Top Banner
12 BAB III TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Sirosis Hepatis 3.1.1 Definisi Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat dan nodul tersebut (Sjaifoelah, 1996). Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan peningkatan vaskularisasi ke hati menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh darah di daerah gaster maupun esophagus (Widjaja & Karjadi, 2011). 3.1.2 Prevalensi Di amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan 29.165 kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000 orang (Starr & Rainess, 2011). Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria lebih banyak menderita sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia dekade kelima (Sjaifoelah, 1996). World Health Organization (WHO) tahun 2002 memperkirakan 783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi virus hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi hepatitis B atau C (Perz, Armstrong, Farrington, Hutin, & Bell, 2006). South East Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang pembawa hepatitis C (WHO, 2011).
31

Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

Dec 01, 2015

Download

Documents

ayyash13

Sirosis Hepatis disertai dengan perdarahan varises esofagus berulang
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

12

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Sirosis Hepatis

3.1.1 Definisi

Sirosis hati adalah penyakit hati menahun yang difus ditandai dengan

adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul. Biasanya dimulai dengan

adanya proses peradangan, nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat

dan usaha regenerasi nodul. Distorsi arsitektur hati akan menimbulkan perubahan

sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat perubahan jaringan ikat

dan nodul tersebut (Sjaifoelah, 1996). Selanjutnya, distorsi arsitektur hepar dan

peningkatan vaskularisasi ke hati menyebabkan varises atau pelebaran pembuluh

darah di daerah gaster maupun esophagus (Widjaja & Karjadi, 2011).

3.1.2 Prevalensi

Di amerika, sirosis hepatis menjadi penyebab kematian ke 12 dengan

29.165 kematian pada tahun 2007 dan rata-rata angka mortalitas 9,7 per 100.000

orang (Starr & Rainess, 2011). Angka kejadian di Indonesia menunjukkan pria

lebih banyak menderita sirosis dari wanita (2 - 4: 1), terbanyak didapat pada usia

dekade kelima (Sjaifoelah, 1996). World Health Organization (WHO) tahun 2002

memperkirakan 783 000 pasien di dunia meninggal akibat sirosis hati. Sirosis hati

paling banyak disebabkan oleh penyalahgunaan alkohol dan infeksi virus

hepatitis. Di Indonesia sirosis hati banyak dihubungkan dengan infeksi virus

hepatitis B dan C karena penyalahgunaan alkohol lebih jarang terjadi

dibandingkan negara-negara barat. Sekitar 57%, pasien sirosis hati terinfeksi

hepatitis B atau C (Perz, Armstrong, Farrington, Hutin, & Bell, 2006). South East

Asia Regional Office (SEARO) tahun 2011 melaporkan sekitar 5,6 juta orang di

Asia Tenggara adalah pembawa hepatitis B, sedangkan sekitar 480.000 orang

pembawa hepatitis C (WHO, 2011).

Page 2: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

13

3.1.3 Etiologi dan Klasifikasi

Sirosis hepatis bisa dapat disebabkan oleh banyak faktor. Penyalahgunaan

alkoholn dan infeksi virus hepatitis merupakan penyebab yang paling sering

(Starr & Rainess, 2011).

Tabel 1. Etiologi Umum Sirosis Hepatis (Starr & Rainess, 2011)

Untuk penentuan derajat keparahan dan prognosis pembedahan, maka

klasifikasi derajat keparahan yang sering digunakan adalah klasifikasi Child-

Turcotte-Pugh (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Tabel 2. Klasifikasi Sirosis dengan Skor Child-Turcotte-Pugh

Kriteria Klinis danBiokimia

Nilai*1 2 3

Bilirubin (mg/dl) < 2,0 2,0-3,0 > 3,0Albumin (g/dl) > 3,5 2,8-3,5 < 2,8Ascites - Ringan-Sedang Berat atau refrakter

terhadap diuretikEnsefalopati - Stadium I/II Stadium III/IVWaktu Protrombin#

Perpanjangan <4 4-6 >6INR <1,7 1,7-2,3 >2,3

* Sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh, kelas A (5-6 poin) mengindikasikan

penyakit hati least severe, kelas B (7-9 poin) mengindikasikan penyakit hati

moderately severe dan kelas C (10-15 poin) mengindikasikan most severe.

# Hanya salah satu. Pemanjangan waktu protrombin atau INR yang digunakan.

ETIOLOGI UMUM SIROSISInflamasi Genetik/Kongenital

Viral Sirosis Bilier PrimerHepatitis B (15 %) Defisiensi α1 Anti TripsinHepatitis C (47 %) Hemokromatosis

Schistosomiasis Non-Alkohol Fatty Liver DiseaseAutoimun (Tipe 1,2,3) Wilson DiseaseSarcoidosis Gagal jantung Kongestif

ToxicAlkohol (18%)Metrotrexat

Venoocclusive Disease(Budd-Chiari Syndrome)

Unknown (14 %)

Page 3: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

14

3.1.4 Patogenesis

Infeksi hepatitis viral tipe B atau C menimbulkan peradangan sel hati.

Peradangan ini menyebabkan nekrosis meliputi daerah yang luas, terjadi kolaps

lobulus hati dan ini memacu timbulnya jarigan parut disertai terbentuknya septa

fibrosa difus dan nodul sel hati. Walaupun etiologinya berbeda, gambaran

histologis sirosis hati sama atau hampir sama (Price & Wilson, 2006)

Patogenesis sirosis menurut penelitian terakhir, memperlihatkan adanya

peranan sel stelata (stellate cell), yang berperan dalam keseimbangan matriks

ekstraseluler dan proses degradasi, jika terpapar faktor tertentu secara terus

menerus (misal hepatitis virus, bahan-bahan hepatotoksik) maka sel stelata akan

menjadi sel yang membentuk kolagen dan jika terus berlangsung maka jaringan

hati normal akan diganti oleh jaringan ikat Septa bisa dibentuk dari sel retikulum

penyangga yang kolaps dan berubah jadi parut. Jaringan parut ini dapat

menghubungkan daerah porta yang satu dengan yang lainnya atau porta dengan

sentral (bridging necrosis).

Beberapa sel tumbuh kembali dan membentuk nodul dengan berbagai

ukuran dan ini menyebabkan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan

gangguan aliran darah porta, dan menimbulkan hipertensi portal. Hal demikian

dapat pula terjadi pada sirosis alkoholik tapi prosesnya lebih lama. Tahap

berikutnya terjadi peradangan dari sirosis pada sel duktules, sinusoid

retikuloendotel, terjadi abrogenesis dan septa aktif. Jaringan kolagen berubah dari

reversibel menjadi ireversibel bila telah tertbentuk septa permanen yang aselular

pada daerah porta dan parenkim hati. Gambaran septa ini bergantung etiologi

sirosis. Pada sirosis dengan etiologi hemokromatosis, besi mengakibatkan fibrosis

daerah portal, pada sirosis alkoholik timbul fibrosis daerah sentral. Sel limfosit T

dan makrofag menghasilkan limfokin dan monokin, mungkin sebagai mediator

timbulnya fibrinogen. Mediator ini tidak memerlukan peradangan dan nekrosis

aktif. Septa aktif ini berasal dari daerah porta menyebar ke parenkim hati.

Page 4: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

15

3.1.5 Diagnosis

Pasien dengan sirosis biasanya akan tampak gejala dan tandanya baik dari

penyakit sirosis itu sendiri ataupun dari komplikasinya (Starr & Rainess, 2011)

Pada saat ini penegakan diagnosis sirosis hati terdiri atas manifestasi klinis pada

pemeriksaan fisik, laboratorium dan USG. Pada kasus tertentu diperlukan

pemeriksaan biopsi hati (Sjaifoelah, 1996).

Suharyono Soebandiri memformulasikan bahwa 5 dari 7 tanda dibawah

ini sudah dapat menegakkan diagnosa sirosis hati dekompensasi :

1. Asites

2. Splenomegali

3. Perdarahan varises

4. Albumin yang merendah

5. Spider naevi

6. Eritema palmaris

7. Vena kolateral (Sjaifoelah, 1996)

3.1.5.1 Manifestasi Klinis

Secara umum, meskipun memiliki banyak etiologi dan pola, namun

hamper semua jenis sirosis memiliki gambaran klinis yang sama. Masa ketika

sirosis bermanifestasi sebagai masalah klinis hanya sepenggal waktu dari

perjalanan klinis selengkapnya. Sirosis bersifat laten selama bertahun-tahun dan

perubahan patologis yang terjadi berkembang lambat hingga akhirnya gejala yang

timbul menyadarkan akan kondisi ini dan dalam waktu yang sama terjadi

kemunduran fungsi hati secara bertahap (Price & Wilson, 2006)

Fase Kompensasi Sempurna

Pada fase ini pasien tidak mengeluh sama sekali atau bisa juga keluhan

samar-samar tidak khas seperti pasien merasa tidak sehat, merasa kurang

kemampuan kerja, selera makan berkurang, perasaan perut kembung, mual,

kadang mencret atau konstipasi, berat badan menurun, kelemahan otot dan

perasaan cepat lelah akibat deplesi protein (Price & Wilson, 2006). Keluhan

dan gejala tersebut tidak banyak bedanya dengan pasien hepatitis kronik aktif

Page 5: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

16

tanpa sirosis hati dan tergantung pada luasnya kerusakan parenkim hati

(Sjaifoelah, 1996).

