Page 1
Seorang laki-laki dengan keluhan sering merasa semutan
KELOMPOK X
03007240 Shisca Purnamasari 03008010 Agra Cesarienne Pradito
03008030 Anggun Retnita 03008040 Arini Nurlela
03008060 Billy Susanto 03008070 Christy Suryandari
03008120 Herliana Widyantari 03008180 Nikita Rizki Arimami
03008200 Rara Amourra Anggela 03008210 Ririn Aprilya Anggela
03008240 Selvi Annisa 03008240 Tiara Rahmawati
03008250 Vida Rahmi Utami
JAKARTA
1
Page 2
18 MARET 2011
I. PENDAHULUAN
Pada diskusi pertama modul organ endokrin, metabolik, dan gizi dengan judul
seorang laki-laki yang mengeluh sering merasa semutan terbagi dalam dua sesi. Pada sesi
pertama, diskusi dibimbing oleh dr. Lukman Halim, MS, Sp.GK selaku tutor. Diskusi sesi
pertama berlangsung pada hari Selasa, 15 Maret 2011 pada pukul 13.00-15.00. Diskusi pada
sesi pertama dihadiri oleh seluruh anggota kelompok diskusi yang berjumlah 13 orang
peserta, dimana diskusi dipimpin oleh Agra Cesarienne Pradito sebagai ketua dan Anggun
Retnita selaku sekretaris.
Pada sesi kedua yang berlangsung pada hari Kamis, 17 Maret 2011, diskusi masih tetap
dibimbing oleh dr. Lukman Halim, MS, Sp.GK selaku tutor. Diskusi sesi kedua ini dihadiri
oleh seluruh anggota kelompok diskusi yang berjumlah 13 orang peserta, dimana diskusi
dipimpin oleh Agra Cesarienne Pradito sebagai ketua dan Anggun Retnita selaku sekretaris.
II. LAPORAN KASUS
Kasus Tn. Hadi (42 tahun) :
Ke RS tempat saudara bekerja sebagai dokter poliklinik, datang Tn. Hadi, 42 tahun dengan
keluhan sering merasa kesemutan. Badannya juga makin gemuk karena katanya ia jarang
berolahraga. Ia pun mengeluh cepat lelah, dan sering merasa sakit kepala terutama pagi hari
saat bangun tidur.
Pada pemeriksaan awal didapatkan :
- TB : 160 cm
- BB : 85 kg
- TD : 145/100 mmHg
2
Page 3
- Nadi : 88x/m, Volume sedang, reguler
- Suhu : 36,80C
- Pernapasan : 24x/m
- Gula darah sewaktu : 210 mg/dl
Tn. Hadi tampak gemuk dengan perut membuncit. Pada kelopak mata atas sebelah kiri
tampak benjolan kekuningan sebesar kacang hijau.
Kasus Tn. Hadi (42 tahun) lanjutan :
Pada anamnesis lanjutan, Tn.Hadi mengeluh sebagai tambahan, nyeri dipangkal ibu jari kaki
kirinya sejak 3 hari yang lalu, tapi sekarang sudah membaik.
Pada pemeriksaan fisik Tn.Hadi, didapatkan tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan
kelainan getah bening leher. Tidak ada kelainan pada pemeriksaan jantung dan paru.
Abdomen : Nyeri tekan (-), bising usus normal, shifting dulness (-), lingkar perut 114 cm.
Hepar teraba 1 jari b.a.c, kenyal, tepi tajam, permukaan licin, nyeri tekan (-). Lien tak teraba.
Ekstremitas : Terdapat pembengkakan pada sendi pangkal ibu jari kaki kiri dan masih tampak
sedikit kemerahan. Tidak ada pembengkakan pada sendi-sendi lain. Edema -/-
Laboratorium:
Darah : 1. Hb : 11,5 g% 5. SGOT : 78u/L
2. Leukosit : 6.200/mm3 6. SGPT : 86u/L
3. Trombosit : 212.000 7. GDP : 145 mg/dl
4. LED : 45 mm/jam 8. HBA1C : 8 %
Kolesterol : 1. Kolesterol total : 292 mg/dl
2. Trigliserida : 270 mg/dl
3. Kolesterol HDL : 35 mg/dl
Urin : 1. BJ : 1015 4. Glukosa : (-)
3
Page 4
2. pH : 6 5. Sedimen : eritrosit : 5-6/LPB
3. Protein : +1 leukosit : 10-15/LPB
PEMBAHASAN KASUS
Identitas
Nama : Tn. Hadi
Usia : 42 Tahun
Jenis Kelamin : Pria
Status : -
Alamat : -
Keluhan Utama
Mengeluh sering merasa kesemutan
Keluhan Tambahan
1. Mengeluh cepat lelah, dan sering merasa sakit kepala terutama pagi hari saat bangun
tidur
2. Nyeri dipangkal ibu jari kaki kirinya sejak 3 hari yang lalu, tapi sekarang sudah
membaik
Anamnesis
1. Riwayat penyakit sekarang
Kapan keluhan sering merasa kesemutan mulai timbul ?
Apakah rasa kesemutan yang dialami biasa terjadi setelah melakukan kegiatan
tertentu ?
Bagaimanakah rasa kesemutan yang dialami? Apakah diikuti oleh sensasi
lain?
4
Page 5
Apakah kesemutan dirasakan pada seluruh tubuh atau pada bagian tubuh
tertentu? Jika pada bagian tubuh tertentu, pada bagian tubuh manakah rasa
kesemutan dialami?
Apakah rasa kesemutan yang dialami disertai dengan penjalaran?
Apakah rasa kesemutan yang dialami diikuti dengan rasa nyeri pada daerah
tersebut?
Bagaimanakah sakit kepala yang dialami?
Pada bagian mana sakit kepala tersebut dialami?
Apakah sakit kepala yang dirasakannya akan hilang secara spontan? Jika
tidak, tindakan apa yang biasa anda lakukan untuk mengatasi sakit kepala
tersebut?
Sejak kapan benjolan kekuningan pada kelopak mata timbul?
