SILA KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk ciptaAN Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki potensi, pikir, rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai, menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang. Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama norma sosial dan kesusilaan / moral. Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan umumnya. Potensi kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia, tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta bersifat universal. Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia bersumber pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
SILA KEMANUSIAN YANG ADIL DAN BERADAB
Kemanusiaan berasal dari kata manusia, yakni makhluk
ciptaAN Tuhan Yang Maha Esa, yang memiliki potensi, pikir,
rasa, karsa dan cipta. Karena potensi ini manusia mempunyai,
menempati kedudukan dan martabat yang tinggi. Kata adil
mengandung makna bahwa suatu keputusan dan tindakan
didasarkan atas ukuran / norma-norma yang obyektif, dan tidak
subyektif, sehingga tidak sewenang-wenang.
Kata beradab berasal dari kata adab, artinya budaya. Jadi adab
mengandung arti berbudaya, yaitu sikap hidup, keputusan dan
tindakan yang selalu dilandasi oleh nilai-nilai budaya, terutama
norma sosial dan kesusilaan / moral.
Kemanusiaan yang adil dan beradab mengandung pengertian
adanya kesadaran sikap dan perbuatan manusia yang
didasarkan kepada potensi budi nurani manusia dalam
hubungannya dengan norma-norma dan kebudayaan
umumnya.
Potensi kemanusiaan dimiliki oleh semua manusia di dunia,
tanpa memandang ras, keturunan dan warna kulit, serta
bersifat universal.
Kemanusiaan yang adil dan beradab bagi bangsa Indonesia
bersumber pada ajaran Tuhan Yang Maha Esa yakni sesuai
dengan kodrat manusia sebagai ciptaanNya. Hal ini selaran
dengan :
a.pembukaan UUD 1945 alinea pertama
b.Pasal 27, 28, 29, 30 dan 31 UUD 1945
2. Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
(1) Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan
harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha
Esa.
(2) Mengakui persamaan derajad, persamaan hak dan
kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan
suku, keturrunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin,
kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
(3) Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
(4) Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa
selira.
(5) Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang
lain.
(6) Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
(7) Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
(8) Berani membela kebenaran dan keadilan.
(9) Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari
Franz Magnis Suseno | Salah satu “permainan” ideologis di
negara kita ini adalah pertanyaan: manakah sila paling
mendasar dalam Pancasila sebagaimana disebut dalam
Pembukaan Undang-undang Dasar 1945. Ada yang
mengatakan bahwa itu tentunya sila pertama, Ketuhanan Yang
Maha Esa, karena Tuhan adalah yang tertinggi dari segala yang
ada. Ada yang mengatakan bahwa itu adalah “Persatuan
Indonesia” karena tanpa sila itu, sila-sila lain tidak mempunyai
tempat untuk berpijak, yaitu bumi Indonesia. Begitu pula bagi
“kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan/perwakilan” dan bagi “keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” bisa ditemukan argumentasi
mengapa harus dianggap sila yang paling mendasar.
Akan tetapi ada argumen kuat untuk mengikuti pendapat alm.
Prof. Dr. Nikolaus Drijarkara. Rama Drijarkara menegaskan
bahwa sila yang paling mendasar, dalam arti etis, adalah sila
kedua, “Kemanusiaan yang Adil dan Beradab”. Mengapa sila
ini? Karena tanpa kemanusiaan yang adil dan beradab, semua
sila lain menjadi cacat. Sebaliknya, meskipun tanpa empat sila
lain, sila kedua belum mengembangkan sepenuhnya dimensi-
dimensi potensial manusia, akan tetapi asal seseorang, dan
begitu pula hubungan antar orang, menjadi adil dan beradab,
dasar situasi yang secara etis benar dan mantap sudah
diletakkan. Dengan kata lain, hanya atas dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab empat sila lain bisa bermutu.
