soal nomor 3, 5, 8 dan 14.

Selanjutnya diperoleh 21 item soal yang mewakili semua indikator yang akan

dipakai untuk menentukan kemampuan membaca pemahaman siswa. Soal-soal

yang digunakan tersebut adalah item soal nomor: 1, 2, 4, 6, 7, 9, 10, 11, 12, 13,

15, 16, 17, 18, 19, 20, 21, 22, 23, 24 dan 25. Perhitungan selengkapnya dapat

dilihat pada Lampiran 8 (hal 212).

e. Uji Reliabilitas Soal Tes Kemampuan Membaca Pemahaman

Hasil perhitungan diperoleh indeks reliabilitas dari 21 soal yang dipakai

sebesar 0,801 yang berarti instrumen soal tes kemampuan membaca pemahaman

tersebut adalah baik dan reliabel karena nilainya lebih besar dari 0,70. Perhitungan

selengkapnya ditunjukkan pada Lampiran 8 (hal 212).

C. Deskripsi Data Hasil Penelitian

Data hasil belajar matematika diperoleh dengan alat ukur (instrumen) tes

yang terdiri dari 21 butir soal pilihan ganda.

1. Hasil Belajar Matematika Kelas Contextual Teaching and Learning

Hasil belajar matematika siswa kelas Contextual Teaching and Learning skor

tertinggi 95 dan terendah 55, nilai rata-rata sebesar 76,69 dan nilai standar deviasi

sebesar 10.1963. Hasil pengelompokan dengan interval yang dilakukan terhadap data

hasil belajar siswa kelas Contextual Teaching and Learning dideskripsikan pada

tabel 4.1

Page 101: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

84

Tabel 4.1. Hasil Pengelompokan Data Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual Teaching and Learning.

Interval xi fi fk Frekuensi relatif

51 - 60 55,5 3 3 9%

61 - 70 65,5 5 8 16%

71 - 80 75,5 12 20 34%

81 - 90 85,5 8 28 25%

91 - 100 95,5 4 32 13%

Jumlah 32 100%

Adapun histogram data adalah sebagai berikut

Gambar 3. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Contextual

Teaching and Learning.

2. Hasil Belajar Matematika Kelas Konvensional

Berdasarkan hasil tabulasi data diperoleh skor hasil belajar matematika siswa

kelas konvensional tertinggi 91 dan terendah 55, nilai rata-rata (mean) sebesar 72,74

dan nilai standar deviasi (SD) sebesar 10.4281. Hasil pengelompokan dengan

interval yang dilakukan terhadap data hasil belajar siswa kelas konvensional

dideskripsikan pada tabel 4.2.

35

128

4

02468

1012

51 - 60 61 - 70 71 - 80 81 - 90 91 - 100

Interval

Page 102: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

85

Tabel 4.2. Hasil Pengelompokan Data Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional

Interval xi fi fk Frekuensi relatif

51 - 60 55,5 6 6 18%

61 - 70 65,5 8 14 24%

71 - 80 75,5 11 25 32%

81 - 90 85,5 7 32 21%

91 - 100 95,5 2 34 6%

Jumlah 34 100%

Adapun histogram data adalah sebagai berikut:

Gambar 4. Histogram Hasil Belajar Matematika Siswa Kelas Konvensional

D. Pengujian Prasyarat Analisis

1. Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk mengetahui apakah data mempunyai

distribusi yang normal atau tidak. Uji normalitas dilakukan dengan uji Lilliefors.

Hasil uji normalitas dapat dirangkum dalam tabel 4.3 sebagai berikut:

68

117

202468

1012

51 - 60 61 - 70 71 - 80 81 - 90 91 - 100

Interval

Page 103: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

86

Tabel 4.3. Hasil Uji Normalitas

Hasil belajar N Lhitung Ltabel Keputusan

Kelas Contextual Teaching and

Learning 32 0,0828 0,157 Normal

Kelas Konvensional 34 0,0854 0,152 Normal

Kelompok kemampuan membaca

pemahaman tinggi 34 0,1184 0,152 Normal

Kelompok kemampuan membaca

pemahaman rendah 32 0,1344 0,157 Normal

(Lihat lampiran 21 hal 229)

Pada = 0,05 menunjukkan bahwa harga statistik uji Lhitung dari masing-

masing kelompok lebih kecil dari Ltabel. Dengan demikian diperoleh keputusan uji

bahwa H0 diterima. Ini berarti data hasil belajar dari masing-masing kelompok

berdistribusi normal.

