SKRIPSI PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU Oleh AMNA CITRA FARHANI F14103018 2007 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
SKRIPSI
PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN
R-12 MENJADI R-22
PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU
Oleh
AMNA CITRA FARHANI
F14103018
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN
R-12 MENJADI R-22
PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
AMNA CITRA FARHANI
F14103018
2007
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Amna Citra Farhani. F14103018. PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22 PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU. Di bawah bimbingan Armansyah Halomoan Tambunan. 2007
RINGKASAN Pendinginan merupakan proses pengambilan panas yang dilakukan sehingga terjadi penurunan suhu lingkungan dan menjaga suhu tersebut selama waktu yang diinginkan. Terdapat beberapa sistem pendinginan yang digunakan namun sistem pendingin kompresi uap merupakan pendinginan yang umum digunakan karena mudah diterapkan dan mudah dianalisa keefektifannya. Sistem ini terdiri dari kompresor, katup ekspansi, kondensor dan evaporator. Fluida kerja yang digunakan dalam proses pendinginan disebut sebagai refrigeran yang umumnya berasal dari golongan halokarbon yang berbahaya bagi lingkungan. Penelitin ini merupakan penelitian awalan untuk mengetahui pengaruh penggantian refrigeran halokarbon (R-12) dengan refrigeran penggantinya, baik dari golongan halokarbon (R-22) maupun golongan lain (hidrokarbon). Tingginya laju aliran massa R-22 membuat efek pendinginan, panas buang kondensor dan kerja kompresi lebih tinggi dibandingkan dengan R-12. Namun panas buang kondensor R-12 yang lebih besar daripada efek pendinginannya membuat penurunan suhu evaporasi pada R-12 lebih cepat daripada R-22. Laju aliran medium pendingin yang makin besar akan meningkatkan pindah panas di kondensor yang dibuktikan dengan perbedaan temperatur logaritmik yang makin rendah. Nilai COP terkait dengan suhu evaporasi dan kondensasi yang terjadi. COP pada R-12 tidak setinggi pada R-22 karena efek pendinginan dan kerja kompresi pada R-12 di setiap laju aliran medium pendingin adalah sama. Rendahnya tekanan hisap R-22 membatasi jangkauan kerja R-22. Pada R-12 rendahnya tekanan kompresor bukan merupakan suatu penghalang. Besarnya perbedaan tekanan yang terjadi pada R-22 membuat laju aliran semakin besar dan membuat pindah panas kurang efektif. Peningkatan laju aliran air untuk memperbesar pindah panas perlu diperhatikan agar peningkatan yang terjadi sebanding dengan panas buang kondensor dan turun tekan yang terjadi.
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
PENGARUH PENGGANTIAN REFRIGERAN R-12 MENJADI R-22
PADA PERFORMANSI MESIN PEMBEKU
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
Pada Jurusan Teknik Pertanian,
Fakultas Teknologi Pertanian,
Institut Pertanian Bogor
Oleh
AMNA CITRA FARHANI
F14103018
Dilahirkan pada tanggal 3 Oktober 1985
di Klaten
Tanggal lulus : November 2007
Menyetujui,
Bogor, 2007
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Armansyah H Tambunan, M.Agr Ir. P. Togi Edward Sihaloho, MSc NIP 131 667 791
Mengetahui,
Dr. Ir. Wawan Hermawan, M.S Ketua Departemen Teknik Pertanian
RIWAYAT HIDUP PENULIS
Penulis adalah anak pertama dari pasangan Purwadi
dan Umi Kulsum dan dilahirkan di Klaten pada tanggal 3
Oktober 1985. Pendidikan dasar diselesaikan di SD
Bonyokan I dan dilanjutkan di MTsN Klaten fillial di
Jatinom dan tamat tahun 2000. Pendidikan tingkat atas
didapatkan dari SMUN I Klaten hingga tahun 2003. Pada tahun ini pula penulis
melanjutkan studi di IPB lewat jalur USMI.
Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif mengikuti organisasi dan
kegiatan kepanitian di sekitar lingkungan kampus, di antaranya sebagai reporter
Koran Kampus (2003-2004) dan sebagai staf departemen PSDM Himateta (2004-
2006). Pada tahun 2005 menjadi asisten dosen mata kuliah Statika Dinamika
sedangkan tahun 2006 dan 2007 menjadi asisten dosen mata kuliah Matematika
Teknik.
Praktek lapangan dilakukan penulis di PTPN XII UUS Kalitelepak,
Banyuwangi dengan judul “Mempelajari Proses Pengolahan dan Pengeringan
Kakao di PTPN XII Unit Usaha Strategis Kalitelepak”.
Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian
penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Penggantian Refrigeran R-
12 Menjadi R-22 pada Performansi Mesin Pembeku”
KATA PENGANTAR
Puji syukur dihaturkan ke hadirat Allah SWT karena dengan rahmatNya
penulisan skripsi dengan judul “Pengaruh Penggantian Refrigeran R-12 menjadi
R-22 pada Performansi Mesin Pembeku” ini dapat terselesaikan. Skripsi ini
merupakan hasil penelitian yang dilakukan sejak bulan Maret 2007 hingga
Agustus 2007.
Skripsi ini dapat terselesaikan karena adanya bantuan dari berbagai pihak,
karenanya pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Armansyah H Tambunan selaku dosen pembimbing akademik.
Terima kasih atas arahan, pengertian, motivasi yang diberikan.
2. Ir. P. Togi Sihaloho dan Dr. Ir Dyah Wulandani selaku dosen penguji.
Terimakasih atas saran dan perbaikannya.
3. Ibu, Nenek, seluruh keluarga, Kiki adikku, Rahadiang, Nurma, Ririn, Esti.
Terimakasih atas do’a dan motivasi yang diberikan.
4. Khafid, Riris, Bang Omil, Mas Bayu, Mas Nuruddin dan rekan-rekan di
Luewikopo atas motivasi, diskusi, dan bantuannya.
5. Keluarga Mahasiswa Klaten, atas kesempatan serta dukungannya.
6. Teman-teman Puspita (Veve, Dewi, Eka, Tika, Dyah, Wilis) serta teman –
teman TEP 40 yang selalu memberi motovasi, dorangan dan dukungan
hingga akhir.
Karya ini masih jauh dari sempurna karenanya kritik dan saran sangat
diharapkan. Semoga karya ini bermanfaat.
Bogor, Oktober 2007
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
DAFTAR ISI .................................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR ..................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ......................................................................................... v
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................. vi
I. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
A. Latar Belakang ..................................................................................... 1
B. Tujuan ................................................................................................... 3
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................... 4
A. Sistem Pendingin Kompresi Uap ........................................................ 4
B. Komponen Mesin Pendingin Kompresi Uap ...................................... 7
1. Kompresor ............................................................................... 7
2. Penukar Panas (Heat Exchanger) ............................................ 10
a. Kondenser ................................................................ 11
b. Evaporator ................................................................ 13
3. Katup Ekspansi ....................................................................... 14
C. Refrigeran ............................................................................................ 15
1. R-12 ......................................................................................... 18
2. R-22 ......................................................................................... 19
III. METODOLOGI PENELITIAN ........................................................... 21
A. Waktu dan Tempat .............................................................................. 21
B. Alat dan Bahan .................................................................................... 21
1. Alat .......................................................................................... 21
2. Bahan ...................................................................................... 23
C. Prosedur Penelitian ............................................................................. 23
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................... 25
A. Profil Perubahan Suhu dan Efek Pendinginan ..................................... 25
B. Perpindahan Kalor di Kondenser .......................................................... 30
C. Pembahasan Koefisien Prestasi ............................................................ 33
D. Analisis Komponen Terhadap Penggantian Refrigeran ....................... 37
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................ 38
A. Kesimpulan .......................................................................................... 38
B. Saran ..................................................................................................... 38
VI.DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 39
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1. Sistem pendingin kompresi uap .................................................... 5
Gambar 2. Diagram Molier sistem kompresi tenaga uap ................................ 5
Gambar 3. Skema alat uji dan titik pengukuran .............................................. 22
Gambar 4. Diagram alir penelitian .................................................................. 24
Gambar 5. Profil suhu evaporasi setiap aliran air pendingin dan refrigeran ... 25
Gambar 6. Sistem evaporator liquid chilling ................................................... 26
Gambar 7. Profil suhu brine untuk R-12 dan R-22 pada berbagai laju
air pendingin .................................................................................. 26
Gambar 8. Efek pendinginan R-12 dan R-22 pada berbagai laju
aliran air pendingin ........................................................................ 28
Gambar 9. Profil suhu keluar kompresor refrigeran R-12 dan R-22
pada berbagai laju aliran air pendingin .......................................... 29
Gambar 10. Kerja kompresi R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran
air pendingin .................................................................................. 29
Gambar 11. Profil suhu kondensasi setiap laju aliran air pendingin
dan refrigeran ................................................................................ 30
Gambar 12. Beda temperatur logaritmik.......................................................... 31
Gambar 13. Nilai koefisien pindah panas keseluruhan ................................... 32
Gambar 14. Panas buang kondenser ............................................................... 32
Gambar 15. Diagram entalpi-tekanan R-22 .................................................... 33
Gambar 16. Diagram entalpi-tekanan R-12 .................................................... 34
Gambar 17. Diagram entalpi-tekanan aliran 800 l/jam ................................... 35
Gambar 18. Perbandingan COP setiap laju aliran ........................................... 35
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1. Jenis refrigeran dan golongannya ..................................................... 16
Tabel 2. Perbandingan sifat fisik dan termodinamis refrigeran
R-12 dan R-22 .................................................................................. 20
Tabel 3. Titik pengukuran ............................................................................... 22
Tabel 4. Laju aliran refrigeran ........................................................................ 27
Tabel 5. Perbedaan kerja kompresi dan daya terukur ...................................... 29
Tabel 6. Perbedaan panas buang kondensor dan kalor serap air...................... 33
Tabel 7. Nilai COP R-12 dan R-22 pada beberapa suhu evaporasi dan
kondensasi (Silalahi, 2006) ............................................................... 36
Tabel 8. Nilai COP dan suhu kondensasi serta suhu evaporasinya.................. 36
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1. Data pengukuran.......................................................................... 40
Lampiran 2. Gambar mesin pembeku ............................................................. 47
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendinginan telah dilakukan oleh manusia sejak lama. Proses ini dilakukan
terutama untuk mendinginkan air atau bahan makanan. Bangsa Cina dan Italia
mengambil es atau salju dan menyimpannya dengan jerami agar tidak mencair. Es
tersebut kemudian digunakan untuk mendinginkan, sedangkan salju digunakan
saat musim panas untuk mendapatkan kesegaran. Bangsa Mesir menampung air di
bejana yang diletakkan di atap pada malam hari untuk mendapatkan air dingin.
Dengan berkembangnya peradaban, berkembang pula cara pendinginan.
Pendinginan yang dilakukan saat ini umumnya bertujuan untuk
pengawetan bahan makanan ataupun untuk mendinginkan ruangan. Terdapat
beberapa sistem ataupun siklus yang dapat digunakan untuk mendapatkan
pendinginan ini, antara lain sistem jet uap, siklus absorpsi, siklus udara,
pendinginan termoelektris, dan siklus kompresi uap. Siklus kompresi uap bekerja
berdasarkan siklus Carnot. Siklus kompresi uap merupakan sistem yang paling
sering digunakan dalam proses pendinginan karena dapat beroperasi pada suhu
yang beragam dan efisiensi proses yang berlangsung mudah diketahui. Dalam
siklus ini, panas akan diserap dan dilepaskan oleh fluida kerja sehingga
didapatkan efek pendinginan. Adanya pertukaran panas menyebabkan
pendinginan siklus kompresi uap dikategorikan sebagai pendinginan mekanis.
Pada siklus kompresi uap, terdapat empat proses yang terjadi pada fluida
pendingin, yaitu kompresi fluida pendingin berfase uap, kondensasi fluida
pendingin berfase uap, ekpansi fluida pendingin berfase cair serta evaporasi fluida
pendingin berfase cair. Dengan demikian siklus kompresi uap membutuhkan tiga
komponen utama, yaitu heat exchanger, kompresor dan katup ekspansi. Terdapat
dua jenis heat exchanger yang digunakan, yang pertama disebut sebagai
evaporator dan berfungsi untuk mengambil panas dan yang kedua disebut sebagai
kondensor yang berfungsi untuk membuang panas. Setiap komponen mesin
pendingin kompresi uap mempunyai parameter masing-masing untuk mengetahui
efisien tidaknya proses yang terjadi pada komponen mesin pendingin tersebut.
