Top Banner
SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014 RPI 12 Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected] web : www.puskonser.or.id
181

RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Feb 12, 2020

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014

RPI 12

Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme

Kementerian Kehutanan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected]

web : www.puskonser.or.id

Page 2: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu
Page 3: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

i

KATA PENGANTAR

Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK.23/VIII-

SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan

Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi

(Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian

Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai

komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program

Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS.

Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan

(ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang

telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada

setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan

informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.

Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun

2010-2014 (Revisi) adalah Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme. Sampai

akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 228 kegiatan penelitian untuk

mencapai tujuan memperoleh model-model konservasi berbasis jenis serta

membangun model-model pengelolaan dan pemanfaatan jenis di setiap tipologi

kawasan konservasi dengan sasaran adalah flora/fauna dan mikroorganisme yang ada

di dalam, sekitar dan di luar kawasan konservasi. Sampai dengan akhir 2012

(pertengahan Renstra) telah dilaksanakan 133 kegiatan penelitian oleh Puskonser,

BBPBPTH Yogyakarta, BBPD Samarinda, BPK Aek Nauli, BPTHHBK Mataram,

BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan

BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis dalam

bentuk sintesis antara untuk melihat kemajuan/capaian kinerja RPI tersebut dan

menilai apakah kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras (in line)

dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun 2014. Dalam buku

sintesis antara ini juga disajikan ringkasan hasil-hasil penelitian penting di bidang

konservasi flora, fauna dan mikroorganisme yang ditempatkan setelah bab sintesis

antara. Penyajian ringkasan hasil penelitian ini penting untuk menunjukkan darimana

sumber utama sintesis antara tersebut. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan

penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif.

Sintesis antara RPI Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme tahun 2013

dapat dijadikan milestone untuk mencapai sintesis RPI akhir tahun 2014 yang

berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya konservasi flora, fauna dan

mikroorganisme yang berkelanjutan. Dari sintesis antara ini, kita dapat melihat

berbagai output dalam bentuk kebun konservasi genetik Ramin di OKI dan

Tumbangnusa, teknik inokulasi gaharu, paten produksi gaharu buatan dan grand

strategi laboratorium mikrobiologi hutan tropis. Koordinator RPI beserta tim

penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada.

Page 4: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

ii

Masih ada waktu selama dua tahun untuk mengisi gap penelitian yang ada dan

mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian untuk menghasilkan sintesis RPI

yang mumpuni dan bermanfaat.

Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Konservasi

Flora, Fauna dan Mikroorganisme beserta tim penelitinya yang telah menunaikan

tugasnya dengan baik menyusun sintesis antara ini.Semoga sintesis antara ini

bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan sintesis

RPI berikutnya.

Kepala Pusat,

Ir. Adi Susmianto, M.Sc.

NIP. 19571221 198203 1 002

Page 5: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

iii

TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 12

KOORDINATOR : Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc

Sub Koordinator : Dr. Ir. R Garsetiasih, M.P

Dra. Marfuah Wardami, M.P

Ir. Ragil S.B Irianto, M.Sc

PELAKSANA

Puskonser : Dr. Titiek Setyawai, M.Sc

Dra. Marfuah Wardani, M.P

Dr. Ir. R Garsetiasih, M.P

Ir. Ragil S.B Irianto, M.Sc

Ir. Adi Susilo, M.Sc

Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si

Ir. Reny Sawitri, M.Sc

Drh. Pujo Setyo, M.Si

Drs. Sofian Iskandar, M.Si

Ir. Mariana Takandjandji, M.Si

Rozza Trikwatrina, S.Si., M.S

Dr. Maman Turjaman, DEA

Dr. Erdi Santoso

Luciasih Agustini, S.Si., M.Sc

BB Dipterocarpa : Ir. Amiril Saridan, MP

M. Fajri, S.Hut

Agus Wahyudi, S.Hut

B2PBPTH Yogya : Maryatul Qiptiyah, S.Hut., M.Si

BPK Makassar : Abdul Kadir W., S.Hut., M.Si

Heri Suryanto, S.Hut

Ir. Merry Kiding Alo, M.S

Nurhayati, SP., M.Sc

Ir. Halidah, M.Sc

Retno Prayudyaningsih, S.Si., M.Si

Ir. Nursyamsi

Bayu Broto, S.Hut.

BPK Manado : Julianus Kinho, S.Hut

Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut

BPTP Samboja : Drh. Amir Maaruf, M.H

Teguh Muslim, S.Hut

Triatmoko, S.Hut, M.Sc

Noorcahyati, S.Hut

Page 6: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

iv

BPK Manokwari : Hadi Warsito, S.Hut

Permenas Dimomonmau,S.Hut

Yohanes Wibisono, S.Hut

R.G.N. Triantoro, S.Hut., M.Si

Krisma Lekito, S.Hut., M.Sc

Sarah Yuliana, S.,Hut., M.App.Sc

BPK Kupang : Aziz Umroni, S,Hut.

Oki Hidayat, S. Hut.

Ir. Kayat, M.Si

Dani Sulistiyo Hadi, S.Si

Hery Kurniawan, S.Hut., M.Sc

Siswadi, S.Hut

Sujarwo Sujatmoko, S.Hut

Sumardi, S.Hut., M.Sc

Rina Yuana Puspiyatun, S.Hut

BPTHHBK Mataram : Resti Wahyuni, S.Si

BPK Aek Nauli : Darmawan Edy, S.Hut

Wanda Kuswanda, S.Hut, M.Sc.

BPK Banjarbaru : Rusmana, S.Hut

BPK Ciamis : Aji Winara, S.Hut

Page 7: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

v

DAFTAR ISI

Hal.

KATA PENGANTAR ................................................................................... i

TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 12 .................................................... iii

DAFTAR ISI ................................................................................................. v

DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................

I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

II PENDEKATAN RISET BIODIVERSITAS .................................................. 2

A. Tahapan Riset .......................................................................................... 2

B. Rumusan Masalah.................................................................................... 3

C. Metode Sintesis ....................................................................................... 8

III RISET PENELITIAN INTEGRATIF FLORA, FAUNA DAN

MIKROORGANISME .................................................................................

9

A. SINTESIS 2010 – 2014 .......................................................................... 9

1. Flora ................................................................................................. 9

2. Fauna ................................................................................................ 32

3. Mikroorganisme ............................................................................... 160

Page 8: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

vi

Page 9: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

vii

DAFTAR TABEL

Tabel Hal.

1. Perkiraan jumlah spesies yang dikenal dan perkiraan jumlah total di dunia .... 6

2. Nilai rata rata karakter daun Eusideroxylon zwageri di KHDTK

Bondowoso berdasarkan analisis klaster ....................................................... 26

3. Pertumbuhan tanaman ulin umur 9 tahun di plot konservasi ex-situ tahun

tanam 2004 di Bondowoso ........................................................................... 27

4. Pertumbuhan tanaman ulin umur 7 tahun di plot konservasi ex-situtahun

tanam 2006 di Bondowoso ........................................................................... 27

5. Pertumbuhan tanaman ulin umur 5 tahun di plot konservasi ex-situ tahun

tanam 2008 di Bondowoso ........................................................................... 28

6. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi ............ 35

7. Jenis tumbuhan pakan Siamang di CA Dolok Sipirok dan sekitarnya ............ 36

8. Hasil analisis pemilihan tipe habitat dengan menggunakan Indeks Neu ......... 38

9. Jenis endoparasit banteng pada lembaga konservasi eks-situ dan

kawasan konservasi in-situ ............................................................................ 40

10. Jarak genetik antar populasi di KBS, KBR, TNB, TNMB, TSI II, Sapi

Bali dan TSI III ............................................................................................. 41

11. Jarak genetik antar populasi trenggiling (Manis javanica) ............................. 44

12. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan............................... 54

13. Luas kawasan TNBNW berdasarkan ketinggian tempat................................. 54

14. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kemiringan lahan ................................. 55

15. Pembagian tipe habitat .................................................................................. 56

16. Luas kesesuaian habitat anoa ......................................................................... 57

17. Luas kesesuaian habitat anoa berdasarkan zonasi TNBNW ........................... 58

18. Petak pengamatan I di hutan Warmariri. Sarmi .............................................. 79

19. Petak pengamatan II di hutan Warmariri, Sarmi ............................................ 80

20. Petak pengamatan di hutan Sasui. Tamraw .................................................... 80

21. Petak pengamatan I di hutan Sidei, Manokwari ............................................. 81

22. Petak pengamatan II di hutan Sidei, Manokwari ............................................ 82

23. Nilai chi-square pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba ............... 93

24. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan ketinggian

tempat ........................................................................................................... 93

25. Nilai chi-square pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba ............... 94

Page 10: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

viii

Tabel Hal.

26. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan kelerengan

tempat........................................................................................................... 94

27. Rata-rata bobot badan anak rusa pada umur penyapihan ............................... 105

28. Jenis pakan rusa Timor di penangkaran NTT ................................................ 107

29. Nilai fisiologis normal pada rusa sambar di UPTD BPIB Api-api ................. 113

30. Nilai hematologi normal rusa sambar di UPTD BPIB Api-api ....................... 113

31. Kondisi Umum Habitat Elang Jawa di TN Gunung Halimun-Salak dan

TN Gunung Merbabu .................................................................................... 124

32. Karakteristik persarangan elang di Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN

Wilayah II Bogor, TN Gunung Halimun-Salak) ............................................ 126

33. Ukuran dan komposisi kelompok lutung di hutan Bodogol, TNGP ............... 131

34. Jumlah dan komposisi kelompok lutung jawa di kawasan hutan Situ

Gunung ......................................................................................................... 132

35. Jumlah dan komposisi kelompok lutung di kawasan hutan Gunung Beser ..... 132

36. Jenis Tumbuhan Pakan Lutung Jawa ............................................................. 133

37. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan

tutul di Jawa tengah. ..................................................................................... ... 137

38. Jenis-jenis mangsa utama dan mangsa sekunder potensial bagi

macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten ..................................... 138

39. Status sebaran Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa ..... 143

Page 11: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar Hal.

1. Tingkat biodiversitas di dunia ........................................................................... 1

2. Status dan tahapan riset di bidang biodiversitas .................................................. 2

3. Bruguiera gymnorrhiza Lamk (A. Daun; B. Buah muda; C. Buah tua)

jenis yang paling dominan pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay ...........

16

4. Tumbuhan non kayu pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay (A.

Grammatophyllum speciosum; B. Pigafetta filaris; C. Nypa fruticans). ..............

16

5. Tumbuhan berkayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.

Dodonea viscosa; B. Thespesia populnea; C. Cordia subcordata). .....................

16

6. Tumbuhan non kayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.

Ipomoea pres-caprae; B. Widelia biflora; C. Scaevola taccada).......................

17

7. Beberapa jenis vegetasi pada hutan kerangas di Kampung Isenebuay (A.

Gleychenia linearis; B. Flindersia pimentelliana; C. Comersonia

bartramia). ........................................................................................................

17

8. Mapania heyneana adalah salah satu jenis herba yang terdapat pada plot

monitoring biodiversitas flora TWA Gunung Meja. Jenis ini secara

taksonomi sangat mirip dengan jenis pandan .....................................................

17

9. Acacia nilotica yang mendapat perlakuan pengolesan pada permukaan

batang dan pengolesan pada batang yang ditebang .............................................

25

10. Merremia peltata sebelum perlakuan dan yang baru mendapat perlakuan .......... 25

11. Restorasi savanna baluran dan TN Bukit Barisan Selatan ................................... 25

12. Peta sebaran populasi siamang berdasarkan ketinggian di CADS dan

wilayah sekitarnya .............................................................................................

34

13. Penutupan lahan di kawasan CADS dsk ............................................................. 35

14. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya .............. 36

15. Banteng jantan di KBS (A), dan di KBR (B). ..................................................... 38

16. Banteng betina di KBS (A), dan di TSI II (B)..................................................... 39

17. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional ................................................ 39

18. Materi genetik yang dikoleksi ............................................................................ 42

19. Hasil PCR menggunakan DNA dari darah.......................................................... 42

20. Trenggiling yang berasal dari Pulau Jawa (A) dan Pulau Sumatera (B) .............. 45

21. Karakteristik sarang Tarsius di Kawasan Bantimurung....................................... 47

22. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan gantung ................. 48

Page 12: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

x

Gambar Hal.

23. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan tanam (pitt

fall traps) ..........................................................................................................

49

24. Peta Kesesuaian Habitat Anoa di Kawasan TNBNW ......................................... 58

25. Pengambilan Sampel Kotoran Anoa .................................................................. 61

26. Pengukuran Jejak .............................................................................................. 61

27. Pengukuran Jejak .............................................................................................. 61

28. Sebaran tekstur pasir peneluran sarang labi-labi moncong babi di

wilayah Sungai Vriendschap .............................................................................

62

29. Tutupan (a) Mimosa pudica (putri malu) pada pasir peneluran di sungai

Jeprey dan (b) Scirpus glosus pada pasir peneluran di sungai

Vriendschap ......................................................................................................

66

30. Telur dari labi-labi Moncong Babi ..................................................................... 70

31. Sarang labi-labi Moncong Babi ......................................................................... 71

32. Labi-labi Moncong Babi .................................................................................... 71

33. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal ................................ 71

34. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal ................................ 71

35. Jejak Goura spp. yang ditemukan ...................................................................... 82

36. Sarang Goura spp. di hutan primer..................................................................... 83

37. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) jantan ..................................... 87

38. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) betina ..................................... 87

39. Grafik prediksi pertumbuhan populasi siamang ................................................. 91

40. Peluang kehadiran trenggiling tertinggi berdasarkan jumlah jenis tingkat

semai dan tumbuhan bawah ...............................................................................

99

41. Sistem kandang di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor ........................................ 101

42. Sistem Mini Ranch di NTT dan Taman Safari Indonesia, Bogor ........................ 102

43. Sistem Ranch di Jonggol, Cariu, Bogor dan Ranca Upas, Bandung .................... 102

44. Sketsa kandang rusa .......................................................................................... 102

45. Bangunan peneduh pada sistem terkurung di HP Dramaga, Bogor ..................... 103

46. Tempat makan dan minum pada sistem terkurung dan Sistem Ranch ................. 104

47. Model kandang jepit di Hutan Penelitian Dramaga ............................................ 104

48. Bahan dan alat tagging (pemberian nomor telinga) pada rusa ............................ 106

49. Beberapa jenis pakan rusa Timor di HP Dramaga .............................................. 107

50. Perkembangan puting dan ambing susu pada rusa betina sebagai deteksi

bulan melahirkan ...............................................................................................

109

Page 13: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

xi

Gambar Hal.

51. Perkembangan kantung ketuban dan perilaku induk betina pada masa

melahirkan .........................................................................................................

110

52. Perilaku induk betina dan anak yang menyusu pada masa pasca

melahirkan .........................................................................................................

110

53. Model peti angkut rusa ....................................................................................... 115

54. Titik perjumpaan elang jawa dan sarang di Blok Tapos TN Gunung

Halimun-Salak ...................................................................................................

128

55. Lokasi Perjumpaan Elang Jawa dan Elang Hitam pada Blok Hutan di

TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah ...................................................................

128

56. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Cipinang Gading,

Blok Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi

sejajar di lereng tebing) ......................................................................................

129

57. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Bobojong, Blok

Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi dari

dasar tebing) ......................................................................................................

129

58. Peta kerawanan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di

Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................

145

59. Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan

Banten ...............................................................................................................

146

60. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di

Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................

146

61. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe

metapopulasinya ................................................................................................

151

62. Peta metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten ............. 151

63. Perkembangan jumlah kasus macan tutul keluar dari hutan dan masuk

perkampungan di Provinsi Jawa Barat dan Banten .............................................

152

64. Jumlah dan persentase kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan

masuk ke perkampungan menurut wilayah kabupaten di Provinsi Jawa

Barat ..................................................................................................................

153

65. Jumlah kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke

perkampungan menurut bulan terjadinya di Provinsi Jawa Barat ........................

154

66. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan konflik

antara macan tutul dan manusia .........................................................................

159

Page 14: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu
Page 15: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

iii

Page 16: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 1

I. PENDAHULUAN

Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta

keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh

negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Primack et

al, 1998). Keanekaragaman hayati tersebut memiliki peran yang

sangat berarti bagi kehidupan manusia dan lingkungan, antara

lain sebagai sumber pangan dan obat-obatan, menjadi reservoir

air, menjaga siklus karbon dan lain sebagainya. Tidak hanya itu,

di tingkat dunia hampir semua kawasan hutan di Indonesia

memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi dibandingkan dengan

negaralain (Gambar 1).

Pada saat ini keanekaragaman hayati mengalami penurunan yang cukup tinggi,

yang apabila tidak segera dihentikan akan mengalami penurunan secara terus

menerus dan diperkirakan sekitar 20-70 persen habitat asli telah lenyap (Bappenas,

1993). Penyebab utama hilangnya biodiversitas sebagian besar akibat dari rusaknya

lingkungan dan habitat akibat ulah manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya

tanpa mengindahkan kelestarian serta laju pertambahan populasi manusia (Indrawan

et al. 2007). Tidak dapat dielakkan lagi bahwa kekayaan hayati terbesar banyak

ditemukan di hutan-hutan di daerah tropis, meskipun daerah ini hanya mencakup 7%

dari luas bumi namun lebih dari setengah dari jumlah spesies di dunia dapat

ditemukan di hutan tropis (Whitmore 1990).

Faktor yang menjadi ancaman utama keberadaan spesies flora dan fauna adalah

pertanian, pembangunan untuk kepentingan komersial, proyek air, rekreasi alam,

penggembalaan ternak, polusi, infrastruktur dan jalan, kebakaran alami dan

penebangan pohon (Stein et. al., 2000). Menjaga biodiversitas serta kesehatan

lingkungan sekitar kita berarti menjaga seluruh komponen baik ekosistem, habitat,

populasi, spesies dan variasi genetik.Sebagian besar kerusakan habitat, terutama

habitat asli di berbagai wilayah di penjuru dunia, berada di lokasi yang memiliki

kepadatan populasi manusia yang tinggi (WRI 2003).

Gambar 1. Tingkat biodiversitas

di dunia (source: www.cbd.int/gbo1/chap-01.html)

Page 17: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 2

II. PENDEKATAN RISET BIODIVERSITAS

A. Tahapan Riset

Pada intinya riset di bidang biodiversitas bertujuan untuk menambah informasi

tentang status keanekaragaman mulai dari tingkat genetika, spesies, habitat hingga

ekosistem. Informasi sebaiknya merupakan hal baru dan tidak mengulang kegiatan

riset yang sudah dilakukan oleh orang lain. Gambar 2. menunjukkan tahapan riset

yang dilalui mencakup riset dasar hingga ke terapan.

Gambar 2. Status dan tahapan riset di bidang biodiversitas

Riset pada umumnya dapat dimulai dengan kegiatan yang paling awal untuk

mengumpulkan data dibidang genetika, spesies, habitat dan ekosistem. Sedangkan

riset terapan mencakup skala yang lebih luas lagi yakni aplikasi suatu teknik untuk

memperoleh data dan infor-masi lanjutan. Untuk melakukan inventarisasi dan proses

pemantauan keberhasilan riset diperlukan desain yang sesuai dan memadai. Data

yang diperoleh selama beberapa waktu tidak ada gunanya jika desain pengambilan

data tidak dirancang dengan baik dan tidak dapat diulang di tempat lain.

Harus ada prosedur untuk melakukan inventarisasi dan monitoring untuk

mengetahui tingkat keanekaragaman hayati yang ada di suatu wilayah.Tahapan atau

prosedur untuk melakukan kegiatan riset yang terkait dengan inventarisasi dan

monitoring biodiversitas, jika diterap-kan dengan benar maka akan mudah untuk

memecahkan masalah pengelolaan ekosistem yang mencakup didalamnya habitat,

spesies dan variasi genetika.Untuk melakukan riset biodiversitas di lingkup Pusat

Litbang Konservasi dan Rehabilitasi ini dalam skema Rencana Penelitian Integratif,

perlu dibuat tahapan sebagai berikut:

- Tujuan, Sasaran dan Luaran;

- Scoping (Definisi Masalah/Ruang Lingkup);

- Hipotesa;

- Pengumpulan data (inventarisasi, kajian);

Page 18: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 3

- Analisis Data, Interpretasi, Evaluasi, Penyajian (tulisan dalam jurnal. Media dll),

Penyimpanan Data;

- Keputusan Pengelolaan;

- Kajian Pengelolaan dan Pemantauan.

Tahapan tersebut diatas dideskripsikan secara lengkap dalam buku pedoman

Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Kehutanan

untuk periode tahun 2010 – 2014 (lima tahun).

B. Rumusan Masalah

Menurunnya populasi suatu jenis flora dan fauna di alam lebih banyak

diakibatkan oleh aktifitas manusia dalam memanfaatkan sum-berdaya alam untuk

kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk

melestarikan kelangsungan hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak

negatif bagi jenis flora dan fauna tertentu, terutama jenis-jenis flora yang lambat

tumbuh dan secara alami memilki sifat dan karakter yang sangat spesifik. Beberapa

jenis flora di Indonesia yang dimanfaatkan kayunya untuk perda-gangan,seperti

contohnya beberapa jenis dalam keluarga Dipterocarpaceae memiliki kecepatan

tumbuh yang sangat lambat sehingga pengambilan kayu dalam jumlah besar dalam

waktu relatif singkat tidak seimbang dengan kemampuan regenerasi alaminya

sehingga dikuatirkan laju kepunahan jenis akan berlangsung cepat. Bahkan

terjadinya illegal logging yang akhir-akhir ini kian marak akan semakin

memperparah kondisi hutan beserta isinya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang

memicu cepatnya status kelangkaan atau kepunahan jenis di habitat alaminya.

Kelangkaan jenis juga bisa diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi

suatu jenis, dalam hal ini untuk keperluan perdagangan. Seperti yang terjadi pada

saat pengelompokan jenis. Ada beberapa jenis kayu yang sulit ditemukan di alam,

namun pada saat diperdagangkan jenis langka tersebut masuk ke dalam kelompok

jenis tertentu. Seperti contohnya adalah perdagangan jenis merbau yang dalam

perdagangan dimasukkan dalam kelompok meranti. Pada prakteknya di alam sangat

sulit membedakan jenis meranti dengan jenis lainnya. Ironisnya dalam kelompok

meranti terdapat berbagai jenis flora yang sudah mulai langka dan juga jenis-jenis

yang memerlukan perhatian akibat menurunnya populasi jenis-jenis tersebut. Bahkan

berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Papua No.72 tahun 2002 tentang

Ketentuan Ekspor Kayu Bulat Jenis Merbau di Propinsi Papua, dalam pasal 1 ayat 3

disebutkan bahwa Merbau (Intsia sp.) adalah jenis kayu dari kelompok meranti yang

termasuk dalam pos tarif/HS 4403.10.211. Demikian pula dengan kayu eboni yang

pada prakteknya ada 3 species yang diperdagangkan dengan nama perdagangan yang

sama yaitu eboni (Diospyros phillipinensis, D. pilosanthera dan D. rumphii) padahal

menurut kriteria IUCN D. Phillipinensi smasuk kategori genting atau EN

(endangered). Khusus untuk jenis Diospyros celebica yang merupakan jenis endemik

di Sulawesi saat ini tercatat sebagai vurnerable /rentan dalam Daftar IUCN 2006.

Page 19: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 4

Disamping jenis-jenis yang memang komersial dan sudah dikenal dalam

perdagangan, ada beberapa jenis kayu multi-potensial yang tidak hanya

dimanfaatkan untuk kayunya namun juga sebagai bahan baku alternatif energi dan

obat-obatan, saat ini populasinya di alam mengalami penurunan. Contohnya adalah

jenis ki beusi (Pongamia pinnata) dan kempis/kemiren (Hernandia nymphaeifolia).

Ki beusi merupakan jenis yang umum tumbuh di hutan dataran rendah, mangrove

atau pantai berpasir yang dikenal sebagai ekosistem yang saat ini juga mengalami

tekanan akibat kerusakan karena alih fungsi lahan. Jenis ini secara lokal digunakan

sebagai bahan bangunan dan barang-barang/furniture rumah tangga. Jenis ini juga

menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan pelumas dan penyamak kulit.

Kulit kayu dan daunnya digunakan sebagai bahan obat. Akar dari jenis ini

mengandung bakteri rhizobium yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Jenis-

jenis yang banyak dimanfaatkan dan merupakan jenis yang umum ditemukan di

habitat aslinya yang dikategorikan menjadi spesies kunci. Penanaman baru dimulai

pada tahun 2009 di Cikalong, Tasikmalaya oleh Balai Besar Pemuliaan Tanaman

HutanYogyakarta dan pembibitan juga dilakukan oleh instansi ini. Kedua jenis ini

populasinya saat ini hanya terbatas di Cagar Alam dan Taman Nasional. Spesies

kunci juga dapat dijadikan indikator kerusakan habitat atau ekosistem, seperti

contohnya ramin yang hanya tumbuh baik di daerah rawa gambut dan beberapa jenis

baik flora dan fauna kunci yang terdapat baik di dataran tinggi maupun dataran

rendah kawasan hutan tropika di Indonesia.

Selain jenis-jenis kayu komersial yang telah dikenal, berbagai jenis kayu yang

kurang dikenal (lesser-known species) bahkan masih ada kemungkinan belum

teridentifikasi dengan benar berdasarkan nomenklatur (nama botanis), juga terancam

kelangkaan dan kepunahan akibat penyusutan hutan. Laporan IUCN yang terbaru

menyatakan bahwa hampir sebagian besar jenis flora yang terancam punah atau

masuk dalam red list berada di Indonesia (Heriyanto dan Subiandono 2003). Namun

demikian data yang diperoleh dari laporan IUCN tersebut juga perlu dikaji ulang

karena data dan informasi yang diperoleh kemungkinan menggunakan teknik yang

berbeda sehingga kepastian status langka oleh IUCN belum tentu terbukti dengan

kondisi yang sebenarnya di alam. Hasil kajian Heriyanto dan Garsetiasih (2002)

menunjukkan bahwa jenis-jenis yang masuk dalam daftar IUCN ternyata berdasarkan

hasil analisa tidak menunjukkan kelangkaan, dan ada juga beberapa jenis lainnya

yang berbeda status kelangkaannya.

Jenis non-Dipterocarpaceae yang masuk dalam kategori langka dan terancam

punah di Pulau Jawa antara lain Planchonia valida, Phyllanthus indicus, Sterculia

oblongifolia, Bischoffia javanica, Symplocos fasciculate, Zyzygium antiseptum,

Alstonia scholaris, Parkia roxburghiidan Stelechocarpus burahol. Upaya konservasi

eks-situ untuk jenis Dipterocarpus haseltii telah dilakukan oleh peneliti dari Pusat

Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan melakukan penyemaian anakan hasil

cabutan alam dari Cagar Alam Leuweung Sancang di lokasi KHDTK Pasir Awi.

Page 20: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 5

Beberapa kajian jenis flora langka penghasil tengkawang berikut upaya

konservasi in-situ dan eks-situ telah dilakukan di beberapa wilayah di Kalimantan

Timur, Tengah dan Barat oleh beberapa peneliti dari Balai Besar Penelitian

Diperokarpa Samarinda. Salah satu contoh upaya konservasi in-situ jenis Shorea sp.

yang berhasil dibangun adalah seluas 18 ha di Muara Wahau dan Malinau. Demikian

pula dengan konservasi in-situ untuk Agathis borneensis di hutan alam Berau dan

Melak seluas 4,6 ha, sedangkan konsevasi eks-situ seluas 1 ha di hutan produksi

Samboja.