2. Uji Homogenitas

Uji homogenitas dilaksanakan untuk mengetahui apakah masing-masing

kelompok memiliki variansi yang homogen atau tidak. Uji homogenitas dilakukan

dengan menggunakan uji Bartlett. Hasil uji homogenitas dapat dirangkum dalam

tabel 4.4 sebagai berikut:

Tabel 4.4. Hasil Uji Homogenitas

Hasil belajar 2hitung

2tabel Keputusan Kesimpulan

Contextual Teaching

and Learning

dan Konvensional

0,016 3,841 H0 diterima

Variansi-variansi

dari kedua

populasi homogen

Kemampuan membaca

pemahaman tinggi dan

rendah

0,307 3,841 H0 diterima

Variansi-variansi

dari kedua

populasi homogen

(Lihat lampiran 22 hal 233)

Page 104: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

87

Berdasarkan hasil perhitungan uji homogenitas untuk data hasil belajar

matematika siswa diperoleh harga statistik uji 2hitung dari masing-masing kelompok

yang dibandingkan memiliki nilai lebih kecil dari 2tabel. Dengan demikian diperoleh

keputusan uji bahwa H0 diterima, hal ini menunjukkan bahwa data hasil belajar

matematika dari masing-masing kelompok yang dibandingkan memiliki variansi

yang homogen.

E. Uji Hipotesis Penelitian

Pengujian hipotesis dalam penelitian ini menggunakan analisis variansi dua

jalur, yaitu untuk melihat perbedaan hasil belajar berdasarkan model pembelajaran

yang digunakan antara model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dan

model pembelajaran Konvensional, selain itu juga berdasarkan tingkat kemampuan

membaca pemahaman (tinggi dan rendah), adapun ringkasan hasil analisis anava dua

jalur dipaparkan pada Tabel 4.5.

Tabel 4.5. Rangkuman Anava Dua Jalan dengan Frekuensi Sel Tak Sama

Sumber

Variansi Jk dk Rk Fobs F Keputusan

(A) 303,6050 1 303,6050 4,480 3,996 Ho ditolak

(B) 2604,3907 1 2604,3907 38,428 3,996 Ho ditolak

(AB) 13,9335 1 13,9335 0,206 3,996 Ho diterima

(G) 4201,9236 62 67,7730

( T ) 7123,8528 65

( Lihat lampiran 23 hal 237)

Adapun rataan antar sel lengkap dengan rataan marginalnya sebagai berikut:

Page 105: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

88

Tabel 4.6. Rangkuman Rataan Antar Sel dan Rataan Marginal

Kemampuan membaca

pemahaman Rataan

marginal Tinggi Rendah

Model

pembelajaran

Contextual Teaching

and Learning 83,44 69,94 76,69

Konvensional 78,22 66,56 72,74

Rataan marginal 80,68 68,25

( Lihat lampiran 21 hal 230, dan lampiran 23 hal 237)

Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan sel tak sama maka dapat

dilakukan pengujian hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Uji hipotesis pertama

Pengujian hipotesis pertama dapat dilihat pada Tabel 4.5 untuk efek utama A

(metode pembelajaran), harga statistik uji FA = 4,480, sedangkan Ftabel pada tingkat

kepercayaan 95% ( = 0,05) dengan dk = (1;62) = 3,996, berarti FA > Ftabel, yaitu

4,480 > 3,996, maka H0 ditolak, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa ada

perbedaan hasil belajar ditinjau dari perbedaan metode pembelajaran.

2. Uji hipotesis kedua

Pengujian hipotesis kedua dapat dilihat pada Tabel 4.5 untuk efek utama B

(kemampuan membaca pemahaman), harga statistik uji FB = 38,428, sedangkan Ftabel

pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) dengan dk = (1;62) = 3,996, berarti FB >

Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996, maka H0 ditolak, sehingga diperoleh kesimpulan bahwa

ada perbedaan hasil belajar ditinjau dari perbedaan kemampuan membaca

pemahaman.

3. Uji hipotesis ketiga

Pengujian hipotesis ketiga dapat dilihat pada Tabel 4.5 untuk efek interaksi AB

(metode pembelajaran dan tingkat kemampuan membaca pemahaman), harga

statistik uji FAB = 0,206, sedangkan Ftabel pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05)

Page 106: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

89

dengan dk = (1;62) = 3,996, berarti FAB < Ftabel, yaitu 0,206 < 3,996, maka H0

diterima, sehingga disimpulkan bahwa tidak ada kombinasi efek (interaksi) antara

metode pembelajaran dan kemampuan membaca pemahaman siswa terhadap hasil

belajar.