Selain komponen dimana proses siklus kompresi uap berlangsung,
terdapat juga fluida pendingin yang akan digunakan untuk mengambil panas dan
melepas panas. Zat kerja ini biasa disebut sebagai refrigeran. Pada dasarnya,
semua gas yang dapat diuapkan dan didinginkan secara mekanis dapat digunakan
sebagai refrigeran. Namun refrigeran yang digunakan haruslah sesuai dengan
beberapa persyaratan, diantaranya aman digunakan pada tekanan normal dengan
alat yang biasa digunakan. Refrigeran golongan halokarbon (CFC dan HCFC)
merupakan jenis refrigeran yang hampir sesuai dengan persyaratan tersebut.
Refrigeran CFC dan HCFC ( R-12, R-22) umum digunakan pada mesin
pendingin kompresi uap. Namun perkembangan saat ini menunjukkan bahwa
refrigeran golongan halokarbon merupakan salah satu perusak lapisan ozon dan
juga menyebabkan terjadinya pemanasan global. ODP dan GWP adalah indikasi
yang digunakan untuk menentukan bahaya-tidaknya suatu refrigeran terhadap
lapisan ozon dan pemanasan global. Nilai ODP dan GWP dari CFC lebih besar
dibanding HCFC. PBB telah mengumumkan adanya larangan untuk memproduksi
CFC sehingga dibutuhkan refrigeran pengganti untuk refrigeran R-12 (CFC)
walaupun refrigeran pengganti tersebut kurang sesuai dengan mesin yang
digunakan. Salah satu refrigeran yang tersedia di pasaran adalah R-22 (HCFC)
yang lebih ramah lingkungan. Pada prakteknya, penggantian refrigeran sulit
dilakukan karena akan mempengaruhi performa mesin pendingin tersebut. Setiap
refrigeran mempunyai karakteristik yang unik yang akan mempengaruhi kinerja
mesin pendingin. Agar didapatkan hasil yang sama atau lebih baik dari refrigeran
yang digunakan sebelumnya, maka penyesuaian komponen mesin pendingin harus
dilakukan.
Performa suatu mesin pendingin didefinisikan sebagai COP (Coefficient of
Performance) yang merupakan perbandingan antara efek pendinginan yang
dihasilkan dan kerja yang dilakukan untuk menghasilkan efek tersebut.
Penggantian refrigeran akan mempengaruhi kinerja mesin pendingin karena setiap
refrigeran mempunyai karakteristiknya masing-masing. Oleh karena itu penting
diketahui hal-hal apa saja yang berubah dalam penggantian suatu refrigeran,
sehingga efek pendinginan yang diinginkan dapat dicapai saat menggunakan
refrigeran baru.
B. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk
1. Membandingkan performansi sistem pendingin kompresi uap pada saat
dilakukan penggantian jenis refrigeran dari CFC (R-12) menjadi HCFC (R-22).
2. Mengetahui pengaruh laju aliran air pendingin kondensor terhadap performa
mesin refrigerasi.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistem Pendingin Kompresi Uap Sistem pendingin kompresi uap merupakan sistem pendinginan yang
sering digunakan. Pada sistem pendingin kompresi uap, dibutuhkan fluida kerja
yang akan diubah fasenya dari gas ke cair dan kemudian dari cair ke gas secara
berulang-ulang sehingga didapatkan efek pendinginan. Siklus kompresi uap dapat
dianalisa menggunakan siklus Carnot. Siklus pendinginan Carnot merupakan
kebalikan dari siklus mesin panas Carnot, karena siklus pendinginan Carnot
mengambil panas pada suhu rendah dan mengeluarkannya pada suhu tinggi.
Dibutuhkan kerja dalam pendinginan Carnot. Proses utama yang terjadi dalam
siklus pendinginan Carnot adalah kompresi adiabatik, pelepasan panas secara
isotermal, ekpansi adiabatik serta pengambilan panas secara isotermal (Stoecker,
1982)
Fluida kerja dalam keadaan cair akan mengambil panas pada suhu dan
tekanan rendah sehingga fluida menguap dan berubah fasa menjadi uap. Uap ini
lalu ditekan secara mekanis hingga tekanan dan suhu jenuh yang lebih tinggi
sehingga panas dalam uap tersebut dapat dikeluarkan dan fluida tersebut berubah
ke keadaan cair. Proses pengambilan panas yang dilakukan pada suhu dan tekanan
yang rendah terjadi di evaporator. Kompresor akan menekan uap secara mekanis
hingga tekanan dan suhu fluida kerja mencapai keadaan lewat jenuh (superheat).
Pelepasan panas yang dilakukan pada suhu dan tekanan yang lebih tinggi terjadi
di kondensor. Diperlukan suatu penghubung antara kondensor dan evaporator
sehingga siklus pendinginan dapat terjadi. Kondensor dan evaporator berada pada
tekanan yang berbeda sehingga perlu penghubung yang akan menurunkan tekanan
fluida kerja. Alat penghubung ini disebut sebagai katup ekspansi. Gambaran
skematis sitem pendingin kompresi uap adalah seperti di bawah. (Trott, 1989)
Gambar 1. Sistem pendingin kompresi uap
Proses pendinginan Carnot dapat ditunjukkan dengan lebih jelas
menggunakan diagram Mollier, suatu diagram yang menggambarkan hubungan
antara tekanan dan entalpi, seperti pada gambar 2. Proses pendinginan ideal
ditunjukkan oleh titik 1, 2, 3 dan 4. Pada proses ideal ini pemampatan dilakukan
secara isentropik. Entalpi fluida sebelum dan sesudah proses pemampatan adalah
h1 dan h2 (kJ/kg). Pada katup ekpansi proses dilakukan pada entalpi yang tetap
(isentalpik), sehingga h3 = h4 (kJ/kg). Pengambilan panas terjadi di evaporator dan
ditunjukkan oleh garis 4-1. Pelepasan panas di kondensor ditunjukkan pada garis
2-3 (Nasution,2002)
Gambar 2. Diagram Molier sistem kompresi tenaga uap
Banyaknya panas yang dapat diserap oleh setiap kg refrigeran saat melalui
evaporator disebut sebagai efek pendinginan (Dossat, 1961). Proses pengambilan
panas ini terjadi pada tekanan konstan. Besarnya efek pendinginan yang terjadi
dapat dituliskan secara matematis sebagai:
qevap = (h1 – h4)
dimana (h1 – h4) adalah perubahan entalpi refrigeran saat melalui evaporator
(kJ/kg) (Nasution, 2002).
Proses kompresi pada siklus ideal terjadi pada keadaan isentropis. Pada
proses kompresi tekanan, suhu dan entalpi bertambah. Besarnya kerja kompresi
yang dilakukan kompresor dihitung dengan persamaan:
qkomp = (h2 – h1)
dimana (h2 – h1) adalah perubahan entalpi refrigeran pada proses kompresi (kJ/kg)
(Nasution, 2002).
Pengeluaran panas yang terjadi di kondensor dilakukan pada tekanan
konstan. Besarnya panas yang dikeluarkan ini adalah sebesar:
qkond = (h2 – h3)
dimana (h3 – h4) adalah perubahan entalpi refrigeran saat melalui kondensor.
(Nasution, 2002). Berdasarkan hukum Thermodinamika Pertama, panas yang
dikeluarkan dari kondensor haruslah sama dengan panas yang diambil di
evaporator dan kerja yang dilakukan di kompresor yang dinyaakan dengan
persamaan (Nasution, 2002).
qkond = qevap + qkomp
Performansi mesin pendingin Carnot disebut sebagai koefisien prestasi
(coefficient of performance,COP) yang dinyatakan sebagai perbandingan antara
efek pendinginan yang terjadi dengan kerja yang dilakukan kompresor (Stoecker,
1982).
COP = qkompqevap
= 1241
hhhh
−−
B. Komponen Mesin Pendingin Kompresi Uap
1. Kompresor
Dalam siklus pendinginan kompresi uap, kompresor berfungsi untuk
menghisap uap refrigeran bertekanan rendah dari evaporator dan meningkatkan
tekanannya hingga sama dengan tekanan kondensor (Trott, 1989). Terdapat empat
jenis kompresor yang biasa digunakan dalam proses pendinginan, yaitu kompresor
resiprok, kompresor ulir, kompresor sentrifugal, dan kompresor baling-baling
(Stoecker, 1982). Kompresor resiprok menggunakan piston yang bergerak maju
mundur untuk menekan refrigeran, sedangkan ketiga jenis lainnya menggunakan
bagian yang berputar. Dalam bagian ini hanya akan dibahas mengenai kompresor
resiprok karena sistem yang akan diteliti menggunakan kompresor jenis resiprok.
Kompresor dapat dibedakan berdasarkan letak motor penggerak
kompresor. Kompresor jenis unit terbuka adalah kompresor dengan letak motor
penggerak yang terpisah dari kompresor itu sendiri. Gerak motor disalurkan ke
kompresor dengan sabuk (belt). Kompresor yang terpisah dengan motornya
namun poros kompresor dihubungkan langsung dengan poros motor disebut
sebagai kompresor semi hermetik. Tipe kompresor hermetik menggabungkan
kompresor dan motor dalam satu badan sehingga tidak membutuhkan ruang yang
luas (Sumanto, 1996).
Terdapat dua karakteristik performa kompresor, yaitu kapasitas refrigerasi
dan kebutuhan daya (Stoecker, 1982). Kedua hal ini ditentukan oleh tekanan
masuk dan keluar kompresor. Dasar dari kedua karakteristik tersebut adalah
efisiensi volumetrik. Terdapat dua jenis efisiensi volumetrik. Efisiensi volumetrik
teoritis (clearance volumetric efficiency) dapat dihitung dengan persamaan
ηvc = 100 – m ((Vsuc/Vdis)-1)
dengan ηvc = efisiensi volumetrik teoritis,
m = percent clerance
Vsuc = volume spesifik refrigeran saat masuk kompresor
Vdis = volume spesifik refrigeran saat keluar kompresor
Efisiensi volumetrik teoritis dihitung pada keadaan ideal, yaitu pada
kondisi isentropik (S1 = S2). Pada kenyataan hal ini sulit didapatkan karena
beberapa faktor, diantaranya adanya penurunan tekanan antara katup masuk dan
keluar, kebocoran yang terjadi di piston, dan kebocoran di katup masuk dan keluar
(Stoecker, 1982). Efisiensi volumetrik yang terjadi pada keadaan aktual disebut
sebagai efisiensi volumetrik aktual (actual volumetric efficiency) yang besarnya
dihitung dengan persamaan
ηva = volume fluida di dalam kompresor x 100 kompresor displacement
dengan ηva adalah efisiensi volumetrik aktual. Kompresor displacement adalah
volume fluida yang dihisap piston setiap siklusnya. Kompresor displacement
dihitung dengan persamaan (UNEP)
Kompresor displacement = n x D2/4 x L x S
dengan n = jumlah piston
D = diameter silinder (m)
L = langkah piston (m)
S = kecepatan putar kompresor (rps)
Stoecker (1998) menjelaskan bahwa kapasitas refrigerasi suatu kompresor
tidak berhubungan dengan efek pendinginan yang terjadi pada mesin pendingin
tersebut. Kapasitas refrigerasi suatu kompresor adalah kemampuan kompresor
untuk memampatkan laju aliran refrigeran dari tekanan hisap ke tekanan
keluarannya yang akan menghasilkan perpindahan panas di evaporator. Kapasitas
pendinginan ini dapat dihitung dengan persamaan:
qr = Vd (ηva/100) (1/Vs) Δhevap
dengan qr : kapasitas pendinginan (kW)
Vd : displacement rate kompresor (m3/s)
ηva : efisiensi volumetrik aktual (persen)
Vs : volume spesifik fluida yang memasuki kompresor (m3/kg)
Δhevap : (h1 – h4) perubahan entalpi refrigeran saat melalui evaporator
(kJ/kg).
