saridin: sang pembaharu Rabu, 26 Oktober 2011SOFT TISSUE TUMOR
I. PendahuluanSoft tissue tumor (STT) dapat merupakan suatu
neoplasma yang bersifat jinak atau ganas dan kadang ditemukan suatu
bentuk yang borderline. Perbandingan antara yang jinak dan ganas
kurang lebih 100:1. Soft tissue tumor tipe ganas yang berasal dari
jaringan mesenchymal disebut sebagai soft tissue sarcoma. Istilah
sarcoma berasal dari bahasa Yunani Sarkoma yang berarti suatu
bongkahan daging. Pada umunya sarcoma dibagi atas soft tissue
sarcoma, bone sarcoma, Ewing sarcoma dan Peripheral primitive
neuroectodermal tumors. Sejarah mengenai penemuan, pengetahuan dan
penatalaksanaan soft tissue sarcoma telah dimulai beberapa abad
yang lalu, yaitu mulai dari Galen (tahun 130-200 masehi) yang
menggangap tumor yang besar (fleshy tumor) sebagai suatu kanker.
Dengan diketemukanannya mikroskop cahaya pada tahun 1592,
pengetahuan tentang soft tissue sarcoma semakin berkembang, hingga
ditemukan mixoid liposarcoma oleh Marcus Sverinus (1580-1637) dan
suatu retroperitonel liposarcoma oleh Morgagni (1682-1771)(1).Pada
abad XVIII dan XIX, Bichat (1771-1801), Abernathy (1780-1848) dan
Laennec (1781-1826) adalah diantaranya yang memberikan kontribusi
mengenai morfologi kanker. Istilah soft cancer pertama kali
dikemukakan oleh Wardrop (1782-1869) seorang ahli bedah dari
Edinburgh. Terminologi soft cancer berbeda dengan carcinoma yang
telah dikemukakan oleh seorang neuroanatomist, Charles Bell
(1774-1842) dalam bukunya Surgical Observation yang dipublikasikan
tahun 1816(1). Pengetahuan tentang Soft tissue sarcoma terus
mengalami perkembangan hingga pada abad XIX melalui penelitian
cellular pathologist, yaitu Cruveilhier (1791-1874) dan Johannes
Muller (1801-1858) yang telah menguraikan mengenai asal sel dari
berbagi soft tumor. Pada Tahun 1838 Johannes Muller juga telah
membuat istilah Desmoid. Hal yang sangat penting, Virchow
(1821-1902) mengemukakan bahwa annis cellula et cellulare yang
berarti dimana sel berkembang, ada sebuah sel yang sebelumnya telah
ada(1). Mallory (1862-1920) meperkenalkan cara pengecatan jaringan
pada awal abad XX, dalam penelitian soft tissue sarcoma, mulai
dengan tehnik histopatologi dan menguraikan klasifikasi
histogenetik yang lebih luas dari sebelumnya(1,2).Pada tahun 1920,
di Mayo Klinik, Boders mengemukakan tentang jumlah pembelahan sel
pada tumor , indek mitosis yang mencerminkan potensial keganasan
dan membuat suatu ilustrasi yang diaplikasikan pada fibrosarcoma.
Sejak saat itu telah mulai dipertimbangkan mengenai grading
histopatologis sarcoma sebagai bagian yang vital dalam pemeriksaan
dan pertimbangan terapi dari tumor. Stout (1885-1967) dalam
publikasi monograf tahun 1932 juga menjelaskan mengenai morfologi,
dan treatment dari sarcoma. Dalam klasifikasinya mengenai soft
tissue sarcoma melibatkan histogenesis, grade malignancy termasuk
dalam aktivitas seluler dan mitosis(1). II. Insiden dan EtiologiDi
USA kejadian soft tissue sarcoma mencapai 7000-8000 kasus baru
pertahun. Secara umum angka kejadiannya adalah 1% dari keganasan
pada orang dewasa dan 15 % dari keganasan pada anak-anak.
Distribusi penderita berdasarkan jenis kelamin menurut Memorial
Sloan-Kettering Cancer Center (MSKCC) adalah sama antara laki-laki
dan perempuan. Sarcoma dapat berkembang pada setiap tempat, namun
secara anatomis kurang lebih setenganya terjadi di ekstremitas,
dengan prevalensi 32% ekstremitas bawah dan 13% ekstremitas
atas.
N=1993
Distribusi soft tissue sarcoma pada ekstremitas (MSKCC, 7/1982
12/2000)Angka kejadian soft tissue sarcoma di RSUP Dr. Kariadi
Semarang pada tahun 2009 sampai 2010 adalah sebanyak 81 penderita
dengan berbagai macam tipe histopatologi. Berdasarkan distribusi
jenis kelamin, laki-laki lebih banyak dari perempuan dengan
perbandingan 53% : 47% dan insiden tertingi pada umur antara 30-40
tahun.
Diagram 1: Distribusi penderita soft tissue sarcoma di RSUP Dr.
Kariadi Semarang bulan Januari 2009 sampai Desember 2010,
berdasarkan jenis kelamin
Diagram/ Grafik 2: Distribusi penderita soft tissue sarcoma
berdasarkan umur, di RSUP Dr. Kariadi Semarang bulan Januari 2009
sampai Desember 2010
Diagram 3: Distribusi penderita soft tissue sarcoma di RSUP Dr.
