BAB 7 : SISTEM SYARAF OTONOM Sisterm syaraf otonom (SSO) berfungsi untuk menggerakkan aktivitas involunter tubuh (termasuk didalamnya adalah sistem homeostasis kardiovaskuler, saluran pencernaan, dan keseimbangan regulasi suhu). Sistem syaraf otonom dibagi menjadi dua cabang utama : sistem syaraf simpatis (SNS), dimana ia mengontrol respons “lari atau berkelahi”, dan sistem syaraf parasimpatis (PNS), dimana ia mengatur fungsi keseimbangan tubuh termasuk fungsi digestif dan genitourinari. Aktivitas SNS dan PNS sangat penting untuk kelangsungan hidup, dan baik keadaan sakit meupun keadaan stress saat operasi dapat menyebabkan perubahan pada ANS yang bisa memberikan potensial yang serious pada tubuh. Karena itu, pasien yang dibawah pengaruh anestesi perlu memodifikasi respons suhu tubuh otonomnya untuk mempertahankan keamanan pasien. Anestesiologi kontemporer memiliki banyak obat-obatan yang ia berikan untuk menaikkan aktivitas ototnom, akan tetapi, untuk menggunakan bat-obatan ini secara efektif, maka pemahaman kita pada fisiologi dan antomi sistem syaraf otonom sangatlah diperlukan. ANATOMI SISTEM SYARAF OTONOM 1
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 7 : SISTEM SYARAF OTONOM
Sisterm syaraf otonom (SSO) berfungsi untuk menggerakkan aktivitas
involunter tubuh (termasuk didalamnya adalah sistem homeostasis kardiovaskuler,
saluran pencernaan, dan keseimbangan regulasi suhu). Sistem syaraf otonom
dibagi menjadi dua cabang utama : sistem syaraf simpatis (SNS), dimana ia
mengontrol respons “lari atau berkelahi”, dan sistem syaraf parasimpatis (PNS),
dimana ia mengatur fungsi keseimbangan tubuh termasuk fungsi digestif dan
genitourinari. Aktivitas SNS dan PNS sangat penting untuk kelangsungan hidup,
dan baik keadaan sakit meupun keadaan stress saat operasi dapat menyebabkan
perubahan pada ANS yang bisa memberikan potensial yang serious pada tubuh.
Karena itu, pasien yang dibawah pengaruh anestesi perlu memodifikasi respons
suhu tubuh otonomnya untuk mempertahankan keamanan pasien. Anestesiologi
kontemporer memiliki banyak obat-obatan yang ia berikan untuk menaikkan
aktivitas ototnom, akan tetapi, untuk menggunakan bat-obatan ini secara efektif,
maka pemahaman kita pada fisiologi dan antomi sistem syaraf otonom sangatlah
diperlukan.
ANATOMI SISTEM SYARAF OTONOM
Sistem syaraf simpatis
Serat paraganglion SSO berasal dari regio thoracolumbar spinal cord (gambar 7-
1). Badan sel dari neuron-neuron ini berda pada gray matter dan serat syarafnya
berlanjut hingga ganglia berpasangan sepanjang rantai simpatis, kemudian
berbelok ke lateral pada kolumna vertebralis, atau ia menuju pleksus distal tidak
berpasangan (yaitu pleksus celiac atau mesenterik). Serat simpatis preganglion
tidak hanya bersinapsis pada ganglion pada level asalnya dia spinal cord, namun
ia juga dapat bersinapsis diatas dan dibawah ganglia pasangannya. Karena itu,
1
respons simpatik yang terjadi tidak memiliki batas yang jelas pada segmen dimana
Gambar 7-1 representasi skematis sistem syaraf otonom berdasarkan innverasi
fungsional pada organ efektor perifernya serta asal anatomis dari nervus otonom
perifer dari medula spinalis. Sekalipun kedua rantai ganglia simpatis paravertebral
ada, innervasi simpatis menuju organ efektor perifer hanya tampak disebelah
kanan dari gambar ini saja, sementara itu innervasi parasimpatis pada organ
efektor perifer juga terjadi pada sisi kiri. Angka romawi pada nervus yang berasal
dari regio tectal batang otak menunjukkan nervus kranialis yang memberikan efek 2
parasimpatis pada organ efektornya di daerah kepala, leher, dan batang tubuh.
