Top Banner
BAB I PENDAHULUAN Short Bowel Syndrome (SBS) merupakan suatu keadaan malabsorpsi sebagai akibat dari reseksi masif usus halus. Keadaan ini memiliki karakteristik sebagai ketidakmampuan tubuh dalam menjaga keseimbangan energi-protein, cairan, elektrolit, dan mikronutrien dengan asupan biasa. (Uko V. et al, 2012) Bagian usus yang mengalami cedera menentukan jenis mikronutrien yang akan berkurang di dalam darah oleh karena malabsorpsi. Gejala utama SBS adalah diare. Diare ini bila berkelanjutan akan berdampak luas pada fisiologi tubuh penderita, yaitu dapat menimbulkan dehidrasi, malnutrisi dan penurunan berat badan. Gejala lain yang mungkin terjadi adalah kram perut, kembung, rasa panas di dada, dan kelelahan. (National Digestive Diseases Information Clearinghouse, 2009) Insiden dan prevalensi dari SBS sangat sulit diestimasi. Meskipun demikian sebuah laporan oleh Lennard dan Jones pada tahun 2009, menyatakan bahwa di negara Inggris, diestimasikan insiden dari SBS yang membutuhkan terapi adalah 2 pasien untuk tiap juta jiwa. Sedangkan data yang dilaporkan oleh Byrne dkk. menunjukkan bahwa di negara Amerika terdapat sekitar 10.000 hingga 20.000 pasien SBS yang dirawat dengan nutrisi parenteral. 1
28

Short Bowel Syndrome (Fix)

Oct 27, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Short Bowel Syndrome (Fix)

BAB I

PENDAHULUAN

Short Bowel Syndrome (SBS) merupakan suatu keadaan malabsorpsi sebagai akibat dari

reseksi masif usus halus. Keadaan ini memiliki karakteristik sebagai ketidakmampuan tubuh

dalam menjaga keseimbangan energi-protein, cairan, elektrolit, dan mikronutrien dengan asupan

biasa. (Uko V. et al, 2012) Bagian usus yang mengalami cedera menentukan jenis mikronutrien

yang akan berkurang di dalam darah oleh karena malabsorpsi. Gejala utama SBS adalah diare.

Diare ini bila berkelanjutan akan berdampak luas pada fisiologi tubuh penderita, yaitu dapat

menimbulkan dehidrasi, malnutrisi dan penurunan berat badan. Gejala lain yang mungkin terjadi

adalah kram perut, kembung, rasa panas di dada, dan kelelahan. (National Digestive Diseases

Information Clearinghouse, 2009)

Insiden dan prevalensi dari SBS sangat sulit diestimasi. Meskipun demikian sebuah

laporan oleh Lennard dan Jones pada tahun 2009, menyatakan bahwa di negara Inggris,

diestimasikan insiden dari SBS yang membutuhkan terapi adalah 2 pasien untuk tiap juta jiwa.

Sedangkan data yang dilaporkan oleh Byrne dkk. menunjukkan bahwa di negara Amerika

terdapat sekitar 10.000 hingga 20.000 pasien SBS yang dirawat dengan nutrisi parenteral.

Penyebab utama SBS adalah hilangnya segmen usus halus oleh karena tindakan

pembedahan. Pemotongan segmen usus ini merupakan tindakan terapi pada beberapa penyakit

usus, jejas pada usus, maupun defek usus yang muncul sejak lahir. Pada bayi baru lahir, SBS

dapat terjadi pasca reseksi usus oleh karena berbagai kondisi seperti necrotizing enterocolytis

(NEC), defek congenital dari usus seperti volvulus midgut, omfalokel dan gastroschisis, atresia

jejunoileal, hernia interna, dan keadaan lain seperti mekoneum ileus. Sedangkan pada anak-anak

dan orang dewasa, SBS dapat terjadi pasca reseksi usus oleh karena berbagai keadaan seperti

intususepsi, penyakit inflamasi usus seperti penyakit Chron, jejas traumatik pada usus, kanker

usus dan kerusakan pada usus oleh karena terapi kanker usus. SBS juga dapat disebabkan oleh

penyakit atau jejas pada usus yang dapat mengganggu fungsi normal usus, dalam keadaan ini,

panjang usus dapat normal.

1

Page 2: Short Bowel Syndrome (Fix)

Tatalaksana SBS yang utama ialah terapi nutrisi yang baik dan benar. Tatalaksana SBS

dapat berupa terapi rehidrasi cairan per oral, nutrisi parenteral, nutrisi enteral, dan obat. Terapi

rehidrasi cairan per oral adalah pemberian larutan yang terdiri dari gula dan garam. Nutrisi

parenteral terdiri dari cairan, elektrolit, dan nutrisi yang diberikan secara intravena. Nutrisi

parenteral memiliki peran yang sangat penting dalam pengelolaan SBS, namun memiliki

beberapa komplikasi dalam pelaksanaannya termasuk penyakit hati kolestatik. Sedangkan

nutrisi enteral adalah cara memberikan nutrisi ke lambung atau ke usus halus melalui pipa

makanan. Dalam tatalaksana SBS perlu dipertimbangkan tingkat keparahan penyakit. Untuk