Mari kita lihat tempat kunci sila kedua dengan sedikit lebih
rinci. Pertama harus dikatakan bahwa kita memang harus mulai
pada manusia, dan bukan pada Tuhan. Bukan karena manusia
lebih tinggi daripada Tuhan – Tuhan tentu jelas lebih tinggi
daripada manusia – melainkan karena sebagai manusia kita
hanya dapat bertitik tolak dari kemanusiaan. Setiap orang yang
mnengklaim bertolak langsung dari Tuhan otomatis sudah
sesat dan menyesatkan. Ia adalah manusia, dengan pengertian
manusia dan wawasan manusia, dan tidak bisa langsung
mengatasnamakan Tuhan. Maka manusia senang atau tidak
harus mulai dari dirinya sendiri. Tanpa kemanusiaan, tidak ada
dimensi manusia lain. Jadi tanpa kemanusiaan tak ada dimensi
lain, tak ada kebangsaan, tak ada kerakyatan, tak ada
Ketuhanan (tetapi, sekali lagi, Tuhan tentu ada tanpa
kemanusiaan, tetapi bukan Ketuhanan sebagai penghayatan
dan pengakuan manusia terhadap Tuhan).
Tetapi kemanusiaan yang bagaimana? Dimensi hubungan natar
manusia yang menjadi syarat segala hubungan yang baik
adalah keadilan. Adil berarti, mengakui orang lain, mengakui
dia sebegai manusia, dengan martabatnya, dengan
menghormati hak-haknya. Cinta itu mewujudkan hubungan
antar manusia paling mendalam dan berharga, tetapi kalau dia
melanggar keadilan, dia bukan cinta dalam arti yang
sebenarnya. Kejujuran yang tidak adil bukan kejujuran. Dan
kebaikan yang tidak adil kehilangan harkat etisnya.
Tetapi keadilan tidak berdiri sendiri. Memperjuangkan keadilan
hanyalah etis apabila dilakukan dengan cara yang beradab.
Tanpa sikap beradab keadilan menjadi tidak adil. Itulah seninya
sila kedua :”Kemanusiaan yang adil dan beradab” merupakan
salah satu rumusan cita-cita dasar manusia yang paling indah
dan mendalam! Jadi kemanusiaan hanyalah utuh apabila adil
dan beradab.
Dari situ sudah dapat ditarik sebuah kesimpulan. Gasis paling
bawah yang menjamin harkat etis manusia adalah
keberadaban. Bertindak dengan beradab tentu belum cukup
kalau kita menghadap kewajiban kita sebagai manusia dalam
masyarakat dan dunia, akan tetapi sudah merupakan titik
berpijak yang menjamin moralitas pada dasariah. Sebaliknya,
bertindak dengan tidak beradab, demi tujuan baik pun, adalah
tidak mutu dan tidak etis.misalnya orang yang
memperjuangkan keyakinan politik atau keyakinan
keagamaannya dengan cara yang tidak beradab justru
merendahkan etika politik dan menghina agamanya sendiri.
Sebenarnya banyak masalah dalam masyarakat kita sudah
akan terpecahkan asal saja kita bertekad bersama untuk selalu
bertindak secara beradab. Tak perlu dulu icara akhlak mulia,
cukup kalau kita mau membawa diri sebagai makhluk yang
beradab saja. Karena keberadaban itulah yang membedakan
manusia dari binatang. Jadi kita mestinya bertekad untuk tidak
pernag bertindak secara tidak beradab, secara brutal, secara
kejam atau keji, secara beringas, secara kasar tak sopan.
Tekad ini justru perlu dipegang dalam memperjuangkan yang
baik. Begitu misalnya tindakan kasar dan brutal atas nama
agama merupakan penghinaan terhadap agama yang
diperjuangkan sendiri tak mungkin tindakan tak beradab dan
brutal berkenan di hadapan Tuhan.
Karena keadilan dan keberadaban merupakan syarat harkat
etis segala tindakan manusia, kemanusiaan yang adil dan
beradab merupakan inti Pancasila.
Hal itu dapat diperlihatkan pada sila-sila lain. Ketuhanan Yang
Maha Esa yang disertai sikap tak adil atau tindakan tak
beradab dan brutal menjadi tidak mutu dan menyabot makna
Ketuhanan sendiri. Memang selama sejarah umat manusia
sampai hari ini banyak kekasaran, kejahatan, kebrutalan
dilakukan atas nama manusia. Semuanya itu menghina Tuhan.
