B A B I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rohingya adalah nama sebuah etnis di Arakan, Myanmar Utara, yang terpinggirkan oleh pemerintahan junta militer. Mereka, dianggap sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui secara penuh kewarganegaraannya oleh pemerintah Burma. Tidak seperti golongan etnik lain yang setidaknya diakui warganegaranya oleh rezim Burma, masyarakat Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara dan tidak mendapat hak kewarganegaraan penuh. Mereka diharuskan mendapat izin sebelum menikah, dan izin tersebut biasanya disahkan setelah beberapa tahun. Pergerakan merekapun dibatasi, mereka diharuskan mendapat izin bahkan untuk singgah ke desa lainnya, dan sering dihalangi untuk mendapat pengobatan dan pendidikan. 1
107
Embed
Skripsi Tentang Penanganan Pemerintah Indonesia Terhadap Pengungsi Rohingya
BABI PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rohingya adalah nama sebuah etnis di Arakan, Myanmar Utara, yang terpinggirkan oleh pemerintahan junta militer. Mereka, dianggap sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui secara penuh kewarganegaraannya oleh pemerintah Burma. Tidak seperti golongan etnik lain yang setidaknya diakui
warganegaranya oleh rezim Burma, masyarakat Rohingya dianggap sebagai penduduk sementara dan tidak mendapat hak kewarganegaraan penuh. Mereka diharuskan mendap
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
B A B I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Rohingya adalah nama sebuah etnis di Arakan, Myanmar Utara,
yang terpinggirkan oleh pemerintahan junta militer. Mereka, dianggap
sebagai orang-orang yang tak bernegara dan tidak diakui secara penuh
kewarganegaraannya oleh pemerintah Burma.
Tidak seperti golongan etnik lain yang setidaknya diakui
warganegaranya oleh rezim Burma, masyarakat Rohingya dianggap
sebagai penduduk sementara dan tidak mendapat hak kewarganegaraan
penuh. Mereka diharuskan mendapat izin sebelum menikah, dan izin
tersebut biasanya disahkan setelah beberapa tahun. Pergerakan
merekapun dibatasi, mereka diharuskan mendapat izin bahkan untuk
singgah ke desa lainnya, dan sering dihalangi untuk mendapat
pengobatan dan pendidikan.
Sebagai “orang asing”, masyarakat Rohingya tidak diperbolehkan
bekerja sebagai pengajar, perawat, abdi masyarakat atau dalam layanan
masyarakat, dan di wilayah Rohingya, para pengajarnya biasanya berasal
dari golongan etnik Budha Rakhine, yang seringkali menghalangi
kesempatan untuk mendapatkan pendidikan bagi masyarakat Rohingya.
Pemerkosaan dan kerja paksa adalah hal yang cukup lazim, serta
1
seringnya pemerasan terhadap mereka. Tentara meminta uang dari
mereka dan ketika mereka tidak dapat membayar, mereka akan ditahan
dan disiksa.1
Masyarakat Rohingya juga mengalami penyiksaan secara religi,
hampir tidak mungkin bagi mereka untuk mendapat izin renovasi,
perbaikan dan pembangunan Masjid. Dalam tiga tahun terakhir,
setidaknya 12 Masjid di Arakan Utara dihancurkan, dengan jumlah
terbesar di tahun 2006. Sejak 1962, tidak ada Masjid baru yang dibangun.
Bahkan para pemimpin agama telah dipenjara karena merenovasi Masjid.
Perlakuan rezim Burma terhadap kaum minoritas Muslim Rohingya,
disebut-sebut “seburuk-buruk perlakuan terhadap kemerdekaan manusia”.
Seorang pejabat senior Perserikatan Bangsa-Bangsa (yang dalam
penulisan selanjutnya penulis singkat dengan kata PBB) yang sering
bertugas ke daerah-daerah krisis kemanusiaan menggambarkan
kekejaman yang terjadi di Utara Arakan, bagian barat Burma, “Kalian akan
mengerti arti kesengsaraan ketika kalian melihatnya”.2
Kesengsaraan Muslim Rohingya sudah dimulai sejak tahun 1978
oleh Junta Myanmar, akibatnya ratusan ribu orang mengungsi ke negara-
1 Pengungsi Rohingya enggan kembali ke Myanmar, Hanin Mazaya, 05 Februari 2009, (http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/3292/pengungsi-rohingya-enggan-kembali-ke-myanmar.) diakses 16 Maret 2009, pukul 15:10 WITA.
2 Kabar dari seberang ‘nasib pengungsi Rohingya’, Muhammad Yusuf, 26 Februari 2009, (http://www.hinamagazine.com/news/nasib-pengungsi-rohingya.html.) diakses 16 Maret 2009, pukul 15:15 WITA.
negara tetangganya dalam keadaan yang sangat memprihatinkan. Antara
lain mereka mengungsi ke perbatasan Burma dengan India. Suasana
kelaparan sangat terlihat di daerah-daerah pengungsian tersebut. Di
Perbatasan Cina, wanita-wanita Rohingya dijual ke tempat-tempat
prostitusi. “United Nations High Commissioner for Refugees” (yang dalam
penulisan selanjutnya penulis singkat dengan kata UNHCR) pernah
memulangkan sekitar 200 ribu warga Rohingya ke Burma, namun banyak
yang kembali kepengungsian.
Mereka tak sanggup bertahan di daerah asalnya. “Selama
pelecehan hak-hak kemanusiaan masih terjadi di Burma, kami tidak akan
kembali. Kami terjebak antara mulut buaya dan ular, kemana kami akan
pergi ?” ujar salah seorang pengungsi3. Mereka bingung, pemerintah
Burma menganggap Rohingya itu orang Bengal, sedangkan pemerintah
Bangladesh juga mengusir mereka karena Rohingya itu orang Burma.
“Kemana kami akan pergi ?”4
Tidak hanya pemerintah Burma yang mengintimidasi mereka,
bahkan Junta pun menggembar-gemborkan gerakan anti Islam di
kalangan masyarakat Budha Rakhine dan penduduk Burma sebagai
bagian dari kampanye memusuhi Rohingya. Gerakan ini berhasil,
3 Solidaritas untuk pengungsi rohingya di aceh, Muhammad Ardan, 11 Januari 2009, (http://www.siwah.com/news/jurnalis-oposisi-burma-mengunjungi-pengungsi-rohingya.html.) diakses 16 Maret 2009, pukul 15:18 WITA.
4 Pengungsi Rohingya enggan kembali ke Myanmar, Hanin Mazaya, 05 Februari 2009, (http://www.arrahmah.com/index.php/news/read/3292/pengungsi-rohingya-enggan-kembali-ke-myanmar.), Ibid.
masyarakat Rohingya menghadapi diskriminasi oleh pergerakan
demokrasi Burma. Sebagian masyarakat Rakhine dan Burma menolak
untuk mengakui Rohingya sebagai golongan etnik, dan mereka telah
ditolak dalam keanggotaan Dewan Nasional Etnis. “Muslim Arakan”,
“Muslim Burma” atau “Bengal dari Burma” adalah nama-nama yang
disematkan kepada Rohingya sebagai bahan ejekan.
Seharusnya Myanmar dapat bercermin kepada Kanada ataupun
Australia yang tetap mempertahankan politik multikulturalisme yaitu tetao
membiarkan kominitas-komunitas budaya tetap hidup berdampingan
tanpa kehilangan identitasnya, kehidupan yang saling menghargai
keyakinan dan pandangan budaya masing-masing diutamakan dalam
persatuan yang dibentuk5.
Masyarakat Rohingya bukan sekadar mepertahankan identitas
etnis mereka di Burma, perjuangan yang mereka lancarkan di daerahnya
juga untuk tetap membuat Islam berdiri di Burma. Rohingya, sejak tahun
1978 berteriak, menjerit sekeras-kerasnya kepada dunia, namun suara-
suara itu hilang ditelan bumi, terhalang tembok-tembok rezim dan hilang
terbawa angin.
Pada akhir tahun 2008 yang lalu, mereka secara terpaksa
melarikan diri dari Myanmar akibat penderitaan fisik dan batin mereka
setelah mengalami perlakuan yang kurang manusiawi oleh tentara
5 Hendra, Nurtjahjo. 2005. Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta : Rajawali Pers. Hlm. 58
4
Myanmar. Sampai di Thailand, mereka pun mengalami nasib yang tak
jauh berbeda dengan perlakuan yang mereka terima di negara asal. Militer
Thailand, dengan perlakuan khas militernya, dengan sewenang-wenang
melepas mereka kembali di Thailand dengan memberi bekal makanan
seadanya. Tidak ada perlakuan diplomatis. Hanya bahasa kekerasan
yang layak dipilih untuk orang-orang Rohingya, mungkin begitulah doktrin
militer Thailand sebagaimana apa yang mereka lakukan terhadap muslim
di Thailand selatan6.
Sepanjang sejarah manusia dibelahan bumi manapun selalu
terpaksa melarikan diri dari tempat kelahirannya mencari tempat untuk
berlindung dari penganiayaan, kekerasan, maupun konflik bersenjata,
namun baru pada awal abad ke-20 negara-negara menyadari bahwa
untuk melindungi pengungsi dibutuhkan kerjasama global7. Begitupun kini
yang dialami oleh Indonesia baru-baru ini yaitu pada bulan Januari 2009,
sampailah para Pengungsi Rohingya di Sabang, Aceh. Mereka ditampung
oleh para nelayan di sana, sekedar untuk bertahan hidup sembari menanti
investigasi yang jelas tentang motif kedatangan mereka.
Menurut beberapa harian ibukota, sebagian besar motif mereka
adalah mencari perlakuan yang lebih manusiawi. Tak salah apabila
6 Rohingya kaum muslim yang terpinggirkan (http//.Sunu Wibirama _ [Cerdas-Terampil-Taqwa] » Blog Archive » Rohingya, Kaum Muslim yang Terpinggirkan.htm) diakses 16 Maret 2009, pukul 16:20 WITA.
7 UNHCR, 2005, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. Switzerland : Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi. Hlm 5
5
Indonesia meminta PBB untuk melindungi etnis Rohingya dari perlakuan
buruk pemerintah junta. Ini di dukung pula dengan salah satu pasal dalam
konstitusi kita yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk bebas
dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat martabat
manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari negara lain8.
Namun, menerima mereka sebagai warga pengungsi yang
mendapat suaka pun tak mudah. Setidaknya, Indonesia telah berusaha
menunjukkan perlakuan yang baik terhadap pendatang, sekalipun belum
tentu secara administratif mereka bisa menjadi warga negara Indonesia.
Setidaknya, negeri dengan mayoritas muslim ini bisa menunjukkan
pelajaran penting untuk menghargai minoritas. Sebuah pelajaran yang
sangat berharga untuk para negara kampiun Hak Asasi Manusia9.
Dalam menangani para pengungsi ini maka perlu dilakukannya
kerjasama, baik dari negara-negara yang bersangkutan maupun dari
Komisaris Tinggi PBB yang khusus menangani pengungsi UNHCR, serta
LSM-LSM yang ingin terlibat didalam menangani permasalahan ini.