Fase Dekompensasi

Manifestasi klinis pasien sirosis pada fase dekompensasi secara garis besar

dibagi menjadi 2 yaitu (Price & Wilson, 2006) :

1. Manifestasi Gagal Hepatoseluler

Ikterus terjadi pada 60 % penderita selama perjalanan penyakitnya

dan biasanya hanya minimal. Hiperbilirubinemia tanpa ikterus lebih

sering terjadi. Penderita dapat menjadi ikterus selama fase

dekompensasi disertai gangguan reversibel fungsi hati. Gangguan

endokrin sering terjadi pada sirosis. Hormon korteks adrenal, testis,

dan ovarium dimetabolisme dan diinaktifkan oleh hati. Gangguan

pada hati juga akan mengganggu proses metabolime dan inaktivasi

dari hormon-hormon tersebut. Spider nevy yang terdiri dari arteriola

sentral tempat memanvarnya banyak pembuluh darah halus akan

terlihat pada kulit terutama di bagian leher, dada, dan bahu. Spider

nevy, atrofi testis, ginekomastia, alopesia pada dada dan aksila, serta

eritema palmaris diduga disebabkan oleh kelebihan estrogen dalam

sirkulasi. Peningkatan pigmentasi kulit juga diduga disebabkan oleh

aktivitas hormon perangsang melanosit (Melanocyt-stimulating

Hormone) yang bekerja secara berlebihan. Gangguan hematologik

yang sering terjadi pada sirosis adalah kecenderungan perdarahan,

anemia, leukopenia dan trombositopenia. Penderita sering mengalami

perdarahan hidung, gusi, menstruasi berat, dan mudah memar. Masa

protrombin dapat memanjang. Manifestasi ini dapat terjadi akibat

berkurangnya pembentukan faktor-faktor pembekuan oleh hati.

Anemia, leukopenia, dan trombositopenia diduga disebabkan oleh

hipersplenisme. Limpa tidak hanya membesar, tetapi juga lebih aktif

menghancurkan sel-sel darah dari sirkulasi. Mekanisme lain yang juga

menyebabkan anemia adalah defisiensi besi, asam folat, dan vitamin

B 12 yang terjadi sekunder akibat kehilangan darah dan peningkatan

Page 6: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

17

hemolisis eritrosit. Penderita juga akan lebih mudah terserang infeksi.

Edema perifer umumnya terjadi setelah timbulnya asites dan dapat

dijelaskan akibat hipoalbuminemia serta retensi garam dan air.

Kegagalan hati untuk inaktivasi aldosteron dan hormone anti diuretik

merupakan penyebab retensi natrium dan air. Fetor hepatikum

merupakan bau apek manis yang terdeteksi dari napas penderita dan

diyakini terjadi akibat ketidakmampuan hati dalam memetabolisme

metionin. Gangguan neurologis yang paling serius pada sirosis lanjut

adalah ensefalopati hepatikum yang diyakini akibat kelainan

metabolisme ammonia dan peningkatan kepekaan otak terhadap

toksin.

2. Manifestasi Hipertensi Portal

Hipertensi portal didefinisikan sebagai peningkatan tekanan vena

porta yang menetap di atas nilai normal (6-12 cm H2O). Tanpa

memandang penyakit dasarnya, mekanisme primer penyebab

hipertensi portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah

melalui hati. Selain itu biasanya terjadi peningkatan aliran arteria

splanknikus. Kombinasi kedua faktor yaitu menurunnya aliran keluar

melalui vena hepatica dan meningkatnya aliran masuk bersama-sama

menghasilkan beban berlebihan pada sistem portal. Pembebanan yang

berlebihan sistem portal ini merangsang timbulnya aliran kolateral

guna menghindari obstruksi hepatik (varises). Tekanan balik pada

sistem portal mengakibatkan splenomegali dan sebagian bertanggung

jawab terhadap tertimbunnya asites. Asites merupakan penimbunan

cairan encer intraperitoneal yang mengandung sedikit protein. Faktor

utama patogenesis asites adalah peningkatan tekanan hidrostatik pada

kapiler usus (Hipertensi Portal) dan penurunan tekanan osmotik

koloid akibat hipoalbuminemia. Faktor lain yang berperan adalah

retensi natrium dan air serta peningkatan sintesis dan aliran limfe hati.

Saluran kolateral penting yang timbul akibat sirosis dan hipertensi

portal terdapat pada esophagus bagian bawah. Pirau darah melalui

Page 7: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

18

melalui saluran ini ke vena kava menyebabkan dilatasi venaa-vena ini

(Varises Oesofagus) varises ini terjadi sekitar 70% pada pasien

dengan sirosis lanjut. Perdarahan pada varises ini sering menyebabkan

kematian. Sirkulasi kolateral juga melibatkan vena superficial dinding

abdomen dan timbulnya sirkulasi ini mengakibatkan dilatasi vena-

vena skitar umbilicus (Caput Medusae). Sistem vena rectal membantu

dekompensasi tekanan portal sehingga vena-vena berdilatasi dan

dapat menyebabkan berkembangnya hemorrhoid interna, perdarahan

pada hemorhhoid yang pecah biasanya tidak hebat, karena tekanan di

daerah ini tidak setinggi tekanan pada esophagus karena jarak yang

lebih jauh dari vena porta. Splenomegali pada sirosis dapat dijelaskan

berdasarkan kongestif pasif kronis akibat aliran balik dan tekanan

darah yang lebih tinggi pada vena lienalis.

3.1.5.2 Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Laboratorium

1. Darah

Bisa dijumpai Hb rendah, anemia normokrom normositer, hipokrom

mikrositer atau makrositer. Anemia bisa, akibat hipersplenisme dengan

leukopenia dan trombositopenia.

a) Kenaikan enzim transaminase / SGOT, SGPT tidak merupakan petunjuk

tentang berat dan luasnya kerusakan parenkhim hati. Kenaikan kadarnya

didalam serum timbul akibat kebocoran dari sel yang mengalami

kerusakan. Peninggian kadar gama GT sama dengan transaminase, ini

lebih sensitif tetapi kurang spesifik. Pemeriksaan bilirubin, transaminase

dan gama GT tidak meningkat pada sirosis inaktif.

b) Albumin. Penurunan kadar albumin dan peningkatan kadar globulin

merupakan tanda kurangnya daya hati dalam menghadapi stress.

c) Pemeriksaan CHE. Bila terjadi kerusakan sel hati, kadar CHE akan turun.

d) Pemeriksaan kadar elektrolit penting dalam penggunaan diuretik dan

pembatasan garam dalam diet.

Page 8: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

19

e) Pemanjangan masa protombin merupakan petunjuk adanya penurunan

fungsi hati. Pemberian vit. K parenteral dapat memperbaiki masa

protrombin.

f) Peninggian kadar gula darah pada sirosis hati fase lanjut disebabkan

kurangnya kemampuan sel hati membentuk glikogen.

g) Pemeriksaan marker serologi pertanda virus seperti HBS Ag/ HBS Ab,

HbeAg/ HbeAb, HBV DNA, HCV RNA.

Pada pemeriksaan darah, saat ini dapat ditentukan apakah pada pasien

mengalami sirosis atau tidak dengan menghitung dengan rumus P2/MS yakni

ratio jumlah platelet dan fraksi monosit serta fraksi segmentasi neutrofil.

Keterangan.

Untuk indikator sirosis hepatis bila nilai P2/MS < 45.0 maka berarti ada

sirosis hepatis, bila nilai > 60.0 berarti tidak ada sirosis hepatis. Untuk

indikator fibrosis yang signifikan, bila nilai P2/MS <62.0 berarti ada fibrosis

signifikan, namun bila nilai > 115.0 berarti tidak ada fibrosis signifikan

(Gentile & Thabut, 2012).

2. Pemeriksaan AFP

Pemeriksaan AFP penting dalam menentukan apakah telah terjadi

transformasi kearah keganasan. Nilai AFP > 500 – 1000 mempunyai nilai

diagnostik suatu kanker hati primer.

3. Pemeriksaan penunjang lainnya.

EGD, USG, CT-Scan, ERCP, Angiografi.

Formulasi P2/MS =Jumlah Platelet (109/L) 2

Fraksi monosit (%) x Segmented Neutrofil Fraction (%)

Page 9: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

20

3.1.6 Penatalaksanaan

Terapi dan prognosis sirosis hati tergaantug pada derajat komplikasi

kegagalan hati dan hipertensi portal (Sjaifoelah, 1996).

