Top Banner
SKENARIO A BLOK 21 KEDOKTERAN OKUPASI Disusun oleh: Group D 1
31

Skenario a Blok 21 (Revisi)

Dec 11, 2014

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Skenario a Blok 21 (Revisi)

SKENARIO A BLOK 21

KEDOKTERAN OKUPASI

Disusun oleh:

Group D

Fakultas kedokteran Non-reg

Universitas Sriwijaya

1

Page 2: Skenario a Blok 21 (Revisi)

Group member:

1. Fitria Koeshardani

2. Evi Lusiana

3. Winda haryati P

4. Ulfa Primadhani

5. Shafiq Shahmi

6. Tri Hari Irfani

7. Rudi Chandra

8. Febria Restissa

9. Fella Halimah P

10. Ramadhan Ananditia

11. Leon P

Tutor :

Dr. Yan Effendi

2

Page 3: Skenario a Blok 21 (Revisi)

B. Term Clarification

1. Shift bergilir

2. Boiler

3. ammonia plant

4. urea plant

5. Petugas K3

6. kebisingan

7. ketulian

8. Ear plug

9. APD ( alat pelindung diri )

10. berdenging

11. Tuberculosis

12. Audiogram

13. air conduction

14. hearing acuity

15. Presbicusis

16. Jamsostek

17. NIHL ( noise induced hearing loss )

C. Problem Identification

1. Tn. Rahmat, 55tahun, selama 30 tahun terpapar kebisingan dengan intensitas

kebisingan :

- 87 dBA di boiler ( 10 tahun )

- 88 dBA di ammonia plant ( 10 tahun )

- 90 dBA di urea plant ( 10 tahun )

Tiap 8jam/hari

2. Tn. Rahmat selama bekerja tidak pernah memakai alat pelindung diri (APD) berupa

alat penyumbat telinga karena merasa tidak nyaman kalau harus memakainya saat

bekerja.

3. Petugas selalu mengontrol pemakaian alat tersebut akhiir2 ini saja namun tidak

demikian di masa lampau

3

Page 4: Skenario a Blok 21 (Revisi)

4. Tn. Rahmat mengalami penurunan pendengaran pada trek tinggi, namun ia

menganggap hal itu biasa terjadi pada orang seumurannya.

5. Tn. Rahmat akhir-akhir ini sering merasa telinganya berdenging, dengan hasil

audiogram berikut :

250 Hz 500 Hz 1000 Hz 2000 Hz 3000 Hz 4000 Hz 6000 Hz

1998

( dB)

15 20 20 20 25 25 20

2008

(Db)

20 25 30 35 40 50 25

D. Problem Analysis

1. Berapa ambang batas normal maksimal yang dapat ditolerir oleh system audiotory

manusia ? ( waktu dan intensitas )

2. Berapa ambang batas maksimal pemaparan terhadap kebisingan di tempat kerja ?

( waktu dan intensitas )

3. Bagaimana dengan HRA nya ?

4. Apa hasi; kesimpulan dari hasil pemaparan yang diterima Tn. Rahmat selama 30thn

bekerja di perusuhaan itu ? dan apa dampaknya ke Tn. Rahmat ?

5. a. Apa dampak tidak menggunakan alat penyumbat telinga saat bekerja

b. Faktor apa yang membuat alat ini dirasa tidak nyaman dipakai saat bekerja?

6. a. Bagaimana interpretasi dari hasil audiogram Tn. Rahmat pada tahun 1998 dan

2008?

b. Bagaimana diagnosis nya?

c. Apa type nya?

d. Bagaimana cara membedakan Noise Induce Hearing Loss (NIHL) dengan

presbikusis?

7. a. Apakah ini work-related atau terlibat dari kerja ?

b. Apa kewajiban hokum dari perusahaan tersebut ?

8. Bagaimana peran Jamsostek dalam kasus Tn.Rahmat ?

9. Bagaimana solusi untuk kasus ini dengan menerapkan prinsip kedokteran pencegahan

( Primer, Sekunder, Tersier )

4

Page 5: Skenario a Blok 21 (Revisi)

E. HYPOTESIS

Tn. Rahmat, 55 tahun, mengalami gangguan pendengaran akibat kerja karena perilaku

kesehatan yang kurang baik dan kurangnya kontrol dimana ia bekerja.

F. Synthesis

1. Berapa ambang batas normal maksimal yang dapat ditolerir oleh system audiotory

manusia ?

