Top Banner

of 61

Sistem Imun

Oct 30, 2015

Download

Documents

dimastrend

sains
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

Epitop adalah bagian dari suatu antigen (biasanya protein) yang dipersentasikan oleh APC (antigen presenting cells, misalnya sel dendritik, sel makrofag). Epitop sering juga disebut determinan antigenik. Ini merupakan sekuens asam amino yang dipersentasikan melalui kompleks HLA (pada manusia MHC) kemudian dipresentasikan ke sel efektor (misal limfosit T helper) yang kemudian akan menimbulkan respon imunitas.Ditulisan yang laen epitop didefinisikan sebagai antibodi yang berinteraksi dengan antigen.

3 metode yang bisa digunakan untuk proses identifikasi epitop adalah Immonokimia, crystallograpohy X-Ray dan metode prediksi. Dari hasil penelitian, imunogen sedikitnya harus memiliki 2 determinan atau 2 epitop untuk dapat merangsang antibody. Identifikasi epitop ini nantinya akan sangat berguna dalam pembuatan vaksin.Ada epitop linier dan epitop konformal. Jumlah epitop liner di dalam protein asli hanya 10 %, sementara sebagian besar epitop sel-B dikenal dalam bentuk konformal. Epitop konformal tersusun atas beberapa segmen diskontinu sebagai antigen determinan yang secara spasial sangat dekat dengan struktur 3 dimensi. Prediksi Epitop konformal dapat digunakan untuk memprediksi susunan residu, lokasi epitop, immunological property epitop, antigen sumber dan antibody yang sesuai. Gambaran antara epitop dengan antibody tuh seperti kunci dengan gemboknya..(whats mean??? wait in next tutorial)

Dalam rekayasa genetika (teknologi DNA rekombinan misalnya), misalnya pada desain vaksin, peneliti sering mengeksplorasi sekuens asam amino (dan sekuens DNA) dari epitop ini dalam desain vaksin yang efektif. Informasi genetik dari epitop ini akan dirakit, misalnya dalam bentuk plasmid (dengan konstruksi khusus, ada bahasan tersendiri-red) yang akan ditransformasikan (dimasukkan) dalam sel yang kompeten semisal bakteri, yeast, dll dan kemudian dilakukan kultur (perbanyakan).Harapannya sel yang kompeten tersebut akan memproduksi protein rekombinan dari epitop/antigen yang telah dikonstruksikan dalam plasmid dan akhirnya protein tersebut bisa dipurifikasi sehingga bisa dipergunakan dalam vaksinasi.Jadi emang epitop ini bisa diekplorasi dalam teknologi rekayasa DNA (genetika).

Okesegitu dlu deh sharingnyayang jelas ketika belajar Bioinformatics khususnya ketika sudah masukke materi genome and Protein Molecular aku jadi semakin takjub dengan kebesaranNyasubhanallahbegitu sempurna ciptaanNya ^^

Tubuh kita secara terus-menerus terpapar oleh mikroorganisme yang dapat menyebabkan penyakit. Namun kita belum tentu sakit, hal ini dikarenakan adanya peran dari sistem imun.

Mikroorganisme yang menyerang tubuh kita dapat berupa :

Bakteri - mycoplasma

Virus - jamur

Riketsial - bahan kimia

Respon tubuh terhadap imun pada dasarnya berupa proses pengenalan dan eliminasi. Jika salah satu atau kedua proses ini terganggu maka akan terjadi gangguan seperti : autoimun, hipersensistif, dan imunodefisiency.

Ketika ada antigen masuk sistem imun (spesifik dan non-spesifik) merespon mengeliminasi benda asing.

Kegagalan eliminiasi menyebabkan patologis

Fase respon imun

1. Fase pengenalan

Terjadi ikatan antara antigen asing dengan reseptor yang ada di leukosit mature (makrofag)

2. Fase aktivasi

Terjadi proliferasi dan diferensiasi sel imunokompeten

3. Fase efektor

Terjadi eliminasi dari antigen yang masuk. Fase ini berbeda-beda tiap sel imunokompeten. Misal

pada makrofag : tjd kematian sel

sel T : membentuk sitokin/interleukin

Sel B : produksi antibody

Sel NK : terjadi lisis sel tumor atau sel yang terinfeksi virus

Reaksi imunitas dalam tubuh dapat dibedakan menjadi 2 :

1. Humoral : melibatkan molekul yang ada di sirkulasi (antibody, komplemen)

2. Seluler : diperankan oleh sel T (sel T sitotoksik/CD8, sel NK)

Sistem imunitas tubuh (sistem limphoreticular) tersusun oleh

Sel : basofil, eosinofil, sel t, sel B,

Termasuk juga subset-subsetnya (Th, Tc, Ts, antibodi)

Organ/ jaringan

Primer : timus, sumsum tulang

Sekunder : limpa dan nodus limfatikus

Sistem imun dibedakan jadi spesifik dan nonspesifik (hmyang ini udah banyak di bahas ya Cuma dikasih tambahannya aja) Asam neuraminik : di keringat

Interferon :

salah satu sitokin yang diproduksi sel normal atas infeksi virus.

Interferon ini berfungsi menghambat replikasi virus.

Caranya :

Interferon mengaktifkan 2-5 oligonukleotid - dibentuk oligonukleotid mengaktifkan RNAse RNA rusak replikasi virus terganggu

Monosit di sirkulasi, di jaringan namanya makrofag

Sel null : sel imunokompeten yang tidak punya penanda permukaan

T helper : CD4

T sitotoksik : CD8

Perbedaan sistem imun nonspesifik dan spesifik

Nonspesifik

Bekerja segera (sbg pertahanan pertama)

Respon non-spesifik

Sifat resistensi tetap, tidak meningkat oleh infeksi ulang

Molekul pengenal di permukaan semua ada secara alamiah. Punya banyak reseptor pengenal.

Mengenal komplek karbohidrat yg menjadi bagian dari sel kuman.

Molekulnya complement

Selnya fagosit (makrofag, dendritik, neutrofil, monosit)

Spesifik

Perlu waktu untuk aktivasi

Hanya merespon antigen yang sudah pernah masuk

Resistensi meningkat oleh infeksi ulang (sbg dasar untuk vaksinasi)

Ada seleksi klonal. Reseptor yg berkembang adalah reseptor yang sudah tersensitasi.

Hanya mengenal peptide kecil yang dipresentasikan oleh sel aksesori

Molekul sirkulasi berupa antibody

Sel limfosit

HLA 1 berperan pada CD8

Antigen virus di sitosol masuk di sitoplasma terjadi pelepasan dinding virus degradasi oleh komplek enzim proteasom jadi fragmen kecil dibawa ke reticulum endoplasma ketemu HLA komplek antigen HLA dibawa ke permukaan sel dipresentasikan

HLA 2 berperan pada CD 4

Bakteri masuk lewat fagosom degradasi oleh hidrolase di fagosom / lisosom ketemu HLA dibawa ke permukaan sel dipresentasikan.

Istilah dalam Imunologi

Antigen : benda asing yang masuk yg dapat merangsang antibody

Antobodi : protein globulin yg terbentuk akibat adanya antigen yang masuk

Imunogen : sama dg antigen = zat asing yang masuk yg merangsang sistem imun.

Imunogenitas : derajat keimunogenan suatu zat.

Komplemen : protein yang ada di tubuh normal

Epitop : determinan antigen; bagian dari antibody yg bereaksi dengan antigen.

Valence : jumlah epitop dlm 1 molekul antigen

Adjuvans : zat yg bukan antigen tapi jika diberikan bersama antigen bisa meningkatkan respon imun.

Biasanya diberikan pada saat vaksinasi biar antigen tadi bisa memberikan rangsangan imunologis yang kuat.

Ada beberapa mekanisme:

Mempresentasikan antigen sedikit demi sedikit

Merangsang molekul Co stimulator (ada yg di sel aksesori, ada yg di sel T)

Yang di sel aksesori ; CD 40, punya ligan (ikatan) CD 40L, B71 ligannya C28, B32 ligannya CTLA4.

Signal : antigen HLA dan molekul co-stimulator.

Tanpa molekul co-stimulator bisa presentasi, tapi tidak ada respon sel T. Terjadi imunologi toleran.

Imunologi toleran : tidak ada respon sel T.

Antigen dalam tubuh kita sendiri bersifat toleran. Jika ada gangguan toleran maka terjadi penyakit autoimun. Atau molekul yang sifatnya tersembunyi (korne mata, protein histon), jika ada infeksi molekul tersembunyi ini akan keluar dan terjad kontak shg terjadi proses autoimun.

Antigen dibedakan jadi

1. T dependent antigen

Melibatkan sel T helper. Terutama antigen protein

Antigen masuk ditangkap makrofag presentasi sel T Sel T aktif _ jadi Th1 dan 2 menghasilkan sitokin merangsang sel B jadi sel plasma

2. T independent

Non protein

Tdk melibatkan sel T helper, tanpa presenteasi dari HLA. Akibatnya didapatkan titer antibody yang rendah.

Tidak merangsang timbulnya sel memori

Jika ada antigen bob protein masuk tidak melibatkan sel T langsung direspon sel B karena di permukaan sel B ada Ig permukaan sel B aktif jadi sel plasma.

3. Auto antigen

Dari tubuh kita sendiri shg tidak ada respon imunologis karena HLA cocok.

4. Alloantigen

Individu beda tapi sama spesies. Ada reaksi imunitas karena molekul HLA beda. KAraen HLA bersifat polimorfik

5. Iso antigen

dari individu beda tapi genetic sama , misal pada kembar siam.

Belum tentu ada kecocokan HLA tapi setidaknya perbedaannya sangat kecil.

Imunogenitas dan antigenitas tergantung pada

1. Zat antigen itu sendiri

Makin asing makin bereaksi imunologi

Makin besar, makin antigenic

Makin komplek, makin antigenic

Makin mudah larut, makin antigenic

Makin kaku, makin antigenic

2. Faktor host

Poten atau ga

Ada ga clone spesifik

Kemampuan sel aksesori utk respon

Umur (dibawah 3 tahun dan di atas 40 th makin bereaksi)

Status nutrisi

Ada ga locus HLA.

3. Cara masuknya

Dosis

Jalan masuk. Kalo lewat oral dan parenteral lebih kuat. Karena antigen langsung kontak dengan sel imunokompeten

Bentuknya, apa dikasih sama adjuvans

Jadwalnya apakah diberikan sekali atau booster.

Bakterial Antigen

1. Flagellar

Bisa protektif : kolera

2. Phili

Semacam papilla kecil.

Phili adalah faktor invasi kuman utk masuk ke jaringan.

Ada 2 bentuk. Phili tambahan dan sex-phili utk perputaran bahan genetic.

Yang punya phili, lebih virulen. Misal pada gonorhea. Punya phili tapi karena kasase berulang-ulang phili jadi mudah hilang akibatnya jadi ga virulen.

Virulen itu keganasan. Biasanya ditandai dengan derajat patogenitas yang bisa diukur.

Contoh lain yaitu ETEC (entero toksigenik e.choli)

3. Bakteri somatic

Bisa berasal dari kapsula atau dari dinding sel kuman (polisakarida membaran luar).

Bakteri punya kapsul. Yang punya kapsul digunakan utk melekatkan kuman pada jaringan dan akibatnya kuman susah difagositosis. Karena kapsul punya komponen yang susah dicerna.

4. Bakteri Toksin

Dibedakan jadi endotoksin dan eksotoksin. Endo di dalam tubuh kuman.

Eksotoksin

Hemolisin : merusak darah

Leucocidine : merusak leukosit

Hyaluronidase : menyebabkan bakteri menyebar ke seluruh tubuh

Colagenasae : merusak kolagen

Coagulase : menyebabkan deposit fibrin di permukaan sel.

Komponen utama imun

Sel B Di permukaan ada kompenen IgG

Sel T Berasal sel yang sama dengan sel B tapi berkembang di tempat yang beda. Berasal dari sumsum tulang tapi, maturasinya di timus.

Membentuk interleukin/sitokin

Tidak bisa mengenal antigen langsung

Sel fagosit Yang utama yaitu makrofag

Professional : di setiap tahap perkembangan

Paraprofessional : hanya pada imatur saja. Kalo maturl lalu ke perifer dan mengalami apoptosis.

Nonprofesional :

Makrofag1. Mendeteksi mikroba karena di permukaan ada resptor (opsonik dan non-opsonik)

2. Mencegah kuman masuk (karena dimakan)

Yang mudah difagosit yang di ekstraseluler

Membentuk formasi granulasi

3. Menarik sel imunokoompeten yang lain utk aktif dan mau datang ke tempat infeksi dengan cara mengeluarkan sitokin dan mediator inflamasi.

4. Sbg sel aksesori pada aktivasi limfosit. Karena makrofag mampu menpresentasi dan membentuk co-stimulaor.

Ada banyak, tapi yang unik di CTLA4. Jika CTLA4 terbentuk maka respon sel T akan diblok.