Karena melindungi pengungsi adalah tugas dan tanggung jawab
negara, maka kerjasama antara negara dan UNHCR sangat penting,
pemerintah bekerjasama dengan UNHCR dalam beberapa cara, misalnya
8 Fandi Ahmad dan Tim Setia Kawan. UUD 1945 Amandemen Pertama – Ke empat (1999 - 2002). Jakarta : Setia Kawan. Pasal 28G ayat 2, Hlm. 23
9 Serambinews ‘Etnis rohingya akan di deportasi’, A. Suryadi, 07 Februari 2009, (http://www.serambinews.com/index.php/2009/02/07/enis-rohingya-akan-di-deportasi.) diakses pada 16 Maret 2009, pukul 15:21 WITA.
jawab dan beban tersebut. Karena kepergian pengungsi (Internasional)
dan pengungsi Internal ‘IDP (Internal Displacement Persons) sering
bertumpang tindih, dan hasilnya koordinasi kegiatan secara tunggal
seringkali menjadi pemecahan yang paling masuk akal, terutama selama
operasi pemulangan kembali ketika IDP diungsikan atau kembali kelokasi
geografis yang sama dengan para pengungsi (Internasional)11.
Masalah pengungsi telah menjadi isu internasional yang harus
segera ditangani. Komitmen masyarakat internasional untuk menentang
segala bentuk tindakan pelanggaran HAM berat, baik itu kejahatan
perang, kejahatan terhadap kemanusiaan, genosida, atau kejahatan
lainnya, yang menjadikan cikal bakal lahirnya pengungsi ini, yang didalam
peraturan perundang-undangan Indonesia hanya mengatur 2 (dua) saja
yaitu genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan12.
Maka dalam bentuk penanganannya maka komitmen masyarakat
internasional ini ditandai dengan berhasil ditandatanganinya Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Status Pengungsi “Convention
Relating to the Status of Refugees 1951” (yang dalam penulisan
selanjutnya penulis singkat dengan kata Konvensi 1951) oleh beberapa
negara di Jenewa, Swiss, pada tanggal 2 sampai dengan 25 Juli 1951
yang lalu. Konvensi ini sendiri telah diterima secara resmi oleh Majelis
11 UNHCR. 2007. Pengungsi Dalam Negeri Sendiri (IDP) Pertanyaan dan Jawaban. Hlm. 13
12 Pasal 7 . UU No. 26 tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia, (UUNO262000ttgPengadilanHAM.AdobeAcrobatDocument) diakses pada 21 Desember 2009, pukul 21:10 WITA
8
Umum PBB berdasarkan Resolusi No. 429 (V)13. Serta Protokol Tentang
Status Pengungsi 1967 “Protocol Relating to the Status of Refugees 1967”
(yang dalam penulisan selanjutnya penulis singkat dengan kata Protokol
1967) yang ditanda tangani oleh Presiden Majelis Umum dan Sekretaris
Jenderal pada 31 Januari 196714.
Alasan dihadirkannya Konvensi 1951 oleh PBB oleh karena agar
setiap negara dapat bertanggung jawab dan menjamin agar hak warganya
dihormati, oleh karenanya perlindungan internasional hanya diperlukan
jika perlindungan nasional tidak diberikan atau tidak ada. Pada saat itu,
tanggung jawab utama untuk memberikan perlindungan internasional
terletak pada negara dimana individu mencari suaka.
Setiap negara mempunyai tugas umum untuk memberikan
perlindungan internasional sebagai kewajiban yang dilandasi hukum
internasional, termasuk hukum hak azasi internasional dan hukum adat
internasional. Jadi negara-negara yang menjadi peserta / penanda-tangan
Konvensi 1951 mengenai status pengungsi dan / atau Protokol 1967
mempunyai kewajiban-kewajiban seperti yang tertera dalam perangkat-
perangkat tersebut (tentang kerangka hukum bagi perlindungan
pengungsi dan pencari suaka).
13 Konvensi mengenai status pengungsi, 1951, (http://www.unhcr.or.id /Data/KonfensidanProtokol.pdf.) diakses pada 16 Maret 2009, pukul 16:09 WITA. Hlm. 9
14 Protokol mengenai status pengungsi 1967, (http://www.unhcr.or.id /Data/KonfensidanProtokol.pdf.). Hlm. 2
9
Dalam praktiknya, banyak negara-negara yang kemudian
menangani pengungsi yang tidak sesuai standar internasional yang sudah
diatur dalam Konvensi 1951 dan Protocol 1967, sebut saja Negara
Thailand, yang telah melanggar pasal 33 konvensi 1951 mengenai
larangan pengusiran atau pengembalian (Refoulement) yang ia lakukan
kepada para Pengungsi Rohingya yang datang ke negaranya.
Dapat kita bayangkan, jika banyak negara melakukan hal yang
sama seperti yang dilakukan oleh Negara Thailand terhadap pengungsi
yang datang ke wilayahnya. Oleh karenanya keterlibatan UNHCR sangat
penting untuk menentukan kebutuhan masyarakat serta merancang dan
melaksanakan program-program bersama. Semua lapisan dalam
masyarakat, baik perempuan, anak-anak, maupun yang lanjut usia harus
dikonsultasikan dan disertakan dalam semua aspek dan tahap kegiatan
perlindungan dan bantuan, khususnya untuk menghilangkan trauma
(perubahan yang menimbulkan krisis emosional dan stress mental)15 yang
mereka pernah alami dinegaranya.
Jika pengungsi laki-laki, perempuan, dan anak-anak dilibatkan
secara aktif, mereka akan merasa lebih percaya kepada pihak-pihak yang
membantunya serta membangun rasa memiliki atas program-program
yang dilaksanakan untuk mereka. UNHCR dapat memberikan yang
15 Jalaluddin, Rakhmat. 2005. Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar. Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm. 25
10
terbaik berupa perlindungan hukum yang efektif jika kebutuhan dasar
orang tersebut juga terpenuhi16.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas serta
melihat arti penting dari standar penanganan pengungsi yang sudah diatur
dalam Konvensi 1951, maka penulis dapat merumuskan masalahnya
sebagai berikut :
1. Dapatkah Indonesia terikat dengan kewajiban-kewajiban yang
diatur dalam konvensi 1951 dalam penanganan pengungsi ?
2. Apakah status Pengungsi Rohingya sudah sesuai dengan
kriteria yang telah ditetapkan oleh Konvensi 1951 ?
3. Seberapa besar penanganan yang dilakukan pemerintah
Indonesia terhadap pengungsi Rohingya yang ada
diwilayahnya?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui permasalahan-permasalahan pengungsi dan
diberikan solusi yang tepat.
2. Untuk mengetahui apakah penanganan pemerintah Indonesia
dalam menangani pengungsi sudah sesuai prosedur yang diatur
dalam Konvensi 1951 atau belum.
3. Untuk mengetahui kekurangan-kekurangan pemerintah
Indonesia dalam menangani Pengungsi Rohingya, dan 16 UNHCR. 2007. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Hlm. 21
11
dikemudian hari kekurangan-kekurangan ini paling tidak dapat
terpenuhi.
D. Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat atau berguna baik
secara teoritis maupun praktikal.
1. Kegunaan Teoritis :
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
sumbangan pemikiran bagi perkembangan hukum internasional
dan nasional terutama dalam penanganan pengungsi.
2. Kegunaan Praktikal :
a. Sebagai bahan informasi atau masukan terhadap
proses penanganan pengungsi sesuai yang diatur
dalam Konvensi 1951 dan Protokol 1967 mengenai
status pengungsi.
b. Untuk mengetahui kendala-kendala yang dihadapi
dalam proses penanganan pengungsi.
12
B A B II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Umum
1. Pengungsi
Definisi pengungsi dalam perangkat internasional, itu
tertuang dalam Konvensi 1951, Konvensi pengungsi OAU
(Organization Africa Union), Deklarasi Kartagena Amerika Latin
1984 (the Latin American Cartagena Declaration)17, serta organ
khusus PBB yang mengurusi pengungsi UNHCR. Definisi
pengungsi yang utama terdapat dalam Konvensi 1951, dan didalam
Konvensi 1951 definisi pengungsi18 terdiri dari :
a. pasal penyertaan, menentukan kriteria yang digunakan untuk menentukan apakah seorang individu dapat dianggap pengungsi. Pasal-pasal ini merupakan dasar penentuan apakah seseorang layak diberi status pengungsi.
Didalam pasal penyertaan ini diatur bahwa Untuk memperoleh status pengungsi, seseorang harus mempunyai ketakutan yang beralasan karena ras, agama, kebangsaan, keanggotaannya didalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politik yang dimilikinya, berada di luar Negara kebangsaannya/bekas tempat menetapnya, dan tidak dapat atau ingin dikarenakan ketakutannya itu, memperoleh perlindungan dari negaranya atau kembali ke negaranya.
b. pasal pengecualian, menolak pemberian status pengungsi kepada seseorang yang memenuhi syarat pada pasal penyertaan atas dasar orang tersebut tidak memerlukan atau tidak berhak mendapatkan perlindungan internasional.
Didalam pasal pengecualian ini diatur bahwa walaupun kriteria pasal penyertaan seperti yang telah dijelaskan diatas terpenuhi, permohonan status pengungsi seseorang akan ditolak jika ia sudah menerima perlindungan atau bantuan dari lembaga PBB selain UNHCR, atau diperlakukan sebagai sesama warga di Negara tempatnya menetap, dan melakukan pelanggaran yang serius sehingga ia tidak berhak menerima status pengungsi.
c. pasal pemberhentian, menerangkan kondisi-kondisi yang mengakhiri status pengungsi karena tidak lagi diperlukan atau dibenarkan.
Didalam pasal pemberhentian ini diatur bahwa konvensi juga menjabarkan keadaan-keadaan yang menghentikan status kepengungsian seseorang karena sudah tidak diperlukan lagi atau tidak dapat dibenarkan lagi karena
18 UNHCR, 2005, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. Op.Cit. Hlm. 53
14
tindakan sukarela dari pihak individu, atau perubahan fundamental pada keadaan di Negara asal pengungsi.
