Page 1
STATUS MEDIS PASIEN
I. IDENTITAS
Nama : An. F
Umur : 2 tahun 4 bulan
Jenis Kelamin : Perempuan
• Alamat : Jln. Rawa Kalong, Karang Ampel, Bekasi
Tanggal masuk RS : 29 Mei 2010
Anak ke- : 1
Orang tua/wali :
Ayah
o Nama : Tn. M
o Umur : 30 tahun
o Pekerjaan : PNS
o Pendidikan : SMA
o Penghasilan : ± Rp.1.200.000,- / bulan
Ibu
o Nama : Ny. S
o Umur : 28 tahun
o Pekerjaan : Ibu rumah tangga
o Pendidikan : SMA
o Penghasilan : -
Hubungan dengan orang tua : Anak
Suku bangsa : Jawa
II. ANAMNESIS
Anamnesis dilakukan secara alloanamnesis dengan ibu kandung pasien pada tanggal
31 Mei 2010.
Keluhan Utama : bengkak pada kelopak mata kanan dan kiri sejak 1 minggu
SMRS.
Keluhan Tambahan : panas, mual, nyeri perut, perut kembung dan mencret sejak 3
hari SMRS.
1
Page 2
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poliklinik anak dengan keluhan bengkak pada kelopak mata kanan
dan kiri sejak 1 minggu SMRS. Menurut ibu pasien, bengkak dirasakan di kedua mata
setiap bangun tidur. 2 hari SMRS ibu pasien mengatakan kedua kelopak mata pasien
bengkak sejak 2 hari yang lalu setiap pasien bangun tidur, bengkak kemudian timbul
di tangan kanan dan kiri, perut dan kaki kanan dan kiri. Bengkak pada tangan dan kaki
mulai timbul saat siang hari ketika pasien sudah aktif bergerak atau dalam keadaan
tidak berbaring. Ibu pasien juga mengatakan, pasien mengeluh mual, panas, nyeri di
perut dan mencret sejak 3 hari SMRS. Mencret sebanyak 2-3 kali sehari,berupa
ampas,BAK warna kuning agak keruh dan darah ( - ). Muntah tidak ada. Sebelumnya
pasien sudah pernah dirawat di RSUD bekasi 4 bulan yang lalu dengan sakit yang
sama.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Pasien pernah dirawat di RSUD Bekasi 4 bulan yang lalu karena sakit di ginjalnya.
Riwayat Kelahiran/Kehamilan :
Selama kehamilan, ibu pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan dan jamu-
jamuan. Usia kehamilan 37 minggu. Proses kelahiran ditolong oleh bidan, spontan,
langsung menangis dan tidak ada kelainan bawaan. Berat lahir 3200 gram dan panjang
lahir 48 cm.
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan gigi I : 7 bulan
Psikomotor :
Tengkurap : 4 bulan
Duduk : 6 bulan
Berdiri : 9 bulan
Berjalan : 13 bulan
Bicara : 14 bulan
Kesan : riwayat pertumbuhan dan perkembangan baik sampai pasien
berusia 2 tahun saat ini.
2
Page 3
Riwayat Imunisasi :
Jenis Imunisasi Umur Pemberian (bulan)
BCG 2
DPT 2, 4, 6
Polio 0, 2, 4, 6
Campak 9
Hepatitis B 0, 1, 5
Kesan : Riwayat imunisasi anak lengkap
Riwayat Pemberian Makanan :
Usia 0-4 bulan : ASI.
Usia 4-6 bulan : ASI, bubur susu, biskuit dan buah.
Usia 6-8 bulan : ASI, susu formula, bubur susu/biskuit, buah, nasi tim.
Usia 8-10 bulan : ASI, susu formula, biskuit, buah, nasi tim.
Usia 10-12 bulan: ASI, susu formula, biskuit, buah, nasi tim.
Kesan : Kualitas dan kuantitas makanan baik.
Riwayat perumahan dan Sanitasi :
Pasien tinggal bersama kedua orang tua di rumah sendiri. Sanitasi dan ventilasi
kurang. Sinar matahari cukup. Penerangan dan sumber air bersih ada. Sumber air
berasal dari air tanah. Pasien tempat tinggalnya di dekat jalanan.
Riwayat Penyakit Keluarga :
Tidak ada anggota keluarga pasien yang menderita sakit seperti pasien.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan umum : sakit sedang
Kesadaran : compos mentis
Frekuensi nadi : 110 x/menit
Tekanan darah : 110/70 mmHg
Suhu tubuh : 37,8 0C
Pernafasan : 30 x/menit
Berat badan : 11,6 kg
Status gizi : cukup
3
Page 4
KEPALA1. Bentuk : Normocephali2. Wajah : Ekspresi wajar, simetris.3. Rambut : Hitam, distribusi normal merata.
MATA1. Alis mata : Hitam, distribusi normal2. Bulu mata : Lentik, panjang, hitam, distribusi normal3. Kelopak mata : Oedem +/+4. Conjunctiva : Anemis (-)/(-)5. Sklera : Ikterik (-)/(-)6. Pupil : Bulat, isokor, RCL(+)/(+), RCTL (+)/(+)
TELINGA1. Daun telinga : bentuk normal.2. Sekret : (-)3. Membran tympani : Sulit dilihat.
HIDUNG1. Bentuk : normal2. Septum nasi : tidak tampak deviasi3. Sekret : tidak ada4. Pernafasan cuping hidung : tidak ada5. Epistaxis : (-)
MULUT1. Bibir : tidak kering, asianotik.2. Lidah : kotor (-), tremor (-).3. Gigi dan gusi : Caries (-), Gusi sehat.
LEHER1. Bentuk : simetris, normal2. Trachea : lurus di tengah
THORAKS
Paru
Inspeksi : bentuk simetris dalam keadaan statis dan dinamis
Palpasi : vokal fremitus sama kanan dan kiri
Perkusi : sonor
Auskultasi : suara nafas vesikuler, ronchi -/-, wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : teraba di ICS V midclavikularis sinistra
4
Page 5
Perkusi : Jantung dalam batas normal
Auskultasi : S1S2 reguler, murmur (-), gallop (-)
ABDOMEN
Buncit, tampak tegang, nyeri tekan (-), timpani, shifting dullness (+), bising usus( +)
normal.
EKSTREMITAS
Atas : akral hangat, oedem -/-, sianosis -/-
Bawah : akral hangat, pitting oedem -/-, sianosis -/-
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium Tanggal 27 Mei 2010URINE LENGKAP
Hasil Normal Satuan
Warna Kuning keruhBerat jenis 1.025 1.005 – 1.030Ph 6 5 – 8Albumin +3 NegatifGlukosa Negatif NegatifKeton Negatif NegatifBilirubin Negatif NegatifDarah samar + 2 NegatifNitrit Negatif NegatifUrobilinogen 0.2 0.1- 1.0 SedimenLeukosit 0 – 5 < 5Eritrosit 8-10 <2 /LPBSilinder Granula +1 /LPBEpitel Gepeng +1 - /LPBBakteri Negatif -Kristal - -
Hasil laboratorium tgl 30 Mei 2010
HEMATOLOGI & HEMOSTASIS
Hasil Normal Satuan
Hemoglobin 13,9 11-16 g/dLLeukosit 15,5 5-10 ribu/ULHematokrit 41,5 40-48 %Eritrosit 4,98 4.5 – 5.5 Jt/ULMCV 83,3 82 – 93 fLMCH 27,9 27 – 31 PgMCHC 33,5 32 – 36 g/dL
5
Page 6
HITUNG JENISBasofil 0 0 – 1Eosinofil 0 1 – 3Batang 3 2 – 6Segmen 40 50 – 70Limfosit 53 20 – 40Monosit 4 2 – 8LED 102 < 10 mm/jamTrombosit 458 150-400 ribu/ULFaal hatiProtein total 3,47 6,6-8 g/dlAlbumin 1,25 3,5-4,5 g/dlGlobulin 2,22 1,5-3 g/dlLemak
Kolesterol total 629 <200 Mg/dl
Hasil Lab tgl 30 Mei 2010
URINE LENGKAP
Hasil Normal Satuan
Warna Kuning jernihBerat jenis 1.015 1.005 – 1.030pH 7 5 – 8Albumin +3 NegatifDarah samar + 2 NegatifSedimenLeukosit 0-2 < 5Eritrosit 10-15 <2 /LPBEpitel Gepeng +1
Bulat +1/LPB
Bakteri -Kristal + 1
V. RESUME
Pasien seorang anak laki-laki umur 2 tahun datang dengan keluhan bengkak di
kelopak mata kanan dan kiri sejak 1 minggu SMRS. Awalnya bengkak dirasakan
pasien di kedua mata setiap bangun tidur. Bengkak kemudian timbul di tangan, perut ,
dan kaki. Pasien juga mengeluh mual,panas, sesak, nyeri perut dan mencret sejak 3
hari SMRS. BAK warna kuning agak keruh dan darah ( - ).
Pada pemeriksaan fisik ditemukan Nadi 110 x/menit regular,RR 30x/menit,
Suhu 37,8oC, BB 11,6 kg, pada mata ditemukan edema palpebra, pada abdomen
6
Page 7
tampak buncit, tegang, shifting dullness + dan pada ekstremitas atas dan bawah tidak
ditemukan oedema. Pasien sebelumnya sudah pernah dirawat di RSUD Bekasi 4
bulan yang lalu dengan sakit yang sama. Pada hasil laboratorium ditemukan LED 102,
Leukosit 15.500 /ul, segment 40%, Ht 41,5%, Trombosit 458 rb/ul, protein total 3,47
g/dl, albumin 1,25 g/dl, cholesterol total 629 mg/dl, pada urine ditemukan warna
kuning keruh, albumin +3, darah samar +2, leukosit 0-5, eritrosit 8-10.
