Top Banner
KAJIAN POTENSI KELEMBAGAAN LOKAL UNTUK PENGELOLAAN DAS TERPADU (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu) DWI PRAVITA GANATRI DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2013
29

S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

Dec 04, 2015

Download

Documents

Jihaad

l
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

KAJIAN POTENSI KELEMBAGAAN LOKAL UNTUK

PENGELOLAAN DAS TERPADU

(Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu)

DWI PRAVITA GANATRI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Page 2: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

ii

Page 3: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Kajian Potensi Kelembagaan

Lokal untuk Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu)” adalah

benar-benar hasil karya saya sendiri dengan arahan dan saran dari pembimbing dan belum

pernah diajukan dalam bentuk apapun atau sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi

atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang

diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan

dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2013

Dwi Pravita Ganatri

NIM E34070115

Page 4: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

ii

ABSTRAK

DWI PRAVITA GANATRI. Kajian Potensi Kelembagaan Lokal untuk Pengelolaan

DAS Terpadu (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu). Dibimbing oleh HARYANTO

R. PUTRO.

Penelitian ini bertujuan mengidentifikasi peran dan posisi para pemangku

kepentingan di Sub DAS Cisadane Hulu dan menganalisis potensi kelembagaan lokal

dalam pengelolaan DAS terpadu. Penelitian berlokasi di Desa Wates Jaya, Kecamatan

Cigombong dan Desa Pasir Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei, wawancara, dan studi kepustakaan. Data

dianalisis dengan analisis pohon masalah dan dijabarkan secara deskriptif. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa degradasi DAS Cisadane disebabkan oleh aktivitas

manusia yang mengeksploitasi kawasan hulu tanpa pertimbangan fungsi ekologis.

Perilaku ini menyebabkan banyak masalah seperti peningkatan run-off, sedimentasi,

tanah longsor, banjir hilir, serta pencemaran air. Stakeholder di Sub DAS Cisadane

Hulu dapat dikelompokkan menjadi 4 komponen, sebagai regulator, operator, pengguna

dan fasilitator. Inisiatif lokal dari stakeholder harus diakomodasi dengan membentuk

forum pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu.

Kata kunci: kelembagaan lokal, pengelolaan DAS terpadu, Sub DAS Cisadane Hulu

ABSTRACT

DWI PRAVITA GANATRI. Potential of Local Institutional Study for Integrated

Watershed Management (Case Study in Cisadane Hulu Sub-Watershed). Supervised

by HARYANTO R. PUTRO.

The objective of the research was to identify the role and position of the

stakeholders in the Cisadane Hulu watershed and analyze the potential of local

institutions in integrated watershed management. Research located in Wates Jaya and

Pasir Buncir Village, Bogor Regency, West Java. Data collection were conducted

through surveying, interviews, and literature study. Data analyzed by tree problem

analysis and describe descriptively. The results showed that the degradation of Cisadane

Watershed was caused by human activities whom exploited the upstream area without

consideration of ecological functions. This behavior causes many problems such as

increased run-off, sedimentation, landslides, flooding downstream, as well as water

pollution. Stakeholder in Cisadane Hulu watershed can be grouped into 4 component,

such as regulator, operators, users and facilitator. The local initiative from stakeholders

must be accomodated by formed Cisadane Hulu Watershed Integrated Management

Forum.

Keywords : Cisadane Hulu Sub-Watershed integrated watershed management, local

institutional,

Page 5: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

iii

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Kehutanan

pada

Departemen Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata

KAJIAN POTENSI KELEMBAGAAN LOKAL UNTUK

PENGELOLAAN DAS TERPADU

(Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu)

DWI PRAVITA GANATRI

DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN DAN EKOWISATA

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2013

Page 6: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

iv

Page 7: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

v

Page 8: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

vi

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah dalam bentuk skripsi, yang berjudul

“Kajian Potensi Kelembagaan Lokal untuk Pengelolaan DAS Terpadu (Studi Kasus Sub

DAS Cisadane Hulu)” sebagai prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan dari

Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Karya ini tidak dapat terwujud tanpa adanya bantuan dan kerjasama dari berbagai

pihak. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Haryanto R. Putro, MS selaku dosen

pembimbing dalam penelitian ini, serta keluarga atas segala kesabaran yang mereka

tunjukkan.

Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna. Masukan, kritik dan

saran yang membangun diharapkan demi perbaikan skripsi ini sehingga dapat

memberikan manfaat bagi semua pihak.

Bogor, Desember 2013

Dwi Pravita Ganatri

Page 9: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

vii

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR vii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Ruang Lingkup Penelitian 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Alat dan Obyek Penelitian 2

Jenis Data 3

Metode Pengumpulan Data 3

Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 3

Hasil 3

Pembahasan 6

SIMPULAN DAN SARAN 18

Simpulan 18

Saran 18

DAFTAR PUSTAKA 18

Page 10: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

viii

DAFTAR TABEL

1. Penggunaan lahan di lokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu) 3 2. Tingkat pendidikan responden 5

3. Mata pencaharian utama responden 5 4. Tingkat pendapatan responden 5 5. Instansi pemerintah dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS 6 6. Lembaga swasta dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS 7 7. Kelompok masyarakat dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS 7

8. Kajian Kinerja Pengelolaan DAS 14

DAFTAR GAMBAR

1. Peta Lokasi Penelitian 2 2. Peta penggunaan dan penguasaan lahan 4 3. Analisis pohon masalah 8 4. Pemetaan stakeholder menurut kepentingan dan perannya 11

5. Pertambangan pasir di Blok Pasir Gudang, desa Pasir Buncir (kiri) dan

pembuangan sampah warga di pinggir sungai (kanan) 13

6. Perbedaan lahan HGU yang gundul dan lahan agroforestry masyarakat (kiri)

hasil MDM oleh masyarakat Kampung Lengkong (kanan) 16

vii

Page 11: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) merupakan kawasan

konservasi yang memiliki peranan yang penting dan strategis sebagai daerah tangkapan

air (catchment area) bagi daerah-daerah yang ada di bawahnya. Salah satu DAS

prioritas yang sumber airnya berasal dari TNGGP adalah DAS Cisadane. Berdasarkan

Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 328/Menhut-II/2009, DAS Cisadane

ditetapkan sebagai salah satu dari 108 DAS (Daerah Aliran Sungai) prioritas yang ada

di Indonesia (BPDAS 2010).

Daerah Tangkapan Air (DTA) TNGGP merupakan kesatuan kawasan lindung

yang terdiri dari taman nasional, kawasan ex-situ, kawasan perkebunan dan areal

penggunaan lainnya yang berfungsi mendukung fungsi hidrologi DAS. Pengelolaan

DAS menjadi aspek penting dalam mendukung kelestarian kawasan. Fungsi kawasan

hulu sebagai daerah tangkapan air harus dipertahankan dengan menjaga pemanfaatan

kawasan tidak melampaui daya dukung lingkungannya.

Konsep pengelolaan DAS terpadu dinilai dapat mengatasi permasalahan

pengelolaan DAS karena melibatkan para stakeholder secara partisipatif, terkoordinasi,

berkelanjutan, serta bersifat adaptif sesuai dengan karakteristik DAS. Penelitian ini

mengkaji peran dan potensi kelembagaan lokal di sekitar hulu DAS Cisadane sebagai

barisan terdepan dalam pelaksanaan program revitalisasi DAS Cisadane.