Orang yang bertindak brutal, kasar dan tidak beradab jangan
berani mengatasnamakan Tuhan atau agama. Begitu pula
nasionalisme yang terungkap dalam sila Persatuan Indonesia,
selalu harus adil dan beradab kalau mempertahankan
harkatnya. Mengaku cinta pada bangsa sendiri tetapi bersikap
arogan dan brutal terhadap bangsa lain merusak harkat
kebangsaan. Kerakyatan pun kalau tidak memperhatikan
keadilan misalnya menjadi kediktatoran mayoritas yang
melanggar hak-hak asasi minoritas – menjadi wahana
kejahatan. Kerakyatan yang mencuat dalam tindakan tak
beradab menjadi keganasan massa – rule of the mob dalam
bahasa Inggris – yang memuakkan karena bisa menjadi brutal
dan sampai ke pembunuhan. Kerakyatan Pancasila adalah
kerakyatan yang adil dan beradab. Keadilan sosial adalah
menarik bahwa kata adil – dan hanya kata adil, muncul dua kali
dalam Pancasila – hanya wajar kalau diusahakan secara
beradab. Keadilan kalau diperjuangkan dengan ancaman dan
cara paksa, secara arogan, brutal, egois tdak beradab bukan
lagi keadilan, melainkan egoisme ideologis. Memperjuangkan
keadilan dengan cara biadab merusak harkat keadilan sendiri
dan dalam kenyataan lalu sering menghasilkan rezim politik di
bawah seorang diktator.
Kalau Lumpur Porong hasil pengeboran Lapindo dilihat dari
sudut kemanusiaan yang adil dan beradab, kelihatan segala
dimensi malapetakanya itu. Fakta yang sangat relevan sangat
sederhana. Lumpur Porong membebani negara kita yang sudah
kekurangan dana dengan biaya tambahan luar biasa. Misalnya
biaya untuk membuat jalan-jalan dan jalur kereta api yang vital
di jantung Jawa Timur tidak sampai tenggelam. Ada bahaya
sungguh-sungguh bahwa sebagian wilayah Jawa Timur, bagian
yang padat penduduk dan sangat produktif bisa untuk
selamanya dibuat tidak dapat dihuni. Tetapi fakta yang paling
memilukan, ada 10.000 orang yang tenggelam rumah,
pekarangan dan tempat kerjanya yang dengan demikian,
hancur seluruh eksistensinya. Dan bahwa dari mereka ada
yang sampai saat tulisan ini ditulis, 17 bulan sesudah bor itu
meledak, belum juga menerima ganti rugi. Dan itu semuanya di
negara yang mendasarkan diri pada kemanusiaan yang adil
dan beradab.
Di sini bukan tempatnya untuk berspekulasi sejauh mana
Lapindo dengan pengeborannya harus dipersalahkan. Hal itu
seharusnya dibikin jelas dalam sebuah perkara pengadilan. Di
sini hanya mau ditunjuk betapa malapetaka yang menimpa
masyarakat yang terkena lumpuyr Lapindo itu menantang
pengakuan kita akan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Mereka itu mengalami kehancuran, bukan karena malapetaka
alami murni, melainkan karena tindakan manusia. Itulah inti
ketidakadilan yang mereka rasakan. Bahwa manusia-manusia
yang melakukan operasi pencarian kekayaan dibawah kulit
bumi bertindak dengan ceroboh sampai sekarang tidak
terbantah. Kita menyaksikan sesuatu yang khas dalam dunia
usaha – dan dalam wawasan para pejabat negara yang
bertanggungjawab atas keselamatan masyarakat, - yaitu
kecongkakan sebuah perusahaan besar yang tidak berpikir
pada masyarakat kecil di dekatnya, yang dalam kasus Porong
melakukan pengeboran tanpa memakai casing yang
seharusnya dipakai untuk menjamin bahwa bahan yang keluar
dari perut bumi tidak masuk ke dalam celah-celah tanah. Dan
kali ini kecerobohan itu mempunyai akibat fatal. Masalahnya
bukan bahwa mereka acuh tak acuh terhadap suatu kerugian
masyarakat, melainkan bahwa mereka menganggap enteng
kemungkinan bahwa pengeboran itu bisa gagal. Jadi bukan
pengabaian total terhadap orang kecil, melainkan bahwa orang
kecil, ya massa masyarakat, seakan-akan dilupakan. Bukan
karena jahat, melainka karena sembrono. Itulah yang
mendasari ketidakadilan di negara ini berbeda dengan
beberapa di negara dimana kelas atas kejam terhadap massa
rakyat, di Indonesia ada budaya perhatian terhadap orang
kecil, tetapi dalam kenyataan perhatian itu dipojokkan oleh
suatu wawasan yang hampir seluruhnya dikuasai oleh
pertimbangan keuntungan perusahaan dan akses ke pusat-
pusat kekuasaan. Seakan-akan kita di Indonesia hidup dalam
dua dunia, atau ada dua bangsa di NKRI kita ini, mereka yang
cepat atau lambat terbawa ke atas dalam pusaran naik
akumulasi modal dan kemodernan akibat globalisasi. Dan
mereka yang harus hidup dari dua Dollar US per hari atau
kurang dan yang cita-citanya adalah survival, penjaminan
pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar. Dua-duanya hidup
berdampingan, tetapi bangsa yang kedua oleh bangsa yang
pertama- bangsa dalam angin naik- hampir tidak diperhatikan
lagi. Itulah yang terjadi di Porong dan belakangan, sesudah
terjadi malapetaka terjadi, tentu semua menyesalkan
pengeboran itu. Sebuah penyesalan yang tidak banyak terasa
oleh para korban yang begitu lambat merasakan diberi
perhatian sungguh-sungguh.
