Top Banner
Jika tujuan kebijakan BBM 2011 adalah semata-mata un- tuk mengatasi tekanan fiskal dalam APBN, pada prinsipnya terdapat beberapa opsi kebi- jakan yang dapat diambil. Ber- dasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika hanya berorientasi pada penyelematan APBN 2011, berikut adalah beberapa opsi kebijakan BBM nasional beserta biaya-manfaatnya, disampai- kan pada tabel 3. Berdasarkan simulasi Re- forMiner Institute tersebut, jika kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi diim- plementasikan di Jawa-Bali-- untuk premium dan solar, dan barel, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak kompatibel dengan pe- naikan harga minyak. Artinya, penghematan yang diperoleh dari kebijakan pembatasan tidak mencukupi untuk me- nutup tambahan desit APBN akibat penaikan harga minyak. Selain itu, implementasi kebi- jakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi masih meng- hadapi beberapa permasalah- an yang di antaranya belum siapnya infrastruktur penun- jang, potensi distorsi kebijakan yang besar, dan membutuhkan pengawasan yang ekstra dalam implementasinya. yaan (utang) untuk menutup potensi desit APBN. Namun, semua pilihan kebijakan yang akan diimplementasikan akan berpulang kepada pemerintah, tentunya bergantung pada ke- bijakan mana yang paling ‘op- timal’ menurut pemerintah. Berbagai pilihan kebijakan BBM sebagaimana disampai- kan pada prinsipnya adalah ke- bijakan jangka pendek. Tujuan- nya semata-mata untuk menye- lamatkan tekanan skal APBN. Akan tetapi, jika tidak terdapat perubahan yang signikan da- lam kebijakan energi nasional (tetap bergantung pada BBM), tekanan fiskal APBN masih akan terus berulang hampir di setiap tahun, terutama ke- tika harga minyak di pasar internasional bergejolak. Jika mengacu ke aspek ketersedia- an dan biaya penyediaan, pe- ngembangan dan pemanfaatan gas domestik (utamanya untuk sektor transportasi) adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menjawab permasalahan energi nasional untuk beberapa tahun mendatang. Dari aspek ketersediaan, dengan total cadangan sekitar 158 trillion standard cubic feet (tscf), gas yang kita miliki masih mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik hingga sekitar 60 tahun mendatang. Dari aspek biaya penyediaan, bahan bakar gas (BBG/CNG) jauh lebih murah jika diban- dingkan dengan biaya penye- dian BBM. Karena hal itulah, negara-negara seperti Argen- tina, Brasil, Pakistan, Italia, In- dia, Amerika, dan China serius mengembangkan pemanfaatan gas untuk kebutuhan energi di negara mereka, utamanya untuk sektor transportasi. Ber- dasarkan kalkulasi PT Energy Compressed Natural Gas, jika kebutuhan premium dan solar bersubsidi 2011 dikonversi de- ngan BBG, penghematan yang didapat masing-masing sekitar Rp67 triliun dan Rp41 triliun (total Rp108 triliun). Artinya, jika 60% saja kebutuhan BBM bersubsidi dapat disubstitusi dengan BBG, nilai penghema- tan subsidi yang didapatkan adalah sekitar Rp65 triliun per tahun. Berdasarkan pengalaman di negara lain, utamanya Ar- gentina yang hampir 60% ke- butuhan bahan bakar sektor transportasi mereka dipenuhi dari BBG (CNG), kunci kesuk- sesan kebijakan di Argentina tersebut adalah terletak pada konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam memba- ngun infrastruktur penunjang seperti stasiun pengisian ba- han bakar gas (SPBG). Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, Argentina telah mampu membangun sistem jaring- an distribusi BBG (CNG) di 18 provinsi dan di 255 kota, melakukan tidak kurang dari 2.400 workshop terkait kebijakan pengembangan BBG, dan mam- pu membangun sekitar 1.200 SPBG. Bandingkan dengan In- donesia, meskipun telah lama mewacanakan pengembangan dan pemanfaatan BBG, hingga Juli 2010 Indonesia baru memi- liki 16 SPBG, yang terdistribusi atas 6 SPBG beroperasi dan 10 SPBG tidak beroperasi. Berdasarkan fakta dan peng- alaman, baik di domestik mau- pun di negara lain, apa pun pilihan kebijakan yang diam- bil, termasuk kebijakan BBM di dalamnya, menjadi tidak memberikan manfaat jika tidak dilaksanakan dengan konsisten dan sungguh-sungguh. Semoga kebijakan pengembangan dan pemanfaatan gas (BBG/CNG), pengembangan bioenergi, dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang lain tidak hanya muncul dan diwacana- kan penyelenggara negara ketika pemerintah terjepit de- ngan besarnya beban subsidi BBM, tetapi memang merupa- kan kebijakan yang memang direncanakan