BAB 1 PENDAHULUAN Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih adekuat. Penyakit SLE adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh organ tubuh mulai dari ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. Manifestasi klinis yang muncul heterogen dan hampir melibatkan semua sistem organ tubuh. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui. 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 1PENDAHULUAN
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai
organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan
awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan.
Sampai saat ini penyebab SLE belum diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi, dan
lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE.
Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah
dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat. Salah satu faktor
adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk ini perlu upaya penyebarluasan gambaran
klinis kasus SLE yang perlu diketahui sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih
adekuat.
Penyakit SLE adalah suatu penyakit yang menyerang seluruh organ tubuh mulai dari
ujung kaki hingga ujung rambut, yang disebabkan oleh penurunan kekebalan tubuh manusia, dan
lebih dikenal penyakit sebagai autoimun. Manifestasi klinis yang muncul heterogen dan hampir
melibatkan semua sistem organ tubuh. Penyakit ini sebenarnya telah dikenal sejak jaman Yunani
kuno oleh Hipokrates, namun pengobatan yang tepat belum diketahui.
1
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi 1,2,3
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah suatu penyakit autoimun yang ditandai
oleh produksi antibodi terhadap komponen- komponen inti sel yang berhubungan dengan
manifestasi klinis yang luas. SLE adalah penyakit radang multisistem yang sebabnya belum
diketahui, dengan perjalanan penyakit yang mungkin akut dan fulminan atau kronik remisi
dan eksaserbasi disertai oleh terdapatnya berbagai macam autoantibodi dalam tubuh.
2.2 Epidemiologi 1,2,3,4
90% pasien SLE adalah wanita umur subur, walaupun semua jenis kelamin, umur, dan
kelompok ras dapat terkena. Perbandingan antara penderita perempuan dan laki-laki adalah
8:1. Kemungkinan terjadi pada ras negro 3 kali lebih besar dibandingkan ras Caucasoid. Suatu
survei epidemiologi di Amerika menunjukkan bahwa angka kematian dan kesakitan
tertinggi berada di kalangan Negro, kemudian diikuti oleh orang-orang dari Puerto
Ricans baru oleh orang-orang kulit putih. Perbedaan ras, disebabkan oleh variasi normal
dari g globulin, di mana kadar ini lebih tinggi di kalangan kaum Negro.
Prevalensi SLE ada tendesi familiar. Faktor keluarga berkisar 10%, di mana anggota
keluarga yang menderita SLE, mempunyai angka insidens yang meningkat untuk penyakit
ini. SLE sering terjadi pada usia dewasa muda dengan puncaknya pada perempuan pada usia
30-an, dan pada laki-laki pada usia 40-an. Walaupun insidensi SLE masih tidak diketahui dan
SLE dapat ditemukan pada semua usia namun didapatkan bahawa 20% kasus SLE mulai pada
masa anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun.
Pada penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris dilaporkan bahawa kelainan
ginjal pada SLE lebih sering ditemukan di populasi Asia. Prevalensi penyakit SLE di Indonesia
belum dapat dipastikan secara tepat, karena system pelaporan masih berupa laporan kasus
dengan jumlah penderita terbatas. Isidensi dan prevalensi penyakit SLE telah berubah secara
dramatis menjadi semakin meningkat sejak 1970. Hal ini disebabkan karena tersedianya sarana
diagnostic yang lebih baik yaitu criteria ACR 1997 untuk diagnosis penyakit SLE dan
pemeriksaan laboratorium penunjang yang lebih baik.
2
2.3 Patofisiologi dan Etiologi 1,3,5,6
Penyakit SLE terjadi akibat terganggunya regulasi kekebalan yang menyebabkan
peningkatan autoantibodi yang berlebihan. Gangguan imunoregulasi ini ditimbulkan oleh
kombinasi antara faktor-faktor genetik, hormonal dan lingkungan.
Pada wanita respons imun selular maupun humoral lebih besar dibandingkan pada
pria. Wanita yang terpapar kontraseptif oral yang mengandung estrogen atau terapi sulih
hormone memiliki peningkatan risiko SLE (1,2 hingga 2 kali lipat). Estradiol berikatan
dengan reseptor pada limfosit T dan B, kemudian akan meningkatkan aktivasi dan daya tahan
dari sel ini, sehingga menunjang respons imun yang memanjang.
Aktivasi imun dari sel yang bersirkulasi atau yang terikat jaringan diikuti dengan
peningkatan sekresi proinflammatorik tumor necrosis factor (TNF) dan interferon tipe 1 dan
2 (IFNs), dan sitokin pengendali sel B, B lymphocyte stimulator (BLyS) serta Interleukin
(IL)-10. Peningkatan regulasi gen yang dipicu oleh interferon merupakan suatu petanda
genetik SLE. Namun, sel lupus T dan natural killer (NK) gagal menghasilkan IL-2 dan
transforming growth factor (TGF) yang cukup untuk memicu CD4+ dan inhibisi CD8+.