2. Riwayat penyakit dahulu
Apakah sebelumnya anda pernah melakukan pemeriksaan kesehatan?
Apakah anda memiliki riwayat hipertensi sebelumnya?
Apakah anda memiliki riwayat diabetes mellitus sebelumnya?
3. Riwayat penyakit keluarga
Apakah anggota keluarga anda ada yang memiliki riwayat penyakit hipertensi
maupun diabetes mellitus?
4. Riwayat pengobatan
Apakah anda pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk mengatasi masalah
yang anda miliki? Jika pernah, apakah obat yang anda konsumsi? Sudah
berapa lama anda mengkonsumsi obat tersebut? Dan berapa dosis obat yang
anda konsumsi?
5. Riwayat kebiasaan
5
Page 6
Berapakah frekuensi makan anda dalam sehari?apakah anda makan secara
teratur dalam sehari?
Jenis makanan apakah yang paling sering anda konsumsi?
Apakah aktifitas saudara sehari-hari?
Bagaimanakah pola tidur saudara? Berapa lama rata-rata anda tidur dalam
sehari?
Apakah anda merokok atau mengkonsumsi minuman beralkohol?
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : -
Kesadaran : compos mentis
Tanda Vital
Suhu : 36,80C
TB : 160 cm
BB : 85 Kg
Nadi : 88x/m ; volume sedang ; reguler
Pernapasan : 24x/m
Inspeksi
Tampak gemuk dengan perut membuncit
Didapatkan benjolan kekuningan sebesar kacang hijau pada kelopak mata atas sebelah
kiri
Lingkar perut 114 cm
Ekstremitas : Terdapat pembengkakan pada sendi pangkal ibu jari kaki kiri dan masih
tampak sedikit kemerahan. Tidak ada pembengkakan pada sendi-sendi lain.
Palpasi
6
Page 7
Tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan kelainan getah bening leher
Abdomen : Nyeri tekan (-) ; shifting dulness (-) ; Hepar teraba 1 jari b.a.c, kenyal, tepi
tajam, permukaan licin, nyeri tekan (-); Lien tak teraba.
Ekstremitas : Edema -/-
Auskultasi
Tidak ada kelainan pada pemeriksaan jantung dan paru.
Bising usus normal
Pemeriksaan Tambahan
Laboratorium:
Darah : 1. Hb : 11,5 g% 6. SGOT : 78u/L
2. Leukosit : 6.200/mm3 7. SGPT : 86u/L
3. Trombosit : 212.000 8. GDP : 145 mg/dl
4. LED : 45 mm/jam 9. HBA1C : 8 %
5. Gula darah sewaktu : 210 mg/dl
Kolesterol : 1. Kolesterol total : 292 mg/dl
2. Trigliserida : 270 mg/dl
3. Kolesterol HDL : 35 mg/dl
Urin : 1. BJ : 1015 4. Glukosa : (-)
2. pH : 6 5. Sedimen : eritrosit : 5-6/LPB
3. Protein : +1 leukosit : 10-15/LPB
Beberapa faktor resiko yang terdapat pada pasien berdasarkan seluruh hasil
pemeriksaan, antara lain :
1. Obesitas sentral
2. Kurangnya aktifitas
3. Hipertensi
7
Page 8
4. Hiperglikemia
5. Dislipidemia
Berdasarkan pada data hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik yang didapatkan dari
kasus tersebut, didapatkan beberapa masalah yang dialami oleh sang pasien. Jika meninjau
pada data tersebut, dapat dikatakan bahwa yang menjadi keluhan utama yang dialami oleh
sang pasien adalah rasa semutan atau parestesia. Parestesia adalah sensasi pada permukaan
tubuh tertentu yang tidak dipicu rangsangan dari dunia luar atau stimulus tertentu. Sedangkan
menurut Kamus Kedokteran Dorland, parestesia berarti perasaan sakit atau perasaan
menyimpang; rasa abnormal seperti kesemutan, rasa panas seperti terbakar, dan sejenisnya.
Secara umum gangguan saraf dalam bentuk parestesia dapat terjadi akibat adanya gangguan
pada sistem saraf tepi yang berada tersebar diseluruh tubuh.
Gangguan pada saraf yang menyebabkan parestesia dapat terjadi akibat adanya
tekanan, infeksi, ataupun gangguan metabolisme yang terjadi pada jaringan saraf tersebut.
Karena gangguan tersebut terjadi pada saraf tepi, maka rasa kesemutan yang dialami akibat
parestesia akan terjadi pada seluruh bagian tubuh yang dipersarafi oleh saraf tepi yang
mengalami gangguan tersebut. Parestesia dapat diklasifikasikan sebagai parestesia transient
ataupun kronis. Parestesia transient. disebabkan oleh adanya tekanan tak sengaja yang terjadi
pada saraf yang terletak superficial, dan menghilang secara bertahap apabila tekanan tersebut
menghilang. Parestesia pada kondisi tersebut sesungguhnya hanya bersifat peringatan diri
dari tubuh akan adanya kemungkinan kerusakan jaringan pada daerah yang mengalami
parestesia akibat tindakan yang dilakukan oleh orang tersebut. Sedangkan untuk parestesia
kronis dapat dihasilkan dari sirkulasi yang buruk, iritasi saraf, neuropati, atau kondisi ataupun
penyebab lain. Secara neurologis, Parestesia disebabkan oleh gangguan pada fungsi neuron di
jalur sensorik. Gangguan ini dapat terjadi pada sistem saraf pusat, radiks saraf yang melekat
pada vertebrae, maupun pada sistem saraf perifer.