dan diimple- mentasikan dengan baik dan sungguh-sunguh. Semoga. respons kecenderungan pe- naikan harga minyak, peme- rintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Premium dan solar bersubsidi dibatasi hanya boleh dikonsumsi sepeda motor dan angkutan umum. Kebijakan tersebut (menurut pemerintah) diklaim dapat membuat subsidi BBM lebih tepat sasaran, tidak sama (tidak identik) dengan menaikkan harga BBM, dan dapat menghemat pengeluar- an APBN. Sementara itu, berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika rata-rata harga minyak 2011 mencapai US$100 per Gejolak Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan BBM Nasional S AMPAI dengan awal kuartal kedua 2011 harga minyak di pasar internasional masih te- rus bergejolak. Berdasarkan data yang ada, rata-rata harga minyak jenis WTI dan brent sejak Januari-April 2011 masing -masing mencapai US$97,53 per barel dan US$109,53 per barel. Pada periode yang sama rata-rata Indonesia crude price (ICP) mencapai US$109,20 per barel, jauh melampaui asumsi ICP yang ditetapkan di dalam APBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel. Jika dibandingkan dengan real- isasi harga minyak pada bulan yang sama tahun sebelumnya, harga minyak dunia dan ICP mengalami peningkatan seba- gaimana disampaikan dalam tabel 1. Sebagaimana telah disampai- kan banyak analis, kenaikan harga minyak didorong faktor fundamental dan nonfunda- mental. Pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik di bebe- rapa negara dan keputusan produsen minyak (utamanya OPEC) untuk tidak menam- bah kuota produksi termasuk faktor fundamental yang men- dorong terjadinya kecende- rungan peningkatan harga minyak. Ketegangan politik di negara-negara kawasan Timur Tengah, baik negara yang berperan sebagai produ- sen minyak dan/atau negara yang memiliki posisi strategis dalam jalur distribusi minyak, adalah faktor nonfundamental yang memberikan kontribusi signikan terhadap pergerakan harga minyak 2011. Bagi Indonesia, dengan pos- tur anggaran negara yang di- jalankan memiliki keterkaitan yang besar terhadap migas, mengetahui faktor-faktor pe- nentu gejolak harga minyak di pasar internasional menjadi penting. Akan tetapi, mengeta- hui dampak yang ditimbulkan akibat gejolak harga minyak, baik terhadap postur anggar- an dan perekonomian nasio- nal, serta bagaimana respons kebijakan (solusi) yang tepat untuk permasalahan tersebut, adalah yang lebih penting dan substansial. Sementara itu, berdasarkan beberapa asumsi makromi- gas yang ditetapkan di dalam APBN 2011, sensitivitas APBN 2011 (pos-pos yang terkait de- ngan harga minyak) terhadap gejolak harga minyak adalah sebagaimana disampaikan pada tabel 2. Berdasarkan si- mulasi ReforMiner Institute tersebut, jika ICP meningkat hingga rata-rata mencapai US$100 per barel (US$20 lebih tinggi daripada asumsi APBN 2011), akan berdampak terha- dap meningkatnya penerimaan migas dan subsidi energi (BBM & listrik) pada nominal yang relatif besar. Penerimaan migas akan bertambah sekitar Rp51,39 triliun, sementara di sisi lain subsidi energi akan bertambah sekitar Rp69,79 triliun. Dengan demikian, terdapat penambah- an desit APBN sekitar Rp18,39 triliun. Besarnya sensitivitas (tambahan) subsidi energi yang lebih besar jika dibandingkan dengan sensitivitas (tambah- an) penerimaan migas terkait dengan penaikan harga minyak disebabkan konsumsi minyak domestik telah jauh melampaui kemampuan produksi minyak nasional. Karena itu, meski pada dasarnya merupakan masalah klasik yang hampir selalu berulang, pemerintah selalu dibingungkan untuk mencari pilihan kebijakan yang tepat ketika harga minyak di pasar internasional bergejolak (naik). Terkait kecenderungan pe- naikan harga minyak pada 2011, dari sejumlah pilihan kebijakan yang ada, guna me- diimplementasikan sejak Ja- nuari 2011, potensi penghe- matan yang didapatkan hanya sekitar Rp9,29 triliun, jauh di bawah potensi tambahan subsidi energi yang diproyek- sikan akan mencapai Rp18,39 triliun. Karena itu, jika objective kebijakan BBM hanya untuk menutup desit APBN, kebi- jakan penaikan harga BBM (da- lam besaran terbatas) dengan berbagai pilihan nominal pe- naikan adalah pilihan yang ra- sional. Jika objective kebijakan BBM adalah mempertahankan subsidi ‘untuk menolong daya beli masyarakat’, pilihannya adalah melakukan pembia- Komaidi Deputy Director of ReforMiner Institute SENIN, 9 MEI 2011 17 K OLOM PAKAR FOTO: MI/SUMARYANTO-GRAFIS: TIYOK
1