Kembali ke wawasan “kamu modal dan kuasa” yang hampir
seluruhnya dipenuhi oleh kepentingan kemajuan ekonomis
dalam rangka globalisasi sehingga perhatian spontan pada
massa masyarakat tidak menembus lagi pengambilan
keputusan. Wawasan yang buta terhadap kenyataan
masyarakat itru tentu ajkan membahayakan masa depan
bangsa. Situasi ini adalah unsustainable secara sosial.
Masyarakat kita tidak senantiasa akan terus menerus
menerima ketidakadilan itu dengan damai dan pasrah. Kita
jangan mengharapkan kekerasan dalam masyarakat berkurang
kalau mereka terus tidak diberi perhatian.
Kadang-kadang kebutaan perusahaan-perusahaan terhadap
masyarakat biasa berbalik menjadi kebrutalan terbuka/ pada
tanggal 11 Oktober 2007 terbaca di sebuah harian Ibukota
bahwa di Tangerang ada developer yang memagari dengan
tembok tinggi sebuah kampong sebesar delapan atau sembilan
rumah yang terletak di tengah-tengah tanah yang mau
dikembangkannya, yang menolak untuk mau pergi, sesudah
sebelumnya memblokir satu demi satu jalan-jalan yang
menghubungkan kampung-kampung itu dengan dunia luar.
Satu-satunya jalan ke luar bagi kampong itu – yang untuk
terdiri ata orang-orang lanjut usia – adalah sebuah celah
selebar 50 cm yang masih terbuka. Semua barang lebih besar
harus diangkut melalui tangga yang naik ke atas tembok tiga
meter itu. Kalau kelakuan semacam itu dibiarkan terus, negara
Indonesia akan menghadapi masa yang berat di masa
mendatang. Kebrutalan dan ketakpedulian terhadap massa
rakyat yang terdiri atas orang kecil tak mungkin akan ditelan
terus.
Yang gawat bahwa ketidakadilan dalam kesempatan rakyat
indonesia bisa maju tidak keluar dari sebuah kebencian atau
rencana jahat khusus, melainkan merupakan akibat
kecerobohan, kelalaian dan kurang perhatian pada
kemungkinan bahwa ada orang yang menderita. Sebuah
rencana yang jahat bisa langsung digugat dan dilawan. Tetapi
ketidakadilan yang karena kurang perhatian, karena katakana,
telinga orang-orang dia tas sudah penuh dengan bunyi keras
ipod, cell phone dan iklan mereka sehingga jeritan mereka
yang ketinggalan tidak kedengaran lagi, bisa menjadi
kebiasaaan, dan kebiasaan hanya akan diubah dengan ledakan.
Akhirnya perhatian pada orang kecil, wawasan yang betul-betul
mau adil juga merupakan tantangan bagi keberadaan bangsa.
Sebagai bangsa yang beradab, apa kita mau menerima bahwa
terjadi perkembangan-perkembangan mengagumkan dan
sebagian-sebagian cukup besar, bangsa tetap teramcam
kemiskinan dan keputusasaan?
Selasa, 12 Oktober 2010
“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA
”
“KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB UNTUK SIAPA ”
*Yoyarib Mau
Adil dan Beradab adalah dua suku kata yang masing-masing
memiliki makna tersendiri, adil menurut pengertian Kamus
Besar Bahasa Indonesia berarti berimbang, tidak berat sebelah,
tetapi juga memiliki arti berpihak pada yang benar. Sedangkan
kata beradab lebih diartikan bagaimana seseorang mempunyai
budi bahasa yang baik, berlaku sopan dan pada pengertian lain
lebih pada majunya sebuah kehidupan atau tingkat kehidupan.
