BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Pengobatan sendiri dengan antibiotika yang semakin luas telah menjadi masalah yang penting di seluruh dunia. Salah satunya adalah terjadinya peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika (1) . Hal ini mengakibatkan pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas pasien dan meningkatnya biaya kesehatan pasien. Dampak tersebut harus ditanggulangi secara efektif sehingga perlu diperhatikan prinsip penggunaan antibiotika harus sesuai indikasi penyakit, dosis, cara pemberian dengan interval waktu, lama pemberian, keefektifan, mutu, keamanan, dan harga. (2) Antibiotik adalah zat kimiawi dihasilkan mikroorganisme yang mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh mikroorganisme lain (3) . Konsumsi antibiotik yang tidak tuntas dapat menyebabkan resistensi kuman. Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel mikroorganisme oleh antibiotik (4) . Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui hal ini sehingga terkadang menghentikan konsumsi antibiotik saat gejala penyakit sudah hilang padahal belum sesuai durasi yang dianjurkan, atau 1
tugas koas ikm untuk skripsi dan tugas akhir, universitas
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Pengobatan sendiri dengan antibiotika yang semakin luas telah menjadi
masalah yang penting di seluruh dunia. Salah satunya adalah terjadinya
peningkatan resistensi kuman terhadap antibiotika(1). Hal ini mengakibatkan
pengobatan menjadi tidak efektif, peningkatan morbiditas maupun mortalitas
pasien dan meningkatnya biaya kesehatan pasien. Dampak tersebut harus
ditanggulangi secara efektif sehingga perlu diperhatikan prinsip penggunaan
antibiotika harus sesuai indikasi penyakit, dosis, cara pemberian dengan interval
waktu, lama pemberian, keefektifan, mutu, keamanan, dan harga.(2)
Antibiotik adalah zat kimiawi dihasilkan mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain(3). Konsumsi antibiotik yang tidak tuntas dapat menyebabkan
resistensi kuman. Resistensi adalah suatu sifat tidak terganggunya kehidupan sel
mikroorganisme oleh antibiotik(4). Kebanyakan masyarakat tidak mengetahui hal
ini sehingga terkadang menghentikan konsumsi antibiotik saat gejala penyakit
sudah hilang padahal belum sesuai durasi yang dianjurkan, atau mengonsumsi
antibiotik dengan tidak teratur dan terputus-putus.
Penggunaan antibiotik dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti
pengetahuan dokter dan pasien tentang antibiotik, status ekonomi, masyarakat dan
kondisi karakteristik pelayanan system kesehatan, regulasi lingkungan di suatu
Negara. Antibiotik yang digunakan secara bebas tanpa resep dokter, sering
menyebabkan kesalahan dalam penggunaannya, antara lain sering tidak teratur
makan obat dan tidak menyelesaikan pengobatan, karena sudah merasa sembuh
atau tidak mampu membiayai pengobatan sampai selesai. Kondisi ini
menyebabkan tidak tuntasnya proses eradikasi bakteri, yang menyebabkan
terjadinya proses mutasi kuman, sehingga menjadi resisten terhadap antibiotik
tersebut. Jika pasien terinfeksi kembali oleh bakteri yang sama atau jika bakteri
tersebut menginfeksi individu yang lain, maka pengobatannya menjadi sulit.
1
Untuk mengatasi hal ini diperlukan antibiotik golongan lain, yang biasanya lebih
mahal(1).
Di Indonesia, kesalahan penggunaan antibiotik didukung oleh banyaknya
penjualan obat antibiotik yang termasuk golongan obat keras secara bebas.
Masyarakat masih dapat memperoleh obat keras secara bebas tanpa resep dokter
meskipun telah dilarang oleh undang-undang yang berlaku, yaitu Undang-undang
Obat Keras St. No. 419 tgl. 22 Desember 1949. Pada pasal 1 undang-undang
tersebut juga disebutkan yang dimaksud dengan obat keras adalah termasuk obat-
obatan yang mempunyai khasiat mendesinfeksikan tubuh manusia seperti
antibiotik(5).
Tingkat pengetahuan masyarakat dalam penggunaan antibiotik telah
diteliti di berbagai daerah. Penelitian yang dilakukan oleh Lim dan Teh (2012) di
Putrajaya, Malaysia, menyebutkan bahwa 83% responden tidak mengetahui
bahwa antibiotik tidak bekerja untuk melawan infeksi virus dan 82% responden
tidak mengetahui bahwa antibiotik tidak dapat mengobati batuk dan flu, sementara
82.5% responden terlihat sangat berhati-hati dengan penggunaan antibiotik yang
dapat menyebabkan alergi(6). Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa sekitar
setengah dari mereka (52,1%) tidak mengetahui bahwa antibiotik dapat
menimbulkan banyak efek samping(6). Beberapa pernyataan dari responden
diantaranya adalah tidak masalah menghentikan pemakaian antibiotik ketika
gejala telah membaik dan mengkonsumsi sedikit antibiotik dari yang diresepkan
dokter akan lebih sehat daripada mengkonsumsi seluruh antibiotik yang
diresepkan(6).
Penelitian yang dilakukan oleh Widayati dkk tahun 2012 di Yogyakarta,
menyatakan bahwa dari 559 responden, sejumlah 283 responden mampu
menyebutkan nama antibiotik dengan benar, sementara 276 responden mengaku
tidak mengenal antibiotik(7). Hasil penelitian tersebut juga menyatakan 85%
responden berhati-hati dengan penggunaan antibiotik yang dapat menyebabkan
resistensi. Responden mampu menjawab dengan benar bahwa antibiotik dapat
mengobati infeksi bakteri sebanyak 76%, sedangkan 70% menyebutkan orang-
orang dapat memiliki reaksi alergi terhadap penggunaan antibiotik, dan antibiotik
tidak harus segera digunakan ketika seseorang mengalami demam sebanyak
2
50%(7). Untuk tingkat pengetahuan responden mengenai antibiotik dinyatakan
bahwa sebanyak 70% responden tidak memiliki pengetahuan yang cukup tepat
mengenai kegunaan antibiotik pada infeksi virus. Sehingga, median dari skor
keseluruhan pengetahuan adalah 3 dari range 0-5. Sementara 31% responden
berada pada level yang rendah dari skor pengetahuan, 35% berada pada tingkat
moderate dari skor pengetahuan, dan 34% responden memiliki pengetahuan yang
adekuat(7).
Menurut pengalaman penulis, banyak kerabat dekat maupun tetangga dari
penulis yang cenderung tidak rasional dalam menggunakan obat antibiotik.
Pernyataan-pernyataan yang sering penulis dengar dari kerabat atau tetangga
penulis mengenai penggunaan obat antibiotik antara lain mereka berhenti
menggunakan antibiotik setelah tidak merasa sakit lagi atau mereka membeli obat
antibiotik sendiri tanpa peresepan dari dokter karena malas untuk pergi ke dokter.
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai tingkat
pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat mengenai penggunaan antibiotik di
kalangan masyarakat baik masyarakat menengah ke atas, maupun pada
masyarakat dengan kehidupan sosial ekonomi menengah ke bawah.
1.2. Rumusan masalah
Penggunaan antibiotik secara bebas tanpa resep dokter mengakibatkan
penggunaan yang tidak tepat indikasi, tidak tepat dosis, tidak tepat cara dan waktu
pemberiannya oleh pengguna. Hal ini menjadi salah satu faktor penyebab
meningkatnya resistensi kuman terhadap antibiotik. Oleh karena itu ingin
diketahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat terhadap
penggunaan antibiotik yang diperoleh secara bebas di kelurahan Tanjung
Merdeka.
