Top Banner
SINDROM STEVEN JOHNSON A. Pendahuluan Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput lendir, orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat, kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bulla, dapat disertai purpura. Insiden Sindrom Steven-Johnson diperkirakan 2-3 % per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika Serikat, umumnya terdapat pada dewasa. Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50 % sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi. Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%). Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain yaitu amoksisilin, kotrimoksasol, dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif. (1) Penyakit ini sama dengan NET (Nekrolisis Epidermal Toksik) yang juga disebabkan oleh reaksi hipersensitifitas tipe II (sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran 1
20

Sindrom Steven Johnson Zul

Dec 28, 2015

Download

Documents

Jabar Aljufri
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Sindrom Steven Johnson Zul

SINDROM STEVEN JOHNSON

A. Pendahuluan

Sindrom Stevens-Johnson (SSJ) merupakan sindrom yang mengenai kulit, selaput

lendir, orifisium, dan mata dengan keadaan umum bervariasi dari ringan sampai berat,

kelainan pada kulit berupa eritema, vesikel, bulla, dapat disertai purpura. Insiden Sindrom

Steven-Johnson diperkirakan 2-3 % per juta populasi setiap tahun di Eropa dan Amerika

Serikat, umumnya terdapat pada dewasa. Penyebab utama ialah alergi obat, lebih dari 50 %

sebagian kecil karena infeksi, vaksinasi, penyakit graft-versus-host, neoplasma, dan radiasi.

Pada penelitian Adhi Djuanda selama 5 tahun (1998-2002) SSJ yang diduga alergi obat

tersering ialah analgetik/antipiretik (45%), disusul karbamazepin (20%) dan jamu (13,3%).

Sebagian besar jamu dibubuhi obat. Kausa yang lain yaitu amoksisilin, kotrimoksasol,

dilantin, klorokuin, seftriakson, dan adiktif.(1)

Penyakit ini sama dengan NET (Nekrolisis Epidermal Toksik) yang juga disebabkan

oleh reaksi hipersensitifitas tipe II (sitolitik) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Gambaran

klinis atau gejala tersebut bergantung pada sel sasaran (sel target). Sasaran utama pada SSJ

dan NET adalah pada kulit berupa destruksi keratinosit. Pada alergi obat akan terjadi aktifitas

sel T, CD4 dan CD8. IL5 meningkat, juga sitokin-sitokin yang lain. CD4 terutama terdapat di

dermis, sedangkan CD8 pada epidermis. Keratinosit epidermal mengekspresi ICAM-1,

ICAM-2, dan MHC II. Sel langerhans tidak ada atau sedikit. TNF α di epidermis meningkat.

Karena kemiripan dalam hal klinik dan penemuan histopatologik, etiologi dan mekanisme

sehingga dua kondisi ini mewakili derajat keparahan pada proses identifikasi yang hanya

dibedakan dalam persentasi dari permukaan badan yang terkena. Maka sebaiknya digunakan

epidermal necrolysis untuk keduanya.(1, 2)

1

Page 2: Sindrom Steven Johnson Zul

B. Epidemiologi

Epidermal Necrolysis (EN) adalah kasus jarang. Insiden kejadian SSJ dan NET telah

diperkirakan terdapat 1.2 kasus tiap satu juta penduduk/ tahun di Perancis berdasarkan

Nationwide Survelance pada tahun 1981-1985. Di RSCM FK UI setiap tahun terdapat 12

pasien, umumnya dewasa. Penelitian lain berdasarkan data Group Health Cooperative of

Puget Sound di Seattle, Washington menunjukkan bahwa terdapat 260.000 penduduk yang

telah menjalani perawatan di rumah sakit. Angka kejadian Eritema Multiform (EM), SSJ, dan

NET diperkirakan sekitar 1.8 kasus per satu juta penduduk/tahun pada usia antara 20 sampai

64 tahun; sedangkan pada usia dibawah 20 tahun dan 64 tahun keatas kasusnya meningkat

dari 7 sampai 9 kasus per satu juta penduduk/ tahun.(1, 2)