VI. DIAGNOSIS- Sindrome Nefrotik
VII.DIAGNOSA BANDING - GNA
VIII. PENATALAKSANAAN
Non medika mentosa :
Pembatasan cairan
Diit rendah garam
Diit : Makanan Lunak
Medika mentosa:
o Amoxicillin 3x 200mgo PCT 3 x ½o Lasix 2 x 10 mgo Aspar K 2x 1/3 tabo Prednison 2-1-1 tabo Albumin 25 %/ 50cc (3jam)
IX. PROGNOSISAd Vitam : DubiaAd Fungsionam : DubiaAd Senationam : Dubia
I. ANALISA KASUS
7
Page 8
A. Pada pasien ini ditegakkan diagnosa Sindrom Nefrotik, karena dari hasil
I. Anamnesa: Pasien datang dengan keluhan utama muka bengkak terutama pada
mata pada saat bangun tidur pagi, tangan, kaki serta perut sejak 1 minggu
SMRS, BAK warna kuning agak keruh, darah (-).
II. Pemeriksaan fisik:
Suhu 37,8 0C
Mata : oedema palpebra (+),Abdomen : shifting dullness (+), ekstremitas : kaki kanan dan kiri :oedem (pitting oedem),tangan kanan dan kiri : oedem.
III. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium : darah : Albumin : 1,25 u/l (↓)
Globulin : 2,22 gr/dl
Kolesterol total : 629 mg/dl (↑↑)
Urine :
Agak keruh, albumin : +3, darah samar : +2, eritrosit : 8-10/lpb.
B. Pada pasien ini mendapat terapi :
Amoxicillin 3 x 200mg; karena hasil laboratorium darahnya leukosit :23,1
gr/ul ( ↑), urine :leukosit: 4-8 (↑), bakteri +2.
Prednison 2-1-1 tablet diberikan sebagai anti inflamasi karena Sindrom
Nefrotik merupakan penyakit autoimun dimana terjadi proses antigen
antibodi. Pada perjalanan penyakitnya, setelah pemberian prednison
selama 3 hari didapatkan oedem yang makin berkurang.
Paracetamol diberikan karena pasien ada demam.
Lasix 2 x 30 mg diberikan pada pasien untuk menghilangkan oedemnya.
Aspar K 2 x 1/3 tablet diberikan pasien untuk koreksi kehilangan kalium
akibat pemberian diuretic ( Lasix ).
SINDROM NEFROTIK
8
Page 9
SEJARAH
Pada tahun 1905 Friedrich Muller menggunakan istilah nefrosis untuk
membedakan degenerasi lemak tubulus dengan glomerulus normal daripada nefritis
yang menunjukkan kelainan inflamasi glomerulus. Namun istilah nefrosis sekarang
tidak dipakai lagi. Tahun 1913 Munk melaporkan adanya butir-butir lipoid (Lipoid
droplets) dalam sedimen urin pasien dengan “nefritis parenkimatosa kronik”.
Kelainan ini ditemukan terutama atas dasar adanya lues dan diberikan istilah nefrosis
lipoid. Istilah sindrom nefrotik (SN) kemudian digunakan untuk menggantikan istilah
terdahulu yang menunjukkan suatu keadaan klinik dan laboratorik tanpa menunjukkan
satu penyakit yang mendasari.
DEFINISI
Sindrom nefrotik adalah sindrom klinis dengan gejala :
1. Proteinuria masif (≥40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada
urin sewaktu >2mg/mg atau ≥2+)
2. Hipoalbuminemia ≤2.5 g/dl
3. Edema
4. Hiperkolesterolemia (>250 mg/dL)
Walaupun jarang, SN sering disertai dengan hematuria, hipertensi, dan
penurunan fungsi ginjal.
Remisi adalah proteinuria negatif atau trace 3 hari berturut-turut dalam satu minggu.
Relaps adalah timbulnya proteinuria kembali (≥40 mg/m2 LPB/jam atau ≥2+) 3 hari
berturut-turut dalam satu minggu.
Relaps jarang adalah relaps terjadi <2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal
atau < 4 kali dalam satu tahun.
Relaps sering adalah relaps terjadi ≥2 kali dalam 6 bulan pertama setelah respon awal
atau ≥ 4 kali dalam satu tahun.
Dependen steroid adalah SN yang mengalami relaps ketika dosis steroid diturunkan
atau dalam 14 hari setelah pengobatan dihentikan dan hal ini terjadi 2 kali berturut-
turut
Resisten steroid adalah SN yang tidak mengalami remisi dengan prednison dosis
penuh (full dose) 2 mg/kgBB/hr selama 4 minggu
EPIDEMIOLOGI
9
Page 10
Sindrom nefrotik yang tidak menyertai penyakit sistemik disebut sindrom
nefrotik primer. Penyakit ini ditemukan 90% pada kasus anak. Apabila penyakit ini
timbul sebagai bagian daripada penyakit sistemik atau berhubungan dengan obat atau
toksin maka disebut sindrom nefrotik sekunder. Insidens penyakit sindrom nefrotik
primer ini 2 kasus per-tahun tiap 100.000 anak berumur kurang dari 16 tahun, dengan
angka prevalensi kumulatif 16 tiap 100.000 anak. Insidens di Indonesia diperkirakan 6
kasus per-tahun tiap 100.000 anak kurang dari 14 tahun. Rasio antara lelaki dan
perempuan pada anak sekitar 2:1. Laporan dari luar negeri menunjukkan duapertiga
kasus anak dengan SN dijumpai pada umur kurang dari 5 tahun.
Pada penelitian di Jakarta di antara 364 pasien SN yang dibiopsi 44,2%
menunjukkan KM. Kelompok responsif steroid sebagian besar terdiri atas anak-anak
dengan sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
ETIOLOGI
Sindom nefrotik pada anak sebagian besar disebabkan oleh SN primer
(idiopatik): Sindrom Nefrotik Kelainan minimal (SNKM) dan Glomerulosklerosis
fokal segmental (GSFS). Penyebab-penyebab lain dari sindrom nefrotik dikategorikan
menjadi SN sekunder dan genetic disorders .
Genetic disorders Nephrotic-syndrome typical :Finnish-type congenital Nephrotic syndromeFSGSDiffuse mesangeal sclerosis Denys-Drash syndromeSchimke immuno-osseous dysplasia
Proteinuria with or without Nephrotic syndrom :Galloway-mowat syndromeCharcot-Marie tooth diseaseJeune’s syndrome Cockayne’s syndrome
Metabolic disorders with or without Nephrotic syndrom :Alagille syndromeα-1 antitrypsin defeciencyFabry diseaseGlutaric acidaemiaGycogen storage diseaseHurler’s syndromeLipoprotein disordersMithocondrial cytopathiesSickle-cell disease
10
Page 11
SN primerMCNSFSGSMembranous nephropathy
SN sekunderInfeksi Immunological disorders Hepatitis B,C Castleman’s diseaseHIV Kimura’s diseaseMalaria Food allergensSfilisToxoplasmosis
Obat Malignant diseasePenicilamine LymphomaGold LeukemiaAINSPamidronateInterferonMercuryHeroinLithium
Klasifikasi Histopatologis
Klasifikasi kelainan histopatologis pada SN yang digunakan sesuai dengan
rekomendasi Komisi Internasional (1982). Kelainan glomerulus ini sebagian besar
ditegakkan dengan pemeriksaan mikroskop cahaya, ditambah dengan pemeriksaan
mikroskop elektron dan imunofluoresensi. Pada tabel di bawah ini dipakai
istilah/terminologi yang sesuai dengan laporan ISKDC (1970) dan Habib dan
Kleinknecht (1971).
Tabel Klasifikasi Kelainan Glomerulus Pada SN Primer
Kelainan minimal (KM)
Glomerulosklerosis (GS)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Glomerulosklerosis fokal global (GSFG)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus (GNPMD)
Glomerulonefritis proliferatif mesangial difus eksudatif
Glomerulonefritis kresentik (GNK)
Glomerulonefritis membrano-proliferatif (GNMP)
11
Page 12
GNMP tipe I dengan deposit subendotelial
GNMP tipe II dengan deposit intramembran
GNMP tipe III dengan deposit transmembran/subepitelial
Glomerulopati membranosa (GM)
Glomerulonefritis kronik lanjut (GNKL)
Sindrom nefrotik yang terjadi sebelum bayi berumur 3 bulan disebut sindrom
nefrotik kongenital (SNK), sedang SN yang menunjukkan gejala dalam tahun pertama
kehidupan (3-12 bulan) disebut sindrom nefrotik infantil (SNI). SNK adalah sindrom
nefrotik yang terdapat pada bayi pada saat lahir ataupun sebelum lahir. Namun gejala
proteinuria berat, edema dan hipoalbuminemia ditemukan beberapa minggu atau
bahkan beberapa bulan kemudian. Klasifikasi SN dengan awitan dini haruslah
memenuhi beberapa kriteria, termasuk riwayat keluarga, perjalanan penyakit,
pemeriksaan laboratorium dan histopatologi ginjal. Klasifikasi sindrom nefrotik
kongenital dan infantil.
Tabel Klasifikasi SN Kongenital dan Infantil
Idiopatik
Sindrom nefrotik kongenital tipe Finlandia
Sklerosis mesangial difus
Kelainan glomerulus lainnya
Sekunder
Sifilis kongenital
Infeksi perinatal lainnya
Intoksikasi merkuri
Sindromatik
Sindrom Drash
Sindrom malformasi lainnya
PATOFISIOLOGIProteinuria
12
Page 13
Proteinuria umumnya diterima sebagai kelainan utama pada SN, sedangkan
gejala klinis lainnya dianggap sebagai manifestasi sekunder. Proteinuria dinyatakan
“berat” untuk membedakan dengan proteinuria yang lebih ringan pada pasien yang
bukan sindrom nefrotik. Ekskresi protein sama atau lebih besar dari 40 mg/jam/m2
luas permukaan badan, dianggap proteinuria berat.