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui tingkat pengetahuan sikap dan perilaku masyarakat
Kelurahan Tanjung Merdeka terhadap penggunaan antibiotik.
3
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
tentang penggunaan antibiotik berdasarkan tingkat pendidikan
b. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
tentang penggunaan antibiotik berdasarkan jenis kelamin
c. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
tentang penggunaan antibiotik berdasarkan umur.
d. Untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku masyarakat
tentang penggunaan antibiotik berdasarkan status ekonomi
1.4. Manfaat Penelitian
1. Bagi Masyarakat
Sebagai informasi kepada masyarakat mengapa penting untuk melakukan
pembatasan penggunaan antibiotik.
2. Bagi Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat menambah studi kepustakaan dan diharapkan dapat
menjadi bahan referensi untuk penelitian selanjutnya.
3. Bagi Peneliti
Sebagai sarana pembelajaran sehingga menambah pengetahuan dan wawasan
dalam melakukan penelitian dalam bidang kesehatan.
4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Tingkat Pengetahuan
2.1.1. Definisi
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengetahuan adalah segala
sesuatu yang diketahui; kepandaian, atau segala sesuatu yang diketahui berkenaan
dengan hal. Adapun tingkat pengetahuan tersebut:
a. Tahu (Know)
Tahu diartikan sebagai suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya.
Termasuk kedalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall)
terhadap sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan
yang telah diterima, oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang
paling rendah.
b. Memahami (Comprehension)
Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara
benar tentang objek yang diketahui dan dapat menginterpretasikan materi tersebut
secara benar. Orang yang telah paham tentang objek atau materi harus dapat
menjelaskan dan menyebutkan.
c. Aplikasi (Application)
Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang
telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat
diartikan sebagai aplikasi atau pengguna hukum-hukum, rumus, metode prinsip,
dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain.
d. Analisis (Analysis)
Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau objek
kedalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur organisasi,
dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e. Sintesis (Synthesis)
Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau
menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
5
Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi
baru dari formulasi-formulasi yang ada.
f. Evaluasi (Evaluation)
Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian itu berdasarkan
kriteria-kriteria yang ada(8).
2.1.2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Pengetahuan:
a. Usia
Usia adalah umur individu yang terhitung mulai saat dilahirkan sampai
saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat kematangan dan kekuatan
seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja(9).
b. Pendidikan
Pendidikan berarti bimbingan yang diberikan oleh seseorang terhadap
orang lain menuju ke arah suatu cita–cita tertentu, jadi dapat dikatakan bahwa
pendidikan itu menentukan manusia untuk berbuat dan mengisi kehidupannya
untuk mencapai keselamatan dan kebahagiaan. Semakin tinggi tingkat pendidikan
seseorang, semakin mudah menerima informasi sehingga semakin banyak pula
menerima pengetahuan yang dimilikinya(9).
c. Pekerjaan
Pekerjaan adalah keburukan yang harus dilakukan terutama untuk
menunjang kehidupan dan kehidupan keluargannya(9).
d. Sosial Ekonomi
Tingkat sosial ekonomi terlalu rendah sehingga tidak begitu
memperhatikan pesan-pesan yang disampaikan karena lebih memikirkan
kebutuhan-kebutuhan lain yang lebih mendesak(10).
Sumber pengetahuan manusia menurut Nursalam(9) :
a. Tradisi
Dengan adat istiadat kita dan profesi keperawatan beberapa pendapat
diterima sebagai sesuatu yang benar. Banyak pertanyaan terjawab dan banyak
6
permasalahan dapat dipecahkan berdasarkan suatu tradisi. Tradisi adalah suatu
dasar pengetahuan di mana setiap orang tidak dianjurkan untuk memulai mencoba
memecahkan masalah. Akan tetapi tradisi mungkin terdapat kendala untuk
kebutuhan manusia karena beberapa tradisi begitu melekat sehingga validitas,
manfaat, dan kebenarannya tidak pernah dicoba/diteliti.
b. Autoritas
Dalam masyarakat yang semakin majemuk adanya suatu autoritas
seseorang dengan keahlian tertentu, pasien memerlukan perawat atau dokter
dalam lingkup medik. Akan tetapi seperti halnya tradisi jika keahliannya
tergantung dari pengalaman pribadi sering pengetahuannya tidak teruji secara
ilmiah.
c. Pengalaman Seseorang
Kita semua memecahkan suatu permasalahan berdasarkan obsesi dan
pengalaman sebelumnya, dan ini merupakan pendekatan yang penting dan
bermanfaat. Kemampuan untuk menyimpulkan, mengetahui aturan dan membuat
prediksi berdasarkan observasi adalah penting bagi pola penalaran manusia. Akan
tetapi pengalaman individu tetap mempunyai keterbatasan pemahaman :
a) setiap pengalaman seseorang mungkin terbatas untuk membuat kesimpulan
yang valid tentang situasi, dan b) pengalaman seseorang diwarnai dengan
penilaian yang bersifat subyektif.
d. Trial dan Error
Kadang-kadang kita menyelesaikan suatu permasalahan keberhasilan kita
dalam menggunakan alternatif pemecahan melalui coba dan salah. Meskipun
pendekatan ini untuk beberapa masalah lebih praktis sering tidak efisien. Metode
ini cenderung mengandung resiko yang tinggi, penyelesaiannya untuk beberapa
hal mungkin “idiosyentric”.
e. Alasan yang Logis
Kita sering memecahkan suatu masalah berdasarkan proses pemikiran
yang logis. Pemikiran ini merupakan komponen yang penting dalam pendekatan
ilmiah, akan tetapi alasan yang rasional sangat terbatas karena validitas alasan
deduktif tergantung dari informasi dimana seseorang memulai, dan alasan tersebut
mungkin tidak efisien untuk mengevaluasi akurasi permasalahan.
7
f. Metode Ilmiah
Pendekatan ilmiah adalah pendekatan yang paling tepat untuk mencari
suatu kebenaran karena didasari pada pengetahuan yang terstruktur dan sistematis
serta dalam mengumpulkan dan menganalisa datanya didasarkan pada prinsip
validitas dan reliabilitas.
2.1.3. Pengukuran Tingkat Pengetahuan
Pengukuran tingkat pengetahuan dapat dilakukan dengan wawancara
langsung atau dengan angket yang menanyakan tentang isi materi yang ingin
diukur dari responden atau subjek penelitian. Kedalaman pengetahuan responden
yang ingin diukur atau diketahui, dapat disesuaikan dengan tingkat pengetahuan
dari responden.
2.2. Sikap
2.2.1. Pengertian
Sikap merupakan reaksi atau respons seseorang yang masih tertutup
terhadap stimulus atau objek. Newcomb salah seorang ahli psikologi sosial
menyatakan bahwa sikap itu merupakan kesiapan atau kesediaan untuk bertindak
dan bukan merupakan pelaksana motif tertentu(11). Sikap belum merupakan suatu
tindakan atau aktivitas akan tetapi merupakan predisposisi tindakan atau perilaku.
Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup bukan merupakan reaksi terbuka
tingkah laku. Lebih dapat dijelaskan lagi bahwa sikap merupakan reaksi terhadap
objek di lingkungan tertentu sebagai suatu penghayatan terhadap objek.
