i
PREDIKSI EROSI MENGGUNAKAN METODE
UNIVERSAL SOIL LOSS EQUATION UNTUK
PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN DI
DAERAH ALIRAN SUNGAI LAMPOKO
OLEH:
SUGIARTI LIPI
M11109304
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
ii
HALAMAN PENGESAHAN
Judul : Prediksi Erosi Menggunakan Metode Universal
Soil Loss Equation untuk Perencanaan
Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai
Lampoko
Nama : Sugiarti Lipi
NIM : M11109304
Jurusan : Kehutanan
Skripsi ini Disusun Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh
Gelar Sarjana Kehutanan
Pada
Program Studi Kehutanan
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin
Menyetujui,
Komisi Pembimbing
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ir. Roland A. Barkey Andang Suryana Soma, S.Hut., MP
NIP. 19540614198103 1 007 NIP. 19700815200501 2 001
Mengetahui,
Ketua Jurusan Kehutanan
Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin
Dr. Ir. Beta Putranto, M.Sc
NIP. 19540418197903 1 001
Tanggal Pengesahan : Agustus 2013
iii
ABSTRAK
Sugiarti Lipi (M 111 09 304). Prediksi Erosi Menggunakan Metode Universal
Soil Loss Equation untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran
Sungai Lampoko di bawah bimbingan Roland A. Barkey dan Andang
Suryana Soma.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat bahaya erosi dengan
menggunakan metode Universal Soil Loss Equation berbasis Sistem Informasi
Geografis dan merumuskan perencanaan pemanfaatan penggunaan lahan yang
baik berdasarkan tingkat bahaya erosi di DAS Lampoko. Penelitian ini diharapkan
dapat menjadi bahan informasi kepada instansi terkait dalam membuat rencana
pengelolaan DAS yang baik dalam upaya rehabilitasi lahan dan konservasi tanah
dan air pada DAS Lampoko. Penelitian ini dilaksanakan di DAS Lampoko
Kabupaten Barru Sulawesi Selatan pada bulan Maret hingga April 2013.
Penelitian ini menggunakan pendekatan unit lahan sebagai satuan analisis.
Prediksi tingkat laju erosi dihitung dengan menggunakan metode USLE.
Penentuan tingkat bahaya erosi didasarkan atas tingkat laju erosi dengan
kedalaman tanah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat bahaya erosi di
wilayah penelitian bervariasi dari sangat ringan, ringan, sedang, berat dan sangat
berat dengan persentase luas berturut-turut 12,70%, 26,15%, 29,14%, 24,25% dan
7,75%, %, besarnya laju erosi sangat ringan yaitu 815,72 ton/ha/thn, erosi ringan
1.686,25 ton/ha/thn, erosi sedang 2.943,36 ton/ha/thn, erosi berat 12.484,51
ton/ha/thn dan erosi sangat berat 3.488,47 ton/ha/thn. Arahan perencanaan
penggunaan lahan di wilayah penelitian terdiri dari agroforestry, hutan rakyat,
hutan tanaman rakyat, tambak, pemukiman, penghijauan, reboisasi, sawah dan
tubuh air. Dengan menata penutupan lahan di wilayah penelitian terbukti dapat
menurunkan laju erosi.
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas limpahan rahmat,
taufik, dan hidayah_Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan
penyusunan skripsi dengan judul Prediksi Erosi Menggunakan Metode
Universal Soil Loss Equation untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di
Daerah Aliran Sungai Lampoko.
Bantuan moril, semangat, pendapat, serta tenaga, banyak penulis terima
dalam menyelesaikan penelitian ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak Dr. Ir. Roland A. Barkey dan Bapak Andang Suryana Soma, S.Hut,
MP, selaku pembimbing yang telah banyak meluangkan waktu, buah pikiran,
dan tenaga dalam memberikan bimbingan, arahan, kritik dan saran-saran yang
membangun sejak rencana awal penelitian hingga penyelesaian skripsi ini.
2. Bapak Prof. Dr. Ir. Daud Malamassam, M.Agr, Bapak Dr. Ir. H. Usman
Arsyad, MS dan Bapak Dr. Ir. H. Anwar Umar,M.S. selaku penguji yang
telah banyak memberikan bantuan, pendapat, koreksi, saran dan waktunya
dalam perbaikan dan penyelesaian skripsi ini.
3. Bapak/Ibu Dosen dan staf Administrasi Fakultas Kehutanan atas
bantuannya selama penulis menempuh pendidikan di Fakultas Kehutanan
Universitas Hasanuddin.
4. Bapak Camat Balusu dan Soppeng Riaja beserta Kepala Desa, Kepala
Dinas Kehutanan Kabupaten Barru, terimakasih atas bantuannya saat
penulis melaksanakan penelitian.
v
5. Keluarga kecil di Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Spasial
Kehutanan ( k Tini, k Talebe, k Umi, k Iman, k Ical, k Septian, k
Valent, , k Novi, k Athira, k Munajat, k Reyni, kAndin, k Dini, k
Rusman, k Inal, Alamsyah, Musnadil Mushawwir T, Adelia Juli Kardika,
Musdalifah, Muhajir, Riri dan Kenta) atas bantuan, semangat, kritik, saran,
perhatian, kebersamaan, dan dukungannya selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
6. Sahabat-sahabatku Rezki Wahyuni Anwar, Irna Mayang Sari, Rizka
Meylawati, A. Muhalishah AM, Mega Sari, Suhartini Rahman, Muh. Nur
Taslim, Imam Gazali, Adnan Sanjaya, Muh. Ahirul Safad, Ardin Daud
Diga, Muh. Indhy Rizky, Zulfikar Taufik, k Tri, k Icha dan k Cici
terima kasih atas bantuan, kebersamaan, dan semangatnya kepada penulis.
7. Teman- teman Angkatan 09 Kehutanan, terimakasih atas bantuan,
kebersamaan dan semangatnya kepada penulis selama penulis menempuh
pendidikan di Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin.
8. Teman-teman KKNP/Magang Gelombang IV terima kasih atas bantuan,
semangat dan kerbersamaannya selama ini.
Ucapan terkhusus penulis haturkan rasa hormat dan terima kasih yang
sebesar-besarnya kepada Ayahanda dan Ibunda tercinta Jamil dan Saharia atas
doa, kasih sayang, kerja keras, motivasi, semangat dan bimbingannya dalam
mendidik dan membesarkan penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas
akhir ini, serta saudara-saudaraku tersayang Sugiarto Lipi, Herlina Lipi,
Sugiarno Lipi, Syamsuriadi Lipi dan Anugra Lipi atas semangat dan doanya.
vi
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak
kekurangan. Untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk penyempurnaan skripsi ini, dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi
semua pihak yang membutuhkan.
Makassar, Agustus 2013
Penulis
vii
DAFTAR ISI
Halamanan
HALAMAN JUDUL .................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ...................................................... ii
ABSTRAK .................................................................................... iii
KATA PENGANTAR .................................................................. iv
DAFTAR ISI ................................................................................ vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................... viii
DAFTAR TABEL ........................................................................ ix
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................ xi
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Tujuan dan Kegunaan ...................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Daerah Aliran Sungai (DAS) ........................................... 5
B. Erosi .................................................................................. 10
C. Metode Prediksi Erosi ...................................................... 18
D. Sistem Informasi Geografis .............................................. 20
E. Penggunaan Lahan ............................................................ 22
III. METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat .......................................................... 24
B. Alat dan Bahan Penelitian ................................................ 24
C. Metode Pengumpulan Data .............................................. 24
viii
D. Analisis Data ..................................................................... 25
IV. KEADAAN UMUM LOKASI
A. Letak dan Luas .................................................................. 32
B. Topografi dan Kelerengan ................................................ 33
C. Tanah dan Geologi ............................................................ 34
D. Iklim dan Curah Hujan .................................................... 35
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Prediksi Erosi Metode Universal Soil Loss Equation ...... 37
1. Faktor Erosivitas ......................................................... 37
2. Faktor Erodibilitas Tanah (K) ................................... 39
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS) ........... 41
4. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Konseervasi
Tanah (CP) ................................................................... 43
B. Tingkat Bahaya Erosi (TBE) ............................................ 47
C. Erosi yang Diperbolehkan................................................. 50
D. Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan ........................ 51
VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan ....................................................................... 53
B. Saran .................................................................................. 53
DAFTAR PUSTAKA .............................................................. 54
LAMPIRAN ............................................................................ 56
ix
DAFTAR GAMBAR
No Judul Halaman
1. Peta Erosivitas Hujan (R) DAS Lampoko ............................... 38
2. Peta Erodibilitas Tanah DAS Lampoko .................................. 40
3. Peta Nilai LS DAS Lampoko.................................................. 42
4. Peta Nilai C DAS Lampoko ................................................... 45
5. Peta Nilai P DAS Lampoko .................................................... 46
6. Peta Tingkat Bahaya Erosi DAS Lampoko ............................. 49
7. Peta Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan DAS Lampoko 52
x
DAFTAR TABEL
No Judul Halaman
1. Pedoman Penetapan Nilai T untuk Tanah-tanah di Indonesia 18
2. Penilaian Kelas Kelerengan (LS) ........................................ 27
3. Indeks Pengelolaan Tanaman (nilai C) untuk Pertanaman
Tunggal ............................................................................... 28
4. Indeks Pengelolaan Tanaman (Nilai C) untuk Penanaman
Tumpang Sari dan Pergiliran Tanaman ................................ 29
5. Indeks Konservasi Tanah (Nilai P) ...................................... 30
6. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi Tanah .............................. 31
7. Data Administrasi DAS Lampoko ....................................... 32
8. Kondisi Topografi DAS Lampoko ....................................... 33
9. Kemiringan Lereng DAS Lampoko ..................................... 34
10. Jenis Tanah DAS Lampoko ................................................. 34
11. Geologi Batuan DAS Lampoko ........................................... 34
12. Rata-Rata Jumlah Bulan Kering, Bulan Lembab dan Bulan
Basah Selama 10 Tahun Terakhir di DAS Lampoko ............ 36
13. Nilai Erosivitas DAS Lampoko ........................................... 37
14. Jenis Tanah dan Nilai Erodibilitas DAS Lampoko ............... 39
15 Nilai LS DAS Lampoko ...................................................... 41
16. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Tindakan Konservasi
Tanah di DAS Lampoko ...................................................... 43
17. Tingkat Laju Erosi di Wilayah DAS Lampoko .................... 47
18. Sebaran Prediksi Tingkat Bahaya Erosi Menggunakan Metode
xi
USLE di DAS Lampoko ...................................................... 48
19. Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan Wilayah DAS
Lampoko ............................................................................. 51
xii
DAFTAR LAMPIRAN
No. Judul Halaman
1. Peta Administrasi DAS Lampoko ........................................ 56
2. Peta Curah Hujan DAS Lampoko ........................................ 57
3. Peta Jenis Tanah DAS Lampoko ......................................... 58
4. Peta Kemiringan Lereng DAS Lampoko.............................. 59
5. Peta Unit Lahan DAS Lampoko .......................................... 60
6. Peta Penutupan Lahan DAS Lampoko ................................. 61
7. Peta Kawasan Hutan DAS Lampoko ................................... 62
8. Peta Kelas Kemampuan Lahan DAS Lampoko .................... 63
9. Peta Kedalaman Tanah DAS LAmpoko................................... 64
10. Atribut Unit Lahan DAS Lampoko........................................... 65
11. Hasil Perhitungan Prediksi Erosi Menggunakan Metode
USLE .................................................................................. 77
12. Data Curah Hujan Bulanan Tahun 2003 2012 ................... 87
13. Penggunaan Lahan di Wilayah DAS Lampoko .................... 88
1
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Populasi manusia di muka bumi ini semakin lama semakin bertambah.