C. Etiopatogenesis

Penyebab belum diketahui dengan pasti, namun beberapa penelitian mengatakan saat

ini berkaitan dengan obat sebagai faktor etiologi yang paling penting. Faktor yang dapat

dianggap sebagai penyebab, yaitu Obat Antibakterial Sulfonamid, Anti kejang aromatik,

allopurinol, NSAID, lamotrigine dan Nevirapine.(3)

Adapun Obat-obatan dengan Resiko Epidermal Necrolysis, antara lain :

a) Resiko Tinggi : Allopurinol, Sulfamethoxazole, Sulfadiazine, Sulfapyridine,

Sulfadoxine, Carbamazepine, Lamotrigine, Phenobarbital, Phenytoin,

Phenylbutazone, Nevirapine, Oxicam NSAID,Thiacetazone.

b) Resiko Rendah : NSAID As.Asetat, Aminopenicillin, Chepalosporin, Quinolones,

Cyclins, Macrolides.

c) Resiko Meragukan : Paracetamol (Acetaminophen), Pyrazolone Analgesics,

Corticosteroid, NSAID.

2

Page 3: Sindrom Steven Johnson Zul

d) Tidak Ada Bukti Resiko: Aspirin, Sulfonylurea, Thiazide diuretics, Furosemide,

Aldactone, Calcium channel blocker, Beta Blocker, Angiotensin-converting enzyme

inhibitor, Angiotensin II receptor antagonist, Statins, Hormones, Vitamins.(3)

Sampai saat ini, urutan yang tepat dari aktivitas molekuler dan seluler yang mengarah

pada pengembangan SJS / TEN hanya sebagian dimengerti. Patogenesis yang diusulkan harus

memperhitungkan kelangkaan reaksi dan keterlibatan jenis tertentu obat. Bukti kuat

menunjukkan bahwa SJS / TEN dikaitkan dengan penurunan kapasitas untuk detoksifikasi

reaksi menengah dalam metabolisme obat. Hal ini diduga diprakarsai oleh respon imun ke

sebuah kompleks antigenik yang dibentuk oleh reaksi dari metabolik tersebut dengan jaringan

host tertentu.(4)

Kerentanan genetik juga mungkin memainkan peran, sebagaimana dibuktikan oleh

peningkatan insiden HLA-B12 pada individu yang TENnya telah berkembang. Sitotoksik T

sel mengekspresikan reseptor kulit-homing, kulit limfosit-terkait antigen (CLA), terlihat pada

awal perkembangan lesi kulit. Ini mungkin obat-spesifik sel T sitotoksik. Sitokin penting

seperti interleukin, (IL) -6 TNF-α, interferon-γ, IL-18 dan Fas ligan (FasL) juga hadir dalam

epidermis lesi dan / atau cairan melepuh pasien dengan TEN, dan tindakan mereka bisa

menjelaskan beberapa gejala konstitusional TEN serta perbedaan sering diamati antara

tingkat kerusakan epidermal dan kekurangan dari infiltrat inflammatory. Terakhir, interval

yang khas antara onset terapi obat dan SJS / TEN adalah antara 1 dan 3 minggu,

menunjukkan periode sensitisasi dan memberikan dukungan lebih lanjut untuk peran sistem

kekebalan tubuh dalam patogenesis mereka. Periode ini ('memori') yang jauh dipersingkat

pada pasien yang sayangnya kembali terkena obat yang sebelumnya mengakibatkan SJS atau

TEN.(4)

3

Page 4: Sindrom Steven Johnson Zul

Baru-baru ini, telah jelas menunjukkan bahwa kerusakan jaringan dijelaskan oleh

patolog sebagai Nekrolisis epidermal adalah karena kematian sel keratinosit besar melalui

apoptosis. Sel mati oleh apoptosis adalah proses fisiologis yang diatur secara ketat yang

memungkinkan penghapusan sel yang tidak diinginkan tanpa menyebabkan respon inflamasi

dan konsekuensinya. Perubahan dalam kontrol apoptosis ditemukan di sejumlah penyakit

manusia, misalnya, kanker, gangguan autoimun, penyakit degeneratif dan AIDS.(4)

Apoptosis keratinosit jelas merupakan ciri dari tahap awal SJS dan TEN, dan itu

adalah tanda morfologi pertama jelas dari kerusakan jaringan yang spesifik pada penyakit ini.