Selektivitas protein
Jenis protein yang keluar pada sindrom nefrotik bervariasi bergantung pada
kelainan dasar glomerulus. Pada SNKM protein yang keluar hampir seluruhnya terdiri
atas albumin dan disebut sebagai proteinuria selektif. Pada SN dengan kelainan
glomerulus yang lain, keluarnya protein terdiri atas campuran albumin dan protein
dengan berat molekul besar, dan jenis proteinuria ini disebut proteinuria non selektif.
Derajat selektivitas proteinuria dapat ditetapkan secara sederhana dengan membagi
rasio IgG urin terhadap plasma (BM 150.000) dengan rasio urin plasma transferin
(BM 88.000). Rasio yang kurang dari 0,2 menunjukkan adanya proteinuria selektif.
Pasien SN dengan rasio rendah umumnya berkaitan dengan KM dan responsif
terhadap steroid. Namun karena selektivitas protein pada SN sangat bervariasi maka
agak sulit untuk membedakan jenis KM dan BKM (Bukan kelainan minimal) dengan
pemeriksaan ini sehingga pemeriksaan ini dianggap tidak efisien.
Perubahan pada filter kapiler glomerulus
Umumnya karakteristik perubahan permeabilitas membran basal tergantung
pada tipe kelainan glomerulus pada SN. Pada SNKM terdapat penurunan klirens
protein netral dengan semua berat molekul, namun terdapat peningkatan klirens
protein bermuatan negatif seperti albumin. Keadaan ini menunjukkan bahwa kelainan
utama pada SNKM ini ialah hilangnya sawar muatan negatif selektif. Namun pada SN
dengan glomerulonefritis proliferatif klirens molekul kecil menurun dan yang
bermolekul besar meningkat. Keadaaan ini menunjukkan bahwa di samping hilangnya
sawar muatan negatif juga terdapat perubahan pada sawar ukuran celah pori atau
kelainan pada kedua-duanya.
Proteoglikan sulfat heparan yang menimbulkan muatan negatif pada lamina
rara interna dan eksterna merupakan sawar utama penghambat keluarnya molekul
muatan negatif, seperti albumin. Dihilangkannya proteoglikan sulfat heparan dengan
heparitinase mengakibatkan timbulnya albuminuria.
13
Page 14
Di samping itu sialoprotein glomerulus yaitu suatu polianion yang terdapat
pada tonjolan kaki (foot procesus) sel epitel, tampaknya berperan sebagai muatan
negatif di daerah ini yang penting untuk mengatur sel viseral epitel dan pemisahan
tonjolan-tonjolan kaki sel epitel. Suatu protein dengan berat molekul 140.000 dalton,
yang disebut podocalyxin rupanya mengandung asam sialat ditemukan terbanyak pada
daerah ini. Sialoprotein menurun ditemukan pada berbagai kelainan glomerulus
termasuk kelainan pada model eksperimental nefrosis aminonukleosid. Pada SNKM,
kandungan sialoprotein kembali normal sebagai respons pengobatan steroid yang
menyebabkan hilangnya proteinuria.
Hipoalbuminemia
Jumlah albumin di dalam badan ditentukan oleh masukan dari sintesis hepar
dan pengeluaran akibat degradasi metabolik, ekskresi renal dan gastrointestinal.
Dalam keadaan seimbang, laju sintesis albumin, degradasi dan hilangnya dari badan
adalah seimbang. Pada anak dengan SN terdapat hubungan terbalik antara laju
ekskresi protein urin dan derajat hipoalbuminemia. Namun keadaan ini tidak
merupakan korelasi yang ketat, terutama pada anak dengan proteinuria yang menetap
lama dan tidak responsif steroid, albumin serumnya dapat kembali normal atau
hampir normal dengan atau tanpa perubahan pada laju ekskresi protein. Laju sintesis
albumin pada SN dalam keadaan seimbang ternyata tidak menurun, bahkan meningkat
atau normal. Satu penelitian pada anak ditemukan kenaikan laju sintesis dua kali pada
SN (dan pada anak dengan hipoalbuminemia dengan penyebab non hepatik lainnya)
menunjukkan bahwa kapasitas meningkatkan sintesis hati terhadap albumin tidak
cukup untuk mengkompensasi laju kehilangan albumin yang abnormal.
Jumlah albumin absolut yang didegradasi masih normal atau di bawah normal,
walaupun apabila dinyatakan terhadap pool albumin intravaskular secara relatif, maka
katabolisme pool fraksional yang menurun ini sebetulnya meningkat. Meningkatnya
katabolisme albumin di tubulus renal dan menurunnya katabolisme ekstrarenal dapat
menyebabkan keadaan laju katabolisme absolut yang normal atau menurun. Jadi pada
keadaan hipoalbuminemia yang menetap, konsentrasi albumin plasma yang rendah
tampaknya disebabkan oleh meningkatnya ekskresi albumin dalam urin dan
meningkatnya katabolisme fraksi pool albumin (terutama disebabkan karena
meningkatnya degradasi di dalam tubulus renal) yang melampaui daya sintesis hati.
Gangguan protein lainnya di dalam plasma adalah menurunnya α globulin, α-1
14
Page 15
globulin (normal atau rendah), dan α-2 globulin, β globulin dan fibrinogen meningkat
secara relatif atau absolut. Meningkatnya α-2 globulin disebabkan oleh retensi selektif
protein berberat molekul tinggi oleh ginjal dengan adanya laju sintesis yang normal.
Pada beberapa pasien, terutama mereka dengan SNKM, IgM dapat meningkat dan
IgG menurun.
Kelainan metabolisme lipid
Pada pasien SN primer timbul hiperkolesterolemia dan hiperlipidemia dan
kenaikan ini tampak lebih nyata pada pasien dengan KM. Umumnya terdapat korelasi
terbalik antara konsentrasi albumin serum dan kolesterol. Kadar trigliserid lebih
bervariasi dan bahkan dapat normal pada pasien dengan hipoalbuminemia ringan.
Pada pasien dengan analbuminemia kongenital dapat juga timbul hiperlipidemia yang
menunjukkan bahwa kelainan lipid ini tidak hanya disebabkan oleh penyakit ginjalnya
sendiri. Pada pasien SN konsentrasi lipoprotein densitas sangat rendah (VLDL) dan
lipoprotein densitas rendah (LDL) meningkat, dan kadang-kadang sangat mencolok.
Lipoprotein densitas tinggi (HDL) umumnya normal atau meningkat pada anak-anak
dengan SN walaupun rasio kolesterol-HDL terhadap kolesterol total tetap rendah.
Seperti pada hipoalbuminemia, hiperlipidemia dapat disebabkan oleh sintesis yang
meningkat atau karena degradasi yang menurun. Bukti menunjukkan bahwa keduanya
abnormal. Meningkatnya produksi lipoprotein di hati, diikuti dengan meningkatnya
sintesis albumin dan sekunder terhadap lipoprotein, melalui jalur yang berdekatan.
Namun meningkatnya kadar lipid dapat pula terjadi pada laju sintesis albumin yang
normal. Menurunnya degradasi ini rupanya berpengaruh terhadap hiperlipidemia
karena menurunnya aktivitas lipase lipoprotein. Menurunnya aktivitas ini mungkin
sekunder akibat hilangnya α-glikoprotein asam sebagai perangsang lipase. Apabila
albumin serum kembali normal, baik secara spontan ataupun dengan pemberian infus
albumin, maka umumnya kelainan lipid ini menjadi normal kembali. Gejala ini
mungkin akibat tekanan onkotik albumin serumnya, karena efek yang sama dapat
ditimbulkan dengan pemberian infus polivinilpirolidon tanpa mengubah keadaan
hipoalbuminemianya. Pada beberapa pasien, HDL tetap meningkat walaupun terjadi
remisi pada SN-nya pada pasien lain VLDL dan LDL tetap meningkat pada SN relaps
frekuen yang menetap bahkan selama remisi. Lipid dapat juga ditemukan di dalam
urin dalam bentuk titik lemak oval dan maltese cross. Titik lemak itu merupakan
tetesan lipid di dalam sel tubulus yang berdegenerasi. Maltese cross tersebut adalah
15
Page 16
ester kolesterol yang berbentuk bulat dengan palang di tengah apabila dilihat dengan
cahaya polarisasi.
Edema
Keterangan klinik pembentukan edema pada sindrom nefrotik sudah dianggap
jelas dan secara fisiologik memuaskan, namun beberapa data menunjukkan bahwa
mekanisme hipotesis ini tidak dapat memberikan penjelasan yang lengkap. Teori
klasik mengenai pembentukan edema ini (underfilled theory) adalah menurunnya
tekanan onkotik intravaskular yang menyebabkan cairan merembes ke ruang
interstitial. Dengan meningkatnya permeabilitas kapiler glomerulus, albumin keluar
menimbulkan albuminuria dan hipoalbuminemia (lihat gambar 16-1).
Hipoalbuminemia menyebabkan menurunnya tekanan onkotik koloid plasma
intravaskular. Keadaan ini menyebabkan meningkatnya cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstitial yang menyebabkan
terbentuknya edema.
Kelainan glomerulus
Albuminuria
Hipoalbuminemia
Tekanan onkotik koloid plasma ↓
Volume plasma ↑
Retensi Na renal sekunder ↑
Edema
Sebagai akibat pergeseran cairan ini volume plasma total dan volume darah
arteri dalam peredaran menurun dibanding dengan volume sirkulasi efektif.