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian difokuskan pada situasi dan potensi kelembagaan dalam pengelolaan

DAS di Sub DAS Cisadane Hulu, yang secara administratif meliputi wilayah

administrasi dua kecamatan di Kabupaten Bogor, yaitu Desa Pasir Buncir, Kecamatan

Caringin dan Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran dan posisi para pihak kunci

di Sub DAS Cisadane Hulu serta menganalisis potensi dukungan kelembagaan lokal

dalam pengelolaan DAS terpadu.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi para pemangku kepentingan

terhadap pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu. Informasi ini penting untuk

mengaktualisasi peran potensial kelembagaan lokal pada saat penerapan sistem

pengelolaan DAS terpadu dilaksanakan.

Page 12: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

2

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Wates Jaya, Kecamatan Cigombong dan Desa Pasir

Buncir, Kecamatan Caringin, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Lokasi dipilih

melalui metode purposive sampling dengan pertimbangan sebagai wilayah administratif

paling hulu dari DAS Cisadane sekaligus merupakan zona penyangga kawasan

konservasi TNGGPP. Penelitian dilaksanakan pada bulan Juli sampai Oktober 2012.

Lokasi penelitian tersaji pada Gambar 1.

Gambar 1 Peta Lokasi Penelitian

Alat dan Obyek Penelitian

Alat yang digunakan antara lain perekam suara, kamera, panduan wawancara,

alat tulis, dan peta kawasan. Obyek penelitian adalah stakeholder dan

institusi/kelembagaan yang ada di lokasi penelitian.

Page 13: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

3

Sumber : Laporan KTA Sub DAS Cisadane Hulu BPDAS Citarum – Ciliwung 2007

Jenis Data

Data yang diperlukan meliputi : data karakteristik sumber daya, sosial budaya, dan

kerangka aturan kelembagaan. Jenis data yang diambil terdiri dari data primer untuk

keperluan analisis dan data sekunder sebagai rujukan/penunjang.

Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui observasi lapang, wawancara, dan studi

literatur. Populasi yang menjadi unit analisis adalah rumah tangga (KK) dengan jumlah

sampel sebanyak 30 KK. Penetapan informan disesuaikan dengan metode snow ball

atau bola salju, bergerak dari informasi informan yang satu ke informan lainnya.

Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan metode tree problem analysis (Groenendijk 2003)

kemudian dijabarkan secara deskriptif dengan kerangka pendekatan Situasi – Struktur –

Perilaku – Kinerja (Kartodihardjo et al. 2004).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kondisi Umum Lokasi Penelitian

Sub DAS Cisadane Hulu sebagai lokasi penelitian terletak antara 1060 49’ 48’’–

1060 55’ 48’’ BT dan 6

0 45’36’’–6

0 47’24’’ LS, dengan luas sekitar 1770 ha.

Penggunaan lahan selengkapnya tersaji dalam Tabel 1.

Tabel 1 Penggunaan lahan di lokasi studi (Sub DAS Cisadane Hulu)

No Penggunaan Lahan Luas

Hektar Persen

1 Permukiman 12,1 0,68

2 Sawah 73,5 4,15

3 Ladang/tegalan 546,1 30,85

4 Kebun campuran 108,9 6,15

5 Hutan 1.029,4 58,16

Total 1.770,0 100,00

Areal hutan Sub DAS Cisadane Hulu merupakan hutan hujan tropis pegunungan

yang didominasi jenis pinus, damar, jamuju, puspa, rasamala, dan semak belukar.

Tumbuhan bawah berupa kapulaga dan kumis kucing merupakan hasil budidaya

Page 14: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

4

tumpang sari oleh warga. Penggunaan lahan yang cukup luas penyebarannya adalah

ladang/tegalan, terutama dijumpai pada lahan dengan kemiringan curam dan sangat

curam. Lahan kebun campuran antara berbagai jenis tanaman tahunan juga umum

dijumpai, kebun campuran ditanami tanaman buah-buahan, perkebunan, dan kayu-

kayuan diselingi dengan tanaman semusim seperti jagung. Pola penggunan dan

penguasaan lahan tersaji pada Gambar 2.

Gambar 2 Peta penggunaan dan penguasaan lahan

Page 15: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

5

Karakteristik Responden

Karakteristik responden meliputi tingkat pendidikan, mata pencaharian, dan

tingkat pendapatan masyarakat di lokasi penelitian. Tingkat pendidikan responden

disajikan dalam tabel berikut :

Tabel 2 Tingkat pendidikan responden

No Tk. Pendidikan Jumlah Persentase (%)

1 SD /setara 12 40

2 SMP / setara 11 37

3 SMA / setara 6 20

4 Akademi 1 3

Total 30 100

Tingkat pendidikan masyarakat tergolong rendah disebabkan mahalnya biaya

pendidikan dan biaya transportasi. Selanjutnya, karakteristik mata pencaharian

responden dapat dilihat pada Tabel 3:

Tabel 3 Mata pencaharian utama responden

No Mata pencaharian Jumlah Persentase (%)

1 Petani 7 23,3

2 Penggarap 6 20,0

3 Buruh pabrik 3 10,0

4 PNS 4 13,3

5 Jasa Ojek 3 10,0

6 Lainnya 7 23,4

Total 30 100,0

Dari 30 responden memiliki 12 jenis pekerjaan yang berbeda menandakan

perkembangan spesialisasi suatu kelembagaan masyarakat yang awalnya merupakan

masyarakat petani. Tingkat pendapatan responden tergolong rendah, untuk memenuhi

kebutuhan tak terduga, seperti biaya persalinan, biaya pendidikan, atau biaya mendadak

lainnya, responden akan menjual tanaman tahunan (pohon) atau ternak yang mereka

miliki. Tingkat pendapatan responden tersaji pada Tabel 4.

Tabel 4 Tingkat pendapatan responden No Pendapatan (Rp) Jumlah Persentase (%) 1 < 750.000 14 4,7

2 700.000 – 1.500.000 11 36,6

3 > 1.500.000 5 16,7

Total 30 100,0

Page 16: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

6

Indikator Pemahaman terhadap Program Pengelolaan DAS Terpadu

Persepsi dan pemahaman masyarakat akan berpengaruh pada perilakunya dalam

mengelola DAS sekaligus memberikan gambaran apakah program telah ditanggapi

secara positif atau negatif. Responden yang mengetahui program pengelolaan DAS

terpadu (40%) adalah staf desa dan petani yang terlibat dalam membuat Model DAS

Mikro (MDM) tahun 2008. Sementara 60% responden menyatakan tidak tahu dan

tidak pernah terlibat dalam pengelolaan DAS terpadu.

Pembahasan

Identifikasi Para Pihak dalam Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu

Stakeholder didefinisikan sebagai semua pihak baik individu maupun suatu

kelompok yang mempengaruhi dan/atau dipengaruhi oleh kebijakan-kebijakan,

keputusan-keputusan dan penerapan dari suatu mekanisme (Groenendjik 2003). Para

pihak terkait pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu terbagi menjadi :

1. Instansi pemerintah

Para pihak terkait pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu yang berasal dari instansi

pemerintah dapat dilihat dalam Tabel 5.

