vi
KATA PENGANTAR
Puji syukur sudah sepantasnya dipanjatkan ke hadirat Ida Sang Hyang
Widhi Wasa yang telah memberikan rahmat kepada penulis, sehingga penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulisan skripsi ini dimaksudkan untuk
memenuhi kewajiban terakhir sebagai mahasiswa guna melengkapi persyaratan
dalam menyelesaikan studi Program Sarjana (S1) pada Fakultas Hukum
Universitas Udayana. Adapun judul skripsi ini adalah “TANGGUNG GUGAT
PEMERINTAH PROVINSI BALI SEBAGAI PEMBERI IZIN
PENGGARAP TANAH NEGARA”.
Penulis menyadari bahwa kekurangan yang terdapat dalam penulisan
skripsi ini karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan pengalaman yang
penulis miliki. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan isi skripsi ini penulis
mengharapkan kritik, saran dan bimbingan serta petunjuk-petunjuk dari semua
pihak guna kelengkapan dan penyempurnaan skripsi ini.
Penulisan skripsi ini tidak akan berhasil dengan baik tanpa adanya bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
sedalam-dalamnya kepada yang terhormat :
1. Bapak Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD.KEMD., selaku Rektor Universitas
Udayana.
2. Bapak Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, S.H., M.H. selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
vii
3. Bapak I Ketut Sudiarta, S.H., M.H. selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum
Universitas Udayana.
4. Bapak I Wayan Bela Siki Layang, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan II
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
5. Bapak I Wayan Suardana, S.H., M.H., selaku Pembantu Dekan III Fakultas
Hukum Universitas Udayana.
6. Bapak A.A Gede Oka Parwata, SH.,MSi., selaku Ketua Program Ekstensi
Fakultas Hukum Universitas Udayana.
7. Bapak AA. Ngurah Yusa Darmadi., SH., MH., selaku Ketua Program Bagian
Pidana Fakultas Hukum Universitas Udayana.
8. Bapak Dr. I Nyoman Suyatna, SH.,MH selaku Pembimbing I yang sangat
sabar dalam memberikan bimbingan, masukan-masukan, saran-saran kepada
penulis dan berkenan meluangkan waktu beliau guna memberikan bimbingan
kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Kadek Sarna, SH.,Mkn., selaku Pembimbing II yang sangat sabar
dalam memberikan bimbingan, masukan-masukan, saran-saran kepada penulis
dan berkenan meluangkan waktu beliau guna memberikan bimbingan kepada
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
10. Bapak Dr. I Ketut Westra SH., MH. selaku Pembimbing Akademik yang telah
membimbing saya dari awal kuliah di Fakultas Hukum Universitas Udayana.
11. Bapak dan Ibu Pegawai Laboratorium, perpustakaan, tata usaha, yang telah
memberikan bantuan dalam hal administrasi selama mengikuti perkuliahan
dan penyusunan skripsi ini.
viii
12. Bapak/Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana yang selama ini telah
mengajar dan memberikan ilmu pengetahuannya kepada saya.
13. Kedua orang tua saya I Gede Sukadana SH., MH., MM. dan Ni Made Ariani
yang selalu memberikan kasih sayang, doa serta nasehat dan semangat kepada
saya dalam penyusunan skripsi ini.
14. Adik saya I Made Adhitya Widhiardana yang selalu memberikan dukungan
untuk penyusunan skripsi ini.
15. Teman-teman penulis, yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, yang
telah menemani hari-hari penulis selama kuliah di Fakultas Hukum
Universitas Udayana, serta memberi semangat dan dorongan mental untuk
menyelesaikan skripsi ini.
Akhir kata penulis ucapkan terimakasih dan semoga skripsi ini dapat
berguna dan bermanfaat bagi semua pihak pada umumnya dan bagi
perkembangan ilmu hukum pada khususnya.
Denpasar, 9 Juli 2015
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................ i
PRASYARAT GELAR SARJANA HUKUM ....................................... ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ......................................... iii
PENGESAHAN PANITIA PENGUJI ................................................... iv
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN ................................................... v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
ABSTRAK ................................................................................................ xii
ABSTRACT ............................................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................... 8
1.3 Ruang Lingkup Masalah ............................................................. 8
1.4 Originalitas Penelitian ................................................................. 9
1.5 Tujuan Penelitian ........................................................................ 13
1.5.1 Tujuan Umum .................................................................... 13
1.5.2 Tujuan Khusus ................................................................... 13
1.6 Manfaat Penelitian ...................................................................... 13
1.6.1 Manfaat Teoritis ................................................................. 13
1.6.2 Manfaat Praktis .................................................................. 13
1.7 Landasan Teoritis ........................................................................ 13
1.7.1 Teori Kewenangan ............................................................. 14
1.7.2 Teori Negara Hukum ......................................................... 19
1.7.3 Teori Perizinan ................................................................... 23
1.8 Metode Penelitian........................................................................ 28
1.8.1 Jenis Penelitian ................................................................... 28
1.8.2 Jenis Pendekatan ................................................................ 28
1.8.3 Sumber Bahan Hukum ....................................................... 29
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ................................. 30
1.8.5 Teknik Pengolahan Bahan Hukum .................................... 30
x
BAB II TINJAUAN UMUM PENGATURAN PERIZINAN
PENGGARAPAN TANAH NEGARA .................................... 31
2.1 Pengertian Tentang Perizinan ..................................................... 31
2.1.1 Izin...................................................................................... 31
2.1.2 Izin Penggarap Tanah Negara ............................................ 37
2.2 Pengertian Tanah Negara dan Hak Pengelolaan Tanah Negara .. 39
2.2.1 Pengertian Tanah Negara ................................................... 39
2.2.2 Pengertian Hak Pengelolaan Tanah Negara ....................... 45
2.3 Tanggung Jawab dan Tanggung Gugat dalam Pemberian Izin
Penggarap Tanah Negara ............................................................ 47
2.3.1 Tanggung Jawab Pemerintah Daerah dalam Pemberian
Izin Penggarapan Tanah Negara ........................................ 47
2.3.2 Tanggung Gugat Pemerintah Daerah dalam Pemberian
Izin Penggarapan Tanah Negara ........................................ 49
BAB III PENGATURAN GUGATAN TERHADAP PEMERINTAH
PROVINSI BALI SEBAGAI PEMBERI IZIN ...................... 53
3.1 Pengaturan Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali sebagai
Pemberi Izin ................................................................................ 53
3.2 Prosedur Gugatan Penerima Izin terhadap Pemerintah Provinsi
Bali sebagai Pemberi Izin .......................................................... 56
3.2.1 Prosedur Gugatan melalui PTUN....................................... 57
3.2.2 Prosedur Gugatan melalui Pengadilan Negeri ................... 64
3.3 Putusan Gugatan Penerima Izin terhadap Pemerintah Provinsi
Bali sebagai Pemberi Izin .......................................................... 67
3.3.1 Kasus Posisi ....................................................................... 67
3.3.2 Pembahasan Kasus ............................................................. 77
BAB IV TANGGUNG GUGAT PEMERINTAH PROVINSI BALI
SEBAGAI PEMBERI IZIN PENGGARAP TANAH
NEGARA KEPADA PETANI PENGGARAP ....................... 80
4.1 Pengaturan Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali Dalam
Pemberian Izin Penggarapan Tanah Negara .............................. 80
xi
4.2 Tanggung Gugat Pemerintah Provinsi Bali Sebagai Pemberi
Izin Penggarap Tanah Negara Kepada Petani Penggarap ........... 88
BAB V PUNUTUP .................................................................................. 104
5.1 Kesimpulan ................................................................................. 104
5.2 Saran ............................................................................................ 104
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................... 106
xii
ABSTRAK
Masyarakat Bali yang menempati dan menggarap tanah di wilayah Pulau
Bali secara turun temurun berdasarkan izin menggarap yang telah diberikan oleh
Pemerintah Provinsi Bali tentunya sangat bergantung pada adanya tanah yang
dapat digarap dan menghasilkan untuk melanjutkan kehidupan dan kesejahteraan
mereka. Jika Pemerintah Provinsi Bali mengambil alih tanah tersebut kemudian
diberikan kepada investor, tentunya akan menimbulkan kekecewaan dan
kesengsaraan bagi masyarakat Bali itu sendiri.