Menurunnya volume plasma atau volume sirkulasi efektif merupakan stimulasi
timbulnya retensi air dan natrium renal. Retensi natrium dan air ini timbul sebagai
usaha badan untuk menjaga volume dan tekanan intravaskular agar tetap normal dan
dapat dianggap sebagai peristiwa kompensasi sekunder. Retensi cairan, yang secara
terus-menerus menjaga volume plasma, selanjutnya akan mengencerkan protein
plasma dan dengan demikian menurunkan tekanan onkotik plasma dan akhirnya
16
Page 17
mempercepat gerak cairan masuk ke ruang interstitial. Keadaan ini jelas memperberat
edema sampai terdapat keseimbangan hingga edema stabil.
Dengan teori underfilled ini diduga terjadi kenaikan kadar renin plasma dan
aldosteron sekunder terhadap adanya hipovolemia. Hal ini tidak ditemukan pada
semua pasien dengan SN. Beberapa pasien SN menunjukkan meningkatnya volume
plasma dengan tertekannya aktivitas renin plasma dan kadar aldosteron, sehingga
timbul konsep teori overfilled. Menurut teori ini retensi natrium renal dan air terjadi
karena mekanisme intrarenal primer dan tidak bergantung pada stimulasi sistemik
perifer. Retensi natrium renal primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan
cairan ekstraselular. Pembentukan edema terjadi sebagai akibat overfilling cairan ke
dalam ruang interstitial. Teori overfilled ini dapat menerangkan adanya volume
plasma yang tinggi dengan kadar renin plasma dan aldosteron menurun sekunder
terhadap hipovolemia.
Kelainan glomerulus
Retensi Na renal primer
Albuminuria
Volume plasma ↑ Hipoalbuminemia
Edema
Meltzer dkk mengusulkan 2 bentuk patofisiologi SN, yaitu tipe nefrotik dan
tipe nefritik. Tipe nefrotik ditandai dengan volume plasma rendah dan vasokonstriksi
perifer dengan kadar renin plasma dan aldosteron yang tinggi. Laju filtrasi glomerulus
(LFG) masih baik dengan kadar albumin yang rendah dan biasanya terdapat pada
SNKM. Karakteristik patofisiologis kelompok ini sesuai dengan teori tradisional
underfilled yaitu retensi natrium dan air merupakan fenomena sekunder. Di pihak lain,
kelompok kedua atau tipe nefritik, ditandai dengan volume plasma tinggi, tekanan
darah tinggi dan kadar renin plasma dan aldosteron rendah yang meningkat sesudah
persediaan natrium habis. Kelompok kedua ini dijumpai pada glomerulonefritis
kronik dengan LFG yang relatif rendah dan albumin plasma lebih tinggi dari
kelompok pertama. Karakteristik patofisiologi kelompok kedua ini sesuai dengan teori
17
Page 18
overfilled pada SN dengan retensi air dan natrium yang merupakan fenomena primer
intrarenal.
Pembentukan edema pada SN merupakan suatu proses yang dinamis dan
mungkin saja kedua proses underfilled dan overfilled berlangsung bersamaan atau
pada waktu berlainan pada individu yang sama, karena patogenesis penyakit
glomerulus mungkin suatu kombinasi rangsangan yang lebih dari satu dan ini dapat
menimbulkan gambaran nefrotik dan nefritis. Akibat mengecilnya volume
intravaskular akan merangsang keluarnya renin dan menimbulkan rangsangan
nonosmotik untuk keluarnya hormon antidiuretik. Dengan meningkatnya produksi
renin terjadi rentetan aktivasi sistem renin angiotensin aldosteron. Akibat akhir ialah
terjadinya retensi natrium dan air dengan keluarnya volume urin yang sedikit dan
pekat dengan sedikit natrium. Berkaitan dengan teori ini masih merupakan teka-teki
bahwa pada pasien analbuminemia kongenital terdapat sedikit atau tanpa edema dan
umumnya diagnosis tidak dibuat sampai anak menjadi dewasa.
Terjadinya edema pada pasien-pasien ini rupanya dapat dicegah dengan
menurunkan tekanan hidrostatik kapiler yang bersamaan. Hal ini menimbulkan
pertanyaan kenapa tidak terjadi mekanisme kompensasi yang sama pada SN? Apabila
volume plasma pada pasien diukur ternyata tidak menurun semua. Meltzer dkk
melaporkan pada dua kelompok pasien dewasa, yang pada satu kelompok keadaannya
sesuai dengan teori klasik dengan SNKM, hipovolemia, konsentrasi plasma renin dan
aldosteron tinggi dan responsif steroid. Kelompok kedua, volume darah meningkat
dengan renin dan aldosteron rendah dan pasien ini resisten steroid dengan kelainan
BKM. Penelitian lain memperkuat edema nefrotik dengan volume plasma renin dan
aldosteron yang meningkat normal atau rendah. Apabila diteliti selama retensi natrium
dan peningkatan berat badan yang progresif maka banyak pasien mempunyai
konsentrasi renin dan aldosteron yang normal atau rendah menunjukkan bahwa retensi
natrium tidak bergantung pada rangsangan sistem renin angiotensin aldosteron.
Bahkan pada mereka dengan renin dan aldosteron yang tinggi reabsorpsi natrium terus
berlangsung walaupun dilakukan supresi renin baik dengan infus albumin atau
kaptopril. Bila reabsorpsi natrium pada tubulus proksimal menurun maka seharusnya
retensi natrium terjadi pada nefron distal. Observasi ini menyokong observasi klinik
yang menunjukkan bahwa retensi natrium pada SN disebabkan oleh faktor-faktor
intrarenal.
18
Page 19
Karena pasien dengan hipovolemia disertai renin dan aldosteron yang tinggi
umumnya menderita penyakit SNKM dan responsif steroid, sedangkan mereka
dengan volume darah normal atau meningkat disertai renin dan aldosteron rendah
umumnya menderita kelainan BKM dan tidak responsif steroid, maka pemeriksaan
renin dapat merupakan petanda yang berguna untuk menilai seorang anak dengan SN
responsif terhadap steroid atau tidak di samping adanya SNKM. Namun derajat
tumpang tindihnya terlalu besar, sehingga sukar untuk membedakan pasien antara
kedua kelompok histologis tersebut atas dasar pemeriksaan renin. Peran peptida
natriuretik atrial (ANP) dalam pembentukan edema dan diuresis masih belum pasti.
Anak-anak dengan SN responsif steroid dalam keadaan relaps dilaporkan mempunyai
konsentrasi ANP yang tidak berbeda dengan kontrol. Namun, dengan pemberian infus
albumin atau imersi air untuk ekspansi volume intravaskular akan terjadi diuresis
yang diikuti dengan peningkatan ANP sebanyak lima kali, yang menunjukkan bahwa
ANP berperan pada diuresis sesudah ekspansi volume.
GEJALA KLINIS
Di masa lalu orang tua menganggap penyakit SN ini adalah edema. Nafsu
makan yang kurang, mudah terangsang, adanya gangguan gastrointestinal dan sering
terkena infeksi berat merupakan keadaan yang sangat erat hubungannya dengan
beratnya edema, sehingga dianggap gejala-gejala ini sebagai akibat edema. Namun
dengan pengobatan kortikosteroid telah mengubah perjalanan klinik SN secara drastis
dan dapat dikatakan bahwa baik oleh anak, orang tua atau dokter SN bukan lagi
merupakan masalah edema, tapi masalah salah satu efek samping obat terutama bagi
anak-anak yang tidak responsif terhadap pengobatan steroid. Dilaporkan kira-kira
80% anak dengan SN menderita SNKM, dan lebih dari 90% anak-anak ini bebas
edema dan proteinuria dalam 4 minggu sesudah pengobatan awal dengan
kortikosteroid.
Walaupun proteinuria kambuh pada hampir 2/3 kasus, kambuhnya edema
dapat dicegah pada umumnya dengan pengobatan segera. Namun edema persisten
dengan komplikasi yang mengganggu merupakan masalah klinik utama bagi mereka
yang menjadi non responder dan pada mereka yang edemanya tidak dapat segera
diatasi. Kelompok ini hampir berjumlah ¼ dari semua pasien dengan SN primer.
Edema umumnya terlihat pada kedua kelopak mata. Edema minimal terlihat oleh
orang tua atau anak yang besar sebelum dokter melihat pasien untuk pertama kali dan
19
Page 20
memastikan kelainan ini. Edema dapat menetap atau bertambah, baik lambat atau
cepat atau dapat menghilang dan timbul kembali. Selama periode ini edema
periorbital sering disebabkan oleh cuaca dingin atau alergi. Lambat laun edema
menjad menyeluruh, yaitu ke pinggang, perut dan tungkai bawah sehingga penyakit
yang sebenarnya menjadi tambah nyata. Sebelum mencapai keadaan ini orang tua
sering mengeluh berat badan anak tidak mau naik, namun kemudian mendadak berat
badan bertambah dan terjadinya pertambahan ini tidak diikuti oleh nafsu makan yang
meningkat. Timbulnya edema pada anak dengan SN disebutkan bersifat perlahan-
lahan, tanpa menyebut jenis kelainan glomerulusnya. Tampaknya sekarang pola
timbulnya edema bervariasi pada pasien dengan berbagai kelainan glomerulus. Pada
anak dengan SNKM edema timbul secara lebih cepat dan progresif dalam beberapa
hari atau minggu dan lebih perlahan dan intermiten pada kelainan glomerulus jenis
lainnya, terutama pada GN membrano-proliferatif (GNMP). Edema berpindah dengan
perubahan posisi dan akan lebih jelas di kelopak mata dan muka sesudah tidur
sedangkan pada tungkai tampak selama dalam posisi berdiri. Edema pada anak pada
awal perjalanan penyakit SN umumnya dinyatakan sebagai lembek dan pitting. Pada
edema ringan dapat dirasakan pada pemakaian baju dan kaos kaki yang menyempit.