Dengan demikian kebutuhan manusia akan lahan untuk pemukiman, aktifitas
produksi dan pembangunan sarana prasarana juga semakin meningkat. Daerah-
daerah yang seharusnya mendapat perlindungan dalam hal menjaga keseimbangan
ekosistem seperti Daerah Aliran Sungai (DAS) telah dirambah dan mengakibatkan
terjadinya perubahan peruntukan lahan secara besar-besaran. Dampak dari
perubahan peruntukan lahan tersebut adalah kerusakan tanah dan lahan menjadi
semakin besar, yang dapat menyebabkan terjadinya pengikisan (erosi) dan
sedimentasi. Hal ini tentunya akan berdampak pada kerusakan sistem ekologi dari
DAS.
Terjadinya kerusakan system ekologi DAS akan menimbulkan dampak
yang sangat luas. Kerugian dan kerusakan yang terjadi tidak hanya pada bagian
hulu sebagai daerah tempat terjadinya erosi tetapi juga di daerah yang dilewati
endapan (tengah) dan di bagian hilir. Daerah hulu sebagai daerah tempat
terjadinya pengikisan dan pengangkatan lapisan tanah atas, menyebabkan
terjadinya penurunan produktivitas tanah, pertumbuhan tanaman memburuk serta
terjadi kekurangan air di musim kemarau. Daerah tengah sebagai daerah yang
dilalui tanah tererosi menyebabkan terjadinya pengendapan pada sumber-sumber
air, danau dan bendungan-bendungan. Pada bagian hilir, akibat yang paling sering
terjadi adalah terjadinya banjir dan penyediaan air minum berkurang. Hal ini
2
terjadi karena air yang masuk ke dalam tanah di daerah hulu berkurang sehingga
air tanah yang sampai ke daerah hilir juga berkurang sebagai akibat dari
terbukanya lahan dan penurunan infiltrasi dan perkolasi pada bagian hulu.
Daerah Aliran Sungai Lampoko merupakan salah satu DAS yang perlu
mendapat perhatian dari berbagai pihak dalam hal terjadinya erosi dan
sedimentasi, sehubungan dengan adanya pembangunan bendungan dan pelabuhan
pada DAS ini sesuai dengan Perda No. 4 Tahun 2009 tentang Rencana Teknis
Kawasan Khusus Pelabuhan Garongkong. Terjadinya erosi pada bagian hulu DAS
dapat menyebabkan sedimentasi yang berlebihan pada bagian hilir DAS. Hal ini
tentu saja dapat menyebabkan efisiensi dan umur efektif dari bendungan dan
pelabuhan ini menjadi berkurang. Sehingga bendungan atau pelabuhan yang
dibangun dengan biaya yang mahal akan menimbulkan kerugian yang besar.
Keberadaan dari bendungan dan pelabuhan tidak hanya dirasakan
manfatnya oleh masyarakat di sekitar DAS tetapi juga masyarakat di luar kawasan
DAS. Bendungan Lampoko dan bendungan Balusu pada bagian hulu DAS
berfungsi sebagai tempat penampungan air, sehingga keberadaan air tetap dapat
dipertahankan dan dimanfaatkan untuk waktu yang lebih lama, sedangkan
pembangunan Pelabuhan Samudera Garongkong berfungsi sebagai pelabuhan
ekspor/impor untuk mendorong pembangunan di wilayah KAPET Barru pada
bagian hilir DAS.
Agar manfaat dapat dirasakan masyarakat dalam waktu yang lama maka
perlu dilakukan penelitian mengenai prediksi tingkat bahaya erosi yang terjadi
pada DAS Lampoko. Tingkat bahaya erosi dalam penelitian ini ditentukan
3
berdasarkan besarnya erosi tanah yang dihitung dengan menggunakan metode
Universal Soil Loss Equation (USLE) dibandingkan dengan ketebalan solum
tanah. Metode Universal Soil Loss Equation merupakan salah satu metode yang
umum digunakan untuk menduga laju erosi yang terjadi pada suatu DAS. Dalam
pengolahan data, digunakan aplikasi SIG (Sistem Informasi Geografis) yaitu suatu
aplikasi yang digunakan untuk mengelola (input, manajemen dan output) data
spasial atau data yang bereferensi geografis. SIG dapat digunakan untuk
menganalisis dan mentransformasikan data-data yang kompleks dari berbagai
macam sumber dalam peta yang dapat mengilustrasikan permasalahan sehingga
lebih mudah untuk dipahami.
Sehubungan dengan permasalahan tersebut, maka perlu dilakukan
penelitian Prediksi Erosi Menggunakan Metode Universal Soil Loss Equation
untuk Perencanaan Penggunaan Lahan di Daerah Aliran Sungai Lampoko.
B. Tujuan dan Kegunaan
Penelitian ini bertujuan untuk (1) Mengetahui tingkat bahaya erosi di DAS
Lampoko dengan menggunakan metode USLE berbasis Sistem Informasi
Geografis, (2) Merumuskan perencanaan pemanfaatan penggunaan lahan yang
baik berdasarkan tingkat bahaya erosi di DAS Lampoko. Kegunaan dari penelitian
ini adalah (1) Sebagai bahan informasi kepada instansi terkait dalam membuat
rencana pengelolaan DAS yang baik dalam upaya rehabilitasi lahan dan
konservasi tanah dan air, (2) Sebagai acuan bagi mahasiswa yang lain yang ingin
mempelajari perhitungan erosi dengan menggunakan metode USLE melalui
analisis Sistem Informasi Geografis (SIG).
4
BAB 2
TINJAUN PUSTAKA
A. Daerah Aliran Sungai
Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara
topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan
menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai
utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau
catchment area ) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri
atas sumber daya alam (tanah, air dan vegetasi) dan sumber daya manusia sebagai
pemanfaat sumber daya alam (Asdak, 2001).
Keberadaan hutan di suatu daerah aliran sungai mempunyai fungsi dan
peranan yang sangat penting, baik secara ekologis maupun secara ekonomis.
Secara ekologis, pengaruh keberadaan hutan yang dikelola dengan baik terhadap
siklus hidrologi dan erosi/degradasi tanah, antara lain sebagai berikut (Arif, 2001):
1. Hutan barangkali tidak berpengaruh terhadap total presipitasi, tetapi jumlah
air hujan yang mencapai permukaan tanah sangat dikurangi oleh proses
intersepsi vegetasi hutan.
2. Hutan umumnya tidak mampu mempengaruhi kapasitas cadangan air bumi
dan tampaknya juga tidak banyak berpengaruh terhadap perkolasi air dalam
dan aliran air bumi.
3. Hutan berpengaruh terhadap eksesibilitas cadangan air bumi karena hutan
mampu menyebabkan tanah mempunyai kondisi hidrologi yang lebih baik,
5
sehingga memungkinkan infiltrasi lebih banyak dan juga perkolasi air dalam
tanah.
4. Kondisi hidrologi yang baik pada tanah-tanah hutan yang ditandai oleh
kapasitas infiltrasi yang besar dan kapasitas simpanan depresi yang cukup
besar mampu menghambat terjadinya banjir di daerah yng tidak berhutan.
5. Meskipun hutan mampu menyebabkan tanah mempunyai karateristik
hidrologi yang baik, namun hutan tidak mampu mengubah sifat hidrologi
yang buruk, seperti solum yang dangkal/tipis.
6. Hutan mempunyai evapotranspirasi lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk
vegetasi lainnya. Oleh karena itu, total aliran sungai dari daerah hutan
seringkali lebih kecil daripada daerah lainnya.
7. Dampak yang baik dari hutan terhadap kondisi hidrologi disebabkan oleh
hubungan yang baik antara hutan dan faktor-faktor tanah. Hal ini terlihat pada
pengaruh yang baik terhadap erosi kerena vegetasi hutan menyediakan
serasah lantai hutan yang mampu mengurangi gaya erosi.
Hidrologi DAS adalah cabang ilmu hidrolgi yang mempelajari pengaruh
pengelolaan vegetasi dan lahan di daerah tangkapan air bagian hulu (upper
catchment) terhadapa daur air, termasuk pengaruhnya terhadap erosi, kualitas air,
banjir, dan iklim di daerah hulu dan hilir. Sedangkan pengelolaan DAS adalah
suatu proses formulasi dan implementasi kegiatan atau program yang bersifat
manipulasi sumber daya alam dan manusia yang terdapat di daerah aliran sungai
untuk memperoleh manfaat produksi dan jasa tanpa menyebabkan terjadinya
kerusakan sumber daya air dan tanah (Asdak, 2001).
6
Hidrologi hutan berkaitan dengan gerakan- gerakan massa dan perubahan-
perubahan fase air dalam suatu lingkungan hutan; dalam bentuknya yang paling
mendasar, ia merupakan pengkajian proses-proses hidrologi (Richard, 1988).
Adapun proses-proses hidrologi terdiri dari:
1. Kondensasi adalah proses dimana uap air ditransformasikan ke cairan atau es
dengan pelepasan energi panas laten kondensasi atau sublimasi, terjadi pada
tingkt-tingkat yang lebih tinggi di atmosfr dengan pembentukan awan-awan,
namun biasanya juga ditentukan pada permukaan dalam bentuk embun dan
embun beku.
2. Presipitasi adalah istilah umum untuk produk-produk kondensasi atmosfer
yang mencapai permukaan, misalnya hujan, salju, hujan batu es dan lapisan
es; virga adalah nama menurut pakar meteorologi untuk presipitasi yang
menguap ketika jatuh. Presipitasi di atas suatu hutan berkurang sebelum
menyentuh tanah mineral; pengurangan total yang selanjutnya dievaporasikan
dinamakan intersepsi. Intersepsi tajuk merupakan fraksi dari presipitasi yang
ditahan sementara waktu (sebelum evaporasi) oleh daun, cabang dan batang
yang akhirnya dievaporasikan dari bahan organik yang sudah mati pada lantai
hutan dinamakan intersepsi serasah. Presipitasi di atas suatu tajuk hutan
dapat mencapai lantai hutan dengan dua jalan yaitu langsung jatuh
(throughfall) yaitu bagian dari presipitasi yang mencapai lantai hutan secar
langsung.
3. Infiltrasi adalah proses meresapnya air ke dalam tanah.
7
4. Perkolasi adalah gerakan air melalui tanah-tanah berongga dan lapisan-
lapisan geologi; gerakan tersebut pada umumnya menurun (berlawanan
dengan misalnya gerakan-gerakan ke atas oleh aliran kapiler).
5. Evaporasi adalah proses fisik dimana air cair dikonversikan menjadi uap,
terjadi apabila air berhubungan dengn suhu atmosfer yang tidak jenuh pada
suhu yang sama. Transpirasi adalah evaporasi air dari permukaan-permukaan
internal organ-organ tanaman yang hidup dan difusi berikutnya dari tanaman.
Istilah evaporasi dan transpirasi seringkali sulit untuk mengidentifikasi
masing-masing, maka penguapan totalnya dinamakan evpotranspirasi.
6. Limpasan adalah istilah yang umum untuk debit-debit air permukaan dan
bawah permukaan dari suatu sistem hidrologi.