Gambar histologis yang lebih klasik 'Nekrolisis' ekstensif epidermal adalah, pada

kenyataannya, gambar setelah apoptosis keratinosit. Memang, negara apoptosis sel-sel yang

bersifat sementara. Dalam situasi fisiologis, sel apoptosis dengan cepat dihilangkan pada

tahap awal oleh fagosit, yang kedua memiliki kemampuan untuk secara khusus mendeteksi

dan internalisasi sel apoptosis.(4)

Dalam situasi di mana kejadian apoptosis menguasai kemampuan fagosit untuk

menghilangkan sel-sel tersebut, sel-sel apoptosis semakin menjadi nekrotik dan

mengeluarkan isi intraseluler mereka, sehingga memicu respon inflamasi. Dalam SJS dan

TEN, dalam hitungan jam, apoptosis keratinosit menjadi sangat melimpah di kulit lesi,

sehingga cepat besar kapasitas fagositik profesional dan non-profesional (keratinosit

misalnya) fagosit terletak di kulit. Dalam hitungan jam ke hari, ini keratinosit apoptosis

menjadi nekrotik, bersama-sama dengan hilangnya kohesi ke keratinosit yang berdekatan dan

membran basal, epidermis seluruh kehilangan viabilitas, sehingga menciptakan citra

histologis akrab full-thickness Nekrolisis epidermal.(4)

Sitokin tertentu dari keluarga TNF, dengan mengikat reseptor spesifik permukaan sel

(reseptor kematian), memiliki kemampuan untuk menginduksi apoptosis. Reseptor kematian

4

Page 5: Sindrom Steven Johnson Zul

seperti berfungsi sebagai sensor permukaan sel yang mendeteksi keberadaan spesifik sinyal

kematian ekstraseluler dan cepat memicu kerusakan seluler dengan apoptosis. Salah satu

sensor seluler dan memicu apoptosis adalah apa yang disebut Fas (CD95, Apo-1) dan Fas

ligan (FasL, CD95L) reseptor-ligan pasangan, Kulit adalah bagian pertama kerusakan

jaringan pada awal SJS dan TEN dan kedua Fas dan FasL diketahui dinyatakan dalam

keratinosit epidermal.(4)

Baru-baru ini menunjukkan bahwa apoptosis keratinosit dalam kulit lesi pasien dengan

TEN dikaitkan dengan ekspresi yang sangat meningkat dari FasL keratinosit bersama-sama

dengan tingkat lestari ekspresi Fas keratinosit.(4)

Model yang muncul adalah bahwa, di kulit normal, rendahnya tingkat FasL

diekspresikan oleh keratinosit dan terlokalisasi intraseluler. Dalam kulit lesi dari TEN,

tingkat tinggi FasL diekspresikan oleh keratinosit dan terlokalisasi pada permukaan sel.

Akibatnya, interaksi antara permukaan sel keratinosit dan Fas FasL pada sel yang berdekatan

yang kemudian mungkin. Setelah kontak dengan Fas, permukaan sel FasL menginduksi

multimerization Fas dan sinyal cepat kematian sel keratinosit oleh apoptosis. Seperti Fas dan

FasL yang coexpressed pada sejumlah besar keratinosit pada kulit lesi, apoptosis keratinosit

bisa melimpah, sehingga perusakan lahan besar epidermis.(4)

5

Page 6: Sindrom Steven Johnson Zul

Gambar 1 : Sistem Fas-FasL keratinosit pada kulit normal dan perannya dalam nekrolisis epidermal toksik (TEN) dan pengobatan dengan IVIG. A

D. Gejala Klinis

Interval waktu dari mengkonsumsi obat hingga timbulnya gejala ialah sekitar 1-3 minggu.

