Top Banner
1 KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL U N I V E R S I T A S R I A U FAKULTAS HUKUM TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA SKRIPSI Diajukan Untuk Melengkapi Serta Memenuhi Syarat Untuk Mencapai Gelar Sarjana Strata 1 (S1) Pada Fakultas Hukum Universitas Riau OLEH: JIMMY HARTONO SIMAMORA NIM. 0709112782 F A K U L T A S H U K U M UNIVERSITAS RIAU P E K A N B A R U 2011
128

SKRIPSI Jimmy Hartono

Aug 14, 2015

Download

Documents

Gussix 'Guk'
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: SKRIPSI Jimmy Hartono

1

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

U N I V E R S I T A S R I A U

FAKULTAS HUKUM

TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN

DAERAH MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG

BERLAKU DI INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Serta Memenuhi Syarat

Untuk Mencapai Gelar Sarjana Strata 1 (S1)

Pada Fakultas Hukum Universitas Riau

OLEH:

JIMMY HARTONO SIMAMORA

NIM. 0709112782

F A K U L T A S H U K U MUNIVERSITAS RIAU

P E K A N B A R U2011

Page 2: SKRIPSI Jimmy Hartono

2

LEMBARAN PERSETUJUAN UJIAN SKRIPSI

NAMA : JIMMY HARTONO SIMAMORANIM : 0709112782PK : HUKUM TATA NEGARAJUDUL : TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH (PERDA) BERDASARKANPERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKUDI INDONESIA

Alamat : JL.Bangau Sakti, Perum Alfa Melati Blok.G No.11, Panam-PekanbaruNo. Telp/HP : 0852 7071 2006

Pekanbaru, 18 September 2011Menyetujui Untuk Ujian Skripsi Mahasiswa Tersebut Diatas :

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dodi Haryono SHI, SH, MH Abdul Ghafur S.Ag19790124 200604 1 002 19720105 200604 1 001

Mengetahui :Fakultas Hukum Universitas Riau

Pembantu Dekan I

Gusliana HB, S.H., M.Hum19770828 200312 2 002

Page 3: SKRIPSI Jimmy Hartono

3

LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI

Berdasarkan hasil ujian skripsi Strata I (S-I) yang diadakan pada hari Jumat Tanggal29 Bulan September Tahun Dua Ribu Sebelas Pukul 09.00-10.30 Wib :

Nama : JIMMY HARTONO.SNIM : 0709112782Program Kekhususan : Hukum Tata NegaraJudul : Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan

Peraturan Daerah Menurut PeraturanPerundang-undangan yang Berlaku di Indonesia

Dimana diputuskan oleh Tim Penguji Skripsi :(Dapat diterima/belum dapat diterima*) (tidak kembali diuji)Setelah diadakan penelitian atas perbaikan skripsi mahasiswa yang bersangkutanmaka dinyatakan :

1. Dapat diterima ( √ )2. Belum dapat diterima ( … )

Dengan nilai : Angka (3) huruf (B)Tim Penguji :No Nama Jabatan Tanda tangan

1 Emilda Firdaus,SH.,MH Ketua

2 Junaidi,SH.,MH Penguji I

3 Mexsasai Indra,SH.,MH Penguji II

4 Dodi Haryono, SHI.,SH.,MH Pembimbing I

5 Abdul Ghafur,S.Ag Pembimbing II

Pekanbaru, 30 September 2011Mengetahui :

Pembantu Dekan I

Gusliana HB, SH., M. HumNIP. 19770828 200312 2 002

Page 4: SKRIPSI Jimmy Hartono

4

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI

Diterima oleh panitia ujian sarjana Fakultas Hukum Universitas Riau untukmemenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Ujian Skripsi Guna Memperoleh GelarStrata Satu pada Ilmu Hukum Universitas Riau :Nama : JIMMY HARTONO.SNIM : 0709112782Program Kekhususan : Hukum Tata NegaraJudul : “TINJAUAN YURIDIS WEWENANG PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH MENURUT PERATURANPERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DIINDONESIA”

Ujian Dilaksanakan : Hari Jumat/30 September 2011Pukul : 09.00-10.30 WibTempat : Ruang Sidang Fakultas Hukum Universitas Riau

Ketua, Pembimbing I,

Emilda Firdaus,SH.,MH Dodi Haryono, SHI.,SH.,MHNIP. 19800505 200604 2 001 NIP. 19760905 200604 1 002

Penguji I, Pembimbing II,

Mexsasai Indra, SH.,MH Abdul Ghafur, S.AgNIP. 19810313 200802 001 NIP. 19720105 200604 1 001

Penguji II

Junaidi, SH.,MH19800616 200812 1 003

Mengetahui :Dekan Fakultas Hukum

Universitas Riau

Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.HumNIP. 19630215 198903 2 002

Page 5: SKRIPSI Jimmy Hartono

5

SURAT PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI

Saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : JIMMY HARTONO SIMAMORA

Nomor Induk Mahasiswa : 0709 11 2782

Program Kekhususan : Hukum Tata Negara

Judul : Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan Peraturan

Daerah (PERDA) Berdasarkan Peraturan Perundang-

undangan Yang Berlaku di Indonesia.

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang

pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini

dan disebutkan dalam referensi. Dan apabila dikemudian hari terbukti bahwa

pernyataan tidak benar, maka saya sanggup menerima hukuman/sanksi apapun sesuai

dengan peraturan yang berlaku.

Pekanbaru, 10 September 2011

JIMMY HARTONO SIMAMORA

Page 6: SKRIPSI Jimmy Hartono

6

ABSTRAKSI

Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah, Pemerintah Daerah diberiwewenang membentuk Peraturan Daerah sebagai sarana yuridis melaksanakankebijakan otonomi daerah dan untuk menampung kondisi khusus suatu daerah sertapenjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Namunpada pelaksanaannya prinsip otonomi yang diberikan cenderung mengabaikan sistemhukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang berbeda-bedaberdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu sendiri. Disamping itu,pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisinasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuandiatasnya. Mengingat Perda sebagai produk kepala daerah dan DPRD di suatu daerahyang bersifat otonom dan peraturan terendah dalam hirarki perundang-undanganmenimbulkan perdebatan mengenai siapa yang berwenang dalam membatalkanPerda.

Jenis Penelitian yang dilakukan adalah penelitian hukum normatif, yaitupenelitian yang dilakukan terhadap asas-asas hukum dan taraf sinkronisasi hukum.Analisis yang dilakukan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif denganmenarik kesimpulan secara deduktif yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yangbersifat umum kepada hal-hal yang bersifat khusus.

Yang menjadi rumusan masalah pada penelitian ini adalah Bagaimanakahwewenang pembatalan Peraturan Daerah menurut peraturan perundang-undanganyang berlaku di Indonesia, apa permasalahan hukum yang timbul terhadap wewenangpembatalan peraturan daerah serta bagaimana bentuk ideal wewenang pembatalanperaturan daerah berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut.

Bentuk pembatalan Perda yang berlaku di Indonesia dapat dilaksankan olehPemerintah melalui executive review dan melalui Mahkamah Agung melalui judicialreview. Dengan adanya dualisme wewenang pembatalan Perda justru dapatmenimbulkan permasalahan hukum berupa timbulnya konflik kepentingan, adanyadisharmoni dan tumpang tindih peraturan, ketidakjelasan alasan substansialpembatalan Perda dan Sistem atau prosedur beracara yang tidak tertata dengan baikdan jelas. Bentuk ideal yang dapat digunakan terkait kewenangan pembatalan Perdaialah dengan mengembalikan wewenang pembatalan Perda pada Mahkamah Agungsebagai lembaga peradilan, upaya harmonisasi peraturan perundang-undangan yangtumpang-tindih dan pembenahan proses beracara pada Mahkamah Agung.

Page 7: SKRIPSI Jimmy Hartono

7

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur Penulis ucapkan kehadirat Tuhan Yesus Kristus yang telah

memberikan berkat dan karunia-Nya, sehingga Penulis dapat menyelesaikan

pembuatan skripsi ini dengan judul “Tinjauan Yuridis Wewenang Pembatalan

Peraturan Daerah (Perda) Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan Yang Berlaku

di Indonesia.”

Adapun tujuan pembuatan skripsi ini yaitu untuk memenuhi dan melengkapi

syarat-syarat mencapai gelar Sarjana/ Strata Satu (S1) pada Fakultas Hukum

Universitas Riau.

Skripsi ini penulis selesaikan dengan tidak terlepas dari bantuan dan

kemudahan yang diberikan oleh berbagai pihak, maka untuk itu penulis mengucapkan

terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:

1. Bapak Prof. Dr, H. Ashaluddin Jalil. MS selaku rektor Universitas Riau.

2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas

Riau

3. Ibu Gusliana HB, SH.,M.Hum selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum

Universitas Riau

Page 8: SKRIPSI Jimmy Hartono

8

4. Bapak Dodi Haryono, SHI, SH., MH, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum

Universitas Riau, dan selaku Pembimbing I yang telah meluangkan waktu, tenaga

dan pemikiran dalam memberikan bimbingan kepada penulis untuk

menyelesaikan dan menyempurnakan skripsi saya ini.

5. Ibu Rika Lestari S.H., M.H selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Riau.

6. Bapak Abdul Ghafur. S.Ag, selaku Pembimbing II yang telah meluangkan waktu,

tenaga, pemikiran dalam memberikan bimbingan dan pengarahan yang intensif

bagi penulis dalam penyusunan tugas akhir ini.

7. Bapak Junaidi, SH., MH selaku Ketua Bagian Hukum Tata Negara yang telah

memberi masukan dalam penulisan skripsi saya ini.

8. Bapak Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Riau yang telah banyak

memberikan ilmu pengetahuan kepada penulis selama penulis menjalani

perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Riau.

9. Bapak dan Ibu dan staf Perpustakaan dan Tata Usaha Fakultas Hukum

Universitas Riau yang telah banyak memberikan bantuan dalam peminjaman

buku dan dalam hal mengurus administrasi yang berkaitan dengan perkuliahan

penulis.

10. Teristimewa buat Orang Tuaku tercinta, Bapak J. Simamora dan Ibu D. Br Purba

buat kasih sayang dan semua pengorbanan serta dukungannya, buat saudara-

Page 9: SKRIPSI Jimmy Hartono

9

saudaraku terkasih; Fransiskus Xaferius Simamora, Mayzerriono Simamora,

Brilliant Esye Lousiana Br.Simamora, Reinhard Syah Roni Tua Simamora,

Cecilia Yohana Putri Simamora, Bruder Yohannes buat segala Doa, dukungan

dan perhatiannya.

11. Terimakasih buat teman-teman penulis yang telah memberi dukungan: Aldo

Marbun, Yan Agus, Junedi SH, Romi Apuk, Riston, Gussix Parizon, Mawar

Verawati sihombing, Janter, Tumbur, Radit dan Leni yang selalu mengisi hari-

hari Penulis selama perkuliahan yang tidak bosan-bosannya memberikan

semangat dan perhatian kepada Penulis. Terima kasih atas kebersamaan kita

selama ini. Semoga persahabatan kita akan selalu abadi.

12. Untuk seluruh teman-teman FH angkatan ’07, khususnya Program kekhususan

HTN dan teman-teman seluruh Fakultas Hukum Universitas Riau yang tidak bisa

saya sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih kepada semua pihak yang

tidak bisa disebutkan satu persatu atas dukungan dan bantuan yang diberikan,

semoga segala yang diberikan dapat memberikan manfaat dan mendapatkan

berkah dari Tuhan yang Maha Esa.

Penulis telah berusaha semaksimal mungkin untuk menyempurnakan skripsi

ini namun karena pengetahuan dan pengalaman sangat terbatas, tentunya banyak

sekali kekurangan baik dalam penulisan maupun dalam susunan kata.

Page 10: SKRIPSI Jimmy Hartono

10

Dengan kerendahan hati Penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang

sifatnya membangun untuk kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat

memberikan manfaat bagi semua pihak. Amin.

Pekanbaru, 11 September 2011

Hormat Penulis,

JIMMY HARTONO. SIMAMORA

Page 11: SKRIPSI Jimmy Hartono

11

DAFTAR ISI

LEMBAR PERSETUJUAN UJIAN........................................................... i

LEMBAR PERBAIKAN SKRIPSI ............................................................ ii

BERITA ACARA UJIAN........................................................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN SKRIPSI ........................................................ iv

PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI..................................................... v

ABSTRAKSI .............................................................................................. vi

KATA PENGANTAR ................................................................................ vii

DAFTAR ISI............................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Permasalahan ......................................................... 1

B. Rumusan Permasalahan .................................................................. 16

C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 16

D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 17

E. Kerangka Teoritis dan Konseptual.................................................. 17

1. Kerangka Teoritis........................................................................ 17

2. Kerangka Konseptual .................................................................. 43

F. Metode Penelitian............................................................................ 44

1. Jenis Penelitian............................................................................ 44

Page 12: SKRIPSI Jimmy Hartono

12

2. Metode dan Alat Pengumpul Bahan ........................................... 45

3. Teknik Analisis Bahan Hukum ................................................... 46

BAB II WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH

(PERDA) MENURUT PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN YANG BERLAKU DI INDONESIA................. 47

A. Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah

melalui executif review .................................................................... 48

B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Mahkamah

Agung Melalui judicial review........................................................ 62

BAB III PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL

TERHADAP WEWENANG PEMBATALAN

PERATURAN DAERAH (PERDA) ........................................... 80

A. Adanya Disharmoni dan Tumpang Tindih Peraturan

Perundang-undangan....................................................................... 83

B. Ketidakjelasan Alasan Substansial Pembatalan

Peraturan Daerah............................................................................. 87

C. Penyimpangan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan

Peraturan Daerah............................................................................ 93

BAB IV BENTUK IDEAL KEWENANGAN

PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA) ............. 106

Page 13: SKRIPSI Jimmy Hartono

13

A. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang

Tumpang Tindih Antara Pemerintah dan Mahkamah Agung ......... 106

B. Kejelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah ......... 110

C. Perbaikan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan

Peraturan Daerah............................................................................. 116

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ..................................................................................... 121

B. Saran................................................................................................ 122

DAFTAR PUSTAKA

Page 14: SKRIPSI Jimmy Hartono

14

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Di Indonesia hukum merupakan faktor yang sangat penting dalam

penyelenggaraan kekuasaan negara Indonesia. Hal ini jelas terlihat dari penjelasan

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), Pada pasal 1

ayat (3) yang menyatakan dengan tegas bahwa negara Indonesia adalah negara

hukum.1 Ketentuan ini merupakan pernyataan bahwa hukum akan sangat menentukan

dalam pelaksanaan kenegaraan dan segala sesuatunya senantiasa berdasarkan hukum.

Oleh Karena itu, dalam negara Indonesia yang memiliki cita hukum pancasila

sekaligus sebagai norma fundamental negara, maka hendaknya peraturan yang

hendak dibuat hendaknya diwarnai dan dialiri nilai-nilai yang terkandung dalam cita

hukum tersebut.2 Sehingga dalam pembentukan peraturan perundang-undangan

dimuat ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan kebutuhan, keyakinan dan kesadaran

hukum masyarakat dan berakar pada nilai-nilai moral yang baik pula yang

diwujudkan dalam Pancasila.

1 Lihat penjelasan lebih lanjut dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 19452 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Cara Praktis Menyusun & Merancang

Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai Manual), Kencana, Jakarta: 2009, Hal.9

Page 15: SKRIPSI Jimmy Hartono

15

Salah satu aspek perubahan penting dan menarik untuk dikaji setelah jatuhnya

pemerintahan Presiden Soeharto (Pemerintahan Orde Baru) melalui reformasi 1998,

adalah perkembangan hubungan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hubungan

antara Pemerintah Pusat dan Daerah pada masa orde baru yang bersifat sentralistik

mengalami perubahan Paradigmatik, ditandai dengan sifat hubungan yang

desentralistik dengan melimpahkan urusan daerah melalui otonomi luas, nyata dan

bertanggung jawab.3 Setelah Indonesia memasuki masa Reformasi pada 1998,

aspirasi mengenai otonomi daerah dan desentralisasi muncul melalui sidang MPR

1998 yang dituangkan dalam ketetapan MPR No. XV/ MPR/1998 tentang

penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan pembagian, dan pemanfaatan sumber

daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah dalam

negara kesatuan republik indonesia.4 Artinya sejumlah wewenang pemerintahan

diserahkan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom, kecuali urusan

pemerintahan yang meliputi politik luar negeri, pertanahan, keamanan dan yustisi

yang tetap menjadi kewenangan pemerintah.5

Dalam rangka peyelenggaraan otonomi daerah dibentuklah Peraturan Daerah

sebagai suatu sarana yuridis untuk melaksanakan kebijakan otonomi daerah untuk

menampung kondisi khusus suatu daerah serta penjabaran lebih lanjut peraturan

3 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press, Yogyakarta:2010, Hal.1

4 Ni’matul Huda, Ibid, Hal. 271-2725 A.A.Oka Mahendra,”Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Daerah”:

(2006), Jurnal Legislasi Indonesia, Hal. 21

Page 16: SKRIPSI Jimmy Hartono

16

perundang-undangan yang lebih tinggi. Peraturan Daerah dibuat untuk melaksanakan

otonomi atau tugas pembantuan (medebewind). Materi muatan Peraturan Daerah di

bidang tugas pembantuan ditentukan sesuai dengan jenis tugas pembantuan yang

menjadi urusan rumah tangga tugas pembantuan.6

Peraturan Daerah termasuk salah satu dari perundang-undangan di Indonesia

yang menjadi kewenangan daerah tersebut. Akan tetapi, pembentukan Peraturan

Daerah tidak dapat bersandarkan pada kewenangannya sendiri karena daerah berada

pada kuasa lingkungan hukum publik nasional. Dengan demikian, pembentukan

Peraturan Daerah meskipun memiliki kualifikasi yang disesuaikan dengan kebutuhan

dan kepentingan masyarakat daerahnya, tetapi juga memiliki sinkronisasi dan

harmonisasi dengan hukum nasionalnya.7

Peraturan Daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh

DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah (Pasal 1 angka 7 Undang-undang

Nomor 10 Tahun 2004, tentang pembentukan peraturan perundang-undangan).

Peraturan Daerah mendapatkan landasan Konstitusional dalam Konstitusi untuk

melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan (Pasal 18 ayat (6) UUD 1945)8. Dalam

6 Bagir Manan dan Kuntana Magnar, Beberapa Masalah hukum Tata Negara Indonesia,Alumni, Jakarta: 1997, Hal. 154

7 Ibid, Hal. 1978 Undang-undang Dasar Tahun 1945, Pasal 18 Ayat (6).

Page 17: SKRIPSI Jimmy Hartono

17

undang-undang Nomor 10 Tahun 2004, Pasal 12 menentukan materi muatan

Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka:9

a) penyelenggaraan otonomi dan tugas pembantuan;

b) menampung kondisi khusus daerah; serta

c) penjabaran lebih lanjut peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Dalam praktiknya, pembentukan Peraturan Daerah cenderung mengabaikan

sistem hukum nasional dan menerapkan jenis dan bentuk materi muatan yang

berbeda-beda berdasarkan kebutuhan dan kepentingan daerah itu sendiri. Disamping

itu, pembentukan Peraturan Daerah tidak sesuai dengan tujuan, situasi dan kondisi

nasional, sehingga kadangkala menimbulkan pertentangan dengan ketentuan

diatasnya.10 Pemerintah Daerah memperlihatkan kecenderungan untuk membuat

Perda sebanyak-banyaknya tanpa mengindahkan rambu-rambu peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dan kepentingan umum yang cukup luas.

Hal ini tentunya bertolak belakang dengan ketentuan yang diatur dalam

peraturan perundang-undangan yang menegaskan mengenai Pembentukan Peraturan

Daerah yakni, Perda yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah.11

Pembentukan Perda harus terdapat kesesuaian bentuk atau jenis atau peraturan

9http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 29 April 2011 pukul 15.00).

10 Hari Sabarno, Loc. Cit11 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 145

Page 18: SKRIPSI Jimmy Hartono

18

perundang-undangan dengan materi yang diatur terutama dengan harmonisasi

peraturan yang tingkatnya lebih tinggi atau sederajat sebab ketidaksesuaian dapat

menjadi alasan untuk membatalkan Perda tersebut.

Di kala pembentukan Perda beberapa asas kiranya perlu diperhatikan, berikut

ini:12

1. Muatan perda mengcover hal ikhwal kekinian dan visioner ke depan (asas

positivisme dan perspektif);

2. Memperhatikan asas “lex specialis derogat legi generalis” (debijzondere wet gaat

voor de algemene wet), yakni ketentuan yang bersifat khusus menyampingkan

ketentuan yang bersifat umum.

3. Memperhatikan asas “lex superior derogat legi inferiori (de hogere wet gaat voor

de lagere wet), yakni ketentuan yang lebih tinggi derajatnya menyampingkan

ketentuan yang lebih rendah.

4. Memperhatikan asas “lex posterior derogate legi priori” (de laterewet gaat voor

de eerdere), yakni ketentuan yang kemudian menyampingkan ketentuan

terdahulu.

Mengingat Peraturan Daerah merupakan produk legislatif di daerah, maka

timbul persoalan dengan kewenangan untuk menguji dan membatalkannya terkait

lembaga manakah yang berwenang membatalkan Peraturan Daerah. Dalam peraturan

12http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+lembaga++negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b0dd2da61f4fbd4 ( terakhirdikunjungi tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00).

Page 19: SKRIPSI Jimmy Hartono

19

perundang-undangan, Perda memiliki posisi yang unik karena meski kedudukan

Perda berada di bawah undang-undang, tetapi tidak terdapat kesatuan pendapat antara

para pakar mengenai siapa sebenarnya yang berwenang mengujinya.13

Berdasarkan Pasal 24 A ayat (1) Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang

menegaskan bahwa “Mahkamah Agung berwenang mengadili tingkat kasasi, menguji

peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang terhadap undang-undang,

dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan undang-undang” dan Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pasal 31 yang bunyinya :

“ (1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.

(2) Mahkamah Agung menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan

di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak

memenuhi ketentuan yang berlaku.

(3) Putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat diambil baik berhubungan

dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan

permohonan langsung pada Mahkamah Agung.

(4) Peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah sebagaimana

dimaksud pada ayat (3) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

memberi wewenang kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia untuk “Menguji

peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang”. Dengan merujuk Pasal 7

13 http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materi-perda-ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00).