Dalam mempelajari ekosistem DAS, daerah aliran sungai biasanya dibagi
menjadi daerah hulu, tengah dan hilir. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS
dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi mempunyai
kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng
besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan
pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya
merupakan tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS dicirikan oleh hal-hal
sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase lebih kecil,
merupakan daerah dengan kemiringan lereng lebih kecil sampai dengan sangat
kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupaka daerah banjir (genangan),
pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi
didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan
8
bakau/gambut. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari
kedua karakteristik biogeofisik DAS yang berbeda tersebut di atas (Asdak, 2001).
Tujuan pengelolaan DAS adalah melakukan prinsip konservasi tanah dan
air untuk produksi air (kuantitas dan kualitas) serta pemeliharaan tanah
(pencegahan erosi dan banjir). Hal ini menunjukkan bahwa inti dari pengelolaan
DAS adalah mewujudkan kondisi optimal dari sumberdaya vegetasi, tanah dan air
sehingga memberikan manfaat yang maksimal dan berkelanjutan bagi
kesejahteraan manusia. Peningkatan kesejahteraan manusia sangat tergantung
kepada bentuk pengelolaan sumber-sumber daya alam yang terdapat di dalam
DAS (Nasoetion dan Anwar, 1981 dalam Sihite, 2001).
Komponenkomponen utama ekosistem DAS, terdiri dari manusia, hewan,
vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masingmasing komponen tersebut memiliki sifat
yang khas dan keberadaannya tidak berdiri sendiri, namun berhubungan dengan
komponen lainnya membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem). Manusia
memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas
suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan
oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan
ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen
berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem
terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam DAS kualitas
ekosistemnya secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan,
sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktifitas lahan (Ramdan, 2006).
9
Kerusakan Daerah Aliran Sungai yang terjadi mengakibatkan kondisi
kuantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan
kemarau. Selain itu juga penurunan cadangan air serta tingginya laju sendimentasi
dan erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah terjadinya banjir di musim
penghujan dan kekeringan di musim kemarau. Kerusakan Daerah Aliran Sungai
pun mengakibatkan menurunnya kualitas air sungai yang mengalami pencemaran
yang diakibatkan oleh erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah
industri, limbah pertanian (perkebunan) dan limbah pertambangan (Alamendah,
2010).
B. Erosi
1. Pengertian Erosi
Erosi adalah peristiwa pindahnya atau terangkutnya tanah atau bagian-
bagian tanah dari suatu tempat ke tempat lain oleh media alami. Pada peristiwa
erosi, tanah atau bagian-bagian tanah pada suatu tempat terkikis dan terangkut
yang kemudian diendapkan di tempat lain. Pengikisan atau pengangkutan tanah
tersebut terjadi oleh media alami, yaitu air dan angin. Erosi oleh angin disebabkan
oleh kekuatan angin, sedangkan erosi oleh air ditimbulkan oleh kekuatan air. Di
daerah beriklim basah erosi oleh air yang lebih penting, sedangan erosi oleh angin
tidak begitu berarti. Erosi oleh angin merupakan peristiwa sangat penting di
daerah beriklim kering (Arsyad, 2010).
Erosi adalah suatu peristiwa hilang atau terkikisnya tanah atau bagian
tanah dari suatu tempat yang terangkut ke tempat lain, baik disebabkan oleh
pergerakan air ataupun angin (Arsyad, 1983). Di daerah tropis basah, seperti
10
Indonesia, erosi terutama disebabkan oleh air. Selama tejadi hujan, limpasan
permukaan berubah terus dengan cepat, tetapi pada waktu mendekati akhir hujan,
limpasan permukaan berkurang dengan laju yang sangat rendah dan pada saat ini
umumnya tidak terjadi erosi (Utomo, 1989).
Erosi dapat disebut juga pengikisan atau kelongsoran yang merupakan
proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan air dan angin,
baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat tindakan/perbuatan
manusia. Sehubungan dengan itu maka dikenal dua jenis erosi yaitu
normal/geological erosion dan accelerated erosion (Kartasapoetra, 1985).
a. Normal/ Geological Erosion adalah erosi yang berlangsung secara alamiah,
terjadi secara normal di lapangan dengan tahap-tahap sebagai berikut:
- Pemecahan agregat-agregat tanah atau bongkah-bongkah tanah ke dalam
partikel-partikel tanah yaitu butiran-butiran tanah yang kecil
- Pemindahan partikel-partikel tanah tersebut baik dengan melalui
penghanyutan ataupun karena kekuatan angin
- Pengendapan partikel-pertikel tanah yang terpindahkan atau terangkut tadi
di tempat-tempat yang lebih rendah atau di dasar-dasar sungai.
b. Accelerate Erosion yaitu jenis erosi yang proses terjadinya erosi yang
dipercepat akibat tindakan-tindakan dan atau perbuatan-perbuatan itu sendiri
yang bersifat negatif ataupun telah melakukan kesalahan dalam pengelolaan
tanah dalam pelaksanaan pertaniannya. Jadi dalam hal ini berarti manusia
membantu mempercepat terjadinya erosi tersebut. Erosi yang dipercepat
banyak sekali menimbulkan malapetaka karena memang lingkungannya telah
11
mengalami kerusakan-kerusakan menimbulkan kerugian besar seperti banjir,
kekeringan ataupun turunnya produktivitas tanah.
2. Proses Erosi
Proses erosi bermula dengan terjadinya penghancuran agregat-agregat
tanah sebagai akibat pukulan air hujan yang mempunyai energi lebih besar
daripada daya tahan tanah. Hancuran dari tanah ini akan menyumbat pori-pori
tanah, maka kapasitas infiltrasi tanah akan menurun dan mengakibatkan air
mengalir di permukaan tanah dan disebut sebagai limpasan permukaan. Limpasan
permukaan mempunyai energi untuk mengikis dan mengangkut partikel-partikel
tanah yang telah dihancurkan. Selanjutnya jika tenaga limpasan permukaan sudah
tidak mampu lagi, maka bahan-bahan ini akan diendapkan. Dengan demikian ada
tiga proses yang bekerja secara berurutan dalam proses erosi, yaitu diawali dengan
penghancuran agregat-agregat tanah, pengangkutan dan diakhiri dengan
pengendapan (Utomo, 1989).
Erosi terjadi melalui tiga tahap, yaitu tahap pelepasan partikel tunggal dari
massa tanah dan tahap pengangkutan oleh media yang erosif yaitu aliran air dan
angin. Pada kondisi dimana energi yang tersedia tidak lagi cukup untuk
mengangkut partikel, maka akan terjadi tahap yang ketiga yaitu pengendapan
(Suripin, 2001 dalam Purnama , 2008).
3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Terdapat empat faktor utama yang yang menyebabkan terjadinya erosi,
yaitu iklim, sifat tanah, topografi, dan vegetasi penutup tanah. Keempat faktor
12
penyebab terjadinya erosi tersebut diuraikan satu persatu sebagai berikut (Asdak,
2001):
a. Iklim
Pengaruh iklim terhadap erosi dapat bersifat langsung atau tidak langsung.
Pengaruh langsung adalah melalui tenaga kinetis air hujan, terutama
intensitas dan diameter butiran air hujan. Pada hujan yang intensif dan
berlangsung dalam waktu pendek , erosi yang terjadi biasanya lebih besar
daripada hujan dengan intensitas lebih kecil dengan waktu berlangsungnya
hujan lebih lama.
b. Sifat-sifat Tanah
Empat sifat tanah yang penting dalam menentukan erodibilitas tanah (mudah
tidaknya tanah tererosi) adalah:
1. Tekstur tanah, biasanya berkaitan dengan ukuran dan porsi partikel-
partikel tanah dan akan membentuk tipe tanah tertentu. Tiga unsur utama
tanah adalah pasir (sand), debu (silt), dan liat (clay). Misalnya, tanah
dengan unsur dominan liat, ikatan antar partikel-partikel tanah tergolong
kuat, dan dengan demikian tidak mudah tererosi. Hal yang sama juga
berlaku untuk tanah dengan unsur dominan pasir (tanah dengan tekstur
kasar), kemungkinan untuk terjadinya erosi pada jenis tanah ini adalah
rendah karena laju infiltrasi di tempat ini besar dan dengan demikian,
menurunkan laju air larian. Sebaliknya pada tanah dengan unsur utama
debu dan pasir lembut serta sedikit unsur organik memberikan
kemungkinan yang lebih besar untuk terjadinya erosi.
13
2. Unsur organik, terdiri atas limbah tanaman dan hewan sebagai hasil
proses dekomposisi. Unsur organik cenderung memperbaiki struktur
tanah dan bersifat meningkatkan perrmeabilitas tanah, kapasitas tampung
air tanah, dan kesuburan tanah. Kumpulan unsur organik di atas
permukaan tanah dapat menghambat kecepatan air larian. Dengan
demikian, menurunkan potensi terjadinya erosi.
3. Struktur tanah, adalah susunan partikel-partikel tanah yang membentuk
agregat. Struktur tanah mempengaruhi kemampuan tanah dalam
menyerap air tanah.
4. Permeabilitas tanah, menunjukkan kemampuan tanah dalam meloloskan
air. Struktur dan tekstur tanah serta unsur organik lainnya ikut ambil
bagian dalam menentukan permeabilitas tanah. Tanah dengan
permeabilitas tinggi menaikkan laju infiltrasi, dan dengan demikian,
menurunkan laju air larian.
c. Topografi
Kemiringan dan panjang lereng adalah dua faktor yang menentukan
karakteristik topografi suatu daerah aliran sungai. Kedua faktor tersebut
penting untuk terjadinya erosi karena faktor-faktor tersebut menentukan
besarnya kecepatan dan volume air larian. Kecepatan air larian yang besar
umumnya ditentukan oleh kemiringan lereng yang tidak terputus dan panjang
serta terkonsentrasi pada saluran-saluran sempit yang mempunyai potensi
besar untuk terjadinya erosi alur dan erosi parit.
14
d. Vegetasi Penutup Tanah
Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi adalah: 1) melindungi
permukaan tanah dari tumbukan air hujan (menurunkan kecepatan terminal
dan memperkecil diameter air hujan), 2) menurunkan kecepatan dan volume
air larian, 3) menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya melalui sistem
perakaran dan serasah yang dihasilkan, dan 4) mempertahankan kemantapan
kapasitas tanah dalam menyerap air.
Terdapat empat faktor utama yang mempengaruhi laju erosi yang dapat
ditoleransi tanpa kehilangan produktivitas tanah secara permanen. Keempat faktor
tersebut adalah kedalaman tanah, tipe bahan induk, produktivitas relative dari
topsoil dan subsoil, dan jumlah erosi terdahulu. Makin dalam tanah dan makin
tebal bahan yang tembus oleh akar tumbuhan, makin cepat erosi yang terjadi tanpa
kehilangan kapasitas produksi yang tidak dapat diperbaiki. Secara umum laju
erosi diperbolehkan (Edp) untuk kebanyakan tanah adalah 25mm/tahun atau
setara dengan 25 ton/ha/tahun untuk lahan perbukitan atau miring. Untuk daerah
bertopografi datar (0-5%) Edp diperbolehkan adalah 10 ton/ha/tahun (Troeh,
Hobbs, dan Dpnahue, 1980 dalam Rahim, 2000).
