-
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
SM adalah kondisi dimana seseorang memiliki tekanan darah
tinggi,
obesitas sentral dan dislipidemia, dengan atau tanpa
hiperglikemik. Ketika
kondisi-kondisi tersebut berada pada waktu yang sama pada satu
orang, maka
orang tersebut memiliki risiko yang tinggi terhadap penyakit
makrovasculer.
Berbagai organisasi telah memberikan definisi yang berbeda,
namun seluruh
kelompok studi setuju bahwa obesitas, resistensi insulin (RI),
dislipidemia dan
hipertensi merupakan komponen utama SM. Jadi meskipun SM
memiliki definisi
yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama yaitu mengenali
sedini mungkin
gejala gangguan metabolik sebelum seseorang jatuh ke dalam
beberapa
komplikasi 8,9
SM dikenal dengan berbagai nama. Perhatian medis pertama yaitu
pada
tahun 1923, ketika Kylin memaparkan kelompok gout, hipertensi
dan
hiperglikemia. Yang kemudian SM pertama kali dijelaskan oleh
Jean Vague pada
tahun 1940, yang menghubungkan obesitas abdominal dengan
abnormalitas
metabolik. Tiga dekade kemudian, yaitu pada tahun 1970 Gerald
Phillips
menyatakan bahwa umur, obesitas dan sex hormon dihubungkan
dengan
manifestasi klinis, yang sekarang disebut SM dan dihubungkan
dengan penyakit
-
4
jantung. Akhirnya pada tahun 1988, Gerald Reaven mengajukan
hipertensi,
hiperglikemia, intoleransi glukosa, peningkatan trigliserida,
dan kolesterol HDL
yang rendah dan dinamakan kumpulan abnormalitas Sindrom-X. Yang
akhirnya
pada tahun 1998 the World Health Organization (WHO) mengajukan
nama
metabolic sindrom yang didefinisikan dengan adanya 2 atau lebih
abnormalitas
metabolik (pada pasien diabetes) atau resistensi insulin dengan
2 atau lebih faktor-
faktor dibawah10
:
1) Hipertensi dengan perlakuan atau tekanan darah >140 /
>90 mmHg
2) Trigliserida 150 mg/dL
3) HDL 0.85 pada wanita
5) Mikroalbuminuria
Namun kebanyakan menggunakan defInisi yang telah ditetapkan oleh
WHO
and NCEP ATP III. Organisasi ini menganggap bahwa SM merupakan
faktor
risiko penyakit kardiovaskuler disamping peningkatan kadar
kolesterol low
density lipoprotein (LDL). Dislipidemia aterogenik (protrombotik
state), RI,
hipertensi, obesitas abdominal dan peningkatan marker inflamasi
dianggap
sebagai karakteristik yang menyolok dari SM11
.
-
5
2.2 Epidemiologi
Prevalensi SM bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan
dan
populasi yang diteliti. Berdasarkan data dari The Third National
Health and
Nutrition Examination Survey (1988 sampai 1994), prevalensi SM
(dengan
menggunakan kriteria NCEP-ATP III) bervariasi dari 16% pada
laki-laki kulit
hitam sampai 37% pada wanita Hispanik. Prevalensi SM meningkat
dengan
bertambahnya usia dan berat badan. Karena populasi penduduk
Amerika yang
berusia lanjut makin bertambah dan lebih dari separuh mempunyai
berat badan
lebih atau gemuk, diperkirakan SM melebihi merokok sebagai
faktor risiko primer
terhadap penyakit kardiovaskular. Di Indonesia sendiri dilakukan
penelitian yang
dilakukan Semiardji pada pekerja PT. Krakatau steel didapatkan
prevalensi
sebesar 15,8% pada tahun 2005 dan meningkat sebesar 19,7% pada
tahun 2007.
Hal ini meningkat dengan adanya pengaruh gaya hidup yang
cenderung kurang
dalam aktifitas fisik dan makanan siap saji dan berlemak12
.
Gambar 1. Prevalensi SM: NHANES III berdasarkan umur. (Amy Z.
Fan.
Etiology of the Metabolic Syndrome. Current Cardiology
Review
2007)
-
6
Gambar diatas diperoleh dari NHANES survey yang dikumpulkan
dari
tahun 1988-1992. Prevalensi SM tertinggi ditemukan pada Hispanic
women.
WHO juga memperkirakan SM banyak ditemukan pada banyak kelompok
etnis
tertentu termasuk beberapa etnis di Asia Pasifik, seperti India,
Cina, Aborigin,
Polinesia dan Micronesia. Penelitian WHO Monica oleh
Marques-Vidal, dkk. di
Perancis menemukan prevalensi pada pria (23%) dan terbanyak
ditemukan pada
kelompok usia antara 55-64 tahun, yaitu pria 34% dan wanita
21%12
.
Gambar 2. Prevalensi SM berdasarkan NCEP: NHANES III berdasarkan
jenis
kelamin dan ras/etnis. (Amy Z. Fan. Etiology of the
Metabolic
Syndrome. Current Cardiology Review 2007)
Di Asia prevalensi SM bervariasi di tiap Negara berturut-turut
adalah 13,3%
di China, Taiwan (15, 1%), Palestina dan Oman Masing-masing 17%,
Vietnam
(18,5%), Hongkong (22%), India (25,8%), Korea (28%), iran (30%)
(IDF, 2006).
Hasil penelitian Park et al (2004) terhadap orang dewasa Korea
Selatan diperoleh
bahwa prevalensi SM meningkat sesuai dengan perkembangan umur
dimana pada
perempuan prevalensinya meningkat pada umur 50 tahun. Menopause
merupakan
White
African American Mexican American
other
0%
10%
20%
30%
40%
-
7
faktor yang berkontribusi pada peningkatan ini. Pada tabel 1
dapat dilihat
beberapa prevalensi SM yang menggunakan kriteria WHO8.
Tabel 1. Prevalensi SM menggunakan kriteria WHO. (WHO. Obesity:
Preventing
and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
Negara Kelompok
Umur (Th)
Prevalensi (%)
Pria Wanita
India 20-75 36,4 46,5
Iran >20 24,0 42,0
Mexico 20-69 Total 26,6
Skotlandia 45-64 26,2 -
Turki >31 27,0 38,6
Australia >24 19,5 17,2
Maunitius >24 10,6 14,7
Perancis 30-64 10,0 7,0
Amerika Serikat
(Amerika asli)
45-49 43,6 56,7
Amerika Serikat
(Filipina Amerika) 50-69 - 34,5
Amerika serikat
(Ford, dkk)
>19 24,2 23,5
Amerika Serikat
(meigs, dkk)
30-79 26,9 21,4
Amerika Serikat
(Non-hispanic)
30-79 24,7 21,3
Amerika serikat
(Meksiko-Amerika)
30-79 29,0 32,8
Di Indonesia, prevalensi SM terus meningkat seiring dengan
perubahan
pola dan taraf hidup. Data dari Himpunan Studi Obesitas
Indonesia (HISOBI)
menunjukkan prevalensi SM sebesar 13,13%. Penelitian di Makassar
yang
melibatkan 330 orang pria berusia antara 30-65 tahun dan
menggunakan kriteria
NCEP ATP III dengan ukuran lingkar pinggang yang disesuaikan
untuk orang
Asia (menurut klasifikasi usulan WHO untuk orang dewasa, yaitu
90 cm untuk
pria dan 80 cm untuk wanita) ditemukan prevalensi sebesar 33,9
%. Prevalensi
-
8
lebih tinggi yaitu sebesar 62,0 %, ditemukan pada subyek dengan
obesitas
sentral4,13
.
Tabel 2. Prevalensi SM menggunakan kriteria NCEP ATP III. (WHO.
