PENERAPAN STATISTICAL PROCESS CONTROLSEBAGAI UPAYA IMPLEMENTASI
METODE SIX SIGMA(Studi Kasus: PT. INDONESIAN MARINE Divisi Boiler
)PENDAHULUAN1. Latar Belakang PT. INDONESIAN MARINE (Indomarine)
adalah perusahaan pembuat perahu dan kapal. Pada tahun 1967, usaha
ini dikembangkan dengan penambahan bidang perencanaan dan
pelaksanaan teknik pada boiler terutama banyak menangani boiler
untuk pabrik gula. Produk utama yang dihasilkan PT. Indomarine yang
terletak di Singosari Malang adalah Fire Tube Boiler dan Water Tube
Boiler dengan kapasitas dan spesifikasi disesuaikan dengan
kebutuhan konsumen.Beberapa komponen utama boiler diantaranya
adalah economizer dan super-heater . Kedua komponen ini tersusun
dari pipa-pipa dimana di dalamnya dialiri fluida yang tekanan uap
keluarannya dapat dimanfaatkan untuk berbagai hal yaitu salah
msatunya untuk membangkitkan energi listrik. Karakteristik kualitas
suatu pipa dapat diterjemahkan menjadi variabel-variabel seperti:
Diameter Nominal, Diameter Maksimal, Diameter Minimal. Oleh karena
itu, proses pengerjaan pipa-pipa ini harus dilakukan dengan teliti
agar kualitasnya dapat terjaga sehingga tekanan uap yang dihasilkan
sesuai dengan yang telah direncanakan sebelumnya.PT. Indomarine
telah meraih sertifikasi dalam hal penjaminan mutu yaitu ISO 9001:
2000. Namun selama ini perusahaan belum pernah menerapkan metode
Six Sigma untuk mengamati proses produksi yang berlangsung. Di lain
sisi, metode ini sangat penting untuk mengetahui seberapa baik
proses manufaktur yang telah dilakukan selama ini. Artinya, apabila
perusahaan telah berada pada tingkat kualitas 6-Sigma, maka dapat
dipastikan bahwa produk yang dihasilkan oleh PT. Indomarine cukup
dapat diandalkan. Berdasarkan uraian di atas maka permasalahan
dapat dirumuskan sebagai berikut: Bagaimana penerapan Statistical
Process Control sebagai upaya implementasi metode Six Sigma di PT.
Indomarine? 2. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui tingkat kapabilitas
sigma SQL (Sigma Quality Level ) dan nilai DPMO (Defects Per
Million Opportunities) pada proses bending pipa boiler jenis water
tube boiler sebagai tolok ukur kemampuan kinerja awal (current
performance), 2. Menganalisis stabilitas dan kapabilitas produk
yang dihasilkan, 3. Mencari faktor-faktor yang dapat memengaruhi
stabilitas dan kapabilitas produk yang dihasilkan.TINJAUAN
PUSTAKASix Sigma (6s) Six Sigma merupakan suatu visi peningkatan
kualitas menuju target 3,4 kegagalan per sejuta kesempatan (DPMO
Defects Per Million Opportunities ) untuk setiap transaksi produk
(barang/jasa). Sebuah upaya giat menuju kesempurnaan ( zero defect
kegagalan nol). Perusahaan General Electric sebagai salah satu
perusahaan yang sukses menerapkan metode Six Sigma menyatakan, Six
Sigma merupakan proses disiplin tinggi yang membantu kita
mengembangkan dan menghantarkan produk mendekati sempurna. Ide
sentral di belakang Six Sigma adalah jika dapat mengukur berapa
banyak cacat yang ada dalam suatu proses, maka secara sistematis
dapat mengatasi bagaimana menekan dan menempatkan diri dekat dengan
zero-defect . Suatu proses dikatakan baik apabila berjalan pada
suatu rentang (range ) yang telah ditetapkan. Rentang tersebut
memiliki batas, yakni batas atas (USL Upper Specification Limit )
dan batas bawah (LSL Lower Specification Limit ). Proses yang
terjadi di luar rentang tersebut maka dianggap cacat (defect).