4. Jenis-Jenis Erosi
Erosi dibedakan menjadi erosi lembar, erosi alur, erosi parit, erosi tebing
sungai, longsor dan erosi internal. Erosi lembar (sheet erosion) adalah
pengangkutan lapisan tanah yang merata tebalnya dari suatu permukaan tanah.
Kekuatan butir-butir hujan dan aliran permukaan yang merata diatas permukaan
tanah merupakan penyebab erosi. Erosi alur (rill erosion) adalah pengangkutan
15
tanah dari alur-alur tertentu pada permukaan tanah yang merupakan parit-parit
kecil dan dangkal. Erosi alur terjadi karena air mengalir di permukaan tanah tidak
merata tetapi berkonsentrasi pada alur tertentu sehingga pengangkutan tanah
terjadi pada tempat aliran permukaan terkonsentrasi. Kecenderungan terjadinya
erosi alur lebih dipengaruhi oleh cara bertanam dan sifat fisik tanah daripada air
hujan (Suripin, 2002).
Ada beberapa tipe erosi permukaan yang umum dijumpai di daerah tropis
menurut Asdak (2001) yaitu:
a. Erosi percikan (splash erosion) adalah proses terkelupasnya partikel-partikel
tanah bagian atas oleh tenaga kinetik air hujan bebas atau sebagai air lolos.
b. Erosi kulit (sheet erosion) adalah erosi yang terjadi ketika lapisan tipis
permukaan tanah di daerah berlereng terkikis oleh kombinasi air hujan dan air
larian (run off). Tipe erosi ini disebabkan oleh kombinasi air hujan dan air
larian yang mengalir ke tempat yang lebih rendah.
c. Erosi alur (rill erosion) adalah pengelupasan yang diikuti dengan
pengangkutan partikel-partikel tanah oleh aliran air larian yang terkonsentrasi
di dalam saluran-saluran air.
d. Erosi parit (gully erosion) membentuk jajaran parit yang lebih dalam dan
lebar dan merupakan tingkat lanjutan dari erosi alur.
e. Erosi tebing sungai (streambank erosion) adalah pengikisan tanah pada
tebing-tebing sungai dan penggerusan dasar sungai oleh aliran air sungai. Dua
prose berlangsungnya erosi tebing sungai adalah oleh adanya gerusan aliran
sungai dan oleh adanya longsoran tanah pada tebing sungai.
16
5. Dampak Erosi
Dampak erosi dibedakan menjadi dua yaitu dampak instream dan dampak
offstream. Dampak instream yaitu dampak erosi yang dapat diamati pada badan-
badan air yang ada seperti sungai, danau, atau waduk. Sedangkan dampak off
stream yaitu dampak yang terjadi sebelum partikel-partikel tanah tersebut
mencapai badan-badan air atau sesudahnya seperti dijumpai pada kejadian banjir,
penggunaan air untuk kebutuhan domestik, irigasi, atau yang lain (Sihite, 2001).
Dampak erosi tanah di tapak (on site) merupakan dampak yang dapat
terlihat langsung kepada pengelola lahan yaitu berupa penurunan produktivitas.
Hal ini berdampak pada kehilangan produksi, peningkatan penggunaan pupuk dan
kehilangan lapisan olah tanah yang akhirnya mengakibatkan timbulnya tanah
kritis. Dampak erosi tanah di luar penggunaan lahan (off site) merupakan dampak
yang sangat besar pengaruhnya. Sedimen hasil erosi tanah dan kontaminan yang
terbawa bersama sedimen dapat menimbulkan kerugian dan biaya yang sangat
besar dalam kehidupan. Bentuk dampak di luar penggunaan lahan antara lain
adalah : (i) pelumpuran dan pendangkalan waduk; (ii) tertimbunnya lahan
pertanian dan bangunan; (iii) memburuknya kualitas air dan (iv) kerugian
ekosistem perairan (Sihite, 2001).
6. Erosi yang Diperbolehkan
Erosi merupakan proses alamiah yang tidak bisa atau sama sekali sulit
dihilangkan atau tingkat erosinya menjadi nol. Sehingga perlu dilakukan suatu
tindakan supaya erosi yang terjadi masih di bawah batas maksimum (soil loss
tolerance), yaitu besarnya erosi tidak melebihi laju pembentukan tanah. Hal ini
17
penting dilakukan pada lahan-ahan pertanian untuk mebatasi tanah yang hilang
sehingga tingkat kesuburan dana atau produktivitas tanah tidak terganggu dan
dapat dipertahankan dari waktu ke waktu (Suripin, 2002).
Penetapan batas tertinggi laju erosi yang masih dapat dibiarkan atau
ditoleransikan sangat perlu, karena tidak mungkin menekan laju erosi menjadi nol
dari tanah-tanah yang diusahakan untuk pertanian terutama pada tanah-tanah yang
berlereng. Oleh sebab iu, sutu kedalaman tanah tertentu harus tetap dipelihara agar
didapat suatu volume tanah yang cukup, baik bagi tempat terjangkaunya akar
tanaman dan untuk tempat menyimpan air serta unsure hara yang diperlukan oleh
tanaman. Erosi yang masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan, yang disebut
dengan nilai T adalah laju erosi yang dinyatakan dalam mm/tahun atau
ton/ha/tahun yang terbesar dan masih dapat dibiarkan atau ditoleransikan agar
terpelihara suatu kedalaman tnaah yang cukup bagi pertumbuhan tanaman
sehingga memungkinkan tercapainya produktivitas yang tinggi secara lestari
(Arsyad, 2010).
Dengan menggunakan kriteia yang digunakan oleh Thompson (1957) ,
dengan menggunakan T maksimum untuk tanah yang dalam, dengan lapisan
bawah yang permeabe, di atas bahan (substratum) yang telah melapuk (tidak
terkonsolidasi) sebesar 2,5mm/tahun, dengan menggunakan nisbah nilai untuk
berbagai sifat dan stratum tanah, maka penetapan nilai T dapat dilihat seperti pada
Tabel 1. Batas teringgi erosi yang masih dapat dibiarkan kadang-kadang dietapkan
dengan tujuan utama untuk pegendalaian kualitas air atau untuk mengendalikan
laju pendangkalan waduk ((Arsyad, 2010).
18
Tabel 1. Pedoman Penetapan Nilai T untuk Tanah-tanah di Indonesia
No. Sifat tanah dan Substratum Nilai T (mm/tahun)
1. Tanah sangat dangkal di atas batuan 0,0
2. Tanah sangat dangkal di atas bahan telah melapuk
(tidak terkonsolidasi)
0,4
3. Tanah dangkal di atas bahan telah melapuk 0,8
4. Tanah dengan kedalaman sedang di atas bahan
telah melapuk
1,2
5. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang
kedap air di atas substrata yang telah melapuk
1,4
6. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah
Berpermiabilitas lambat, di atas substrata yang
telah melapuk
1,6
7. Tanah yang dalam dengan lapisan bawahnya
berpermia bitas sedang, di atas substrata
telah melapuk
2,0
8. Tanah yang dalam dengan lapisan bawah yang
permia bel, di atas substrata telah melapuk
2,5
Sumber: Arsyad S, (2010)
Catatan: - mm x berat isi x 10 ton/ha/tahun
- Berat isi tanah berkisar antara 0,8 sampai 1,6 g cm akan tetapi pada umumnya tanah-tanah berkadar liat tinggi mempunyai berat
isi antara 1,0 sampai 1,2 g cm
C. Metode Prediksi Eosi
Prakiraan besarnya erosi ditentukan berdasarkan data atau informasi
kehilangan tanah di suatu tempat tertentu. Dengan demikian, prakiraan besarnya
erosi tersebut dibatasi oleh faktor-faktor topografi/geologi, vegetasi dan
meteorologi. Menyadari adanya keterbatasan dalam menentukan besarnya erosi
untuk tempat-tempat di luar lokasi yang telah diketahui spesifikasi tanahnya
tersebut, maka dikembangkan cara untuk memprakirakan besarnya erosi dengan
menggunakan persamaan matematis seperti dikemukakan oleh Wischmeir dan
Smith (1978) yang dikenal dengan persamaan USLE (Asdak, 2010).
19
A = R K L S C P
A = besarnya kehilangan tanah (ton/ha/tahun)
R = faktor erosivitas curah hujan
K = faktor erodibilitas tanah
L = faktor panjang kemiringan lereng
S = faktor gradien (beda)
C = faktor (pengelolaan) cara bercocock tanam
P = faktor praktek konservasi tanah (cara mekanik)
Metode USLE adalah suatu metode prediksi erosi yang dirancang untuk
memprediksi erosi rata-rata jangka panjang dari erosi lembar atau alur di bawah
keadaan tertentu. Metode ini juga bermanfaat untuk tanah tempat bangunan dan
penggunaan non pertanian, tetapi tidak dapat memprediksi pengendapan dan tidak
memperhitungkan hasil sedimen dan erosi parit, tebing sungai dan dasar sungai
(Arsyad, 2010).
Sebagai suatu model empiris, USLE memiliki beberapa kelebihan dan
keterbatasan. Kekuatan atau kelebihan USLE menurut (Foster, 1982 dalam Baja,
2012) adalah sebagai berikut:
1. Sederhana dan mudah untuk digunakan.
2. Parameternya mudah tersedia.
3. Melibatkan basis data fisik yang komprehensif.
4. Dapat diterapkan pada wilayah yang tidak seragam di mana tidak terjadi
pengendapan (deposition).
Adapun keterbatasan dari metode USLE adalah sebagai berikut:
1. Persamaannya menggunakan pendekatan empiris yang tidak mewakili proses
fisik yang sebenarnya dari erosi tanah.
20
2. Persamaannya digunakan untuk memprediksi kehilangan tanah rata-rata
tahunan, dan tidak untuk kejadian hujan tunggal.
3. Hanya digunakan untuk perkiraan erosi lembar dan rill.
4. Tidak memperhitungkan deposisi sedimen.
D. Sistem Informasi Geografis
Sistem Informasi Geografis (SIG), atau dalam bahasa Inggris dikenal
dengan Geographic Information System adalah suatu sistem berbasis komputer
yang digunkan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi yang
bereferensi geografis (Aronof, 1989). Secara umum, pengertian Sistem Informasi
Geografis adalah suatu satuan/unit komponen yang terdiri dari perangkat keras,
perangkat lunak, data geografis dan sumber daya manusia yang bekerjasama
untuk memasukkan, menyimpan, memperbaiki, memperbaharui, mengelola,
memanipulasi, mengintegrasikan, menganalisa dan menampilkan data dalam suatu
informasi berbasis geografis (Barkey dkk., 2009).
Defenisi SIG secara umum yaitu sebagai suatu sistem berbasis komputer
untuk menangkap (capture), menyimpan (store), memanggil kembali (retrieve),
menganalisis, dan mendisplay data spasial, sehingga efektif dalam menangani
permasalahan yang kompleks baik untuk kepentingan penelitian, perencanaan,
pelaporan maupun untuk pengelolaan sumber daya dan lingkungan (Star and Estes,
1990 dalam Baja, 2012).
Data geografis terdiri dari dua komponen yaitu data spasial dan data
atribut. Data spasial mempresentasikan posisi atau lokasi geografis dari suatu
obyek di permukaan bumi. Data spasial dapat diperoleh dari berbagai sumber
21
dalam berbagai format seperti data grafis peta analog, foto udara, citra satelit,
survey lapangan, pengukuran theodolite, pengukuran dengan menggunakan GPS
dan lain-lain. Sedangkan data atribut memberikan deskripsi atau penjelasan dari
suatu obyek, dapat berupa informasi numeric, foto, narasi dan lain sebagainya,
yang diperoleh dari data statistic, pengukuran lapangan dan sensus, dan lain-lain
(Ekadinata dkk., 2008).
