Bab I Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Berdasarkan pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang berkembang, jumlah orang dengan kelainan sindrom metabolic semakin banyak. Oleh karena itu telah banyak peringatan dan anjuran untuk segera melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom metabolik. Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu kelainan, faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian diikuti dengan upaya pencegahan dan penatalaksanaannya Dalam upaya tersebut telah dikemukakan beberapa definisi mengenai kelainan apa saja yang perlu diperhatikan dan kriteria batasan nilainya. Antara beberapa rekomendasi tersebut banyak persamaannya tetapi ada pula perbedaannya, bahkan timbul perdebatan kontroversial antara para ahli sehingga membingungkan para pengguna, yaitu para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Diinginkan adanya suatu pedoman yang bersifat universal yang dapat dipakai bersama di semua negara. 1.2 Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah membahas secara singkat mengenai sindrom metabolik, bermacam-macam definisi
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Bab I
Pendahuluan
1.1 Latar Belakang
Berdasarkan pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang
berkembang, jumlah orang dengan kelainan sindrom metabolic semakin banyak. Oleh karena
itu telah banyak peringatan dan anjuran untuk segera melakukan upaya untuk mencegah
timbulnya sindrom metabolik. Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu
kelainan, faktor-faktor yang berperan, patofisiologinya kemudian diikuti dengan upaya
pencegahan dan penatalaksanaannya Dalam upaya tersebut telah dikemukakan beberapa
definisi mengenai kelainan apa saja yang perlu diperhatikan dan kriteria batasan nilainya.
Antara beberapa rekomendasi tersebut banyak persamaannya tetapi ada pula perbedaannya,
bahkan timbul perdebatan kontroversial antara para ahli sehingga membingungkan para
pengguna, yaitu para dokter dan tenaga kesehatan lainnya. Diinginkan adanya suatu
pedoman yang bersifat universal yang dapat dipakai bersama di semua negara.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini adalah membahas secara singkat mengenai sindrom
metabolik, bermacam-macam definisi dan kriteria batasan nilai, berbagai faktor risiko, dan
anjuran cara penatalaksanaannya termasuk pencegahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Sindrom Metabolik
Sindrom metabolik (SM) adalah keadaan klinis dimana pada seseorang terdapat
sekumpulan kelainan metabolik, antara lain kelainan kadar lipid (dislipidemia), peningkatan
kadar glukosa (hiperglikemia), peningkatan kadar asam urat (hiperurikemia), peningkatan
tekanan darah (hipertensi), dan kegemukan (obesitas). Kondisi ini dikaitkan dengan risiko
penyakit kardiovaskular (PKV), stroke, diabetes melitus tipe 2 (DM t2) dan kematian.
sehingga memerlukan intervensi modifikasi gaya hidup yang ketat (intensif). Komponen
utama dari sindrom metabolik meliputi : Resistensi insulin, Obesitas abdominal/sentral,
Hipertensi, Dislipidemia berupa peningkatan kadar trigliserida dan penurunan kadar HDL
kolesterol. Sindrom Metabolik disertai dengan keadaan proinflammasi / prothrombotik yang
dapat menimbulkan peningkatan kadar C-reactive protein, disfungsi endotel,
hiperfibrinogenemia, peningkatan agregasi platelet, peningkatan kadar PAI-1, peningkatan
kadar asam urat, mikroalbuminuria dan peningkatan kadar LDL cholesterol. Berdasarkan
pengamatan di banyak negara, baik di negara maju maupun yang sedang berkembang, jumlah
orang dengan kelainan ini makin banyak. Oleh karena itu telah banyak peringatan dan
anjuran untuk segera melakukan upaya untuk mencegah timbulnya sindrom metabolik.
Upaya pertama adalah dengan mengenal terlebih dahulu kelainan, faktor-faktor yang
berperan, patofisiologinya kemudian diikuti dengan upaya pencegahan dan
penatalaksanaannya.