( waktu dan intensitas )

Anatomi Telinga

Secara anatomi, telinga dapat dibagi menjadi tiga yaitu telinga luar, tengah,

dan dalam. Telinga luar berfungsi mengumpulkan suara dan mengubahnya menjadi

energi getaran sampai ke gendang telinga. Telinga tengah menghubungkan gendang

telinga sampai ke kanalis semisirkularis yang berisi cairan. Di telinga tengah ini,

gelombang getaran yang dihasilkan tadi diteruskan melewati tulang-tulang

pendengaran sampai ke cairan di kanalis semisirkularis; adanya ligamen antar tulang

mengamplifikasi getaran yang dihasilkan dari gendang telinga. Telinga dalam

merupakan tempat ujung-ujung saraf pendengaran yang akan menghantarkan

rangsangan suara tersebut ke pusat pendengaran di otak manusia.

Konduksi Tulang

5

Page 6: Skenario a Blok 21 (Revisi)

Konduksi tulang adalah konduksi energi akustik oleh tulang-tulang tengkorak

ke dalam telinga tengah, sehingga getaran yang terjadi di tulang tengkorak dapat

dikenali oleh telinga manusia sebagai suatu gelombang suara. Jadi segala sesuatu

yang menggetarkan tubuh dan tulang-tulang tengkorak dapat menimbulkan konduksi

tulang ini. Secara umum tekanan suara di udara harus mencapai lebih dari 60 dB

untuk menimbulkan efek konduksi tulang ini. Hal ini perlu diketahui, karena

pemakaian sumbat telinga tidak menghilangkan sumber suara yang berasal dari jalur

ini.

Nilai Ambang Batas Kebisingan

Nilai ambang Batas Kebisingan adalah angka 85 dB yang

dianggap aman untuk sebagian besar tenaga kerja bila bekerja 8

jam/hari atau 40 jam/minggu. Nilai Ambang Batas untuk kebisingan

di tempat kerja adalah intensitas tertinggi dan merupakan rata-rata

yang masih dapat diterima tenaga kerja tanpa mengakibatkan

hilangnya daya dengar yang tetap untuk waktu terus-menerus tidak

lebih dari dari 8 jam sehari atau 40 jam seminggunya. Waktu

maksimum bekerja adalah sebagai berikut

No. TINGKAT

KEBISINGAN

(dBA)

PEMAPARAN

HARIAN

1. 85 8 jam

2. 88 4 jam

3. 91 2 jam

4. 94 1 jam

5. 97 30 menit

6. 100 15 menit

6

Page 7: Skenario a Blok 21 (Revisi)

2. Berapa ambang batas maksimal pemaparan terhadap kebisingan di tempat

kerja ?

( waktu dan intensitas )

KepMenNaker No.51 Tahun 1999, NAB dapat dilihat pada tabel dibawah

ini :

Waktu pemajanan per hari Intensitas kebisingan dB(A)

8 Jam 854   882   911   94      30 Menit 9715   1007.5   1033.75   1061.88   1090.94   112      28.12 Detik 11514.06   1187.03   1213.52   1241.76   1270.88   1300.44   1330.22   1360.11   139Tidak boleh terpajan lebih dari 140 dB(A) walaupun sesaat

Agar kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan perlu

diambil tindakan seperti penggunaan peredam pada sumber bising,

penyekatan, pemindahan, pemeliharaan, penanaman pohon, pembuatan

bukit buatan ataupun  pengaturan tata letak ruang dan penggunaan alat pelindung

diri sehingga kebisingan tidak mengganggu kesehatan atau membahayakan. 

7

Page 8: Skenario a Blok 21 (Revisi)

3. Bagaimana dengan HRA nya ?

Langkah-langkah Pokok HRA:

Identifikasi Hazards:

Jenis; Lokasi; Kelompok terpapar;

Dampak negatif;

Karakteristik Pemaparan:

Tingkat Pemaparan (kwalitatif vs. kwantitatif;

NAB(TLVs) dan BEIs.

Pengendalian dan Dokumentasi.

Cara mengukur kebisingan ditempat kerja:

Pengukuran dengan titik sampling

Pengukuran ini dilakukan bila kebisingan diduga melebihi ambang batas

hanya pada satu atau beberapa lokasi saja. Pengukuran ini juga dapat

dilakukan untuk mengevalusai kebisingan yang disebabkan oleh suatu

peralatan sederhana, misalnya Kompresor/generator. Jarak pengukuran dari

sumber harus dicantumkan, misal 3 meter dari ketinggian 1 meter. Selain itu

juga harus diperhatikan arah mikrofon alat pengukur yang digunakan.