Obesity:
Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
Negara Kelompok
Umur (Th)
Prevalensi (%)
Pria Wanita
Australia >35 25,2 16,7
Inggris (Balkau, dkk) 40-65 >44,8 >33,9
Inggris (Balkau, dkk) 40-75 >12,6 >13,3
Perancis (Balkau, dkk) 30-65 >23,5 >9,6
Perancis (Marques-Vidal, dkk) 35-64 23,0 12,0
Belanda 20-60 >19,2 >7,6
Mauritius >24 20,9 17,6
Amerika serikat (Ford, dkk) 40-74 41,3 32,7
Amerika Serikat (meigs, dkk) 30-79 30,3 18,1
Amerika Serikat (Non-hispanic) 30-79 24,7 17,2
Amerika serikat (Meksiko-
Amerika)
30-79 32,0 28,3
2.3 Etiologi
Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis
menyatakan
bahwa penyebab primer dari SM adalah RI14
.
Menurut pendapat Tenebaum penyebab SM adalah15
:
a. Gangguan fungsi sel dan hipersekresi insulin untuk
mengkompensasi
resistensi insulin. Hal ini memicu terjadinya komplikasi
makrovaskuler
(Misalnya komplikasi jantung)
b. Kerusakan berat sel menyebabkan penurunan progresif sekresi
insulin,
sehingga menimbulkan hiperglikemia. Hal ini menimbulkan
komplikasi
mikrovaskuler (Misalnya nephropathy diabetica).
-
9
Hipotesis lain juga menyatakan bahwa penyebab primer SM adalah
RI. RI
berkorelasi dengan timbunan lemak visceral yang dapat ditentukan
dengan
mengukur lingkar pinggang atau waist to hip ratio. Hubungan
antara RI dan PKV
diduga dimediasi oleh terjadinya stress oksidatif yang
menimbulkan disfungsi
endotel yang akan menyebabkan kerusakan vaskuler dan pembentukan
atheroma.
Hipotesis lain karena perubahan hormonal yang mendasari
terjadinya obesitas
sentral. Suatu studi membuktikan bahwa individu yang mengalami
kadar kortisol
dalam serum (yang disebabkan oleh stress kronik) mengalami
obesitas sentral, RI
dan dislipidemia. Para peneliti juga mendapatkan bahwa
ketidakseimbangan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal yang terjadi akibat stress akan
menyebabkan
terbentuknya hubungan antara gangguan psikososial dan infark
miokard15
.
Peningkatan faktor risiko metabolik selalu berhubungan dengan
tingginya
akumulasi jaringan adiposa abdominal, terutama jaringan lemak
visceral. Salah
satu karakteristik obesitas abdominal/lemak visceral adalah
terjadinya pembesaran
sel-sel lemak, sehingga sel-sel lemak tersebut akan mensekresi
produk-produk
metabolik diantaranya sitokin proinflamasi, prokoagulan, peptida
inflamasi, dan
angiotensinogen. Produk-produk dari sel lemak dan peningkatan
asam lemak
bebas dalam plasma bertanggung jawab terhadap berbagai penyakit
metabolik
seperti diabetes, penyakit jantung, hiperlipidemia, gout, dan
hipertensi7,16
.
2.4 Faktor Risiko
Faktor risiko untuk SM adalah hal-hal dalam kehidupan yang
dihubungkan
dengan perkembangan penyakit secara dini. Ada berbagai macam
faktor risiko
-
10
SM, antara lain adalah gaya hidup (pola makan, konsumsi alkohol,
rokok, dan
aktivitas fisik), sosial ekonomi dan genetik serta stres17
.
2.4.1 Gaya hidup
Meningkatnya obesitas yang merupakan komponen utama SM tak
lepas dari berubahnya gaya hidup, seperti life sedentarian, pola
konsumsi yang
tidak seimbang, studi yang dilakukan oleh Research Triangle
institute
International, dan dibiayai oleh CDC's Division of Nutrition and
Physical
Activity menggunakan latar belakang data dari survei nasional di
Amerika
yang dilakukan 1980 dan 1990 ternyata menunjukkan hubungan
prevalensi
obesitas/berat badan lebih dan jumlah jam yang dipakai anak-anak
untuk
nonton televisi17
.
Merebaknya restoran cepat saji turut menyumbang peningkatan
berbagai
penyakit. Makanan cepat saji jarang menyajikan makanan berserat.
Menu
yang tersaji cenderung banyak mengandung garam, lemak dan
kolesterol.
Konsumsi lemak Indonesia meningkat (10,4% dari total konsumsi
energi
pertahun dan 18,7% tahun 1990)(Badan pusat statistik). Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa hampir seluruh penduduk (99%) umur 15 tahun ke
atas
kurang mengkonsumsi sayur dan buah. Lebih banyak penduduk
kurang
beraktivitas (84,9%) dibanding yang tidak beraktivitas
(9,1%)17
.
Hasil penelitian Esmaillzadeh (2006) di Tehran Iran diperoleh
bahwa
konsumsi sayur yang tinggi dihubungkan dengan rendahnya risiko
kejadian
-
11
sindrom metabolik. Tidak ada hubungan signifikan antara konsumsi
buah
dengan rendahnya kadar kolesterol HDL. Studi cross sectional
lain pada
dewasa muda menunjukkan bahwa seseorang dengan SM secara
signifikan
memiliki konsumsi sayur dan buah yang rendah dibanding yang
tidak
memiliki risiko metabolik17
.
Konsumsi tinggi serat menjadi perhatian saat ini, dihubungkan
dengan
penurunan insiden beberapa kelainan metabolik seperti
hipertensi, diabetes,
obesitas dan juga penyakit jantung dan kanker kolon. Konsumsi
gula dengan
pemanis yang rendah energi atau karbohidrat kompleks
direkomendasikan
dalam mengurangi intake energi dan menurunkan berat
badan11,18
.
Tubuh membutuhkan serat. Dalam saluran pencernaan, serat
larut
mengikat asam empedu (produk akhir kolesterol) dan kemudian
dikeluarkan
bersama tinja. dengan demikian makin tinggi konsumsi serat larut
(tidak
dicerna, namun dikeluarkan bersama feses), akan semakin banyak
asam
empedu dan lemak yang dikeluarkan oleh tubuh. Dalam hal ini
serat
membantu mengurangi kadar kolesterol dalam darah. Serat larut
air
menurunkan kadar kolesterol darah hingga 5% atau lebih. Serat
larut yang
terdapat dalam buah-buahan, sayuran, biji-bijian (gandum), dan
kacang-
kacangan. Pektin (serat larut air dari buah) dapat menurunkan
kadar kolesterol
LDL18
.
Banyak studi menyebutkan bahwa pentingnya konsumsi sayur dan
buah
terhadap berbagai penyakit kronis. Konsumsi sayur dan buah
dapat
mengurangi risiko SM melalui kombinasi dari antioksidan, serat,
potassium,
-
12
magnesium dan photochemical lainnya. Konsumsi sayur dan buah
dihubungkan dengan penurunan risiko penyakit jantung koroner.
Konsumsi
sayur dan buah menurunkan risiko penyakit jantung melalui
penurunan
konsentrasi C-reactive protein (CRP) yang merupakan marker
inflamasi.
Dalam penelitian ini pula ditunjukkan bahwa konsumsi dari DASH
(Dietary
Approaches to Stop Hipertension) diet antara lain diet kaya
sayur dan buah,
memiliki efek yang menguntungkan pada kejadian SM. Esposito et
al
menunjukkan bahwa Mediterranien diet yang kaya buah dan
sayur,
menurunkan marker inflamasi dan disfungsi endotel. Konsumsi 5
porsi
sayur dan buah sehari direkomendasikan untuk mengurangi risiko
penyakit
kronis17
.