F. Pembahasan Hasil Analisa Data

1. Hipotesis Pertama

Hipotesis pertama Ada pengaruh

model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar

matematika soal cerita siswa Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan untuk sel

tak sama untuk efek utama faktor A (model pembelajaran) diperoleh harga statistik

uji FA > Ftabel, yaitu 4,480 > 3,996, sehingga FA DK, dengan demikian H0A ditolak,

hal ini berarti pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) ada perbedaan hasil belajar

ditinjau dari perbedaan model pembelajaran.

Melihat hasil rataan marginal (Tabel 4.6) rata-rata hasil belajar matematika

dengan menggunakan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning

diperoleh 76,69, sedangkan rata-rata hasil belajar matematika dengan model

pembelajaran konvensional diperoleh 72,74. Tampak bahwa rata-rata hasil belajar

dengan model pembelajaran Contextual Teaching and Learning lebih tinggi daripada

rata-rata hasil belajar dengan model pembelajaran Konvensional. Dengan demikian

model pembelajaran Contextual Teaching and Learning dapat menghasilkan hasil

belajar matematika yang lebih baik daripada model pembelajaran konvensional,

sehingga hipotesis yang menyatakan bahwa ada pengaruh model pembelajaran

Contextual Teaching and Learning (CTL) terhadap hasil belajar matematika soal

cerita siswa dapat diterima.

2. Hipotesis Kedua

Hipotesis kedua dalam penelitian ini mengatakan bahwa Ada pengaruh

kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika soal cerita

siswa Berdasarkan hasil analisis variansi dua jalan untuk sel tak sama untuk efek

utama faktor B (kemampuan membaca pemahaman) diperoleh harga statistik uji FB >

Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996 sehingga FB DK dengan demikian H0B ditolak. Hal ini

Page 107: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

90

berarti pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05) ada perbedaan hasil belajar ditinjau

dari perbedaan kemampuan membaca pemahaman.

Berdasarkan rataan marginal diperoleh rata-rata hasil belajar matematika siswa

yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman tinggi sebesar 80,68 dan rata-

rata hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman rendah

sebesar 68,25. Dengan demikian hipotesis yang menyatakan ada pengaruh

kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika soal cerita

siswa dapat diterima.

3. Hipotesis Ketiga

Berdasarkan hasil anava dua jalan dengan sel tak sama diperoleh harga statistik

uji Fab = 0,206 sedangkan Ftabel = 3,996, maka Fab < Ftabel sehingga Fab DK, dengan

demikian H0AB diterima. Hal ini berarti pada tingkat kepercayaan 95% ( = 0,05)

tidak terdapat kombinasi efek (interaksi) antara model pembelajaran dan tingkat

kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa. Hal

tersebut menunjukkan siswa yang diberi pembelajaran dengan model pembelajaran

Contextual Teaching and Learning hasil belajarnya akan selalu lebih baik daripada

siswa yang diberi model pembelajaran konvensional baik secara umum maupun

ditinjau dari kategori kemampuan membaca pemahaman. Dengan demikian hipotesis

yang menyatakan tidak terdapat interaksi antara model pembelajaran Contextual

Teaching and Learning (CTL) dan tingkat kemampuan membaca pemahaman

terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa dapat diterima.

Page 108: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user 91

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan pembahasan yang telah diuraikan pada

bab-bab sebelumnya, dengan mengacu pada hipotesis yang dirumuskan dan tingkat

kepercayaan 95% ( = 0,05), maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Ada pengaruh antara model pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran.

Hasil belajar matematika dengan menerapkan model pembelajaran Contextual

Teaching and Learning lebih baik daripada model pembelajaran konvensional,

dengan harga statistik uji FA > Ftabel, yaitu 4,480 > 3,996 dan rata-rata nilai hasil

belajar dari siswa yang dikenai model pembelajaran Contextual Teaching and

Learning lebih besar dari model pembelajaran konvensional, yaitu 76,69 > 72,74.

2. Ada pengaruh yang signifikan antara tingkat kemampuan membaca pemahaman

siswa terhadap hasil belajar matematika siswa, dengan harga statistik uji Fb >

Ftabel, yaitu 38,428 > 3,996 dan rata-rata hasil belajar matematika siswa yang

mempunyai kemampuan membaca pemahaman tinggi lebih besar daripada rata-

rata hasil belajar siswa yang mempunyai kemampuan membaca pemahaman

rendah yaitu 80,68 > 68,25 .

3. Tidak terdapat interaksi pengaruh antara model pembelajaran dan tingkat

kemampuan membaca pemahaman terhadap hasil belajar matematika siswa,

dengan dengan harga statistik uji Fab < Ftabel, yaitu 0,206 < 3,996.