Sedangkan definisi pengungsi dari Konvensi Pengungsi
OAU ini muncul dari pengalaman perang kemerdekaan di afrika,
dan pada tahun 1965 dibentuklah Commission on Refugees di
Afrika19. konvensi ini mewakili perluasan yang penting dari konsep
pengungsi karena mengartikan pengungsi sebagai orang-orang
yang lari dari dampak tanpa pandang bulu dari perang sipil,
misalnya layak dianggap pengungsi dibawah Konvensi Pengungsi
OAU walau salah satu unsur penganiayaan dari Konvensi 1951
tidak ada. Menurut Konvensi Pengungsi OAU, memberikan definisi
pengungsi sebagai berikut :
“Seorang pengungsi adalah seseorang yang terpaksa meninggalkan negaranya karena agresi diluar, pendudukan, dominasi asing atau kejadian-kejadian yang mengganggu ketertiban umum secara serius di salah satu bagian atau di seluruh Negara asal atau Negara kebangsaan”.20
Definisi lain mengenai pengungsi juga terdapat didalam
Deklarasi Kartagena, walaupun bagian dari definisi ini jelas
dipengaruhi Konvensi Pengungsi OAU serta mencerminkan sejarah
kepengungsian massal akibat perang sipil di negara-negara
Amerika. Sementara deklarasi tersebut tidak mengikat secara
19 D. W. Bowett. 2007. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : Sinar Grafika. Hlm. 306
20UNHCR, 2005, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. Loc.Cit. Hlm. 58
15
hukum, prinsip-prinsip, termasuk definisi pengungsi telah
dimasukan ke dalam hukum nasional dan pelaksanaan negara-
negara Amerika Tengah dan Latin. Deklarasi Kartagena
memberikan definisi pengungsi sebagai berikut :
“Pengungsi jika mereka meninggalkan negaranya karena hidup, keselamatan atau kebebasannya telah terancam oleh kekerasan umum, agresi asing, konflik dalam negeri, pelanggaran berat atas hak azasi manusia atau keadaan-keadaan lain yang mungkin mengganggu ketertiban umum secara serius”.21
Selain definisi dari Konvensi 1951, Konvesi Pengungsi OAU,
dan Deklarasi Kartagena, organ khusus PBB yang mengurusi
pengungsi, UNHCR juga memberikan definisi pengungsi sebagai
berikut :
“Seorang pengungsi adalah seseorang yang memenuhi kriteria/definisi pengungsi konvensi 1951, serta berada di luar Negara asalnya atau tempat menetapnya dan tidak dapat kembali kesana karena ancaman yang serius dan tanpa pandang bulu terhadap hidupnya, integritas fisik atau kebebasannya dikarenakan kekerasan umum, atau kejadian-kejadian yang mengganggu ketertiban umum secara serius”.22
2. Rohingya
Belakangan kita sering membaca tentang kondisi politik
negara tetangga kita Myanmar yang sedang bergejolak, namun ada
hal lain yang seakan terlupakan atau sengaja dilupakan oleh
21 Ibid Hlm. 59
22 Ibid Hlm. 64
16
masyarakat internasional, yaitu tindakan represif junta militer
terhadap warga Muslim Myanmar23.
Adakah warga Muslim di Myanmar ? Mungkin itu adalah
pertanyaan yang akan muncul pertama kali ketika mendengar kata
Myanmar. ‘ya tentu saja ada warga Muslim di Myanmar’, mereka
adalah orang Rohingya, keturunan Bengali, Panthay (Muslim
Burma-China) dan Pashu atau Moken (penduduk kepulauan
Andaman, atau dikenal juga sebagai Orang Laut dalam bahasa
Melayu)24.
Siapakah Rohingya itu ? Etnis Rohingya adalah penduduk
asli negara bagian Arakan. Arakan sendiri merupakan sebuah
negara bagian seluas 14.200 mil persegi yang terletak di barat
Myanmar, merupakan daerah pesisir timur teluk Bengali yang
bergunung-gunung, berbatasan langsung dengan India di utara,
negara bagian China di Timur laut, distrik Magwe dan Pegu di
timur, distrik Irrawady di selatan dan Bangladesh di barat laut, saat
ini dihuni oleh sekitar 5 juta penduduk yang terdiri dari dua etnis
utama, Rohingya yang Muslim dan Rakhine / Maghs yang
beragama Budha.
23 Rohingya muslim Myanmar yang di dzalimi (http://www.arrahmah.com /index.php/news/read/2762/rohingya-muslim-myanmar-yang-didzalimi) diakses pada 02 Desember 2009, Pukul 15:31 WITA.
24 Ibid.
17
Kata Rohingya berasal dari kata Rohang, yang merupakan
nama lama dari negara bagian Arakan. Etnis Rohingya yang sudah
tinggal di Arakan sejak abad ke 7 Masehi, hal ini merupakan
bantahan bagi junta militer yang menyatakan, bahwa etnis
Rohingya merupakan pendatang yang di tempatkan oleh penjajah
Inggris di Bangladesh, memang secara fisik etnis Rohingya
memiliki kesamaan fisik dengan orang Bangladesh, merupakan
keturunan dari campuran orang Bengali, Persia, Mongol, Turki,
Melayu dan Arab, yang menyebabkan kebudayaan Rohingya
sedikit berbeda dari kebanyakan orang Myanmar. Termasuk dari
segi bahasa yang banyak dipengaruhi oleh bahasa Arab, Parsi,
Urdu dan Bengali.
Arakan dulunya merupakan sebuah negara independen
yang pernah dikuasai secara bergantian oleh orang Hindu, Budha
dan Muslim. Pada 1203 M, Bengali menjadi sebuah negara Islam,
dan sejak saat itu pula pengaruh Islam mulai merambah masuk ke
wilayah Arakan. Hingga pada akhirnya pada 1430 M. Arakan
menjadi sebuah negara Muslim. Selama 350 tahun kerajaan
Muslim berdiri di Arakan dan Umat Islam hidup dengan tenang.
Namun pada 24 September 1784 M. Raja Boddaw Paya dari
Burma menginvasi Arakan dan menguasainya.
Pada 1824-1826 perang Anglo-Burma pertama pecah.
Ketika perang ini berakhir pada 24 Februari 1426 yang ditandai
18
dengan diratifikasinya Perjanjian Yandabo menyebabkan Burma,
Arakan dan Tenasserim dimasukkan ke wilayah British-India. Lalu
denga Government of India Act. Tahun 1935 diputuskan bahwa
Burma terpisah dari British-India tepatnya mulai tanggal 1 April
1937, melalui keputusan ini pula digabungkanlah Arakan menjadi
bagian British-Burma, bertentangan dengan keinginan mayoritas
penduduknya yang beragama Islam dan ingin bergabung dengan
India. Hingga pada akhirnya Arakan menjadi bagian Burma yang
Merdeka pada Tahun 1948.
Penduduk Muslim Rohingya merupakan mayoritas penduduk
di Arakan, dengan jumlah kurang lebih 90 persen, namun selama
49 tahun kemerdekaan Burma (Myanmar) jumlah itu terus
berusaha dikurangi, mulai dari pengusiran hingga pembunuhan,
hingga saat ini hanya tersisa sedikit Umat Islam Rohingya di
selatan Arakan sedangkan di bagian utara Rohingya masih menjadi
mayoritas25.
Nasib Muslim Rohingya setelah Burma merdeka sangatlah
memprihatinkan, ini dikarenakan Pada saat bangsa Burma lainnya
merayakan kemerdekaan pada tahun 1948, Umat Islam Rohingya
justru seakan dikucilkan dari kegembiraan itu. Hal itu ditandai
dengan tidak diundangnya satu pun perwakilan Umat Islam
Rohingya saat perjanjian penyatuan Burma di tanda tangani pada
25 Ibid.
19
12 September 1947 di Pinlong, negara bagian Shan antara
Jenderal Aung San (Ayah tokoh pro Demokrasi Aung San Su Kyi)
dan perwakilan dari berbagai etnis di Burma unuk bersama-sama
merebut kemerdekaan dari Inggris dan kemudian membentuk
negara Federal Burma yang terdiri dari negara-negara bagian
sesuai dengan komposisi etnis dan dengan hak untuk
menggabungkan diri setelah 10 tahun, etnis Rohingya sama sekali
tidak dilibatkan dalam proses ini.
Berbeda dengan etnis yang lain yang berhak mendirikan
negara bagian sendiri, etnis Rohingya Kehilangan haknya, bahkan
wilayahnya (Arakan) diserahkan kepada etnis Rakhine yang
beragama Budha, walaupun populasinya kurang dari 10 persen
penduduk Arakan, sejak saat itulah hak-hak etnis Rohingya
berusaha dihilangkan oleh para politisi Budha Burma.
Bahkan semenjak junta militer menguasai Burma keadaan
semakin memburuk, bukan saja hak-hak politis yang dikekang,
tetapi juga dalam bidang sosial-budaya, hal ini ditandai dengan
ditutupnya tempat-tempat belajar bahasa Rohingya pada tahun
1965 oleh Junta26.
3. Prinsip Utama Perlindungan Internasional
26 Ibid.
20
Prinsip utama yang melatar belakangi perlindungan
internasional bagi pengungsi, perangkat-perangkat kuncinya adalah
konvensi 1951 dan protokol 196727, ketentuan-ketentuan yang
tercakup di dalamnya termasuk :
a. larangan untuk memulangkan pengungsi dan pencari suaka yang beresiko menghadapi penganiayaan saat dipulangkan (prinsip non-refoulement).
b. persyaratan untuk memperlakukan semua pengungsi dengan cara yang non diskriminatif.
c. standar perlakuan terhadap pengungsi.
d. kewajiban pengungsi kepada Negara tempatnya suaka.
e. tugas Negara untuk bekerja sama dengan UNHCR dalam melaksanakan fungsi-fungsinya.
Namun lebih spesifik lagi yang dimaksud dengan prinsip
non-refoulement (larangan pengusiran dan pengembalian) adalah :
a. melarang pengembalian pengungsi dengan cara apapun ke Negara atau wilayah dimana hidup atau kebebasannya terancam dikarenakan ras, agama, kebansaan, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu atau pendapat politiknya.
b. Pengecualian hanya dapat dilakukan jika pengungsi yang bersangkutan merupakan ancaman bagi keamanan nasional atau yang bersangkutan telah dijatuhi hukuman atas kejahatan yang serius, berbahaya bagi masyarakat namun tidak berlaku jika individu tersebut menghadapi resiko penyiksaan atau perlakuan atau hukuman yang kjam, tidak manusiawi atau menghinakan.
c. Sebagai bagian dari hukum adat dan traktat, prinsip dasar ini mengikat semua Negara.
4. Bali Process
27 UNHCR, 2005, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. Op.Cit. Hlm. 39
21
Bali Regional Misterial Conference “BRMC” (yang dalam
penulisan selanjutnya penulis singkat dengan kata Bali Process)
telah dilaksanakan sebanyak tiga kali, yaitu pada tahun 2002, 2003,
dan yang terakhir pada tahun 2009 baru-baru ini yang dilaksanakan
di Bali.
Bali Process ke-3 ini bertemakan The Third Bali Regional
Misterial Conference on People Smuggling. Trafficking in Persons
and Related Transnational Crime (BRMC KE-3) yang dilaksanakan
pada tanggal 14-15 April 2009, BRMC ke-3 diketuai bersama oleh
Menteri Luar Negeri Australia, Stephen Smith, dan Menteri Luar
Negeri RI. Pertemuan dihadiri oleh 197 peserta dari 33 negara
anggota, 8 negara peninjau, dan 9 organisasi internasional dan
regional, dengan tingkat keterwakilan 17 menteri, 11 setingkat
menteri. Hadir pula Komisaris Tinggi UNHCR, Direktur Jenderal
IOM, dan Sekretaris Jenderal ASEAN28.