Sayur dan buah adalah sumber dari berbagai nutrient seperti
vitamin,
mineral, serat dan berbagai jenis biological active. Biological
active Ini
dikenal dengan fitokimia yang termasuk sebagai antioksidan,
menurunkan
agregasi platelet dan metabolisme kolesterol serta menurunkan
tekanan
darah19
.
Suatu studi epidemiologi mengevaluasi hubungan antara aktivitas
fisik
dan prevalensi SM yaitu ATTICA Study. Hasilnya menunjukkan
bahwa
aktivitas fisik waktu senggang ringan hingga sedang
(mengeluarkan < 7
kcal/min ) dihubungkan dengan prevalensi SM pada 3042 laki-laki
dan wanita
dari populasi umumnya. The Center for Diseases Control and
Prevention and
America College of Sport Medicine merekomendasikan aktivitas
fisik dengan
-
13
intensitas sedang sedikitnya 30 menit. Kadar aktivitas ini dapat
ditoleransi
oleh dewasa muda maupun yang tua11
.
Aktivitas fisik juga memberikan efek yang menguntungkan
terhadap
tekanan darah. Pada dasarnya, saat ini sudah diterima bahwa
exercise pada
level moderate dapat menurunkan tekanan darah secara signifikan
pada pasien
dengan hipertensi esensial ringan hingga sedang. Aktivitas fisik
juga
memberikan efek yang signifikan terhadap kadar lipid darah. The
Pawtucket
Hearth Study grup melaporkan bahwa aktivitas fisik berhubungan
signifikan
dengan peningkatan kadar HDL kolesterol11
.
Dalam hubungannya dengan tekanan darah, penelitian yang
dilakukan
oleh Paffenbarger di Amerika Serikat terhadap kelompok
mahasiswa
menemukan bahwa insiden hipertensi 20 hingga 40% lebih rendah
pada
mereka yang melakukan aktivitas olahraga sedikitnya 5 jam per
minggu
daripada mereka yang kurang aktif20
.
Gaya hidup merokok juga berpengaruh terhadap meningkatnya
penyakit kronis. Penelitian yang dilakukan oleh Lipid Research
Program
Prevalence Study menunjukkan bahwa mereka yang merokok 20 batang
atau
lebih perhari mengalami penurunan HDL sekitar 11% untuk
laki-laki dan 14
% untuk perempuan, dibandingkan dengan mereka yang tidak
merokok21
.
Berdasarkan penelitian kohort Dede Kusmana selama 13 tahun
di
Jakarta, prevalensi perokok pada tahun 1988 pada pria Indonesia
cukup tinggi
yaitu 65,6 % dan 8,9 % pada wanita, disamping yang sudah
dikeluarkan
sebesar 15.3 % dan 0.7 % secara berturut-turut. Kebiasaan
merokok dimulai
-
14
pada usia 8 tahun dan yang paling tertua 50 tahun. Jumlah rokok
yang
dikonsumsi mulai dari 1-9 batang sampai lebih dari 36 batang
perhari. Rokok
kretek merupakan pilihan pertama dibandingkan dengan jenis rokok
lainnya.
Risiko kejadian penyakit kardiovaskuler secara signifikan 3 kali
lebih besar
pada orang yang merokok dibandingkan dengan orang yang tidak
merokok,
dan juga 3 kali lebih besar pada orang yang merokok kretek22
.
Yang terpenting dari rokok adalah jumlah batang rokok yang
dihisap,
bukan lamanya waktu seseorang telah merokok. Orang yang merokok
> 20
batang perhari dapat mempengaruhi atau memperkuat efek dua
faktor utama
risiko (hipertensi dan hiperkolesterol)21
.
Hasil penelitian Neunteufl et al (2002) menunjukkan bahwa
nikotin
meyebabkan disfungsi endotel akut pada perokok jangka panjang. 1
mg
nikotin menyebabkan disfungsi endotel di arteri brachial pada
perokok kronis.
Merokok sigaret menyebabkan konstriksi immediate arteri koroner
epicardial
dan peningkatan resistensi vessel tone di arteri koroner
meskipun kebutuhan
oksigen miokardial meningkat. Mekanisme merokok menyebabkan
disfungsi
endotel terungkap. Stress oksidatif memediasi efek yang kurang
baik dari
rokok yang mengandung banyak radikal bebas seperti radikal
superoxide
anion dan hidroksil yang menurunkan NO (nitrit oksida) yang
dilepaskan dari
endotelium. Nikotin menyebabkan disfungsi endotel dengan
peningkatan
oksidatif stress21
.
-
15
Studi eksperimental yang baru juga menunjukkan bahwa merokok
dapat
merusak kerja insulin secara akut, pada subjek baik yang sehat
maupun pada
pasien Non-insulin Dependent Diabetes Mellitus (NIDDM)23
.
Weight gain umumnya terjadi pada orang yang berhenti merokok
dan
paling tidak sebagian dimediasi oleh nikotin. Weight gain dari
1-2 kg pada
beberapa minggu pertama biasanya diikuti dengan penambahan 2-3
kg weight
gain dalam 4-6 bulan. Rata-rata weight gain yakni 4-5 kg, namun
bisa saja
lebih besar dari itu23
.
Hubungan antara merokok dan obesitas belum sepenuhnya
dipahami.
Di satu sisi nikotin meningkatkan energy expenditure (EE) dan
mengurangi
nafsu makan, yang dapat menjelaskan mengapa perokok
cenderung
mengalami penurunan berat badan dibanding yang tidak merokok
dan
mengapa berhenti merokok sering diikuti dengan kenaikan berat
badan.
Kepercayan populer diantara perokok dan bukan perokok bahwa
merokok
merupakan salah satu cara untuk mengontrol berat badan. Di sisi
lain,
penelitian mengindikasikan bahwa perokok berat (merokok dalam
jumlah
yang lebih banyak) memiliki berat badan yang lebih tinggi
dibanding perokok
ringan, dan terdapat pengelompokan merokok, obesitas dan status
ekonomi
rendah, hanya pada negara maju. Akhirnya terdapat peningkatan
bukti bahwa
merokok berefek tehadap distribusi lemak tubuh yang berhubungan
dengan
obesitas sentral dan RI24
.
Merokok berefek terhadap berat badan dapat menyebabkan
kurangnya
berat badan akibat meningkatnya rasio metabolik, penurunan
efisiensi
-
16
metabolik atau penurunan absorpsi kalori (mengurangi nafsu
makan), yang
semuanya berhubungan dengan penggunaan tembakau. Efek
metabolik
merokok dapat menjelaskan rendahnya berat badan yang ditemukan
pada
perokok. Merokok satu batang menyebabkan 3% peningkatan EE
dalam
waktu 30 menit, merokok 4 batang rokok yang mengandung 0,8mg
nikotin
meningkatkan EE 3,3% dalam 3 jam. Pada perokok reguler yang
metabolismenya diperoleh dari metabolic ward, merokok 24 batang
dalam
sehari meningkatkan total EE dari 2230 sampai 2445 Kkal/hari dan
stimulasi
aktivitas sistem nervous simpatetic terlibat. Efek merokok
terhadap EE pada
obesitas masih lemah. Ini juga tergantung pada aktivitas fisik
dan olahraga.
Pada perokok berisiko tinggi mengalami hipertiroidisme dibanding
bukan
perokok sehingga dapat meningkatkan rasio metabolik23
.
Aktivitas fisik dapat meningkatkan rasio metabolik sehingga
dapat
membantu mengontrol berat badan namun, perokok cenderung untuk
kurang
beraktivitas dibanding yang tidak merokok24
.
Gambar 3. Hubungan antara merokok, resistensi insulin dan
akumulasi
lemak viseral dengan SM dan resistensi insulin. Hubungan
antara
-
17
merokok dan akumulasi lemak viseral dapat dijelaskan oleh
masuknya aktivitas fisik yang rendah dan makanan tidak sehat
yang sering ditemuai pada perokok sebagai pengganggu.