Kariadi Semarang bulan Januari 2009 sampai Desember 2010,
berdasarkan Letak Anatomis tumorDiagram 4: Distribusi penderita
soft tissue sarcoma di RSUP Dr. Kariadi Semarang DFSP
bulan Januari 2009 sampai Desember 2010, berdasarkan
Histopatologis tumorTidak ada agen spesifik sebagai etiologi pada
mayoritas penderita soft tissue sarcoma. Seperti umunya pada
penyakit keganasan bahwa faktor lingkungan, paparan bahan kimia,
dan radiasi ionisasi adalah merupakan faktor pemicu timbulnya soft
tissue sarcoma. Lymphedema yang menahun juga merupakan faktor
penyebab terjadinya lymphangiosarcoma, sebagaimana disebutkan dalam
sindroma Stewart Treves. Sindroma LiFreumani, Neurofibromatosis,
tuberosclerosis dan sindroma Gagner adalah merupakan sebagian
faktor predisposisi terjadinya sarcoma(2). III. Cytogenetik dan
Biologi Molekuler Soft Tissue SarcomaAktivasi beberapa jenis
oncogene dihubungkan dengan beberapa jenis sarcoma seperti Ewing
Sarcoma, Clear Cell sarcoma, Alveolar Rabdomyosarcoma, Desmoplastic
Small round cell tumor dan Synovial sarcoma. Inaktinvasi tumor
suppressor gene terutama Rb gene dan P53 memegang peranan penting
untuk terjadinya sarcoma. Ki67 juga merupakan gen yang dihubungkan
dengan grading histologis yang tinggi dan prognosis yang lebih
buruk(2). Pada sarcoma terjadi pengulangan translokasi kromosom
yang spesifik pada masing-masing tipe sarcoma. Translokasi kromosom
tersebut akan menghasilkan fusi gen yang sangat spesifik. Sebuah
konsep yang berhubungan dengan struktur translokasi tersebut adalah
bahwa genomic breaks (DNA-level) hampir selalu terjadi dalam intron
(tidak dalam exon) dan sequence dari exon mengapit chimeric intron
yang kemudian bergabung dalam transkripsi dan splicing untuk
membentuk sebuah chimeric mRNA. Intron dapat berukuran sangat besar
dan genomic breaks dapat terjadi hampir di setiap tempat
didalamnya, hal ini merupakan suatu alasan mengapa genomic DNA
tumor jarang dapat digunakan sebagai titik awal untuk mendeteksi
berbagai translokasi dengan polymeric chain reaction (PCR).
Sebaliknya, konsistensi dari gabungan flanking exon dengan
pemisahan transkrip pada mRNA sangat sesuai untuk deteksi molekuler
dengan PCR-based (dengan reverse-transcriptase PCR / RT-PCR)
Secara cytogenetic, translokasi kromoson dari berbagai tipe soft
tissue sarcoma telah diidentifikasi. Temuan macam-macan translokasi
kromosom tersebut telah memberikan wawasan mengenai patogenesis dan
dapat digunakan sebagai dasar diagnosis secara molekuler.Soft
Tissue SarcomasCytogenetic
Synovial cell sarcomaLiposarcoma (myxoid)Embryonal
RhabdomyosarcomaAlveolar Rhabdomyosarcoma (ARMS)Malignant fibrous
histiocytoma (MFH)Malignant peripheral nerve tumor
(MPNT)Extraskeletal myxoid chondrosarcomaPeripheral primitive
Neurorectodermal tumor (PNET)HemangiopericytomaUterine
leiomyosarcomat(X;18)(p11.2;;q11.2)t(12;16)(q13-14;p11)Trisomy
2qt(2;13)(q35-37;q14)lq11,3p12,11p11,19p13t(11;22)(q24;q11.2-12)t(9;15;22)(q31;q15;q12.2)t(11;22)(q24;q11.2-12)t(12;19)(q13;q13)t(12;14)
dan 12q5
Abnormalitas cytogenetik pada Soft Tissue Sarcoma(2)IV.
DiagnosisPada umumnya penderita dengan soft tissue sarcoma diawali
dengan keluhan timbunya benjolan yang tidak nyeri. Adanya benjolan
tersebut harus dibedakan antara lesi yang jinak dan ganas dengan
melihat tekstur, ukuran tumor, terfiksir pada struktur disekitarnya
dan kecepatan pertumbuhan tumor. Adanya masa pada penderita dengan
riwayat trauma harus diperhatikan bahwa kemungkinan trauma tersebut
sebagai penyebab awal terjadinya sarcoma. Benjolan sebagai tanda
awal yang tidak terasa nyeri tersebut sering dianggap sebagai hal
yang biasa oleh pasien sehinggga mereka tidak berobat atau
konsultasi ke dokter hingga benjolan semakin membesar dan
menimbulkan masalah yang lain, misal timbulnya ulkus, nyeri atau
ganguan lain akibat pendesakan tumor tersebut ke bagian jaringan
sekitar. Masa/ benjolan yang tumbuh pada jaringan intra abdoment,
baik intraperitoneal maupun retroperitoneal seringkali tidak
menimbulkan keluhan sampai tumor tersebut membesar dan menimbulkan
pendesakan pada organ sekitar. Hal ini merupakan salah satu faktor
yang sering menyebabkan keterlambatan dalam diagnosis soft tissue
sarcoma yang berasal dari organ/ jaringan intraabdoment.