Tidak hanya flora, satwa juga mengalami hal yang sama. Ancaman utama pada

penurunan populasinya adalah akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, polusi,

pemanfaatan jenis secara berlebihan, introduksi jenis eksotik dan penyebaran

penyakit (Primack et al, 1998). Seperti contohnya keragaman burung yang sangat

tergantung pada tegakan hutan dan kualitas ekosistem. Dengan demikian, keanekara-

gaman burung langka (besar) bisa digunakan sebagai indikatorbagi sebaran dan

populasi satwa terestrial dan arboreal lainnya seperti macan tutul, harimau, tapir,

gajah dan mamalia lainnya yang saat ini terancam punah. Contoh lainnya yaitu

burung punai besar (Treron capellei) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat saat ini

mulai menurun populasinya di alam. Burung ini masuk dalam ketegori rentan

(Vurnerable) berdasarkan IUCN (2002). Sebaliknya, satwa yang di beberapa

wilayah dianggap mulai berkurang populasinya seperti rusa (Rusa timorensis)

ternyata memiliki potensi untuk dikembangbiakkan melalui penangkaran. Disamping

itu daging rusa merupakan sumber protein hewani yang mulai dilirik oleh pasar saat

ini. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah mulai melakukan uji

peningkatan laju reproduksi rusa dan kajian pasar konsumsi daging rusa sebagai

pengganti daging sapi.

Penelitian tentang populasi, dan habitat satwa akan selalu terkait dengan jenis

satwa itu sendiri dan tergantung pula dengan kondisi tapak dari lokasinya. Sejak

tahun 2003 hingga 2008, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah melakukan

kegiatan riset yang terkait dengan konservasi in-situ beberapa jenis burung (tipe

penetap dan invasive). Termasuk di dalamnya juga mengkaji aspek pemanfaatan-nya

secara komersial. Selain burung, penelitian mamalia khususnya konservasi in-situ

banyak dilakukan di kawasan hutan taman nasional, hutan lindung dan hutan

produksi. Termasuk didalamnya juga aspek ekonomi jenis-jenis trenggiling (Manis

javanicus) dan kancil (Tragulus javanica), serta monyet ekor panjang (Macaca

fascicularis) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena banyaknya

permintaan akan jenis monyet ini untuk dijadikan obyek penelitian kedokteran.

Meningkatnya permintaan dalam perdagangan dan ekspor satwa-liar dari

Indonesia ditandai dengan tingginya angka kuota ekspor atau penangkapan satwa

untuk diperdagangkan (masuk dalam CITES), seperti monyet ekor panjang sebanyak

4.000 ekor per tahun. Jenis lain yang diekspor ke luar negeri seperti ular sanca,

biawak, karnifora dan beberapa jenis burung. Sayangnya, semua jenis tersebut masih

Page 21: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 6

diperoleh dari alam (PHKA, 2007). Dari hasil perdagangan satwaliar ini, berhasil

meraup devisa sebanyak Rp. 2.285.152.708,- (Departemen Kehutanan, 2008).

Realitas ini menunjukkan bahwa satwaliar dijadikan andalan hasil hutan bukan kayu

(HHBK) yang menjanjikan karena jika dikelola dengan baik dan jenis satwanva

memiliki tingkat reproduksi yang tinggi sebagai sumberdaya hutan yang

terperbaharui maka hal ini dapat mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih

memperhati-kan keberadaan dan keberlangsungan hidup satwa-satwa multiguna

tersebut. Selama 5 tahun terakhir,diperoleh devisa dari ekspor satwa sebesar lebih

dari 40 kali lipat.

Selain jenis-jenis lokal dan endemik yang menjadi target penelitian, jenis flora

dan fauna eksotik yang bersifat invasif juga merupakan topik kegiatan penelitian

yang menarik mengingat keberadaan jenis-jenis tersebut pada awalnya

diperuntukkan bagi tujuan tertentu. Seperti contohnya, penanaman Acacia nilotica di

Taman Nasional Baluran pada awalnya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran

agar tidak mudah meluas atau menjadi tanaman sekat bakar namun pada akhirnya

jenis ini menjadi dominan dan menekan pertumbuhan jenis-jenis flora lokal serta

sulit untuk dikendalikan. Jenis invasif ini dipahami bisa berpengaruhnegatif maupun

positif bagi kesehatan manusia, lingkungan dan ekonomi di suatu negara, terutama

kesehatan dan produktifitas hutan. Jenis asing invasif sangat berpengaruh terhadap

keberlangsungan biodiversitas di Indonesia.

Definisi biodiversitas secara luas diterjemahkan kedalam beberapa tingkatan

penilaian berdasarkan wilayah kecil dan batasan negara yang ada di seluruh dunia.

Dalam skala dunia, sekitar 1,75 miliar spesies sudah terdeskripsi dan memperoleh

nama ilmiahnya dan masih banyak lagi yang belum ditemukan (Tabel 1).

Tabel 1. Perkiraan jumlah spesies yang dikenal dan perkiraan jumlah total di dunia

Kerajaan Spesies dikenal Perkiraaan jumlah

total

Bakteri 4 .000 1.000.000

Protoctists (alga, protozoa, dll) 80.000 600.000

Fauna 1.320.000 10.600.000

Fungi 70.000 1.500.000

Flora 270.000 300.000

JUMLAH TOTAL 1.744.000 ca.14.000.000

Sumber : CBD (www.cbd.int/gbo1/chap-01.html)

Status konservasi suatu jenis secara global yang dibuat selama ini adalah

berdasarkan kategori IUCN. Lembaga riset di Indonesia yang diprakarsai oleh LIPI

(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah membuat daftar flora langka yang

tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Mogea et al,2001). Namun demikian, masih

perlu diadakan kajian potensi terkini menyangkut status jenis-jenis flora dan fauna

Page 22: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 7

tersebut untuk mengetahui potensi dan status terakhir masing-masing jenis tersebut

di habitat alaminya.

Jika IUCN khusus membuat daftar semua jenis flora yang perlu mendapatkan

perhatian khusus disebabkan potensi di habitat alaminya, terutama di dataran tinggi

dan dataran rendah yang mulai menurun maka untuk jenis-jenis flora yang

diperdagangkan kayunya secara internasional, CITES telah membuat daftar jenis-

jenis yang perlu dilindungi berdasarkan tingkat kelangkaannya. Pada dasarnya,

CITES membuat daftar untuk flora dan fauna. Daftar ini sangat membantu dalam

upaya mencegah penebangan liar, perdagangan satwaliar dan pasar gelap.

CITES membagi kelompok/kategori berdasarkan status kelangka-an jenis di

alam yaitu Appendix I tentang jenis-jenis yang sudah terancam punah sehingga

peredaran antar negara dilarang, kecuali untuk tujuan tertentu dan tidak merusak

habitat alaminya. Appendix II memuat jenis yang belum terancam punah namun jika

perdagangan internasional tidak dikontrol maka terjadi risiko kepunahan. Sedang-

kan Appendix III memuat jenis-jenis yang perlu diawasi oleh suatu negara secara

internasional, meskipun negara tempat penyebaran jenis yang bersangkutan belum

memerlukan alat kontrol secara interna-sional. Seperti kasus ramin di Indonesia,

yaitu menurunnya potensi ramin di alam serta tingginya risiko kepunahan,

sedangkan ramin masih diperdagangkan secara internasional, maka perdagangan

yang tidak dikontrol dikuatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis ramin dalam

waktu singkat. Dengan demikian, ramin masuk dalam kategori Appendix III

(Sumarhani, 2007).

Selain ramin, masih banyak jenis flora pohon lainnya yang memerlukan

perhatian karena populasinya di alam mengalami penurunan drastis akibat

eksploitasi yang tidak mengindahkan keles-tarian serta akibat menurunnya kualitas

habitat atau ekosistem tempat jenis tersebut hidup. Seperti contohnya, ulin

(Eusideroxylon zwageri) dan eboni (Diospyrosspp.) keberadaannya di alam terancam

kepunahan akibat penurunan populasi di beberapa habitat aslinya di Kalimantan dan

Sulawesi. Demikian pula dengan beberapa jenis fauna yang habitatnya di Indonesia

mengalami penurunan hingga mencapai 49% (Mc.Neely et al. 1990). Beberapa

kawasan hutan yang masih berfungsi dengan baik, tidak hanya di kawasan

konservasi dan bahkan di kawasan hutan produksi yang tidak produktif, masih bisa

dimanfa-atkan oleh beberapa jenis satwaliar, terutama jenis fauna langka

terestrialdan jenis satwa arboreal yang dapat beradaptasi dengan baik (Bismark,

2006).

Dalam rangka mencegah kepunahan jenis-jenis flora dan fauna yang saat ini

sudah sangat sulit ditemukan di habitat alaminya, berbagai lembaga baik nasional

dan internasional serta badan-badan dunia di bidang yang terkait membuat inisiatif

untuk melakukan kajian tentang perlindungan dan pengawetan bagi flora dan fauna

yang mengalami tekanan di habitat aslinya akibat perkembangan kemajuan jaman.

Page 23: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 8

Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on Biological

Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian (Ramono,

2004) perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga

pemerintah daerah dan masyarakat setempat.Kegiatan konservasi ini pada dasarnya

bertujuan untuk mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem.

Permasalahan di atas tersebut dicoba dirumuskan untuk mencari solusi atau

jawabannya melalui pembagian berdasarkan takson yakni flora, fauna dan

mikroorganisme berdasarkan komponen berikut:

- Analisis biofisik dan potensi flora, fauna dan mikroorganisme;

- Biologi konservasi jenis flora, fauna dan mikroorganisme;

- Bioprospecting mikroorganisme;

- Konservasi eks- situ dan in- situ flora, fauna dan mikroorganisme.

C. Metode Sintesis

Pembuatan sintesis hasil penelitian dilakukan berdasarkan hasil riset yang

dilakukan oleh para pelaksana di masing-masing UPT yang kegiatan risetnya dimulai

pada tahun 2010 dan didanai oleh anggaran DIPA ditambah dengan penelitian lain

yang terkait. Sintesis diperlukan untuk melihat sejauh mana capaian akhir hasil riset

yang dilakukan. Jika ada gap atau kesenjangan dapat direncanakan tindakan yang

perlu dilakukan untuk memenuhi target pencapaian riset. Sintesis dibangun

berdasarkan hasil dari riset dikombinasikan dengan berbagai pengetahuan maupun

pengalaman yang diperoleh dari sumber lainnya dengan aspek yang sama.

Sintesis diperoleh melalui koleksi rangkuman hasil penelitian sesuai dengan

tema yang tertera dibawah RPI 12 konservasi flora, fauna dan mikroorganisme.

Masing-masing kegiatan berada pada sub-bab dibawah tema yang sudah ditentukan

dalam kerangka kerja logis (KKL) pedoman RPI dan disahkan oleh Badan Litbang

Kehutanan (Lampiran 1).

Indikator yang tertera pada KKL menjadi bahan verifikasi untuk menilai apakah

sasaran dan tujuan akhir bisa tercapai jika dibanding-kan dengan perkembangan riset

sesuai yang dilaporkan atau dirang-kum hingga tahun berjalan. Kata kunci dari

masing-masing indikator dapat ditemukan pada tujuan di setiap tema yang tertera

pada KKL. Scoring dan valuasi dilakukan secara subjektif mengingat tidak ada

perangkat yang digunankan untuk menilai secara kuantitatif. Penilaian lebih

berdasarkan pada capaian secara kualitatif.

Page 24: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 9

III. RISET PENELITIAN INTEGRATIF FLORA, FAUNA DAN

MIKROORGANISME

A. SINTESIS 2010 – 2014

1. FLORA

a. Informasi Biofisik Habitat, Dinamika Populasi dan Keragaman Genetik

Jenis-Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Ki beusi, Kempis,

Genetika Cendana, Eksplorasi Ulin, Ramin, dan Eboni)

a.1. Habitat Dan Populasi Ulin di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan.

Kegiatannya penelitian tahun 2010 dilakukan pada tiga lokasi di wilayah

Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulin (Eusideroxylon

zwageri Teijsm.&Binn.) tumbuh dengan baik pada tempat-tempat yang memiliki

kondisi iklim dengan tingkat kelem-baban udara yang relatif tinggi (69,17%-79,29%)

dan suhu berkisar antara 27,06ºC hingga 29,16ºC serta dengan pH tanah yang sangat

masam hingga agak masam. Unsur kimia tanah (terutama yang bersifat makro)

umumnya sangat rendah hingga rendah. Tekstur tanah bervariasi antara berpasir (di

Sungai Wein) hingga berliat (Muara Wahau). Topografi di daerah ini umumnya

bergelombang, hanya sebagian kecil yang merupakan daerah datar hingga landai,

mulai dari tepi sungai hingga punggung bukit. Hasil penelitian tahun 2010 tersebut

memberikan data bahwa dalam petak cuplikan seluas 1-1,84 ha tercatat sebanyak

172-234 jenis pohon yang berdiameter batang ≥10 cm, dengan nilai kerapatan 484-

503 pohon/ha dan luas bidang dasar 31,13-36,68 m²/ha. Populasi ulin sangat kecil

dan cenderung menjadi semakin langka karena eksploitasinya yang berlebihan.

Regenerasi alaminya tidak menunjukkan prospek yang menguntungkan bagi upaya

konservasi. Oleh karena itu upaya pengembangan dan konservasi eks-situ perlu

dilakukan.

Kegiatan pada tahun berikutnya yang dilakukan pada dua lokasi menunjukkan

bahwa tegakan ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) di areal HPH PT Aya

Yayang (Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan) dan Mungku Baru (Kota

Palangka Raya, Kalimantan Tengah) tumbuh baik pada tempat-tempat yang memiliki

kondisi iklim dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi. Suhu udara rata-rata

antara 26,40ºC dan 29ºC dengan kelembaban udara antara 68% dan 81% di

Tabalong. Sedangkan untuk di Mungku Baru, nilai kisarannya adalah antara 26,6 dan

29,7ºC untuk suhu udara dan antara 74 dan 82% untuk kelembaban udaranya.

Topografi pada kedua areal penelitian sangat berbeda. Di Tabalong, topografinya

bergelombang mulai dari lereng-lereng di tepi anak sungai hingga punggung bukit,

sedangkan yang di Mungku Baru umumnya datar hingga agak landai dengan

beberapa anak sungai yang mengalir di dalamnya. Pada petak pengamatan (jalur)

seluas 60m x 5m (= 0,03 ha) tercatat sebanyak 455 semai atau dengan nilai kerapatan

Page 25: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 10

15.167 semai/ha. Pada daerah ini, intensitas cahayanya berkisar antara 30,8 hingga

34,4 lux.

Perkembangan atau pertumbuhan ulin mengalami stagnan yang dicirikan oleh

menurunnya jumlah semai setelah mencapai tinggi 100 cm. Semai yang baru tumbuh

sangat jarang karena musim berbuah ulin dalam 2-3 tahun terakhir ini tidak teratur

atau bahkan tidak terjadi. Populasi dan habitat ulin saat ini mengalami penurunan

yang sangat drastis akibat dari gangguan (terutama penebangan) yang berlebihan

yang dilakukan oleh masyarakat, dan itu terjadi baik di hutan-hutan produksi, hutan

lindung maupun di hutan konservasi. Proses regenerasi ulin secara alami cenderung

mengarah ketidak normalan, berlangsung sangat lambat dan berisiko mengancam

kelestarian ulin di masa datang apabila penanganannya (melalui upaya

pengembangan dan konservasi in-situ) tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.

Kegiatan eksplorasi benih ulin pada tahun 2012 dilakukan di Balikpapan,

Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Berau.

Sebanyak 2.821 benih ulin dari 84 pohon induk telah dikumpulkan dan disemaikan

di persemaian Balitek KSDA Samboja. Bentuk benih ulin bervariasi diantaranya

obovoid, ellipsoid, oblong dan sylindrical dengan panjang 9,88 s/d 10.53 cm dan

diameter 4,94 s/d 5,16 cm. Total benih yang berkecambah pada akhir 2012 sebanyak

68,3%. Persentase perkecambahan tertinggi berasal dari Balikpapan sedangkan

terendah dari Penajam Paser Utara. Tinggi dari 20 semai ulin tertinggi berkisar

antara 57,5 - 74,2 cm. Rencana lokasi pembangunan plot penanaman ulin adalah

antarai Km 3,5 - Km 4 arah Semoi, KHDTK Samboja.

a.2. Informasi Jenis Eboni (Diospyrosspp.) dan Populasinya di Kawasan

Konservasi Cagar Alam Tongkoko, TN Bogani Nani Wartabone Dan TN

Aketajewa Lolobata.

Di Cagar Alam Tangkoko ditemukan jenis-jenis eboni pada ketinggian tempat<

500 m dpl. Teridentifikasi ada tujuh jenis eboni yaitu Diospyros malabarica Kostel.,

D. cauliflora Blume, D. minahasae Bakh, D. pilosanthera Blanco, D. ebenum A.

Koenig, D. korthalsiana Hiern. dan D. hebecarpa A.Cunn. Pada tingkat pohon, INP

tertinggi pada D. pilosantherayaitu 9,91% dan terendah pada D. cauliflora yaitu

0.75%. Permudaan alami yang cukup banyak terdapat pada jenis D. pilosanthera dan

D. cauliflora. Permudaan alami eboni jenis D. cauliflora pada tingkat semai

berjumlah banyak, dan pada tingkat pohon sangat kurang. Hal ini disebabkan eboni

termasuk jenis semi toleran, membutuhkan naungan pada tingkat semai dan ketika

tumbuh menjadi pohon dewasa membutuhkan penyinaran matahari yang cukup. Pada

ketinggian tempat > 500 m dpl. eboni yang ditemukan sebanyak lima jenis yaitu D.

maritima, D. ebenum, D. cauliflora , D. pilosanthera , dan D. minahasae . INP pohon

tertinggi pada D. minahasaeyaitu 9,47% dan terendah pada D. Maritima yaitu1,86%.

Permudaan alami yang cukup banyak terdapat pada jenis D. minahasae dan D.

pilosanthera. Secara kuantitas, distribusi jenis eboni pada ketinggian tempat < 500 m

Page 26: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 11

dpl. lebih melimpah bila dibandingkan dengan ketinggian tempat > 500 m dpl. Jenis

eboni yang populasinya terbatas dihabitat alami pada kawasan CA.Tangkoko yaitu

D. korthalsiana yang hanya ditemukan pada tingkat tiang dengan jumlah individu

yang sangat sedikit. Tercatat sebanyak 153 jenis yang terdiri dari 39 famili dalam

berbagai tingkat vegetasi yang hidup berasosiasi dengan eboni (Diospyros spp.).

Famili Euphorbiaceae merupakan famili yang paling dominan, yakni sebanyak 12

jenis, Lokasi penelitian di bawah 500 m dpl. memiliki indeks keanekaragaman

species (H’) = 3,369. INP tertinggi untuk vegetasi tingkat pohon yaitu Cananga

odorata Hook.f.et Th. sebesar 40,36%. Pada lokasi penelitian di atas 500 m dpl.,

INP tertinggi yaitu Homalium celebicum Koorder., sebesar 17,43% dengan indeks

keanekaragaman spesies (H’) sebesar = 3,386. Populasi eboni pada ketinggian tempat

di atas 500 m dpl. lebih besar daripada ketinggian tempat di bawah 500 m dpl.

Jumlah populasi pada tingkat semai tinggi, kemudian cenderung menurun pada

tingkat pancang dan tiang selanjutnya kembali naik pada tingkat pohon. Eboni dari

jenis D. cauliflora dan D. pilosanthera, relatif mempunyai permudaan alami yang

lebih tinggi dibanding dengan eboni jenis lainnya. Di CA. Tangkoko, tempat tumbuh

pohon eboni (D. pilosanthera) bervariasi mulai dari 60-450 m dpl. Konsentrasi

pertumbuhan berdasarkan altitude yang paling banyak (melimpah) pada ketinggian

tempat 301-400 m dpl, dengan kelerengan antara 100-30

0. Ketinggian tempat, suhu

rata-rata dan interaksi antara kedua faktor tersebutberpengaruh nyata terhadap

diameter pohon yang dijumpai. Faktor suhu berpengaruh nyata terhadap diameter

batang permudaan tingkat tiang, namun ketinggian tempat tumbuh tidak berpengaruh

nyata pada diameter batang. Permudaan tingkat pancang berpengaruh nyata menurut

ketinggian tempat tumbuh. Interaksi antara faktor ketinggian tempat tumbuh dan

suhu juga berpengaruh nyata terhadap diameter batang.

Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) diketemukan jenis-jenis

eboni pada ketinggian tempat < 500 m dpl. Teridentifikasi ada enam jenis eboni

yaitu D. cauliflora, D. minahasae, D. malabarica, D. pilosanthera, D. korthalsiana

dan D. buxifolia. INP tertinggi tingkat pohon adalah D. pilosanthera yaitu 3,22% dan

terendah adalah D. cauliflora yaitu 0,64%. Pada ketinggian tempat> 500 m dpl.

hanya dijumpai 2 jenis eboni yaitu: D. cauliflora dengan INP 0,64% dan D.

pilosanthera dengan INP 6,73%. Jenis eboni yang paling dominan di dua ketinggian

tempat tumbuh tersebut adalah D. pilosanthera.Jenis D. pilosanthera memiliki

permudaan tingkat semai dan jumlah pohon dewasa paling banyak dengan sebaran

lebih luas dan kerapatan yang tinggi. Eboni yang paling sedikit dijumpai adalah jenis

D. buxifolia, di mana hanya dijumpai pada tingkat semai dan pancang.

Berdasarkan hasil analisis vegetasi terdapat sedikitnya 137 jenis yang terdiri dari

28 famili dalam berbagai tingkatan vegetasi. Kelompok famili yang paling banyak

jumlah jenisnya adalah Euphorbiaceae yaitu 11 jenis, kemudian Clusiaceae dan

Myristicaceae, yang masing-masing mempunyai 7 jenis, sedangkan suku Ebenaceae

yang ditemukan sebanyak 6 jenis. Pada lokasi penelitian di bawah 500 m dpl. untuk

Page 27: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 12

tingkat pohon, nilai INP tertinggi adalah Drypetes neglecta 28,75% dengan nilai H

3,553, sedangkan pada ketinggian tempat > 500 m dpl. untuk tingkat pohon INP

tertinggi adalah Macaranga celebica yaitu 18,56% dengan nilai H 3,666. Di TN.

Bogani Nani Wartabone, faktor suhu danketinggian tempat tidak berpengaruh nyata

terhadap diameter pohon eboni (D. pilosanthera) pada tingkat pohon. Frekuensi

perjumpaan pohon yang tertinggi pada kuadran ke III (201-300 m dpl.) dengan

diameter pohon rata-rata 76,38 cm dan diameter berkisar antara 42 sampai 113 cm.

Faktor ketinggian tempat tumbuh, suhu dan interaksi keduanya berpengaruh nyata

terhadap diameter permudaan eboni tingkat pancang. Pengaruh suhu dan ketinggian

tempat tumbuh terhadap tinggi permudaan eboni (D. pilosanthera) tingkat pancang

tidak berbeda nyata, sedangkan interaksi keduanya berbeda nyata. Anakan eboni (D.

pilosanthera) selain menyebar dibawah pohon induknya, banyak juga ditemukan

tumbuh bergerembol jauh dari pohon induknya.

Di TN. Aketajawe Lolobata, tercatat ada 13 jenis eboni yaitu: D. buxifolia, D.

cauliflora, D. celebica, D. ebenum, D. hebecarpa, D. korthalsiana, D. lolin, D.

malabarica, D. maritima, D. minahasae, D.philippinensis, D. Pilosanthera dan D.

rumphii. Vegetasi tempat tumbuh eboni di lokasi penelitian lebih banyak didominasi

tingkat semai. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat pohon, INP tertinggi terdapat

pada jenis Canarium indicum sebesar 57,43%. Sedangkan pengamatan vegetasi pada

ketinggian tempat di atas 500 m dpl. hanya dijumpai beberapa jenis vegetasi pioner

seperti Imperata cylindrica, Spathologlotis plicata, Nephentes hirsutum dan

Nephentes spp., serta beberapa jenis dari suku Clusiaceae seperti Calophyllum spp.

dan Garcinia sp.

a.3. Eksplorasi Habitat dan Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh) di

Sulawesi Selatan.

Kegiatan eksplorasi dilakukan di hutan Bellabori, Kabupaten Gowa dan di hutan

Coppo, Lasitae, Kabupaten Barru. Dari data yang dikumpulkan, habitat eboni pada

kedua lokasiberada pada formasi hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian

tempat antara 60 sampai 175 m dpl. Kondisi hutan mengalami gangguan akibat

tebangan. Eboni juga tumbuh diatas kondisi tanah yang masam, cukup dalam,

berdrainase baik dengantekstur lempung berliat. Sifat kimia ditandai dengan

rendahnya tingkat ketersediaan unsur hara makro, nilai tukar kation rendah,

kejenuhan basa rendah yang ditandai denganrendahnya kandungan Ca dan Mg.

Penyebaran populasi eboni pada hutan yang terganggu lebih kecil dibandingkan

dengan hutan utuh. Perlu dilakukan penanaman pengayaan pada lokasi yang tingkat

regenerasi tumbuhnya rendah. Benih dapat diambil dari anakan alami yang tumbuh di

bawah tegakan induknya. Penanaman dapat dilakukan dengan jalur maupun dalam

petak-petak dengan konsentrasi penanaman di bawah tegakan yang jarang dengan

pohon yang terpencar. Penanaman pengayaan dapat dilakukan dengan melibatkan

masyarakat setempat.

Page 28: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 13

b. Teknik Pelestarian Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Taxus,

Dipterokarpa, Pinus, Gaharu, Symplocos, Sterculia, Kayu Papi, Ramin,

Kempas, Ulin, Flora Endemic Papua, Flora Kunci Dataran Rendah, IAS,

Identifikasi Flora Invasif Merauke).

b.1. Teknik Konservasi Gaharu (Gyrinops versteegii), Kadimbil/ Merbau (Intsia

bijuga) dan Injuwatu (Pleiogynium timoriense) di Nusa Tenggara Timur.

Daerah persebaran alami gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) di Nusa

Tenggara Timur meliputi Sumbawa dan Pulau Flores. Jenis ini di Sumbawa dapat

ditemui di Sumba Tengah, Sumba Barat, Ende, Nagekeo dan Amfoang Kabupaten

Kupang. Gyrinops versteegii paling banyak dijumpai di Pulau Flores, terdapat pada

ketinggian tempat 250–1.000 m dpl., dengan suhu rata-rata 26oC.

Pengumpulan data gaharu tahun 2012, dilaksanakan di Kabupaten Ende dan

Nagekeo, Flores.Di Kabupaten Ende, G. versteegii dapat dijumpai di dua desa yaitu

di Desa Mbobhenga dan Desa Detukeli. Kondisi habitat G. versteegii di Desa

Mbobhenga memiliki ketinggian tempat 662–700 m dpl. Berdasarkan informasi

masyarakat Desa Mbobhenga, pada tahun 1980-an G. Versteegiidi alam masih

banyak dijumpai. Tingginya tingkat eksploitasi menyebabkan populasinya

mengalami penurunan. Gyrinops versteegii di Desa Detukeli dijumpai pada

ketinggian tempat ±1.000 m dpl.dengan suhu ± 26oC. Pada lokasi ini pohon G.

versteegii yang dijumpai merupakan pohon hasil penanaman tahun 1997.