5. Sbg sel efektor Karena dapat membunuh kuman dan menghancurkan dinding sel dalam sirkulasi

Properti makrofag

1. Membran resptor

1. Scavenger reseptor : punya spectrum luas dan bisa mengenal bakteri gram positif dan negatif

2. C reseptor : reseptor utk komplemen

3. Fc gama reseptor utk reseptor antibody.

4. Sitokin reseptor : utk sitokin

5. CD14 reseptor: resptor utk LPS

2. Memproduksi banyak sitokin

1. IL-1 : mediator proinflamasi yaitu pirogen endogen

2. TNF alfa : faktor pro-inflamasi

Dapat merangsang molekul HLA tipe 1 dan mengekspresikan molekul

1. IL-12 : penentu perkembangan sel TH1

2. IL-10 : sitokin anti respon imun. Dapat memblok proses inflamasi dan memblok aktivasi makrofag.

3. IL-4 : faktor pertumbuhan utk sel imfosit, penentu perkembangan sel Th2

4. FGF ; utk repair jaringan rusak

2. Proses dan presentqsi antigen

3. Memproduksi enzim

Makrofag yang datang ke tempat infeksi, jelek karena tidak bisa membedakan kawan dan lawan shg terjadi kerusakan jaringan

5. Membentuk bioaktif lipid

Reaksi oksiegen dan nitrogen terjadi kematian sel yang difagositosis

Proses fagositosis

Ada beberapa tahap

1. Pengenalan antigen melalui reseptor permukaan

2. Melekat, antigen masuk. Terbentuk fagosom.

3. Terjadi maturasi fagosom. Yg sudah matur ph4.

4. Terjadi fusi antara fagosom dan lisosom menjadi fagolisosom

5. Terjadi kematian kuman

6. Terjadi kematian mikroba karena ph yang turun

7. Pelepasan zat penting seperti zat besi

8. Terbentuk senyawa oksigen dan nitrogen intermediat. Dimediasi oleh beberapa enzim:

1. Nramp1 (natural resisten associated makrofag protein 1) : pelepasan divalent kation keluar dari fagosom

2. Phox (phagosite oksikdase): terbentuk senyawa oksigen intermediate

3. Inos (invisible nitrit okside)

Phox : oksigen ke superokside.

Protein di membrane dalam fagosom mengkatalisir oksigen jadi superokside dengan bantuan NADPH superokside jadi hidroge peroksidde ditambah MPO dan Cl jadi hipoklorid yang bakterisida (membunuh kuman / antibacterial)

Inot:

Inot aktif jika ada induksi faktor proinflamasi seperti IL1, LPS, TNF alfa, IFN gama. Trus dengan deamine oksidatif L-arginin menjadi NO. NO bersama thiol groups menjadi nitrosothiol, kalo NO ditambah H2O2 jadi peroxynitrit.

Lanjut proses fagositosis yang tadi9. Membentuk soluble mediator seperti kemotaktik shg merangsang sel imunokompeten lain utk datang

10. Presentasi antigen ke CD8 melibatkan HLA. Kalo bakteri ke CD4 dengan membentuk costimulator.

Proses masuknya antigen

Jika ada antigen bakteri masuk untuk pertama kali makrofag / dendritik sel bekerja

antigen bakteri dipresentasikan bersama HLA tipe2 ke CD4 - makrofag aktif menghasilkan sitokin (IL-1, IL-4, IL-12) CD4 jadi Th1 dan Th2

Jika IL-4 lebih dominan, Th2 lebih dominan.

Kalo IL-12 lebih dominan, jadi Th1.

Kalo Th1 yang dominan, imunitas seluler lebih menonjol.

Kalo Th2 yang dominan, imunitas humoral yang lebih menonjol

Th1 dan Th2 akan mengeluarkan sitokin (BCGF,BCPF, BCDF) merangsang sel B menjadi sel plasma terbentuk antibody terjadi proses ADCC (lisis sel yang melibatkan antibody)

CD 4 ini menyebabkan antibody yang aktif adalah IgE sehingga terjadi proses hipersensitifitas. Harusnya kalo CD4 diblok, yang aktif adalah IgM.

IL-12 merangsang sel NK salah satu sel yang berperan dalam sel tumor dan sel yang diinfeksi virus menghasilkan interferon gama mengaktifkan makrofag yg lain meningkatakan potensial killing makrofag.

kalo virus dipresentasikan ke CD8 menghasilkan IL-2 membantu perkembangan sel B membentuk sel plasma terbentuk antibody.

Mikroba bakteri masuk lewat fagosom berkembang fusi dg lisosom antigen diproses jadi fragmen kecil di fagolisosom di RE terbentuk HLA HLA ditranspor ke golgi lalu ke fagolisosom berikatan dengan fragmen antigen ke permukaan sel dipresentasikan ke CD4.

Virus masuk lewat endositosis masuk ke sitoplasma uncoating tinggal protein virus dipecah oleh proteasom jadi fragmen kecil asam amino ditransport ke RE lewat TAP masuk ke RE diikat oleh HLA ditransport ke golgi ke permukaan sel dipresentasikan ke CD8.

Costimulator

Presentasi antigen respon sel T jika ada 2 sinyal (antigen HLA dan costimulator).

Jika tidak ada molekul costimulator (tidak kompeten) tidak terjadi respon sel T (disebut imunologi kompeten).

CTLA4 tidak diblok berhubunagn dg costimulator respon akan diblok biar terjadi rangsangan, maka jangan berikatan dengan B7-2. Jadi CTLA-4 berfungsi sbg regulator.

Komplemen sistem

Jika aktif, bisa

melisiskan benda asing,

meningkatkan proses fagositosis,

menyebabkan inflamasi,

menstimulasi / menarik imunokompeten lain.

Aktivasi sistem komplemen

Harus diatur suatu protein utk mengaktivkan dan menurunkan aktivasi, menjaga agar tidak terjadi kerusaan jaringan host.

Pertama dibentuk oleh sel hepatosit.

Punya 4 fungsi:

opsonisasi karena ada reseptor opsonic

Menyebabkan lisis sel target

Menyebabkan proses inflamasi krn dihasilkan faktor proinflamasi

Pembersihan komplek imun

Proses aktivasi

Jalur klask

Jalur alternative

Jalur leptin???

Kalo ada komplek antigen dan antibody lewat reseptor Fc melekat pada komponen C1 memecah C4 jadi C4a dan C4 b; bisa juga pecah C2 menjadi C2a dan jadi C2b.

C2b dan C4b berikatan jadi enzim C4b2b bersama C3b (yang berasal dari pecahan C3 menjadi C3a dan C3b) membentuk C4b2b3b.

C4b2b3b berikatan dengan C5 menjadi C5a dan C5b.

C5b berikatan dengan C6 menjadi C5b6 bersama C7, C8, dan C9 menjadi MAC- menyebabkan dinding berlubang terjadi lisis.

Jalur alternative

Tidak melibatkan antibody, tapi dirangsang oleh komponen LPS bakteri.

C3 dengan faktor B C3bB dengan faktor D jadi C3bBb bersifat tidak stabil biar stabil mengiat property memecah c3 jadi C3a dan C3b mergabung jadi C3bBb3b jadi C5 Lanjutnya kaya jalur klasik.

Aktivasi komplemen harus diatur agar tidak berlebihan. Caranya

Menghambat aktivasi C1

shg awal dari proses dihambat

Dalam sirkulasi selalu berikatan dengan C1 inhibitor maksudnya biar tidak terjadi aktivasi komponen sembarangan

Dengan protein yang berikatan dengan C3 dan C5, namanya C4 binding protein dan DAF

Menghambat oemecahan c3 dan c5 shg tidak terjadi faktor komplemen tidak terjadi lisis sel

Dengan faktor 1 menyebabkan pecahnya c3b dan C4b

Regulasi jalur alternative

Menghambat ikatan B dengan C3b dengan faktor H

Dengan faktor 1 - pemecahan C3 terganggu

Dengan MAC

CD59 terjadi gangguan perlekatan C9 dengan C6,7,8 shg tidak terjadi lisis sel

Respon Imun: Sebuah Tinjauan

Abstrak

Sistim imun berkembang untuk melindungi inang dari mikroba patogenik dunia yang juga secara konstan berkembang. Sistim imun juga membantu inang menyingkirkan berbagai substansi toksik atau alergenik yang masuk melalui permukaan mukosa. Inti dari kemampuan yang dimiliki sistim imun dalam memobilisasi respon terhadap sebuah patogen, toksin atau alergen yang menginvasi adalah kemampuannya untuk membedakan self from non-self. Inang menggunakan kedua mekanisme bawaan maupun adaptif untuk mendeteksi dan menyingkirkan mikroba patogen. Kedua mekanisme ini meliputi diskriminasi self-non self. Tinjauan ini mengindentifikasi mekanisme kunci yang digunakan sistim imun dalam menanggapi mikroba penginvasi dan berbagai gangguan eksogen lainnya dan mengidentifikasi setingan pada mana fungsi imun yang terganggu mengeksaserbasi cedera jaringan.Kata kunci: imunitas adaptif, atopi, sel B, komplemen, ko-stimulasi, inflamasi, imunitas bawaan, superantigen, sel T, toleransi

Pendahuluan

Manusia dan mamalia lainnya hidup pada sebuah dunia yang penuh berisikan mikroba patogen maupun non-patogen, dan yang mengandung berbagai substansi toksik dan alergenik dengan rentangan luas yang dapat merusak homeostasis normal. Komunitas mikroba meliputi yang mutlak pathogen, dan yang menguntungkan, organisme komensal, yang inang harus menerimanya dan tetap menjaga keberadaannya dalam rangka mendukung fungsi normal jaringan dan organ. Mikroba pathogen memiliki koleksi mekanisme yang luas melalui mana mereka berreplikasi, menyebar dan merusak fungsi normal inang. Pada saat bersamaan sistim imun yang selama menyingkirkan mikroba patologis dan protein toksin atau alergeniik, ia harus menghindarkan berbagai respon yang memproduksi kerusakan berlebih jaringan inang sendiri atau yang mungkin menyingkirkan mikroba menguntungkan, mikroba komensal. Lingkungan kita mengandung mikroba pathogen dan berbagai substansi toksik berrentang sangat luas yang menantang inang dengan seleksi mekanisme patogenik yang sangat lebar. Dengan demikian, tidaklah mengherankan, bahwa sistim imun menggunakan berjenis mekanisme protektif yang kompleks guna mengontrol dan biasanya menyingkirkan semua organisme dan toksin ini. Gambaran umum sistim imun adalah bahwa semua mekanisme ini mengandalkan pada pendeteksian gambaran struktural patogen atau toksin yang menandainya sebagai sesuatu yang berbeda dari sel-sel inang. Diskriminasi inangpatogen atau inangtoksin seperti itu adalah penting guna mengijinkan inang untuk menyingkirkan bahan perusak tanpa merusak jaringan milik sendiri.Mekanisme yang mengijinkan pengenalan struktur mikroba, toksik, atau alergenik dapat dipecah menjadi dua kategori umum: i) berbagai respon terprogram yang disandi oleh gen dalam garis turunan inang dan yang mengenal pola-pola molekuler yang dibagikan baik oleh mikroba maupun toksin yang tidak terdapat dalam inang; dan ii) berbagai respon yang disandi oleh elemen-elemen gen yang secara somatik diatur ulang untuk merangkai molekul pengikatan-antigen dengan spesifisitas istimewa bagi struktur asing unik individual. Set pertama dari respon inang tersebut merupakan respon imun bawaan. Oleh karena pengenalan molekul yang dgunakan oleh sistim bawaan diekspres secara luas pada sejumlah besar sel, sistim ini diyakini untuk bekerja dengan cepat segera setelah menghadapi penginvasian patogen atau toksin dan, dus, merupakan respon inang awal. Set kedua respon inang merupakan respon imun adaptif. Oleh karena sistim adaptif berkomposisikan sejumlah kecil sel dengan spesifisitas untuk beberapa patogen, toksin atau alergen individual, sel-sel yang berrespon harus berproliferasi terlebih dahulu segera setelah menghadapi antigen dalam rangka untuk mendapatkan jumlah yang cukup guna memunculkan sebuah respon efektif melawan mikroba atau toksin. Dus, respon adaptif secara umum mengekspres dirinya secara sementara setelah berlangsungnya respon bawaan dalam pertahanan inang. Gambaran kunci respon adaptif adalah bahwa ia memproduksi sel-sel berusia panjang yang tetap berada dalam penampakan/keadaan tidur (dormant), namun dapat mengekspres ulang fungsi efektor dengan cepat setelah menghadapi antigen spesifik mereka yang lain. Ini memberikan respon adaptif berkemampuan memanifestasikan memori imun, sehingga memungkinkan ia untuk menyumbang besar bagi respon inang yang lebih efektif melawan patogen atau toksin spesifik saat ketika mereka dihadapkan pada kedua kalinya, bahkan berpuluh tahun setelah menghadapi sensitisasi awal.