Pasien dalam keadaan kompensasi hati yang cukup baik, dilakukan kontrol

yang teratur, istirahat yang cukup, susunan diet tinggi kalori dan protein,

lemak secukupnya (DH III-IV). Bila timbul ensefalopati hepatikum,

protein dikurangi (DH I).

Pasien sirosis hati dengan penyebab diketahui, seperti alkohol,

hemokromatosis, penyakit Wilson, diobati penyebabnya.

Ada keadaan lain dilakukan terapi terhadap komplikasi yang timbul.

1. Untuk asites, diberi rendah garam 0,5 gr/hari dan total cairan 1,5 l/hr.

spironolakton dimulai dengan dosis awal 4 x 25 mg/hr dinaikkan

sampai total dosis 800 mg sehari. Idealnya penurunan berat badan 1

kg/hr. Bila perlu dikombinasikan dengan furosemid.

2. Perdarahan varises esofagus. Pasien dirawat dirumah sakit sebagai

kasus perdarahan saluran cerna atas.

3. Untuk ensefalopati dilakukan koreksi faktor pencetus seperti

pemberian KCL pada hipokalemia, mengurangi pemasukan protein

makanan dengan memberi diet DH I, aspirasi cairan lambung bagi

pasien yang mengalami perdarahan pada varises, dilakukan klisma

untuk mengurangi absorpsi bahan nitrogen dan pemberian duphalac

2 x C II.

4. Peritonitis bacterial spontan diberi antibiotik pilihan, seperti

cefotaxim 2 gr/8 jam iv.

3.1.8 Komplikasi

Komplikasi yang mungkin dialami oleh penderita sirosis adalah :

Kegagalan hati

Hipertensi portal

Varises Esofagus

Asites

Page 10: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

21

Ensefalopati

Peritonitis bacterial spontan.

Sindrom hepatorenal.

Transformasi kearah kanker hati primer.

3.1.9 Prognosis

Prognosis tidak baik bila

Ikterus yang menetap atau bilirubin darah > 1,5 mg%

Asites refrakter atau memerlukan diuretik dosis besar

Kadar albumin rendah (< 2,5 gr%)

Kesadaran menurun tanpa faktor pencetus

Hati mengecil

Perdarahan akibat varises esofagus

Komplikasi neurologis

Kadar protrombin rendah

Kadar natrium darah rendah (< 120 meq/i), tekanan systole < 100 mmHg

3.2 Perdarahan Varises Esofagus

3.2.1 Definisi

Varises gastroesofagus adalah pelebaran pembuluh darah di gaster atau

esofagus yang terjadi semakin besar. Pecahnya varises tersebut akan

menimbulkan perdarahan. Varises terjadi pada hampir 50% pasien dengan sirosis

hati (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey, 2007). Indikator peningkatan faktor

resiko terjadinya perdarahan pada varises esophagus adalah skor Child-Pugh,

perhitungan platelet, tekanan vena porta, dan muncul atau tidaknya hepatocellular

carcinoma, splenomegali dan atau ascites. Skor Child-Pugh menunjukkan

keparahan dari penyakit liver dan telah dilaporkan dapat menjadi penanda yang

andal. Tekanan dan aliran dari vena porta dan vena hepatica juga terbukti secara

signifikan menjadi prediktor dari perdarahan varises esophagus. Sebagai faktor

local, keberadaan Red Color Sign (RCS) merupakan prediktor penting dari

perdarahaan varises esophagus dan juga sudah diketahui bahwa perdarahan

Page 11: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

22

varises berasal dari rupture pada RCS ini. Karena itu endoskopi untuk melihat

keberadaan RCS menjadi penting untuk dilakukan (Okamoto, et al., 2008).

Varises gastroesofagus timbul pada hampir setengah pasien sirosis hati

dan tertinggi pada pasien sirosis Child- Turcotte-Pugh kelas B atau C. VGE

sendiri terjadi sekitar 7% per tahun. Angka kejadian perdarahan varises yang

pertama dalam satu tahun sekitar 12% dan terjadinya rekurensi perdarahan varises

diperkirakan 60% dalam satu tahun (Bosch & Garcia-Pagan, 2003). Mortalitas

dalam enam minggu setiap perdarahan sekitar 15- 20%, berkisar antara 0% pada

pasien dengan Child kelas A sampai sekitar 30% pasien dengan Child kelas C

(Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, & Carey, 2007).

Perdarahan akibat pecahnya varises gastroesofagus (VGE) merupakan

komplikasi yang berbahaya bagi pasien sirosis hati. Sayangnya, pasien seringkali

datang untuk pertama kali karena hematemesis atau melena dan baru kemudian

terdiagnosis sirosis hati. Padahal ancaman kematian selalu ada setiap terjadi

perdarahan. Karena itu, faktor-faktor yang menjadi risiko pecahnya VGE berulang

perlu diketahui agar pengelolaan pasien lebih optimal (Widjaja & Karjadi, 2011)

Patofisiologi pecahnya VGE pada sirosis hati penting diketahui agar

sasaran terapi untuk mencegah perdarahan menjadi jelas. VGE terjadi karena

hipertensi porta yang diakibatkan oleh peningkatan tahanan ke aliran porta dan

banyaknya darah yang masuk ke vena porta. Kedua mekanisme itu menjadi

sasaran tata laksana pasien agar tidak terjadi perdarahan berulang akibat pecahnya

VGE, ditambah dengan intervensi lokal (seperti ligasi) (Dib, Oberti, & Cales,

2006). Pasien sirosis hati tanpa atau dengan VGE yang belum pernah mengalami

perdarahan mempunyai kemungkinan rendah terjadinya perdarahan dan kematian.

Akan tetapi, jika sudah pernah mengalami perdarahan sekali saja, kemungkinan

perdarahan berulang menjadi sangat tinggi (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Ditambah lagi, angka survival lebih rendah pada pasien dengan perdarahan

berulang dibandingkan dengan perdarahan yang baru sekali terjadi (Nidegger,

Ragot, Berthelemy, Masliah, Pilette, & Martin, 2003). Angka perdarahan ulang

berkisar antara 30-40%. Pasien yang tetap hidup pasca perdarahan pertama juga

masih beresiko dalam 1-2 tahun ke depan untuk terjadi perdarahan ulang.

Page 12: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

23

Berkembangnya pengobatan dan cara baru ternyata tidak menurunkan angka

kejadian perdarahan varises esofagus pada pasien-pasien sirosis, dengan angka

insiden berkisar antara 15-35%. Perdarahan varises esophagus merupakan proses

yang panjang dimulai dari peningkatan tekanan vena portal, pembentukan

kolateral yang kemudian menjadi varises, dilatasi progresif dari varises, dan

berakhir dengan rupture dan pendarahan. Pembentukan varises memerlukan waktu

yang lama, dengan insiden varises baru per tahun sebesar 5%.

Fakta-fakta diatas memberikan kesimpulan bahwa pengelolaan perdarahan

varises esofagus merupakan bagian yang terintegrasi dari penanganan penyakit

sirosis dengan hipertensi portal. Penanganan perdarahan varises esofagus meliputi

pengenalan dini terhadap varises esophagus yang baru terbentuk, pencegahan

primer terhadap serangan perdarahan pertama, mengatasi perdarahan aktif, dan

prevensi perdarahan ulang setelah perdarahan pertama terjadi.

3.2.2 Patogenesis

Varises gastroesofagus merupakan akibat langsung hipertensi porta karena

peningkatan tahanan aliran porta dan peningkatan aliran darah yang masuk ke

vena porta. Hal tersebut sejalan dengan hukum Ohm yang menyebutkan bahwa

tekanan vena porta adalah hasil dari tahanan vaskular (R) dan aliran darah (Q)

pada bagian porta (P = Q x R) (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Peningkatan tahanan

(R) terjadi melalui dua cara: mekanik dan dinamik. Tahanan mekanik disebabkan

oleh gangguan struktur vaskular hati akibat fibrosis, nodul regeneratif dan

deposisi kolagen di ruang disse, sedangkan tahanan dinamik dikarenakan

peningkatan tonus vaskular hati yang dimodulasi oleh vasokontriksi endogen

seperti norepinefrin, endotelin I, angiotensin II, leukotrien dan tromboksan A2.