Pertemuan BRMC ke-3 yang didahului oleh pertemuan
Tingkat Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting) telah
menghasilkan “pernyataan bersama ketua”. (Co-chairs’ Statement),
yang diifokuskan kepada tiga hal, yang salah satunya adalah
menegaskan kembali mekanisme yang ad hoc group (AHG) yang
dibentuk pada tahun 2002 guna menanggapi dan menyelesaikan
28 Arsip Direktorat Kejahatan Internasional dan Pelucutan Senjata (KIPS) Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Hlm 1
22
permasalahan kejahatan penyelundupan manusia dan
perdagangan orang secara terpadu29.
4.1 The First Ad Hoc Group Meeting of the Bali Process.
The First Ad Hoc Group Meeting of the Bali Process (yang
dalam penulisan selanjutnya penulis singkat dengan kata AHG Bali
Process) telah diselenggarakan dari tanggal 27 - 29 Juli 2009.
Pertemuan diketuai bersama oleh Direktur Jenderal Multilateral
Departemen Luar Negeri RI dan Duta Besar Australia untuk isu
Penyelundupan Manusia, Peter Wolcott. Pertemuan dihadiri oleh
12 negara yang terdiri dari Afghanistan, Australia, Bangladesh,
India, Indonesia, Maladewa, Malaysia, Myanmar, Pakistan,
Selandia Baru, Sri Lanka, dan Thailand; dan 5 (lima) organisasi
internasional yaitu IOM, UNHCR, United Nations Office on Drugs
and Crime (UNODC), dan ASEAN Secretariat (sebagai Peninjau)30.
5. Myanmar (Negara Asal pengungsi Rohingya)
Myanmar (Burma) merupakan salah satu negara termiskin,
tetapi di lain pihak merupakan negara yang cukup menarik di Asia
Tenggara. Meski terlihat begitu berbeda, tetapi memiliki hubungan
yang cukup erat, negara ini tergolong miskin karena selama
beberapa dekade pemerintahannya selalu melakukan perlindungan
29 Ibid.
30 Ibid. Hlm. 2
23
ketat dari pengaruh asing, karenanya Myanmar dinilai memiliki
karakter yang berbeda dan menarik. Bepergian ke Myanmar tidak
hanya sebagai perjalanan ke wilayah geografis yang berbeda,
tetapi juga merupakan sebuah perjalanan memasuki jaman lain
yang berbeda31.
Dalam ucapan asli penduduk Burma, nama daerah ini selalu
disebut dengan Myanmar. Pada tahun 1989, pemerintah militer
Myanmar, mengumumkan bahwa negara ini adalah Myanmar.
Sejak saat itu, dalam pengumuman resmi dan pertukaran
diplomatik hanya nama Myanmar yang disebut untuk nama negara
ini, walaupun orang-orang sudah terbiasa memanggilnya dengan
sebutan Burma. Tapi secara tidak resmi, nama Burma masih tetap
dipakai32.
5.1 Junta Militer
Junta militer diucapkan menurut ucapan bahasa Spanyol
hun-ta, biasanya merujuk ke suatu bentuk pemerintahan diktator
militer. Dalam bahasa Spanyol Junta sendiri berarti ‘rapat
bersama’, dan biasanya digunakan untuk berbagai kumpulan yang
bersifat kolegial (hubungan kerekanan).
31 Myanmar atau Burma (http://www.asiamaya.com/panduasia/myanmar/e-01land/em-lan10.htm) diakses pada 28 November 2009, Pukul 13:30 WITA.
Upaya peningkatan citra Indonesia, (4) Meningkatkan kualitas
pelayanan dan perlindungan WNI39.
2. Kementrian Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan
rakyat.
Kementrian Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan
Rakyat adalah salah satu badan yang mewakili Pemerintah
Indonesia bersama Departemen Luar Negeri dalam menangani
Pengungsi Rohingya yang ada di Aceh, Departemen inilah yang
mengurusi sebagian besar kebutuhan hidup para pengungsi di
Aceh.
Sesuai Peraturan Presiden RI Nomor 9 Tahun 2005 Tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja
Kementerian Negara Republik Indonesia, bahwa Kesra mempunyai
tugas membantu Presiden dalam mengkoordinasikan perencanaan
dan penyusunan kebijakan, serta mensinkronkan pelaksanaan
kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan
kemiskinan.
Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud, Kesra
menyelenggarakan fungsi :
39 Tugas utama Deplu dari tahun 1998 – sekarang (http://www.deplu.go.id /Pages/History.aspx?IDP=4&I=id) Diakses pada 13 Desember 2009, pukul 20:23 WITA.
30
1. koordinasi perencanaan dan penyusunan kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan;
2. sinkronisasi pelaksanaan kebijakan di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan;
3. pengendalian penyelenggaraan kebijakan, sebagaimana dimaksud pada butir 1 dan 2;
4. pengelolaan barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggungjawabnya;
5. pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan;
6. pelaksanaan tugas tertentu yang diberikan oleh Presiden;
7. penyampaian laporan hasil evaluasi, saran, dan pertimbangan di bidang tugas dan fungsi tentang kesejahteraan rakyat dan penanggulangan kemiskinan kepada Presiden40.
Dalam melaksanakan tugas dan fungsi dimaksud, Kesra
mengkoordinasikan :
1. Departemen Kesehatan2. Departemen Pendidikan Nasional
3. Departemen Sosial
4. Departemen Agama
5. Departemen Kebudayaan dan Pariwisata
6. Kementerian Negara Lingkungan Hidup
7. Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan
8. Kementerian Negara Pendayagunaan Aparatur Negara
9. Kementerian Negara Perumahan Rakyat
10. Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga
40 Kelembagaan Kementrian Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (http://www.menkokesra.go.id/content/view/14/34/) diakses pada 11 Desember 2009, Pukul 10:05 WITA.
Indonesia. Tepat sebulan setelah kemerdekaan RI, 17 September
1945, PMI terbentuk. Peristiwa bersejarah tersebut hingga saat ini
dikenal sebagai Hari PMI.
Peran PMI adalah membantu pemerintah di bidang sosial
kemanusiaan, terutama tugas kepalangmerahan sebagaimana
dipersyaratkan dalam ketentuan Konvensi-Konvensi Jenewa 1949
yang telah diratifikasi oleh pemerintah Republik Indonesia pada
tahun 1958 melalui UU No 59. Kecuali protocol I yang sampai
sekarang Indonesia belum meratifikasinya, ini dikarenakan ada
beberapa pasal yang dipandang dapat membahayakan Negara
yaitu dapat mendorong disintegrasi54.
Sebagai perhimpunan nasional yang sah, PMI berdiri
berdasarkan Keputusan Presiden No 25 tahun 1925 dan
dikukuhkan kegiatannya sebagai satu-satunya organisasi
perhimpunan nasional yang menjalankan tugas kepalang merahan
melalui Keputusan Presiden No 246 tahun 196355.
Dalam berbagai kegiatan PMI komitmen terhadap
kemanusiaan seperti strategi 2010 berisi tentang memperbaiki
hajat hidup masyarakat rentan melalui promosi prinsip nilai
54 KGPH, Haryomataram. 2005. Pengantar Hukum Humaniter. Op.Cit. Hlm. 196
55 Sejarah Pembentukan serta Peran Palang Merah Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Palang_Merah_Indonesia) diakses pada 11 Desember 2009, Pukul 13:10 WITA.
PMI dibidang kemanusiaan dan kerelawanan mulai dari tahun
1945 sampai dengan saat ini salah satunya sebagai berikut :
“Membantu saat terjadi peperangan/konflik. Tugas kemanusiaan yang dilakukan PMI pada masa perang kemerdekaan RI, saat pemberontakan RMS, peristiwa Aru, saat gerakan koreksi daerah melalui PRRI di Sumbar, saat
7. situs lain yang berhubungan dengan tulisan ini.
Data ini dikumpulkan secara langsung dengan mendatangi tempat-
tempat-tempat penelitian tersebut serta menggunakan fasilitas akses
internet secara online.
B. Jenis dan Sumber Data
Jenis data yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah
data Primer, yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara secara
langsung kepada nara sumber yang terpercaya ( Teuku Faizasyah ‘Juru
Bicara Deplu / Ka. BAM’, Rolliansyah Soemirat ‘Direktorat Kejahatan
Internasional dan Pelucutan Senjata Deplu’, Ayodia G. L. Kalake ‘Ka. Sub.
Dit. Dinas III Direktorat Perjanjian Ekonomi dan Sosial Budaya Deplu’,
Krishnajie ‘Direktorat Asia Timur dan Pasifik Deplu’, Syahbuddin ‘Ka. Bid.
Pemulihan Konflik Sosial Deputi I Kementrian Negara Koordinator Bidang
Kesejahteraan Rakyat’, Darwin dan Anita ‘Staf UNHCR’, Ronnie Bala ‘Staf
IOM’, Dinihari Puspita ‘Staf ICRC’, Andreane Tampubolon dan Umi Alfiyah
‘Staf PMI’ serta dari beberapa pengungsi yang bersangkutan ).
Selain data primer dipergunakan juga data Sekunder dalam
penulisan skripsi ini, yaitu data yang diperoleh atau dikumpulkan oleh
penulis dalam proses penelitian melaui cara penelusuran literatur atau
kepustakaan, dokumen-dokumen, serta arsip-arsip yang ada kaitannya
45
dengan masalah yang akan dibahas melalui studi kepustakaan dan studi
internet, berkenaan dengan kajian dalam penulisan skripsi ini.
C. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan
data melalui Penelitian Lapangan (Field Research) dan Studi
Kepustakaan (Library Research) untuk memperoleh data sekunder yang
terdiri dari bahan hukum primer yakni Konvensi Perserikatan Bangsa-
Bangsa Mengenai Status Pengungsi 1951 (Convention Relating to the
Status of Refugees 1951), Protokol Tambahan Mengenai Status
Pengungsi 1967 (Protocol Relating to the Status of Refugees 1967), serta
UUD’ 1945 dan UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.
Bahan hukum sekunder yakni bahan yang memberikan penjelasan
mengenai bahan hukum primer, seperti hasil penelitian dan pendapat
pakar hukum. Serta bahan hukum tersier yakni bahan yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus
(hukum), dan ensiklopedia.
Eksplorasi data di lapangan dilakukan mengingat lokasi penelitian
dapat dijangkau oleh penulis.
D. Analisis Data
46
Data yang diperoleh atau yang berhasil dikumpulkan selama
proses penelitian dalam bentuk data primer,sekunder dan tersier, diolah
dengan menggunakan analisis Normatif Deskriptif, dengan maksud untuk
mengolah data Primer, Sekunder, dan tersier yang telah diperoleh agar
menjadi sebuah karya ilmiah / skripsi yang terpadu dan sistematis.
Sehingga hasil penelitian nantinya diharapkan mampu memberikan
gambaran secara jelas mengenai proses penanganan Pengungsi
Rohingya di wilayah Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia
bekerjasama dengan UNHCR, Organisasi Internasional, dan LSM-LSM
lainnya.
47
BAB IV
PEMBAHASAN
1. Hubungan Indonesia dengan Aturan Konvensi 1951.
Dewasa ini perjanjian internasional memainkan peranan yang
sangat penting dalam mengatur kehidupan dan pergaulan antar negara.