Page 20: SKRIPSI Jimmy Hartono

20

UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

(selanjutnya disingkat UU No 10 Tahun 2004) berarti peraturan perundang undangan

yang dapat diuji oleh MA adalah Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden atau

Peraturan Daerah terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

derajatnya, namun tidak termasuk terhadap Undang-Undang Dasar.14 Didalam

Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Perubahan atas

(UU No.4 tahun 2004) dalam Pasal 20 ayat (2) juga dinyatakan:

“ Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:

(1) Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan pada tingkat

terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yang berada di

bawah Mahkamah Agung;

(2) Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undangundang terhadap

undang-undang; dan

(3) Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”

Kewenangan melakukan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah

undang-undang terhadap undang-undang oleh Mahkamah Agung tersebut kemudian

dikenal dengan istilah judicial review atau pengujian peraturan perundang-undangan

oleh lembaga kehakiman.

Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji suatu

Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah

Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa. Maka dapat dikatakan bahwa Mahkamah

14 Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Pasal. 7

Page 21: SKRIPSI Jimmy Hartono

21

Agung berwenang untuk menyelidiki dan kemudian menilai isi dari suatu peraturan

daerah terhadap Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari kekuasaan Pemerintah Daerah

dalam mengeluarkan suatu peraturan daerah yang mengatur hal tertentu. Apabila

Peraturan Daerah yang diujikan tersebut, isinya bertentangan dengan Undang-undang

atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka Mahkamah

Agung akan mengeluarkan Putusan bahwa Peraturan Daerah tidak sah dan tidak

berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera

melakukan pencabutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (2) UU No. 48

tahun 2009 dan Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 tahun 2004 yang bunyinya15:

“ (1) Dalam hal mahkamah agung berpendapat bahwa permohonan keberatan

itu beralasan, karena peraturan perundang-undangan tersebut

bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-

undangan tingkat lebih tinggi, mahkamah agung mengabulkan

permohonan tersebut.

(2) Mahkamah Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan

perundang-undangan yang dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak

sah dan tidak berlaku untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi

yang bersangkutan segera pencabutannya.

(3) Dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa permohonan

keberatan itu tidak beralasan, Mahkamah Agung menolak permohonan

keberatan tersebut.”

15 http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-materi-perda-ke-mahkamah-agung(terakhir kali dikunjungi pada tanggal 29 April 2011 Pukul 15.00)

Page 22: SKRIPSI Jimmy Hartono

22

Namun dalam ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dijumpai adanya bentuk pengujian yang dilakukan dalam

konteks menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau

harmonis dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak

berbenturan atau kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah norma

umum yang berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma kesopanan

kemudian dikenal dengan executive review.

Alas hukum yang mengatur tentang uji materiil dan pembatalan Perda tersebut

diatur dalam Pasal 145 UU No.32 tahun 2004, yaitu sebagai berikut:

“ (1) Perda disampaikan kepada Pemerintah paling lama 7 (tujuh) hari

setelah ditetapkan”

(2) Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang bertentangan

dengan, kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah”

(3) Keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat

ditetapkan dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam

puluh) hari sejak diterimanya Perda sebagaimana dimaksud pada

ayat (1)”

(4) Paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan pembatalan

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah harus

memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD

bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud”

(5) Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota – tidak dapat menerima

keputusan pembatalan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat

Page 23: SKRIPSI Jimmy Hartono

23

dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada

Mahkamah Agung”

(6) Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung

tersebut menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak

mempunyai kekuatan hukum”

(7) Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden

untuk membatalkan Perda sebagaimana dimaksud pada ayat (3),

Perda dimaksud dinyatakan berlaku”

Pengujian Peraturan Daerah oleh Pemerintah justru karena Pemerintah Daerah

merupakan bagian dari Pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah Daerah berada di

bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi Pemerintah pun harus

mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh daerah. Berdasarkan

hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk mengeluarkan

instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang bermasalah tersebut

melalui instrument hukum berupa Peraturan Presiden.

Sejak berlakunya UU No.32 Tahun 2004 hingga 9 oktober 2006 produk

hukum daerah yang dibatalkan oleh pemerintah sebanyak 215 buah yang terdiri dari

204 Perda dan 11 Keputusan Kepala Daerah.16 Adapun contoh Perda yang dibatalkan

oleh Pemerintah melalui executive review yakni :

16 Ni’matul Huda, Op.Cit, Hal. 219

Page 24: SKRIPSI Jimmy Hartono

24

1) Perda Kota Pekan No. 09 Tahun 2000 Tentang Perizinan Usaha Perikanan

karena bertentangan dengan dengan UU No. 18 Tahun 1997 dan PP No. 65

Tahun 2001 Tentang Pajak Daerah.17

2) Perda Kabupaten Pelalawan No. 12 Tahun 2003 Tentang Retribusi

Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja karena bertentangan dengan UU

No.18 Tahun 1997 dan PP No. 66 Tahun 2001 Tentang Retribusi Daerah.18

Selama kurun waktu tersebut produk hukum daerah yang diajukan ke

Mahkamah Agung untuk dilakukan pengujian secara materiil berjumlah 28

permohonan dan Pendaftaran Perda yang dibatalkan dan diajukan gugatan judicial

review di Mahlamah Agung selama tahun 2003-2004 berjumlah 6 buah Perda yang

terdiri dari 5 Perda dan 1 Keputusan kepala daerah.19 Adapun contoh Perda yang

dibatalkan oleh Pemerintah melalui Judcial review yakni :

1) Perda Kab. Tebo No. 12 Tahun 2001 Tentang Izin Usaha Pemanfaatan Hasil

Hutan dengan No. Registrasi 09.G/Hum/2003 yang diajukan oleh Nanang

Joko Prinantoro.

2) Perda Kab. Nias No.6 Tahun 2002 Tentang Pembentukan 5 Kecamatan di

Kabupaten Nias dengan No. Registrasi 06.G/Hum/2002 yang diajukan oleh

Fill’ard Bawamenewi

17 Ibid, Hal. 22818 Ibid, Hal. 23519 Ibid, Hal.266-267

Page 25: SKRIPSI Jimmy Hartono

25

Hal ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga yang berwenang

untuk menguji materil serta membatalkan suatu peraturan daerah. Ketidakjelasan ini

juga menimbulkan polemik dikalangan para pakar maupun praktisi, sehingga tidak

terdapat kesatuan pendapat dalam menjawab pertanyaan mengenai lembaga mana

yang berhak untuk menguji materil dan membatalkan suatu Peraturan Daerah.

Dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan oleh dua

lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru berpotensi

menimbulkan konflik kepentingan. Dasar pemikiran Indonesia adalah Negara

kesatuan (unitary state), sehingga dinilai rasional apabila pemerintahan pusat sebagai

pemerintahan atasan diberi kewenangan untuk mengendalikan sistem hukum

dilingkungan pemerintahan daerah20 dinilai bertolak belakang dengan kewenangan

yang juga ada pada Mahkamah Agung. Hal ini dikarenakan jika kewenangan untuk

menguji peraturan daerah diberikan kepada Mahkamah Agung, berarti Peraturan

Daerah mutlak hanya dilihat sebagai salah satu bentuk peraturan perundang-undangan

yang berada dibawah undang-undang.

Karena itu, terlepas dari kenyataan bahwa Peraturan Daerah tersebut juga

merupakan produk “legislatif acts”, tetapi berdasarkan ketentuan pasal 24A ayat (1)

UUD 1945, pengujiannya atasnya mutlak hanya dapat dilakukan oleh Mahkamah

Agung.21 Dan hal ini tentunya berimplikasi pada akibat hukum yang timbul dimana

20 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 6721 Ibid, Hal. 76

Page 26: SKRIPSI Jimmy Hartono

26

Perda yang dinyatakan berlaku oleh Pemerintah sewaktu-waktu dapat saja dibatalkan

oleh adanya putusan dari Mahkamah Agung. Pada Pasal 145 ayat (6) UU No. 32

tahun 2004 juga disebutkan “Apabila keberatan sebagaimana dimaksud pada ayat (5)

dikabulkan sebagian atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut

menyatakan Peraturan Presiden menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan

hukum.” Hal ini tentunya menguatkan kedudukan dari Mahkamah Agung dimana

judicial review dipandang lebih kuat dibandingkan kedudukan executive review yang

dipegang Pemerintah karena putusan lembaga peradilan ini sewaktu-waktu dapat saja

mengubah Peraturan Presiden yang dikeluarkan oleh pemerintah dalam hal

kewenangan Pemerintah Pusat dalam meng- executive review suatu Perda yang

bermasalah.

Kemudian dalam Pasal 185 diatur kewenangan Menteri Dalam Negeri untuk

mengevaluasi Rancangan Perda tentang APBD dan Peraturan Kepala Daerah tentang

APBD, Perubahan APBD dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD. Apabila

hasil evaluasi menyatakan Ranperda dan rancangan Peraturan Gubernur tersebut

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi tidak ditindakalanjuti oleh gubernur dan DPRD, dan tetap ditetapkan

menjadi Perda, maka Menteri Dalam Negeri dapat membatalkan Perda dan Peraturan

Gubernur tersebut.22 Hal ini senada dengan pendapat Pakar Hukum Tata Negara Prof.

Sri Somentri menjelaskan “ada berbagai macam cara pembatalan Perda karena ada

22 Ni’matul Huda, Op.Cit. Hal. 15-16.

Page 27: SKRIPSI Jimmy Hartono

27

beberapa pihak yang mempunyai hak uji terhadap Perda. “Hak uji dilakukan bukan

hanya oleh MA, tapi juga oleh pemerintah. Ada yang oleh Presiden, ada yang oleh

Menteri Dalam Negeri”.23 Namun Peraturan Daerah tidak dapat dibatalkan oleh

keputusan Menteri, karena kedudukannya berada langsung dibawah hierarki

Peraturan Presiden.24

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa telah terjadi ketidakjelasan

mengenai pembagian kewenangan dalam membatalkan Perda lembaga kekuasaan

negara berdasarkan hukum tata negara yang berlaku di Indonesia. Berdasarkan latar

belakang yang telah diuraikan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan

penelitian yang berkaitan dengan pembatalan Perda dalam sistem peraturan

perundang-undangan di Indonesia, dengan judul: TINJAUAN YURIDIS

WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)

BERDASARKAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

DI INDONESIA”

23 http://basisme1484.wordpress.com/2009/12/03/problematika-hukum-hak-uji-materiil-dan-formil-peraturan-daerah/(terakhir dikunjungi pada tanggal 7 Juni 2011 Pukul 20.00)

24 Jimly Asshiddiqie, Op.Cit, Hal. 70

Page 28: SKRIPSI Jimmy Hartono

28

B. Rumusan Masalah

Dari Uraian yang dikemukakan di atas, maka dapat kiranya penulis

merumuskan apa yang menjadi pokok masalah dalam penelitian ini, yaitu :

1. Bagaimanakah wewenang pembatalan Peraturan Daerah (PERDA) menurut

peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia ?

2. Apa permasalahan hukum yang timbul terhadap wewenang pembatalan

peraturan daerah (PERDA) tersebut ?

3. Bagaimana bentuk ideal wewenang pembatalan peraturan daerah (PERDA)

berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut ?

C. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan penulisan ini, maka yang menjadi tujuan

penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah (PERDA)

Menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

2. Untuk mengetahui permasalahan yang timbul terhadap wewenang pembatalan

peraturan daerah (PERDA) tersebut.

3. Untuk mengetahui bentuk ideal kewenangan pembatalan peraturan daerah

(PERDA) berdasarkan permasalahan yang timbul tersebut.

Page 29: SKRIPSI Jimmy Hartono

29

D. Manfaat Penelitian

Merujuk pada penulisan diatas, maka penelitian ini dimaksudkan untuk dapat

memberikan manfaat, antara lain :

1. Sebagai sumbangan pemikiran penulis terhadap almamater dalam bentuk

karya ilmiah di bidang Hukum Tata Negara (HTN) yang berkenaan dengan

penelitian penulis.

2. Untuk memenuhi persyaratan dalam menempuh ujian Sarjana Hukum.

3. Sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian selanjutnya, khususnya dalam

permasalahan penelitian yang sama.

4. Sebagai sumbangan pemikiran penulis guna menjadi bahan kolektif

perpustakaan Universitas Riau.

E. Kerangka Teoritis dan Kerangka Konseptual.

1. Kerangka Teoritis.

Berkenaan dengan mekanisme kewenangan pembatalan Perda oleh lembaga

Negara, ada beberapa pendapat yang memberikan penjelasan mengenai yang

berkaitan dengan pembatalan Perda adalah sebagai berikut :

a. Teori Negara Hukum

Konsep negara hukum selanjutnya berkembang dalam dua sistem hukum

yaitu sistem Eropa Kontinental dengan istilah Rechtsstaat dan sistem Anglo Saxon

Page 30: SKRIPSI Jimmy Hartono

30

dengan istilah Rule of Law.25 Adapun pengertian Negara hukum belum terdapat

kesamaan pendapat antara para sarjana, berikut penjelasan dua tipe pokok Negara

Hukum tersebut yaitu:

1) Type Eropa Kontinental, tipe ini berkembang di negara Eropa daratan seperti

Jerman, Belanda, Perancis, Belgia, Skandinavia, juga Amerika latin dan beberapa

negara di Asia yang pernah dijajah oleh negara yang menganut tipe negara hukum

ini.26 Konsep rechtsstaat lahir dari suatu perjuangan menentang absolutisme sehingga

sifatnya revolusioner, dan bertumpu atas sistem hukum kontinental yang disebut civil

law.27 Pada tipe ini yang diutamakan adalah kedaulatan hukum (rechtsouvereiniteit)

yang berintikan rechtstaat (Negara hukum).28

Pertumbuhan negara hukum terjadi menjelang abad XX yang ditandai dengan

lahirnya konsep negara hukum modern (walfare state), dimana tugas negara sebagai

penjaga malam dan keamanan mulai berubah. Tokoh-tokoh yang mengembangkan

tipe Eropa Kontinental ini ialah Immanuel Kant, Paul Laband, Frederich Julius Stahl,

Fichte dan lain- lain.29 Menurut Frederich Julius Stahl, dalam karya ilmiahnya yang

berjudul “Philosopie des Rechts”, yang diterbitkan pada tahun 1878. Stahl hanya

25 Titik Triwulan Tutik, Eksistensi, Kedudukan dan Wewenang Komisi Yudisial SebagaiLembaga Negara dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia Pasca Amandemen, PrestasiPustaka, Jakarta: 2007 hal. 29.

26 R. Abdoel Djamali, Pengantar Hukum Indonesia, PT. Raja Grafindo, Jakarta: 2001, hal.67.

27 Ni’matul Huda, Op.Cit, hal. 74.28 C.S.T Kansil dan Christine S.T. Kansil, Hukum Tata Negara Di Indonesia Untuk

Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta: 2009, hal.12529 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, PT

Bhuana Ilmu Populer, Jakarta: 2007, hal. 304

Page 31: SKRIPSI Jimmy Hartono

31

memperhatikan unsur formalnya saja dan mengabaikan unsur materialnya, dengan

mengemukakan unsur-unsur utamanya sebagai berikut:

a) Mengakui dan melindungi hak asasi manusia (gorendrechten).

b) Untuk melindungi hak asasi manusia, maka penyelenggaraan negara

haruslah berdasarkan teori atau konsep trias politica (scheiding van

machten).

c) Dalam melaksanakan tugasnya pemerintah dibatasi dengan undang-undang

(wet matighiet van het bestuur).

d) Apabila dalam melaksanakan tugas pemerintah masih melanggar hak asasi,

maka ada pengadilan administrasi yang mengadilinya (adminitratif

rechtspraak).30

2) Type Anglo Saxon yang kemudian dikenal dengan sebutan “Anglo Amerika”,

mulai berkembang di Inggris pada abad XI yang sering disebut dengan sistem

“Common Law” atau disebut juga “Rule of Law”. Dalam perkembangannya tipe

negara hukum ini dianut oleh Inggris, serta di negara-negara Amerika Utara dan

beberapa negara Asia yang termasuk negara persemakmuran Inggris dan Australia,

selain di Amerika Serikat sendiri.31 Konsep negara hukum Anglo-Saxon di pelopori

oleh A.V Dicey yang merupakan seorang pemikir terkenal dari Inggris. Dalam

Bukunya A.V Divey mengemukakan ada 3 unsur utama Rule of Law yang berjudul

30 Hasan Zaini, Pengantar Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1974, hlm. 155.31 R. Abdoel Djamali, Op.Cit, hal. 69.

Page 32: SKRIPSI Jimmy Hartono

32

“Introduction To Study of Law of The Constitution”, adapun 3 unsur-unsur tersebut

sebagai berikut:32

a. Supremacy of law, yang memiliki kekuasaan tertinggi di dalam suatu

negara adalah hukum (kedaulatan hukum).

b. Equality before the law, kesamaan kedudukan di muka hukum untuk semua

warga negara, baik selaku pribadi maupun status sebagai pejabat negara.

c. Constitution based on individual right, konstitusi tidak merupakan sumber

dari hak asasi manusia dan jika hak asasi manusia itu diletakkan dalam

konstitusi, maka hal itu hanyalah sebagai penegasan bahwa hak asasi

manusia itu harus dilindungi.

Dalam sejarah modern, gagasan negara hukum itu sendiri dibangun dengan

mengembangkan perangkat hukum sebagai sistem yang fungsional dan berkeadilan,

dengan menata supra dan infrastruktur kelembagaan politik, ekonomi dan sosial yang

tertib dan teratur, serta membangun budaya dan kesadaran hukum yang rasional dan

impersonal dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Untuk itu,

sistem hukum perlu dibangun (Law Making) dan ditegakkan (Law Enforcing)

sebagaimana mestinya, dimulai dengan konstitusi sebagai dasar.33

Meskipun dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar 1945 sebelum perubahan,

ide negara hukum itu tidak dirumusakan secara eksplisit, tetapi dalam penjelasan

32 Dahlan Thaib, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty, Yogyakarta,cetakan pertama, 1999, hal. 24.

33 Jimly Asshiddiqie, Op. Cit, hal. 298.

Page 33: SKRIPSI Jimmy Hartono

33

ditegaskan bahwa Indonesia menganut ide Rechtsstaat, bukan machtsstaat. Dalam

konstitusi RIS tahun 1949, ide negara hukum itu bahkan tegas dicantumkan.

Demikian pula dalam UUDS tahun 1950, kembali rumusan bahwa Indonesia adalah

negara hukum dicantumkan dengan tegas. Oleh karena itu, dalam perubahan ke-3

tahun 2001 terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945,

ketentuan mengenai ini kembali dicantumkan tegas dalam Pasal 1 ayat (3) yang

berbunyi “bahwa Indonesia adalah negara hukum”.34

Ditegaskannya Indonesia sebagai negara hukum menimbulkan konsekuensi

kepada negara untuk tidak boleh melaksanakan aktivitasnya atas dasar kekuasaan

belaka, tetapi harus berdasarkan hukum. Artinya Negara Republik Indonesia

meletakkan hukum pada kedudukan yang tertinggi sekaligus sebagai prinsip dasar

yang mengatur penyelenggaraan kehidupan masyarakat berbangsa dan bernegara.35

b. Teori Perundang-undangan

Peraturan perundang-undangan adalah setiap keputusan yang tertulis oleh

pejabat yang berwenang dalam kekuasaan legislatif berdasarkan wewenang atribusi

atau delegasi yang muatannya berisi aturan tingkah laku yang bersifat mengikat

secara umum.36

34 Ibid, hal. 311.35 Ikhsan Rosyada Parluhutan Daulay, Mahkamah Konstitusi, Memahami Keberadaannya

Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT Rineka Cipta, Jakarta: 2006, hal.136 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit, hal. 57

Page 34: SKRIPSI Jimmy Hartono

34

Yang dimaksud dengan peraturan perundangan adalah semua peraturan yang

mengikat secara umum yang dikeluarkan oleh Badan Perwakilan Rakyat bersama

pemerintah, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah, serta semua keputusan

badan atau pejabat tata usaha Negara, baik ditingkat pusat maupun ditingkat daerah

yang juga bersifat mengikat secara umum.37

Dalam perkembangan ditengah masyarakat banyak terjadi salah arti istilah-

istilah, yang diantaranya peraturan perundang-undangan, Undang-undang dan hukum.

Ketiga istilah tersebut meskipun mirip, sebetulnya mempunyai arti yang berbeda.

Undang-Undang merupakan salah satu bagian dari peraturan perundang-undangan.

Peraturan perundang-undangan terdiri dari Undang-Undang dan peraturan

perundangan lainnya, seperti Perpu, Peraturan Pemerintah, Peraturan presiden,

Peraturan daerah.38

Perlu juga dicermati pemaknaan Undang-Undang secara materil (wet in

materiele zin) maupun Undang-Undang secara formil (wet in formele zin). Dalam arti

materil, Undang-Undang adalah setiap keputusan tertulis yang dikeluarkan pejabat

yang berwenang dan berisi aturan tingkah laku yang bersifat umum. Dan dalam arti

formil, Undang-Undang adalah keputusan tertulis sebagai hasil kerjasama antara

37 Dodi Haryono, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdik, Pekanbaru: 2009, hal.10.

38 Ibid. hal. 9

Page 35: SKRIPSI Jimmy Hartono

35

pemegang kekuasaan eksekutif dan legislatif yang berisi aturan tingkah laku dan

bersifat atau mengikat secara umum.39

Dengan penjelasan diatas sehingga dapat diketahui beberapa ciri-ciri peraturan

perundang-undangan sebagai berikut:40

a. Peraturan perundang-undangan berupa keputusan tertulis, jadi mempunyai

bentuk atau format tertentu.

b. Dibentuk, ditetapkan dan dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, baik

ditingkat pusat maupun ditingkat daerah.

c. Peraturan perundang-undangan tersebut berisi aturan pola tingkah laku.

Jadi, peraturan perundang-undangan bersifat mengatur.

d. Peraturan perundang-undangan mengikat secara umum, tidak ditujukan

kepada seseorang atau individu tertentu.

e. Peraturan perundang-undangan berlaku secara terus menerus, sampai

diubah, dicabut atau digantikan dengan peraturan perundang-undangan

yang baru.