Analisa performa suatu kompresor dapat dilakukan pada suhu kondensasi
dan evaporasi yang tetap (Stoecker,1998). Saat suhu kondensasi tetap, dengan
semakin rendahnya suhu evaporasi, maka perbandingan tekanan masuk dan keluar
kompresor mengalami penurunan. Laju aliran refrigeran mengalami penurunan
dan volume spesifiknya naik, menyebabkan laju lairan massa refrigeran berkurang.
Saat suhu evaporasi menurun, kapasitas pendinginan berkurang. Daya yang
dibutuhkan kompresor adalah
P = m (h2 – h1)
Saat suhu evaporasi menurun, perbedaan entalpi akan naik, sedangkan laju aliran
massa mengalami penurunan, menyebabkan daya yang dibutuhkan kompresor
akan berbentuk kurva dengan satu titik puncak, namun pada suhu evaporasi yang
makin rendah, konsumsi daya cenderung menurun. Hal ini membuat COP dari
mesin pendingin menurun.
Kecepatan putar poros kompresor juga mempengaruhi nilai COP yang
dihasilkan mesin pendingin. Pada putaran poros yang kecil, kerja kompresi akan
menurun, sehingga meningkatkan nilai COP. Namun peningkatan ini diikuti
dengan makin lamanya waktu yang dibutuhkan evaporator untuk mencapai suhu
yang diinginkan, dengan beban pendinginan yang sama (Effendy, 2005).
Saat suhu evaporasi dibuat tetap dan dilakukan percobaan pada beberapa
suhu kondensasi yang beragam, terlihat bahwa saat suhu kondensasi makin rendah,
perbandingan tekanan masuk dan keluar kompresor mengalami kenaikan dan
terjadi kenaikan pada laju aliran massa refrigeran. Terjadi pula penurunan
kapasitas pendinginan, namun besarnya penurunan kapasitas refrigerasi karena
penurunan suhu kondensasi lebih kecil, karena perubahan suhu evaporasi akan
mempengaruhi volume spesifik refrigeran yang melalui kompresor. Kerja
kompresi mengalami penurunan, namun laju aliran massa berkurang,
menyebabkan kurva daya berbentuk kurva dengan satu titik puncak pula. Dengan
menurunnya suhu kondensasi, kebutuhan daya akan naik hingga mencapai puncak
lalu akan mengalami penurunan (Stoecker,1998).
Efisiensi kompresi (ηc) dalam persen adalah
ηc = kerja kompresi isentropik, kJ/kg) x 100 kerja kompresi aktual
Efisiensi kompresi untuk kompresor tipe terbuka umumnya berkisar antara 60 –
70 persen. Penyebab efisiensi berkurang antara lain karena adanya gesekan dan
adanya penurunan tekanan sepanjang lintasan.
Putaran poros yang besar akan menurunkan efisiensi kompresor
(meningkatnya gesekan) dan penurunan tekanan pada penukar panas
(meningkatnya laju aliran volume) menyebabkan COP mesin pendingin menurun
(Kim et all, 1997)
Salah satu hal yang juga merupakan parameter pendinginan kompresi uap
yang berhubungan dengan kompresor adalah suhu dan tekanan keluar kompresor.
Suhu keluar kompresor yang besar terjadi karena rendahnya nilai kapasitas panas
refrigeran yang digunakan (Kim et all, 1997).
2. Penukar Panas (Heat Exchanger)
Sistem pendinginan kompresi uap menggunakan dua jenis penukar panas,
yaitu kondensor dan evaporator. Prinsip kerja kedua alat ini adalah sama namun
proses yang terjadi di kedua alat ini berbeda. Refrigeran akan berkondensasi di
kondensor sedangkan di evaporator refrigeran akan menguap. Tiga cara
penukaran panas (radiasi, konveksi, konduksi) berperan dalam proses pertukaran
panas di kedua komponen ini. Pindah panas total yang terjadi pada penukar panas
dinyatakan sebagai
q = Uo A Tm
dimana q = laju perpindahan panas yang terjadi (W)
Uo = koefisien pindah panas total (W/m2 K)
Tm = perbedaan suhu logaritmik (K)
nilai U didapat dari persamaan (Stoecker, 1982)
oU1
= oh
1 +
m
o
kAxA
+ iff
o
AhA
+ ii
o
AhA
dimana Uo = koefisien penukar panas total pada pemukaan luar (W/m2 K)
ho = koefisien perpindahan panas pada bagian luar pipa (W/m2 K)
x = ketebalan pipa (m)
Ao = luas permukaan pipa bagian luar (m2)
k = konduktivitas pipa (W/m K)
Am = luas pipa (m2)
hff = fouling factor (W/m2 K)
Ai = luas permukaan pipa bagian dalam (m2)
hi = koefisien pindah panas pada bagian dalam pipa (W/m2 K)
dan nilai Tm dihitung dengan persamaan (Stoecker, 1982)
Tm = )/)ln[()()(
ocic
ocic
tttttttt
−−−−−
dengan tc = suhu refrigeran (0C)
ti = suhu air masukan (0C)
to = suhu air keluaran (0C)
Koefisien pindah panas konveksi pada fluida yang mengalir dalam pipa
ditentukan oleh persamaan di bawah yang berlaku untuk aliran turbulen (Stoecker,
1982).
khD
= 0.023 (VDρ/μ)0.8 (cpμ/k)0.4
dimana h = koefisien pindah panas konveksi (W/m2 K)
D = diameter dalam pipa (m)
k = konduktivitas panas fluida (W/m K)
V = kecepatan rata-rata fluida (m/detik)
ρ = kerapatan jenis fluida (kg/m3)
μ = viskositas fluida (Pa detik)
cp = kalor jenis fluida (J/kg K)
Penurunan tekanan akan terjadi pada pipa lurus maupun pada pipa
lengkung. Penurunan tekanan yang terjadi pada pipa lurus dinyatakan dengan
persamaan (Stoecker, 1982)
Δp = f DL
2
2Vρ
dimana Δp = penurunan tekanan (Pa)
f = koefisien gesek
L = panjang pipa (m)
a. Kondensor
Fungsi kondensor pada sistem pendinginan kompresi uap adalah untuk
mengembunkan/mengkondensasikan uap refrigeran bertekanan tinggi
(superheated vapor) dari kompresor (Trott, 1989). Proses pelepasan panas ini
dilakukan dengan bantuan medium pendingin. Medium pendingin yang umumnya
digunakan adalah air dan udara. Panas dari refrigeran akan meningkatkan suhu
medium pendingin yang sesuai dengan persamaan (Dossat, 1961)
Δt = mc
qkond
dengan Δt = perubahan suhu medium pendingin (0C)
qkond = beban kondenser (W)
m = laju aliran massa medium pendingin (kg/detik)
c = panas jenis medium pendingin (J/kg 0C)
Suhu kondensasi yang rendah lebih disukai karena adanya peningkatan
efisiensi kompresi dan penurunan kebutuhan daya. Suhu kondensasi adalah
penjumlahan suhu medium pendingin dan perbedaan suhu antara medium
pendingin dan refrigeran. Suhu kondensasi yang rendah dapat dicapai dengan
memperbesar luas permukaan pindah panas dan meningkatkan laju aliran medium
pendingin. Namun penambahan luas permukaan pindah panas sulit dilakukan
karena adanya pertimbangan ruangan. Untuk setiap jenis kondensor dan beban
kondensor, besarnya suhu kondensasi bergantung pada suhu rata-rata media
pendingin. Suhu kondensasi yang rendah akan tercapai saat suhu rata-rata medium
pendingin rendah. Suhu rata-rata medium pendingin ditentukan oleh suhu
masukan medium pendingin dan kenaikan suhu di kondensor. Karena kenaikan
suhu medium pendingin menurun saat laju aliran bertambah, maka dengan makin
besarnya laju aliran massa medium pendingin maka suhu rata-rata medium
pendingin akan berkurang. Karenanya untuk beban kondensor tertentu, makin
besar laju aliran medium pendingin maka suhu kondensasi akan menurun
(Dossat,1961).
Laju aliran yang besar juga menimbulkan turun tekan yang besar sehingga
peningkatan efisiensi kompresor kurang bermanfaat. Perlu ditentukan besarnya
laju aliran optimum sehingga efisiensi kompresor sebanding dengan turun tekan
yang terjadi. Cara lain untuk mendapatkan suhu kondensasi rendah adalah dengan
menurunkan suhu masukan medium pendingin (Dossat,1961).
Pada kondensor pendingin udara, semakin besar kecepatan udara
pendingin, laju aliran refrigeran semakin menurun. Kenaikan kecepatan udara
pendingin pada kondensor menyebabkan kenaikan efek refrigerasi, sedangkan
kerja kompresi dan daya kompresor terdapat kecenderungan menurun. Koefisien
prestasi akan meningkat dengan adanya kenaikan kecepatan udara pendingin pada
kondensor. Apabila kecepatan dinaikkan terus maka akan mencapai optimal pada
kondisi tertentu, dan selanjutnya kenaikan kecepatan udara efeknya relatif kecil
terhadap prestasi mesin pendingin (Efendi, 2005)
Sistem kondenser pendingin air dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
sistem kondensor pendingin air dengan pembuangan air dan dengan sirkulasi air.
Air pendingin pada kondensor dengan sirkulasi akan masuk pada menara
pendingin untuk disirkulasi lagi. Pada kondensor dengan pembuangan air, air akan
dibuang setelah melalui kondensor. Pemilihan sistem sirkulasi atau pembuangan
dipengaruhi oleh biaya dan ketersediaan air di suatu tempat. Pemilihan ini juga
mempengaruhi laju aliran air yang digunakan sebagai media pendingin
(Dossat,1961).
Hal lain yang harus diperhatikan adalah adanya pengendapan mineral
ataupun kotoran yang terbawa oleh air pendingin. Pengendapan akan mengurangi
permukaan kontak dan mengurangi jumlah air yang disirkulasi. Umumnya,
tingkat pengendapan dipengaruhi oleh kualitas air pendingin, suhu penguapan,
dan lamanya pembersihan dilakukan (Dossat,1961).
Konstruksi kondensor berpendingin air dapat digolongkan menjadi tiga
macam, yaitu double tube, shell and coil, dan shell and tube (Dossat, 1961).
Double tube condenser terdiri dari dua pipa yang digabungkan, sehingga pipa
pertama berada di dalam pipa kedua. Shell and coil condenser terdiri dari pipa
yang dibentuk menjadi koil sebagai tempat air mengalir dan selubung tempat
refrigeran yang akan didinginkan berada. Pipa dibuat menjadi koil agar
permukaan kontak lebih luas. Shell and tube condenser berupa silinder baja
dengan sejumlah pipa paralel yang dipasang didalamnya.
b. Evaporator
Evaporator dalam sistem pendinginan kompresi uap berfungsi untuk
menguapkan cairan refrigeran menjadi uap jenuh pada tekanan rendah (Trott,
1989). Panas laten penguapan diambil dari lingkungan sekitar, sehingga terjadi
efek pendinginan. Pendinginan dapat terjadi pada udara atau pada cairan, hal ini
membedakan evaporator menjadi evaporator pendingin udara dan evaporator
pendingin cairan (air-cooling evaporator dan liquid cooler).
Menurut Dossat (1961) berdasarkan konstruksinya, evaporator pendingin
udara dapat dibedakan menjadi evaporator pipa, plat, dan sirip (bare-tube, plate,
finned). Evaporator pipa umumnya berbentuk flat zigzag ataupun oval trombone.
Evaporator plat umum digunakan pada mesin pendingin rumah tangga karena
mudah perawatannya dan ekonomis. Evaporator sirip terbuat dari pipa dengan
sirip-sirip yang disisipkan pada badan pipa. Sirip pada pipa berfungsi untuk
menambah luas permukaan pindah panas.
Pendinginan cairan lebih efektif jika evaporator bersentuhan langsung
dengan cairan yang didinginkan. Penggunaan evaporator pendingin cairan (liquid
chilling evaporator) berbeda menurut tipe dan desainnya. Tipe yang sering
digunakan adalah pendingin pipa pipa ganda, Baudelot, tipe tangki, shell and coil,
dan shell and tube. Liquid chilling evaporator umumnya digunakan untuk
mendinginkan air dan cairan lainnya (Dossat,1961).