Pengertian dua kata ini memiliki makna ganda seperti adil pada
kondisi tertentu diharapkan berlaku adil dimana berimbang
tidak berat sebelah tetapi juga menekankan akan keberpihakan
pada yang benar. Demikian juga dengan kata beradab juga
memiliki pengertian ganda yakni harapan akan perilaku yang
baik tetapi juga merujuk pada sebuah tingkat kehidupan.
Adil dan beradab menjadi bermakna apabila di lekatkan pada
sebuah identitas yang menyangkut sebuah asas kehidupan
yang berlaku mutlak bagi semua manusia. Sehingga kedua
kata ini menjadi dua padanan kata yang bermakna ketika di
lekatkan dengan asas tersebut seperti ungkapan,
”kemanusiaan yang adil dan beradab”.
Ungkapan ini merupakan sebuah makna filosofis karena asas
kemanusiaan menyangkut sesuatu nilai (values), cara pandang,
yang terpatri dalam diri setiap insan manusia bahwa manusia
itu adalah ciptaan yang berakal budi, makhluk yang memiliki
kekhusuan atau keunggulan dari makhluk atau ciptaan lainnya.
Keunggulan yang dimiliki manusia inilah yang membuat
manusia itu bermartabat karena keunggulan dan kekhususan.
Keberadan Manusia yang memiliki keunggulan membuat
manusia menjadi manusia bebas, tanpa tekanan tanpa ada
pembatasan menyebabkan manusia manusia bersaing secara
bebas untuk mempertahankan diri, hidup mengikuti naluri
kebebasannya, sehingga menghasilkan pemikiran siapa yang
kuat ia yang akan menang, sebaagaimana kehidupan rimba
berlaku hukum rimba siapa yang kuat ia akan memangsa yang
lemah. Kondisi ini menyebabkan manusia bertanya, siapakah
yang berperan untuk menyatukan dua arus nafsu yang bertolak
belakang tersebut ?
Kenyataan ini merupakan realitas yang mendorong munculnya
konsep yang di tuliskan oleh Thomas Hobbes, dimana dirinya
mampu membangun “sebuah psikologi politik yang
mengajukan sebuah pandangan tentang manusia yang
digerakan oleh gariah-gairah dan nafsu-nafsu untuk
menciptakan, namun meskipun terdapat gairah-gairah yang
mendorong kita masuk ke dalam konflik juga terdapat gairah-
gairah yang membuat kita condong menuju kedamaian karena
takut akan kematian” (Joseph Losco & Leonard Williams –
Rajawali Pers – 2005) .
Naluri kebebasan ini membuat manusia bersikap ingin
menguasai akan komunitas, kelompok ataupun individu
tertentu, kondisi inilah menghadirkan ketidak percayaan antara
manusia, semua hidup didalam kewaspaadaan dan menunggu
waktu untuk saling memaksa. ketidakadilan dan membuat nilai
manusia itu rendah, manusia hanya bernilai jika ia memiliki
kekuatan.
Dalam kebebasan manusia ada dua unsur yang saling tarik
menarik seperti dua kutub magnet utara – selatan atau aliran
listrik positik – negatif, ada nafsu yang menggebu untuk
menguasai orang lain tetapi juga ada kemauan untuk
melakukan kebaikan karena suatu waktu di perhadapkan pada
suatu kondisi yang lemah di mana pasti ada kelompok yang
dulu lemah menjadi kuat akan melakukan pembalasan dan ini
akan tak akan berakhir tetapi akan terus berputar seperti roda
pedati.
Kondisi liar ini membuat Hobbes menelurkan sebuah
kesimpulan bahwa manusia perlu bersatu di bawah sebuh
”kontrak keselamatan dan penjagaan bersama”. Kontrak
keselamatan inilah yang menjadi awal atau cikal-bakal
terbentuknya negara-bangsa dengan pemerintahan yang
didaulat untuk mengatur kehidupan bersama, Karena
masyarakat mau menyerahkan seluruh hak dan
kewenangannya kepada lembaga masyarakat dan kepada
lembaga tersbutlah mereka mau tunduk.