Kondisi tersebut di atas melatarbelakangi penelitian ini dalam rangka
mengetahui (1) Apakah Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemberi izin untuk
penggarap tanah negara dapat digugat?; dan (2) Bagaimanakah tanggung gugat
Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemberi izin penggarap tanah negara kepada
petani penggarap.
Jenis penelitian yang digunakan merupakan penelitian hukum normatif
dengan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konsep dan pendekatan
kasus. Sumber bahan hukum dalam penelitian ini terdiri dari: primer, sekunder
dan tersier. Teknik pengumpulan bahan hukum merupakan teknik studi
kepustakaan. Analisis bahan hukum yang berhasil dikumpulkan dalam penelitian
ini dilakukan dengan menggunakan argumentasi hukum berdasarkan logika
hukum deduktif-induktif dan penyajian secara deskriptif dengan jalan menyusun
secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang ilmiah.
Hasil penelitian menunjukkan (1) Pemerintah Provinsi Bali sebagai
pemberi izin untuk penggarap tanah negara dapat digugat oleh masyarakat
penggarap mengingat Pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan 2 (dua) buah
diskresi atau keputusan di atas obyek yang sama. Jika Pemerintah Provinsi Bali
bermaksud memberikan hak atas tanah yang sudah diberi izin untuk digarap oleh
masyarakat, maka seharusnya Pemerintah Provinsi Bali mencabut terlebih dahulu
izin untuk menggarap tanah negara oleh masyarakat tersebut. Dalam hal
Pemerintah Provinsi Bali memberikan hak atas tanah tanpa mencabut terlebih
dahulu izin penggarapan tanah, maka masyarakat penggarap dapat mengajukan
gugatan kepada Pemerintah Provinsi Bali; dan (2) Tanggung gugat Pemerintah
Provinsi Bali sebagai pemberi izin penggarap tanah negara kepada petani
penggarap dapat berupa pemberian ganti rugi dalam bentuk uang atau ganti tanah
di lokasi dan di wilayah lain.
Kata Kunci: Penggarapan Tanah, Izin, Tanggung Gugat.
xiii
ABSTRACT
Balinese people who occupy and cultivate the land on the island of Bali
from generation to generation based on the work permit has been granted by the
Provincial Government of Bali based on the cultivation permit has been granted
by the Provincial Government of Bali certainly very dependent on their cultivate
land and produce to continue their lives and prosperity. If the Provincial
Government of Bali to take over the land then given to investors, will certainly
lead to disappointment and misery for the people of Bali itself.
The above mentioned condition serves as background of this research in
frame of disclosing (1) Is the Provincial Government of Bali as the licensor for
state land cultivator can be sued?; and (2) How can accountability of Provincial
Government of Bali as the licensor of state land cultivator for cultivate peasants?
The type of research is a normative legal research with statute approach,
conceptual approach and case approach. Sources of legal materials in this
research consisted of primary, secondary and tertiary legal materials. The
technique of collecting legal material used is literature study techniques. Analysis
of legal materials collected in this research performed by legal argumentation
based on the legal of deductive-inductive logic and presented descriptively by
arranging systematically to obtain a scientific conclusion.
The research result indicated that (1) The Provincial Government of Bali
as the licensor for state land cultivator can be sued by the cultivators society
considering the Provincial Government of Bali has issued two (2) pieces of
discretion or decisions over the same object. If the Provincial Government of Bali
intends to provide land rights that had been given permission to be cultivated by
the society, the Provincial Government of Bali should first revoke permission to
cultivate on state land by the society. In case of the Provincial Government of Bali
provides land rights without prior permission revoke the cultivation of the land,
then the cultivators society can filed a lawsuit against the Provincial Government
of Bali; and (2) The accountability of Provincial Government of Bali as the
licensor of state land cultivator for cultivate peasants can be either compensation
in the form of money or replace the land at the other location and in other
regions.
Keywords: Land Cultivation, Permit, Accountability.
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Pulau Bali dikenal dengan pulau seribu pura, ada pula yang menyebutnya
sebagai pulau dewata. Secara geografis Provinsi Bali terletak pada 8°3'40"-
8°50'48" lintang Selatan dan 114°25'53"-115°42'40" Bujur Timur. Relief dan
topografi Pulau Bali di tengah-tengah terbentang pegunungan yang memanjang
dari barat ke timur.
Provinsi Bali terletak di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok dengan
batas fisiknya adalah sebelah utara berbatasan dengan Laut Bali, sebelah timur
berbatasan dengan Selat Lombok (Provinsi Nusa Tenggara Barat), sebelah selatan
berbatasan dengan Samudera Indonesia, dan sebelah barat berbatasan dengan
Selat Bali (Provinsi Jawa Timur).
Secara administrasi, Provinsi Bali terbagi menjadi delapan kabupaten dan
satu kota, yaitu Kabupaten Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Karangasem,
Klungkung, Bangli, Buleleng, dan Kota Denpasar yang juga merupakan ibu kota
provinsi. Bali yang merupakan daerah yang memberikan perhatian khusus
terutama di bidang pariwisata dan pertanian sangat perlu untuk menjaga
keindahan alamnya demikian juga daerah obyek wisatanya yang menjadi sumber
keuangan sebagian besar penduduk Bali seperti, Garuda Wisnu Kencana (GWK),
Kintamani, Bedugul, Danau Batur, Taman Ayun, Istana Presiden Tampak Siring,
Pura Besakih, Tanah Lot, Sangeh, Alas Kedaton, Bali Bird Park, situs Goa
2
Lawah, situs Goa Gajah, Pantai Lovina, Pantai Sanur, Pantai Nusa dua, Jimbaran,
Pantai Dream Land, Pantai Kuta, Legian dan lain sebagainya.1
Guna mencapai salah satu tujuan pokoknya, yaitu meletakan dasar-dasar
bagi terbentuknya unifikasi dan kesederhanaan pada hukum tanah nasional,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria (selanjutnya disebut UUPA) membuat ketentuan konversi. Lewat
ketentuan konversi, hak-hak lama berdasarkan hukum adat dan hukum barat,
disesuaikan dengan UUPA. Khusus bagi tanah-tanah adat yang bukan obyek
konversi, penyesuaiannya terhadap UUPA difasilitasi dengan ketentuan
penegasan hak. Bahkan, pada tahun 1962 dikeluarkan sebuah peraturan yang
memungkinkan tanah-tanah adat yang tidak didukung oleh bukti-bukti hak untuk
didaftarkan menjadi salah satu hak atas tanah menurut UUPA. Istilah hukum yang
diberikan pada model ini adalah pengakuan hak. Dalam perjalanannya,
pendaftaran konversi tanah-tanah adat tidak berlangsung mulus. Salah satu
penyebab utamanya adalah terhentinya keberlakuan UUPA dalam kawasan hutan
serta superioritas keberlakukan hukum pertambangan dalam wilayah kuasa
pertambangan. Bukan rahasia umum lagi bahwa dalam kawasan hutan dan
wilayah kuasa pertambangan tersebut justru terdapat tanah-tanah adat baik yang
dilekati hak perorangan maupun hak ulayat. Adapun tanah-tanah adat yang tidak
berlokasi baik dalam kawasan hutan maupun wilayah kuasa pertambangan juga
mengalami penggerusan akibat pemberian hak-hak tanah menurut UUPA seperti
HGU untuk perkebunan dan HGB untuk pembangunan real estate.
1 I Putu Agus Suarsana Ariesta, 2008, “Daya Guna dan Hasil Guna Penggunaan Tanah
Melalui Konsolidasi Tanah (Land Consolidation) di Denpasar Utara-Bali”, Tesis, Program
Pascasarjana Program Studi Megister Kenotariatan Universitas Diponegoro Semarang, Semarang,
h. 23
3
Namun sekalipun terus dipojokan dengan rejim hukum kehutanan,
pertambangan dan HGU dan HGB, masih terdapat banyak masyarakat adat yang
terus melangsungkan pemilikan, pemanfaatan dan pemakaian atas tanah-tanah
adat. Sekalipun demikian, mengacu pada pengertian formal mengenai tanah
garapan, mereka bukan lagi sebagai pemilik atau pihak yang dianggap berhak.