Pengukuran dengan peta kontur

Pengukuran dengan membuat peta kontur sangat bermanfaat dalam mengukur

kebisingan, karena peta tersebut dapat menentukan gambar tentang kondisi

kebisingan dalam cakupan area. Pengukuran ini dilakukan dengan membuat

gambar isoplet pada kertas berskala yang sesuai dengan pengukuran yang

dibuat. Biasanya dibuat kode pewarnaan untuk menggambarkan keadaan

kebisingan, warna hijau untuk kebisingan dengan intensitas dibawah 85 dBA

warna orange untuk tingkat kebisingan yang tinggi diatas 90 dBA, warna

kuning untuk kebisingan dengan intensitas antara 85 – 90 dBA.

Pengukuran dengan Grid

Untuk mengukur dengan Grid adalah dengan membuat contoh data kebisingan

pada lokasi yang di inginkan. Titik–titik sampling harus dibuat dengan jarak

interval yang sama diseluruh lokasi. Jadi dalam pengukuran lokasi dibagi

menjadi beberpa kotak yang berukuran dan jarak yang sama, misalnya : 10 x

8

Page 9: Skenario a Blok 21 (Revisi)

10 m. kotak tersebut ditandai dengan baris dan kolom untuk memudahkan

identitas.

4. Apa hasil kesimpulan dari hasil pemaparan yang diterima Tn. Rahmat selama

30thn bekerja di perusuhaan itu ? dan apa dampaknya ke Tn. Rahmat ?

Berdasarkan nilai ambang batas kebisingan yang telah ditetapkan dalam

KepMenNaker No.51 Tahun 1999 yaitu nilai ambang batas untuk jam

kerja 8 jam yaitu 85dB(A),maka dapat disimpulkan bahwa ambang batas

kebisingan yang ada pada tiap bagian yang pernah Th.Rahmat geluti

selama 10 tahun di setiap bagian telah melampaui nilai ambang batas. Hal

ini dapat berakibat buruk kepada Tn.Rahmat yaitu kerusakan pada sistem

pendengarannya seperti penyakit Noise Induce Hearing Lose yang

merupkan salah satu penyakit yang diakibatkan pemaparan kebisingan.

Ditambah dengan perilaku Tn rahmat yang kurang peduli terhadap

pengunaan ear plug yang merupakan salah satu dari APD, dapat

meningkatkan risiko Tn.rahmat untuk mengalami gangguan pada sistem

auditorinya.

5. a. Apa dampak tidak menggunakan alat penyumbat telinga saat bekerja

Dampak terpapar Kebisingan

i. Pengaruh auditorial: NIHL

ii. Pengaruh non-auditorial: gangguan komunikasi, gelisah, rasa tidak

nyaman, gangguan tidur, peningkatan tekanan darah.

Lebih rinci dampak kebisingan terhadap kesehatan pekerja dijelaskan sbb:

1. Gangguan Fisiologis

Pada umumnya, bising bernada tinggi sangat mengganggu, apalagi bila

terputus-putus atau yang datangnya tiba-tiba. Gangguan dapat berupa

peningkatan tekanan darah (± 10 mmHg), peningkatan nadi, konstriksi

pembuluh darah perifer terutama pada tangan dan kaki, serta dapat

9

Page 10: Skenario a Blok 21 (Revisi)

menyebabkan pucat dan gangguan sensoris. Bising dengan intensitas tinggi

dapat menyebabkan pusing/sakit kepala. Hal ini disebabkan bising dapat

merangsang situasi reseptor vestibular dalam telinga dalam yang akan

menimbulkan evek pusing/vertigo. Perasaan mual,susah tidur dan sesak nafas

disbabkan oleh rangsangan bising terhadap sistem saraf, keseimbangan organ,

kelenjar endokrin, tekanan darah, sistem pencernaan dan keseimbangan

elektrolit.

2. Gangguan Psikologis

Gangguan psikologis dapat berupa rasa tidak nyaman, kurang konsentrasi,

susah tidur, dan cepat marah. Bila kebisingan diterima dalam waktu lama dapat

menyebabkan penyakit psikosomatik berupa gastritis, jantung, stres, kelelahan

dan lain-lain.

3. Gangguan Komunikasi

Gangguan komunikasi biasanya disebabkan masking effect (bunyi yang

menutupi pendengaran yang kurang jelas) atau gangguan kejelasan suara.