Indonesia merupakan sebuah negara – bangsa berdasarkan
kontrak kesepakatan, kontrak kesepakatan ini bertujuan untuk
menghimpun semua masyarakat dalam aturan-aturan bahkan
pandangan hidup yang dijalankan oleh sebuah pemerintahan.
Pemerintahan di harapkan dalam menjalankan fungsinya
menciptakan kebaikan bagi semua pihak namun kondisi ini
terkadang tidak berimbang, kebaikan itu hanya berpihak bagi
mereka yang mengendalikan kekuasaan, yang memiliki uang
untuk bisa membeli kekuasaan.
Kontrak kesepakatan yang disepakati untuk menciptakan
kebaikan bagi semua pihak tidaklah terwujud sebagaimana
para penguasa yang menikmati uang rakyat sehingga para
penguasa menjadi tetap kaya sedangkan yang miskin tetap
miskin. Padahal tujuan di bentuknya negara adalah untuk
menciptakan kebaikan bersama namun pada kenyataanya
kebaikan (kesejahteraan) hanya di nikmati oleh mereka yang
berada di kota tetapi di desa tetap hidup dalam kemiskinan
kondisi ini sepertinya tidak menciptakan kebaikan bersama
tetapi menambah perlawanan kutub magnet antara kota dan
desa menegang dan meningkat.
Mereka yang di daulat untuk menciptkan kehidupan bersama
malah mencederai hak rakyat dengan mengambil hak rakyat
bahkan di perlakukan khusus oleh negara seperti yang
dilakukan Mantan Kepala Bulog terlibat korupsi sebesar Rp. 20,
2 milyar kemudian di vonis 4 tahun namun karena kasasi maka
bebas bersyarat. Abdulah Puteh Mantan Gubernur NAD terlibat
korupsi Rp. 3.687 milyar di vonis 10 tahun penjara namun
kemudian bebas bersyarat pada tahun 2009 padahal baru
menjalani masa tahanan sebanyak 6 tahun . Syaukani HR yang
adalah Mantan Bupati Kutai Kertanegara terlibat korupsi senilai
Rp. 49,367 milyar di hukum 6 tahun sejak 2007 namun di
bebaskan dengan mendapatkan grasi pada tahun 2010 dengan
alasan sakit padahal masih dua tahun masa tahanannya. Aulia
Pohan yang nota bene besanya SBY, Maman Soemantri,
Bunbunan Hutapea, Aslim Tadjudin dimana keempatnya adalah
Mantan Deputi Gubernur Gubernur Bank Indonesia, mereka
besekongkol melakukan korupsi berjamaah dalam pengucuran
dana Rp.100 milyar dari Yayasan Pengembangan Perbankan
Indonesia (YPPI) di vonis masing-masing 3 tahun penjara pada
tahun 2008, namun pada tahun 2010 mendapatkan grasi
president (sumber : Kompas 04/10/2010).
Kondisi ini berbeda dengan rakyat kecil seperti; Nenek Minah
yang melakukan pencurian 3 buah kakao di kebun PT Rumpun
Sari Antan di vonis hukuman percobaan selama 1 bulan 15 hari.
Sedangkan Rusnoto, Juwono, Manisih dan Sri Suratmi
melakukan pencurian satu karung plastik buah randu sisa
panen hasil perkebunan di hukum 24 hari penjara. Basar
Suyanto dan Kholil melakukan pencurian sebuah semangka di
kebun Gaguk Prambudi di hukum 15 hari namun sebelum
proses hukum sudah di hukum selama 2 bulan 10 hari. Aspuri
yang mencuri sehelai kaus milik tetangganya di hukum 3 bulan
5 hari (sumber : Kompas 04/10/2010).
Jika di bandingkan dengan mereka yang dipercayakan untuk
menjalankan negara keadilan itu tidak berpihak tidak
berimbang nilai sebuah semangka harga Rp. 10.000 harus
menjalani hukuman selama hampir 3 bulan, jika dibandingkan
dengan mencuri uang rakyat sebesar Rp. 100.000. milyar
hanya 3 tahun apabila harga Rp. 10.000 harus menjalani
hukuman 3 bulan sedangkan Rp. 100.000 milyar mendapatkan
hukuam 3 tahun itupun mendapatkan keringanan.