Benjolan pada extremitas atas, Pada tahap lanjut timbul
ulkusyang tidak nyeriPemeriksaan imaging sebagai tambahan dari
pemerikasaan klinis penderita perlu dikerjakan, selain untuk
menegagkan diagnosis juga untuk staging. Pada pemeriksaan dengan
foto polos kadang-kadang didapatkan gambaran masa dengan
kalsifikasi. Foto polos pada ekstremitas dapat digunakan untuk
evaluasi adanya infiltrasi tumor pada tulang. Pemeriksaan imaging
lebih lanjut dapat dengan CT scan, MRI atau PET scan.Biopsi pada
tumor primer merupakan bagian yang penting sebelum treatment pada
penderita soft tissue tumor. Soft tissue tumor dengan ukuran yang
lebih beasar dari 5 cm harus dipertimbangkan untuk dilakukan biopsi
terlebih dahulu. Dengan biopsi dapat dilakukan pemeriksaan
histopatologi dan diharapkan dapat menentukan grade dari tumor.
Grade sangat penting untuk menentukan rencana terapi.Percutaneous
core-needle biopsy (CNB) memberikan hasil yang cukup memuaskan
untuk diagnosis beberapa soft tissue tumor. CNB dapat dilakukan
secara blind atau dengan image-guided. Dengan image-guided, biopsi
akan lebih terarah pada area tumor (tidak pada area sentral
nekrosis). Insisi biopsi merupakan pilihan kedua apabila dengan CNB
diagnostik masih belum bisa ditegakkan. Hal ini disebabkan oleh
karena adanya morbiditas yang harus dipertimbangkan dengan tindakan
insisi biopsi termasuk resiko anestesi, perdarahan dan penyembuhan
luka. Selain itu insisi biopsi juga memerlukan biaya yang lebih
besar. Eksisi biopsi merupakan pilihan pada neoplama yang kecil dan
letaknya superficial. Fine needle aspiration biopsy (FNAB) sebagai
alat bantu untuk menegakkan diagnosis soft tissue neoplasma masih
diperdebatkan. Hasil dari FNA pada lesi mesenchymal sangat
bervariasi dan tergantung beberapa faktor, diantaranya skill dari
aspirator dan keahlian interpretasi dari cytopathologist. Dengan
demikian akurasi diagnosis FNA sangat tergantung keahlian dan
pengalaman cytopathologist dalam diagnosis soft tissue sarcoma
dengan pemeriksaan sitologi. V. Klasifikasi Patologi dan
StagingTipe histology soft tissue sarcoma kurang lebih ada 70
jenis. Umumnya sarcoma diklasifikasikan menurut tipe sel normal
yang menyerupainya. Soft tissue sarcoma umunya mempunyai
karakteristik invasive lokal, metastasis umumnya secara hematogen
dan metastasis secarata lymfogen sangat jarang, kecuali pada
tipe-tipe tertentu kaitannya dengan sarcoma pada anak-anak.
Perangai dari masing-masing soft tissue sarcoma juga berbeda,
tergantung pada lokasi anatomis, grade dan pola histologis yang
spesifik pada masing-masing soft tissue sarcoma.GradingSetelah
ditegakkan diagnosis suatu soft tissue sarcoma, maka suatu hal
penting yang harus ditentukan adalah grading histologis. Gambaran
patologi yang menyokong dari grade malignancy adalah defferensiasi,
pleomorfisme, necrosis dan aktifitas mitosis. Ada beberapa skala
grading antara lain, four grade system menurut Broderss, three
grade system (low, intermediate, high) menurut American Joint
Commission on Cancer (AJCC) dan Sistem Binary (high vs Low) yang
digunakan MSKCC. Sistem AJCC pertama dipublikasikan tahun 1992
berdasar ukuran tumor primer (T), keterlibatan limfenode (N),
adanya metastasis (M) dan tipe serta grade dari sarcoma (G) . The
Fdration Nationale des Centres de Lutte Contre le Cancer Grading
System for Soft Tissue SarcomasDifferentiation ScoreMitoses Score
(per 10 HPF)Necrosis Score
Sarcomas resembling adult mesenchymal tissueSarcomas of certain
histotypeEmbryonal/undifferentiated sarcomas and sarcomas of
uncertain histotype0-910-1920 or moreNo necrosis50% necrotic
Estimasi rentang derajad keganasan berdasar tipe histologi dan
grade
The National Cancer Institute Grading System for Soft Tissue
SarcomasCommon Histologic Types
Grade 1Grade 2Grade 3
Well-differentiated liposarcomaMyxoid liposarcomaDeep-seated
dermatofibrosarcoma protuberanSome leiomyosarcomasEpithelioid
hemangioendotheliomaSpindle cell hemangioendotheliomaInfantile
fibrosarcomaSubcutaneous myxofibrosarcomaPleomorphic
liposarcomaFibrosarcomaMFH Malignant hemangiopericytomaSynovial
sarcomaLeiomyosarcomaNeurofibrosarcomaOr0%-15% necrosisAlveolar
rhabdomyosarcomaSoft tissue osteosarcomaPrimitive neuroectodermal
tumorAlveolar soft part sarcomaMesenchymal chondrosarcomaOr>15%
necrosis
Grading histologi yang rendah sering berhubungan dengan
rekurensi lokal sedangkan Grading histologi yang tinggi sering
berhubungan dengan terjadinya metastasis jauh. Adanya mutasi P53 ,
over ekspresi P53 pada inti, dan indek proliferasi Ki -67
berhubungan dengan high grade dan survival yang jelek. Akan tetapi
marker biologi tersebut merupakan indikator prognosis yang
independent dan tidak dapat digunakan dalam menentukan grade dari
soft tissue sarcoma.Grade berdasar histotogi:Gx : Grade belum dapat
dinilaiG1 : Grade 1G2 : Grade 2G3 : Grade 3StagingSistem klasik
berdasarkan American Joint Committee on Cancer (AJCC) tahun 1977
adalah pada stadium I-II dibedakan berdasarkan grade dan stadium IV
bila didapatkan metastasis. Sistem AJCC pertama dipublikasikan
tahun 1992 berdasar ukuran tumor primer (T), keterlibatan limfenode
(N), adanya metastasis (M) dan tipe serta grade dari sarcoma (G).