Diskriminasi Diri-Sendiri dari Bukan Diri-Sendiri

Sistim imun memperkerjakan banyak mekanisme efektor poten yang memiliki kemampuan untuk menghancurkan berjenis-jenis sel mikroba dan untuk membersihkan berjenis-jenis bahan toksik dan alergenik. Adalah sangat penting, karenanya, bahwa respon imun berkemampuan untuk menghindarkan pembiaran mekanisme merusak ini melawan jaringan inang sendiri. Kemampuan respon imun untuk menghindarkan merusak jaringan-sendiri disebut sebagai toleransi-diri (self-tolerance). Oleh karena kegagalan toleransi diri banyak yang mendasari berjenis-jenis kelas penyakit otoimun, proses ini telah secara ekstensif dipelajari. Saat ini telah jelas bahwa mekanisme untuk menghindarkan reaksi melawan antigen-sendiri diekspres dalam banyak bagian baik dari respon imun bawaan maupun adaptif. Mekanisme yang mendasari perlindungan jaringan-sendiri yang normal dari perusakan imun akan didiskusikan dari masing-masing sisi efektor utama respon imun inang.Oleh karena aspek penting dari bagian sisi sel T sistim imun adalah untuk pengenalan sel-sel inang yang terinfeksi oleh virus, bakteri intraseleluler atau parasit intraseluler lainnya, sel-sel T telah mengembangkan sebuah mekanisme elegan yang mengenal antigen asing bersamaan dengan antigen-sendiri sebagai sebuah kompleks molekuler (lihat bagian Pengenalan Antigen oleh Limfosit T di bawah). Persyaratan tentang sel-sel T mengenal struktur-sendiri dan antigen asing ini, membuat kebutuhan sel-sel ini untuk mempertahankan toleransi-diri sangatlah penting.

Gambaran Umum Imunitas Bawaan dan Adaptif

Didefinisikan secara umum, sistim imun bawaan meliputi semua aspek mekanisme pertahanan yang dimiliki inang yang disandi dalam bentuk fungsional dewasa oleh gen-gen garis turunan inang. Semua ini meliputi barier fisik, seperti lapisan sel epitel dan yang mengekspres kontak sel sel yang ketat (tight junction, interaksi sel bermediasikan-kadherin, dan lainnya), lapisan mukus tersekresikan yang melapisi epitel dalam saluran respirasi, gastrointestinal dan urogenital, dan silia epitel yang menyapu lapisan mukus ini memungkinkannya menjadi secara konstan tersegarkan setelah ia terkontaminasi dengan partikel terhisap atau tertelan. Respon bawaan juga meliputi berbagai protein yang dapat larut dan molekul kecil bioaktif yang apakah secara konstitutif hadir dalam cairan biologis ( seperti misalnya, protein komplemen, defensin, dan fikolin [1-3]) ataukah yang dibebaskan dari sel-sel dalam bentuk teraktifasi (meliputi sitokin yang meregulasi fungsi sel-sel lain, khemokin yang menarik lekosit inflamasi, mediator lipid inflamasi, berbagai spesies radikal bebas reaktif, berbagai amin dan enzim bioaktif yang juga menyumbang bagi inflamasi jaringan). Yang terakhir, sistim imun bawaan meliputi berbagai reseptor berikatan membran dan protein sitoplasmik yang berikatan dengan pola-pola molekuler yang diekspres pada permukaan mikroba penginvasi. Beberapa aspek dari pertahanan inang bawaan adalah aktif secara konstitutif (seperti misalnya selimut mukosilier yang menutupi banyak epitel), dan lainnya diaktifasi mengikuti interaksi sel-sel inang atau protein inang dengan struktur kimia yang khas dari mikroba penginvasi namun yang tidak hadir dari sel-sel inang.Tidak seperti halnya mekanisme pertahanan inang bawaan, sistim imun adaptif memanifesasikan spesifisitas istimewa bagi berbagai antigen yang menjadi targetnya. Respon adaptif didasarkan terutama pada reseptor yang spesifik-antigen yang terekspres pada permukaan limfosit-T dan B. Tidak seperti halnya molekul pengenalan tersandi-garis turunan dari respon imun bawaan, reseptor yang spesifik-antigen dari respon adaptif disandi oleh gen yang dirakit/dirangkai melalui penataan ulang somatik dari elemen-elemen gen garis turunan untuk membentuk gen-gen utuh T cell receptor (TCR) dan imunoglobulin (reseptor antigen sel B; Ig). Perakitan reseptor antigen dari sebuah pengumpulan beberapa ratus elemen gen tersandi-garis turunan memungkinkannya membentuk berjuta-juta reseptor antigen berbeda, yang masing-masingnya secara potensiil memiliki spesifisitas unik bagi sebuah antigen berbeda.Mekanisme yang mengatur perakitan reseptor antigen sel B dan T ini dan yang menjamin pemilihan repertoar yang berfungsi dengan benar dari sel-sel pengemban reseptor asal dari repertoar potensiil yang terbangkitkan secara sangat acak akan diperkenalkan di bawah ini.Sistem kekebalan tubuh bawaan dan adaptif sering digambarkan sebagai yang berlawanan satu sama lain, bagian terpisah dari respon inang; namun biasanya mereka bertindak bersama-sama, dengan respon bawaan akan mewakili garis pertama pertahanan tuan rumah, dan respon adaptif mengemuka setelah beberapa hari, ketika sel T dan B yang spesifik-antigen telah menjalani pengekspansian klonal. Komponen dari sistem bawaan menyumbang bagi pengaktifasian sel-sel yang spesifik-antigen. Selain itu, sel-sel yang spesifik-antigen memperkuat respon mereka dengan merekrut mekanisme efektor bawaan untuk memenuhi fungsi pengontrolan penuh terhadap invasi mikroba. Dengan demikian, sementara respon imun bawaan dan adaptif pada dasarnya berbeda dalam mekanisme aksi mereka, sinergi di antara mereka sangatlah penting bagi sebuah respon imun yang utuh, yang sepenuhnya efektif.

Elemen Seluler dari Respon ImunRespon imun yang utuh meliputi kontribusi dari banyak himpunan bagian lekosit. Subset lekosit berbeda dapat dibedakan secara morfologi oleh kombinasi dari pewarnaan histologis konvensional, dan dengan menganalisis spektrum antigen diferensiasi glikoprotein yang ditampilkan pada membran sel mereka. Semua antigen diferensiasi ini terdeteksi melalui pengikatan mereka dengan antibodi monoklonal spesifik. Antigen-antigen penentuan-fenotipe sel ini menentukan jumlah cluster diferensiasi (CD). Saat ini ada lebih dari 350 antigen CD terdefinisikan. Pembaharuannya dikeluarkan oleh Human Cell Diferentiation Molecule (HCDM), sebuah organisasi yang mengatur periodik lokakarya Human Leucocyte Differentiation Antigen (HLDA) di mana molekul permukaan sel yang baru teridentifikasi ditentukan dan didaftar.Lekosit dewasa dan bersirkulasi adalah berasal dari diferensiasi sel tunas hematopoietik (Gambar 1). Sel tunas ini dapat dikenali melalui spektrum mereka sendiri mendefinisikan antigen sel permukaan dan dapat dimurnikan dari sumsum tulang, darah perifer, dan plasenta (4). Pengenalan bahwa sel-sel tunas hematopoietik pluripoten dapat dimurnikan dalam jumlah besar telah mempercepat kemajuan dalam transplantasi sel hematopoietik dan memberikan janji yang patut dipertimbangkan bagi terapi gen berbasis sel somatik.

Gambar 1Garis Turunan Sel yang Berasal-Sel Tunas HematopoietikSel tunas hematopoietik pluripoten berdiferensiasi dalam sumsum tulang menjadi sel-sel limfoid atau progenitor myeloid lazim. Sel-sel tunas limfoid memunculkan garis turunan sel B, sel T, dan sel NK. Sel tunas myeloid memunculkan sebuah garis turunan spesifik level kedua, sel-sel colony forming unit (CPU) yang berlanjut menghasilkan netrofil, monosit, eosinofil, basofil, mast cells, magakaryosit, dan eritrosit. Monosit berdiferensiasi lebih lanjut menjadi makrofag dalam kompartmen jaringan perifer. Sel dendritik (DC) nampaknya berkembang utamanya dari sebuah prekursor DC yang berbeda karena pengekspresian reseptor Flt3. Prekursor ini dapat berasal dari baik sel tunas limfoid ataupun myeloid dan memunculkan kedua DC klasik dan plasmasitoid. DC klasik dapat juga berasal dari diferensiasi sel prekursor monositoid. (Modifikasi dari ref. 114).

Pembentukan komplemen penuh sel sistim imun dimulai ketika sebuah sel tunas hematopoietik pluripoten berdiferensiasi menjadi sel progenitor myeloid lazim atau progenitor limfoid lazim. Progenitor limfoid lazim berdiferensiasi terus menjadi empat populasi utama limfosit dewasa: sel B, sel T, sel pembunuh alami (NK), dan sel NK-T. Subsets limfosit ini dapat dibeda-bedakan melalui fenotip permukaannya. Sel B secara fenotip ditentukan oleh pengekspresian reseptor sel B mereka untuk antigen, membrane anchored Ig. Subsets sel B telah ditetapkan bahwa berbeda dalam hal kepada tipe antigen yang mana mereka berrespon dan dalam hal tipe antibodi mana yang mereka hasilkan. Sel T ditetapkan melalui pengekspresian TCR permukaan sel mereka, sebuah protein heterodimer transmembran yang mengikat antigen terproses yang ditampilkan oleh antigen presenting cells (APC). Sebagaimana akan didiskusikan di bawah, sel T hadir dalam beberapa subtipe yang secara fungsional bermakna dan hadir dalam subsets dari banyak tipe tersebut. Sel NK ditetapkan secara morfologis sebagai limfosit granuler besar. Mereka berbeda dalam hal kurangnya TCR atau Ig permukaan. Mereka mengenal target sel terinfeksi-virus atau sel tumor dengan menggunakan sebuah koleksi kompleks pengaktifan dan reseptor permukaan sel inhibitor (5). Dan, sel NK-T berbagi karakteristik dari kedua sel NK dan sel T (6).Sel tunas myeloid (juga disebut progenitor myeloid lazim) memunculkan banyak bentuk berbeda dari granulosit, megakaryosit dan platelet, dan eritrosit. Sel-sel dari garis turunan granulosit yang memainkan fungsi imun menonjol meliputi netrofil, monosit, makrofag, eosinofil, basofil, dan mast cells. Pada beberapa mamalia, platelet juga melepaskan mediator yang secara imunologis bermakna yang melebarkan repertoarnya melewati peran mereka dalam hemostasis. Fungsi imun granulosit klasik telah disimpulkan dari molekul aktif secara imunologis yang mereka hasilkan dan dari akumulasi mereka dalam berbagai kondisi patologis spesifik. Sebagai contoh, netrofil menghasilkan sejumlah besar spesies oksigen reaktif yang bersifat sitotoksik bagi patogen bakterial. Mereka juga menghasilkan enzim yang nampaknya berpartisipasi dalam remodeling dan perbaikan jaringan setelah cedera. Netrofil berakumulasi dalam jumlah besar pada lokasi-lokasi infeksi bakterial dan cedera jaringan dan memiliki kemampuan fagositik menonjol yang mengijinkan mereka untuk membungkus (sequester) mikroba dan partikel antigen masuk ke dalam di mana mereka dapat dihancurkan dan didegradasikan. Dus, adalah jelas bahwa mereka memainkan sebuah peran besar dalam pembersihan patogen mikroba dan memperbaiki cedera jaringan (7). Lebih terkini, bagaimanapun, netrofil dikenal menghasilkan sejumlah substansiil sitokin tumor necrosis factor (TNF) dan interlekin (IL)-12 juga berbagi khemokin tertentu. Hal ini mendukung adanya sebuah peran imonoregulator tambahan dari netrofil.Seperti netrofil, monosit dan makrofag juga sangat bersifat fagositik bagi mikroba dan partikel, yang berarti pembersihan dengan cara pengikatan Ig dan/atau komplemen. Mereka terlihat dimobilisasi segera setelah perekrutan netrofil dan tetap bertahan untuk waktu yang lama pada lokasi inflamasi dan infeksi kronik. Tambahannya terhadap partisipasinya dalam respon inflamasi akut, mereka menonjol dalam berbagai proses granulomatous disekujur tubuh. Mereka menggunakan produksi oksida nitrit sebagai sebuah mekanisme utamanya untuk membunuh patogen mikroba, dan juga menghasilkan sejumlah besar sitokin seperti IL-12 dan interferon (IFN)- yang membuatnya berperan pengatur dalam respon imun adaptif. Bergantung pada sifat sinyal pengaktifasian yang ada ketika makrofag berdiferensiasi dari sel prekursor imatur dan ketika mereka menerima sinyal pengaktifasian pertama, makrofag dapat mengambil satu dari beberapa fenotip (8). Makrofag yang teraktifasi secara klasik menghasilkan banyak sekali IFN-, IL-6, IL-12, dan TNF dan mengekspres aktifitas pro-inflamasi dan anti-bakterial poten. Aktifasi makrofag cara lainnya diinduksi oleh IL-4, IL-10, atai IL-13, khususnya dalam kehadiran hormon glukokortikoid dan mengekspres fungsi inflamasi melalui pemroduksian mereka sendiri IL-10, antagonis reseptor IL-1, dan transforming growth factor (TGF-) (9). Memperhatikan hal ini, sepertinya studi lanjutan yang akan mengidentifikasi fungsional tambahan subsets makrofag, memapankan cara-cara tambahan pada mana sel-sel sistim imun bawaan ini melayani fungsi imunoregulator mendasar.Eosinofil dapat segera dikenali dari granul sitoplasmanya yang menonjol yang mengandung molekul toksik dan enzim yang sangat aktif terhadap cacing dan parasit lainnya. Produksi eosinofil dari sumsum tulang dan kelangsungan hidup mereka di jaringan perifer diperkuat oleh sitokin IL-5, membuat mereka menjadi sel menonjol di sebagian besar respon alergi (10). Basofil dan mast cells secara morfologis merupakan sel serupa dari garis turunan yang berbeda. Berdasarkan ekspresi permukaan sel dari reseptor afinitas tinggi untuk IgE (FcRI), mereka adalah inisiator kunci respon hipersensitif dan respon inang terhadap parasit cacing, melepaskan histamin dan mediator prabentukan (preformed) lainnya dari granul mereka dan memproduksi sejumlah penting mediator lipid yang merangsang inflamasi jaringan, edema, dan kontraksi otot polos. Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa selain peran mereka dalam respon hipersensitif, mast cells memainkan peran penting dalam respon inang terhadap infeksi bakteri juga. Yang penting, mast cells dan, yang lebih menonjol, basofil dapat melepaskan sejumlah besar IL-4, menunjukkan bahwa mereka dapat memainkan peran penting dalam induksi respon imun alergi (11). Sel fagositosis dari garis turunan monosit/makrofag juga memainkan peran kunci dalam respon imun adaptif dengan mengambil antigen mikroba, mengolah mereka dengan proteolisis menjadi fragmen peptida, dan menyajikan mereka dalam bentuk yang dapat mengaktifkan respon T. Sel tambahan dalam garis turunan ini termasuk sel Langerhans dalam epidermis, sel Kupfer dalam hati, dan sel mikroglial dalam sistem saraf pusat. Tipe paling poten dari APC adalah kelas lebar sel dendritik yang hadir dalam sebagian besar jaringan tubuh dan terkonsentrasi dalam jaringan limfoid sekunder (12). Semua sel ini mengekspresikan baik kelas I maupun kelas II molekul major histocompatibility complex (MHC) yang digunakan untuk memungkinkan mengijinkannya antigen diproses oleh TCR pada sel T (lihat di bawah). Semua sel pengemban MHC tampaknya memiliki potensi untuk mengekspresikan fungsi APC jika dirangsang dengan tepat. Selain sel dendritik konvensional yang diuraikan di atas, yang telah dianggap berasal dari sel prekursor myeloid (Gambar 1), dikenal jenis kedua sel dendritik. Sel-sel ini didisain sebagai sel dendritik plasmasitoid karena morfologi histologi mereka. Mereka dapat menghasilkan tingkat yang sangat tinggi interferon tipe I dan dianggap memainkan peran khusus dalam pertahanan inang antivirus dan otoimunitas (13). Penelitian terbaru diferensiasi sel dendritik menunjukkan bahwa kedua sel tunas myeloid dan progenitor limfoid lazim dapat memunculkan kedua sel dendritik konvensional dan sel dendritik plasmasitoid, kemungkinan besar melalui prekursor sel dendritik yang ditetapkan melalui pengekspresian fms-like tyrosine kinase receptor-3 (Flt3)-nya (14, 15).