8
Page 9
Gangguan perifer merupakan penyebab paling umum parestesia. Saraf seperti tertidur
terjadi ketika pasokan darah ke saraf terputus, dimana kondisi ini disebut iskemia. Iskemia
biasanya terjadi ketika arteri dikompresi saat melewati suatu sendi yang tertekuk atau fleksi,
tetapi kompresi langsung dari saraf juga menyebabkan parestesia. Kompresi bisa dalam
jangka waktu pendek, seperti ketika sebuah ransel berat menyebabkan kompresi pada saraf
yang lewat di bahu, tetapi kompresi juga mungkin bersifat kronis. Kompresi saraf kronis
terjadi pada entrapment syndromes. Contoh yang paling umum adalah carpal tunnel
syndrome. Carpal tunnel syndrome terjadi ketika saraf median dikompresi saat melewati
saluran sempit di pergelangan tangan. Gerakan yang berulang atau getaran yang
berkepanjangan dapat menyebabkan pembengkakan pada celah yang ada dan menyebabkan
tekanan pada saraf.
Penyebab lain parestesia berkaitan dengan gangguan pada saraf tepi meliputi:
1. Metabolisme atau gangguan gizi.
Gangguan ini termasuk diabetes, hipotiroidisme, alkoholisme, malnutrisi, dan
kekurangan vitamin B12 yang dibutuhkan oleh jaringan saraf.
2. Trauma.
Trauma termasuk luka yang bersifat menghancurkan, memutuskan, atau menimbulkan
tarikan pada saraf.
3. Peradangan.
4. Penyakit jaringan ikat.
Penyakit ini termasuk artritis, lupus eritematosus sistemik (penyakit peradangan
kronis yang mempengaruhi banyak sistem tubuh, termasuk sistem saraf), polyarteritis
nodosa (penyakit pembuluh darah yang menyebabkan peradangan luas dan iskemia
arteri ukuran kecil dan menengah), dan Sjögren sindrom (gangguan yang ditandai
9
Page 10
dengan insufisiensi cairan yang terdapat pada saluran air mata, kelenjar ludah, dan
kelenjar lainnya).
5. Racun.
Racun termasuk logam berat (unsur logam seperti arsenik, timbal, dan merkuri yang
dapat, dalam jumlah besar dan menyebabkan keracunan), antibiotik tertentu dan agen
kemoterapi, solvent, dan overdosis pyridoxine (vitamin B6).
6. Keganasan.
7. Infeksi.
Infeksi termasuk human immunodeficiency virus (HIV), dan kusta.
8. Parestesia juga bisa disebabkan oleh gangguan sistem saraf pusat, termasuk stroke, TIA
(transient ischemic attack), tumor, trauma, multiple sclerosis, atau infeksi.
Jika meninjau berbagai penyebab yang dapat menimbulkan terjadinya parestesia,
dapat diperkirakan keluhan parestesia yang terjadi pada pasien ini disebabkan oleh adanya
gangguan metabolisme yang dialami oleh pasien dalam bentuk hiperglikemia. Keadaan
hiperglikemia, pada jaringan saraf akan menyebabkan aktivasi jalur poliol yang berfungsi
untuk merubah glukosa menjadi sorbitol dengan bantuan enzim aldose reduktase, sedangkan
sorbitol sendiri nantinya akan dipecah menjadi fruktosa. Apabila glukosa dalam jaringan saraf
tinggi, maka akan terjadi akumulasi dari sorbitol dalam sel saraf yang menyebabkan
peningkatan tekanan osmotik dengan akibat terjadinya difusi cairan ke dalam jaringan saraf
dan terhambatnya mioinositol untuk masuk sel saraf yang menyebabkan terjadinya oedem
saraf, dan gangguan konduksi saraf akibat mioinositol yang sulit masuk ke dalam sel.
Selain parestesia atau kesemutan, berdasarkan anamnesis yang dilakukan terhadap
pasien, didapatkan keterangan bahwa sang pasien mengaku badannya semakin gemuk akibat
riwayat kebiasaannya yang jarang berolahraga. Jika meninjau data tersebut, dapat
diperkirakan bahwa pasien memiliki life style yang tidak sehat. Hal ini tercermin dengan
10
Page 11
adanya pengakuan bahwa jarangnya pasien berolahraga yang disertai dengan bertambah
gemuknya tubuh sang pasien. Bertambah gemuknya tubuh sang pasien dapat menjadi
indikator akan adanya kemungkinan sang pasien tidak memiliki keteraturan dalam dietnya
sehari-hari. Keadaan dan kebiasaan yang dimiliki oleh pasien sangatlah menjadi sebuah
faktor resiko yang tinggi bagi pasien untuk terjadinya berbagai penyakit pada tubuh sang
pasien, terutama penyakit yang berhubungan dengan gangguan metabolisme dan sistem
kardiovaskular.
Untuk hasil pemeriksaan tanda vital pada pasien tersebut, didapatkan data bahwa
terdapat beberapa tanda vital dari pasien yang berada dalam batas normal maupun tidak
normal. Untuk suhu dan nadi pada pasien didapatkan nilai dalam batas normal, sedangkan
untuk tekanan darah dan frekuensi nafas dari pasien terdapat dalam nilai diluar batas normal.
Untuk tekanan darah, pasien dapat dikatakan mengalami hipertensi stage I atau hipertensi
ringan berdasarkan JNC VII maupun WHO dengan nilai tekanan darah mencapai 145/100
mmHg. Sedangkan untuk frekuensi nafas, dapat dikatakan pasien mengalami peningkatan
frekuensi nafas dengan nilai 24x/menit.
Klasifikasi Hipertensi menurut Joint National Committee 7
Kategori Sistol (mmHg) Dan/atau Diastole (mmHg)
Normal <120 Dan <80
Pre hipertensi 120-139 Atau 80-89
Hipertensi tahap 1 140-159 Atau 90-99
Hipertensi tahap 2 ≥ 160 Atau ≥ 100
Klasifikasi Hipertensi menurut WHO
Kategori Sistol (mmHg) Diastol (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
11
Page 12
Tingkat 1 (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub grup : perbatasan 140-149 90-94
Tingkat 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
Sub grup : perbatasan 140-149 < 90
Hipertensi adalah peningkatan tekanan darah dalam arteri. Secara umum, hipertensi
merupakan suatu keadaan tanpa gejala, dimana tekanan yang abnormal tinggi di dalam arteri
menyebabkan meningkatnya resiko terhadap stroke, aneurisma, gagal jantung, serangan
jantung dan kerusakan ginjal. Tekanan darah dalam kehidupan seseorang bervariasi secara
alami. Bayi dan anak-anak secara normal memiliki tekanan darah yang jauh lebih rendah
daripada dewasa.