Kini, masyarakat adat tersebut berubah kedudukan menjadi sebatas penggarap.
Disebut penggarap karena aktifitas mereka untuk mengusahakan dan mengerjakan
tanah-tanah tersebut tidak didasarkan pada salah satu hak atas tanah dalam UUPA.
Menurut Tjondronegoro istilah penggarapan identik dengan istilah
penyakapan yakni petani yang secara sah mengerjakan atau mengusahakan sendiri
secara aktif tanah yang bukan miliknya, dengan memikul sebagian atau seluruh
resiko produksinya.2 Tanah-tanah adat yang tidak jadi dikonversi ke dalam salah
satu hak atas tanah menurut UUPA, sebagaimana digambarkan di atas, hanyalah
salah satu sumber lahirnya tanah garapan. Dalam literatur-literatur hukum agraria,
tanah garapan di atas digolongkan sebagai tanah garapan di atas tanah negara,
termasuk tanah negara yang dikuasai oleh instansi pemerintah dan badan hukum
milik negara/pemerintah. Sumber yang lain adalah tanah-tanah kosong atau
terlantar. Sekalipun berstatus tanah hak, namun karena tidak sedang dimanfaatkan
atau dipergunakan, tanah-tanah ini kemudian diduduki oleh penduduk setempat
atau oleh para imigran. Fenomena tanah kosong yang diduduki dan dipergunakan
oleh penduduk, belakangan juga merebak dalam kawasan hutan, baik pada bekas
konservasi HPH maupun kawasan hutan lindung dan kawasan hutan konservasi.
2 Gejala Informalitas pada Tanah Garapan, http://www.google.co.id/webhp ?hl=id&tab
=ww#hl=id&sclient=psyab&q=mekanisme+dalam+pemberian+izin++penggarapan+tanah+Negara
&oq=mekanisme+dalam+pemberian+izin++penggarapan+tanah+Negara&gs_l=serp.3...4820.135,
diakses pada tanggal 31 Oktober 2012
4
Peranan pembangunan dalam masa-masa sekarang ini, sangatlah
dirasakan adanya peningkatan kebutuhan akan tanah untuk keperluan berbagai
macam aspek dalam menumbuhkan pembangunan yang merata bagi lapisan
masyarakat, terutama pembangunan dibidang fisik baik desa maupun kota. Tanah
sebagai modal dasar pembangunan memegang peranan yang sangat penting untuk
melaksanakan kegiatan pembangunan, seperti mendirikan gedung sekolah,
pelebaran jalan dan lain sebagainya. Akan tetapi banyaknya tanah yang tersedia
untuk keperluan pembangunan sangatlah terbatas.
Adapun faktor yang melatarbelakangi penulis mengangkat judul di atas,
berawal dari seringnya muncul sengketa mengenai tanah diantara kelompok-
kelompok yang ada di masyarakat yang sangat mengharapkan suatu keadilan.
Adapun ukuran keadilan itu subyektif dan relatif. Subyektif, karena ditentukan
oleh manusia (hakim) yang mempunyai wewenang untuk memutuskan, namun
tidak mungkin memiliki kesempurnaan yang absolut. Relatif, karena bagi
seseorang dirasa sudah adil, tetapi bagi orang lain dirasa sama sekali tidak adil.
Oleh kerena itu dalam setiap kegiatan pembangunan tidak saja menjadi
tanggung jawab pemerintah, akan tetapi juga dibutuhkan peran aktif dari pihak
swasta dan masyarakat pada umumnya. Untuk memenuhi kebutuhan akan tanah
bagi pemerintah maupun perusahaan swasta, kecil sekali kemungkinannya
menggunakan tanah-tanah yang dikuasai langsung oleh negara dikarenakan
persediaan tanahnya yang terbatas. Sebagai solusinya adalah menggunakan tanah-
tanah hak rakyat dengan memberikan ganti rugi kepada pemegang hak atas tanah.
Sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUPA telah disebutkan bahwa semua hak
atas tanah mempunyai fungsi sosial.
5
Ini berarti, bahwa hak atas tanah apapun yang dimiliki seseorang, tidaklah
dapat dibenarkan, bahwa tanah itu akan dipergunakan (atau tidak dipergunakan)
semata-mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau disesuaikan dengan
keadaannya dan sifat dari haknya, sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan dan
kebahagiaan yang mempunyainya maupun bermanfaat pula bagi masyarakat dan
negara. Tetapi dalam ketentuan tersebut tidak berarti, bahwa kepentingan
perseorangan akan terdesak sama sekali oleh kepentingan umum (masyarakat).
Kepentingan masyarakat dan kepentingan perseorangan haruslah saling
mengimbangi sehingga pada akhirnya akan tercapailah tujuan pokok
kemakmuran, keadilan dan kebahagiaan bagi rakyat seluruhnya. Berhubungan
dengan fungsi sosialnya, maka adalah suatu hal yang sewajarnya bahwa tanah itu
harus dipelihara baik-baik, agar bertambah kesuburannya serta dicegah
kerusakannya. Kewajiban memelihara tanah ini tidak saja dibebankan kepada
pemiliknya atau pemegang haknya yang bersangkutan, melainkan menjadi beban
pula dari setiap badan hukum atau instansi yang mempunyai suatu hubungan
hukum dengan tanah itu. Dalam melaksanakan ketentuan ini akan diperhatikan
kepentingan pihak yang ekonomis lemah.3
Pranata hukum yang mengatur pengambilan tanah-tanah penduduk untuk
keperluan pembangunan, dilakukan dengan melalui : 4
1. Pengadaan tanah
Pengadaan tanah ialah setiap kegiatan yang mendapatkan tanah dengan
cara memberikan ganti kerugian kepada yang berhak atas tanah tersebut.
3 Arif, 1994, Undang-Undang Pokok Agraria, Cet III, Mandar Maju , Bandung, h. 45
4 Ibid
6
2. Pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
Pelepasan adalah kegiatan melepaskan hubungan antara pemegang hak
atas tanah dengan tanah yang dikuasainya dengan memberikan ganti
kerugian atas dasar musyawarah.
Pengadaan tanah erat sekali hubungannya dengan pembebasan atau
pelepasan hak atas tanah yang diperlukan baik untuk kepentingan umum maupun
untuk kepentingan swasta, yang sering kali menimbulkan persoalan dalam
masyarakat. Hal ini disebabkan karena adanya berbagai kepentingan yang saling
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya.
Menurut Soedharyo Soimin, pembebasan tanah adalah “melepaskan
hubungan hukum semula yang terdapat diantara pemegang hak/penguasa atas
tanah dengan cara pemberian ganti rugi.5
Namun dalam prakteknya, rakyat sering dijadikan akses para penguasa.
Rakyat seringkali tidak diikutsertakan dalam musyawarah dan mengambil suatu
kebijaksanaan yang menyangkut nasib dan masa depan mereka. Pada umumnya
mereka hanya diberi pengarahan yang harus diterima dengan penuh kepatuhan,
bahkan rakyat seringkali dibodohi dengan janji-janji yang menggiurkan, sehingga
mereka merasa kecewa dan merasa dirugikan karena mendapatkan perlakuan yang
tidak adil. Bila persoalan semacam ini tidak mendapatkan perhatian yang serius,
pada gilirannya akan menimbulkan masalah yang berdampak politik.
Hal-hal tersebut di atas tentunya menimbulkan keresahan dalam
masyarakat yang dirugikan secara moril dan materil. Padahal dalam pelaksanan
5 Soedharyo Soimin, 2001, Status Hak dan Pembebasan Tanah, Edisi Kedua, Sinar
Grafika, Jakarta , h. 76
7
pengadaan tanah harus tetap berdasarkan prinsip-prinsip dan ketentuan hukum
yang sesuai dengan prinsip bahwa negara kita adalah suatu negara hukum. Oleh
karenanya, dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum atau pembangunan
diperlukan suatu pendekatan yang bersifat terpadu melalui legal aprroach
(pendekatan dari segi hukum), prosperty approach (pendekatan dari segi
kesejahteraan), security approach (pendekatan dari segi ketertiban umum) dan
humanity approach (pendekatan dari segi kemanusiaan). Dengan legal approach
dimaksudkan bahwa prinsip-prinsip dan ketentuan-ketentuan hukum tetap
dijadikan landasan sesuai dengan prinsip bahwa negara kita adalah negara hukum.