Komunikasi pembicaraan harus dilakukan dengan cara berteriak. Gangguan ini

menyebabkan terganggunya pekerjaan, sampai pada kemungkinan terjadinya

kesalahan karena tidak mendengar isyarat atau tanda bahaya. Gangguan

komunikasi ini secara tidak langsung membahayakan keselamatan seseorang.

4. Gangguan Keseimbangan

Bising yang sangat tinggi dapat menyebabkan kesan berjalan di ruang angkasa

atau melayang, yang dapat menimbulkan gangguan fisiologis berupa kepala

pusing (vertigo) atau mual-mual.

5. Efek pada pendengaran

Pengaruh utama dari bising pada kesehatan adalah kerusakan pada indera

pendengaran, yang menyebabkan tuli progresif dan efek ini telah diketahui dan

diterima secara umum dari zaman dulu. Mula-mula efek bising pada

pendengaran adalah sementara dan pemuliahan terjadi secara cepat sesudah

pekerjaan di area bising dihentikan. Akan tetapi apabila bekerja terus-menerus

di area bising maka akan terjadi tuli menetap dan tidak dapat normal kembali,

10

Page 11: Skenario a Blok 21 (Revisi)

biasanya dimulai pada frekuensi 4000 Hz dan kemudian makin meluas

kefrekuensi sekitarnya dan akhirnya mengenai frekuensi yang biasanya

digunakan untuk percakapan.

6. Efek produktivitas-gangguan performa kerja.

b.Faktor apa yang membuat alat ini dirasa tidak nyaman dipakai saat bekerja?

Ada beberapa hal yang mungkin dapat menyebabkan seorang pekerja tidak

mengunakan alat pelindung diri,dalam kasus ini adalah pengunaan air plug, antara

lain:

Merasa risih,panas ditelinga

Menganggu komunikasi antar sesama pekerja.

Tidak adanya sangsi yang tegas apabila tidak memakai.

Pengetahuan yang kurang mengenai alat pelindung tersebut.

Alat Pelindung pendengaran.

1. Fungsi.

Untuk melindungi alat pendengaran (telinga) akibat kebisingan, dan

melindungi telingadari percikan api atau logam-logam yang panas.

2. Jenis.

Secara umum pelindungi telinga 2 (dua) jenis, yaitu:

a. Sumbat telinga atau ear plug, yaitu alat pelindung telinga yang cara

penggunaannya dimasukkan pada liang telinga

b. Tutup telinga atau ear muff, yaitu alat pelindung telinga yang

penggunaanya ditutupkan pada seluruh daun telinga.

3. Spesifikasi.

a. Sumbat Telinga atau ear plug.

Sumbatan telinga yang baik adalah yang bisa menahan atau

mengabsorbsi bunyi atau suara dengan frekuensi tertentu saja,

sedangkan bunyi atau suara dengan frekwensi untuk pembicaraan

(komunikasi) tetap tidak terganggu. Biasanya terbuat dari karet,

platik ,lilin atau kapas. Harus bisa mereduksi suara frekwensi tinggi

(4000 dba) yang masuk lubang telinga, minimal sebesar x-85 dba,

11

Page 12: Skenario a Blok 21 (Revisi)

dimana x adalah intensitas suara atau kebisingan di tempat kerja yang

diterima oleh tanaga kerja.

b. Penutup Telinga atau Ear Muff.

Terdiri dari sepasang (2 buah, kiri dan kanan) cawan atau cup, dan

sebuahsabuk kepala (head band) Cawan atau cup berisi cairan atau busa

(foam) yang berfungsi untuk menyerap suara yang frekwensinya

tinggi.Pada umumnya tutup telinga bisa meriduksi suara frekwensi

2800-4000 hz sebesar 35-45 dba.Tutup telinga harus mereduksi suara

yang masuk ke lubang telinga minimal sebesar x- 85 dba, dimana x

adalah intensitas suara atau kebisingan di tempat kerja yang diterima

oleh tenaga kerja.

6. a. Bagaimana interpretasi dari hasil audiogram Tn. Rahmat pada tahun 1998

dan 2008?

diagnosis

- Anamnesis : penurunan pendengaraan pada frekuensi tinggi

Telinga berdenging

usia→55 tahun

terpapar kebisingan >85 dB (8jam)

- Supportive test (audiogram) : terdapat takik(notch) pada frekuensi 4000hz

- Derajat ketulian

Dapat dihitung dengan menggunakan indeks Fletcher, yaitu :

Ambang dengar (AD) = AD500Hz + AD1000Hz + AD2000Hz + AD4000Hz

4

= 25 + 30 + 35 + 50

4

= 35dB tuli ringan

12

Audiogram

Page 13: Skenario a Blok 21 (Revisi)

Data-data diatas menunjukkan jika Pak Rahmat menderita gangguang

pendengaran akibat bising (Noise induced hearing loss), jenis tuli sensorineural

dan dengan derajat ketulian tuli ringan.

b. Bagaimana cara membedakan Noise Induce Hearing Loss (NIHL) dengan

presbikusis?