2.2.2. Tingkatan Sikap
Sikap terdiri dari berbagai tingkatan yaitu :
a) Menerima (receiving)
Menerima diartikan bahwa objek (subjek ) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan (objek ).
b) Merespon (responding)
Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan tugas
yang diberikan adalah indikasi dari suatu sikap. Karena dengan suatu usaha untuk
8
menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan, lepas pekerjaan itu
benar atau salah, berarti orang menerima ide tersebut.
c) Menghargai (valueing)
Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain
terhadap suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga.
d) Bertanggung jawab (responsible)
Bertanggungjawab atas segala sesuatu yang dipilihnya dengan segala risiko
merupakan sikap yang paling tinggi.
2.2.3. Pengukuran Tingkatan Sikap
Pengukuran sikap dapat dilakukan dengan secara langsung dan tidak
langsung. Secara langsung dapat ditanyakan bagaimana pendapat atau pertanyaan
responden terhadap suatu objek. Secara tidak langsung dilakukan dengan
pertanyaan-pertanyaan hipotesis, kemudian ditanyakan pendapat responden(12).
2.3. Perilaku
2.3.1. Pengertian Perilaku
Perilaku adalah semua kegiatan atau aktivitas manusia, baik yang dapat
diamati langsung maupun yang tidak dapat diamati langsung oleh pihak luar.
Menurut Skiner (1938)(12), seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa perilaku
merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau ransangan dari
luar. Oleh karena itu perilaku terjadi melalui proses adanya stimulus terhadap
organisme, dan kemudian organisme tersebut merespon, maka teori Skiner ini
disebut teori “S-O-R” atau Stimulus-Organisme-Respon. Skiner membedakan
adanya dua respon, yakni:
a. Respondent respons atau reflesive, yakni respon yang ditimbulkan oleh
rangsangan-rangsangan (stimulus tertentu).
b. Operant respons atau instrumental respons, yakni respon yang timbul dan
berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang tertentu.
9
2.3.2. Bentuk Perilaku
a. Perilaku tertutup (covert behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau
tertutup (covert). Respon atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada
perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada
orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh
orang lain.
b. Perilaku terbuka (overt behavior)
Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau
terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan
atau praktek (practice), yang dengan mudah dapat diamati oleh orang lain.(12)
2.3.3. Perubahan Perilaku
Perubahan perilaku dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu(8):
a. Perubahan alamiah (natural change)
Perilaku manusia selalu berubah. Sebagian perubahan itu disebabkan karena
kejadian alamiah. Apabila dalam masyarakat sekitar terjadi suatu perubahan
lingkungan fisik atau sosial budaya dan ekonomi maka anggota masyarakat di
dalamnya akan berubah.
b. Perubahan terencana (planned change)
Perubahan ini memang karena direncanakan subjek.
c. Kesediaan untuk berubah (readdiness change)
Apabila terjadi suatu inovasi atau program-program pembangunan didalam
masyarakat, maka yang sering terjadi adalah sebagian orang sangat cepat
menerima perubahan tersebut (berubah perilaku) dan sebagian orang lagi sangat
lambat. Hal ini disebabkan setiap orang mempunyai kesediaan yang berbeda-beda
untuk berubah.
2.3.4. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Perilaku
Konsep umum yang digunakan untuk mendiagnosis perilaku adalah
konsep dari Lawrence Green (1980)(12). Menurut Green, perilaku dipengaruhi oleh
tiga faktor utama yaitu:
10
a. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors)
Faktor-faktor ini mencakup pengetahuan dan sikap masyarakat terhadap
kesehatan, tradisi, dan kepercayaan masyarakat terhadap hal-hal yang berkaitan
dengan kesehatan, system nilai yang dianut masyarakat, tingkat pendidikan,
tingkat sosial ekonomi, dan sebagainya.
b. Faktor-faktor pemungkin (enambling factors)
Faktor-faktor ini mencakup ketersediaan sarana dan prasarana atau fasilitas
kesehatan bagi masyarakat.
c. Faktor-faktor penguat (reinforcing factors)
Faktor-faktor ini meliputi faktor sikap dan perilaku tokoh masyarakat,tokoh
agama,dan para petugas termasuk petugas kesehatan. Termasuk juga disini
undang-undang, peraturan-peraturan baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah yang terkait dengan kesehatan.
2.3.5. Proses Adopsi Perilaku
Penelitian Rogers (1974)(12) mengungkapkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru atau berperilaku baru, didalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni:
a. Awareness (kesadaran), yakni orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui
stimulus (objek) terlebih dahulu.
b. Interest, yakni orang mulai tertarik terhadap stimulus.
c. Evaluation, yakni menimbang-nimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya.
d. Trial, yakni orang telah mulai mencoba perilaku baru.
e. Adoption, yakni subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,
kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.
2.3.6. Determinan Perilaku
a. Determinan atau faktor internal, yakni karakteristik orang yang bersangkutan.
b. Determinan atau faktor eksternal, yakni lingkungan
11
2.4. Umur
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, umur adalah lama waktu hidup
atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan); Terdapat dua jenis usia, yaitu:
1. Usia kronologis
Usia kronologis (Chronological age) atau disebut juga usia kalender
adalah usia seseorang yang dihitung sejak waktu lahir sampai waktu tertentu(13).
Dalam kehidupan sehari-hari ketika seseorang ditanya berapa usianya, pada
umumnya dijawab dengan usia kronologis.
2. Usia Mental
Usia mental (mental age) adalah usia yang merujuk pada tingkat
kemampuan mental seseorang setelah dibandingkan dengan kelompok
seusianya(13). Untuk menentukan usia mental seseorang dibutuhkan metode
tertentu, biasanya secara formal dengan menggunakan tes kemampuan psikologis.
2.5. Jenis Kelamin
Menurut Utama (2003) dalam Frida (2009), jenis kelamin merupakan
identitas responden yang dapat digunakan untuk membedakan laki-laki dan
perempuan(14). Jenis kelamin juga dapat diartikan sebagai kelas atau kelompok
yang terbentuk dalam suatu spesies sebagai sarana atau sebagai akibat
digunakannya proses reproduksi seksual untuk mempertahankan keberlangsungan
spesies itu yang pada manusia dikenal menjadi laki-laki dan perempuan. Menurut
hasil penelitian yang dilakukan di kalangan masyarakat Abu Dhabi oleh Abasaeed
et al (2009) tidak ditemukan adanya hubungan antara karakteristik jenis kelamin
dengan penggunaan antibiotik secara bebas(15).
2.6. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan adalah tahapan pendidikan yang ditetapkan
berdasarkan tingkat perkembangan peserta didik, tujuan yang akan dicapai dan
kemampuan yang dikembangkan(16). Jalur pendidikan terdiri atas pendidikan
formal, non formal, dan informal yang dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Jenjang pendidikan formal terdiri atas jenjang pendidikan dasar, pendidikan
menengah, dan pendidikan tinggi. Sebagai persiapan untuk memasuki pendidikan
12
dasar diselenggarakan kelompok belajar yang disebut pendidikan prasekolah.
Pendidikan prasekolah belum termasuk jenjang pendidikan formal, tetapi baru
merupakan kelompok sepermainan yang menjembatani anak antara kehidupannya
dalam keluarga dengan sekolah.
2.7. Status Ekonomi
Status sosial ekonomi adalah kedudukan atau posisi seseorang dalam
masyarakat, status sosial ekonomi adalah gambaran tentang keadaan seseorang
atau suatu masyarakat yang ditinjau dari segi sosial ekonomi, gambaran itu seperti
tingkat pendidikan, pendapatan dan sebagainya. Status ekonomi kemungkinan
besar merupakan pembentuk gaya hidup keluarga. Pendapatan keluarga memadai
akan menunjang tumbuh kembang anak karena orang tua dapat menyediakan
semua kebutuhan anak baik primer maupun sekunder(8).