2.2 Anamnesis
pada pemeriksaan pasien,dapat dilakukan dengan menanyakan kepada pasien
mengenai identitas, keluhan utama, riwayat perjalanan keluhan, sejak kapan timbul gejala,
riwayat penyakit pasien dan keluarga. Perlu juga ditanyakan bagaimana aktivitas pasien
sehari-hari dan bagaimana asupan makanan sehari-harinya. Pada kasus ini dapat ditemui
bahwa pasien merasa dirinya terlalu gemuk dan sulit menurunkan berat badannya sejak usia
30 tahunan. Dan bahwa pasien juga merasakan agak sering lelah dan mudah haus 1 tahun
belakangan ini. Riwayat ayahnya menderita hipertensi dan ibunya sudah 10 tahun mengidap
penyakit diabetes. Setelah dilakukan anamnesis kemudian dilanjutkan dengan pemeriksaan
fisik.1,3
2.3 PEMERIKSAAN
1.FISIK
- Pengukuran tinggi badan, berat badan dan tekanan darah , tingkat kesadaran,
frekuensi nafas, denyut nadi, dan suhu tubuh
- Pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) , menggunakan rumus
Berat badan (kg)
——————————
Tinggi badan (m)2
- Pengukuran lingkaran pinggang merupakan prediktor yang lebih baik terhadap
risiko kardiovaskular daripada pengukuran waist-to-hip ratio.3
2.PENUNJANG
Panel Sindrom Metabolik
Merupakan sekelompok pemeriksaan laboratorium yang disarankan untuk mengetahui
adanya sindrom metabolik beserta komplikasinya.
1. Trigliserida, HDL Kolesterol, Glukosa Puasa
Manfaat: Mendeteksi adanya sindrom metabolik berdasarkan kriteria IDF 2005.
2. Apo B dan LDL Kolesterol Direk
Manfaat: Melihat adanya small dense LDL. Small dense LDL merupakan faktor risiko
penting untuk Penyakit Jantung Koroner (PJK) dan lebih aterogenik bila dibandingkan
dengan LDL biasa. Dengan menentukan konsentrasi apo B plasma, kita dapat
menentukan jumlah partikel small dense LDL, di mana dengan menggunakan rasio
kolesterol LDL/ApoB (konsentrasi kolesterol LDL diukur dengan metode direk) dapat
ditentukan adanya small dense LDL. Pada rasio kolesterol LDL direk/ApoB < 1,2,
terdapat small dense LDL dalam sirkulasi tubuh .
3. Adiponektin
Manfaat: Melihat apakah terjadi penurunan konsentrasi adiponektin
(hipoadiponektinemia), di mana peningkatan jaringan adiposa viseral akan
mengakibatkan penurunan konsentrasi adiponektin dan peningkatan sitokin proinflamasi
yang berperan penting dalam efek kardiovaskular sindrom metabolik.
4. Glukosa Puasa, Glukosa 2 jam pp dan HbA1c
Manfaat : Mendiagnosis dan memantau pengendalian hiperglikemia (glukosa darah puasa
terganggu, toleransi glukosa terganggu dan T2DM).
5. hsCRP
Manfaat : Menilai kondisi inflamasi kronis pada individu sindrom metabolik. penanda
untuk memprediksi penyakit pembuluh darah koroner pada sindrom metabolik, dan baru-
baru ini digunakan prediktor untuk penyakit lemak hati non-alkohol dalam hubungan
dengan penanda serum yang menunjukkan lipid dan metabolisme glukosa.
6. NT-proBNP
Manfaat : Melihat risiko gagal jantung pada individu obes. Peningkatan indeks massa
tubuh merupakan faktor risiko terjadinya hipertensi, T2DM dan dislipidemia, sehingga
meningkatkan risiko infark miokardial yang mendahului terjadinya gagal jantung. Selain
itu, hipertensi dan T2DM secara independen akan meningkatkan risiko gagal jantung.