Selain itu, didalam peraturan perundang-undangan di Indonesia juga dikenal

adanya hirarki peraturan perundang-undangan. Hirarki adalah penjenjangan setiap

jenis peraturan perundang-undangan yang didasarkan pada asas bahwa peraturan

perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan

39 Ibid40 Ibid. hal. 11.

Page 36: SKRIPSI Jimmy Hartono

36

perundang-undangan yang lebih tinggi.41 Secara teoritik, berkaiatan dengan hiraki

norma hukum dapat dicari dari teori yang dikembangkan oleh Hans Kelsen dan Hans

Nawiasky. Hans kelsen mengemukakan teori jenjang norma yang sering dikenal

dengan stufentheori.42 Menurutnya norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hirarki tata susunan, dimana suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi. Norma yang

lebih tinggi tersebut berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi

lagi, demikian seterusnya samapai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih

lanjut dan bersifat hipotesis dan fiktif yang disebut dengan norma dasar

(Grundnorm).43

Jenis dan hiraki peraturan perundang-undangan berdasarkan ketetapan MPRS

No XX/ MPRS / 1966 adalah sebagai berikut:44

“ 1) Undang-Undang Dasar

2) Ketetapan MPR

3) Undang-Undang/ Perpu

4) Perturan Pemerintah

5) Keputusan Presiden

6) Peraturan-peraturan pelaksana lainnya seperti Peraturan Mentri,Instruksi

Mentri, dan lain-lain.”

41 Penjelasan pasal 7 ayat (5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.42 Dodi Haryono, op.cit, hal. 17.43 Ibid.44 Ibid, hal. 37.

Page 37: SKRIPSI Jimmy Hartono

37

Adapun jenis dan hirarki peratuan perundang-undangan berdasarkan ketetapan

MPR No. III/MPR/2000, adalah sebagai berikut:45

“1) Undang-Undang Dasar dan perubahan UUD

2) Ketetapan MPR

3) Undang-Undang

4) Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

5) Peraturan Pemerintah (PP)

6) Keputusan Presiden (Kepres); dan

7)Peraturan Daerah”

Sejak MPR tidak lagi mempunyai kewenangan untuk menetapkan GBHN

yang mana MPR bukan lagi lembaga negara yang berhak atas tugas dan wewenang

untuk membentuk peraturan perundang-undangan berupa ketetapan MPR maka

ketentuan tentang hirarki perundang-undangan diatas dicabut dan digantikan oleh UU

Nomor 10 tahun 2004. Menurut pasal 7 UU No. 10 Tahun 2004 meyebutkan tentang

jenis dan hirarki peraturan perundang-undangan sebagai berikut:46

“1) UUD 1945

2) Undang-undang/peraturan pemerintah pengganti undang-undang

3) Peraturan Pemerintah

4) Peraturan Presiden

5) Peraturan Daerah yang meliputi :

a) Peraturan daerah Provinsi

b) Peraturan daerah kabupaten/kota

c) Peraturan desa

45 Dasril Radjab, Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 2005, hal. 3546 Ibid, hal. 36

Page 38: SKRIPSI Jimmy Hartono

38

Di samping aturan mengenai jenis dan hiraki perundang-undangan perlu juga

diperhatikan asas-asas dari pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik

sebagai pedoman dan rambu-rambu dalam pembentukan peraturan perundang-

undangan yang baik. Didalam pasal 5 Undang-undang No.10 Tahun 2004 tentang

pembentukan peraturan perundang-undangan (UUP3) disebutkan asas-asas dalam

pembentukan peraturan perundang-undangan, antara lain:47

1. Asas kejelasan tujuan

Setiap pembentukan peraturan perundang-undangan harus mempunyai

tujuan yang jelas yang hendak dicapai.

2. Asas kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat

Setiap jenis pembentukan peraturan perundang-undangan harus dibuat

oleh lembaga/pejabat pembentuk peraturan perundang-undangan yang

berwenang. Peraturan perundang-undangan tersebut dapat dibatalkan atau

batal demi hukum bila dibuat oleh pejabat/lembaga yang tidak berwenang.

3. Asas kesesuaian antar jenis dengan materi muatan

Didalam pembentukan peraturan perundang-undangan harus benar-benar

memerhatikan muatan yang tepat dengan jenis peraturan perundang-

undangannya.

47 Hamzah Halim dan Kemal Redindo Syahrul Putera, Op.Cit, hal. 36-37

Page 39: SKRIPSI Jimmy Hartono

39

4. Asas dapat dilaksanakan

Setiap peraturan perundang-undangan harus memperhitungkan efektivitas

peraturan perundang-undangan tersebut didalam masyarakat, baik secara

filosofis, yuridis maupun sosiologis.

5. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan

Setiap peraturan perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar

dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat,

berbangsa dan bernegara.

6. Asas kejelasan rumusan

Setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis

penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan pilihan kata

atau terminology, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah dimengerti,

sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam

pelaksanaannya.

7. Asas keterbukaan

Didalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan mulai dari

perencanaan, persiapan, penyusunan dan pembahasan bersifat transparan

dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai

kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam

proses pembuatan peraturan perundang-undangan.

Page 40: SKRIPSI Jimmy Hartono

40

c. Teori Toetsingsrecht

Apabila diartikan kata perkata tanpa mengaitkan dengan sistem hukum tertentu,

Toetsingsrecht berarti hak menguji, sedangkan judicial review berarti peninjauan oleh

lembaga pengadilan sehingga pada dasarnya, kedua istilah tersebut mengandung arti

yang sama, yaitu kewenangan untuk menguji atau meninjau.48 Perbedaannya adalah

dalam istilah judicial review sudah secara spesifik ditentukan bahwa kewenangan

tersebut dimiliki oleh pelaksana lembaga pengadilan, yaitu hakim.

Secara teoritis maupun praktek, dikenal ada dua macam hak uji, yaitu hak uji

formil (formele toetsingsrecht) dan hak uji materil (materiele toetsingsrecht).49

1) Hak Uji Formil (Formele Toetsingsrecht)

Hak menguji formiil adalah wewenang untuk menilai apakah suatu produk

legislatif seperti undang-undang, misalnya terjelma melalui cara-cara (procedure)

sebagaimana telah ditentukan/ diatur dalam peraturan perundang-undangan yang

berlaku ataukah tidak.50 Menurut Jimly Asshiddiqie, Pengujian formal biasanya

terkait dengan soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi

institusi yang membuatnya.51 Dalam hal ini hakim dapat membatalkan suatu

48 Fatmawati, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem HukumIndonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta: 2006, hal. 5

49 Ni’matul Huda, Negara Hukum, Demokrasi, dan Judicial Review, UII Press, Yogyakarta:2005, hal. 73.

50 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung: 1997, hal. 151 Fatmawati, Loc.cit.

Page 41: SKRIPSI Jimmy Hartono

41

peraturan bila proses penetapannya tidak mengikuti prosedur pembentukan peraturan

yang resmi. Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang ditetapkan oleh

lembaga yang tidak memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.52

2) Hak Uji Materil (Materiele Toetsingsrecht)

Hak uji materil (materiele toetsingsrecht) adalah suatu wewenang untuk

menyelidiki dan menilai isi apakah suatu peraturan perundang-undangan sesuai atau

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi derajatnya.53

Berdasarkan definisi di atas, hak uji materil berkaitan dengan isi atau substansi

dari suatu undang-undang dilihat dari isinya. Apabila bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar, maka Undang-Undang tersebut harus dinyatakan tidak mempunyai

daya pengikat.54

Berdasarkan arti dari hak menguji formal dan hak menguji material tersebut,

maka dapat disimpulkan sebagai berikut:55

a. Hak menguji (toetsingsrecht) merupakan kewenangan untuk menilai

peraturan perundang-undangan terhadap UUD.

b. Hak menguji (toetsingsrecht) terhadap peraturan perundang-undangan

tidak hanya dimiliki oleh hakim, tapi juga oleh lembaga Negara lain

52 Lodewijk Gultom, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur Ketatanegaraan diIndonesia, CV. Utomo, Bandung: 2007, hal. 127

53 Sri Soemantri, op.cit., hal. 11.54 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari Op. Cit, hal. 11255 Fatmawati, op, cit., hal. 7

Page 42: SKRIPSI Jimmy Hartono

42

yang diberikan kewenangan tersebut berdasarkan peraturan perundang-

undangan. Selaian hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki hakim,

juga terdapat hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki legislatif dan

hak menguji (toetsingsrecht) yang dimiliki oleh eksekutif.

Selain dari hak menguji (toetsingsrecht) ini, juga dikenal adanya judicial

review yang menurut Jimly Asshiddiqie merupakan upaya pengujian oleh lembaga

judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif,

eksekutif, atau judikatif dalam rangka penerapan prinsip checks and balances

berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara (separation of power).56

Terkait dengan masalah kebutuhan, keberadaan judicial review sangat

dibutuhkan baik secara yuridis, politis maupun pragmatis.57 Secara yuridis hal ini

sesuai dengan teori Stufenbau Des Rech (stufentheorie) hasil pemikiran Hans Kelsen.

Teori ini menyatakan bahwa norma-norma hukum itu berjenjang-jenjang dan

berlapis-lapis dalam suatu hierarki tata susunan, di mana suatu norma yang lebih

rendah berlaku, bersumber, dan beradasar pada norma yang lebih tinggi, norma yang

lebih tinggi berlaku, bersumber dan berdasar pada norma yang lebih tinggi lagi,

56 Ibid. hal. 9.57 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin Memahami Keberadaan Mahkmah

Konstitusi di Indonesia, PT, Citra Aditya Bakti, Bandung: 2004, hal. 24.

Page 43: SKRIPSI Jimmy Hartono

43

demikian seterusnya sampai pada suatu norma yang tidak dapat ditelusuri lebih lanjut

dan bersifat hipotesis dan fiktif, yaitu Norma Dasar (Grundnorm).58

Hans Kelsen juga mengemukakan bahwa suatu norma hukum itu selalu

berdasar dan bersumber pada norma di atasnya, tetapi ke bawah norma hukum itu

juga menjadi sumber dan menjadi dasar bagi norma yang lebih rendah daripadanya.59

Teori ini sesuai dengan apa yang menjadi prinsip dasar hukum, yaitu: “Lex Superior

Derogate Lex Inferior”, yang bermakna bahwa norma yang paling tinggi

mempengaruhi norma yang ada dibawahnya, atau dapat juga dikatakan bahwa norma

yang ada di bawahnya tidak boleh bertentangan dengan norma yang ada di atasnya.

Oleh karena itu, suatu Undang-Undang tidak boleh bertentangan dengan Undang-

Undang Dasar.

Secara politis, kebutuhan akan judicial review sangat diperlukan agar visi dan

misi serta materi muatan suatu Undang-Undang tidak bertentangan dengan undang-

undang dasar, karena pada hakekatnya suatu undang-undang dibuat untuk

melaksanakan Undang-Undang dasar. Secara pragmatis, kebutuhan terhadap judicial

review ini diperlukan untuk mencegah praktek penyelengaraan pemerintahan Negara

yang tidak sesuai atau menyimpang dari Undang-Undang Dasar.60

58 Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan Pembentukannya,Kanisius, Yogyakarta: 2006, hal. 25.

59 Ibid. hal. 26. Pendapat Hans Kelsen ini berdasarkan teori Adolf Merkl, salah seorangmuridnya yang mengemukakan bahwa norma hukum itu selalu mempunyai dua wajah (des DoppelteRechtsantlitz).

60 Fatkhurohman, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Op.Cit., hal. 24.

Page 44: SKRIPSI Jimmy Hartono

44

d. Teori Pemisahan Kekuasaan

Kekuasan merupakan adanya suatu hubungan dalam arti bahwa ada satu pihak

yang memerintah dan ada pihak lain yang diperintah (the ruler and the ruled).

Berdasarkan pengertian di atas, dapat terjadi kekuasaan yang tidak berkaitan dengan

hukum yang oleh Henc Van Marseveen disebut sebagai “blote macht” dan kekuasaan

yang berkaitan dengan hukum yang oleh Max Weber disebut sebagai wewenang

rasional atau legal, yakni wewenang yang berdasarkan suatu sistem hukum yang

dapat dipahami sebagai kaidah-kaidah yang telah diakui dan dipatuhi oleh masyarakat

dan bahkan yang diperkuat oleh negara.61

Kekuasaan juga merupakan inti dari penyelenggaraan negara agar negara

dalam keadaan bergerak (de staat in beweging), sehingga negara itu dapat berkiprah,

bekerja, berkapasitas, berprestasi dan berkinerja melayani warganya, oleh karena itu

negara harus diberi kekuasaan. Menurut Miriam Budiardjo, kekuasaan adalah:

“Kemampuan seseorang atau sekelompok orang manusia untuk mempengaruhi

tingkah laku seseorang atau kelompok lain sedemikan rupa sehingga tingkah laku itu

menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang atau negara”.62

Pentingnya pemisahan kekuasaan dalam suatu negara berarti pula adanya

batas-batas terhadap penggunaan kekuasaan. Pembatasan kekuasaan meliputi:

Pertama, jangka waktu kekuasaan itu dilakukan; Kedua, perincian daripada

61 Abdul Rasyid Thalib, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya dalam SistemKetatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung:2006, Hal. 207-208.

62 Ibid.

Page 45: SKRIPSI Jimmy Hartono

45

kekuasaan yang diberikan kepada setiap lembaga negara; Ketiga, seleksi pejabat

publik yang berarti oleh rakyat; Keempat, pelaksanaan pemerintahan oleh pejabat

publik yang diseleksi dengan cara yang menunjukkan tanggung jawab terhadap

keinginan rakyat.63

Gagasan pemisahan kekuasaan negara mendapat dasar pijakan dari pemikiran

John Locke dan Montesquieu.

1) John Locke

Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil Government” mengusulkan

agar kekuasaan di dalam negara dibagi-bagi kepada organ-organ yang berbeda.

Menurut John Locke, agar pemerintah tidak sewenang-wenang harus ada pembedaan

pemegang kekuasaan negara ke dalam tiga macam kekuasaan, yaitu :64

(a) kekuasaan legislatif (kekuasaan membuat Undang-undang);

(b) kekuasaan eksekutif (kekuasaan melaksanakan Undang-undang);

(c) kekuasaan federatif (kekuasaan melakukan hubungan diplomatik

dengan negara-negara lain).

Locke meletakkan kekuasaan pembentuk undang-undang (legislatif) sebagai

kekuasaan tertinggi (supreme power)65 dan cenderung menyerahkan kekuasaan

pembentuk undang-undang kepada dewan atau mejelis. Kekuasaan pembentuk

63 Abdul Rasyid Thalib, op.cit., hal.34.64 Bambang Sutiyoso dan Sri Hastuti Puspitasari, Op. Cit., hal. 18.65 Sobirin Malian, Gagasan Perlunya Konstitusi Baru Pengganti UUD 1945, UII Press,

Yogyakarta: 2001, hal. 32.

Page 46: SKRIPSI Jimmy Hartono

46

undang-undang perlu dipisahkan dengan kekuasaan pelaksana undang-undang.

Kekuasaan pelaksana adakalanya memerlukan paksaan, sehingga diperlukan adanya

kekuasaan untuk melaksanakannya secara tetap. Maka seyogianya kedua kekuasaan

itu tidak berada di satu tangan.66

Untuk kekuasaan federatif, kekuasaan ini bertugas untuk menyatakan perang

atau melaksanakan perdamaian dengan negara lain, ataupun mengadakan perjanjian

kerja sama sejauh menyangkut keharmonisan dan kebaikan lembaga antarnegara.

Hubungan ini biasa disebut hubungan diplomatik.67

2) Montesquieu

Melalui bukunya “I’espirit des lois” (The Spirit of Law), Montesquieu

menawarkan alternatif yang agak berbeda dari yang ditawarkan John Locke.

Montesquieu mengembangkan lebih jauh ajaran John Locke dengan menawarkan

konsepsi monarki konstitusional, dimana kekuasaan absolut dicegah dan menawarkan

konsep pemisahan kekuasaan.

Montesquieu berpendapat agar tidak terjadi pemusatan kekuasaan pada satu

orang/ satu organ lembaga, maka diadakan pemisahan kekuasaan pemerintahan

menjadi tiga jenis, dan kekuasaan pemerintahan negara itu harus didistibusikan

66 Ibid., hal. 33.67 Ibid.

Page 47: SKRIPSI Jimmy Hartono

47

kepada beberapa organ/ lembaga negara, dan satu organ/ lembaga hanya memiliki

satu kekuasaan saja, kekuasaan-kekuasaan itu adalah:68

(a) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan oleh suatu

badan perwakilan (parlemen);

(b) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan oleh

pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau

kabinet);

(c) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk menegakkan

perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran, dilaksanakan oleh

badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).

Kedudukan ketiga kekuasaan di atas seimbang, yang satu tidak lebih tinggi

daripada yang lain.69 Hal ini berbeda dengan John Locke yang menempatkan

legislatif lebih tinggi. Ketiga poros kekuasaan terpisah satu sama lain, baik mengenai

organ maupun fungsinya. Immanuel Kant memberi nama ajaran Montesquieu ini

dengan “Trias Politica”.

Perkembangan doktrin Trias Poitica diawal abad ke-20 bagi negara

berkembang dalam bentuk “pemisahan kekuasaan” pada umumnya sulit diterapkan.

Pada negara berkembang, negara dituntut ikut bertanggung jawab atas kesejahteraan

seluruh rakyat, sehingga fungsi negara sudah melebihi tiga fungsi yang disebutkan

Montesquieu.70 Perkembangan pokok-pokok kenegaraan yang sedemikian rupa

68 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, PT.Gramedia, Jakarta: 2007, hal. 3.

69 Sobirin Malian, op.cit., hal. 18.70 Ibid., hal. 51.

Page 48: SKRIPSI Jimmy Hartono

48

mengakibatkan penafsiran doktrin Trias Politica bergeser menjadi Division of Power

(pembagian kekuasaan). Menurut teori Trias Politica, baik dalam pengertian

pemisahan kekuasaan maupun pembagian kekuasaan, prinsip yang harus dipegang

adalah kekuasaan yudikatif dalam negara hukum harus bebas dari campur tangan

badan eksekutif. Hal ini dimaksudkan agar kekuasaan yudikatif dapat berfungsi

secara wajar demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-hak asasi

manusia.

Dalam rangka gagasan Trias Politica dengan sistem check and balances,

pengujian konstitusional mempunyai arti lebih memperkuat lagi kedudukan lembaga

peradilan sebagai jabatan yang bebas dari pengaruh jabatan eksekutif dan legislatif.71

Melalui asas kebebasan yudikatif, diharapkan putusan yang tidak memihak dan

semata-mata berpedoman kepada norma-norma hukum dan keadilan serta nurani

hakim dapat diwujudkan. Dengan demikian, kekuasaan yudikatif atau kekuasaan

kehakiman mempunyai peran yang sangat penting, karena memegang kekuasaan

untuk menangani dan menyelesaikan konflik yang terjadi dalam kehidupan suatu

negara.72

71 Ibid.72 Ibid., hal. 46.

Page 49: SKRIPSI Jimmy Hartono

49

e. Teori Pemerintahan Daerah.

Pemerintah daerah adalah satu kesatuan dalam mata rantai organisasi

pemerintah yang bertanggung melaksanakan tugas dan fungsi pemerintahan Negara

dalam territorial daerah otonom yang berhak mengatur dan mengurus sebagian urusan

pemerintahan negara serta urusan rumah tangga sendiri.73 Pemerintah daerah adalah

gubernur, bupati atau walikota dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggaraan

pemerintah daerah. Dalam menyelenggarakan urusan pemerintahanan, pemerintah

daerah diawasi oleh DPRD sebagai lembaga perwakilan rakyat di daerah.

Penyelenggaraan pemerintahan derah didasarkan pada 3 asas pemerintah daerah,

yaitu :

1. Desentralisasi

Istilah desentralisasi berasal dari bahas latin “de” berarti lepas dan “centrum”

yang artinya pusat. Desentralisasi adalah lawan kata dari sentralisasi, karena

pemakaian kata “de” dimaksudkan untuk menolak kata sebelumnya, jadi

desentralisasi adalah penyerahan segala urusan, baik pengaturan dalam arti

pembuatan peraturan perundang-undangan, maupun penyelenggaraan pemerintahan

itu sendiri, dari pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah, untuk selanjutnya

menjadi urusan rumah tangga pemerintah daerah tersebut. 74Berdasarkan asal

perkataannya, desentralisasi adalah melepaskan dari pusat. Irawan soejito

73 Supardan Modeong, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta : 2005, hal. 8674 Inu Kencana Syafiie, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta: 1994, hal.78.

Page 50: SKRIPSI Jimmy Hartono

50

mengartikan desentralisasi adalah pelimpahan kewenangan pemerintah kepada pihak

lain untuk dilaksanakan.75

Inti desentralisasi pemerintah daerah bahwa penyelenggaraan pemerintahan

daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Dengan demikian, pemerintahan daerah

provinsi, kabupaten dan kota dapat mengatur dan mengurus sendiri pemerintahannya

menurut asas otonomi dan tugas pembantuan. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal

18 ayat (2) UUD 1945 dan Pasal 19 ayat (2) UU No.32 Tahun 2004 Tentang

Pemerintahan daerah.76

2. Dekosentrasi

Dekosentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah

kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah

tertentu. 77 Asas dekosentrasi adalah asas pelimpahan wewenang pemerintahan yang

sebenarnya kewenangannya itu ada ditangan pemerintah pusat, yakni menyangkut

penetapan strategi kebijakan dan pencapaian program kegiatannya, diberikan kepada

gubernur atau instansi vertikal di daerah sesuai arahan kebijaksanaan umum dari

75 Ni’matul Huda, Op.Cit, Hlm. 30776 Ibid, hal.98.77 Siswanto Sunarno, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta:

2008, hal. 6

Page 51: SKRIPSI Jimmy Hartono

51

pemerintah pusat, sedangkan sektor pembiayaannya tetap dilaksanakan leh

pemerintah pusat.78

Ketentuan dasar hukum asas dekosentrasi terdapat pada pasal 4 ayat (1) UUD

1945 yang menyatakan : Presiden republik Indonesia memegang kekuasaan

pemerintahan menurut Undang-undang dasar. Kekuasaan pemerintahan ini disebut

wewenang pemerintahan umum, meliputi segenap tindakan dan kegiatan

pemerintahan dalam rangka mensejahterakan rakyat yang adil berdasarkan pancasila

yang merupakan tujuan nasional dan menjadi tugas pokok pemerintahan pusat.