2.8. Antibiotik
2.8.1. Definisi
Antibiotik adalah zat kimiawi dihasilkan mikroorganisme yang
mempunyai kemampuan untuk menghambat pertumbuhan atau membunuh
mikroorganisme lain(3).
2.8.2. Aktivitas dan Spektrum Antibiotika
Berdasarkan sifat toksisitas selektif, ada antimikroba yang bersifat
menghambat pertumbuhan mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakteriostatik dan
ada yang bersifat membunuh mikroba, dikenal sebagai aktivitas bakterisid.
Obatobat bakteriostatik bekerja dengan mencegah pertumbuhan kuman, tidak
membunuhnya, sehingga pembasmian kuman sangat tergantung kepada daya
tahan tubuh penderita. Sedangkan antibiotika yang bakterisid, secara aktif
membunuh kuman. Selain dari sifat aktivitasnya, antibiotika dibagi menjadi dua
kelompok, yaitu antibiotika berpektrum sempit, seperti benzil penisilin dan
streptomisin, dan berspektrum luas seperti tetrasiklin dan kloramfenikol. Hal ini
dikarenakan sifat antimikroba dapat berbeda satu dengan yang lainnya.
Umpamanya, penisilin G bersifat aktif terhadap bakteri Gram-positif, sedangkan
13
bakteri Gram-negatif pada umumnya tidak peka (resisten) terhadap penisilin G;
tetrasiklin memiliki sifat sebaliknya(17).
2.8.3. Mekanisme Kerja Antibiotika
Berdasarkan mekanisme kerja atau tempat kerjanya, antibiotika dibagi
dalam lima kelompok, yaitu(17):
1. Antibiotika yang menghambat metabolisme sel mikroba:
Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti, : sulfonamide,
trimetoprim, asam p-aminosalisilat (PAS) dan sulfon. Antibiotika yang
menghambat metabolisme sel mikroba ini menggunakan aktivitas bakteriostatik.
Kuman patogen harus mensintesis sendiri asam folat dari asam amino benzoate
(PABA) untuk kebutuhan hidupnya. Apabila sulfonamide menang bersaing
dengan PABA dalam pembentukan asam folat, maka terbentuk analog asam folat
yang fungsional. Akibatnya, kehidupan mikroba akan terganggu.
2. Antibiotika yang menghambat sintesis dinding sel mikroba
Antibiotika yang termasuk dalam kelompok ini seperti,: penisilin,
sefalosporin, basitrasin, vankomisin, dan sikloserin. Antibiotika yang merusak
dinding sel mikroba dengan menghambat sintesis enzim atau inaktivasi enzim,
sehingga menyebabkan hilangnya viabilitas dan sering menyebabkan lisis.
Dinding sel bakteri menentukan bentuk karakteristik dan berfungsi melindungi
bagian dalam sel terhadap perubahan tekanan osmotik dan kondisi lingkungan
lainnya. Dinding sel bakteri terdiri dari beberapa lapisan. Pada bakteri Gram-
positif struktur dinding selnya relative sederhana, sedangkan bakteri Gram-negatif
relatif lebih kompleks. Dinding sel bakteri Gram-positif tersusun atas lapisan
peptidoglikan relatif tebal, dikelilingi lapisan teichoic acid dan beberapa spesies
mempunyai lapisan polisakarida. Dinding sel bakteri gram negatif mempunyai
2Menyimpan Antibiotik Dan Menggunakan Kembali Jika Kambuh
65 56.03% 51 43.97%
3 Memberikan Obat Kepada Teman/Kerabat Jika Sakit
33 28.45% 83 71.55%
4 Meminum SesuaiAturan Dokter
111 95.69% 5 4.31%
44
Berdasarkan tabel di atas, didapatkan data bahwa 95,69% responden tetap
meminum obat sesuai dengan aturan dokter, dan diikuti dengan 56,03%
menyimpan antibiotik dan menggunakan kembali jika kambuh.
Sedangkan itu, sebesar 71,55% responden tidak memberikan obat kepada
teman/kerabat jika sakit, dan diikuti dengan tidak berhenti meminum antibiotik.
5.5.1. Tingkat Perilaku Responden
Distribusi frekuensi perilaku responden mengenai antibiotik dapat dilihat
pada tabel 5.18. Skor kuisioner perilaku responden sebesar 4 dikelompokkan
dalam perilaku baik, lalu skor kuisioner sebesar 3 dikelompokkan dalam perilaku
sedang dan skor kusioner dengan nilai ≤ 2 dikelompokkan dalam perilaku kurang.
Tabel 5.18 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Perilak
u Frekuensi %
Baik 36 31.03%
Sedang 19 16.38%
Kurang 61 52.59%
Total 116 100.00%
Berdasarkan Tabel 5.18, didapati bahwa responden mempunyai perilaku
yang kurang sebanyak 61 orang (52,59%), perilaku sedang sebanyak 19 orang
(16,38%) dan perilaku baik sebanyak 36 orang (31,03%).
5.5.2. Perilaku Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Hasil crosstabulation perilaku responden berdasarkan jenis kelamin dapat
dilihat pada tabel 5.19
Tabel 5.19 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Jenis Kelamin
Jenis Perilaku
45
KelaminBaik
(n)%
Sedang
(n)%
Kurang
(n)% Total
Pria17
47.22
% 4
22.22
% 31
50.00
% 52
Perempuan19
52.78
% 14
77.78
% 31
50.00
% 64
Total 36 18 62 116
Berdasarkan tabel 5.19, diketahui bahwa sikap baik terdapat paling banyak
pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 19 orang (52,78%), sikap di
kategori sedang terdapat juga paling banyak pada jenis kelamin perempuan yaitu
sebanyak 14 orang (77,78%), dan untuk sikap kurang, responden laki-laki dan
perempuan memiliki jumlah yang sama, yaitu 31 orang (50,00%) untuk masing-
masing kategori.
5.5.3. Perilaku Responden Berdasarkan Umur
Hasil crosstabulation perilaku berdasarkan umur dapat dilihat pada tabel
5.20
Tabel 5.20 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Umur
Usia
Perilaku
Baik
(n)%
Sedang
(n)%
Kurang
(n)% Total
15-2410
27.78
% 7
38.89
% 24
40.68
% 41
25-347
19.44
% 2
11.11
% 17
28.81
% 26
35-44 9 25.00 3 16.67 10 16.95 22
46
% % %
45-54 5
13.89
% 6
33.33
% 9
15.25
% 20
55-64 3 8.33% 0 0.00% 2 3.39% 5
≥65 2 5.56% 0 0.00% 0 0.00% 2
Total 36 18 62 116
Berdasarkan tabel 5.20, perilaku baik paling banyak adalah responden
yang termasuk dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 10 orang
(27,78%). perilaku sedang paling banyak juga adalah responden yang termasuk
dalam kelompok umur 15-24 tahun yaitu sebanyak 7 orang (38,89%). Serta di
sikap kurang, responden terbanyak juga termasuk dalam kelompok umur 15-24
tahun, yaitu sebanyak 24 orang (40,68%).
5.5.4. Perilaku Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Hasil crosstabulation perilaku berdasarkan tingkat pendidikan dapat
dilihat pada tabel 5.21
Tabel 5.21 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Tingkat
Pendidikan
Perilaku
Baik
(n)%
Sedang
(n)%
Kurang
(n)% Total
Dasar 513.89
%2
11.11
%20
32.26
%27
Menengah 1644.44
%10
55.56
%32
51.61
%58
Tinggi15
41.67
% 6
33.33
% 10
16.13
% 31
Total 36 18 62 116
47
Berdasarkan tabel 5.21, perilaku baik paling banyak adalah responden
yang mempunyai tingkat pendidikan menengah yaitu sebanyak 16 orang (44,44%)
dan disusul di kelompok tingkat pendidikan tinggi sebanyak 15 orang (41,67%).