Proses 6s berarti proses yang hanya menghasilkan 3,4 DPMO ( Defects
Per Million Opportunities ). Model ix Sigma Distribusi Normal
Model six sigma Motorola
Terlihat dalam gambar di atas bahwa dalam kurva distribusi
normal, proses 6s sebenarnya hanya mengijinkan produk/proses yang
ditolak (sebelah kanan dan kiri batas spesifikasi USL dan LSL)
sebesar 0,002 DPMO. Namun dalam metode Six Sigma yang pertama kali
digunakan oleh Motoro la merupakan suatu modifikasi dari kurva
diatas yaitu dengan menggeser nilai rata-rata ( - mean ) sebesar
1,5s dengan batas nilai yang ditolak adalah 3,4 DPMO. Konsep inilah
yang kemudian banyak dipakai dalam industri manufaktur maupun
industri lainnya. Pada dasarnya pelanggan akan merasa puas apabila
mereka menerima produk dengan nilai sebagaimana yang mereka
harapkan. Apabila produk diproses pada tingkat kualitas Six Sigma,
perusahaan dapat mengharapkan terjadinya 3,4 kegagalan per sejuta
kesempatan atau mengharapkan bahwa 99,99966 persen dari apa yang
diharapkan pelanggan akan ada dalam produk itu. Dengan demikian Six
Sigma dapat dijadikan ukuran target kinerja sistem industri entang
bagaimana baiknya suatu proses transaksi produk antara pemasok
(industri) dan pelanggan (pasar). Semakin tinggi target sigma yang
dicapai, kinerja sistem industri akan semakin baik.Dalam bidang
manufaktur, enam aspek umum tersebut dibuat lebih spesifik dan
dinyatakan dalam langkah-langkah yang lebih eksplisit, yaitu: (1)
mengidentifikasi karakteristik produk yang akan memuaskan pelanggan
(sesuai kebutuhan dan ekspektasi pelanggan), (2) mengklasifikasikan
semua karakteristik kualitas itu sebagai CTQ (critical-to-quality),
(3) menentukan apakah setiap CTQ itu dapat dikendalikan melalui
pengendalian material, mesin, proses-proses kerja, dll., (4)
menentukan batas maksimum toleransi untuk setiap CTQ sesuai dengan
yang diinginkan pelanggan (menentukan nilai USL dan LSL dari setiap
CTQ), (5) menentukan maksimum variasi proses untuk setiap CTQ
(menentukan nilai maksimum standar deviasi untuk setiap CTQ), (6)
mengubah desain produk, proses, ataupun keduanya sedemikian rupa
agar mampu mencapai kapabilitas proses 6-s igma (Cp = 2). a. Tahap
Define Define (D) merupakan langkah operasional pertama dalam
program peningkatan kualitas Six Sigma . Tahap define adalah fase
menentukan masalah dan menetapkan kebutuhan spesifik dari pelanggan
yang dalam hal ini sering disebut dengan suara pelanggan (VOC Voice
of Customer ). Setelah karakteristik kualitas yang terdefinisi
dalam bahasa konsumen tersebut diketahui, maka langkah selanjutnya
dalam tahap ini adalah menerjemahkannya ke dalam bahasa produsen
yaitu dalam parameter teknis (VOC & CTQ). 1) Voice of Customer
(VOC) dan Critical to Quality (CTQ) Kriteria spesifik dari konsumen
atas suatu produk disebut karakteristik kualitas riil ( Voice of
Customer ). Karakteristik ini dapat diidentifikasi dengan
pertanyaan Apa yang dipandang penting oleh pelanggan?. Menurut
Kano, Voice of Customer merupakan kumpulan kebutuhan pelanggan,
terdiri dari: Dissatisfiers. Kebutuhan yang diharapkan dalam suatu
produk. Kebutuhan ini merupakan pemberian, bukan bersumber dari
pelanggan. Jika kebutuhan tersebut tidak ada pada suatu produk maka
pelanggan akan tidak puas. Satisfiers. Kebutuhan dimana pelanggan
berkata Kami menginginkannya !. Pencapaian kebutuhan tersebut
menciptakan kepuasan. Exciters/Delighters. Fitur baru atau inovatif
diluar ekspektasi pelanggan. Kehadiran fitur tersebut membawa pada
persepsi tinggi akan kualitas.Voice of Customer ini dikategorikan
menjadi dua golongan, yaitu: Persyaratan output, berkaitan dengan
karakteristik atau features dari produk akhir (barang/jasa) yang
diserahkan kepada pelanggan pada akhir dari suatu proses.