Pengenalan Antigen oleh Limfosit T/Molekul Histokompatibilitas MajorTantangan utama yang dihadapi oleh sistem imun adalah untuk mengidentifikasi sel inang yang telah terinfeksi oleh mikroba yang menggunakannya untuk berkembang biak di dalam inang. Hanya dengan mengenali dan menetralkan mikroba dalam bentuk ekstraseluler mereka tidaklah secara efektif memahami tipe infeksi ini. Sel yang terinfeksi yang berfungsi sebagai pabrik untuk produksi mikroba progeni harus diidentifikasi dan dihancurkan. Bahkan, jika sistem kekebalan tubuh sama-sama mampu mengenali mikroba ekstraseluler dan sel terinfeksi secara mikrobial, sebuah mikroba yang berhasil menghasilkan sejumlah besar organisme ekstraselular atau antigen mungkin membanjiri kapasitas pengenalan sistem imun, yang memungkinkan sel yang terinfeksi untuk menghindari pengenalan imun . Peran utama sisi sel T respon imun adalah untuk mengidentifikasi dan menghancurkan sel yang terinfeksi. Sel T juga dapat mengenali fragmen peptida dari antigen yang telah diambil oleh APC melalui proses fagositosis atau pinositosis. Cara sistem kekebalan tubuh yang telah berkembang untuk mengijinkan sel T mengenali sel inang terinfeksi adalah dengan mewajibkan sel T mengenali baik komponen-diri maupun struktur mikroba. Solusi elegan untuk masalah pengenalan baik struktur-diri maupun penentu mikroba adalah keluarga molekul MHC. Molekul MHC (juga disebut human leucocyte-associated [HLA] antigens) merupakan glikoprotein permukaan sel yang mengikat fragmen peptida protein yang telah disintesis dalam sel (kelas I MHC molekul) ataupun yang telah ditelan oleh sel dan diproses secara proteolisis (molekul MHC kelas II).

Molekul MHC kelas IAda tiga molekul HLA kelas I yang utama, disebut HLA-A,-B, dan -C, masing-masing disandi oleh gen yang berbeda. Molekul HLA kelas I adalah heterodimer permukaan sel yang terdiri dari sebuah polymeric transmembrane 44-kd -chain (juga disebut rantai berat kelas I) yang berhubungan dengan 12-kd non-polymeric-2 microglobulin (2m) protein (16). Rantai- menentukan apakah molekul kelas I adalah molekul HLA-A,-B, atau C. Gen rantai- HLA-A,-B, dan C disandikan dalam MHC pada kromosom 6 (Gambar 2), dan gen 2-mikroglobulin disandikan pada kromosom 15. Gen rantai- menyandi tiga domain ekstraseluler (disebut 1, 2, dan 3), sebuah domain transmembran dan domain intraseluler pendek yang menjangkar protein ini dalam membran sel. Domain 3 terdiri dari 5 helai- antiparalel yang membentuk lipatan tipe-imunoglobulin (Gambar 3). Domain masing-masing 1 dan 2 menyandikan sebuah helix- dan beberapa helai-. Domain 1 dan 2 berhubungan satu sama lain dengan helai- mereka membentuk sebuah platform pada mana dua heliks- tinggal. Hal ini membentuk alur di mana peptida antigenik dapat mengikat kompleks molekul MHC kelas I. Ini dan peptida antigenik menghasilkan suatu struktur komposit yang merupakan target molekul TCR tersebut. TCR mengontak peptida antigenik maupun yang mengapit heliks-. TCR tidak memiliki afinitas terukur untuk peptida antigenik sendiri, dan berafinitas sangat rendah untuk molekul MHC yang mengandung peptida lainnya. Pengamatan ini merupakan dasar molekuler bagi fenomena 'restriksi MHC' yang dijelaskan oleh studi Zinkernagel dan Doherty, di mana mereka mengetahui bahwa sel T hanya bisa mengenali antigen tertentu mereka ketika hal itu disajikan dalam hubungan dengan molekul MHC-diri yang spesifik (17).

Gambar 2Peta Molekuler dari Kompleks Histokompatibilitas Major ManusiaMHC manusia, didisain HLA, disandikan pada lengan pendek khromosom 6. Lokasi-lokasi dari HLA utama dan gen-gen terkait yang diperlihatkan di atas sebuah skala menunjukkan jarak genetik terdekat (approximate genetic distances) dalam kilobase pairs (kbp) DNA. Gen-gen yang menyandikan rantai berat HLA kelas I (ditunjukkan dengan warna biru) di-cluster pada bagian akhir telomer dari kompleks. Gen-gen yang menyandi rantai dan HLA kelas II (ditunjukkan dengan warna hijau) ditambah gen-gen yang menyandi molekul-molekul LMP1/2, TAP1/2, dan Tapascin (TAPBP) (ditunjukkan dengan warna oranye) di-cluster pada bagian akhir sentromer dari kompleks. Di antara gen-gen kelas I dan kelas II terdapat gen tambahan didisain kelas III (ditunjukkan dengan warna merah). Semuanya meliputi gen-gen yang menyandi sitokhrom P450 21-hidroksilase (CYP21B), suatu cytochrom P450 pseudogene (CYP21Ps), komponen-komponen komplemen C4, C2 dan faktor B (Bf), tumor necrosis factor (TNF), dan dua rantai limfotoksin (LTA, LTB). Terdapat dua buah isoform dan komplemen C4 didisain C4a dan C4B. C4A berinteraksi secara lebih efisien dengan makromolekul berkandungan kelompok amino bebas (berbagai protein antigen), di mana C4B berinteraksi secara lebih efisien dengan makromolekul berkandungan kelompok hidroksil bebas (berbagai glikoprotein dan karbohidrat). Terdapat gen yang menyandi dua jenis molekul mirip-kelas I HLA tambahan didisain MICA dan MICB (ditunjukkan dengan warna ungu) berlokasikan di antara gen-gen kelas III dengan gen-gen kelas I klasik. Pseudogen non-fungsional ditunjukkan dengan warna abu-abu dan selanjutnya didisain dengan huruf miring.

Gambar 3Struktur Molekul HLAModel-model molekuler diambilkan dari struktur kristal molekul HLA kelas I (A-C) dan kelas II (D-F). A, domains 1, 2, dan 3 kelas I diperlihatkan (warna biru terang) dalam asosiasi non-kovalen dengan molekul 2m. Bentukan per/koil mewakili -helices, dan tanda panah tebal mewakili -strands. Anti-parallel -strands berinteraksi untuk membentuk -sheets. The helices dalam domain 1, dan 2 membentuk sisi-sisi samping dan dasar dari alur (groove) yang mengikat peptida antigenik terproses (warna kuning). Bagian transmembran dan intrasitoplasmik dari rantai berat tidak diperlihatkan. B, tampak atas dari domains 1 dan 2 mempertunjukkan peptida antigenik dalam suatu kompleks molekuler bagi pengenalan oleh TCR dari sel T CD8+ (lokasi pengenalan digambarkan dengan persegi empat berwarna merah muda). C, tampak samping domains 1 dan 2 menonjolkan titik-titik kontak TCR pada kedua helices dan peptida antigenik. D, tampak samping dari molekul HLA kelas II memperlihatkan rantai (warna biru terang) dan rantai (warna biru gelap). Dalam protein kelas II, alur pengikatan-peptida dibuat oleh -helices dalam kedua domains 1 dan 1 dan sebuah sheet terbentuk lagi oleh kedua domains 1 dan 1. E, tampak atas dari kedua domains 1 dan 1 dan fragmen peptida antigenik terproses sebagaimana mereka akan dilihat oleh TCR dari sel-T CD4+. F, tampak samping menonjolkan domains 1 dan 1 dan peptida antigenik. Dimodifikasi dari 16.