Pada sistem dimana pindah panas terjadi secara langsung, dari refrigeran
ke lingkungan sekitar, disebut sebagai sistem pendinginan langsung (direct
refrigerating system). Beberapa sitem pendingin dirasakan kurang ekonomis jika
sistem pendingin langsung diterapkan. Terdapat alternatif untuk menggunakan
sistem pendingin tak langsung dengan bantuan refrigeran kedua (secondary
refrigerant). Refrigeran kedua ini dapat berupa air ataupun larutan garam (brine).
Air dapat digunakan jika suhu yang diinginkan di atas titik beku air. Larutan
garam yang umumnya digunakan adalah kalsium klorida dan sodium klorida.
etilen dan propilen glikol, metanol dan gliserin (Dossat,1961).
Pembentukan bunga es (frosting) di evaporator terjadi saat suhu evaporator
berada di bawah titik beku air. Frosting kurang disukai dalam proses pendinginan
karena lapisan es yang dihasilkan berfungsi sebgai insulasi dan dalam evaporator
dengan aliran udara paksa, adanya bunga es akan mengurangi laju aliran udara.
Metode defrosting yang umum digunakan adalah dengan menggunakan uap panas
atau dengan air. Pada defrosting dengan uap panas, gas keluaran kompresor
disalurkan lansung ke evaporator dan evaporator bertindak sebagai kondenser
selama waktu itu. Defrosting menggunakan air dilakukan dengan mengalirkan air
pada evaporator hingga bunga es hilang (Stoecker, 1982).
3. Katup ekspansi
Fungsi katup ekspansi pada siklus kompresi tenaga uap adalah untuk
mengurangi tekanan refrigeran cair dan untuk mengatur aliran refrigeran ke
evaporator. Terdapat empat jenis katup ekspansi yang umum digunakan yaitu tipe
pipa kapiler, superheat-controlled expansion valve, float valve dan constant
pressure expansion valve (Stoecker, 1982)
Katup ekspansi tipe pipa kapiler sesuai untuk mesin pendingin dengan
beban pendingin yang tetap.Semakin panjang pipa atau semakin kecil diameter
pipa kapiler, maka dibutuhkan perbedaan tekanan yang lebih besar agar refrigeran
dapat mengalir. Constant pressure expansion valve bekerja dengan
mempertahankan tekanan tetap pada daerah sebelum evaporator. Katup ekspansi
float valve bekerja dengan cara mempertahankan cairan refrigeran di evaporator
pada ketinggian yang tetap. Superheat-controlled expansion valve umumnya
disebut sebagai katup ekspansi termostatik (thermostatic expansion valve) bekerja
karena adanya gas lewat panas yang meninggalkan evaporator (Stoecker, 1982).
C. REFRIGERAN
Refrigeran adalah zat yang bertindak sebagai agen pendingin dengan cara
menyerap panas dari zat/benda lain (Dossat, 1961). Dalam siklus kompresi uap,
refrigeran akan mengalami proses penguapan dan pendinginan secara terus
menerus. Suatu zat dapat digunakan sebagai refrigeran jika mempunyai sifat kimia,
termodinamik, dan sifat fisik yang sesuai sehingga aman digunakan dan ekonomis.
Zat yang biasanya digunakan antara lain halokarbon, senyawa inorganik,
hidrokarbon, dan golongan azeotrop (Stoecker, 1982).
Golongan halokarbon adalah refrigeran dengan satu atau lebih ikatan
halogen (klorin, fluorin dan bromin). Sistem penomoran halokarbon diberikan
berdasarkan jumlah fluorin, hidrogen dan karbon pada refrigeran tersebut
(Stoecker, 1982). Angka pertama dari kanan menunjukkan jumlah atom klorin,
angka kedua dari kanan menunjukkan jumlah atom hidrogen satu angka lebih
banyak, dan angka ketiga dari kanan menunjukkan jumlah atom karbon satu
angka lebih sedikit. Angka yang digunakan pada senyawa inorganik tidak sama,
dua angka terakhir menunjukkan berat molekul senyawa tersebut. Hidrokarbon
umumnya digunakan sebagai refrigeran pada industri minyak. Senyawa azeotrop
adalah senyawa campuran yang zat pendukungnya tidak dapat dipisahkan secara
distilasi. Senyawa azeotrop yang umum digunakan adalah refrigeran 502, yang
merupakan campuran dari 48.8 % R-22 dan 51.2 % R-115. Beberapa refrigeran
yang umum digunakan diberikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis refrigeran dan golongannya (Stoecker, 1982)
Nomor Refrigeran Nama Kimia Rumus Kimia Golongan halokarbon 11 Trikloromonofluorometan CCl3F 12 Diklorodifluorometan CCl2F2 13 Monoklorotrifluorometan CClF3 22 Monoklorodifluorometan CHClF2 40 Metil klorida CH3Cl 113 Triklorotrifluoroetan CCl2FCClF2 114 Diklorotetrafluoroetan CClF2CClF2 Golongan Inorganik 717 Amonia NH3 718 Air H2O 729 Udara 744 Karbon dioksida CO2 764 Sulfur dioksida SO2 Golongan hidrokarbon 50 Metana CH4 170 Etana C2H6 290 Propana C3H8
Masalah lingkungan menjadi masalah penting dalam pemilihan refrigeran.
Parameter yang digunakan untuk mengetahu tingkat keamanan suatu refrigeran
bagi lingkungan adalah ODP, GWP dan siklus hidup. ODP (ozone depletion
potential) merupakan parameter yang menyatakan kemampuan suatu refrigeran
untuk berikatan dengan ozon di stratosfer. Umumnya, makin banyak ion klorin
dalam suatu refrigeran maka makin tinggi ODPnya. GWP (global warming
potential) adalah ukuran seberapa banyak jumlah gas rumah kaca yang
diperkirakan akan mempengaruhi pemanasan global. GWP merupakan suatu
ukuran relatif yang membandingkan gas yang ingin diketahui nilainya dengan gas
CO2 dalam jumlah yang sama. GWP juga harus diukur dalam waktu yang sama,
umumnya diukur dalam waktu 100 tahun (www. wikipedia.org). Siklus hidup
menentukan lamanya suatu gas terurai di atmosfer.
Faktor kinerja refrigeran juga menentukan pemilihan refrigeran yang
digunakan. Faktor kinerja ini diukur pada keadaan kerja yang sama (beban
pendinginan, suhu kondensasi, suhu evaporasi). Parameter yang berhubungan
dengan kinerja antara lain COP, efek refrigerasi, daya kompresi, laju aliran uap
refrigeran. Efek refrigerasi yang tinggi umumnya diinginkan, namun efek
refrigerasi ini sebaiknya dibandingkan pula dengan daya kompresi yang terjadi,
sehingga COP yang dihasilkan akan lebih baik. Tinggi rendahnya laju aliran uap
refrigeran akan mempengaruhi tipe kompresor yang digunakan.
Hal penting lainnya dalam pemilihan refrigeran adalah faktor keamanan
yang meliputi mudah tidaknya refrigeran tersebut bereaksi (inert), tidak ekplosif,
tidak beracun (dalam keadaan murni atau tercampur dengan udara). Refrigeran
juga sebaiknya tidak mudah bereaksi dengan minyak pelumas dan bagian mesin
pendingin lainnya. Selain itu, refrigeran sebaiknya tidak terpengaruh dengan
kelembapan dan tidak merusak atau meracuni produk yang disimpan jika terjadi
kebocoran (Dossat, 1961).
Secara ekonomis, penentuan refrigeran ditentukan oleh sifat fisik dan
termodinamiknya yang akan menghasilkan kerja kompresi yang rendah dan COP
yang tinggi. Sifat refrigeran yang mempengaruhi COP antara lain kalor laten
penguapan, volume jenis uap refrigeran, perbandingan kompresi (compression
ratio), dan panas jenis refrigeran pada keadaan cair dan gas. Kalor laten
penguapan yang tinggi menghasilkan laju aliran massa refrigeran lebih rendah.
Hal ini membuat efisiensi dan kapasitas kompresor meningkat. Tak hanya
menurunkan kerja kompresi, kompresor displacement yang diperlukan juga
menurun sehingga memungkinkan digunakannya kompresor yang lebih kecil
(Dossat, 1961).
Panas jenis refrigeran pada keadaan cair yang rendah dan panas jenis
refrigeran pada keadaan gas yang tinggi juga merupakan hal yang dicari karena
kedua sifat ini meningkatkan efek pendinginan. Panas jenis refrigeran pada
keadaan cair meningkatkan efek pendinginan lanjut sedangkan panas jenis
refrigeran pada keadaan gas menurunkan efek pemanasan lanjut. Selain itu, yang
paling dicari adalah refrigeran yang dapat memberikan rasio kompresi yang paling
rendah karena hal ini akan mengurangi kerja kompresi (Dossat, 1961).
Hubungan antara tekanan dan suhu refrigeran yang diinginkan adalah
bahwa tekanan yang terjadi di evaporator berada di atas tekanan atmosfer. Saat
terjadi kebocoran di evaporator, di sistem dengan tekanan rendah, dikhawatirkan
masuknya udara ke dalam sistem. Pada sistem dengan tekanan evaporator di atas
tekanan atmosfer, kemungkinan ini dapat diperkecil (Dossat, 1961).
Sifat kimia yang harus diperhatikan antara lain reaksi antara refrigeran
dengan uap air (moisture) dan minyak pelumas kompresor. Reaksi dengan uap air
umumnya menimbulkan senyawa korosif (asam) yang nantinya akan bereaksi
dengan pelumas ataupun dengan bagian logam dari mesin pendingin. Halokarbon
hanya sedikit menyerap uap air, sehingga umumnya pengkaratan tidak terjadi
pada sistem ini jika kadar uap air dijaga pada tingkat tertentu, menggunakan
pelumas kualitas tinggi dan suhu pengeluaran kompresor rendah (Dossat, 1961).
Tidak ada reaksi yang terjadi antara refrigeran dan pelumas, namun sifat
yang harus diperhatikan adalah tingkat kelarutan (oil miscibility), kemampuan
refrigeran untuk larut dalam pelumas dan sebaliknya. Hal ini penting dalam
menentukan jenis kompresor yang akan digunakan (Dossat, 1961).
Penggunaan halokarbon berklorin terbukti berpengaruh pada tingkat ozon
di atmosfer. Klorin pada senyawa halokarbon akan bereaksi dengan ozon di
atmosfir saat senyawa halogen terlepas ke udara. Menipisnya kandungan ozon
berpengaruh pada perubahan iklim dan dapat menimbulkan kanker. Peraturan
telah dibuat sehingga pelepasan refrigeran halokarbon ke udara dapat dimonitor.
Penggunaan refrigeran lain sebagai pengganti refrigeran halokarbon juga
disarankan (Stoecker, 1982).
a. R-12
Refrigeran R-12 merupakan refrigeran yang umum digunakan pada mesin
pendingin kompresi uap. Senyawa ini tidak beracun, tidak mudah terbakar dan
meledak serta merupakan senyawa yang stabil, yang sulit terurai pada kondisi
operasi yang ekstrim. Namun jika R-12 bersentuhan dengan api maka senyawa ini
akan terurai menghasilkan bahan yang sangat beracun. R-12 umumnya digunakan
pada sistem suhu tinggi, menengah maupun rendah karena titik didihnya pada
tekanan atmosfer adalah -30 0C (Dossat, 1961).
R-12 merupakan refrigeran yang sulit terlarut dalam minyak sehingga
hampir tidak ada masalah penumpukan minyak pada evaporator dan kondensor
yang akan mempengaruhi perambatan panas. Walaupun efek pendinginan yang
diberikan refrigeran ini relatif lebih kecil diantara refrigeran lainnya, namun pada
sistem pendinginan yang kecil, karena laju aliran massanya yang besar, refrigeran
ini mudah dikontrol. Pada sistem yang lebih besar, rendahnya kalor penguapan
diimbangi dengan kerapatan uap yang tinggi sehingga kerja kompresi per ton
refrigerasi tidak sebanyak yang dibutuhkan pada refrigeran lainnya (Dossat, 1961).