Akibatnya adalah produksi autoantibodi yang terus menerus dan terbentuknya kompleks
imun, dimana akan berikatan dengan jaringan target, disertai dengan aktivasi komplemen dan
sel fagositik yang menemukan sel darah yang berikatan dengan Imunoglobulin. Aktivasi dari
komplemen dan sel imun mengakibatkan pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptida
vasoaktif, dan enzim perusak. Pada keadaan inflamasi kronis, akumulasi growth factors dan
sel imun akan memicu pelepasan kemotoksin, sitokin, kemokin, peptide vasoaktif, dan enzim
perusak. Selain itu, akumulasi dari growth factor dan produk oksidase kronis berperan
terhadap kerusakan jaringan ireversibel pada glomerulus, arteri, paru-paru, dan jaringan
lainnya.
Pada SLE, sel tubuh sendiri dikenali sebagai antigen. Target antibodi pada SLE
adalah sel beserta komponennya yaitu inti sel, dinding sel, sitoplasma dan partikel
nukleoprotein. Karena didalam tubuh terdapat berbagai macam sel yang dikenali sebagai
antigen maka akan muncul berbagai macam autoantibodi pada penderita SLE. Peran
antibodi-antibodi ini dalam menimbulkan gejala klinis belum jelas diketahui. Beberapa
ahli melaporkan kerusakan organ disebabkan oleh efek langsung antibodi atau melalui
pembentukan komplek imun. Kompleks imun akan mengaktifasi sistem komplemen untuk
3
melepaskan C3a dan C5a yang merangsang sel basofil untuk membebaskan vasoaktif
amin seperti histamin yang menyebabkan peningkatan permeabilitas vaskuler yang akan
memudahkan mengendapnya kompleks imun. Pembentukan kompleks imun ini akan
terdeposit pada organ sehingga menimbulkan reaksi peradangan pada organ tersebut. Sistem
komplemen juga akan menyebabkan lisis selaput sel sehingga akan memperberat
kerusakan jaringan yang terjadi. Kondisi inilah yang menimbulkan manifestasi klinis SLE
tergantung dari organ mana yang terkena. Inflamasi akan menstimulasi antigen yang
selanjutnya serangsang antibodi tambahan dan siklus tersebut berulang kembali.
Faktor genetik mempunyai peranan yang sangat penting dalam kerentanan dan
ekspresi penyakit SLE. Sekitar 10% – 20% pasien SLE mempunyai kerabat dekat ( first
degree relative) yang menderita SLE. Angka kejadian SLE pada saudara kembar identik (24-
69%) lebih tinggi daripada saudara kembar non-identik (2-9%). Penelitian terakhir
menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan antara lain haplotip MHC terutama HLA-
DR2 dan HLA-DR3, komponen komplemen yang berperan pada fase awal reaksi pengikatan
komplemen yaitu C1q, C1r, C1s, C3, C4, dan C2, serta gen-gen yang mengkode reseptor sel
T, imunoglobulin, dan sitokin.
Faktor penyebab dari penyakit ini belum seluruhnya diketahui. Beberapa faktor
pencetus yang dilaporkan menyebabkan kambuhnya SLE adalah, stress fisik maupun mental,
infeksi, paparan ultraviolet dan obat-obatan. Obat-obat tertentu seperti hidralazin,
prokainamid, isoniazid, klorpromazin dan beberapa preparat antikonvulsan di samping
makanan seperti kecambah alfalfa turut terlibat dalam penyakit SLE akibat senyawa kimia
atau obat-obatan.
Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi kemunculan SLE. Paparan
terhadap cahaya ultraviolet akan menyebabkan serangan SLE pada sekitar 70% pasien,
kemungkinan terjadi akibat peningkatan apoptosis pada sel kulit atau adanya perubahan
DNA dan protein intraseluler dan membuatnya menjadi antigenik. Sepertinya, beberapa
infeksi memicu respons imun yang normal dan mengandung beberapa sel T dan B yang
mengenal self-antigen. Pada SLE, sel-sel tersebut tidak beregulasi dengan baik dan produksi
autobodi kemudian terjadi. Virus Eipsten Barr mungkin merupakan agen infeksi yang dapat
memicu SLE pada seseorang yang memiliki predisposisi genetik. Anak dan orang dewasa
dengan SLE cenderung terinfeksi EBV dibandingkan kelompok kendali umur, jenis kelamin,
4
dan etnis. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan bertahan pada sel tersebut
dalam beberapa dekade.