3. Pembantuan

Tugas Pembantuan adalah asas untuk turut sertanya Pemerintah Daerah

bertugas dalam melaksanakan urusan Pemerintah Pusat yang ditugaskan kepada

Pemerintah Daerah oleh Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah tingkat atasnya

dengan kewajiban mempertanggungjawabkan kepada yang menugaskannya.79

Menurut Bayu Suningrat, bahwa tugas pembantuan tidak beralih menjadi

urusan yang diberi tugas, tetapi tetap merupakan urusan pusat atau Pemerintah tingkat

atasnya yang memberi tugas. Pemerintah dibawahnya sebagai penerima tugas

bertanggung jawab kepada yang member tugas dan turut serta dalam melaksanakan

urusan pemerintahan yang bersangkutan. Tugas pembantuan tidak diberikan kepada

78 Ibid, hal.7-879 Inu Kencana Syafiie, Op.Cit, hal. 104

Page 52: SKRIPSI Jimmy Hartono

52

pejabat pemerintahan yang ada didaerah, melainkan kepada Pemerintah Daerah,

karenanya bukanlah suatu dekosentrasi, tetapi bukan pula suatu desentralisasi karena

urusan pemerintahan yang diserahkan tidak menjadi urusan rumah tangga daerah.80

Dalam menjalankan medebewind, urusan yang dilaksanakan oleh pemerintah

daerah masih tetap merupakan urusan pusat atau daerah yang lebih tinggi

tingkatannya, dan tidak beralih menjadi urusan rumah tangga daerah, sepanjang

masih berstatus medebewind.81

Arah Pemberian tugas pembantuan menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun

2004 :82

1. Pemerintah Pusat dapat memberikan tugas pembantuan kepada daerah

(Provinsi, Kabupaten/Kota) dan Desa.

2. Pemerintah Provinsi dapat memberikan tugas pembantuan kepada

Kabupaten/Kota dan Desa.

3. Kabupaten dapat member tugas pembantuan kepada Desa, sedangkan

Kota dapat memberikan tugas pembantuan kepada desa apabila diwilayah

kota terdapat desa.

80 Sadu Wastiono, Etin Indrayani dan Andi Pitono, Memahami Tugas Pembantuan(Pandangan Legalistik, Teoretik dan Implementatif), Fokusmedia, Bandung: 2006, hal.

81 Ibid82 Ibid, hal. 19.

Page 53: SKRIPSI Jimmy Hartono

53

2. Kerangka Konseptual

Untuk memperoleh kesamaan pengertian serta untuk menghindari pengertian

yang multitafsir dalam penelitian ini, maka penulis memandang perlu menjelaskan

konsep yang digunakan dalam penelitian mengenai Tinjauan Yuridis Terhadap

Pembatalan PERDA dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia yaitu :

a. Tinjauan yuridis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa hukum

untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya83.

b. Yuridis adalah menurut hukum atau secara hukum.84

c. Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan untuk

membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab

kepada orang lain.85

d. Pembatalan adalah mengakui atau menyatakan tidak sah.

e. Peraturan daerah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk

oleh DPRD dengan persetujuan bersama Kepala Daerah.86

f. Peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang dibentuk

oleh lembaga Negara atau pejabat yang berwenang dan mengikat secara

umum.87

83 Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan, Balai Pustaka. hal.1198.84 Ibid. hal. 1278.85 Ibid, hal. 127286 Ibid87 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004.

Page 54: SKRIPSI Jimmy Hartono

54

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian/ Pendekatan

Jenis penelitian/ pendekatan yang digunakan oleh penulis adalah penelitian

hukum normatif yaitu penelitian hukum kepustakaan,88 karena menjadikan bahan

kepustakaan sebagai tumpuan utama. Dalam penelitian hukum normatif ini penulis

melakukan penelitian terhadap asas-asas hukum yang bertitik tolak dari bidang-

bidang tata hukum tertentu, dengan cara mengadakan identifikasi terlebih dahulu

terhadap kaidah-kaidah hukum yang telah dirumuskan di dalam perundang-undangan

tertentu.89

Dalam konsep normatif, hukum adalah norma, baik yang diidentikkan dengan

keadilan yang harus diwujudkan (ius constituendum) ataupun norma yang telah

terwujud sebagai perintah yang eksplisit dan yang secara positif telah terumus jelas

(ius constitutum ) untuk menjamin kepastiannya, dan juga berupa norma-norma yang

merupakan produk dari seorang hakim (judgements) pada waktu hakim memutuskan

suatu perkara dengan memperhatikan terwujudnya kemanfaatan dan kemaslahatan

bagi para pihak yang berperkara.90

88 Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT.Raja Grafindo Jakarta: 2003, hal. 23.

89 Ibid. hal. 15.90 Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta: 1996, hal. 33.

Page 55: SKRIPSI Jimmy Hartono

55

2. Metode dan Alat Pengumpulan Bahan Hukum

Metode yang digunakan dalam Penelitian ini adalah melalui studi

kepustakaan/ studi dokumen, sehingga penelitian ini disebut penelitian hukum

normatif (legal research ), sehingga data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

data sekunder yang dibedakan menjadi 3 (tiga) bagian, yaitu :

a. Bahan Hukum Primer, yakni bahan-bahan ilmu hukum yang berhubungan erat

dengan permasalahan yang diteliti, yaitu :

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

3) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

4) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

5) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-Undangan.

6) PERMA Nomor 1 Tahun 2004 Tentang Hak Uji Materil

b. Bahan Hukum Sekunder, yakni bahan-bahan hukum yang memberikan

penjelasan atau membahas lebih hal-hal yang telah diteliti pada bahan-bahan

hukum primer yaitu :

1) Buku mengenai Undang-undang Dasar, pendapat-pendapat yang relevan

dengan masalah yang diteliti serta data tertulis yang terkait dengan

penelitian.

Page 56: SKRIPSI Jimmy Hartono

56

2) Berbagai makalah, jurnal, surat kabar, majalah, dokumen dan data-data

dari internet yang berkaitan dengan penelitian.

c. Bahan Hukum Tertier, yakni bahan-bahan yang memberikan penjelasan

terhadap bahan-bahan hukum Primer dan Sekunder, yakni Kamus Besar Bahasa

Indonesia dan Kamus Hukum.

3. Teknik Analis Bahan Hukum

Dalam penelitian ini analisis yang dilakukan adalah analisis kualitatif

merupakan tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif, yaitu apa yang

dinyatakan secara tertulis.91 Selanjutnya, penulis menarik suatu kesimpulan secara

deduktif, yaitu menarik kesimpulan dari hal-hal yang bersifat umum kepada hal-hal

yang bersifat khusus. Dimana dalam mendapatkan suatu kesimpulan dimulai dengan

melihat faktor-faktor yang nyata dan diakhiri dengan penarikan suatu kesimpulan

yang juga merupakan fakta dimana kedua fakta tersebut dijembatani oleh teori-teori.92

91 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta:1983, hlm 32.92 Aslim Rasyad, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press, Pekanbaru: 2005, hal.

20.

Page 57: SKRIPSI Jimmy Hartono

57

BAB II

WEWENANG PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)

MENURUT PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU DI

INDONESIA

Wewenang adalah hak dan kekuasaan untuk bertindak, kekuasaan untuk

membuat keputusan, memerintah dan melimpahkan tanggung jawab kepada orang

lain. Wewenang pembatalan Perda adalah kekuasaan bertindak yang diberikan oleh

undang-undang kepada suatu lembaga Negara dalam rangka pengawasan Peraturan

Daerah yang kontradiksi dengan sistem hukum nasional. Peraturan Daerah yang

dibatalkan sebelumnya telah menjalani proses pengujian terlebih dahulu.

Akan tetapi pada wewenang pengujian Perda terdapat perdebatan karena tidak

adanya kesatuan pandangan dan dapat ditempuh melalui beberapa upaya baik

melalui executif review oleh Pemerintah Pusat maupun melalui judicial review oleh

MA. Selain itu terdapat pula perdebatan mengenai wewenang Menteri Dalam Negeri

membatalkan Peraturan Daerah.

Berikut akan diuraikan wewenang masing-masing lembaga Negara tersebut

dalam membatalkan Peraturan Daerah.

Page 58: SKRIPSI Jimmy Hartono

58

A. Wewenang Pembatalan Peraturan Daerah oleh Pemerintah melalui

Executif Review.

I. Pemerintah Pusat

Dengan banyaknya Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban

umum, menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan memberatkan masyarakat di daerah

serta timbul kebijakan yang bersifat diskriminatif, sebagai sistem instrumen hukum

Negara telah ditentukan mekanisme untuk menyelesaikan konflik peraturan atau

konflik yang ditimbulkan dari suatu peraturan. Mekanisme penyelesaian konflik

peraturan dilakukan melalui pengujian peraturan perundang-undangan. Peraturan

Daerah yang dianggap bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi dapat diuji oleh Pemerintah.

Mekanisme pembatalan Perda itu sendiri adalah bahwa jika Perda yang

diserahkan kepada Pemerintah tersebut bertentangan dengan kepentingan umum

dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka Perda tersebut

dibatalkan oleh Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) paling lama 60

(enam puluh) hari sejak diterimanya Perda tersebut. Paling lama 7 (tujuh) hari setelah

Perpres tentang keputusan pembatalan Perda tersebut, Kepala Daerah harus

memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah

Page 59: SKRIPSI Jimmy Hartono

59

mencabut Perda dimaksud.93 Hal ini sesuai dengan asas contrarius actus dimana

asas ini bermakna bahwa pejabat yang mengeluarkan suatu keputusan, berwenang

pula mencabutnya atau dengan kata lain, yang berhak mencabut adalah

pembentuknya itu sendiri dan tidak dapat dilakukan oleh peraturan atau lembaga yang

lebih rendah.

Apabila Provinsi/Kabupaten/Kota tidak menerima keputusan pembatalan

Perda tersebut dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan perundang-

undangan, Kepala Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung.

Apabila keberatan yang diajukan oleh Kepala Daerah tersebut dikabulkan sebagian

atau seluruhnya, putusan Mahkamah Agung tersebut menyatakan Peraturan Presiden

menjadi batal dan tidak mempunyai kekuatan hukum. Jika Pemerintah tidak

mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan Perpres sebagaimana

dimaksud, maka Perda dimaksud kembali berlaku.94

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diketahui bahwa salah satu tahapan

dalam pembentukan Perda adalah bahwa setiap Peraturan Daerah yang telah

ditetapkan oleh Kepala Daerah setelah mendapat persetujuan bersama dengan DPRD

wajib disampaikan kepada Pemerintah, dalam hal ini melalui Menteri Dalam Negeri,

93 Pasal 145 UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah94http://saepudinonline.wordpress.com/2010/07/12/penyelenggaraan-otonomi-dan-legislasi-

daerah-menurut-uu-32-tahun-2004-tentang-pemerintahan-daerah/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 4juli 2011 pukul 20.00).

Page 60: SKRIPSI Jimmy Hartono

60

paling lama 7 (tujuh) hari setelah ditetapkan, untuk dapat dilakukan penilaian,

sebagaimana diatur dalam Pasal 145 ayat (1) UU No.32 Tahun 2004. Apabila Perda

tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dapat dibatalkan oleh Pemerintah, sebagaimana diatur

dalam ayat (2) Pasal tersebut dan Pengujian Perda oleh Pemerintah merupakan sarana

kontrol agar tidak terjadi masalah di masyarakat nantinya.

Executive Review (pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan

oleh pemerintah pusat) terhadap suatu Peraturan Daerah, apabila secara murni

mengacu pada ketentuan normatif hukum pada Pasal 145 UU Nomor 32 Tahun 2004

Tentang Pemerintahan Daerah, bukanlah menjadi suatu permasalahan, dikarenakan

Pemerintah Daerah merupakan bagian dari Pemerintah Pusat atau berada dibawah

Pemerintah Pusat. Sehingga, Pemerintah Pusat juga mempunyai kewenangan untuk

menguji dan membatalkan peraturan yang dibentuk oleh Pemerintah Daerah.

Pengujian terhadap suatu Perda yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat adalah dalam

rangka pengawasan dan pembinaan terhadap Pemerintahan Daerah. Jika Pemerintah

Daerah bersama-sama DPRD menetapkan suatu Perda, maka Pemerintah Daerah

wajib menyerahkan Perda tersebut kepada Pemerintah Pusat untuk di evaluasi. Jika

hasil evaluasi Pemerintah mendapatkan bukti bahwa Perda tersebut bertentangan

dengan kepentingan umum dan/atau bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi, maka Pemerintah membatalkan Perda tersebut dan untuk

Page 61: SKRIPSI Jimmy Hartono

61

selanjutnya diserahkan kembali ke Pemerintah Daerah bersangkutan agar bersama-

sama DPRD mencabut Perda dimaksud. Selanjutnya, Jika Pemerintah Daerah tidak

menyepakati pembatalan Perda yang dilakukan oleh Pemerintah, maka Pemerintah

Daerah dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung sebagaimana yang

dimaksud pada Pasal 145 Ayat (5) UU Nomor 32 Tahun 2004.

Selanjutnya, pada ketentuan Ayat (6), apabila keberatan tersebut dikabulkan

sebagian atau seluruhnya, maka putusan Mahkamah Agung menyatakan Peraturan

Presiden yang membatalkan Perda bersangkutan menjadi batal dan tidak mempunyai

kekuatan hukum. Dengan menggunakan metode interpretasi argumentum a contrario

terhadap Pasal 145 Ayat (6) tersebut, maka ditemukan bahwa Peraturan Presiden

yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku dan mempunyai

kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari Pemerintah

Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah Agung tidak

membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah Pemerintah

Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh Mahkamah

Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden apabila

permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan oleh MA.

Namun demikian, memang jika ditelusuri ketentuan normatif dalam Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijumpai adanya 2

bentuk “pengujian” yang diistilahkan dalam frase pengawasan yakni pengawasan

Page 62: SKRIPSI Jimmy Hartono

62

represif dan preventif. Dimana Pengawasan preventif dilakukan dalam konteks

menjaga keberlakuan/penerapan Perda yang tidak bertentangan atau harmonis dengan

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga tidak berbenturan atau

kontradiktif dengan kepentingan umum dan kaedah-kaedah norma umum yang

berlaku di dalam masyarakat seperti norma kesusilaan, norma kesopanan.

Dalam sistem pengawasan represif membawa konsekuensi berlakunya

Perda-perda yang kemungkinan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan

dan kepentingan umum, sebelum adanya pembatalan dari pemerintah pusat. Juga

terbuka kemungkinan bahwa Pemerintah Daerah tidak mengirimkan Perda ke

Pemerintah Pusat. 95

Berdasarkan hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk

mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang

bermasalah tersebut dimana menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, instrument yang dimaksud adalah Peraturan Presiden.

95 Ni’matul Huda, Op.Cit, Hal. 321

Page 63: SKRIPSI Jimmy Hartono

63

II. Menteri Dalam Negeri

Timbul juga perdebatan bahwa apakah Menteri Dalam Negeri berwenang

melakukan pengujian (executive review) terhadap suatu Peraturan Daerah. Namun

sebelum membahasnya, terlebih dahulu perlulah di bedakan antara executif review

dan executive preview. Executive review adalah pengujian yang dilakukan pemerintah

eksekutif terhadap peraturan perundang-undangan yang sudah berlaku. Dalam hal

pengawasannya, executive review biasa juga di sebut sebagai pengawasan represif.

Sedangkan, executive preview adalah pengujian yang dilakukan oleh pemerintah

eksekutif terhadap rancangan peraturan perundang-undangan. Jadi, dalam hal

executive preview, yang menjadi bahan pengujian adalah rancangan peraturan

perundang-undangan yang belum diberlakukan atau belum di undangkan. Executive

preview ini biasa juga di sebut sebagai pengawasan preventif.

Selama ini pada prakteknya, kabanyakan Peraturan Daerah yang telah di uji

oleh Pemerintah Departemen Dalam Negeri, Ketetapan pembatalannya dilakukan

dengan instrumen Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri). Dengan

mengacu pada instrumen hukum tentang pengujian dan pembatalan suatu Perda yang

dilakukan oleh pemerintah (executive review), maka Pasal 145 Ayat (3) UU Nomor

32 Tahun 2004 dengan tegas menyatakan bahwa keputusan pembatalan Perda di

tetapkan dengan Peraturan Presiden. Jika mengacu pada instrument hukum tersebut,

maka sebenarnya tidak ada kewenangan atributif Mendagri mengeluarkan suatu

Page 64: SKRIPSI Jimmy Hartono

64

keputusan untuk menetapkan pembatalan perda, melainkan secara tegas yang

berwenang membatalkan suatu perda ialah Presiden dengan Peraturan Presidennya.

Jika Presiden mendelegasikan kewenangannya kepada Mendagri untuk membatalkan

suatu Perda, maka Presiden sebenarnya telah menyalahi kewenangan atributifnya

yang jelas-jelas bertentangan dengan Pasal 145 Ayat (3) UU.96

Adapun kewenangan Mendagri mengeluarkan keputusan pembatalan suatu

Perda, dikarenakan Pemeritah Daerah tidak menindak lanjuti hasil evaluasi dari

Pemerintah dalam rangka pengawasan preventif dan tetap memberlakukan Perda

dimaksud, sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 185 Ayat (5) UU Pemerintahan

Daerah. Disinilah sebenarnya letak kewenangan atributif Mendagri dalam melakukan

pembatalan suatu Perda dan pengujian Rancangan Perda (executive preview) atau

biasa juga di sebut pengawasan preventif. Namun, kewenangan Mendagri tersebut

dalam hal pengawasan preventif secara langsung hanya terbatas pada tingkatan

Provinsi semata, dan selanjutnya pada tingkatan Kabupaten/Kota, pengawasan

preventif Mendagri bersifat tidak langsung, karena yang menjalankan secara langsung

adalah Gubernur. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 185 dan Pasal 186 UU a quo.

Dalam Pasal 185 dinyatakan bahwa, rancangan Perda provinsi tentang APBD dan

rancangan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi

Menteri Dalam Negeri yang menyatakan bahwa rancangan Perda dan rancangan

Pergub tersebut bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-

96 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 145 Ayat (3)

Page 65: SKRIPSI Jimmy Hartono

65

undangan yang lebih tinggi, maka Gubernur Bersama DPRD melakukan

penyempurnaan paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi.

Apabila hasil evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Gubernur tetap menetapkan

rancangan perda dan rancangan Pergub tersebut, maka Menteri Dalam Negeri

membatalkan Perda dan Pergub dimaksud sekaligus menyatakan berlakunya pagu

APBD tahun lalu. Dari sini terlihat jelas bahwa Menteri Dalam Negeri melakukan

pengawasan preventif terhadap rancangan Perda Provinsi (pengawasan secara

langsung).

Sedangkan dalam Pasal 186 dinyatakan bahwa rancangan Perda

kabupaten/kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tentang

penjabaran APBD setelah hasil dari evaluasi Gubernur yang menyatakan bahwa

rancangan Peraturan Daerah dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota tersebut

bertentangan dengan kepentingan umum dan peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, maka Bupati/Walikota Bersama DPRD melakukan penyempurnaan

paling lama tujuh hari terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil

evaluasi tidak di tindak lanjuti, dan Bupati/Walikota tetap menetapkan rancangan

perda dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota, maka Gubernur membatalkan

Peraturan Daerah dan Peraturan Bupati/Walikota dimaksud sekaligus menyatakan

berlakunya pagu APBD tahun lalu. Selanjutnya, Pasal 186 Ayat (6) beserta

penjelasannya dinyatakan bahwa Gubernur menyampaikan hasil evaluasi rancangan

Page 66: SKRIPSI Jimmy Hartono

66

Perda Kabupaten/Kota tentang APBD dan rancangan Peraturan Bupati/Walikota

tentang penjabaran APBD kepada Menteri Dalam Negeri yang untuk selanjutnya di

tindak lanjuti. Akan tetapi, tidak ada petunjuk jelas mengenai proses

penindaklanjutan hasil evaluasi Gubernur yang dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri

sehingga tampak samar bagaimana metode pengawasan yang dilakukan oleh

Mendagri terhadap rancangan Perda kabupaten/kota. Dari penjelasan Pasal 186 Ayat

(6) tersebut, terlihat jelas bahwa yang melakukan pengawasan preventif secara

langsung adalah Gubernur, sementara Menteri Dalam Negeri hanya melakukan

pengawasan preventif secara tidak langsung terhadap rancangan Perda

kabupaten/kota.

Selanjutnya, pengawasan preventif oleh Pemerintah baik Mendagri untuk

tingkat provinsi maupun Gubernur untuk tingkat Kabupaten/Kota, tidak hanya

terbatas pada Rancangan Perda APBD beserta penjabarannya. Pengawasan preventif

juga berlaku pada proses penetapan Rancangan Perda yang berkaitan dengan Pajak

Daerah, Retribusi Daerah, dan Tata Ruang Daerah. Sebagaimana yang dimaksud

Pasal 189 UU No.32 Tahun 2004 menyatakan bahwa Proses penetapan Rancangan

Perda yang berkaitan dengan pajak daerah, retribusi daerah, dan tata ruang daerah

menjadi perda, berlaku Pasal 185 dan Pasal 186, dengan ketentuan untuk pajak

daerah dan retribusi daerah dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri

Keuangan, dan untuk tata ruang daerah dikoordinasikan dengan Menteri yang

Page 67: SKRIPSI Jimmy Hartono

67

membidangi urusan tata ruang. Dengan berlakunya Pasal 189 tersebut, maka

ketentuan Pasal 5A dan Pasal 25A UU Nomor 34 Tahun 2000 Tentang Perubahan

Atas Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi

Daerah, menjadi tidak berlaku.97

Dalam prakteknya, berdasarkan data hasil klarifikasi/evaluasi Perda yang

dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri, diketahui bahwa Perda yang telah

dibatalkan oleh Pemerintah Pusat sepanjang tahun 2007 adalah 151 Perda dan

sepanjang tahun 2003 sampai dengan tahun 2007 tercatat ada 175 perkara hak uji

materil. Hal yang senada juga dapat dilihat dari daftar keputusan Menteri Dalam

Negeri tentang Pembatalan Perda, terdapat 284 Perda yang dibatalkan oleh

Pemerintah melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri. Lebih lanjut, terdapat

pembedaan pengujian Perda secara preventif dan represif. “Ada empat Perda yang

diuji secara preventif : Perda Pajak, Retribusi, Tata ruang dan APBD. Kalau tidak ada

masalah, dia diberlakukan. Yang lainnya represif, jadi berlaku dulu, kalau

bertentangan, baru dicabut.