Tekanan darah juga dipengaruhi oleh aktivitas fisik, dimana akan lebih tinggi pada
saat melakukan aktivitas dan lebih rendah ketika beristirahat. Tekanan darah dalam satu hari
juga berbeda, dimana tekanan darah akan mencapai nilai paling tinggi di waktu pagi hari dan
paling rendah pada saat tidur malam hari, dimana hal tersebut dipengaruhi oleh rangsangan
simpatis. Pada sekitar 90% penderita hipertensi, penyebabnya tidak diketahui dan keadaan ini
dikenal sebagai hipertensi esensial atau hipertensi primer. Hipertensi esensial kemungkinan
memiliki banyak penyebab, seperti terjadinya beberapa perubahan pada jantung dan
pembuluh darah kemungkinan bersama-sama menyebabkan meningkatnya tekanan darah.
Jika penyebabnya diketahui, maka disebut hipertensi sekunder. Pada sekitar 5-10%
penderita hipertensi, penyebabnya adalah penyakit ginjal. Pada sekitar 1-2%, penyebabnya
adalah kelainan hormonal atau pemakaian obat tertentu (misalnya pil KB). Kegemukan
(obesitas), gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga), stres, alkohol atau garam dalam
12
Page 13
makanan sifatnya dapat memicu terjadinya hipertensi pada orang-orang memiliki kepekaan
yang diturunkan. Stress cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara
waktu, jika stress telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal. Pada
sebagian besar penderita, hipertensi tidak menimbulkan gejala, meskipun secara tidak sengaja
beberapa gejala terjadi bersamaan dan dipercaya berhubungan dengan tekanan darah tinggi.
Gejala yang dimaksud adalah sakit kepala, perdarahan dari hidung, pusing, wajah kemerahan
dan kelelahan, dimana keadaan tersebut juga dapat terjadi baik pada penderita hipertensi,
maupun pada seseorang dengan tekanan darah yang normal. Tetapi, jika hipertensinya berat
atau menahun dan tidak diobati, bisa timbul gejala berikut:
a. Sakit kepala
b. Kelelahan
c. Mual
d. Muntah
e. Sesak nafas
f. Gelisah
g. Pandangan menjadi kabur yang terjadi karena adanya kerusakan pada otak,
mata, jantung dan ginjal.
Kadang penderita hipertensi berat mengalami penurunan kesadaran dan bahkan koma
karena terjadi pembengkakan otak. Keadaan ini disebut ensefalopati hipertensif, yang
memerlukan penanganan segera. Jika meninjau pada keterangan tersebut, dapat diperkirakan
bahwa sakit kepala terutama di pagi hari saat bangun tidur dan keluhan mudah lelah yang
menjadi salah satu keluhan dari sang pasien dapat terjadi oleh karena adanya kedaan keadaan
hipertensi pada pasien tersebut. Hal yang mendasari pernyataan tersebut adalah dimana rasa
sakit kepala dan mudah lelah merupaka salah satu dari gejala yang biasa timbul pada
seseorang yang menderita hipertensi, terutama pada pasien dengan hipertensi berat atau
13
Page 14
menahun yang tidak diobati. Untuk mekanisme hubungan antara keluhan sakit kepala yang
biasa timbul pada pagi hari dengan kondisi hipertensi yang dialami oleh pasien, dapat
dikorelasikan dengan kondisi bahwa tekanan darah pada tubuh seseorang akan mencapai titik
tertinggi pada pagi hari. Hal tersebut disebabkan oleh karena terjadinya mekanisme
peningkatan rangsangan simpatis pada seseorang sesaat bangun tidur, dimana hal tersebut
dapat menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan darah melalui mekanisme vasokonstriksi
pembuluh darah. Terjadinya peningkatan tekanan darah akibat mekanisme vasokonstriksi
terutama di pembuluh darah otak, dapat menyebabkan proses difusi dan perfusi oksigen ke
jaringan otak berkurang, sehingga terjadilah pusing atau sakit kepala.
Berdasarkan pada beberapa penelitian, didapatkan data bahwa hipertensi dapat
disebabkan oleh kegemukan (obesitas), dan gaya hidup yang tidak aktif (malas berolah raga).
Obesitas adalah kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang
berlebihan. Obesitas dapat terjadi jika, selama periode waktu tertentu, kilokalori yang masuk
melalui makanan lebih banyak dibandingkan dengan yang digunakan untuk menunjang
kebutuhan energi tubuh, dan kelebihan energi tersebut akan disimpan sebagai trigliserida
dalam jaringan lemak. Kalori diperoleh dari makanan sedangkan pengeluarannya melalui
aktivitas tubuh dan olah raga. Kalori terbanyak (60-70%) dipakai oleh tubuh untuk kehidupan
dasar seperti bernafas, jantung berdenyut dan fungsi dasar sel. Besarnya kebutuhan kalori
dasar ini ditentukan oleh genetik atau keturunan. Namun aktifitas fisik dan olah raga dapat
meningkatkan jumlah penggunaan kalori keseluruhan. Jadi ketidakseimbangan kalori ini
dapat ditentukan oleh faktor keturunan tapi dipicu oleh pola hidup dan lingkungan. Dimana
hal tersebut mendukung keadaan pasien yang menyatakan bahwaa dirinnya semakin gemuk
akibat kebiasaannya yang jarang berolahraga mengakibatkan ketidakseimbangan kalori yang
masuk dan keluar dari tubuh.