SBS yang ringan, tatalaksananya terdiri dari pemberian makanan dalam jumlah sedikit namun

sering, pemberian cairan dan suplemen nutrisi, dan obat antidiare. Sedangkan untuk SBS yang

sedang, tatalaksananya hampir sama dengan SBS yang ringan hanya saja ada tambahan berupa

pemberian nutri parenteral yang berisi cairan dan elektrolit sesuai kebutuhan. Untuk SBS yang

berat, pasien dapat tetap diberikan nutrisi enteral atau makanan secara kontinu meskipun banyak

nutrien yang tidak diabsorpsi. Hal ini digunakan untuk merangsang segmen usus yang masih

tersisa untuk dapat segera kembali berfungsi dengan normal sehingga diharapkan pemberian

cairan secara parenteral dapat dihentikan. Transplantasi usus dapat menjadi pilihan terapi untuk

beberapa pasien yang gagal dengan terapi konvensional dan pasien yang menderita berbagai

keluhan akibat komplikasi pemberian nutrisi parenteral dalam waktu yang lama. Komplikasi

tersebut dapat berupa sepsis, pengentalan darah, dan gagal hati yang dapat mengarah pada

kemungkinan dibutuhkannya transplantasi hati. (National Digestive Diseases Information

Clearinghouse, 2009) Selain transplantasi, masih ada terapi bedah yang dapat dilakukan dengan

tujuan untuk memperlambat transit usus seperti membalik segmen usus halus, interposisi segmen

kolon di antara segmen usus halus, pembuatan katub usus halus, dan pemasangan pacu elektrik

pada usus halus, prosedur longitudinal intestinal lengthening and tailoring (LILT), serial

transverse enertoplasty procedure (STEP). Namun efektifitas dari berbagai tindakan

pembedahan ini masih dipertanyakan efektifitasnya sehingga masih jarang dilakukan secara rutin

sebagai terapi SBS. (Brunicardi C. et al, 2006)

Akhir-akhir ini, penekanan pada rehabilitasi usus adalah dengan tim multidisipliner

sebagai pendekatan komprehensif untuk pengelolaan pasien dengan SBS. Pada beberapa

institusi, tim tersebut terdiri dari ahli bedah, ahli gastroenterologi, terapis okupasi, ahli bedah

2

Page 3: Short Bowel Syndrome (Fix)

transplantasi, dan pekerja sosial. (Uko V. et al, 2012) Oleh karena itu bagi seorang ahli bedah,

diperlukan pengetahuan yang baik dalam menangani kasus SBS dengan komprehensif.

3

Page 4: Short Bowel Syndrome (Fix)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. Definisi Short Bowel Syndrome

Short Bowel syndrome adalah kumpulan gejala akibat kondisi malabsorbsi berat yang terjadi

setelah dilakukannya tindakan reseksi luas pada usus halus. Short Bowel Syndrome juga dapat

didefinisikan sebagai sisa panjang usus halus 100-120 cm tanpa kolon, atau sisa panjang usus

halus 50 cm dan kolon masih intak. Pasien dengan SBS akan mengalami gejala klinis seperti

diare kronis, dehidrasi, kelainan akibat kekurangan elekrolit, malnutrisi yang kesemua hal

tersebut disebabkan adanya gangguan pencernaan dan gangguan penyerapan. Tatalaksana SBS

bervariasi, dapat dilakukan dengan hanya memberikan manipulasi diet hingga pasien-pasien

yang memerlukan nutrisi parenteral, bahkan hingga transplantasi usus halus. Short Bowel

syndrome lebih banyak terjadi pada pasien wanita dibandingkan pria, kemungkinan disebabkan

wanita yang pada awalnya memang memiliki panjang usus yang relative lebih pendek daripada

pria ( Parish Carol S. 2005 ).

Panjang usus halus pada orang dewasa berkisar antara 365-600 cm, apabila reseksi luas pada

usus halus akan dilakukan, reseksi <50% usus halus dapat ditoleransi dengan baik tanpa perlu

dilakukan intervensi, reseksi 50-75% sering memerlukan manipulasi diet, suplementasi oral, dan

pengobatan untuk meningkatkan absorbsi pada usus halus, dan reseksi >75% sering memerlukan

nutrisi parenteral yang berkepanjangan. Berdasarkan panjangnya usus halus yang tersisa, pasien

dengan panjang usus halus ±150 cm berakhir pada stoma atau 60-90 cm teranastomose pada

panjang kolon yang adekuat, nutris parenteral dapat secara bertahap dihentikan. Namun perlu

diingat bahwa harus dipertimbangkan fungsi keseluruhan dari usus halus, bukan hanya pada sisa

panjang usus halus yang menentukan intensitas terapi yang diperlukan. Reseksi pada bagian

proximal lebih dapat ditoleransi dengan baik dari pada reseksi pada distal. Reseksi pada jejunum

lebih dapat ditolerir daripada reseksi ileum.