Menurut beberapa pakar hukum, pembatalan Perda oleh Mendagri tidak tepat

dan menimbulkan kekeliruan hukum. Meskipun demikian, namun kenyataan di

lapangan sampai sekarang masih terjadi pembatalan Perda oleh Mendagri melalui

97 http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 (terakhir kalidikunjungi tanggal 4 juli 2011 pukul 22.00).

Page 68: SKRIPSI Jimmy Hartono

68

Kepmendagri. “Excecutive review (terhadap Perda) oleh Depdagri, tapi

pembatalannya harus lewat Perpres karena Depdagri berdasarkan UU No 10 Tahun

2004 sudah tidak bisa mengeluarkan peraturan perundang-undangan. Tidak bisa

sebuah Perda dibatalkan oleh Kepmendagri. Itu tidak boleh lagi karena Dengan

demikian, Keputusan Mendagri yang membatalkan Perda dinilai cacat hukum.

”Implikasi hukumnya, daerah atau kabupaten bisa saja tidak menuruti itu

(pembatalan).

B. Kewenangan Pembatalan Peraturan Daerah oleh Mahkamah Agung Melalui

Judicial Review

“Judicial Review” (Hak Uji Materil) merupakan kewenangan lembaga peradilan

untuk menguji kesahihan dan daya laku produk-produk hukum yang dihasilkan oleh

ekesekutif, legislatif maupun yudikatif di hadapan konstitusi yang berlaku. Pengujian

oleh hakim terhadap produk cabang kekuasaan legislatif (legislatif acts) dan cabang

kekuasaan eksekutif (executif acts) adalah konsekensi dari dianutnya prinsip ‘checks

and balances’ berdasarkan doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power).

Karena itu kewenangan untuk melakukan ‘judicial review’ itu melekat pada fungsi

hakim sebagai subjeknya, bukan pada pejabat lain. Jika pengujian tidak dilakukan

oleh hakim, tetapi oleh lembaga parlemen, maka pengujian seperti itu tidak dapat

Page 69: SKRIPSI Jimmy Hartono

69

disebut sebagai ‘judicial review’, melainkan ‘legislatif review’.98 Pertimbangan untuk

memberikan kewenangan ini pada pengadilan adalah sangat sederhana, karena

pengadilan memang berfungsi untuk menafsirkan hukum dan untuk menerapkannnya

dalam kasus-kasus.

Pengujian atau ‘review’ oleh hakim itu dapat dilakukan secara institutional atau

formal dan dapat pula dilakukan secara prosesual atau substansial. Suatu peraturan

sebagai institusi dapat dimohonkan pengujian kepada hakim, dan hakim dapat

menyidangkan perkara ‘judicial review’ itu dalam persidangan yang tersendiri.

Dalam hal demikian, dapat dikatakan bahwa pengujian materiel itu dilakukan secara

institusional, dimana peraturan yang bersangkutan secara keseluruhan dapat

dinyatakan tidak berlaku lagi secara hukum. Tetapi, Pengujian juga dapat dilakukan

oleh hakim secara tidak langsung dalam setiap proses acara di pengadilan. Dalam

mengadili sesuatu perkara apa saja, hakim dapat saja atau berwenang

mengesampingkan berlakunya sesuatu peraturan atau tidak memberlakukan sesuatu

peraturan tertentu, baik seluruhnya (totalitas) ataupun sebagiannya. Mekanisme

demikian ini dapat pula disebut sebagai ‘judicial review’ yang bersifat prosessual,

atau ‘judicial review’ yang bersifat substansial.

Objek yang diuji oleh hakim dapat berupa produk hukum yang ditetapkan oleh

lembaga legislatif (legislatif acts) dan dapat pula berupa produk eksekutif (executif

98 http://www.leip.or.id/ (terakhir kali dikunjungi tanggal 5 juli 2011 pukul 21.00).

Page 70: SKRIPSI Jimmy Hartono

70

acts). Produk legislatif (legislatif acts) biasanya disebut undang-undang, wet atau

law, tergantung bahasa yang digunakan di masing-masing negara. Disebut produk

legislatif karena memang dalam proses pembuatannya terlibat peran parlemen.

Kalaupun, produk legislatif tersebut tidak dilakukan sepenuhnya oleh parlemen,

setidaknya produk dimaksud ditetapkan oleh pemerintah bersama-sama parlemen.

Tindakan atau kebijakan pemerintahan yang merugikan atau menimbulkan

ketidakadilan dengan sendirinya dapat diuji oleh hakim, dan proses pengujian itu

disebut sebagai Judicial Review.

Pengujian judicial itu sendiri dapat bersifat formil atau materil (formele

toetsingsrecht en materiele toetsingsrecht). Pengujian formil biasanya terkait dengan

soal-soal prosedural dan berkenaan dengan legalitas kompetensi institusi yang

membuatnya. Hakim dapat membatalkan suatu peraturan yang ditetapkan dengan

tidak mengikuti aturan resmi tentang pembentukan peraturan yang bersangkutan.

Hakim juga dapat menyatakan batal suatu peraturan yang tidak ditetapkan oleh

lembaga yang memang memiliki kewenangan resmi untuk membentuknya.

Sedangkan Pengujian materiel berkaitan dengan kemungkinan pertentangan materi

suatu peraturan dengan peraturan lain yang lebih tinggi ataupun menyangkut

kekhususan-kekhususan yang dimiliki suatu aturan dibandingkan dengan norma-

norma yang berlaku umum.

Page 71: SKRIPSI Jimmy Hartono

71

Dasar permohonan yang dikenal dengan istilah pengujian aspek materil apabila

dikaitkan dengan pengujian Peraturan Daerah, maka landasan bagi Mahkamah Agung

untuk menguji Peraturan Daerah terhadap undang-undang, adalah materi muatan ayat,

pasal, dan/atau bagian dari isi Peraturan Daerah. Sedangkan pada bagian kedua,

dikenal dengan istilah pengujian aspek formil, yang dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-

undang Nomor 5 Tahun 2004, tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 14

Tahun 1985, tentang Mahkamah Agung, ditegaskan pula bahwa “Mahkamah Agung

menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas

alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau

pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.”99

Sehingga dapat dismpulkan ukuran yang dijadikan Mahkamah Agung dalam

menguji Perda adalah menjawab pertanyaan, apakah suatu Perda :

a. bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi;

dan/atau

b. pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.

Dihubungkan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di

Indonesia, yang Mahkamah Agung adalah lembaga pelaksana hak menguji materil

maka hak menguji materil merupakan hak yang dipunyai oleh Mahkamah Agung

99http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 27 juni 2011 pukul 19.00)

Page 72: SKRIPSI Jimmy Hartono

72

untuk menilai peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang, apakah

peraturan tersebut bertentangan atau tidak dengan peraturan yang ada diatasnya,

dalam hal isinya, serta menentukan lembaga mana yang harus mencabut peraturan

yang dinyatakan tidak sah tersebut, sehingga secara administratif peraturan

perundangan itu tidak dapat dipakai lagi sebagai landasan hukum.100

Judicial review, dapat diartikan sebagai berikut :

1. judicial review merupakan kewenangan dari hakim pengadilan dalam kasus

kongkret di pengadilan.

2. judicial review merupakan kewenangan hakim untuk menilai apakah legislative

acts, executive acts, dan administrative acts bertentangan atau tidak dengan

Undang-Undang Dasar (tidak hanya menilai peraturan perundang-undangan).

Defenisi dari suatu istilah sangat tergantung dari sistem hukum yang dianut

oleh negara yang bersangkutan. Definisi judicial review dipakai pada negara yang

menganut common law system. Istilah judicial review juga digunakan dalam

membahas tentang pengujian pada negara yang menganut civil law system, seperti

yang dikemukakan oleh Jimly Asshiddiqie, yaitu judicial review, merupakan upaya

pengujian oleh lembaga judicial terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang

kekuasaan negara legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif dalam rangka penerapan

prinsip checks and balances berdasarkan system pemisahan kekuasaan negara

100 Samsul Wahidin, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Jakarta, Cendana Press, 1984,Hal. 7

Page 73: SKRIPSI Jimmy Hartono

73

(separation of power).101 Pedoman hukum yang dipakai untuk melakukan pengujian

tersebut oleh hakim adalah norma hukum yang lebih tinggi, atau sekurang-kurangnya

norma hukum yang setingkat terutama apabila pengujian yang dilakukan bersifat

formil.

Pada umumnya beberapa alasan yang dapat dijadikan alasan untuk pengajuan

judicial review adalah sebagai berikut :

1. Bertentangan dengan UUD atau peraturan lain yang lebih tinggi

2. Dikeluarkan oleh institusi yang tidak bewenang untuk mengeluarkan

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

3. Adanya kesalahan dalam proses pembuatan peraturan perundang-undangan

yang bersangkutan.

4. Terdapat perbedaan penafsiran terhadap suatu peraturan perundang-undangan.

5. Terdapat ambiguitas atau keragu-raguan dalam penerapan suatu dasar hukum

yang perlu diklarifikasi.

Untuk mengetahui mengenai hak menguji yang dimiliki Mahkamah Agung

terhadap suatu perda, maka akan diuraikan mengenai hal ini berdasarkan peraturan

yang terkait dengan peraturan perundang-undangan yaitu Undang-undang Dasar RI

Tahun 1945, Undang-undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan

Perundang-undangan, serta peraturan yang terkait dengan Mahkamah Agung yang

101 http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material/ (Terakhir kalidikunjungi pada tanggal 1 juli 2011 pukul. 10.30)

Page 74: SKRIPSI Jimmy Hartono

74

diatur dalam Undang-undang Nomor 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

dan Undang-undang Nomor 5 tahun 2004 tentang Mahkamah Agung jo Undang-

undang Nomor 3 tahun 2009 tentang Mahkamah Agung.

Dalam UUD 1945 pada Pasal 24 A ayat (1) dinyatakan bahwa “Mahkamah

Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-

undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-undang”.102

Ketentuan daripada UUD 1945 tersebut, juga diatur dalam Undang-undang

Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU No.48 tahun 2009) pada

Pasal 20 ayat (2) yang mengemukakan bahwa:

Mahkamah Agung mempunyai kewenangan:

“1. Mengadili pada tingkat kasasi terhadap putusan yang diberikan padatingkat terakhir oleh pengadilan di semua lingkungan peradilan yangberada di bawah Mahkamah Agung;

2. Menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undangterhadap undang-undang; dan

3. Kewenangan lainnya yang diberikan undang-undang.”

Berdasarkan hal tersebut, maka kewenangan Mahkamah Agung yang diatur

dalam Pasal 20 ayat (2) UU No.48 tahun 2009 adalah sebagai berikut Mahkamah

Agung mempunyai kewenangan menguji Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden,

Peraturan Daerah Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, Peraturan

Desa/peraturan yang setingkat, serta peraturan perundang-undangan yang diakui

102 Penjelasan UUD 1945 Pasal 24A ayat (1)

Page 75: SKRIPSI Jimmy Hartono

75

keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan

oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi terhadap Undang-undang.

Lebih lanjut pada Pasal 20 ayat (3) UU No.48 tahun 2009 dinyatakan bahwa

“Pernyataan tidak berlaku peraturan perundang-undangan sebagai hasil pengujian

sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, dapat diambil baik dalam pemeriksaan

tingkat kasasi maupun berdasarkan permohonan langsung kepada Mahkamah

Agung”.

Dari ketentuan Undang-undang Dasar dan Undang-undang Kekuasaan

Kehakiman tersebut, diketahui bahwa kewenangan menguji peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-undang terhadap Undang-undang adalah kewenangan

Mahkamah Agung. Mengenai maksud dari peraturan perundang-undangan di bawah

Undang-undang, dapat dilihat dalam UU No.10 tahun 2004, pada Pasal 7 ayat (1) dan

ayat (2).

Dari hal tersebut di atas, maka Mahkamah Agung tidak berwenang untuk

menguji, hal-hal yang disebutkan dibawah ini:

1. Suatu Undang-undang bertentangan dengan Undang-undang Dasar;

2. Suatu peraturan perundang-undangan telah dibuat sesuai dengan/menurut cara

yang ditetapkan oleh Undang-undang Dasar;

3. Suatu peraturan perundang-undangan bermanfaat/berguna dan dapat

dipertanggungjawabkan.

Page 76: SKRIPSI Jimmy Hartono

76

Maksud dari peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang adalah

semua peraturan perundang-undangan yang mempunyai derajat lebih rendah dari

pada Undang-undang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 UU No.10 tahun 2004. Jadi

dari hal ini, diketahui bahwa salah satu peraturan perundang-undangan yang dapat

diuji oleh Mahkamah Agung adalah Peraturan Daerah, baik Peraturan Daerah

Provinsi, Peraturan Daerah Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan Desa.

Menurut pakar hukum Sri Soemantri, lembaga yang berwenang untuk

melakukan hak menguji material ini adalah Mahkamah Agung, karena beberapa

pertimbangan yaitu:

1. Ditinjau dari pengangkatan anggota-anggotanya di Mahkamah Agung, faktor

politik tidak boleh memberikan peranan yang lebih menonjol. Ini berarti

pengangkatan tersebut harus dititik beratkan pada keahlian dan pengalaman

dalam bidang hukum.

2. Pertimbangan efisiensi, sehingga tidak perlu memperbanyak jumlah lembaga

negara yang ada, kecuali apabila diperlukan sekali. Penambahan jumlah

lembaga negara akan berakibat pada bertamabahnya pengeluaran dan fasilitas.

3. Oleh karena yang dapat diuji itu Undang-undang dan aturanaturan lainnya

yang lebih rendah, maka harus dikurangi adanya pengaruh dari lembaga-

lemabaga yang dapat menimbulkan bermacam-macam kesulitan.103

103 Sri Sumantri, Op.Cit, hal. 6.

Page 77: SKRIPSI Jimmy Hartono

77

Mengenai tata cara pelaksanaan wewenang Mahkamah Agung untuk menguji

suatu peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-

undangan di atas, diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1

tahun 2004 tentang Hak Uji Materil. Jika melihat Perma No.1 tahun 2004 pada Pasal

1 c yang mengemukakan “Permohonan keberatan adalah suatu permohonan yang

berisi keberatan terhadap berlakunya suatu peraturan perundang-undangan yang

diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi

yang diajukan ke MA untuk mendapatkan putusan”. Diketahui bahwa kewenangan

Mahkamah Agung dalam mengajukan uji materiil suatu peraturan perundang-

undangan di bawah Undang-undang adalah dengan cara pengajuan permohonan

keberatan.

Untuk lebih jelasnya mengenai permohonan keberatan yang dimaksud dalam

Pasal 1 c Perma No.1 Tahun 2004 tersebut di atas, terdapat dalam Pasal 2 Perma

tersebut yang menyatakan:104

“ayat 1 : Permohonan keberatan diajukan kepada Mahkamah Agung dengan cara :

a. Langsung ke Mahkamah Agung; atau

b. Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum

tempat kedudukan Pemohon.

ayat 2 : Permohonan keberatan diajukan terhadap suatu peraturan perundang-

undangan yang diduga bertentangan dengan suatu peraturan perundang-

undangan tingkat lebih tinggi.

104 Perma No.1 Tahun 2004 Pasal 2

Page 78: SKRIPSI Jimmy Hartono

78

ayat 3 : Permohonan keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 (seratus

delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang

bersangkutan”

Dari ketentuan tersebut, dapat dikatakan bahwa permohonan keberatan dapat

diajukan langsung ke Mahkamah Agung atau melalui Pengadilan Negeri yang

membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. Permohonan keberatan

diajukan karena adanya suatu peraturan perundang-undangan yang diduga

bertentangan dengan suatu peraturan perundang-undangan tingkat lebih tinggi dalam

tenggang waktu 180 (seratus delapan puluh) hari sejak ditetapkan peraturan

perundang-undangan yang bersangkutan. Dalam menjalankan kewenangannya itu,

Mahkamah Agung bersifat pasif. Permohonan keberatan yaitu suatu permohonan

sekelompok masyarakat atau perorangan yang berisi keberatan terhadap berlakunya

suatu peraturan perundang-undangan yang diduga bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan tingkat lebih tinggi diajukan ke Mahkamah Agung baik secara

langsung ke Mahkamah Agung maupun melalui Pengadilan Negeri yang membawahi

wilayah hukum tempat kedudukan pemohon untuk mendapatkan putusan.

Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan

karena peraturan perundang-undangan yang dimaksud bertentangan dengan Undang-

undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka

Mahkamah Agung akan mengabulkan gugatan atau permohonan keberatan tersebut.

Dalam putusan yang mengabulkan Permohonan keberatan tersebut akan dinyatakan

Page 79: SKRIPSI Jimmy Hartono

79

sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 tahun 2004 yaitu “Mahkamah

Agung dalam putusannya menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang

dimohonkan keberatan tersebut sebagai tidak sah dan tidak berlaku dan tidak berlaku

untuk umum, serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera

pencabutannya.”

Akan tetapi dalam hal Mahkamah Agung berpendapat bahwa gugatan atau

permohonan keberatan itu tidak beralasan, maka Mahkamah Agung menolak gugatan

atau permohonan keberatan tersebut. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat

(3) Perma No.1 Tahun 2004.

Isi putusan permohonan keberatan sebagaimana dimaksud akan dikirimkan

kepada Pemohon keberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Perma No.1 tahun

2004 yang menyatakan bahwa “Pemberitahuan isi putusan Mahkamah Agung

terhadap permohonan keberatan disampaikan dengan menyerahkan atau mengirimkan

salinan putusan Mahkamah Agung dengan surat tercatat kepada para pihak dan dalam

hal diajukan melalui Pengadilan Negeri setempat, penyerahan atau pengiriman atau

salinan putusan Mahkamah Agung disampaikan juga kepada Pengadilan Negeri yang

mengirim”.

Page 80: SKRIPSI Jimmy Hartono

80

Mengenai pelaksanaan putusan permohonan keberatan hak uji materil oleh

Mahkamah Agung diatur dalam Pasal 8 Perma No. l Tahun 2004 yaitu :

“ayat 1 : Panitera Mahkamah Agung mencantumkan petikan putusan dalam Berita

Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara.

ayat 2 : Dalam hal 90 (sembilan puluh) hari putusan Mahkamah Agung tersebut

dikirim kepada Badan atau penjabat Tata Usaha Negara yang

mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut, ternyata penjabat

yang bersangkutan tidak melaksanakan kewajibannya, demi hukum

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak mempunyai

kekuatan hukum.”

Terhadap putusan mengenai permohonan keberatan hak uji materil tersebut di

atas tidak dapat diajukan peninjauan kembali, hal ini sesuai dengan Pasal 9 Perma

No.1 Tahun 2004. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa putusan Mahkamah

Agung tentang Uji Materil mempunyai kekuatan hukum yang bersifat final dan

mengikat, selain itu juga terhadap badan atau pejabat yang bersangkutan dalam

perkara Uji Materil ini tidak melaksanakan kewajibannya dalam waktu 90 hari, maka

dengan sendirinya atas nama hukum, peraturan perundang-undangan tersebut tidak

mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka diketahui bahwa kewenangan

menguji suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang terhadap

Undang-undang adalah kewenangan Mahkamah Agung, sebagaimana diatur dalam

Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 dan Pasal 20 ayat (2) UU No.48 Tahun 2009.

Page 81: SKRIPSI Jimmy Hartono

81

Mengenai kewenangan MA yang satu ini, berakibat bahwa apabila suatu peraturan

perundang-undangan di bawah Undang-undang yang diuji oleh Mahkamah Agung

bertentangan dengan Undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi derajatnya, maka peraturan perundang-undangan tersebut dapat dinyatakan

tidak berlaku oleh Mahkamah Agung, sebagaimana maksud dari Pasal 20 ayat (3) UU

No.4 Tahun 2009.

Jika dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung dalam menguji suatu

peraturan daerah, baik Perda Provinsi, Perda Kabupaten/Kota, ataupun Peraturan

Desa. Maka dapat dikatakan bahwa MA berwenang untuk menyelidiki dan kemudian

menilai isi dari suatu peraturan daerah terhadap Undang-undang atau peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, serta menilai kewenangan dari

kekuasaan Pemerintah Daerah dalam mengeluarkan suatu Perda yang mengatur hal

tertentu. Apabila Perda yang diujikan tersebut, isinya bertentangan dengan Undang-

undang atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi derajatnya, maka MA

akan mengeluarkan Putusan bahwa Perda tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,

serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera melakukan

pencabutannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (3) UU No.48 Tahun 2009

dan Pasal 6 ayat (2) Perma No.1 Tahun 2004.

Salah satu isu penting dan mendasar dalam pembahasan mengenai kedudukan

lembaga pelaksanaan kekuasaan kehakiman ini adalah adanya soal kemandirian

Page 82: SKRIPSI Jimmy Hartono

82

(independensi). Kemandirian kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip

penting dalam negara demokrasi. Kemandirian kekuasaan kehakiman juga merupakan

salah satu syarat dan ciri penting dalam negara hukum, selain adanya asas legalitas

yang artinya pemerintah harus bertindak berdasarkan semata-mata hukum yang

berlaku, adanya jaminan perlindungan hak asasi manusia, dan pemerintahan

berdasarkan sistem konstitusi dan hukum dasar.105 Dengan adanya kemandirian

kekuasaan kehakiman dari cabang kekuasaan lainnya, badan atau lembaga

pelaksananya diharapkan dapat melakukan kontrol hukum terhadap kekuasaan negara

lainnya. Di samping itu, sebagai antisipasi kecenderungan penyalahgunaan

wewenang atau kekuasaan. Tidak adanya kemandirian kekuasaan kehakiman

terutama dari kekuasaan pemerintah akan membuka peluang terjadinya

penyalahgunaan kekuasaan dan pengabaian hak asasi manusia oleh penguasa. Sebab

kekuasaan kehakiman secara konstitusional memiliki wewenang untuk menjalankan

fungsi kontrol terhadap kekuasaan pemerintah.

105 Franz Magnis Suseno, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan Modern,Gramedia, Jakarta: 1991, hal. 298-301.