Kebanyakan pasien SLE mempunyai autoantibodi hingga 3 tahun bahkan lebih sebelum
gejala pertama penyakit ini, menandakan bahwa regulasi mengendalikan derajat autoimun
untuk beberapa tahun sebelum kualitas dan kuantitas dari autoantibodi dan sel B dan T yang
patogen cukup untuk menyebabkan gejala klinis.
GAMBAR 1: Hipotesis pathogenesis penyakit SLE. (Dikutip dari: Nguyen et al
“Hypothetical pathways involved in the pathogenesis of SLE” Arthritis Research 2002,
Vol.4:3, pp.S255.)
5
2.4 Mortalitas dan Morbiditas 3
Perjalanan alamiah penyakit SLE sangat bervariasi dari penyakit dengan gejala ringan
hingga penyakit yang progresif cepat dan fatal. Sebagian besar pasien yang terdiagnosis berusia
antara 14-64 tahun, dan gejala SLE biasanya hilang timbul selama hidup penderita. Pasien
dengan kelainan kulit dan muskuloskeletal saja memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi
dibanding penyakit dengan keterlibatan renal dan susunan saraf pusat. Meski terdapat perbaikan
angka harapan hidup, pasien dengan SLE tetap memiliki risiko kematian 3 kali lebih tinggi
dibanding populasi umum.
Angka harapan hidup 10 tahun saat ini telah mendekati 90%, lebih baik dibanding
sebelum tahun 1955, angka harapan hidup 5 tahun tidak sampai 50%. Penurunan angka kematian
ini kemungkinan adanya perbaikan dalam kriteria diagnosis, sehingga penderita yang
terdiagnosis lebih dini akan lebih mudah diterapi. Perbaikan sistem penatalaksanaan dan semakin
baiknya pelayanan medik juga merupakan faktor yang berpengaruh. Sepertiga kasus terkait SLE
yang meninggal di Amerika Serikat terjadi pada pasien yang berusia kurang dari 45 tahun.
Kematian terkait SLE spesifik, seperti nefritis, biasanya terjadi pada onset 5 tahun
pertama sejak gejala SLE muncul. Komplikasi infeksi yang berhubungan dengan SLE aktif,
sekarang juga telah menjadi penyebab penting pada awal-awal penyakit. Penyakit kardiovaskular
dan keganasan, yang mungkin berhubungan dengan inflamasi kronik dan terapi sitotoksik,
menjadi penyebab utama kematian jangka panjang. The Framingham Offspring Study
mendemonstrasikan bahwa wanita berusia 35-44 tahun dengan SLE memiliki risiko miokard
infark 50 kali lebih besar dibanding wanita sehat. Penyebab percepatan penyakit arteri koroner
sebenarnya multifaktorial, yaitu disfungsi endotel, mediator inflamasi, atherogenesis akibat
steroid, dan dislipidemia akibat gangguan renal. Lupus aktif (34%), infeksi (22%), penyakit
kardiovaskular (16%), dan keganasan (6%) menjadi penyebab kematian pada 144 dari 408
pasien dengan SLE yang dimonitoring selama 11 tahun.
2.5 Manifestasi Klinis 1,3,4,10
Penyakit SLE menyerang banyak sistem dari tubuh, sehingga kemunculan dan perjalanan
penyakitnya bervariasi. SLE adalah suatu penyakit yang ditandai dengan peningkatan sistem
kekebalan tubuh sehingga antibodi yang seharusnya ditujukan untuk melawan bakteri maupun
virus yang masuk ke dalam tubuh berbalik merusak organ tubuh itu sendiri seperti ginjal, hati,
6
sendi, sel darah merah, leukosit, atau trombosit. Karena organ tubuh yang diserang bisa berbeda
antara penderita satu dengan lainnya, maka gejala yang tampak sering berbeda.
Jika ditemukan trias demam, nyeri sendi dan rash pada wanita usia subur, harus
dipikirkan kemungkinan terjadinya SLE. Ini karena, ketiga gejala ini merupakan manifestasi
klinis yang paling sering pada penderita SLE.
GAMBAR 2: Manifestasi klinis SLE.( Dikutip dari:
http://www.lupus-support.org.uk/Nurse/CONT.htm, diakses pada tanggal 4 Oktober 2010)
Pada onsetnya, SLE dapat melibatkan satu atau beberapa sistem organ. Dalam selang
waktu tertentu, gejala tambahan dapat terjadi. Beberapa autoantibodi spesifik dapat ditemukan
pada saat munculnya gejala klinis. Tingkat keparahan SLE beragam mulai dari ringan dan
intermediate sampai parah dan fulminan. Beberapa pasien mengalami eksaserbasi diantarai oleh