Reseksi pada jejunum lebih ditoleransi dibandingkan reseksi pada ileum dengan panjang reseksi

yang sama, dikarenakan ileum lebih mudah beradaptasi dan berfungsi mengabsorbsi asam

amino, karbohidrat, asam lemak, dan vitamin. Ileum yang lengkap dapat membantu

4

Page 5: Short Bowel Syndrome (Fix)

mempertahankan kekentalan garam empedu dan absorbs vitamin B12. Masa transit usus halus

dapat dipertahankan bila ileum, ileocaecal dan colon masih dapat diselamatkan. Penyerapan

cairan dapat berlangsung dengan baik pada reseksi jejunum oleh karena mukosa ileum

mempunyai kemampuan untuk mengabsorbsi lebih baik dibandingkan bagian usus halus

proximal, sedangkan kolon dapat meningkatkan kemapuan penyerapannya hingga tiga kali lipat.

Meskipun kolon mampu meningkatkan kemampuannya pada reseksi usus halus, restriksi diet

sering diperlukan untuk meningkatkan fungsi optimal penyerapan

2. Etiologi dan Gejala Klinis Short Bowel Snydrome

Short Bowel Snydrome dapat terjadi pada pasien dewasa maupun pasien anak-anak dan

mempunyai gejala klinis yang hamper sama. Short bowel syndrome terjadi oleh karena tindakan

reseksi luas pada usus halus, penyebab dilakukannya reseksi pada pasien dewasa dan anak-anak

antara lain

a. Pasien dewasa

- crohn’s disease,

- iskemi akut mesenterika,

- volvulus (obstruksi usus halus),

- Kerusakan saluran cerna sebagai akibat dari trauma

- Keganasan dan kerusakan pada saluran cerna yang disebabkan terapi pada keganasan

- Emboli / thrombus pembuluh darah pada usus

- Hernia strangulate

- Fistula pada usus halus

- Iatrogenic pada terapi pembedahan obesitas

b. Pasien bayi dan anak-anak

5

Page 6: Short Bowel Syndrome (Fix)

- necrotizing enterocolitis, suatu kondisi yang terjadi pada bayi-bayi premature dan

menyebabkan kematian jaringan usus.

- Kelainan congenital pada usus, seperti volvulus, omphaocele, dan gastrochisis, atresia

yeyunoileal, hernia internal, intussusepsi, hirschprung dan congenital short bowel

syndrome.

- Ileus mekonium, suatu kondisi dengan cystic fibrosis

Tanda dan Gejala

Diare adala gejala utama dari short bowel syndrome. Diare dapat memicu timbulnya dehidrasi,

malnutrisi, dan turunnya berat badan. Masalah-masalah ini dapat memburuk dan menyebabkan

kematian jika tidak ditangani dengan tepat.

Gejala yang lain melingkupi :

- Kram

- Kembung

- Rasa panas di dada ( heartburn )

- Lemas dan kelelahan

Tingkat atau stadium SBS :

1. Ringan, apabila SBS masih dapat diatasi dengan pemberian nutrisi secara oral dan

pengaturan diet

2. Sedang, apabila pemenuhan nutrisi SBS harus sudah melalui enteral.

3. Berat , apabila pemenuhan nutrisi SBS hanya dapat dilakukan secara parenteral.

Kekurangan nutrisi tertentu dapat terjadi tergantung pada daerah mana dari usus halus yang

direseksi atau yang tidak berfungsi dengan baik. Absorbsi nutrisi pada usus halus tergantung

pada tempatnya, yaitu:

- Duodenum, area pertama pada usus halus, dimana zat besi diserap

6

Page 7: Short Bowel Syndrome (Fix)

- Yeyunum, area pertengahan pada usus halus, dimana karboidrat, protein, lemak, dan vitamin

diserap

- Ileum, area terakhir pada usus halus, dimana asam empedu dan vitamin B12 diserap.

Pasien dengan short bowel syndrome juga berisiko untuk mengalami alergi pada makanan.

3. Mekanisme Fisiologis terhadap Reseksi Usus Halus

Sepanjang 150 cm awal dari usus halus yang merupakan duodenum dan jejunum proximal

mempunyai peranan yang sangat besar dalam proses penyerapan nutrisi. Sehingga apabila terjadi

reseksi atau pemotongan pada usus halus akan menyebabkan hilangnya sejumlah permukaan

usus halus dan hilangnya kemampuan usus halus untuk melakukan penyerapan nutrisi., elektrolit

dan cairan. Reseksi usus halus menyebabkan berbagai macam perubahan fisiologis, yang

kebanyakan mengakibatkan gangguan penyerapan dan pencernaan. Reseksi usus halus juga

memicu terjadinya rangkaian perubahan morfologis dan fungsional pada usus, yang turut

membantu proses penyembuhan fungsi usus dikenal sebagai adaptasi usus halus ( intestinal

adaptation ). Perubahan morfologis meliputi hipertrofi vili usus untuk meningkatkan area

permukaan penyerapan, meningkatnya panjang dan diameter usus yang tersisa, sedangkan

perubahan fisiologis berupa menurunkan kecepatan transit makanan pada usus. Bagian ini akan

membahas proses pencernaan dan absorbsi yang normal, dan perubahan-perubahan fisiologis

yang terjadi sebagai konsekuensi tindakan reseksi usus halus.