Persyaratan output , pada dasarnya semua itu berkaitan dengan daya
guna ( usability ) atau efektivitas produk akhir tersebut dari
sudut pandang pelanggan. Persyaratan pelayanan Merupakan petunjuk
bagaimana pelanggan seharusnya diperlakukan atau dilayani selama
eksekusi dari proses itu sendiri. Persyaratan pelayanan cenderung
menjadi lebih subyektif dan peka terhadap situasi dibandingkan
persyaratan output yang biasanya dapat didefinisikan secara
konkret. b. Tahap Measure Measure (M) merupakan langkah operasional
kedua dalam program peningkatan kualitas Six Sigma . Terdapat dua
hal pokok yang harus dilakukan, yaitu:
(1) mengembangkan suatu rencana pengumpulan data melalui
pengukuran yang dilakukan pada tingkat output ,
(2) mengukur kinerja saat ini ( current performance ) pada
tingkat output untuk ditetapkan sebagai tolok ukur kinerja (
performance baseline ) pada awal proyek Six Sigma.
1) Mengukur Tolok Ukur Kinerja ( Performance Baseline )Sebelum
suatu proyek Six Sigma dimulai, maka harus diketahui tingkat
kinerja yang sekarang ( current performance ), atau dalam
terminologi Six Sigma disebut sebagai tolok ukur kinerja (
performance baseline ). Tolok ukur kinerja dalam proyek Six Sigma
biasanya ditetapkan menggunakan satuan pengukuran DPMO ( Defects
Per Million Opportunities ) dan SQL ( Sigma Quality Level ).
2) Pengukuran Tolok Ukur Kinerja Pada Tingkat Output Pengukuran
tolok ukur kinerja pada tingkat output dilakukan secara langsung
pada produk akhir (barang/jasa) yang akan diserahkan kepada
pelanggan. Pengukuran dimaksudkan untuk mengetahui sejauh mana
output akhir dari proses itu dapat memenuhi kebutuhan spesifik
pelanggan, sebelum produk tersebut diserahkan kepada
pelanggan.Rumus yang dipakai: Rata-rata sampel dalam subgroup -
adalah:
Rata-rata sampel dalam subgroup - adalah:
Rentang - adalah:
Standar Deviasi - adalah: Probabilitas cacat dalam DPMO untuk 1
batas spesifikasi:
, Probabilitas cacat dalam DPMO untuk 2 batas spesifikasi:
, Kapabilitas Sigma SQL c. Tahap Analyze Analyze (A) merupakan
langkah operasional ketiga dalam program peningkatan kualitas Six
Sigma . Tahap Analyze merupakan fase mencari dan menentukan akar
permasalahan. Pada tahap ini perlu dilakukan beberapa hal
berikut:
(1) menganalisis stabilitas dan kapabilitas proses, serta
(2) mengidentifikasi sumber-sumber penyebab kecacatan atau
kegagalan.
1) Perhitungan Stabilitas Proses a) Satu Batas Spesifikasi (USL
atau LSL) Rumus yang digunakan:
Uji Hipotesis:
H : Variasi proses berada dalam batas toleransi maksimum standar
deviasi 0 yang diharuskan pada tingkat sigma proses.
H : Variasi proses lebih besar daripada batas toleransi maksimum
standar 1deviasi yang diharuskan pada tingkat sigma proses.