Prosperty approach dimaksudkan kita harus memperhatikan asas-asas ketertiban
keamanan, sehingga stabilitas nasional akan tetap terpelihara.6
Pembangunan dari rakyat mengandung makna bahwa rakyat merupakan
faktor dominan diberikan peranan sentral dalam menggerakkan pembangunan dan
perlu ditingkatkan kemampuannya untuk berproduksi dengan baik melalui
investigasi dibidang sumber daya manusia. Pembangunan oleh rakyat berarti
memberikan setiap manusia Indonesia memperoleh kesempatan yang adil untuk
dapat berpartisipasi dalam proses pembangunan nasional. Pembangunan untuk
rakyat berarti menjamin bahwa setiap kemajuan yang diperoleh sebagai hasil
pembangunan adalah untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat banyak.
Masyarakat bali yang menempati dan menggarap tanah di wilayah pulau
bali secara turun temurun berdasarkan izin menggarap yang telah diberikan oleh
Pemerintah Provinsi Bali tentunya sangat bergantung pada adanya tanah yang
6 Abdurahman, 1995, Masalah Pencabutan hak-hak Atas Tanah, Pembebasan Tanah dan
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum di Indonesia, PT.
Citra Aditya, Bandung, h. 51
8
dapat digarap dan menghasilkan untuk melanjutkan kehidupan dan kesejahteraan
mereka. Jika pemerintah provinsi bali mengambil alih tanah yang telah digarap
oleh masyarakat bali secara turun temurun berdasarkan izin yang telah diberikan
oleh pemerintah provinsi bali kemudian diberikan kepada investor, tentunya akan
menimbulkan kekecewaan dan kesengsaraan bagi masyarakat Bali itu sendiri.
Berdasarkan permasalahan tersebut diatas, maka judul yang dapat diangkat
dalam tulisan ini adalah “Tanggung Gugat Pemerintah Provinsi Bali sebagai
Pemberi Izin Penggarap Tanah Negara”.
1.2 Rumusan Masalah
Dari uraian latar belakang masalah diatas, maka dapat dirumuskan
permasalahan sebagai berikut:
1. Apakah Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemberi izin untuk penggarap
tanah negara dapat digugat ?
2. Bagaimanakah tanggung gugat Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemberi
izin penggarap tanah negara kepada petani penggarap ?
1.3 Ruang Lingkup Masalah
Untuk menjamin adanya ketegasan dan keutuhan serta untuk mencegah
kekaburan permasalahan, maka disini perlu ditegaskan ruang lingkup masalah
yang menyangkut tentang:
1. Untuk mengetahui apakah Pemerintah Provinsi Bali sebagai pemberi izin
untuk penggarap tanah negara dapat digugat.
2. Untuk mengetahui tanggung gugat Pemerintah Provinsi Bali sebagai
pemberi izin penggarap tanah negara kepada petani penggarap.
9
Dalam penulisan ilmiah menentukan ruang lingkup masalah merupakan
hal yang sangat penting untuk menjamin adanya keutuhan dan ketegasan serta
untuk mencegah kekaburan permasalahan, karena terlalu luas atau terlalu sempit.7
1.4 Orisinalitas Penelitian
Penelitian tentang Tanggung Gugat Pemerintah Provinsi Bali sebagai
Pemberi Izin Penggarap Tanah Negara menekankan pada Kewenangan dan
tanggung jawab Pemerintah Provinsi Bali sebagai Pemberi izin Penggarap Tanah
Negara.
Ada beberapa skripsi yang menulis berdasarkan hasil penelitian tentang
Tanggung gugat, Perizinan, dan Penggarap Tanah Negara antara lain:
1. Ayu Kartika Gusti Saputri Olii yang menulis Skripsi berjudul
“Pendelegasian Wewenang Perizinan di Kabupaten Banyumas (Studi Di
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten
Banyumas)”, dengan hasil penelitian Bupati Banyumas kepada Kepala
Badan Penanaman Modal dan Pelayanan perizinan Kabupaten Banyumas
adalah menggunakan pendelegasian kewenangan delegasi. Pendelegasian
kewenangan dengan delegasi adalah penyerahan atau pelimpahan suatu
wewenang yang telah ada oleh pejabat atau badan yang telah memperoleh
wewenang secara atributif kepada badan atau pejabat lainnya. Dengan
adanya pendelegasian kewenangan kepada Kepala Badan Penanaman
Modal dan Pelayanan Perizinan maka tanggung jawab yuridis tidak lagi
berada ditangan Bupati Banyumas tetapi beralih kepada Kepala Badan
7 Soerjono Soekanto, 1982, Tata Cara Penyusunan Karya Tulis Ilmiah Bidang Hukum,
Gahlia, Jakarta, h. 12
10
Penanaman Modal dan Pelayanan Perizinan Kabupaten Bayumas selaku
delegataris.8
2. Hanif Dewi Wardhani yang menulis Skripsi berjudul “Pelayanan Publik
Dalam Proses Pengurusan Perizinan Di Kabupaten Cilacap (Studi Kasus
Di Badan Penanaman Modal Dan Perizinan Terpadu)”, dengan hasil
penelitian ini menunjukkan (1) bahwa pelayanan publik dalam proses
pengurusan perizinan di Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu
Kabupaten Cilacap dalam hal prosedur dalam pelayanan perizinan IMB,
SIUP, izin lokasi, izin gangguan, dan izin reklame sudah dilakukan sesuai
dengan prosedur pelayanan (2) Kendala yang dihadapi Badan Penanaman
Modal dan Perizinan Terpadu Kabupaten Cilacap yaitu arana dan
prasarana yang menunjang dalam proses pelayanan perizinan seperti
komputer mengalami kerusakan, kurang lengkapnya persyaratan
administrasi pemohon, adanya keterbatasan pegawai dalam memanfaatkan
teknologi modern;(3) upaya-upaya yang dilakukan yaitu mensosialisasikan
informasi mengenai prosedur pelayanan perizinan dan persyaratan setiap
perizinan melalui website di http://www.kpptkabclp.go.id dan
membagikan selebaran-selebaran ke masyarakat, memberikan kuisioner
mengenai kinerja Badan Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu
Kabupaten Cilacap secara berkala sesuai dengan mekanisme yang
berlaku.9
8 Ayu Kartika Gusti Saputri Olii, 2011, “Pendelegasian Wewenang Perizinan Di
Kabupaten Banyumas”, Skripsi, Kementerian Pendidikan Nasional Universitas Jenderal
Soedirman Fakultas Hukum Purwokerto. 9 Hanief Dewi Wardani, 2012, “Pelayanan Publik Dalam Proses Pengurusan Perizinan di
Kabupaten Cilacap (Studi Kasus Di Badan Penanaman Modal Dan Perizinan Terpadu)”, Skripsi.
Pendidikan Kewarganegaraan dan Hukum Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta.
11
3. Mulyadi yang menulis Skripsi berjudul “Tinjauan Hukum Status
Penguasaan Tanah Balete Di Daerah Pesisir Danau Lapompakka
Kabupaten Wajo”, dengan Hasil penelitian yang diperoleh adalah status
penguasaan tanah balete yang didasarkan pada hukum kebiasaan setempat
yang mayoritas tidak dilengkapi dengan dengan izin pengelolaan maupun
kepemilikan dari pemerintah setempat. UUPA tidak mengatur mengenai
tanah balete tetapi karena berada di daerah pesisir dan terjadi akibat
endapan lumpur maka dikategorikan sebagai tanah timbul. Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 Tentang penatagunaan tanah
menetapkan bahwa tanah timbul (tanah balete) merupakan tanah negara
yang harus dimohonkan hak pengelolaan dan kepemilikan dengan
memperhatikan garis sempadan danau dan rencana tata ruang wilayah.