NIHL Presbycusis

Gejala Kurang pendengaran disertai

tinnitus/tidak.

berat: keluhan sukar menangkap

percakapan dgn kekerasan biasa

amat berat: percakapn yang keras pu

sukar dimengerti.

Kurangnya pendengaran

secara perlahan-lahan dan

progresif disertai dengan

telingan bedenging

(tinnitus nada tinggi).

Dapat mendengar suara

percakapan tapi sulit untuk

memahami terutama

didaerah bising.

Sifat tuli Tuli sensorineural Tuli sensorineural koklea

Usia >60tahun

Patognomnik Audiometric : takik (notch) pada

frekuensi 4000hz

Noise Induced Hearing Loss (NIHL)

Definisi

Bising adalah suara atau bunyi yang mengganggu atau tidak dikehendaki. Dari

definisi ini menunjukkan bahwa sebenarnya bising itu sangat subyektif, tergantung dari

masing-masing individu, waktu dan tempat terjadinya bising. Sedangkan secara

audiologi, bising adalah campuran bunyi nada murni dengan berbagai frekwensi.

Cacat pendengaran akibat kerja (occupational deafness/noise induced hearing

loss) adalah hilangnya sebahagian atau seluruh pendengaran seseorang yang bersifat

13

Page 14: Skenario a Blok 21 (Revisi)

permanen, mengenai satu atau kedua telinga yang disebabkan oleh bising terus menerus

dilingkungan tempat kerja.

Etiologi

Faktor-faktor yang mempengaruhi pemaparan kebisingan antara lain:2

1. Intensitas kebisingan

2. Frekwensi kebisingan

3. Lamanya waktu pemaparan bising

4. Kerentanan individu

5. Jenis kelamin

6. Usia

7. Kelainan di telinga tengah

Pembagian Bising

Berdasarkan sifatnya bising dapat dibedakan menjadi:

1. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi luas

Bising jenis ini merupakan bising yang relatif tetap dalam batas amplitudo kurang

lebih 5dB untuk periode 0.5 detik berturut-turut.

Contoh: dalam kokpit pesawat helikopter, gergaji sirkuler, suara katup mesin gas,

kipas angin, suara dapur pijar, dsb.

2. Bising kontinu dengan spektrum frekuensi sempit

Bising ini relatif tetap dan hanya pada frekuensi tertentu saja (misal 5000, 1000 atau

4000 Hz), misalnya suara gergaji sirkuler, suara katup gas.

3. Bising terputus-putus

Bising jenis ini sering disebut juga intermittent noise, yaitu kebisingan tidak

berlangsung terus menerus, melainkan ada periode relatif tenang. Contoh kebisingan

ini adalah suara lalu lintas, kebisingan di lapangan terbang dll

4. Bising impulsive

Bising jenis ini memiliki perubahan tekanan suara melebihi 40 dB dalam waktu

sangat cepat dan biasanya me-ngejutkan pendengarnya.

Contoh: suara ledakan mercon, tembakan, meriam dll.

5. Bising impulsif berulang-ulang

Sama seperti bising impulsif, tetapi terjadi berulang-ulang misalnya pada mesin

tempa. Bising yang dianggap lebih sering merusak pendengaran adalah bising yang

14

Page 15: Skenario a Blok 21 (Revisi)

bersifat kontinu, terutama yang memilikis pektrum frekuensi lebar dan intensitas yang

tinggi.

7. Apakah ini work-related atau terlibat dari kerja ?

Diagnosis Penyakit Akibat Kerja

Untuk dapat mendiagnosis Penyakit Akibat Kerja pada individu perlu dilakukan suatu

pendekatan sistematis untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dan

menginterpretasinya secara tepat. Pendekatan tersebut dapat disusun menjadi tujuh

langkah yang dapat digunakan sebagai pedoman, yaitu:

1. Tentukan Diagnosis klinisnya

Diagnosis klinis harus dapat ditegakkan terlebih dahulu, dengan memanfaatkan

fasilitas-fasilitas penunjang yang ada, seperti umumnya dilakukan untuk

mendiagnosis suatu penyakit. Setelah diagnosis klinik ditegakkan baru dapat

dipikirkan lebih lanjut apakah penyakit tersebut berhubungan dengan pekerjaan

atau tidak.