Menurut Prahasta (2009) SIG sebagai system terdiri dari beberapa
komponen, yaitu:
a. Perangkat keras
Perangkat keras yang sering digunakan untuk aplikasi SIG adalah koputer
(PC), mouse, monitor (plus VGA-card grafik) yang beresolusi tinggi, digitizer,
printer, plotter, receiver GPS dan scanner.
b. Perangkat lunak
SIG sebagai perangkat lunak tersusun secara modular, dimana system basis
datanya memegang peranan kunci. Perangkat lunak yang digunakan biasanya
tidak dapat berdiri sendiri, tetapi terdiri dari beberapa layer. Model layer ini
terdiri dari perangkat lunak system operasi, program-program pendukung
system-sistem khusus (special system utilities), dan perangat lunak aplikasi.
c. Data dan informasi geografi
SIG dapat mengumpulkan dan menyimpan data atau informasi yang
diperlukan baik secara tidak langsung (dengan cara meng-imfort-nya dari
format-format perangkaat lunak SIG yang lain) maupun secara langsung
dengan cara melakukan dijitasi data spasialnya (dijitasi on-screen atau head-
22
ups di atas tampilan layar monitor, atau manual dengan menggunakan
digitizer) dari peta analog dan kemudian memasukkan data atributnya dari
tabel-tabel atau laporan dengan menggunakan keyboard.
d. Manajemen
Suatu proyek SIG akan berhasil jika dikelola dengan baik dan dikerjakan oleh
orang-orang yang memiliki keahlian (kesesuaian dengan job-description yang
bersangkutan) yang tepat pada semua tingkatan.
E. Penggunaan Lahan
Penggunaan lahan (land use) merupakan segala sesuatu yang berkaitan
dengan jenis pengelolaan lahan yang diterapkan pada suatu satuan lahan. Terdapat
perbedaan mendasar antara penggunaan lahan (land use) dan penutupan (tutupan)
lahan (land cover). Penggunaan lahan berkaitan dengan aktivitas manusia yang
secara langsung berhubungan dengan lahan, dimana terjadi penggunaan dan
pemanfaatan lahan dan sumber daya yang ada serta menyebabkan dampak pada
lahan. Sedangkan penutupan lahan berhubungan dengan vegetasi (alam atau
ditanam) atau konstruksi oleh manusia (bangunan dan lain-lain) yang menutupi
permukaan tanah (Baja, 2012).
Berhasil tidaknya suatu pengelolaan lahan ditentukan oleh besarnya erosi
yang terjadi. Oleh karena itu, erosi merupakan faktor yang harus dipertimbangkan
dalam perencanaan penggunaan lahan dan pengelolaannya. Salah satu alat bantu
yang dapat digunakan dalam perencanaan penggunaan lahan adalah model
prediksi erosi (Arsyad, 2010).
23
Perencanaan tata guna lahan didefinisikan secara lengkap sebagai aktivitas
penilaian secara sistematis terhadap potensi lahan (dan termasuk air), dalam
rangka untuk memilih, mengadopsi, dan menentukan pilihan penggunaan lahan
terbaik dalam ruang berdasarkan potensi dan kondisi biofisik, ekonomi, dan sosial
untuk meningkatkan produktivitas dan ekuitas, dan menjaga kelestarian
lingkungan (Baja, 2012).
24
BAB 3
METODE PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan yaitu mulai bulan Maret sampai
dengan bulan April 2013 di DAS Lampoko. Adapun peta lokasi penelitian dapat
dilihat pada Lampiran 1.
B. Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah GPS (Global Positioning
System), kamera digital dan alat tulis menulis. Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Peta RBI 1999, Peta Administrasi DAS Lampoko, Peta Kelas
Lereng DAS Lampoko, Peta Jenis Tanah DAS Lampoko, Citra Landsat ETM +7
Tahun 2011, Peta Curah Hujan DAS Lampoko, Peta Kedalaman Tanah DAS
Lampoko yang diperoleh dari peta system lahan SulSel tahun 1991, peta kawasan
hutan DAS Lampoko, peta kemampuan lahan DAS Lampoko serta beberapa data
pendukung yang diperoleh dari instansi-instansi terkait seperti data curah hujan
dari stasiun Klimatologi I Maros.
C. Metode Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh melalui survey atau pengamatan di lapangan
pada setiap unit lahan yang memiliki karakteristik yang berbeda, yang dipilih dan
ditetapkan berdasarkan tingkat aksesibilitas. Faktor-faktor yang diamati meliputi
faktor penggunaan lahan (C) dan faktor konservasi tanah (P).
25
Sedangkan data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi pustaka,
dan hasil penelitian-penelitian terdahulu. Data sekunder meliputi keadaan umum
lokasi penelitian, Peta RBI 1999, Peta Administrasi DAS Lampoko, Peta Kelas
Lereng DAS Lampoko, Peta Jenis Tanah DAS Lampoko, Citra Landsat ETM +7
Tahun 2011, Peta Curah Hujan DAS Lampoko, Peta Kedalaman Tanah DAS
Lampoko, peta kawasan hutan DAS Lampoko, peta kemampuan lahan DAS
Lampoko serta beberapa data pendukung yang diperoleh dari instansi-instansi
terkait seperti data curah hujan dari stasiun Klimatologi I Maros.
D. Analisis Data
Analisis data diawali dengan pengolahan citra digital (digital image
processing) berbasis sistem informasi geografis (SIG) untuk memperoleh peta
penutupan lahan. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini untuk mengkaji
tingkat bahaya erosi dan arahan penggunaan lahan yaitu dengan menggunakan
pendekatan unit lahan sebagai satuan analisis. Unit lahan diperoleh dari hasil
overlay peta curah hujan, peta jenis tanah, peta kemiringan lereng dan peta
penutupan lahan. Untuk memprediksi besarnya kehilangan tanah pertahun maka
dilakukan analisis terhadap faktor-faktor penentu erosi berdasarkan metode USLE
yang dikembangkan oleh Wischmeier dan Smith (1978), dengan persamaan
sebagai berikut:
A = R x K x LS x C x P
A = besarnya kehilangan tanah (ton/ha/tahun)
R = faktor erosivitas hujan
K = faktor erodibilitas tanah
LS = faktor panjang dan kemiringan lereng
C = faktor penutupan vegetasi dan pengelolaan tanaman
P = faktor pengelolaan lahan/tindakan konservasi tanah
26
1. Faktor erosivitas hujan
Dalam perhitungan nilai erosivitas, menggunakan rumus Lenvain. Alasan
pemilihan rumus ini adalah karena data curah hujan yang tersedia adalah data
curah hujan bulanan. Adapun persamaan matematisnya sebagai berikut:
Rm = 2,21 (Rain)m 1,36
dimana : Rm = Erosivitas curah hujan bulanan
(Rain)m = Curah hujan bulanan dalam cm
dan
R = 12m=1 (Rm) = Jumlah Rm selama 12 bulan
2. Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah menunjukkan tingkat kerentanan tanah terhadap
erosi, yaitu retensi partikel terhadap pengikisan dan perpindahan tanah oleh energi
kinetik air hujan. Tekstur tanah yang sangat halus akan lebih mudah hanyut
dibandingkan dengan tekstur tanah yang kasar. Kandungan bahan organik yang
tinggi akan menyebabkan nilai erodibilitas tinggi. Nilai faktor erodibilitas tanah
ditentukan untuk tiap satuan lahan. Penetapan besarnya nilai faktor erodibilitas
tanah diperoleh dengan menganalisis peta jenis tanah dan nilai erodibilitas setiap
jenis tanah yang diperoleh dari proyek REPPPROT tahun 1985.
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Faktor panjang lereng (L) dan kemiringan lereng (S) mempengaruhi
banyaknya tanah yang hilang karena erosi. Nilai faktor penjang dan kemiringan
lereng ditentukan untuk tiap satuan lahan. Penetapan besarnya nilai faktor LS
dengan menganalisis peta kelas lereng yang diperoleh dari analisis DEM SRTM
27
90 m kemudian dicocokkan dengan tabel nilai LS. Nilai kelas kemiringan lereng
dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Penilaian Kelas Kelerengan (LS)
Kelas Lereng Kemiringan Lereng (%) Nilai LS
I 0 8 0,40
II 8 15 1,40
III 15 25 3,10
IV 25 40 6,80
V >40 9,50
Sumber: Kiranoto, 2003 dalam Jurnal SMARTEK, Vol. 8 No. 3, Agustus 2010:
169-181
4. Indeks Penutupan Vegetasi dan Pengelolaan Lahan (CP)
Faktor C ditunjukkan sebagai angka perbandingan yang berhubungan
dengan tanah hilang tahunan pada areal yang bervegetasi dengan areal yang sama
jika areal tersebut kosong dan ditanami secara teratur. Sedangkan faktor P
meliputi tindakan-tindakan yang bertujuan untuk memperkecil pengaruh erosi
pada suatu lereng dalam kaitannya dengan upaya konservasi tanah. Untuk
penentuan nilai faktor CP, dilakukan pengamatan langsung di lapangan.
Penentuan titik-titik pengamatan dilakukan pada setiap unit lahan yang memiliki
karakteristik yang berbeda, yang dipilih dan ditetapkan berdasarkan tingkat
aksesibilitas. Untuk menentukan nilai faktor C pada berbagai tanaman digunakan
tabel nilai faktor C (Pengelolaan Tanaman) pada Tabel 3 dan Tabel 4.
28
Tabel 3. Indeks Pengelolaan Tanaman (nilai C) untuk Pertanaman Tunggal
No Jenis Tanaman C
1 Padi sawah 0,01
2 Tebu 0,2 0,3*
3 Padi gogo (lahan kering) 0,53
4 Jagung 0,64
5 Sorgum 0,35
6 Kedelai 0,4
7 Kacang tanah 0,4
8 kacang hijau 0,35
9 Kacang tunggak 0,3
10 Kacang gude 0,3
11 Ubi kayu 0,7
12 Talas 0,7
13 Kentang ditanam searah lereng 0,9
14 Kentang ditanam menurut kontur 0,35
15 Ubi jalar 0,4
16 Kapas 0,7
17 Tembakau 0,4 06*
18 Jahe dan sejenisnya 0,8
19 Cabe, bawang, sayuran lain 0,7
20 Nanas 0,4
21 Pisang 0,4
22 The 0,35
23 Jambu mete 0,5
24 Kopi 0,6
25 Coklat 0,8
26 Kelapa 0,7
27 Kepala sawit 0,5
28 Cengkeh 0,5
29 Karet 0,6 0,75*
30 Serai wangi 0,45
31 Rumput Brachiaria decumbens tahun 1 0,29
32 Rumput Brachiaria decumbens tahun 2 0,02
33 Rumput gajah, tahun 1 0,5
34 Rumput gajah, tahun 2 0,1
35 Padang rumput (permanen) bagus 0,04
36 Padang rumput (permanen) jelek 0,4
29
No Jenis Tanaman C
37 Alang-alang, permanen 0,02
38 Alang-alang, dibakar sekali setiap tahun 0,1
39 Tanah kosong, tak diolah 0,95
40 Tanah kosong diolah 1,0
41 Ladang berpindah 0,4
42 Pohon reboisasi, tahun 1 0,32
43 Pohon reboisasi, tahun 2 0,1
44 Tanaman perkebunan, tanah ditutup dengan bagus 0,1
45 Tanaman perkebunan, tanah berpenutupan jelek 0,5
46 Semak tak terganggu 0,01
47 Hutan tak terganggu, sedikit seresah 0,005
48 Hutan tak terganggu, banyak seresah 0,001
Sumber : Departemen Kehutanan, 2009.