SENIN, 9 MEI 2011 Gejolak Harga Minyak dan Pilihan ... filenaikan harga minyak, peme-rintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Premium dan solar bersubsidi

Mar 11, 2019

Download

Documents

phamkiet
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: SENIN, 9 MEI 2011 Gejolak Harga Minyak dan Pilihan ... filenaikan harga minyak, peme-rintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Premium dan solar bersubsidi

Jika tujuan kebijakan BBM 2011 adalah semata-mata un-tuk mengatasi tekanan fiskal dalam APBN, pada prinsipnya terdapat beberapa opsi kebi-jakan yang dapat diambil. Ber-dasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika hanya berorientasi pada penyelematan APBN 2011, berikut adalah beberapa opsi kebijakan BBM nasional beserta biaya-manfaatnya, disampai-kan pada tabel 3.

Berdasarkan simulasi Re-forMiner Institute tersebut, jika kebijakan pembatasan konsumsi BBM subsidi diim-plementasikan di Jawa-Bali--untuk premium dan solar, dan

barel, kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi tidak kompatibel dengan pe-naikan harga minyak. Artinya, penghematan yang diperoleh dari kebijakan pembatasan tidak mencukupi untuk me-nutup tambahan defi sit APBN akibat penaikan harga minyak. Selain itu, implementasi kebi-jakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi masih meng-hadapi beberapa permasalah-an yang di antaranya belum siapnya infrastruktur penun-jang, potensi distorsi kebijakan yang besar, dan membutuhkan pengawasan yang ekstra dalam implementasinya.

yaan (utang) untuk menutup potensi defi sit APBN. Namun, semua pilihan kebijakan yang akan diimplementasikan akan berpulang kepada pemerintah, tentunya bergantung pada ke-bijakan mana yang paling ‘op-timal’ menurut pemerintah.

Berbagai pilihan kebijakan BBM sebagaimana disampai-kan pada prinsipnya adalah ke-bijakan jangka pendek. Tujuan-nya semata-mata untuk menye-lamatkan tekanan fi skal APBN. Akan tetapi, jika tidak terdapat perubahan yang signifi kan da-lam kebijakan energi nasional (tetap bergantung pada BBM), tekanan fiskal APBN masih akan terus berulang hampir di setiap tahun, terutama ke-tika harga minyak di pasar internasional bergejolak. Jika mengacu ke aspek ketersedia-an dan biaya penyediaan, pe-ngembangan dan pemanfaatan gas domestik (utamanya untuk sektor transportasi) adalah salah satu pilihan yang tepat untuk menjawab permasalahan energi nasional untuk beberapa tahun mendatang. Dari aspek ketersediaan, dengan total cadangan sekitar 158 trillion standard cubic feet (tscf), gas yang kita miliki masih mampu untuk memenuhi kebutuhan domestik hingga sekitar 60 tahun mendatang.