Peningkatan vasokonstriktor endogen diakibatkan oleh disfungsi endotel serta

penurunan bioavaibilitas nitrit oksida. (Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Penyebab

peningkatan aliran darah (Q) adalah peningkatan curah jantung dan penurunan

tahanan vaskuler sistemik. Hal tersebut mengakibatkan sirkulasi meningkat

dengan vasodilatasi arteri sistemik dan splanknik, yang semakin memperburuk

hipertensi porta. Selain itu, sebagai usaha mendekompresi sistem vena porta,

faktor-faktor angiogenik akan membentuk pembuluh darah kolateral sehingga

Page 13: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

24

terjadi hubungan antara sirkulasi sistemik dengan porta. Hal tersebut justru

menambah aliran darah yang akan memperburuk hipertensi porta (Dib, Oberti, &

Cales, 2006). Peningkatan tekanan porta (hipertensi porta) menyebabkan dilatasi

pembuluh darah terutama yang berasal dari vena azygos, yang kemudian

menyebabkan varises. Varises terjadi jika terdapat peningkatan perbedaan tekanan

antara vena porta dan vena hepatika lebih dari 10 mmHg. Varises akan semakin

berkembang akibat peningkatan aliran darah ke tempat varises dan terjadi rupture

(Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Ruptur dari varises sangat sulit untuk diprediksi dari penanda sistemik

seperti trombositopenia, splenomegaly, atau ascites (Okamoto, et al., 2008). Dib

et al menuliskan tiga hal yang membuat risiko perdarahan VGE, yaitu (1)

peningkatan hipertensi porta: kerusakan hati yang ditimbulkan penyakit, asupan

makanan, asupan etanol, irama sirkadian, olahraga fisik dan peningkatan tekanan

intraabdomen; (2) Faktor yang melemahkan dinding varises, seperti asam

asetilsalisilat dan OAINS; (3) infeksi bakteri yang dapat membuat perdarahan

awal dan berulang (Dib, Oberti, & Cales, 2006).

Adanya RCS pada varises esophagus diketahui sebagai faktor resiko local

perdarahan varises. Meskipun vaarises esophagus dengan RCS banyak terbentuk

di dinding posterior, pada penelitian tentang lokasi rupturnya varises esophagus

dengan RCS diketahui bahwa RCS yang berada di dinding anterior kanan

esophagus menjadi faktor resiko tinggi terjadinya ruptur varises esophagus.

Mekanisme mengapa varises esfagus dengan derajat yang tinggi pada dinding

anterior kanan esophagus memiliki resiko yang tinggi untuk pecah belum

sepenuhnya diketahui dengan pasti. Pengaruh dari peningkatan vena porta bukan

faktor yang diduga menjadi penyebabnya karena peningkatan tekanan vena porta

lebih cenderung mempengaruhi pembentukan varises pada dinding posterior

kanan. Ada 2 mekanisme yang dpat menjelaskan terjadinya fenomena ini. Alasan

yang pertama, diketahui bahwa kerusakan mukosa seperti erosi dan ulkus pada

reflux esofagitis derajat rendah sering ditemukan pada dinding anterior kanan

pada mukosa esophagus bawah yang mungkin karena waktu kontak asam yang

lama pada dinding anterior kanan pada esophagus bagian bawah. Waktu kontak

Page 14: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

25

asam yang lama pada dinding anterior kanan dapat menyebabkan kerusakan pada

mukosa esophagus dan mungkin meningkatkan resiko ruptur pada varises. Pada

pasien dengan sirosis hepatis dan varises esophagus, aktivitas motorik dari

esophagus menurun sehingga menyebabkan hambatan pada pembersihan refluks

asam lambung. Di penelitian yang lain dituliskan bahwa prevalensi penyakit

refluks gastroesofageal meningkat pada pasien sirosis. Alasan yang kedua,

tekanan intralumen berhadapan dengan mukosa esofaagus dengan tekanan yang

berbeda-beda sesuai lokasinya. Dinding posterior esophagus menghadapi tekanan

intraluminal yang besar sedangkan dinding anterior menghadapi tekanan

intraluminal yang kecil. Karena itu gradien tekanan antara varises dengan lumen

esophagus diduga lebih besar pada varises yang terbentuk pada dinding anterior.

Tekanan varises yang lebih besar ini mungkin menjadi mekanisme yang mungkin

mengapa varises pada dinding anterior esophagus memiliki resiko yang lebih

besar untuk ruptur. Spekulasi ini sesuai dengan teori eruptive yang dipercaya

secara luas sebagai mekanisme daru perdarahan varises esophagus (Okamoto, et

al., 2008).

Lee et al mempelajari faktor risiko terjadinya perdarahan berulang enam

minggu setelah terjadinya pecah VGE pada pasien dengan sirosis hati. Faktor

risiko yang ditemukan berkaitan dengan pecah VGE adalah insidens infeksi

bakteri yang tinggi, terutama pneumonia dan jumlah ligasi akibat kerusakan

mukosa pada permukaan yang lebih luas dan ulkus setelah ligasi. Parameter

seperti usia, jenis kelamin, etiologi dan beratnya sirosis hati, asites, diameter lien

yang panjang, kadar hemoglobin, sel darah putih, albumin yang rendah,

karsinoma hepatoseluler ataupun thrombosis vena porta dikatakan tidak menjadi

risiko perdarahan berulang (Lee, Lee, & Chang, 2009)

Pada studi retrospektif untuk mengetahui faktor risiko perdarahan berulang

dengan gambaran klinis dan endoskopi ditemukan perdarahan berulang meningkat

pada pasien dengan total bilirubin >2mg/ dL, asites, hepatoma, klasifikasi Child-

Pugh kelas C atau red color sign pada endoskopi. Usia, trombosit, albumin, waktu

protrombin, varises di fundus dan grade varises esophagus tidak meningkatkan

risiko perdarahan berulang (Hidayat, Djojoningrat, Akbar, & Sabarinah, 2004).

Page 15: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

26

3.2.3 Diagnosis

Pasien dengan perdarahan varises esofagus biasanya memberikan gejala

yang khas berupa hematemesis, hematoskezia, atau melena, penurunan tekanan

darah, dan anemia. Perlu dipahami bahwa adanya tanda-tanda sirosis hati yang

khas dengan dugaan telah terjadi hipertensi portal, tidak serta merta

menyingkirkan penyebab pendarahan lain seperti gastropati hipertensi portal. Oleh

sebab itu, pemeriksaan endoskopi menjadi penting dalam mendiagnosis

perdarahan varises esofagus.

Penderita sirosis hati sebaiknya dilakukan endoskopi pada saat diagnosis

dibuat. Bila pada saat endoskopi pertama tidak ditemukan varises, maka dilakukan

endoskopi berkala dengan jarak 3 tahun. Namun bila pada endoskopi pertama

ditemukan varises kecil, maka endoskopi berkala dilakukan setiap tahun.

Klasifikasi varises esophagus dibagi menjadi 4 tingkatan (Kusumobroto, Adi,

& Setiawan, 2007), yaitu :

I. Dilatasi vena (< 5mm), masih tertutup dengan jaringan sekitarnya.

II. Dilatasi vena (> 5 mm) terdapat penonjolan ke jaringan sekitar namun

belum menutup lumen esofagus.

III. Vena besar, tegang dan sudah meyebabkan obstruksi lumen.

IV. Hampir menutup lumen secara total dengan stigmata endoskopik ter

utama cherry red spots (bintik kemerahan).

Gambaran perdarahan pada endoskopi dapat berupa oozing atau spurting,

dimana perdarahan terlihat nyata, atau dapat juga terlihat white nipple sebagai

tanda perdarahan baru. Batasan perdarahan varises adalah perdarahan dari varises

esophagus atau lambung yang tampak pada saat endoskopi, atau ditemukan

adanya varises yang besar dengan darah di lambung tanpa ditemukan sumber

perdarahan lain. Perdarahan dikatakan bermakna bila membutuhkan transfusi 2

unit dalam 24 jam disertai tekanan darah dibawah 100 mmHg, atau penurunan

tekanan darah >20 mmHg dengan perubahan posisi, atau nadi > dari 100 x/mnt.

Page 16: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

27

Saat ini telah ditemukan cara sederhana untuk mengetahui apakah pada

pasien sudah terbentuk varises atau belum yakni dengan menghitung rasio P2/MS.

Keterangan :

Bila rasio P2/MS < 8.0 maka beresiko tinggi terbentuk Varises Esofagus dan bila

> 21 tidak beresiko tinggi menderita Varises Esofagus. Bila Rasio P2/MS < 13.0

berarti sudah terbentuk Varises Esofagus, dan bila >39.0 berarti tidak terdapat

Varises Esofagus. (Gentile & Thabut, 2012)

3.2.4 Penatalaksanaan

Sama halnya dengan kasus kegawatan lainnya, hal yang pertama dilakukan

dalam menangani pasien perdarahan varises esofagus adalah memastikan patensi

jalan nafas, mencegah aspirasi, dan resusitasi cairan termasuk transfusi bila

diperlukan. Perlu diingat overtransfusi pada kasus perdarahan varises esofagus

dapat meningkatkan tekanan porta dan perburukan control perdarahan, sehingga

transfusi harus dievaluasi secara cermat. Pemberian antibiotik berspektrum luas

ternyata secara bermakna mengurangi resiko infeksi dan menurunkan mortalitas.