7. Albumin Urin Kuantitatif (Sewaktu)
Manfaat : Membantu menentukan pengobatan yang dapat mencegah atau memperlambat
onset penyakit ginjal kronik (PGK) dan penyakit kardiovaskular (PKV). Albumin Urin
Kuantitatif merupakan penanda prognosis untuk risiko PKV pada individu dengan
diabetes maupun tanpa diabetes, sebagai penanda risiko mortalitas pada individu infark
miokardial, dan merupakan prediktor PKV pada individu dengan hipertensi tidak
terkontrol.
8. SGPT dan Collagen Type IV
Manfaat : Melihat risiko NASH pada individu dengan sindrom metabolik. NASH merupakan
bagian dari spektrum luas nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) dan ditandai dengan
hepatomegali, peningkatan serum aminotransferase dan gambaran histologi yang menyerupai
hepatitis alkoholik tanpa adanya penggunaan alkohol berlebihan. Terjadinya fatty liver (yang
dideteksi melalui ultrasonografi) yang disertai dengan adanya inflamasi (ditandai dengan
peningkatan hsCRP dan hipoadiponektinemia), proses fibrosis (ditandai dengan peningkatan
collagen type IV) serta adanya kematian sel (ditandai dengan peningkatan enzim SGPT)
merupakan kondisi yang terjadi pada NASH.3,4
2.4 DIAGNOSIS KERJA
Sejak munculnya sindrom resistensi insulin, beberapa organisasi berusaha membuat
kriteria sindrom metabolik supaya dapat diterapkan secara praktis klinis sehari-hari. Secara
umum, semua kriteria yang diajukan memerlukan minimal 3 kriteria untuk mendiagnosis
sondrom metabolik atau sindrom resistensi insulin. World Health Organization (WHO)
merupakan organisasi pertama yang mengusulkan kriteria sindrom metabolik pada tahun
1998. Menurut WHO pula, istilah sindrom metabolik dapat dipakai pada penyandang! DM
mengingat penyandang DM juga dapat memenuhi kriteria tersebut dan menunjukkan
besarnya risiko terhadap kejadian kardiovaskular. Setahun kemudian pada tahun 1999, the
European Group for Study of Insulin Resistance (EGIR) melakukan modifikasi pada kriteria
WHO. EGIR cenderung menggunakan istilah sindrom resistensi insulin. Berbeda dengan
WHO, EGIR lebih memlih obesitas sentral dibandingkan IMT dan istilah sindrom resistensi
insulin tidak dapat dipakai pada penyandang DM karena resistensi insulin merupakan faktor
risiko timbulnya DM. Pada tahun 2001, National Cholesterol Education Program (NCEP)
Adult Treatment Panel III (ATP III) mengajukan kriteria baru yang tidak mengharuskan
adanya komponen resistensi insulin. Meski tidak pula mewajibkan adanya komponen
obesitas sentral, kriteria ini menganggap bahwa obesitas sentral merupakan faktor utama
yang mendasari sindrom metabolik. Nilai cut off lingkar perut diambil dari National Institute
of Health Obesity ClinicaI Guidelines; > 102 cm untuk pria dan > 88 cm untuk wanita. Untuk
etnik tertentu seperti Asia, dengan cut-off lingkar perut lebih rendah dari ATP III, sudah
berisiko terkena sindrom metabolik. Pada tahun 2003, American Association of ClinicaI
Endocrinologists (AACE) memodifikasi definisi dari ATP III. Sama seperti EGIR, bila sudah
ada DM, maka istilah sindrom resistensi insulin tidak digunakan lagi. Dua tahun kemudian,
pada tahun 2005, International Diabetes Federation (IDF) kembali memodifikasi kriteria ATP
III. IDF menganggap obesitas sentral sangat berkorelasi dengan resistensi insulin, sehingga
memakai obesitas sentral sebagai kriteria utama. Nilai cut-off yang digunakan juga
dipengaruhi oleh etnik. Untuk Asia dipakai cut-off\ lingkar perut > 90 cm untuk pria dan > 80
cm untuk wanita. Beberapa kriteria sindrom metabolik dapat dilihat pada table 2.