Koleksi materi genetik G.versteegii didapatkan dari beberapa populasi meliputi

Ende dan Nagekeo (Pulau Flores), Sumba Barat dan Sumba Tengah (Pulau Sumba)

serta Amfoang, Kabupaten Kupang (Pulau Timor). Koleksi materi genetik yang

diambil dari lokasi terdiri dari cabutan anakan alam, buah serta biji. Koleksi materi

genetik dalam bentuk buahdilakukan dengan mengunduh buah masak. Sedangkan

anakan alam diambil dengan cara mencongkelnya. Kondisi anakan yang diambil

mempunyai tinggi sekitar 7 cm. Pembangunan plot konservasi eks-situ G. versteegii

direncanakan di Wanariset Soe, Kabupaten Timor Timur Selatan/TTS (Pulau Timor).

Daerah persebaran kadimbil/merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O.K.) dan injuwatu

(Pleiogynium timoriense (DC.) Leenh.) saat ini diketahui hanya tumbuh secara alami

di Pulau Sumba, yaitu di Sumba Barat dan Sumba Timur. Kondisi habitat

kadimbil/merbau yaitu tumbuh pada ketinggian tempat 131-558 m dpl.; suhu udara

28,10C-29,30C; kelembaban udara61-63%. Kondisi habitat injuwatu, tumbuh pada

ketinggian tempat 22-157 m dpl.; suhu udara 27,60C-39,10C; dan kelembaban udara

67-86%.

Koleksi materi genetik kadimbil dan injuwatu didapatkan dalam bentuk cabutan

anakan. Koleksi materi genetik kadimbil diperoleh dari dua populasi, yaitu Lamboya

dan Lamboya Bawah. Koleksi materi genetik injuwatu diperoleh dari dua populasi

yaitu Pambotan Jara dan Tarimbang.

Page 29: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 14

Konservasi eks-situ kadimbil/merbau dibuat di KHDTK Banamla’at,

Kefamenanu, Kabupaten Timor Timur Utara/TTU(Pulau Timor). Penanaman jenis

kadimbil/merbau dilapangan menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar

populasinya. Kadimbil yang berasal dari populasi Lamboya Bawah memiliki rata-rata

pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan populasi

Lamboya. Meskipun terdapat perbedaan pertumbuhan dari ke dua populasi tersebut,

kadimbil/merbau dari kedua populasi, secara visual masih mampu tumbuh dengan

baik diluar habitat aslinya.

Konservasi eks-situ untuk jenis Injuwatu dilaksanakan di KHDTK Banamla’at

Kefa Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman awal (dua populasi yaitu populasi

Pambotan Jara dan Tarimbang) hingga akhir bulan Desember 2012 diketahui bahwa

secara visual tanaman dapat tumbuh dengan baik. Bila dilihat dari persen hidup,

tanaman dari dua populasi ini memiliki persen hidup 100%. Dengan demikian dapat

diprediksi bahwa injuwatu mampu tumbuh beradaptasi dengan baik diluar habitat

alaminya.

Kesimpulan :

1. Daerah persebaran gaharu di Nusa Tenggara Timur meliputi Pulau Sumbawa dan

Pulau Flores. Jenis ini di Sumbawa dapat ditemui di Sumba Tengah, Sumba Barat,

Ende, Nagekeo dan Amfoang Kabu-paten Kupang. Gaharu di Pulau Flores

tumbuh pada ketinggian tempat 250-1.000 m dpl., dengan suhu rata-rata 26oC.

Jenis ini di Kabupaten Ende dan Nageke (Flores), dapat dijumpai di desa

Mbobhenga dan desa Detukeli. Di Desa Mbobhenga, gaharutum-buh pada

ketinggian tempat 662-700 m dpl., dan di Desa Detukeli dijumpai pada

ketinggian tempat ± 1.000 m dpl. Sedangkan materi genetik gaharu Gyrinops

versteegii didapatkan dari Ende dan Nageke(PulauFlores), Sumba Barat dan

Sumba Tengah (Pulau Sumba) serta Amfoang Kabupaten Kupang (Pulau Timor).

Koleksi materi genetik yang diambil terdiri dari cabutan anakan alam, buah dan

biji.

2. Daerah persebaran kadimbil/merbau dan injuwatu di Sumba Barat dan Sumba

Timur, Pulau Sumba. Kadimbil/merbau tumbuh pada ketinggian tempat 131-558

m dpl.; suhu udara 28,1–29,3 0C; kelem-baban udara 61-63%. Injuwatu tumbuh

pada ketinggian tempat 22–157 m dpl.; suhu udara 27,6–39,10C; kelembaban

udara 67-86%. Koleksi materi genetik kadimbil/merbau dan injuwatu didapatkan

dalam bentuk anakan cabutan. Koleksi materi genetik kadimbil/merbau

diperolehn dari dua populasi, yaitu Lamboya dan Lamboya Bawah. Koleksi

materi genetik injuwatu diperoleh dari dua populasi yaitu Pambotan Jara dan

Tarimbang.Konservasi eks-situ kadimbil/merbau dibuat di KHDTK Banamla’at,

Kefamenanu, Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman jenis kadimbil/merbau

dilapangan menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar populasinya. Kadimbil

yang berasal dari populasi Lamboya Bawah memiliki rata-rata pertumbuhan

Page 30: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 15

tinggi dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan populasi

Lamboya.Konservasi eks-situ jenis injuwatu dilaksanakan di KHDTK Banamlaat

Kefa Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman awal dua populasi yaitu

populasi Pambotan Jara dan Tarimbang, secara visual tanaman dapat tumbuh

dengan baik. Tanaman dari dua populasi memiliki persen hidup 100%.

b.2. Identifikasi Berbagai Jenis Flora Endemik dan Areal Sumberdaya Genetik

di Papua.

Hasil penelitian menunjukkan secara ekologi terdapat empat tipe habitat di

kawasan hutan dataran rendah Kampung Isenebuay, yaitu:hutan dataran rendah,

hutan pantai, hutan mangrove dan hutan kerangas. Kondisi lokasi penelitian

merupakan hutan dataran rendah dengan datar, bergelombong ringan dengan

topografi berbukit-bukit. Kondisi komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan

yang berbeda di lokasi penelitian menunjukkan komposisi tegakan yang normal.

Jumlah jenis tumbuhan berkayu yang dijumpai di lokasi penelitian adalah 121

jenis dari 39 famili. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis untuk tingkat pertumbuhan

semai 3,768, pancang 3,758, tiang 3,352 dan pohon 3,363. Perbedaan komposisi pada

berbagai tingkat keaneka-ragaman jenis tumbuhan berkayu di lokasi penelitian dapat

terjadi akibat beberapa hal, yaitu perbedaan kondisi fisik, kondisi hutan, ukur-an

petak contoh selama penelitian, dan tingkat kelimpahan relatif masing-masing jenis

pada habitat tersebut.

Sedangkan pengukuran dan monitoring pada petak ukur biodiversitas dalam

Hutan Wisata Gunung Meja yang dilakukan pada tahun 2012 mencakup pengukuran

riap dari petak A-E sampai dengan petak JJ-NN, dilanjutkan dengan petak OO-

SS.Data untuk plot moni-toring ini masih berada dalam tahap penghitungan riap dan

analisis, sehingga yang bisa ditampilkan adalah informasi dari petak A, F, K, EE dan

JJ yang mencapai kenaikan riap diameter rata-rata 0,782-1,893 cm.

Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara fisik kondisi lokasi penelitian di Kampung Isenebuay Pulau Rumberpon

merupakan hutan dataran rendah dengan topografi landai, bergelombang ringan

hingga berbukit-bukit.Lokasi peneliti-an merupakan kawasan hutan bekas

tebangan oleh PT. Inhutani pada tahun 1970-an.

2. Terdapat empat (4) jenis tipe habitat pada kawasan hutan Kampung Isenebuay,

yaitu: hutan pantai, hutan mangrove, hutan kerangas dan hutan dataran rendah.

3. Jumlah jenis tumbuhan berkayu yang dijumpai dari lokasi penelitian hutan dataran

rendah Kampung Isenebuay adalah 121 jenis dari 39 famili.

4. Secara umum keanekaragaman jenis untuk tingkat pertumbuhan se-mai, pancang,

tiang dan pohon di Kampung Isenebuay adalah tinggidengan rata-rata indeks

Shanon-winners adalah diatas 3.

5. Kondisi komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan pada kawasan hutan

dataran rendah Kampung Isenebuay menunjukkan komposisi tegakan yang

Page 31: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 16

normal, dimana semai memiliki jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan

dengan pancang, tiang dan pohon.

6. Tumbuhan non kayu pada plot monitoring biodiversitas flora TWA Gn. Meja

terdiri dari 11 jenis palem dan rotan, 21 jenis anggrek, 50 jenis herba, 4 jenis

bambu, 36 jenis paku-pakuan, 40 jenis semak dan perdu, 9 jenis pandan, 41 jenis

liana dan 6 jenis benalu.

7. Pengamatan dan pengukuran dalam petak A, F, K, EE dan JJ dalam TWAGn.

Meja, Manokwari menunjukkan adanya perubahan kon-disi tegakan, akibat

adanya individu yang mati dan juga adanya perkembangan riap diameter yang

berkisar dari 0,782-1,893 cm.

Gambar 3. Bruguiera gymnorrhiza Lamk (A. Daun; B. Buah muda; C. Buah tua)

jenis yang paling dominan pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay

Gambar 4.Tumbuhan non kayu pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay (A.

Grammatophyllum speciosum; B. Pigafetta filaris; C. Nypa fruticans).

Gambar 5.Tumbuhan berkayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.

Dodonea viscosa; B. Thespesia populnea; C. Cordia subcordata).

A

A

B C

C B A

A

A

A

B C

Page 32: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 17

Gambar 6.Tumbuhan non kayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.

Ipomoea pres-caprae; B. Widelia biflora; C. Scaevola taccada).

Gambar 7. Beberapa jenis vegetasi pada hutan kerangas di Kampung Isenebuay (A.

Gleychenia linearis; B. Flindersia pimentelliana; C. Comersonia bartramia).

Gambar 8. Mapania heyneana adalah salah satu jenis herba yang terdapat pada plot

monitoring biodiversitas flora TWA Gunung Meja. Jenis ini secara taksonomi sangat

mirip dengan jenis pandan.

b.3. Kajian Ekologi Jenis Dipterokarpa Langka dan Terancam Punah

Lokasi kajian dilakukan di kawasan hutan KHDTK Labanan, Kab. Berau,

Kalimantan Timur. Dari 31 jenis pohonfamili Dipterocarpa-ceae, terdapat9 jenis

pohon yang masuk dalam kategori kritis, yakni: Shorea hopeifolia, Shorea superba,

Dipterocarpus tempehes, Shorea johorensis, Shorea seminis, Hopea mengerawan,

Shorea mujongensis, Parashorea malaanonan, Shorea smithiana, Dipterocarpus

elongates, Shorea almon dan Shorea longisperma.

b.4. Teknik Konservasi Eks-situ eboni (Diospyros spp.) di Prop. Sulawesi Utara.

Pengumpulan materi genetik eboni (Diospyros spp.) berupa biji dan anakan

cabutan alam dilakukan di Pulau Talise, Kabupaten Mina-hasa Utara, Cagar Alam

Tangkoko, Kota Bitung, Sulut, TN Bogani Nani Wartabone di Kabupaten Bolaang

A

A

B

A

A

B C

A

A

B C

Page 33: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 18

Mongondow (Sulut) dan Kab. Bone Bolango (Gorontalo) serta Kabupaten Pohuwato

(Gorontalo).

Pembangunan tegakan eboni (Diospyros spp.) telah dilaksanakan di Hutan

Penelitian Taman Wisata Alam Batuangus yang berlokasi di Kelurahan Kasawari,

Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara seluas 4 ha. Jumlah

total bibit anakan yang ditanam sebanyak 4.356 bibit, terdiri dari : D. pilosanthera

sebanyak 1.518 bibit, D. rumphii sebanyak 1.320 bibit dan D. minahasae sebanyak

1.518 bibit. Jumlah bibit yang diteliti sebanyak 3.600 bibit, terdiri dari 1.200 bibit

per jenis untuk ketiga jenis eboni (Diospyros spp.). Pembangunan tegakan konservasi

eksitu Diospyros spp., juga dilakukan di Arboretum BPK Manado seluas 1,2 ha yang

terdiri dari 10 (sepuluh) jenis yaitu ; D. pilosanthera, D. cauliflora, D. minahasae, D.

ebenum, D. korthalsiana, D. celebica, D. rumphii, D. malabarica, D. hebecarpa dan

D. lolindengan masing-masing jenis yang ditanam sebanyak 50 bibit (= 500 bibit).

Total luas kebun konservasi eksitu yang dibangun pada tahun 2012 seluas 5,2 ha

dengan jumlah tanaman seluruhnya sebanyak 4.856 bibit anakan.

Respon perlakuan terhadap pertumbuhan bibit anakan yang ditanam,

menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persen tumbuh dan

pertumbuhan diameter batang eboni. Interaksi antara ukuran lubang dengan

pemupukan juga tidak berpengaruh nyata. Pem-berian pupuk organik tidak

berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman eboni. Interaksi antara

ukuran lubang tanam dengan pemupukan juga belum memberikan respon yang nyata.

Hal ini diduga karena pengukuran dan pengambilan data yang dilakukan terlalu dini

karena umur tanam dilapangan baru 45 hari. Pertumbuhan tinggi (3)jenis eboni (D.

minahasae, D. pilosantheradan D. rumphii) yang ditanam pada areal terbuka di

HPTWA Batuangus pada umur tanam 45 hari, menunjukkan pengaruh yang cukup

baik pada perlakuan pemu-pukan pupuk kandang ayam dan pupuk kandang sapi

dibandingkan dengan yang tidak diberikan perlakuan pemupukan. Faktor lain yang

diduga ikut mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan atau persentase tumbuh ketiga

jenis tersebut adalah teknik penanaman. Penanaman dilakukan pada awal musim

penghujan, dengan teknik tanam lebih dalam dari pangkal batang. Teknik penanaman

demikian dilakukan agar tanaman tetap kokoh dari terjangan angin, dan ujung akar

dapat menjangkau bagian tanah dalam yang lembab.

b.5. Jenis-jenis Tumbuhan Asing Invasif di TN Wasur.

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal

sebagai berikut:

Jumlah jenis tumbuhan invasif yang dijumpai dalam rawa-rawa TN Wasur

mencapai 50 jenis, terdiri dari berbagai famili dan habitus. Habitus yang dijumpai

mulai dari rumput, teki, herba, semak, liana, paku-pakuan, tumbuhan air, sampai

dengan pohon. Anggota famili terbanyak berasal Famili rumput-rumputan (Poaceae),

diikuti famili teki-tekian (Cyperaceae) dan polong-polongan (Fabaceae). Jenis yang

Page 34: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 19

berupa semak-semak merupakan yang terbanyak, diikuti jenis-jenis yang habitusnya

berupa rumput, liana dan teki-tekian.

Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Biru mencapai 25 jenis, terbanyak

dari famili Cyperaceae dan disusul famili Poaceae. Habitus jenis terbanyak berupa

teki-tekian, liana dan rumput. Jenis-jenis dominan adalah Thoracostachium

sumatranum, Carex sp. dan Ischaemum timorense.

Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Donggamit 7 jenis, terbanyak

darifamili Cyperaceae, diikuti dari famili Poaceae. Habitus jenis-jenis yang dijumpai

umumnya rumput dan semak. Jenis-jenis yang dominan adalah Eleocharis indica,

Eragrostis tenuifolia dan Ischaemum timorense.

Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Ukra mencapai 29 jenis, terbanyak

darifamili polong-polongan (Fabaceae), disusul famili Poaceae dan famili

Cyperaceae. Habitus jenisterbanyak berupa semak, diikuti jenis-jenis rumput dan

liana. Jenis-jenis yang dominan adalah Stachytarpeta jamaicensis dan Imperata

cylindricadi daerah pinggiran rawa, serta Ludwigia octovalvis di badan air rawa

Ukra.

Jenis-jenis invasif utama rawa yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah

Carex sp., Hanguana malayana, Thoracostachium sumatranum, Elaeocharis indica,

Ludwigia oktovalvisdan Stachytarpeta jamaicensis. Jenis lainnya yang perlu

diwaspadai adalah Mimosa pigra yang dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan

lahan-lahan basah dan sabana dalam kawasan.

Proses invasi jenis-jenis tersebut diperkirakan merupakan perpa-duan beberapa

karakter seperti akibat tiadanya musuh alami, toleransi jenis invasif yang luas dan

kemampuan jenis tersebut untuk meman-faatkan sumberdaya, selain didukung

dengan kondisi lahan basah dalam kawasan yang secara alami menjadi penampung

segala material yang masuk di dalamnya.

TN. Wasur mencakup beberapa daerah lahan basah yang penting untuk sistem

pengaturan tata air kawasan dan habitat satwa seperti burung air dan kangguru.

Rawa-rawa tersebut antara lain adalah Rawa Biru, Rawa Donggamit dan Rawa Ukra.

Dari pengamatan di lapangan, rawa-rawa tersebut sudah mengalami proses invasi

dari beragam jenis tumbuhan. Secara keseluruhan, jenis-jenisyang dijumpai di dalam

ketiga daerah rawa ini mencapai 50 jenis dari berbagai famili dan habitus.

Famili rumput-rumputan (Poaceae) memiliki anggota jenis terbanyak yaitu 8

jenis invasif diikuti 7 jenis dari famili teki-tekian (Cyperaceae) dan 6 jenis dari famili

polong-polongan (Fabaceae). Sedangkan dari segi habitus, jenisyang berupa semak-

semak merupakan yang terbanyak menginvasi daerah ini diikuti jenis-jenis yang

habitusnya berupa rumput, liana dan teki-tekian.

Berdasarkan daftar-daftar jenis dari ketiga rawa tersebut di atas, sedikitnya

terdapat 6 (enam) jenis yang perlu mendapat perhatian .

Page 35: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 20

a) Carex spp.

Jenis-jenis Carex spp. sering dikenal secara lokal dengan nama rumput pisau,

termasuk dalam famili teki-tekian (Cyperaceae). Anggota famili ini sekilas nampak

seperti rumput biasa, namun dapat dibedakan dengan rumput umumnya (famili

Poaceae) dari bagian batangnya yang solid, menyudut dan membentuk segitiga.

Carex spp. umumnya menyebar dengan baik di daerah yang terpapar matahari

sampai dengan sangat sedikit naungan, di daerah padang rumput yang tidak terlalu

basah, tepi-tepi jalan dan di daerah Jawa lazim dijumpai di hutan tanaman jati

(Soerjani dkk, 1986; Weber, 2005). Jenis ini dapat tumbuh sampai pada daerah

dengan ketinggian tempat ± 900 mdpl. (di beberapa lokasi sampai dengan ± 1.200

mdpl.). Seperti jenis teki-tekian dan rumput lainnya, Carex spp. sangat mudah untuk

menyebar di suatu lokasi dengan bantuan rhizom dan bijinya.

b) Hanguana malayana (Jacq.) Merr.

Jenis ini dikenal masyarakat setempat dengan nama tebu rawa, meskipun jenis

H. malayana sebenarnya tidak tergolong dalam kelompok tebu-tebuan (atau bagian

dari famili rumput-rumputan, Poaceae), melainkan termasuk dalam famili

Hanguanaceae. Jenis ini diketahui merupakan tanaman hias yang berasal dari

Semenanjung Malaya. Jenis ini tumbuh dan menyebar dengan mudah pada daerah

yang tergenang air. Kemampuannya untuk membentuk rumpun yang tebal dan rapat

seringkali menghambat jenis-jenis lain menempati daerah yang ditumbuhinya.

c) Thoracostachium sumatranum L.

Anggota teki-tekian ini dijumpai bersama-sama dengan rumput Carex sp.

menginvasi daerah Rawa Biru. Di beberapa lokasi juga membentuk asosiasi dengan

jenis-jenis lainnya.

d) Eleocharis indica (Lour) Druce.

Salah satu jenis rumput ini diketahui tahan terhadap kedua kondisi musim yang

berbeda di kawasan. Jenis ini terutama tumbuh dominan pada badan air Rawa

Donggamit saat musim kemarau dan mampu ber-tahan dalam penggenangan yang

cukup tinggi saat musim penghujan. Pada musim kering jenis ini ikut membantu

perkembangan jenis-jenislainnya yang menyebar di sekitar perakarannya, pada

permukaan tanah rawa yang mengering.

Eleocharis indica dapat tumbuh dan menyebar dengan baik pada daerah terbuka,

di tempat-tempat yang basah dan tergenang, pada daerah ber-air tawar dan berair

payau, rawa-rawa, seringkali membentuk ham-paran sejenis, sampai dengan daerah

berketinggian 1.350 mdpl, (Soerjani et al, 1986; Weber, 2003). Jenis ini dijumpai

menginvasi rawa Ukra yang secara fisik dapat berhubungan dengan daerah muara

dan laut pada saat kondisi genangan tinggi. Invasi jenis ini dikhawa-tirkan oleh

pengelola kawasan dapat menjadi ancaman terhadap habitat burung-burung migran.

Page 36: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 21

e) Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven.

Herba berbunga kuning ini tumbuh sangat rapat dan sering dijum-pai bersama-

sama dengan jenis rerumputan lainnya menginvasi daerah rawa-rawa dalam

kawasan. Invasi jenis ini seringkali menyebabkan pendangkalan dan mengurangi

permukaan air yang terbuka.

Ludwigia octovalvis umumnya tumbuh di daerah-daerah yang selalu basah

dengan musim kemarau yang jelas, juga dijumpai di padang-padang rumput dan

daerah-daerah lembab, membentuk rumpun-rumpun tebal di sepanjang aliran-aliran

air, di Pulau Jawa dapat dijumpai sampai pada daerah berketinggian 1.450 mdpl.

f) Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl.

Jenis ini diketahui merupakan jenis asing yang sangat mudahmenempati daerah-

daerah terbuka dan terganggu. Tumbuhan yang dikenal secara lokal sebagai rumput

ekor tikus atau jarong ini dapat tumbuh dan menyebar dengan cepat di daerah

terbuka sampai dengan sedikit ternaungi, dengan kondisi daerah yang tidak terlalu

kering, seringkali dijumpai di tepi-tepi jalan, hutan sekunder, tepi-tepi kali kecil, dan

umumnya tumbuh dalam jumlah yang banyak (Soerjani et al, 1986; Weber, 2003).

Di dalam kawasan TN. Wasur, jenis ini terutama dijumpai di daerah padang-

padang sabana dan di sekitar rawa-rawa seperti rawa Ukra. Jenis ini cukup sulit

diawasi penyebarannya karena biji yang dihasilkannya mampu bertahan terhadap

kebakaran, dan sangat mudah tumbuh kembali setelah tergenang air pada musim

penghujan.

Selain keenam jenis yang dijelaskan di atas, meskipun tidak dilakukan

pengukuran, di dalam kawasan juga sudah tampak adanya jenis Mimosa pigra L.,

yang secara lokal dikenal jenis putri malu raksasa. Jenis ini telah dikategorikan

sebagai salah satu dari 100 jenis invasif paling berbahaya di seluruh dunia (Lowe et

al, 2000; Weber, 2003; Westcott & Dennis, 2003, Zimdahl, 2007). Jenis yang sangat

berguna sebagai tanaman pakan ternak ini perlu diwaspadai penyebarannya dalam

kawasan, karena berdasarkan bukti di banyak negara, pembasmian dan

penanggulangannya merupakan masalah yang cukup berat dan kompleks.

Penyebab dan Dampak Invasi Tumbuhan Asing

Suatu jenis dapat menginvasi suatu ekosistem karena berbagai sebab. Beberapa

kasus dan sumber pustaka menyatakan sedikitnya ada 3 (tiga) dugaan atau hipotesis

penyebab terjadinya invasi tumbuhan pada suatu daerah. Ketiga hipotesis tersebut

meliputi:

1. Hipotesis ketiadaan musuh alami (the enemy release hypothesis)

Suatu jenis tumbuhan dapat berkembang menjadi tumbuhan invasif di suatu

ekosistem disebabkan karena tidak adanya musuh alami. Musuh alami ini dapat

berupa pemangsa alami dan patogen atau penyakit yang bisa menghambat

Page 37: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 22

pertumbuhan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut di ekosistem yang

bersangkutan (Fine, 2002; Zedler dan Kercher, 2004). Berdasarkan hipotesis ini,

jenis-jenis yang merupakan jenis eksotik atau jenis asing adalah yang berpeluang

paling besar untuk menjadi invasif terhadap suatu ekosistem alami.

Di rawa-rawa TN Wasur, jenis-jenis seperti Hanguana malayana, Stachytarpeta

jamaicensis dan Thoracostacium sumatranum termasuk jenis-jenis invasif yang

penyebarannya sesuai dengan hipotesis ini.

2. Hipotesis toleransi yang luas (the broader tolerance hypothesis)

Hipotesis ini memperkirakan bahwa pada dasarnya jenis tumbuhan invasif

secara alami memiliki toleransi yang luas terhadap batas-batas kondisi lingkungan

yang lebih luas dan beragam (Zedler dan Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Tumbuhan

invasif diduga lebih mampu mentoleransi kondisi-kondisi lingkungan yang lebih

ekstrim jika dibanding dengan jenis-jenis non invasif.

Contoh-contoh yang sesuai dengan hipotesis ini, yang dijumpai dari lokasi

pengamatan adalah jenis Stachytarpeta jamaicensis dan Eleocharis indica. Kedua

jenis ini memiliki adaptasi yang besar terhadap kondisi musim cukup ekstrim yang

ada di kawasan. Pada saat musim kering mampu bertahan melewati kemungkinan

kebakaran dan kekeringan, sementara di musim hujan mampu tumbuh dengan baik

pula pada kondisi tergenang.

3. Hipotesis efisiensi pemanfaatan sumberdaya (the efficient use hypothesis)

Hipotesis ini menyatakan bahwa jenis-jenis tumbuhan invasif umumnya

merupakan jenis-jenis yang mampu memanfaatkan sumberdaya di habitatnya secara

lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis non invasif (Westcott dan Dennis,

2003; Zedler dan Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Sumberdaya yang dimaksud dapat

meliputi cahaya, zat hara dan air. Tumbuhan invasif bisa saja berasal dari jenis yang

memiliki musim tumbuh yang lebih panjang, tingkat fotosintesis yang lebih tinggi,

ciri morfologis yang lebih efektif dalam pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain.

Bervariasinya bentuk habitus jenis-jenis invasif yang dijumpai di rawa-rawa TN.

Wasur dapat disesuasikan dengan hipotesis ini. Adanya habitus yang beragam, mulai

dari tumbuhan bawah berupa semak dan liana yang menutupi permukaan tanah,

rerumputan dan teki-tekian hingga pada pepohonan memungkinkan seluruh strata

dalam ekosistem alami secara vertikal dapat diduduki oleh tumbuh-an

invasif.Kondisi ini selanjutnya mengarahkan pemanfaatan setiap sumberdaya untuk

proses fotosintesis secara efisien, sekaligus mengancam keberadaan jenis-jenis asli

lainnya.