(Ceriello
A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic Mechanism
Underlying Insulin Resistance, Diabetes and CVD?,
Arterioscler
Thromb Vac Bio 2004)
2.4.2 Genetik
Faktor keturunan mempengaruhi obesitas dan hal ini
dihubungkan
dengan fenotip. Pada akhir tahun 2002, lebih dari 300 gene,
penanda dan
kromosom telah dihubungkan dengan fenotip obesitas. Penelitian
tentang gen
ini telah mengidentifikasi 68 Quantitative Trait Loci (QTLs)
manusia dan
168 QTLs dari hewan percobaan untuk obesitas25
.
Beberapa penelitian yang berhubungan dengan gen obesitas
menunjukkan bahwa terdapat beberapa gen yang dapat
mempengaruhi
kejadian obesitas. Gen beta-3 adrenergic receptor (ADBR3) adalah
gen yang
paling banyak di uji dan telah menunjukkan hubungan dengan
terjadinya
obesitas. Gen-gen lain yang juga telah diteliti dalam lima model
penelitian
berbeda yang dapat mempengaruhi obesitas adalah gen LEPR, gen
ADBR2,
gen LEP,gen UCP2, Gen UCP3, gen GNB3, gen LDLR, TNFRSFI B,
POMC, APOB,APOD25
.
Besarnya pengaruh genetik bervariasi dari 5 70%. Pada
beberapa
orang faktor genetik merupakan penentu utama, sedangkan pada
orang lain
faktor lingkungan merupakan penentu utama, namun tanpa asupan
berlebihan
obesitas tidak timbul, jadi peranan lingkungan memfasilitasi
ekspresi
berbagai gen obesitas. Hasil penelitian Mayers menunjukkan
bahwa
-
18
kemungkinan seorang anak obesitas 40% bila salah seorang dari
orangtuanya
obesitas dan sebesar 80% jika kedua orang tuanya obesitas serta
7% jika
kedua orangtuanya tidak obesitas25
.
4.2.3 Sosial ekonomi
Umumnya prevalensi obesitas lebih tinggi pada wanita dan
orang
dengan sosial ekonomi rendah. Di negara-negara maju seperti
Amerika dan
Australia, obesitas lebih banyak ditemukan pada mereka dengan
sosial
ekonomi rendah, yaitu sekitar 6-12 kali lebih banyak dibanding
mereka
dengan sosial ekonomi tinggi. Penelitian Sobal dan Stunkarrd
menguji 144
penelitian yang menghubungkan antara sosial economic status
(SES) dan
obesitas pada tahun 1989 menyimpulkan bahwa, di negara maju
kelompok
wanita dengan SES rendah memiliki prevalensi obesitas 6 kali
lebih tinggi
dibandingkan dengan kelompok wanita dengan SES tinggi26
.
Di negara berkembang seperti Afrika dan Asia, angka kejadian
obesitas
lebih sering terdapat di daerah perkotaan dibandingkan dengan
daerah
pedesaan artinya kejadian obesitas lebih sering ditemukan pada
golongan
sosial ekonomi tinggi. Prevalensi obesitas di Afrika Utara sama
tinggi
dengan kejadian di Amerika Serikat dan Mesir, 70% wanita da 48%
pria
mengalami overweight dan obesitas. Penelitian efek obesitas
terhadap
penyakit kronik yang didiagnosis dokter pada studi empiris di
Afrika Utara
dan Senegal ditemukan bahwa responden di Afrika Utara lebih
berpendidikan
dan mempunyai akses yang lebih baik terhadap penyimpanan air
daripada di
Senegal dengan gula darah puasa (GDP) perkapita di Afrika Utara
lebih besar
-
19
6,6 kali dibandingkan di Senegal. Rata-rata body mass index
(BMI) di Afrika
Utara adalah 27,3 dan di Senegal 22,9, dimana prevalensi
obesitas di Afrika
Utara sebanyak 27,8% dan di Senegal hanya 6,5%26
.
Fernald (2007), dalam penelitiannya menyatakan terdapat
hubungan
antara BMI, status sosio-ekonomi dan konsumsi air minuman ringan
di
negara sedang berkembang. Untuk negara maju, tingginya
obesitas
berhubungan secara terbalik dengan status sosio-ekonomi,
terutama untuk
wanita tetapi tidak bagi laki-laki atau anak. Namun bagi negara
sedang
berkembang tidak demikian terdapat hubungan positif antara
status sosio-
ekonomi dengan obesitas bagi kedua gender26
.
Seiring dengan meningkatnya taraf kesejahteraan masyarakat,
jumlah
penderita kegemukan dan obesitas cenderung meningkat. Di
Indonesia,
masalah kesehatan yang diakibatkan oleh gizi lebih ini mulai
muncul pada
awal tahun 1990-an. Peningkatan pendapatan masyarakat pada
kelompok
sosial ekonomi tertentu, terutama di perkotaan, menyebabkan
adanya
perubahan pola makan dan pola aktifitas yang mendukung
terjadinya
peningkatan jumlah penderita kegemukan dan obesitas26
.
Dalam penelitian tentang obesitas pada daerah kumuh di India
diketahui
bahwa masyarakat pedesaan ini bermigrasi ke kota metropolitan
dengan
harapan dapat mengubah gaya hidupnya. Di daerah perkotaan
akhirnya
mereka bermukim di daerah kumuh dan bekerja serabutan. Hal
ini
menyebabkan perubahan pada pola makan, terpaparnya stress,
dan
menurunnya akivitas fisik, meningkatnya kegiatan merokok dan
konsumsi
-
20
alkohol, dimana gaya hidup tersebut menjadi faktor resiko
terjadinya obesitas.
Bagaimanapun juga, di negara-negara berkembang, kelangkaan
dan
kekurangan pangan masih menjadi masalah, namun kecenderungan
akan
kejadian penyakit tidak menular pada masyarakat miskin perlu
menjadi
perhatian. Pada penelitian Sawaya di Brazil melaporkan kejadian
obesitas
sebesar 6,4% pada anak laki-laki dan 8,7% pada anak perempuan
dari 2411
subyek yang bermukim di kota-kota pondok. Terdapat 30%
prevalensi
kurang gizi, dan 78-90% anak stunting, namun secara bersamaan
diketahui
bahwa prevalensi overweight dan obesitas cukup tinggi yakni
masing-masing
16,7% dan 14,1%26
.
Yang menjadi penyebab tinggi prevalensi obesitas pada populasi
SES
rendah adalah perubahan gaya hidup dan pola makan desa menjadi
lebih
modern yang tinggi akan lemak dan rendah serat. Mereka yang
biasanya
bekerja menjadi petani dengan tingkat aktivitas yang tinggi
telah berubah
menjadi pedagang kaki lima dengn aktivitas fisik yang rendah.
Faktor lain
yang mempengaruhi yakni adalah aktivitas hypothalamus
pituitary
adrenocortical, faktor psikososial, dan reaksi fisiologis tubuh,
serta faktor
genetik26
.
Prevalensi Obesitas cenderung lebih tinggi pada masyarakat
dengan
tingkat sosial ekonomi rendah baik di Amerika Serikat dan di
negara lainya.
Hubungan terbalik antara SES dan kejadian overweight pada orang
dewasa
dan anak-anak, dicontohkan pada Study Minnesota heart.
Orang-orang
dengan sosial ekonomi tinggi lebih perduli dengan kontrol berat
badan
-
21
mereka, termasuk dengan exercise dan cenderung makan makanan
rendah
lemak. Pada studi National Heart, lung and blood institute
growth and health
menunjukkan bahwa SES dan overweight diasosiasikan dengan
suku
kaukasian anak usia 9-dan 10 tahun serta ibunya, tetapi tidak
pada anak
Amerika dan Afrika. Wanita Afrika Amerika dari segala usia lebih
banyak
mengalami obesitas dibandingkan wanita suku kaukasian26
.