Ket : * Nilai lebih rendah untuk produksi perkebunan.
^ Nilai berasal dari Vis. 87 diasumsikan penutup tanah yang
rendah.
Tabel 4. Indeks Pengelolaan Tanaman (Nilai C) untuk Penanaman Tumpang Sari
dan Pergiliran Tanaman
No. Pengelolaan Pertanian Nilai C
1 Ubi kayu + kedelai 0,181
2 Ubi kayu + Kacang tanah 0,195
3 Padi + sorghum 0,345
4 Padi + kedelai 0,417
5 Kacang tanah + gude 0,495
6 Kacang tanah + mulsa jerami 4 ton/ha 0,049
7 Kacang tanah + kacang tunggak 0,571
8 Padi + mulsa jerami 4 ton/ha 0,096
9 Kacang tanah + mulsa jagung 4 ton/ha 0,128
10 Kacang tanah + mulsa crotalaria 3 ton/ha 0,136
11 Kacang tanah + mulsa kacang tanah 0,259
12 Kacang tanah + mulsa jerami 0,377
13 Padi + mulsa crotalaria 3 ton/ha 0,387
14 Pola tanam tumpang gilir *) + mulsa jerami 6
ton/ha/tahun
0,079
15 Pola tanam berurutan **) + mulsa sisa tanaman 0,347
16 Pola tanam berurutan 0,48
17 Pola tanam tumpang gilir + mulsa sisa tanaman 0,357
18 Pola tanam tumpang gilir 0,588
Catatan: (+) = tumpang tindih; (-) = pergiliran tanaman
Sumber : Departemen Kehutanan, 2009.
30
Untuk mengetahui faktor pengelolaan dan konservasi tanah (P) digunakan
pedoman prakiraan nilai P untuk berbagai tindakan konservasi pada Tabel 5.
Tabel 5. Indeks Konservasi Tanah (Nilai P)
No Teknik Konservas Tanah P
1 Teras bangku, baik 0,04
2 Teras bangku, sedang 0,15
3 Teras bangku, jelek 0,40
4 Teras tradisional 0,35
5 Teras gulud, baik 0,15
6 Hillside ditch atau filed pits 0,30
7 Kontur cropping kemiringan 1-3% 0,4
8 Kontur cropping kemiringan 3-8% 0,5
9 Kontur cropping kemiringan 8-15% 0,6
10 Kontur cropping kemiringan 15-25% 0,8
11 Kontur cropping kemiringan >25% 0,9
12 Strip rumput permanen, baik, rapat dan berlajur 0,04
13 Strip rumput permanen jelek 0,4
14 Strip crotolaria 0,5
15 Mulsa jerami sebanyak 6 t/ha/th 0,15
16 Mulsa jerami sebanyak 3 t/ha/th 0,25
17 Mulsa jerami sebanyak 1 t/ha/th 0,60
18 Mulsa jagung, 3 t/ha/th 0,35
19 Mulsa Crotolaria, 3 t/ha/th 0,50
20 Mulsa kacang tanah 0,75
21 Bedengan untuk sayuran 0,15
Sumber : Departemen Kehutanan, 2009.
5. Kelas Tingkat Bahaya Erosi
Untuk mengetahui tingkat bahaya erosi maka dilakukan analisis terhadap
besarnya nilai erosi berdasarkan rumus USLE dengan kedalaman efektif. Dengan
berpedoman pada Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor : P.
32/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik Rehabilitasi
Hutan dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS) maka kelas tingkat
bahaya erosi diklasifikasi menjadi lima kelas, yaitu sangat ringan, ringan, sedang,
31
berat, dan sangat berat. Klasifikasi kelas tingkat bahaya erosi dapat dilihat pada
Tabel 6.
Tabel 6. Klasifikasi Tingkat Bahaya Erosi Tanah
Sumber : Departemen Kehutanan, 2009
Keterangan : 0-SR = Sangat Ringan
I-R = Ringan
II-S = Sedang
III-B = Berat
IV-SB = Sangat Berat
6. Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan
Informasi yang dihasilkan mengenai tingkat bahaya erosi pada DAS
Lampoko, kemudian dijadikan sebagai bahan acuan dalam merumuskan arahan
perencanaan penggunaan lahan yang sesuai pada DAS Lampoko dengan tujuan
untuk mengurangi tingkat bahaya erosi pada DAS tersebut. Dalam perumusan
arahan perencanan penggunaan lahan, maka harus disesuaikan dengan keadaan
wilayah setempat. Untuk membuat arahan perencanaan penggunaan lahan maka
dilakukan overlay terhadap peta tingkat bahaya erosi, peta penutupan lahan, peta
kawasan hutan dan peta kelas kemampuan lahan wilayah DAS Lampoko.
Menganalisis peta tingkat bahaya erosi dengan peta kemampuan lahan untuk
melihat seberapa besar kemampuan lahan untuk ditumbuhi vegetasi dengan tetap
mempertimbangkan aspek penutupan lahan dan kawasan hutan.
Solum tanah
(cm)
Kelas Erosi (ton/ha/tahun)
I (480)
Dalam
>90
SR
0
R
I
S
II
B
III
SB
IV
Sedang
60-90
R
I
S
II
B
III
SB
IV
SB
IV
Dangkal
30-60
S
II
B
III
SB
IV
SB
IV
SB
IV
Sangat dangkal
32
BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI
A. Letak dan Luas
Lokasi penelitian terletak di Daerah Aliran Sungai (DAS) Lampoko yang
meliputi Desa Galung, Binuang, Takkalasi, Kamiri, Lampoko, Balusu, Ajakkang,
Mangkoso, Kiru-Kiru, dan Paccekke Kabupaten Barru, serta Desa Pesse,
Mattabulu, dan Sering Kabupaten Soppeng. Lokasi penelitian berjarak sekitar 100
km yan dapat ditempuh dengan menggunakan kendaraan beroda empat maupun
beroda dua dengan waktu kurang lebih 2 jam 30 menit. Secara gegrafis, Daerah
Aliran Sungai (DAS) Lampoko terletak diantara 11903715-11904530 lintang
utara dan 401520- 402155 lintang selatan atau berada di sebelah utara Ibu Kota
Provinsi Sulawesi Selatan. Luas wilayah DAS Lampoko yaitu 9.887,26 ha,
94,32% wilayahnya terletak pada Kabupaten Barru 5,68% wilayahnya terletak
pada Kabupaten Soppeng. Adapun rincian masing-masing wilayah dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7. Data Administrasi DAS Lampoko
No Desa Kecamatan Luas (Km2) Persentase (%)
1 Galung Barru 0,18 0,18
2 Binuang Balusu 0,05 0,05
3 Takkalasi Balusu 1,03 1,04
4 Kamiri Balusu 36,70 37,11
5 Balusu Balusu 17,8 18,09
6 Lampoko Balusu 4,12 4,17
7 Ajakkang Soppeng Riaja 10,82 10,95
8 Paccekke Soppeng Riaja 21,58 21,84
9 Kiru-Kiru Soppeng Riaja 0,13 0,13
10 Mangkoso Soppeng Riaja 0,75 0,76
11 Mattabulu Lalabata 1,32 1,34
12 Pesse Donri Donri 2,74 2,77
13 Sering Donri Donri 1,55 1,57
Total 98,77 100,00
33
Secara fisik DAS Lampoko berbatasan dengan beberapa DAS lain
diantaranya:
a. Sebelah Utara berbatasan dengan DAS Walesu
b. Sebelah Timur berbatasan dengan DAS Bila Walanae
c. Sebelah Selatan berbatasan dengan DAS Takalasi
B. Topografi dan Kelerengan
Berdasarkan kondisi topografi wilayah DAS Lampoko berada pada
ketinggian 0 - 1.250 meter di atas permukaan laut yang terbagi menjadi 5 kelas
ketinggian dimana 45% wilayahnya memiliki topografi 0 - 250 meter di atas
permukaan laut. Wilayah DAS Lampoko juga memiliki wilayah pegunungan
dengan ketinggian hingga 1.000 meter di atas permukaan laut. Adapun rincian
mengenai kondisi topografi DAS Lampoko dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Kondisi Topografi DAS Lampoko
No Kelas Ketinggian (m) Luas (ha) Pesentase (%)
1 0-250 510,16 45,62
2 250-500 3.265,69 33,03
3 500-750 1.772,26 17,92
4 750-1.000 303,29 3,07
5 1.000-1.250 35,71 0,36
Total 9.887,11 100,00
Berdasarkan peta kelerengan DAS Lampoko, dapat diketahui bahwa DAS
Lampoko memiliki kelas kemiringan lereng yang diklasifikasikan menjadi 5 kelas
yaitu mulai dari datar hingga curam. Kondisi DAS Lampoko berdasarkan
kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 9.
34
Tabel 9. Kemiringan Lereng DAS Lampoko
No Kelas Lereng Luas (ha) Persentase (%)
1 0-8% 2.739,34 27,71
2 8-15% 1.646,68 16,65
3 15-25% 811,58 8,21
4 25-40% 3.006,75 30,41
5 >40% 1.682,91 17,02
Total 9.887,26 100,00
C. Tanah dan Geologi
Berdasarkan hasil analisis peta tanah pada DAS Lampoko, diketahui jenis
tanah pada wilayah tersebut terdiri dari distropept, eutropepts, fluvaquent,
humitropept, tropaquent dan tropudults seperti yang terlihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Jenis Tanah DAS Lampoko
No Jenis Tanah Luas (ha) Persentase (%)
1 Dystropept 3.588,71 36,29
2 Eutropepts 376,14 3,80
3 Fluvaquent 1.293,35 13,08
4 Humitropep 2.198,40 22,23
5 Tropaquent 81,46 0.,82
6 Tropudults 2.349,21 23,76
Total 9887,26 100
Sumber: Proyek REPPPROT,1985.
Berdasarkan peta geologi Kabupaten Barru, diperoleh data geologi
wilayah DAS Lampoko seperti terlihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Geologi Batuan DAS Lampoko
No Batuan Luas (ha) Persentase (%)
1 Aluvium muda berasal dari endapan laut 277,97 2,81
2 Aluvium muda berasal dari
endapan sungai 0,02 0,00
3 Aluvium muda,estuarin marin,aluvium muda
berasal dari sungai gambut 1.178,00 11,92
4 Andesit,basalt 2.519,00 25,48
5 Batu gamping 94,40 0,95
6 Batu pasir,batu lanau,batu 3.464,00 35,04
35
No Batuan Luas (ha) Persentase (%)
lumpur,serpih,konglomerat
7 Batu pasir,batu lumpur,serpih 12,28 0,12
8 Batu pasir,konglomerat,batu lumpur,serpih 1.954,00 19,76
9 Marmer,batu gamping 2.97,20 3,01
10 Serpih,batu lumpur,batu pasir,konglomerat 89,81 0,91
Total 9.886,68 100,00
Sumber: Proyek REPPPROT,1985.