Kadang pada edema yang masif terjadi robekan pada kulit secara spontan dengan
keluarnya cairan. Pada keadaan ini, edema telah mengenai semua jaringan dan
menimbulkan asites, pembengkakan skrotum atau labia, bahkan efusi pleura. Muka
dan tungkai pada pasien ini mungkin bebas dari edema dan memperlihatkan jaringan
seperti malnutrisi sebagai tanda adanya menyeluruh sebelumnya.
Gangguan gastrointestinal
Gangguan ini sering ditemukan dalam perjalanan penyakit SN. Diare sering
dialami pasien dalam keadaan edema yang masif dan keadaan ini rupanya tidak
berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema di mukosa usus.
Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan sintesis
albumin yang meningkat, atau edema atau keduanya. Pada beberapa pasien, nyeri di
perut yang kadang-kadang berat, dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh.
Kemungkinan adanya abdomen akut atau peritonitis harus disingkirkan dengan
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lainnya. Bila komplikasi ini tidak ada,
kemungkinan penyebab nyeri tidak diketahui namun dapat disebabkan karena edema
dinding perut atau pembengkakan hati. Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah
20
Page 21
kuadran atas kanan abdomen. Nafsu makan kurang berhubungan erat dengan beratnya
edema yang diduga sebagai akibatnya. Anoreksia dan hilangnya protein di dalam urin
mengakibatkan malnutrisi berat yang kadang ditemukan pada pasien SN non-
responsif steroid dan persisten. Pada keadaan asites berat dapat terjadi hernia
umbilikalis dan prolaps ani.
Gangguan pernapasan
Oleh karena adanya distensi abdomen dengan atau tanpa efusi pleura maka
pernapasan sering terganggu, bahkan kadang-kadang menjadi gawat. Keadaan ini
dapat diatasi dengan pemberian infus albumin dan obat furosemid.
Gangguan fungsi psikososial
Keadaan ini sering ditemukan pada pasien SN, seperti halnya pada penyakit
berat umumnya yang merupakan stres nonspesifik terhadap anak yang sedang
berkembang dan keluarganya. Kecemasan dan merasa bersalah merupakan respons
emosional, tidak saja pada orang tua pasien, namun juga dialami oleh anak sendiri.
Perasaan-perasaan ini memerlukan diskusi, penjelasan dan kepastian untuk
mengatasinya. Kecemasan orang tua dan perawatan yang sering dan lama
menyebabkan anak berkembang menjadi berdikari dan bertanggung jawab terhadap
dirinya dan nasibnya. Perkembangan dunia sosial anak menjadi terbatas. Anak dengan
SN ini akhirnya menimbulkan beban pikiran karena akan membentuk pengertian dan
bayangan yang salah mengenai penyakitnya. Para dokter yang sadar akan masalah ini
dapat berbuat sesuatu untuk mencegahnya dan berusaha mendorong meningkatkan
perkembangan dan penyesuaian pasien dan keluarganya serta berusaha menolong
mengurangi cacat, kekhawatiran dan beban pikiran.
KOMPLIKASIKomplikasi pada SN dapat terjadi sebagai bagian dari penyakitnya sendiri atau
sebagai akibat pengobatan :
Infeksi
Kelainan koagulasi dan timbulnya trombosis
Perubahan hormon dan mineral
Pertumbuhan abnormal dan nutrisi
Peritonitis, anemia, gangguan tubulus renal
21
Page 22
PENGOBATAN
Pengobatan imunosupresif
Beberapa obat-obat imunosupresif seperti kortikosteroid, obat sitotoksik dan
siklosporin, dapat menimbulkan remisi proteinuria dan melindungi fungsi ginjal
paling tidak pada beberapa jenis glomerulonefritis primer.
Sindrom nefrotik kelainan minimal (SNKM)
SNKM merupakan kelompok yang terbesar meliputi 70-80% kasus dengan SN
pada anak. Menurut Brodehl ada 3 tujuan utama pengobatan pada KM adalah:
1. Membuat SN ini dalam keadaan remisi secepat mungkin untuk mencegah
komplikasi
2. Mencegah relaps, dan
3. Mencegah efek samping iatrogenik pada penyakit yang kambuh berulang
dalam waktu lama.
Kortikosteroid merupakan obat pilihan utama pengobatan awal SNKM.
Proteinuria menghilang 90% pada anak selama pengobatan 8 minggu dengan
prednison, dengan dosis 60 mg/m2/hari untuk 4 minggu, diikuti dengan 40 mg/m2/48
jam untuk 4 minggu berikutnya. Setengah dari pasien ini, remisinya terjadi dalam 4
minggu pertama dan kebanyakan pasien lainnya terjadi remisi dalam 4 minggu
berikutnya. Namun sayangnya banyak pasien kambuh sesudah remisi. Laju relaps
rupanya dipengaruhi oleh lamanya pengobatan awal. Kira-kira 80% anak relaps dalam
satu tahun apabila prednison diberikan untuk 4 minggu, 60% relaps sesudah
pengobatan 8 minggu, dan hanya 36% relaps apabila prednison diberikan selama 12
minggu. Pada anak lamanya pengobatan awal mempengaruhi risiko relaps. Untuk
mengurangi risiko relaps pengobatan awal harus diperpanjang. Di samping itu
prednison dosisnya diturunkan secara perlahan, tidak mendadak, untuk mencegah efek
rebound yang dapat menimbulkan relaps. Dianjurkan pemberian prednison dosis 60
mg/m2/hari sampai proteinuria hilang untuk 3 hari berturut-turut. Kemudian
pengobatan dilanjutkan dengan prednison selang sehari dengan dosis 40 mg/m2/48
jam untuk sekurang-kurangnya 12 minggu dengan penurunan prednison selanjutnya
dengan 5-10 mg/m2/48 jam tiap bulan.
Umumnya kebanyakan anak memberi respons dalam 4 minggu pertama,
namun pada beberapa pasien responsnya dapat tertunda. Jadi pemberian prednison
22
Page 23
diperpanjang untuk 8-12 minggu sebelum seorang anak dianggap resisten steroid.
Pengobatan baku ISKDC pada anak terdiri atas 60 mg/m2/hari (dengan maksimal 80
mg/hari) dan dosis ini diberikan sampai urin bebas protein tiga hari berturut-turut.
Kemudian prednison dapat diberikan selang sehari selama 4 minggu dengan dosis 40
mg/m2/48 jam. Pemberian prednison maksimum pada pasien yang tidak responsif dini
harus sama dengan episode pertama. Pasien dengan relaps dua kali atau lebih dalam 6
bulan sesudah episode pertama atau empat kali atau lebih dalam 12 bulan disebut
relaps frekuen. Pasien yang relaps dalam 14 hari sesudah steroid dihentikan atau
relaps bila dosis dikurangi disebut dependen steroid. Pengobatan terhadap pasien ini
susah karena pengobatan steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping,
seperti hipertensi, kelainan psikiatris, osteoporosis, obesitas, diabetes, muka
cusingoid, infeksi, retardasi pertumbuhan dan lain-lain. Siklofosfamid atau
klorambusil dapat mengurangi frekuensi relaps pada pasien ini secara bermakna. Hasil
pengobatan sitostatik jelas bergantung pada lama pengobatan. Barrat dkk
membandingkan efek pengobatan siklofosfamid selama 2 minggu dan 8 minggu pada
pasien SN sensitif steroid yang sering relaps dan menyimpulkan bahwa pengobatan
jangka lama ternyata lebih efektif.
Rance dkk melaporkan 27% angka remisi selama setahun terhadap anak yang
diberikan siklofosfamid kurang dari 6 minggu, sedangkan 66% pasien masih dalam
remisi apabila pengobatan diperpanjang sampai 12 minggu. Di sisi lain, apabila
pengobatan diberikan terlalu pendek kurang bermanfaat, sedangkan pemberian
alkylating jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya efek samping. Untuk
mencegah efek samping yang berat pada SNKM, maka banyak dokter di klinik
memberikan siklofosfamid atau klorambusil untuk tidak lebih dari 8 minggu. Dengan
cara pengobatan ini hampir 70% pasien relaps frekuen tetap remisi, namun
kebanyakan pasien dependen steroid cepat relaps sesudah pengobatan dihentikan.
Namun apabila siklofosfamid diberikan dengan dosis 2 mg/kg/hari untuk 12 minggu
daripada seharusnya 8 minggu, kira-kira 2/3 pasien dengan dependen steroid tetap
dalam remisi sesudah 2 tahun. 10 dosis kumulatif ini masih di bawah ambang risiko
terjadinya azoospermia.
Siklosporin-A (Cy-A) merupakan abat alternatif lain daripada steroid.
Kebanyakan pasien dependen steroid remisi dipertahankan dengan CyA, yang
diberikan sesudah terjadi remisi dengan steroid. Sesudah obat ini dihentikan, relaps
dini terjadi namun tidak pada semua pasien. Relaps ini tampaknya tidak akan terjadi
23
Page 24
jika CyA diberikan dalam jangka waktu lama dan dosisnya diturunkan perlahan-lahan.