Awalnya muncul gejala Prodromal setelah beberapa hari, seperti : Demam, malaise, nyeri

sendi, setelah 1-3 hari timbul lesi mukokutaneus, konjungtiva rasa terbakar atau gatal, nyeri

pada kulit, sensasi terbakar, nyeri tekan, hilang rasa. Lesi pada mulut nyeri, fotofobia, serta

cemas.(5)

Keadaan umumnya bervariasi dari ringan sampai berat. Pada yang berat kesadarannya

menurun, penderita dapat soporous sampai koma. Mulainya penyakit akut dapat disertai

gejala prodromal berupa demam tinggi, malaise, nyeri kepala, batuk, pilek dan nyeri

tenggorokan. Erupsi awalnya Simetris tersebar di wajah, badan, dan ekstremitas. Lesi

Awalnya berupa eritem, bercak merah, makula, purpura, bentuk ireguler, dan bersifat

progresif. Selain itu kelainan pada Membran Mukosa sering didapatkan pada kasus yang

berupa kemerahan pada mukosa, yang nyeri pada mukosa buccal, okuler, dan genital.(3)

6

Page 7: Sindrom Steven Johnson Zul

Epidermal Nekrosis Terkait dengan Demam tinggi, nyeri, pucat dan terkadang disertai

dengan gangguan pernapasan dan pencernaan. Pada sindrom ini terlihat adanya trias kelainan

berupa:

a. Kelainan Kulit, akan berupa eritema, papel, vesikel, atau bula secara simetris pada hampir

seluruh tubuh. Prodromal rash berbentuk seperti morbili, dapat pula menjadi target lesi

dengan atau tanpa purpura. Pada tahap awal, nekrotik epidermis akan pertamakali terlihat

sebagai area makular dengan permukaan berkerut yang membesar dan bergabung. Tanda

Nikolsky akan timbul dengan diberikan tekanan lateral pada daerah eritomatosa. Pada

tahap pemulihan, pemulihan kembali epidermis dimulai dalam beberapa hari, selesai

dalam 3 minggu. Pada fase distribusi, erythema terlebih dahulu terkena pada wajah,

ekstremitas dan akan menyebar dalam beberapa jam atau hari. Akan terjadi peluruhan

pada epidermal sehingga akan menyebabkan area gundul yang besar. Sindrom steven

Johnson luas penyebarannya pada trunkus dan wajah sedangkan pada nekrolysis

epidermal toxic penyebarannya secara generalisata dan menyeluruh.

b. Kelainan Mukosa, mukosa berupa vesikel, bula, erosi, ekskoriasi, perdarahan dan kusta

berwarna merah. Bula terjadi mendadak dalam 1-14 hari gejala prodormal, muncul pada

membran mukosa, membran hidung, mulut, anorektal, daerah vulvovaginal, dan meatus

uretra. Stomatitis ulseratif dan krusta hemoragis merupakan gambaran utama.

c. Mata, konjungtivitas kataralis, blefarokonjungtivitis, iritis, iridosiklitis, kelopak mata

edema dan sulit dibuka, pada kasus berat terjadi erosi dan perforasi kornea yang dapat

menyebabkan kebutaan. Cedera mukosa okuler merupakan faktor pencetus yang

menyebabkan terjadinya ocular cicatricial pemphigoid, merupakan inflamasi kronik dari

mukosa okuler yang menyebabkan kebutaan. Waktu yang diperlukan mulai onset sampai

terjadinya ocular cicatricial pemphigoid bervariasi mulai dari beberapa bulan sampai 31

tahun.(1, 5)