Melalui perjanjian internasional tiap negara menggariskan dasar
kerjasama mereka dalam mengatur berbagai kegiatan serta
menyelesaikan masalah. Perjanjian internasional merupakan instrumen
yuridik oleh karenanya mengikat para pihak62. Mengikat disini adalah
melahirkan hak dan kewajiban para pihak yang membuatnya. Seperti
yang ditegaskan oleh Oppenheim-Lauterpacht:63
62 Boer Mauna, 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni, Hlm 82
63 Oppenheim-Lauterpacht, dalam bukunya C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, 2002. Modul Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan. Hlm 105
48
International treaties are agreements of contractual charter between states, creating legal rights and obligations between the parties”. (perjanjian adalah suatu persetujuan antarnegara, yang menimbulkan hak dan kewajiban di antara para pihak).
Dari uraian yang dikemukakan diatas, perjanjian internasional
dapat pula diuraikan sebagai64:
Kata sepakat antara dua atau lebih subyek hukum internasional mengenai suatu obyek atau masalah tertentu dengan maksud untuk membentuk hubungan hukum atau melahirkan hak dan kewajiban yang diatur oleh hukum internasional.
Subyek-subyek hukum yang dimaksud disini adalah negara.
Sepertinya halnya dikemukakan oleh Mochtar Kusumaatmadja65:
“Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan akibat hukum tertentu”.
Dalam perkembangannya, perjanjian Internasional dibagi atas 2
(dua) golongan berdasarkan proses pembentukan dan pembuatannya.
Pertama Perjanjian internasional yang diadakan dengan tiga tahap, yaitu:
perundingan, penandatanganan, dan ratifikasi (pengesahan). Biasanya
perjanjian semacam ini diadakan untuk hal-hal yang dianggap sangat
penting (vital) sehingga memerlukan persetujuan badan-badan yang
berwenang (treaty-making power). Kedua perjanjian internasional yang
diadakan hanya melalui dua tahap, yaitu: perundingan dan
64 I Wayan Partiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bag:1. Bandung: Mandar Maju. Hlm 12
65 Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, 2003. Pengantar Hukum Internasional, Bandung: Alumni. Hlm 117
49
penandatangan tanpa ratifikasi. Biasanya perjanjian ini kurang begitu
penting (vital), sederhana, dan memerlukan penyelesaian yang cepat.
Misalnya: perjanjian perdagangan yang berjangka pendek66.
Pasal 33 (1) Konvensi 1951 menyebutkan bahwa negara-negara
peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun
mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya
dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras,
agama, kebangsaannya, keanggotaannya pada kelompok sosial atau
pandangan politiknya67.
Prinsip non refoulement68 ini tidak hanya terdapat pada Konvensi
1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit pada
Konvensi Anti Penyiksaan (Convention Against Torture) pasal 3, Konvensi
Jenewa IV (Fourth Geneva Convention) tahun 1949 pada pasal 45
paragraf 4, pada Kovenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights) tahun 1966 pasal 13,
67 Sulaiman Hamid. 2002. Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional. Jakarta : Rajawali Pers. Hlm. 96
68 Negara-negara peserta Konvensi ini tidak diperbolehkan untuk mengusir ataupun mengembalikan pengungsi dalam bentuk apapun ke luar wilayahnya dimana keselamatan dan kebebasan mereka terancam karena alasan ras, agama, kebangsaannya, keanggotaannya pada kelompok sosial atau pandangan politiknya (Pasal 33 ayat 1 Konvensi 1951)
69Heru Susetyo. Prinsip Non Refoulement dan Mensikapi Pencari Suaku Rohingya. (http://saverohingya.com/manusia-perahu-dan-warga-yang-dilupakan.html) diakses pada 10 Desember 2009, Pukul 15:00 WITA.
Lebih dari itu, prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum
kebiasaan internasional (international customary law). Dalam arti, negara
yang belum menjadi pihak (state parties), dengan kata lain belum
meratifikasi Konvensi 1951 – pun harus menghormati prinsip non
refoulement ini.
Baik Myanmar, Thailand, maupun Indonesia hingga saat ini belum
menjadi negara pihak (state parties) dari Konvensi 1951. Kendati demikian
negara-negara tersebut tak bisa melepaskan tanggungjawabnya begitu
saja terhadap pencari suaka Rohingya.
Myanmar selaku negara asal adalah yang paling bertanggung
jawab. Karena sudah puluhan tahun lamanya etnis Rohingnya bermukim
di Myanmar namun tak kunjung diakui sebagai warganegara. Myanmar
juga membiarkan terjadinya penyiksaan dan diskriminasi terhadap mereka
atas dasar perbedaan etnis dan agama (persecution). Hal mana dapat
digolongkan sebagai kejahatan negara (state violence)70 atau bahkan
terdapat indikasi Genosida (namun hasil penelitianlah yang akan
membuktikannya nanti, karena kasus ini belum selesai dan sementara
berproses).
Terkait dengan hal tersebut Indonesia telah memberikan sikap
yang positif dengan menyampaikan keprihatinan dan memaklumi masalah
70 Ibid.
51
yang sudah terjadi (melalui langkah diplomatis yaitu melakukan
pertemuan yang intensif dari kedua negara melalui perwakilannya),
namun ini semua dapat memberikan pelajaran bagi semua negara agar
kejadian seperti ini tidak akan terulang kembali71.
Thailand, Indonesia, dan negara-negara lain yang menjadi tempat
transit maupun tujuan utama pengungsian mereka, bertanggungjawab
untuk tidak serta merta mengusir dan memulangkan mereka secara paksa
(non refoulement) ketika pencari suaka asal Rohingnya terdampar
ataupun tiba di wilayah kedaulatannya melalui cara yang tidak lazim.
Karena memulangkan mereka ke Myanmar pada kondisi seperti ini adalah
hal yang sangat tidak mungkin. “Ketika kami sampai di Thailand kami
disiksa dan bahkan sesudah penyiksaan tersebut para militer Thailand
melepaskan kami kembali ke lautan bebas dengan cara-cara kasar,
hingga akhirnya pada saat itu saya terpisah dengan keluarga saya yang
lain” ujar salah seorang pengungsi72.
Jalan terbaik adalah menampung para pencari suaka untuk
sementara sambil menentukan proses selanjutnya, apakah akan memberi
suaka langsung, meneruskan ke negeri lain, ataukah mengembalikan ke
negeri asal ketika kondisinya memang sudah memungkinkan. Maka arah
71 Hasil Wawancara Bersama Bapak Teuku Faizasyah ‘Juru Bicara Dept. Luar Negeri RI’ di Gedung Utama Deplu Lantai 3, Bagian Biro Administrasi Mentri, Hari Kamis, 16 Juli 2009, Pukul 10.00 – 11.30 WIB.
72 Hasil Wawancara Bersama Bapak Rahmat Bin Mohammad Daud (37 Tahun) “Salah Seorang Pengungsi Rohingya asal Myanmar” oleh Hanin Mazaya, yang dikutip oleh penulis seusai shalat Jum’at. Hari Jum’at 31 Juli 2009. Pukul 13.10 WIB
52
yang diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam menyelesaikan
permasalahan pengungsi ini yaitu penyelesaian yang bersifat regional saja
yakni negara-negara terkait diwajibkan mengutus para Menteri Luar
Negerinya guna membicarakan kesemuanya didalam sebuah forum agar
mendapat solusi yang terbaik, dan proses inilah yang dinamakan dengan
Bali Process, jadi tidak sampai diselesaikan di ASEAN forum walaupun
ke-3 negara terkait tersebut (Myanmar, Bangladesh, dan Indonesia)
adalah anggota ASEAN73.
Dalam proses ini, UNHCR ikut terlibat. Karena, UNHCR memiliki
mandat untuk memberikan perlindungan terhadap pengungsi dan
memfasilitasi mereka untuk menyelesaikan masalah pengungsi. Dan
mandat ini tak terbatas pada ‘pengungsi’ yang dimaksud pada Konvensi
1951 saja melainkan juga untuk orang-orang tanpa kewarganegaraan
(stateless persons) orang-orang yang kembali pulang dari
pengungsiannya (returnees) dan juga, pada kasus-kasus tertentu, adalah
para “pengungsi dalam negeri” (internally displacement persons) atau
mereka yang terusir dari daerah asalnya namun tidak sampai
menyeberang ke negeri lain. Maka, kali ini kita patut bangga dengan
rakyat Aceh dan pemerintah Indonesia. Keputusan menampung
sementara pencari suaka Rohingya patut dijadikan contoh bagi negara-
negara lain, dan adalah hal yang sepatutnya dilakukan dari sisi hukum
internasional. Dengan demikian, memberikan penampungan sementara
73 Hasil Wawancara bersama Bapak Teuku Faizasyah
53
adalah hal yang sepatutnya dilakukan sesuai asas non refoulement dalam
Konvensi 195174.
Selain itu Teuku Faizasyah Juga menyatakan bahwa :
“Walaupun secara yuridis Indonesia tidak berkewajiban untuk terikat dalam aturan Konvensi 1951 karena Indonesia bukan salah satu negara yang ikut meratifikasi konvensi, namun demi alasan kemanusiaan, Indonesia memiliki tradisi baik dalam membantu para manusia perahu yang lari dari negaranya (selain Rohingya termasuk juga penungsi Vietnam dan Timor Leste), dan ini sudah diketahui oleh banyak Negara”75.
2. Status Rohingya Terkait dengan UNHCR dan Konvensi 1951.
2.1 Sekilas Masalah Pengungsi Rohingya yang Ada di Aceh76.
Pada tanggal 7 Januari 2009, sebanyak 193 manusia perahu yang
beretnis Rohingnya dan berasal dari Bangladesh dan Myanmar ditemukan
terdampar di Sabang, Propinsi Nangroe Aceh Darussalam. Pada tanggal
3 Februari 2009, 198 manusia perahu yang juga berasal dari etnis
Rohingnya Bangladesh dan Myanmar ditemukan terdampar di kecamatan
Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur. Pemerintah Indonesia memberikan
perhatian khusus terkait upaya penanganan 391 manusia perahu asal
74 Heru Susetyo. Prinsip Non Refoulement dan Mensikapi Pencari Suaku Rohingya. (http://saverohingya.com/manusia-perahu-dan-warga-yang-dilupakan.html) Ibid.
75 Hasil Wawancara bersama Bapak Teuku Faizasyah
76 Arsip Direktorat Asia Timur dan Pasifik (Astimpas) Departemen Luar Negeri RI. Hlm. 1-2
Myanmar dan Bangladesh yang terdampar di Propinsi Nanggroe Aceh
Darussalam tersebut.
Dalam rangka mencari penyelesaian yang komprehensif atas
keberadaan manusia perahu tersebut, pemerintah Indonesia telah
melakukan langkah-langkah penangan yang diperlukan secara paralel,
baik pada tataran nasional maupun melalui kerjasama bilateral dan
regional. Hal tersebut juga telah dibahas dalam pertemuan presiden RI
dengan PM Myanmar pada 16 maret 2009 di Jakarta.