Uji Hipotesis Chi-Kuadrat di atas digunakan untuk mengetahui
apakah variasi proses telah mampu memenuhi batas toleransi standar
deviasi maksimum (Smaks) pada tingkat kualitas (SQL) ertentu. b)
Dua Batas Spesifikasi (USL dan LSL)Rumus yang digunakan:
2) Perhitungan Kapabilitas Proses a) Satu Batas Spesifikasi (USL
atau LSL) , b) Dua Batas Spesifikasi (USL dan LSL) ,
Cpk (Indeks Kapabilitas Proses Aktual)
Cpm (Indeks Kapabilitas Proses Taguchi)
Indeks Cpm dapat diterapkan pada suatu interval spesifikasi yang
tidak simetris, dimana nilai spesifikasi target kualitas tidak
berada tepat di tengah nilai USL dan LSL.
Indeks Cpm dapat dihitung untuk tipe distribusi apa saja, tidak
mensyaratkan data harus berdistribusi normal. Hal ini berarti
perhitungan Cpm adalah bebas dari persyaratan distribusi data serta
tidak memerlukan uji normalitas lagi untuk mengetahui apakah data
yang dikumpulkan dari proses itu berdistribusi normal atau
tidak.
Dalam program peningkatan kualitas Six Sigma , biasanya
dipergunakan kriteria sebagai berikut:
Cpm = 2,00. Proses dianggap mampu dan kompetitif (perusahaan
berkelas dunia). 1,00 = Cpm = 1,99Proses dianggap cukup mampu,
namun perlu upaya-upaya giat untuk peningkatan kualitas menuju
target perusahaan berkelas dunia yang memiliki tingkat kegagalan
sangat kecil menuju nol ( zero defect oriented ).
Perusahaan-perusahaan yang memiliki nilai Cpm yang berada di
kisaran ini memiliki kesempatan terbaik dalam melakukan program
peningkatan kualitas Six Sigma Cpm < 1,00
Proses dianggap tidak mampu dan tidak kompetitif untuk bersaing
di pasar global. 3) Mengidentifikasi Sumber-Sumber Penyebab
Kecacatan atau Kegagalan Untuk dapat menemukan akar penyebab dari
suatu masalah, perlu dipahami prinsip yang berkaitan dengan hukum
sebab-akibat, yaitu:
Suatu akibat terjadi hanya jika penyebabnya itu ada pada titik
yang sama dalam ruang dan waktu.
Setiap akibat memiliki paling sedikit dua penyebab dalam
bentuk:
a. Controllable Causes : penyebab itu berada dalam lingkup
tanggung jawab dan wewenang manusia sehingga dapat diambil tindakan
untuk menghilangkan penyebab itu.
b. Uncontrollable Causes : penyebab yang berada di luar
pengendalian manusia.
Menemukan akar penyebab dari suatu masalah dapat dilakukan
dengan menerapkan prinsip 5 Whys , yaitu dengan bertanya mengapa
sebanyak 5 kali tentang terjadinya suatu akibat maka akan dapat
ditemukan dan dipahami sebab-sebab yang melatarbelakangi.
Selanjutnya akar-akar penyebab dari masalah yang ditemukan
melalui bertanya Why beberapa kali itu dapat dimasukkan ke dalam
Diagram Sebab Akibat.
a) Diagram Sebab Akibat Dalam industri manufaktur, pembuatan
diagram sebab-akibat ini dapat menggunakan konsep 5M-1E, yaitu:
machines, methods, materials, measurement, men/women, dan
environment. Sedangkan dalam bidang pelayanan dapat memakai
pendekatan 3P-1E yang terdiri dari: procedures, policies, people,
serta equipment .
d. Tahap Improve Tahap Improve (I) adalah fase meningkatkan
proses dan menghilangkan sebab-sebab timbulnya cacat. Setelah
sumber-sumber penyebab masalah kualitas dapat diidentifikasi, maka
dapat dilakukan penetapan rencana tindakan ( action plan ) untuk
melaksanakan peningkatan kualitas Six Sigma . Design of Experiment
(DoE) merupakan salah satu metode statistik yang digunakan untuk
meningkatkan dan melakukan perbaikan kualitas. Perubahan-perubahan
terhadap variabel suatu proses/sistem diharapkan akan memberi hasil
yang optimal dan cukup memuaskan.