Reseksi pada usus halus akan menyebabkan penurunan masa transit ( transit time ) saat makanan

melewati usus dan menyebabkan gangguan pencernaan makanan oleh enzim-enzim pencernaan,

serta masa kontak antara makanan dengan permukaan mukosa usus. Bagian distal usus

mempunyai kecenderungan untuk meningkatkan transit time dari chyme ( bahan makanan

setengah tercerna ) yang melewati bagian proximal dari usus. Pada usus halus, hal ini sangat

nyata terlihat pada ileum, fenomena ini dikenal sebagai ileal brake. Fenomena ileal brake ini

dimungkinkan karena tingginya kadar peptide YY dan glucagon like peptide-2 ( GLP-2 ) pada

ileum dan colon. Sehingga reseksi yang dilakukan pada jejunum tidak akan mempengaruhi

pergerakan usus bila dibandingkan panjang reseksi yang sama pada ileum. Katub ileocaecal dan

kolon mempunyai kecenderungan yang lebih besar untuk meningkatkan transit time.

7

Page 8: Short Bowel Syndrome (Fix)

Pencernaan terutama terjadi pada duodenum dimana chyme ( bahan makanan yang setengah

tercerna ) yang secara bertahap dikeluarkan oleh lambung, bercampur dengan bahan-bahan

sekresi dari pancreas dan kantong empedu. Pada reseksi usus halus, proses ini terganggu oleh

karena peningkatan waktu pengosongan lambung dan pengosongan usus.

Duodenum juga merupakan tempat penyerapan kalsium, besi, dan asam folat. Selain itu pada

reseksi jejunum proximal, sekresi enzim pancreas ( yang sekresinya dipengaruhi oleh makanan )

dan sekresi empedu menurun sebagai akibat sel enterochromaffin ( mensekresi secretin dan

cholecystokinin ) banyak terdapat pada jejunum proximal. Sebagai tambahan peningkatan asam

lambung terjadi 3-6 bulan setelah tindakan reseksi luas usus halus, yang dapat menyebabkan

ulserasi pada usus halus proximal dan dapat memicu malabsorbsi akibat inaktivasi enzim

pancreas dan garam empedu, dimana kedua enzim tersebut bekerja paling baik pada pH netral.

Fungsi normal usus juga bergantung pada kemampuan ileum terminal untuk menyerap vitamin

B12 dan garam empedu. Sepanjang 100cm bagian akhir dari ileum adalah satu-satunya area

untuk penyerapan vitamin B12. Pencernaan dan penyerapan vitamin B12 juga tergantung sekresi

sel parietal lambung dan hidrolisis vitamin B12 oleh protease pancreas. Garam empedu

terkonjugasi membantu lemak pada makanan dan vitamin larut lemak bercampur dengan air dan

meningkatkan pencernaan dan penyerapannya. Kekentalan garam empedu dipertahankan oleh

sirkulasi enterohepatic ( sirkulasi garam empedu pada usus, lalu diserap oleh reseptor spesifik

pada sepanjang 100 cm ileum distal, kemudian dikirim kembali lagi ke hepar melalui vena portal

dan disekresi lagi oleh liver ke usus. Sehingga apabila dilakukan reseksi pada sepanjang 100 cm

ileum distal, garam empedu yang tidak terserap akan digantikan oleh sintesis hepar. Namun

garam empedu yang tidak terserap tersebut mengadakan kontak dengan mukosa kolon dan

menyebabkan diare sekretorik, yang dikenal sebagai cholerrheic diarrhea. Sedangkan apabila

sepanjang >100 cm ileum distal mengalami reseksi maka kekentalan garam empedu tidak dapat

dipertahankan oleh karena kompensasi liver tidaklah cukup. Steatorrhea akan menjadi lebih berat

pada kasus ini, dan diare sekretorik terjadi sebagai akibat tidak terabsorbsinya rantai panjang

asam lemak yang kontak dengan colon.

Reseksi usus halus, terutama reseksi yang melibatkan katub ileocaecal dapat menyebabkan

perubahan jenis dan jumlah bakteri pada usus halus dan akhirnya memicu pertumbuhan bakteri

8

Page 9: Short Bowel Syndrome (Fix)

yang berlebihan pada usus halus. Bakteri ini menginaktivasi garam empedu sehingga menjadi

kurang optimal dalam mengemulsi lemak pada makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin

B12. Komplikasi yang jarang sebagai akibat pertumbuhan bakteri adalah adanya d-lactic

asidosis. D-lactic acid dihasilkan dari fermentasi karbohidrat yang tidak terserap oleh bakteri

kolon tertentu. Manusia kurang mempunyai kemampuan untuk memetabolisme d-laktat, yang

dapat terbentuk pada tubuh dan memicu anion gap positive metabolic asidosis dan ensefalopati.