Suatu konsekuensi biologi kunci dari kebutuhan sel T mengenali antigen peptida yang hanya ketika mereka terikat dalam alur sebuah molekul HLA adalah bahwa ini memungkinkan sel T untuk mengabaikan antigen ekstraseluler bebas, dan untuk lebih berfokus pada sel-sel yang mengandung antigen. Dalam kasus sel yang terinfeksi oleh mikroba patogen, ini memungkinkan sel T untuk berfokus pada respon mereka pada sel yang terinfeksi. Domain 3 rantai berat kelas I berinteraksi dengan molekul CD8 pada sel T sitolitik. Ini membatasi pengenalan peptida antigenik yang disajikan pada molekul HLA kelas I ke sel T sitolitik CD8+ . Pengikatan CD8 diekspres oleh sel T ke domain 3 molekul kelas I yang diekspres oleh APC memperkuat interaksi sel T dengan APC dan membantu meyakinkan bahwa aktifasi penuh sel T telah terjadi (18). Karakteristik menonjol dari molekul HLA adalah polimorfisme struktural mereka. Pada Oktober 2009, ImMunoGeneTics HLA Database (http://www.ebi.ac.uk/imgt/hal/atats.html) dikenal lebih 650 allele pada lokus HLA-A, lebih dari 1.000 allele pada lokus HLA-B , dan lebih dari 350 allele pada lokus HLA-C. Polimorfisme ini sebagian besar dalam asam amino yang terletak di dasar dan sisi samping alur pengikatan peptida, sehingga spesifisitas pengikatan peptida adalah berbeda dari allele kelas I yang berbeda. Fakta bahwa ada tiga gen kelas I HLA yang berbeda dan bahwa masing-masingnya sangat polimorfik mengartikan bahwa semua individu dalam populasi yang heterozigot pada lokus ini memiliki 6 alur pengikatan peptida berbeda. Karena setiap protein kelas I dapat mengikat banyak peptida yang berbeda, maka memiliki 6 molekul pengikatan peptida akan menghasilkan kemampuan untuk mengikat koleksi peptida antigenik yang sangat beragam. Selanjutnya, pada tingkat populasi, keragaman motif pengikatan peptida sangatlah besar. Mutasi pada antigen mikroba dapat mengijinkan mikroba untuk menghindari pengikatan (dan, akibatnya, pengenalan) dengan beberapa allele kelas I HLA, tetapi, tidak adanya mutasi akan memungkinkan mikroba untuk menghindari pengenalan secara luas melalui populasi.Secara umum, peptida antigenik yang ditemukan terikat dalam alur pengikatan peptida molekul kelas I HLA adalah berasal dari protein yang disintesis dalam sel yang mengemban molekul kelas I. Mereka adalah, akibatnya, digambarkan sebagai antigen 'endogen'. Mesin molekuler yang menghasilkan fragmen peptida dari protein intraseluler dan mengarahkan mereka ke dalam alur dari molekul kelas I semakin dipahami dengan baik (Gambar 4). Fragmen peptida dihasilkan dari berbagai protein seluler oleh aksi dari proteasom, sebuah pabrik proteolitik yang terdiri dari lebih dari 25 subunit (19). Proteasom diekspres secara konstitutif dalam semua tipe sel di mana mereka berfungsi dalam homeostasis seluler. Stimulasi sel dengan IFN- mengaktifkan mereka untuk menghasilkan fragmen peptida antigenik yang dapat disajikan dalam molekul kelas I HLA. Aktivasi ini menginduksi produksi sebuah varian proteasom yang disebut 'immunoproteasome.' Dua dari subunit proteasom yang diekspres secara konstitutif akan diganti dalam imunoproteasom oleh protein LMP2 yang terinduksi-IFN- dan LMP7, yang keduanya disandikan dalam kompleks HLA dalam interval antara lokus gen HLA-DP dan HLA-DQ (Gambar 2). Protein LMP2 dan LMP7 mengubah spesifisitas proteolitik dari proteasom, meningkatkan produksi fragmen peptida dengan panjang yang tepat dan mendorong untuk pengikatan dalam alur protein kelas I HLA. Penambahan protein lain yang terinduksi-IFN-, disebut aktivator proteasom PA28, juga meningkatkan pembentukan peptida antigenik yang menguntungkan bagi penyajian dalam molekul kelas I HLA I (20). Setelah keluar dari imunoproteasom, fragmen peptida diangkut ke dalam retikulum endoplasma (ER) oleh aksi dari transporter transmembran multi-subunit tertentu. Transporter ini berisi dua subunit kaset pengikatan-ATP disebut TAP-1 dan TAP-2 (transporter associated with antigen presentation) disandikan oleh gen yang terletak dalam kompleks gen MHC di wilayah yang sama yang menyandi LMP2 dan LMP7 (Gambar 2). Setelah di ER, peptida dimuat ke dalam alur pengikatan protein kelas I di bawah arahan protein ER tapasin dengan bantuan protein pendamping pengikatan-kalsium, kalretikulin, dan oksidoreduktase Erp57 (21, 22). Sebelum interaksinya dengan 2-mikroglobulin, protein kelas I dipertahankan dalam sebuah konformasi yang menguntungkan interaksi dengan fragmen peptida oleh asosiasi dengan protein pendamping calnexin. Interaksi dengan 2-mikroglobulin menstabilkan kompleks, menyebabkan disosiasi calnexin, dan mengijinkan transportasi molekul kelas I yang terbebani-peptida melalui kompleks Golgi ke dalam vesikula exositik yang melepaskan kompleks utuh ke permukaan sel. Jalur ini beradaptasi dengan baik untuk mengirimkan peptida virus yang diproduksi dalam sel terinfeksi virus ke permukaan sel yang terikat ke molekul HLA kelas I dalam bentuk yang dapat dikenali oleh sel T CD8+ sitotoksik. Hal ini juga dapat digunakan untuk mempresentasikan fragmen tumor protein spesifik yang mungkin berguna untuk target imunoterapi anti-tumor.

Gambar 4Jalur Seluler bagi Pemrosesan dan Pemresentasian Antigen EndogenProtein endogen dicerna oleh imunoproteasom menjadi fragmen-fragmen peptida kecil. Produksi imunoproteasom diinduksi oleh IFN-, yang mengawali ke pengekspresian LMP2 dan LMP7 (yang mengganti komponen-komponen tertentu dari proteasom seluler konvensional) dan aktivator proteasom PA28 yang memodifikasi proteasom sehingga ia memproduksi fragmen peptida antigenik yang optimal bagi pembebanan (loading) ke molekul kelas I. Peptida ditransfer dari imunoproteasom ke retikulum endoplasma (ER) melalui transpoter TAP. Terjadi pembebanan (loaded) peptida-peptida, dengan bantuan tapascin, kalretikulin dan chaperon ERP57 ke dalam sebuah rantai berat kelas I yang berasosiasi dengan sebuah subunit 2m sebelum ditransportasikan menuju permukaan sel di mana ia dapat dikenal oleh sel T CD8+. Asosiasi mikroglobulin 2 dengan rantai berat kelas I difasilitasi oleh sebuah protein chaperon tambahan, kalneksin. Dimodifikasi dari Huston (114).

Berbagai studi beberapa tahun terakhir memperlihatkan bahwa di bawah keadaan tertentu antigen-antigen eksogen (disintesis di luar APC) dapat juga diinternalisasi oleh endositosis dan dipresentasikan dalam molekul-molekul kelas I HLA. Tangkapan antigen-antigen eksogen ini dan pertunjukkannya ke sel-sel T dalam protein-protein kelas I HLA dikenal sebagai presentasi silang (cross presentation) (23). Presentasi silang secara khusus penting dalam imunitas antiviral di mana ia membantu inang untuk mengalahkan kemampuan beberapa virus dalam menekan pemrosesan antigen lewat jalur endogen (24).

Molekul MHC major kelas IISeperti halnya molekul kelas I, molekul HLA kelas II terdiri dari dua rantai polipeptid, namun dalam kasus ini keduanya merupakan protein transmembran bersandi-MHC dan didisain dan . Terdapat tiga protein kelas II utama terdisain, HLA-DR, HLA-DQ, dan HLA-DP (16). Molekul yang tersandi dalam regio ini awalnya ditetapkan secara serologis dan menggunakan pengukuran imun seluler, dan konsekuensinya nomenklatur mereka tidak selalu mencerminkan gen-gen yang mendasari penyandian molekul. Hal ini khususnya benar bagi HLA-DR, di mana gen pada sub-regio HLA-DR menyandi minimalnya 1 rantai polimorfik (sebanyak 1 alele lazimnya dan 2 sangat jarang) dan 2 rantai polimorfik (didisain DRB1 dan DRB3) (Gambar 2). Memasangkan rantai lazim dengan rantai DRB1 menghasilkan protein HLA-DRB1. Lebih dari 500 alele HLA-DRB1 yang telah ditetapkan. Memasangkan rantai lazim dengan rantai DRB3 menghasilkan molekul terdisain HLA-DRB2 hingga HLA-DRB9. Terdapat total 60 alele HLA-DRB2 hingga HLA-DRB9. Sub-regio HLA-DQ mengkode 1 rantai polimorfik (25 alele) dan 1 rantai polimorfik (72 alele). Sub-regio HLA-DP menyandi 1 rantai polimorfik (16 alele) dan 1 rantai polimorfik (118 alele). Oleh karena kedua rantai dan dari protein HLA-DQ dan HLA-DP adalah polimorfik, setiap orang dapat mengekspres 4 protein HLA-DQ berbeda dan 4 protein HLA-DP berbeda berdasarkan atas pemasangan (pairing) di antara produk gen kedua khromosom ibu dan bapak. Lebih lanjut, karena minimalnya rantai HLA-DR polimorfik dapat berpasangan dengan sebuah rantai HLA-DRB1 dan sebuah rantai HLA-DRB3 dari kedua khromosom ibu dan bapak, maka setiap orang dapat mengekspres 4 protein HLA-DR berbeda juga. Setiap dari semua ini memiliki potensi untuk mengikat suatu repertoar besar peptida antigenik, membuatnya sulit bagi sebuah mikroba patogenik memutasikan strukturnya ke suatu bentuk yang tak dapat dikenali melalui pengikatan dalam sebuah protein kelas II HLA. Setiap rantai dari protein kelas II mengandung sebuah jangkar sitoplasmik pendek, sebuah domain transmembran, dan dua domain extrasel yang terdisain untuk rantai , 1 dan 2, dan untuk rantai , 1 dan 2 (16). Ketika rantai dan berpasangan, domain 1 dan 1 berkombinasi untuk membentuk sebuah alur (groove) pengikatan-peptid yang amat sama dengan yang dibentuk oleh asosiasi domain 1 dan 2 dari protein kelas I. Domain 2 dan 2 dari protein ini menyediakan sebuah dukungan bagi domain pengikatan-peptid ini dan domain 2 juga berinteraksi dengan molekul CD4. Ini menyediakan sebuah mekanisme melalui mana CD4 terekspres pada sel T penolong (helper T cells) dapat menguatkan interaksi di antara sel-sel T ini dengan APC yang mengekspres-kelas II dalam sebuah peragaan yang sama dengan cara pengikatan molekul kelas I HLA oleh CD8 menguatkan aktifasi sel T sitotoksik (25). Protein kelas II diekspres secara konstitutif pada sel B, sel dendritik, monosit dan makrofag, semua sel yang menampilkan antigen antigen ke sel T CD4+. Ekspresi protein kelas II MHC juga dapat diinduksi pada banyak tipe sel tambahan, termasuk sel-sel epitel dan endotel mengikuti stimulasi dengan IFN, memungkinkan sel-sel ini untuk menyajikan antigen kepada sel T CD4+ di tempat inflamasi.Antigen yang disajikan oleh protein kelas II dimuat ke dalam alur pengikatan-peptida kelas II melalui jalur 'eksogen' yang dimulai oleh endositosis atau fagositosis protein ekstraseluler (Gambar 5). Antigen eksogen mencakup protein antigenik dari patogen ekstraseluler seperti kebanyakan bakteri, parasit, dan partikel virus yang telah dilepaskan dari sel yang terinfeksi dan diambil oleh fagositosis, serta protein dan glikoprotein lingkungan seperti serbuk sari dan racun, dan aloantigen. Antigen yang tertelan diproses menjadi fragmen peptida linier oleh proteolisis setelah fusi lisosom dengan vakuola fagositik atau endosom untuk membentuk sebuah kompartmen asam (26). Fragmen peptida kemudian berakumulasi dalam kompartemen pemuatan MHC II di mana mereka hadapi protein kelas II baru lahir. Rantai dan dari molekul kelas II disintesis dalam ER. Dalam rangka melindungi alur pengikatan-peptida molekul kelas II agar nantinya dapat mengakomodasi sebuah peptida antigenik, rantai dan berasosiasi dengan rantai invarian non-polimorfik (Ii), dibantu oleh protein capheron kalneksin. Satu bagian dari rantai Ii , didisain CLIP (class II-associated invariant-chain peptide), terbaring dalam alur pengikatan-peptida dari heterodimer kelas II, mencegah pengikatan peptida antigenik. Sekali kompleks kelas II-Ii terbentuk, ia berdisosiasi dari kalneksin dan ditransportasikan ke kompartemen pembebanan kelas II (27). Di dalam kompartemen pembebanan kelas II, sejumlah besar rantai invarian didegradasi oleh protease asam seperti kathepsin dan pertukaran peptida CLIP dengan sebuah peptida antigenik dikatalisasi oleh aksi molekul HLA-DM, menghasilkan pembentukan sebuah protein kelas II dewasa (28). Protein kelas II yang dimuati dengan peptida antigenik kemudian dikirim ke permukaan sel melalui fusi endosom kelas II+ ke membran plasma.

Gambar 5Jalur Seluler bagi Pemrosesan dan Pemresentasian Antigen EksogenDalam retikulum endoplasma (ER), protein kelas II yang baru disintesis berasosiasi, dengan bantuan kalneksin, dengan sebuah protein rantai invarian yang melindungi alur pengikatan-antigen molekul kelas II hingga ia ditransportasikan ke kompartemen pembebanan protein endosom kelas II+. Antigen eksogenus ditangkap oleh fagositosis atau endositosis, dicerna oleh aksi enzim lizosom, dan ditransportasikan ke kompartemen pembebanan peptida kelas II+ untuk pembebanan ke dalam sebuah protein kelas II. Di sana, rantai invarian didegradasikan secara proteolitik dan digantikan oleh peptida antigenik dengan bantuan protein HLA-DM. Kompleks peptida-protein kelas II yang terrakit kemudian dikirim menuju membran plasma bagi pengenalan oleh sel-sel T CD4+ . Dimodifikasi dari Huston (114).