(dari Ruffolo R. Fisilogi dan Biokimiawi sistem syaraf otonom perifer. In
Wingard L, Brody T, Larner J, et al (eds). Human Pharmacology: Molecular to
Clinical. St. Louis, Mosby-Year Book, 1991, p 77.)
Gambar 7-2 Diagram skematis sistem syaraf otonom perifer. Serat preganglion
dan postganglion sistem syaraf parasimpatik melepaskan asetilkolin (Ach) sebagai
neurotransmitter. Serat postganglionik sistem syaraf simpatik melepaskan
norepinefrin sebagai neurotransmitternya (pengecualian berlaku pada serat di
kelenjar keringat, yang melepaskan ACh). (dikutip dari Lawson NW, Wallfisch
HK. Cardiovascular pharmacology: A new look at the pressors. pada Stoelting
RK, Barash J [eds]. Advances in Anesthesia. Chicago, Year Book Medical
Publishers, 1986, halaman 195-270.)
3
Gambar 7-3 penggambaran skematik pada ujung syaraf simpatik postganglionik.
Pelepasan neurotransmitter norepinefrin (NE) dari ujung syaraf menghasilkan
stimulasi reseptor postsinaptik, dimana ia diklasifikasikan menjadi a1, b1, dan b2.
Stimulasi reseptor presinaptik a2 menghasilkan inhibisi pelepasan NE dari ujung
nervus. (diadaptasi dari Ram CVS, Kaplan NM: Alpha- and beta-receptor
blocking drugs in the treatment of hypertension. In Harvey WP [ed]. Current
Problems in Cardiology. Chicago, Year Book Medical Publishers, 1970.)
stimulusnya berasal, sebab responsnya itu bisa diperbesar atau malah melemah.
Neuron-neuron postganglion pada SSO kemudian berjalan menuju organ target,
karena itu secara serat-serat ganglion lebih pendek karena ganglia simpatik
umumnya tertutup terhadap sistem syaraf pusat (SSP), dan serat-serat
postganglionik berjalan lebih panjang untuk menginnervasi organ effektornya
(gambar 7-2).
Neurotransmintter yang dilepaskan pada ujung terminal neuron simpatik
preganglionik adlaah asetilkolin (Ach), dan reseptor kolinergik pada neruon
postganglioniknya adalah sejenis reseptor nikotinik. Norepinefrin adalah
neurotransmitter yang dilepaskan pada ujung terminal dari neuron postganglionik
pada sinapsisnya dengan organ target (gambar 7-3). Neurotransmitter klasik pada
sistem syaraf pussat adalah epinefrin dan dopamin. Sebagai tambahan, co-
transmitter, seperti adenosine triphosphate (ATP) dan neuropeptida Y, melakukan
4
modulasi terhadap aktivitas simpatik. Norepinefrin dan epinefrin terikat pada
reseptor postsinaptis, termasuk dalam reseptor ini adalah reseptor a1-, b1-, b2- dan
b3-. Ketika norepinefrin terikat pada reseptor a2, reseptor ini terletak pada
presinaptik pada terminal syaraf simpatis postganglionik, norepinefrin berikut
yang dilepaskan mengalami penurunan (feedback negatif). Dopamin (D) terikat
pada reseptor postsinaptik atau disebut juga reseptor D2 di presinaptik.
Gambar 7-4 Biosintesis norepinefrin dan epinefrin pada ujung syaraf simpatis
(dan medulla adrenalis). A, sudut pandang dari molekul. B, proses enzimatik.
(dari Tollenaere ´JP. Atlas of the Three-Dimensional Structure of Drugs.
Amsterdam, Elsevier North-Holland, 1979, seperti yang dimodifikasi oleh 5
Vanhoutte PM. Adrenergic neuroeffector interaction in the blood vessel wall. Fed
Proc 37:181, 1978.)