Kendala dalam penegasan status penguasaan tanah balete sebagai tanah
negara adalah pemerintah belum melakukan tindakan untuk mendata
mengenai tanah balete di wilayah tersebut serta keengganan masyarakat
setempat untuk melaporkan tanah balete dikuasainya selama ini, sehingga
penguasaannya tidak mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum.10
4. Shirley Devy Valleta yang menulis Skripsi berjudul “Tanggung Gugat
Perjanjian Waralaba Pada “Es Teler 77" Di Surabaya”, dengan hasil
penelitian bahwa bentuk perjanjian waralaba merupakan bentuk perjanjian
baru, meskipun demikian tiada halangan untuk saling mengikatkan diri
10
Mulyadi, 2013, “Tinjauan Hukum Status Penguasaan Tanah Balete di Daerah Pesisir
Danau Lapompakka Kabupaten Wajo”. Skripsi. Bagian Hukum Keperdataan Fakultas Hukum
Universitas Hasanuddin Makassar .
12
dalam perjanjian ini selama tidak bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan dan ketertiban umum. Dalam waralaba terkandung asas, yaitu
asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas itikad baik, asas
kesamarataan dalam hukum, asas pikul bareng, asas infornatieplicht dan
asas confidential. Perihal kerugian yang dialami konsumen berkaitan
dengan makanan yang dikonsumsi dalam sistem waralaba menjadi
tanggung jawab pewaralaba karena nelakukan wanprestasi sesuai Pasal
1243 KUH Perdata, karena adanya hubunsan hukum berbentuk jual beli
antara pewaralaba dengan konsumen. Berdasarkan asas pikul bareng yang
menyangkut kemitraan bisnis, maka kerugian yang menyangkut apa yang
telah diperjanjikan antara pengwaralaba dan pewaralaba menjadi tanggung
jawab bersama. Tetapi kerugian karena kecerobohan/ kelalaian pewaralaba
merupakan tanggung jawab pewaralaba sendiri. Seyogyanya pemerintah
berupaya untuk membuat kontrak standar mengenai perjanjian waralaba,
di dalam penggunaannya sebagai acuan oleh para pihak agar tidak terjadi
masalah sehubungan belum adanya peraturan perundang-undangan yang
mengaturnya secara khusus dan tegas.11
Dari keempat Skripsi tersebut di atas, tidak satu pun yang meneliti dan
menulis tentang Tanggung Gugat Pemerintah Provinsi Bali sebagai Pemberi Izin
Penggarap Tanah Negara, dan Skripsi ini ditulis berdasarkan penelitian dengan
menganalisis putusan Pengadilan Negeri Denpasar.
11
Shirley Devy Valleta, 1994, “Tanggung Gugat Perjanjian Waralaba Pada “Es Teler 77"
Di Surabaya”. Skripsi, Fakultas Hukum Universitas Surabaya.
13
1.5 Tujuan Penelitian
1.5.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui dan memahami tanggung gugat pemerintah Provinsi
Bali dengan pemberi izin penggarap tanah Negara.
1.5.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui tanggung jawab pemerintah Provinsi Bali sebagai
pemberi izin penggarap tanah negara kepada petani penggarap.
2. Untuk mengetahui tanggung gugat pemerintah Provinsi Bali sebagai
pemberi izin penggarap tanah Negara.
1.6 Manfaat Peneletian
1.6.1 Manfaat Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan kajian/ bahan
penelitian lebih lanjut, serta menambah informasi mengenai tentang tanggung
gugat pemerintah provinsi Bali sebagai pemberi ijin penggarap tanah Negara.
1.6.2 Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai masukan dan
memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terlibat dalam pemerintahan
provinsi Bali yang terkait dalam pemberi ijin penggarap tanah Negara.
1.7 Landasan Teoritis
Teori yang digunakan untuk melakukan penelitian dalam penulisan
skripsi adalah Teori Kewenangan, Teori Negara Hukum, dan Teori Perijinan.
14
1.7.1 Teori Kewenangan
Wewenang merupakan bagian yang sangat penting dalam Hukum Tata
Pemerintahan (Hukum Administrasi), karena pemerintahan baru dapat
menjalankan fungsinya atas dasar wewenang yang diperolehnya. Keabsahan
tindakan pemerintahan diukur berdasarkan wewenang yang diatur dalam
peraturan perundang-undangan. Perihal kewenangan dapat dilihat dari Konstitusi
Negara yang memberikan legitimasi kepada Badan Publik dan Lembaga Negara
dalam menjalankan fungsinya. Wewenang adalah kemampuan bertindak yang
diberikan oleh undang-undang yang berlaku untuk melakukan hubungan dan
perbuatan hukum.12
Pengertian kewenangan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia diartikan
sama dengan wewenang, yaitu hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu.
Hassan Shadhily menerjemahkan wewenang (authority) sebagai hak atau
kekuasaan memberikan perintah atau bertindak untuk mempengaruhi tindakan
orang lain, agar sesuatu dilakukan sesuai dengan yang diinginkan.13
Lebih lanjut
Hassan Shadhily memperjelas terjemahan authority dengan memberikan suatu
pengertian tentang “pemberian wewenang (delegation of authority)”. Delegation
of authority ialah proses penyerahan wewenang dari seorang pimpinan (manager)
kepada bawahannya (subordinates) yang disertai timbulnya tanggung jawab untuk
melakukan tugas tertentu.14
Proses delegation of authority dilaksanakan melalui
langkah-langkah sebagai berikut:
12
SF. Marbun, 1997, Peradilan Administrasi Negara dan Upaya Administrasi di
Indonesia, Liberty, Yogyakarta, h. 15 13
Tim Penyusun Kamus-Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, 1989, Kamus
Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, h. 1170 14
Ibid, h. 172
15
1. Menentukan tugas bawahan tersebut
2. Penyerahan wewenang itu sendiri
3. Timbulnya kewajiban melakukan tugas yang sudah ditentukan.
I Dewa Gede Atmadja, dalam penafsiran konstitusi, menguraikan sebagai
berikut : “Menurut sistem ketatanegaraan Indonesia dibedakan antara wewenang
otoritatif dan wewenang persuasif. Wewenang otoritatif ditentukan secara
konstitusional, sedangkan wewenang persuasif sebaliknya bukan merupakan
wewenang konstitusional secara eksplisit”.15
Wewenang otoritatif untuk menafsirkan konstitusi berada ditangan MPR,
karena MPR merupakan badan pembentuk UUD. Sebaliknya wewenang persuasif
penafsiran konstitusi dari segi sumber dan kekuatan mengikatnya secara yuridis
dilakukan oleh :
1. Pembentukan undang-undang; disebut penafsiran otentik
2. Hakim atau kekuasaan yudisial; disebut penafsiran Yurisprudensi
3. Ahli hukum; disebut penafsiran doktrinal.
Penjelasan tentang konsep wewenang, dapat juga didekati melalui telaah
sumber wewenang dan konsep pembenaran tindakan kekuasaan pemerintahan.
Teori sumber wewenang tersebut meliputi atribusi, delegasi, dan mandat.16
Prajudi Atmosudirdjo berpendapat tentang pengertian wewenang dalam
kaitannya dengan kewenangan sebagai berikut :
15
I Dewa Gede Atmadja, 1996, “Penafsiran Konstitusi Dalam Rangka Sosialisasi
Hukum: Sisi Pelaksanaan UUD 1945 Secara Murni dan Konsekwen”, Pidato Pengenalan Guru
Besar dalam Bidang Ilmu Hukum Tata Negara Pada Fakultas Hukum Universitas Udayana 10
April, h. 2 16
Ibid.
16
“Kewenangan adalah apa yang disebut kekuasaan formal, kekuasaa yang
berasal dari Kekuasaan Legislatif (diberi oleh Undang-Undang) atau dari
Kekuasaan Eksekutif/Administratif. Kewenangan adalah kekuasaan
terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu
bidang pemerintahan (atau bidang urusan) tertentu yang bulat, sedangkan
wewenang hanya mengenai sesuatu onderdil tertentu saja. Di dalam
kewenangan terdapat wewenang-wewenang. Wewenang adalah kekuasaan
untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik”.17
Kekuasaan menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat.