14
Page 15
Obesitas dapat diketahui dengan mengukur jumlah lemak seluruh tubuh menggunakan
alat impedans atau mengukur ketebalan lemak di tempat-tempat tertentu menggunakan alat
kaliper. Selain itu lemak di sekitar perut dapat diukur dengan menggunakan meteran. Secara
sederhana kegemukan dapat dihitung dengan menghitung Body Mass Index (BMI) atau
Indeks Massa Tubuh (IMT), yaitu membagi berat badan (kg) dengan tinggi badan
dikuadratkan (m2) BB(Kg)/TB2(m) . Perhitungan ini tidak berlaku bagi atlet, ibu hamil dan
anak-anak.
Jenis kegemukan atau obesitas dapat dibagi dua, yaitu yang merata seluruh tubuh dan
yang lokal terutama di perut yang disebut obesitas sentral. Kedua jenis obesitas ini
mempunyai dampak pada kesehatan tubuh secara langsung.
Jika kita merujuk data tersebut pada hasil anamnesis, jelas dikatakan oleh pasien
dalam anamnesis bahwa ia merasakan badannya semakin gemuk dan disebabkan oleh jarang
berolahraga. Hal ini juga ditinjau oleh data hasil inspeksi, didapatkan data bahwa pasien
tampak gemuk dengan perut membuncit. Hasil inspeksi pada pasien tersebut juga didukung
dengan didapatkannya data bahwa pasien tersebut memiliki nilai body mass index sebesar
33.20 Kg/m2 berdasarkan hasil penilaian dari pengukuran berat badan dan tinggi badan
pasien, lingkar perut mencapai 114 cm dimana nilai normal bagi orang asia adalah < 90cm,
dan tidak ditemukannya ascites pada pasien berdasarkan hasil pemeriksaan shifting dulness
yang negatif. Tidak adanya gejala ascites pada pasien tersebut menunjukkan bahwa tidak
adanya penumpukan cairan pada ruang abdomen, maka keterangan tersebut dapat
menunjukkan bahwa buncitnya perut dari pasien adalah benar-benar disebabkan oleh adanya
penimbunan lemak pada jaringan adiposa sekitar abdomen. Merujuk pada data tersebut, dapat
dipastikan bahwa pasien tergolongkan dalam pasien obesitas dengan klasifikasi obesitas
tingkat 1 dengan dasar perhitungan nilai BMI pasien yang terletak pada rentang 30-34.9
15
Page 16
Kg/m2. Sedangkan jika kita meninjau obesitas yang dialami oleh pasien berdasarkan
distribusi jaringan adiposa, pada kasus ini pasien tergolong pada obesitas sentral dengan
fokus distribus penimbunan lemak pada daerah abdomen. Selain berdasarkan kedua kriteria
tersebut, pasien ini juga dapat terklasifikasi dalam obesitas jika ditinjau pada pengertian dari
pengertian obesitas itu sendiri. Sangat jelas bahwa pasien dapat dikatakan obesitas apabila
terdapat kelebihan berat badan pada pasien yang diikut dengan penimbunan lemak tubuh
yang berlebihan.
Klasifikasi BMI Menurut WHO (1998)
Kategori BMI (kg/m2) Resiko Comorbiditas
Underweight < 18.5 kg/m2 Rendah (tetapi resiko terhadap masalah-masalah klinis lain meningkat)
Batas Normal 18.5 - 24.9 kg/m2
Overweight: > 25
Pre-obese 25.0 – 29.9 kg/m2
Obese I 30.0 - 34.9kg/m2
Obese II 35.0 - 39.9 kg/m2
Obese III > 40.0 kg/m2 Sangat Berbahaya
Selain berdasarkan pada hasil inspeksi dan perhitungan BMI dari pasien, Keadaan
obesitas pada pasien juga didukung dengan didapatkannya benjolan kekuningan pada kelopak
mata atas sebelah kiri, atau yang biasa disebut dengan xantelasma. Xantelasma biasa terjadi
akibat proses penimbunan lemak pada kelopak mata, terutama pada bagian nasal atas dan
bawah dari kelopak mata. Keadaan xantalesma pada seseorang biasanya dihubungkan dengan
keadaan hiperlipidemia dan dapat juga disebabkan tanpa keadaan hiperlipidemia, seperti pada
kasus histiositosis dan retikulositostoma. Tetapi, jika meninjau pada data tambahan dari hasil
pemeriksaan laboratorium kolesterol darah, didapatkan hasil bahwa pasien mengalami
peningkatan nilai kolesterol total, dan trigliserida, yang diikuti oleh penurunan nilai HDL.
Keadaan terjadinya peningkatan kadar kolesterol darah dan trigliserida yang diikuti oleh
16
Page 17
penurunan HDL sebagai kolesterol baik tergolong dalam keadaan Dislipidemia. Keadaan
tersebut dikategorikan kedalam keadaan dislipidemia, karena peningkatan nilai kolesterol
darah dan trigliserida pada pasien tersebut tidak diikuti pula oleh peningkatan nilai HDL
darah, tetapi yang terjadi pada pasien adalah penurunan dari nilai HDL darah dari nilai
normal. Keadaan dislipidemia yang ditegakkan pada pasien berdasarkan pemeriksaan
laboratorium sangatlah memiliki korelasi yang tepat dengan timbulnya xantelasma pada
kelopak mata pasien akibat tingginya nilai kolesterol dan trigliserida dalam darah.
Berdasarkan pada beberapa keadaan pasien, meliputi obesitas, dan dislipidemia yang
menunjukkan tingginya kadar lemak dalam tubuh pasien, dapat diperkirakan bahwa
hipertensi yang dialami oleh pasien adalah hipertensi sekunder yang disebabkan oleh keadaan
obesitas dan gaya hidup yang tidak aktif pada pasien yang memiliki kebiasaan malas untuk
berolahraga. Kedua hal tersebut dapat menjadi faktor resiko yang menyebabkan terjadinya
hipertensi adalah karena keadaan tersebut dapat menyebabkan timbulnya gangguan pada
aliran dalam sistem vaskularisasi yang berefek langsung pada peningkatan tekanan darah.