Dari aspek biaya penyediaan, bahan bakar gas (BBG/CNG) jauh lebih murah jika diban-dingkan dengan biaya penye-dian BBM. Karena hal itulah, negara-negara seperti Argen-tina, Brasil, Pakistan, Italia, In-dia, Amerika, dan China serius mengembangkan pemanfaatan gas untuk kebutuhan energi di negara mereka, utamanya untuk sektor transportasi. Ber-dasarkan kalkulasi PT Energy Compressed Natural Gas, jika kebutuhan premium dan solar bersubsidi 2011 dikonversi de-ngan BBG, penghematan yang didapat masing-masing sekitar Rp67 triliun dan Rp41 triliun (total Rp108 triliun). Artinya, jika 60% saja kebutuhan BBM bersubsidi dapat disubstitusi dengan BBG, nilai penghema-tan subsidi yang didapatkan adalah sekitar Rp65 triliun per tahun.

Berdasarkan pengalaman di negara lain, utamanya Ar-gentina yang hampir 60% ke-butuhan bahan bakar sektor transportasi mereka dipenuhi dari BBG (CNG), kunci kesuk-sesan kebijakan di Argentina tersebut adalah terletak pada konsistensi dan keseriusan pemerintah dalam memba-ngun infrastruktur penunjang seperti stasiun pengisian ba-han bakar gas (SPBG). Dalam kurun waktu kurang dari lima tahun, Argentina telah mampu membangun sistem jaring-an distribusi BBG (CNG) di 18 provinsi dan di 255 kota, melakukan tidak kurang dari 2.400 workshop terkait kebijakan pengembangan BBG, dan mam-pu membangun sekitar 1.200 SPBG. Bandingkan dengan In-donesia, meskipun telah lama mewacanakan pengembangan dan pemanfaatan BBG, hingga Juli 2010 Indonesia baru memi-liki 16 SPBG, yang terdistribusi atas 6 SPBG beroperasi dan 10 SPBG tidak beroperasi.

Berdasarkan fakta dan peng-alaman, baik di domestik mau-pun di negara lain, apa pun pilihan kebijakan yang diam-bil, termasuk kebijakan BBM di dalamnya, menjadi tidak memberikan manfaat jika tidak dilaksanakan dengan konsisten dan sungguh-sungguh. Semoga kebijakan pengembangan dan pemanfaatan gas (BBG/CNG), pengembangan bioenergi, dan pengembangan energi baru dan terbarukan yang lain tidak hanya muncul dan diwacana-kan penyelenggara negara ketika pemerintah terjepit de-ngan besarnya beban subsidi BBM, tetapi memang merupa-kan kebijakan yang memang direncanakan dan diimple-mentasikan dengan baik dan sungguh-sunguh. Semoga.

respons kecenderungan pe-naikan harga minyak, peme-rintah memilih opsi kebijakan pembatasan konsumsi BBM bersubsidi. Premium dan solar bersubsidi dibatasi hanya boleh dikonsumsi sepeda motor dan angkutan umum. Kebijakan tersebut (menurut pemerintah) diklaim dapat membuat subsidi BBM lebih tepat sasaran, tidak sama (tidak identik) dengan menaikkan harga BBM, dan dapat menghemat pengeluar-an APBN.

Sementara itu, berdasarkan simulasi ReforMiner Institute, jika rata-rata harga minyak 2011 mencapai US$100 per

Gejolak Harga Minyak dan Pilihan Kebijakan BBM Nasional

SAMPAI dengan awal kuartal kedua 2011 harga minyak di pasar internasional masih te-

rus bergejolak. Berdasarkan data yang ada, rata-rata harga minyak jenis WTI dan brent sejak Januari-April 2011 masing-masing mencapai US$97,53 per barel dan US$109,53 per barel. Pada periode yang sama rata-rata Indonesia crude price (ICP) mencapai US$109,20 per barel, jauh melampaui asumsi ICP yang ditetapkan di dalam APBN 2011 yang ditetapkan sebesar US$80 per barel. Jika dibandingkan dengan real-isasi harga minyak pada bulan yang sama tahun sebelumnya, harga minyak dunia dan ICP mengalami peningkatan seba-gaimana disampaikan dalam tabel 1.