D. Iklim dan Curah Hujan
Umumnya tipe iklim di Indonesia ditetapkan menurut klasifikasi Schmit
dan Ferguson yang berdasarkan atas perbandingan rata-rata jumlah bulan kering,
jumlah bulan basah dan jumlah bulan lembab dengan pengklasifikasian sebagai
berikut:
1) Bulan kering (bk) dengan curah hujan setiap bulan di bawah 60 mm
2) Bulan lembab (bl) dengan curah hujan setiap bulan antara 60 mm 100 mm
3) Bulan basah (bb) dengan curah hujan setiap bulan lebih besar dari 100 mm
Curah hujan di Daerah Aliran Sungai Lampoko ditentukan dengan
menggunakan data curah hujan dari tiga stasiun penakar curah hujan yaitu
BPP.Palanro, BPP.Sumpangbinangae dan BPP.Watan Soppeng. Data curah hujan
bulanan selama 10 tahun terakhir yaitu dari tahun 2003 sampai dengan tahun 2012
pada tiga stasiun penakar curah hujan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 12.
Rata-rata jumlah bulan kering, bulan lembab dan bulan basah selama 10
tahun terakhir di tiga stasiun penakar curah hujan di DAS Lampoko dapat dilihat
pada Tabel 12.
36
Tabel 12. Rata-Rata Jumlah Bulan Kering, Bulan Lembab dan Bulan Basah
selama 10 Tahun Terakhir di DAS Lampoko
No Stasiun Curah Hujan
Jumlah dalam 10 tahun terakhir
Bulan Kering Bulan Lembab Bulan Basah
1 BPP.Palanro 2 1,2 8,8
2 BPP.Sumpangbinangae 1,8 1,2 9
3 BPP.Watan Soppeng 3,4 1,7 6,9
Total 7,2 4,1 24,7
Rata-rata 2,4 1,37 8,23
Sumber : Stasiun Klimatologi Kelas 1 Maros, 2013
Berdasarkan data pada Tabel 12, dapat ditentukan nilai Q untuk
mengetahui tipe iklim di DAS Lampoko yaitu dengan rumus sebagai berikut:
Q =
x 100%
= 2.4
8.23 x 100%
= 29%
Makin kecil nilai Q maka makin basah suatu tempat dan makin besar nilai Q maka
makin kering suatu tempat. Berdasarkan penggolongan iklim dari Schmidt dan
Ferguson, maka tipe iklim di DAS Lampoko termasuk dalam tipe iklim B yaitu
iklim basah, dengan nilai Q berkisar antara 14,3% 33,3%.
37
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Prediksi Erosi Metode Universal Soil Loss Equation
1. Faktor Erosivitas
Salah satu faktor penyebab terjadinya erosi adalah faktor erosivitas.
Semakin tinggi nilai erosivitas hujan suatu daerah maka semakin besar pula
potensi terjadinya erosi pada daerah tersebut. Nilai erosivitas hujan diperoleh
dengan menggunakan data curah hujan 10 tahun terakhir berdasarkan rumus
Lenvain. Nilai erosivitas hujan yang terdapat pada DAS Lampoko dapat dilihat
pada Tabel 13 dan peta erosivitas dapat dilihat pada Gambar 1 sedangkan peta
curah hujan DAS Lampoko dapat dilihat pada Lampiran 2.
Table 13. Nilai Erosivitas DAS Lampoko
No Nama Stasiun CH Longitude Latitude Nilai R Luas (ha)
1 Palanro 11903819,9 401013,8 2.620 938,30
2 Sumpangbinangae 1190377,6 402333,3 2.864 6.285,97
3 Watansoppeng 11905313 40215,2 1.076 2.662,99
Total 9887,26
Sumber : Data Sekunder setelah diolah dan Hasil Analisis SIG, 2013
Hasil analisis data, menunjukkan bahwa tingkat curah hujan tertinggi yaitu
stasiun Sumpangbinangae dengan nilai erosivitas 2.864 dan tingkat curah hujan
terendah yaitu stasiun Watansoppeng dengan nilai erosivitas 1.076. Hujan akan
menimbulkan erosi jika intensitasnya cukup tinggi dan jatuhnya dalam waktu
yang relatif lama. Hal tersebut disebabkan karena dalam proses erosi, energi
kinetik merupakan penyebab utama dalam menghancurkan agregat-agregat tanah.
Besarnya energi kinetik hujan tergantung pada jumlah hujan, intensitas dan
kecepatan jatuhnya hujan.
38
Gambar 1. Peta Erosivitas Hujan (R) DAS Lampoko
39
2. Faktor Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah menunjukkan resistensi partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah terhadap energi kinetik air
hujan. Setiap jenis tanah mempunyai nilai erodibilitas yang berbeda tergantung
dari karakteristik tanah seperti tekstur tanah, kapasitas infiltrasi dan kandungan
bahan organik dan kimia tanah. Sehingga untuk mengetahui nilai erodibilitas
tanah maka perlu melakukan analisis jenis tanah. Semakin tinggi nilai erodibilitas
menunjukkan bahwa tanah tersebut semakin peka terhadap erosi. Jenis tanah dan
nilai erodibilitas pada DAS Lampoko dapat dilihat pada Tabel 14 dan Peta
erodibilitas dapat dilihat pada Gambar 2 sedangkan peta sebaran jenis tanah di
DAS Lampoko dapat dilihat pada Lampiran 3.
Table 14. Jenis Tanah dan Nilai Erodibilitas DAS Lampoko
No Jenis Tanah Nilai K Luas (ha)
1 Dystropept 0.15 3.588,71
2 Eutropepts 0.15 376,14
3 Fluvaquent 0.40 1.293,35
4 Humitropept 0.15 2.198,40
5 Tropaquent 0.10 81,46
6 Tropudults 0.15 2.349,21
Total 9.887,26
Sumber : Hasil Analisa SIG, 2013
40
Gambar 2. Peta Erodibilitas Tanah DAS Lampoko
41
3. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (LS)
Panjang dan kemiringan lereng merupakan dua unsur topografi yang
berpengaruh terhadap erosi. Apabila kemiringan dan panjang lereng semakin
meningkat maka erosi juga akan meningkat. Berdasarkan pengamatan di lapangan
menunjukkan bahwa kemiringan lereng lebih penting daripada panjang lereng,
karena pergerakan air serta kemampuannya memecahkan dan membawa partikel
tanah akan bertambah dengan bertambahnya sudut ketajaman lereng. Curamnya
lereng akan memperbesar energi angkut air. Selain itu dengan makin miringnya
lereng, maka jumlah butir-butir tanah yang dipercik kebawah oleh tumbukan air
semakin banyak. Nilai faktor kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 15 dan
peta nilai LS dapt dilihat pada Gambar 3 sedangkan peta kemiringan lereng dapat
dilihat pada Lampiran 4.
Table 15. Nilai LS DAS Lampoko
No Topografi Kelas Lereng (%) Nilai LS Luas (ha)
1 Datar 0-8 0,4 2.680,21
2 Landai 8-15 1,4 1.603,20
3 Agak curam 15-25 3,1 1.117,26
4 Curam 25-40 6,8 3.025,18
5 Sangat curam >40 9,5 1.461,41
Total 9.887,26
Sumber : Kiranoto, 2003 dalam Jurnal SMARTEK, Vol. 8 No. 3, Agustus 2010:
169-181
42
Gambar 3. Peta Nilai LS DAS Lampoko
43
4. Faktor Pengelolaan Tanaman dan Konseervasi Tanah (CP)
Nilai faktor pengelolaan tanaman (C) dan tindakan konservasi tanah (P)
diperoleh dari pengamatan langsung di lapangan berdasarkan peta unit lahan. Peta
unit lahan wilayah DAS Lampoko dapat dilihat pada Lampiran 5. Berdasarkan
peta unit lahan maka diperoleh faktor pengelolaan tanaman dan tindakan
konservasi tanah seperti pada Tabel 15 dan Peta nilai C dan P dapat dilihat pada
Gambar 4 dan 5 edangkan peta penggunaan lahan dapat dilihat pada lampiran 6.
Berbagai jenis penggunaan lahan di wilayah DAS Lampoko dapat dilihat pada
Lampiran 13.
Tabel 16. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman dan Tindakan Konservasi Tanah di
DAS Lampoko
No Penggunaan Lahan Nilai C Nilai P Luas (ha)
1 Hutan berkerapatan rendah 0,005 1 6.536,59
2 Kebun campuran 0,1 1 1.001,52
3 Semak belukar 0,01 1 1.164,65
4 Sawah 0,01 0,15 680,78
5 Padi gogo 0,53 1 26,44
6 Kacang-kacangan 0,4 1 286,11
7 Pemukiman 1 1 4,43
8 Tambak 1 1 186,74
Total 9.887,26
Sumber : Hasil Analisa SIG, 2013
Penggunan lahan wilayah DAS Lampoko didominasi oleh hutan
berkerapatan rendah seluas 6.536,67 ha dengan nilai C (0,005) dan nilai P (0,15).
Vegetasi penutup tanah sangat besar pengaruhnya terhadap aliran permukaan dan
erosi. Semakin banyak vegetasi maka akan semakin memperendah laju erosi yang
akan terjadi demikian sebaliknya. Pengaruh vegetasi penutup tanah terhadap erosi
adalah melindungi permukaan tanah dari tumbukan air hujan, menurunkan
44
kecepatan air larian, menahan partikel-partikel tanah pada tempatnya dan
mempertahankan kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air.
Nilai faktor tindakan manusia dalam konservasi tanah (P) adalah nisbah
antara besarnya erosi dari suatu lahan dengan suatu tindakan konservasi tertentu
terhadap besarnya erosi pada lahan tanpa tindakan konservasi. Berdasarkan
pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa penerapan teknik konservasi tanah
di wilayah DAS Lampoko belum optimal karena hampir sebagian besar wilayah
DAS Lampoko tidak menerapkan tindakan konservasi.
45
Gambar 4. Peta Nilai C DAS Lampoko
46
Gambar 5. Peta Nilai P DAS Lampoko
47
B. Tingkat Bahaya Erosi (TBE)
Tingkat laju erosi dianalisis dengan menggunakan bantuan perangkat
lunak Arc GIS dengan melakukan overlay kelima peta nilai indeks penentu erosi
yaitu peta indeks erosivitas (R), indeks erodibilitas tanah (K), peta indeks
kelerengan (LS) dan indeks vegetasi dan praktek konservasi (CP). Berdasarkan
hasil analisis tersebut, diperoleh data laju tingkat erosi di wilayah DAS Lampoko
seperti pada Tabel 17. Perhitungan prediksi tingkat laju erosi menggunakan
metode USLE pada DAS Lampoko dapat dilihat pada Lampiran 11.
Tabel 17. Tingkat Laju Erosi di Wilayah DAS Lampoko
NO Tingkat Erosi (ton/ha/thn) Luas (ha) Persentase (%)
1 < 15 7.451,81 75,37
2 15 60 1.675,60 16,95
3 60 180 202,67 2,05
4 180 480 313,43 3,17
5 >480 243,76 2,47
Total 9.887,26 100,00
Sumber: Hasil analisis SIG, 2013
Berdasarkan Tabel 17 dapat diketahui bahwa tingkat laju erosi di wilayah
DAS Lampoko tergolong sangat ringan sampai ringan, yang tersebar pada wilayah
seluas 9.127,41 ha atau 92,31% dari luas wilayah penelitian. Laju erosi sangat
ringan sampai ringan pada suatu unit lahan tidak selamanya memiliki tingkat
bahaya erosi (TBE) sangat ringan samapi ringan, demikian sebaliknya.