2. Tentukan pajanan yang dialami oleh tenaga kerja selama ini

Pengetahuan mengenai pajanan yang dialami oleh seorang tenaga kerja adalah

esensial untuk dapat menghubungkan suatu penyakit dengan pekerjaannya. Untuk

ini perlu dilakukan anamnesis mengenai riwayat pekerjaannya secara cermat dan

teliti, yang mencakup:

a. Penjelasan mengenai semua pekerjaan yang telah dilakukan oleh penderita

secara kronologis

b. Lamanya melakukan masing-masing pekerjaan

c. Bahan yang diproduksi

d. Materi (bahan baku) yang digunakan

e. Jumlah pajanannya

f. Pemakaian alat perlindungan diri (masker)

g. Pola waktu terjadinya gejala

h. Informasi mengenai tenaga kerja lain (apakah ada yang mengalami gejala

serupa)

i. Informasi tertulis yang ada mengenai bahan-bahan yang digunakan

(MSDS, label,dan sebagainya)

3. Tentukan apakah pajanan tersebut memang dapat menyebabkan penyakit

tersebut.

15

Page 16: Skenario a Blok 21 (Revisi)

Apakah terdapat bukti-bukti ilmiah dalam kepustakaan yang mendukung pendapat

bahwa pajanan yang dialami menyebabkan penyakit yang diderita. Jika dalam

kepustakaan tidak ditemukan adanya dasar ilmiah yang menyatakan hal tersebut di

atas, maka tidak dapat ditegakkan diagnosa penyakit akibat kerja. Jika dalam

kepustakaan ada yang mendukung. Perlu dipelajari lebih lanjut secara khusus

mengenai pajanan sehingga dapat menyebabkan penyakit yang diderita

(konsentrasi, jumlah, lama, dan sebagainya).

4. Tentukan apakah jumlah pajanan yang dialami cukup besar untuk dapat

mengakibatkan penyakit tersebut.

Jika penyakit yang diderita hanya dapat terjadi pada keadaan pajanan tertentu,

maka pajanan yang dialami pasien di tempat kerja menjadi penting untuk diteliti

lebih lanjut dan membandingkannya dengan kepustakaan yang ada untuk dapat

menentukan diagnosis penyakit akibat kerja.

5. Tentukan apakah ada faktor-faktor lain yang mungkin dapat mempengaruhi

Apakah ada keterangan dari riwayat penyakit maupun riwayat pekerjaannya, yang

dapat mengubah keadaan pajanannya, misalnya penggunaan APD, riwayat adanya

pajanan serupa sebelumnya sehingga risikonya meningkat. Apakah pasien

mempunyai riwayat kesehatan (riwayat keluarga) yang mengakibatkan penderita

lebih rentan/lebih sensitive terhadap pajanan yang dialami.

6. Cari adanya kemungkinan lain yang dapat merupakan penyebab penyakit

Apakah ada faktor lain yang dapat merupakan penyebab penyakit? Apakah

penderita

mengalami pajanan lain yang diketahui dapat merupakan penyebab penyakit.

Meskipundemikian, adanya penyebab lain tidak selalu dapat digunakan untuk

menyingkirkan penyebab di tempat kerja.

7. Membuat keputusan apakah penyakit tersebut disebabkan oleh

pekerjaannya.

Sesudah menerapkan ke enam langkah di atas perlu dibuat suatu keputusan

berdasarkan informasi yang telah didapat yang memiliki dasar ilmiah. Seperti telah

disebutkan sebelumnya, tidak selalu pekerjaan merupakan penyebab langsung

16

Page 17: Skenario a Blok 21 (Revisi)

suatu penyakit, kadang-kadang pekerjaan hanya memperberat suatu kondisi yang

telah ada

sebelumnya. Hal ini perlu dibedakan pada waktu menegakkan diagnosis. Suatu

pekerjaan/pajanan dinyatakan sebagai penyebab suatu penyakit apabila tanpa

melakukan pekerjaan atau tanpa adanya pajanan tertentu, pasien tidak akan

menderita penyakit tersebut pada saat ini. Sedangkan pekerjaan dinyatakan

memperberat suatu keadaan apabila penyakit telah ada atau timbul pada waktu

yang sama tanpa tergantung pekerjaannya, tetapi pekerjaannya/pajanannya

memperberat/mempercepat timbulnya penyakit.