Design of Experiment dapat didefinisikan sebagai suatu uji atau
rentetan uji dengan mengubah-ubah variabel input (faktor) suatu
proses sehingga bisa diketahui penyebab perubahan output (respon).
Terdapat beberapa jenis Design of Experiment , yaitu: DoE Satu
Faktor, Desain Faktorial, dan Desain Taguchi. e. Tahap Control
Control (C) merupakan langkah operasional terakhir dalam proyek
peningkatan kualitas Six Sigma . Pada tahap ini hasil-hasil
peningkatan kualitas didokumentasikan dan disebarluaskan,
praktek-praktek terbaik yang sukses dalam meningkatkan proses
distandardisasikan dan disebarluaskan, prosedur-prosedur
didokumentasikan dan dijadikan pedoman kerja standar, serta
kepemilikan atau tanggung jawab ditransfer dari Tim Six Sigma
kepada penanggung jawab proses, yang berarti proyek Six Sigma
berakhir pada tahap ini.
Hasil-hasil yang memuaskan dari proyek peningkatan kualitas Six
Sigma harus distandardisasikan, dan selanjutnya dilakukan
peningkatan terus-menerus pada jenis masalah yang lain mengikuti
konsep DMAIC. Standardisasi dimaksudkan untuk mencegah masalah yang
sama atau praktek-praktek lama terulang kembali.
Terdapat dua alasan melakukan standardisasi, yaitu:
1. Setelah periode waktu tertentu, dikhawatirkan manajemen dan
karyawan akan kembali menggunakan cara-cara kerja lama sehingga
memunculkan kembali masalah yang sudah pernah diselesaikan itu.
2. Terdapat kemungkinan apabila terjadi pergantian manajemen dan
karyawan, orang-orang baru akan menggunakan cara-cara kerja yang
dapat memuncul-kan kembali masalah yang sudah pernah diatasi oleh
manajemen dan karyawan terdahulu.
Berdasarkan uraian di atas, standardisasi sangat diperlukan
sesuai dengan konsep pengendalian kualitas yang berorientasi pada
strategi pencegahan (strategy of prevention), bukan hanya
berorientasi pada strategi pendeteksian ( strategy of detection)
saja.
PENGUMPULAN DATA1. Data pengukuran diameter pipa
a. Pipa I Diameter nominal (Dn) : 38,10 mm Radius bending (R) :
80 mm Toleransi ovality : 8 % Tabel 4.1: Data pengukuran diameter
pada Pipa I
b. Pipa II
Diameter nominal : 38,10 mm
Radius bending : 160 mm
Toleransi ovality : 5,95 %
tabel 4.2: Data pengukuran diameter pada Pipa II
c. Pipa III Diameter nominal : 50,80 mm
Radius bending : 300 mm
Toleransi ovality : 2,12 %
Tabel 4.3: Data pengukuran diameter pada Pipa III
d. Pipa IV
Diameter nominal : 63,50 mm
Radius bending : 300 mm
Toleransi ovality : 2,65 %
Tabel 4.4: Data pengukuran diameter pada Pipa IV
e. Pipa V
Diameter nominal : 76,20 mm
Radius bending : 500 mm
Toleransi ovality : 1,91 %
Tabel 4.5: Data pengukuran diameter pada Pipa V
HASIL1. Tahap Define
Beberapa variabel yang merupakan karakteristik kualitas dan
dapat dinyata-
kan dalam ukuran diantaranya adalah:
a. Diameter luar maksimal (Dmaks)[mm]
b. Diameter luar minimal (Dmin)[mm]
c. Ketidakbulatan ( Ovality )
[%]
2. Tahap Measure
Toleransi ovality untuk short radius (R = 250 mm):