Jika memungkinkan, dapat dilakukan endoskopi segera untuk menentukan sumber

perdarahan dan memberikan terapi secara tepat. Apabila perdarahan masih

berlangsung dan besar kecurigaan adanya hipertensi portal, dapat diberikan obat

vasopressin IV dalam dosis 0,1-1 U/menit ditambah nittrogliserin IV 0,3 mg/mnt

untuk mengurangi efek konstriksi pada jantung dan pembuluh darah perifer.

Octeotrid, suatu analog somatostatin, dapat menurunkan tekanan portal tanpa

menimbulkan efek samping seperti vasopressin. Obat ini diberikan secara bolus

IV 50-100 mcg dilanjutkan dengan drip 25-200 mcg/jam.

Penatalaksanaan definitif yang utama adalah dengan ligasi varises secara

endoskopik (LVE). Apabila LVE sulit dilakukan karena perdarahan yang massif

dan terus berlangsung, atau teknik yang tidak memungkinkan, maka dapat

dilakukan skleroterapi endoskopik (STE). STE adalah menyuntikan zat sklerosan

Formulasi P2/MS =Jumlah Platelet (109/L) 2

Fraksi monosit (%) x Segmented Neutrofil Fraction (%)

Page 17: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

28

(1,5% sodium tetradecyl sulfate atau 5% ethanolamine oleat) ke daerah varises

dengan harapan pembuluh darah yang melebar tersebut tertutup dan perdarahan

berhenti. Kondisi akan semakin sulit bila pada endoskopi juga ditemukan varises

gaster.

Apabila endoskopi tidak memungkinkan, maka obat-obat vasokonstriktor

seperti dijelaskan sebelumnya atau pemasangan balon tamponade (Sangestaken-

Blakemore tube) dapat dikerjakan sampai terapi definitif dapat dilakukan.

Pada kasus-kasus dimana endoskopi tidak dapat menghentikan perdarahan,

jalan terakhir adalah dilakukan tindakan bedah Transjugular Intrahepatic

Portosystemic Shunt (TIPS). Tindakan ini hampir pasti dapat mengatasi

perdarahan, namun pada penderita dengan penyakit hati lanjut dan kegagalan

multiorgan dapat menimbulkan bahaya ensefalopati sampai kematian. Saat ini

untuk hipertensi portal dan perdarahan varises esophagus terus berkembang luas.

Banyak jenis modalitas pengobatan menunjukkan bahwa tidak ada terapi tunggal

yang memberikan kepuasan pada seluruh pasien dengan seluruh kondisi klinis.

Operasi Shunt dan devaskularisasi merupakan metode dasar bedah untuk penyakit

ini. Operasi Shunt lebih sering digunakan di negara-negara barat sedangkan

prosedur devaskularisasi lebih sering digunakan di china. Prosedur bedah ideal

sebagai terapi perdarahan pada hipertensi portal harus bisa mengontrol

perdarahan, menghindara rekurensi dengan kerusakan fungsi liver yang minimal

dan sebisa mungkin menurunkan resiko ensefalopati. Tekhnik laparoskopi telah

menjadi gold standard untuk menghilangkan limpa baik yang normal ataupun

yang mengalami pembesaran. Biarpun begitu, teknik laparoskopi memiliki lebih

banyak tantangan saat digunakan pada pasien dengan sirosis, hipertensi portal dan

splenomegali. Komplikasi intraoperasi selama proses operasi ini adalah

perdarahan yang menjadi alasan utama konversi operasi menjadi laparotomi.

Pasien yang telah dilakukan operasi mengalami penyembuhan dengan perlahan.

Setelah dilakukan observasi 3 bulan sampai 5 tahun, tidak ada kejadian kegagalan

fungsi hepar, ensefalopati atau perdarahan berulang dan semua pasien yang

melakukan operasi ini mengalami peningkatan kualitas hidup.

Page 18: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

29

3.2.5 Profilaksis Primer

Pencegahan perdarahan varises merupakan tujuan utama pengelolaan

sirosis, seiring dengan data yang memperlihatkan peningkatan mortalitas karena

perdarahan aktif dan menurunnya survival secara progresif sesuai dengan indeks

perdarahan.Apabila pada pasien sirosis ditemukan varises tingkat 3, pasien harus

mendapatkan profilaksis primer tanpa melihat beratnya gangguan faal hati. Pasien

dengan varises tingkat 2 pun perlu mendapatkan profilaksis primer jika gangguan

faal hatinya Child kelas B atau C.

Profilaksis primer dapat dilakukan dengan medikamentosa berupa beta

bloker (propranolol, atenolol, atau nadolol). Propranolol bekerja sebagai

vasokonstriktor arteriol mesenterika sehingga diharapkan dapat menurunkan

tekanan portal. Dosis dimulai dengan 2 x 40 mg/hari, kemudian dinaikan menjadi

2 x 80 mg. penggunaan beta bloker long acting dapat memperbaiki ketaatan. Pada

kasus dimana beta bloker menjadi kontraindikasi, LVE menjadi pilihan utama.

Apabila beta bloker dan LVE tidak dapat digunakan, maka dapat diberikan

isosorbide mononitrat sebagai pilihan utama dengan dosis 2 x 20 mg. terapi

kombinasi antara beta bloker dengan isosorbide mononitrate secara bermakna

dapat menekan perdarahan lebih baik dibandingkan dengan beta bloker tunggal,

tetapi tidak berbeda dalam angka mortalitas.

Menjadi pemahaman umum, jika peningkatan tekanan vena porta menjadi

faktor penyebab utama terbentuknya kolateral portosistemik dan varises

esophagus. Kolateral ini terbentuk sebagai akibat dari vena tersebut. Sebagai

tambahan, angiogenesis aktif dapat juga berpartisipasi pada proses ini. Dalm

sebuah penelitiaan diketahui bahwa meskipun vena porta menurun secara

signifikan, tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap angka kejadian varises

esophagus. Lebih jauh lagi, perbedaan yang tidak bermakna ini diluar faktor peran

neoangiogenesis dalam pembentukan varises esophagus. Hal ini menunjukkan

penggunaan obat-obat penurun tekanan pada hipertensi portal tidak banyak

berfungsi pada pasien sebelum terbentuk varises esophagus (Alatsakis, et al.,

2009).

Page 19: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

30

3.2.6 Profilaksis Sekunder

Sejak dua dekade terakhir, berbagai terapi (pembedahan, endoskopi dan

farmakologi) telah diperkenalkan untuk menurunkan risiko perdarahan berulang

dan mortalitas. Walaupun hampir seluruh penelitian menyatakan bahwa terapi

kombinasi lebih baik daripada terapi tunggal, perbedaan kriteria inklusi dan

penilaian akhir menyulitkan perbandingan yang objektif. Selain itu, sangat sulit

membuat randomized controlled trial untuk membandingkan terapi pada kasus

perdarahan sirosis hati sehingga penelitian yang ada banyak menggunakan kohort

prospektif, dengan level of evidence tidak cukup tinggi (Bosch & Garcia-Pagan,

2003).

Tabel.3. Perbandingan Resiko Terjadinya Perdarahan Berulang Dan

Mortalitas Dengan Terapi Tertentu (Widjaja & Karjadi, 2011).

Tata laksana JumlahStudi

JumlahPasien

Reported ofRebleeding Rates

ReportMortality Rates

Tidak ditatalaksana 19 928 55-67% 23-64%Penghambat β 26 983 37-57% 13-39%EIS 54 2347 34-53% 18-36%EIS + Penghambat β 13 445 19-49% 7-26%EBL 18 836 20-43% 19-34%Penghambat β + ISMN 6 310 30-42% 12-32%TIPS 14 519 12-22% 18-35%DSRS 9 309 11-31% 22-55%

EIS = endoscopic injection sclerotherapy, EBL = endoscopic band ligation, ISMN

= isosorbide 5-mononitrate, TIPS = transjugular intrahepatic portal-systemic

shunt, DSRS = distal splenorenal shunt. Tabel meringkas hasil dari studi dengan

pilihan tatalaksana berbeda termasuk dalam beberapa meta analisis.

Berbagai terapi tersebut mempunyai perbedaan indikasi karena memiliki

sasaran terapi yang berbeda. Jika dikaitkan dengan patofisiologinya, terapi dibagi

dua yaitu terapi yang menurunkan tekanan porta dan terapi lokal tanpa

menurunkan tekanan porta. Terapi yang menurunkan tekanan porta dapat berupa

terapi farmakologis dengan sasaran menurunkan tahanan sistemik vaskular,

tahanan intrahepatik atau aliran darah splanknik serta terapi pembuatan shunt atau

pembedahan. Terapi lokal tanpa menurunkan tekanan porta menggunakan bantuan

endoskopi untuk melakukan ligasi atau skleroterapi (Dib, Oberti, & Cales, 2006).