Sebagaimana telah disampai-kan banyak analis, kenaikan harga minyak didorong faktor fundamental dan nonfunda-mental. Pertumbuhan ekonomi yang mulai membaik di bebe-rapa negara dan keputusan produsen minyak (utamanya OPEC) untuk tidak menam-bah kuota produksi termasuk faktor fundamental yang men-dorong terjadinya kecende-rungan peningkatan harga minyak. Ketegangan politik di negara-negara kawasan Timur Tengah, baik negara yang berperan sebagai produ-sen minyak dan/atau negara yang memiliki posisi strategis dalam jalur distribusi minyak, adalah faktor nonfundamental yang memberikan kontribusi signifi kan terhadap pergerakan harga minyak 2011.

Bagi Indonesia, dengan pos-tur anggaran negara yang di-jalankan memiliki keterkaitan yang besar terhadap migas, mengetahui faktor-faktor pe-nentu gejolak harga minyak di pasar internasional menjadi penting. Akan tetapi, mengeta-hui dampak yang ditimbulkan akibat gejolak harga minyak, baik terhadap postur anggar-an dan perekonomian nasio-nal, serta bagaimana respons kebijakan (solusi) yang tepat untuk permasalahan tersebut, adalah yang lebih penting dan substansial.

Sementara itu, berdasarkan beberapa asumsi makromi-gas yang ditetapkan di dalam APBN 2011, sensitivitas APBN 2011 (pos-pos yang terkait de-ngan harga minyak) terhadap gejolak harga minyak adalah sebagaimana disampaikan pada tabel 2. Berdasarkan si-mulasi ReforMiner Institute tersebut, jika ICP meningkat hingga rata-rata mencapai US$100 per barel (US$20 lebih tinggi daripada asumsi APBN 2011), akan berdampak terha-dap meningkatnya penerimaan migas dan subsidi energi (BBM & listrik) pada nominal yang relatif besar. Penerimaan migas akan bertambah sekitar Rp51,39 triliun, sementara di sisi lain subsidi energi akan bertambah sekitar Rp69,79 triliun. Dengan demikian, terdapat penambah-an defi sit APBN sekitar Rp18,39 triliun. Besarnya sensitivitas (tambahan) subsidi energi yang lebih besar jika dibandingkan dengan sensitivitas (tambah-an) penerimaan migas terkait dengan penaikan harga minyak disebabkan konsumsi minyak domestik telah jauh melampaui kemampuan produksi minyak nasional. Karena itu, meski pada dasarnya merupakan masalah klasik yang hampir selalu berulang, pemerintah selalu dibingungkan untuk mencari pilihan kebijakan yang tepat ketika harga minyak di pasar internasional bergejolak (naik).

Terkait kecenderungan pe-naikan harga minyak pada 2011, dari sejumlah pilihan kebijakan yang ada, guna me-

diimplementasikan sejak Ja-nuari 2011, potensi penghe-matan yang didapatkan hanya sekitar Rp9,29 triliun, jauh di bawah potensi tambahan subsidi energi yang diproyek-sikan akan mencapai Rp18,39 triliun. Karena itu, jika objective kebijakan BBM hanya untuk menutup defi sit APBN, kebi-jakan penaikan harga BBM (da-lam besaran terbatas) dengan berbagai pilihan nominal pe-naikan adalah pilihan yang ra-sional. Jika objective kebijakan BBM adalah mempertahankan subsidi ‘untuk menolong daya beli masyarakat’, pilihannya adalah melakukan pembia-

KomaidiDeputy Director of ReforMiner Institute

SENIN, 9 MEI 2011 17KOLOM PAKAR

FOTO: MI/SUMARYANTO-GRAFIS: TIYOK