Jika kembali pada obesitas atau kegemukan yang dialami oleh pasien, jelas keadaan
tersebut sangatlah menjadi faktor resiko yang berat bagi pasien tersebut akan timbulnya
beberapa masalah dalam tubuhnya. Tubuh yang berat akan membebani lutut mengakibatkan
keradangan sendi, memicu hipertensi, mengganggu kesuburan dan dapat mengakibatkan
kematian mendadak saat tidur. Kelebihan asupan makanan mengakibatkan meningkatnya
lemak darah yang tidak diinginkan (kolesterol LDL dan Trigliserida). Selain itu, jaringan
lemak tubuh yang merupakan tempat deposit kelebihan kalori, terutama dibagian dalam
rongga perut, ikut mengganggu kerja insulin (resistensi insulin). Resistensi insulin dapat
terjadi pada seseorang dengan obesitas akibat adanya hormon leptin, lesitin, dan adiponektin
yang dapat menghambat kerja dari insulin dalam tubuh.
17
Page 18
Jika membicarakan hormon insulin, jelas kerja dari hormon tersebut sangatlah
mempengaruhi kadar dari glukosa darah seseorang. Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium serial atas nilai glukosa darah dari pasien, didapatkan data bahwa pasien
mengalami peningkatan kada glukosa darah sewaktu hingga 210 mg/dl dan peningkatan
glukosa darah puasa hingga 145 mg/dl. Jika meninjau hasil pemeriksaan tersebut, dapat
dikatakan pasien tersebut mengalami masalah pada metabolisme glukosa dalam tubuhnya,
dan jika meninjau dari kriteria diagnosis diabetes melitus, dengan kadar glukosa darah
sewaktu lebih besar atau sama dengan 200 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa lebih besar
atau sama dengan 126 mg/dl, pasien ini dapat didiagnosis menderita diabetes melitus. Selain
berdasarkan hasil pemeriksaan GDS dan GDP pada pasien, didapatkan juga peningkatan
HBA1C hingga 8% pada hasil pemeriksaan laboratorium darah. Berdasarkan pada hasil
pemeriksaan HBA1C yang menjadi indikator untuk melakukan evaluasi pengendalian gula
darah dalam beberapa waktu lampau, dapat dipastikan bahwa dalam 6-12 minggu sebelum
dilakukannya pemeriksaan laboratorium darah, pasien telah mengalami keadaan
hiperglikemia.
Untuk menentukan klasifikasi dari diabetes melitus, berdasarkan kalsifikasi dari
PERKENI pada tahun 1998, pasien tersebut dapat digolongkan dalam diabetes melitus tipe 2
yang disebabkan oleh karena adanya gangguan pada kerja insulin. Diabetes melitus tipe 2
dapat ditetapkan pada pasien ini, dengan didasarkan pada tidak adanya riwayat diabetes
sebelumnya yang menjadi ciri khas dari diabetes melitus tipe 1, dan didukung dengan adanya
obesitas dan life style yang buruk sebagai faktor resiko dari diabetes melitus tipe 2.
Selain didapatkannya masalah diabetes melitus pada pasien tersebut, ditemukan pada
pasien adanya tanda-tanda pembesaran pada hepar, yang ditandai dengan terabanya hepar
sebesar 1 jari dibawa arcus costae. Jika diketahui adanya diabetes melitus dan keadaan
18
Page 19
dislipidemia pada pasien tersebut, dapat diperkirakan perbesaran hepar yang terjadi pada
pasien tersebut dapat disebabkan oleh adanya perlemakan hepar atau yang biasa disebut
dengan fatty liver. Fatty liver dapat terjadi pada pasien tersebut dikarenakan adanya kondisi
diabetes yang menyebabkan kadar insulin dalam darah dalam keadaan rendah apabila dalam
kondisi lanjut dan adanya dislipidemia akibat diet yang tidak teratur. Kedua keadaan tersebut
sangatlah berkaitan dalam menyebabkan terjadinya fatty liver tersebut, dimana penurunan
kadar insulin dalam darah dapat menyebabkan pemecahan trigliserida menjadi lipoprotein
menjadi terhambat. Terhambatnya pemecahan trigliserida dalam darah akan menyebabkan
hiperlipidemia berat, sehingga trigliserida akan tetap disimpan dalam hepar. Penimbunan
trigliserida dalam hepar akan memicu terjadinya perlemakan pada jaringan hepar dan
menyebabkan kerusakan pada jaringan hepar. Adanya kerusakan jaringan pada hepar, akan
menyebabkan enzim-enzim yang terdapat dalam hepar dapat keluar kedalam sirkulasi darah
sehingga kadarnya akan tinggi dalam darah. Hal tersebutlah yang memicu terjadinya
peningkatan kadar SGOT dan SGPT pada hasil pemeriksaan laboratorium darah pasien.
Selain dilakukannya pemeriksaan fisik dan laboratorium darah, dilakukan juga
pemeriksaan laboratorium urin. Pada pemeriksaan laboratorium urin, didapatkan data bahwa
urin mengandung protein dan sedimen eritrosit dan leukosit yang tidak dalam batas normal.
Mikroalbuminaria dan adanya hematuria pada pasien ini mengindikasikan adanya kelainan
yang terjadi pada ginjal. Tetapi jika meninjau pada fungsi dari ginjal melalui nilai ureum
dana kreatinin yang dalam kategori normal pada batas atas, dapat dikatakan adanya
proteinuria dan hematuria yang terjadi bisa disebabkan adanya kerusakan yang mulai terjadi
pada ginjal akibat kadar glukosa yang tidak terkontrol dalam darah. Selain meninjau dari
fungsi ginjal, adanya mikroalbuminaria dan hematuria pada pasien tersebut dapat terjadi
akibat adanya mikroangiopati yang dapat terjadi akibat kadar glukosa yang tinggi dan tidak
terkontrol dalam darah. Untuk mengetahui secara pasti apakah pada pasien tersebut terjadi
19
Page 20
mikroangiopati atau tidak, dapat dibuktikan dengan pemeriksaan pembuluh darah retina
melalui pemeriksaan funduskopi.