Presiden RI dalam hal ini menekankan perlu adanya solusi praktis
terhadap masalah ini. Pada tingkat nasional Pemerintah Indonesia telah
bekerjasama dengan organisasi internasional, yaitu UNHCR dan IOM
untuk melakukan verifikasi dan penentuan status bagi para manusia
perahu tersebut. Fokus upaya Pemerintah Indonesia pada saat ini adalah
melakukan pemulangan terhadap para manusia perahu yang telah
menyatakan kesediaannya direpatriasi secara suka rela (voluntary
repatriation).
Kasus manusia perahu etnis Rohingnya asal Bangladesh dan
Myanmar merupakan salah satu masalah illegal migration yang terjadi di
Indonesia. Mengingat kompleksnya permasalahan tersebut, dibutuhkan
penanganan yang dilakukan secara paralel pada tingkatan domestik,
bilateral dan regional. Pemerintah Indonesia telah melakukan langkah-
langkah yang diperluakan secara paralel, baik pada tataran nasional
55
maupun melalui kerjasama bilateral dan regional dalam upaya
penanganan masalah illeggal migration.
Dalam rangka mencari penyelesaian komprehensif atas
keberadaan manusia perahu tersebut, Pemerintah Indonesia telah
melakukan penanganan yang diperlukan secara paralel, baik pada tataran
nasional maupun kerjasama bilateral dan regional.
Pada tataran nasional, Pemerintah Indonesia bekerjasama dengan
UNHCR dan IOM membentuk Tim Verifikasi Gabungan (TVG/Tim) guna
menentukan status 391 manusia perahu asal Bangladesh dan Myanmar
tersebut.
Dalam rangka menindaklanjuti salah satu hasil pertemuan Presiden
RI dengan PM Myanmar tersebut, Departemen Luar Negeri juga telah
mengirimkan utusan khusus ke Bangladesh dan Myanmar pada 31 Maret
– 4 April 2009. Kunjungan dimaksudkan untuk menjajaki upaya fasilitasi
dan dukungan Pemerintah Myanmar dan Bangladesh dalam penanganan
permasalahan tersebut, serta mengkonsultasikan lebih lanjut langkah-
langkah penyelesaian yang praktis, komprehensif dan efektif dalam
penyelesaian isu tersebut. Pihak Myanmar telah menyampaikan bahwa
Myanmar pada prinsipnya bersedia menerima para manusia perahu asal
Myanmar kembali, asalkan mereka dapat membuktikan diri sebagai
penduduk Myanmar.
Pada tingkat regional, negara-negara ASEAN juga menunjukkan
keseriusan dan komitmennya untuk menyelesaikan permasalahan ini.
56
Pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand pada 28 Februari – 1 Maret 2009,
telah disepakati untuk menangani isu tersebut melalui mekanisme Bali
Process dan perlunya penanganan masalah tersebut dalam konteks yang
lebih luas dengan melibatkan negara asal, transit dan tujuan. Dalam
kaitan ini, Bali Process Ke-3 di Bali pada 14-16 April 2009 telah
membahas masalah ini dalam mencari berbagai upaya terobosan.
Indonesia senantiasa mendukung Bali Process sebagai mekanisme
regional untuk mencari solusi bagi permasalahan illegal migration
khususnya dalam menangani root cause permasalahan terrsebut.
Bali Process sebagai forum yang melibatkan negara asal, negara
transit dan negara tujuan para illegal migrants untuk membicarakan
masalah tersebut perlu senantiasa didukung guna memperoleh solusi
yang praktis dalam menangani root cause permasalahan di negara asal
yang mendorong para illegal migrants tersebut penyelundupan manusia,
baik otak pelaku asing maupun orang-orang Indonesia yang terlibat,
sesuai dengan pengkategorian penyelundupan manusia sebagai tindak
pidana menurut hukum pidana Indonesia maupun ratifikasi Konvensi anti
Penyelundupan Manusia yang telah dilakukan oleh Indonesia.
2.2 Proses Verifikasi pengungsi Rohingya oleh UNHCR
Perihal Rohingya, pada saat ini sedang diverifikasi oleh UNHCR
dan dalam kurun waktu yang tidak lama akan didapat kepastian apakah
mereka dapat diklasifikasikan sebagai orang yang harus kembali atau
apakah diantara mereka secara pribadi menyatakan siap kembali
57
kenegara asal. Proses tersebut tetap memperhatikan hak asasi manusia
perahu tersebut.
Sejak minggu lalu77, telah ada aktifitas verifikasi dari tim UNHCR
dengan Pemerintah Indonesia. Kendala yang ditemui adalah mencarikan
penerjemah. Pemerintah Indonesia memberikan keleluasaan kepada
UNHCR untuk mencarikan tenaga penerjemah yang bisa berbahasa
Rohingya. Oleh sebab itu proses tersebut memerlukan waktu dan terus
didampingi oleh tim Deplu.
Pemerintah RI memegang kendali pelaporan verifikasi tersebut. Hal
itu akan menjadi bagian dari fungsi UNHCR untuk mencarikan negara
ketiga untuk dapat menampung para Rohingya. Mengenai tujuh orang
yang dinyatakan kabur. Dapat diinformasikan bahwa mereka sudah
ditemukan dan telah dikembalikan di tempat penampungannya78.
2.3 Perkembangan Pengungsi Rohingya
Secara umum perkembangan pengungsi manusia perahu Rohingya
belum banyak berubah. Proses investigasi yang melibatkan pemerintah
Indonesia dengan IOM dan UNHCR telah selesai dilakukan, dari proses
tersebut telah diidentifikasi boat people Rohingya sebagai warga Negara
Bangladesh. Mereka sudah menyatakan siap untuk dipulangkan.
Pemerintah RI saat ini sedang memproses pemulangan mereka, namun
77 Teuku Faizasyah. Pokok-Pokok Press Briefing Juru Bicara Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta 17 April 2009. Hlm. 2
78 Ibid.
58
mengingat proses ini melibatkan jumlah pengungsi yang besar,
pendanaannya masih diupayakan oleh Pemerintah RI bekerjasama
dengan IOM. Hal tersebut sudah dikomunikasikan kepada Pemerintah
Bangladesh.
Adapun masalah teknis pemulangan akan melibatkan pemerintah
Indonesia, Pemerintah Bangladesh dan IOM, bagi pengungsi yang
menyatakan siap pulang akan dikumpulkan pada suatu tempat sehingga
memudahkan proses finalisasi akhir. Untuk memastikan pemenuhan
kebutuhan kemanusiaan Pengungsi Rohingya, pemerintah Pusat telah
berkoordinasi dengan Pemerintah Daerah79.
Hingga saat ini seluruh Pengungsi Rohingya yang berada di daerah
pengungsian di Pulau Weh dan Idi Rayeuk telah dipindahdahkan ke
daerah Medan pada awal Desember 2009, dengan jumlah 195 orang (196
orang lainnya dari jumlah keseluruhan 391 orang, sebagian telah
dipulangkan ke negaranya masing-masing atas kemauan mereka sendiri
dan sebagian lagi kabur / lari dari daerah pengungsian) dan kesemuanya
telah diberikan status pengungsi oleh UNHCR, namun hingga saat ini
UNHCR belum mempublikasikannya dikarenakan belum ada waktu dan
kesempatan untuk mengumumkannya kepada pers80.
79 Teuku Faizasyah. Pokok-Pokok Press Briefing Juru Bicara Departemen Luar Negeri Republik Indonesia. Jakarta 5 Juni 2009. Hlm. 2
80 Hasil Pemberitahuan dari Bapak Darwin “ Staf UNHCR” Kepada Penulis via Telepon. Hari Kamis 24 Desember. Pukul 13.05 WITA.
59
3. Penanganan Pemerintah Indonesia terhadap Pengungsi
Rohingya.
3.1 Poin-Poin Penting dalam Bali Process
Disela-sela BRMC ke-3 telah diadakan Informal Ministerial
Breakfast, dengan mengundang negara-negara yang langsung terkait
(negara asal, transit, dan tujuan) masalah irregular people movement,
seperti Myanmar, Malaysia, Bangladesh, Sri Lanka, ini dimaksudkan untuk
membahas tanggapan negara-negara dikawasan terhadap kasus-kasus
irregular people movement.
Pertemuan BRMC ke-3 yang didahului oleh pertemuan Tingkat
Pejabat Tinggi (Senior Officials Meeting) telah menghasilkan “pernyataan
bersama ketua”. (Cochairs’Statement), yang diifokuskan kepada tiga hal,
yakni :
a. Menegaskan kembali komitmen-komitmen yang telah disepakati pada BRMC ke-1 tahun 2002 dan BRMC ke-2 tahun 2003;
b. Membuat penilaian strategis mengenai situasi dan kondisi terkini serta tantangan yang dihadapi dalam mencegah dan memberantas tindak pidana penyelundupan manusia dan perdagangan orang dikawasan; dan
c. Menegaskan kembali mekanisme ad hoc group (AHG) yang dibentuk pada tahun 2002 guna menanggapi dan menyelesaikan permasalahan kejahatan penyelundupan manusia dan perdagangan orang secara terpadu81.
Selanjutnya konferensi menegaskan kembali dukungan dan
komitmennya terhadap upaya untuk memberantas penyelundupan
manusia dan perdagangan orang serta kejahatan transnasional terkait
81 Arsip Direktorat KIPS. Deplu. Op.Cit. Hlm. 1
60
merupakan ancaman terhadap integritas proses dan prosedur keamanan
batas wilayah kawasan, dan melemahkan kemampuan negara untuk
emngelola migrasi. Secara khusus dinyatakan kekhawatiran terhadap
berbagai cara transportasi dalam penyelundupan dan perdagangan orang
yang membahayakan jiwa orang yang diselundupkan dan
diperdagangkan.
Guna meningkatkan kerjasama regional. Ekstradisi terhadap
penyelundup dan traffickers dan penukaran informasi dan komunikasi
antara asal, transit, dan tujuan. Dapat memperkuat upaya kawasan dalam
menanggulangi perdagangan gelap orang. Disepakati bahwa Bali Process
telah memberikan kontribusi secara signifikan dalam meningkatkan
kordinasi ddan komunikasi.
Penyelundupan manusia dan perdagangan orang merupakan
ancaman bagi berbagai kelompok orang yang rentan. Selain itu diakui
bahwa orang yang diperdagangkan, khususnya wanita dan anak-anak
merupakan korban, sehingga perlu dilindungi dan diperbantukan melalui
dukungan korban, rehabilitasi dan reintegrasi. Dalam hal ini, dinilai penting
pendekatan korban (victim-centered approach) dalam penegakan hukum,
guna meningkatkan prosekusi dan mencegah pengulangan korban.