Nilai ODP (ozon depletion potential, kemampuan mengikat ozon) adalah
0.93 dan nilai GWP (global warming potential) adalah 3.2 serta siklus hidup R-12
di atmosfer juga tergolong lama yaitu 120 tahun menyebabkan R-12 merupakan
salah satu refrigeran yang harus segera digantikan (Tambunan, 2001).
b. R-22
R-22 merupakan refrigeran yang umum digunakan pada sistem dengan
suhu rendah karena titik didih pada tekanan atmosfer adalah -40 0C dan dapat
digunakan pada suhu evaporator -87 0C. Temparatur keluaran kompresor dari R-
22 tergolong tinggi sehingga penghisapan uap super panas harus dijaga pada
keadaan minimum. Jika dibutuhkan, pendinginan kompresor head dapat dilakukan,
utamanya pada sistem dengan suhu rendah. R-22 sedikit terlarut dengan minyak
namun umumnya R-22 akan terpisah dengan minyak saat di evaporator.
Dibutuhkan penyaring minyak agar minyak tidak masuk ke evaporator (Dossat,
1961).
Penggunaan R-22 dianggap lebih menguntungkan daripada R-12 karena
kebutuhan kompresor displacement pada R-22 lebih kecil 60% daripada R-12.
Karenanya, untuk kompresor displacement yang sama, efek pendinginan dari R-
22 juga lebih besar 60%. Pipa yang dibutuhkan pada instalasi R-22 juga lebih
kecil. Untuk suhu evaporator antara -28 0C dan -40 0C, tekanan evaporator pada
R-22 berada di atas tekanan atmosfer sedangkan R-12 sebaliknya. Namun,
umumnya R-12 dipilih karena tidak larut pada minyak dan suhu keluarannya yang
rendah (Dossat, 1961).
Nilai ODP (ozon depletion potential, kemampuan mengikat ozon) dari R-
22 adalah 0.05 dan nilai GWPnya (global warming potential) 0.4. Siklus hidup
R-22 di atmosfer tergolong singkat, yaitu 19 tahun (Tambunan, 2001)
menyebabkan R-22 merupakan salah satu refrigeran alternatif untuk
menggantikan R-12.
Penelitian yang dilakukan oleh Silalahi (2006) menunjukkan bahwa COP
yang dicapai oleh R-12 adalah selalu lebih tinggi daripada R-22 saat terjadi
peningkatan suhu evaporasi dengan suhu kondensasi yang tetap dan peningkatan
suhu kondensasi dengan suhu evaporasi yang tetap. Peningkatan suhu evaporasi
menyebabkan COP meningkat karena selisih entalpi di evaporator semakin besar
dan selisih entalpi di kompresor semakin kecil, dengan asumsi suhu kondensasi
tetap.
Perbedaan sifat fisik dan termodinamis R-12 dan R-22 ditampilkan dalam
tabel berikut
Tabel 2. Perbandingan sifat fisik dan termodinamis refrigeran R-12 dan R-22 Jenis refrigeran R-12 R-22
Rumus kimia CCl2F2 CHClF2
Berat molekuler (g/mol) 120.93 86.48
Titik didih pada 1 bar (°C) -29.8 -40.8
Suhu kritis (°C) 112 96
Tekanan kritis (bar) 41.15 49.38
Kalor laten penguapan (1.013 bar, titik didih) (kJ/kg) 166.95 233.95
Densitas cairan (kg/m3) 1486 1413
Densitas gas, 1.013 bar, 15 °C (kg/m3) 5.11 3.66
Kapasitas panas pada tekanan tetap, 1.013 bar, 30 °C
(kJ/mol K)
0.074 0.057
Viskositas, 1.013 bar, 0°C (Poise) 0.0001168 0.0001256
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat
Penelitian dilakukan pada bulan Februari 2007 hingga Juni 2007 yang
meliputi uji coba dan pengolahan data, dan bertempat di Laboratorium Terpadu
Departemen Teknik Pertanian Luewikopo.
B. Alat dan Bahan
Penelitian pengaruh penggantian refrigeran terhadap performansi mesin
pendingin merupakan subsistem dari penelitian mengenai pengaruh penggantian
refrigeran hidrokarbon terhadap refrigeran halokarbon pendinginan. Adapun alat
dan bahan yang digunakan adalah
1. Alat Alat yang digunakan pada penelitian ini adalah:
a. Mesin pendingin (pembeku)
Mesin pendingin yang digunakan pada penelitian ini adalah Refrigeration
Education System (Refrigeration Test Bench) model RNP-300 E yang dibuat oleh
Tokyo Meter, Jepang. Alat ini telah dilengkapi dengan komponen mesin
pendingin (kondenser, evaporator, kompresor, katub ekspansi), panel pengukuran,
serta thermostat. Kondenser yang digunakan bertipe shell and coil serta
berpendingin air. Evaporator bertipe coil dan menggunakan brine (CaCl2) sebagai
refrigeran sekundernya. Katup ekspansi yang digunakan bertipe thermostatik.
Kompresor yang digunakan merupakan kompresor resiprok tipe terbuka. Juga
terdapat motor untuk memompa brine agar tersirkulasi di evaporator. Thermostat
diset pada suhu -20 0C. Panel ukur mengukur suhu pada tiap titik pengukuran
menggunakan thermokopel jenis Pt. Gambaran skematis dari alat uji serta titik
pengukuran suhu disajikan pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema alat uji dan titik pemgukuran
Tabel 3. Titik pengukuran Simbol Titik pengukuran
T1 Refrigeran masuk kompresor
T2 Refrigeran keluar kompresor
T3 Refrigeran keluar kondensor
T4 Refrigeran keluar evaporator
T5 Brine masuk evaporator
T6 Brine keluar evaporator
T7 Air masuk kondensor
T8 Air keluar kondensor
ii. Hybird recorder. Hybrid recorder digunakan untuk membaca nilai yang
diukur oleh thermokopel. Digunakan hybrid recorder karena panel pengukur pada
alat uji kurang akurat.
iii. Obeng. Digunakan untuk membongkar pasang thermokopel ke hybrid
recorder
Evaporator
KompresorKondensor
Katup ekspansi
Pompa brine
Brine masuk
Air KeluarAir masuk
Brine keluar
T7 T8
T3T2
T1T4
T6T5
2. Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah:
i. Refrigeran. Refrigeran yang digunakan pada penelitian ini adalah refrigeran
golongan halogen (R-12, R-22)
ii. N-brine, merupakan media pendingin sekunder pada alat penelitian.
iii. Air, sebagai media pemindah panas pada kondensor
C. Prosedur Penelitian
Penelitian diawali dengan mempelajari sistem yang akan diteliti. Lalu
dilakukan kalibrasi alat ukur pada peralatan uji. Setelah kalibrasi dilakukan,
penelitian dilakukan dengan mengambil data dari tiap titik pengukuran. Hasil
pengukuran diolah menggunakan prinsip pendinginan. Seluruh kegiatan penelitian
dilakukan di Laboratorium Terpadu Departemen Teknik Pertanian di Leuwikopo.
Penelitian dilakukan pada semua komponen mesin pendingin. Dilakukan
pengukuran suhu refrigeran pada titik tertentu, air keluar masuk, laju aliran
refrigeran dan laju aliran air. Laju aliran air pada kondensor diubah-ubah dengan
cara mengatur pembukaan katup pemasukan air. Lalu suhu tiap titik diamati dan
dilakukan analisis terhadap hasil yang diperoleh. Percobaan dilakukan dengan
refrigeran R-12 dan R-22. Parameter yang dibandingkan di evaporator adalah
suhu evaporasi, suhu brine di dalam evaporator, dan efek pendinginan yang tejadi.
Di kondensor parameter yang dibandingkan adalah suhu kondensasi, beda suhu
logaritmik, koefisien pindah panas keseluruhan, panas buang kondenser dan kalor
serap air. Suhu refrigeran keluar kompresor dan kerja kompresor merupakan
parameter pembanding di kompresor. Dari data yang diukur dapat dibandingkan
pula diagram entalpi tekanan setiap refrigeran dan laju aliran air pendingin pada
suatu titik pengukuran.
Diagram alir penelitian adalah sebagai berikut
Gambar 4. Diagram alir penelitian
Entalpi, entropi, volume spesifik tiap titik ukur
Analisa pendinginan
Panas kondensor, efek pendinginan, kerja
kompresi, COP
Pembacaan diagram Mollier dan tabel keadaan gas
Pengukuran suhu, tekanan, laju aliran
Data pengukuran: suhu kondensasi (Tkond), suhu
evaporasi (Tevap), suhu keluar kompresor (Tdischarge), laju aliran
Mulai
Pengaturan laju aliran medium pendingin
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Profil Perubahan Suhu dan Efek Pendinginan
Analisa proses pendinginan dimulai dari mengamati profil suhu proses
yang terjadi. Gambar 5 menampilkan profil suhu yang terjadi di evaporator.
Thermostat evaporator diset untuk suhu -20 0C, sehingga suhu ini adalah suhu
paling rendah yang mungkin dicapai. Suhu ini dapat dicapai oleh R-12 dengan
laju aliran air pendingin 800 l/jam dan 900 l/jam. R-12 dengan laju aliran air
pendingin 700 l/jam mempunyai parameter pengukuran yang hampir sama dengan
R-12 800 l/jam (suhu kondensasi, efek pendinginan) namun persamaan parameter
ini tidak menghasilkan suhu evaporasi yang sama. Perbedaan ini mungkin
dikarenakan terjadinya overheat pada kompresor karena rendahnya tekanan yang
terjadi dan belum dilakukannya penyesuaian setting kompresor. Proses penurunan
suhu di evaporator dipengaruhi oleh suhu kondensasi yang terjadi. Pada R-22, hal
ini ditunjukkan oleh rendahnya suhu yang dapat dicapai pada aliran 800 l/jam
sesuai dengan rendahnya suhu kondensasi yang terjadi (Gambar 11).
Gambar 5. Profil suhu evaporasi setiap aliran air pendingin dan refrigeran
Sistem bak pendingin yang digunakan pada percobaan ini adalah
menggunakan evaporator chilling liquid dengan refrigeran sekunder brine etilen
glikol. Efek pendinginan di bak pendingin terjadi karena refrigeran mengambil
panas dari brine dan brine mengambil panas dari air yang akan dibekukan. Sistem
ini ditunjukkan oleh Gambar 6.
Profil Suhu Evaporasi
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
0C
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Gambar 6. Sistem evaporator liquid chilling
Profil suhu brine didalam bak pendingin ditampilkan pada Gambar 7.
Pembacaan grafik ini menunjukkan bahwa untuk pendinginan dengan R-22, suhu
brine selalu lebih rendah daripada suhu refrigerannya (Gambar 5) dan penurunan
suhu yang terjadi pada brine hampir sama besarnya dengan penurunan suhu
evaporasi. Suhu brine yang lebih rendah ini tidak cocok dengan proses
perpindahan panas yang terjadi. Pada R-12 suhu brine selalu di atas suhu
refrigeran sehingga proses pendinginan berjalan dengan semestinya dan
menghasilkan laju pendinginan dan waktu pendinginan yang diiinginkan. Suhu
refrigeran yang lebih tinggi daripada suhu brine ini mungkin dikarenakan adanya
panas refrigeran yang tidak terbuang di kondensor.
Gambar 7. Profil suhu brine untuk R-12 dan R-22 pada berbagai laju air
pendingin.
Keterangan : Refrigeran Brine Air
Profil Suhu Brine
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
0C
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 900 l/jam
Efek pendinginan yang terjadi pada refrigeran selama waktu percobaan
ditampilkan pada Gambar 8. Untuk R-22 kecenderungan yang terjadi adalah efek
pendinginan akan mengalami kenaikan pada awal proses lalu konstan. Penurunan
efek pendinginan yang tajam pada awal pendinginan dengan R-22 dengan laju
aliran air pendingin 800 l/jam dikarenakan matinya mesin. Efek pendinginan yang
turun secara konstan ini berpengaruh pada suhu evaporasi yang dihasilkan oleh R-
22. Efek pendinginan untuk R-22 dengan laju aliran air pendingin 800 l/jam yang
besar diikuti dengan waktu penurunan suhu yang cepat dikarenakan suhu
kondensasi R-22 dengan laju aliran 800 l/jam rendah (Gambar 11). Besarnya nilai
efek pendinginan pada R-22 dikarenakan besarnya laju aliran massa dari R-22.