Neurotransmitter simpatis disintesis dari tyrosin pada ujung syaraf simpatik
postganglion (gambar 7-3). Batas kecepatan pembentukannya tergantung dari
perubahan tyrosin menjadi dihydroxyphenylalanine (DOPA), yang dikatalisasi
oleh enzim tyrosine hydroxylase. DOPA kemudian dikonversi menjadi dopamin
dan, ketika ia sudah berada didalam vesikel didalam terminal syaraf, ia kemudian
mengalami beta-hydroxilasi menjadi norepinefrin. Pada medulla adrenalis,
norepinefrin dimetilasi menjadi epinefrin. Neurotransmitter kemudian disimpan
didalam vesikel hingga nervus postganglion distimulasi. Vesikel ini kemudian
bersatu dengan membran sel dan melepaskan isinya menuju sinaps (gambar 7-5).
Secara umum, 1% dari keseluruhan total norepinefrin dilepaskan pada setiap
proses depolarisasi, sehingga terdapat banyak fungsi yang tersimpan. Norepinefrin
kemudian berikatan pada reseptor adrenergik pre- dan post-sinaptik. Reseptor
postsinaptik kemudian mengaktifkan sistem penyampai pesan kedua pada sel
post-sinaptik melalui aktivitas protein-terkait-G. Ketika norepinefrin dilepaskan
dari reseptor, kebanyakan diambil secara aktif oleh terminal syaraf presinaptik dan
ditransportasikan untuk disimpan didalam vesikel agar dapat digunakan ulang.
Norepinefrin yang tidak melalui proses pengambilan ulang, akan berjalan menuju
sirkulasi untuk kemudian di metabolisme oleh mono-amine oxidase (MAO) atau
catechol-O-methyltransferase (COMT) enzim dalam darah, hati, atau ginjal.
Sistem syaraf Parasimpatik
Sistem syaraf simpatis berasal dari nervus cranialis III, VII, IX dan X, juga
berasal dari segmen sakral (lihat gambar 7-1). Berbeda dengan ganglia pada SNS,
ganglia pada PNS berada pada posisi tertutup terhadap (atau bahkan didalam)
organ targetnya (lihat gambar 7-2). Seperti halnya SNS, nervus terminalis
preganglionik melepaskan Ach menuju sinaps, dan sel postganglionik berikatan
dengan Ach melalui reseptor nikotinik. Nervus terminal postganglionik kemudian
melepaskan Ach menuju sinaps yang berbagi dengan sel target organnya.
6
Gambar 7-5 Pelepasan dan reuptake norepinefrin pada ujung syaraf simpatik.
Dikutip dari Ruffolo R. Physiology and biochemistry of the peripheral autonomic nervous system. In Wingard L, Brody T, Lamer J, et al (eds). Human Pharmacology: Molecular to Clinical. St. Louis, Mosby–Year Book, 1991, p 77.
EPINEFRIN
Seperti halnya norepinefrin, epinefrin berikatan pada reseptor a dan b.
Epinefrin endogen digunakan intravena pada kondisi mengancam jiwa seperti
untuk mengatasi henti jantung, kolaps sirkulasi, dan reaksi anafilaksis. Ia juga
9
biasanya digunakan secara lokal untuk menurunkan penyebaran anestesi lokal dan
menurunkan jumlah darah yang hilang pada proses operasi. Diantara efek terapi
dari epinefrin, adalah inotropik dan kronotropik positif, ia meningkatkan konduksi
jantung (b1) ; relaksasi otot polos pada vaskuler dan cabang-cabang bronkus (b2);
dan vasokonstriksi (a1). Efek-efek ini yang mendominasi tergantung dari jumlah
epinefrin yang diberikan. Epinefrin juga memberikan efek endokrin dan metabolik
yang terdiri dari peningkatan kadar gluksa darah, laktat, dan asam-lemak bebas.
Tabel 7-2 Efek farmakologi dan Dosis Terapi Katekolamin