Beberapa hal dapat pula menjadi penyebab rawa-rawa dalam TN Wasur, seperti

juga lahan basah lainnya lebih rentan terhadap invasi jenis tumbuhan asing adalah:

1. Kondisi rawa yang menjadi semacam “tempat pembuangan akhir”. Sumber air

bagi rawa umumnya membawa segala bahan dan benda yang pada akhirnya akan

Page 38: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 23

mengendap di rawa (Zedler dan Kercher, 2004). Sumber-sumber bibit tumbuhan

atau propagul tumbuhan yang mudah menyebar pada lahan basah akan ikut

terbawa aliran air pada saat musim hujan, ikut menggenang di rawa, mengendap

pada saat kering dan selanjutnya dapat tumbuh dan menginvasi rawa tersebut.

2. Bahan-bahan yang dibawa pada saat penggenangan dapat pula berupa sedimen

yang pada akhirnya mendangkalkan bahkan mengeringkan rawa. Daratan yang

baru terbentuk ini dapat dengan mudah mendukung pertumbuhan propagul-

propagul tumbuhan yang ikut terbawa pada saat penggenangan sebelumnya.

Proses invasi tumbuhan pada lahan basah membawa pengaruh baik secara

langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi suatu ekosistem. Kondisi ini dapat

terjadi pula pada rawa-rawa dalam TN. Wasur. Secara langsung, proses invasi

tumbuhan akan mengubah struktur dan komposisi tumbuhan dalam ekosistem.

Perubahan ini terutama terjadi pada karakter arsitektur secara vertikal, perubahan

pada kandungan zat hara tanah, dan mungkin saja mempengaruhi sumber bahan yang

mempermudah kebakaran lahan. Secara tidak lang-sung,adanya perubahan struktur

dan komposisi ekosistem akibat invasi tumbuhan menyebabkan perubahan pada

mikroorganisme tanah, yang selanjutnya akan mempengaruhi organisme pada tingkat

di atasnya.

Akibat langsung dari menyebarnya tumbuhan invasif dalam suatu kawasan

adalah menurunkan keanekaragaman hayati terutama jenis-jenis tumbuhan dalam

kawasan tersebut. Jenis invasif cenderung men-jadi dominan karena berhasil

menempati ruang yang jauh lebih luas daripada jenis-jenis yang sebelumnya

mendiami habitat tersebut.Pro-ses pengendalian dan pengelolaan penyebaran jenis-

jenisdi masing-masing rawa, yang dapat diawali dengan penentuan prioritas jenis dan

tindakan ujicoba pengendalian.Pertimbangan untuk pelibatan masya-rakat sekitar

dalam pengendalian penyebaran jenis-jenis tumbuhan prioritas, misalnya dengan

pemantauan rutin, pembasmian secara fisik dan rutin.

b.6. Teknik Eradikasi Spesies Invasif Flora Acacia nilotica di TN. Baluran dan

Merremia peltata di TN. Bukit Barisan Selatan, Lampung serta Teknik

Restorasi Savana Baluran, Jawa Timur.

Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik yang tepat untuk

mengeradikasi jenis tumbuhan invasif di dua Taman Nasional yakni Acacia nilotica

di TN. Baluran dan Merremia peltata (mantangan) di TN. Bukit Barisan Selatan.

Perlakukan aplikasi herbisida dilakukan terhadap kedua tanaman tersebut serta teknik

restorasinya dengan hasil sebagai berikut:

1. Herbisida Garlon pada konsentrasi 2, 10 dan 15 ml/l solar dapat mematikan 100%

tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada permukaan batang dengan

ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. Herbisida Garlon pada konsentrasi 500,

250, 125, 67,5, dan 10 ml/l solar dapat mematikan 100% tanaman A. nilotica

dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman yang baru dipotong. Herbisida

Page 39: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 24

Starane pada konsentrasi 500, 250, 125, dan 67,5 ml/l solar dapat mematikan

100% tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman yang

baru dipotong.

2. Penyemprotan herbisida Lindomin dapat mematikan 100% daun dan batang

bagian atas permukaan tanah jenis Merremia peltata. Penggunaan herbisida

Garlon dengan konsentrasi 10 ml per satu liter solar dengan cara pembababatan

dan oles sulur , tiap sulur diolesi 25 ml campuran Garlon dan solar dapat

mematikan tumbuhan Merremia peltata.

3. Untuk menghindari tumbuhnya jenis invasif lain seperti Chromolaena odorata

dan Lantana camara, setelah pembabatan dan pengolesan herbisida harus segera

dilakukan penanaman oleh jenis cepat tumbuh yaitu binuang (Octomeles

sumatrana).

4. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang nyata produktivitas rumput

lamuran (Dichantium caricosum) pada areal terbuka dan di bawah naungan pohon

akasia (A. nilotica) yang sudah mati karena olesan Garlon. Pada areal terbuka

produk-tivitasnya lebih tinggi dibanding di bawah naungan. Sedangkan untuk

pemupukan, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antar

tingkat perlakuan pemupukan NPK terhadap produktivitas rumput. Tetapi secara

kuantitatif perlakuan pemupukan sebanyak 4 g memberikan nilai produktivitas

paling baik disbanding perlakuan lainnya.

5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh antar perlakuan

pemberian hidrogel, NPK dan FMA terhadap produk-tivitas rumput. Perlakuan

pemberian hidrogel sebanyak 500 ml dan FMA tanpa NPK memberikan nilai

produktivitas rata-rata saat musim basah sebesar 1,347 gr/rumpun/hari.

Produktivitas tersebut sedikit lebih kecil dibanding produksi yang didapat pada

perlakuan dengan pemberian pupuk NPK sebanyak 4 gr yaitu sebesar 1,380

gr/rumpun/hari.

6. Pemupukan urea sebanyak 3 gr per rumpun pada saat penanaman pada areal

terbuka yaitu areal yang sudah dilakukan tebang oles tunggul perlu dilakukan

untuk meningkatkan produktivitas rumput.

Berdasarkan hasil yang diperoleh, ada beberapa hal yang dapat

direkomendasikan untuk aplikasi di lapangan, yaitu:

1. Dosis 10 ml Garlon per satu liter solar dapat diaplikasikan dalam pengendalian A

nilotica di lapang dengan cara pengolesan pada permukaan batang dengan

ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. Selain itu Garlon pada konsentrasi 10

ml/l solar dapat diaplikasikan dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman

dengan ketinggian 25 cm dari permukaan tanah.

2. Dosis 10 ml Garlon per satu liter solar dapat diaplikasikan dalam pengendalian

Merremia peltata dengan cara babad dan oles sulur, masing-masing sulur diolesi

25 ml.

Page 40: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 25

3. Areal yang sudah dilakukan pengendalian dengan cara tebang oles batang atau

tunggul di TN Baluran atau babad oles sulur Merremia peltata di TN Bukit

Barisan Selatan harus segera dilakukan restorasi yaitu di savanna Baluran dengan

rumput lamuran (Dichantium caricosum), sedangkan di TN Bukit Barisan Selatan

dengan tanaman penghambat binuang (Octomeles sumatrana) . Kegiatan

penelitian disajikan pada gambar berikut:

Gambar 9. Acacia nilotica yang mendapat perlakuan pengolesan pada permukaan

batang dan pengolesan pada batang yang ditebang.

Gambar 10. Merremia peltata sebelum perlakuan dan yang baru mendapat perlakuan

Gambar 11. Restorasi savanna baluran dan TN Bukit Barisan Selatan

Page 41: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 26

c. Teknik Reproduksi Jenis-Jenis Flora Langka dan Terancam Punah

dan/atau Bernilai Ekonomi (Konservasi Ek-Situ Ulin, Cendana, Eboni dan

Ramin)

c.1. Teknologi Konservasi Eks-Situ Beberapa Jenis Flora Langka dan

Terancam Punah (Eboni dan Ulin).

Plot konservasi genetik jenis ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) di

KHDTK Sumberwringin, Bondowoso Jawa Timur dibangun pada tahun 2004

sebanyak 400 tanaman, tahun 2006 sebanyak 300 tanaman dan tahun 2008 sebanyak

196 tanaman, total areal seluas 3 ha. Dengan materi genetik berasal dari 11 populasi

yaitu Kalimantan Barat (populasi Nanga Tayap, Sanggau), Kalimantan Tengah

(populasi Sumber Barito dan Seruyan Hulu) Kalimantan Timur (populasi Sepaku,

Labanan, Samboja, Kutai Kertanegara), Jambi (Batanghari dan Durian Luncuk) dan

populasi Belitung. Kegiatan pemeliharaan tanaman hingga tahun 2014 berupa

pembersihan semak sekitar tanaman, pendangiran, pembuatan piringan, pemupukan

tanaman dan evaluasi pertumbuhan.

Karakterisasi morfologi merupakan informasi tahap awal untuk membedakan

variasi ulin berdasarkan sifat morfologi daun. Informasi ini perlu diklarifikasi lebih

lanjut dengan menggunakan uji DNA untuk mengetahui kepastian taksonomi di

dalam jenis ulin. Karakter morfolo-gi daun ulin dari beberapa provenan

menunjukkan adanya perbedaan pada ukuran panjang dan lebar daun, akan tetapi

rasio antara panjang dan lebar, cenderung menunjukkan kemiripan. Nilai rata- rata

beberapa variabel daun disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Nilai rata rata karakter daun Eusideroxylon zwageri di KHDTK Bondowoso

berdasarkan analisis klaster.

Variabel Klaster

1 2 3 4

Panjang daun (cm) 24,59 25,76 29,2 18,4

Lebar daun (cm) 10,17 8,98 13,2 7,19

Rasio (cm) 2,42 2,87 2,21 2,57

Pengukuran sifat pertumbuhan dilakukan terhadap semua individu tanaman

tahun tanam 2004, 2006 dan 2008. Persentase hidup tanaman tahun tanam 2004 pada

umur 8 tahun yang tertinggi adalah dari provenan Seruyan Hulu, diikuti oleh

provenan Nanga Tayap, Sepaku dan Sumber Barito. Demikian juga untuk rata-rata

tinggi dan diameter tanaman.

Plot konservasi ulin tahun tanam 2006 menunjukkan persentase hidup yang

cukup moderat untuk semua provenansi. Tanaman pada plot ini berasal dari

Sanggau-Kalbar, Belitung-Babel, Durian Luncuk- Jambi dan Samboja-Kaltim.

Namun demikian tidak ada informasi dan peta tanaman yang jelas menyebabkan

Page 42: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 27

evaluasi tanaman tidak bisa dilakukan berdasarkan provenan, sehingga evaluasi

tanaman didasar-kan pada perbedaan jenis pohon penaung yaitu Eucalyptus pellita

(Blok 1), Pinus sp. (Blok 2), dan semak belukar (Blok 3). Intensitas cahaya yang

tinggi pada tanaman di bawah semak belukar menyebabkan pertumbuhan tinggi dan

diameter tanaman lebih cepat diban-dingkan dengan tanaman di bawah vegetasi

dengan tajuk yang lebih rapat.

Hasil evaluasi terhadap tanaman ulin tahun tanam 2008 menun-jukkan bahwa

provenan Samboja menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan

dengan populasi lainnya. Sedangkan Provenan Labanan mempunyai tinggi pohon

yang paling cepat, namun mempunyai pertumbuhan diameter pangkal yang paling

lambat diban-dingkan dengan populasi lainnya. Persentase hidup tanaman masih

cukup tinggi (85%), bila dibandingkan dengan tanaman tahun tanam 2006 (79%),

dan tahun tanam 2004 (60%). Persentase hidup tanaman ulin di Bondowoso

mengalami penurunan seiring dengan pertambahan umur tanaman karena adanya

tanaman penaung yang rapat pada lokasi penanaman.Dengan demikian perlu

dipertimbangkan untuk mengura-ngi naungan sehingga intensitas cahaya yang masuk

ke lantai hutan bisa lebih optimal untuk pertumbuhan tanaman ulin. Hasil evaluasi

pertumbuhan sampai dengan tahun 2013 sebagaimana disajikan pada Tabel 3 sampai

dengan Tabel 5.

Tabel 3. Pertumbuhan tanaman ulin umur 9 tahun di plot konservasi ex-situ tahun

tanam 2004 di Bondowoso

Provenan

Persen

hidup

(%)

Tinggi tanaman (m) Diameter batang

@10 cm (cm)

min max Rata

-rata Min max

Rata

-rata

Nanga Tayap -Kalbar 58 0,80 6,86 1,45 0,67 9,56 1,85

Sumber Barito -

Kalteng 44 0,75 3,10 1,17 0,66 3,31 1,48

Sepaku- Kaltim 49 0,80 4,70 1,36 0,73 4,43 1,66

Seruyan Hulu -Kalteng 75 0,90 7,10 2,20 0,84 8,82 2,57

Tabel 4. Pertumbuhan tanaman ulin umur 7 tahun di plot konservasi ex-situtahun

tanam 2006 di Bondowoso

Provenan

Persen

hidup

(%)

Tinggi tanaman (m) Diameter batang

@10 cm (cm)

min max Rata-

rata Min max

Rata-

rata

Sanggau-Kalbar 60 0,25 1,70 0,75 0,66 2,53 1,32

Belitung-Babel 76 0,45 2,40 1,20 0,65 3,15 1,66

Durian Luncuk-Jambi 88 0,30 2,50 1,31 1,01 4,54 2,1,3

Samboja-Kaltim 83 0,30 2,00 0,98 0,74 2,91 1,55

Page 43: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 28

Tabel 5. Pertumbuhan tanaman ulin umur 5 tahun di plot konservasi ex-situ tahun

tanam 2008 di Bondowoso

Provenan

Persen

hidup

(%)

Tinggi tanaman (m) Diameter batang @10

cm (cm)

min max Rata

-rata Min max

Rata-

rata

Semani-Batanghari

Jambi 79 0,30 2,40 1,01 0,69 3,64 1,60

Labanan Berau-Kaltim 76 0,30 2,90 0,99 0,54 3,36 1,33

Semboja- Kaltim 83 0,40 2,00 0,95 0,70 2,46 1,34

Pengumpulan materi genetik eboni (Diospyros celebica Bakh.) dilakukan di

Tegakan benih eboni di Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi

Tengah. Materi genetik yang dikumpulkan berupa buah masak dari empat pohon

induk sebanyak kurang lebih 1.000 buah dan 1.200 anakan/cabutan (wildlinsg)

dengan tinggi kurang lebih 10 cm dan baru memiliki 2 helai daun yang berasal dari

30 pohon induk.

Pengumpulan materi genetik eboni dilakukan di Sulawesi Selatan dengan

mengambil anakan alam di dua lokasi yang berbeda, yaitu Tegakan Benih

Teridentifikasi Desa Coppo, Kabupaten Barru dan Taman Nasional Bantimurung

Bulusaraung, Kabupaten Maros. Pada tahun 2010 dan 2011 pohon induk di kedua

lokasi tersebut tidak berbunga dan berbuah, maka dilakukan pengambilan anakan di

bawah tegakan 20 pohon induk dengan jumlah 700 anakan. Berdasarkan informasi

dari petugas lapangan bahwa pohon eboni di TBT Copp, Kabupaten Barru pada saat

ini (Januari, 2013) sedang terjadi pembungaan.

Perlakuan bibit eboni asal benih melalui penyemaian dengan media tanah dan

pasir (1:3). Benih berkecambah 10-30 hari setelah penaburan, dan siap disapih

setelah biji terangkat dari media dan kulit biji terlepas dari kotiledon. Dengan metode

ini keberhasian berkecam-bah benih mencapai 85%. Semai disapih pada polybag

yang telah diisi media tanah + pupukkandang + pasir dengan perbandingan 1:1:1.

Jumlah bibit hingga berumur 7 bulan di persemaian adalah sebanyak 700 bibit.

Perlakuan bibit eboni asal cabutan pada polybag dengan media

tanah+pasir+pupuk kandang (1:1:1). Polybag-polybag tersebut kemudian diletakkan

pada bedeng semai dengan sungkup 28nvasiv dan dinaungi dengan paranet 80%.

Pertumbuhan bibit eboni tergolong lambat, memerlukan waktu yang cukup lama

untuk mencapai ukuran siap tanaman. Daya hidup bibit asal cabutan dari Sulawesi

Tengah lebih baik daripada cabutan asal Sulawesi Selatan (94% bibit asal Sulawesi

Tengah hidup sedangkan cabutan asal Sulawesi Selatan hanya sebesar 50%). Dalam

hal ini diduga, umur bibit dapat berpengaruh terhadap daya hidup. Hingga umur 7

bulan di persemaian, jumlah bibit yang masih hidup adalah sebanyak 1.132 bibit dari

populasi Sulawesi Tengah dan 350 bibit dari populasi Sulawesi Selatan.

Page 44: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 29

Kesimpulan:

1. Terbangunnya plot konservasi eks-situ ulin (Eusideroxylon zwageri

Teijsm.&Binn.) seluas 3 ha di Bondowoso, Jawa Timur (2004). Hasil evaluasi

pertumbuhan tanaman ulin tahun tanam 2004, 2006 dan 2008 menunjukkan

bahwa terjadi penurunan persentase hidup seiring dengan bertambahnya umur

tanaman. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya vegetasi penaung yang

rapat. Sedangkan hasil karakterisasi terhadap morfologi daun tanaman ulin tahun

tanam 2004 menunjukkan indikasi adanya variasi yang mengarah pada perbedaan

varietas yaitu varietas kapur, daging, sirap dan tanduk.

2. Koleksi materi genetik eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Sulawesi Tengah

telah dilakukan di TBT Sausu, Kabupaten Parigi Moutong dengan mengumpulkan

anakan(wildlings) sebanyak 1.200 anakan yang berasal dari 30 pohon induk dan

1.000 butir buah eboni yang berasal dari 4 pohon induk. Sedangkan keleksi materi

genetik di Sulawesi Selatan telah dilakukan di TBT Coppo, Kabupaten Barru dan

Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Karena pada tahun 2010 dan 2011

tidak terjadi pembungaan dan pembuahan di kedua daerah tersebut, anakan yang

berhasil dikoleksi adalah sebanyak 700 anakan dari hasil pembuahan 2-3 tahun

sebelumnya yang berasal dari 20 pohon induk. Jumlah bibit yang masih hidup

hingga umur 7 bulan di persemaian sebanyak 1.132 bibit dari populasi Sulawesi

Tengah dan 350 bibit dari populasi Sulawesi Selatan.

d. Potensi Jenis Pohon Potential Sebagai Bahan Baku Obat Anti Kolesterol,

Diabetes dan Kanker.

d.1. Informasi Bahan Baku Obat Anti Diabetes, Anti Kolesterol dan Anti

Kanker yang Diperoleh dari Tumbuhan Hutan.

Kegiatan penelitian dimulai pada tahun 2010 dengan melakukan kajian

etnobotani di beberapa lokasi hutan cagar alam di pulau Jawa untuk melihat

bagaimana pemanfaatan jenis tumbuhan oleh masyara-kat terutama untuk bahan

baku obat diabetes, kolesterol dan kanker. Terdapat empat jenis pohon hutan secara

tradisional dimanfaatkan sebagai obat kolesterol dan obat diabetes oleh masyarakat

di sekitar kawasan hutan Cagar Alam Pagerwunung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten

Kendal, Jawa Tengah, danCagar Alam Yanlapa, Jasinga, Jawa Barat. Dua jenis

sebagai obat anti kolesterol yaitu Dialium indum L. (ranji) dan Bouea macrophylla

Blume (gandaria). Dua jenis untuk obat diabetes adalah Alstonia scholaris R. Br.

(pulai atau lame) dan Lagerstroemia speciosa Auct. (bungur).

Pada tahun selanjutnya yakni tahun 2011, ditemukan tujuh jenis pohon hutan

oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Cagar Alam Sempu, Malang, Jawa Timur

secara tradisional dimanfaatkan untuk pengobatan diabetes adalah: Pterospermum

javanicum Jungh. (bayur), Artocarpus elasticus Reinw. (bendo), Lagerstroemia

speciosa Pers. (bungur), Heritiera littoralis Dryand. (dungun), Bischoffia javanica

Blume (gintungan), Litsea cubeba Pers. (huru) dan Antiaris toxicaria Lesch (ipuh).

Page 45: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 30

Kondisi Tempat Tumbuh Jenis Shorea platyclados Slooten Ex Foxw., Shorea

ovalis (Korth.) Blume, Shorea balangeran (Korth.) Burck, Shorea teysmanniana

Dyer. ex Brandis, Shorea leprosula Miq. dan Shorea bracteolata Dyer. Beserta

Kandungan Senyawa Metabolik Sekunder Potensial Sebagai Bahan Obat

Kanker.

Enam jenis Shorea tumbuh alami di kawasan hutan Sumatera, yaitu : Shorea

platyclados Slooten Ex Foxw., Shorea ovalis (Korth.) Blume, Shorea balangeran

(Korth.) Burck, Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis, Shorea leprosula Miq. dan

Shorea bracteolata Dyer. Dua jenis diantaranya juga tumbuh di Kepulauan Bangka

Belitung, S. ovalis dan S. balangeran. Jenis S. ovalis dan S. platyclados diketahui

dapat ditanam di luar habitatnya. Kedua jenis Shorea yang ditanam di luar habitatnya

berdasarkan hasil analisis sampel diketahui memiliki kandungan senyawa metabolik

sekunder lebih lengkap. Kondisi tempat tumbuh dan kandungan senyawa metabolik

sekunder keenam jenis Shorea tersebut adalah sebagai berikut:

Shorea platyclados

Shorea platyclados (meranti tenam, meranti bukit) di Hutan Lindung Bukit

Daun, Bengkulu tumbuh pada ketinggian tempat 400 – 600 m dpl. jenis tanah

Podsolik Merah Kuning, pH tanah 5,9 – 6,8 dan tipe iklim A. Jenis ini ditanam dan

dapat tumbuh di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi pada ketinggian tempat

650 – 673 m dpl., jenis tanah Latosol, pH tanah 6,3 – 6,8 dan tipe iklim B.

Shorea ovalis

Shorea ovalis (meranti kujung, meranti merah) di Hutan Produksi Pemerihan,

Lampung Selatan tumbuh pada ketinggian tempat 253-297 m dpl., jenis tanah

Podsolik Merah Kuning, pH tanah 5,4 – 6,6 dan tipe iklim A. Shorea ovalis yang

ditanam di Hutan Penelitian Cigerendeng, Ciamis tumbuh pada ketinggian tempat

97-119 m dpl., jenis tanah Alluvial Coklat, pH tanah 6,2 – 6,6 dan tipe iklim B.

Shorea balangeran

Shorea balangeran (belangir, belangiran) di hutan Bangka Belitung tumbuh

pada daerah dataran rendah lahan kering atau kadang tergenang air pasang surut,

tumbuh pada ketinggian 9 – 55 m dpl., tipe iklim B. Jenis tanah Asosiasi Alluvial

dan Regusol berwarna kelabu muda kehitaman, berasal dari endapan liat, debu dan

pasir.

Shorea teysmanniana

Shorea teysmanniana (meranti bunga, meranti batu) tumbuh sangat jarang di

hutan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Jenis ini tumbuh pada dataran rendah

lahan kering dan lahan basah pasang surut, ketinggian 10 – 40 m dpl., dengan tipe

iklim A. Jenis tanah Podsolik merah kuning pada daerah lahan kering, dan jenis

Alluvial serta Regusol berwarna hitam keabu-abuan untuk lahan basah.

Page 46: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 31

Shorea leprosula

Shorea leprosula (meranti babi) tumbuh di hutan Way Kanan, Taman Nasional

Way Kambas, Lampung. Jenis ini tumbuh mengelompok jarang pada daerah dataran

rendah dengan ketinggian hingga 60 m dpl., tipe iklim A. Jenis tanah podsolik coklat

kuning, podsolik merah kuning, aluvial hidromorf dan gley humus lacustrin.

Shorea bracteolata

Shorea bracteolata (meranti putih) tumbuh di hutan HL Boven Lais Bengkulu

Utara. Tumbuh mengelompok jarang pada tebing bukit dengan ketinggian 340 - 460

m dpl., tipe iklim A. Jenis tanah Podsolik Merah Kuning warna kehitaman, dengan

tekstur liat dan sedikit berpasir.

Uji fitokimia kulit batang dari keenam jenis Shorea tersebut mengandung tujuh

jenis senyawa metabolik sekunder yaitu: alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid,

triterfenoid dan glikosida. Uji fitokimia ranting dan daun S. ovalis, S. teysmanniana

asal hutan Musi Banyuasin dan S. bracteolata HL Boven Lais Bengkulu Utara

bracteolata mengandung 8 (delapan) jenis senyawa metabolit sekunder yaitu

alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida dan steroid.

Kandungan senyawa fitokimia ini disinyalir merupakan senyawa aktif sebagai

antioksidan dan anti kanker.

Kulit batang S. platyclados dan Shorea ovalis asal Hutan Penelitian memiliki

kandungan fitokimia lebih lengkap dibanding asal hutan alam. Kondisi tempat

tumbuh diprediksi dapat berpengaruh terhadap kandungan fitokimianya.

Dapat disimpulkan bahwa :

1. Terdapat dua jenis pohon hutan yang berpotensi sebagai bahan obat kolesterol

yakni Dialium indum L. (ranji) danBouea macrophylla Blume (gandaria). Untuk

pengobatan diabetes dapat digunakan delapan jenis pohon hutan sebagai

obatnya:Pterospermum javanicum Jungh. (bayur), Artocarpus elasticus Reinw.

(bendo), Lagestromia speciosa Pers. (bungur), Heritiera littoralis Dryand.

(dungun), Bischoffia javanica Blume (gintungan), Litsea cubeba Pers. (huru),

Antiaris toxicaria Lesch (ipuh) dan Alstonia scholaris R. Br. (pulai atau lame).

2. Terdapat enam jenis Shorea yakni : Shorea platyclados Slooten ex Foxw. (meranti

tenam, meranti bukit), Shorea ovalis (Korth.) Blume (meranti kujung, meranti

merah), Shorea balangeran (Korth.) Burck (belangir, belangiran), Shorea

teysmanniana Dyer. ex Brandis (meranti bunga, meranti batu), Shorea leprosula

Miq. (meranti babi) dan Shorea bracteolata Dyer.(meranti putih) diketahui

mengandung tujuh jenis senyawa metabolik sekunder terdiri dari: alkaloid,

saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida.

3. Daun dan ranting Shorea ovalis (Korth.) Blume (meranti kujung, meranti merah),

Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis meranti bunga, meranti batu) dan Shorea

bracteolata Dyer. (meranti putih) diketahui mengandung 8 (delapan) jenis

Page 47: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 32

senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid,

triterfenoid dan glikosida dan steroid.

4. Turunan dari senyawa-senyawa metabolik sekunder Shorea disinyalir berperan

aktif sebagai antikanker.

5. Shorea platyclados Slooten ex Foxw. dan Shorea ovalis (Korth.) Blume dapat

tumbuh di luar habitatnya dan memiliki golongan senyawa metabolik sekunder

yang sama. Kedua jenis Shorea yang ditanam di luar habitatnya memiliki

kandungan senyawa metabolik sekunder yang lebih lengkap.

6. Jenis Shorea platyclados Slooten ex Foxw. dan Shorea ovalis (Korth.) Blume

dapat diprioritaskan untuk dibudidayakan dalam rangka pemanfaatan bahan baku

obat kanker.

2. FAUNA

a. Informasi Biofisik Habitat, Dinamika Populasi dan Keragaman Genetik

Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah.

a.1. Metoda Pendugaan Populasi Jenis-jenis Burung Paruh Bengkok.