Tabel 5 Instansi pemerintah dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS

No Stakeholder Keterangan

1. BPDAS Citarum Ciliwung Melaksanakan penyusunan rencana, pengembangan

kelembagaan dan evaluasi pengelolaan DAS

2. TN Gede-Pangrango Melaksanakan perlindungan, pengawetan, dan

pemanfaatan secara lestari potensi SDA dan

ekosistemnya

3. BBWS Ciliwung Cisadane Menangani teknis pengaturan sungai seperti

pemeliharaan bendungan untuk irigasi

4. Distanhut Kab. Bogor Melaksanakan kewenangan pemda dalam bidang

pertanian dan kehutanan

5. BP4K Kab. Bogor Melaksanakan kewenangan pemda di bidang

penyelenggaraan penyuluhan pertanian, perikanan dan

kehutanan

6. Balitnak Lido Melakukan pemberdayaan masyarakat dengan bantuan

ternak & pelatihan, membuat model kampung domba

7. Dinas ESDM Kab. Bogor Pemberi SIPD di blok Pasir Gudang, Desa Pasir Buncir

8. Dinkes Kab. Bogor Pemberdayaan masyarakat dengan program STBM agar

tidak membuang hajat dan sampah di sungai

9. Bappeda Kab. Bogor Menyusun perencanaan pembangunan daerah di

Kabupaten Bogor

10. Dinas Tata Ruang dan

Pertanahan Kab. Bogor

Menyusun tata ruang Kab. Bogor, menetapkan kawasan

sekitar hulu DAS sebagai kawasan lindung dan

budidaya terbatas

Page 17: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

7

2. Lembaga swasta

Pada umumnya peran lembaga swasta dalam pengelolaan DAS meliputi

pemanfaatan sumber daya terutama sumber daya lahan dan potensi di dalamnya.

Terdapat 3 perusahaan swasta yang berada di kawasan Sub DAS Cisadane Hulu, yang

tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6 Lembaga swasta dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS

No Stakeholder Keterangan

1. PT. Fusion Plus

Indonesia

Pemegang HGU agrowisata sejak 2009, baru

mengelola sekitar 100 ha dari HGU seluas 1.013 ha

2. PT. Mega Bumi Karsa Pemegang SIPD pertambangan pasir di blok pasir

gudang sejak 2009 seluas 42 ha, baru dikelola 2 ha

3. CV. Kertajaya Pengelola pertambangan di atas lahan milik seluas 2 ha,

diduga ilegal tanpa izin pertambangan dan UKL-UPL

3. Masyarakat

Masyarakat yang berperan terhadap pengelolaan DAS tidak hanya masyarakat di

kedua lokasi penelitian, namun juga masyarakat di luar kawasan, yang tersaji pada

Tabel 7.

Tabel 7 Kelompok masyarakat dan peranannya dalam pengelolaan sumber daya DAS

No Stakeholder Keterangan

1. Gapoktan Bersaudara

& Barokatunabaat

Dua kelompok tani yang merupakan inisiatif lokal

masyarakat dan turut berpartisipasi dalam pengelolaan

DAS serta pembuatan Model DAS Mikro

2. Koperasi kumis kucing Diinisiasi oleh telapak pada tahun 2009 untuk

meningkatkan usaha kumis kucing masyarakat

3. Senandung Nada hijau Kelompok pemuda peduli lingkungan Desa Wates Jaya

4. Rajawali Muda Kelompok pemuda peduli lingkungan di Pasir Buncir

6. LSM Telapak LSM yang membantu menginisiasi Koperasi Kumis

Kucing dan bantuan PLTMH di Desa Wates Jaya

7. LSM RMI LSM yang memberikan penyuluhan lingkungan dan

fasilitator kelompok pemuda di kedua desa

8. ESP –USAID Lembaga internasional yang memberikan penyuluhan

sekolah lapang pada masyarakat di tahun 2007

9. JKPP Membantu pemetaan kampung partisipatif untuk

menjamin kepastian batas wilayah kampung dengan

kepemilikan lahan lain di sekitarnya

10. Lembaga Penelitian Terdiri dari institusi pendidikan (IPB, Universitas

Pakuan, UNJ, dll) dan institusi penelitian (LIPI,

konsultan lingkungan) yang melakukan penelitian,

kajian, dan penyuluhan kepada masyarakat

11. Kelompok pecinta

lingkungan

Kelompok/organisasi masyarakat (kebanyakan berasal

dari wilayah tengah dan hilir DAS) yang melakukan

penanaman pohon di lokasi penelitian sebagai aksi

penghijauan

Page 18: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

8

Gambar 3. Analisis pohon masalah

Penegakan hukum & kebijakan lemah

Kualitas air menurun

Meningkatnya

pembiayaan masyarakat

Meningkatnya

pembiayaan pemerintah

Fluktuasi Debit Meningkat

Lahan terbuka meningkat

Erosi & sedimentasi meningkat Air tidak layak

konsumsi

Banjir

di hilir Produktivitas

lahan turun

Bencana

longsor

Menimbulkan masalah kesehatan

Ego Sektoral

Potensi deposit

pasir Potensi wisata/

peristirahatan

Program DAS

tidak terpadu

Partisipasi

masyarakat rendah

Kesadaran masy.

rendah

Degradasi DAS tidak

terkendali

Sosialisasi

kurang efektif

Lemahnya koordinasi

antar pihak/sektor

Kemampuan ekonomi

& kualitas SDM

rendah

Kontribusi besar

bagi PDB

Ketergantungan

Lahan Tinggi

Kepemilikan lahan

masy.sempit

Pemberian izin

pada swasta

Pembukaan lahan

pada kawasan lindung

Analisis Pohon Masalah

Dari masalah yang telah dikumpulkan berdasarkan wawancara, studi literatur dan

observasi lapang, diketahui bahwa permasalahan-permasalahan yang terjadi di DAS

Cisadane tidak berdiri sendiri-sendiri tetapi berlangsung dalam suatu rantai hubungan

sebab-akibat. Hubungan saling keterkaitan tersebut digambarkan dalam Pohon masalah

yang disajikan dalam Gambar 3.

Page 19: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

9

Analisis pohon masalah memperlihatkan bahwa kebijakan-kebijakan yang telah

diterapkan pemerintah dalam upaya revitalisasi DAS Cisadane tidak dapat berjalan baik

karena penegakan hukum yang lemah pada pembukaan lahan di kawasan lindung serta

pengendalian penurunan kualitas sungai.

Akar penyebab lemahnya penegakan hukum ini dari sisi pemerintah adalah akibat

ego sektoral dalam pendekatan pengelolaan DAS sehingga pelaksanaan program

berjalan masing-masing di tiap lembaga. Selain menyebabkan sosialisasi menjadi tidak

efektif yang berakibat rendahnya kesadaran dan partisipasi masyarakat, tentunya

kegiatan yang tidak terkoordinasi membuat dana pengelolaan semakin terbatas.