Hubungan antara SES dan faktor risiko PKV sangat kuat dan
konsisten
terhadap pendidikan, menunjukkan risiko tinggi diabetes dan
obesitas yang
dihubungkan dengan rendahnya tingkat pendidikan. Studi Jatson et
al
melaporkan hasil yang sama, menunjukkan bahwa kadar glukosa
darah
berbanding terbalik dengan tingkat pendidikan27
.
Jenis pekerjaan dihubungkan dengan kejadian obesitas. Hasil
penelitian
Arambepola (2006) menemukan bahwa obesitas abdominal 33% lebih
banyak
pada laki-laki yang memiliki pekerjaan sedentarian (profesional,
manager,
tata usaha) dan hanya 6% pada mereka yang memiliki pekerjaan
aktif yang
tinggi (petani, nelayan, tukang kayu)27
.
2.5 Diagnosis
Setelah Reaven pada tahun 1988 mencanangkan sindrom RI, maka
WHO
1999 melakukan tata cara diagnostik SM yang memberi persyaratan
harus ada
komponen resistensi insulin atau hiperinsulinemia yang ditandai
dengan kadar
glukosa darah puasa > 110 mg/dl ditambah dengan komponen
lain. Berikut tabel
kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO (1999)
-
22
Tabel 3. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut WHO. (WHO.
Obesity:
Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
Berdasarkan atas kriteria WHO 1999 maka jelas komponen
resistensi
insulin dalam hal ini diabetes mellitus dan atau resistensi
glukosa terganggu
merupakan titik sentral dari komponen faktor risiko penyakit
kardiovaskuler. Pada
dasarnya semua komponen dari sindrom metabolik terkait satu sama
lain sehingga
dengan penanganan salah satu dari komponen akan memberi dampak
positif pula
pada komponen lain12
.
Selanjutnya NCEP ATP III merekomendasikan sindrom metabolik
dengan
kriteria berbeda dimana gangguan resistensi insulin tidak
dimasukkan dalam salah
satu persyaratan melainkan memasukkan dalam kedudukan yang
sejajar dengan
komponen lainnya. Menurut rekomendasi ATP III, dikatakan sindrom
metabolik
apabila ditemukan 3 atau lebih komponen yang ada pada satu
subjek. Berikut
kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III dan ATP III
yang
dimodifikasi12
.
-
23
Tabel 4. Kriteria diagnosis sindrom metabolik menurut ATP III.
(WHO. Obesity:
Preventing and Managing the Global Epidemic. Geneva. 2000)
Selanjutnya klasifikasi ATP III mengalami modifikasi khusus bagi
orang
Asia dimana lingkar pinggang dianggap terlalu besar untuk orang
Asia dimana
lingkar pinggang orang Asia untuk laki-laki adalah 90 cm dan
wanita 80 cm.
Komponen lainnya tetap sama sebagaimana ATP III. Namun, jika
dilihat dari
kriteria diagnosis WHO dan NCEP ATP digunakan glukosa darah
puasa
terganggu12
.
2.6 Patofisiologi
Patofisiogi dari sindrom resistensi insulin tidak didasarkan
dari satu faktor
utama dan bersifat multifaktor. Namun, dari beberapa penelitian
didapatkan
bahwa resistensi insulin dan obesitas sentral merupakan
patofisiologi dasar yang
saling berkaitan erat satu sama lain tanpa mengesampingkan
faktor lainnya dari
SM28
.
-
24
1. Obesitas sentral
Obesitas adalah penimbunan lemak tubuh melebihi nilai normal
sehingga
dapat menyebabkan peningkatan resiko morbiditas dan mortalitas
penyakit.
Obesitas dapat disebabkan oleh banyak faktor tetapi prinsip
dasarnya adalah sama
yaitu ketidakseimbangan dalam penyimpanan dan pengeluaran
energi. Energi
yang dimasukkan dalam tubuh tidak digunakan secara efektif
sehingga tertimbun
dalam jaringan lemak28
.
Terdapat dua tipe obesitas yaitu obesitas sentral dan perifer.
Pada obesitas
sentral terjadi penimbunan lemak dalam tubuh melebihi nilai
normal di daerah
abdomen. Sedangkan, obesitas perifer adalah penimbunan lemak
didaerah
gluteofemoral. Obesitas sentral merupakan faktor yang sangat
berpengaruh dalam
mencetuskan terjadinya resistensi insulin. Hal-hal yang dapat
menyebabkan
terjadinya resistensi insulin, antara lain28
:
a. Lipotoksisitas
Pemaparan asam lemak bebas yang lama pada sel beta pankreas
meningkatkan pengeluaran insulin basal tapi menghambat sekresi
insulin yang
disebabkan oleh glukosa. Selain itu asam lemak bebas juga dapat
menghambat
ekspresi insulin pada keadaan glukosa plasma yang tinggi dan
menginduki
apoptosis sel beta pankreas.
Asam lemak bebas yang meningkat mengganggu kemampuan insulin
untuk
menghambat penghasilan glukosa hepatik dan menghambat pemasokan
glukosa
ke dalam otot skelet, juga menghambat sekresi insulin dari sel
beta pankreas. Hal
ini menyebabkan resistensi insulin pada organ hati dan otot.
-
25
b. Adipositokin
Sitokin-sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak seperti tumor
necrosis factor-
(TNF-), interleukin-6 (IL-6) dan resistin dapat mencetuskan
terjadinya RI
karena adanya efek proinflamasi. Efek-efek ini dapat mengganggu
fungsi GLUT-
4 sebagai transporter glukosa sehingga tidak dapat memasukkan
glukosa ke dalam
sel.
Jaringan lemak yang dulu dianggap sebagai deposit trigliserid
ternyata
mempunyai fungsi endokrin sitokin dengan menghasilkan hormon
TNF-, leptin,
IL-6, resistin. TNF, IL-6 dan resitin menyebabkan RI sedang
adiponektin dan
leptin menghambat RI.
c. Adinopektin
Adinopektin adalah protein sekretorik mirip kolagen yang
dihasilkan oleh
sel lemak. Kadar adinopektin dalam serum berbanding terbalik
dengan berat
badan. adinopektin juga memiliki peran dalam meningkatkan
sensitifitas insulin,
anti-inflamasi dan anti-aterogenik.
-
26
Gambar 4. Peran adinopektin terhadap resistensi insulin.
Sherwood, Lauralee.
Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem
hal. 661-667. 2006. EGC.
d. Leptin
Kadar leptin serum sangat berhubungan dengan ekspresi mRNA
leptin pada
sel lemak dan kadar trigliserida dalam sel tersebut. Tempat
kerja leptin di
hipotalamus, dimana leptin bekerja sebagai regulator pemasukan
dan pengeluaran
energi. Leptin memiliki efek menurunkan sintesis lemak,
menurunkan sintesis
trigliserida dan meningkatkan oksidasi asam lemak sehingga bisa
meningkatkan
sensitifitas insulin. Selain itu leptin berfungsi menurunkan
nafsu makan dan
meningkatkan penggunaan energi.
e. Interleukin-6 (IL-6)
Interleukin-6 adalah sitokin yang dihasilkan oleh sel lemak
dimana
peningkatan kadarnya dipengaruhi oleh peningkatan jumlah dan
ukuran sel lemak.
IL-6 disekresi 2-3 kali lebih banyak oleh jaringan lemak viseral
daripada jarigan
lemak subkutan pada orang yang obes berat. Interleukin-6
memiliki sifat pro-
inflamasi yang dapat dihubungkan dengan terjadinya resistensi
insulin.