Untuk menguji keamanan dan diterimanya CyA sebagai obat pada pasien SN
idiopatik, maka dilakukan penelitian terhsdap 661 pasien pada 10 tempat studi. Efek
samping non-renal yang paling sering ditemukan adalah hipertrikosis (18%),
hiperplasia gusi (16%), gejala gastrointestinal (11%) dan hipertensi (9%). Di antara
225 pasien dengan SNKM yang diobati dengan CyA, 3 menderita gagal ginjal
terminal. Semua pasien ini resisten steroid dan CyA yang menunjukkan evolusi yang
kurang baik ini disebabkan oleh adanya glomerulosklerosis fokal dan segmental yang
mendasari penyakit ini daripada akibat nefrotoksik CyA. Pada pasien lainnya kadar
kreatinin serum rata-rata pada akhir tindak lanjut tidak berbeda bermakna daripada
nilai basalnya. Namun tampaknya kreatinin serum bukan merupakan ukuran yang
memadai untuk memonitor fungsi ginjal pada pasien yang diberikan obat yang
potensial nefrotoksik. Sebenarnya CyA dapat menimbulkan kelainan histologis
bahkan pada pasien dengan ginjal normal sekalipun. Kasus dengan fibrosis interstitial
pernah dilaporkan pada pasien yang diberikan CyA karena penyakit autoimun
nonrenal. Sebagai kesimpulan dapat disebutkan bahwa belum ada obat baku untuk
pengobatan pasien dengan relaps frekuen atau dengan dependen steroid maka
diusulkan cara pengobatan terhadap pasien ini sesuai dengna algoritme.
Siklofosfamid atau klorambusil 8-12 minggu
Relaps Tidak relaps
Prednison selang sehari
dosis efektif minimal
Toleransi baik Efek samping Siklosporin (CyA)
Relaps Tidak relaps
Pengobatan Dikurangi bertahap sampai dosis
simtomatik sampai dosis efektif minimal
24
Page 25
Oleh karena siklofosfamid atau klorambusil dapat menimbulkan remisi yang
stabil pada sejumlah kasus, maka dianjurkan untuk pertama-tama memberikan salah
satu daripada obat-obat ini dalam waktu jangka pendek (8 minggu untuk pasien relaps
frekuen, dan 12 minggu untuk dependen steroid). Siklofosfamid dengan dosis 2
mg/kgbb/hari, kurang gonadotoksik dan lebih baik diberikan kepada anak dan remaja.
Klorambusil yang mungkin lebih efektif dan kurang toksik terhadap kandung kemih,
dapat digunakan untuk pasien lainnya dengan dosis 0.15 mg/kgbb/hari. Apabila
terjadi relaps maka sebaiknya jangan diobati lagi dengan obat alkil karena
toksisitasnya akan kumulatif. Umumnya pasien ini responsif lagi terhadap steroid.
Diantara berbagai cara pemberian, prednison selang sehari sering dipakai
secara luas dan aman untuk beberapa bulan. Apabila timbul gejala hiperkortisisme,
steroid dihentikan dan diganti dengan CyA. Apabila pasien tetap dalam remisi, CyA
dapat diturunkan sesudah 6 sampai 12 bulan sebanyak 25% tiap 2 bulan untuk
menetapkan dosis efektif minimal. Beberapa peneliti meneruskan pemakaian obat ini
untuk bertahun-tahun. Sebaiknya pemberian CyA perlahan-lahan dihentikan sesudah
2 tahun. Apabila pasien relaps lagi maka pemberian steroid diulang lagi selama 6-12
bulan dan kemudian diberikan CyA lagi untuk 1-2 tahun yaitu untuk toksisitas
potensial pada pemakaian obat-obat ini dalam jangka panjang. Beberapa pasien (10%)
dengan diagnosis histologis SNKM tidak memberikan respons terhadap pengobatan
baku dengan steroid. Kebanyakan dari mereka ini, cepat atau lambat menunjukkan
gambaran glomerulosklerosis fokal segmental pada biopsi ginjalnya dan harus diobati
sesuai dengan kelainan tersebut.
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
GSFS merupakan penyakit klinikopatologis yang heterogen yang merupakan
komplikasi beberapa penyakit. Dalam bentuk idiopatik, GSFS umumnya dikaitkan
dengan SN. Kebanyakan pasien nefrotik dengan GSFS berlanjut menjadi gagal ginjal
kronik terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis. Nasib kelainan ginjal GSFS
pada anak dan orang dewasa adalah sama, walaupun anak kadang-kadang
menunjukkan respons lebih baik terhadap pengobatan. Adanya kelainan
tubulointerstitial pada sediaan biopsi menunjukkan prognosis yang kurang baik,
sedangkan peran prognostik kelainan glomerulus seperti kelainan hilus, proliferasi
mesangial dan glomerulus kolaps masih diperbincangkan. Belum ada penelitian
prospektif terkontrol dengan pemakaian obat kortikosteroid atau sitostatik pada
25
Page 26
penyakit ini. Kebanyakan literatur didasarkan pada penelitian retrospektif, dan
mungkin beberapa makalah dengan hasil yang kurang baik namun belum dipublikasi.
Kesan umum ialah bahwa hanya sebagian kecil pasien dengan GSFS mencapai remisi
komplit dengan prednison dosis tinggi dalam pemberian jangka pendek. Berdasarkan
respons yang kurang baik ini banyak ahli klinik enggan untu mengobati pasien dengan
GSFS.
CyA juga mulai dipakai untuk mengobati GSFS. dari kepustakaan dilaporkan
40% pasien dipertahankan tanpa SN dengan pengobatan CyA. Tidak jelas apakah
CyA merusak atau melindungi fungsi ginjal pada GSFS. Beberapa penelitian
melaporkan memburuknya kelainan histologis pada beberapa pasien yang mendapat
CyA. Untuk pasien nefrotik dengan GSFS tindakan pertama adalah memberikan
prednison dosis tinggi (60 mg/m2/hari) selama 2 bulan untuk mengetahui berapa
pasien yang responsif.
Prednison selama 2 bulan (60 mg/m2/hari)
Respons Tidak responsif
Tidak relaps Relaps Pengobatan Prednison selang Prednison
sehari selama dan obat
4-6 bulan sitotoksik
selama 6
bulan
Respons tidak responsif
Pengobatan Siklosporin
simtomatik (CyA)
Tidak responsif responsif
Untuk pasien ini pengobatan selanjutnya sama dengan SNKM, termasuk
penanganannya bila ada relaps. Apa yang harus diperbuat terhadap pasien yang tidak
responsif masih kontroversial. Banyak dokter tidak mau memberi pengobatan, namun
dari data menunjukkan pemberian obat yang lebih lama dapat menimbulkan remisi
26
Page 27
SN-nya dan fungsi ginjalnya tetap stabil pada ± 50% pasien. Dianjurkan pemberian
steroid diteruskan sesudah tidak memberikan respons selama 2 bulan. Apabila tidak
terdapat toksisitas steroid, prednison diteruskan selang sehari dengan penurunan dosis
selama 4-6 bulan. Dapat juga digunakan sebagai alternatif protokol pengobatan
dengan kortikosteroid selang sehari dengan obat sitostatik selama 6 bulan. Apabila SN
menetap dengan kedua cara pengobatan tersebut, maka pengobatan diubah dengan
memberikan CyA kecuali ditemukan fungsi ginjal dan tekanan darah yang abnormal,
atau bila ditemukan fibrosis interstitial pada biopsi ginjal. Apabila tidak terdapat
remisi dalam 3 bulan, maka pasien tersebut selanjutnya tidak akan responsif dan
sebaiknya CyA dihentikan. Terhadap pasien yang responsif CyA dosis diturunkan
perlahan-lahan dalam beberapa bulan untuk mengetahui dosis efektif yang paling
kecil. Sesudah pengobatan 1 atau 2 tahun biopsi renal dianggap perlu untuk
mengetahui kelainan histologis yang disebabkan oleh CyA.
Glomerulonefritis membranoproliferatif (GNMP)
GNMP merupakan penyakit yang jarang pada anak. Umumnya penyakit
terjadi pada semua umur tetapi sering terjadi pada umumr 8-30 tahun. GNMP dibagi
dalam tipe I, II dan III atas dasar gambaran yang berbeda di bawah mikroskop cahaya,
imunofluoresensi dan mikroskop elektron, tetapi prognosis dan perjalanan penyakit
dari ketiga tipe ini sama. Prognosisnya sering kurang baik terhadap pasien dengan
insufisiensi ginjal dan atau adanya gejala SN. Lebih dari 50% pasien dengan SN
berlanjut menjadi gagal ginjal terminal dalam 10 tahun sesudah awitan klinis.
Umumnya penyakit lebih berat pada orang dewasa. McEnery dkk menekankan peran
yang menguntungkan dengan memberikan prednison dosis tinggi jangka panjang
selang sehari (2-2,5 mg/kgbb/48 jam) pada GNMP. ISKDC menyimpulkan dalam
penelitian terkontrol bahwa pengobatan steroid selang sehari dapat mengurangi laju
progresivitas GNMP tipe I, namun pengobatan jangka panjang diikuti hipertensi berat
dan kejang-kejang pada beberapa pasien. Penelitian terkontrol lainnya, Donadio dan
Offord melaporkan bahwa pasien GNMP tipe I dengan kombinasi aspirin (975
mg/hari) dan dipiridamol (225 mg/hari) menurunkan laju gagal ginjal sampai 4 tahun
namun pada analisis 10 tahun tidak terdapat perbedaan antara pasien yang diobati
(49%) dan tidak (41%) mengenai kerusakan ginjalnya.