Staging Soft Tissue Sarcoma berdasar AJCC
VI. Immunohistokimia Pada Soft Tissue SarcomaImmunohistokimia
merupakan tehnik analisa dengan berdasarkan reagent antibody pada
lokasi spesifik epitop dalam jaringan. Ekspresi antigen-antigen
tertentu atau cluster dari antigen adalah khas pada beberapa tumor.
Didapatkan ribuan monoclonal dan polyclonal antibody yang tersedia
untuk membantu menegakkan diagnosis tumor, akan tetapi hanya dalam
jumlah terbatas yang telah mempunyai makna pada praktek dalam
diagnosis soft tissue sarcoma. Intermediate filament merupakan
komponen utama dari cytoskeletal dan terdiri dari lima sub group
komponen utama yaitu vimentin, cytokeratin, desmin, neurofilamen,
glial fibrillry acidic protein (GFAP) dan sub kelompok minor
seperti nestin dan peripherin). Sementara Intermediate filament
secara spesifik diekspresikan oleh sel-sel tertentu (seperti
cytokeratin pada karsinoma, vimentin pada sarcoma).Vimentin
merupakan protein Intermediate filament yang mempunyai berat
molekul 57-kDa dan diekspresikan pada semua sel mesenchymal.
Vimentin yang merupakan ubiquitin diekspresikan pada semua sel
selama awal embriogenesis dan kemudian secara bertahap menempati
sel-sel sesuai dengan tipe spesifik dari Intermediate filament.
Vimentin juga diekspresikan oleh sarcomatoid karsinoma, oleh karena
itu penggunaannya sebagai imunohistokimia untuk membedakan antara
sarcoma dengan karsinoma sangat terbatas. Dalam diagnosis, Vimentin
sering digunakan untuk menentukan primer dari karsinoma tertentu,
yang mempunyai ekspresi kuat sebagai petunjuk pada ginjal,
endometrial, dan karsinoma thyroid.Cytokeratin merupakan family
protein Intermediate filament yang sangat komplek, yang mempunyai
lebih dari 20 protein. Cytokeratin mempunyai berat molekul 40-67
kDa. Cytokeratin merupakan marker yang sangat sensitive untuk
identifikasi karsinoma dan umumnya digunakan sebagai marker untuk
membedakan antara bentuk tumor epitelial dan non epithelial
(seperti limfoma, sarcoma dan melanoma).Desmin merupakan protein
Intermediate filament yang berhubungan dengan otot polos dan otot
skeletal. Pada otot skeletal desmin berlokasi pada zone Z diantara
myofibril. Pada otot polos berhubungan dengan cytoplasmic dense
body dan subplamental dense plaques. Desmin juga diekspresikan oleh
sel-sel selain otot termasuk sel reticulum fibroblastic dari
lymfenode, sub mesothelial fibroblast, dan sel stromal endometrial.