Interleukin-6 diperkirakan dapat mengirimkan sinyal-sinyal
secara sistemik untuk
menurunkan sensitifitas sel terhadap insulin khususnya sel
hati.
f. Resistin
Resistin adalah hormon yang diekspresi dan disekresi oleh sel
lemak.
Ekspresi gen resistin diinduksi pada saat diferensiasi sel
lemak. Resistin
diperkirakan memiliki peran dalam obesitas dan resistensi
insulin.
-
27
g. Tumor Necrosis Factor- (TNF-)
Sel lemak merupakan sumber dan target dari sitokin TNF-. Orang
yang
mengalami obesitas mengekspresikan mRNA TNF- 2-3 kali lebih
banyak
daripada orangbkurus. Kadar TNF- akan menurun dengan penurunan
berat
badan. Efek TNF- pada jaringan lemak yaitu penurunan eksresi
transporter
glukosa GLUT-4 dan peningkatan hormon lipase. TNF- memiliki
potensi untuk
mencetuskan resistensi insulin karena glukosa plasma yang masuk
ke sel
berkurang.
Obesitas yang diikuti dengan meningkatnya metabolisme lemak
akan
menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS) meningkat
baik di
sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di dalam sel
adiposa dapat
menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks)
terganggu, sehingga
enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan ini
disebut dengan stres
oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan disregulasi
jaringan adiposa
dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM, hipertensi dan
aterosklerosis28
.
Stres oksidatif sering dikaitkan dengan berbagai patofisiologi
penyakit
antara lain diabetes tipe 2 dan aterosklerosis. Pada pasien
diabetes melitus tipe 2,
biasanya terjadi peningkatan stress oksidatif, terutama akibat
hiperglikemia. Stress
oksidatif dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinya
disfungsi endotel-
angiopati diabetik, dan pusat dari semua angiopati diabetik
adalah hiperglikemia
yang menginduksi stres oksidatif melalui 3 jalur, yaitu;
peningkatan jalur poliol,
peningkatan auto-oksidasi glukosa dan peningkatan protein
glikosilat29
.
-
28
Pada keadaan diabetes, stres oksidatif menghambat pengambilan
glukosa di
sel otot dan sel lemak serta menurunkan sekresi insulin oleh
sel- pankreas. Stres
oksidatif secara langsung mempengaruhi dinding vaskular sehingga
berperan
penting pada patofisiologi terjadinya diabetes tipe 2 dan
aterosklerosis. Dari
beberapa penelitian diketahui bahwa akumulasi lemak pada
obesitas dapat
menginduksi keadaan stress oksidatif yang disertai dengan
peningkatan ekspresi
Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphatase (NADPH) oksidase
dan
penurunan ekspresi enzim antioksidan30
Gambar 5. Peningkatan produksi reactive oxidative stress (ROS)
pada lemak
yang terakumulasi dan menyebabkan keadaan SM. (Sartika, Cyntia
R.
Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan Disfungsi Endotel
pada
Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum. 2006. Prodia
Diagnostics
Educational Services. No. 2)
Obesity
ROS
Antioxidative
Enzymes
NADPH Oxidase
Oxidative Stress to
remote tissues
Dysregulation of adipocytokines
Oxidative Stress
in WAT
Adiponectin
Pal-1, TNF-, MCP-1
METABOLIC SINDROME
Insulin Resistace Diabetes Atherosclerosis
ROS
-
29
Pada kultur sel adiposa, peningkatan kadar asam lemak
meningkatkan stres
oksidatif melalui aktivasi NADPH oksidase sehingga menyebabkan
disregulasi
sitokin proinflamasi IL-6 dan MCP-1. Akumulasi peningkatan stres
oksidatif pada
sel adiposa dapat menyebabkan disregulasi adipokin dan keadaan
SM. Furukawa
dkk (2004) menunjukkan bahwa kadar adiponektin berhubungan
terbalik dengan
stres oksidatif secara sistemik.
2. Resistensi insulin (RI)
Perkembangan resistensi insulin pada sindrom metabolik
disebabkan oleh
banyaknya asam lemak bebas yang beredar di plasma pada orang
dengan obesitas
sentral28
.
Gambar 6. Patofisiologi gangguan pada sindrom metabolik.
Sherwood, Lauralee.
Organ endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem
hal. 661-667. 2006. EGC
Berdasarkan gambar diatas, adanya resistensi insulin ini akan
semakin
meningkatkan pemecahan asam lemak bebas (lipolisis) di jaringan
adiposa yang
menyebabkan terjadinya beberapa gangguan pada sistem organ
antara lain28
:
-
30
- Jaringan otot
Terjadi penurunan ambilan glukosa (Glucose uptake)
- Hati
Terjadi peningkatan pemecahan glukosa di hati
(glukoneogenesis)
- Pankreas
Terjadi peningkatan sekresi insulin oleh sel- pankreas
- Pembuluh darah
Terjadinya vasokonstriksi dan penurunan relaksasi pembuluh darah
akibat
penurunan Nitrit oxide.
Resistensi insulin dapat menyebabkan dislipidemia melalui
peningkatan
asam lemak bebas yang dapat meningkatkan sintesis dan sekresi
apoB100 sebagai
kofaktor dari trigliserid dan Very LDL. Pada
hipertrigliseridemia terjadi
penurunan isi ester kolesterol dari inti lipoprotein menyebabkan
penurunan isi
kolesterol HDL dengan peningkatan beragam trigliserida
menjadikan partikel
kecil dan padat. Hal ini menyebabkan peningkatan bersihan HDL di
sirkulasi28
.
-
31
Gambar 7. Patofisiologi dislipidemia pada SM. (Sherwood,
Lauralee. Organ
endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem
hal.
661-667. 2006. EGC)
Hipertensi pada SM dapat disebabkan oleh mekanisme yang sulit
dipisahkan
satu sama lain karena adanya resistensi insulin dan obesitas.
Adanya resistensi
insulin akan mengganggu produksi endothelial Nitric Oxide
Synthase (eNOS)
sehingga menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah28
.
Gambar 8. Patofisiologi hipertensi pada SM. (Sherwood, Lauralee.
Organ
endokrin perifer dalam Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem hal.
661-
667. 2006. EGC)
Selain itu, obesitas juga dapat menimbulkan hipertensi melalui
beberapa
mekanisme berikut28
:
- Pada individu obese terjadi peningkatan volume darah, stroke
volume dan
cardiac output sehingga terjadi peningkatan peripheral vascular
resistance pada
individu obese yang dapat menimbulkan kondisi hipertensi
- Obesitas dikaitkan dengan disfungsi endotel, resistensi
insulin, perubahan
sistem saraf simpatik, dan pelepasan mediator proinflamasi
(Tumor Necrosis
-
32
Factor/TNF- dan Intrleukin/IL-6) sehingga terjadi peningkatan
peripheral
vascular resistance.
Patofisiologi SM masih menjadi kontroversi, namun hipotesis yang
paling
banyak diterima adalah RI. Gambar berikut menunjukkan etiologi
patofisiologi
dari RI dan SM28
.
Gambar 9. Etiologi patofisiologi resistensi insulin dan sindroma
metabolik.
(Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi
Manusia
dari Sel ke Sistem hal. 661-667. 2006. EGC)
2.7 Penatalaksanaan
Saat ini belum ada studi acak terkontrol yang khusus tentang
penatalaksanaan SM. Berdasarkan studi klinis, penatalaksanaan
agresif terhadap
komponen SM dapat mencegah atau memperlambat onset diabetes,
hipertensi dan
penyakit kardiovaskular. Semua pasien yang didiagnosis dengan SM
hendaklah
Pengaruh genetik Resistensi Insulin
Hyperinsulinemia
Pengaruh lingkungan
Defisiensi zat-zat gizi
Intake kalori yang berlebihan
Aktivitas fisik rendah
Aterosklerosis
Gout
Diabetes
Obesitas
Hipertensi
Peningkatan
asam urat
Peningkatan
kolesterol
LDL
Peningkatan Trygliserida
Penurunan
kolesterol
HDL
Peningkatan
lipogenesis
Peningkatan
tekanan darah
Intoleransi
glukosa
-
33
dimotivasi untuk merubah kebiasaan makan dan latihan fisiknya
sebagai
pendekatan terapi utama. Penurunan berat badan dapat memperbaiki
semua aspek
SM, mengurangi semua penyebab dan mortalitas PKV. Namun
kebanyakan
pasien mengalami kesulitan dalam mencapai penurunan berat badan.
Latihan fisik
dan perubahan pola makan dapat menurunkan tekanan darah dan
memperbaiki
kadar lipid, sehingga dapat memperbaiki RI31
.
1. Latihan Fisik
Otot rangka merupakan jaringan yang paling sensitif terhadap
insulin
didalam tubuh, dan merupakan target utama terjadinya resistensi
insulin. Latihan
fisik terbukti dapat menurunkan kadar lipid dan resistensi
insulin didalam otot
rangka. Pengaruh latihan fisik terhadap sensitivitas insulin
terjadi dalam 24 48
jam dan hilang dalam 3 sampai 4 hari. Jadi aktivitas fisik
teratur hendaklah
merupakan bagian dari usaha untuk memperbaiki RI. Pasien
hendaklah diarahkan
untuk memperbaiki dan meningkatkan derajat aktifitas fisiknya.
Manfaat paling
besar dapat diperoleh bila pasien menjalani latihan fisik sedang
secara teratur
dalam jangka panjang. Kombinasi latihan fisik aerobik dan
latihan fisik
menggunakan beban merupakan pilihan terbaik. Dengan menggunakan
dumbbell
ringan dan elastic exercise band merupakan pilihan terbaik untuk
latihan dengan
menggunakan beban. Jalan kaki dan jogging selama 1 jam perhari
juga terbukti
dapat menurunkan lemak viseral secara bermakna pada laki-laki
tanpa
mengurangi jumlah kalori yang dibutuhkan31
.
-
34
2. Diet
Sasaran utama dari diet terhadap SM adalah menurunkan risiko
penyakit
kardiovaskular dan diabetes melitus. Review dari Cochrane
Database mendukung
peranan intervensi diet dalam menurunkan risiko penyakit
kardiovaskular. Bukti-
bukti dari suatu studi besar menunjukkan bahwa diet rendah
sodium dapat
membantu mempertahankan penurunkan tekanan darah. Hasil dari
studi klinis,
diet rendah lemak selama lebih dari 2 tahun menunjukkan
penurunan bermakna
dari kejadian komplikasi kardiovaskular dan menurunkan angka
kematian total32
.
Berdasarkan studi dari the Dietary Approaches to Stop
Hypertension
(DASH), pasien yang mengkonsumsi diet rendah lemak jenuh dan
tinggi
karbohidrat terbukti mengalami penurunan tekanan darah yang
berarti walaupun
tanpa disertai penurunan berat badan32
.
Penurunan asupan sodium dapat menurunkan tekanan darah lebih
lanjut atau
mencegah kenaikan tekanan darah yang menyertai proses menua.
Studi dari the
Coronary Artery Risk Development in Young Adults mendapatkan
bahwa
konsumsi produk-produk rendah lemak dan garam disertai dengan
penurunan
risiko SM yang bermakna. Diet rendah lemak tinggi karbohidrat
dapat
meningkatkan kadar trigliserida dan menurunkan kadar HDL
kolesterol, sehingga
memperberat dislipidemia. Untuk menurunkan hipertrigliseridemia
atau
meningkatkan kadar HDL kolesterol pada pasien dengan diet rendah
lemak,
asupan karbohidrat hendaklah dikurangi dan diganti dengan
makanan yang
mengandung lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid = MUFA)
atau asupan
karbohidrat yang mempunyai indeks glikemik rendah. Diet ini
merupakan pola
-
35
diet Mediterrania yang terbukti dapat menurunkan mortalitas PKV.
Suatu studi
menunjukkan adanya korelasi antara PKV dan asupan biji-bijian
dan kentang.
Para peneliti merekomendasikan diet yang mengandung biji-bijian,
buah-buahan
dan sayuran untuk menurunkan risiko PKV. Efek jangka panjang
dari diet rendah
karbohidrat belum diteliti secara adekuat, namun dalam jangka
pendek, terbukti
dapat menurunkan kadar trigliserida, meningkatkan kadar
HDL-cholesterol dan
menurunkan berat badan. Pilihan untuk menurunkan asupan
karbohidrat adalah
dengan mengganti makanan yang mempunyai indeks glikemik tinggi
dengan
indeks glikemik rendah yang banyak mengandung serat. Makanan
dengan indeks
glikemik rendah dapat menurunkan kadar glukosa post prandial dan
insulin32
.
3. Medikamentosa
Obat-obatan dapat dipakai sebagai bagian pengaturan berat badan.
Obat
yang dapat diberikan adalah sibutramin dan orlistat. Sibutramin
bekerja disentral
memberikan efek mengurangi asupan energi melalui efek memberikan
rasa
kenyang dan mempertahankan pengeluaran energi. Demikian pula
dengan efek
metabolik, sebagai efek penurunan berat badan pemberian
sibutramin setelah 24
minggu yang disertai dengan diet dan aktifitas fisik,
memperbaiki kolesterol HDL
dan kadar trigliserida33
.
Untuk hipertensi pada SM, dapat digunakan golongan ACE-inhibitor
yang
memiliki makna dalam meregresi hipertrofi ventrikel. Selain itu,
valsartan sebagai
penghambat reseptor angiotensin dapat mengurangi albuminuria
yang diketahui
sebagai faktor risiko independen kardiovaskular. Tiazolidindion
juga memilki
pengaru persisten dalam menurunkan tekanan darah sistolik dan
diastolik.
-
36
Tiazolidindion dan metformin juga dapat menurunkan kadar asam
lemak bebas.
Pada diabetes prevention program, penggunaan metformin dapat
mengurangi
progresi diabetes sebesar 31% dan efektif pada pasien muda
dengan obesitas33
.
Pilihan terapi untuk dislipidemia selain dengan modifikasi gaya
hidup
adalah dengan pemberian obat. Terapi dengan gemfibrozil tidak
hanya
memperbaiki profil lipid tapi juga menurunkan risiko
kardiovaskuler. Fenofibrat
juga secara khusus digunakan untuk menurunkan trigliserida dan
meningkatkan
kolesterol HDL, telah meningkatkan perbaikan profil lipid yang
sangat efektif dan
mengurangi risiko kardiovaskular33
.
-
37
BAB III
PENUTUP
SM adalah kelompok berbagai komponen faktor risiko yang terdiri
dari
hipertensi, gangguan toleransi glukosa, obesitas sentral dan
dislipidemia yang
ditandai dengan meningkatnya trigliserida dan menurunnya
kolesterol HDL yang
dapat menimbulkan konsekuensi klinik yang serius berupa PKV,
diabetes mellitus
tipe 2, sindrom ovarium polikistik dan perlemakan hati
non-alkoholik.