Page 20: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

31

Atas dasar patofisiologi yang menyebabkan tekanan porta meningkat,

terapi ditujukan untuk menurunkan tahanan intrahepatik, aliran darah sistem porta,

atau keduanya. Sampai saat ini, penurunan tahanan intrahepatik hanya dapat

dikoreksi dengan cara transplantasi hati atau portal-systemic shunt (Bosch &

Garcia-Pagan, 2003). Terapi farmakologis untuk menurunkan tekanan porta terdiri

dari vasokonstriktor splanknik, penghambat β adrenergik nonselektif, nitrat dan

interferon. Selain terapi farmakologis, shunt dan pembedahan juga digunakan

untuk menurunkan tekanan porta. Vasokonstriktor splanknik seperti vasopresin

(terlipressin) dan somatostatin (serta analognya seperti octreotide dan vapreotide)

dapat diberikan secara parenteral tetapi obat tersebut hanya diberikan terbatas

untuk perawatan akut. Jika diberikan secara cepat obat-obat tersebut

efektivitasnya sama dengan skleroterapi dalam mengatasi perdarahan akut,

mencegah perdarahan berulang dini, kebutuhan transfusi dan mortalitas (Garcia-

Tsao & Bosch, 2010). Penghambat β adrenergik nonselektif mempengaruhi laju

aliran porta dengan cara penurunan curah jantung dan vasokonstriktor splanknik.

penghambat β adrenergik nonselektif seperti propanolol atau nadolol lebih baik

daripada penghambat β selektif. Obat tersebut diberikan secara oral dan

digunakan untuk tata laksana jangka panjang hipertensi porta, namun terdapat

kontraindikasi untuk penggunaan obat tersebut yaitu: asma, bradikardi, blok

atrioventrikular, hipotensi dan hiperglikemia yang tidak terkontrol (Lo, 2006).

Obat-obatan yang meningkatkan pengantaran NO ke sirkulasi intrahepatik seperti

nitrat, bekerja dengan menginduksi vasodilatasi intrahepatik sehingga

menurunkan tahanan hepatik. Kekurangan venodilator dapat mengakibatkan

vasodilatasi sistemik dengan membuat retensi natrium dan vasokonstriksi ginjal

(Garcia-Tsao & Bosch, 2010). Terdapat pula obat alternatif yang bekerja

meningkatkan tonus vaskular hepar atau fibrogenesis hati (seperti interferon

ditambah ribavirin pada infeksi hepatitis C kronis) (Sulaiman, Julitasari, Srie,

Rustam, Melani, & Corwin, 1995). Selain farmakologis, terdapat terapi lain yaitu

pemasangan shunt yang menghubungkan sistem porta yang mengalami hipertensi

dengan vena sistemik bertekanan rendah untuk menurunkan hipertensi porta

melalui transjugular intrahepatic portosystemic shunt (TIPS) atau pembedahan.

Page 21: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

32

Cara tersebut efektif untuk menurunkan risiko perdarahan varises berulang, tetapi

dapat meningkatkan ensefalopati dan memperburuk kerusakan hati. Kelebihan

TIPS adalah tidak memerlukan pembedahan dan mempunyai angka mortalitas dan

morbiditas yang rendah. Namun, hasil jangka panjang TIPS kurang baik karena

sering terjadinya disfungsi shunt akibat proliferasi tunika intima di dalam stent

shunt atau keluar ke vena hepatika (Bosch & Garcia-Pagan, 2003).

Golongan terapi yang lain untuk mencegah peradarahan berulang pada

varises esophagus adalah terapi lokal yang tidak menurunkan tekanan porta.

Prosedur endoskopi dapat digunakan untuk menempatkan elastic band pada

bagian varises (ligasi varises), memasukkan agen sklerosis (skleroterapi varises)

atau menempelkan jaringan (obsturasi varises) ke varises gastroesofagus. Teknik

tersebut dapat membuat obliterasi varises (eradikasi varises). Namun setelah

terapi, pantauan endoskopi dan pengobatan penting dilakukan untuk mencegah

VGE kembali. Cara lain yang singkat dan temporer serta bekerja lokal adalah

tamponade balon dan penempatan stent esophagus (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Cara tersebut dapat menginduksi thrombosis dan fibrosis. Elastic band baru-baru

ini menggantikan skleroterapi sebagai terapi endoskopi karena lebih aman, lebih

efektif, dan berkaitan dengan morbiditas yang rendah, namun tidak dapat

mengubah tekanan portal dan aliran darah splanknik yang tinggi sehingga varises

seringkali timbul kembali (Gonzales, Zamora, Gomez-Camarero, Molinero,

Banares, & Albillos, 2008). N-butyl-2-cyanoacrylate pertama kali diperkenalkan

tahun 1986. Sampai saat ini masih sedikit praktisi yang menggunakan senyawa

tersebut padahal merupakan senyawa terpilih untuk VGE (Wang, et al., 2008)

Senyawa tersebut akan mengalami polimerisasi yang cepat jika bersentuhan

dengan darah setelah disuntikan ke lokasi varises, dan kemudian akan menyumbat

lumen untuk mencegah perdarahan berlanjut (Cipoletta, Zambelli, Bianco, De

Grazia, Meucci, & Lupinacci, 2009). N-butyl-2-cyanoacrylate menghentikan

perdarahan VGE dengan hemostasis yang terjadi pada sekitar 95,2% pasien

dengan perdarahan dan 90,2% pasien dengan perdarahan akibat sirosis dan

membuktikan bahwa senyawa tersebut relatif aman (Cheng, Wang, Li, Cai,

Huang, & Linghu, 2007). Pada penelitian yang lain ditemukan bahwa hemostasis

Page 22: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

33

awal terjadi pada 94,2% perdarahan aktif dengan rata-rata perdarahan kembali

hanya 5,2%. Tidak ditemukan efek samping dalam studi tersebut dan harganya

juga lebih murah dibandingkan dengan terapi ligasi (Cipoletta, Zambelli, Bianco,

De Grazia, Meucci, & Lupinacci, 2009).

3.2.7 Pengelolaan Pencegahan Perdarahan Berulang

Dengan tingkat rekurensi tinggi, pasien yang masih dapat bertahan karena

perdarahan varises akut harus mendapat terapi untuk mencegah rekurensi sebelum

pasien dipulangkan dari rumah sakit (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Regimen Dosis Target Durasi Tindak LanjutPenghambat β

Propanolol Mulai 20 mgper oral2x/hari

Ditingkatkan sampaidosis maksimal yangdapat ditoleransi atausampai frekuensi nadi55 x/menit

Tidakditentukan

Pastikan targetfrekuensi naditercapai setiappasien kontrol,tidak membutuhkantindak lanjutendoskopi

Nadolol Mulai 40 mgper oral1x/hari

Ditingkatkan sampaidosis maksimal yangdapat ditoleransi atausampai frekuensi nadi55 x/menit

Tidakditentukan

Pastikan targetfrekuensi naditercapai setiappasien kontrol,tidak membutuhkantindak lanjutendoskopi

Ligasi VarisesEndoskopi

Ligasi setiap2-4 minggu

Varises terobliterasi 2-4 sesi Surveillansendoskopi pertama1-3 bulan, setelahobliterasi, lalusetiap 6-12 bulan

IsosorbidMononitratdigabung denganpenghambat β(Propanolol/Nadolol)#

10 mg peroral setiapmalamdenganpeningkatanbertahaphinggamaksimun20 mg2x/hari

Ditingkatkan sampaidosis maksimal yangdapat ditoleransidengan tekanan darah95 mmHg

Tidakditentukan

Pastikan kepatuhanregimenpengobatan setiapkedatangan, tidakmembutuhkantindak lanjutendoskopi.

Page 23: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

34

* Hanya satu penghambat-b dengan ligasi yang sebaiknya digunakan. Terapi

yang tidak digunakan untuk pencegahan tahap pertama perdarahan varises

berulang adalah penghambat-b nonselektif saja, skleroterapi varises

endoskopi, ligasi varises endoskopi saja, dan ligasi varises endoskopi dengan

skleroterapi varises endoskopi.

# Terapi ini sedang diteliti. Direkomendasikan pada pasien yang tidak dapat

dilakukan ligasi.

Terapi farmakologis kombinasi (penghambat β nonselektif ditambah

nitrat) atau kombinasi ligasi varises endoskopi ditambah terapi obat perlu

diberikan karena tingkat kekambuhan yang tinggi, walaupun efek samping

menjadi lebih tinggi dibandingkan terapi tunggal. Terapi tunggal hanya

direkomendasikan untuk profilaksis primer. Kedua cara tersebut dibandingkan

dalam suatu randomized controlled trial dan hasilnya menunjukkan adanya

penurunan perdarahan berulang varises yang bermakna pada kombinasi ligasi

varises dengan endoskopi dan terapi obat (penghambat beta nonselektif ditambah

nitrat) dibandingkan terapi obat saja. Angka terjadinya perdarahan dari tempat

lain, seperti dari ulkus esofagus yang diinduksi oleh ligasi varises, tidak berbeda

bermakna (Garcia-Tsao & Bosch, 2010).