Desmin diekspresikan hampir 100% oleh rhabdomyosarcoma pada semua
subtype termasuk pada differensiasi yang sangat jelek.Actin
merupakan suatu protein ubiquitin, diekspresikan oleh semua tipe
sel. Pad umunya aktin dapat dikelompokkan dalan muscle dan non
muscle isoform yang berbeda pada asam amino dalam protein dengan
berat molekul 43.000. Sementara ada monoklonal antibodi yang dapat
mengidentifikasi semua isoform actin (seperti clone C4) yang
sensitif pada semua tehnik imunohistokima yang ada, antibodi ini
tidak dapat digunakan untuk membedakan muscle dari actin non
muscle. Antibodi HHF35 telah digunakan secara luas untuk
identifikasi sel muscle, yang dapat menguraikan spesifitas dari
actin muscle (dibandingkan dengan non muscle). Antibodi 1A4 adalah
monoclonal antibodi yang spesifik untuk identifikasi isoform actin
pada smooth muscle, dan dapat digunakan untuk membedakan dengan
skeletal muscle. Ada beberapa marker yang digunakan differensiasi
nerve sheath antara lain protein S-100, Caludin-1, Glut-1, CD57,
p75NTR. Protein S-100 mempunyai berat molekul 20 kDa dan dinamakan
demikian oleh karena mempunyai kelarutan 100% pada ammonium
sulfate. Proteinnya terdiri atas 2 subunit, yaitu dan yang
kombinasinya terdiri atas 3 isotipe. Isotype - didapatkan pada
myokardium, otot skeletal, dan neuron. Isotype - ada pada
melanosit, glia, chondrocyte, dan adnexa kulit. Isotype - pada sel
langerhans dan sel schwan. Immunohistokimia protein S-100 dapat
ditemukan pada beberapa jaringan normal antara lain neuron dan
glia, sel schwan melanosit, sel langerhans, interdigatating
reticulum cells pada lymfenode, chondrocyte, dan duktus kelenjar
keringat, kelenjar ludah dan payudara, kelenjar serous paru,
neuroblast fetal dan sel sustentakuler pada medulla adrenal. Dalam
diagnosis soft tissue neoplasma, protein S-100 sangat bermakna
sebagai marker untuk benigna dan maligna pada nerve sheath tumor
dan melanoma. Protein S-100 diekspresikan dengan kuat, uniform pada
schwanoma dan pada malignant peripheral nerve sheath tumor hanya
40-80% dan diekspresikan lemah. Pada semua tipe malignant melanoma
termasuk pada variant desmoplastic dan sarcomatoid hampir selalu
menunjukkan positif kuat pada protein S-100. Hanya 2-3% dari
melanoma yang menunjukkan negatif pada protein S-100.Claudin-1
dapat untuk menentukan struktur ikatan (tight junction structure)
dan permeabilitas yang diekspresikan oleh jaringan, seperti misal
ekspresi claudin-1 hampir selalu didapatkan diantara epitel dan
claudin-3 hanya terbatas pada epitel paru dan liver. Claudin akan
berikatan dengan protein transmembran membentuk kompleks dengan
protein transmembran yang lain seperti junctional adhesion molecule
(JAM) dan occludin dan berinteraksi dengan scaffolding protein
seperti ZO-1, ZO-2 dan ZO-3. Dalam klinis, claudin-1 digunakan
sebagai marker untuk perineurioma, yang mana 20-09% positif pada
perineurioma.Glut-1 merupakan tipe protein glukose erythrocyte
transporter yang mempunyai peranan dalam transport glukosa diantara
barier epitel dan endotel jaringan. Ekspresi protein Glut-1
didapatkan pada perineurial sel normal dan perineurial tumor baik
jinak maupun ganas. Glut-1 juga diekspresikan dalam jumlah sedikit
pada epitheloid sarcoma dan diantara vascular tumor ekspresi Glut-1
khususnya didapatkan pada semua juvenile capillary hemangioma,
tetapi tidak pada tumor vascular pediatrik yang lain termasuk pada
malformasi vaskuler. CD57 merupakan protein dengan berat molekul
110-kDa secara normal didapatkan pada permukaan natula cell killer
dan lymphocyte T. Meskipun immunoreaktivitas CD57 didapatkan pada
sebagian besar malignant peripheral nerve sheath tumor namun dalam
prosentase yang cukup signifikan juga positif pada sarcoma yang
lain termasuk synovial sarcoma dan leiomyosarcoma. Kekurangan dari
CD57 dalam diagnosis immunohistokimia adalah spesifitas yang
terbatas. p75NTR diekspresikan sampai 80% oleh malignant peripheral
nerve sheath tumor dan hampir semua schwanoma, granular sel tumor
dan neurofibroma. Akan tetapi sama dengan CD57, p75NTR ekspresinya
tidak hanya terbatas pada malignant peripheral nerve sheath tumor
akan tetapi juga pada sarcoma yamg laintermasuk synovial sarcoma
dan malignant melanoma. CD99 merupakan glikoprotein transmembran
dengan berat molekul 30-32 kDa (p30/32). Penggunaan yang sangat
penting dari antibody CD99 adalah untuk diagnosis immunohistokimia
Ewings sarcoma/ primitive neuroectodermal tumor (ES/ PNET). Dari
beberapa penelitian menyebutkan bahwa lebih dari 90% ES/ PNET