Di Indonesia terdapat beberapa jenis burung paruh bengkok yang diantaranya

sudah masuk dalam Appendix I CITES seperti Cacatua mollucensis (kakatua

maluku), C. sulphurea (kakatua jambul kuning) dan Eos histrio (nuri talaud).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP 7 tahun 1999), jenis-jenis burung paruh

bengkok yang dilindungi antara lain: kakatua koki (C. galerita), kakatua jambul

kuning (C. sulphurea), kakatua tanimbar (C. coffini), kakatua maluku (C.

mollucensis) dan beberapa jenis nuri dan betet. Namun demikian jenis-jenis tersebut

masih saja diperdagangkan dan pengambilan dilakukan masih dari habitat alaminya.

Saat ini populasi di alam terancam mengalami penurunan akibat perdagangan liar

tersebut. Kuota pemanenan di alam kadangkala terkendala oleh akurasi data

populasi di alam. Untuk itu dicari teknik pendugaan yang tepat dan efisien dalam

menentukan ukuran populasi alami dan laju reproduksinya.

Hasil penelitian yang dilakukan di areal hutan KHDTK Malili, Kabupaten Luwu

Timur, Makassar, terhadap dua jenis burung paruh bengkok endemik yakni perkici

dora (Trichoglossus ornatus) dan serindit paruh merah (Loriculus exilis). Populasi

perkici dora yang terbesar diikuti oleh betet kelapa punggung hijau dan serindit

Sulawesi. Metode sirkular terbukti merupakan metoda inventarisasi burung yang

memiliki tingkat akurasi paling tinggi dibandingkan dengan metoda jalur dan

transek. Sedangkan yang murah dan efisien untuk inventarisasi burung paruh

bengkok adalah metode transek garis. Kombinasi kedua metoda ini merupakan yang

terbaik dan disarankan untuk menduga populasi burung paruh bengkok di habitat

alaminya.

Page 48: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 33

a.2. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)

pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara

Sebaran dan Pola Sebaran

Populasi siamang di kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok(CADS) dan sekitarnya

tersebar pada beberapa lokasi. Dari semua tipe penutupan lahan yang ada di CADS,

siamang hanya dijumpai pada hutan lahan kering primer sebanyak 81,8%, serta pada

hutan lahan kering sekunder dan pinggiran sungai di dekat pertanian lahan kering

sebanyak 9,1%. Keberadaan siamang di pinggiran sungai dekat pertanian lahan

kering tersebut diduga berkaitan dengan adanya pohon pakan di sekitar areal tersebut

walaupun dalam jumlah yang terbatas.

Berdasarkan kelas ketinggian, sebagian besar wilayah CADS termasuk dalam

kelas ketinggian 900-1200 m dpl, dan sebagian kecil termasuk kelas ketinggian 600-

900 m dpl. Sebagai pembanding, hasil pengamatan di sekitar CADS yang termasuk

kelas ketinggian >1200 m dpl menunjukkan adanya keberadaan siamang pada

ketinggian di atas 1200 m dpl (Gambar 13). Hasil analisis pola sebaran spasial

menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS tersebar menurut pola berkelompok

atau agregat.

Kepadatan individu dan kelompok, dan struktur umur

Jumlah populasi siamang yang dijumpai di beberapa lokasi CADS dan daerah

penyangganya adalah 24 individu yang tersebar dalam 7 kelompok. Lokasi dengan

jumlah siamang terbanyak adalah Rambasi-hasur yaitu 12 individu yang terdiri dari 4

kelompok dan 1 individu soliter. Berdasarkan survey lokasi-lokasi pengamatan

dengan intensitas sampling sebesar ± 2,7%, maka nilai dugaan kepadatan individu

adalah sebesar 9,91±3,40 individu/km2. Nilai koefisien variasi (CV) untuk nilai

dugaan kepadatan individu tersebut adalah 0,22. Dengan luas CADS 69,7 km2, maka

diperkirakan terdapat 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya.

Kepadatan kelompok siamang adalah sebesar 3,71 kelompok/km2. Satu

kelompok berukuran 3,43 individu/kelompok. Selain berkelom-pok, selama

pengamatan di CADS juga dijumpai individu tunggal (4 kali dari 11 kali

perjumpaan). Berdasarkan fase pertumbuhan siamang, pada pengamatan di CADS

terdapat empat kategori umur yaitu bayi, anak, remaja, dan dewasa. Proporsi tiap

kategori dari hasil penelitian ini adalah 4,17% bayi, 12,5% anak, 29,17% remaja dan

54,17% dewasa.

Distribusi umur menunjukkan bahwa kelompok remaja merupakan kategori

umur dengan jumlah terbanyak dibandingkan kategori lainnya. Bayi merupakan

kategori dengan jumlah paling sedikit. Kelompok yang hanya terdiri dari pasangan

jantan dan betina adalah 71,4%, sedangkan sisanya sebesar 28,6% terdiri dari betina

dewasa dengan remaja, anak, atau bayi. Berdasarkan komposisi kelompok, terlihat

bahwa tingkat keberhasilan menghasilkan keturunan tergolong rendah.

Page 49: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 34

Hasil analisis populasi menunjukkan struktur umur sedang terganggu. Jika

kondisi ini terus berlangsung, populasi akan terus menurun, dan dapat terjadi

kepunahan. Hal ini diantaranya terlihat dari minimnya klas umur bayi dan anak

(masing-masing 4,17% dan 12,5%), cukup besarnya individu yang belum memiliki

pasangan (36%), besarnya proporsi pasangan yg tidak memiliki keturunan (71,4%),

rendahnya potensi reproduksi (R0<1) dan indikator laju pertumbuhan negatif (rm= -

0,04) dan kurang dari 1 ( λ=0,965).

Walaupun kepadatan siamang relatif tidak terlalu rendah, namun struktur

populasi kurang mendukung untuk perkembangan populasi di masa yang akan

datang. Populasi siamang di CADS terindikasi merupakan populasi yang menurun

(regressive population), dan potensi reproduksinya tidak mendukung untuk

kelangsungan generasi dalam jangka waktu yang lama.

Karakteristik Habitat

Kawasan CA. Sipirok merupakan bagian dari barisan Hutan Ba-tang Toru yang

merupakan hutan hujan tropika yang mewakili tipe hutan sub Montana dan Montana,

dengan ketinggian tempat antara 600-1.200 meter dari permukaan laut. Dalam

penelitian ini, habitat siamang di Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS) dan sekitarnya

dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu hutan primer dan hutan sekunder.

Penutupan lahan lainnya yaitu pertanian lahan kering, kebun campur, dan semak,

tidak dimasukkan dalam penelitian karena bukan merupakan bagian dari habitat

alamiah siamang. Penutupan lahan di CADS secara rinci disajikan pada Gambar 13.

Gambar 12. Peta sebaran populasi siamang berdasarkan ketinggian di CADS

dan wilayah sekitarnya.

Page 50: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 35

Gambar 13. Penutupan lahan di kawasan CADS dsk. (Sumber: Kwatrina et al. (2010)

Struktur dan Komposisi Vegetasi

Untuk mengetahui struktur dan vegetasi pada habitat siamang, telah dilakukan

analisis vegetasi yang mewakili tipe habitat dan ketinggian. Berdasarkan tipe habitat

dan ketinggian tempat, maka habitat siamang dalam penelitian ini dikategorikan

menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600-900 m dpl, hutan primer

pada ketinggian 900-1.200 m dpl, hutan sekunder pada ketinggian 600-900 m dpl,

dan hutan sekunder pada ketinggian 900-1.200 m dpl. Penga-matan dilakukan pada

delapan lokasi yang tersebar di wilayah CADS dan sekitarnya. Secara lengkap hasil

analisis disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi

Tingkat

vegetasi

Jumlah

jenis

tumbuhan

(ind.)

Jenis dominan

Nama lokal INP

(%) Kerapatan (ind./ha)

Semai 87 Haundolok Siala Pakis panjang

15,80 9,77 8,95

4.000 2.562,5 2.187,5

Pancang 84 Haundolok Hoteng Api-api

23,50 11,40 8,25

650 240 210

Tiang 56 Haundolok Randu

kambing Hoteng

36,13 31,33 26,08

50 45

42,05

Pohon 78 Hoteng Haundolok Hoteng

maranak

28,94 28,58 16,18

35,6 30,6 15

PETA PENUTUPAN LAHAN DI

CAGAR ALAM DOLOK SIPIROK

Page 51: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 36

Dari keempat tingkat vegetasi yang diamati, jumlah jenis paling tinggi

ditemukan pada tingkat semai sebanyak 87 jenis, sedangkan terendah pada tingkat

tiang sebanyak 56 jenis. Jenis yang mendominasi adalah Haundolok yang memiliki

INP dan kerapatan tertinggi pada tingkat semai, pancang dan tiang. Pada tingkat

pohon didominasi oleh Hoteng. Hoteng merupakan salah satu jenis tumbuhan pakan

Siamang.

Keanekaragaman, Kelimpahan, dan Kemerataan Jenis Vegetasi

Hasil analisis vegetasi disajikan dalam bentuk indek keanekaragaman, indek

kelimpahan dan indeks kemerataan jenis vegetasi. Hasil selengkapnya disajikan pada

Gambar 14.

Keterangan: H’ = indeks keanekargaman jenis Shannon, D = indekskekayaan

jenis Margalef.

Gambar 14. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya.

Jika dibandingkan indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkat vegetasi,

maka nilai tertinggi terdapat pada tingkat semai dengan nilai 4. Selanjutnya adalah

tingkat pancang, pohon, dan teren-dah pada tingkat tiang. Indeks Margalef dan N

(indeks kelimpahan jenis)sebagai salah satu ukuran keanekaragaman jenis yang

menunjukkan kekayaan jenis juga menunjukkan hasil yang sama. Hal ini

menunjukkan bahwa vegetasi tingkat tiang di CADS dan sekitarnya memiliki ukuran

keanekaragaman jenis terendah dibandingkan tingkat pertumbuhan lainnya.

Jenis Dan Pola Sebaran Jenis Tumbuhan Pakan

Salah satu komponen penting dalam habitat siamang adalah pakan. Siamang

merupakan satwa pemakan daun (foliovorous) dan buah (frugivorous).

Tabel 7. Jenis tumbuhan pakan Siamang di CA Dolok Sipirok dan sekitarnya.

No Nama Lokal Nama Ilmiah Suku

Bagian yang

dimakan

Daun Buah Kulit

1 Andarasi Ficus congesta Roxb. Moraceae √

-

2 Api-api Gordonia excelsaBlume Theaceae

√ -

0

2

4

6

8

10

12

14

Semai Pancang Tiang Pohon

H'

D

Page 52: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 37

No Nama Lokal Nama Ilmiah Suku

Bagian yang

dimakan

Daun Buah Kulit

3 Bayur

Pterospermum

blumeanum Korth. Sterculiaceae √

-

4 Dapdap - - √

-

5 Handis Garcinia celebica L. Guttiferae

√ -

6 Hatopul Artocarpus rigidus

Blume

Moraceae √ -

7 Haundolok

jambu

Eugenia grandis Wight. Myrtaceae √ √ -

8 Hayu horsik Ilex pleiobrachiata Loes Aquifaceae √ -

9 Hole misang Ficus sp. Moraceae √ -

10 Hoteng Quercus gemelliflora

Blume

Fagaceae √ -

11 Hoteng maranak - - √ -

12 Hoteng barangan Castanopsis inermis

Jack.

Fagaceae √ -

13 Junjung buhit Actinodaphne glabra

Blume

Lauraceae √ -

14 Karet Hevea

brasiliensis Muell. Arg

Euphorbiaceae √ -

15 Lacat bodat Shorea hopeifolia Sym. Dipterocarpaceae √ -

16 Mayang Palaquium obovatum

Engl., var.

Sapotaceae √ -

17 Mayang durian Palaquium obovatum

Engl., var.

Sapotaceae √ -

18 Modang kuning Litsea odorifera

Valeton

Lauraceae √ -

19 Pege-pege - - √ -

20 Rambutan hutan Cryptocarya nitens

(Blume) Koord.&Val.

Lauraceae √ -

21 Sampinur tali Podocarpus imbricatus

Bl. Var

Podocarpaceae √ -

22 Simargalunggung - - √ -

23 Songgak Aquilaria malaccensis

Lamk.

Thymelaeaceae √ -

24 Takki gatal - - √ -

25 Tambiski tombak Eurea

acuminataA.P.DC.

Theaceae √ √ -

26 Torop Artocarpus elasticus

Reinw.

Moraceae √ -

27 Tupe - - √ -

Page 53: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 38

Tabel 8. Hasil analisis pemilihan tipe habitat dengan menggunakan Indeks Neu

Lokasi

Klasifikasi

tipe habitat

Luas Proporsi Jumlah Indeks Indeks

(ha) Luas Plot Seleksi Standar SE

A π m wi Bi

Lumban lobu

dan Poldung

Hutan Primer

600 – 900 m dpl. 10 0,250 10 0,333 0,083 0,160

Aek Latong

dan Simander

Hutan Primer >

900 -1.200 m

dpl. 10 0,250 10 1,000 0,250 0,250

Hutain baru

dan

sitandiang

Hutan Sekunder

600-900 m dpl. 10 0,250 10 2,000 0,500 0,289

Rambas I dan

Rambas II

Hutan Sekunder

>900-1.200 m

dpl. 10 0,250 10 0,667 0,167 0,215

Total 40 1,000 40 4,000 1,000 0,913

a.3. Kajian Keanekaragaman Genetik Banteng di Pulau Jawa

Morfologi Atau Organ Tubuh.

Hasil penelitian di kebun binatang Surabaya dan Ragunan menunjukkan adanya

perubahan yang merupakan penyelewengan fisik maupun biologis, yaitu:

Warna kulit badan banteng jantan di KBS telah mengalami perubahan di mana

terlihat warna badan keabu-abuan dan timbul warna coklat di bagian belakang

(Gambar 15). Di KBR juga terjadi perubahan warna kulit banteng jantan menjadi

coklat (Gambar 15).

Gambar 15.Banteng jantan di KBS (A), dan di KBR (B).

Ukuran dan bentuk tanduk pada banteng betina di KBS dan KBR mengecil

letaknya hampir menempel pada kepala (Gambar 16), bila dibandingkan dengan

banteng betina di TSI II dan TSI III (Gambar 16).

A

A

B

Page 54: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 39

Gambar 16. Banteng betina di KBS (A), dan di TSI II (B).

Benjolan pada kepala dan gelambir banteng jantan di KBS terlihat sangat

menonjol bila dibandingkan dengan banteng jantan di TSI II dan TSI III.

Di kawasan konservasi in-situ, banteng di TNUK dan TNB, ben-tuk tanduk lebih

lebar, panjang dan besar; panjang kaki lebih pendek, badan lebih gempal, sehingga

banteng di kedua taman nasional ini merupakan banteng yang lebih banyak

beraktifitas di dataran rendah, sedangkan banteng di TNMB dan TNA, bentuk tanduk

banteng lebih kecil, pendek; kaki lebih panjang, badan lebih ramping, dan badan

bagian belakang lebih tinggi. Hal ini disebabkan banteng di kedua taman nasional ini

bergerak di dataran rendah dan perbukitan.

Gambar 17. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional

A

A

B

A

Page 55: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 40

Endoparasit

Tabel 9. Jenis endoparasit banteng pada lembaga konservasi eks-situ dan kawasan

konservasi in-situ.

No Lokasi Sedimentasi-Filtrasi Jenis endoparasit

1. KB Surabaya (+)telur trematoda Paramphistomum spp.

2. KB Ragunan (+)telur nematoda Haemonchus spp.

Oeshophagustomum spp.

3. TSI II, Prigen (+) telur trematoda Paramphistomum spp.

4. TSI III, Denpasar (+) telur nematoda Moniezia spp.

3. TN Alas Purwo (+) telur trematoda Paramphistomum spp.

5. TN Baluran (+) telur trematoda Paramphistomum spp.

6. TN Ujung Kuloni* (+) telur trematoda Fasciola spp.

Paramphistomum spp.

Kecacingan trematoides tersebut merupakan penyakit parasitik yang

privalensinya cukup tinggi, namun tidak disertai gejala klinis yang jelas. Sedangkan

dampak yang ditimbulkan dapat menurunkan daya produksi dan reproduksi bahkan

kematian. Di lembaga konservasi kebun binatang dan TSI, banteng diberi obat cacing

secara rutin tiga bulan sekali, tetapi satwa masih terinfeksi telur cacing melalui

hewan perantara (hospes) siput atau langsung dari air yang diminum.

Keragaman Genetik Banteng

Hasil multiple alignment 657 urutan basa fragmen D-loop DNA mitokondria

dari banteng dari KB Surabaya, KB Ragunan, TSI II (Prigen), TN Meru Betiri, TN

Baluran, Sapi Bali, TSI III (Bali) diketahui terdiri dari 6 haplotipe. Haplotipe 1 (41

individu) yaitu: KBS-01, KBS-02, KBS-03, KBS-04, KBS-05, KBS-06, KBS-07,

KBS-08, KBS-09, KBS-10, KBS-11, KBS-12, RAG-01, RAG-02, RAG-03, RAG-

04, RAG-05, RAG-06, RAG-07, RAG-08, RAG-09, RAG-10, RAG-11, RAG-12,

RAG-13, RAG-14, RAG-15, SB-01, SB-05, SB-06, SB-07, SB-09, SB-10, TSI-05,

TSI-07, TSI-08, Timis, Nila, TNMB-02, TNMB-03, dan TNMB-04; haplotipe 2

(satu individu), yaitu: SB-04; haplotipe 3 (8 individu), yaitu: TSI-01, TSI-02, TSI-03,

TSI-04, TSI-06, SB-02, SB-08, dan Nanik; haplotipe 4 (satu individu), yaitu :

TNMB-01; haplotipe 5 (satu individu), yaitu : SB-03; dan haplotipe 6 (satu individu),

yaitu: SB-11.

Diversitas haplotipe populasi banteng di KB Surabaya, KB Ragunan, TSI II dan

TSI III, TN. Baluran, TN. Meru Betiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan

diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218±0,00095. Pada uji Tajima (Tajima test)

menunjukkan nilai D= -0,50134 dan tidak berbeda nyata P>0,10 diantara individu

banteng di semua populasi. Demikian pula pada uji Fu dan Li menunjukkan nilai D =

-0,86873 dan tidak berbeda nyata P>10 diantara individu pada semua populasi

banteng. Sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang menunjukkan nilai positif yang

berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding).

Page 56: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 41

Jarak genetik di dalam populasi KB. Surabaya (0), KB. Ragunan (0), TN Meru

Betiri (0,001), TSI II (0,003), Sapi Bali (0,004), dan TSI III (0,004). Jarak genetik

antar populasi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3, sedangkan rata-rata jarak

genetik antar populasi adalah 0,002. Jarak genetik antar individu banteng di KB.

Surabaya, KB. Ragunan, TN. Meru Betiri, TSI II (Prigen), Sapi Bali, dan TSI III

(Bali) berkisar antara 0,000 – 0,011 (Tabel 10).

Tabel 10. Jarak genetik antar populasi di KBS, KBR, TNB, TNMB, TSI II, Sapi Bali

dan TSI III.

No. Lokasi 1 2 3 4 5 6

1 KB Surabaya

2 KB Ragunan 0,000

3 TN Meru Betiri 0,000 0,000 0,001

4 TSI II, Prigen 0,004 0,004 0,004 0,004

5 Sapi Bali 0,003 0,003 0,003 0,003 0,004

6 TSI III, Bali 0,002 0,002 0,002 0,002 0,003 0,003

Hasil penelitian menyimpulkan bahwa di lembaga konservasi eks-situ seperti

KB. Surabaya dan KB. Ragunan, morfo-metrik banteng telah mengalami perubahan

berupa ukuran bagian badan seperti bentuk dan ukuran tanduk, warna kulit, dan

kemampuan reproduksi, hal ini disebabkan terjadinya inbreeding dilihat dari jarak

genetik di dalam populasi 0. Sedangkan di kawasan konservasi in-situ TN. Meru

Betiri, TN. Baluran, TN. Ujung Kulon dan TN. Alas Purwo, morfometrik banteng

paling besar adalah di TN. Baluran dilihat dari ukuran telapak kaki dan jarak kaki.

Pengelompokan banteng di kawasan konservasi in-situ berda-sarkan habitat,

bentuk tanduk dan bentuk badan ada dua golongan yaitu banteng TN. Ujung Kulon

dan TN. Baluran yang lebih banyak beraktifitas di dataran rendah dan memiliki

bentuk badan lebih pendek dan gempal, tanduk lebih besar dan panjang serta kaki

lebih pendek dan besar, sedangkan banteng TN. Meru Betiri dan TN. Alas Purwo

beraktifitas di dataran rendah dan dataran tinggi memiliki bentuk dan ukuran badan

lebih panjang dan ramping. Tanduk lebih kecil dan pendek serta kaki yang lebih

panjang dan ramping.

Diversitas haplotipe populasi banteng di KBS, KBR, TSI II dan III (Prigen dan

Bali), TN. Baluran, TN. Meru Betiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan diversitas

nukleotida (Pi) = 0,00218±0,00095, sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang

menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding).

a.4. Teknik Pengambilan Materi Genetik

Teknik pengambilan materi genetik dari feses yang dicobakan ada 3 macam,

yaitu dengan menggunakan cotton buds steril, menggunakan kertas tissue dan

diambil secara langsung pada feses yang masih basah. Preservasi sampel di lapangan

yang dicobakan di lapangan ada 3 macam, yaitu : tanpa perendaman, direndam

Page 57: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 42

dalam buffer EDTA dan direndam ethanol. Pada masing-masing perlakuan, sampel

disimpan pada suhu 4ºC.

Gambar 18. Materi genetik yang dikoleksi

Hasil koleksi sampel materi genetik DNA diekstraksi dengan menggunakan kit

ekstraksi dari Wizard Genomic PROMEGA dan Ultra Clean Fecal DNA Kit.

Berdasar hasil kuantifikasi DNA, didapatkan konsentrasi DNA pada absorbansi

260/280 yang bervariasi, yaitu antara 2,4 – 309 ng/ml, dengan rasio 1,6 – 5,3. Hasil

PCR crude DNA feses menggunakan primer D-Loop Mitokondria CDR dan YDF

belum menampakkan adanya DNA yang teramplifikasi. Sementara itu, hasil PCR

dengan menggunakan metode dan primer yang sama untuk sampel darah DNA sudah

berhasil diamplifikasi.

Gambar 19. Hasil PCR menggunakan DNA dari darah

Variasi konsentrasi DNA dari sampel feses diduga berkaitan dengan teknik

pengambilan feses. Nilai konsentrasi yang tinggi diduga berkaitan dengan kondisi

feses yang dikoleksi untuk sampel, yaitu masih banyak mengandung lendir.

Sebaliknya, konsentrasi yang rendah didapatkan dari feses yang tidak berlendir.

Sementara itu, belum teramplifikasinya DNA pada proses PCR sesuai dengan

Frantzen et al. (1998) yang menyatakan bahwa amplifikasi DNA dari sampel feses

memiliki peluang yang rendah dibandingkan sampel darah atau pun jaringan. Hal ini

karena pada sampel feses lebih banyak dijumpai inbibitor PCR yang masih perlu

Page 58: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 43

dianalisis lebih lanjut sehingga mampu dieliminasi. Berkaitan dengan hal tersebut di

atas, upaya untuk terus mengoptimasi ekstraksi DNA masih diperlukan sehingga

memiliki peluang yang besar sampai dengan amplifikasi DNA.

Materi genetik yang telah dikoleksi dari dua Taman Nasional (Alas Purwo dan

Baluran) adalah feses dan tulang.

Metode ekstraksi dari kit Wizard Genomic PROMEGA mampu mengamplifikasi

DNA darah.

Metode ekstraksi dari kit Wizard Genomic PROMEGA dan Ultra Clean Fecal

DNA Kit belum mampu mengamplifikasi DNA dari feses banteng.

a.5. Kajian Keanekaragaman Genetika Trenggiling

Keragaman genetik

Sebanyak 222 sekuen (111 sekuen forward dan 111 sekuen reverse) dan satu

sekuen Anis sp.( GU206864.1 ), serta outgroup dari Manis p.pendactyla

(GQ232079.1) ) digunakan dalam penelitian ini. Panjang sekuen fragmen D-loop

dari DNA mitokondria trenggiling yang digunakan dalam penelitian sepanjang 1133

bp. Distribusi situs polimorfik sekuen D-loop DNA mitokondria tertinggi

menyatakan bahwa variabilitas tinggi pada trenggiling terdapat pada urutan

nukleotida 701-800, yaitu 26 situs polimorfik (2,30%).

Distribusi haplotipe 84, dimana frekuensi haplotipe tertinggi pada populasi

trenggiling (Manis javanica) terdapat pada H-66 (9,52%) dengan distribusi haplotipe

dari spesimen yang disita di Merak (Banten), H-19 (7,14%) dengan distribusi

haplotipe di Sumatera Utara dan di Penangkaran Dramaga, dan H-77 (4,76%) dengan

distribusi di Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), sedangkan frekuensi haplotipe

lainnya berkisar antara 1,8% dan 2,38%.

Hasil analisa filogeni menunjukkan pada populasi trenggiling di Sumatera Utara,

Palembang, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Sukabumi,

Banten, Penangkaran Dramaga, penyitaan di Pangkalan Bun, penyitaan di Serang,

penyitaan di Jakarta, dan penyitaan di Surabaya terdapat 22 clade/haplogroup, yaitu

clade I (9,52%), II (7,14%), III (5,95%), IV (3,57%), V (4,76%), VI (9,52%), VII

(7,14%), VIII (2,38%), IX (8,33%), X (4,76%), XI (15,48%), XII (2,38), XIII

(5,95%), XIV (1,19%), XV (11,90%), XVI (1,19%), XVII (5,95%), XVIII (1,19%),

IXX (1,19%), XX (1,19%), XXI (7,14%), dan clade XXII (13,09%). Dari hasil

tersebut menunjukkan frekuensi clade tertinggi adalah clade XI (15,48%) dan yang

terendah clade XIV, XVI, XVIII, IXX, XVI,XVIII, IXX, XX (1,19%). Clade XI

yang memiliki nilai tertinggi (15,48%), demikian juga dengan clade I (9,52%) dan

clade VI (9,52%) berasal dari Sumatera Utara. Pada clade IX (8,33%) yang

merupakan kumpulan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang Ragunan,

Banten dan Sukabumi terdapat satu trenggiling yang berasal dari Sumatera Utara.

Clade XV (11,90%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan yang berasal dari

Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Pelabuhan Merak, Banten. Clade XXII

Page 59: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 44

(13,0%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan dari Tanjung Priok, Jakarta dan

Surabaya. Disamping itu trenggiling sitaan yang ditemukan di Surabaya tersebar

pada clade dari Pangkalan Bun dan Jakarta, sehingga dapat dikatakan bahwa

trenggiling sitaan yang berasal dari Pelabuhan Merak, Banten; Tanjung Priok,

Jakarta dan Surabaya merupakan trenggiling yang memiliki kekerabatan dekat

dengan trenggiling dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.

Rata-rata jarak genetik antar individu pada semua populasi adalah 0,012, dalam

populasi berkisar antara 0,001-0,010 dan antar populasi 0,002-0,020 (Tabel 11).