Asosiasi Tipe HLA dengan Suseptibilitas PenyakitStudi epidemiologi mengunjukkan bahwa lebih 40 jenis penyakit ditemukan lebih sering pada individu-individu yang membawa allele kelas I atau II HLA tertentu dibandingkan pada populasi umumnya (29). Besaran efek dapat menjadi sangat besar, namun mungkin tidak pernah mutlak. Sebagai contoh, mereka berrentang dari temuan di antara 90 dan 95% pasien Kaukasia dengan spondilitis ankilosa adalah HLA-B27 (30) hingga pengamatan di antara 30% dan 50% pasien Kaukasia dengan diabetes melitus tipe I adalah heterozigous untuk HLA-DQ2/DQ8 (31). Menariknya, HLA-DQ6 kelihatannya menyediakan proteksi dominan bagi perkembangan diabetes tipe I. Kebanyakan penyakit yang menunjukkan keterkaitan suseptibilitas dengan gen HLA khusus memiliki sebuah karakter otoimun menonjol. Meskipun mekanisme oleh mana genotip HLA mengontrol suseptibilitas terhadap berbagai penyakit ini masih tetap terdefinisikan tidak dengan tepat, hal ini mungkin dikarenakan bahwa partisipasi molekul HLA dalam pemapanan toleransi imun atau pengijinan pengenalan imun dari berbagai antigen lingkungan merupakan hal yang mendasari fenomena ini (32, 33). Allele gen HLA protektif mungkin memerantarai eliminasi sel T patogenik yang potensiil dalam timus, di mana suseptibilitas allele gen HLA mungkin gagal berkontribusi secara tepat untuk mengeliminasi sel T patogenik. Genotip HLA dapat juga mendasari ketanggapan dan ketidaktanggapan terhadap vaksin tertentu. Sebagai contoh, subjek yang dengan HLA-DR3 memiliki peningkatan substansiil insiden ketidaktanggapan terhadap vaksinasi dengan antigen permukaan hepatitis B (34) dan subjek yang dengan HLA-DRB*03 atau HLA-DQA1*0201 memiliki peningkatan insiden seronegatifitas setelah vaksinasi campak (35).

Penyajian Antigen yang Tak Bergantung-HLAPenyajian antigen oleh molekul HLA kelas I dan II ke pada limfosit T CD8+ dan CD4+ adalah terbatas untuk antigen protein. Awalnya, diperkirakan bahwa berbagai respon terhadap antigen polisakarida dan antigen lipid dibatasi untuk respon-respon yang takbergantung-sel T yang menghasilkan aktifasi langsung sel B oleh sebuah antigen dengan sebuah struktur berulang; namun, belakangan telah menjadi jelas bahwa terdapat sebuah kelas sel T yang mengenal antigen yang disajikan oleh molekul yang bukan antigen kelas I atau kelas II HLA klasik. Satu di antara semua kelas sel T menggunakan reseptor antigen yang berkomposisikan rantai dan dan mengenal antigen lipid yang disajikan berikatan dengan molekul CD1 (6). Molekul CD1 secara struktural berhubungan dengan molekul kelas I HLA, oleh karena protein transmembrannya dengan 3 domain ekstrasel dan berasosiasi dengan mikroglobulin-2. Terdapat 5 isoform CD1 manusia yang didisasin sebagai CD1a-CD1e, disandi oleh gen berkaitan yang tidak berasosiasi dengan MHC. Kristalografi sinar-X memperlihatkan bahwa domain 1 dan 2 dari molekul CD1 berasosiasi seperti halnya molekul MHC kelas I untuk membentuk alur pengikatan yang dapat mengakomodasi komponen glikolipid patogen mkroba (36). Kompleks glikolipidCD1 dapat juga bekerja sebagai target bagi pengenalan oleh sel T yang menggunakan TCR (lihat bawah). Penyajian glikolipid mikroba ini oleh molekul CD1 nampaknya yang mendasari pengenalan yang takbergantung-MHC dari mikrobakteri baik oleh sel-sel T dan . Glikosfingolipid, sebuah kelas dari lipid berkandungan-karbohidrat yang dijumpai pada sel eukaryotik maupun prokaryotik dapat juga dipresentasikan oleh molekul CD1d ke sel-sel T-NK, mengawali ke pada pelepasan darinya sejumlah besar sitokin imunoregulator (37). Sel T manusia dapat juga mengenal sel-sel target by virtue dari pengekspresian mereka akan stress-induceable MHC class I-related chains A and B (MICA dan MICB). MICA dan MICB yang dikode oleh gen berlokasi di antara cluster gen TNF dalam regio kelas III MHC dan lokus HLA-B dalam regio kelas I (Gambar 2). Mereka berbagi karakteristik struktural dengan rantai berat protein kelas I namun menampakkan tidak berasosiasi dengan mikroglobulin-2 dan tidak mengikat peptida antigenik. Mereka lebih bekerja sebagai molekul terinduksi-stres yang adalah merupakan target bagi sel-sel T intestinal, memperluas lebih lanjut repertoar molekul-molekul yang dapat berkontribusi untuk pengaktifasian limfosit T yang berrespon. Sebagai tambahan bagi dua buah gen fungsional MICA dan MICB, terdapat sedikitnya tiga buah pseudogen MIC inaktif yang tersandi di dalam regio kelas I MHC (Gambar 2) (38).

Limfosit T

Kelas utama sel T ditentukan oleh ekspresi permukaannya akan TCR . Reseptor ini muncul terutama diperuntukkan bagi pengenalan antigen peptida yang disajikan dalam sebuah kompleks dengan protein MHC kelas I dan II. Sel T- berdiferensiasi menjadi banyak subsets berbeda, beberapa di antaranya (sel T CD8+) bekerja terutama untuk membunuh sel yang terinfeksi dengan mikroba intrasel, dan lainnya (sel T CD4+) bekerja terutama untuk mengatur berbagai respon imun seluler dan humoral. Sebuah subset kecil sel T- yang mengekspres NK1.1 (CD161), antigen sel NK (sel T-NK) adalah biasanya CD4 dan CD8 negatif ganda, mengenal antigen glikolipid yang dipresentasikan oleh molekul CD1d, dan tampil menjadi basis imunoregulator karena kemampuannya melepas dengan cepat sejumlah besar sitokin IFN- , IL-4, granulocyte-macrophage colony stimulating factor (GM-CSF), TNF, dan lainnya (39). Rincian mekanisme oleh apa yang dikembangkan sel T, yaitu memperoleh spesifisitas antigen mereka, dan kemudian diregulasi sebagaimana mereka menghadapi antigen dalam jaringan perifer.

Perkembangan Sel TSetiap dari sel T mengemban reseptor antigen dengan spesifisitas tunggal. Sebuah repertoar sel T yang dapat melindungi dalam melawan patogen mikroba dengan susunan sangat luas haruslah, sehingga, melibatkan sejumlah sangat besar sel yang mengkode TCR khusus dengan susunan sangat luas. Semua reseptor ini secara somatik dirakit dari elemen gen yang bervariasi, bermacam-macam, dan bekerja bersama untuk membangkitkan rantai VJ dan VDJ dewasa. Perakitan dari semua elemen gen ini diinisiasi oleh protein RAG1 dan RAG2 yang spesifik-limfoid yang memecah DNA dekat-dekat dengan segmen V, D, dan J dan segmen-segmen gen ini dikerjasamakan ulang oleh sebuah koleksi dari enzim perbaikan DNA yang spesifik-non-limfoid termasuk DNA-dependent protein kinase (DNA-PK), Ku, XRCC4, XLF, DNA ligase IV, dan the Artemis nuclease (40). XRCC4, XLF, dan DNA-PK membantu perekrutan enzim, yaitu terminal deoxynucleotidyl transferase (TdT), yang menambah deoksinukleotida ke dalam beberapa VDJ junctions yang menyediakan extra junctional diversity bagi rangkaian gen yang terrekombinasi tersebut (41). Aksi enzim rekombinase ini menghasilkan elemen-elemen gen V, D, dan J yang perakitannya dalam sebuah proses yang nampaknya acak, menghasilkan diversitas luas dari rangkaian reseptor, namun juga secara frekuen menghasilkan gen fungsional. Penyeleksian sel-sel yang membawa gen TCR fungsional terjadi dalam thimus (gambar 6), sebuah kompleks organ limfoid berlokasi di anterior mediastinum pada dasar leher (42). Thimus mengandung 3 kompartemen. Pertama, zona subkapsuler, adalah di mana pro-thimosit yang berasal-sumsum tulang mulai berdiferensiasi, berproliferasi, dan mengatur kembali rantai TCR mereka. Sel-sel kemudian berprindah menuju korteks di mana elemen gen rantai diatur ulang, yang secara potensiil membentuk sebuah TCR fungsional dan dewasa. Di dalam korteks, sel-sel tersebut diuji apakah reseptor mereka memiliki afinitas yang mencukupi bagi self-MHC molecules untuk mengijinkan mereka pada akhirnya bagi pengenalan kompleks antigen-MHC. Ini meliputi berbagai interaksi di antara limfosit yang sedang berkembang dengan epitel kortikal yang khusus (43). Bilamana limfosit gagal dalam seleksi positif ini, kemudian ia menjalani apoptosis dan dibersihkan oleh makrofag korteks timus. Akhirnya, dalam medula thimus, sel-sel tersebut disaring untuk otoreaktifitas potensiil. Penyaringan ini meliputi pengujian bagi reaktifitas untuk sebuah susunan ekstensif protein-protein yang khas-jaringan yang diekspres oleh sebuah populasi sel epitel medula thimus di bawah kontrol sebuah gen yang disebut AIRE (pengatur otoimun). Defek pengekspresian AIRE memunculkan sindrom otoimun parah yang disebut autoimmune polyendocrinopathy-candidiasis-ectodermal dystrophy (APECED) (44). Sel-sel yang mengenal self-peptides yang diekspres oleh sel-sel epitel ini dibuang dengan apoptosis, dan sel-sel yang dapat bertahan dari seleksi negatif ini diekspor keluar sirkulasi. Sedikitnya 5% dari sel T yang berkembang ini bertahan dari seleksi positif dan negatif.

Gambar 6Diferensiasi dan Maturasi sel T di dalam ThimusSel-sel tunas hematopoietik yang tidak mengekspres CD3, CD4, atau CD8 namun yang berkomitmen terhadap diferensiasi sel T bergerak dari sumsum tulang menuju ke zona subkapsuler thimus. Di sana mereka mulai mengatur ulang gen-gen TCR. Sekali sebuah rantai TCR produktif telah diproduksi, mereka bergerak menuju korteks thimus di mana pengaturan ulang rantai TCR terjadi dan pengekspresian protein CD3, CD4, dan CD8 dinduksi. Sel-sel CD4+CD8+ (positif ganda) diseleksi secara positif pada sel-sel epitel korteks bagi kemampuan mereka untuk mengenal protein-protein HLA kelas I atau kelas II diri sendiri. Bilamana sel T yang sedang berkembang memiliki afinitas adekuat untuk pengenalan protein kelas I diri sendiri, kemudian ia mempertahankan pengekspresian CD8 dan memadamkan pengekspresian CD4. Bila sel mampu mengenal protein kelas II diri sendiri, ia kemudian mempertahankan pengekspresian CD4 dan memadamkan pengekspresian CD8. Sel-sel positif tunggal (SP) CD4/CD8 yang terseleksi kemudian bergerak menuju medula thimus di mana mereka secara negatif terseleksi pada sel-sel epitel medula untuk membuang sel-sel dengan afinitas berlebih-lebihan bagi antigen-diri sendiri dalam molekul HLA. Sel-sel yang muncul dari penyeleksian positif SP bagi pengekspresian CD4 atau CD8 lalu kemudian di kirim ke luar menuju perifer. Sel-sel yang gagal dalam penyeleksian positif atau negatif dibuang lewat apoptosis. Sefraksi kecil sel berdiferensiasi untuk pengaturan ulangan rantai dan TCR mereka, dari pada rantai dan TCR mereka. Dimodifikasi dari Huston (114).

Sedikitnya 90-95% sel T yang bersirkulasi menggunakan TCR sebagaimana dijelaskan di atas. Sebanyak 5 10% lainnya menggunakan TCR heterodimer yang lain yang berkomposisikan rantai dan . Rantai dan juga perakitannya melalui pengaturan ulang bermediasikan-RAG1/RAG2 elemen-elemen V, D (untuk rantai saja), dan elemen J. Sebagian dari sel-sel T dibangkitkan dalam thimus, namun seporsi utama kelihatannya terbangkitkan dalam sebuah kompartemen ekstrathimik, menghasilkan sel-sel yang banyak memenuhi traktus gastrointestinal (45).