Etiologi SM belum dapat diketahui secara pasti. Suatu hipotesis
menyatakan
bahwa penyebab primer dari SM adalah RI. Patofisiologi SM masih
menjadi
kontroversi, namun hipotesis yang paling banyak diterima adalah
RI. Obesitas
merupakan komponen utama kejadian SM, namun mekanisme yang jelas
belum
diketahui secara pasti. Obesitas yang diikuti dengan
meningkatnya metabolisme
lemak akan menyebabkan produksi Reactive Oxygen Species (ROS)
meningkat
baik di sirkulasi maupun di sel adiposa. Meningkatnya ROS di
dalam sel adipose
dapat menyebabkan keseimbangan reaksi reduksi oksidasi (redoks)
terganggu,
sehingga enzim antioksidan menurun di dalam sirkulasi. Keadaan
ini disebut
dengan stres oksidatif. Meningkatnya stres oksidatif menyebabkan
disregulasi
jaringan adiposa dan merupakan awal patofisiologi terjadinya SM,
hipertensi dan
aterosklerosis.
SM dapat didiagnosis dengan menggunakan kriteria NCEP ATP
dengan
modifikasi. Faktor resiko yang mendasari terdiri dari faktor
genetik, diet,
-
38
inaktifitas fisik dan usia. Prinsip pengobatan SM adalah
perubahan pola hidup,
dengan meningkatkan aktifitas/latihan fisik dan diet rendah
garam, rendah lemak
jenuh dan kaya sayur/buah, sehingga dapat menurunkan berat
badan, memperbaiki
resistensi insulin dan menurunkan TG, serta menaikkan HDL.
Pengobatan
medikamentosa yang dianjurkan ditujukan terutama untuk
memperbaiki kadar
glukosa pada DM dan meningkatkan resistensi insulin, yaitu
dengan OHO saja
atau kombinasi OHO dengan insulin. Anti hipertensi golongan ACEI
atau ARB
merupakan pilihan utama dan dapat dikombinasi dengan calcium
channel blocker,
carvedilol atau beta selektif lainnya, serta diuretik bila
target tekanan darah belum
tercapai. Obat obatan lain untuk menurunkan TG dan menaikkan HDL
seperti
golongan statin, dapat diberikan untuk membantu menurunkan
faktor resiko
kardiovaskular.
-
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Haffner S, Taegtmeyer H. Epidemic obesity and the metabolic
syndrome. Circulation 2003; 108: 1541-1545.
2. IDF. 2005. The IDF Concencus Worldwide Definition of the
Metabolic Syndrome.(online) (www.idf.org, diakses 27 Oktober
2013)
3. Expert panel on detection, evaluation, and treatment of High
Blood Cholesterol in adults. Executive summary of the third report
of the
national cholesterol education program (NCEP) expert panel on
detection
of detection, evaluation and treat ment of high cholesterol in
aduls (adult
treatment panel III). JAMA 2001; 285: 2486-2497.
4. Ford ES, Giles WH, Dietz WH. Prevalence of the metabolic
syndrome among US adults; finding from the third National Health
and Nutrition
Examination Survey. JAMA 2002; 287: 356-359.
5. Budhiarta AAG, Aryana IGP, Saraswati MR, et al. Sindrom
metabolik di Bali. Naskah lengkap Surabaya Metabolic Syndrome
Update-1. 2005;
139-147.
6. Suyono S, Kamso S, Oemardi M. Metabolic syndrome in the
elderly should it be treated?.Naskah lengkap Surabaya Metabolic
Syndrome
Update-1. 2005; 9-20.
7. Widjaya A, et al, 2004. Obesitas dan Sindrom Metabolik. Forum
Diagnosticum. 4:1-16.
8. WHO. Obesity: Preventing and Managing the Global Epidemic.
Geneva. 2000.
9. Gu D, Reynolds K, Wu X, Chen J, Duan X, Reynolds RF, Whelton
PK, He J. Prevalence of The Metabolic Syndrome and Overweight
Among
Adults in China. Lancet. 2005; 365:13981405. 10. Isomaa B et al.
Cardiovascular morbidity and mortality associated with the
metabolic syndrome. Diabetes Care. 2001;24:683-689.
11. Pitsavos, C. et al, 2006. Diet, Exercise and Metabolic
Syndrome. The Review of Diabetic Studies: DOI 10.
1900?RDS.2006.3.118 (online),
(www. The-RDS.org, diakses 27 Oktober 2013).
12. Amy Z. Fan. Etiology of the Metabolic Syndrome. Current
Cardiology Review 2007 pg. 232-239.
13. Adrianjah, H dan Adam, J. Sindroma Metabolik:Pengertian,
Epidemiologi, dan Criteria Diagnosis. Informasi laboratorium prodia
No.4/2006.
14. Shahab, A. 2007. Sindrom Metabolik. Media informasi Ilmu
Kesehatan dan Kedokteran. (online), (http:/ alwia.com, diakses 27
Oktober 2013)
15. Angraeni, D., 2007. Mewaspadai Adanya Sindrom Metabolic.
(Online). (http://labcito.co.id., diakses 27 Oktober 2013)
16. Tjokroprawiro A.. New Approach in The Treatment of T2DM and
Metabolic Syndrome. The Indonesian Journal of Internal Medicine.
2006.
38:160-166.
-
40
17. Arief, I. 2008. mencegah obesitas dengan mengurangi waktu
nonton tv. artikel.(online) (www.pjnhk.go.id./view/808/31, diakses
27 Oktober 2013)
18. Vermunt et al. Effects of Sugar Intake on Body Weight: A
Review. Obesity Reviews (2003) 4, 9199
19. Lipoeto, N.,. Consumption of Minangkabau Traditional Food
and Cardiovascular Disease in west sumatra, indonesia. Monash
university.
2002
20. Hayens, B., et al. Buku Pintar Menaklukkan Hipertensi.
Jakarta: Ladang pustaka & Intimedia. 2003
21. Soeharto, I. , 2004. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan
Jantung. Jakarta: Gramedia
22. Kusmana, D., 2007. Rokok & kesehatan jantung. (online)
(http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=312 , diakses 27
Oktober
2013)
23. Targher, G., dkk., 1999. Cigarette Smoking and Insulin
Resistance in Patients with Noninsulin-Dependent Diabetes Mellitus.
Journal of clinical
Endocrinology and metabolism. (online),
(www.jcem.endojournals.org,
diakses 27 Oktober 2013)
24. Ceriello A, Motz E. Is Oxidative Stress the Pathogenic
Mechanism Underlying Insulin Resistance, Diabetes and CVD?,
Arterioscler Thromb
Vac Bio 2004 ; 24 : 816-823.
25. Bray, GE., Ryan, DH. 2006. Overweight and The Methabolic
Sindrome: from Bench to Bedside. Springer Science.
26. Misra, A., et al. High Prevalence of Diabetes, Obesity and
Dyslipiddaemia in Urban Slum Population in Northern India.
International Journal of
Obesity. Nov.2001.Vol 25, No.11:1722-1729.
27. Stelmach et al. How income and education contribute to risk
factors for cardiovaskuler diseases in elderly in a former
communist country. Public
Health (2004) 118, 439-449.
28. Sherwood, Lauralee. Organ endokrin perifer dalam Fisiologi
Manusia dari Sel ke Sistem hal. 661-667. 2006. EGC.
29. Majalah Farmacia, 2007. Stress Oksidatif, Faktor Penting
Penyulit Vascular. (online)( www.combiphar.com/ahp, diakses 27
Oktober 2013).
30. Sartika, Cyntia R. Penanda Inflamasi, Stress Oksidatif dan
Disfungsi Endotel pada Sindroma Metabolik. Forum Diagnosticum.
2006. Prodia
Diagnostics Educational Services. No. 2.
31. Sugondo, Sidartawan. Sindrom Metabolik dalam Buku Ajar
Penyakit Dalam. 2006: pg 1871-1872.
32. Sutomo Kasiman. Pengaruh Makanan Pada Sindrom Metabolik. J
Kardiol Indones. 2011;32:24-26.
33. Scott M,G et al. Diagnosis and Management of the Metabolic
Syndrome. An American Heart Association/National Heart, Lung, and
Blood Institute
Scientific Statement. 2008:1823-1835.