Hukum yang dijalankan harus memenuhi syarat kemanusiaan
yang adil dan beradab apakah sudah sesuai jika makna ”adil”
itu adalah berimbang, tidak berat sebelah, dan berpihak
kepada kebenaran apakah ini sesuai jika Rp. 10.000 : 3 bulan
penjara, sedangkan Rp 100. 000 milyar : 3 tahun. apakah hal
ini memenuhi unsur keadilan ? atau karena pertimbangan
pemerintah yang di percayakan untuk menjalankan negara ini
memakai pertimbangan ”beradab” dalam pengertian karena
memiliki bahasa yang sopan santun serta memiliki tingkat
kehidupan ekonomi yang lebih baik, berpendidikan tinggi,
menikmati fasilitas yang memadai ? sedangkan Nenek Minah
yang tidak dapat berbahasa Indonesia dengan baik, yang
kemungkinan sehari bisa makan hanya 1 (satu) kali makan,
hanya bisa berbahasa Jawa, hanya tamat Sekolah Dasar
dengan tingkat ekonomi yang sangat memprihatinkan.
Seandainya kemanusian yang adil dan beradab adalah sebuah
sebuah filosofis atau cara pandang negara untuk menyatukan
atau menjembatani kehidupan, ibarat arus magnet yang
berlawanan diantara rakyat maka sejatinya penegakan hukum
harus di lakukan berimbang dan tidak mencederai rasa
keadilan, keadaan ini terwujud maka manusia ini akan kembali
kepada kehidupan siapa yang kuat siapa yang kaya siapa yang
memiliki kekuasaan maka dialah yang berkuasa dan layak
hidup. Ketika hal ini di biarkan terus berlarut maka negara yang
di daulat dalam kontrak sosial untuk mewujudkan kehidupan
manusia untuk dapat hidup bersama telah gagal.
Pasal-pasal tentang sila ke-2
8. Pasal 28 I
(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani,
hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi
dihadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku
surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun.
(2) Setiap orang berhak bebas atas perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa
pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat
diskriminatif itu.
Penyiksaan terhadap TKI merupakan salah satu contoh penyimpangan terhadap
pasal ini. Perlakuan ini terjadi diakibatkan oleh adanya diskriminasi antara majikan
dan pembantu. Sehingga majikan bebas melakukan kekerasan terhadap pembantu
mereka.Hal ini bertentangan dengan sila ke-2 Pancasila.
9. Pasal 28J
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada
pembatasan yang ditetapkan dengan undang- undang dengan maksud semata-mata
untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan
untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai
agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis
Walaupun HAM telah diatur dalam pasal 28 akan tetapi pelanggaran HAM masih
saja terjadi pelanggaran HAM. Sebagai contoh adalah kasus penggusuran dan konflik
sosial. Secara tidak langsung, pelanggaran hak dasar untuk bertempat tinggal ini
menggeser hak dasar untuk bekerja sebagai warga masyarakat. Pemindahan tempat
tinggal dengan sendirinya mempersulit jangkauan kerja. Malah, tidak sedikit korban
konflik sosial yang terpaksa menganggur gara-gara kehilangan tempat tinggal.
Gangguan pada hak dasar untuk mendapat pekerjaan menimbulkan gangguan-
gangguan dalam bidang lain. Hal ini merupakan penyimpangan terhadap pancasila
sila ke-2 dan ke-5.
11. Pasal 31 (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan. (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
(3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan Undang-Undang.
(4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang- kurangnya dua puluh
persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran
pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan
pendidikan nasional.
(5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta
kesejahteraan umat manusia.
Dalam pasal ini disebutkan pemerintah telah menjamin pendidikan warga
negaranya akan tetapi dalam pelaksanaannya, pasal ini menyimpang dari Pancasila
sila ke-2 dan ke-5. Walaupun telah ditetapkan dalam UUD 1945 akan tetapi apabila
kita lihat kenyataannya masih begitu banyak anak Indonesia yang belum
mengenyam pendidikan. Bahkan diantara mereka ada yang putus sekolah. Mereka
tidak mendapatkan hak dan keadilan seperti yang telah dijamin dalam pancasila sila
ke-2 dan ke-5. Dalam pasal 31 ayat 2 pemerintah menyatakan akan membiayai
pendidikan, akan tetapi hal tersebut tidak terealisasi. Biaya pendidikan di Indonesia
malah dari tahun ke tahun semakin mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kalangan
menengah ke bawah. Hal ini juga merupakan salah satu penyimpangan terhadap
pancasila.