Kriteria yang diajukan oleh NCEP-ATP III lebih banyak digunakan, karena lebih
memudahkan seorang klinisi untuk mengidentifikasi seseorang dengan sindrom metabolik.
Sindrom metabolik ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya 3 (tiga) kriteria.1,5
2.5 DIAGNOSIS BANDING
Diferensial diagnosis yang mungkin ialah diabetes mellitus. DM tipe 2 ini terjadi
karena resistensi insulin. Namun yang membedakannya dengan toleransi glukosa biasa
adalah kadar glukosa darah. Untuk diagnose DM tipe 2 jika kadar glukosa darah sewaktu
diatas 200 mg/dl maka orang tersebut masuk ke kategori DM tipe 2. Namun jika hasilnya
sudah diatas 110 dan masih dibawah 200 maka orang tersebut dimasukan ke kategori tes
toleransi glukosa terganggu.
Diagnosis banding yang lain ialah obesitas. Sebenarnya dapat terjadi tumpang tindih antara
diagnose banding dengan gejala klinis. Dalam hal ini mungkin yang terlihat adalah hanya
obesitas yang biasanhya menjadi keluhan utama dan hasil yang kita dapatkan. Padahal
obesitas ini tidak berdiri sendiri dan tergabung dalam sindrom metabolic ini sendiri.
2.6 ETIOLOGI
Dari beberapa pendapat ahli menyebutkan bahwa faktor genetik dan lingkunganlah yang
memegang peranan penting terjadinya sindroma metabolik.
Riwayat keluarga dengan diabetes tipe 2, hipertensi dan penyakit jantung akan meningkatkan
kemungkinan seseorang menderita sindroma metabolik.
Fator lingkungan yang berperan antara lain kurangnya berolah raga, gaya hidup yang buruk,
dan peningkatan berat badan yang terlampau cepat.
Sindroma metabolik terjadi pada 5% orang dengan berat badan normal, 22% pada orang
dengan kelebihan berat badan dan 60% pada orang yang gemuk. Orang dewasa yang berat
badannya meningkat lebih dari 5 kg per tahun akan meningkatkan pula resiko terjadinya
sindroma metabolik sekitar 45%.
Jadi, melihat gambaran diatas, kegemukan merupakan faktor resiko yang sangat penting
terjadinya sindroma metabolik disamping hal hal berikut :
- Perempuan yang telah memasuki menopause.
- Merokok.
- Mengkonsumsi terlalu banyak karbohidrat.
- Kurang berolah raga.
- Mengkonsumsi minuman beralkohol.
Faktor-faktor tersebut merupakan ciri-ciri dari pola hidup yang “Westernized” (kebarat-
baratan) yang dapat memicu timbulnya penyakit yang erat hubungannya dengan pola hidup (“
Life Style Related Disease”) yang terjadi di Indonesia sejak tahun 1980an dan sebagai salah
satu contoh yang jelas adalah Sindroma Metabolik.1,3,6
2.7 EPIDEMIOLOGI
Di US, peningkatan kejadian obesitas mengiringi peningkatan prevalensi sindrom metabolik.
Prevalensi sindrom metabolik pada populasi usia > 20 tahun sebesar 25% dan pada usia > 50
tahun sebesar 45%. Pandemi sindrom metabolik juga berkembang seiring dengan
peningkatan prevalensi obesitas yang terjadi pada populasi Asia, termasuk Indonesia. Studi
yang dilakukan di Depok (2001) menunjukkan prevalensi sindrom metabolik menggunakan
kriteria National Cholesterol Education Program Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III)
dengan modifikasi Asia Pasifik, terdapat pada 25.7% pria dan 25% wanita. Penelitian
Soegondo (2004) melaporkan prevalensi sindrom metabolik sebesar 13,13% dan
menunjukkan bahwa kriteria Indeks Massa Tubuh (IMT) obesitas >25 kg/m2 lebih cocok
untuk diterapkan pada orang Indonesia. Penelitian di DKI Jakarta pada tahun 2006
melaporkan prevalensi sindrom metabolik yang tidak jauh berbeda dengan Depok yaitu
26,3% dengan obesitas sentral merupakan komponen terbanyak (59,4%). Laporan prevalensi
sindrom metabolik di beberapa daerah di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.