Perilaku sedang paling banyak juga adalah responden yang mempunyai tingkat
pendidikan menengah yaitu sebanyak 10 orang (55,56%). Serta di perilaku
kurang, responden terbanyak juga adalah di kelompok pendidikan menengah yaitu
sebanyak 32 orang (51,61%) dan disusul dengan kelompok pendidikan dasar
sebanyak 20 orang (32,36%).
5.5.5. Perilaku Responden Berdasarkan Status Ekonomi
Hasil crosstabulation perilaku responden berdasarkan status ekonomi
dapat dilihat pada tabel 5.22
Tabel 5.22 Distribusi Frekuensi Perilaku Responden Mengenai Antibiotik
Berdasarkan Status Ekonomi
Status Ekonomi
Perilaku
Baik
(n)%
Sedang
(n)%
Kurang
(n)% Total
Rendah 1130.56
%5
26.32
%27 44.26% 43
Menengah 2569.44
%14
73.68
%34 55.74% 73
Total 36 19 61 116
Berdasarkan tabel 5.22, perilaku yang baik paling banyak adalah di
responden yang mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 25 orang
(69,44%). Perilaku yang sedang paling banyak juga adalah responden yang
mempunyai status ekonomi menengah yaitu sebanyak 14 orang (73,68%).
Perilaku kurang memiliki jumlah responden terbanyak, dengan responden dengan
status ekonomi menengah terdiri atas 34 orang (55,74%) dan status ekonomi
rendah sebanyak 27 orang (44,26%).
48
BAB VI
PEMBAHASAN
Hasil penelitian yang telah dipaparkan sebelumnya diperoleh dari hasil
pengolahan data penelitian dari 116 jawaban responden berusia 15-70 tahun yang
memiliki data lengkap dan teregistrasi sebagai masyarakat kelurahan Tanjung
Merdeka.
Penelitian dilakukan dengan cara membagi-bagi kuisioner kepada warga
kelurahan Tanjung Merdeka, warga diberi penjelasan mengenai cara pengisian
kuisioner dan diberi kesempatan bertanya apabila ada hal yang tidak diketahui
mengenai isi kuisioner.
6.1. Tingkat Pengetahuan Responden Terhadap Penggunaan Antibiotik
Secara keseluruhan, tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Tanjung
Merdeka, Kecamatan Tamalate termasuk dalam kategori baik. Karena dari 116
jumlah keseluruhan responden, didapati 40,52% memiliki tingkat pengetahuan
baik, 37,07% memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 22,41% memiliki tingkat
pengetahuan rendah.
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pulungan (2010) di
Medan yang mendapati 77% responden memiliki tingkat pengetahuan tinggi, 18%
responden memiliki tingkat pengetahuan sedang, dan 5% responden memiliki
tingkat pengetahuan rendah(24). Selain itu, hasil yang sesuai juga ditemukan pada
penelitian yang dilakukan oleh You, et al. (2008) yang mendapati bahwa 70%
responden memiliki tingkat pengetahuan baik, 21% memiliki tingkat pengetahuan
sedang, dan 9% memiliki tingkat pengetahuan rendah. Namun, pada penelitian
yang dilakukan Oh, et al (2010) didapati 16,4% responden memiliki pengetahuan
baik, 54,7% responden memiliki pengetahuan sedang, dan 28,9% responden
memiliki tingkat pengetahuan rendah(25).
Menurut Notoatmodjo (2007), ada beberapa faktor yang mempengaruhi
tingkat pengetahuan seseorang, yaitu pendidikan, informasi yang didapat, sosial,
budaya, ekonomi, lingkungan, pengalaman, dan usia. Perbedaan hasil penelitian
49
ini mungkin disebabkan oleh karena adanya perbedaan tempat penelitian, jumlah
sampel dan perbedaan sosial budaya tempat penelitian(12).
6.2. Tingkat Pengetahuan Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, diketahui bahwa tingkat pengetahuan paling
banyak di kategori baik terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak
55,32% dibanding jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 44,68%, pengetahuan di
kategori sedang terdapat pada jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 60,47%
dibanding jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 39,53% , dan pengetahuan di
kategori rendah terdapat pada jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 14 orang
(53,85%) dibanding jenis kelamin perempuan yaitu sebanyak 46,15%. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Eng,et al. (2003) yang mendapati
bahwa 65% perempuan memiliki tingkat pengetahuan baik dibanding 35% laki-
laki yang memiliki tingkat pengetahuan baik, 62% perempuan memiliki tingkat
pengetahuan sedang dibanding 38% laki-laki yang memiliki tingkat pengetahuan
yang sama, dan 27% perempuan memiliki tingkat pengetahuan yang rendah
dibanding 73% laki-laki yang memiliki tingkat pengetahuan yang sama(26).
Penelitian yang dilakukan oleh Barah (2010) di Syria, Gonzales et al
(2012) di Meksiko, Al Azzam et al (2007) di Yordania, Oh et al (2010) di Penang,
dan Djuang (2009) di Medan memiliki hasil bahwa tidak terdapat hubungan
antara jenis kelamin dan tingkat pengetahuan terhadap antibiotik (19, 25, 27-29). Hal ini
menunjukkan bahwa meskipun perempuan lebih sering melakukan pengobatan
sendiri dibanding laki-laki, hubungan jenis kelamin dengan pengetahuan tentang
antibiotik secara statistik tidak bermakna(30).
6.3. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Umur
Menurut Nursalam (2000), usia adalah umur individu yang terhitung mulai
saat dilahirkan sampai saat berulang tahun. Semakin cukup umur, tingkat
kematangan dan kekuatan seseorang akan lebih matang dalam berfikir dan bekerja (9). Tingkat pengetahuan berdasarkan umur dari responden didapati bahwa
responden dengan umur 15-24 tahun memiliki tingkat pengetahuan baik terbanyak
(32,61%), diikuti responden dengan rentang umur 25-34 tahun (21,74%) dan 35-
50
44 tahun (21,74%), lalu responden dengan rentang umur 45-54 tahun (15,22%),
diikuti dengan rentang umur 55-64 tahun (4,35%) dan ≥65 tahun (4,35%).
Sedangkan, untuk tingkat pengetahuan rendah terbanyak juga terdapat pada kelas
responden yang berumur 15-24 tahun (42,31%), diikuti responden yang berumur
25-34 tahun (26,92%), dan responden yang berumur 45-54 tahun (19,23%) serta
35-44 tahun (7,69%).
Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh
Arief (2013) di Medan yang mendapati bahwa responden dengan umur >45 tahun
memiliki tingkat pengetahuan baik terbanyak (34,1%), diikuti responden dengan
rentang umur 30-34 tahun (16,1%), dan responden dengan rentang umur 40-44
tahun (13,1%). Sedangkan, untuk tingkat pengetahuan rendah terbanyak juga
terdapat pada kelas responden yang berumur >45 tahun (33,3%), diikuti
responden yang berumur 35-39 tahun (19,1%), dan responden yang berumur 20-
24 tahun dan 40-44 tahun (14,3%)(31). Penelitian yang dilakukan pada populasi
masyarakat Korea Selatan oleh Kim et al (2011) mendapatkan hasil bahwa tidak
ada hubungan antara tingkat pengetahuan mengenai antibiotik dan umur
responden(32).