Tatalaksana yang diperlukan pada kasus ini adalah restriksi intake karbohidrat dan antibiotic

oral.

Sekresi dan absorbsi cairan oleh sistem gastrointestinal setelah reseksi usus halus menentukan

perlu tidaknya pasien tersebut mendapat cairan intravena. Pada keadaan normal, sejumlah 8-9

liter cairan memasuki usus halus setiap harinya dan hanya berkisar 2 liter yang berasal dari

intake oral. Sekresi ini menciptakan kondisi netral dan isotonic, yang diperlukan untuk

pencernaan dan penyerapan nutrisi yang optimal. Sekresi cairan tersebut paling banyak berasal

dari kelenjar air liur, lambung, saluran empedu, pancreas dan usus halus. Usus halus menyerap

80% dari total cairan, yaitu berkisar antara 1.5-2 liter. Kolon menyerap 90 % sisa cairan tersebut

dan meninggalkan 0,1 liter cairan pada kondisi pergerakan normal kolon. Pada reseksi usus,

kolon mampu meningkatkan kemampuan penyerapannya hingga mencapai 2-6 liter cairan per

hari.

Penyerapan cairan adalah sebuah proses yang pasif dimana terjadi akibat transport aktif elektrolit

dan nutrisi. Natrium diserap oleh permukaan enterocyte melalui pompa Na/K ATPase dan

melalui kotranspor monosakarida dan asam amino. Hal ini menyebabkan electrochemical

gradient sehingga air dapat mengalir secara pasif dari lumen ke interstitial space melalui

enterocyte. Penyerapan natrium ditentukan oleh “longgarnya” intracellular tight junction pada

epitel permukaan usus halus. Pada jejunum, ikatan tight junction ini relative longgar, sehingga

air dapat berdifusi kembali kedalam lumen. Inilah yang mempertahankan kondisi isotonic yang

merupakan kondisi ideal untuk pencernaan. Pada ileum dan colon ikatan tight junction lebih

ketat sehingga tidak memungkinkan adanya difusi kembali air ke dalam lumen, mengakibatkan

lumen lebih hipertonis dibandingkan plasma. Hal ini penting untuk mempertahankan cairan.

9

Page 10: Short Bowel Syndrome (Fix)

Sehingga kolon berperan sangat penting dalam mempertahankan garam dan air. Kolon juga

mampu menyimpan hampir 4,2 MJ/d ( 1000kcal/d ) energi berasal dari karbohidrat yang tidak

terabsorbsi dan serat pada makanan. Karbohidrat tersebut difermentasi oleh bakteri anaerob pada

kolon menghasilkan rantai pendek asam lemak, yang kemudian ditransport menuju liver melalui

sirkulasi portal.

Nephrolitiasis dan cholelitiasis merupakan 2 komplikasi yang juga dapat terjadi pada reseksi luas

usus halus. Nephrolitiasis oksalat terjadi pada reseksi usus halus dimana hanya tersisa sedikit

bagian dari kolon. Pada keadaan normal oksalat pada makanan melewati sistem pencernaan

sebagai garam kalsium yang tidak terlarut, namun keadaan steatorrhea konsentrasi kalsium

menurun dikarenakan kalsium berikatan dengan asam lemak dan oksalat berada dalam bentuk

bebas yang kemudian diserap oleh kolon. Pasien dengan SBS yang mengalami hiperoxaluria

dapat diterapi dengan restriksi lemak dan oksalat pada makanan dan menambahkan kalsium per

oral. Pasien dengan hyperoxaluria berulang dapat ditatalaksana dengan pemberian kolestiramin

( zat yang mengurangi dampak garam empedu pada kolon ), yang dapat meningkatkan absorbs

oksalat. Sebaliknya pada pasien SBS tanpa colon lebih peka terhadap batu asam urat.

Cholelitiasis pada SBS disebabkan berkurangnya jumlah aliran garam empedu, sehingga

menimbulkan stasis pada aliran empedu yang lama kelamaan akan menimbulkan batu saluran

empedu. Dikarenakan tatalaksana cholelitiasis pada pasien dengan SBS jauh lebih sulit, terdapat

banyak pendapat yang saling bertentangan tentang perlunya cholecystectomy pada pasien yang

menjalani reseksi usus halus. Beberapa ahli menyarankan perlunya reseksi kolesistektomi

profilaksis pada saat tindakan reseksi luas usus halus.

Proses adaptasi usus halus yang berlangsung sebagai akibat reseksi luas usus halus, dimana usus

halus yang tersisa mengadakan peningkatan kemampuan untuk mengabsorbsi nutrisi. Proses ini

dimulai segera setelah tindakan reseksi usus dan berlangsung hingga 2 tahun setelah tindakan.

Proses ini menghasilkan perubahan morfologis, terjadi peningkatan luas permukaan pada sisa

usus halus dengan cara pemanjangan vili-vili usus, dan perubahan fungsional berupa peningkatan

kapasitas penyerapan fungsional enterocyte dan colonocyte serta peningkatan transit time.