7

Page 8: Sindrom Steven Johnson Zul

Sindrom Steven Johnson merupakan penyakit berat yang muncul secara tiba-tiba. Adapun

gejala yang terkait seperti demam tinggi, malaise, myalgia, arthalgia, dan eritema multiform

pada badan dengan bercak eritem dan erosi kurang dari 10% dari permukaan tubuh.Gejala

sistemik yang prodromal sering muncul biasanya 1-13 hari sebelum erupsi.(5)

Lesi pada kulit bermacam-macam seperti makulopapular lesi pada eritema multiform,

bulla, ataupun lesi pustular. Lesi selanjutnya dapat timbul setelah 10 hari atau 3-4 minggu.(5)

Membran mukosa oral tampak berbentuk bulla yang disertai erosi serta membran putih

seperti berdarah dan disertai krusta. Perubahan yang terjadi pada mata biasanya konjungtivitis

purulenta, ulcer kornea, serta uveitis anterior juga sering muncul. Lesi pada mukosa genital

biasanya terjadi. Gejalanya berupa retensi urin.(5)

Gambar 2 : Kelainan Mukosa pada penderita Sindrom Stevens-Johnson.

8

Page 9: Sindrom Steven Johnson Zul

Gambar 3 : Konjungtivitis pada penderita Sindrom Steven Johnson

Gambar 4: Kelainan Kulit berupa Plak Eritem Hiperpigmentasi pada penderita

Sindrom Steven Johnson serta Nikolsky Sign.(5)

E. Diagnosis

Pada pemeriksaan fisik ditemukan.

Effloresensi : Makula, papul, plak, skuama, Eritem

Warna : Merah keunguan

Palpasi : Nickolsky sign. Apabila kulit di tekan dan di geser akan terkelupas.(3)

9

Page 10: Sindrom Steven Johnson Zul

Diagnosis ditujukan terhadap manifestasi yang sesuai dengan trias kelainan kulit,

mukosa, mata, serta hubungannya dengan faktor penyebab yang secara klinis terdapat lesi

berbentuk target, iris atau mata sapi, kelainan pada mukosa, demam.(3)

Selain itu didukung pemeriksaan laboratorium antara lain pemeriksaan darah tepi,

pemeriksaan imunologik, biakan kuman serta uji resistensi dari darah dan tempat lesi,

serta pemeriksaan histopatologik biopsi kulit. Anemia dapat dijumpai pada kasus berat

dengan perdarahan, leukosit biasanya normal atau sedikit meninggi, terdapat peningkatan

eosinofil. Kadar IgG dan IgM dapat meninggi, C3 dan C4 normal atau sedikit menurun

dan dapat dideteksi adanya kompleks imun beredar. Biopsi kulit direncanakan bila lesi

klasik tak ada. Imunoflurosesensi direk bisa membantu diagnosa kasus-kasus atipik.(3)

 Biopsi kulit untuk histologis rutin dan imunofluoresensi study harus dilakukan

dalam kasus yang Epidemal Nekrolysis, bahkan jika diagnosis secara klinis jelas, karena

itu satu-satunya cara untuk mengecualikan sebagian differential diagnosis.(3)

Gambaran histopatologiknya sesuai dengan eritema multiforme, bervariasi dari

perubahan dermal ringan sampai nekosis epidermal yang menyeluruh. Kelainan berupa :

1. Infiltrat sel mononuklear di sekitar pembuluh darah dermis superficial.

2. Edema dan ekstravasasi sel darah merah di dermis papilar

3. Degenerasi hidrofik lapisan basalis sampai terbentuk vesikel sub epidermal

4. Nekrosis sel epidermal dan kadang-kadang di adneksa

5. Spongiosis dan Edema intrasel di epidermis.(1)

10

Page 11: Sindrom Steven Johnson Zul

F. Diagnosis Banding

Adapun diagnosis banding dari SSJ/NET, yaitu : Eritema Multiform, Staphylococcal

scalded skin syndrome (SSSS), severe acute GVHD, kawasaki’s disease, Thermal burn,

Erupsi phototoksik, Fixed Drug Eruption, LE, dan Eritroderma.(3)