6.4. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Status Ekonomi
Berdasarkan status ekonomi, diketahui bahwa tingkat pengetahuan paling
banyak di kategori baik terdapat pada kelompok ekonomi menengah (65,96%).
Pengetahuan di kategori sedang juga terbanyak pada kelompok ekonomi
menengah (65,12%) serta pengetahuan di kategori rendah juga terdapat pada
ekonomi menengah (53,85%). Hal yang sama juga didapatkan Larassati (2012) di
Medan dimana tingkat pengetahuan baik paling banyak didapatkan pada status
ekonomi menengah (54,08%), tingkat pengetahuan sedang juga pada ekonomi
menengah (60,72%) dan tingkat pengetahuan kurang juga pada ekonomi
menengah (52%), namun tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut.
Hal ini sesuai dengan penelitian oleh Djuang (2010) di Kota Medan dan Barah
(2010) di Syria, keduanya mendapat hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara
kedua variable tersebut(19, 27, 33).
51
6.5. Tingkat Pengetahuan Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, diketahui bahwa tingkat pengetahuan
baik paling banyak pada responden dengan tingkat pendidikan menengah
(SMA/sederajat) yaitu sebesar 28 responden (59,57%), lalu disusul oleh
responden dengan tingkat pendidikan tinggi (perguruan tinggi/sederajat) yaitu
sebesar 15 responden (31,91%) dan responden dengan tingkat pendidikan rendah
(SD/SMP/sederajat) sebesar 4 responden (8,51%).
Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil yang didapatkan oleh Arief (2013)
berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang dengan tingkat pendidikan
menengah memiliki tingkat pengetahuan baik paling banyak (49,8%), diikuti
responden dengan tingkat pendidikan tinggi (32,2%), dan tingkat pendidikan
rendah (18%). Sedangkan responden dengan tingkat pendidikan rendah memiliki
tingkat pengetahuan rendah terbanyak (80,9%), diikuti tingkat pendidikan
menengah (14,3%), dan tingkat pendidikan tinggi (4,8%)(31). Pola pikir seseorang
akan sesuai dengan tingkat pendidikannya, karena pendidikan dapat berdampak
pada kemampuan seseorang untuk menerima informasi dan informasi ini dapat
berpengaruh pada pengetahuan yang dimilikinya(12). Menurut pendapat Friedman
(1998), semakin terdidiknya seseorang maka semakin baik pengetahuannya
tentang kesehatan dan sebaliknya(34).
6.6. Sikap Responden Terhadap Antibiotik
Dari penelitian, didapatkan hasil bahwa sikap yang dikategorikan sedang
memiliki presentase terbesar yaitu 51,72%, kategori baik sebesar 48,28% dan
tidak ada yang tergolong dalam kategori kurang.
Penelitian yang dilakukan oleh Oh et al (2010) di Rumah Sakit Pulau
Pinang mendapati pengetahuan yang baik tidak semestinya memberikan sikap
yang baik. Penelitian tersebut mendapati 71,1% mempunyai pengetahuan yang
benar tentang keperluan menghabiskan antibiotik apabila gejala sedang muncul
sedangkan hanya 59,8% setuju bahwa mereka akan meneruskan penggunaan
antibiotik setelah mereka mulai merasa membaik(25). Penelitian oleh Djuang
52
(2010) di Kota Medan dan Barah (2010) di Syria, keduanya mendapat hasil bahwa
tidak terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut(19, 27).
6.7. Sikap Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan hasil bahwa sikap baik paling
banyak terdapat pada jenis kelamin perempuan sebesar 57,14% disusul laki-laki
sebesar 42,86%. Untuk sikap sedang juga paling banyak pada responden
perempuan sebesar 53,33% dibanding laki-laki sebesar 46,67%. Hasil penelitian
ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Larassati (2012) di Medan,
namun menurutnya, tidak ada hubungan antara jenis kelamin dan sikap terhadap
penggunaan antibiotik(33). Hal yang sama juga didapatkan oleh Barah (2010) di
Syria dan Al Azzam et al (2007) di Yordania(27, 29). Secara keseluruhan tidak
terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan sikap responden terhadap
penggunaan antibiotik dan sampai sekarang tidak ada keterangan yang dapat
memberikan jawaban dengan tuntas mengenai hubungan kedua variabel ini.
6.8. Sikap responden Berdasarkan Umur
Berdasarkan umur responden, didapatkan hasil bahwa sikap baik paling
banyak terdapat pada rentang umur 15-24 tahun (37,50%), dan paling rendah pada
rentang umur ≥65 tahun (3,57%). Hasil yang serupa juga didapatkan pada
penelitian yang dilakukan Kim et al (2011) di Korea Selatan dimana sikap baik
paling banyak pada usia 18-39 tahun (42,4%) dan paling rendah pada usia ≥60
tahun (34,7%)(32). Menurutnya, tidak ada hubungan antara kedua variable tersebut.
Namun, hasil yang berbeda didapatkan oleh Abasaeed et al (2009) di Abu Dhabi
dan Gonzales et al (2012) di Meksiko yang mengatakan terdapat hubungan antara
umur dengan penggunaan antibiotik secara bebas(15, 28). Perbedaan ini mungkin
terjadi akibat berbedanya karakteristik mayarakat tempat dilakukan penelitian.
6.9. Sikap Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Sikap baik paling banyak terdapat pada kelompok pendidikan menengah
dan paling rendah pada kelompok pendidikan dasar. Demikian juga ditemukan hal
yang sama pada sikap kategori sedang. Hasil penelitian yang serupa ditemukan
53
pada penelitian yang dilakukan oleh Kim et al (2011) yang mana mendapatkan
responden dengan tingkat pendidikan yang adekuat (high school dan college)
memiliki sikap baik terbanyak sebesar 78,2% dibandingkan dengan tingkat
pendidikan yang tidak adekuat (≤primary dan middle school) sebesar 46,2%(32).
Menurut hasil penelitian yang dilakukan Al Azzam et al (2007) di Yordania,
terdapat hubungan antara tingkat pendidikan dengan sikap responden terhadap
penggunaan antibiotik(29).
Hal ini mungkin berkaitan dengan pendapat Green (1980) yang
mengatakan bahwa yang paling mempengaruhi kesehatan seseorang adalah
perilaku dan faktor non perilaku(35). Perilaku sendiri terbentuk karena adanya
proses pendidikan sebelumnya yang melalui beberapa tahap hingga kemudian
terbentuk pola perilakunya. Hal itu menunjukkan bahwa pendidikan
mempengaruhi perilaku seseorang, dalam hal ini adalah perilaku tertutup/sikap
(covert behavior) termasuk dalam hal penggunaan antibiotik.
6.10. Sikap Responden Berdasarkan Status Ekonomi
Dari hasil penelitian, didapatkan bahwa sikap baik paling banyak terdapat
pada kelompok ekonomi menengah dan juga demikian pada sikap sedang.
Terdapat perbedaan yang signifikan antara status ekonomi menengah dan rendah
untuk sikap yang baik, yaitu sebesar 64,29% untuk ekonomi menengah dan
35,71% untuk ekonomi rendah. Pada sikap sedang juga demikian, yaitu 86,05%
untuk ekonomi menengah dan 53,49% untuk ekonomi rendah. Hal yang serupa
didapatkan juga pada penelitian yang dilakukan oleh Barah (2010) di Syria, dan
Larassati (2012) di Medan(27, 33). Menurut Supardi (2005) orang yang mempunyai
penghasilan tinggi lebih banyak belanja obat dan menggunakan obat, sehingga
kemungkinan untuk menggunakan obat yang sesuai dengan aturan lebih besar(30).