Selain kedaan tersebut, berdasarkan anamnesis tambahan yang dilakukan, ternyata
pasien mengeluh sebagai tambahan, adanya nyeri dipangkal ibu jari kaki kirinya sejak 3 hari
yang lalu, dan sekarang mulai membaik. Dilanjutkan dengan pemeriksaan lokali pada
ekstremitas, didapatkan pada hasil pemeriksaan adanya pembengkakan pada sendi pangkal
ibu jari kaki kiri dan masih tampak sedikit kemerahan tanpa diikuti pembengkakan pada
sendi lain. Berdasarkan pada hasil pemeriksaan tersebut, dapat diperkirkana bahwa masalah
yang timbul pada sendi jari kaki tersebut disebabkan oleh karena adanya reaksi inflamasi. Hal
tersebut didukung dengan adanya tanda pembengkanan, nyeri, dan kemerahan pada sendi
tersebut. Jika meninjau dari etiologinya, nyeri pada sendi ibu jari tersebut dapat disebabkan
oleh karena adanya artritis. Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, didapatkan hasil
bahwa terdapat peningkatan nilai asam urat dalam darah pasien. Jika melihat hasil
pemeriksaan tersebut, dapat dipastikan nyeri pada sendi ibu jari kaki kiri dari pasien tersebut
disebabkan oleh terjadinya artritis gout. Diagnosis artritis gout pada pasien ini dapat
ditegakkan dengan adanya tanda-tanda inflamasi pada sendi 1 metatarsal yang menjadi
tempat predileksi terjadinya artritis gout yang diikuti dengan adanya peningkatan nilai asam
urat pada darah.
20
Page 21
Artritis gout dapat terjadi akibat adanya keadaan hiperurisemia yang menyebabkan
peningkatan soulibilitas dari asam urat yang menyebabkan asam urat tersebut lebih mudah
untuk mengendap. Terjadinya pengendapan asam urat pada cairan sendi oleh sistem imun
dianggap sebagai benda asing, sehingga terjadilah aktivasi dari sistem imun. Aktivasi dari
sistem imun menyebabkan kristal urat terfagosit oleh neutrofil mengalami lisis akibat kristal
yang bersifat tajam. Lisisnya neutrofil menyebabkan enzim lisosom yang terdapat dalam
neutrofil keluar dan menyebabkan reaksi inflamasi. Selain di fagosit oleh neutrofil, kristal
urat juga akan difagosit oleh makrofag yang akan mengundang inflamatory agent untuk
melepaskan enzim protease untuk melisiskan protein, dan peristiwa tersebut mencetuskan
terjadinya reaksi inflamasi. Pada kasus gout yang dialami oleh pasien ini, hiperurisemia yang
dialami oleh pasien tersebut dapat disebabkan oleh terjadinya intake diet purin yang besar.
Berdasarkan atas pengkajian dan penjabaran dari mekanisme tiap masalah ataupun
keluhan yang dialami pada pasien tersebut yang terkumpul berdasarkan hasil anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, beberapa daftar masalah yang dialami oleh
pasien antara lain :
1. Artritis gout
2. Diabetes melitus tipe 2
3. Obesitas sentral
4. Dislipidemia
5. Hipertensi
21
Page 22
Gangguan lemak darah dan resisitensi insulin mengkibatkan kumpulan gejala yang
disebut sindroma metabolik, yang ditandai dengan obesitas sentral, hipertensi, dislipidemia
(kolesterol total, LDL, trigliserida tinggi, sedangkan kolesterol HDL rendah) dan gula darah
puasa yang meningkat. Keadaan ini akan memicu terjadinya diabetes seperti pada keadaan
pasien dan apabila terus tidak terkontrol, keadaan tersebut dapat menimbulkan penyempitan
pembuluh darah yang pada akhirnya meningkatkan kejadian serangan jantung dan stroke.
Sindroma metabolik adalah suatu kondisi dimana terjadi penurunan sensivisitas
jaringan terhadap insulin sehingga terjadi peningkatan sekresi insulin sebagai bentuk
kompensasi dari sel beta pankreas. Disfungsi metabolik ini menimbulkan berbagai kelainan
dengan konsekuensi klinik yang serius, berupa penyaki kardiovaskular, dan diabetes melitus
tipe 2, dan perlemakan hati non alkoholik serta penyakit lainnya. Sindroma metabolik
ditegakkan apabila seseorang memiliki sedikitnya kriteria dari The American Ascociation and
National Heart,Lung, and Blood Institute yang dibentuk pada tahun 2005, yang merupaka
pengembangan dari kriteria yang ditetapkan oleh National Cholesterol Education Program
Adult Treatment Panel III (NCEP-ATP III) pada tahun 2001. Kriteria sindroma metabolik
tersebut antara lain :
1. Peningkatan kadar trigliserida > 150mg/dl
2. Penurunan kadar kolesterol HDL < 40 mg/dl pada pria
3. Peningkatan tekanan darah > 130/85 mmHg
4. Peningkatan glukosa dara puasa > 100mg/dl.
Jika merujuk pada keempat kriteria tersebut, dapat dikatakan pasien mengalami
sindroma metabolik, dimana seluruh kriteria sindorma metabolik dapat terpenuhi oleh
keadaan pasien tersebut.
22
Page 23
Berdasarkan seluruh hasil pemeriksaan dan analisa yang menyeluruh atas keadaan
pasien melalui anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, dapat ditegakkan
sebagai diagnosis kerja bahwa pasien mengalami artritis gout metatarsal 1 sinistra dan
sindroma metabolik.
Berdasarkan diagnosis tersebut, rencana tata laksana yang akan dilakukan meliputi
upaya diagnostik lanjutan, serta tindakan terapeutik pada pasien. Untuk upaya diagnostik
lanjutan, beberapa hal dapat dilakukan untuk menegakkan diagnostik secara pasti. Beberapa
tindakan pemeriksaan lanjutan yang dapat dianjurkan pada pasien antara lain :
1. Rontgen pada sendi metatarsal 1
Menegakkan diagnosis artritis gout, dan untuk mengetahui deformitas apa saja
yang terjadi pada sendi tersebut
2. Aspirasi cairan sendi
Menegakkan diganostik pasti untuk artritis gout dengan menemukan kristal
urat dari hasil pemeriksaan cairan sendi tersebut.