Toleransi ovality untuk long radius (R > 250 mm):
Ketidakbulatan ( ovality ):
a. Tes Kecukupan DataDalam perhitungan ini diasumsikan tingkat
kepercayaan adalah 95 %:
Hasil tes kecukupan data:
Contoh perhitungan:
Karena N > N (21 > 2,28) maka data yang diambil dapat
dianggap cukup untuk keperluan pengolahan data. 2. Pengukuran
Tingkat Kapabilitas Sigma1) Pengukuran Kapabilitas Sigma Pipa I
a) DPMO Pipa I (Dn = 38,10 mm; R = 80 mm)
b) Kapabilitas Sigma Pipa I (Dn = 38,10 mm; R = 80 mm)
2) Pengukuran Kapabilitas Sigma Pipa II
a) DPMO Pipa II (Dn = 38,10 mm; R = 80 mm)
b) Kapabilitas Sigma Pipa II (Dn = 38,10 mm; R = 160 mm)
3) Pengukuran Kapabilitas Sigma Pipa III a) DPMO Pipa III (Dn =
50,80; R = 300 mm)
b) Kapabilitas Sigma Pipa III (Dn = 50,80; R = 300 mm)
4) Pengukuran Kapabilitas Sigma Pipa IV
a) DPMO Pipa IV (Dn = 63,50; R = 300 mm)
b) Kapabilitas Sigma Pipa IV (Dn = 63,50; R = 300 mm)
5) Pengukuran Kapabilitas Sigma Pipa V
a) DPMO Pipa V (Dn = 76,20; R = 500 mm)
b) Kapabilitas Sigma Pipa V (Dn = 76,20; R = 500 mm)
Contoh perhitungan untuk Pipa I (Dn = 38,10; R = 80 mm):
Rata-rata sampel:
Rentang:
Standar deviasi:
DPMO:
SQL = 3,64 (Lampiran 5) 3. Tahap Analyze
a. Analisis Stabilitas dan Kapabilitas Proses
1) Pipa I (Dn = 38,10 mm; R = 80 mm)
(Karena target spesifikasi tidak ditentukan pelanggan, hanya
diminta di bawah 8 %, maka T = X)
a) Perhitungan Stabilitas Proses:
Peta kendali Pipa I : b) Uji Hipotesis:
Maka Ho ditolak, sehingga dapat disimpulkan bahwa pada tingkat
kepercayaan 95%, variabilitas ovality pada Pipa I di atas lebih
besar daripada batas oleransi maksimum yang diharuskan pada tingkat
3,90-Sigma.
c) Perhitungan Kapabilitas Proses:
2) Pipa II (Dn = 38,10 mm; R = 160 mm)
a) Perhitungan Stabilitas Proses:
Peta kendali Pipa II
b) Uji Hipotesis:
Kesimpulan:
Pada tingkat kepercayaan 95 %, variabilitas ovality pada Pipa II
di atas lebih besar daripada batas toleransi maksimum yang
diharuskan pada tingkat 3,88-Sigma.
c) Perhitungan Kapabilitas Proses:
3) Pipa III (Dn = 50,80 mm; R = 300 mm)
a) Perhitungan Stabilitas Proses:
Peta kendali Pipa III
b) Uji Hipotesis:
Kesimpulan:
Pada tingkat kepercayaan 95 %, variabilitas ovality pada Pipa
III di atas lebih besar daripada batas toleransi maksimum yang
diharuskan pada tingkat 3,69-Sigma.
c) Perhitungan Kapabilitas Proses:
4) Pipa IV (Dn = 63,5 mm; R = 300 mm)
a) Perhitungan Stabilitas Proses:
Peta kendali Pipa IV
b) Uji Hipotesis:
Kesimpulan: Pada tingkat kepercayaan 95 %, variabilitas ovality
pada Pipa IV di atas lebih besar daripada batas toleransi maksimum
yang diharuskan pada tingkat 2,72-Sigma.
c) Perhitungan Kapabilitas Proses:
5) Pipa V (Dn = 76,20 mm; R = 500 mm)
a) Perhitungan Stabilitas Proses:
Peta kendali Pipa V
b) Uji Hipotesis:
Kesimpulan: Pada tingkat kepercayaan 95 %, variabilitas ovality
pada Pipa V di atas lebih besar daripada batas toleransi maksimum
yang diharuskan pada tingkat 2,69-Sigma.