Sementara itu, dari sektor swasta cenderung mengedepankan eksploitasi manfaat

ekonomi dari sumber daya alam di dalam DAS Cisadane, diantaranya adalah potensi

deposit pasir yang besar di Desa Pasir Buncir, dan potensi wisata/peristirahatan. Melihat

adanya kontribusi yang besar bagi pendapatan daerah, maka pemerintah daerah yaitu

Pemkab Bogor mengeluarkan ijin HGU dan HGB untuk pemanfaatan kawasan sebagai

resort, pemukiman dan agrowisata, serta mengeluarkan SIPD untuk menambang pasir di

Desa Pasir Buncir.

Masyarakat di kedua desa, sebagian besar memiliki tingkat pendidikan yang

rendah dan kemampuan ekonomi terbatas. Mereka menggantungkan kehidupannya pada

sektor pertanian. Ketergantungan petani terhadap lahan tidak seimbang dengan

kepemilikannya terhadap lahan, sehingga petani cenderung menggunakan pola-pola

pertanian yang tidak mengindahkan kaidah konservasi tanah dan air dalam mengelola

lahan garapannya. Persepsi masyarakat terhadap sungai pun masih dianggap sebagai

barang publik bagi berbagai keperluan, seperti mandi cuci kakus, saluran pembuangan

limbah rumah tangga, dan tempat membuang sampah.

Akumulasi semua faktor tersebut mengakibatkan kualitas sungai menurun karena

pencemaran dan sedimentasi yang dapat mengakibatkan banjir di hilir, sedangkan

luasnya lahan terbuka meningkatkan kerawanan kawasan terhadap longsor dan

menurunnya produktivitas lahan karena lapisan tanah yang subur terkikis air hujan. Baik

banjir maupun longsor pada akhirnya akan merugikan semua pihak.

Analisis Situasi – Struktur – Perilaku – Kinerja

Menurut Kartodihardjo (2003), situasi merupakan kondisi saat ini yang diasumsikan

tidak berubah setelah suatu kebijakan diterapkan. Struktur merupakan kondisi yang

merupakan aturan main (rules of the games) setiap pelaku ekonomi, atau kondisi

kelembagaan (institusi) atau dapat berupa peraturan perundang-undangan yang

diberlakukan pemerintah dan peraturan lain yang bersifat informal seperti kebiasaan

masyarakat adat dan lain-lain. Perilaku adalah respon yang dilakukan setiap individu,

masyarakat atau organisasi, sedangkan kinerja adalah kondisi yang dapat diukur sebagai

perwujudan respon yang dilakukan.

1. Situasi Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu

Situasi pengelolaan meliputi karakteristik sumber daya alam dan sumber daya

manusia yang terdapat di Sub DAS Cisadane Hulu. Menurut Sukartaatmadja (2006),

erosi total tahunan Sub DAS Cisadane Hulu sebesar 1700,84 ton/ha termasuk kategori

sangat berat dan nilai sedimen tahunan sebesar 81,39 ton/ha. Kerawanan kawasan

terhadap longsor tergolong tinggi. Berdasarkan hasil wawancara, seluruh responden

menyadari dan merasakan adanya perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi di

Page 20: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

10

wilayah mereka, diantaranya hilangnya beberapa sumber air, berkurangnya biota perairan,

air tidak layak dikonsumsi bahkan pernah menyebabkan wabah disentri di lokasi

penelitian. Situasi tersebut menerminkan bahwa DAS masih dianggap sebagai barang

bebas yang bersifat open access dimana semua orang bebas memanfaatkan sumber daya

alam yang ada di dalamnya secara cuma-Cuma. Situasi pengelolaan Sub DAS Cisadane

Hulu terdiri dari faktor-faktor berikut ini :

a. Aspek Ruang Lokasi penelitian berdasarkan RTRW Kab. Bogor termasuk kawasan lindung dengan

budidaya terbatas. Terdapat pula kawasan pelestarian alam yaitu TNGGP. Status

hukum kawasan DAS hulu di luar TNGGP belum kuat dan termasuk areal penggunaan

lain. Areal penggunaan lain menjadi kawasan yang rentan terhadap penggunaan dan

alih fungsi lahan yang memberikan input negatif bagi kinerja DAS.

b. Aspek Waktu Peningkatan kualitas tutupan lahan di daerah hulu melalui kegiatan pengelolaan hutan

(agroforestry/MDM) berorientasi jangka panjang karena membutuhkan waktu yang

lama untuk menghasilkan keuntungan, sedangkan daur panen usaha pertanian dan

ladang lebih singkat meskipun penurunan produktifitas lahan membuat biaya bibit dan

pupuk kian meningkat setiap tahunnya, hal ini menyebabkan usaha pertanian lebih

disenangi oleh petani dibanding usaha kehutanan.

c. Jaminan Hak Kepemilikan Kepastian hak mendorong jaminan dan rasa aman untuk berinvestasi dalam jangka

panjang. Jika pemerintah ingin meningkatkan kinerja Sub DAS Cisadane Hulu dengan

meningkatkan tutupan lahannya, maka jaminan hak kepemilikan (lahan/hutan) harus

tinggi, baik bagi TN, masyarakat maupun swasta.

d. Aksi Kolektif Pengelolaan DAS membutuhkan aksi kolektif tinggi karena merupakan sumber daya

bersama yang cenderung bersifat non excludable dan rivalry bila tidak ada kesepakatan

bersama untuk pengelolaan yang berkelanjutan.

2. Struktur Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu

Kondisi eksiting Sub DAS Cisadane Hulu menggambarkan interdependensi

antara 3 pihak yang terlibat dalam pemanfaatan sumber daya bersama yaitu: pihak

pemerintah, swasta dan masyarakat.

Sub DAS Cisadane Hulu mengikat para stakeholder ke dalam beberapa zona

yang digambarkan dalam ilustrasi pada Gambar 4. Stakeholder I di lingkaran biru

adalah kelompok yang memanfaatkan sumber daya DAS dan terpengaruh secara

langsung terhadap perubahan lingkungan dan DAS di sekitarnya. Stakeholder II berada

di lingkaran hijau terpengaruh secara tidak langsung terhadap kinerja DAS dan berperan

merancang/mengadakan program pengelolaan DAS maupun pemberdayaan masyarakat.

Sedangkan stakeholder III berada di lingkaran putih, mereka berkepentingan terhadap

isu pengelolaan DAS, misalnya para pembuat kebijakan, lembaga penelitian, pecinta

lingkungan dan LSM. Struktur para aktor dan peranannya digambarkan dalam

hubungan keterkaitan dan posisi relatif dalam isu pengelolaan DAS terpadu dapat

dilihat dalam ilustrasi berikut ini.