Peran Diagnosis PAK berkontribusi terhadap:

Pengendalian Pajanan

Identifikasi pajanan baru secara dini

Asuhan medis dan upaya rehabilitasi pekerja yang sakit dan/atau cedera

Pencegahan terulang/makin berat kejadian penyakit/kecelakaan

Perlindungan terhadap pekerja lain

Pemenuhan hak kompensasi pekerja

Identifikasi ada hubungan antara pajanan dengan penyakit.

PENYAKIT YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA

Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 Tanggal 27 Pebruari 1993

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

 

Bahwa untuk lebih meningkatkan perlindungan terhadap tenaga kerja, Undang-

undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja menetapkan

perlunya pengaturan mengenai penyakit yang timbul karena hubungan kerja

dengan Keputusan Presiden.

 

Mengingat:

 

1. Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945;

2. Undang-undang Nomor 3 Tahun 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja;

3. Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 1993 tentang Penyelenggaraan Program

17

Page 18: Skenario a Blok 21 (Revisi)

4. Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Lembaran Negara Tahun 1993 Nomor 20,

5. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3520);

 

 

MEMUTUSKAN:

 

Menetapkan:

KEPUTUSAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PENYAKIT

YANG TIMBUL KARENA HUBUNGAN KERJA.

 

Pasal 1

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja adalah penyakit yang disebabkan oleh

pekerjaan atau lingkungan kerja.

 

Pasal 2

Setiap tenaga kerja yang menderita penyakit yang timbul karena hubungan kerja

berhak mendapat jaminan Kecelakaan Kerja baik pada saat masih dalam hubungan

kerja maupun setelah hubungan kerja berakhir.

Pasal 3

(1)   Hak atas Jaminan Kecelakaan Kerja bagi tenaga kerja yang hubungan 

kerjanya telah berakhir sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diberikan, apabila

menurut hasil diagnosis dokter yang merawat penyakit tersebut diakibatkan oleh

pekerjaan selama tenaga kerja yang bersangkutan masih dalam hubungan kerja.

 

(2)   Hak jaminan kecelakaan kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)

diberikan, apabila penyakit tersebut timbul dalam waktu paling lama 3 (tiga) tahun

terhitung sejak hubungan kerja tersebut berakhir.

18

Page 19: Skenario a Blok 21 (Revisi)

 

Pasal 4

Penyakit yang timbul karena hubungan kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal

1, sebagaimana tercantum dalam Lampiran Keputusan Presiden ini.

Pasal 5

Keputusan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

b. Apa kewajiban hukum dari perusahaan tersebut ?

a. Bagaimana peran Jamsostek dalam kasus Tn.Rahmat ?

JAMINAN PEMELIHARAAN KESEHATAN

Pemeliharaan kesehatan adalah hak tenaga kerja. JPK adalah salah satu

program Jamsostek yang membantu tenaga kerja dan keluarganya

mengatasi masalah kesehatan. Mulai dari pencegahan, pelayanan di

klinik kesehatan, rumah sakit, kebutuhan alat bantu peningkatan fungsi

organ tubuh, dan pengobatan, secara efektif dan efisien. Setiap tenaga

kerja yang telah mengikuti program JPK akan diberikan KPK (Kartu

Pemeliharaan Kesehatan) sebagai bukti diri untuk mendapatkan

pelayanan kesehatan.

Manfaat JPK bagi perusahaan yakni perusahaan dapat memiliki tenaga

kerja yang sehat, dapat konsentrasi dalam bekerja sehingga lebih

produktif.

Cakupan Program

Program JPK memberikan manfaat paripurna meliputi seluruh

kebutuhan medis yang diselenggarakan di setiap jenjang PPK dengan

rincian cakupan pelayanan sebagai berikut:

19

Page 20: Skenario a Blok 21 (Revisi)

1. Pelayanan Rawat Jalan Tingkat Pertama, adalah pelayanan

kesehatan yang dilakukan oleh dokter umum atau dokter gigi di

Puskesmas, Klinik, Balai Pengobatan atau Dokter praktek solo

2. Pelayanan Rawat Jalan tingkat II (lanjutan) , adalah

pemeriksaan dan pengobatan yang dilakukan oleh dokter

spesialis atas dasar rujukan dari dokter PPK I sesuai dengan

indikasi medis

3. Pelayanan Rawat Inap di Rumah Sakit, adalah pelayanan

kesehatan yang diberikan kepada peserta yang memerlukan

perawatan di ruang rawat inap Rumah Sakit

4. Pelayanan Persalinan, adalah pertolongan persalinan yang

diberikan kepada tenaga kerja wanita berkeluarga atau  istri

tenaga kerja peserta program JPK maksimum sampai dengan

persalinan ke 3 (tiga).