c) Perhitungan Kapabilitas Proses:
b. Identifikasi Sumber-Sumber Penyebab Variabilitas Diagram
Sebab-Akibat variabilitas Ovality
Desain Eksperimen yang digunakan dalam skripsi ini adalah DoE
satu faktor, yaitu ANOVA ( Analysis of Variance ) dan Perbandingan
Berpasangan. Variabel input (faktor) yang digunakan adalah Radius
Bending dan Diameter Nominal, sedang variabel output (respon)
adalah Ovality . Hasil analisis adalah sebagai berikut:
a. Desain Eksperimen Radius Bending dengan Ovality
Minitab Project Report
Pembahasan: ANOVA
Pada desain eksperimen di atas, nilai a yang digunakan adalah 5
% (0,05). Kemudian, analisis di atas menunjukkan bahwa p-value
adalah sebesar 0. Karena p-value < a, maka dapat disimpulkan
bahwa variabel faktor (radius bending ) berpengaruh terhadap
variabel respon ( ovality ). Selain itu, nilai F ternyata sebesar
89,73, sedangkan nilai F(a; a-1, N-a) atau F(0,05; 11, 36) adalah
2,08. Jadi F > F(0,05; 11, 36), sehingga hipotesis awal ditolak
atau dengan kata lain F(0,05; 11, 36) radius bending memiliki
pengaruh yang cukup signifikan terhadap ovality pipa yang di-
bending .Perbandingan Berpasangan
Uji Dunnett
Uji ini menggunakan level kontrol radius bending 300 mm dan
tingkat kesalahan 5%. Output menunjukkan nilai kritis sebesar 2,43.
Apabila perbedaan rata-rata antara level faktor dengan rata-rata
level kontrol berada di atas nilai kritis, maka kesimpulannya
adalah ada perbedaan rata-rata ovality yang cukup signifikan antara
level faktor dengan level kontrol.
Selain itu jika dilihat dari interval rata-rata (antara nilai
lower dan upper ) maka terdapat interval yang memuat nilai nol
yaitu pada level faktor 500 mm. Sedangkan pada level faktor 80 mm
dan 160 mm tidak mencakup nilai nol. Hal ini berarti level faktor
di atas mempunyai perbedaan dengan rata-rata ovality pada level
kontrol radius 300 mm. Kesimpulannya adalah radius bending
berpengaruh terhadap perubahan ovality dari pipa. Uji Fisher
Aturan keputusan dalam menginterpretasikan Uji Fisher ini tidak
berbeda jauh dengan Uji Dunnett, yaitu apabila interval rata-rata
untuk sepasang level faktor yang dibandingkan memuat bilangan nol
maka keputusannya adalah keduanya memiliki rata-rata ovality yang
sama.
Hasil Uji Fisher menunjukkan bahwa dari ketiga perbandingan
berpasangan yang telah dilakukan, hanya antara level 300 mm dengan
500 mm yang memiliki rata-rata ovality yang sama. Sedangkan antara
300 mm dengan 80 mm dan 160 mm rata-rata ovality -nya berbeda. Jadi
dapat disimpulkan bahwa variabel radius bending berpengaruh
terhadap variabel ovality .
Kesimpulan: Hasil dari dua pengujian di atas (ANOVA dan
Perbandingan Berpasangan) menunjukkan bahwa radius bending ternyata
cukup berpengaruh terhadap ovality ipa. b. Desain Eksperimen
Diameter Nominal dengan Ovality
Minitab Project Report
Pembahasan: ANOVA
Pada desain eksperimen di atas, nilai a yang digunakan adalah 5
% (0,05). Kemudian, analisis di atas menunjukkan bahwa p-value
adalah sebesar 0. Karena p-value < a, maka dapat disimpulkan
bahwa variabel faktor (diameter nominal) berpengaruh terhadap
variabel respon ( ovality ). Selain itu, nilai F ternyata sebesar
106,36, sedangkan nilai F(a; a-1, N-a) atau F(0,05; 11, 36) adalah
2,08. Jadi F > F(0,05; 11, 36), sehingga hipotesis awal ditolak
atau dapat
diinterpretasikan bahwa diameter nominal berpengaruh terhadap
ovality pipa bending . Perbandingan Berpasangan
Uji Dunnett
Uji ini menggunakan level kontrol diameter nominal 38,1 mm dan
tingkat kesalahan 5 %. Output menunjukkan nilai kritis sebesar
2,43.