Tabel 11. Jarak genetik antar populasi trenggiling (Manis javanica)

Sumatera Utara 0,055

Sukabumi 0,052 0,006

Ragunan 0,054 0,0070,002

Kebun Binatang Surabaya 0,056 0,017 0,016 0,017

Palembang 0,052 0,007 0,005 0,007 0,013

Banten 0,055 0,009 0,003 0,004 0,019 0,008

Penyitaan di Jakarta 0,056 0,019 0,017 0,020 0,007 0,013 0,021

Penyitaan di Surabaya 0,055 0,018 0,016 0,018 0,008 0,013 0,019 0,004

Penyitaan di Merak 0,054 0,009 0,008 0,010 0,014 0,006 0,011 0,014 0,014

Kandang Dramaga 0,053 0,005 0,004 0,005 0,015 0,005 0,006 0,017 0,016

0,008

Jarak populasi trenggiling yang hubungan kekerabatan paling dekat dimiliki

oleh kelompok trenggiling dari Kebun Binatang Ragunan dan Sukabumi, sedangkan

trenggiling yang memiliki hubungan kekerabatan paling jauh adalah trenggiling

sitaan yang berasal dari Tanjung Priok, Jakarta dengan Kebun Binatang Surabaya.

Jarak genetik dalam clade berkisar 0,002-0,15 (rata-rata 0,0035±0,0023) dan

jarak genetik antar clade berkisar antara 0,003-0,021. Jarak clade terdekat adalah

0,003 antar clade VIII dan clade XI adalah trenggiling berasal dari Sumatera Utara

dan trenggiling dari penangkaran di Kandang Darmaga, sedangkan clade paling jauh

berasal dari clade XVIII, Sumatera Utara dengan clade XIII, sitaan Merak yang

diduga dari Kalimantan.

Pohon filogeni trenggiling (Manis javanica) berdasarkan sekuen d-loop DNA

mitokondria menyatakan hubungan kekerabatan masing-masing clade/haplogroup.

Clade I trenggiling sitaan dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dengan

trenggiling sitaan yang berasal dari Merak, dan diduga berasal dari Pulau

Kalimantan, ternyata benar karena hubungan kekerabatannya yang dekat dan dapat

dikelompokkan dalam satu clade. Hal ini didukung oleh nilai boostrap tinggi (92%)

dari trenggiling pada clade XXI, demikian juga dengan trenggiling yang berasal

dari Kebun Binatang Ragunan dengan trenggiling dari Sukabumi dengan nilai

boostrap, 90%.

Page 60: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 45

Morfometrik Trenggiling

Ukuran bagian tubuh trenggiling jantan dan betina yang terdiri dari berat badan,

panjang badan, panjang ekor, panjang kepala, panjang kaki depan, panjang kaki

belakang, telapak kaki depan, telapak kaki belakang, lingkar ekor, lingkar kepala dan

lingkar badan .

Morfometrik dibedakan menurut lokasi asal usul atau lembaga konservasi

tempat ditemukannya trenggiling.Trenggiling yang berasal dari Kalimantan, yaitu

dari Pangkalan Bun memiliki ukuran bagian tubuh yang paling besar, seperti bobot

badan, panjang total dari ujung kepala sampai ujung ekor, panjang ekor, lingkar

dada, lingkar ekor dan lingkar kepala. Trenggiling yang berasal dari Pulau

Kalimantan memiliki ukuran paling besar dibandingkan trenggiling dari Pulau Jawa

dan Pulau Sumatra (Gambar 20). Warna sisik trenggiling yang berasal dari Pulau

Kalimantan lebih kehitam-hitaman dibandingkan sisik trenggiling dari pulau lainnya.

Gambar 20. Trenggiling yang berasal dari Pulau Jawa (A) dan Pulau Sumatera (B)

Analisis Bahan Aktif Sisik Trenggiling

Hasil analisis kandungan bahan aktif dengan metode GCMS yang cukup

menonjol adalah 1,4-diaza-2,5 dioxobicyclo [4.3.0]nonane (C14H16N2O2) pada kulit

(22,18%)dan daging trenggiling (13,60%) yang dapat berfungsi melawan infeksi

penyakit yang disebabkan oleh beberapa pathogen seperti Staphylococcus epidermis,

Staphylococcus aureus dan Enterobacteria faecalis (Goharet.al , 2010). Sedangkan

zat Methanethiol (CAS) Mercaptomethane (17,35%) yang juga terdapat pada daging

trenggiling merupakan bahan aktif yang digunakan pada produksi pestisida,

fungisida, bahan bakar jet dan plastik.

Sisik trenggiling mengandung bahan aktif yang menonjol yaitu Phenol, 3-methyl

(CAS)m-cresol digunakan atau diproduksi sebagai zat antara (synthetic intermediate)

untuk bahan atau material lainnya yang meliputi plastik, pesticida, obat-obatan dan

dyes. Turunan dari m-cresol termasuk Tolimidone, 5-(3-methylphenoxy) pyrimidin-

2(1H)-one, Bevantotol (RS)-[2-(3,4-dimethoxyphenyl)ethyl] [2-hydroxy-3-(3

methylphenoxy) propylamine dan Bromocresol green. Tolimodine digunakan sebagai

A

A

B

A

Page 61: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 46

obat yang dapat meningkatkan glucose homeostatis (Ochman et.al , 2012) dan glucose

toleransi (Saporito et.al, 2012) serta branchodilator dan antiulcer

phyroxyphyrimidinous (Lipinski et.al, 2012).

Kandungan bahan aktif yang cukup tinggi dan terdapat pada hati trenggiling

yaitu 9-Octadecanoic acid(2)-CAS).oleic acid (21,91%), yang dapat

dikatagorikankan sebagai monoinsaturated omega-9, omega 3 dan omega 6 secara

alami berasal dari lemak dan minyak minyak satwa dan tumbuhan yang tidak berbau

dan berwarna. Pemanfaatan oleic acid dalam beberapa bentuk seperti triglyceride

untuk makanan manusia, garam sodium untuk emulsi pada sabun, serta obat paru-

paru dan vitamin F.

Kesimpulan :

Sekuen D-Loop DNA mitokondria populasi trenggiling (Manis javanica

Desmarest, 1822) sepanjang 1133 pasang basa (base pair) terdapat pada 84

haplotipe dengan jumlah polimorfik sebanyak 172 situs dan total mutasi sebanyak

185.

Hasil analisa filogeni menunjukkan pada populasi trenggiling di Sumatera Utara,

Palembang, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Sukabumi,

Banten, Penangkaran Dramaga, penyitaan di Pangkalan Bun, penyitaan di Serang,

penyitaan di Jakarta, dan penyitaan di Surabaya terdapat 22 clade/haplogroup,

clade XI yang memiliki nilai tertinggi (15,48%), demikian juga dengan clade I

(9,52%) dan clade VI (9,52%) berasal dari Sumatera Utara. Pada clade IX

(8,33%) yang merupakan kumpulan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang

Ragunan, Banten dan Sukabumi terdapat satu trenggiling yang berasal dari

Sumatera Utara. Clade XV (11,90%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan

yang berasal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Pelabuhan Merak,

Banten. Clade XXII (13,0%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan dari

Tanjung Priok, Jakarta dan Surabaya.

Rata-rata jarak genetik antar individu pada semua populasi adalah 0,012, dalam

populasi berkisar antara 0,001-0,01, antar populasi 0,002-0,020. Jarak genetik

dalam clade berkisar 0,002-0,15 (rata-rata 0,0035±0,0023) dan jarak genetik antar

clade berkisar antara 0,003-0,02.

Diversitas genetik sangat tinggi terdapat 84 haplotipe dengan diversitas haplotipe

(Hd) 0,99±0,004 dan diversitas nukleotida (Pi) 0,01038. Fu’s Fs statistik -59,713

menunjukkan tingginya diversitas genetik dan ekspansi populasi.

Morfometrik trenggiling (Manis javanica) merupakan adaptasi terhadap

lingkungannya, seperti eyelids, warna dan urutan sisik pada ekor, dan ukuran

bagian tubuh. Trenggiling yang berasal dari P. Kalimantan memiliki ukuran bobot

tubuh paling besar dibandingkan trenggiling dari P. Jawa dan Sumatera, bobot

badan trenggiling jantan dari Pangkalan Bun 7,545±2.970 kg dan betina

3,650±1,375 kg.

Page 62: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 47

Bioprospeksi pada bagian tubuh trenggiling ternyata mempunyai kandungan

bahan aktif maupun turunannya telah banyak digunakan pada kesehatan manusia

maupun kesehatan lingkungan. Kandungan bahan aktif pada hati trenggiling

seperti 9-Octadecanoic acid(2)-CAS).oleic acid (21,91%), 1,4-diaza-2,5

dioxobicyclo [4.3.0]nonane (C14H16N2O2) pada kulit (22,18%)dan daging

trenggiling (13,60%), Methanethiol (CAS) Mercaptomethane (17,35%), dan

Phenol, 3-methyl (CAS)m-cresol pada sisik yang dapat berfungsi untuk obat-

obatan, pestisida, fungisida, bahan bakar jet, plastik dan vitamin.

a.6. Kajian Populasi dan Habitat Tarsius (Tarsius spectrum) di Taman Nasional

Bantimurung Bulusaraung

Populasi Tarsius

Tarsius yang dijumpai secara tidak langsung melalui suara di berbagai lokasi

seperti di sepanjang jalur Gua Mimpi, Gua Batu maupun Biraeang. Tarsius bersarang

di tebing-tebing karst yang bervariasi ketinggiannya, yaitu antara 10 – 20 meter dari

permukaan tanah (Gambar 21). Sedikitnya dijumpai 3 - 8 kelompok Tarsius berdasar

suara yang berasal dari tebing karst di masing-masing lokasi dan waktu pengamatan.

Fluktuasi perjumpaan Tarsius berkaitan dengan adanya fluktuasi sumberdaya

pakan. Pada musim hujan, vegetasi lebih rapat sehingga kelimpahan serangga lebih

tinggi. Hal ini berarti sumberdaya pakan lebih melimpah sehingga Tarsius hanya

sedikit menggunakan waktu untuk mencari makan dan lebih susah untuk terdeteksi.

Sebaliknya, di musim kemarau vegetasi lebih kering sehingga kelimpahan serangga

berkurang. Hal ini berakibat pada waktu mencari makan lebih lama dan Tarsius

menjadi lebih mudah terdeteksi.

Gambar 21. Karakteristik sarang Tarsius di Kawasan Bantimurung

Kepadatan Tarsius di lokasi sekitar Gua Mimpi pada saat penghujan 0,4375

ekor/km2 dan saat kemarau 0,594 ekor/km

2. Kepadatan Tarsius di sekitar Gua Batu

saat penghujan 0,114 ekor/km2 dan saat kemarau 1,473 ekor/km

2. Kepadatan di

Biraeng, Kabupaten Pangkep saat penghujan sebesar 4,91 ekor/km2 dan saat

kemarau sebesar 2,00 ekor/km2 .

Page 63: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 48

Kepadatan maksimal Tarsius adalah pada musim kemarau. Kepadatan rata-rata

sebesar 1,82 ekor/km2

pada bulan Mei dan sebesar 0,81 ekor/km2 pada bulan

Oktober.

Karakteristik Habitat

Ketinggian sarang Tarsius bervariasi pada masing-masing lokasi yaitu berkisar

antara antara 5 – 50 meter di atas permukaan tanah. Selama pergerakannya, Tarsius

membutuhkan cabang dengan diameter kecil (< 4 cm) terutama untuk berburu dan

menjelajah. Diameter sedang (4 – 8 cm) terutama digunakan untuk istirahat dan

menandai daerah jelajah (home range). Sedangkan diameter > 8 cm juga digunakan

untuk istirahat dan menandai daerah jelajah (home range) meskipun tidak sebanyak

diameter sedang (MacKinnon dan MacKinnon, 1980).

Nama jenis penyusun vegetasi habitat Tarsius yang memiliki Indeks Nilai

Penting (INP) tinggi dan secara intensif digunakan dalam pergerakan harian yaitu:

Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.), Ficus spp., Mali-mali (Leea indica (Burm f.)

Merr.), dan Bitti (Vitex cofassus).

Karakteristik habitat tidur Tarsius adalah di lubang pada tebing karst. Vegetasi

yang memiliki INP tertinggi pada berbagai tingkat di habitat Tarsius adalah : Jabon

(Anthocephalus cadamba) pada tingkat pohon, Bungur (Langerstronia speciosa)

pada tingkat Tiang dan Pancang dan Biraeng (Ficus spp.) pada tingkat semai.

Potensi pakan

Secara umum Tarsius merupakan hewan pemakan serangga (insectivorus), di

samping juga dapat memanfaatkan vertebrata kecil lainnya seperti kadal dan burung.

Jumlah individu serangga pakan Tarsius yang tertangkap pada jenis jebakan

gantung dan jebakan tanam sebagai gambar berikut.

Gambar 22. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan gantung.

Jumlah individu serangga dengan jebakan gantung

02468

101214161820

Gua

Mim

pi I

Gua

Mim

pi II

Gua

Batu I

Gua

Batu II

Kaleb

ong Kaleng

kere

Galun

gkulang

I

Galun

gkulang

II

Rea

Lokasi

Ju

mla

h in

div

idu

musim kemarau

musim penghujan

Page 64: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 49

Gambar 23. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan tanam (pitt

fall traps)

Jumlah individu dan jumlah jenis serangga yang tertangkap lebih banyak pada

musim kemarau dibandingkan pada musim penghujan. Ketersedian pakan lebih

banyak pada saat musim kemarau. Tarsius lebih banyak mengkonsumsi kelompok

Orthoptera dan Lepidoptera. Sebaliknya selama musim kemarau Tarsius tetap

memakan beberapa jenis Orthoptera dan Lepidoptera, namun di samping itu juga

meningkatkan konsumsi Coleoptera dan Hymenoptera.

a.7. Kajian Populasi dan Habitat Anoa (Bubalus spp.) pada Kawasan

Konservasi di Propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo

Kawasan TN Bogani Nani Wartabone

Penelitian di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dilakukan di kompleks

hutan Gunung Poniki dan sekitarnya dengan luas wilayah penelitian 516 ha. Dalam

pengelolaanya wilayah ini masuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional

Wilayah (SPTNW) II Doloduo. Secara ekosistem masuk ke dalam tipe hutan dataran

rendah (300-1.000 m dpl.) dan hutan dataran tinggi (1.000-1.600 m dpl.). Secara

fisik, kondisi wilayah pengamatan didominasi oleh kelas ketinggian 900–1.000 m

dpl. yaitu seluas 204 ha, sedangkan untuk kelas kelerengan didominasi oleh kelas

25-45% seluas 171 ha. Suhu di lokasi penelitian berkisar pada 17oC di pagi hari dan

23oC di sore hari.

Hasil analisis vegetasi, ditemukan 98 jenis pohon yang dikelompokkan kedalam

48 famili dengan jumlah individu sebanyak 4.762 individu. Jenis famili yang

mendominasi adalah jenis Euphorbiaceae, Rubiaceae dan Meliaceae. Indeks Nilai

penting (INP) di kompleks hutan Gunung Poniki adalah: tingkat anakan pohon dan

pohon muda didominasi oleh jenis Orophea sp. Dengan nilai INP masing-masing

57,835% dan 51,742%. Sedangkan tingkat pohon, INP tertinggi pada jenis

Calophyllum soulattri Burm.f. atau Poguingon (INP = 32,106%). Dari hasil

pengamatan teridentifikasi sebanyak 28 jenis pohon pakan, di mana sebagian besar

Jumlah individu serangga dengan pitt fall traps

05

101520253035404550

Gua

Mim

pi I

Gua

mim

pi II

Gua

Batu I

Gua

Batu II

Kaleb

ong Kalen

gkere

Galun

gkulan

g I

Galun

gkulan

g II

Rea

Lokasi

Ju

mla

h in

div

idu

musim kemarau

musim penghujan

Page 65: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 50

bagian yang dimakan oleh anoa adalah bagian daun. Jenis-jenis tumbuhan pakan

tersebut di antaranya buah leler (Dillenia serrata), jenis rumput-rumputan

(Paspalum conjugatum), paku naga (Atryium nigripes) dan kunyit hutan (Alpinia

sp.).

Tempat yang digunakan sebagai pelindung atau cover, tempat tidur atau sarang

berupa gua batu dan rongga pohon. Jumlah jejak anoa yang ditemukan di lapangan

se-banyak 143 jejak dengan kepadatan 1.8 jejak/ha. Pengelompokan berdasarkan

kelas umur menghasilkan tingkatan 37 jejak merupakan jejak dewasa, 86 jejak

remaja dan 20 merupakan jejak anak. Kisaran ukuran populasi anoa adalah 5-14

individu dengan kepadatan sebesar satu (1) individu/km2. Hasil pengumpulan

terhadap morfometri tengkorak anoa yang berasal dari kawasan TNBNW diperoleh

sebanyak 6 spesimen yang terdiri dari 5 spesimen merupakan anoa dataran rendah

dan satu anoa gunung. Kisaran panjang tanduk untuk anoa dataran rendah adalah

18.5-29.5 cm dan 17-18 cm untuk anoa dataran tinggi.

Anoa, babi rusa atau babi putih dan babi hutan adalah satwa yang paling banyak

diburu oleh masyarakat yang diperoleh dengan mema-sang jerat atau dodeso di

sepanjang jalur anoa. Hasil dari buruan terse-but biasanya dijual di pasar-pasar

tradisional dengan harga mencapai Rp.28.000-30.000/kg. Keberadaan anoa, kini

mulai jarang ditemukan seiring dengan perubahan hutan yang merupakan habitat

anoa serta tingginya tingkat perburuan di alam.

Suaka Margasatwa Nantu

Suaka Margasatwa Nantu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No : 537/Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999 dengan luas

sebesar ±31.215 ha. Lokasi penelitian berada di sebelah selatan dengan luas wilayah

lokasi penelitian ± 3.300 ha. Secara fisik, kondisi SM Nantu bagian Selatan

didominasi oleh kelas ketinggian 0-200 m dpl. seluas 1.319 ha atau sebesar 39,97%

dari luas total. Kelas kelerengan didominasi kelerengan 25-45% yaitu seluas 1.142

ha atau sebesar 34,61% dari luas keseluruhan.

Hasil pengamatan vegetasi pada seluruh plot diperoleh sebanyak 9.608 individu,

terdiri dari 61 jenis yang dikelompokkan menjadi 29 famili. Tingkatan anakan

pohon, pohon muda dan pohon didominasi oleh jenis Thea lanceolata Piere. dengan

masing-masing nilai INP yang diper-oleh sebesar 54,968%, 50,218% dan 41,658%.

Sedangkan jenis famili yang mendominasi di wilayah ini yaitu famili Euphorbiaceae,

Annonaceae dan Guttiferae.

Di SM Nantu, kondisi populasi anoa jauh lebih banyak dibanding-kan di

kompleks hutan Gunung Poniki TNBNW. Dalam penelitian ini berhasil dijumpai

empat ekor anoa, tiga anoa di lokasi Hatibi yang terdiri dari jantan, betina dan anak,

warna bulu yang dijumpai berwarna merah, namun perjumpaan tersebut hanya

berlangsung secara singkat. Demikian pula anoa yang dijumpai di Blok Adudu yaitu

satu ekor anak anoa dengan bulu berwarna kuning keemasan. Jumlah jejak yang

Page 66: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 51

diperoleh sebanyak 180 jejak yang terdiri dari 103 jejak dewasa, remaja 59 jejak dan

anak-anak 18 jejak. Dari hasil perjumpaan langsung diperoleh dugaan kisaran

populasi anoa sebesar 20-22 individu, dengan kepadatan populasi di wilayah

penelitian sebesar 0,76 ind/km2.

Habitat Preferensi Anoa

Pemilihan habitat tertentu oleh anoa terhadap seluruh komponen habitat

sebanyak 14 habitat dengan nilai > . Hasil perhitungan tertinggi dengan

indeks preferensi terhadap 14 komponen habitat anoa baik fisik dan biotik dijelaskan

sebagai berikut:

1. Ketinggian tempat (X1): anoa memilih lokasi yang berada pada urutan ketinggian

>1.000 m dpl.; 800-1.000 m dp.l dan 600-800 m dpl. Ketinggian tempat sangat

erat kaitannya dengan gangguan, kesimpulan yang dihasilkan adalah semakin

tinggi suatu tempat maka semakin ideal sebagai habitat anoa.

2. Kemiringan lereng (X2): Indeks preferensi terhadap variabel kemiringan lereng,

diperoleh bahwa anoa lebih banyak melakukan aktivitasnya pada lokasi dengan

kemiringan lereng 9-15%; 16-25% dan 0-8%.

3. Kelembaban (X3): indeks preferensi terhadap variabel kelembaban relatif

menunjukkan bahwa lokasi dengan nilai kelembaban relatif > 90% dipilih oleh

anoa untuk melakukan aktivitasnya; 71-80% dan 81-90%.

4. Kerapatan tajuk atas (X4): indeks preferensi tertinggi terhadap tutupan tajuk atas

diperoleh angka 51-59% merupakan habitat yang paling disukai oleh anoa, disusul

81-89% dan > 91%.

5. Jarak dari sungai (X5): indeks preferensi tertinggi terhadap jarak dari sungai

menunjukkan bahwa kisaran jarak 401-600 m merupa-kan habitat yang disukai

oleh anoa disusul jarak 800-1.000 m dan > 1000 m. Meskipun menggunakan

habitat pada radial yang jauh dari sumber air namun dalam aktivitas hariannya,

anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada

air.

6. Jarak dari aktivitas manusia (X6): Indeks prefrensi terhadap jarak dari aktivitas

manusia menunjukkan angka jarak 6-8 km dari pemukiman menjadi habitat

dengan aktivitas anoa tertinggi, diikuti jarak >8 km dan 4-6 km. Meskipun

dikatakan anoa sangat menyukai habitat yang jauh dari gangguan dan aktivitas

manusia, namun tidak jarang anoa juga sering menggunakan habitat yang

berbatasan dengan wilayah perkebunan.

7. Jarak dari tepi hutan (X7): Indeks preferensi terhadap jarak dari tepi hutan (forest

edge) menunjukkan bahwa habitat dengan jarak 2-4 km jauhnya dari tepi hutan

adalah habitat yang paling disukai oleh anoa, diikuti dengan jarak <2 km dan >8

km. Hal ini menunjukkan bahwa habitat anoa berdasarkan jarak dari tepi hutan

adalah tersebar merata.

8. Jarak dari jalan (X8): Indeks preferensi terhadap jarak dari jalan menunjukkan

bahwa jarak dengan kisaran >8 km merupakan habitat yang paling disukai oleh

 

l2hit

 

l20.05,4( )

Page 67: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 52

anoa, diikuti dengan kisaran jarak < 2 km dan 2-4 km. Demikian halnya dengan

jarak dari aktivitas manusia, menunjukkan bahwa aktivitas anoa pada jarak dari

jalan adalah tersebar merata. Ada saat anoa menjauh dari gangguan namun

tidakjarang juga anoa mendatangi juga tempat-tempat yang dekat dengan aktivitas

manusia.

9. Kerapatan tumbuhan bawah (X9): Indeks Prefrensi terhadap nilai kerapatan

tumbuhan bawah, menunjukkan bahwa anoa memilih habitat yang memiliki nilai

kerapatan tumbuhan bawah pada kisaran 400.000-500.000 ind/ha. Kerapatan nilai

tumbuhan bawah terkait dengan ketersediaan pakan anoa di alam.

10. Kerapatan tingkat pohon (X10): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan

pohon, menunjukkan bahwa habitat dengan nilai kera-patan pohon 201-250

Ind/ha, dipilih oleh anoa untuk melakukan aktivitasnya.

11. Kerapatan tingkat pancang (X11): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan

vegetasi tingkat pancang, menunjukkan bahwa habitat yang memiliki kisaran

angka berada pada nilai 40.000-50.000 ind/ha.

12. Kerapatan tingkat tiang (X12): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan

vegetasi tingkat tiang menunjukkan bahwa habitat yang disukai oleh anoa di

TNBNW memiliki nilai kisaran > 2.800 ind/ha.

13. Kerapatan tingkat semai (X13): indeks preferensi habitat terhadap nilai

kerapatan vegetasi tingkat semai menunjukkan bahwa habitat dengan kisaran

angka 100.000-200.000 indivdu/ha, merupakan habitat yang sangat disukai oleh

anoa.

14. Jumlah jenis tumbuhan pakan (X14): indeks preferensi habitat terhadap nilai

jumlah tumbuhan pakan menunjukkan bahwa semakin bervariasi jenis tumbuhan

pakan di suatu habitat merupakan habitat yang paling disukai oleh anoa. Variasi

pakan menunjukkan kebutuhan satwa terhadap nutrisi tertentu, satwa memiliki

naluri dengan memilih berbagai jenis pakan seperti daun muda.

Faktor Dominan Habitat

Faktor dominan habitat diperoleh variabel yang sangat berpengaruh terhadap

kehadiran anoa adalah variabel ketinggian tempat (X1) dan nilai kerapatan vegetasi

pohon (X10). Model persamaan regresi yang diperoleh adalah:

ln Y = -5.664+0.932 ln X1 + 0.02X10.

Hasil persamaan regresi menunjukkan adanya indikasi bahwa semakin tinggi

suatu tempat di kawasan TNBNW, frekuensi kehadiran anoa akan semakin tinggi.

Hal ini membuktikan teori yang menjelaskan bahwa anoa kini menempati dataran

tinggi untuk menghindari adanya gangguan. Penggunaan habitat berdasarkan

ketinggian tempat tertentu juga dipengaruhi oleh musim. Musim penghujan biasanya

menempati habitat di puncak-puncak gunung, sedangkan musim kema-rau anoa akan

menempati ketinggian tempat yang lebih rendah untuk mencari sumber air. Variabel

kedua adalah kerapatan jumlah pohon. Semakin tinggi kerapatan jumlah pohon akan

Page 68: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 53

meningkatkan frekuensi kehadiran anoa, korelasi ini terkait dengan ketersediaan

tumbuhan pakan, kerapatan tajuk serta nilai kelembaban.

Potensi Tumbuhan Pakan

Jumlah jenis tumbuhan pakan yang teridentifikasi di Wilayah Seksi III Maelang

yaitu di Gunung Imandi ditemukan sebanyak 21 jenis, sebanyak 12 jenis di wilayah

Gunung Gambuta dan sebanyak 13 jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di wilayah

Gunung Sinombayuga. Sebagian jenis pakan alami anoa terdiri dari tumbuhan bawah

dan buah-buahan. Indeks kelimpahan diperoleh sebanyak 9 jenis tumbuhan pakan

memiliki nilai kelimpahan yang tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan di

lokasi Gn. Imandi memiliki indeks kekayaan (Dmg = 2,019) dan keanekaraman

jenis yang tertinggi (H’ = 1,879). Sedangkan indeks kemerataan jenis tertinggi

berada di lokasi penelitian Gn. Sinombayuga–Doloduo (J’=0,659). Semakin tinggi

indeks kemerataan jenis pada suatu habitat maka keseimbangan komunitas akan

semakin tinggi.

Kandungan Nutrisis Pakan Anoa

Dari 28 jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di Kompleks Hutan Poniki

TNBNW dan 31 jenis tumbuhan pakan dari SM. Nantu, hanya dilakukan analisis

terhadap 11 jenis tumbuhan pakan yang sering dimakan anoa. Hasil analisis

proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein yang terdapat pada beberapa jenis

pakan anoa memiliki nilai protein di atas 20% yaitu Calophyllum soulattri Burm.f.

sebesar 28,863%. Jenis yang memiliki kandungan lemak tertinggi yaitu jenis

Elatostema sp., kandungan serat kasar paling tinggi adalah Calophyllum soulattri

Burm.f sebesar 35,794%.