Menyadari bahwa masalah kemiskinan, jurang perbedaan ekonomi,
kesempatan kerja, konflik internal dan ketidakamanan sebagai penyebab
utama penyelundupan manusia dan perdagangan orang, perlu ditanggapi
secara bersama dan menyeluruh. Krisis ekonomi global berpotensi untuk
61
menciptakan insentif bagi orang untuk mengejar keuntungan ekonomi
diluar negaranya, yang pada akhirnya meningkatkan jumlah
penyelundupan manusia dan perdagangan orang. negara asal, transit dan
tujuan perlu memainkan peranan dalam melindungi dan mencari solusi
bagi pencari suaka. Sementara bagi yang diketahui bukan pencari suaka,
dikembalikan ke negara asalnya dengan cara yang terhormat dan
manusiawi. Untuk itu, disadari perlunya penggalangan dukungan dan
kerjasama internasional.
Dalam studi kependudukan dikenal adanya konsep migrasi yang
dapat dibedakan antara permanen dan non permanen, walaupun sulit
untuk didefinisikan, fenomena migrasi permanen dibatasi pada migrasi
“spontan” migrasi tenaga kerja, migrasi spontan disini adalah mereka yang
melakukan perpindahan melewati batas Negara bukan dalam konteks
kontrak kerja atau mereka yang bermigrasi secara illegal untuk bekerja di
Negara82.
BRMC ke-3 berhasil dalam menugaskan kembali mekanisme ad
hoc (AHG) yang dihentikan pada tahun 2004. AHG tersebut dimaksudkan
untuk menanggapi permasalahan-permasalahan yang ada sekarang ini
dikawasan denagan melibatkan negara-negara terkaitoleh meningkatnya
irregular people movement, termasuk pendatang gelap asal Rohingya dan
Afghanistan. Disepakati bahwa Bali Process dalam posisi untuk
82 M. Arif Nasution. 1999. Globalisasi dan Migrasi Antar Negara. Bandung : Alumni. Hlm. 2
62
melanjutkan dan dimanfaatkan guna menaggapi kasus-kasus irregular
people movement83.
3.2 Efektifitas Bali Process
Ditegaskan bahwa Bali Process tidak hanya membahas mengenai
Rohingya tetapi juga melihat insiden-insiden yang berkembang akhir-akhir
ini. Namun hasil akhir dari Bali Process adalah terbentuknya suatu Ad Hoc
working groups yang nantinya akan membahas current issues yang lebih
besar.
Disela-sela Bali Process, Indonesia juga melakukan pembicaraan
bilateral dengan Negara Myanmar dan juga Bangladesh, untuk
mengetahui bagaimana kebijakan umum mereka tentang Rohingya.
Dalam Bali Process tersebut tercipta komitmen-komitmen yang jelas bagi
para Rohingya.
Salah satu hal positif yang dihasilkan dari Bali Process adalah
kesediaan para peserta untuk mengangkat akar permasalahan seperti
pemberian bantuan keuangan dari Australia sebesar AUS$ 3,2 juta.
Disamping itu tercapai pula kesepakatan antara Myanmar dan UNHCR
mengenai salah satu akar permasalahannya. Akan tetapi masih ditemui
keterbatasan-keterbatasan forum tersebut. Indonesia sebagai negara
83 Arsip Direktorat KIPS. Deplu. Op.Cit. Hlm. 2
63
yang berada dikawasan Asia Pasifik, mengapresiasi segala bentuk upaya-
upaya bilateral84.
3.3 Isu Illegal Immigrant dalam Bali Process
Indonesia tidak bisa menjadikan isu illegal immigrant di Deplu,
apabila belum melewati perbatasan maka hal ini diserahkan pada pihak
imigrasi dan hal ini masih dalam proses investigasi.
Indonesia adalah salah satu dari banyak negara yang tidak dapat
dibebani dengan masalah ini, karena banyak negara yang harus dilibatkan
yaitu negara tujuan dan negara asal. Memperhatikan adanya peningkatan
imigran ilegal yang datang ke Indonesia dari bulan Januari sampai April.
Dan secara geografis, kita mempunyai banyak perbatasan sehingga
Indonesia meningkatkan pengamanan pada perbatasan-perbatasan
tersebut. Oleh sebab itu diperlukan kerjasama regional untuk mengatasi
hal tersebut.
Banyak sekali faktor-faktor yang mengakibatkan semakin
meningkatnya illegal immigrant yang datang ke Indonesia, dan hal ini telah
dibahas pada saat Bali Process. Dalam hal ini salah satu alasan adalah
situasi politik dinegara asal . dan terdapat poin penting antara hubungan
Indonesia dengan Australia. Komunikasi bilateral telah ditingkatkan dalam
Dalam sambutan pembukaan, ketua bersama menyampaikan
bahwa pertemuan pertama AHG Bali Process merupakan tindak lanjut
dari Bali Process ke-3 yang diadakan pada tanggal 14-15 April 2009,
dengan diputuskannya untuk mengaktifkan kembali mekanisme Ad Hoc
Group (AHG). Pertemuan pertama AHG ini diharapkan dapat
menghasilkan rekomendasi / kegiatan yang bersifat praktis pada tingkat
operasional dalam rangka menangani permasalahan irregular people
movement di kawasan86.
Pertemuan pertama AHG Bali Process berjalan lancar dan
memenuhi keinginan dari Bali Process untuk mengadakan pertemuan
yang dapat menghasilkan tindak lanjut yang bersifat konkret dan praktis,
khususnya pada tingkat operasional. Hal ini juga ditandai dengan
disepakati beberapa langkah-langkah kedepan sebagaimana tercermin
dalam Co-Chairs’ Statement.
Sesuai denga Co-Chairs’ Statement yang telah disahkan, maka
pertemuan telah menyepakati empat tindak lanjut kedepan yakni (a)
Tackling Irregular Movement; (b) Penegakan Hukum dan Bantuan Hukum;
(c) Strategi-Strategi Komunikasi; dan (d) Tindak Lanjut dalam Isu-Isu
Perlindungan87.
86 Arsip Direktorat KIPS. Deplu. Op.Cit. Hlm. 2
87 Ibid.
65
Disamping hasil Bali Process dan AHG Bali Process diatas, secara
lebih spesifik lagi penanganan yang sudah dilakukan Pemerintah
Indonesia hingga saat ini yaitu Deplu telah melakukan repatriasi kepada
Pengungsi Rohingya yang berasal dari Bangladesh, serta mencarikan
negara ke-3 (tiga) bagi para Pengungsi Rohingya yang berasal dari
Myanmar dan Bangladesh88.
Kesra sendiri hingga saat ini telah memberikan 500 ton beras, dan
200 ton obat-obatan89, dari semua yang telah dilakukan Pemerintah
Indonesia, pernyataan yang dilontarkan oleh PMI, yaitu :
“Menurut sudut pandang PMI sendiri mengenai penanganan Pemerintah Indonesia dalam menangani Pengungsi Rohingya sudah cukup baik diukur dari segi pemberian penanganan yang cepat tanggap (tanggap darurat) terhadap pengungsi yang masuk ke wilayahnya”90.
Sedangkan peranan PMI bekerjasama dengan ICRC yang sudah
dilakukan untuk Pengungsi Rohingya yang saat ini ada di Aceh adalah
PMI telah melakukan bantuan untuk evakuasi, mendirikan tenda bekerja
sama dengan Departemen Sosial (Depsos), member makanan bekerja
sama dengan IOM, memberikan air bersih melalui proses sanitasi
88 Hasil Wawancara bersama Bapak Teuku Faizasyah
89 Hasil Wawancara Bersama Bapak Syahbuddin ‘Ka.Bid. Pemulihan Konflik Sosial Deputi I Kementrian Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat RI’ di Gedung Kementrian Negara Koor. Bidang Kesra. Lantai 2, Bagian Pemulihan Konflik Sosial Deputi I, Hari Selasa, 20 Juli 2009, Pukul 11.00 – 12.30 WIB.
90 Hasil Wawancara Bersama Ibu Anne Tampubolon dan Umi Alfiyah ‘Head of Restoring Family Links dan Koordinator Tanggap Darurat Palang Merah Indonesia’ di Twin Plaza Building. Lantai 3, Ballroom Area, Hari Kamis, 23 Juli 2009, Pukul 12.00 – 13.30 WIB.
66
bekerjasama dengan PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) Kota
Sabang, serta membuka posko dan membuat septi tank di wilayah
pengungsian.
Selain itu PMI juga melakukan 3 (tiga) penanganan PMI, yaitu (a)
PSP, yang sifatnya Non-Material seperti terapi sosial dan games yang
kesemuanya untuk menghilangkan trauma para pengungsi, (b) RFL, yaitu
memfasilitasi komunikasi para pengungsi dengan keluarganya
(menyatuka keluarga yang terpisah dengan cara pendataan, (c) JRS,
yang sifatnya material seperti memberikan selimut dan sarung kepada
para pengungsi91.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh IOM terkait dengan
penanganan Pemerintah RI, yaitu :
“Penanganan yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia semakin hari semakin baik, karena sudah memahami hukum internasional khususnya dalam hal proteksi bagi orang-orang yang melarikan diri dari negaranya karena suatu sebab tertentu dan terdampar di negara lain, sedangkan dari kepolisian juga makin mengerti aturan main sesuai penanganan dalam hukum internasional yang berlaku”92.
3.5 Kendala-kendala yang Dihadapi Terkait dengan Penanganan
Pengungsi Rohingya.
91 Hasil Wawancara Bersama Ibu Anne Tampubolon dan Umi Alfiyah.
92 Hasil Wawancara Bersama Bapak Ronnie Bala ‘National Operations Officers International Organization for Migration (IOM)’ di Gedung Eksekutif. Lantai 9, Kantor IOM Indonesia, Hari Selasa, 28 Juli 2009, Pukul 14.00 – 15.30 WIB.
67
i. Seberapa lama aparat yang membantu disana bisa menjamin
penampungan sementara (dan saat ini hal tersebut masih kita
bicarakan dengan Kesra)93.
ii. Koordinasi yang kurang dari informan yang ada dilapangan
kepada pihak Kesra, serta sulitnya mendapat data yang valid soal
informasi yang ada (datanya sering berubah-ubah)94.
iii. Kapasitas tidak sebanding dengan pekerjaan yang harus
diselesaikan, kapasitas (jumlah personil) yang sedikit dan harus
menyelesaikan pekerjaan yang berat dan banyak95.
3.6 Hal-Hal yang Harus Dilakukan ke Depan yang Hingga Saat Ini Belum
Terlaksana terkait dengan Penanganan Pengungsi.
i. Menyelesaikan permasalahan pengungsi dengan cepat,
teratur, dan yang terbaik96
ii. Membuat juklak dan juknis (petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis), jadi kami selalu siap kapanpun disaat terjadinya
bencana dalam bentuk apapun yang terjadi di kemudian hari97.