Selain dilihat dari nilai center, dari interval rata-rata
(antara nilai lower dan upper ) terlihat bahwa ketiganya tidak
mencakup nilai nol. Hal ini berarti semua level faktor di atas
tidak memiliki perbedaan yang cukup signifikan dengan rata-rata
ovality pada level kontrol diameter nominal 38,1 mm. Kesimpulannya
adalah diameter nominal tidak berpengaruh terhadap perubahan
ovality dari pipa. Uji Fisher
Hasil Uji Fisher menunjukkan bahwa dari ketiga perbandingan
berpasangan yang telah dilakukan, salah satu pasanganyaitu 50,8 dan
76,2ternyata memuat nilai nol. Berarti antara keduanya tidak
memiliki perbedaan rata-rata ovality yang mencolok. Selanjutnya
hasil Uji Fisher di atas dapat diringkas sebagai berikut:
Jadi dapat disimpulkan bahwa diameter nominal tidak terlalu
berpengaruh terhadap variabel ovality .
Kesimpulan: Hasil dari dua pengujian di atas (ANOVA dan
Perbandingan Berpasangan) menunjukkan bahwa diameter nominal
ternyata pengaruhnya sangat kecil terhadap ovality pipa.
e. Tahap Control
Prosedur-prosedur yang dapat didokumentasikan dan dijadikan
pedoman kerja standar sesuai analisa-analisa yang telah dilakukan
sebelumnya yaitu:
1. Lakukan uji coba terlebih dahulu terhadap spesimen yang
sejenis, terutama dengan radius bending yang sama.
2. Pelumasan harus dilakukan pada mandrel dan bending form dalam
setiap melakukan bending .
3. Mandrel harus sering diperiksa keausannya supaya celah dengan
pipa yang akan di- bending tidak terlalu renggang.
Proses Pengerjaan:
1. Beri tanda pada pipa untuk menentukan peletakan ujung mandrel
.
2. Letakkan pipa sesuai dengan posisi wiper shoe .
3. Lakukan setting mesin untuk melakukan bending dengan sudut
yang lebih besar daridesain untuk mengkompensasi spring-back yang
terjadi.
3. Lakukan proses bending sesuai dengan kecepatan yang telah
ditentukan sebelumnya.
4. Untuk sudut bending lebih besar dari 90, lakukan proses
secara bertahap dan dimulai dari sudut bending 90. KESIMPULAN
Penelitian tentang kualitas proses bending pipa untuk boiler jenis
pipa air yang dilakukan di PT. Indomarine Divisi Boiler dapat
diambil kesimpulan sebagai berikut: 1. Perusahaan berada pada
tingkat kualitas sigma rata-rata sebesar 3,38-Sigma dengan DPMO
sebesar 30.054. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan sudah berada
pada tingkat kualitas sigma yang cukup baik meski masih
memungkinkan untuk diperbaiki supaya produk yang dihasilkan dapat
lebih kompetitif. 2. Proses sudah cukup stabil karena dari semua
sampel yang diamati tidak ada yang melampaui control limit yang
diharuskan. Namun demikian, kapabilitas proses perlu ditingkatkan
karena hasil analisis menunjukkan tidak ada indeks kapabilitasbaik
Cpk maupun Cpmyang nilainya lebih dari 1.
3. Faktor Radius Bending pengaruhnya cukup signifikan terhadap
variabilitas ovality dari pipa yang mengalami proses bending . Oleh
sebab itu proses produksi yang melibatkan faktor ini harus
dilakukan dengan cermat dan teliti.
( 1