Wewenang mengandung arti hak dan kewajiban. Hak berisi kebebasan untuk
melakukan atau tidak melakukan tindakan tertentu atau menuntut pihak lain untuk
melakukan tindakan tertentu. Kewajiban memuat keharusan untuk melakukan atau
tidak melakukan tindakan tertentu.18
Dalam hukum administrasi negara wewenang pemerintahan yang
bersumber dari peraturan perundang-undangan diperoleh melalui cara-cara yaitu
atribusi, delegasi dan mandat.
Atribusi terjadinya pemberian wewenang pemerintahan yang baru oleh
suatu ketentuan dalam peraturan perundang-undangan. Atribusi kewenangan
dalam peraturan perundangundangan adalah pemberian kewenangan membentuk
peraturan perundang-undangan yang pada puncaknya diberikan oleh Undang-
Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disingkat UUD NRI
1945) atau UU kepada suatu lembaga negara atau pemerintah. Kewenangan
tersebut melekat terus menerus dan dapat dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap
diperlukan. Disini dilahirkan atau diciptakan suatu wewenang baru.
17
Prajudi Atmosudirdjo, 1981, Hukum Administrasi Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta h.
29 18
Ridwan, HR., 2006, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.
23.
17
Pada delegasi, terjadilah pelimpahan suatu wewenang yang telah ada oleh
badan atau jabatan tata usaha negara yang telah memperoleh wewenang
pemerintahan secara atributif kepada badan atau jabatan tata usaha negara lainnya.
Jadi suatu delegasi selalu didahului oleh adanya suatu atribusi wewenang. Misal,
dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009 tentang Pembentukan dan
Organisasi Kementerian Negara Pasal 93 (1) Pejabat structural eselon I diangkat
dan diberhentikan oleh Presiden atas usul Menteri yang bersangkutan (2) Pejabat
struktural eselon II ke bawah diangkat dan diberhentikan oleh Menteri yang
bersangkutan. (3) Pejabat struktural eselon III ke bawah dapat diangkat dan
diberhentikan oleh Pejabat yang diberi pelimpahan wewenang oleh Menteri yang
bersangkutan.
Pengertian mandat dalam asas-asas Hukum Administrasi Negara, berbeda
dengan pengertian mandataris dalam konstruksi mandataris menurut penjelasan
UUD NRI 1945 sebelum perubahan. Menurut penjelasan UUD NRI 1945
Presiden yang diangkat oleh MPR, tunduk dan bertanggung jawab kepada
Majelis. Presiden adalah mandataris dari MPR, dan wajib menjalankan putusan
MPR. Presiden ialah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi. Dalam
Hukum Administrasi Negara mandat diartikan sebagai perintah untuk
melaksanakan atasan; kewenangan dapat sewaktu-waktu dilaksanakan oleh
pemberi mandat, dan tidak terjadi peralihan tanggung jawab.
Berdasarkan uraian tersebut, apabila wewenang yang diperoleh organ
pemerintahan secara atribusi itu bersifat asli yang berasal dari undang-undang,
yaitu dari redaksi pasal-pasal tertentu dalam peraturan undang-undang. Penerima
18
dapat menciptakan wewenang baru atau memperluas wewenang yang sudah ada
dengan tanggung jawab intern dan ekstern pelaksanaan wewenang yang
diatribusikan sepenuhnya berada pada penerima wewenang ( atributaris ).
Perbedaan antara delegasi dan mandat. Dalam hal delegasi mengenai
prosedur pelimpahannya berasal dari suatu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan yang lainnya dengan peraturan perundang-undangan, dengan
tanggung jawab dan tanggung gugat beralih ke delegataris. Pemberi delegasi tidak
dapat menggunakan wewenang itu lagi, kecuali setelah ada pencabutan dengan
berpegang dengan asas ”contrarius actus”. Artinya, setiap perobahan, pencabutan
suatu peraturan pelaksanaan perundang-undangan, dilakukan oleh pejabat yang
menetapkan peraturan dimaksud, dan dilakukan dengan peraturan yang setaraf
atau yang lebih tinggi. Dalam hal mandat, prosedur pelimpahan dalam rangka
hubungan atasan bawahan yang bersifat rutin. Adapun tanggung jawab dan
tanggung gugat tetap pada pemberi mandat. Setiap saat pemberi mandat dapat
menggunakan sendiri wewenang yang dilimpahkan itu.19
Sedangkan Huisman membedakan delegasi dan mandat sebagai berikut :
Delegasi, merupakan pelimpahan wewenang ( overdracht van bevoegdheid );
kewenangan tidak dapat dijalankan secara insidental oleh organ yang memiliki
wewenang asli ( bevoegdheid kan door het oorsprokenlijk bevoegde orgaan niet
incidenteel uitgoefend worden ); terjadi peralihan tanggung jawab ( overgang van
verantwoordelijkheid ); harus berdasarkan UU ( wetelijk basis vereist ); harus
tertulis ( moet schriftelijk ); Mandat menurut Huisman, merupakan perintah untuk
19
Philipus M. Hadjon, 1994, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gajah Mada
University Press,Yogyakarta, h. 32.
19
melaksanakan (opdracht tot uitvoering); kewenangan dapat sewaktu-waktu
dilaksanakan oleh mandans (bevoeghdheid kan door mandaatgever nog
incidenteel uitgeofend worden ); tidak terjadi peralihan tanggung jawab (behooud
van verantwoordelijkheid); tidak harus berdasarkan UU (geen wetelijke basis
vereist); dapat tertulis, dapat pula secara lisan (kan schriftelijk, mag ook
mondeling).20
Atribusi diperoleh berdasarkan pemberian wewenang pemerintahan oleh
pembuat Undang-undang kepada organ pemerintahan, delegasi diperoleh berdasar
pelimpahan wewenang pemerintahan dari satu organ pemerintahan kepada organ
pemerintahan lainnya, dan mandat diperoleh ketika organ pemerintahan
mengijinkan kewenangannya dijalankan organ pemerintahan lain atas namanya.
Sumber dan cara memperoleh kewenangan ini berimplikasi erat pada letak
tanggung jawab atas wewenang tersebut (prinsip “tidak ada kewenangan tanpa
pertanggungjawaban”, di mana pada atribusi dan delegasi disertai dengan
berpindahnya tanggung jawab kepada penerima kewenangan, sementara dalam
mandat tetap menjadi tanggung jawab pemberi kewenangan sebab pada
hakikatnya yang terjadi bukanlah pelimpahan kewenangan tetapi penyerahan
tugas (biasanya antara atasan dan bawahan) secara intraorganisasi (yang terjadi
hanyalah hubungan internal organisasi).
1.7.2 Teori Negara Hukum
Negara dikatakan sebagai suatu Negara Hukum dapat dilakukan melalui
penelusuran pandangan ilmiah para ahli. Menurut pendapat yang dikemukakan
20
Ridwan HR, Op.Cit, h. 26.
20
oleh Friedrich Julius Stahl sebagaimana dikutip oleh Jimly Asshiddiqie yang
memberikan unsur-unsur atau ciri-ciri dari suatu Negara Hukum adalah sebagai
berikut:
1. Adanya Perlindungan Hak Asasi Manusia;
2. Adanya Pembagian Kekuasaan;
3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang; dan
4. Adanya Peradilan Tata Usaha Negara.21
A.V. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law adalah sebagai
berikut:22
1. Supremasi absolut atau dominasi hukum yang bertentangan dengan
kekuasaan sewenang-wenang dan meniadakan kesewenang-wenangan atau
kesewenangan bebas yang begitu luas dari pemerintah;
2. Persamaan di hadapan hukum atau penundukan yang sama dari semua
golongan kepada ordinary law of the land yang dilaksanakan oleh
ordinary court ini berarti tidak ada orang yang berada di atas hukum, baik
pejabat maupun warga negara biasa berkewajiban untuk mentaati hukum
yang sama.
3. Konstitusi adalah hasil dari the ordinary law of the land, bahwa hukum
konstitusi bukanlah sumber tetapi merupakan konsekwensi dari hak-hak
individu yang dirumuskan dan ditegaskan oleh peradilan, singkatnya
prinsip-prinsip hukum privat melalui tindakan peradilan dan parlemen
21
Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta, h.