Sebagai ringkasan pengobatan terhadap GNMP masih belum jelas. Pengobatan
simtomatik dan pengawasan yang baik terhadap tekanan darah merupakan hal yang
27
Page 28
penting. Cara ini dapat menyelamatkan pasien sampai 10 tahun, sesuai dengan
harapan pada populasi umumnya. Pada kasus dengan SN yang mempunyai prognosis
ginjal yang buruk, pengobatan dengan steroid dapat dicoba. Dalam hal demikian lebih
dini diberikan pengobatan hasilnya lebih baik. Dianjurkan pengobatan dengan
prednison selang sehari dengan dosis 2.0 mg/kgbb/48 jam untuk 2 bulan, dengan
penurunan dosis secara berangsur pada periode berikutnya. Apabila tidak terdapat
respons dalam waktu 4-6 bulan, obat steroid harus dihentikan. Apabila terdapat
perbaikan proteinuria yang bermakna pengobatan steroid dapat diteruskan dengan
dosis efektif minimal. Beberapa pasien dengan GNMP dapat terjadi penurunan fungsi
ginjal secara progresif cepat, yang kadang-kadang didorong oleh infeksi atau oleh
pemberian obat-obatan. Untuk pasien demikian perlu dilakukan biopsi ginjal. Pada
pasien dengan glomerulonefritis ekstrakapiler atau bila disertai dengan nefritis
interstitial, pengobatan yang lebih agresif dengan pulse metil-prednisolon dosis tinggi
secara intravena, ditambah dengan prednison oral dengan siklofosfamid dapat dicapai
perbaikan fungsi ginjal yang bermakna pada beberapa pasien.
Glomerulopati membranosa (GM)
Penyakit ini lebih sering ditemukan pada orang dewasa. Prognosisnya sulit
diduga sebelumnya, karena kadang-kadang fungsi ginjal tetap normal dan bahkan
dapat terjadi remisi spontan, sedangkan 30-50% berlanjut menjadi gagal ginjal
terminal dalam waktu 10 tahun sejak awitan klinis. Proteinuria berat yang menetap
dan adanya kelainan tubulointerstitial pada biopsi awal merupakan faktor yang
berhubungan dengan menurunnya fungsi ginjal secara progresif. Sebaliknya pasien
dengan remisi proteinuria komplit mempunyai prognosis lebih baik walaupun dalam
jangka lama. Penelitian dengan kontrol menggunakan obat sitotoksik juga
memberikan hasil yang bertentangan walaupun menunjukkan efek perbaikan terhadap
proteinurianya. Ada anggapan bahwa GM secara alamiah mempunyai perjalanan
penyakit yang lebih baik dan diberikan pengobatan simtomatik saja. Yang lain
mengkhawatirkan terhadap toksisitas potensial dan lebih suka memakai kortikosteroid
saja, sedang yang lain menggunakan kombinasi kortikosteroid dan obat alkil.
Berdasarkan data dari literatur dianjurkan algoritme di bawah ini dengan fungsi ginjal
normal.
28
Page 29
Diagnosis GM Idiopatik
A B C
Prednisolon Metilprednisolon Pengobatan
selama 6 bln selama 6 bulan < simtomatik
Responsif Tidak Tidak responsif responsif Remisi SN menetap
responsif atau insufisiensi
Terapi CyA Tidak Relaps ginjal
Relaps Tidak simtomatik relaps
relaps Obati dengan
Tidak responsif Respons A atau B
Kurangi CyA
Kapan pengobatan dimulai masih merupakan masalah yang diperdebatkan.
Beberapa ahli klinik menganjurkan untuk menunggu 1 atau 2 tahun sesudah
timbulnya gejala klinik SN untuk mencegah pengobatan bagi pasien yang mungkin
timbul remisi spontan. Ada yang berpendapat lebih baik menunggu sampai timbul
insufisiensi ginjal. Anjuran yang baik adalah memulai pengobatan dini yaitu dengan
beberapa alasan:
1. Pengobatan yang efektif akan mencegah timbulnya komplikasi SN
2. Kemungkinan timbulnya respons lebih besar untuk pasien yang belum timbul
kelainan glomerulus dan tubulointerstitial yang lanjut.
3. Pengobatan lebih baik ditoleransi oleh pasien dengan fungsi ginjal yang
normal, dan
4. Pasien yang telah menderita gagal ginjal akan tidak mempan terhadap
pengobatan atau responsnya tidak lengkap.
Sekarang apa yang harus diperbuat terhadap pasien dengan fungsi ginjal yang
menurun? Pertama diusahakan untuk mendeteksi dan mengobati semua komplikasi
yang mungkin ada, seperti trombosis vena, nefritis interstitial, glomerulonefritis
ekstrakapiler, dan sebagainya. Jenis pengobatan apa yang digunakan terhadap pasien
dengan gagal ginjal progresif? Banyak laporan di dalam kepustakaan, namun yang
terbaik diantaranya ialah penelitian Reichert Koene dan Wetzels yang memberikan
29
Page 30
metil prednisolon dan klorambusil untuk 6 bulan. Anjuran dosis klorambusil tidak
melebihi 0,1 mg/kg/hari, karena pada insufisiensi ginjal efek sampingnya meningkat.
Pengobatan Suportif
Dalam penanganan pasien SN harus diperhatikan tidak saja pendekatan
farmakologis khusus terhadap penyakit glomerular yang mendasarinya tetapi juga
tindakan yang ditujukan terhadap pencegahan dan pengobatan sekuele klinis oleh
proteinuria yang masif. Pengobatan suportif sangat penting untuk pasien yang tidak
memberikan respons terhadap obat-obat imunosupresif dan oleh karena itu mudah
mendapat komplikasi SN yang berkepanjangan.
Pengobatan diitetik
Masukan natrium harus dibatasi ± 2 gram/hari untuk mengurangi
keseimbangan natrium yang positif. Dari sudut praktis umumnya cukup dengan
menganjurkan tidak menambahkan garam ke dalam makanan. Pembatasan garam
yang ketat hanya diperlukan terhadap pasien yang tidak memberi respons terhadap
diuretika. Dahulu masukan protein tinggi dianjurkan untuk mengimbangi keluarnya
protein dalam urin. Namun cara ini akan meningkatkan permeabilitas glomerulus
terhadap makromolekul yang berakibat peningkatan proteinuria lebih lanjut
sedangkan keseimbangan protein tetap negatif dan kadar albumin serum yang rendah
akan menetap. Di pihak lain penelitian dengan diit rendah protein memberikan hasil
yang bertentangan. Telah dilaporkan oleh beberapa peneliti bahwa ekskresi albumin
urin menurun dan kadar albumin serum meningkat, sedangkan peneliti lain tidak
menemukan adanya penurunan proteinuria, setidaknya pada GM.
Bila kadar ureum dan kreatinin normal diberikan diet nefrotik dengan protein
2-3 g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari. Bila kadar ureum dan kreatinin tinggi diberikan
diet nefrotik dengan protein 1 g/kg/hari, rendah garam 1 g/hari.
Sambil menunggu hasil penelitian jangka panjang sebaiknya pemberian diit
protein tinggi pada SN dicegah dan menganjurkan diit yang mengandung protein 2
gram/kgbb/hari. Diit penurunan lipid (<200 mg/hari kolesterol, jumlah lemak <30%
dari kalori total dan asam lemak tidak jenuh 10% dari jumlah seluruh kalori),
umumnya dianjurkan untuk pasien dengan hiperkolesterolemia. Namun respons
individu terhadap diit ini agak susah bahkan tidak mungkin untuk menduga penurunan
sekurang-kurangnya 15-20% kadar kolesterol LDL. Di samping itu makin ketat
30
Page 31
regimen makanan makin tidak patuh pasien, terutama untuk jangka waktu lama. Oleh
karena itu agak susah untuk menangani hiperlipidemia pada SN dengan diit saja.
Akhir-akhir ini diit vegetarian yang mengandung kedelai yang ditambah dengan asam
amino esensial tampaknya lebih efektif menurunkan hiperlipidemia, daripada diit
menurunkan lipid secara tradisional. Penurunan proteinuria juga dijumpai, namun
tidak terdapat data mengenai kepatuhan jangka lama, efisiensi dan toleransi terhadap
diit demikian.
Edema
Apabila edema tidak memberikan respons dengan membatasi pemasukan
garam dalam makanan, maka sering diperlukan pemberian diuretika. Langkah
pertama dapat diberikan obat tiazid, sebaiknya dikombinasi dengan obat penahan
kalium, seperti spironolakton atau triamteren. Namun banyak pasien terutama dengan
anasarka, volume berlebih, atau dengan kongesti paru-paru tidak memberikan respons
terhadap obat tiazid. Untuk keadaan ini diperlukan pemberian furosemid, asam etakrin
atau bumetamid. Di antara obat-obatan ini furosemid yang paling sering dipakai
karena toleransi yang baik bahkan dengan dosis yang sangat tinggi. Furosemid dapat
diberikan baik secara intravena ataupun oral, dengan dosis berkisar antara 25-1000
mg/hari, bergantung pada beratnya edema dan respons pengobatan. Oleh karena
terikatnya obat ini dengan cairan tubulus albumin dapat mengganggu respons dan
dosis furosemid tinggi sering diperlukan untuk mengatasi berkurangnya efek ikatan
senyawa ini. Terhadap pasien yang refrakter terhadap furosemid sebagai monoterapi,
kombinasi obat diuretika yang bekerja pada tingkat lain dari furosemid, seperti
hidroklortiazid (25-50 mg/hari) atau metolazon (2.5-10 mg/hari) dapat meningkatkan
respons diuretika. Selama pengobatan diuretika, pasien harus dipantau untuk
mendeteksi kemungkinan adanya komplikasi seperti misalnya hipokalemia, alkalosis
metabolik atau kehilangan cairan intravaskular berat.