B. Implikasi

1. Implikasi terhadap Penerapan Model Pembelajaran Matematika

Temuan bahwa model pembelajaran kontekstual lebih baik dari pada model

pembelajaran konvensional terhadap hasil belajar matematika soal cerita siswa

ditinjau dari kemampuan membaca pemahaman siswa, memberikan petunjuk bahwa

dalam pembelajaran matematika, model pembelajaran kontekstual lebih tepat untuk

diterapkan dari pada model pembelajaran konvensional. Penerapan model

pembelajaran kontekstual dalam pelajaran matematika berimplikasi terhadap

Page 109: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

92 perencanaan dan pengembangan model pembelajaran matematika selanjutnya. Guru

harus lebih menekankan pembelajaran yang mengharuskan siswa untuk membuat

keterkaitan-keterkaitan dari setiap materi yang siswa alami, sehingga siswa dapat

menemukan makna dari pengalaman mereka sendiri. Mengaitkan pembelajaran

dengan kehidupan siswa membuat proses belajar menjadi hidup dan keterkaitan

inilah inti dari pembelajaran kontekstual.

2. Implikasi terhadap Peran Guru

Upaya penerapan model pembelajaran kontekstual dalam pelajaran

matematika menuntut perubahan peran guru. Implikasi model kontekstual dalam

pembelajaran adalah kegiatan aktif siswa dalam usaha membangun sendiri

pengetahuannya. Siswa diberikan kebebasan untuk mencari arti sendiri dari apa yang

mereka pelajari. Ini merupakan proses menyesuaikan konsep dan ide-ide baru dengan

kerangka berpikir yang telah ada dalam pikiran mereka dan siswa bertanggung jawab

atas hasil belajarnya. Mereka membawa pengertian yang lama dalam situasi belajar

yang baru. Mereka sendiri yang membuat penalaran atas apa yang dipelajarinya

dengan cara mencari makna, membandingkannya dengan apa yang telah ia ketahui

dengan apa yang ia perlukan dalam pengalaman yang baru. Dalam upaya untuk

menumbuhkan dan mengembangkan situasi yang kondusif. Dalam pembelajaran

guru hendaknya mengambil posisi sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran.

Peran sebagai fasilitator dan mediator pembelajaran akan memberikan kesempatan

yang luas kepada siswa untuk mengemukakan gagasan dan argumentasinya.

C. Saran

1. Bagi Kepala Sekolah

Kepala sekolah diharapkan dapat memberikan perhatian dan dukungan

secara penuh terhadap penerapan dan pengembangan model pembelajaran

kontekstual di sekolah secara umum. Dalam pelaksanaannya, pembelajaran dengan

menerapkan model kontekstual mengharuskan siswa untuk mengaitkan materi

pelajaran dengan kehidupan siswa sebenarnya. Hal ini juga tidak lepas dari

kebutuhan akan media pembelajaran. Oleh karena itu kepala sekolah diharapkan

dapat memberikan dukungan dan fasilitas belajar siswa.

Page 110: STEF RIKO SAPUTRA SKRIPSI

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

93

2. Bagi Guru

Guru disarankan untuk menggunakan model belajar Contextual Teaching

and Learning (CTL) sebagai model belajar alternatif dalam pembelajaran matematika

khususnya soal cerita. Mengembangkan pemikiran bahwa siswa akan belajar lebih

bermakna dengan cara bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan mengkonstruksikan

sendiri pengetahuan dan keterampilan barunya. Hal ini dapat dilakukan dengan cara:

(a) Menjadikan pengetahuan bermakna dan relevan bagi siswa. (b) Memberi

kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya sendiri. (c) Menyadarkan

siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam belajar.

3. Bagi Siswa

Siswa secara aktif terlibat dalam proses pembelajaran dengan menerapkan

model kontekstual. Belajar dari teman melalui kerja kelompok, diskusi, dan saling

mengoreksi. Pengetahuan yang dimiliki siswa dikembangkan oleh siswa sendiri.

Berfikir kritis, ikut bertanggung jawab atas terjadinya proses pembelajaran dengan

menerapkan model kontekstual yang efektif agar sebagai dampaknya siswa dapat

berkerja dengan masyarakat dan menerapkan materi pembelajaran dalam kehidupan

sehari-hari

4. Bagi Para Peneliti

Untuk kesempurnaan penelitian ini, disarankan kepada peneliti untuk

mengadakan penelitian lanjutan dengan melibatkan variabel moderator lain, seperti

sikap, motivasi, IQ, pengetahuan verbal dan lain-lain, sehingga dapat meningkatkan

hasil belajar matematika siswa. Di samping itu disarankan pula untuk memperbanyak

jumlah populasi dan sampel penelitian, serta menambah waktu pelaksanaan

penelitian.