6.11. Perilaku Responden Terhadap Antibiotik
Dari penelitian, didapatkan hasil bahwa sikap yang dikategorikan kurang
memiliki presentase terbesar yaitu 52,59%, kategori baik sebesar 31,03% dan
kategori sedang 16,38%. Hasil yang serupa juga didapatkan oleh Fatmawati
(2014) di Surakarta, dimana didapatkan hasil perilaku baik sebesar 33%
54
responden dan perilaku kurang sebesar 67%(36). Perilaku dalam bentuk
pengetahuan yaitu dengan mengetahui situasi dan lingkungan, sedangkan perilaku
dalam bentuk sikap berupa tanggapan perasaan terhadap keadaan luar diri
seseorang sehingga akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat
lingkungan tersebut yang mempengaruhi pembentukan perilaku manusia. Perilaku
dalam bentuk tindakan berupa perbuatan terhadap situasi dan lingkungan(8)
6.12. Perilaku Responden Berdasarkan Jenis Kelamin
Berdasarkan jenis kelamin, didapatkan hasil bahwa perilaku baik paling
banyak pada jenis kelamin perempuan (52,78%), namun tidak terdapat perbedaan
yang signifikan dengan jenis kelamin laki-laki (47,22%). Perilaku sedang paling
banyak pada perempuan (77,78%) disbanding laki-laki (22,22%). Untuk perilaku
kurang, kategori perempuan dan laki-laki memiliki jumlah yang sama (50,00%).
Hal yang sama juga ditemukan oleh penelitian oleh Abasaeed (2009) di Arab
Saudi(15). Dan menurut penelitian yang dilakukan di Mesir oleh Elmasry et al
(2013), mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin
responden terhadap perilaku penggunaan antibiotik(37).
6.13. Perilaku Responden Berdasarkan Umur
Dari usia, perilaku baik paling banyak pada usia 15-24 tahun, dan paling
sedikit pada umur ≥65 tahun. Hasil penelitian ini bertentangan dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Elmasry et al (2013) di Mesir yang mendapatkan
hasil bahwa usia tua (>60) tahun memiliki perilaku yang baik terhadap
penggunaan antibiotik dibandingkan dengan usia dewasa muda (18-40 tahun) dan
dewasa mapan (40-60 tahun)(37). Pada orang tua, cenderung memeriksakan diri
terlebih dahulu ke dokter dan lebih menaati peraturan pengobatan yang diberikan
oleh dokter karena fakta bahwa orang tua lebih memerhatikan kesehatannya, dan
lebih sering memeriksakan kesehatannya ke dokter dibanding orang muda(37).
Namun perbedaan hasil ini kemungkinan dikarenakan perbedaan jumlah sampel
penelitian, tempat penelitan dan sosial budaya tempat penelitian.
55
6.14. Perilaku Responden Berdasarkan Tingkat Pendidikan
Berdasarkan tingkat pendidikan, perilaku baik terdapat paling banyak pada
kelompok koresponden dengan tingkat pendidikan menengah dan disusul oleh
tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan untuk perilaku kurang, terdapat juga paling
banyak pada kelompok tingkat pendidikan menengah dan diikuti oleh kelompok
pendidikan dasar. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang penting dalam
perilaku seseorang terhadap penggunaan antibiotik.
Menurut Notoatmodjo (2003), perilaku dalam bentuk pengetahuan yaitu
dengan mengetahui situasi dan lingkungan, sedangkan perilaku dalam bentuk
sikap berupa tanggapan perasaan terhadap keadaan luar diri seseorang sehingga
akan mencetak perilaku manusia sesuai dengan sifat lingkungan tersebut yang
mempengaruhi pembentukan perilaku manusia. Perilaku dalam bentuk tindakan
berupa perbuatan terhadap situasi dan lingkungan(8). Menurut Green (1980),
faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku salah satunya adalah pengetahuan
terhadap hal-hal yang berkaitan dan dari tingkat pendidikan(35).
Namun menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Oh et al (2010) di
Malaysia, mendapatkan hasil bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan
dengan perilaku responden dalam penggunaan antibiotik. Hal ini menunjukkan
bahwa masyarakat umum mungkin belum terlalu mengerti alasan dan pentingnya
untuk menyelesaikan pengobatan antibiotik hingga selesai(25).
6.15. Perilaku Responden Berdasarkan Status Ekonomi
Dari status ekonomi, perilaku baik paling banyak terdapat pada kelompok
ekonomi menengah (69,44%), dibanding dengan kelompok status ekonomi rendah
(30,56%). Pada perilaku kurang, paling banyak juga pada kelompok ekonomi
menengah (55,74%) dibanding kelompok ekonomi rendah (44,26%). Hasil
penelitian ini sesuai dengan penelitian oleh Awad (2005) di Sudan yang
mendapatkan hasil perilaku baik paling banyak di ekonomi menengah (64,3%)
dibanding dengan tingkat ekonomi kurang (35,7%)(38). Hasil penelitian ini tidak
sesuai dengan hasil penelitian oleh Larassati (2012) di Medan, yang mendapatkan
bahwa responden dengan status ekonomi menengah lebih cenderung membeli
56
antibiotik sendiri tanpa memeriksakan diri terlebih dahulu dan tidak mengikuti
aturan dokter (52%) dibanding dengan status ekonomi rendah (47%)(33). Namun,
penelitian yang dilakukan oleh Djuang (2009) di Medan mendapatkan hasil bahwa
tidak ada hubungan antara status ekonomi dengan perilaku terhadap penggunaan
antibiotik(19).
57
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari penelitian yang dilakukan mengenai tingkat pengetahuan, sikap dan
perilaku warga masyarakat kelurahan Tanjung Merdeka mengenai antibiotik,
jumlah responden yang didapatkan sebanyak 116 orang. Hasil yang diperoleh
berupa :
1. Tingkat pendidikan responden dengan jumlah responden 116 orang
terbanyak pada tingkat pendidikan menengah (SMA/Sederajat) yaitu 152
orang (50,00%).
2. Jenis kelamin responden dengan jumlah responden 116 orang adalah 52
orang laki laki (44,83%) dan 64 orang perempuan (55,17%).
3. Umur responden dengan jumlah responden 116 orang terbanyak berada
pada golongan 15-24 tahun yaitu 41 orang (35,34%).
4. Status ekonomi responden dengan jumlah responden 116 orang terbanyak
berada pada golongan menengah yaitu 73 orang (62,93%).
5. Tingkat pengetahuan masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan
Tamalate, Kotamadya Makassar terhadap antibiotik adalah baik yaitu
sebanyak 47 orang (40,52%).
6. Sikap masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate,
Kotamadya Makassar terhadap antibiotik adalah sedang yaitu sebanyak 60
orang (51,72%).
7. Perilaku masyarakat Kelurahan Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate,
Kotamadya Makassar terhadap antibiotik adalah kurang yaitu sebanyak 61
orang (52,59%).
58
8. Tingkat pengetahuan berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang
memiliki tingkat pengetahuan baik mayoritas memiliki tingkat pendidikan
menengah (59,57%).
9. Sikap berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang memiliki sikap
baik mayoritas memiliki tingkat pendidikan menengah (52,73%).
10. Perilaku berdasarkan tingkat pendidikan, responden yang memiliki
perilaku baik mayoritas memiliki tingkat pendidikan menengah (44,44%).
11. Tingkat pengetahuan berdasarkan jenis kelamin, responden yang memiliki
tingkat pengetahuan baik mayoritas berjenis kelamin perempuan
(55,32%).