Kompleks Reseptor Antigen Sel TRantai dan TCR yang spesifik-antigen berasosiasi dengan rantai tambahan invarian yang melayani transduksi sinyal saat TCR berikatan dengan kompleks antigen-MHC (46). Rantai tambahan ini membentuk kompleks CD3, terdiri dari rantai CD3, CD3, dan CD3 transmembran ditambah sebuah homodimer intrasitoplasmik besar dari dua buah rantai CD3. Meskipun stoikhiometri kompleks CD3 tidak termapankan secara pasti, nampaknya bahwa setiap pasang TCR berasosiasi dengan heterodimer CD3, heterodimer CD3, dan heterodimer CD3 (Gambar 7).

Gambar 7Kompleks Reseptor-Sel T dan Pengaktifasian Sel TA, Kompleks TCR yang lengkap meliputi rantai dan TCR yang teratur ulang dan juga rantai-rantai CD3, CD3, CD3, dan CD3. Rantai CD3 mengandung ITAMs dalam domains sitoplasmik mereka yang dapat difosforilasikan untuk mengaktifasi kaskade pensinyalan intraseluler untuk pengaktifasian sel T. Protein pensinyalan tirosin kinase Lck dan Fyn berasosiasi dengan bagian-bagian intraseluler dari rantai CD4 dan CD3 berturutan. Pengisian (engagement) TCR oleh MHC plus peptida tanpa keberadaan protein ko-stimulator gagal untuk mengaktifasi fosforilasi dari ITAMs CD3 dan menghasilkan anergi. B, Pengisian TCR oleh MHC plus peptida dengan interaksi ko-stimulator di antara CD28 pada sel T dan CD80 atau CD86 (B7.1 atau B7.2) pada APC menghasilkan fosforilasi rantai-rantai CD3 yang bergantung-Lck dan yang bergantung-Fyn, dan perekrutan protein adapter ZAP-70 ke kompleks CD3. Ini mengawali fosforilasi ZAP-70, yang mana kemudian menginduksi program downstream pengaktifasian sel T. C, Pengaktifasian poliklonal sel T dapat diperoleh melalui superantigen yang berinteraksi di luar alur pengikatan peptida dengan rantai 1 dari molekul kelas II dan dengan semua rantai V dari sebuah subklas khusus. Ini mengaktifasi fosforilasi rantai-rantai CD3 yang tak bergantung-CD4, namun bergantung-Fyn, perekrutan ZAP-70, dan pengaktifasian sel.

Interaksi kompleks TCR/CD3 dengan peptida antigenik yang tersajikan dalam sebuah molekul HLA menyediakan hanya sebagian kecil sinyal bagi aktifasi sel. Aktifasi selengkapnya membutuhkan partisipasi tambahan dari sebuah molekul ko-stimulator, seperti misalnya CD28 pada sel T dan CD80 (juga didisasin B7.1) atau CD86 (B7.2) pada sel yang mempresentasikan-antigen (Gambar 7) (47). Kenyatannya memang, interaksi peptida-MHC dengan TCR tanpa ko-stimulator dapat mengawali ke suatu keadaan anergik dari ketidaktanggapan sel T yang berkepanjangan (prolonged T cell non-responsiveness).Bagian sitoplasmik dari setiap rantai CD3 mengandung rangkaian motif yang terdisain immunoreceptor tyrosine-based activation motifs (ITAM). Ketika tirosin-tirosin kunci dalam ITAM difosforilasi oleh kinase terkait-reseptor Lck dan Fyn, hal ini menginisiasi sebuah kaskade aktifasi yang melibatkan protein ZAP-70, dan farther downstream LAT, dan SLP-76. Aktifasi protein-protein ini mengawali kepada stimulasi fosfolipase C, aktifasi protein G Ras dan Rac, dan pula protein kinase C maupun mitogen-associated protein (MAP) kinases. Bersama-sama, kompleks kejadian aktifasi ini mengawali kepada aktifasi gen-gen yang mengontrol proliferasi dan diferensiasi limfosit.Jalur yang mengatur ke hilir jalur aktifasi ini semakin terdefinisikan dengan baik. Molekul membran CD45 adalah sebuah tirosin fosfatase kunci yang mengisi posisi sentral dalam proses pendeaktifasian ini. Tambahannya, sebuah pasangan reseptor-ligand yang spesifik, PD-1 (programmed death-1) dengan PD-L1 (programmed death ligand 1), mentransduksi sinyal ke limfosit teraktifasi untuk menghambat proliferasi dan fungsi efektornya, dus, memadamkan respon sel T (48). Berbagai mutasi yang mempengaruhi fungsi dari banyak molekul yang terlibat dalam proses transduksi sinyal sel limfoid intraseluler merupakan hal yang mendasari berbagai sindrom imunodefisiensi primer kongenital.

Subpopulasi Sel TSepanjang progres mereka melewati thimus, sel-sel T berdiferensiasi menjadi banyak subpopulasi dengan ciri tersendiri, masing-masingnya dengan repertoar tertentu dari fungsi-fungsi efektor. Subset utama ditentukan oleh pengekspresian permukaan selektif mereka akan CD4 atau CD8. Di dalam thimus, kebanyakan sel-sel T yang berkembang mengikuti sebuah program perkembangan pada mana dalam korteks mereka pertama kali tidak mengekspres CD4 tidak juga CD8 (negatif ganda) dan kemudan mengekspres kedua CD4 dan CD8 (positif ganda [DP]) (49). Sel-sel DP diuji oleh seleksi positif di dalam korteks thimus dan mereka yang diseleksi pada molekul MHC kelas I menjadi CD4CD8+, dan mereka yang diseleksi pada molekul kelas II menjadi CD4+CD8. Faktanya adalah bahwa molekul CD4 menyumbang terhadap sebuah interaksi yang stabil dari perkembangan sel T dengan molekul MHC kelas II pada penyeleksian APC dan bahwa CD8 menyumbang terhadap interaksi dengan molekul kelas I adalah sentral terhadap asosiasi CD4 dengan pengenalan antigen terrestriksi MHC kelas II dan asosiasi CD8 dengan pengenalan antigen terrestriksi kelas I. Sel-sel yang bertahan terhadap seleksi positif kemudian bergerak menuju medula thimus untuk seleksi negatif dan kemudian dilepaskan ke perifer. Di dalam darah dan organ-organ limfoid sekunder, 60 70% sel T adalah CD4+CD8 (CD4+) dan 30 40% adalah CD4CD8+ (CD8+). Sel-sel T CD4+ secara umum didisain sebagai sel penolong dan mengaktifasi kedua respon imun humoral (bantuan sel B) dan respon seluler (respon hipersensitifitas tipe lambat, lainnya). Sel CD8+ memperlihatkan sebuah aktifitas sitotoksik utama melawan sel-sel yang terinfeksi dengan mikroba intraseluler dan melawan sel-sel tumor, namun juga mengandung sel-sel pengaturan yang meregulasi ke hilir respon imun (sel-sel penekan). Sebagian dari sel-sel T CD4+ yang bersirkulasi memainkan sebuah peran pengaturan penting yang bekerja memodulasi ke hilir respon imun. Sel-sel regulatory T (Treg) ini dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama mengembangkan fungsi pengaturannya di dalam thimus dan dikenal sebagai sel-sel Treg alami. Sel-sel ini ditandai oleh pengekspresian permukaan antigen CD4 dan CD25 dan juga oleh pengekspresian nuklear the forkhead box P3 transcription factor (Foxp3) yang adalah penting bagi perkembangan mereka. Sebagian besar aktifitas pengaturan yang dimiliki populasi ini adalah dikarenakan sekresi sitokin imunomodulatornya yaitu TGF dan IL10 (50). Di bawah beberapa kondisi, penekanan proliferasi sel T efektor oleh sel-sel Treg memerlukan kontak sel - sel. Dalam situasi ini, telah dilaporkan bahwa TGF bekerja dalam sebuah bentukan berasosiasi-membran (51). Kelompok kedua sel-sel Treg diperkirakan berdiferensiasi di perifer dari sel-sel T CD4+ naif. Karena mereka muncul untuk berkembang dalam respon terhadap stimulasi dengan antigen spesifik, mereka disebut sel-sel Treg adaptif atau terinduksi. Diferensiasi mereka nampaknya bergantung pada keberadaan IL-10 selama aktifasi awal mereka. Pengekspresian Foxp3 adalah bervariasi dalam subset ini, dan IL-10 merupakan produk sekresi menonjol dengan TGF juga berpartisipasi (52). Fenotip sel-sel ini dapat tak stabil, dengan pengekspresian Foxp3 menghilang segera setelah penarikan (withdrawal) IL-10 atau TGF induktif. Studi terkini telah mengindikasikan bahwa modifikasi epigenetik lokus Foxp3, dalam bentuk asetilasi histon dan metilasi DNA yang berubah dalam daerah sekitar promoter Foxp3, adalah penting bagi pemapanan dari pengekspresian yang stabil dari Foxp3 dan pemeliharaan fenotip Treg (53).Sedikitnya 5-10% sel T dalam darah perifer, limfonodi, dan lien adalah CD4CD8. Beberapa dari sel ini menggunakan TCR dan lainnya menggunakan TCR. Sel-sel negatif ganda tidaklah mengenal antigen dalam konteks kelas I atau kelas II MHC. Beberapa dari sel ini mengenal antigen dalam protein terkait-kelas I CD1 yang diadaptasi untuk pemresentasian komponen glikolipid mikobakteria dan mikroba lainnya (36). Satu subset sel-sel T negatif ganda yang mengenal protein-protein terkait-rantai kelas I MHC didisain MIC (38).Kedua sel T CD4+ dan CD8+ berdiferensiasi menjadi subset berbeda secara fungsional setelah pemaparan dengan antigen. Hal ini merupakan penjelasan terbaik bagi transisi sel-sel T CD4+ dari keadaan naifnya ke populasi efektor. Sel-sel T CD4+ naif yang diam (didisain sel T penolong, Th) melepas sitokin dengan level sangat rendah. Awal-awalnya setelah stimulasi oleh antigen dan APC, sel Th mulai menghasilkan IL-2 dan didisain Th0. Sebagaimana sel-sel Th berlanjut berrespon terhadap sinyal pengaktifasian, mereka progres menuju ke kutub diferensiasi ekstrem yang didisain Th1, Th2, dan Th17 bergantung pada keadaan sitokin yang ada pada lokasi pengatifasian (54). IL-12 yang diproduksi oleh makrofag atau sel-sel NK menginduksi diferensiasi menuju Th1, IL-4 diproduksi oleh sel-sel T NK1.1+, basofil, atau sel mast menginduksi diferensiasi menuju Th2 dan TGF dan IL-6 diproduksi oleh sel yang belum diketahui menginduksi diferensiasi menuju Th17. Sel-se Th1 ditandai oleh ekspresi mereka akan faktor transkripsi t-bet dan oleh produksi IL-2, IFN- dan limfotoksin. Sel-sel Th2 ditandai oleh ekspresi mereka akan faktor transkripsi GATA-3 dan produksi IL-4, IL-5, IL-9, IL-13, dan GM-CSF, dan sel-sel Th17 mengekspres faktor transkripsi RORC2 dan memproduksi sitokin IL-6 dan IL-17 (55). Sel-sel Th17 diinduksi saat awal dalam respon adaptif terhadap bakteri ekstraseluler dan membantu merekrut respon netrofil yang mengeliminasi patogen ini. Mereka juga mengarahkan respon inflamasi destruktif yang merupakan bagian dari banyak penyakit otimun. Sel-sel Th1 dan Th2 sering berpartisipasi bersama dalam berbagai respon imun; namun, setelah imunisasi berkepanjangan, respon dapat menjadi dominan mirip-Th1 atau dominan mirip-Th2. Secara umum, sel Th1 menyokong respon imun bermediasi sel, dan sel-sel Th2 menyokong respon humoral dan alergik. Sel-sel T CD8+ juga dapat memanifes respon sitokin tipe 1 dan tipe 2, yang dalam kasus ini sel-se ini didisain T cytotoxic cell type 1 (Tc1) dan T cytotoxoc cell type 2 (Tc2) (56). Memahami berbagai faktor yang mengendalikan apakah sebuah respon Th mengadopsi sebuah respon bertipe-Th1, bertipe-Th2, atau bertipe-Th17 adalah penting bagi ahli alergi/imunologi klinis. Kemajuan terkini menggunakan imunisasi dengan tipe-tipe ajuvan berbeda (sebagai contoh, CpG DNA) mengunjukkan fisibilitas pemrograman ulang, pada pasien-pasien atopi, respon alergi bertipe-Th2 menjadi respon non-alergi bertipe-Th1 (57).