Kesulitan pemberian terapi farmakologis untuk profilaksis sekunder VGE

adalah intoleransi pasien terhadap obat, ketidak patuhan pasien, dan kurangnya

bukti (Cheung, Wong, Zandieh, Leung, Lee, & Ramji, 2006). Intoleransi pasien

terhadap obat tertentu perlu mendapatkan perhatian penting jika pasien

mengeluhkan hal yang berhubungan dengan efek samping. Selain itu, pasien juga

perlu diberikan edukasi untuk kontrol teratur dan minum obat secara rutin. Risiko

terjadinya perdarahan berulang perlu dipaparkan secara jelas, terutama jika pasien

tidak melakukan terapi sesuai dengan petunjuk dokter.

Lo (Lo, 2006) membuat algoritme sederhana untuk pencegahan

perdarahan berulang pada VGE. Lo juga menyarankan jika pasien menyandang

sirosis hati dengan kelas Child-Pugh kelas C dengan perdarahan varises berulang,

sebaiknya direncanakan transplantasi hati. Untuk pasien dengan perdarahan

Page 24: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

35

berulang yang terkontrol, tes penyaring karsinoma hepatoseluler sebaiknya

dilakukan.

Gambar 1. Algoritme pencegahan perdarahan berulang VGE. ISMN (isosorbid

mononitrat); EVL (ligasi varises endoskopi); TIPS (transjugular intrahepatic

portosystemic stent shunt) (Lo, 2006).

Bila dibandingkan terapi kombinasi ligasi dengan terlipresin yang

dibandingkan dengan terlipresin saja. Penelitiannya mendapatkan bahwa

kombinasi tersebut menurunkan kejadian perdarahan berulang dini, mengurangi

kegagalan tata laksana awal, tanpa memberikan efek samping yang meningkat

secara bermakna, serta menurunkan kebutuhan jumlah darah untuk transfuse (Lo,

Chen, Wang, Lin, Chan, & Tsai, 2009). Dari pendapat yang lain dikatakan dosis

terlipressin yang diberikan terlalu rendah, hanya 1 mg setiap 6 jam. Mungkin bila

dosis dinaikkan akan menurunkan insidens perdarahan berulang dan membuat

perbedaan dengan terapi kombinasi semakin kecil (Salerno & Cazzaniga, 2009).

Metaanalisis yang dilakukan pada penelitian lain menunjukkan angka

terjadinya perdarahan berulang (dari varises maupun sumber lain) lebih rendah

dengan kombinasi terapi endoskopi dan terapi obat dibandingkan dengan salah

satu terapi saja, tetapi angka survival masih belum jelas. Terapi kombinasi juga

menurunkan mortalitas tetapi hasilnya kurang dapat dipercaya karena kematian

Page 25: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

36

dapat disebabkan bukan oleh hipertensi porta dan varises (Gonzales, Zamora,

Gomez-Camarero, Molinero, Banares, & Albillos, 2008).

Pada pasien yang tidak dapat dilakukan ligasi varises, penghambat β

nonselektif ditambah nitrat perlu diberikan untuk memaksimalkan penurunan

tekanan porta, walaupun terapi kombinasi ini belum direkomendasikan (Garcia-

Tsao & Bosch, 2010). Hal tersebut didukung oleh penelitian lain yang

memperlihatkan tidak adanya perbedaan yang bermakna dalam hal kejadian

perdarahan berulang pada pasien yang diberikan penghambat β nonselektif dan

nitrat saja dibandingan dengan obat tersebut ditambah ligasi. Sebagai tambahan,

kemungkinan terjadinya perdarahan berulang akibat varises lebih rendah pada

terapi ligasi dan obat dibandingkan obat saja, tetapi perlu dipertimbangkan bahwa

dengan memberikan kombinasi terapi ligasi dan obat lebih banyak efek samping

yang akan timbul. Pasien juga membutuhkan perawatan yang lebih lama (terutama

jika terjadi perdarahan akibat ulkus) dan biaya menjadi jauh lebih besar (Garcia-

Pagan, Villanueva, Albillos, Banares, Morillas, & Abraldes, 2009).

Pada pasien yang tetap mengalami perdarahan berulang walaupun telah

dilakukan ligasi serta obat dengan dosis dan jadwal yang direkomendasikan perlu

dipikirkan penempatan TIPS perkutan atau pembentukan shunt dengan bedah.

Baik TIPS perkutan maupun pembedahan memiliki efektifitas yang sama (Garcia-

Tsao & Bosch, 2010). Bila dibandingkan dengan terapi endoskopi, TIPS lebih

efektif untuk mencegah perdarahan berulang serta pembedahan untuk membuat

shunt lebih efektif dari skleroterapi endoskopi. Tetapi, keduanya belum terbukti

meningkatkan survival dan keduanya berkaitan dengan risiko ensefalopati yang

tinggi (Dib, Oberti, & Cales, 2006). Revisi penelitian TIPS perlu lebih sering

dilakukan untuk mengatasi penggunaan terkini dengan coated stent yang

mempunyai angka oklusi yang lebih rendah secara bermakna. Pemilihan antara

TIPS dan pembedahan tergantung ahli setempat dan permintaan pasien. (Garcia-

Tsao & Bosch, 2010).

Pada penelitian randomized controlled trial yang membandingkan antara

TIPS dengan terapi obat (propanolol+ isosorbide-5-mononitrate) dan

mendapatkan perdarahan berulang selama 15 bulan terjadi pada 13% pasien

Page 26: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

37

dengan TIPS dan 39% pasien dengan terapi obat. Angka survival pada kedua

perlakuan sebesar 72%. Beban biaya dua kali lebih besar pada pasien dengan

TIPS (Escorsell, Banares, Garcia-Pagan, Gilabert, Moitinho, & Piqueras, 2002).

Panduan dari American Association for the Study of Liver Diseases dan

American College of Gastroenterology merekomendasikan terapi untuk mencegah

perdarahan varises berulang pada pasien sirosis hati yang telah mengalami

perdarahan VGE. Kombinasi yang disarankan adalah penghambat β nonselektif

ditambah ligasi varises. Penghambat β nonselektif perlu disesuaikan untuk dosis

maksimal yang dapat ditoleransi seperti pada Tabel 3. Ligasi varises sebaiknya

diulang setiap 1-2 minggu sampai varises hilang dengan pemeriksaan endoskopi

dan kembali dilakukan 1-3 bulan setelah varises hilang serta setiap 6-12 bulan

untuk memantau terjadinya varises berulang (Garcia-Tsao, Sanyal, Grace, &

Carey, 2007).

Rekomendasi di atas berlaku untuk mencegah perdarahan berulang pada

pasien yang belum mendapat profilaksis primer sebelumnya. Jika profilaksis

primer menggunakan penghambat β dengan dosis yang sesuai gagal, penghambat

β tidak boleh dilanjutkan sebagai terapi tunggal dan ligasi varises sebaiknya

dilakukan. Jika dosis penghambat β tidak sesuai, optimalisasi dosis atau ligasi

varises dapat dilakukan. Bila ligasi gagal sebagai profilaksis, TIPS dapat menjadi

pilihan berikut. Transplantasi hati dapat dipikirkan pada semua kasus, khususnya

pasien dengan sirosis berat (Child kelas B atau C) (Dib, Oberti, & Cales, 2006).

Baveno I sampai V merupakan lokakarya yang berfokus pada perdarahan

varises dan hipertensi porta. Baveno V diadakan pada tahun 2010 dan merupakan

konsensus terbaru. Konsensus Baveno V merekomendasikan hal yang sama

dengan panduan dari American Association for the Study of Liver Diseases dan

American College of Gastroenterology bahwa terapi kombinasi penghambat β

nonselektif dan ligasi varises menjadi pilihan terbaik. Namun sebagai tambahan,

Baveno V juga merekomendasikan penambahan ISMN pada penghambat β

nonselektif terutama pada pasien yang menolak atau tidak dapat dilakukan ligasi.

Tetapi jika pasien mempunyai kontraindikasi penghambat β nonselektif, ligasi

dapat menjadi pilihan utama. (Franchis & Faculty, 2010)

Page 27: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

38

Konsensus Baveno V juga menjelaskan definisi dan kriteria pro-filaksis

sekunder dikatakan gagal. Gagal terhadap pencegahan perdarahan berulang

didefinisikan sebagai episode tunggal perdarahan berulang yang bermakna secara

klinis yang berasal dari hipertensi porta setelah hari ke-5. Perdarahan berulang

yang bermakna tersebut adalah melena berulang atau hematemesis yang

mengakibatkan salah satu hal berikut: masuk ke rumah sakit, transfusi darah, Hb

turun 3 g/dL, atau kematian dalam enam minggu (Franchis & Faculty, 2010).