45 22
Ibid.
21
sedemikian diperluas sehingga membatasi posisi crown dan pejabat-
pejabatnya.
Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa “Negara Indonesia
adalah Negara Hukum”. Negara Kesatuan Indonesia adalah sebuah negara yang
dalam menyelenggarakan pemerintahan adalah berdasarkan atas prinsip-prinsip
hukum untuk membatasi kekuasaan pemerintah, ini berarti bahwa kekuasaan
Negara dibatasi oleh hukum (rechtsstaat), bukan didasarkan atas kekuasaan belaka
(machtsstaat) yang secara jelas ditentukan dalam Batang Tubuh UUD NRI 1945.
Dengan demikian dalam penyelenggaraan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan
sistem pemerintahan yang oleh K.C. Wheare dinyatakan , “first of all it is used to
describe the whole system of government of a country, the collection of rule are
partly lega, in the sense that courts of law ill recognized as law but which are not
less effective in regulating the government than the rules of law strictly so
called”23
yang artinya pertama, dalam arti luas bahwa sistem pemerintahan dari
suatu negara adalah merupakan himpunan peraturan yang mendasari serta
mengatur pemerintahan dalam menyelenggarakan tugas-tugasnya, kedua yaitu
dalam arti sempit merupakan sekumpulan peraturan yang legal dalam lapangan
ketatanegaraan suatu negara yang dimuat dalam suatu dokumen atau beberapa
dokumen terkait satu sama lain.
Secara konseptual istilah negara hukum di Indonesia dipadankan dengan
dua istilah dalam bahasa asing, yaitu:24
23
K.C. Wheare, 1975, Modern Constitutions, Oxpord University Press, London, h. 1 24
I Dewa Gede Atmadja, 2010, Hukum Konstitusi: Problematika Konstitusi Indonesia
Sesudah Perubahan UUD 1945, Setara Press, Malang, h. 157
22
1. Rechtsstaat (Belanda), digunakan untuk menunjuk tipe negara hukum
yang diterapkan di negara-negara yang menganut sistem hukum Eropa
Kontinental atau civil law system.
2. Rule of law (Inggris), menunjuk tipe negara hukum dari negara Anglo
Saxon atau negara-negara yang menganut common law system.
Konsep negara hukum di Indonesia disamakan begitu saja dengan konsep
rechtstaat dan konsep the rule of law, hal ini dapat dimaklumi karena bangsa
indonesia mengenal istilah negara hukum melalui konsep rechtsstaat yang pernah
diberlakukan Belanda pada masa kedudukannya di Indonesia, pada perkembangan
selanjutnya terutama sejak perjuangan menumbangkan apa yang dalam periodisasi
politik disebut perjuangan menumbangkan orde lama negara hukum begitu saja
diganti dengan the rule of law.25
Indonesia tidak seyogyanya tidak begitu saja
mengalihkan konsep the rule of law atau konsep rechtstaat sebagai jiwa dan isi
dari negara hukum Indonesia, karena pada dasarnya Indonesia telah memiliki
konsep negara hukumnya sendiri yaitu konsep “Negara Hukum Pancasila”.
Menurut Philipus M. Hadjon, dengan merujuk bahwa asas utama Hukum
Konstitusi atau Hukum Tata Negara Indonesia adalah asas negara hukum dan asas
demokrasi serta dasar negara Pancasila, oleh karena itu dari sudut pandang
yuridisme Pancasila maka secara ideal bahwa Negara Hukum Indonesia adalah
“Negara Hukum Pancasila”.26
Lebih rinci disebutkan bahwa unsur-unsur Negara
Hukum Pancasila adalah sebagai berikut:
25
Philipus M. Hadjon, 2007, Perlindungan Hukum Bagi Rakyat di Indonesia, sebuah
studi tentang Prinsip-Prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan
Umum dan Pembentukan Peradilan Administrasi, Peradaban, Jakarta, h. 66-67 26
I Dewa Gede Atmadja, Op. Cit., h. 16
23
1. keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan nasional;
2. hubungan yang fungsional dan proporsional antara kekuasaan negara;
3. prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
4. keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Unsur-unsur negara hukum Indonesia yang berdasarkan Pancasila menurut
Sri Soemantri Martosoewignjo adalah sebagai berikut:27
1. Adanya pengakuan terhadap jaminan hak-hak asasi manusia dan warga
negara;
2. Adanya pembagian kekuasaan negara;
3. Bahwa dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya pemerintah harus
selalu berdasarkan atas hukum yang berlaku baik yang tertulis maupun
yang tidak tertulis;
4. Adanya kekuasaan kehakiman yang dalam menjalankan kekuasaannya
merdeka.
1.7.3 Teori Perizinan
Ateng Syafrudin mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti
menghilangkan halangan, hal yang dilarang menjadi boleh, atau als opheffing van
een algemene verdobsregel in het concentare geval (sebagai peniadaan ketentuan
larangan umum dalam peristiwa konkrit). Lebih lanjut, Ateng Syafrudin
27
Sri Sumantri Martosoewignjo, 1992, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia,
Alumni, Bandung, h. 11
24
mengatakan bahwa izin bertujuan dan berarti menghilangkan halangan, hal yang
dilarang menjadi boleh.28
Adrian Sutedi mengartikan izin (vergunning) sebagai suatu persetujuan
dari penguasa berdasarkan undangundang atau peraturan pemerintah untuk dalam
keadaan tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan peraturan
perundang-undangan. Izin juga dapat diartikan sebagai dispensasi atau
pelepasan/pembebasan dari suatu larangan.29
Adapun pengertian perizinan adalah salah satu bentuk pelaksanaan fungsi
pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh Pemerintah terhadap
kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat. Perizinan dapat berbentuk
penaftaran, rekomendasi, sertifikasi, penentuan kuota dan izin untuk melakukan
sesuatu usaha yang biasanya harus dimiliki atau diperoleh suatu organisasi
perusahaan atau seseorang sebelum yang bersangkutan dapat melakukan suatu
kegiatan atau tindakan. Dengan memberi izin, penguasa memperkenankan orang
yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu yang sebenarnya
dilarang demi memperhatikan kepentingan umum yang mengharuskan adanya
pengawasan.30
Secara umum, terdapat dua kategori utama dalam perizinan publik, yaitu
perizinan untuk warga perorangan dan perizinan untuk organisasi/pelanggan
komersial. Hal-hal yang termasuk dalam kategori perizinan untuk warga
perorangan misalnya surat-surat catatan sipil dan IMB untuk rumah tinggal.
Sedangkan perizinan publik dalam ketegori kedua, dapat dibagi menjadi empat
28
Ridwan, HR., Op. Cit., h. 28. 29
Adrian Sutedi, 2010, Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta. h.167 30
Ibid, h. 168
25
kelompok, yaitu: fasilitas dan peralatan komersial, kendaraan umum, izin usaha,
dan izin industri.31
Ketentuan tentang perizinan mempunyai fungsi yaitu sebagai fungsi
penertipan dan fungsi pengatur. Sebagai fungsi penertib, dimaksudkan agar izin
atau setiap izin atau tempat-tempat usaha, bangunan dan bentuk kegiatan usaha
masyarakat lainnya tidak bertentangan satu sama lain. Berkaitan dengan itu, maka
ketertiban dalam setiap segi kehidupan masyarakat dapat terwujud. Sedangkan
izin sebagai fungsi mengatur dimaksudkan agar perizinan yang ada dapat
dilaksanakan sesuai dengan peruntukkannya, sehingga terdapat penyalahgunaan
izin yang telah diberikan, dengan kata lain fungsi pengaturan ini dapat disebut
juga sebagai fungsi yang dimiliki oleh pemerintah.32
Pemerintah melalui izin terlibat dalam kegiatan warga negara. Dalam hal
ini pemerintah mengarahkan warganya melalui instrumen yuridis berupa izin. Izin
dapat dimaksudkan untuk mencapai berbagai tujuan tertentu. Menurut Spelt dan
Ten Berge, motif-motif untuk menggunakan sistem izin dapat berupa keinginan
untuk mengarahkan (mengendalikan/sturen) aktivitas-aktivitas tertentu, mencegah
bahaya bagi lingkungan, keinginan melindungi objek-objek tertentu, hendak
membagi benda-benda yang sedikit, dan mengarahkan dengan menyeleksi
orangorang dan aktivitas-aktivitas.