Pendugaan Kelimpahan Populasi Anoa

Pendugaan populasi anoa dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan

estimasi kepadatan jejak. Sifat yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia,

soliter dan memiliki daya jelajah luas merupakan faktor pembatas untuk menduga

populasi anoa secara pasti. Jumlah keseluruhan jejak kaki anoa yang dijumpai di tiga

lokasi pengamatan sebanyak 460 jejak yang terdiri dari kelas umur Dewasa (D)

sejumlah 237 jejak, Muda (M) sejumlah 197 jejak dan Anak (A) sejumlah 25 jejak.

Berdasarkan jumlah jejak yang dijumpai di masing-masing lokasi menunjukkan

bahwa habitat Gn. Imandi di Maelang lebih banyak jika dibandingkan dengan lokasi

di Gn. Gambuta Suwawa yaitu sebanyak 272 jejak dan 185 jejak. Berdasarkan

penghi-tungan terhadap jumlah populasi diketahui bahwa lokasi Gn. Imandi di

Maelang memiliki nilai kepadatan populasi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi

Gn. Gambuta di Suwawa dengan nilai kepadatan masing-masing sebesar 63,06

ekor/ha dan 51,39 ekor/ha.

Page 69: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 54

Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat

Variabel Habitat

Vegetasi

Hasil analisis citra satelit landsat tahun 2012 diperoleh kelas penutupan lahan

yaitu Hutan (hutan primer dan sekunder), kebun campuran, sawah, pertanian lahan

kering, pemukiman/lahan terba-ngun, semak belukar, badan air, lahan kosong dan

awan. Analisis citra menghasilkan nilai indeks vegetasi untuk kawasan TNBNW

berada pada selang -1 hingga 0,82. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan

lahan disajikan dalam Tabel 12.

Tabel 12. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan

Kelas Tutupan Lahan Luas

ha %

Hutan 275.330,20 97,23

Kebun 357,99 0,13

Sawah 1,54 0,00

Pertanian Lahan Kering 3128,62 1,10

Pemukiman /Lahan terbangun 0,003 0,00

Semak Belukar 3834,02 1,35

Badan Air 506,98 0,18

Tanah kosong 20,83 0,01

Awan dan Bayangan awan 0,00 0,00

Jumlah 283.180,19 100,00

1. Ketinggian tempat (elevasi) dan kemiringan lahan (slope)

Ke dua faktor dikategorikan sebagai faktor topografi, menurut National

Research Council (1993) dalam Okarda (2010), anoa dapat hidup hingga pada

ketinggan tempat di atas 2.300 m dpl. Data topografi diperoleh melalui Digital

Elevation Model (DEM) dengan resolusi 100 x100 meter. Secara umum keadaan

topografi kawasan TNBNW berupa rangkaian pegunungan dan lembah yang terjal

dengan ketinggian yang cukup bervariasi yaitu antara 50 – 2.000 m dpl.

Tabel 13. Luas kawasan TNBNW berdasarkan ketinggian tempat.

Kelas Ketinggian Luas

ha %

Kelas Ketinggian 0 – 300 m dpl 18.625 6,58

Kelas Ketinggian 300 – 600 m dpl 80.250 28,34

Kelas Ketinggian 600 – 1.000 m dpl 105.687 37,32

Kelas Ketinggian 1.000 – 1.300 m dpl 53.998 19,07

Kelas Ketinggian 1.300 – 1.600 m dpl 23.099 8,16

Kelas Ketinggian > 1.600 mdpl 1.521 0,54

Jumlah 283.180 100,00

Page 70: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 55

Tabel 14. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kemiringan lahan.

Kemiringan Lahan Kelas Luas

ha %

Datar 0 – 8 % 19.941 7,04

Berombak 8 – 15 % 34.376 12,14

Bergelombang 15 – 25 % 63.562 22,45

Berbukit 25 – 45 % 110.461 39,01

Bergunung > 45 % 54.840 19,37

Jumlah 283.180 100,00

2. Jarak dari Jalan

Berdasarkan hasil penelitian kajian karakteristik habitat anoa (Arini et al., 2011)

terdapat pemilihan habitat oleh anoa berdasarkan jarak dari jalan yaitu >8 km.

Artinya anoa cenderung menempati habitat yang sangat jauh dari gangguan

manusia. Jarak dari jalan diperoleh dengan metode Euclidean yang tersedia

dalam Software ArcGis 10.

3. Jarak dari Pemukiman

Menurut Mustari (2003), anoa memiliki kecenderungan terlihat lebih dari satu

kilometer dari jalan, atau titik-titik kegiatan manusia khususnya di Tanjung

Amalengo, Sulawesi Tenggara. Adanya fakta ini menunjukkan bahwa aktivitas

manusia (dalam hal ini pemukiman) akan mempengaruhi kehadiran anoa di suatu

habitat. Jarak dari pemu-kiman diperoleh dengan metode Euclidean yang tersedia

dalam Software ArcGis 10. Hasil uji menggunakan indeks pemilihan habitat

diperoleh jarak > 6 km dari pemukiman memiliki preferensi tertinggi. Ada

kecenderungan anoa menghindari adanya manusia dan aktivitas manusia serta

beberapa habitat yang tergang-gu (Mustari, 2003; Bason, 2012). Namun tidak

jarang jejak anoa ditemukan di pinggir-pinggir kebun dalam frekuensi yang

sangat sedikit.

4. Jarak dari Sumber Air

Hasil penelitian dengan menggunakan indeks pemilihan habitat menjelaskan

terdapat pemilihan habitat berdasarkan jarak dari sungai yaitu pada jarak 800

meter dari sungai (Arini, et al., 2011).

5. Jarak dari Forest edge

Jarak dari Forest edge didefinisikan sebagai jarak dari tepi hutan. Hutan, terutama

hutan primer yang tidak terganggu merupakan habitat utama bagi anoa. Tepi

hutan adalah gangguan dan cenderung untuk dihindari dengan memberikan respon

berpindah lebih jauh masuk ke dalam hutan yang tidak terganggu.

Page 71: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 56

Klasifikasi Tipe Habitat

Klasifikasi tipe habitat oleh anoa di kawasan TN. Bogani Nani Wartabone

dilakukan melalui pengkategorian habitat berdasarkan ketinggian tempat dan

tutupan lahan. Jumlah keseluruhan plot pe-ngamatan adalah 809 plot yang terdiri

atas 226 plot merupakan plot yang terdapat perjumpaan langsung maupun tanda-

tanda anoa yang ditinggalkan (presence ≈ 1) yang ditemukan di lapangan,

sedangkan sejumlah 583 plot merupakan titik di mana tidak atau kemungkinan

ditemukannya kehadiran anoa (pseudo absence ≈ 0). Titik-titik per-jumpaan inilah

yang nantinya akan digunakan sebagai variabel dalam penyusunan model regresi

logistik biner. Sebanyak 509 titik diguna-kan untuk membangun model dan 300 titik

digunakan sebagai uji validasi model.

Tabel 15. Pembagian tipe habitat.

Tipe Habitat Luas Jumlah

Plot ha %

Habitat non hutan (lahan

pertanian kebun campuran & pemukiman

dsb)/NH

4.894 1,73 123 plot

Hutan dataran rendah (300–1,000 m dpl.)/ HDR 197.791 69,85 481 plot

Hutan pegunungan (1,000–

1,600 m dpl.)/ HP 78.927 27,87 187 plot

Hutan lumut (> 1.600 mdpl)/HL 1.568 0,55 18 plot

Jumlah 283.180 100,00 809 plot

Indeks Pemilihan Habitat

Pemilihan terhadap suatu tipe habitat sangat dipengaruhi oleh kualitas serta

ketersediaan sumberdaya di dalamnya. Preferensi meru-pakan kemungkinan suatu

sumberdaya untuk dipilih satwa di antara sumberdaya yang ada dan menunjukkan

hasil perilaku suatu organisme (Jhonson, 1980; Singer, 2000; Chapman, 2000;

Olabarria et al, 2002). Preferensi satwa dalam suatu habitat dapat dipengaruhi oleh

ketersediaan sumber pakan, predator dan sejarah masa lalu dan prefe-rensi satwa

dapat digambarkan dari pola sebaran spasial (Underwood et al, 2004).Dari

perhitungan diketahui bahwa nilai 2

(hitung)>2

(tabel) yaitu 164,589 > 11,35 sehingga

dapat disimpulkan bahwa terdapat pemilihan tipe habitat oleh anoa di kawasan

TNBNW.

Dari tabel di atas diketahui bahwa terdapat pemilihan dalam penggunaan

habitat. Nilai w atau indeks preferensi pada habitat Hutan Lumut (w=14,38) dan

Hutan Pegunungan (w=1,92) menunjukkan lebih dari satu yang berarti bahwa

habitat tersebut sangat disukai oleh anoa yang ditunjukkan oleh banyaknya tanda

yang ditinggalkan ataupun perjumpaan secara langsung. Sedangkan Hutan Dataran

Rendah memiliki nilai indeks preferensi kurang dari 1 yaitu 0,55. Hal ini

menunjukkan bahwa habitat tersebut kurang disukai. Hal ini disebabkan karena

Page 72: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 57

sebagian hutan dataran rendah di kawasan TN Bogani Nani Wartabone telah ada

aktivitas manusia atau frekuensi gangguan manusia cukup tinggi. Hal ini

menyebabkan perubahan perilaku anoa yang sangat sensitif terhadap gangguan

yaitu dengan mencari tempat yang relatif lebih aman seperti di puncak-puncak

gunung atau hutan-hutan yang tidak terjangkau oleh aktivitas manusia.

Pembentukan Model Kesesuaian Habitat

1. Uji Multikolinieritas

Langkah dalam analisis regresi dimulai dengan melakukan uji korelasi antar

variabel. Uji yang digunakan adalah uji multikolinieritas. Ghozali (2006)

menyatakan bahwa uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model

regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Indikasi ada tidaknya

multikolinieritas dianalisis dengan menggunakan Tolerance Value (TOL) dan dari

Varians Inflation Factor (VIF) (Okarda, 2010; Ambagau, 2010; Kuswanda, 2011).

Nilai toleransi kurang dari 1 atau VIF lebih besar dari 10 menunjukkan

multikolinieritas signifikan.

Model Resource Selection Function (RSF)

Berdasarkan tahapan analisis di atas maka model RSF yang terbentuk dari

persamaan regresi logistik adalah sebagai berikut:

𝑃 =exp (– 24.419 + 5.407 𝑁𝐷𝑉𝐼 + 0.004 𝐸𝐿𝑉 + 4.672 log 𝐽𝑃𝑀)

1 + exp(– 24.419 + 5.407 𝑁𝐷𝑉𝐼 + 0.004 𝐸𝐿𝑉 + 4.672 log 𝐽𝑃𝑀)

Hasil model RSF di atas menjelaskan bahwa peluang pemilihan sumberdaya oleh

anoa di kawasan TNBNW sangat dipengaruhi oleh 3 faktor variabel habitat yaitu

tutupan lahan (indeks vegetasi), ketinggian tempat dan jarak dari pemukiman yang

menunjukkan frekuensi intensitas gangguan oleh manusia.

Pemetaan Kesesuaian Habitat Anoa di TNBW.

Penerapan model yang terbentuk akan menghasilkan peta probabilitas kesesuaian

habitat anoa. Peta probabilitas dibagi ke dalam tiga batas yang telah ditetapkan yaitu

daerah yang tidak sesuai, sesuai dan sangat sesuai (Tabel 16).

Tabel 16. Luas kesesuaian habitat anoa.

No Kelas Kesesuaian Habitat Luas

ha %

1. Kelas kesesuaian rendah 180.668 63,80

2. Kelas Kesesuaian sedang 45.788 16,17

3. Kelas kesesuaian tinggi 56.724 20,03

Jumlah Total 283.180 100,00

Dari tabel 16 di atas diketahui bahwa kelas kesesuaian habitat rendah memiliki

luasan terbesar yaitu 63,80%, diikuti kelas kesesuaian tinggi sebesar 20,03% dan

Page 73: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 58

kelas kesesuaian sedang sebesar 16,17%. Berdasarkan peta terlihat bahwa kelas

kesesuaian tinggi cenderung berada pada nilai ketinggian tempat yang tinggi dan

jauh dari gangguan manusia seperti pemukiman, jalan atau aktivitas lainnya. Dari

hasil perhitungan accuracy assesment dalam ERDAS 9.1, diperoleh nilai Overall

Classification Accuracy sebesar 81,00% dan nilai Kappa Statistic yang diperoleh

sebesar 64,23%. Hal ini berarti peta memiliki tingkat keakuratan model yang cukup

memuaskan.

Gambar 24. Peta Kesesuaian Habitat Anoa di Kawasan TNBNW

2. Aplikasi Model RSF

Taman nasional di Indonesia dikelola berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan

untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidik-an, menunjang budidaya,

pariwisata dan rekreasi di mana kriteria-nya didasarkan pada PP No. 68 tahun 1998.

Kawasan TNBNW dibagi ke dalam empat zona yaitu zona inti (171.935,34 ha), zona

pemanfaatan (17.670,18 ha), Zona Rehabilitasi (15.937,70 ha) dan zona Rimba

(77.813,97 ha). Hasil overlay antara peta kesesuaian habitat anoa dan peta zonasi

TNBNW menunjukkan bahwa sebagian besar kelas kesesuaian tinggi untuk habitat

anoa berada di dalam zona inti kawasan dengan luas sebesar 55.365 ha dan berada di

zona rimba sebesar 1.359 ha. Demikian pula dengan kelas kesesuaian habitat sedang

juga berada pada zona inti kawasan dengan masing-masing luasan 40.056 ha untuk

zona inti dan 5.732 ha untuk zona rimba.

Tabel 17. Luas kesesuaian habitat anoa berdasarkan zonasi TNBNW.

Zonasi TNBNW

Luas Kelas Kesesuaian Habita Anoa (ha)

Kesesuaian

Rendah

Kesesuaian

Sedang

Kesesuaian

Tinggi

Zona Inti 77.389 40.056 55.365

Zona Rimba 71.011 5.732 1.359

Zona Rehabilitasi 15.073 0 0

Zona Pemanfaatan 17.195 0 0

JUMLAH 180.668 45.788 56.724

Page 74: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 59

Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 yang menyebutkan

bahwa zona inti di suatu kawasan taman nasional merupakan wilayah yang

mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka

atau yang keberada-annya terancam punah. Habitat anoa dengan kelas kesesuaian

tinggi berdasarkan overlay, berada di zona inti dan zona rimba kawasan TNBNW

dan kondisi ini harus tetap dijaga dan diperta-hankan untuk mendukung keberadaan

anoa di kawasan ini.

Vegetasi kompleks hutan Gunung Poniki TNBNW didominasi oleh jenis

Orophea sp. Famili Euphorbiaceae, Rubiaceae dan Meliaceae merupakan jenis yang

mendominasi. Dari hasil analisis vegetasi, dijumpai sebanyak 28 jenis tumbuhan

yang teridentfikasi sebagai pakan anoa.

Kepadatan populasi anoa di Kompleks Hutan Gunung Poniki sebesar 1

individu/km2 dengan jumlah individu diperkirakan sebesar 5-14 individu. Kepadatan

jejak kaki sebesar 1.8 jejak/ha dengan jumlah jejak yang dtemukan sebanyak 143

jejak.

Jenis vegetasi yang dominan di lokasi penelitian SM. Nantu adalah jenis Thea

lanceolata Piere baik untuk tingkat anakan, pohon muda dan pohon. Famili

Euphorbiaceae, Annonaceae dan Guttiferae me-rupakan jenisyang mendominasi

jenis vegetasi di lokasi penelitian.Jenis vegetasi pakan yang dijumpai di lapangan

berjumlah 31 jenis.

Kepadatan populasi anoa SM. Nantu berkisar 0,76 individu/km2

dengan kisaran

populasi 20-22 individu. Kepadatan jejak yang ada di kawasan sebesar 0,53 jejak/ha,

dengan jumlah jejak yang ditemukan sebanyak 180 jejak.

Hasil regresi linier berganda menghasilkan duadominan terhadap habitat anoa

yaitu ketinggian tempat dan nilai kerapatan pohon.

Kelimpahan anoa berdasarkan jejak yang ditemukan di masing-masing lokasi

penelitian adalah sebagai berikut, 63,06 ekor/ha di Gn. Imandi Maelang, 51.39

ekor/ha di Gn. Gambuta Suwawa dan 3.4 ekor/ha di Gn. Sinombayuga Doloduo.

Nilai kepadatan jejak tertinggi ada lokasi di Gn. Imandi Maelang

Berdasarkan model Resource Selection Function (RSF) yang dibangun dengan

menggunakan model regresi biner diperoleh model kesesuaian habitat anoa di

kawasan TN. Bogani Nani Wartabone dengan tiga faktor variabelutama yang paling

berpe-ngaruh yaitu indeks vegetasi, jarak dari pemukiman dan ketinggian tempat.

Dari model yang diperoleh tiga kelas kesesuaian habitat anoa yaitu kelas

kesesuaian rendah sebesar 63,80% (180.668 ha), kesesuaian sedang 16,17% (45.788

ha) dan kelas kesesuaian tinggi sebesar 20,03% (56.724 ha).Hasil tumpang tindih

(overlay) antara peta kesesuaian habitat anoa dan peta zonasi TN. Bogani Nani

Wartabone, kelas kesesuaian tinggi secara keseluruhan berada di zona inti dan zona

rimba kawasan taman nasional.

Page 75: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 60

a.8. Estimasi Populasi dan Habitat Anoa Dataran Rendah (Bubalus

depressicornis) di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga, Kolaka,

Sulawesi Tenggara.

Penelitian dilakukan di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga, Kolaka,

Sulawesi Tenggara. Selama penelitian dilakukan pengumpulan data menggunakan 2

metode dengan hasil yaitu metode strip transect tidak ditemukan perjumpaan

langsung dengan anoa, sedangkan estimasi populasi anoa dengan perhitungan tanda-

tanda kehadiran yaitu jejak (footprint count) didapatkan perkiraan jumlah individu di

komplek hutan Salodong sebanyak 18 individu, sedangkan di komplek hutan Leang

Paniki sebanyak 20 individu. Dari perhitungan kepadatan populasi diketahui

Komplek Hutan Salodong sebanyak 5.39 individu/ha, sedangkan di Komplek Hutan

Leang Paniki sebanyak 5.45 individu/ha.Dari komposisi umur, populasi tidak stabil

dikarenakan jumlah anoa dewasa relative lebih banyak dibandingkan remaja.

Populasi stabil/ berkembang apa bila jumlah remaja lebih besar (Indrawanet al.,

2007).

Habitat anoa dilokasi penelitian berada jauh dari aktivitas manusia atau pada

hutan yang belum terjamah (virgin forest), terdapat aliran sungai, dengan

karakteristik berbatu dan bertebing curam.Hal ini sesuai dengan Mustari (2009) yang

menyatakan hutan dengan karakteristik berbatu dan bertebing curam dimana banyak

terdapat formasi gua bebatuan (limestone) juga dapat dijadikan anoa sebagai habitat,

namun dengan tingkat okupansi yang lebihrendah (Mustari, 2009). Sedangkan

menurutLabiro (2001) anoa (Bubalus sp.) tidak lagi memiliki habitat yang khas,

sebab anoa dataran rendah dapat ditemukan di dataran tinggi dan sekitarnya begitu

pula sebaliknya.Hal ini dimungkinkan karena habitat anoa terganggu oleh adanya

aktivitas manusia di dalam hutan.Karakteristik fisik habitat Anoa dilokasi penelitian

memiliki suhu berkisar 18 – 25 0C, kelembapan 62-70%, kemiringan 0-100%,

intense tascahaya 500-1, Phtanah 3.5-7, Ph air 7-8, suhu air 14-190C, dan ketinggian

766-1391 mdpl. Sedangkan, dari analisis vegetasi diketahui jenis yang dominan

pada tumbuhan bawah yaitu jenis Katilaporo 1 (Elatostema ingriflorum), sedangkan

untuk semua tingkatan pohon, jenis yang mendominasi adalah Jambu-Jambu

(Acronychiapedunculata.).

Terdapat 2 ancaman terhadap kelestarian anoa di HL. Peg. Mekongga yaitu

Perambahan dan Perburuan. Hal ini sesuai dengan Burton et al. (2005) yang

menyebutkan bahwa perburuan dan hilangnya habitat merupakan factor utama

menurunya populasi anoa di alam. Perambahan di lokasi penelitian dilakukan

masyarakat untuk dijadikan perkebunan coklat dan cengkeh. Sedangkan perburuan

dilakukan untuk kebutuhan daging dan ekonomi. Perburuan dilakukan dengan dua

metode yaitu dengan jerat dan anjing. Perburuan menggunakan jerat rata-rata

dilakukan 2 kali dalam seminggu dengan rata-rata mendapatkan anoa sebanyak 2-4

ekor. Sedangkan penggunaan anjing rata-rata dilakukan 2 kali dalam setahun dengan

rata-rata mendapatkan buruan anoa sebanyak 6-10 ekor. Jumlah terbanyak yang

Page 76: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 61

pernah didapatkan dengan anjing yaitu sebanyak 23 ekor dalam satu kali perburuan.

Daging dari satu ekor anoa dijual perbagian tubuh, dimana kaki depan dan belakang

(Rp. 170.000-Rp. 250.000/kaki), leher dan kepala (Rp.300.000-Rp.400.000), dada

(Rp. 200.000), rusuk dan pinggul (Rp. 250.000) dan rusuk dan punggung (Rp.

150.000-Rp.250.000). Dari informasi didapatkan bahwa daging anoa pernah

ditemukan dijual di salah satu pasar di Kolaka dengan harga 50-75 kg/kg (Balai

Penelitian Kehutanan Makassar, 2013).

Gambar 27. Pengukuran Jejak

a.9. Teknologi Konservasi Jenis Labi-Labi Moncong Babi (Carettochelys

insculpta) di Papua

Habitat

Habitat pasir peneluran Labi-labi di Sungai Vriendschap menyebar di sepanjang

sungai mulai dari hulu sampai dengan hilir termasuk kumpulan pasir di wilayah

rawa. Pasir yang terkumpul (sandbank) muncul saat debit sungai turun, tertutup atau

tenggelam saat debit air sungai meningkat. Peningkatan debit air terutama

Ket.Gambar

:teknikberburudengananjingdanjerat

Gambar 25. Pengambilan Sampel

Kotoran Anoa

Gambar 26. Pengukuran Jejak

Page 77: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 62

disebabkan oleh hujan di wilayah pegunungan yang terkumpul pada aliran Sungai

Baliem dan Sungai Seng kemudian bersatu pada satu aliran di Sungai Vriendschap.

Pasir terlihat sangat lebar dan luas pada saat sungai mulai surut.Tekstur pasir

peneluran terdiri atas beberapa bagian yang meliputi tekstur debu kasar sampai pasir

sangat kasar. Substrat dasar pasir terdiri dari pasir halus dan pasir dengan bebatuan

kecil/halus.

Gambar 28. Sebaran tekstur pasir peneluran sarang labi-labi moncong babi di

wilayah Sungai Vriendschap

Gambar 28 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai

Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama

dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir

peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran,

tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat

kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI)

sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V)

sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor (rawa)

terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan sebarannya di

dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai) dan Indama tekstur

pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan sedang. Sebaran

tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit dimana tekstur

pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar, sedang, halus dan

debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas dua kelompok pasir

yaitu pasir sedang dan halus.

Dalam wilayah jelajah labi-labi moncong babi, penggunaan pasir persarangan

tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi labi-labi moncong babi

betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya

(Doody et al., 2002). Sarang-sarang labi-labi moncong babi umumnya terdapat pada

pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air

(Georges et al., 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir

0 0 1

11

3

0 1

2 3

0 0 0

2

4 4

1 0

3

1 2

3

0 0 0 0 0

6

1 0 0

02468

1012

I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 -

0.25)

IV (0.25 -

0.1)

V (0.1 -

0.05)

VI (0.05 -

0.02)

Tekstur pasir (mm)

Bor (Rawa)

Bor

(Sungai)Obokain

Indama

Sumo

Σpasi

r

Page 78: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 63

masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, pada pasir dengan

sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas

air (Doody et al., 2003b), pada pasir di sungai, pasir ditikungan alur sungai, atau di

anak sungai kecil yang memasuki aliran utama (Georges et al., 2008b), pasir pada

tepi sungai atau rawa.

Tingginya jumlah jejak tidak diikuti oleh keberhasilan dalam proses peneluran

atau membuat sarang di sungai Vriendschap dapat disebabkan oleh beberapa faktor

seperti 1) adanya gangguan suara motor perahu saat induk naik ke pasir untuk

bertelur, 2) perburuan induk di saat hendak naik ke pasir, 3) kondisi pasir yang masih

basah oleh luapan air sungai, 4) turunnya hujan di sore hari sebelum hari gelap, dan

5) gangguan alam (atmosfir) berupa kilatan-kilatan cahaya dilangit yang biasa

menandakan hujan akan turun. Pada peneluran penyu di pantai, kepadatan pasir

dapat memberikan kontribusi bagi berkurangnya kehadiran jumlah sarang.Pasir yang

padat umumnya masih terkena dampak hempasan air laut ataupun air sungai saat

banjir yang menghasilkan jumlah sarang lebih sedikit dibanding jumlah sarang yang

terdapat pada pasir tidak padat. Triantoro dan Kuswandi (2005) mendapati jumlah

sarang penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) di Suaka Margasatwa (SM)

Jamursba Medi lebih sedikit pada bagian pantai yang padat akibat sering mengalami

limpasan atau abrasi air sungai, sementara Karavas et al. (2005) mendapati

berkurangnya jumlah sarang jenis penyu tempayan (Caretta caretta) di bagian barat

pantai dibandingkan jumlah sarang di bagian timur Pantai Sekania, akibat semakin

meningkatnya konsentrasi pasir halus dari timur pantai ke barat pantai. Peningkatan

konsentrasi pasir halus tersebut mengakibatkan struktur pasir menjadi lebih padat

yang dihindari oleh penyu Tempayan.

Potensi pasir dengan jejak induk yang cukup banyak terdapat pada pasir sangat

kasar (I) dan halus (IV) pada wilayah Obokain dan pasir sedang (III) pada wilayah

Sumo, sedangkan jumlah sarang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok

pasir halus (IV) di wilayah pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo.

Potensi jejak induk labi-labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang)

menggambarkan bahwa kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus di

Sungai Vriendschap berpotensi dijadikan pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi

induk labi-labi untuk melakukan aktifitas bertelur. Pasir peneluran di wilayah

Obokain paling dipilih oleh induk labi-labi moncong babi untuk dijadikan tempat

bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan Sumo juga

mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh induk labi-labi

moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi. Sementara pasir

peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) mempunyai potensi yang kecil

untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan rendahnya jumlah jejak

maupun sarang yang ditemukan. Pada Sungai Jeprey, tekstur pasir di dominasi

tekstur pasir sedang, diikuti tekstur pasir halus dan kasar. Keberadaan jejak dan

Page 79: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 64

sarang labi-labi moncong babi menyebar pada tekstur pasir kasar, sedang dan halus,

dengan konsentrasi jejak dan sarang terbaik pada tekstur pasir halus.