mengekspresikan CD99. CD99 juga diekspresikan lebih dari 90% olek
lymphoblastic Lymphoma , 20-25% primitive rabdomyosarcoma, lebih
dari 75% pada poorly differentiated synovial sarcoma, kurang lebih
50% pada mesenchymal chondrosarcoma dan jarang pada kasus small sel
osteosarcoma dan intra-abdominal desmoplastic round cell
tumor.Marker Imunohistokimia Pada Soft Tissue Sarcoma
AntibodiDiekspresikan oleh
CytokeratinVimentin DesminGlial Fibrillary acidic
proteinNeurofilamensPan-Muscle ActinSmooth muscle actinMyogenic
nuclear regulatory protein (myogenin, MyoD1)S-100 protein
Epithelial membrane antigenCD99 (MIC2 gene product)CD45 (Leucocyte
common antigen)CD30 (Ki-1)CD68Melanosome-specific antigen (HMB-45,
Melan-A, tyrosinase, microphthalmia transcription factor) MDM2/
CDK4Claudin-1Glut-1Protein kinase C 0Bcl-2Carcinoma, Epiteloid
sarcoma, synovial sarcoma, beberapa angiosarcoma dan
leiomyosarcoma, Mesothelioma, extrarenal rhabdoid tumorSarcoma,
Melanoma, beberapa carcinoma dan lymphomaTumor jinak dan ganas pada
smooth & skeletal muscle Glioma, pada beberapa
schwannomasNeuroblastic tumorsTumor jinak dan ganas pada smooth
& skeletal muscle, myofibroblastik tumor dan pseudotumorTumor
jinak dan ganas pada smooth muscle, myofibroblastik tumor dan
pseudotumorRhabdomyosarcomaMelanoma, benign & malignant
peripheral nerve sheath tumor, cartilagenous tumor, normal adiposa
tissue, Langerhans cellsCarcinoma, epitheloid sarcoma, synovial
sarcoma, perineurioma, meningioma, Anaplastic large cell
lymphomaEwing sarcoma / primitive neuroectodermal tumor, beberapa
rhabdomyosarcoma, beberapa synovial sarcoma, lymphoblastic
lymphoma, mesenchymal chodrosarcoma, small cell asteosarcomaNon
Hodgkin LymphomaAnaplastic large cell Lymphoma, Embrional
carcinomaMacrophages, fibrihistiocytic tumors, granuler cell
tumors, various sarcoma, melanoma, carcinomasMelanoma, PEComa,
clear cell sarcoma, melanotic schwannomaAtypical lipomatous tumor
and differentiated liposarcomaPrineurioma, Synovial sarcoma,
epitheloid sarcoma, beberapa Ewing sarcoma / primitive
neuroectodermal tumor/ PNETPrineurioma, infantile
hemangiomaGISTSynovial sarcoma, solitary fibrous tumor, other
spindle cell tumor
Keterlibatan gen sebagai penyokong diagnosis soft tissue
sarcoma, berdasarkan NCCN 2010
Keterlibatan Gen sebagai penyokong Diagnosis soft tissue
sarcoma, berdasarkan NCCN 2010VII. Pemeriksaan Imaging.Pemerikasaan
radiologi pada soft tissue tumor telah mengalami revolusi secara
dramatik semenjak setelah abad XX, oleh karena diketemukannya
Computed Tomografi (CT) dan kemudian Magnetic Resonance Imaging
(MRI). Pada pemeriksaan imaging hal-hal yang diharapkan adalah, 1.
Untuk mengidentifikasi dan mengetehahui karakteristik dari lesi2.
Membedakan suatu proses neoplasma atau non neoplasma3. Menegakkan
suatu diagnosis yang spesifik atau kemungkinan differensial
diagnosis.4. Sebagai penunjuk arah biopsi pada lesi jaringan5.
StagingDengan adanya pemeriksaan imaging yang bertehnologi tinggi,
pemeriksaan foto rontgen sering kali ditinggalkan dalam evaluasi
suatu soft tissue tumor. Pemeriksaan dengan foto rontgen sering
normal dan kurang bermanfaat untuk pemeriksaan suatu soft tissue
tumor. Meskipun foto rontgen tidak dapat menguraikan secara lebih
detail, namun karena ketersediaannya yang cukup luas dan harganya
yang tidak mahal, pemeriksaan ini masih dapat digunakan sebagai
pemeriksaan awal pada soft tissue tumor. Penggunaan imaging
cross-sectional seperti USG, CT dan MRI memberikan hasil yang lebih
baik dalam pemeriksaan soft tissue tumor. Beberapa kelebihan dan
kekurangan dari masing-masing pemeriksaan
imagingModalitasKelebihanKekurangan
Foto rontgenUltrasoundCTMRI Nuclear MedicineMurahTersedia secara
luasKalsifikasi merupakan gambaran patognomonik yang khas untuk
identifikasi adanya suatu kelainanDapat untuk identifikasi awal
abnormalitas tulangMurahTersedia secara luasCross-sectional
multiplanarReal-time (dynamic) scanningTidak menimbulkan
radiasiSangat baik untuk evaluasi lesi yang superfisialExecellent
untuk membedakan lesi kistik dan solidDapat mengidentifikasi
kalsifikasiUS doppler dapat mengevaluasi vascularitasCross
sectional multiplanar imagingOptimal imaging dalam mendeteksi /
mengetahui karakter calsifikasiBaik untuk lesi pericapsularBaik
untuk lesi pada abdomen/ dinding dada Tidak ada radiasi
ionisasiCross sectional multiplanar imaging, merupakan metode yang
sangat optimal untuk membedakan karakteristik komponen soft tissue
yang mengalami lesiMethode optimal untuk staging