12. Sikap berdasarkan jenis kelamin, responden yang memiliki sikap baik
mayoritas berjenis kelamin perempuan (57,14%).
13. Perilaku berdasarkan jenis kelamin, responden yang memiliki perilaku
baik mayoritas berjenis kelamin perempuan (52,78%).
14. Tingkat pendidikan berdasarkan umur, responden yang memiliki tingkat
pengetahuan baik mayoritas berada pada usia 15-24 tahun 32,61%.
15. Sikap berdasarkan umur, responden yang memiliki sikap baik mayoritas
berada pada kelompok umur 15-24 tahun (37,50%).
16. Perilaku berdasarkan umur, responden yang memiliki perilaku baik
mayoritas berada pada kelompok umur 15-24 tahun (27,78%).
17. Tingkat pendidikan berdasarkan status ekonomi, responden yang memiliki
tingkat pengetahuan baik mayoritas berada pada ekonomi menengah
(65,96%).
18. Sikap berdasarkan status ekonomi, responden yang memiliki sikap baik
mayoritas berada pada ekonomi menengah (64,29%).
19. Perilaku berdasarkan status ekonomi, responden yang memiliki perilaku
baik mayoritas berada pada ekonomi menengah (69,44%).
B. Saran
1. Kepada Puskesmas dan penyedia jasa kesehatan untuk memberikan
pendidikan ataupun penyuluhan terhadap masyarakat di Kelurahan
59
Tanjung Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kotamadya Makassar mengenai
penggunaan antibiotik yang baik dan benar.
2. Untuk masayarakat, agar lebih meningkatkan pengetahuan terhadap
penggunaan antibiotik yang baik dan mengimplementasikannya menjadi
sikap yang benar terhadap penggunaan antibiotik di kehidupan sehari-hari.
3. Perlu diadakannya penelitian lanjutan untuk melihat korelasi antara
pengetahuan, sikap dan perilaku terhadap antibiotik di Kelurahan Tanjung
Merdeka, Kecamatan Tamalate, Kotamadya Makassar.
60
DAFTAR PUSTAKA
1. WHO. WHO Global Strategy for Containment of Antimicrobial Resistance2001 25 August 2015.
2. Refdanita, R M, A N, P E. Faktor yang Mempengaruhi Ketidaksesuaian Penggunaan antibiotika dengan Uji Kepekaan di Ruang Intensif Rumah Sakit Fatmawati Jakarta Tahun 2001-2002 Makara, Kesehatan. 2004;8(1):21-6.
4. Setiabudy R, Ganiswara V. Pengantar Antimikroba. 1995. In: Farnakologi dan Terapi [Internet]. Jakarta: Universitas Indonesia. 4.
5. Dinkes_Jateng. Undang-Undang Obat Keras, St No 419 tgl 22 Desember 19492007 25 August 2015.
6. Lim KK, Teh CC. A Cross Sectional Study of Public Knowledge and Attitude towards Antibiotics in Putrajaya, Malaysia. Southern Med Review. 2012;5(2):26-33.
7. Widayati A, Suryawati S, Crispigny CFCD, Hiller JE. Knowledge and beliefs about antibiotics among people in Yogyakarta City Indonesia: a cross sectional population-based survey Antimicrobial Resistance and Infection Control. 2012:1-7.
8. Notoadmojo S. Pendidikan dan Perilaku Kesehatan. Jakarta: Rineka Cipta; 2003.
14. Frida A. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Pendokumentasian Asuhan Keperawatan di Ruang Rawat Inap Rumah Sakit Hospital Cinere2009 23 August 2015.
15. Abasaeed A, Vlcek J, Abuelkhair M, Kubena A. Self-medication with antibiotics by the community of Abu Dhabi Emirate, United Arab Emirates. Journal of Infection in Developmental Countries. 2009;3(7):491-7.
61
16. Dikbud. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional 2003.
17. Setiabudy R. Antimikroba. 2008. In: Farmakologi dan Terapi [Internet]. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. 5.
18. WHO. FAQs (Frequently Asked Questions) on Antimicrobial Resistance2011.
19. Djuang MH. Hubungan Antara Karakteristik Masyarakat dengan Penggunaan Antibiotik yang Diperoleh Secara Bebas di Kota Medan2009.
20. Pechere JC. Patients' Interviews And Misuse of Antibiotics. Clinical Infectious Disease. 2001;33(Suppl 3):170-3.
21. Depkes. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011 Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik2011.
22. Jawetz, Melnick, Adelberg. Medical Microbiology. US: McGraw-Hill Medical; 2007.
23. Depkes. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1963 Tentang Farmasi1963.
24. Sahara P. Hubungan Tingkat Pengetahuan Tentang Antibiotik Dan Penggunaannya Di Kalangan Mahasiswa non Medis Universitas Sumatera Utara. 2010.
25. Oh AL, Hassali MA, Al-Haddad MS, Sulaiman SAS, Shafie AA, Awaisu A. Public knowledge and attitudes towards antibiotic usage: a cross-sectional study among the general public in the state of Penang, Malaysia. JIDC. 2010;5(5):338-47.
26. Eng JV, Marcus R, Hadler JL, Imhoff B, Vugia DJ, Cieslak PR, et al. Consumer Attitudes And Use Of Antibiotics. EID. 2003;9:1128-35.
27. Barah F, Goncalves V. Antibiotic use and knowledge in the community in Kalamoon, Syrian Arab Republic: a cross-sectional study. EMHJ. 2010;16(5):516-21.
28. Gonzales R, López-Caudana AE, González-Flores T, Jayanthan J, Corbett KK, Reyes-Morales H. Antibiotic Knowledge and Self-Care for Acute Respiratory Tract Infections in Mexico. Salud Publica de Mexico. salud pública de méxico 2012;54(2):152-7.
29. Al-Azzam SI, Al-Husein BA, Alzoubi F. Sel Medication With Antibiotics In Jordanian Population. IJOMEH. 2007;20(4):373-80.
30. Supardi S, Notosiswoyo M. Pengbatan Sendiri Sakit Kepala, Demam, Batuk dan Pilek Pada Masyarakat Desa Ciwalen, Kecamatan Warungkondang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. DEPKES RI. 2005;2(3):134-44.
31. Pratama MA. Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap Penggunaan Antibiotik Di Kelurahahan Suka Maju, Kecamatan Medan Johor, Kotamadya Medan. 2013.
32. Kim SS, Moon S, Kim EJ. Public Knowledge and Attitudes Regarding Antibiotic Use in South Korea. JKAN. 2011;41(6):742-9.
33. Larassati H. Karakteristik Masyarakat dan Penggunaan Antibiotik Secara Bebas Di Kecamatan Medan Timur Kota Medan. 2012.
34. Friedman MM. Keperawatan Keluarga (Teori dan Praktek). Jakarta: EGC; 1998.
62
35. Green LW, Keuter MW, Deeds SG, Partridge KB. Health Education Planning, A Diagnostic Approach1980:[14-5 pp.].
36. Fatmawati I. Tinjauan Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Penggunaan Antibiotik Pada Mahasiswa Kesehatan dan Non Kesehatan Di Universitas Muhammadiyah Surakarta. UMS. 2014:1-12.
37. Elmasry AAG, Bakr ASM, Kolkailah DAAA, Khaskiab MAI, Mohammedb MEE, Riad OHMA, et al. Pattern of antibiotic abuse – a population based study in Cairo. EJCDT. 2013;62:189-95.
38. Awad A, Eltayeb I, Matowe L, Thalib L. Self-medication with Antibiotics and Antimalarials in the community of Khartoum State, Sudan. JPPS. 2005;8(2):326-31.