Berkaitan dengan tujuan dan fungsi perizinan dijelaskan bahwa secara
umum, tujuan dan fungsi perizinan adalah untuk pengendalian daripada aktivitas
pemerintah dalam hal-hal tertentu dimana ketentuannya berisi pedoman-pedoman
31
Samudra Wibawa, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Raja Grafindo, Jakarta, h. 41-42 32
Sutedi, Op.Cit. h. 193
26
yang harus dilaksanakan oleh baik yang berkepentingan ataupun oleh pejabat
yang berwenang. Selain itu, tujuan dari perizinan itu dapat dilihat dari dua sisi
yaitu: dari sisi pemerintah, dan dari sisi masyarakat.33
1. Dilihat dari sisi Pemerintah
Dilihat dari sisi Pemerintah, tujuan pemberian izin itu adalah sebagai
berikut:
a. Guna melaksanakan peraturan Apakah ketentuan-ketentuan yang
termuat dalam peraturan tersebut sesuai dengan kenyataan dalam
pratiknya atau tidka dan sekaligus untuk mengatur ketertiban.
b. Bermanfaat sebagai sumber pendapatan daerah Dengan adanya
permintaan permohonan izin, maka secara langsung pendapatan
pemerintah akan bertambah karena setiap izin yang dikeluarkan
pemohon harus membayar retribusi terlebih dahulu. Semakin banyak
pula pendapatan di bindnag retribusi tujuan akhirnya, yaitu untuk
membiayai pembangunan.
2. Dilihat dari sisi masyarakat
Dilihat dari sisi masyarakat, tujuan pemberian izin itu adalah sebagai
berikut:
a. Untuk adanya kepastian hukum,
b. Untuk adanya kepastian hak,
c. Untuk memudahkan mendapatkan fasilitas
E. Utrecht mengatakan bahwa bila pembuat peraturan umumnya tidak
melarang suatu perbuatan tetapi masih juga memperkenankannya asal saja
33
Ibid. h. 200
27
diadakan secara yang ditentukan untuk masing-masing hal konkrit, keputusan
administrasi negara yang memperkenankan perbuatan tersebut bersifat suatu izin
(vergunning). Bagir Manan dalam Ridwan HR menyebutkan bahwa izin dalam
arti luas berarti persetujuan dari penguasa berdasarkan perundang-undangan untuk
memperbolehkan tindakan atau perbuatan yang secara umum dilarang.34
Ridwan HR menyatakan bahwa :35
“Izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang
mengaplikasikan peraturan dalam hal konkrit berdasarkan persyaratan dan
prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-
undangan”.
Sedangkan N.M. Spelt dan Mr. J. B. J.M Ten Berge yang disuting oleh
Philipus M. Hadjon, menyatakan bahwa :36
“Izin adalah suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan undang-undang
atas peraturan pemerintah untuk dalam keadaan tertentu menyimpang dari
ketentuan -ketentuan larangan perundangan. Dengan memberikan izin,
penguasa memperkenankan orang yang dalam memohonnya untuk
melakukan tindakan-tindakan tertentu, ini menyangkut perkenaan bagi
suatu tindakan yang demi kepentingan umum mengharuskan pengawasan
khusus atasnya Izin merupakan salah satu instrumen yang paling banyak
digunakan dalam hukum administrasi. Pemerintah menggunakan”.
Selanjutnya, Asep Warlan Yusuf dalam Ridwan Juniarso mengatakan
bahwa izin adalah instrumen pemerintah yang bersifat yuridis preventif, yang
digunakan sebagai sarana hukum administrasi untuk mengendalikan perilaku
masyarakat.37
34
Ridwan HR, Op. Cit. h. 207 35
Ibid. 36
Philipus M. Hadjon, Op. Cit., h.2 37
Juniarso Ridwan, 2009, Hukum Administrasi Negara dan Kebijakan Pelayanan Publik.
Nuansa, Bandung, h. 92
28
1.8 Metode Penelitian
Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan suatu kebenaran
adalah melalui proses penelitian ilmiah. Metode penelitian adalah suatu ilmu yang
mempelajari prihal metode-metode yang digunakan dalam kegiatan penelitian.38
Adapun metode yang digunakan adalah sebagai berikut :
1.8.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif,
dimana mengkaji masalah-masalah hukum mengenai azas-azasnya, sistematika
hukum, taraf sinkronisasi hukum, perbandingan hukum, ataupun sejarah hukum.
Penelitian hukum normatif, berupa inventrarisasi perundang-undangan yang
berlaku, berupaya mencari azas-azas atau dasar filsafah dari perundang-undangan
tersebut, atau penelitian yang berupa usaha penemuan hukum yang sesuai dengan
suatu kasus tertentu.39
1.8.2 Jenis Pendekatan
Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah
pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, dan pendekatan kasus.
Menurut Peter Mahmud Marzuki, pendekatan perundang-undangan (the statue
approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkutan paut dengan isu hukum yang ditangani.40
Pendekatan Konseptual
dilakukan dengan menggunakan konsep-konsep yang berkaitan dengan
38
B. Netra, 1974, Metodelogi Penelitian, Biro Penelitian Fakultas Pendidikan Universitas
Udayana, Singaraja, h. 19 39
Bahder Johan Nasution, 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju,
Bandung, h. 86 40
Bambang Sunggono, 1998, Metodologi Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada,
Jakarta, h. 69
29
permasalahan yang diangkat dalam skripsi ini. Pendekatan kasus dilaksanakan
dengan menganalisis kasus yang ada yang berkaitan dengan permasalahan yang
akan diteliti.
1.8.3 Sumber Bahan Hukum
Penulisan penelitian ini merupakan suatu penelitian hukum normatif atau
penelitian doktrinal, yaitu penelitian yang menggunakan bahan hukum skunder,
yaitu bahan hukum yang diperoleh dengan mengumpulkan dokumen-dokumen
terkait, baik itu dari bahan primer maupun skunder41
1. Bahan hukum Primer adalah peraturan perundang-undangan yang
dikeluarkan oleh pemerintah. Bahan hukum primer yang digunakan dalam
penelitian ini terdiri dari
a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
b. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
c. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-
Pokok Agraria.
d. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengaturan Tanah
Untuk Kepentingan Pembangunan.
2. Bahan hukum skunder berupa data pustaka yakni data yang diperoleh
penulis dari kepustakaan yaitu dengan meneliti bahan-bahan hukum, yaitu:
a. Buku-buku Hukum
b. Karya tulis hukum atau pandangan ahli hukum yang termuat dalam
media massa terkait dengan judul penelitian ini.
41
Soejono dan H. Abdurrahman, 1999, Metode Penelitian:Suatu Pemikiran dan
Penerapan, Rineka Cipta, Jakarta, h. 56
30
3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan yang memberi penjelasan terhadap
bahan hukum primer dan bahan hukum skunder.42
1.8.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum
Teknik pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara mengutip dari
buku-buku literature yang berhubungan dengan cara mencatat bahan-bahan
hukum yang berhubungan dengan tanggung gugat pemerintah provinsi Bali
sebagai pemeberi izin penggarap tanah Negara Studi Kepustakaan merupakan
bagian dari teknik pengumpulan bahan hukum dalam penelitian untuk penulisan
skripsi ini.
1.8.5 Teknik Pengolahan Bahan Hukum
Pengolahan bahan hukum dilakukan secara kualitatif yaitu penelitian tanpa
menggunakan angka/tabel tetapi merupakan suatu uraian atau penjelasan dari
permasalahan. Setelah seluruh bahan hukum yang dibutuhkan terkumpul, maka
akan dianalisis dengan menggunakan argumentasi hukum berdasarkan logika
hukum deduktif-induktif dan penyajian secara deskriptif dengan jalan menyusun
secara sistematis sehingga diperoleh suatu kesimpulan yang ilmiah.
42
Amirudin dan Zainal, 2004, Pengantar Metodelogi Penelitian Hukum, Raja Grafindo
Persadan, Jakarta, h. 31