Page 21: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

11

Gambar 4 Pemetaan stakeholder menurut kepentingan dan perannya

Pada ilustrasi Gambar 4, Struktur para pihak di Sub DAS Cisadane Hulu

kemudian dapat dikelompokkan dalam 4 komponen menurut kepentingannya, yaitu :

a. Regulator Regulator adalah institusi pengambil keputusan atau mereka yang berwenang

menetapkan kebijakan, stakeholder yang tergolong regulator adalah : Bappeda dan

Dinas Tata Ruang dan Pertanahan Kab. Bogor.

b. Operator Operator adalah lembaga yang dibentuk dan berfungsi untuk melaksanakan

pengelolaan sehari-hari sumber air, sarana-prasarana, maupun sumber daya lain yang

berada di suatu wilayah sungai, stakeholder yang tergolong operator adalah BPDAS

Citarum-Ciliwung dan Taman Nasional Gunung Gede-Pangrango di bawah

Kementerian Kehutanan, Distanhut Kab. Bogor, serta Badan Pelaksana Penyuluhan

Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan (BP4K) Kab. Bogor, BBWS Ciliwung-

Cisadane.

c. User Stakeholder yang tergolong user atau penerima manfaat adalah masyarakat desa

Pasir Buncir dan Wates Jaya, gapoktan bersaudara dan barokatunabaat, PT. Fusion

Plus Indonesia, PT. MBK, dan CV Kertajaya.

d. Fasilitator Fasilitator berfungsi memfasilitasi sampainya kebijakan pemerintah dan informasi

serta inovasi pengelolaan DAS kepada masyarakat melalui program penyuluhan dan

pemberdayaan masyarakat serta menyalurkan aspirasi serta keluhan masyarakat

kepada pihak regulator. Fasilitator terdiri dari BPDAS, Distanhut, BP4K, sedangkan

dari lembaga non pemerintah terdiri dari lembaga penelitian dan LSM, diantaranya

RMI, Telapak, ESP-Usaid, dan Greena.

CV.

Kertajaya Sumber

daya DAS

Kop. Kumis Kucing

CV.Kertajaya

Petani/gapoktan

Masy. desa

PT.MBK

PT. Fusion

Bapedda

Pecinta lingkungan

BP4K Rajawali muda

Distanhut

BPDAS CC

TNGGP

Senadi

Dinas Tata

Ruang

KJPP RMI

Telapak ESP

Usaid

Greena

Lembaga

penelitian

BBWS CC

Page 22: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

12

3. Perilaku Para Pihak Dalam Pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu

Perilaku para pihak terhadap pemanfaaatan DAS sangat mempengaruhi kondisi

eksisting DAS. Masyarakat Desa Pasir Buncir dan Wates Jaya sebagian besar

menggantungkan kehidupannya pada sektor pertanian, namun mereka tidak memiliki

akses terhadap sumberdaya lahan karena hampir 70% kawasan dikuasai oleh pemegang

Hak Guna Usaha (HGU) swasta, yaitu PT. PAP (Pengembangan Agro Prima) sejak

tahun 1985. Masyarakat berladang di lahan HGU dengan sistem sewa sebesar Rp

150.000 – 300.000 per ha/musim tanam dan masih berlangsung hingga saat ini. Sejak

tahun 2009, HGU PT. PAP telah diambil alih oleh PT. Fusion Plus Indonesia, anak

perusahaan PT. Bakrieland.

Konflik pemanfaatan sumberdaya di DAS Cisadane mencapai puncaknya pada

tahun 2003, dimana kegiatan penambangan pasir ilegal marak dilakukan di Desa Pasir

Buncir. Pada tahun yang sama, pembalakan liar pun banyak terjadi, yang dipicu oleh

terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts II/2003 tentang perluasan kawasan

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP) menjadi 21.975 ha. Pembalakan

liar terjadi karena pihak taman nasional tidak memberikan akses bagi masyarakat

terhadap kawasan dan sumberdaya hutan di TNGGP, sementara di bawah pengelolaan

PT. Perhutani masyarakat diberikan keleluasaan untuk menebang pohon dengan

mekanisme tanam kembali / TPTI, sehingga kebutuhan kayu masyarakat terpenuhi.

Pembalakan liar kini telah berhasil dihentikan dengan sanksi yang tegas, sementara

pertambangan ilegal ditutup tahun 2007 setelah terjadi longsor yang menimbulkan 6

korban jiwa. Ketiadaan akses masyarakat terhadap lahan turut memicu penggunaan

lahan yang degradatif yaitu pengelolaan lahan yang berlangsung intensif (menggunakan

banyak pupuk dan pestisida kimia), tanah miring tidak diberikan terasering dan teknik

konservasi tanah tidak diperhatikan.

Kesepakatan penyewaan lahan tetap berjalan di bawah pengelolaan PT. Fusion

yang juga tidak memperbolehkan masyarakat menanam tanaman berkayu keras karena

sewaktu-waktu lahan akan dipakai perusahaan. Berdasarkan Pasal 27, Pasal 34, dan

Pasal 40 UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dan

Pasal 2 PP No.11 Tahun 2010, maka lahan HGU PT. Fusion dapat diidentifikasikan

sebagai tanah terlantar dan dapat dikenai sanksi bahkan dihapuskan hak usahanya

karena tidak dipergunakan sesuai dengan sifat dan tujuan seperti pada hak yang telah

diberikan. Dalam kebijakan tersebut tidak dibenarkan lahan HGU disewakan kepada

masyarakat sekitar, namun harus dipergunakan sesuai tujuan, yaitu dikembangkan

sebagai kawasan agrowisata. PT. Fusion beralasan bahwa HGU yang sebelumnya milik

PT.PAP tersebut baru dibeli pada tahun 2009 dan masih menunggu dana untuk

pengembangan, saat ini mereka prioritaskan pada pengamanan kawasan HGU. Mereka

menganggap penyewaan lahan sebesar Rp 300.000 – Rp 450.000 / ha/ musim tanam

tersebut merupakan kebijakan perusahaan dan kesepakatan dengan warga. Kondisi ini

menyebabkan luasnya areal lahan kritis di hulu DAS Cisadane, sementara kesepakatan

belum dapat dicapai antara PT. Fusion dan BPDAS Citarum-Ciliwung dalam upaya

revitalisasi Sub DAS Cisadane Hulu.

Pada tahun 2009, Pemda memberikan izin pada PT. Mega Bumi Karsa (MBK)

untuk mengoperasikan tambang pasir di Desa Pasir Buncir karena ada kejelasan status,

badan hukum, UKL/UPL, dan upaya reklamasi ke depannya. Para elit desa beranggapan

bahwa tambang pasir menguntungkan bagi masyarakat, ada pemasukan tambahan bagi

kas desa sebesar Rp 40.000 per truk pasir yang keluar, RW, RT, hingga warga masing-

masing mendapat sekitar Rp 50.000 per 1-2 bulan.

Page 23: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

13

Pemberian izin ini tentunya melanggar PP.No 26 Tahun 2008 tentang Rencana

Tata Ruang dan Wilayah Nasional, dimana lokasi pertambangan pasir PT.MBK berada

di kawasan lindung. Baik sempadan sungai maupun lahan dengan kelerengan lebih dari

40% merupakan kawasan lindung. Kecamatan Caringin dan Cigombong dalam RTRW

Kabupaten Bogor juga ditetapkan sebagai kawasan lindung dan budidaya terbatas,

sehingga keberadaan Pertambangan Pasir PT.MBK sangat rawan bagi kawasan tersebut.