Page 83: SKRIPSI Jimmy Hartono

83

Bagan Prosedur Mekanisme Pembatalan Peraturan Daerah Oleh MA dan

Pemerintah 106:

106 Yance Arizona, Disparitas Pengujian Peraturan Daerah: “Suatu Tinjauan Normatif”,Desember 2007, www.legalitas.org, (terakhir kali dikunjungi tanggal 20 juli 2011 Pukul 23.00)

Perbedaan Pengujian Perdaantara Mahkamah Agung

dengan PemerintahKategori

Mahkamah Agung Pemerintah

Jenis Review Judicial Review Executive Review

Bentuk review Permohonan keberatan Pengawasan preventif terhadap olehpemerintah pusat terhadapRANPERDA yang bermuatan APBD,pajak dan retribusi daerah serta tataruang.

1. Pengawasan represif terhadapPERDA dari pemerintah pusatterhadap daerah dalampelaksanaan otonomi daerah.

Lembaga yang melakukanreview

Mahkamah Agung

Departemen Dalam Negeri dibantudengan:

a. Departemen Keuanganb. Departemen PUc. Departemen Hukum dan HAM

Page 84: SKRIPSI Jimmy Hartono

84

Sifat kewenangan lembagayang melakukan review

Pasif=> menunggudatangnya permohonan daripemohon

Aktif=> melakukan pengawasan,evaluasi terhadap seluruh perda yangdikeluarkan (pengawasan represif)

Kapasitas lembaga

Menyelesaikan sengketaperaturan perundang-undangan yang timbuldibawah undang-undangterhadap undang-undang(konflik norma)

Dalam rangka pengawasan danpembinaan terhadap pemerintah daerah

Dasar hukum kewenanganpengujian

a. Pasal 24A ayat (1) UUD1945

b. Pasal 11 ayat (2) huruf bUU No. 4/2004 tentangKekuasaan Kehakiman

c. Pasal 31 ayat (1) sampaiayat (5) UU No. 5/2004tentang MahkamahAgung

d. Peraturan MahkamahAgung No. 1 Tahun 1999yang sudah digantidengan PeraturanMahkamah Agung No. 1Tahun 2004 tentang HakUji Materil

a. Pasal 114 ayat (1) sampai ayat(4) UU No 22/1999 tentangPemda

b. Pasal 145 ayat (1), ayat (2),ayat (3), dan ayat (4) jo Pasal136 ayat (4) jo Pasal 218 ayat(1) huruf b UU No 32/2004tentang Pemda

Standar pengujian

a. bertentangan denganperaturan perundang-undangan yang lebihtinggi

b. pembentukannya tidakmemenuhi ketentuan yangberlaku

a. bertentangan dengan peraturanperundang-undangan yang lebihtinggi

b. bertentangan dengan kepentinganumum

Page 85: SKRIPSI Jimmy Hartono

85

Lama waktu review

Permohonan Keberatanpaling lambat diajukan keMA setelah 180 haripengundangan Perda. Tetapitidak diatur berapa lamaproses review harusdiselesaikan oleh MA.

a. Perda disampaikan kepadaPemerintah paling lama 7 (tujuh)hari setelah ditetapkan

b. Bila perda dibatalkan, makaperaturan presiden pembatalan harussudah ditetapkan paling lama 60(emanpuluh) hari sejak diterimanyaperda

Waktu eksekusi

Paling lama 90 (Sembilanpuluh) hari setelah putusanyang mengabulkanpermohonan keberatanperda, perda

Paling lama 7 (tujuh) hari setelahditetapkannya pembatalan perda,kepala daerah harus menghentikanpelaksanaan

Page 86: SKRIPSI Jimmy Hartono

86

BAB III

PERMASALAHAN HUKUM YANG TIMBUL TERHADAP WEWENANG

PEMBATALAN PERATURAN DAERAH (PERDA)

Pembentukan Perda sering kali tidak memiliki arah yang jelas dan berkorelasi

dengan kebutuhan daerah serta perencanaan pembangunan. Pembentukan peraturan

perundang-undangan ditingkat daerah bukan sekedar melihat batas kompetensi

formal atau kepentingan daerah yang bersangkutan tetapi harus dilihat pula

kemungkinan dampaknya terhadap daerah lain ataupun kepentingan Nasional secara

keseluruhan. Tujuannya agar tidak terdapat friksi antara Pusat dan Daerah serta

daerah otonom dalam hal mengatur kewenangan daerah yang sangat strategis.

Pemberian kebebasan membuat kebijakan daerah harus dalam koridor kebijakan

Pemerintah Pusat dengan memperhatikan kondisi daerah.107

Sejak bergulirnya era otonomi daerah yang memberikan kewenangan regulasi

pada daerah otonom justru kerap menimbulkan permasalahan karena banyak

Peraturan Daerah yang dianggap bermasalah baik karena bertentangan dengan

peraturan yang lebih tinggi, bertentangan dengan ketertiban umum, menimbulkan

ekonomi biaya tinggi, memberatkan masyarakat di daerah dan berdampak pada

kerusakan lingkungan akibat izin yang ditimbulkannya serta timbul kebijakan yang

107 Ateng Syarifudin, Pengaturan Koordinasi Pemerintahan di Daerah, Citra Aditya Bakti,Bandung: 1993, Hal. 279

Page 87: SKRIPSI Jimmy Hartono

87

bersifat diskriminatif. Akibatnya banyak perda yang dibatalkan, Sehingga

menimbulkan kerugian yang tak sedikit, karena proses pembuatan perda juga

memakan biaya yang tak sedikit.

Kemunculan persoalan disekitar Perda bermasalah disebabkan oleh semangat

berlebihan dari daerah dalam rangka meningkatkan pendapatan daerah. Dengan

adanya otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah seolah

berlomba untuk sebanyak-banyaknya membuat peraturan daerah tentang Pajak dan

Retribusi Daerah. Ada sebagian Perda yang dipandang bermasalah karena

bertentangan dengan aturan lebih tinggi, tetapi ada juga yang dipandang menghambat

investasi daerah.108 Sebagai salah satu contoh dampak negatif hambatan investasi

secara nyata yang dapat digambarkan ialah bahwa Perda yang buruk akan

menghambat aktivitas usaha yang mengakibatkan ekonomi biaya tinggi sehingga

menurunkan daya saing produk di daerah yang bersangkutan. Selain itu, pungutan

retribusi dari Pemerintah Daerah yang membebankan pungutan dengan mengabaikan

kontra prestasi berupa manfaat langsung bagi pembayar retribusi adalah tidak tepat

karena hal ini sangat merugikan masyarakat khususnya pelaku usaha.

Dan berikut diuraikan beberapa masalah yang timbul dengan dibatalkannya

suatu Perda antara lain :

108 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika),Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005, hal. 229

Page 88: SKRIPSI Jimmy Hartono

88

1. Adanya Disharmoni dan Tumpang Tindih Peraturan Perundang-

undangan.

Disharmoni Peraturan perundang-undangan merupakan ketidakselarasan,

ketidaksesuaian, ketidakseimbangan, ketidakserasian dan Inkonsistensi suatu unsur-

unsur peraturan antara yang setingkat maupun dengan peraturan yang berada

diatasnya berdasarkan teori peraturan berjenjang atau Stufentheori. Menurut teori ini,

norma hukum itu berjenjang dan berlapis dalam suatu tata susunan dimana suatu

peraturan terendah bersumber dari peraturan yang ada diatasnya atau lebih tinggi

sehingga tercipta harmonisasi peraturan perundang-undangan.

Disharmoni peraturan perundang-undangan mengakibatkan Terjadinya

perbedaan penafsiran dalam pelaksanaannya, Timbulnya ketidakpastian hukum,

Peraturan perundang-undangan tidak terlaksana secara efektif dan efisien, Disfungsi

hukum, artinya hukum tidak dapat berfungsi memberikan pedoman berperilaku

kepada masyarakat, pengendalian sosial, penyelesaian sengketa dan sebagai sarana

perubahan sosial secara tertib dan teratur.109 Dengan demikian, dibutuhkan upaya

harmonisasi sebagai “Conditio Sine Qua Non” bagi terjaminnya kepastian hukum,

ketertiban hukum, penegakan hukum dan perlindungan hukum yang berintikan

keadilan dan kebenaran. 110

109 http://www.djpp.depkumham.go.id/htn-dan-puu/421-harmonisasi-peraturan-perundang-undangan.html (terakhir kali dikunjungi pada tanggal 24 agustus 2011 pukul. 21.00 WIB)

110 http://cetak.bangkapos.com/opini/read/216.html (dikunjungi terakhir kali pada tanggal 24agustus 2011 pukul. 21.00 WIB)

Page 89: SKRIPSI Jimmy Hartono

89

Terkait dengan wewenang pembatalan Peraturan Daerah terdapat suatu

pertentangan kewenangan dimana peraturan perundang-undangan memberikan

kewenangan kepada dua organ lembaga Negara yaitu melalui lembaga

Kepresidenan/Pemerintah dan Mahkamah Agung. Hal demikian memungkinkan

timbul inkonsistensi dalam pelaksanaan pembatalan Perda yang dapat mengakibatkan

timbulnya ketidakpastian hukum dalam struktur ketatanegaraan.

Adanya alasan Pengujian Peraturan daerah oleh Pemerintah justru karena

Pemerintah daerah merupakan bagian dari pemerintah (eksekutif) dimana Pemerintah

Daerah berada di bawah Pemerintah, dan juga ada di struktur Pemerintah. Jadi

Pemerintah pun harus mempunyai kewenangan membatalkan Perda yang dibuat oleh

daerah. Berdasar hal tersebut, maka Pemerintah Pusat diberi kewenangan untuk

mengeluarkan instrumentasi hukum guna membatalkan keberlakuan Perda yang

bermasalah tersebut melalui instrument hukum berupa Peraturan Presiden.

Dihubungkan wewenang Mahkamah Agung sebagai lembaga peradilan, maka

pelaksana hak pengujian terhadap peraturan perundang-undangan adalah menjadi hak

yang dipunyai oleh Mahkamah Agung untuk menilai peraturan perundang-undangan

dibawah undang-undang, apakah peraturan tersebut bertentangan atau tidak dengan

peraturan yang ada diatasnya, dalam hal isinya, serta menentukan lembaga mana yang

harus mencabut peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut, sehingga secara

administratif peraturan perundangan itu tidak dapat dipakai lagi sebagai landasan

Page 90: SKRIPSI Jimmy Hartono

90

hukum. Dualisme kewenangan ini menimbulkan ketidakjelasan mengenai lembaga

yang berwenang untuk menguji materiil serta membatalkan suatu peraturan daerah,

dimana kewenangan pembatalan Peraturan Daerah yang diperbolehkan oleh dua

lembaga baik secara executive review maupun judicial review justru berpotensi

menimbulkan konflik kepentingan.

Sesuai dengan teori pemisahan kekuasaan (separation of power), sebenarnya

telah ditetapkan mengenai wewenang masing-masing lembaga Negara agar tidak

terjadi pemusatan kekuasaan pada satu orang/ satu organ lembaga dan tumpang tindih

wewenang sehingga satu organ/ lembaga hanya memiliki satu kekuasaan saja,

kekuasaan-kekuasaan itu adalah:111

(d) kekuasaan legislatif/ pembentuk undang-undang, dilaksanakan oleh suatu

badan perwakilan (parlemen);

(e) kekuasaan eksekutif/ pelaksana undang-undang, dilaksanakan oleh

pemerintah (presiden atau raja dengan bantuan menteri-menteri atau

kabinet);

(f) kekuasaan yudikatif/ peradilan atau kehakiman untuk menegakkan

perundang-undangan apabila terjadi pelanggaran, dilaksanakan oleh

badan peradilan (Mahkamah Agung dan pengadilan bawahannya).

111 Rahimullah, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945, Op.Cit, hal.3.

Page 91: SKRIPSI Jimmy Hartono

91

Doktrin pemisahan kekuasaan (separation of power) akan menimbulkan

konsekuensi ‘checks and balances’ dimana masing-masing lembaga Negara diatas

dapat saling mengawasi dan terjadi keseimbangan kedudukan maupun kewenangan

sehingga terhindar dari konflik kepentingan. Indonesia menganut gagasan supremasi

konstitusi (supremacy of constitution) dan bukan supremasi parlemen (supremacy of

parliament). Konsekuensi dianutnya supremacy of constitution, semua peraturan

perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan konstitusi UUD 1945.

Berbicara mengenai hak menguji Peraturan Daerah, disharmoni peraturan

perundang-undangan terdapat pada Aturan Pasal 145 Ayat (6), ditemukan bahwa

Peraturan Presiden yang membatalkan tentang suatu Perda dinyatakan tetap berlaku

dan mempunyai kekuatan hukum apabila Mahkamah Agung menolak keberatan dari

Pemerintah Daerah. Artinya, berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, Mahkamah

Agung tidak membatalkan suatu Perda, melainkan yang membatalkan Perda adalah

Pemerintah Pusat dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden. Yang dibatalkan oleh

Mahkamah Agung menurut ketentuan UU tersebut hanyalah Peraturan Presiden

apabila permohonan keberatan yang diajukan oleh Pemerintah Daerah di kabulkan

oleh MA.

Jadi dapat disimpulkan bahwa menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah, pengajuan keberatan kepada Mahkamah Agung melalui

mekanisme judicial review bukan terhadap Peraturan Daerah yang telah dikeluarkan

Page 92: SKRIPSI Jimmy Hartono

92

Pemerintah Daerah, tetapi pengujian dilakukan terhadap Peraturan Presiden yang

membatalkan Peraturan Daerah tersebut. Hal ini tentunya menimbulkan permasalahan

hukum karena ada pengecualian dari ketentuan Pasal 24 A ayat (1) UUD 1945 dan

UU Nomor 5 Tahun 2004 jo UU Nomor 3 Tahun 2009 dimana seharusnya

Mahkamah Agung berwenang melakukan uji materil terhadap segala peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang.

2. Ketidakjelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah.

Dalam substansi Peraturan perundang-undangan mengenai pembatalan Perda

terdapat persamaan alasan yang dijadikan dasar dalam pembatalan Perda antara

Pemerintah Pusat (melalui Keputusan Menteri Dalam Negeri) dengan Putusan

Mahkamah Agung. Keduanya pada prinsipnya menyatakan bahwa alasan pembatalan

Perda adalah Perda bertentangan dengan Peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi .

Akan tetapi jika dikaji lebih lanjut sebenarnya standar pengujian Perda oleh

Pemerintah berbeda dengan standar pengujian Perda yang dilakukan oleh Mahkamah

Agung. Bila Mahkamah Agung menguji suatu Perda atas dasar apakah satu Perda

bertentangan atau tidak dengan peraturan yang lebih tinggi dan apakah prosedur

pembuatan Perda bertentangan dengan peraturan perundang-undangan,112 Pemerintah

melakukan pengujian perda dengan standar yang lebih luas. Dikatakan lebih luas

112 Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung pasal 31

Page 93: SKRIPSI Jimmy Hartono

93

karena pemerintah menguji Perda tidak hanya didasarkan pada aturan hukum yang

lebih tinggi dari Perda, tetapi juga didasarkan pada standar kepentingan umum.113

Dalam pengujian Perda oleh Pemerintah (executive review), terdapat

permasalahan yang patut untuk dikaji. Yang pertama adalah, dalam pengujian Perda,

Pemerintah Pusat mempunyai dua batu uji untuk melakukan pengujian, yaitu

“bertentangan dengan kepentingan umum” dan “bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi”, sebagaimana yang termaktub pada Pasal 136

Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004. Pengujian Perda dengan menggunakan batu uji

istilah “kepentingan umum” yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat, masih sangat luas

cakupannya. Istilah “kepentingan umum” bisa diartikan sebagai kepentingan umum

Nasional ataukah kepentingan umum lokal (daerah). Mengingat peraturan daerah

merupakan peraturan perundang-undangan yang bersifat local (local wet), maka yang

dimaksud dengan istilah “kepentingan umum”, tidak lain merupakan kepentingan

umum yang hanya mencakup daerah setempat. Yang menjadi permasalahan adalah,

alat ukur apakah yang dipakai Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan

tidaknya suatu Perda dengan kepentingan umum, mengingat banyaknya daerah-

daerah baik Provinsi maupun Kabupaten/Kota yang tersebar diseluruh wilayah

Indonesia dengan corak masyarakat yang majemuk dan pluralistik.114

113 Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.Pasal 145 Ayat (2)114 http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308 (terakhir kali

dikunjungi tanggal 27 Mei 2011 pukul 17.00)

Page 94: SKRIPSI Jimmy Hartono

94

Kepentingan umum adalah aspek yang bersifat sosiologis daripada legalis.

Sehingga pengujian terhadap kepentingan umum tergantung pada aspek keberlakuan

berbagai macam jenis hukum dan norma sosial yang ada dalam masyarakat. Dalam

penjelasan Pasal 136 Ayat (4) UU No.32 Tahun 2004 disebutkan bahwa “Yang

dimaksud dengan ‘bertentangan dengan kepentingan umum’ dalam ketentuan ini

adalah kebijakan yang berakibat terganggunya kerukunan antar warga masyarakat,

terganggunya pelayanan umum dan terganggunya ketenteraman/ketertiban umum

serta kebijakan yang bersifat diskriminatif.” Dengan demikian, bertentangan dengan

kepentingan umum menjadi standar yang longgar yang ditafsirkan berdasarkan

kekuasaan penafsir. Maka tidak jarang tafsir kepentingan umum lebih mewakili tafsir

penguasa. Orientasi kekuasaanlah terkadang yang mewakili kepentingan umum. Hal

ini dapat dilihat dimana ketika tidak terjadi gejolak atau penolakan terhadap

berlakunya suatu perda di masyarakat juga dapat dibatalkan oleh pemerintah atas

dasar bertentangan dengan kepentingan umum. Begitu pula sebaliknya, apabila suatu

Perda dianggap menimbulkan masalah oleh masyarakat dapat saja tidak dibatalkan

oleh pemerintah bila Perda tersebut sesuai dengan tafsir kekuasaan pemerintah.

Bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi mengandung makna bahwa

Peraturan Daerah yang secara teoritik memiliki tingkat fleksibilitas yang sempit

karena tidak boleh menyimpang dari sekat-sekat peraturan nasional yang ratusan

jumlahnya.Teori tersebutlah kemudian dalam ilmu hukum turun menjadi asas “lex

Page 95: SKRIPSI Jimmy Hartono

95

superior derogat legis inferiori. Hal ini sesuai dengan pendekatan Stufenbau des

Recht yang diajarkan Hans Kelsen, hukum positif (peraturan) dikonstruksi berjenjang

dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari dan tidak boleh

bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi.

Sebagaimana dikemukakan diatas, bahwa Peraturan Daerah merupakan

pelaksanaan Peraturan Perundang-undangan yang lebih tinggi dan juga pelaksanaan

otonomi daerah. Sebagai pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi, maka materi (substansi) Peraturan Daerah seyogyanya tidak bertentangan

dengan dan berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.115

Apabila ada ayat atau pasal maupun bagian dari peraturan perundang-

undangan yang lebih rendah bertentangan dengan ayat atau pasal maupun bagian dari

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi maka ecara kuantitatif dianggap

telah memenuhi syarat alasan hak uji. Kuantitas pertentangannya tidak mesti secara

keseluruhan, tetapi cukup ayat, pasal atau bagiannya saja, namun seperti yang

dijelaskan diatas, faktor paling diperhatikan adalah kualitas pertentangannya.

Pertentangan sedemikian rupa nyata dan objektif sehingga dapat menimbulkan akibat

pelanggaran terhadap ketertiban umum.116

Pembatalan Perda dengan alasan bertentangan dengan peraturan perundang-

undangan yang lebih tinggi dapat menimbulkan masalah kepastian hukum dan harus

115 Dodi Haryono, Op.Cit, hal. 42116 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta:2008, hal. 103

Page 96: SKRIPSI Jimmy Hartono

96

yang memenuhi syarat-syarat tertentu antara lain konsisten dalam perumusan dimana

dalam Peraturan perundang-undangan yang sama harus terpelihara hubungan

sistematik antara kaidah-kaidahnya, kebakuan susunan dan bahasa, dan adanya

hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan.

Terkait dengan wewenang Mahkamah Agung, Apabila suatu Peraturan

Daerah dipandang bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari isi

Peraturan Daerah bertentangan dengan Undang-undang, maka sesuai dengan

ketentuan Pasal 31 ayat (2) dan ayat (4) Undang-undang Nomor 5 Tahun 2004 jo

Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009, Mahkamah Agung menyatakan bahwa

Peraturan Daerah tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Dimungkinkan dapat terjadi proses pengujian jika Mahkamah Agung menemukan

hanya satu ayat, atau satu pasal, atau satu bagian materi muatan dalam Peraturan

Daerah yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Apabila hal ini terjadi, maka seluruh materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari

Peraturan Daerah dianggap tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat. Keadaan ini seperti halnya dalam pengujian aspek formil peraturan

perundang-undangan di bawah undang-undang.117 Hal ini tentunya menimbulkan efek

berupa kerugian yang tak sedikit, karena proses pembuatan perda juga memakan

biaya yang tak sedikit pula. Disamping itu juga timbul problem dengan adanya

117http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 27 juni 2011 pukul 19.00)

Page 97: SKRIPSI Jimmy Hartono

97

pembatalan Perda terkait akibat hukum yang ditimbulkan sebelum dan sesudah

pembatalan Perda.

Dalam hal ini wewenang Mahkamah Agung hanyalah menyatakan bahwa

suatu peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu tidak sah karena

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dan

memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan

itu. Mahkamah Agung tidak berwenang mencabut suatu peraturan, yang dibuat oleh

lembaga tertentu.118

Apabila dikaitkan dengan kewenangan Mahkamah Agung tersebut diatas,

maka pengujian Perda secara tegas menjadi kompetensi Mahkamah Agung tidak

sampai pada keputusan membatalkan, tetapi hanya menyatakan tidak sah karena

Peraturan Daerah tersebut bertentangan dengan Undang-undang atau Peraturan

perundang-undangan tingkat lebih tinggi.119

3. Penyimpangan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan

Daerah.

Peraturan Daerah merupakan aturan hukum yang banyak dilakukan pengujian

terutama oleh pemerintah, karena setiap Peraturan Daerah yang diterbitkan pada

tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi harus melalui pengujian oleh pemerintah.