Laju aliran massa R-22 yang besar terjadi karena perbedaan tekanan yang besar
membuat katup ekspansi membuka lebih lebar agar refrigeran yang mengalir pada
evaporator selalu ada.. Tabel 4 menunjukkan laju aliran dari setiap laju aliran air
pendingin dan setiap jenis refrigeran pada suhu evaporasi paling rendah.
Tabel 4. Laju aliran refrigeran Jenis refrigeran
R-12 R-22
Laju aliran
medium
pendingin (l/jam) l/detik kg/detik l/detik kg/detik
700 0.007833 0.009590 0.060666 0.070737
800 0.005317 0.006834 0.083800 0.098676
900 0.003933 0.005095 0.061667 0.072275
Pada R-12 efek pendinginan yang terjadi pada awal proses lebih cepat jika
dibandingkan pada menit berikutnya. Namun efek pendinginan yang dihasilkan
tidak sebesar yang dihasilkan R-22. Kecilnya efek pendinginan tidak
mempengaruhi laju pendinginan yang terjadi karena besarnya efek pendinginan
sebanding dengan panas buang di kondensor (Gambar 14). Efek pendinginan R-12
700 l/jam tidak diikuti dengan perubahan suhu yang cepat karena panas yang
dibuang di kondensor selalu lebih kecil daripada panas yang diserap di evaporator.
Gambar 8. Efek pendinginan R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air
pendingin.
Pada proses pendinginan kompresor akan melakukan kerja untuk menekan
refrigeran sehingga tercapai tekanan yang sesuai yang dikenal sebagai kerja
kompresi. Hal yang patut diperhatikan pada kompresor selain kerja kompresi
adalah suhu refrigeran keluar kompresor. Suhu refrigeran keluar kompresor pada
R-22 selalu lebih besar daripada R-12 karena nilai panas jenis R-22 lebih kecil
daripada R-12, menyebabkan kenaikan suhu R-22 lebih besar. Seiring dengan
bertambahnya laju aliran suhu keluar kompresor semakin menurun. Tekanan yang
diberikan kompresor sebanding dengan suhu refrigeran yang keluar. Grafik pada
R-12 dengan aliran medium pendingin 800 l/jam mengalami penurunan sementara
karena adanya mesin mati saat percobaan dilakukan. Profil suhu keluar kompresor
ditunjukkan oleh Gambar 9.
Pada Gambar 10 grafik kerja kompresi dari setiap aliran ditampilkan.
Kerja kompresi dan efek pendinginan dari R-12 hampir sama dalam
kecenderungan naik dan turunnya grafik. Pada R-22 kerja kompresi yang hampir
konstan tidak diikuti dengan konstannya efek pendinginan. Pengukuran daya
terukur pada R-22 menunjukkan bahwa kerja kompresi yang dilakukan tidak
sebesar daya kompresi yang terhitung. Kelebihan kalor yang terjadi mungkin
akibat dari panas yang tudak terbuang di kondensor. Perbedaan daya terukur dan
daya kompresi pada suhu evaporasi terendah disajikan dalam Tabel 5.
Efek Pendinginan
02468
101214161820
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
kJ/d
etik
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Gambar 9. Profil suhu keluar kompresor refrigeran R-12 dan R-22 pada berbagai
laju aliran air pendingin.
Gambar 10. Kerja kompresi R-12 dan R-22 pada berbagai laju aliran air pendingin.
Tabel 5. Perbedaan kerja kompresi dan daya terukur R-12 R-22 Laju aliran air
pendingin
(l/jam)
Kerja kompresi
(kJ/detik)
Daya terukur
(kW)
Kerja kompresi
(kJ/detik)
Daya terukur
(kW)
700 0.27 0.75 3.47 1
800 0.23 0.75 4.44 0.95
900 0.36 0.8 3.11 0.95
Profil Suhu Refrigeran Keluar Kompresor
505560
65707580
8590
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
0C
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Kerja Kompresi
00.5
11.5
22.5
33.5
44.5
5
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
kJ/d
etik
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
B. Perpindahan Kalor di Kondensor
Selain suhu evaporasi, suhu yang juga harus diperhatikan adalah suhu
kondensasi dari proses yang berlangsung. Besarnya laju aliran medium pendingin
pada R-22 tidak mempengaruhi besarnya suhu kondensasi yang dapat dicapai
namun pada R-12 dengan semakin besar laju aliran maka suhu kondensasi
menurun secara nyata. Suhu kondensasi yang rendah dapat dihubungkan dengan
suhu evaporasi yang rendah pula, pada R-12 900 l/jam dan R-22 800 l/jam. Pada
R-12 800 l/jam, tingginya suhu kondensasi tidak mempengaruhi suhu evaporasi
yang dihasilkan. Hal ini mungkin terjadi karena pindah panas yang terjadi antara
air dan refrigeran di kondensor saat R-12 800 /jam berlangsung seimbang (Tabel
6). Dalam proses pendinginan, suhu kondensasi yang rendah diinginkan karena
akan mengurangi kerja kompresi sehingga akan meningkatkan COP. Sedangkan
penurunan suhu evaporasi akan mengurangi efek pendinginan yang
mengakibatkan turunnya COP. Diperlukan suatu kondisi dimana penurunan suhu
evaporasi sebanding dengan turunnya suhu kondensasi sehingga didapatkan nilai
COP optimum. Profil suhu kondensasi setiap laju aliran medium pendingin dan
refrigeran ditunjukkan oleh Gambar 11.
Gambar 11. Profil suhu kondensasi setiap laju aliran air pendingin dan refrigeran
Kondensor yang digunakan adalah kondensor berpendingin air dengan tipe
shell and coil. Besarnya pindah panas yang terjadi pada kondensor dapat ditinjau
dari perbedaan temperatur logaritmik dan koefisien pindah panas keseluruhan.
Perbedaan temperatur logaritmik pada setiap aliran ditampilkan pada Gambar 12.
Pada R-12 900 l/jam beda temperatur yang rendah diikuti dengan rendahnya suhu
Profil Suhu Kondensasi
2829
3031
3233
3435
36
10 30 50 70 90 110
130
150
170
190
210
Menit
0C
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
kondensasi. Beda temperatur logaritmik menunjukkan perbedaan suhu antara
refrigeran dan air sepanjang kondensor yang digunakan. Dengan semakin
besarnya nilai beda ini, panas yang dipindahkan semakin besar pula. Nilai yang
ditunjukkan oleh R-22 dengan aliran 700 l/jam dan 900 l/jam bukan merupakan
nilai pengukuran karen pengukuran suhu air masuk hanya dilakukan pada saat
awal proses.
Gambar 12. Beda temperatur logaritmik
Nilai koefisien pindah panas total (U) dihitung dengan rumus. Dengan
rumus ini, hal yang selalu berubah adalah koefisien pindah panas dari refrigeran.
Nilai koefisien pindah panas pada R-22 meningkat seiring dengan meningkatnya
laju aliran pendingin, namun hal ini tidak berlaku untuk R-12. Untuk R-12 700
l/jam nilai U yang besar tidak diikuti dengan panas buang kondensor yang besar.
Panas buang kondensor pada aliran ini mungkin dapat diperbesar dengan
menambahkan permukaan pindah panas antara refrigeran dan air. Grafik nilai U
diberikan pada Gambar 13.
Beda Temperatur Logaritmik
10111213141516171819
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
0C
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Gambar 13. Nilai koefisien pindah panas keseluruhan
Kedua besaran di atas digunakan untuk menganalisa pindah panas yang
terjadi pada kondensor, antara air dan refrigeran. Pada Gambar 14 ditunjukkan
besarnya panas yang dibuang oleh kondensor. Panas yang diserap oleh air pada
suhu evaporasi terendah dapat mewakili kalor serap air sepanjang waktu karena
laju aliran air pendingin konstan. Pada Tabel 6 terlihat bahwa kalor yang dapat
diserap air pada R-12 selalu lebih besar dari panas yang dibuang kondensor. Hal
ini menjadikan proses berjalan dengan efektif dan menghasilkan suhu evaporasi
yang diharapkan dengan waktu yang relatif singkat.
Gambar 14. Panas buang kondensor
Koefisien Pindah Panas Keseluruhan
750770790810830850870890910930
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
W/m
2 K
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jamR-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Panas Buang Kondensor
0
5
10
15
20
25
0 20 40 60 80 100
120
140
160
180
200
Menit
kJ/d
etik
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jam
R-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Tabel 6. Perbedaan panas buang kondensor dan kalor serap air R-12 R-22 Laju aliran
air
pendingin
(l/jam)
Panas buang
kondensor
(kJ/detik)
Kalor serap
air (kJ/detik)
Panas buang
kondensor
(kJ/detik)
Kalor serap
air (kJ/detik)
700 1.512 2.123 15.626 3.757
800 1.071 1.867 17.205 1.493
900 1.638 1.995 15.988 1.365
C. Pembahasan Koefisien Performansi
Diagram entalpi-tekanan merupakan diagram yang sering digunakan untuk
memperjelas proses yang terjadi dalam pendinginan. Diagram entalpi-tekanan
setiap refrigeran ditampilkan pada gambar 16 dan 17. Diagram yang ditampilkan
adalah dari titik dengan evaporasi paling rendah dari setiap percobaan dengan laju
aliran air pendingin.
Gambar 15. Diagram entalpi-tekanan R-22
Berdasarkan Gambar 11, rendahnya suhu kondensasi pada aliran air
pendingin 800 l/jam menyebabkan nilai entalpi yang kecil dan hal ini
menguntungkan karena meningkatkan efek pendinginan. Suhu kondensasi dan
suhu keluar kompresor pada aliran air pendingin 700 l/jam yang tinggi
menyebabkan rendahnya efek pendinginan dan tingginya kerja kompresi yang
terjadi. Dalam kasus ini, perbedaan suhu pada suhu evaporasi tidak
mempengaruhi entalpi, karena entalpi juga dipengaruhi oleh tekanan evaporasi.
Diagram entalpi tekanan R-22
0200400600800
100012001400
100 200 300 400 500
Entalpi (kJ/kg)
Teka
nan
(kPa
)
R-22; 700 l/jam R-22; 800 l/jam R-22; 900 l/jam
Refrigeran dengan aliran air pendingin 900 l/jam mengalami proses panas lanjut
yang membuat efek pendinginan semakin besar. Tekanan yang dapat dicapai oleh
R-22 lebih tinggi daripada R-12 karena pengaruh dari suhu keluar kompresor.
Kerja kompresi yang lebih besar ini diikuti dengan meningkatnya efek
pendinginan yang terjadi
Gambar 16. Diagram entalpi-tekanan R-12
Dari diagram entalpi-tekanan untuk aliran 800 l/jam dan 900 l/jam tekanan
yang dicapai lebih rendah daripada 700 l/jam karena telah dilakukan penyesuaian
alat, namun tetap saat aliran 700 l/jam diujikan lagi, mesin kompresor tetap mati
sehingga tidak dilakukan pengambilan data ulang. Dengan semakin besarnya laju
aliran, kerja kompresi semakin rendah dan hal ini terjadi baik pada R-12 dan R-22
karena tekanan kompresor yang dihasilkan semakin rendah.
Perbandingan grafik entalpi-tekanan pada laju aliran 800 l/jam untuk R-12
dan R-22 disajikan pada Gambar 16. Dari grafik semakin terlihat bahwa
peningkatan kerja kompresi pada R-22 adalah hampir sebanyak dua kali lipat
dibandingkan dengan kerja kompresi R-12. Namun hal ini terjadi seiring dengan
meningkatnya efek pendinginan yang terjadi.
Koefisien performansi merupakan parameter suatu mesin pendingin dipilih,
karena besaran ini menggambarkan perbandingan efek pendinginan yang terjadi
dan kerja yang dilakukan untuk menghasilkan efek pendinginan tersebut. Dari
gambar 17 terlihat bahwa COP akan meningkat seiring dengan meningkatnya laju
aliran. Namun peningkatan yang terjadi pada R-12 tidak setinggi peningkatan
Diagram entalpi tekanan R-12
0100200300400500600700800900
0 100 200 300 400 500
Entalpi (kJ/kg)
Teka
nan
(kPa
)
R-12; 700 l/jam R-12; 800 l/jam R-12; 900 l/jam
yang terjadi pada R-22. Hal ini terjadi karena nilai efek pendinginan maupun kerja
kompresi dari R-12 tidak berbeda jauh.