Gambar 5 Pertambangan pasir di Blok Pasir Gudang, desa Pasir Buncir (kiri)

dan pembuangan sampah warga di pinggir sungai (kanan)

Sebagian besar responden (80%) berpendapat lebih senang jika tambang ditutup

karena mengkhawatirkan dan kurang menyerap tenaga kerja masyarakat lokal, uang Rp

50.000/ bulan tidak ada artinya dibanding resiko yang mereka tanggung bila terjadi

bencana, air sungai pun menjadi keruh dan tercemar zat besi yang akan menimbulkan

efek kesehatan jika dikonsumsi jangka panjang. Di sisi lain, perilaku yang negatif

seperti membuang hajat dan sampah ke sungai masih dilakukan masyarakat sekitar.

Perubahan perilaku masyarakat mulai terlihat seiring penguasaan informasi yang

didapat masyarakat melalui kegiatan penyuluhan dan pendampingan dari mahasiswa

Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Pakuan Bogor, Universitas Negeri Jakarta

(UNJ), yang melakukan Kuliah Kerja Nyata (KKN) maupun Praktek Kerja Lapang

(PKL) di lokasi penelitian serta pendampingan dari organisasi non-pemerintah seperti

LSM RMI, Telapak, Greena, Dompet Dhuafa, dsb. Perubahan perilaku semakin terlihat

ketika pemerintah daerah melalui Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mensosialisasikan

program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) pada tahun 2011. Melalui STBM,

pemerintah menyalurkan dana untuk pembuatan septic tank dan tempat sampah bagi

warga di Desa Pasir Buncir dan Wates Jaya, sehingga perilaku membuang sampah dan

limbah manusia ke sungai Cisadane berkurang signifikan hingga 70%.

Perilaku para aktor di sub DAS Cisadane Hulu dipengaruhi oleh pengetahuan

dan persepsinya dalam memandang DAS, untuk itu program-program sosialisasi,

pendidikan, penyuluhan, pelatihan dan pendampingan serta studi banding perlu lebih

diintensifkan untuk meningkatkan pengetahuan dan memperbaiki persepsi para aktor

dalam sub DAS Cisadane Hulu sehingga dapat teraktualisasi dalam perubahan perilaku

yang positif terhadap DAS serta lingkungan di sekitarnya.

Perilaku yang mengedepankan kepentingan ekonomi dibandingkan kepentingan

ekologi menyebabkan sistem hidrologis DAS bereaksi menimbulkan permasalahan

banjir, tanah longsor, penyakit, dan penurunan produktivitas lahan yang menyebabkan

kerugian materil yang besar bagi pemerintah maupun masyarakat.

Page 24: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

14

Kinerja Pengelolaan DAS

Kinerja pengelolaan DAS di Cisadane hulu belum memberikan hasil maksimal

karena pengelolaan masih berlangsung sektoral. Kinerja pengelolaan digambarkan

dalam tabel berikut :

Tabel 8 Kajian Kinerja Pengelolaan DAS

No Kriteria Kinerja yang diharapkan

Kinerja di lapangan

1 Perencanaan Perencanaan pengelolaan

DAS yang integratif dan

berkelanjutan, stakeholder

dilibatkan dalam proses

perencanaan, perancangan

kegiatan, serta pengambilan

keputusan.

Pengambilan keputusan dan

proses perencanaan didominasi

pemerintah pusat, pemda dan

stakeholder lebih banyak

berpartisipasi semu.

2 Pelaksanaan

Program

Melibatkan seluruh

stakeholder sehingga

masyarakat dapat mengontrol

bagaimana kegiatan terlaksana

Masih bersifat sektoral instansi,

kerjasama hanya melibatkan

sebagian stakeholder.

Keterlibatan masyarakat lebih

sebagai obyek suatu program.

a.Agroforestry Meningkatkan tutupan lahan

daerah hulu dan meningkatkan

kesejahteraan petani

Belum optimal mengurangi

sedimentasi karena tidak

mengimbangi banyaknya lahan

terbuka di sekitarnya

b.MDM

(Model DAS

Mikro)

c.STBM

Meningkatkan tutupan lahan

daerah hulu dan menigkatkan

kesejahteraan petani.

Menanamkan kebiasaan warga

untuk hidup sehat, tidak

membuang kotoran dan

sampah ke sungai

Lokasi MDM overlap dengan

lahan PT Fusion dan PT. MBK

sehingga kawasan percontohan

tidak optimal, tetapi program

ini berhasil meningkatkan

pendapatan petani mencapai Rp

20 juta / ha / tahun

Lahan sempit sehingga warga

sulit membuat septic tank dan

tempat sampah

3 Pengorganisa

sian: Forum

Sub DAS

Cisadane

Hulu

Terciptanya koordinasi,

integrasi, sinkronisasi, dan

sinergitas para pihak dalam

pengelolaan DAS

Forum Sub DAS Cisadane

Hulu tidak berjalan karena

tidak kuatnya komitmen para

pihak dalam kelembagaan

forum untuk melaksanakan

fungsi koordinasi

4 Monitoring

dan Evaluasi

Memperoleh data indikator

kinerja DAS & evaluasi untuk

gambaran perubahan daya

dukung DAS .

Kegiatan bersifat sektoral dan

hasil monev tidak

diinformasikan kembali kepada

masyarakat dan stakeholder

Page 25: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

15

Pengelolaan kawasan lindung, seperti hutan dan DAS lebih dominan

mengedepankan peran pemerintah. Masyarakat sekitar DAS, gapoktan, dan swasta

belum dilibatkan menyeluruh dalam penyusunan program pengelolaan. LSM kadang-

kadang dilibatkan sebagai mitra dalam kegiatan pengelolaan kawasan konservasi atau

sebagai pendamping masyarakat (kelompok kerja) dalam pelaksanaan kegiatan

reboisasi.

Dominasi pemerintah juga diiringi oleh kebijakan yang secara sadar atau tidak,

ternyata mengakibatkan masyarakat cenderung menjadi objek dari suatu kebijakan.

Pemerintah meluncurkan berbagai proyek atau program, dan masyarakat

melaksanakannya dengan membentuk kelompok-kelompok pelaksana berupa kelompok

kerja atau kelompok tani. Pola top-down seperti ini walaupun hasilnya tidak yang

optimal, namun masih tetap berjalan hingga saat ini.

Mustadjab (1986) menyebutkan bahwa tingkat kekritisan suatu DAS ditunjukkan

oleh menurunnya penutupan vegetasi permanen dan meluasnya lahan kritis sehingga

menurunkan kemampuan DAS dalam menyimpan air yang berdampak pada

meningkatnya frekuensi banjir, erosi dan penyebaran tanah longsor pada musim

penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.

Masalah yang dominan tampak pada Sub DAS Cisadane Hulu adalah pada pola

penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan fungsinya sebagai daerah lindung dan

penyangga kawasan di bawahnya. Tingkat kesadaran dan kemampuan ekonomi

masyarakat petani yang rendah menyebabkan pola penggunaan lahan dan pemanfaatan

sumber daya Sub DAS Cisadane Hulu yang tidak berkelanjutan.