Proteinuria dan hipoalbuminemia
Pemberian albumin per intravena kepada pasien nefrotik merupakan prosedur
yang mahal dan meningkatkan klirens albumin ginjal dan menaikkan konsentrasi
albumin plasma hanya sedikit dan bersifat sementara. Infus albumin hanya diberikan
untuk pasien dengan deplesi volume plasma simtomatik dengan hipotensi. Beberapa
obat dapat mengurangi keluarnya protein di dalam urin antara lain ACE inhibitor
31
Page 32
mempunyai efek antiproteinuria yang penting. Walaupun ACE inhibitor secara teoritis
menurunkan tekanan darah dan vasodilatasi pascaglomerulus dapat memberi efek
antiproteinuria namun efek ini mungkin berkaitan dengan adanya perubahan pada
permeabilitas glomerulus terhadap makromolekul. Efek antiproteinuria ini bergantung
pada dosis, lama pengobatan dan masukan natrium. Pengobatan dengan ACE inhibitor
umumnya dapat ditoleransi oleh beberapa pasien namun dapat timbul anemia,
hipotensi atau batuk kering. Dalam praktek, untuk mendapat efek antiproteinuria yang
maksimal pasien diminta untuk mengikuti diet rendah garam. Pemberian ACE
inhibitor dimulai dengan dosis rendah untuk menguji toleransinya. Kemudian dosis
dinaikkan secara progresif sampai dosis toleransi maksimal. Pengobatan diperpanjang
untuk beberapa minggu sebelum dinilai hasilnya. Obat-obat anti-inflamasi nonsteroid
dapat menurunkan proteinuria sampai 50% atau lebih. Efek ini disebabkan karena
menurunnya permeabilitas kapiler terhadap protein, menurunnya tekanan kapiler
intraglomerulus dan/atau karena menurunnya luas permukaan filtrasi. Pada
kebanyakan pasien efeknya cepat (dalam 1 minggu) dan kembali lagi setelah
pengobatan dihentikan.
Indometasin (150 mg/hari) dan meklofenamat (200-300 mg/hari) merupakan
dua obat yang sering dipakai. Obat-obat ini dapat menimbulkan hiperkalemia dan
pada SN, dapat memperberat retensi natrium, menurunkan respons terhadap diuretika
dan mengganggu hipertensi arteri. Di samping itu obat-obat ini dapat menyebabkan
gagal ginjal akut karena gangguan hemodinamik, nefritis interstitial akut atau
kerusakan ginjal kronik. Karena itu pemantauan fungsi ginjal yang ketat diperlukan
selama pengobatan pada pasien nefrotik. Obat-obat ini tidak boleh diberikan apabila
klirens kreatinin lebih rendah dari 50 ml/menit. Akhir-akhir ini pengobatan selama 6
minggu dengan dosis tinggi n-3 asam lemak tak jenuh (poly-unsaturated fatty acid)
dapat mengurangi proteinuria sebanyak 30% tanpa efek samping yang berarti.
Hiperlipidemia
Pada kebanyakan pasien SN, diet saja tidak cukup menurunkan hiperlipidemia.
Berbagai obat penurun lipid seperti probukol, asam nikotinat, resin, derivat asam
fibrik, dan akhir-akhir ini hidroksimetil glutaril ko-enzim A (HGM-A) penghambat
reduktase, telah digunakan pada SN. Probukol tidak begitu efektif dan dapat
menurunkan tidak hanya LDL tetapi juga HDL lipoprotein. Asam nikotinat dapat
menurunkan semua lipoprotein aterogenik bersikulasi secara efektif. Namun ada efek
32
Page 33
vasodilatasi kulit dan iritasi gaster dan hepatotoksik. Resin sering menimbulkan gejala
abdomen dan mengganggu absorpsi vitamin larut lemak dan obat-obat lain. Derivat
asam fibrik seperti klofibrat, bezafibrat dan gemfibrozil lebih efektif menurunkan
trigliserid daripada kolesterol. Pada pasien SN klofibrat dapat menimbulkan
rabdomiolisis dan gagal ginjal akut. Di samping itu obat-obat ini mengandung risiko
timbulnya miopati dan batu empedu.
Pada saat ini, penghambat HMG-CoA, seperti lovastatin, pravastatin dan
simvastatin merupakan obat pilihan untuk mengobati hiperlipidemia pada SN. Obat-
obat ini menghambat enzim dalam biosintesis kolesterol. Pada pasien SN obat
penghambat HMG-CoA menurunkan secara bermakna pada kolesterol serum (36%),
lipoprotein densitas rendah (LDL)-(43%) dan apolipoprotein B (30%). Demikian juga
terhadap trigliserid juga terjadi penurunan. Walaupun terjadi perbaikan terhadap
komposisi lipoprotein, namun meningkatnya kadar lipoprotein aterogenik (Lpa) tidak
dipengaruhi oleh penghambat HMG-CoA. Pengobatan dengan penghambat HMG-
CoA umumnya ditoleransi baik oleh pasien SN, walaupun dapat terjadi kenaikan
transaminase serum pada bulan pertama pengobatan. Jarang terjadi miositis dan
mialgia, namun ada baiknya diperiksa fosfokinase kreatinin secara teratur.
Hiperkoagulabilitas
Tromboemboli merupakan komplikasi yang serius dan sering dijumpai pada
SN. Obat-obat anti koagulan dapat menurunkan terjadinya risiko trombosis namun
mengandung risiko timbulnya komplikasi perdarahan. Pemakaiannya terbatas pada
keadaan terjadinya risiko trombosis seperti pada tirah baring yang lama, pembedahan,
saat dehidrasi atau saat pemberian kortikosteroid i.v. dosis tinggi. Namun sekarang
keuntungan pemberian anti-koagulan profilaktik lebih besar pada pasien GM daripada
risiko trombosis intravaskular. Kapan obat harus dihentikan masih belum jelas. Oleh
karena risiko trombosis tetap tinggi selama SN menetap maka secara teoritis
pemberian antikoagulan diteruskan sampai remisi atau diberikan seumur hidup.
Pemberian antikoagulan jangka lama ini merupakan keharusan untuk pasien yang
mengalami dua atau lebih episode trombosis atau satu episode yang mengancam
kehidupannya.
33
Page 34
Pemantauan (Monitoring)
Terapi dengan pemberian prednison atau imunosupresan lain dalam jangka
lama, maka perlu dilakukan pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya efek
samping obat. Prednison dapat menyebabkan hipertensi atau efek samping lain, dan
siklofosfamid dapat menyebabkan depresi sumsum tulang dan efek samping lain.
Pemeriksaan tekanan darah perlu dilakukan secara rutin. Pemeriksaan tekanan darah
perlu dilakukan secara rutin. Pada pemakaian siklofosfamid diperlukan pemeriksaan
darah tepi setiap minggu. Apabila terjadi hipertensi, prednison dihentikan dan diganti
dengan imunosupresan lain, dan hipertensi diatasi dengan obat antihipertensi. Jika
terjadi depresi sumsum tulang (leukosit <3.000/ul) maka obat dihentikan sementara
dan dilanjutkan lagi jika leukosit ≥5.000/ul.
Gangguan tumbuh kembang dapat terjadi sebagai akibat penyakit sindrom
nefrotik sendiri atau efek samping pemberian obat prednison secara berulang dalam
jangka lama. Selain itu, penyakit ini merupakan keadaan imunokompromais sehingga
sangat rentan terhadap infeksi. Infeksi yang berulang dapat mengganggu tumbuh
kembang pasien.
Dosis pemberian albumin, bila kadar albumin serum 1-2 g/dl : diberikan 0,5 g/
kgBB/hari; bila kadar albumin < 1 g/dl diberikan 1 g/kgBB/hari.
34
Page 35
DAFTAR PUSTAKA
1. Alatas, Husein dkk, Buku Ajar Nefrologi Anak, Edisi 2, Ikatan Dokter Anak
Indonesia, 2002, Jakarta, hlm. 381 – 422.
2. Allison A Eddy, Jordan M Symons, Nephrotic syndrom in chilhood, The Lancet,
vol : 362, august 2003, page : 629-639.
3. Darmawan John, Remisi lengkap proteinuria dan remisi bebas-terapi sindrom
nefrotik, Majalah kedokteran Indonesia, Vol: 50, No.6, Juni 2000, hal: 312-316.
4. Hutagalung. P, Sindrom nefrotik, Majalah Kedokteran FK. UKI XVIII, No. 44,
Jakarta, September 2000, hal: 1-10.
5. Pardede O. Sudung, Miklofenolat Mofetil sebagai Terapi Sindrom Nefrotik pada
Anak, Majalah Kedokteran Indonesia, Volume : 54, No:10, Jakarta, Oktober
2004, hal : 431-437.
6. Pardede O. Sudung, Sindrom Nefrotik Infantil, Cermin Dunia Kedokteran No.
134, Jakarta, 2002, hal: 32-38.
7. Subandiyah Krisni, outcome Sindrom nefrotik pada anak, Journal Kedokteran
Brawijaya, Vol. XX, No. 3, Malang, Desember 2004, hal: 147-151.
8. William W. Hay, Jr., Jessie R, CURRENT Pediatric Diagnosis & Treatment, a
LANGE medical book, 13th edition, Aplleton & Lange, Stamford, Connecticut,
1997, page: 607-616.
9. www.pediatrics.com , Efficacy of albumin and diuretic therapy in children with
nephrotic syndrome, 2006
10. www.pediatriconcall.com/forpatients/CommonChild/nephroticsyndrome.asp Diet
in Nephrotic Syndrome
11. www.ikcc.com treatment of idiopathic nephrotic syndrome in children
12. www.pediatrics.com , predicting first-year relapses in children with nephrotic
syndrome
13. www.Eurepean Renal Association.com, Mechanisms of oedema in nephrotic
syndrome
14. www. NEJM.com, Nephrotic Syndrome
15. www. Pubmed .com, the nephrotic syndrom
35