anatomisIntermediate costGallium: dapat membedakan MPNST (uptake)
dengan BPNST (no uptake)Non cross-sectional imagingTidak spesifik
Tidak dapat mengidentifikasi adanya suatu masa yang kecilAdanya
radiasi ionisasiOperator dependentHigh learning curveBeberapa lesi
tidak dapat dijangkauAbnormalitas awal dari tulang tidak dapat
dievaluasiSecara anatomis tidak dapat untuk staging dengan
baikMempunyai keterbatasan untuk mendeteksi lemak pada lesiSering
terbatas pada lapang pandangTidak menunjukkan karakteristik yang
baik pada kalsifikasi.MahalRadiasi ionisasiTidak sebaik pada
resolusi kontras pada MRIPerlu image post kontrasPotensial alergi
pada kontrasMungkin perlu imaging pada dua sisi untuk perbadingan
(extremitas)Ketersediaan terbatasMahalKadang perlu kontras
(potensial alergi)Ada beberapa kontraindikasi ( claustrophobia,
beda asing logam, pacemaker)Tidak begitu baik dalam identifikasi/
evaluasi karakteristik dari kalsifikasiNon cross-sectional
imagingNon spesifikRadiasi ionisasi
Beberapa hal penting dalam evaluasi soft tissue sarcoma adalah
mengenai lokasi dan karakteristik termasuk ukuran, morfologi,
bentuk dan perluasannya. Lokasi merupakan suatu hal yang sangat
penting sebagai petunjuk diagnostik. Penggunaan kontras secara
intravena dalam pemeriksaan CT atau MRI dapat meningkatkan resolusi
kontras pada evaluasi soft tissue tumor. Tehnologi kedokteran
nuklir belum mempunyai peran utama dalam evaluasi soft tissue
tumor. Pada saat ini FDG (Fluorine-18 fluro-2-deoxy-D-Glukose)
positron emission tomografi (PET) telah digunakan dalam pemeriksaan
soft tissue tumor dengan mengukur aviditas dari turnover glukosa
(dihitung secara kuntitatif menggunakan standardized uptake value /
SUV). Peranan dari FDG PET dalam membedakan tumor jinak dan ganas
(SUV lebih dari 2-3), evaluasi dalam treatment neoplasma dan
evaluasi recurensi neoplasma setelah pembedahan sampai saat ini
masih dalam penelitian. VIII. PenatalaksanaanOperasi merupakan
terapi primer pada soft tissue sarcoma yang masih terlokalisir.
Dengan eksisis lokal luas sampai margin jaringan normal, recurent
rate adalah 10-31%, diseksi sepanjang pseudokapsul (enukleasi atau
shelling out) kemungkinan terjadi lokal recurent adalah antara
33%-63%. Batas-batas margin pada soft tissue sarcoma tidak dapat
ditentukan secara tepat, tergantung dari letak anatomis tumor dan
jaringan lunak sekitar tumor.Pada saat ini, kurang lebih 90% pasien
dengan sarcoma pada ekstremitas yang masih terlokalisir dilakukan
penatalaksanaan dengan limb-sparing treatment. Penggunaan
multimodalitas limb-sparing treatment approach untuk sarcoma pada
ekstremitas adalah berdasarkan suatu trial fase III dari US
National Cancer Institute (NCI). Berdasarkan random trial dari NCI
dan MSKCC didaptkan suatu evidence untuk memberikan tambahan
operasi dengan radiasi sebagai standart approach pada pasien dengan
superficial trunk dan ekstremitas yang masih operable. Radioterapi
memberikan beberapa efek samping. Adanya efek samping dari radiasi
seperti edema, fibrosis, dan induksi keganasan sekunder akibat
radiasi memberikan suatu alternatif pilihan untuk terapi
pembedanhan saja tanpa radiasi. Akan tetapi seleksi pasien harus
benar-benar tepat pada pemberian unimodalitas operasi. Kriteria
penting terenasuk lokasi anatomis dan surgical margin yang
adequate. Amputasi merupakan pilihan terapi pada pasien dengan
tumor primer yang locally advanced. Kriteria seleksi pasien untuk
amputasi adalah:- Pada pemeriksaan radiologi didapatkan
keterlibatan pembuluh darah utama, tulang, atau saraf termasuk
apabila dilakukan reseksi tumor primer dengan limb sparing akan
didapatkan hilangnya fungsi atau jaringan yang tidak
viable.Tindakan diseksi limfenode bukan merupakan prosedur rutin
pada soft tissue sarcoma. Insiden metastase limfenode sangat rendah
(2-3%) pada pasien dewasa dengan soft tissue sarcoma yang masih
lokalized. Akan tetapi pada psien dengan angiosarcoma, embrional/
alveolar rhabdomyosarcoma, clear cell sarcoma, dan epitheloid
sarcoma mempunyai resiko metastasis limfenode yang lebih tinggi.
Pada pasien-pasien tersebut sebaiknya dipertimbangkan untuk
sentinel limfenode biopsi sebagai bagian dari terapi definitif
operasi. Limfenode diseksi sebaiknya dilakukan pada pasien dengan
keterlibatan limfenode secara patologi dan secara radiologis tidak
didapatkan adanya metastasis jauh. Limfenode diseksi dapat
menghasilkan survival rate sebesar 34%. Pada umunya Prognosis
pasien dengan metastasis limfenode sama dengan metastasis visceral.