Mekanisme yang menyebabkan proses adaptasi usus halus masih belum diketahui, perubahan

yang sama terjadi pada studi eksperimental menggunakan berbagai macam zat dan neurohumoral

10

Page 11: Short Bowel Syndrome (Fix)

factors. Faktor-faktor yang mempercepat proses adaptasi antara lain : growth hormone,

epidermal growth factor, insulin-like growth factors I and II, keratinocyte growth factor, peptide

YY, glucagon-like peptide 2, soluble fiber, short-chain fatty acids, glutamine, polyamines,

interleukines 3, 11 and 15, and sekresi sistem pancreaticobiliary.

Senyawa kimia yang berperan paling besar dalam proses adaptasi usus halus adalah glucagon

like peptide-2 yang dihasilkan terutama oleh ileum. Selain itu mukosa ileum juga menghasilkan

beberapa trophic hormone, dan peptide lain seperti enteroglucagon, epidermal growth factor, dan

insulin like growth factor. Akhir-akhir ini ditemukan pula senyawa lain yaitu plasma citruline

sebagai biomarker potensial untuk memprediksi kemampuan adaptasi usus halus. Citruline

adalah senyawa asam amino esensial yang diproduksi oleh sel enterocyte, semakin tinggi kadar

nya di dalam plasma darah maka semakin tinggi kemungkinan parenteral independent.

Proses adaptasi usus dapat dipercepat dengan memberikan berbagai macam macronutrient pada

usus halus yang tersisa. Selain itu kompleksitas nutrisi yang diberikan juga mempengaruhi

proses adaptasi fungsional usus tersebut. Sebagai contoh pemberian karbohidrat monosakarida

yang tidak memerlukan proses pencernaan, menyebabkan proses hyperplasia pada usus lambat

dibandingkan usus yang mendapat nutrisi karbohidrat polisakarida. Oleh karena itu semakin

kompleksitas jenis makronutrisi yang diberikan mempunyai peranan penting dalam suksesnya

proses transisi pemberian nutrisi melalui enteral. Proses adaptasi usus memakan waktu hingga 1-

2 tahun, factor-faktor yang mempengaruhi proses adaptasi usus antara lain :

1. Stimulasi oleh nutrisi intra lumen

2. Stimulasi oleh sekresi pancreas dan empedu

3. Efek tropis dari hormon saluran pencernaan

4. Peningkatan aliran darah pada usus yang sebelumnya mengalami sumbatan

Faktor-faktor tersebut hendaknya diupayakan agar tercapai proses adaptasi usus yang maksimal

pada usus yang tersisa.

Penegakan Diagnosis

Anamnesis11

Page 12: Short Bowel Syndrome (Fix)

Diare adalah gejala utama pada short bowel syndrome. Diare dapat menyebabkan dehidrasi,

malnutrisi, dan penurunan berat badan.

Gejala-gejala lain yaitu :

Cramping abdominal pain

Bloating

Heartburn

Kelemahan dan fatigue

Defisiensi nutrien spesifik dapat terjadi tergantung bagian mana dari usus halus yang direseksi

atau yang tidak berfungsi dengan baik. Pembagian absorbsi nutrien pada usus halus :

duodenum, tempat absorbsi Fe

jejunum, tempat absorbsi karbohidrat, protein, lemak, dan vitamin

ileum, tempat absorbsi asam empedu dan vitamin B-12.

Pasien dengan SBS juga berisiko mengalami hipersensitivitas terhadap makanan.

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik pada pasien dengan short-bowel syndrome dapat ditemukan beberapa petunjuk

diagnosis, tergantung lama dan beratnya malabsorbsi.

Pasien dengan malnutrisi protein dan energi yang berat mungkin datang dengan temporal

wasting, kehilangan massa otot jari-jari, dan edema perifer. Kulit mungkin kering dan

pecah-pecah, kuku menonjol ke atas dan atrofi papila lidah. Pada anak-anak, dapat terjadi

gangguan tumbuh kembang.

Pasien dengan defisiensi asam lemak esensial akan mengalami retardasi pertumbuhan,

dermatitis, dan alopecia.

Tampilan klinis defisiensi vitamin A, berupa ulkus kornea dan pertumbuhan yang

terlambat.

Pasien dengan kadar vitamin B kompleks yang rendah dapat mengalami stomatitis,

cheilosis, dan glossitis. Defisiensi vitamin B-1 berhubungan dengan edema, takikardi,

oftalmoplegia, dan penurunan reflek tendon. Defisiensi vitamin B-6 dapat menyebabkan

neuropati perifer dan kejang. Neuropati perifer juga dapat terjadi pada defisiensi vitamin

B-12.

12

Page 13: Short Bowel Syndrome (Fix)

Defisiensi vitamin D berhubungan dengan pertumbuhan ekstremitas yang jelek dan

bowed extremities.

Defisiensi vitamin E berat dapat menyebabkan ataxia, edema, dan penurunan refleks

tendon.

Tanda fisik defisiensi vitamin K berhubungan dengan gangguan hemostasis, yaitu

petekie, ekimosis, purpura, atau gangguan diatesis lainnya.