5. Pelayanan Khusus, adalah pelayanan rehabilitasi, atau manfaat

yang diberikan untuk mengembalikan fungsi tubuh

6. Emergensi, Merupakan suatu keadaan dimana peserta

membutuhkan pertolongan segera, yang bila tidak dilakukan

dapat membahayakan jiwa.

 

 

Hak-hak Peserta Program JPK:

1. Memperoleh kesempatan yang sama untuk mendapatkan pelayanan

kesehatan yang optimal dan menyeluruh, sesuai kebutuhan dengan

standar pelayanan yang ditetapkan, kecuali pelayanan khusus

seperti kacamata, gigi palsu, mata palsu, alat bantu dengar, alat

Bantu gerak tangan dan kaki hanya diberikan   kepada tenaga kerja

dan tidak diberikan kepada anggota keluarganya.

2. Bagi Tenaga Kerja berkeluarga peserta tanggungan yang diikutkan

terdiri dari suami/istri beserta 3 orang anak dengan usia maksimum

21 tahun dan belum menikah.

3. Memilih fasilitas kesehatan diutamakan dalam wilayah yang sesuai

atau mendekati dengan tempat tinggal.

20

Page 21: Skenario a Blok 21 (Revisi)

4. Dalam keadaan Emergensi peserta dapat langsung meminta

pertolongan pada Pelaksana Pelayanan Kesehatan (PPK) yang

ditunjuk oleh PT Jamsostek (Persero) ataupun tidak.

5. Peserta berhak mengganti fasilitas kesehatan rawat jalan Tingkat I

bila dalam Kartu Pemeliharaan Kesehatan pilihan fasilitas

kesehatan tidak sesuai lagi dan hanya diizinkan setelah 6 (enam)

bulan memilih fasilitas kesehatan rawat jalan Tingkat  I, kecuali

pindah domisili.

6. Peserta berhak menuliskan atau melaporkan keluhan bila tidak puas

terhadap penyelenggaraan JPK dengan memakai formulir JPK

yang disediakan diperusahaan tempat tenaga kerja bekerja, atau PT.

JAMSOSTEK (Persero) setempat.

7. Tenaga kerja/istri tenaga kerja berhak atas pertolongan persalinan 

kesatu, kedua dan ketiga.

8. Tenaga kerja yang sudah mempunyai 3 orang anak sebelum

menjadi peserta program JPK, tidak berhak lagi untuk

mendapatkan pertolongan persalinan.

b. Bagaimana solusi untuk kasus ini dengan menerapkan prinsip

kedokteran pencegahan ( Primer, Sekunder, Tersier )

Pencegahan primer

Public Health Level

– Memantau status kesehatan untuk identifikasi problim di tingkat

komunitas;

– Investigasi Health Hazards di tingkat komunitas

– Enforcing law and regulations

– Mengembangkan kebijakan dan perencanaan;

Menegmbangkan kemitraan public

Pada Tingkat korporasi – perusahaan.

– Substitusi proses atau bahan beracun dengan yang tidak atau

kurang berbahaya.

21

Page 22: Skenario a Blok 21 (Revisi)

– Memakai pendekatan Engineering:

• Exhaust system

• Preventive maintenance.

– Job Re-design

• Fit the job to the workers

• Work organisation and work practices.

. Pada Tingkat Individu.

– Pendidikan dan pelatihan

– Personal Protective Equiment

• Safety helmet;

• Safety shoes

• Glove n Apron

• Face shield n Goggle

• Respirators (dust, gases)

• Garment (Al, cover all)

• Ear plug n Ear muff

– Tindakan Administratif

Pencegahan sekunder

• Screening n Surveillance

– Skrining: untuk mencari kasus yang harus diobati;

– Surveillans: adalah pengumpulan data yang sistimatik ttg Sentinel

Events.

Kedua hal diatas untuk mendeteksi gagalnya program pencegahan

Pencegahan tersier

– Pengobatan saat penyakit sudah nyata untuk meminimalisir

komplikasi dan kecacatan. Bahkan dengan tindakan rehabilitasi

atau paliatif.

22