Gambar 17. Diagram entalpi-tekanan aliran 800 l/jam
Nilai COP yang dihasilkan pada penelitian ini berbeda dengan penelitian
Silalahi (2006). Hal ini terjadi karena perbedaan suhu evaporasi dan kondensasi
titik pengukuran COP. Silalahi melakukan perhitungan dengan asumsi siklus ideal
pendinginan sedangkan data pengukuran ini diperoleh dari siklus aktual. Silalahi
juga menggunakan simulasi penghitungan dengan suhu kondensasi yang tetap
pada suhu evaporasi yang beragam dan sebaliknya. Sistem pada penelitian ini
merupakan penelitian yang dinamis, dimana suhu evaporasi dan suhu
kondensasinya tidak dapat ditentukan. Nilai COP beserta suhu kondensasi dan
evaporasi dari setiap penelitian ditampilkan pada Tabel 7 dan 8.
Gambar 18. Perbandingan COP R-12 dan R-22 untuk setiap laju aliran air
pendingin.
Diagram entalpi tekanan aliran 800 l/jam
0200400600800
100012001400
100 200 300 400 500
Entalpi (kJ/kg)
Teka
nan
(kPa
)
R-12; 800 l/jam R-22; 800 l/jam
COP
3.20
3.40
3.60
3.80
4.00
700 800 900
Laju aliran air pendingin (l/jam)
CO
P
R-12 R-22
Tabel 7. Nilai COP R-12 dan R-22 pada beberapa suhu evaporasi dan kondensasi (Silalahi, 2006)
COP R-12 COP R-22 COP R-12 COP R-22
Tevap (0C) Tkond = 30 0C Tkond (0C) Tevap = -20 0C
-20 4.956 3.901 24 5.813 4.542
-18 5.229 4.135 26 5.502 4.309
-16 5.225 4.387 28 5.217 4.096
-14 5.848 4.663 30 4.956 3.907
-12 6.203 4.964 32 4.716 3.723
-10 6.593 5.295 34 4.494 3.558
-8 7.026 5.662 36 4.290 3.406
-6 7.507 6.07 38 4.100 3.265
-4 8.407 6.526 40 3.923 3.135
Tabel 8. Nilai COP dan suhu kondensasi serta evaporasinya (penelitian ini).
Refrigeran 700 l/jam 800 l/jam 900 l/jam
COP 3.325 3.335 3.276
Tevap (0C) -7.5 -20.8 -20.6
R-12
Tkond (0C) 32.5 32.1 29.8
COP 3.324 3.697 3.865
Tevap (0C) -14.6 -16.2 -14.9
R-22
Tkond (0C) 31.2 29.2 30.1
Dossat menyatakan bahwa COP akan menurun seiring bertambahnya suhu
kondensasi pada suhu evaporasi tetap atau menurunnya suhu evaporasi pada suhu
kondensasi yang tetap. Pada R-12, suhu kondensasi menurun dan suhu evaporasi
meningkat seiring dengan pertambahan laju aliran sehingga COP yang dihasilkan
menurun. Penurunan laju aliran juga menurunkan tekanan kerja kompresor yang
juga memberi pengaruh pada COP yang dihasilkan. Pada R-22, belum ada
kecenderungan suhu kondensasi dan suhu evaporasi yang terjadi. COP R-22 900
l/jam lebih tinggi daripada R-22 700 l/jam yang mempunyai suhu kondnesasi dan
avporasi yang hampir sama adalah karena R-22 900 l/jam mengalami proses panas
lanjut yang menyebabkan naiknya efek refrigerasi dan berkurangnya kerja
kompresi yang dilakukan.
D. Analisis Komponen Terhadap Penggantian Refrigeran
Penggantian refrigeran akan mempengaruhi kondisi kerja komponen yang
digunakan. Pada kompresor, R-22 ditekan pada tekanan dan suhu yang lebih
tinggi, yang dapat menyebabkan kepala silinder terlalu panas (88 0C pada 1391
kPa). Karena R-22 mempunyai kelarutan terhadap minyak yang lebih tinggi maka
kelarutan R-22 terhadap pelumas yang digunakan juga perlu diperhatikan. Pada
penelitian ini belum diketahui pengaruh kelarutan R-22 pada pelumas yang
digunakan.
Efek pendinginan yang terjadi pada R-22 lebih besar dibandingkan pada
R-12, namun hal ini tidak dibarengi dengan meningkatnya laju pendinginan yang
terjadi karena kurangnya kalor yang dapat diserap oleh medium pendingin.
Peningkatan laju aliran juga harus diperhatikan karena dengan semakin
meningkatnya laju aliran, gesekan yang terjadi akan semakin besar, dan hal ini
mengurangi perpindahan panas yang terjadi. Dengan penggunaan R-22 diperlukan
kondensor dengan permukaan pindah panas yang lebih luas dengan tujuan efek
pendinginan yang besar dapat dikeluarkan oleh kondensor secara maksimal,
namun jika kondensor yang digunakan tidak mudah untuk diganti, maka yang
dapat dilakukan adalah dengan menurunkan suhu medium pendingin yang masuk
kondensor. Katup ekspansi yang digunakan adalah katup ekspansi tipe termostatik
yang kecepatannya dipengaruhi oleh tingginya beda tekanan. Hal ini menjelaskan
tingginya laju aliran pada R-22.
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
Penggunaan R-22 menggantikan R-12 pada mesin pendingin kompresi uap
yang sama akan mempengaruhi kinerja komponen mesin pendingin. Efek
pendinginan, panas buang kondensor dan kerja kompresi yang dihasilkan pada
mesin yang menggunakan R-22 lebih besar, namun tidak diikuti dengan laju
pendinginan yang cepat. Besarnya nilai ketiga parameter ini dikarenakan besarnya
laju aliran massa yang terjadi. Suhu evaporasi yang dapat dicapai R-22 lebih
rendah daripada R-12 karena kurangnya kalor serap air sebagai medium pendingin.
B. SARAN
Untuk mendapatkan performa mesin pendingin kompresi uap yang
hampir sama dengan saat mesin menggunakan R-12, maka, berdasar percobaan,
hal yang dapat dilakukan pada mesin yang telah diganti dengan R-22 antara lain:
1. Perluasan permukaan sentuh di kondesor dengan tujuan meningkatkan
pindah panas yang terjadi.
2. Penggantian katup ekspansi dengan katup ekspansi yang didesain khusus
bagi R-22 sehingga laju aliran R-22 sesuai dengan kebutuhan pendinginan
dan kapasitas kondensor.
3. Penggunaan kompresor dengan kompresor displacement yang lebih kecil
karena R-22 lebih mudah ditekan sehingga membutuhkan ruang yang
lebih kecil..
VI. DAFTAR PUSTAKA
Dossat, Roy J. 1961. Principles of Refrigeration. John Wiley & Sons. Jepang
Effendy, Marwan. 2005. Pengaruh Kecepatan Udara Pendingin Kondensor
Terhadap Koefisien Prestasi Air Conditioning. Jurnal Teknik Gelagar. (16)
1 : 51-58
Effendy, Marwan. 2005. Pengaruh Kecepatan Putar Poros Kompresor Terhadap
Prestasi Kerja Mesin Pendingin AC. Media Mesin. (6) 2 : 55-62
Kim, Man-Hoe. Piotr A. Domaski and David A Didion. 1997. Performance of R-
22 Alternative Refrigerants in a System with Cross-flow and Counter-flow
Heat Exchanger. National Institute of Standards and Technology.
Gaithersburg.
Nasution, Henry. 2002. Teknik Pendingin. Jurusan Teknik Mesin. Fakultas
Teknik Universitas Bung Hatta, Padang
Silalahi, Santi Roselinda. 2006. Analisis Eksergi dan Karakteristik Termodinamik
Sejumlah Refrigeran Pada Sistem Kompresi Uap. Skripsi. Departemen
Teknik Pertanian. Institut Pertanian Bogor
Stoecker, W.F and J.W Jones. 1982. Refrigeration and Air Conditioning. McGraw
Hill Book Co. Singapura
Stoecker, W.F. 1998. Industrial Refrigeration Handbook. McGraw Hill Book Co.
Singapura
Sumanto. 1996. Dasar-dasar Mesin Pendinginan. Penerbit ANDI. Yogyakarta
Tambunan, A. H. 2001. Teknik Pendinginan. Jurusan Teknik Pertanian. Fakultas
Teknologi Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Trott, AR. 1989. Refrigeration and Air Conditioning. Butterworths. Cambridge,
UK.