Tanda fisik adanya defisiensi besi yaitu anemis, spooned nail, dan glossitis.

Defisiensi Zinc menyebabkan stomatitis angular, penyembuhan luka yang jelek, dan

alopecia, serta rash eritematosa di sekitar mulut, mata, hidung, dan perineum.

Pemeriksaan Penunjang

Darah lengkap

Tujuan utama pemeriksaan ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat anemia atau

tidak. Dua tipe anemia yang paling sering ditemukan adalah anemia defisiensi Fe dan

anemia defisiensi B-12.

Albumin

o Kadar albumin dalam plasma merupakan indikator yang penting untuk menilai

status nutrisi secara menyeluruh. Protein ini memiliki waktu paruh sekitar 21 hari.

Bukti menunjukkan bahwa penurunan kadar albumin yang berat, terutama

dibawah 2.5 g/dL, berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas

pada pasien bedah.

o Albumin juga indikator yang baik dari sintesis protein hepatic. Perlu diperhatikan

bahwa selama periode stress atau infeksi, liver akan cenderung lebih banyak

memproduksi reaktan-reaktan fase akut (contoh, C-reactive protein) dibandingkan

albumin.

Prealbumin

o Prealbumin adalah indikator yang baik untuk menilai status nutrisi akut. Waktu

paruhnya kira-kira 3-5 hari. Banyak praktisi yang menggunakan protein ini untuk

memonitor efikasi dari regimen nutrisi yang diberikan ke pasien mereka. Namun,

13

Page 14: Short Bowel Syndrome (Fix)

dikarenakan waktu paruhnya yang relative pendek, prealbumin bukan parameter

yang baik untuk skrining nutrisi. Untuk tujuan ini, lebih dipilih albumin.

o Kadar prealbumin juga dapat dipengaruhi oleh status hidrasi dan fungsi ginjal.

Enzim hepar

o Enzim hepatoseluler (aspartate aminotransferase [AST], alanine aminotransferase

[ALT]) penting untuk dimonitor, terutama pada pasien yang menerima nutrisi

parenteral jangka-panjang. Banyak pasien yang mendapatkan support nutrisi

parenteral jangka panjang, kadar enzim-enzim ini meningkat transient dan

kemudian menjadi normal, terutama saat mereka memulai intake makanan per

oral.

o Kewaspadaan perlu ditingkatkan ketika kenaikan kadar enzim ini menjadi

persisten, terutama jika kadarnya menjadi makin meningkat. Ini merupakan

kelompok pasien yang mungkin berkembang progresif menjadi kerusakan

hepatoseluler, sirosis, dan liver failure.

Bilirubin: Bilirubin serum adalah indikator yang baik untuk menilai fungsi hepar, tapi

sensitivitasnya untuk menilai kerusakan dini pada hepar lebih rendah dibandingkan

enzim-enzim hepatoseluler.

Elektrolit serum : elektrolit serum yang biasanya diukur, termasuk natrium, kalium,

klorida, dan CO2, sering bermanfaat terutama pada pasien yang diberikan nutrisi parental

jangka panjang. Nutrisi parenteral total biasanya berhubungan dengan gangguan

komponen ini, dan koreksi sederhana biasanya sudah cukup untuk mengatasi problem ini.

BUN: Mengetahui kadar BUN adalah penting untuk mengetahui fungsi renal. Lebih

penting lagi, pada kelompok pasien ini, peningkatan kadar BUN mungkin

mengindikasikan bahwa pasien mendapatkan diet protein yang berlebih. Sebagai

alternatif, jika kadar BUN meningkat tidak proporsional dalam hubungannya dengan

kreatinin (>20:1), pasien mungkin mengalami dehidrasi.

Kreatinin : kreatinin serum merupakan indikator yang baik untuk menilai fungsi renal.

Adanya peningkatan kreatinin, kita harus lebih mempertimbangkan kemungkinan

penurunan fungsi renal dan mungkin perlu merubah regimen suport nutrisi yang kita

berikan.

14

Page 15: Short Bowel Syndrome (Fix)

Kalsium, magnesium, dan fosfat serum: Kalsium dan magnesium berperan dalam fungsi

beberapa sistem enzim, regulasi stabilisasi membran dan eksitasi, dan memerankan

fungsi penting pada konduksi jantung dan area lain. Fosfat dan protein merupakan anion

intraseluler yang utama. Fosfat juga terlibat dalam pembentukan adenosine triphosphate

(ATP), sumber energi utama pada metabolisme aerob. Kekurangan ion-ion ini dapat

terjadi pada diare berat, terutama steatorrhea.

Kadar vitamin serum: Kadar vitamin serum dapat diukur. Hal ini dikerjakan jika pada

temuan klinis ditemukan gambaran khas defisiensi vitamin.