Kemoterapi merupakan terapi utama pada pasien soft tissue sarcoma
dengan metastasis (stage IV). Penggunaan kemoterapi dalam setting
sebagai adjuvan masih merupakan kontroversi. Akan tetapi pada Ewing
sarcoma/ primitive neuroectodermal tumor (PNET), Rhabdomyosarcoma,
dan osteogenis sarcoma adjuvant atau neoadjuvant kemoterapi
merupakan suatu standart terapi yang tepat. Dengan pemberian
kemoterapi disease free survival pada 10 tahun meningkat dari 45%
menjadi 55%, lokal desease free survival pada 10 tahun juga
meningkat dari 75% menjadi 81%. Overall survival pada 10 tahun juga
meningkat dari 50% menjadi 54% akan tetapi tidak signifikan secara
statistik.Neoadjuvant kemoterapi secara teori memberikan bebrpa
kentungan, anata lain dapat mengetahui sensitivitas kemoterapi
secara in vivo, dapat memberikan terapi sedini mungkin setelah
diagnosis pada occult metastasis dan sitoreduksi oleh kemoterapi
dapat menurunkan morbidatas operasi. Kombinasi Ifosfamide merupakan
pilihan regiment untuk neoadjuvant kemoterapi.DAFTAR
PUSTAKA1.Brennan M.F., Lewis J.J., 2002, Diagnosis and Management
of Soft Tissue Sarcoma, Martin Dunitz Ltd., United kingdom2. Weiss
S.W., Goldblum J.R., 2008, Soft Tissue Tumors, Fifth Edition, Mosby
Elsevier, China3. Manuaba, T.W., 2010, Panduan Penatalaksanaan
Kanker Solid, Peraboi 2010, Sagung Seto, Jakarta4. Fletcher C.D.M.,
Unni K.K., Martens F., 2002, Pathology and Genetic of Tumours of
Soft Tissue and Bone, IARC Press, Lyon5. Brown F.M., Fletcher
C.D.M., Problems in Grading Soft Tissue Sarcomas, Am J. Clin Pathol
2000;114(Suppl 1):S82-S896. Schuetze S.M., Baker L.H., Benjamin
R.S., Conetta R., Selection of Response Criteria for Clinical
Trials of Sarcoma Treatment, The Oncologist 2008;13 (suppl 2):32-40
www.TheOncologist.com7. NCCN Practice Guidelines in Oncology, 2010,
Soft Tissue sarcoma, www.nccn.org8. Yu G.H., Sack M.J., Baloch Z.,
Gupta P.K., Difficulties in the fine needle aspiration (FNA)
diagnosis of schwannoma, Cytopathology 1999, 10, 1861949. Chan
A.S., Thorner P.S, Squire J.A., Zielenska M., Identification of a
novel gene NCRMS on chromosome 12q21 with differential expression
between Rhabdomyosarcoma subtypes, Oncogene (2002) 21, 3029 3037,
www.nature.com/onc10. Kilpatrick S.E., Bergman S, Pettenati M.J.,
Gulley M.L., The usefulness of cytogenetic analysis in fine needle
aspirates for the histologic subtyping of sarcomas, Modern
Pathology (2006) 19, 815819, www.modernpathology.org11. Noy A.,
Scadden D.T., Lee J., Dezube B.J., Aboulafia D., Tulpule A.,
Walmsley S., Gill P., Angiogenesis Inhibitor IM862 Is Ineffective
Against AIDS-Kaposis Sarcoma in a Phase III Trial, but Demonstrates
Sustained, Potent Effect of Highly Active Antiretroviral Therapy,
Journal of Clinical Oncology,2005; 23:990-99812. Hawkins D.S.,
Schuetze S.M., Butrynski J.E., Rajendran J.G., Vernon C.B.,. Conrad
III E.U., Eary J.F., [18F]Fluorodeoxyglucose Positron Emission
Tomography Predicts Outcome for Ewing Sarcoma Family of Tumors,
Journal of Clinical Oncology,2005; 23:8828-8834.13 DAdamo D.R.,
Anderson S.E., Albritton K.., Yamada J., Riedel E., Scheu K.,
Schwartz G.K., Chen H., Maki R.G., Phase II Study of Doxorubicin
and Bevacizumab for Patients With Metastatic Soft-Tissue Sarcomas,
Journal of Clinical Oncology, 2005; 23:7135-7142.Diposkan oleh Dr
Darwito SH,SpB(K)onk di 07.22 Tidak ada komentar:Poskan
KomentarPosting Lebih Baru Posting Lama Beranda Langganan: Poskan
Komentar (Atom) PengikutMengenai Saya
Dr Darwito SH,SpB(K)onk SEMARANG, JAWA TENGAH, IndonesiaSaya
adalah lahir ,di PATI,Jawa Tengah Indonesia , 3 Feb 1960.Hoby Olah
raga , khususnya renang , membaca buku , museum ( koleksi benda
pusaka "tosan aji" baik keris , tombak dll) ,pemerhati budaya jawa
.Lihat profil lengkapku Arsip Blog 2014 (1) 2011 (2) Oktober (2)
SOFT TISSUE TUMOR