3. USG hepar
Untuk menegakkan kemungkinan terjadinya fatty liver yang diajukan sebagai
salah satu masalah yang dialami oleh pasien.
Sedangkan untuk rencana tata laksana tindakan terpeutik, prinsip dasar dari
penanganan tersebut adalah harus dapat menanggulangi penyebab obesitas sebagai awal dari
masalah, baik untuk terjadinya sindroma metabolik, maupun artritis gout. Untuk
menanggulangi hal tersebut, tindakan yang direncanakan akan terbagi dalam 2 kelompok,
23
Page 24
yaitu penatalaksanaan secara medika mentosa dan non-medika mentosa. Untuk
penatalaksanaan non-medika mentosa, beberapa tindakan yang akan dilakukan antara lain :
Edukasi tentang penyakit
Pasien yang mengalami diabetes melitus dibutuhkan edukasi secara
menyeluruh akan penyakitnya. Diperlukan pemberian informasi tentang
penyakitnya yang tidak bisa sembuh, tetapi harus dapat dikendalikan untuk
mencegah terjadinya penyakit lain yang lebih berbahaya.
Penurunan berat badan
Bertujuan untuk memberikan perbaikan profil metabolik
Pengelolaan berat badan
Pengelolaan berat badan merupaka salah satu tindakan pengananan terintegrasi
dengan penurunan berat badan yang bertujuan untuk mengelola perbaikan
profil metabolik yang telah dibangun melalui penurunan berat badan.
Pengelolaan berat badan mencakup penanganan diet, aktivitas fisik, dan
perubahan perilaku.
Perubahan gaya hidup dan aktivitas fisik
Latihan jasmani dan perubahan gaya hidup sangat diperlukan pada kasus ini
untuk membantu perbaikan keadaan pasien.
Terapi gizi medik
24
Page 25
Sedangkan untuk rencana tata laksana terapi medika mentosa yang dapat dilakukan,
antara lain :
Gout
o Aspirin sebagai OAINS untuk mengurangi inflamasi yang terjadi
o Allopurinol sebagai Xanthine Oxidase Inhibitor mengurangi sintesis asam
urat, diberikan pada waktu diantara serangan. Bukan saat serangan
berlangsung.
o Colchicine, tetapi tidak direkomendasikan untuk terapi jangka panjang gout
akut. Colchicine hanya digunakan selama saat kritis untuk mencegah serangan
gout.
Diabetes Melitus
o Sulfoniluria merangsang sel beta pankreas yang masih aktif untuk bekerja
Hipertensi
o ACE inhibitor, (Captopril merupakan obat hipertensi yang indikasi DM)
o Valsartan sebagai penghambat reseptor angiotensin dapat mengurangi
mikroalbuminaria sebagai faktor resiko independent penyakit kardiovaskular.
Dislipidemia
o Fenofibrat
Prognosis:
Ad vitam: Bonam
25
Page 26
Ad fungsionam: Dubia ad bonam
Ad sanationam: Dubia ad bonam
III. PEMBAHASAN
Secara umum, pandangan yang dapat diberikan pada kasus diskusi yang disajikan
adalah sangat baik. Jika ditinjau dari ketersediaan informasi pada kasus yang disajikan, dapat
dikatakan, dalam kasus disajikan data yang cukup lengkap untuk seorang mahasiswa
kedokteran belajar menegakkan diagnosis dari suatu masalah. Selain dari ketersediaan data
yang cukup lengkap, penggunaan masalah kesemutan sebagai pemicu sepertinya merupakan
pemilihan yang cukup baik dalam membantu membuka wawasan dari seorang mahasiswa
untuk dapat berpikir lebih holistik. Hal tersebut juga didukung dengan pembagian pemberian
data pasien antara sesi I dan sesi II dari diskusi yang baik. Tetapi terdapat kekurangan pada
proses diskusi kasus tersebut karena data dari kasus diskusi tidak diberikan pada sehari
sebelum diskusi agar mahasiswa dapat mempelajarinya terlebih dahulu. Untuk kesesuaian
antara data dalam kasus dengan data dalam literature yang digunakan sepertinya sudah
sesuai, baik ditinjau dari keluhan subjektif, faktor resiko, kelainan fisik yang ditemukan, dan
hasil pemeriksaan laboratorium yang diberikan.
Terdapat sedikit kejanggalan pada kasus ini adalah, dimana sang pasien menggunakan
keluhan semutan sebagai keluhan utama dibandingkan dengan keluhan nyeri yang ia rasakan
pada sendinya, dimana dapat dipastikan, nyeri pada sendi yang terjadi pada tubuh seseorang
pasien pasti akan jauh lebih mengganggu aktifitas pasien sehari-hari jika dibandingkan
dengan kesemutan yang dialaminya.
26
Page 27
V. DAFTAR PUSTAKA
1. Nainggolan S L, Chen K, Pohan H T. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:
Sindroma Metabolik. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p1849-
1851.
2. Nainggolan S L, Chen K, Pohan H T. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:
Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. P1857-1859.
3. Nainggolan S L, Chen K, Pohan H T. 2006. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam:
Insulin. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. p1868-1869.
4. Corwin, E J. 2001. Buku Saku Patofisiologi cetakan I. Jakarta: EGC.
5. Kee, Joyce LeFever. 2007. Pedoman Pemeriksaan Laboratorium dan Diagostik
Edisi 6. Jakarta: EGC.
6. Sherwood, Lauralee. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem: Organ endokrin
perifer. Jakarta: EGC. p667-675.
7. Ilyas, Sidharta. 2009. Iktisar Ilmu Penyakit Mata : Xantelasma. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. P6-11.
8. Paresthesia. [accessed 16th march 2011], Available at: http://neurology.health-
cares.net/paresthesia-causes.php
9. Paresthesia. [accessed 16th march 2011], Available at: http://www.paresthesia.net
27