13. Pasal 34 (1) Fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara.
(2) Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan
memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat
kemanusiaan.
(3) Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan
fasilitas pelayanan umum yang layak.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dalam undang-undang
Pada pelaksanaan pasal ini terdapat penyimpangan terhadap pancasila.
Penyimpangan tersebut terdapat dalam Pancasila sila ke- 2 dan ke-5. Pada
kenyataannya fakir miskin dan anak terlantar yang ada di Indonesia belum
semuanya dipelihara oleh negara. Malah semakin lama, begitu banyak orang yang
menjadi gelandangan dan tidak terurus. Hal ini bertentangan dengan Pancasila yaitu
“Kemanusiaan yang adil dan beradab” dan juga “Keadilan bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Jaminan sosial yang dijanjikan oleh pemerintah pun hanya tinggal janji
semata. Masyarakat Indonesia belum mendapatkan keadilan. Hak-hak warga negara
juga belum terpenuhi sebagaimana mestinya.
Kemanusian Yang Adil dan Beradab
Dasar pemikiran kenapa Kemanusian Yang Adil dan Beradab
dijadikan sila kedua dari Pancasila dikarenakan pencetus ide
Pancasila – Bung Karno – yang hidup di masa penjajahan
Belanda merasa ada perlakuan yang tidak manusiawi dari
penjajah Belanda terhadap bangsa pribumi atau mayoritas
bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan satu
dan lain cara. Jadi dalam alam kemerdekaan sudah seharusnya
bangsa Indonesia memperlakukan sesama manusia secara
manusiwi, secara adil, dan tidak meniru model penjajahan
manusia oleh manusia yang berasal dari budaya masa lalu
yang masih biadab. Subtansi ini juga tercermin pada paragrap
awal dari pembukaan UUD ’45 yang berbunyi: Bahwa
sesungguhnya kemerdekaan itu ialah hak segala bangsa dan
oleh sebab itu, maka penjajahan di atas dunia harus
dihapuskan, karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan
perikeadilan.
Dalam masyarakat Jawa ada istilah “tepo slira” yang artinya
kurang lebih bahwa kita sebagai manusia diharapkan
memperlakukan manusia yang lain seperti kita memperlakukan
diri kita sendiri (dalam bahasa yang berbeda masyarakat
bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipastikan
mempunyai sikap hidup seperti ini). Oleh karena itu bisa juga
dikatakan bahwa Kemanusian Yang Adil dan beradab digali dari
budaya bangsa Indonesia sendiri.
Pada bahasa modern-nya Kemanusian Yang Adil dan Beradab
juga bisa diartikan sebagai penghargaan terhadap hak-hak
azasi manusia yaitu bahwa Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan bangsa Indonesia sudah seharuskan menghargai
Universal Declaration of Human Rights (UDHR), yang
dideklarasikan oleh PBB pada tanggal 10 December, 1948 dan
Hak Azasi Manusia atau Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
kemudian secara operational dijabarkan dalam UUD ’45 pasal-
pasal tentang HAM yaitu Bab XA yang secara komprehensif
telah disisipkan pada amandemen ke 2 UUD’45 tahun 2000 dari
Pasal 28A s/d Pasal 28J (yang tertarik untuk melihat lebih detail
apa isi penghargaan HAM yang tercantum didalam UUD’45 bisa
akses ke www.depkunham.go.id)
Penghayatan Bangsa Indonesia Terhadap Sila Kemanusian
Yang Adil dan Beradab
Pelaksanaan sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab yang
diartikan sebagi penghormatan Bangsa dan Negara terhadap
Hak Asasi Manusia harus dibagi dalam dua periode yaitu
periode sebelum amandemen 2 tahun 2000 dan sesudahnya.
Karena penghargaan terhadap Hak Asasi Manusia secara
formal juridis punya kekuatan hukum dalam konstitusi baru
mulai tahun 2000. Walaupun esensi Kemanusian Yang Adil dan
Beradab memang sudah ada sejak ada pada UUD’45 pada
pembukaan UUD’45 dan secara umum di pasal 27 dan 28.
Sebagai anggota PBB tentu Indonesia harus juga patuh pada
deklarasi hak asasi manusia yang dicanangkan oleh PBB. Tapi