Dibandingkan dengan komponen-komponen pada sindrom metabolik, obesitas sentral paling
dekat untuk memprediksi ada tidaknya sindrom metabolik. Beberapa studi di wilayah
Indonesia termasuk Jakarta menunjukkan obesitas sentral merupakan komponen yang paling
banyak ditemukan pada individu dengan sindrom metabolik.1
2.8 PATOFISIOLOGI
Pengetahuan mengenai patofisiologi masing-masing komponen sindrom metabolik sebaiknya
diketahui untuk dapat memprediksi pengaruh perubahan gaya hidup dan medikamentosa
dalam penatalaksanaan sindrom metabolik.
Obesitas sentral
Obesitas yang digambarkan dengan indeks
massa tubuh tidak begitu sensitif dalam
menggambarkan risiko kardiovaskular dan
gangguan metabolik yang terjadi. Studi
menunjukkan bahwa obesitas sentral yang
digambarkan oleh lingkar perut (dengan cut-off
yang berbeda antara jenis kelamin) lebih sensitif
dalam memprediksi gangguan metabolik dan risiko kardiovaskular. Lingkar perut
menggambarkan baik jaringan adiposa subkutan dan visceral. Meski dikatakan bahwa lemak
viseral lebih berhubungan dengan komplikasi metabolik dan kardiovaskular, hal ini masih
kontroversial. Peningkatan obesitas berisiko pada peningkatan kejadian kardiovaskular.
Variasi faktor genetik membuat perbedaan dampak metabolik maupun kardiovaskular dari
suatu obesitas. Seorang dengan obesitas dapat tidak berkembang menjadi resistensi insulin,
dan sebaliknya resistensi insulin dapat ditemukan pada individu tanpa obes (lean subjects).
Interaksi faktor genetik dan lingkungan akan memodifikasi tampilan metabolik dari suatu
resistensi insulin maupun obesitas.
Jaringan adiposa merupaka sebuah organ endokrin yang aktif mensekresi berbagai
faktor pro dan anti inflamasi seperti leptin, adiponektin, Tumor nekrosis factor α (TNF-α),
Interleukin-6 (IL-6) dan resistin. Konsentrasi adiponektin plasma menurun pada kondisi DM
tipe 2 dan obesitas. Senyawa ini dipreaya memiliki efek antiaterogenik pada hewan coba dan
manusia. Sebaliknya, konsentrasi leptin meningkat pada kondisi resistensi insulin dan
obesitas dan berhubungan dengan risiko kejadian kardiovaskular tidak tergantung dari faktor
risiko tradisional kardiovaskular, IMT dan konsentrasi CRP Sejauh ini belum diketahui
apakah pengukuran pengukuran marker hormonal dari jaringan adiposa lebih baik daripada
pengukuran secara anatomi dala memprediksi risiko kejadian kardiovaskular dan kelainan
metabolik yang terkait.
Resistensi Insulin
Resistensi insulin mendasari kelompok kelainan pada sindrom metabolik. Sejauh ini
belum disepakati pengukuran yang ideal dan praktis untuk resistensi insulin. Teknik clamp
merupakan teknik yang ideal namun tidak praktis untuk klinis sehari-hari. Pemeriksaan
glukosa plaama puasa juga tidak ideal mengingat gangguan toleransi glukosa puasa hanya
dijumpai pada 10% sindrom metabolik. Pengukuran Homeostasis Model Asessment (HOMA)
dan Quantitative Insulin Sensitivity Check Index (QUICKI) dibuktikan berkorelasi erat
dengan pemeriksaan standar, sehingga dapat disarankan untuk mengukur resistensi insulin.