118 Samsul Wahidin, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Cendana Press, Jakarta:1984, hal. 45

119 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit, hal.299

Page 98: SKRIPSI Jimmy Hartono

98

Adanya kewenangan pemerintah untuk menguji Peraturan Daerah hendaknya tidak

akan menjadi jalan untuk mewujudkan superioritas kekuasaan Pemerintah Pusat atas

Pemerintah Daerah dan hukum-hukum lokal yang diagregasi ke dalam Peraturan

Daerah. Tidak sedikit Peraturan Daerah dan isi materinya yang beragam, serta

mekanisme terpusat pengujian Peraturan Daerah oleh pemerintah dan Mahkamah

Agung yang dipandang tidak efektif, efisien dan transparan, maka perlu pengkajian

untuk membentuk mekanisme yang dapat menstimulasi pembangunan daerah dan

perlindungan terhadap kepentingan masyarakat di daerah.120

Bentuk hukum pembatalan Peraturan Daerah yang ditentukan dalam Pasal

145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004, adalah Peraturan Presiden.

Dalam Pasal 145 ayat (7) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ditentukan bahwa

“Apabila Pemerintah tidak mengeluarkan Peraturan Presiden untuk membatalkan

Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Peraturan Daerah dimaksud

dinyatakan berlaku”.

Namun dalam praktek, pembatalan Peraturan Daerah dilakukan dengan

Keputusan Menteri Dalam Negeri. Pembatalan Peraturan Daerah melalui Keputusan

Menteri Dalam Negeri dapat dikatakan sebagai kekeliruan hukum. Kekeliruan hukum

ini terjadi karena instrumen hukum untuk membatalkan Peraturan Daerah harus

120 Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), “MenujuHarmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia” Seri InisiatifHarmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian PerencanaanPembangunan Nasional, Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAMbekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID), Jakarta, 2005: hal. 120.

Page 99: SKRIPSI Jimmy Hartono

99

dalam bentuk Peraturan Presiden bukan Keputusan Menteri Dalam Negeri. Terlebih

keliru, Peraturan Daerah yang masuk dalam bidang regeling dibatalkan oleh

keputusan yang masuk dalam bidang beschikking. Artinya, norma hukum yang

dikandung dalam Perda adalah norma 3 hukum umum, yaitu suatu norma hukum

yang ditujukan untuk umum, addressat-nya untuk umum, orang banyak, atau semua

warga negara. Berbeda dengan ketetapan atau keputusan (beschikking) di mana

addresat-nya tertuju pada seseorang, beberapa orang, atau per individu. Oleh karena

itu, pembatalan sebuah peraturan harus dengan instrumen peraturan. Demikian pula

pembatalan sebuah ketetapan atau keputusan seharusnya dilakukan dengan ketetapan

atau keputusan serupa121.

Dengan kata lain, secara yuridis Keputusan Menteri Dalam Negeri yang

membatalkan Peraturan Daerah tersebut belum final sebagai keputusan pembatalan

Peraturan Daerah oleh pemerintah, karena keputusan pembatalan Peraturan Daerah

harus dalam bentuk Peraturan Presiden.122 Keputusan Menteri Dalam Negeri yang

membatalkan Peraturan Daerah dapat dikatakan sebagai penggunaan kewenangan

yang tidak pada kewenangannya atau pelampauan kewenangan (ultra vires).

Semestinya keputusan pembatalan Peraturan Daerah dilakukan oleh Presiden melalui

Peraturan Presiden. Apabila pemerintah tidak menerbitkan Peraturan Presiden untuk

121http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13(terakhir kali dikunjungi tanggal 25 agustus 2011 pukul 07.00)

122 Kusnu Goesniadhie S, Op. Cit, Hal. 186

Page 100: SKRIPSI Jimmy Hartono

100

membatalkan Peraturan Daerah, maka Peraturan Daerah tersebut dinyatakan tetap

berlaku.

Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan Peraturan Daerah, dapat

dinilai sebagai cacat hukum. Implikasi hukumnya, daerah atau Kabupaten/Kota dan

Provinsi dapat mengabaikan Keputusan Menteri Dalam Negeri yang membatalkan

Peraturan Daerah tersebut. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi

terhadap kewenangan Departemen Dalam Negeri dalam menguji Peraturan Daerah.

Mengenai Prosedur pencabutan Perda, maka yang menjadi acuan hukumnya

adalah Pasal 145 Ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004 beserta penjelasannya. Dalam

instrument tersebut, ditegaskan bahwa paling lama 7 (tujuh) hari setelah keputusan

pembatalan Perda, maka kepala daerah memberhentikan pelaksanaan Perda dan

selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda tersebut. Pencabutan

tersebut dilaksanakan dengan dibentuknya Peraturan Daerah tentang pencabutan

Perda dan Terhadap putusan pembatalan Peraturan Daerah yang dikeluarkan oleh

Mahkamah Agung tidak dapat diajukan upaya hukum Peninjauan Kembali (PK).

Masalah yang timbul ialah, bagaimana jika setelah putusan Mahkamah Agung

menyatakan suatu peraturan perundangan tidak sah dan tidak berlaku untuk

masyarakat tetapi instansi yang bersangkutan tidak mencabut peraturan perundangan

tersebut. karena suatu peraturan perundangan dikeluarkan oleh instansi tersebut, maka

pencabutan harus dilaksanakan oleh instansi yang bersangkutan. Persoalannya

Page 101: SKRIPSI Jimmy Hartono

101

berkisar pada konsekuensi tidak dicabutnya peraturan tersebut. Jika memang dengan

tidak dicabutnya peraturan perundangan itu tidak membawa konsekuensi apapun,

tentulah pengaturan demikian oleh pembentuk undang-undang akan sia-sia.

Meskipun secara tegas efek peraturan perundangan yang dinyatakan tidak sah itu

sudah digariskan oleh undang-undang tidak berlaku umum, ada kemungkinan dan

disini yang perlu dikhawatirkan bagaimana jika instansi yang berwenang itu masih

memakai peraturan yang dinyatakan tidak sah tersebut.123

Dalam keadaan demikianlah timbul kesempatan yang dapat dimanfaatkan

oleh instansi yang mengeluarkan peraturan tersebut, untuk tetap berpegang kepada

peraturan yang dikeluarkan, sebab memang peraturan yang dibuat itu belum dicabut.

Dan persoalan dicabut atau tidak, tidak ada sanksi yang menyertai.124

UU No. 32 Tahun 2004 juga menyatakan bahwa pembatalan Perda ditetapkan

dengan Peraturan Presiden paling lama 60 (enam puluh hari) sejak diterimanya Perda

oleh Pemerintah Pusat (Pasal 145 Ayat (1) dan Ayat (3) UU Pemda), namun dalam

pelaksanaannya evaluasi Perda oleh Pemerintah Pusat tetap memakan waktu yang

lama. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Pemerintah ini akan berimplikasi pada

terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah dimana Ketika Pemerintah

belum membuat Keputusan apakah Perda bertentangan atau tidak dengan peraturan

123 Samsul Wahidin, Loc. Cit124 Samsul Wahidin, Ibid. 47

Page 102: SKRIPSI Jimmy Hartono

102

perundang-undangan yang lebih tinggi ataupun kepentingan umum, apakah

keputusan pembatalan Perda tersebut dapat berlaku surut ?

Berdasarkan UU No. 32 Tahun 2004, Perda yang sudah disahkan ditingkat

daerah dapat dibatalkan atau dinyatakan batal demi hukum. Dibatalkan berarti

ketidakabsahannya berlaku sejak tanggal ada pembatalan; sedangkan batal demi

hukum berarti ketidakabsahannya berlaku sejak peraturan itu ditetapkan (yang berarti

membatalkan pula akibat-akibat hukum yang timbul sebelum ada pembatalan).125

Setiap pembatalan, pada dasarnya hanya berlaku kedepan (prospektif). Daerah

tidak perlu membuat ketetapan khusus untuk membatalkan pelaksanaan yang

dimaksud. Apabila Peraturan Daerah atau Peraturan Kepala Daerah tetap

dilaksanakan melebihi waktu satu minggu sejak putusan pembatalan, daerah yang

bersangkutan harus bertanggungjawab untuk memulihkan segala hak dan kerugian

yang timbul akibat penundaan pelaksanaan pembatalan tersebut.126

Berkenaan dengan hal pencabutan dan tidak berlakunya suatu peraturan

perundangan, Soehino SH mengemukakan bahwa berlakunya Undang-undang

(Peraturan lainnya) adalah :127

- Untuk jangka waktu tertentu

- Sampai jangka waktu tidak tertentu meskipun tidak dinyatakan

125 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Mengakkan Konstitusi, Op.Cit, hal. 241126 Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, FH UII Press, Yogyakarta, 2009, hal. 157127 Soehino, Hukum Tata Negara Teknik Perundang-undangan, Liberty, Yogyakarta: 1981,

hal. 106

Page 103: SKRIPSI Jimmy Hartono

103

- Sampai peraturan itu dinyatakan tidak berlaku

- Sampai peraturan itu dicabut.

Terkait dengan hal pembatalan Perda, yang perlu diperhatikan disini adalah

perbedaan kata “dibatalkan” dan kata “dicabut”. Kata “dibatalkan” berarti pembatalan

suatu peraturan untuk di berlakukan secara umum sehingga tidak mempunyai

kekuatan hukum. Namun, dengan dibatalkannya peraturan tersebut, tidaklah secara

otomatis juga telah tercabut. Peraturan tersebut walaupun sudah dibatalkan namun

selama belum di cabut, maka peraturan yang sudah tidak mempunyai kedayagunaan

tersebut dipandang masih tetap ada dan tidak boleh dibuatkan peraturan pengganti

yang berkenaan dengan substansi isi materinya. Misalnya, Perda tentang kebersihan

yang sudah dibatalkan oleh Pemerintah, maka pihak Pemerintahan Daerah tidak boleh

membuatkan Perda yang baru tentang kebersihan sebelum mencabut Perda yang

sudah dibatalkan.

Dalam tinjauan normatif dari Perma No. 1 Tahun 2004 ditemukan bahwa

Perda atau peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang lainnya hanya

dapat diajukan permohonan keberatan (pengujian) kepada Mahkamah Agung paling

lambat sebelum 180 (seratus delapan puluh) hari pengundangan peraturan tersebut.

Batasan waktu ini tentu berimplikasi terhadap terbatasnya hak warga negara untuk

mengajukan permohonan pengujian peraturan yang dianggap bermasalah dikemudian

hari setelah 180 hari yang dibatasi oleh Mahkamah Agung tersebut. Tidak jelas benar

Page 104: SKRIPSI Jimmy Hartono

104

dari mana asal muasal batas waktu 180 tersebut, dan mengapa tidak lebih cepat atau

lebih lambat dari 180 hari juga tidak ada seleksi waktu yang dapat dimengerti secara

rasional, karena bila syarat untuk mengajukan permohonan keberatan terhadap

berlakunya suatu perda adalah anggapan kerugian publik dari pemohon, maka potensi

kerugian publik itu tidak bisa dibatasi waktunya. Bisa saja, misalnya perda yang

sudah berlaku selama satu tahun dianggap tidak bermasalah oleh masyarakat,

kemudian dua atau tiga tahun atau beberapa tahun setelah berlakunya perda tersebut

baru menimbulkan masalah sosial, sehingga bila hal tersebut terjadi maka masyarakat

kehilangan hak untuk mengajukan permohonan karena dipangkas oleh aturan yang

dibuat oleh Mahkamah Agung secara sepihak.128

Salah satu kelemahan lagi dari Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji

Materil oleh Mahkamah Agung adalah tidak diaturnya batas waktu proses pengujian

peraturan perundang-undangan, termasuk perda, oleh Mahkamah Agung. Misalnya

kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan berapa lama

waktu maskimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa perkara

pengujian peraturan. Ketiadaan pengaturan batas waktu proses itu sangat ironis

mengingat dalam Perma tersebut Mahkamah Agung malah membatasi waktu hak

128 Peraturan Mahkamah Agung (Perma) adalah aturan yang dibuat sendiri oleh MahkamahAgung untuk menjadi pedoman pelaksanaan fungsi kelembagaan. Pembentukan Perma lepas daripartisipasi publik, sehingga kemudian ada dorongan agar peraturan tentang hukum acara pengujianperaturan perundang-undangan oleh Mahkamah Agung seharusnya dibentuk dalam wujud Undang-undang supaya publik dapat terlibat dalam mempengaruhi perumusannya.

10 Lihat pasal 145 ayat (1) UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah

Page 105: SKRIPSI Jimmy Hartono

105

warga negara untuk menyampaikan permohonan keberatan. Ketiadaan batas waktu

pengujian oleh Mahkamah Agung, apalagi ditengah menumpuknya perkara kasasi di

Mahkamah Agung berpotensi membuat perda yang sedang diuji terkatung-katung

pelaksanaannya di daerah karena pengujian yang lama. Selain itu Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004 tidak terdapat rumusan pengaturan ruang

bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses pengujian peraturan

perundang-undangan oleh Mahkamah Agung. Terlihat Peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 Tahun 2004 dalam proses pengujian oleh Mahkamah Agung bersifat

tertutup, sedangkan objek yang sedang disengketakan adalah objek yang terkait

dengan kepentingan publik, yaitu suatu peraturan (regeling) yang berlaku umum di

masyarakat. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan evaluasi terhadap Peraturan

Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2004, tentang Hak Uji Materil, dalam menguji

Peraturan Daerah.129

129http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&Itemid=13 (terakhir kali dikunjungi ggal 27 juni 2011 pukul 19.00)

Page 106: SKRIPSI Jimmy Hartono

106

BAB IV

BENTUK IDEAL KEWENANGAN PEMBATALAN PERATURAN DAERAH

(PERDA)

Berdasarkan permasalahan yang timbul dalam mekanisme pembatalan

Peraturan Daerah pada bab III, berikut akan diuraikan mengenai bentuk ideal

kewenangan pembatalan Peraturan Daerah.

1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan yang Tumpang Tindih Antara

Pemerintah dan Mahkamah Agung.

Perda adalah peraturan terendah dalam hierarki peraturan perundang-

undangan yang memiliki materi muatan yang paling banyak & memiliki tingkat

fleksibilitas yang sempit karena harus sejalan dengan peraturan perundang-undangan

yang berada diatasnya. Ini dapat dipahami dari sudut pandang pendekatan Stufenbau

des Recht yang diutarakan Hans Kelsen, bahwa hukum positif (peraturan)

dikonstruksikan berjenjang dan berlapis-lapis, peraturan yang rendah bersumber dari

dan tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi, yang kemudian kita

kenal dengan asas lex superior derogat legi in feriori.130

Sebagaimana konsekuensi dipertegasnya prinsip pemisahan kekuasaan

eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam naskah perubahan pertama UUD 1945 maka

130 Teori Hans Kelsen tentang Hukum, www.jimly.com.

Page 107: SKRIPSI Jimmy Hartono

107

produk legislatif daerah ini dapat saja bertentangan dengan produk eksekutif tingkat

pusat. Misalnya, apabila suatu materi Perda Propinsi atau Perda kabupaten/Kota yang

telah ditetapkan secara sah ternyata bertentangan isinya dengan peraturan Menteri

ditingkat pusat, maka pengadilan haruslah menentukan bahwa Perda itulah yang

berlaku sepanjang untuk daerahnya.131

Menghadapi maraknya euphoria otonomi daerah pada saat sekarang, semakin

relevan peran hak uji formil yang dimiliki MA untuk mengawasi pembentukan

peraturan daerah (Perda) yang bercorak penyalahgunaan kekuasaan oleh penguasa

daerah. Oleh karena itu pada saat sekarang, peran MA melakukan surveillance

terhadap tindakan unconstitusional melalui hak uji formil atas pembentukan peraturan

perundang-undangan benar-benar sangat dibutuhkan, agar rakyat yang berada

dibawah daerah otonom terlindungi dari tindakan kesewenang-wenangan penguasa

daerah.132 Mengingat Peraturan Daerah adalah merupakan produk politis maka

kebijakan daerah yang bersifat politis dapat berpengaruh terhadap substansi Peraturan

Daerah. Oleh karena itu, perlu dipertimbangkan kebijakan politis tersebut tidak

menimbulkan gejolak dalam masyarakat.

Jika suatu Peraturan Daerah sebagai produk politik diuji dan dibatalkan oleh

lembaga politik melalui mekanisme yang juga politik dengan Peraturan Presiden,

berarti partai politik akan dihadapi oleh partai politik. Proses politik yang sudah

131 Bagir Manan, Teori dan politk konstitusi, FH UII Press, Yogyakarta:2004, hal. 279-280132 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan

Kembali Perkara Perdata, Op.Cit, hal. 105

Page 108: SKRIPSI Jimmy Hartono

108

selesai ditingkat daerah, dilanjutkan oleh proses politik ditingkat Pusat. Jika

Pemerintah Pusat dikuasai Oleh partai A, sedangkan pemerintahan disuatu daerah

dikuasai oleh partai B yang saling bertentangan satu sama lain, maka besar

kemungkinan Peraturan daerah sebagai produk politik di daerah yang bersangkutan

akan mudah dibatalkan oleh pemerintah yang dikuasai lawan politiknya.

Didalam sistem demokrasi perwakilan dan demokrasi langsung yang

diterapkan untuk mengisi jabatan-jabatan dilembaga legislatif dan eksekutif, peranan

partai politik sangat menonjol. Dengan demikian, Undang-undang dan Peraturan

Daerah sama-sama merupakan produk politik yang mencerminkan pergulatan

kepentingan diantara cabang-cabang kekuasaan legislative dan eksekutif, baik

ditingkat daerah maupun pusat, tidak boleh dinilai atau diuji oleh sesama lembaga

politik. Pengujian Undang-undang dan Peraturan Daerah itu harus dilakukan melalui

mekanisme “judicial review” dengan melibatkan peranan hakim yang objektif dan

imparsial sebagai pihak ketiga.133

Jika dibiarkan suatu Peraturan Daerah yang telah berlaku mengikat untuk

umum yang ditetapkan oleh para politikus yang duduk dilembaga eksekutif dan

legislatif ditingkat pemerintahan bawahan,dibatalkan lagi oleh politikus yang duduk

dilembaga eksekutif tingkat pemerintahan atasan, berarti Peratuan Daerah dibatalkan

133 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, Op.Cit, hal.290

Page 109: SKRIPSI Jimmy Hartono

109

hanya atas dasar pertimbangan politik belaka. Hal demikian itu sama saja dengan

membenarkan bahwa supremasi hukum ditundukkan dibawah supremasi politik.134

Dalam suatu Negara hukum, tata kehidupan berbangsa dan bernegara haruslah

berpedoman pada norma-norma hukum. Dalam rangka menegakkan dan menjamin

berjalannya aturan-aturan hukum seperti yang diharapkan diperlukan adanya

kekuasaan kehakiman yang kuat dan Mandiri. kekuasaan Kehakiman (judicatve

Power) ini bertugas untuk menegakkan dan mengawasi berlakunya peraturan

perundang-undangan yang ada.135

Adapun objek dan sasaran hak uji yang diperankan MA maupun MK

diarahkan terhadap tindakan penguasa atau pemerintah atas pembuatan peraturan

perundang-undangan. Dengan demikian, peran dan fungsi hak menguji yang

diberikan konstitusi kepada MA dan MK, sasaran dan tujuannya untuk melakukan

pengawasan terhadap tindakan pemerintah agar tidak menerbitkan ketentuan-

ketentuan peraturan perundang-undangan yang merugikan kepentingan

masyarakat.136

Selain itu, mengikutsertakan Mahkamah Agung melaksanakan pengawasan

represif atas Perda mengandung segi-segi positif. Pertama, membatasi wewenang

Pejabat Administrasi Negara yang lebih tinggi tingkatannya, untuk mencampuri

134 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Kerja sama Konstitusi Press dengan PTSyaamil Cipta Media, 2006, hal. 109

135 Bambang Sutiyoso, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Citra AdityaBakti, Bandung: 2006, Hal. 5

136 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 97

Page 110: SKRIPSI Jimmy Hartono

110

pelaksanaan wewenang, tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah yang lebih

rendah. Kedua, putusan diambil alih sebuah badan netral yang tidak mungkin

mempunyai kepentingan atas pembatalan atau penolakan pembatalan suatu keputusan

pemerintah daerah. Ketiga, pertimbangan- pertimbangan sebagai dasar putusan

semata-mata berdasarkan pertimbangan hukum yang lebih menjamin obyektifitas isi

suatu putusan.137

2. Kejelasan Alasan Substansial Pembatalan Peraturan Daerah.

Dalam pengujian Perda oleh Pemerintah (executive review), standar pengujian

berupa bertentangan dengan kepentingan umum hendaknya hanya diartikan sebagai

kepentingan umum lokal (daerah) bukan Nasional karena cakupan kepentingan umum

sangatlah luas lagipula ruang lingkup Peraturan Daerah tersebut hanya mencakup

pada daerah diberlakukannya peraturan tersebut. Dan alat ukur yang dipakai

Pemerintah Pusat dalam hal menafsirkan bertentangan tidaknya suatu Perda dengan

kepentingan umum hendaknya ditentukan lebih spesifik agar penafsiran terhadap

substansi Peraturan Daerah tersebut tepat mengingat terdapat corak masyarakat yang

majemuk dan pluralistik.

Standar uji terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi haruslah

memperhatikan aspek peraturan perundang-undangan yang tersusun secara hierarkis

137 Bagir Manan, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka SinarHarapan, Jakarta: 1994, hal. 185

Page 111: SKRIPSI Jimmy Hartono

111

karena review tidak bisa dioperasionalkan tanpa adanya peraturan perundang-

undangan yang tersusun secara hierarkis dan sistematis. Oleh karena itu penting

adanya hubungan harmonisasi antara berbagai peraturan perundang-undangan

mengingat banyaknya peraturan yang ada..

Mengenai wewenang Mahkamah Agung yang hanya menyatakan bahwa suatu

peraturan perundang-undangan dibawah undang-undang itu tidak sah karena

bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang ada diatasnya, dan

memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan untuk segera mencabut peraturan

itu perlu dikaji lebih lanjut karena Mahkamah Agung tidak berwenang mencabut

suatu peraturan, hanya terbatas pada menyatakan batal bukan ikut mencabut. Besar

kemungkinan suatu lembaga yang diperintahkan Mahkamah Agung untuk mencabut

Peraturan tersebut tidak melaksanakan pencabutan sebagaimana yang telah

diperintahkan atau malah tetap menjalankan Peraturan tersebut dengan menarik

keuntungan. Hal ini dapat menimbulkan konsekuensi yang merugikan masyarakat

karena apa yang ditetapkan oleh lembaga pengadilan tidak dilaksanakan sebagaimana

mestinya.