Faktor koagulasi : Defisiensi faktor-faktor koagulasi biasanya merupakan tanda penyakit

liver lanjut. Perlu dinilai international normalized ratio (INR), prothrombin time (PT),

dan activated partial thromboplastin time (aPTT) pada semua pasien yang menjalani

operasi, terutama pasien dengan disfungsi liver. Jika ditemukan defek, harus segera

diberikan terapi (contoh, vitamin K, fresh frozen plasma [FFP]).

Pemeriksaan radiologis:

Rontgen thorax: pemeriksaan foto rontgen thorax secara rutin dilakukan pada semua

pasien yang dipasang kateter vena sentral dalam waktu yang lama atau temporer untuk

tujuan hiperalimentasi atau tujuan lainnya. Selain itu juga dapat untuk memastikan posisi

kateter vena sudah pada tempatnya

Foto polos abdomen : Foto polos abdomen bertujuan untuk preliminary assessment status

usus.

Upper GI series with small bowel follow-through: Usus halus akan tampak mengalami

dilatasi karena ini merupakan mekanisme adaptasi utama dari usus halus. Area yang

mengalami striktur akan tampak menyempit secara signifikan. Hal ini biasanya

ditemukan pada daerah anastomosis. Secara keseluruhan, pola mukosa usus relatif tidak

berubah.

15

Page 16: Short Bowel Syndrome (Fix)

CT Scan abdomen: CT Scan abdomen dengan kontras dapat digunakan untuk

mengidentifikasi problem di enteral, seperti obstruksi usus. Pemeriksan ini juga berguna

untuk mengetahui gambaran hepar dan dapat menunjukkan jika terdapat perubahan ke

arah sirosis, atau tanda dini disfungsi liver seperti fatty liver.

16

Page 17: Short Bowel Syndrome (Fix)

USG abdomen: banyak pasien dengan short-bowel syndrome yang akhirnya mengalami

biliary sludge atau kolelitiasis. Gejala-gejala yang konsisten dengan kolik bilier atau

kolelitiasis dapat ditemukan pada USG abdomen. Pemeriksaan ini memberikan informasi

penting, seperti mengetahui ada tidaknya batu, penebalan dinding vesica fellea, dan

diameter ductus biliaris comunis. Choledocholithiasis dan fatty liver mungkin juga dapat

ditemukan

Pemeriksaan penunjang lain:

Bone densitometry

o Pasien dengan short-bowel syndrome, terutama dengan prolonged TPN, dapat

mengalami penyakit tulang metabolik. Mekanisme utamanya adalah karena

malabsorbsi kalsium dan vitamin D. Tulang dapat mengalami dekalsifikasi dan

mudah mengalami fraktur.

o Densitas tulang dapat diperkirakan dengan dual x-ray absorptiometry. Densitas

mineral tulang diukur dalam satuan g/cm2. Densitas tulang pasien diukur dan

dibandingkan dengan nilai normalnya. Kemudian ditentukan apakah pasien

termasuk osteopeni atau tidak. Pasien yang osteopeni dapat diberikan terapi

estrogen; kalsitonin; bisphosphonates; atau suplementasi kalsium, vitamin D, dan

magnesium. Pasien dapat diberi nasehat untuk meningkatkan tingkat aktivtitas

fisiknya secara bertahap.

Prosedur Diagnostik:

Biopsi hepar: Pasien dengan disfungsi hepar, yang dicurigai dengan modalitas

pemeriksaan kimia darah dan radiologi, pengambilan spesimen jaringan dianjurkan.

Biopsi hepar dapat dikerjakan percutaneus dengan panduan ultrasound atau CT.

Temuan Histologis : Beberapa keputusan terapetik, termasuk keputusan untuk melakukan

transplantasi, dibuat berdasarkan temuan pada gambaran histologis. Jenis tranplantasi yang

dilakukan juga berdasar pada kondisi hepar. Pasien dengan sirosis hepatik memerlukan

17

Page 18: Short Bowel Syndrome (Fix)

transplantasi hepar-intestinal. Pada pasien tanpa sirosis dapat melakukan transplantasi intestinal

saja.

18

Page 19: Short Bowel Syndrome (Fix)

Referensi sonny

Brunicardi Charles et al. Schwartz’s Manual of Surgery 8 ed. Mc Graw Hill, 2008. 729-731

Byrne TA, Persinger RL, Young LS, et al. A new treatment for patients with short-bowel

syndrome. Growth hormone, glutamine, and a modified diet. Ann Surg. Sep 1995;222(3):243-54;

discussion 254-5.

Lennard-Jones JE. Indications and need for long-term parenteral nutrition: implications for

intestinal transplantation. Transplant Proc. Dec 1990;22(6):2427-9

National Digestive Diseases Information Clearinghouse. Short Bowel Syndrome. NIH

Publication 2009; No. 09–4631

Uko Victor et al.. Short Bowel Syndrome in Children: Current Potential and Therapies. Pediatr

Drugs 2012; 14 (3): 179-188

Referensi FIL

Parish Carol R. the clinician guide to short bowel syndrome.2005

Nightingale J, Woodward J M. guideline for management of patient with short bowel.2006

National Digestive Disease Information Clearinghouse. Short Bowel Syndrome. NIH publication

2009

19