Penguasaan atas lahan menjadi dasar penggunaan lahan yang berlangsung di Sub

DAS Cisadane Hulu. Penguasaan atas lahan sebagai hak kepemilikan (property rights) di

bentang alam Sub DAS Cisadane Hulu terbagi atas berbagai bentuk pemilikan, yaitu hak

individu, hak komunitas, hak negara, serta berbagai turunannya seperti hak sewa, hak

guna usaha, dan lain-lain.

Keterlibatan banyak pemangku kepentingan tanpa pengembangan kelembagaan

yang mantap dapat menghambat program pengelolaan DAS bila tidak ada koordinasi

yang baik antar para pihak, sehingga siapa yang berperan, siapa yang berpartisipasi dan

apa yang dilakukan menjadi tidak jelas serta berpotensi menimbulkan konflik.

Potensi keterlibatan masyarakat lokal sebagai Alternatif Pengelolaan DAS

Dalam perspektif kelembagaan, perlu dikaji aturan main (rules of the game) baik

formal maupun informal yang mengatur peran, wewenang, serta hubungan para

pemangku kepentingan terkait pemanfaatan sumber daya di Sub DAS Cisadane Hulu.

Masyarakat melakukan pemanfaatan sumber daya dalam DAS berdasarkan pada

pemenuhan kebutuhan hidup, secara legal formal mereka tidak memiliki dasar yang

kuat, apalagi akses terhadap sumber daya terhimpit oleh larangan dan kebijakan taman

nasional serta kepemilikan lahan yang sempit akibat penguasaan lahan oleh swasta.

Pemberdayaan masyarakat telah sering dilakukan di Sub DAS Cisadane Hulu,

namun terdapat beberapa bentuk kekeliruan yang dijumpai dalam pengembangan

kelembagaan pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu:

1. Kelembagaan dibentuk lebih untuk tujuan distribusi bantuan dan memudahkan tugas

kontrol bagi pelaksana program, bukan untuk peningkatan modal sosial masyarakat

secara mendasar. Sebuah kelembagaan cenderung bubar sesaat setelah ditinggalkan

pelaksananya, contohnya : Koperasi Kumis Kucing di Desa Wates Jaya, Sekolah

Lapang ESP-USAID, Forum Komunikasi Sub DAS Cisadane Hulu.

Page 26: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

16

2. Pengembangan kelembagaan selalu menggunakan jalur struktural, dan lemah dari

pengembangan aspek kulturalnya. Sruktur organisasi dibangun lebih dahulu, namun

tidak diikuti perkembangan aspek kulturalnya (visi, motivasi, semangat, manajemen,

dan lain-lain), contohnya : Forum Komunikasi Sub DAS Cisadane Hulu.

3. Introduksi kelembagaan lebih banyak melalui budaya material dibanding nonmaterial,

atau merupakan perubahan yang materialistik, contohnya sikap sebagian besar

responden yang kebanyakan mengharapkan dan menuntut bantuan dan sumbangan

pemerintah.

Mengacu pada Taylor dan Mckenzie (1992), ada beberapa alasan mengapa

inisiatif lokal diperlukan. Dari sisi pemerintah, inisiatif lokal dibutuhkan karena

pemerintah belum mampu memberikan pelayanan yang memadai, sementara

kemampuan perencanaan pusat juga dalam kondisi lemah. Dari sisi masyarakat lokal, di

antaranya adalah karena masih banyaknya sumber daya yang belum termanfaatkan,

yang dipandang akan lebih efektif apabila menggunakan strategi lokal.

Salah satu kelembagaan yang kuat dan berasal dari inisiatif lokal adalah

Gapoktan Bersaudara. Gapoktan Bersaudara pada mulanya bernama Lembaga Mikro

Syariah Bersaudara, mulai berdiri pada tahun 2001 dan mulai mengembangkan jejaring

kerjasama dengan Balitnak Lido, BPDAS CC, BP4K dan LSM untuk mengembangkan

pola tanam agroforestry, teknik konservasi tanah dengan teasering, serta teknik

pertanian yang lebih ramah lingkungan di kampungnya.

Gambar 6 Perbedaan lahan HGU yang gundul dan lahan agroforestry masyarakat

(kiri), hasil MDM oleh masyarakat Kampung Lengkong (kanan)

Gapoktan Bersaudara berhasil menanamkan kultur kesadaran menanam dan

rehabilitasi lahan bagi masyarakat, tahun 2006 mulai terlihat setiap datang bantuan bibit

selalu habis diambil oleh masyarakat sekitar.

Terlihat perbedaan yang kontras antara lahan HGU dengan lahan masyarakat

yang telah mulai ditanami secara tumpangsari antara pohon, kebun campuran, jagung

dan singkong. Lahan HGU cenderung kering dan tandus, serta rentan terhadap erosi

karena tidak ditanami vegetasi yang cukup.

Gapoktan Bersaudara juga berhasil mengembangkan kerjasama dengan Balitnak

dalam menginisiasi kampung domba untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Melihat

keberhasilan tersebut, Gapoktan Barokatunabaat dan Gapoktan Bersaudara II mulai

mengikuti jejak Gapoktan Bersaudara.

Kondisi demikian mengindikasikan bahwa komunitas dapat menjadi pelaku

utama dalam pengelolaan sumber daya alam sekaligus membangun jejaring dengan

Page 27: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

17

berbagai pihak. Menurut Syahyuti (2006), satu komunitas diyakini akan aktif jika

mereka mampu melihat keuntungan dengan keterlibatannya dan memiliki akses

(property right) terhadap sumber daya yang ada. Dengan memahami pengetahuan lokal

masyarakat setempat, membangkitkan motivasi untuk melakukan konservasi, serta

memilih organisasi lokal yang kuat maka pendekatan pengelolaan sumber daya alam

berbasis komunitas atau Community-Based Natural Resource Management (CBNRM)

dapat diterapkan di Sub DAS Cisadane Hulu.

Tingginya peran dan partisipasi masyarakat lokal akan menghasilkan efisiensi

yang lebih besar dalam manajemen SDA karena dapat meminimalkan biaya transaksi,

kontrol terhadap pelaksanaan program lebih baik, serta komunitas lokal dipercaya akan

lebih mendorong konservasi SDA.

Koordinasi dan kerjasama diperlukan untuk menekan interdependensi antar pihak

melalui suatu pengaturan kelembagaan sehingga keempat kelompok stakeholder

(regulator, operator, user dan fasilitator) dapat bersinergi dalam suatu wadah koordinasi

yang kuat dan program pengelolaan DAS tidak berjalan sendiri-sendiri melainkan

menjadi satu manajemen terpadu. Wadah koordinasi, pelaksanaan pengelolaan kawasan

lindung pada Sub DAS Cisadane Hulu ada kejelasan wewenang dan tanggung jawab

setiap pihak (siapa, mengerjakan apa, bilamana, dimana, dan bagaimana).

Saat ini belum ada wadah koordinasi yang tepat dalam pengelolaan DAS

Cisadane Hulu sehingga kesepakatan-kesepakatan antar stakeholder sulit dibuat.

Inisiatif lokal masyarakat dapat berkembang menjadi kelembagaan yang kuat bila

pemerintah dan organisasi non-pemerintah terus melakukan penguatan modal sosial

bagi masyarakat Sub DAS Cisadane Hulu.