93 Hasil Wawancara Bersama Bapak Teuku Faizasyah.
94 Hasil Wawancara Bersama Bapak Syahbuddin.
95 Hasil Wawancara Bersama Ibu Anne Tampubolon dan Umi Alfiyah.
96 Hasil Wawancara Bersama Bapak Teuku Faizasyah.
97 Hasil Wawancara Bersama Ibu Anne Tampubolon dan Umi Alfiyah.
68
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik dari ketiga pokok permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
69
1. Prinsip non refoulement ini tidak hanya terdapat pada Konvensi
1951, namun juga tercantum secara implisit maupun eksplisit di
beberapa konvensi kemanusiaan yang lain. Lebih dari itu,
prinsip inipun telah diakui sebagai bagian dari hukum kebiasaan
internasional (international customary law). Dalam arti, negara
yang belum menjadi pihak (state parties), dengan kata lain
belum meratifikasi Konvensi 1951 – pun harus menghormati
prinsip non refoulement ini. Baik Myanmar, Thailand, maupun
Indonesia hingga saat ini belum menjadi negara pihak (state
parties) dari Konvensi 1951. Kendati demikian negara-negara
tersebut tak bisa melepaskan tanggungjawabnya begitu saja
terhadap pencari suaka Rohingya. Myanmar selaku negara asal
adalah yang paling bertanggung jawab. Karena sudah puluhan
tahun lamanya etnis Rohingnya bermukim di Myanmar namun
tak kunjung diakui sebagai warganegara. Thailand, Indonesia,
dan negara-negara lain yang menjadi tempat transit maupun
tujuan utama pengungsian mereka, bertanggungjawab untuk
tidak serta merta mengusir dan memulangkan mereka secara
paksa (non refoulement) ketika pencari suaka asal Rohingnya
terdampar ataupun tiba di wilayah kedaulatannya melalui cara
yang tidak lazim.
2. Bali Process ke-3 pun yang membahas permasalahan Rohingya
telah selesai dilaksanakan, namun negara tujuan untuk para
70
pengungsi masih dalam tahap pembicaraan. Hingga saat ini
seluruh Pengungsi Rohingya yang berada di daerah
pengungsian di Pulau Weh dan Idi Rayeuk telah
dipindahdahkan ke daerah Medan pada awal Desember 2009,
dengan jumlah 195 orang (196 orang lainnya dari jumlah
keseluruhan 391 orang, sebagian telah dipulangkan ke
negaranya masing-masing atas kemauan mereka sendiri dan
sebagian lagi kabur / lari dari daerah pengungsian) dan
kesemuanya telah diberikan status pengungsi oleh UNHCR,
namun hingga saat ini UNHCR belum mempublikasikannya
dikarenakan belum ada waktu dan kesempatan untuk
mengumumkannya kepada pers.
3. Salah satu hal positif dari hasil Bali Process adalah kesediaan
para peserta untuk mengangkat akar permasalahan seperti
pemberian bantuan keuangan dari Australia sebesar AUS$ 3,2
juta, serta penanganan yang sudah dilakukan Pemerintah
Indonesia hingga saat ini yaitu Deplu telah melakukan repatriasi
kepada Pengungsi Rohingya yang berasal dari Bangladesh,
serta masi terus mencarikan negara ke-3 (tiga) bagi para
Pengungsi Rohingya yang berasal dari Myanmar dan
Bangladesh.
B. Saran
71
Berdasarkan kesimpulan yang merupakan jawaban atas
permasalahan yang ada, maka penulis mengajukan saran sebagai berikut:
1. Diharapkan semua negara memperhatikan hak-hak asasi manusia
para warganegaranya dan setiap mengambil keputusan tidaklah
harus selalu menggunakan kekerasan.
2. Diharapkan semua negara dapat memperhatikan dan
melaksanakan prinsip non refoulement bagi para pengungsi yang
datang kenegaranya. .
3. Diharapkan Pemerintah Indonesia memikirkan baik-baik jika
memiliki keinginan untuk meratifikasi Konvensi 1951 ini,
dikarenakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan kepada negara
peratifikasi sangatlah berat jika diukur dari kemampuan Indonesia,
apalagi masyarakat Indonesia masih banyak yang hidup dibawah
garis kemiskinan dan sangat membutuhkan bantuan dari
pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku:
Alma, Manuputty dkk. 2008. Hukum Internasional. Depok: Rechta.
Boer Mauna, 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Bandung: P.T. Alumni
72
D. W. Bowett. 2007. Hukum Organisasi Internasional. Jakarta : Sinar Grafika.
Fandi, Ahmad dan Tim Setia Kawan. 1999. Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen Pertama – Ke Empat (1999 – 2002). Jakarta : Setia Kawan.
Hendra, Nurtjahjo. 2005. Ilmu Negara Pengembangan Teori Bernegara dan Suplemen. Jakarta : Rajawali Pers.
I Wayan Partiana. 2002. Hukum Perjanjian Internasional Bag:1. Bandung: Mandar Maju.
ICRC. 2008. Hukum Humaniter Internasional Menjawab Pertanyaan Anda. Switzerland : International Committee of the Red Cross Production Sector.
ICRC. 2006. Kenali ICRC. Switzerland : International Committee of the Red Cross Production Sector.
J. G. Starke. 2007. Pengantar Hukum Internasional Edisi Kesepuluh (2). Jakarta : Sinar Grafika.
Jalaluddin, Rakhmat. 2005. Rekayasa Sosial, Reformasi, Revolusi, atau Manusia Besar. Bandung : Remaja Rosdakarya.
KGPH, Haryomataram. 2005. Pengantar Hukum Humaniter. Jakarta : Rajawali Pers.
M, Arif Nasution. 1999. Globalisasi dan Migrasi antar negara. Bandung : Alumni.
Mochtar, Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes. 2003. Pengantar Hukum Internasional (Buku I- Bagian Umum). Bandung: Alumni.
Sulaiman Hamid. 2002. Lembaga Suaka dalam Hukum Internasional. Jakarta : Rajawali Pers.
Sumaryo Suryokusumo. 2005. Hukum Diplomatik Teori dan Kasus. Bandung : Alumni.
Syahmin A.K. 1985. Hukum Internasional Humaniter 1 Bagian Umum , Bandung : Armico.
UNHCR, 2005, Pengenalan tentang Perlindungan Internasional, melindungi orang-orang yang menjadi perhatian UNHCR. Switzerland : Komisariat Tinggi PBB untuk Urusan Pengungsi.
73
UNHCR. 2005. Pengungsi dalam Angka. Switzerland : Media Relations and Public UNHCR.
UNHCR. 2007. Melindungi Pengungsi dan Peran UNHCR. Switzerland : Media Relations and Public UNHCR.
UNHCR. 2007. The 1951 Refugee Convention Questions and Answers. Switzerland : Media Relations and Public UNHCR.
UNHCR. 2007. Pengungsi dalam Negeri Sendiri (IDP) Pertanyaan dan Jawaban. Switzerland : Media Relations and Public UNHCR.
Konvensi:
Vienna Convention on the Law of Treaties, 1969.
Convention Relating to the Status of Refugees 1951.
Protocol Relating to the Status of Refugees 1967.
Peraturan Perundang-undangan:
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak asasi Manusia.
Sumber Lain:
C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, 2002. Modul Hukum Internasional, Jakarta: Djambatan.
Materi Ajar (Hand Out) dari Yosefina Tanggau Bore’ (Salah Satu Staf IOM di Indonesia), Makassar 25 November 2009
Jurnal Hukum Humaniter Vol. 1 No. 2. 2006. Jakarta : Diterbitkan oleh Pusat Studi Hukum Humaniter dan HAM (terAs) Fakultas Hukum Universitas Trisakti atas Kerja sama dengan Komite Internasional Palang Merah (ICRC).
Pengungsi Rohingya enggan kembali ke Myanmar, Hanin Mazaya, 05 Februari 2009, (http://www.arrahmah.com/index.php/news/ read /3292/pengungsi-rohingya-enggan-kembali-ke-myanmar.) diakses 16 Maret 2009, pukul 15:10 WITA.
Kabar dari seberang ‘nasib pengungsi Rohingya’, Muhammad Yusuf, 26 Februari 2009, (http://www.hinamagazine.com/news/nasib-pengun gsi-rohingya.html.) diakses 16 Maret 2009, pukul 15:15 WITA.
Rohingya kaum muslim yang terpinggirkan (http//.Sunu Wibirama _ [Cerdas-Terampil-Taqwa] » Blog Archive » Rohingya, Kaum Muslim yang Terpinggirkan.htm) diakses 16 Maret 2009, pukul 16:20 WITA.
Solidaritas untuk pengungsi rohingya di aceh, Muhammad Ardan, 11 Januari 2009, (http://www.siwah.com/news/jurnalis-oposisi-burma-mengunjungi-pengungsi-rohingya.html.) diakses 16 Maret 2009, pukul 15:18 WITA.
Serambinews ‘Etnis rohingya akan di deportasi’, A. Suryadi, 07 Februari 2009, (http://www.serambinews.com/index.php/2009/02/07/enis-rohingya-akan-di-deportasi.) diakses pada 16 Maret 2009, pukul 15:21 WITA.
Hinamagazine ‘unhcr dilibatkan tangani pengungsi rohingya di aceh, Faisal Rahmat 05 Februari 2009, (http://www.hinamagazine.com /index.php/2009/04/01/unhcrdilibatkan-tangani-pengungsi-rohingya-di-aceh.) diakses pada 16 Maret 2009, pukul 15:23 WITA.
Konvensi mengenai status pengungsi, 1951, (http://www.unhcr.or.id /Data/KonfensidanProtokol.pdf.) diakses pada 16 Maret 2009, pukul 16:09 WITA. Hal. 9
Rohingya muslim Myanmar yang di dzalimi (http://www.arrahmah.com /index.php/news/read/2762/rohingya-muslim-myanmar-yang-didzalimi) diakses pada 02 Desember 2009, Pukul 15:31 WITA.
Sejarah Aceh (http://id.wikipedia.org/wiki/Aceh#Sejarah) diakses pada 05 Desember 2009, Pukul 11:20 WITA.
Demografi Australia (http://id.wikipedia.org/wiki/Australia) diakses pada 02 Desember 2009, Pukul 16:10 WITA.
Deplu “benah diri” (http://www.deplu.go.id/Pages/AboutUs. aspx?IDP= 4&I=id) diakses pada 13 Desember 2009, pukul 20:27 WITA.
Tugas utama Deplu dari tahun 1998 – sekarang (http://www.deplu.go.id /Pages/History.aspx?IDP=4&I=id) Diakses pada 13 Desember 2009, pukul 20:23 WITA.
Kelembagaan Kementrian Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (http://www.menkokesra.go.id/content/view/14/34/) diakses pada 11 Desember 2009, Pukul 10:05 WITA.
Tugas dan Fungsi Kementrian Negara Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat (http://www.menkokesra.go.id/content/view/166/117/) diakses pada 11 Desember 2009, Pukul 10:15 WITA.
Pengenalan ICRC (http://www.icrc.org/web/eng/ siteeng0.nsf/htm lall/indonesia? opendocument) diakses pada 11 Desember 2009, Pukul 11:15 WITA.
Sejarah Pembentukan serta Peran Palang Merah Indonesia (http://id.wikipedia.org/wiki/Palang_Merah_Indonesia) diakses pada 11 Desember 2009, Pukul 13:10 WITA.
Heru Susetyo. Prinsip Non Refoulement dan Mensikapi Pencari Suaku Rohingya. (http://saverohingya.com/manusia-perahu-dan-warga-yang-dilupakan.html) diakses pada 10 Desember 2009, Pukul 15:00 WITA.