Tingkat bahaya erosi menggambarkan jumlah tanah yang hilang
maksimum pada setiap unit lahan yang diperoleh berdasarkan besarnya laju erosi
terhadap kedalaman solum tanah. Tanah-tanah dengan solum yang sangat dalam
(>1,5 m) serta top soil yang tebal akan memiliki toleransi yang tinggi dibanding
48
dengan tanah-tanah dengan solum dan topsoil yang tipis, sehingga jumlah
kehilangan tanah yang kecilpun kadang-kadang memiliki resiko yang sangat besar
terhadap lahan bersangkutan jika tanah pada unit tersebut memiliki solum dan
topsoil yang tipis (Hadi, 1989).
Berdasarkan hasil analisis peta tingkat laju erosi dengan peta kedalaman
tanah maka diperoleh peta sebaran tingkat bahaya erosi di DAS Lampoko seperti
pada Gambar 6 dan sebaran prediksi tingkat bahaya erosi di DAS Lampoko dapat
dilihat pada Tabel 18.
Tabel 18. Sebaran Prediksi Tingkat Bahaya Erosi Menggunakan Metode USLE di
DAS Lampoko
No
Tingkat Bahaya
Erosi
Luas
Total
Persentase
(%) Balusu Barru Donri Donri
Soppeng
Riaja
1 0-SR (Sangat ringan) 751,98
503,83 1.255,81 12,70
2 I-R (Ringan) 765,32 572,11 1.248,34 2.585,77 26,15
3 II-S (Sedang) 2.243,64
637,41 2.881,05 29,14
4 III-B (Berat) 2.057,39 82,08 258,45 2.397,91 24,25
5 IV-SB (Sangat Berat) 263,75 6,97
496,00 766,73 7,75
Total 6.082,07 6,97 654,19 3.144,03 9.887,26 100,00
Sumber: Hasil analisis SIG, 2013
49
Gambar 6. Peta Tingkat Bahaya Erosi DAS Lampoko
Hasil Tabel 18 dapat dilihat bahwa wilayah DAS Lampoko memiliki
tingkat bahaya erosi yang bervariasi, mulai dari sangat ringan, ringan, sedang,
berat dan sangat berat. Kecamatan Balusu dengan luas 6.082,07 ha memiliki
50
tingkat bahaya erosi mulai dari sangat ringan,ringan, sedang, bertdan sangat berat.
Kecamatan Barru dengan luas paling kecil hanya memiliki tingkat bahaya erosi
kategori sangat berat. Kecamatan Donri-Donri memiliki tingat bahaya erosi ringan
dan berat. Sedanagkan kecamtan Soppeng Riaja dengan luas 3.144,03 ha juga
memiliki tingkat bahaya erosi yang bervariasi mulai dari sangat ringan sampai
sangat berat. Adanya perbedaan tingkat bahaya erosi pada setiap wilayah
disebabkan karena perbedaan karakteristik setiap wialayah seperti penggunaan
lahan, kelerengan, jenis tanah, curah hujan dan faktor kedalaman tanah. Tingkat
bahaya erosi sedang memiliki persentase paling tinggi yaitu 29,14% dan tingkat
bahaya erosi sangat berat memiliki persentase paling rendah yaitu 7,75%. Wilayah
yang memiliki tingkat bahaya erosi sedang sampai sangat berat perlu dilakukan
tindakan pengendalian erosi dengan cara vegetatif dan mekanik sehingga
diharapkan nilai erosi pada setiap wilayah dapat di tekan atau di perkecil.
C. Erosi yang Diperbolehkan
Dengan berpedoman pada penetapan nilai T untuk tanah-tanah di
Indonesia maka dapat diketahui besar nilai erosi yang masih dapat ditoleransi atau
diperbolehkan pada suatu unti lahan. Besarnya nilai erosi yang diperbolehkan
untuk setiap unit lahan dapat dilihat ada Lampiran 12. Hasil analisis kedalaman
tanah menunjukkan bahwa terdapat beberapa unit lahan yang mempunyai laju
erosi lebih besar dari erosi yang diperbolehkan. Hal ini disebabkan karena
penggunaan lahan pada unit lahan tersebut berupa semak belukar tanpa tindakan
konservasi dan juga terletak pada kondisi wilayah dengan topografi curam.
Wilayah-wilayah seperti ini perlu mendapatkan tindakan pengendalian erosi
51
seperi melakukan penanaman berbagai macam pohon dengan tujuan untuk
mengurangi laju erosi.
D. Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan
Untuk mengahasilkan peta arahan perencanaan maka dilakukan tumpang
susun peta tingkat bahaya erosi, peta kawasan hutan dan peta kemampuan lahan
wilayah DAS Lampoko. Peta kawasan hutan dapat dilihat pada Lampiran 7 dan
peta kelas kemampuan lahan dapat dilihat pada Lampiran 8. Adapun peta hasil
arahan perencanaan penggunaan lahan di wilayah DAS Lampoko dapat dilihat
pada Gambar 7. Luas arahan perencanan penggunaan lahan wilayah DAS
Lampoko dapt dilihat pada Tabel 19.
Tabel 19. Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan Wilayah DAS Lampoko
No Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan Luas (ha)
1 Agroforestry 744,70
2 Hutan Rakyat 1.048,39
3 Hutan Tanaman Rakyat 3.549,45
4 Tambak 149,11
5 Pemukiman 14,67
6 Penghijauan 198,42
7 Reboisasi 2.887,24
8 Sawah 1.232,07
9 Tubuh air 62,91
Total 9.887,26
52
Gambar 7. Peta Arahan Perencanaan Penggunaan Lahan DAS Lampoko
53
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisa dan uraian-uraian yang dikemukakan pada bab-
bab terdahulu, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Tingkat bahaya erosi di wilayah DAS Lampoko bervariasi dari 0-SR (sangat
ringan), I-R (ringan), II-S (sedang), III-B (berat) dan IV-SB (sangat berat)
dengan persentase luas berturut-turut 12,70%, 26,15%, 29,14%, 24,25% dan
7,75%, besarnya laju erosi sangat ringan yaitu 815,72 ton/ha/thn, erosi ringan
1.686,25 ton/ha/thn, erosi sedang 2.943,36 ton/ha/thn, erosi berat 12.484,51
ton/ha/thn dan erosi sangat berat 3.488,47 ton/ha/thn.
2. Arahan perencanaan penggunaan lahan di DAS Lampoko terdiri dari
agroforestry, hutan rakyat, hutan tanaman rakyat, tambak, pemukiman,
penghijauan, reboisasi, sawah dan tubuh air.
B. Saran
Pada daerah-daerah yang memiliki tingkat bahaya erosi sedang, berat dan
sangat berat perlu dilakukan upaya pencegahan erosi berupa tindakan konservasi
tanah dan perbaikan pengelolaan lahan. Sedangkan untuk daerah-daerah dengan
tingkat bahaya erosi ringan dan sangat ringan perlu tetap memperhatikan
pengolahan dan teknik konservasi tanah agar tingkat bahaya erosi tidak menjadi
berat.
54
DAFTAR PUSTAKA
Alamendah. 2010. Kerusakan Sungai dan Daerah Aliran Sungai di Indonesia,
dalam http://alamendah.wordpress.com/, diakses 7 November 2012.
Arief, A. 2001. Hutan & Kehutanan. Yogyakarta: Kanisius.
Arsyad, S.2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press, Institut Pertanian
Bogor.
Asdak, C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press.
Baja, S. 2012. Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah Pendekatan
Spasial & Aplikasinya. Yogyakarta: Andi.
Barkey, R.A., Amran.A, Syamsu.R, Andang.S.S. dan Agus.S.B.T. 2009. Buku
Ajar Sistem Informasi Geografis. Makassar: Fakultas Kehutanan,
Universitas Hasanuddin.
Departemen Kehutanan, 2009. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.
32/MENHUT-II/2009. Tentang Tata Cara Penyusunan Rencana Teknik
Rehabilitasi Hutan Dan Lahan Daerah Aliran Sungai (RTkRHL-DAS).
Jakarta.
Ekadinata,A., Sonya.D, Danan.P.H, Dudy.K.N. dan Feri.J. 2008. Sistem Informasi
Geografis Untuk Pengelolaan Bentang Lahan Berbasis Sumber Daya
Alam. Bogor: World Agroforestry Centre (ICRAF).
Hadiharyanto, Sumadi. 2003. Kajian Metode RUSLE untuk Menaksir Laju Erosi
DAS Embung Banyuwangi di Kabupaten Rembang. Tesis. Program
Pasca Sarjana Magister Teknik Sipil. Universitas Diponegoro. Semarang.
Hadi, Wani Utomo, 1989. Konservasi Tanah di Imdonesia. Jakarta: Rajawali Pers.
Kartasapoetra, G., A.G. Kartasapoetra. dan Mul.M.S. 1985. Teknologi Konservasi
tanah dan Air. Jakarta: Rineka Cipta.
Lee, R. 1988. Hidrologi Hutan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
55
Prahasta, E. 2009. Sistem Informasi Geografis Konsep-Konsep Dasar (Perspektif
Geodesi & Geomatika). Bandung: Informatika.
Purnama, N. E. 2008. Pendugaan Erosi dengan Metode USLE (Universal Soil
Loss Equation) di Situ Bojongsari, Depok. Skripsi. Departemen
Teknik Pertanian. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut Pertanian
Bogor. Bogor.
Rahim, S. E. 2000. Pengendalian Erosi Tanah Dalam Rangka Pelestarian
Lingkungan Hidup. Jakarta: Bumi Aksara.
Sihite, J. 2001. Evaluasi Dampak Erosi Tanah. Model Pendekatan Ekonomi
Lingkungan dalam Perlindungan DAS: Kasus Sub-DAS Besai DAS Tulang Bawang, Lampung. [Tesis]. Bogor: Pasca Sarjana, Institut
Pertanian Bogor.
Suripin. 2002. Pelestarian Sumber Daya Tanah dan Air. Yogyakarta: Andi Offset.
Utomo, W. H. 1989. Konservasi Tanah di indonesia Suatu Rekaman dan Analisa.
Jakarta: Rajawali Pers.
Widjajanto D, 2006. Model Penggunaan Lahan untuk Pengembangan Pertanian
Berkelanjutan (Studi Kasus Daerah Aliran Sungai Gumbasa, Donggala)
Dokumentasi Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. IPB,
Bogor.
56
Lampiran 1. Peta Administrasi DAS Lampoko
57
Lampiran 2. Peta Curah Hujan DAS Lampoko
58
Lampiran 3. Peta Jenis Tanah DAS Lampoko
59
Lampiran 4. Peta Kemiringan Lereng DAS Lampoko
60
Lampiran 5. Peta Unit Lahan DAS Lampoko
61
Lampiran 6. Peta Penutupan Lahan DAS Lampoko
62
Lampiran 7. Peta Kawasan Hutan DAS Lampoko
63
Lampiran 8. Peta Kelas Kemampuan Lahan DAS Lampoko
64
Lampiran 9. Peta Kedalaman Tanah DAS Lampoko
65
Lampiran 10. Atribut Unit Lahan DAS Lampoko
Unit Lahan Erosivitas