Terapi tambahan seperti antasid dan penghambat pompa proton mungkin

dapat berguna pada pasien sirosis hati karena ulkus peptikum dan refluks

esofagitis merupakan salah satu penyebab perdarahan pada saluran cerna bagian

atas. Refluks asam lambung mungkin dapat menyebabkan ruptur varises karena

supresi yang kuat dengan penggunaan proton pump inhibitor dapat menurunkan

angka rupture varises esophagus dengan jumlah yang signifikan. Penggunaan H2

Blocker tidak memiliki efek sebaik penggunaan proton pump inhibitor. Ini

mungkin disebakan adanya toleransi yang terbentuk untuk efek antasida pada

reseptor antagonis histamine akibat penggunaan dalam waktu lama. Karena itu

penggunaan proton pump inhibitor lebih disukai daripada H2 blocker (Okamoto,

et al., 2008).

Pada RSUD AWS, terdapat prosedur tetap penatalaksanaan pasien varises

esophagus post ligasi yakni (1) Puasa 4 jam, (2) Diet Cair/susu 24 jam, (3) Diet

Bubur Saring 3x24 jam, (4) Diet Bubur biasa 3x24 jam (5) Injeksi As.

Tranexamat 500mg/8jam (6) Vit K 1 amp/12 jam (7) Bed Rest, dilarang

mengejan, dilarang angkat berat.

Page 28: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

50

DAFTAR PUSTAKA

Alatsakis, M., Ballas, K., Pavlidis, T., Psarras, K., Rafailidis, S., Tzioufa-

Asimakopoulou, V., et al. (2009). Early Propanolol Administration Does

Not Prevent development of Esophageal Varices in Cirrhotic Rats.

European Surgical Research , 11-16.

Bosch, J., & Garcia-Pagan, J. (2003). Prevention of Variceal Rebleeding. Lancet

952-954.

Cheng, L., Wang, Z., Li, C., Cai, F., Huang, Q., & Linghu, E. (2007). Treatment

of gastric varices by endoscopic schlerotherapy using butyl cyanoacrylate:

10 years experience of 645 cases. China Medical Journal , 2081-2085.

Cheung, J., Wong, W., Zandieh, I., Leung, Y., Lee, S., & Ramji, A. (2006).

Acute management and secondary prophylaxis of esophageal variceal

bleeding: A western Canadian survey. Can J Gastroenterol , 531-534.

Cipoletta, L., Zambelli, A., Bianco, M., De Grazia, F., Meucci, C., & Lupinacci,

G. (2009). Acrylate glue injection for acutely bleeding oesophageal varices:

a prospective cohort study. Dig Liver Dis , 1729-1734.

Dib, N., Oberti, F., & Cales, P. (2006). Current Management of The

Complications of Portal Hypeertension: Variceal Bleeding and Ascites.

CMAJ , 1433-1443.

Escorsell, A., Banares, R., Garcia-Pagan, J., Gilabert, R., Moitinho, E., &

Piqueras, B. (2002). TIPS versus drug therapy in preventing variceal

rebleeding in advanced cirrhosis: a randomizad controlled trial. Hepatology

, 385-392.

Franchis, R., & Faculty, T. B. (2010). Revising consensus in portal hypertensio:

Report of the Baveno V consensus workshop on methodology of diagnosis

and therapy in portal hypertension. Hepatology , 762-768.

Garcia-Pagan, J., Villanueva, C., Albillos, A., Banares, R., Morillas, R., &

Abraldes, J. (2009). Nadolol plus isosorbide mononitrate alone or

associated with band ligation in the prevention of recurrent bleeding: a

multicentre randomised controlled trial. Gut , 1144-1150.

Page 29: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

51

Garcia-Tsao, G., & Bosch, J. (2010). Management of Varices and Variceal

Hemorrhage in Cirrhosis. N Engl J Med , 823-832.

Garcia-Tsao, G., Sanyal, A., Grace, N., & Carey, W. (2007). Prevention and

Mahagement of Gastroesophageal Varices and Variceal Hemorrhage in

Cirrhosis. Hepatology , 922-938.

Gentile, I., & Thabut, D. (2012). Noninvasive prediction of oesophageal varices :

as simple as blood count ? Liver International , 1091-1093.

Gonzales, R., Zamora, J., Gomez-Camarero, J., Molinero, L., Banares, R., &

Albillos, A. (2008). Meta-analysis: combination endoscopic and drug. Ann

Intern Med , 109-122.

Hidayat, S., Djojoningrat, D., Akbar, N., & Sabarinah. (2004). Risk Factors for

Recurrent Upper Gastrointestinal Tract Bleeding After Esophageal Varices

Ligation on Patients with Liver Cirrhosis. The Indonesian Journal of

Gastroenterohepatology Hepatology and Digestive Endoscopy , 79-88.

Kusumobroto, H., Adi, P., & Setiawan, P. (2007). Panduan Penatalaksanaan

Perdarahan Varises Pada Sirosis Hati. Surabaya: Perkumpulan

Gastroenterologi Indonesia.

Lee, J., Yoon, J., Myung, S., Keam, B., Kim, B., Chung, G., et al. (2008).

Complete Blood Count Reflects The Degree Of Oesophageal Varices and

Liver Fibrosis in Virus Related Chronic Liver Disease Patient. Journal Of

Viral Hepatitis , 444-452.

Lee, S., Lee, T., & Chang, C. (2009). Independent Factors Associated With

Recurrent Bleeding in Cirrhotic Patients With Esophageal Variceal

Hemorrhage. Dig Dis Sci , 1128-1134.

Lo, G. (2006). Prevention of Esophageal Variceal Rebleeding. J Chin Med Assoc

, 553-560.

Lo, G., Chen, W., Wang, H., Lin, C., Chan, H., & Tsai, W. (2009). Low-dose

terlipressin plus banding ligation versus low-dose terlipressin alone in the

prevention of very early rebleeding of oesophageal varices. Gut , 1275-

1280.

Page 30: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

52

Nidegger, D., Ragot, S., Berthelemy, P., Masliah, C., Pilette, C., & Martin, T.

(2003). Cirhhosis and Bleeding: The Need for Very Early Management.

Journal of Hepatology , 509-514.

Okamoto, E., Amano, Y., Fukuhara, H., Furuta, K., Miyake, T., Sato, S., et al.

(2008). Does Gastroesophageal Reflux Have an Influence on Bleeding from

Esophageal Varices? Journal of Gastroenterology , 803-808.

Perz, J., Armstrong, G., Farrington, L., Hutin, Y., & Bell, B. (2006). The

Contributions of Hepatitis B Virus dan Hepatitis C Virus in Infections to

Cirrhosis and Primary Liver Cancer Worlwide. Hepatology , 529-538.

Price, S. A., & Wilson, L. M. (2006). Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses

Penyakit. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Salerno, F., & Cazzaniga, M. (2009). Prevention of early variceal rebleeding

adding banding to terlipressin therapy. Gut , 1182-1183.

Sjaifoelah, N. (1996). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit

FK-UI.

Starr, P., & Rainess, D. (2011). Cirrhosis: Diagnosis, Management and

Prevention. American Family Physician , 1353-1359.

Sulaiman, H., Julitasari, Srie, A., Rustam, M., Melani, W., & Corwin, A. (1995).

Prevalence of Hepatitis B and C Viruses in Healthy Indonesian Blood

Donors. Trans R Soc Trop Med Hyg , 167-170.

Tjokroprawiro, A., Setiawan, P. B., Santoso, D., & Soegiarto, G. (2009). Buku

Ajar Ilmu Penyakit Dalam Universitas Airlangga. Surabaya: Airlangga

Press.

Wang, Y. D., Ye, H., Ye, Z. Y., Zhu, Y. W., Xie, Z. J., Zhu, J. H., et al. (2008).

Laparoscopic Splenectomy And Azygoportal Disconnection for Bleeding

Varices With Hypersplenism. Journal of Laparoendoscopic and Advanced

Surgical Techniques , 37-41.

Wang, Y., Cheng, L., Li, N., Wu, K., Zhai, J., & Wang, Y. (2009). Study of glue

extrusion after endoscopic N-butyl-2-cyanoacrylate injection on gastric

variceal bleeding. World J Gastroeneterology , 4945-4951.

Page 31: Sirosis Hepatis Dengan Varises Esofagus

53

WHO. (2011). Viral Hepatitis in The WHO South-East Asia Region. New Delhi:

WHO.

Widjaja, F. F., & Karjadi, T. (2011). Pencegahan Perdarahan Berulang Pada

Pasien Sirosis Hati. Indonesian Medical Association , 417-424.