Menurut Bagir Manan, mengingat Perda (termasuk Peraturan Desa) dibuat

oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dilingkungan wewenang yang

mandiri pula, maka pengujiannya terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih

tinggi tidak boleh semata-mata berdasarkan pertingkatan, melainkan juga pada

Page 112: SKRIPSI Jimmy Hartono

112

lingkungan wewenangnya. Suatu Perda yang bertentangan dengan suatu peraturan

perundang-undangan tingkat lebih tinggi (kecuali UUD) belum tentu salah, kalau

ternyata peraturan perundang-undangan tingkat tinggi yang melanggar hak dan

kewajiban daerah yang dijamin UUD atau UU Pemerintahan Daerah.138

Dalam Pembentukan Peraturan Daerah paling sedikit harus memuat 3 (tiga)

landasan yaitu:

Landasan filosofis, adalah landasan yang berkaitan dengan dasar atau

ideologi Negara;

Landasan sosiologis, adalah landasan yang berkaitan dengan kondisi atau

kenyataan empiris yang hidup dalam masyarakat, dapat berupa kebutuhan

atau tuntutan yang dihadapi oleh masyarakat, kecenderungan, dan harapan

masyarakat; dan

Landasan yuridis, adalah landasan yang berkaitan dengan kewenangan

untuk membentuk, kesesuaian antara jenis dan materi muatan, tata cara

atau prosedur tertentu, dan tidak bertentangan dengan peraturan

perundang-undangan yang lebih tinggi.

Selaku pemegang kekuasaan pemerintahan, Presiden seharusnya tidak bisa

membatalkan Perda, apalagi dalam praktiknya dilakukan oleh Menteri Dalam Negeri.

Untuk itu pemerintah bisa menjadi pemohon pembatalan Perda. karena Pembatalan

138 Bagir Manan, Teori dan politk konstitusi,FH UII Press, Yogyakarta:2004, hal. 142

Page 113: SKRIPSI Jimmy Hartono

113

adalah tindakan yang bermakna yuridis. Membatalkan Perda sudah masuk kualifikasi

kegiatan yudisial, sehingga tidak selayaknya dilakukan eksekutif. Itu sebabnya,

kewenangan pembatalan Perda perlu dikembalikan kepada Mahkamah Agung.

Meskipun demikian, bukan berarti eksekutif tidak bisa menjalankan fungsi

pengawasan terhadap Perda. Menurut Ni’matul Huda, Pemerintah masih bisa

melakukan pengawasan ketika masih berbentuk Rancangan Peraturan Daerah

(Ranperda). Jadi, Pemerintah bisa melakukan executive preview.

Mengingat masih banyaknya Perda yang dibatalkan oleh Pemerintah Pusat

dengan alasan bertentangan dengan kepentingan umum atau peraturan yang lebih

tinggi, maka langkah yang seharusnya ditempuh Pemerintah sebelum melaksanakan

pengawasan represif memang sebaiknya melakukan pembinaan (evaluasi) kepada

daerah, khususnya pembuatan Perda secara berkelanjutan, Raperda yang kurang tepat

segera dikembalikan untuk direvisi dimana Semua Perda di luar pembentukan APBD,

dikaji secara komprehensif dan integral dengan naskah akademik yang disusun

berdasarkan "library and field research", dengan mengkaji secara cermat aspek

filosofis, sosialiogis, juridis dan ekonomis. Kemudian tahapan utama agar perda itu

benar-benar optimal dan tidak melanggar ketentuan lainnya, lakukan uji sahih naskah

akademik dengan pemangku kepentingan (stakeholder), dan ditentukan dalam bentuk

Page 114: SKRIPSI Jimmy Hartono

114

rancangan perda.139Sehingga kemungkinan adanya kesalahan dalam pembuatan Perda

dapat diminimalisir sejauh mungkin.140

Disamping “abstract review” mekanisme kontrol norma juga dapat dilakukan

melalui prosedur “abstract preview”, yaitu kontrol yang dilakukan sebelum norma

hukum yang bersangkutan mengikat untuk umum. Misalnya suatu rancangan Perda

disahkan oleh Parlemen tetapi sebelum diundangkan sebagaimana mestinya,

pemerintah atasan diberikan kewenangan menguji, menilai atau bahkan menolak

pengesahan pemerintah bawahan. Mekanisme demikian disebut sebagai “executive

abstract preview” oleh pemerintah atasan.141

Kewenangan untuk melakukan “executive abstract preview” itulah yang

sebaiknya diberikan kepada pemerintah atasan, bukan mekanisme review atas

Peraturan Daerah yang sudah berlaku mengikat umum. Jika suatu peraturan yang

dibentuk oleh lembaga eksekutif dan legislative yang sama-sama dipilih oleh rakyat

melalui pemilihan umum dibatalkan hanya oleh pejabat eksekutif tingkat atas, berati

prinsip Negara kesatuan dijadikan dalih untuk mengebiri aspirasi rakyat dengan

tindakan yang semata-mata didasarkan pertimbangan politik. Oleh karena

itu,terhadap Peraturan daerah sebagai produk legislasi di daerah, sebaiknya hanya di

Preview oleh pemerintahan atasan apabila statusnya masih sebagai rancangan

139 http://manado.tribunnews.com/2011/02/26/banyak-perda-dibatalkan-karena-tak-lewati-kajian

140 Ni’matul Huda, Op.Cit, hal. 143141 Jimly Asshiddiqie, Perihal Undang-undang, Kerja sama Konstitusi Press dengan PT

Syaamil Cipta Media, 2006, hal. 107

Page 115: SKRIPSI Jimmy Hartono

115

Peraturan Daerah yang belum mengikat untuk umum. Jika Peraturan Daerah itu sudah

mengikat untuk umum, maka sebaiknya yang mengujinya adalah lembaga peradilan

sebagai pihak ketiga yang sama sekali tidak terlibat dalam proses pembentukan

Peraturan Daerah yang bersangkutan.

3. Perbaikan Aspek Teknis Prosedur Pembatalan Peraturan Daerah.

Mengingat banyaknya satuan pemerintahan Daerah dan banyaknya keputusan

tingkat daerah, tampaknya pengawasan represif akan sulit dilakukan dengan

sempurna. Hal ini dapat diketahui dari pembatasan waktu bagi Perda dan keputusan

Kepala Daerah untuk disampaikan kepada pemerintah selambat-lambatnya 7 (tujuh)

hari setelah ditetapkan. Kemudian pembatalan Perda dilakukan paling lama 60 (enam

puluh) hari sejak Perda diterima. Selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah keputusan

pembatalan Perda, Kepala Daerah harus memberhentikan pelaksanaan Perda dan

selanjutnya DPRD bersama Kepala Daerah mencabut Perda dimaksud.142

Demi mewujudkan kepastian hukum, Seharusnya dengan dinyatakan bahwa

suatu peraturan perundang-undangan itu tidak sah dan tidak berlaku untuk umum,

maka secara diam-diam dan otomatis peraturan itu sudah dicabut secara tidak

langsung oleh instansi yang bersangkutan melalui Keputusan Mahkamah Agung.

Dengan begitu, dicabut atau tidaknya peraturan yang dikeluarkan oleh instansi yang

142 Ni’matul Huda, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan Problematika),Pustaka Pelajar, Yogyakarta: 2005, hal. 267

Page 116: SKRIPSI Jimmy Hartono

116

berwenang tidak membawa pengaruh apa-apa. Tetapi memang dalam peraturan yang

nanti datang mengatur persoalan sejenis, dinyatakan bahwa peraturan yang lama

dicabut dengan catatan terhitung semenjak ditetapkannya Keputusan Mahkamah

Agung yang isinya bahwa peraturan yang bersangkutan tidak sah.143

Penegasan didalam pasal 185 ayat (5) dan pasal 186 ayat (5) UU No.32 Tahun

2004 yang memberi kewenangan kepada Menteri Dalam Negeri untuk membatalkan

Perda tentang APBD dan Peraturan Gubernur tentang penjabaran APBD dan

Gubernur untuk membatalkan Perda tentang APBD dan peraturan bupati/walikota

tentang penjabaran APBD, bertentangan dengan ketentuan dalam Pasal 145 ayat (3)

UU No.32 Tahun 2004. Karena menurut Pasal 145 ayat (2) yang berwenang

membatalkan Perda adalah Pemerintah. Kemudian menurut pasal 145 ayat (3)

keputusan Pembatalan Perda ditetapkan dengan Peraturan presiden. Dengan demikian

dapat disimpulkan yang berwenang membatalkan Perda adalah Presiden. Tidak

mungkin Menteri Dalam Negeri apalagi gubernur membatalkan Perda tetapi

ditetapkan dengan Peraturan Presiden. Seharusnya Menteri dalam negeri

mengusulkan pembatalan perda tentang APBD dan Peraturan gubernur tentang

penjabaran APBD kepada presiden dan gubernur mengusulkan pembatalan Perda

tentang APBD dan Peraturan Bupati/Walikota tentang penjabaran APBD kepada

Presiden melalui Menteri Dalam Negeri.144

143 Samsul Wahidin, Loc.Cit144 Ni’matul Huda, Op.Cit, hal. 133

Page 117: SKRIPSI Jimmy Hartono

117

Ke depan, sebaiknya pengawasan yang dilakukan Pemerintah berupa

pengawasan preventif dengan ruang lingkup terbatas, sedangkan pengawasan represif

harus dilakukan oleh lembaga yudisial. Penerapan mekanisme tersebut juga dikaitkan

dengan dasar pemikiran indnesia adalah Negara kesatuan (unitary state), sehingga

dinilai rasional apabila Pemerintah Pusat sebagai Pemerintahan atasan diberi

kewenagan mengendalikan sistem hukum dilingkungan pemerintahan daerah. Akan

tetapi, tidaklah rasional apabila Pemerintah Pusat dianggap tidak berwenang

melakukan tindakan untuk mengatur dan mengendalikan pembentukan Peraturan

Daerah yang tidak sejalan dengan maksud diadakannya mekanisme pembentukan

Peraturan Daerah itu sendiri oleh Pemerintahan daerah provinsi, kabupaten dan kota

seluruh Indonesia. Sepanjang untuk kepentingan nasional yang objektif, mengapa

pemerintah pusat tidak dapat melakukan kontrol dan pembinaan kepada unit-unit

pemerintah daerah ? Atas dasar pemikiran itulah maka pemerintah Pusat diberi

kewenangan untuk membatalkan Peraturan Daerah dengan peraturan Presiden.145

Evaluasi Perda oleh Mahkamah Agung juga perlu dirubah terkait tidak

jelasnya kapan dan berapa lama waktu penunjukan majelis hakim dilakukan dan

berapa lama waktu maksimal yang dapat digunakan majelis hakim untuk memeriksa

perkara pengujian peraturan. Lamanya proses evaluasi Perda oleh Mahkamah Agung

ini akan berimplikasi pada terabainya kepastian hukum penerapan Perda di daerah

145 Ni’matul Huda, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press,Yogyakarta:2010, hal. 288

Page 118: SKRIPSI Jimmy Hartono

118

dimana Ketika Mahkamah Agung belum membuat Keputusan apakah Perda

bertentangan atau tidak dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi

ataupun kepentingan umum. Hendaknya dalam Perma No.1 Tahun 2004 dijelaskan

hal-hal tersebut demi terciptanya kepastian hukum bagi masyarakat yang mengajukan

permohonan kepada Mahkamah Agung. Selain itu, Perma No 1 Tahun 2004 juga

tidak merumuskan ruang bagi masyarakat untuk dapat mengawasi jalannya proses

pengujian oleh Mahkamah Agung. Transparansi dibutuhkan dalam proses pengujian

Peraturan Daerah di Mahkamah Agung agar masyarakat ataupun pemohon

perseorangan dapat menyaksikan dan mengajukan keberatan ataupun sanggahan

sebelum dijatuhkannya putusan oleh hakim.

Page 119: SKRIPSI Jimmy Hartono

119

BAB V

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah penulis uraikan diatas,

maka sampailah kita pada kesimpulan dari hasil penelitian ini :

1. Wewenang pembatalan Peraturan Daerah menurut peraturan perundang-

undangan yang berlaku di Indonesia berada pada Pemerintah melalui executif

review dan Mahkamah Agung melalui judicial review. Dalam rangka

pengawasan terhadap regulasi yang dikeluarkan oleh daerah maka Pemerintah

Pusat diberi kewenangan mengawasi produk hukum daerah dalam bentuk

executif review berdasarkan UU No.32 Tahun 2004 Tentang PEMDA dan

pengawasan oleh lembaga peradilan yaitu melalui Mahkamah Agung dalam

bentuk judicial review berlandaskan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945, Pasal 7 UU

No.10 Tahun 2004, Pasal 20 ayat (2) UU No.48 tahun 2009 Tentang

Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 31 UU No.3 Tahun 2009 Tentang MA.

2. Pemberian wewenang yang sama pada dua lembaga negara yang berbeda

dapat menimbulkan dualisme kewenangan yang menimbulkan konflik

kepentingan dan juga menimbulkan masalah hukum terkait disharmoni dan

Page 120: SKRIPSI Jimmy Hartono

120

tumpang tindih peraturan, ketidakjelasan alasan substansial pembatalan Perda

dan sistem ataupun prosedur beracara yang tidak tertata dengan baik dan jelas.

3. Perlu adanya suatu pembenahan terkait pembatalan terhadap Perda berupa

harmonisasi peraturan perundang-undangan agar tercipta keserasian dan

konsistensi antar peraturan yang satu dengan yang lain, Kejelasan alasan

substansi pembatalan Perda agar terhindar dari interpretasi sepihak yang

merugikan masyarakat dan pembenahan aspek prosedur pembatalan Perda

kearah yang lebih transparan dan kesesuaian penetapan waktu pengajuan

permohonan pengujian maupun pelaksanaan pencabutan Perda yang

mendapatkan putusan serta sanksi ataupun akibat hukum yang meyertai

pembatalan Perda tersebut.

Page 121: SKRIPSI Jimmy Hartono

121

B. SARAN

1. Dalam keadaan demikian perlu dilakukan review terhadap ketentuan UU

No. 32 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan adanya excecutive

review Peraturan Daerah karena tumpang tindih dengan peraturan

perundang-undangan lainnya. Dan hendaknya Wewenang Pembatalan

Perda sepenuhnya diberikan kepada Mahkamah Agung sebagai lembaga

pelaksana peradilan yang mengawasi gerak dari Pemerintah selaku

pelaksana pemerintahan.

2. Alasan Pembatalan Peraturan Daerah hendaknya mempunyai kerangka

acuan dan batasan yang jelas agar tidak terjadi penafsiran sepihak

mengingat wilayah Indonesia yang majemuk dan pluralistik.

3. Perlunya pembenahan dalam proses beracara dalam pengujian Perda pada

Mahkamah Agung terkait transparansi proses pengujian, kesesuaian jangka

waktu yang lebih sistematis agar pemohon ataupun masyarakat umum tidak

dirugikan. Terkait terhadap kewenangan menguji hendaknya hanya bersifat

preventif yaitu sebelum disahkannya Peraturan Daerah.

Page 122: SKRIPSI Jimmy Hartono

122

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Abdul Rasyid Thalib, 2006, Wewenang Mahkamah Konstitusi dan Implikasinya

dalam Sistem Ketatanegaraan RI, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Aslim, Rasyad, 2005, Metode Ilmiah; Persiapan Bagi Peneliti, UNRI Press,

Pekanbaru.

Asshiddiqie, Jimly, 2010, Perihal Undang-Undang, Rajawali Pers, Jakarta.

_______________,2006, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, Sekretariat

Jenderal MK, Jakarta.

_______________, 2007, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi, PT Bhuana Ilmu Populer, Jakarta.

Burhan, Ashshofa, 1996, Metode Penelitian Hukum, PT. Rineka Cipta, Jakarta.

Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Direktorat Jendral Peraturan

Perundang-undangan Bekerja Sama Dengan United Nations, 2008, Panduan

Praktis Memahami Perancangan Peraturan Daerah, PROGRAMME

CAPPLER Project, Jakarta.

Fatkhurohman, 2004, Dian Aminudin, dan Sirajudin, Memahami Keberadaan

Mahkmah Konstitusi di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Fatmawati, 2006, Hak Menguji (Teotsingsrecht) Yang Dimilki Hakim Dalam Sistem

Hukum Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Page 123: SKRIPSI Jimmy Hartono

123

Gultom, Lodewijk, 2007, Eksistensi Mahkamah Konstitusi Dalam Struktur

Ketatanegaraan di Indonesia, CV. Utomo, Bandung.

Goesniadhie S, Kusnu, 2008, Harmonisasi Sistem Hukum Dalam Mewujudkan Tata

Pemerintahan Yang Baik, A3, Malang.

Halim, Hamzah dan Putera Kemal Redindo Syahrul, 2009, Cara Praktis Menyusun &

Merancang Peraturan Daerah ( Suatu Kajian Teoritis dan Praktis disertai

Manual), Kencana, Jakarta.

Haryono, Dodi, 2009, Buku Ajar Ilmu perundang-undangan, Pusbangdik. Pekanbaru.

Harahap, M. Yahya, 2008, Kekuasaan Mahkamah Agung Pemeriksaan Kasasi dan

Peninjauan Kembali Perkara Perdata, Sinar Grafika, Jakarta.

Huda, Ni’matul, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada,

Jakarta.

_____________, 2010, Problematika Pembatalan Peraturan Daerah, FH UII Press.

Yogyakarta

______________,2005, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan

Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta:

_______________,2005, Otonomi Daerah (Filosofi, Sejarah Perkembangan dan

Problematika), Pustaka Pelajar, Yogyakarta.

Kansil, C.S.T dan Christine S.T. Kansil, 2009, Hukum Tata Negara Di Indonesia

Untuk Perguruan Tinggi, Sinar Grafika, Jakarta.

Manan, Bagir dan Kuntana Magnar, 1997, Beberapa Masalah hukum Tata Negara

Indonesia, Alumni, Jakarta.

Page 124: SKRIPSI Jimmy Hartono

124

__________, 2004, Teori dan politk konstitusi,FH UII Press, Yogyakarta.

__________,1994, Hubungan Antara Pusat dan daerah Menurut UUD 1945, Pustaka

Sinar Harapan, Jakarta.

Maria Farida Indrati Soeprapto, 2006, Ilmu Perundang-undangan, Dasar dan

Pembentukannya, Kanisius, Yogyakarta.

Mahfud MD, Moh, 2006, Membangun Politik Hukum, Mengakkan Konstitusi,

LP3ES, Jakarta.

Marbun, S.F. 2001, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, UII Press,

Yogyakarta.

Modeong, Supardan, 2005, Teknik Perundang-undangan, PT. Perca, Jakarta.

Radjab, Dasril, 2005 Hukum Tata Negara Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Rahimullah, 2007, Hubungan Antar Lembaganegara Versi Amandemen UUD 1945,

PT. Gramedia, Jakarta.

Ridwan, Hukum Administrasi Di Daerah, 2009, FH UII Press, Yogyakarta.

Rosyada, Ikhsan Parluhutan Daulay, 2006, Mahkamah Konstitusi, Memahami

Keberadaannya Dalam Sistem Ketatanegaraan Republik Indonesia, PT

Rineka Cipta, Jakarta.

Sabarno, Hari, 2008, Memandu Otonomi Daerah Menjaga Kesatuan Bangsa, Sinar

Grafika, Jakarta.

Soemantri, Sri, 1997, Hak Uji Material di Indonesia, Alumni, Bandung.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan

Singkat, PT. Raja Grafindo, Jakarta.

Page 125: SKRIPSI Jimmy Hartono

125

_____________,1983, Pengantar Penelitian Hukum, UII Press, Jakarta.

Sunarno, Siswanto, 2008, Hukum Pemerintahan Daerah di Indonesia, Sinar Grafika,

Jakarta.

Suseno, Franz Magnis,1991, Etika Politik; Prinsip-Prinsip Moral Dasar Kenegaraan

Modern, Gramedia, Jakarta.

Sutiyoso, Bambang dan Sri Hastuti Puspitasari, 2006, Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.

______________,2003, Aspek-Aspek Perkembangan Kekuasaan Kehakiman di

Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Syafiie, Inu Kencana, 1994, Sistem Pemerintahan Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta.

Syarifin, Pipin dan jubaedah Dedah, 2006, Pemerintahan Daerah Di Indonesia,

Pustaka Setia, Bandung.

Thaib, Dahlan, 1999, Kedaulatan Rakyat, Negara Hukum dan Konstitusi, Liberty,

Yogyakarta.

Wastiono, Sadu, Indrayani Etin dan Pitono Andi, 2006, Memahami Tugas

Pembantuan (Pandangan Legalistik, Teoretik dan Implementatif),

Fokusmedia, Bandung.

Wahidin, Samsul, 1984, Hak Menguji Materil menurut UUD 1945, Cendana Press,

Jakarta.

Page 126: SKRIPSI Jimmy Hartono

126

JURNAL

Mahendra A.A.Oka, 2006, ”Mekanisme Penyusunan dan Pengelolaan Program

Legislasi Daerah”, Jurnal Legislasi Indonesia, Jakarta.

Patlis, Jason M., T. H. Purwaka, A. Wiyana, G. H. Perdanahardja (eds.), 2005,

“Menuju Harmonisasi Sistem Hukum Sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah

Pesisir Indonesia” Seri Inisiatif Harmonisasi Sistem Hukum Pengelolaan

Wilayah Pesisir Indonesia, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional,

Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM

bekerjasama dengan Coastal Resources Management Project II (USAID),

Jakarta.

KAMUS

Kamus Besar Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan, Balai Pustaka.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-

Undangan.

Page 127: SKRIPSI Jimmy Hartono

127

WEBSITE

http://fh.wisnuwardhana.ac.id/index.php?option=com_content&task=view&id=39&It

emid=13

http://www.google.co.id/#hl=id&source=hp&biw=1272&bih=523&q=kewenangan+l

embaga++negara+dalam+membatalkan+perda&aq=f&aqi=&aql=&oq=&fp=2b

0dd2da61f4fbd4

http://hukumonline.com/berita/baca/lt4d75ab0a2245a/kembalikan-wewenang-uji-

materi-perda-ke-mahkamah-agung

http://www.leip.or.id/

http://cornerhukum.wordpress.com/2010/03/24/hak-menguji-material

http://bs-ba.facebook.com/topic.php?uid=68003490816&topic=12308

www.legalitas.org

http://irwanprayitno.info/berita/aktual/1296622423-bantu-pemda-tekan-kerugian-

negara.html

http://sekretariat-bks-pps.blogspot.com/2011_02_20_archive.html

www.jimly.com.

Page 128: SKRIPSI Jimmy Hartono

128