Bila melihat dari patofisiologi resistensi insulin yang melibatkan jaringan adiposa dan sistem
kekebalan tubuh, maka pengukuran resistensi insulin hanya dari pengukuran glukosa dan
insulin (seperti rumus HOMA dan QUICKI) perlu ditinjau ulang. Oleh karenanya,
penggunaan rumus ini secara rutin di klinis belum disarankan maupun disepakati.
Dislipidemia
Dislipidemia yang khas pada sindrom metabolik ditandai dengan peningkatan
trigliserida dan penurunan kolesterol HDL. Kolesterol LDL biasanya normal, namun
mengalami perubahan struktur berupa peningkatan small dense LDL. Peningkatan
konsentrasi trigliserida plasma dipikirkan akibat peningkatan masukan asam lemak bebas ke
hati sehingga terjadi peningkatan produksi trigliserida. Namun studi pada manusia dan hewan
menunjukkan bahwa peningkatan trigliserida tersebut bersifat multifaktorial dan tidak hanya
diakibatkan oleh peningkatan masukan asam lemak bebas ke hati.
Penurunan kolesterol HDL disebabkan peningkatan trigliserida sehingga terjadi
transfer trigliserida ke HDL. Namun, pada subyek dengan resistensi insulin dan konsentrasi
trigliserida normal dapat ditemukan penurunan kolesterol HDL. Sehingga dipikirkan terdapat
mekanisme lain yang menyebabkan penurunan kolesterol HDL disamping peningkatan
trigliserida. Mekanisme yang dipikirkan berkaitan dengan gangguan masukan lipid post
prandial pada kondisi resistensi insulin sehingga terjadi gangguan produksi Apolipoprotein
A-I (Apo A-l) oleh hati yang selanjutnya mengakibatkan penurunan kolesterol HDL. Peran
sistem imunitas pada resistensi insulin juga berpengaruh pada perubahan profil leipid pada
subyek dengan resistensi insulin. Studi pada hewan menunjukkan bahwa aktivasi sistem imun
akan menyebabkan gangguan pada lipoprotein, protein transport, reseptor dan enzim yang
berkaitan sehingga terjadi perubahan profil lipid.
Peran sistem imunitas pada resistensi insulin
Inflamasi subklinis kronik juga merupakan bagian dari sindrom metabolik. Marker
inflamasi berperan pada progresifitas DM dan komplikasi kardiovaskular. C reactive protein
(CRP) dilaporkan menjadi data prognosis tambahan tentang keparahan inflamasi pada subyek
wanita sehat dengan sindrom metabolik. Namun, belum didapatkan kesepakatan alur
diagnosis yang mampu menggabungkan peningkatan CRP, koagulasi, dan gangguan
fibrinolisis dalam memprediksi risiko kardiovaskular.
Hipertensi
Resistensi insulin juga berperan pada pathogenesis hipertensi. Insulin merangsang
sistem saraf simpatis meningkatkan reabsorpsi natrium ginjal, mempengaruhi transport kation
dan mengakibatkan hipertrofi sel otot polos pembuluh darah. Pemberian infus insulin akut
dapat menyebabkan hipotensi akibat vasodilatasi. Sehingga disimpulkan bahwa hipertensi
akibat resistensi insulin terjadi akibat ketidakseimbangan antara efek pressor dan depressor.
The Insulin Resistance Atherosclerosis Stucfy melaporkan hubungan antara resistensi insulin
dengan hipertensi pada subyek normal namun tidak pada subyek dengan DM tipe 2
Manifestasi lain-lain
Resistensi insulin disertai oleh banyak perubahan lain yang tidak termasuk dalam
kriteria diagnostik SM. Peningkatan apo B, apo C-III, asam urat, faktor-faktor protrombotik