Upaya menjembatani kepentingan para stakeholder yang terkadang saling

berbenturan dapat dilakukan melalui kesepakatan bersama yang dapat menjadi acuan

seluruh pihak dalam mengelola sumberdaya di dalam DAS.

Alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan tutupan lahan di Sub DAS

Cisadane Hulu adalah dengan mengadakan kontrak kerjasama/kesepakatan antara

perusahaan pemegang HGU dengan petani dengan jangka waktu yang cukup panjang.

Kontrak memberikan kepastian kepada para petani penggarap dan insentif

kepada mereka agar melakukan berbagai tindakan konservasi tanah yang

direkomendasikan. Kerjasama pemanfaatan lahan HGU untuk agroforestry dari segi

pengembangannya sebenarnya sejalan dengan PT. Fusion yang sejak awal berencana

untuk menjadikan lahan HGU yang dikuasainya itu sebagai kawasan agrowisata.

Khusus untuk lahan bekas Perhutani yang saat ini menjadi lahan Taman

Nasional Gede Pangrango, perlu penentuan zonasi kawasan pemanfaatan, dimana

zonasi tersebut juga sesuai dan telah diatur dalam perundangan. Jika seluruh lahan

TNGGP tidak diperbolehkan untuk dimanfaatkan oleh petani, maka dengan sendirinya

akan terjadi penurunan pendapatan ril warga.

Selama ini, masyarakat terutama yang berdiam di Desa Wates Jaya (Kampung

Lengkong Girang dan Kampung Ciwaluh) memanfaatkan lahan bekas Perhutani untuk

bercocok tanam kumis kucing, kopi, sengon, serta menyadap getah pinus, pihak

TNGGP dapat memberlakukan zonasi dengan tetap memperbolehkan petani penggarap

melanjutkan aktivitasnya saat ini dengan persyaratan-persyaratan yang disepakati

bersama, atau menyediakan alternatif sumber pendapatan yang lain.

Page 28: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

18

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

1. Pembukaan lahan di kawasan lindung dan persepsi DAS sebagai barang publik

bersifat open access menjadi penyebab utama menurunnya fungsi Sub DAS

Cisadane Hulu. Aktivitas manusia tersebut menimbulkan berbagai masalah seperti

peningkatan run-off, sedimentasi, longsor, banjir di hilir, serta pencemaran air.

2. Peran dan posisi para pihak di Cisadane Hulu dapat dikelompokkan menjadi 4

komponen, yaitu regulator, operator, pengguna, dan fasilitator sesuai dengan

tingkat kepentingannya terhadap DAS.

3. Masyarakat lokal memiliki potensi yang besar menjalankan program pengelolaan

DAS berbasis komunitas, namun upaya masyarakat merehabilitasi lahan kritis dan

daerah hulu sungai terkendala dengan kepemilikan lahan yang sempit.

Saran

1. Perlu diadakan negoisasi-negoisasi terkait kerjasama pemanfaatan lahan antara para

petani dengan pihak HGU, karena pengembangan agroforestry sebenarnya sejalan

dengan PT. Fusion yang ingin membuka kawasan agrowisata. Negoisasi juga dapat

dilakukan dengan PT.MBK yang mempunyai kewajiban reklamasi lahan tambang.

2. Kegiatan yang bersifat kolaboratif antar stakeholder yang terlibat dalam

pengelolaan Sub DAS Cisadane Hulu perlu ditingkatkan sehingga hubungan

kelembagaan terkait kerjasama dan koordinasi dapat terjalin dan meminimalisir .

3. Pengembangan insentif bagi para petani yang melakukan agroforestry/

pemeliharaan lahan kritis sebagai biaya pengganti dari opportunity cost yang bisa

didapatkan petani bila mengolah lahan tersebut sebagai lahan pertanian.

DAFTAR PUSTAKA

[BPDAS]. 2010. Karakteristik Daerah Aliran Sungai Cisadane. Bogor : Balai

Pengelolaan DAS Citarum – Ciliwung.

Groenendijk L. 2003. Planning and Management Tools. The Netherlands : A Reference

Book. The International Institute for Geo-Information Science and Earth

Observation (ITC)

Mustadjab MM. 1986. Pengaruh Status Penguasaan Atas Tanah Garapan Terhadap

Pengelolaan Usaha Tani dan Konservasi Lahan Kering di DAS Brantas Bagian

Hulu. Malang: Universitas Brawijaya

Sukartaatmadja S. 2006. Evaluasi aliran permukaan, erosi, dan sedimentasi di Sub DAS

Cisadane Hulu dengan menggunakan model AGNPS. Jurnal Keteknikan Pertanian

20(3) : 217-223.

Syahyuti. 2006. 30 Konsep Penting dalam Pembangunan Pedesaan dan Pertanian.

Jakarta : PT. Bina Rena Pariwara

Taylor DRF dan McKenzie. 1992. Development From Withins. London : London

Routledge.

Page 29: S2013_Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Untuk Pengelolaan DAS Terpadu

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor pada tanggal 5 Maret 1989, anak kedua dari

pasangan Drs.I Nengah Mustika, Mkes dan Dra. Solichatin Yatminah, Mkes. Penulis

menamatkan Pendidikan Dasar di SDN Semeru 3 Bogor pada tahun 2001, melanjutkan

ke SMP Negeri 1 Bogor dan lulus tahun 2004. Pada tahun 2007 menyelesaikan

pendidikan menengah atas di SMA Negeri 5 Bogor dan diterima di program Sarjana

Konservasi Sumber Daya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian

Bogor.

Selama menjadi mahasiswa, penulis menjadi anggota Himpunan Mahasiswa

Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata (HIMAKOVA) dan aktif sebagai

anggota Kelompok Pemerhati Burung “Perenjak” tahun 2008-2011. Penulis mengikuti

kegiatan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Kawasan Hutan Mangrove

BKPH Cikeong, KPH Purwakarta dan Cagar Alam Gunung Burangrang,Kabupaten

Purwakarta pada bulan Juli-Agustus 2009.

Pada bulan Juli – Agustus 2010, penulis melaksanakan Praktek Pengelolaan

Hutan (P2H) di Jawa Barat. Penulis juga melakukan Praktek Kerja Lapang Profesi

(PKLP) di Taman Nasional Gunung Merbabu, Provinsi Jawa Tengah. Selain itu penulis

juga merupakan anggota Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma IPB (KMHD IPB).

Penulis melakukan kegiatan magang di LSM Rimbawan Muda Indonesia (RMI)

pada bulan Agustus 2010 dan menjadi jurnalis tetap di media online Nasionalis Rakyat

Merdeka sejak Januari 2011. Gelar Sarjana Kehutanan IPB diperoleh dengan

menyelesaikan skripsi berjudul “Kajian Potensi Kelembagaan Lokal Dalam Pengelolaan

DAS Terpadu (Studi Kasus Sub DAS Cisadane Hulu) dengan bimbingan Ir. Haryanto

R. Putro, MS, pemilihan judul ini didasari keingintahuan penulis untuk membuktikan

bahwa perubahan kelembagaan dapat menjelaskan fenomena-fenomena alam di

sekitarnya termasuk dalam pengelolaan hutan dan DAS.