G. Penatalaksanaan

Management

a) Monitoring keseimbangan cairan, terutama pada input dan output cairan, terkait

dengan kehilangan banyak cairan tubuh karena erosi epidermis yang mana dapat

mengakibatkan Hipovolemik dan elektrolit imbalance.Dapat dilakukan pemasangan

infus.

b) Pengaturan suhu yang sesuai karena pasien SSJ mengalami gangguan pada

pengaturan suhu tubuhnya.

c) Gizi yang mendukung. Nutrisi sangat penting untuk penyembuhan pasien SSJ dan

merupakan bagian yang penting dari management SSJ . Dapat dilakukan melalui

Nasogastric tube untuk menurunkan infeksi bakteri melalui saluran pencernaan dan

juga intake oral memang sulit dilakukan karena upper GI track mengalami luka.

d) Perawatan kulit dengan memberikan proteksi agar jauh dari benda-benda yang bias

melekat pada kulit.

e) Perawatan mata, problem yang paling sering adalah conjunctiva mulai dari ringan

sampai berat. Pemberian vitamin A dan Antibiotik tetes untuk gangguan pada mata.

f) Perawatan genitalia dengan menjaga kebersihan dan menghindari pakaian yang

bersifat tidak adhesive dapat mempercepat penyembuhan erosi mucosal.

11

Page 12: Sindrom Steven Johnson Zul

g) Monitoring, memonitoring tanda vital pada pasien SSJ adalah management yang

penting karena sebagai tanda wala dari perburukan keadaan sistemik.

h) Kultur darah dan urin untuk monitoring infeksi sekunder.

i) Pemberian antiseptik pada erosi mulut

Spesifik Terapi

a) Pemberian kortikosteroid sistemik masih dianggap kontroversial,beberapa laporan

menujukan perbaiakn jika diberikan pada fase awal.

b) Immunoglobulin Intravena(IVIG) memblok interaksi dari Fas/Fas ligand, mencegah

dari progresivitas dari apoptosis keratinocyte. Dan IVIG digunakan pada awal

terjadinya Sindrom Stevens-Johnson.

c) Cyclosporin A adalah immunosuppressive yang sangat kuat yang berhubungan

dengan efek biologis yang secara teori sangat berguna bagi pengobatan Epidermal

Nekrolysis dengan dosis 3-5 mg/kg daily melalui intravena dan oral selama 2 minggu.

d) Plasmapheresis atau Hemodialisis digunakan secara rasional untuk menghilangkan zat

obat dalam tubuh secara metabolism, beberapa studi kasus melaporkan efisiensi dan

keamanan pengobatannya.(3) (6)

12

Page 13: Sindrom Steven Johnson Zul

DAFTAR PUSTAKA

1. Djuanda A, Hamzah M. Sindrom Steven-Johnson. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editors. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 5th ed. Jakarta: Fakuktas Kedokteran Universitas Indonesia; 2010. p. 163-5.2. Breathnach SM. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. In: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, editors. Rook's Textbook of Dermatology. 8th ed. London: Wiley-Blackwell; 2010. p. 76.1-.20.3. Valeyrie-Allanore L, Roujeu J-C. Epidermal Necrolysis (Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis). In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilcherest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw-Hill; 2008. p. 349-55.4. French LE, Prins C. Erythema Multiforme, Stevens-Johnson Syndrome and Toxic Epidermal Necrolysis. In: Bolognia JL, Jorizzo JL, Rappini RP, editors. Dermatology. 2nd ed. London: Elsevier; 2008. p. 1-17.5. Wolff K, Johnson RA. Arthropod Bites, Stings, and Cutaneous Infections. In: Wolff K, Johnson RA, editors. Fitzpatrick's Colour Atlas and Synopsis of Clinical Dermatology. 6th ed. New York: McGraw-Hill; 2009. p. 860-63.6. Lehloenya R. Management of Stevens-Johnson Syndrome and Toxix Epidermal Necrolysis. Current Allergy & Clinical Immunology. 2007;20:124-8.

13