SuperantigenAntigen konvensional berikatan dengan sebuah subset molekul MHC dan dengan sefraksi sangat kecil dari rentangan TCR yang luas. Dus, sebuah antigen peptida konvensional mengaktifasi hanya sefraksi sangat kecil dari keseluruhan pupulan (pool) sel T. Superantigen, sebaliknya, merupakan produk mikroba yang berikatan dengan subset besar protein TCR dan molekul MHC, sehingga sebuah superantigen tunggal dapat mengaktifasi hingga 20% atau lebih dari total sel T dalam tubuh. Superantigen mengerjakan ini melalui pengikatan tanpa pemrosesan proteolitik dengan molekul MHC di luar alur pengikatan-antigen dan dengan protein TCR di luar lokasi pengikatan MHC-antigen mereka (Gambar 7). Sebagai contoh, the Toxic Shock Syndrome Toxin-1 (TSST-1) diproduksi oleh Staphylococcus aureus dapat mengaktifasi semua sel T dan TCR dengan menggunakan rantai V2 dan V5.1. Pengaktifasian sejumlah besar sel T yang diinduksi oleh superantigen menghasilkan pelepasan masif sitokin yang memproduksi kondisi klinis seperti misalnya sindrom syok toksik (58).

Limfosit B

Perkembangan Sel B dan Reseptor Antigen Sel BSel B mengisi sedikitnya 15% lekosit darah perifer. Mereka ditetapkan melalui produksinya akan Ig. Kecuali yang disampaikan di bawah, molekul Ig berkomposisikan dua buah rantai berat identik 50 kDa dan dua buah rantai ringan identik 25 kDa atau rantai ringan . Bagian terminal amino dari rantai berat dan ringan bervariasi dari segi rangkaian asam amino dari satu molekul antibodi ke yang lainnya. Bagian-bagian variabel ini didisain VH dan V atau V, secara berurutan. Juxtaposisi dari satu segmen VH dengan satu V atau V menciptakan bagian pengikatan-antigen dari molekul Ig intak. Regio variabel dari kedua rantai berat dan ringan mengandung tiga buah sub-regio yang sangat variabel di antara molekul antibodi berbeda. Semua rangkaian hipervariabel ini dibawa bersama dalam protein Ig untuk membentuk domain pengikatan-antigen dari molekul. Dus, setiap Ig memiliki dua buah lokasi pengikatan antigen yang identik. Bagian terminal karboksil rantai berat dan ringan adalah konstan dalam setiap subklas antibodi. Regio konstan rantai berat berpasangan untuk membentuk domain Fc dari molekul yang bertanggung jawab bagi kebanyakan fungsi efektor molekul Ig, termasuk pengikatan ke reseptor Fc dan pengaktifasian sistim komplemen.Gen-gen yang menyandi rantai ringan disandikan pada khromosom 2, dan gen-gen yang menyandi rantai ringan disandikan pada khromosom 22. Lokus rantai berat yang kompleks disandikan pada khromosom 14. Lokus-lokus rantai ringan dan berat masing-masing berkomposisikan satu seri elemen gen V (variabel), diikuti oleh banyak segmen D (diversitas) (hanya bagi gen rantai berat), beberapa segmen J (joining), ekson C (regio konstan). Regio konstan dari kedua gen rantai ringan dan disandikan sebagai ekson tunggal. Gen rantai berat, sebaliknya, mengandung ekson-ekson yang menyandi 9 buah regio konstan berbeda yang digunakan untuk memproduksi klas-klas dan subklas-subklas berbeda dari Ig (Tabel 1).

Tabel IStruktur, Fungsi, dan Distribusi berbagai Isotop AntibodiIgM IgD IgG1 IgG2 IgG3 IgG4 IgA1 IgA2 IgEBentuk Subunit (1) 5 1 1 1 1 1 1,2 1,2 1Berat Molekul, kDa 950 175 150 150 150 150 160,400 160,400 190Konsentrasi dalam Serum, mg/ml 2 0.03 10 4 1 0.5 2 0.5 0.003Pengaktifasian Komplemen C/A (2) +/ /+ ++/+ +/+ ++/+ /+ /+ /+ /Pengikatan FcR Makrofag + ++ ++ ++ ++ ++ Sensitisasi Sel Mast + +++Transpor Placenta ++ + ++ +/ Transpor Mukosa (3) +++ +++ 15=pentamer, 2=dimer, 1=monomer2C=Jalur Klasik, A=Jalur Alternatif3Hanya Dimer

Sel-sel B berdiferensiasi dari sel-sel tunas hematopoietik dalam sumsum tulang. Di sinilah reseptor antigen mereka (Ig permukaan) dirakit dari blok-blok pembangun genetik dalam sebuah proses bermediasikan-RAG1/RAG2 yang sama dengan yang digunakan untuk produksi TCR fungsional (59). Bagian terminal amino dari setiap rantai berat diciptakan oleh gen-gen penggabungan somatik (somatic joining) yang mengkode sebuah regio variabel (VH), regio diversitas (DH), dan regio joining (JH). Penggabungan gen-gen yang menyandi elemen gen rantai ringan variabel dan konstan membangkitkan bagian terminal amino dari rantai ringan. The junction VDJ yang dibentuk oleh rekombinasi ini membuat regio hipervariabel ketiga yang menyumbang pada lokasi pengikatan antigen. Diversitas rangkaian asam amino dari regio hipervariabel ketiga merupakan hasil dari combinatorial V-D-J joining, dan juga dari rangkaian tersandi-non-gen yang ditambahkan ke dalam lokasi junction oleh aksi enzim TdT yang diekspres pada sel-sel B yang sedang berkembang selama masa pengaturan ulang gen ini berlangsung.

Pemapanan Repertoar sel BDiferensiasi sel tunas menuju garis turunan B adalah bergantung pada sel-sel stromal sumsum tulang yang memproduksi IL-7. Sel B yang sedang berkembang mengikuti sebuah program dari pengekspresian antigen permukaan diferensiil dan pengaturan-ulang gen rantai berat dan ringan sekuensiil (Gambar 8). Pertama, kompleks enzim rekombinase mengkatalisis fusi dari satu dari gen regio DH ke sebuah gen regio JH dengan dilesi dari rangkaian DNA intervening. Rekombinasi DHJH ini terjadi pada kedua khromosom. Selanjutnya, rekombinase menggabungkan satu dari gen regio VH ke gen DHJJ. TdT diekspres selama periode ini, menghasilkan penambahan nukleotida acak ke dalam lokasi penggabungan DH-J dan VH-DHJH, menambahkan diversitas potensiil rangkaian asam amino yang tersandi oleh gen VHDHJH yang ter-atur ulang. Elemen VHDHJH yang ter-atur ulang membentuk the most 5 exon dari gen rantai berat yang ter-atur ulang ini, dan diikuti downstream oleh ekson-ekson menyandi regio konstan dari rantai m yang berpasangan dengan sebuah rantai ringan untuk menghasilkan IgM dan farther downstream oleh ekson-ekson menyandi regio konstan dari rantai d yang digunakan untuk membuat IgD. Rantai dan rantai diproduksi sebagai sebuah hasil dari splicing RNA alternatif dari ekson VHDHJH ke apakah ekson-ekson ataukah . Bila pengaturan-ulang elemen-elemen VH, DH, dan JH menghasilkan sebuah transkrip rantai berat yang adalah berproses di dalam kerangka kerja (in-frame) dan menyandi sebuah protein rantai berat fungsional, kemudian rantai berat ini disintesis dan berpasangan dalam sel dengan dua protein, 5 dan VpreB, yang bekerja sebagai sebuah pengganti rantai ringan (Gambar 8). Pengekspresian reseptor sel pre-B ini pada permukaan sel mencegah pengaturan-ulang VH ke DHJH pada khromosom yang lainnya, untuk meyakinkan bahwa sel B yang sedang berkembang menghasilkan hanya satu spesifisitas antigenik. Proses ini disebut allelic exclusion. Bila pengaturan-ulang VHDHJH yang pertama adalah berproses di luar kerangka kerjanya dan tidak menghasilkan sebuah protein rantai ringan fungsional, kemudian sebuah gen VH melanjutkan untuk pengaturan-ulang pada khromosom lainnya dalam suatu usaha kedua untuk membangkitkan sebuah pengaturan-ulang rantai ringan yang berhasil. Bila pengaturan-ulang kedua ini tidak berhasil, sel menjalani apoptosis dan dibuang.

Gambar 8Diferensiasi dan Perkembangan Sel BSel B berdiferensiasi dalam sumsum tulang dari sel tunas untuk menjadi sel-sel pengekspres IgM dan IgD permukaan yang dewasa. Ini terjadi dalam ketidakhadiran antigen. Di dalam jaringan limfoid perifer, sel B dapat kemudian mendewasa lebih lanjut di bawah pengaruh antigen dan sel T bantuan untuk menjalani switching isotipe dan maturasi afinitas melalui mutasi somatik. Faktor-faktor yang mengontrol diferensiasi akhir dari sel B penyekresi-antibodi menuju sel plasma dikarakterisasi tidak lengkap, namun membutuhkan partisipasi faktor-faktor pentranskripsian Blimp1, Xbp1 dan IRF4. Gambar memperlihatkan berbagai korelasi di antara stadium diferensiasi sel dengan pengekspresian molekul dalam sel (TdT, RAG1/RAG2, cytoplasmic ) dan permukaan sel (kelas II, CD19, CD21, CD25, CD45, dan Ig permukaan). Dimodifikasi dari Huston (114).

Sekali sebuah rantai berat fungsional dihasilkan, sel mengatur ke hilir gen TdT-nya dan menginisiasi pengaturan-ulang rantai ringan. Pertama, sebuah elemen V mengatur-ulang ke elemen J. Bila yang ini membentuk sebuah rantai ringan fungsional, kemudian rantai ringan berpasangan dengan rantai berat untuk membentuk sebuah protein Ig fungsional dan kelanjutan pengaturan-ulang rantai ringan akan berhenti. Bila pengaturan-ulang gagal, kemudian proses pengaturan-ulang berlanjut pada khromosom lainnya. Bila hal itu pula gagal, kemudian pengaturan-ulang rantai berlanjut. Gen-gen RAG1 dan RAG2 hanya diekspres sepanjang masa pengaturan rantai berat dan ringan, terkecuali beberapa sel B yang mengekspres reseptor otoreaktif kelihatannya mampu untuk mengekspres-ulang gen-gen RAG mereka dan menjalani pengeditan reseptor melalui pengaturan-ulang sekunder dari gen-gen Ig mereka yang telah ter-atur-ulang (60). Semua proses ini menghasilkan perakitan komponen pengikatan-antigen reseptor sel B. Seperti TCR, reseptor sel B yang dewasa penuh juga meliputkan protein transmembran tambahan didisain Ig dan Ig yang mengaktifasi sinyal intraseluler setelah reseptor mengikat antigen (61, 62). Sel B juga memiliki sebuah kompleks ko-reseptor terdiri dari CD19, CD81, dan CD21 (komplemen reseptor 2) yang diaktifasi oleh pengikatan dengan protein komplemen teraktifasi C3d (63). Kedua Ig dan Ig memiliki domain ITAM dalam regio sitoplasmik mereka, dan mempergunakan jalur-jalur pentransduksian sinyal yang sama sebanding dengan apa yang digunakan oleh sel T. Jalur sel B meliputi the src-family of kinases Blk, Fyn, dan Lyn yang memfosforilasi ITAMs pada rantai Ig dan Ig. Sinyal pengaktifasian kemudian lewat melalui tirosin kinase Syk dan protein penghubung (linker protein) BLNK ke komponen pensinyalan downstream fosfolipase C dan faktor-faktor pertukaran nukleotida guanin. Akhirnya, seperti halnya pada sel T, pengaktifasian protein kinase C, mobilisasi kalsium, dan pengaktifasian MAP kinase yang bergantung-Ras/Rac mengawali kepada pengaktifasian transkripsi gen baru yang menyebabkan proliferasi dan maturasi sel.

Switching Isotipe and Maturasi SomatikSel-sel B naf mengekspres IgM dan IgD permukaan sel mereka. Dua buah isotipe Ig ini diekspres melalui splicing alternatif dari ekson VHDHJH yang sama dengan ekson-ekson rantai berat m dan d. Bagi semua gen rantai berat, splicing alternatif juga mengijinkan pengekspresian dari kedua antibodi berikatan-membran (splicing dalam sebuah ekson transmembran) dan antibodi yang tersekresikan (transmembrane exon spliced out). Sebagaimana sel B mendewasa di bawah pengaruh sel T penolong, berbagai sitokin berasal-sel T menginduksi switching isotipe. Switching isotipe merupakan sebuah proses bermediasikan pengaturan-ulang DNA sebagiannya oleh enzim pengeditan-RNA activation-induced cytidine deaminase (AID), uracil-DNA glycosylase (UNG), the endonuclease APE1, dan enzim perbaikan DNA DNA-PK. Proses switching memindahkan ekson VHDHJH yang ter-atur ulang menuju ke satu posisi immediately upstream dari ekson-ekson rantai berat alternatif. Hal ini mengijinkan satu ekson VHDHJH yang ter-atur-ulang fungsional digunakan untuk menghasilkan antibodi dari isotipe-isotipe berbeda namun dengan spesifisitas antigenik sama (64). IL-10 yang berasal sel T menyebabkan switching ke IgG1 dan IgG3. IL-4 dan IL3 menyebabkan switching ke IgE, dan TGF menyebabkan switching ke IgA. IFN- atau bebera