UNEP. Pedoman Efisiensi Energi Asia. www.energyefficiencyasia.org www.wikipedia.org
Lampiran 1. Data pengukuran
Tanggal : 14 Maret 2007 Aliran air : 700 l/jam Refrigeran : R-12
Waktu T1
(0C) T2
(0C) T3
(0C) T4
(0C) T5
(0C) T6
(0C) T7
(0C) T8
(0C) T9
(0C) T10 (0C)
Flow refrigeran (kg) P1 (kPa)
P2 (kPa)
Daya (kW)
0 18.3 40.1 31.4 4.5 20 18 27.6 32.7 19 17.8 4206.77 269.5 931 1.05 10 9.8 60 35.8 1.3 10 11 28 33 16.6 11.3 4218.24 245 882 1 20 7 62 35.3 1.1 5 6 28.1 32.6 13.1 5.4 4227.2 220.5 882 0.95 30 3.6 62.6 34.7 -0.8 1 2 28.2 32.2 9.3 1.2 4233.67 196 882 0.95 40 1.5 63.2 34.4 -1.7 -2 -1 28.2 31.7 2.2 -2 4240.26 171.5 833 0.9 50 1.1 63.9 34 -3.5 -5 -4 28.3 31.8 2.2 -4.3 4246.65 147 833 0.9 60 -1.4 64.5 34 -3.4 -7 -6 28.4 31.4 2.2 -5.5 4252.17 147 833 0.9 70 -1.6 65 33.8 -4.1 -9 -8 28.4 31.3 1.3 -7.1 4258.08 147 833 0.85 80 -1.9 65.4 33.4 -4.4 -11 -10 28.4 31.6 -0.1 -9.1 4262.85 147 833 0.8 90 -2.9 65.9 33.5 -6.1 -12 -11 28.3 31.1 -0.3 -9.7 4267.71 147 833 0.8 100 -3.5 65.6 33.1 -6.8 -13 -12 28.3 30.9 -1.6 -11.2 4272.83 147 808.5 0.8 110 -4.8 65.5 32.5 -7.5 -15 -13 28.3 30.6 -2.9 -12.4 4277.7 122.5 808.5 0.8 120 -4 66 32.8 -8.8 -16 -14 28.4 31 -4.2 -13.8 4282.19 147 808.5 0.75
Lampiran 1. Data pengukuran
Aliran air : 800 l/jam Refrigeran : R-12
Waktu T1
(0C) T2
(0C) T3
(0C) T4
(0C) T5
(0C) T6
(0C) T7
(0C) T8
(0C) T9
(0C) T10 (0C)
Flow refrigeran
(kg) P1
(kPa) P2
(kPa) Daya (kW)
0 18.5 27.9 26.9 20.1 20 19.5 28 28.1 17.8 18.6 4493.48 490 686 1 10 9.3 57.9 34.7 0.9 9 9 28.1 32 15.8 8.9 4503.03 245 882 1 20 6.5 60.4 34.4 -3.8 4.5 5 28.2 31.8 12.8 5.5 4511.08 220.5 857.5 0.9 30 3.2 61.8 34 -5.1 1 0 28.3 31.4 8.9 2.1 4518.27 220.5 857.5 0.95 40 1.6 62.5 33.6 -7 -2.5 -2 28.4 31.2 2.2 -0.9 4524.76 196 857.5 0.9 50 -0.2 62.9 33.2 -12.2 -6 -5 28.4 31 2.4 -4.6 4530.08 171.5 833 0.85 60 -0.9 63.6 33 -13.8 -7 -6.5 28.5 30.9 2.3 -6.4 4536.3 147 833 0.8 70 -1.6 64 32.7 -15.9 -8.5 -8 28.5 30.9 2.3 -8.1 4541.7 147 833 0.8 80 -2.4 64.3 32.6 -16.3 -10.5 -10 28.5 31 2.2 -9.3 4546.91 147 833 0.8 90 -3.5 65.1 32.6 -18.6 -12 -11.5 28.6 30.7 1.4 -10.8 4551.58 122.5 808.5 0.75
100 -4.3 64.2 32.4 -18.4 -13 -12.5 28.6 30.6 -0.3 -11.4 4556.16 122.5 808.5 0.75 110 -4.8 64.8 32.1 -20.8 -14 -13 28.6 30.6 -2 -12.2 4560.22 107.8 784 0.75 120 -5.6 64.3 31.8 -7.5 -15 -14 28.6 29.2 -3.9 -12.8 4563.41 122.5 784 0.75
Lampiran 1. Data pengukuran
Aliran air : 900 l/jam Refrigeran : R-12
Waktu T1
(0C) T2
(0C) T3
(0C) T4
(0C) T5
(0C) T6
(0C) T7
(0C) T8
(0C) T9
(0C) T10 (0C)
Flow refrigeran
(kg) P1
(kPa) P2
(kPa) Daya (kW)
0 24.9 24.2 24.5 22.7 23 25 25.8 25.9 15.8 16.1 4044.65 465.5 637 1 10 6.7 54.4 31.8 0.4 9 9.5 25.9 29.2 13.8 9.8 4053.86 245 833 1 20 4.3 57.1 31.3 -3.2 4 4.5 25.9 29.2 10.4 5.6 4061.77 196 784 0 30 1.6 58.7 31.2 -8.3 0 1 25.9 29.1 6.6 0.2 4069.25 196 784 0.9 40 -0.2 59.5 30.9 -10.8 -3 -2.5 26 28.9 1 -2.5 4075.5 196 784 0.9 50 -1.3 60 30.6 -9.1 -6 -5 26 28.6 2.4 5.6 4081.72 196 784 0.9 60 -2.1 60.9 30.3 -12.9 -8 -7 26.1 28.6 2.3 6.9 4087.31 147 784 0.9 70 -3.7 61 30.1 -13.3 -10 -9 26.3 28.4 1.6 -9.2 4092.62 147 784 0.9 80 -4 61.4 30 -17.4 -12 -11 26.3 28.5 0.1 -10.2 4097.64 147 784 0.8 90 -5.3 61.3 30 -18.7 -13 -12 26.4 28.3 -1.5 -12.6 4102.49 147 784 0.8 100 -5.8 61.6 29.8 -20.6 -15 -13 26.4 28.3 -3 -13.5 4107.28 147 735 0.8 110 -5.4 61.8 29.6 -19.9 -16 -14 26.5 28.5 -4.4 -14.1 4112.17 147 735 0.8 120 -7.4 62.2 29.8 -4.5 -17 -15 26.6 28.3 -5.6 -15.8 4117.3 147 735 0.8 130 -12.3 60 29.2 -10.1 -17.5 -15 26.6 27.6 -7.8 -16 4119.66 147 735 0.8
Lampiran 1. Data pengukuran Aliran air : 700 l/h Refrigeran : R-22
Waktu T1
(0C) T2
(0C) T3
(0C) T4
(0C) T5
(0C) T6
(0C) T8
(0C) T9
(0C) T10 (0C)
Flow refrigeran (kg) P1 (kPa) P2 (kPa)
Daya (kW)
0 29.4 27.5 27.6 30 28 30 26.6 27.9 27.9 8749.98 1029 1127 - 10 25 86.3 35.3 21.1 21 22 33.1 21.9 25.6 8795.8 343 1489.6 1.45 20 21.5 87.7 35.6 16.3 15 16 33.1 16.9 21.2 8845.65 343 1489.6 1.45 30 18 87.3 35.1 12 10 12 32.8 12.1 16.6 8897.7 333.2 1470 1.35 40 15.4 87.7 34.9 8.3 6 8 32.5 7.8 12.3 8945.9 303.8 1445.5 1.32 50 13 87.8 34.5 5.2 2 4 32.4 4.4 8.1 8991.5 284.2 1421 1.3 60 10.8 87.7 34 2.1 -1 1 32.1 0.9 3.1 9036 245 1391.6 1.2 70 9.5 88.1 34 0 -3 -1 32.1 -1.4 2.1 9077 245 1391.6 1.2 80 8.1 87.8 33.4 -2 -5.5 -3 31.7 -3.4 2.3 9117.8 245 1391.6 1.15 90 6.9 87.9 33.3 -3.7 -7.5 -5.5 31.6 -5.5 2.4 9157.7 235.2 1372 1.15
100 6 87.3 33 -5 -9 -7 31.5 -7 1.8 9196.7 220.5 1372 1.12 110 5.1 87.9 33 -6.3 -11 -9 31.4 -8.5 0.2 9234.95 215.6 1362.2 1.1 120 4.4 87.7 32.9 -7.4 -12 -10 31.4 -9.8 -1.2 9272.7 205.8 1362.2 1.1 130 3.8 87.7 32.5 -8.5 -9 1 31.3 -12.8 -2.4 9309 196 1352.4 1.05 140 3.2 87.5 32.5 -9.5 -10.5 1 31.2 -13.3 -3.8 9346.6 196 1347.5 1.05 150 2.6 87.8 32.4 -10.3 -11.5 1 31.2 -14.6 -5.2 9383.1 196 1347.5 1.05 160 2.1 87.6 32.2 -11.2 -12.5 1 31.2 -16.7 -7.8 9419.8 196 1323 1 170 1.7 87.3 32 -11.9 -14 -1 31.1 -14.8 -12.4 9456.4 196 1323 1 180 1.2 87.3 32 -12.6 -14 0 31.2 -15.8 -14.3 9493.1 196 1323 1
190 0.9 87.4 32 -13.3 -16 0 31.2 -16.6 -15.5 9567.1 186.2 1323 1 200 0.6 87.7 32 -14 -16.5 0 31.2 -17.1 -16.4 9603.5 186.2 1323 1 210 0.1 87.5 31.9 -14.6 -17 0 31.2 -17.8 -17.2 9640 186.2 1323 1
Lampiran 1. Data pengukuran Aliran air: 800 l/jam Refrigeran : R-22
Waktu T1 (0C) T2 (0C) T3 (0C) T4 (0C) T7 (0C) T8 (0C)
Flow Refrigeran
(kg) P1 (kPa) P2 (kPa) Daya (kW)
0 24.2 44.2 31.9 21.5 30.3 32.7 370.8 539 1176 - 10 14.4 83.6 32.2 7.6 30.3 33.3 452 392 1372 1.2 20 12 84.9 32.2 4.1 30.6 33.3 495 245 1372 1.2 30 9.5 84.6 31.9 0.4 30.6 33.2 567.2 245 1372 1.2 40 7.7 85.4 32 -2.2 30.9 33.2 619.5 245 1323 1.1 50 6.5 85.1 32 -4.1 31 33.5 670 220.5 1323 1.1 60 5.4 86 31.9 -5.9 30.9 33.3 719.1 196 1323 1.1 70 4.3 85.3 31.4 -7.5 30.7 32.9 767.3 196 1323 1.1 80 3.3 85.8 31.2 -8.9 30.7 32.7 815.3 196 1323 1 90 2.4 85.7 30.9 -10.2 30.4 32.5 862.6 196 1323 1 100 1.8 84.5 30.5 -11.3 30.2 32.1 910.5 196 1274 1 110 1.1 84.6 30.3 -12.4 29.9 31.9 955.5 196 1274 1 120 0.4 84.9 29.9 -13.4 29.9 31.6 1002 196 1274 1 130 -0.3 84.3 29.6 -14.5 29.9 31.3 1048.4 196 1274 1 140 -0.8 83.9 29.5 -15.2 29.9 31.3 1095 171.5 1274 0.95 150 -1.4 84.6 29.4 -16.2 29.9 31.3 1141.7 171.5 1274 0.95 160 -1.9 82.9 29.2 -17.1 29.8 31.4 1192 171.5 1274 0.95
Lampiran 1. Data pengukuran Aliran air: 600 l/h Refrigeran : R-22 a) Pengambilan data awal hingga menit ke-90
Waktu T1 (0C) T2 (0C) T3 (0C) T4 (0C) T5 (0C) T6 (0C) T7 (0C) T8 (0C)T9
(0C) T10 (0C)
Flow refrigeran
(kg) P1 (kPa) P2 (kPa) Daya (kW)
0 28.6 27.1 27.4 28.2 27 27 27.9 27.9 25 25.4 6324.43 343 1347.5 1.4 10 22.7 82.4 34.9 18.7 18 18 31.9 28 21.6 17.7 6283.89 343 1440.6 1.4 20 19 83.7 35 13.4 12 12 31.8 28 16.8 13.4 6335.2 343 1440.6 1.4 30 16 84.2 34.6 9.6 8 8 31.5 28 12.1 9.2 6382.6 303.8 1421 1.3 40 13.4 84.3 34.1 6.2 4 4 31.4 28 7.8 5.2 6428.3 294 1391.6 1.3 50 11.3 84.8 33.8 3.1 0.5 1 31.2 28 4.9 2 6472.7 269.5 1372 1.2 60 9.3 85.2 33.6 0.5 -2.5 -2 31 28 1.9 -0.8 6514.05 245 1372 1.15 70 7.9 85.1 33.3 -1.8 -5 -4.5 31 28 1.8 -3.5 6555.4 245 1372 1.15 80 6.7 85.3 33 -3.7 -8 -7.5 30.8 28 1.9 -5.2 6594.9 245 1323 1.15 90 5.7 85.5 32.8 -5.1 -9 -8.5 30.8 28 0.6 -7 6632.8 220.5 1323 1.1
Pengambilan data kedua dilakukan setelah mesin berjalan 1.5 jam, dimana didapatkan suhu evaporasi yang hampir sama dengan pengukuran sebelumnya
Waktu T1 (0C) T2 (0C) T3 (0C) T4 (0C) T5 (0C) T6 (0C) T7 (0C) T8 (0C)
T9 (0C)
T10 (0C)
Flow refrigeran
(kg) P1 (kPa) P2 (kPa) Daya (kW)
0 1.0 84.3 31.4 -5.9 -13 -16 24 30.4 -10.4 -13.9 7192.2 196.0 1274.0 1 10 0.4 84.8 31.1 -6.1 -14 -17 24 30.3 -13.2 -14.9 7226.2 196.0 1274.0 1 20 -0.1 85.0 31.0 -6.8 -15 -18 26 30.3 -14.9 -15.9 7263.2 186.2 1274.0 1 30 -0.5 84.6 31.0 -7.8 -16 -19 27 30.0 -16.1 -16.8 7302.6 186.2 1274.0 1 40 0.9 85.0 30.9 -8.3 -17 -20 26 30.0 -17.2 -17.7 7340.0 186.2 1274.0 1 50 -1.1 85.4 30.6 -9.2 -18 -20 26 29.8 -18.0 -18.4 7375.2 176.4 1274.0 0.95 60 -1.5 85.0 30.4 -11.0 -18 -21 26 30.0 -18.8 -19.2 7411.5 176.4 1274.0 0.95 70 -1.7 84.8 30.6 -11.0 -19 -21 26 29.8 -19.2 -19.8 7448.0 171.5 1274.0 0.95 80 -2.0 84.3 30.4 -11.5 -19 -22 26 29.8 -19.8 -20.0 7484.7 171.5 1274.0 0.95 90 -2.3 83.5 30.2 -12.7 -20 -22 26 29.7 -20.2 -20.5 7521.5 171.5 1274.0 0.95 100 -2.4 84.9 30.3 -13.0 -20 -22 26 29.7 -20.4 -20.7 7558.3 171.5 1274.0 0.95 110 -2.6 84.5 30.3 -14.1 -20 -23 26 29.6 -20.9 -21.1 7595.5 166.6 1274.0 0.95 120 -2.7 84.2 30.1 -14.9 -21 -23 26 29.2 -21.2 -21.4 7632.5 166.6 1274.0 0.95
Lampiran 2. Gambar mesin pembeku