Pada induk betina labi-labi moncong babi, kepekaaan terhadap isyarat

lingkungan dalam proses peneluran ditunjukkan berbeda dengan yang ditemukan

pada proses peneluran penyu. Minimnya aktifitas peneluran oleh induk labi-labi

moncong babi disebabkan adanya gangguan cuaca (hujan) baik yang terjadi pada

wilayah Vriendschap maupun pada wilayah pegunungan. Hujan yang turun pada

wilayah Sungai Vriendschap menyebabkan basahnya pasir peneluran sedangkan

hujan yang turun pada wilayah pegunungan menyebabkan permukaan air sungai

meningkat sehingga menutup sebagian atau seluruh pasir peneluran.

Sebaran pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) mempunyai tutupan vegetasi

yang lebih luas dibandingkan pasir peneluran yang berada di wilayah tepi sungai

(Obokain, Indama dan Sumo). Jenis vegetasi yang dominan menutupi pasir

peneluran di wilayah rawa terdiri atas beberapa jenis rumput seperti Ludwigia

scandens, Scirpus glosus, Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka. Di luar

jenis-jenis rumput tersebut, jenis Pandanus lauterbachii terlihat bersama-sama

mendominasi wilayah rawa.

Tutupan vegetasi pada wilayah tepi sungai Vriendschap lebih banyak di

dominasi jenis Casuarina rumphiana (Gymnostoma rumphianum), Sacharum

spontaneum dan Cyperus rotundus.Jenis Casuarina rumphiana dapat tumbuh dan

menyebar pada pasir peneluran di tepi sungai disebabkan buahnya terbawa air sungai

saat meluap.Jenis ini sudah terdapat di wilayah Bor (rawa) namun masih jarang

sebarannya.Sementara jenis rumput Sacharum spontaneum tumbuh secara

mengelompok pada pasir peneluran dan menyebar mulai dari wilayah Bor (sungai)

sampai Sumo namun masih dalam jumlah sedikit di wilayah Bor (rawa). Jenis

Cyperus rotundus baru ditemui pada wilayah Obokain dengan konsentrasi cukup

banyak pada pasir dimana terdapat banyak sarang peneluran (pasir nomor 3 pada

wilayah pemanfaatan Obokain).

Jenis vegetasi yang terdapat di sekitar hulu sungai Vriendschap meliputi

Casuarina rumphiana, Duabanga moluccana Blume, Anthocephalus cinensis,

Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus variagata, Premna corymbosa,

Dysoxylum moltissimum, Timonius timons, Canarium indicum, Pandanus

polycephalus Lamk.,Pandanus tectorius Sol., Calamus spBlume dan Koorthalsia

sp.Vegetasi pada rawa peneluran meliputi Intsia bijuga ok.,Heritiera littoralis,

Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica Miquel, Hibiscus tiliaceus L.,

Elaeocarpus spaericus K., Gymnacranthera paniculata, Myristica fatua Houtt,

Schefflera lucescens, Alstonia sp, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius

Sol. dan Freycinetia funicularis Mar, sedangkan jenis vegetasi yang terdapat pada

rawa sebagai tempat perkembangan hidup meliputi Alstonia cf macrophylla,

Myristica fatua, Gymnocranthera paniculata, Hibiscus tiliaceus, Campnosperma

Page 80: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 65

auriculata, Gluta renghas, Evodia gonwichi, Anthocephallus cadamba, Canarium

indicum, Artocarpus elasticus, Artocarpus communis, Ficus Benjamina, Intsia bijuga

ok., Cryptocaria sp, Sterculia parkinsonii, Sterculia singilawi, Inocarpus sp,

Heritiera littoralis, Syzygium verstegi, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus

tectorius Sol., Freycinetia funicularis Mar., Hidriastele costata, Rophaloblaste

ladermanii dan Caryota rumphiana. Pada pasir peneluran di Sungai Jeprey,

vegetasinya meliputi vegetasi berkayu dan vegetasi non kayu.

Tumbuhan di tepi Sungai atau Rawa Vriendschap, yang diperkirakan menjadi

sumber makanannya adalah Pandanaceae (Pandanus polycephalus Lamk.,Pandanus

tectorius Sol. dan Pandanuslauterbachii), Sagu (Metroxylon sp), Premna corymbosa,

Dysoxylum moltissimum, Syzygium verstegi, Ipomoea aquatica (kangkung air) dan

Pragmintes karka (rumput air). Hasil analisa makanan dari perut labi-labi moncong

babi di Australia, ditemukan remah-remah buah pandan batu, daun Melaleuca spp,

biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air

tawar (Thiaridae sp), Water boatmen (Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes

scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut

(Iridomyrmex sp) (Schodde et al., 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon

Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae,

ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan

Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett, 1989). Buah pandan dari beberapa

jenis, setelah tua jatuh dan masuk kedalam sungai yang dapat menjadi makanan bagi

labi-labi.

Pada sungai Vriendschap, terdapat perbedaan sifat penutupan vegetasi antara

pasir peneluran di wilayah rawa dengan pasir peneluran di tepi sungai akibat

perbedaan jenis vegetasi penyusun.Pasir peneluran di wilayah rawa lebih di dominasi

oleh rerumputan dengan pertumbuhan yang rapat seperti Scirpus glosus (rumput

pisau), Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka, sedangkan pada pasir

peneluran di tepi sungai sifat penutupan vegetasi diselingi pepohonan dan rumput.

Sifat penutupan rapat yang terjadi pada pasir peneluran yang terdapat di tepi sungai

disebabkan telah terjadi pembentukan pulau vegetasi pada pasir peneluran dengan

memberikan ruang pasir peneluran di sekeliling vegetasi, sementara sifat penutupan

yang tidak rapat terjadi apabila jenis vegetasinya tumbuh secara menyebar dalam

kelompok-kelompok (rumpun-rumpun) kecil atau tunggal dengan memberikan ruang

pasir peneluran di antara kelompok-kelompok vegetasi atau di celah-celah vegetasi

yang ada.

Jenis yang mengelompok (berumpun) diisi oleh jenis Sacharum spontaneum

(tebu air) sedangkan jenis Cyperus rotundus pertumbuhannya menyebar.Walaupun

pertumbuhannya menyebar namun batangnya yang kecil dan lemah masih bisa

diterobos oleh induk labi-labi untuk melakukan persarangan dicelah-celahnya dan

tidak mengurangi tingginya intensitas cahaya matahari. Di Sungai Jeprey, sebaran

jenis Mimosa pudica dapat menutupi pasir peneluran. Batangnya yang berduri dan

Page 81: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 66

sebaran pertumbuhannya yang rapat (mengelompok) dapat memberikan kesulitan

bagi induk labi-labi moncong babi menemukan pasir diantara vegetasi ini dan

membuat sarang.Secara umum penyebaran Mimosa pudica pada pasir peneluran di

Sungai Jeprey belum meluas.Gambaran vegetasi penutup pasir dapat dilihat pada

Gambar 29 dibawah ini.

a

Gambar 29. Tutupan (a) Mimosa pudica (putri malu) pada pasir peneluran di sungai

Jeprey dan (b) Scirpus glosus pada pasir peneluran di sungai Vriendschap

Populasi

Populasi labi-labi moncong babi tahun 2009 - 2012 di Sungai Vriendschap,

kabupaten Asmat, menunjukkan tahun 2009 populasi jejak labi-labi yang naik ke

pasir sebanyak 1059 jejak dengan sarang sebanyak 720 buah. Tahun 2011 total

jejak labi-labi moncong babi berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak terdapat di

wilayah rawa sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai (rata-rata = 11.44 ±

34.11;kisaran = 0 – 201), sedangkan total sarang berjumlah 131 sarang dengan

rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa dan 124 sarang terdapat di sepanjang

sungai (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Tahun 2012 di wilayah Bor

(rawa) populasi jumlah jejak yang didapat selama 7 hari pengamatan sebanyak 53

dan jumlah sarang sebanyak 13. Tahun 2013 di Sungai Jeprey, kabupaten Kaimana,

populasi jejak induk sebanyak 221 jejak dan populasi sarang sebanyak 61 sarang

dengan pengamatan selama 14 hari.

Hasil penelitian lapangan yang dilakukan di Rawa Bor, Sungai Katarina, dan

Sungai Vriendschaap yang berada dalam wilayah Kabupaten Asmat, provinsi Papua,

ditemukan 13 sarang dan 53 jejak dari labi-labi moncong babi dengan rata-rata 20

telur per-sarang

Kepadatan sarang (2011) sebesar 2.76 sarang/Ha dan kepadatan jejak sebesar

5.74 jejak/Ha pada pasir peneluran yang terdapat vegetasi, lebih tinggi dibandingkan

kepadatan sarang sebesar 0.23/Ha dan jejak sebesar 4.19/Ha pada pasir yang tidak

terdapat vegetasi. Pada tahun 2013, kepadatan jejak pada pasir bervegetasi adalah

b

Page 82: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 67

67,24/Ha dan kepadatan sarang adalah 21,81/Ha. Pada pasir tanpa adanya vegetasi

diperoleh kepadatan jejak sebesar 43,50/Ha dan kepadatan sarang sebesar 12,24/Ha.

Apabila didasarkan pada perimeter, terlihat kepadatan sarang sebanyak 9.00

sarang/Km dan jejak sebanyak 18.70 jejak/Km pada pasir peneluran yang terdapat

vegetasi lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.75 sarang/Km dan

jejak sebesar 13.63 jejak/Km pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Dari sisi

kepadatan harian, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009 selama 34 hari (15

Oktober – 19 November) sebanyak 720 sarang, tahun 2011 selama 18 hari (8 – 25

November) sebanyak 132 sarang, tahun 2012 selama 7 hari sebanyak 13 sarangdan

tahun 2013 selama 14 hari (1 – 14 Oktober) sebanyak 61 sarang, maka jumlah rata-

rata sarang tahun 2009 sebanyak 21 sarang/hari, jumlah rata-rata sarang tahun 2011

sebanyak 7 sarang/hari, tahun 2012 sebanyak 2 sarang/hari dan tahun 2013 sebanyak

4 sarang/hari.

Pengaruh faktor lingkungan utama terhadap keberadaan jejak dan sarang labi-

labi moncong babi di Sungai Vriendschap berbeda dengan yang di Sungai Jeprey. Di

sungai Vriendschap, dari 6 faktor lingkungan yang meliputi luasan pasir, panjang

pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan

pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir,

diperoleh faktor luas tutupan vegetasi yang paling memberikan pengaruh atas

keberadaan jumlah jejak dan sarang. Sementara di Sungai Jeprey, dari 3 faktor

lingkungan yang meliputi luasan pasir, luas tutupan vegetasi dan tekstur pasir,

diperoleh faktor luasan pasir paling memberikan pengaruh terhadap keberadaan

jumlah jejak induk, namun ketiga faktor tersebut tidak ada yang memberikan

memberikan pengaruh terhadap keberadaan jumlah sarang. Pada labi-labi moncong

babi, pasir bervegetasi (Sungai Vrendschap) dan luasan pasir (Sungai Jeprey) paling

mempengaruhi keberadaan jejak dan sarang. Hal berbeda dengan induk betina jenis

Spotted turtle (Clemmys guttata) yang menunjukkan mereka lebih memilih kondisi

substrat untuk sarang dibandingkan lokasi untuk bersarang (Rasmussen dan Litzgus,

2010).

Biologi Peneluran

Diameter rata-rata sarang yang dibangun di Sungai Vriendschap adalah 11.91 ±

1.73 cm (n = 62, kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38

± 1.86 cm (n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang

adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34), dengan diameter rata-rata adalah

41.33 ± 1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ±

6.30 gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang

yang keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur labi-

labi moncong babi yang tidak normal (abnormal).

Karakteristik ukuran morfologi dari induk betina labi-labi moncong babidi

Sungai Vriendschap meliputi rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14,

Page 83: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 68

kisaran = 10.43 – 13.38), rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14,

kisaran = 35 – 39), rata-rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran =

27 - 31), rata-rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14,

kisaran = 46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ±

2.91 cm (n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah

48.16 ± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus

kerapas (SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36).

Etnozoologi (pemanfaatan) labi-labi moncong babi

Intensitas pemanfaatan terhadap telur labi-labi moncong babi di Sungai

Vriendschap, Asmat mencapai 100% (sangat tinggi) dimana pengambilan telur tidak

terbatas dan tidak menyisakan satupun telur dalam sarang untuk menetas secara

alami. Pemanfaatan indukmerupakan dampak dari pemanenan telur dalam semusim

peneluran dan jumlah yang ditangkap untuk di konsumsi juga tidak ada batasan

minimal, tergantung pada kesempatan menangkap induk dan kemampuan daya

angkut perahu. Tingginya intensitas pemanfaatan disebabkan telur ditetaskan dan

diperdagangkan dalam bentuk tukik (anakan). Diprediksikan selama hampir 10

tahun (mulai tahun 2001) telah terjadi hilangnya generasi labi-labi moncong babi di

Sungai Vriendschap karena induknya di konsumsi dan telurnya di ambil tanpa

menyisakan sebutir pun dalam sarang alaminya.

Pemanfaatan induk dan telur labi-labi moncong babi di Sungai Jeprey, Kaimana

masih sebatas untuk konsumsi dan belum sampai pada taraf perdagangan. Hal

tersebut disebabkan masyarakat masih mempunyai alternatif hewan buruan yang

dapat dijual sebagai sumber pendapatan seperti Kasuari (Casuari sp), babi hutan (Sus

sp) dan rusa (Cervus timorenses). Kedepannya, telur labi-labi moncong babi

dimungkinkan dapat diburu dan diperdagangkan oleh masyarakat di sekitar Sungai

Jeprey apabila masyarakat sudah kesulitan mendapat hewan buruan untuk

diperdagangkan dan sudah mengetahui nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari

penjualan tukik.Kondisi tersebut disebabkan pola ketergantungan dan pemanfaatan

sumber daya alam pada masyarakat lokal masih tinggi.

Intensitas pemanfaatan telur labi-labi moncong babi yang sangat tinggi di Sungai

Vriendschap menjadi ancaman tersendiri bagi pelestarian populasinya di alam.Di

Sungai Kikori (PNG), intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi menyebabkan

penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006 (Georges et al., 2008b)

dan penurunan populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang

terindikasi dari kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang

sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina

yang dipanen (Eisemberg et al., 2011).

Komposisi gizi daging labi-labi moncong babi

Komposisi kandungan gizi labi-labi moncong babi dilakukan sebab masyarakat

di sekitar Sungai Vriendschap dan Sungai Jeprey telah memanfaatkannya sebagai

Page 84: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 69

sumber bahan makanan pengganti daging dan tidak menutup kemungkinan upaya

penangkaran labi-labi moncong babi kedepannya dalam menjaga dan mendapatkan

sumber ketahanan pangan yang baru. Hasil analisis proksimat menunjukkan

mayoritas penyusun daging labi-labi moncong babi terdiri dari air. Kandungan air

pada daging labi-labi mentah berkisar antara 78,56 % – 79,07 %. Kadar protein dari

labi-labi yang berkisar 16,39 – 18,40 masih lebih besar daripada nilai protein pada

Keong (12,00), Kodok (16,40), Kerang (8,00), dan Kepiting (13,80) (Siahaan, 2012).

Hasil analisa nutrisi pada daging labi-labi bagian dada dan paha menunjukkan

kandungan yang terdapat dalam kedua sampel daging memiliki nilai yang tidak jauh

berbeda, kecuali nilai kolesterolnya pada dada memiliki nilai lebih tinggi. Nilai

kandungan kolesterol pada bagian dada sebanyak 25 mg/ takaran saji.

Data morfometri dari 5 ekor labi-labi tersebut memiliki variasi ukuran cukup

tinggi. Bobot labi-labi tersebut bervariasi dari 2 kg hingga 11 kg. Pemanfaatan labi-

labi moncong babi terbagi atas 2 golongan yaitu masyarakat lokal (asli Papua) yang

mengumpulkan telur dan meng-onsumsi telur dan daging, dan pemanfaatan oleh

masyarakat dari luar (non lokal) yang mengumpulkan telur. Hasil analisis kandungan

nutrisi menunjukkan bahwa daging labi-labi moncong babi terdiri dari 78,56% air,

1,08% abu, 1,54% lemak dan 18,40% protein. Analisis asam lemak yang dilakukan

menunjukkan bahwa dalam daging labi-labi terkandung beberapa jenis asam lemak

(asam miristat, asam palmitat, asam stearat, asam palmitoleat, asam oleat, asam

linoleat (omega 3), dan asam arakhidonat (AA)).

Keragaman Genetik

Keragaman genetik dari wilayah Sungai Jeprey berhasil diperoleh, sementara

dari Sungai Vriendschap belum berhasil dilakukan. Keragaman genetik labi-labi

moncong babi berdasarkan Nei’s Gene Diversity (Nei, 1978) pada populasi di Sungai

Jeprey adalah 0,3632.Nilai ini termasuk tinggi, yang berarti pada populasi tersebut

memiliki fitness tinggi dan memiliki peluang untuk lestari. Populasi dengan

keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik untuk

beradaptasi dengan lingkungannya (Rina, 2000) dalam Indrasari (2002). Individu 1,

individu 2, individu 4, individu 5, dan individu 6, merupakan kelompok pertama

yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat, sementara kelompok kedua yang

mempunyai kekerabatan dekat adalah individu individu 3 dan individu 7.

Pergerakan atau daya jelajah dari labi-labi moncong babi di Sungai Jeprey cukup

jauh.Hal tersebut terlihat pada hubungan kekerabatan yang ada. Individu 5 dan 7

termasuk dalam kelompok kekerabatan yang berbeda, sementara kedua individu

ditemukan pada wilayah sungai yang sama yaitu kearah hulu. Kemampuan daya

jelajah labi-labi moncong babi yang jauh menyebabkan keragaman genetiknya di

alam cukup baik akibat minimnya kemungkinan terjadinya inbreeding. Dengan

keragaman genetik yang baik maka kemampuan jenis untuk berkembangbiak dan

bertahan di alam juga baik dan secara tidak langsung kelestarian dan populasi

Page 85: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 70

genetiknya tetap lestari. Kemampuan daya jelajah yang tinggi di alam, di dukung

oleh rute pergerakannya yang masih sangat baik dan tidak terhalang antara Sungai

Jeprey dengan Danau Yamur, dan Sungai Jeprey dengan sungai-sungai utama

lainnya di sekitar Kaimana, seperti Sungai Napuri. Kondisi habitatnya harus tetap

terjaga dan hubungan antar sungai tidak boleh terhalang oleh kepentingan lain,

misalnya pembuatan bendungan, yang dapat memutus kemampuan jelajah labi-labi

moncong babi. Kasus pembendungan sungai dapat saja terjadi terutama pada alur-

alur sungai yang tidak lebar dan dalam.Habitat atau alur-alur sungai dimana satwa ini

hidup sebagian masuk dalam areal konsesi Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan

(IUPHH) Kaltim Utama.Pembuatan jalan yang melintasi alur sungai untuk aktifitas

logging, dikuatirkan dapat menggangu dan memutus alur pergerakan jenis ini di

alam.Apabila dikaitkan dengan kampanye “Go Green”, maka perusahaan dapat

mempunyai nilai tambah apabila dapat memberikan suatu pengelolaan yang baik

terhadap jenis dilindungi ini di alam.

Selain faktor habitat yang perlu dipertahankan untuk menjaga kelestarian labi-

labi moncong babi di alam, faktor pemanfaatan untuk kebutuhan konsumsi

masyarakat lokal perlu juga diperhatikan.Wilayah sebaran hidup atau peneluran labi-

labi moncong babi umumnya berada di wilayah yang jauh ke dalam areal hutan

(pedalaman), yang kondisi ekonomi masyarakatnya terbatas.Terbatas bukan hanya

dari segi pendapatan tetapi terbatas dalam mendapatkan kebutuhan pangan diluar

sumber pangan yang berasal dari alam.Secara tidak langsung, ketergantungan pangan

dari alam juga cukup tinggi, tidak terkecuali sumber pangan dari satwa yang hidup di

air (labi-labi moncong babi, kura-kura air tawar lain, dan berbagai jenis ikan). Saat

ini, masyarakat di sekitar Sungai Jeprey dan Danau Yamur sudah memanfaatkan

labi-labi moncong babi sebagai sumber makanan, namun mereka belum sampai

kepada tahap memperdagangkan. Hilangnya genetik akibat pemanenan atau

eksploitasi berlebih dapat menyebabkan meningkatnya resiko menuju kepunahan dan

menurunkan tingkat pemulihan dari populasi (Allendorf et al., 2008).

Gambar 30. Telur dari labi-labi Moncong Babi

Page 86: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 71

Gambar 31. Sarang labi-labi Moncong Babi

Gambar 32. Labi-labi Moncong Babi

Gambar 33. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal

Gambar 34. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal

Page 87: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 72

a.10. Habitat dan Sebaran Populasi Rusa Sambar di Kaltim

Status Rusa Sambar

Status perlindungan rusa sambar di IUCN adalah vulnerable dan merupakan

hewan yang dilindungi menurut undang-undang Ordonansi dan Peraturan

Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No. 134 dan 266. Peraturan Pemerintah

Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan

Satwa, pada tanggal 27 Januari 1999 memasukkan semua jenis dan genus Cervus

kedalam Lampiran Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Anonim,

2008).

Penyebaran rusa sambar di Kalimantan tercatat ada di semua daerah, baik hutan

primer maupun hutan sekunder. Penyebarannya terdapat di daerah sekitar Bantol,

Sungai Malinau, Sungai Semendarut, Sungai Sesayap, Apau Kayan, Long Pahangai,

Muara Wahau, Sungai Sangatta, Kutai, Muara Langun, Bukit Soeharto dan Muara

Koman. Habitat yang disukai adalah hutan yang terbuka atau padang rumput dan

hidup pada berbagai ketinggian mulai dari dataran rendah sampai daerah pantai

hingga ketinggian 3000 m di atas permukaan laut. (Yasuma, 1990), semak belukar

yang rapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung dan bersembunyi

(Ariantiningsih, 2000).

Populasi rusa di alam dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu

kelompok yang hidup di kawasan hutan lindung/konservasi dan yang hidup di luar

kawasan tersebut. Tidak ada data yang pernah dicatat mengenai populasi yang berada

di kawasan non konservasi. Perburuan secara modern (senjata api) yang cukup

tinggi, beberapa populasi yang tertinggal tidak diketahui (Semiadi, 2002).

Eksploitasi terhadap hidupan liar di Indonesia akan mengakibatkan munculnya

masalah-masalah konservasi (Suhartono, 2003).

Data jumlah satwa yang terdapat di alam merupakan sangat penting dalam

sebuah pengelolaan kawasan. Namun demikian untuk mengetahui jumlahnya secara

tepat sangat sulit dilakukan dan memerlukan teknik penghitungan khusus. Secara

garis besar metode yang sering dipergunakan yaitu penghitungan secara langsung

dan tidak langsung (Rabinowitz, 1997).

Keberadaan rusa sambar di Kalimantan Timur juga tidak terlepas dari

tersedianya habitat sebagai kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik

yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta

berkembang biaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan

lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat

mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Habitat yang sesuai

untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa

menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Habitat suatu jenis satwa liar

merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta

dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (UGM, 2007)

Page 88: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 73

Rusa unicolor adalah salah satu jenis herbivora yang dilindungi dan kini

keberadaanya semakin berkurang dikarenakan perburuan dan kerusakan habitat.

Prosentase penyebaran populasi di Kalimantan Timur terdapat di kawasan Hutan

Lindung Sungai Wain (HLSW) di tiga lokasi yang berbeda adalah 48% pada tipe

habitat hutan primer campuran sekunder, 39% tipe hutan primer dan 13% tipe

sekunder. Penyebaran rusa sambar di HLSW terdapat pada ketinggian antara 18,28m

– 91,13m. Tipe habitat Rusa Sambar di HLSW adalah hutan primer campuran dan

tercatat terdapat 63 jenis tumbuhan pakan rusa. Tumbuhan yang dimanfaatkan

sebagai pakan adalah famili Leguminoceae 43%, Euphorbiaceae (10%), Lauraceae

(9%) Meliaceae (7%).

Rusa di Sangkulirang sangat jarang ditemui dikarenakan aktivitas masyarakat

seperti berladang, berburu dan menebang pohon. Adanya perusahaan sawit yang

intensif disekitar kawasan mengakibatkan rusa sambar semakin jauh masuk kedalam

hutan, Di habitat hutan Sangkulirang terdapat 25 jenis tumbuhan pakan rusa antara

lain famili Annonaceae 8%, Rutaceae, Cyperaceae dan Dileniaceae 8%,

Euphorbiaceae 13%, Leaceae 16%, Leguminoceae 9%, Moraceae 8%, Rubiaceae

5% dan schicaeae 8%.

Habitat rusa sambar di Tane Olen kab. Malinau berbukit-bukit dengan

ketinggian antara 100 – 700 m dpl. Rusa sambar mempunyai sifat alami untuk

mencari mineral pada mata air yang mengandung mineral tinggi. Perburuan yang

dilakukan oleh masyarakat setempat menyebabkan rusa sambar sangat sulit untuk

ditemui. Dari lima kamera yang dipasang pada lokasi yang berbeda, terdapat 2 ekor

rusa sambar, 1 ekor babi hutan, 1 ekor pelanduk dan aktifitas perburuan oleh

masyarakat lokal.

Penyebaran populasi di Kalimantan Timur terdapat di kawasan Hutan Lindung

Gunung Beratus (HLGB) sebanyak 22 titik dan Taman Nasional Kutai (TNK)

sebanyak 15 titik. Tipe habitat Rusa Sambar di HLGB adalah hutan primer dan

tercatat terdapat 23 jenis tumbuhan pakan rusa. Tipe habitat di TNK adalah hutan

sekunder dan diketemukan sebanyak 7 jenis pakan rusa. Indeks Nilai Penting

Beberapa jenis pakan rusa ditemukan, dan pada tingkat semai ini didominasi oleh

Hypobathrum sp. (15.83) kemudian diikuti oleh jenis pakan lain yaitu; Leea Indica

(I2,44), Polyalthia sp. (10,8), Fordia splendidisima (7,92), Melicope sp. (2,26) dan

Dacroides sp. (1,13).

a.11. Kajian Sebaran Dan Habitat Labi-Labi (Amyda cartilaginea Boddaert

1770) Di Kalimantan Timur

Pendahuluan

Labi-Labi (Amyda cartilaginea) termasuk satwaliar yang tidak dilindungi oleh

undang-undang RI namun masuk dalam Apendix II CITES dan masuk dalam red list

IUCN dengan status terancam. Dan pada tahun 2008 CITES Animal Committee

(AC) memutuskan untuk memasukkan A. cartilaginea dalam Review of Significant

Page 89: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 74

Trade. Hal ini berarti perlu ada perhatian khusus atas populasi alami, yang bermakna

bahwa pemanfaatan untuk pemanenan harus sesuai dengan kaidah kelestarian. Dari

hasil rapat koordinasi penegakan hukum bidang pemanfaatan dan perdagangan

tumbuhan dan satwa liar tahun 2010 di Ambon pada tanggal 5 Agustus 2010,

menyebutkan bahwa pola pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU

namun masuk Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan Kura-kura).

Permintaan ekspor semakin meningkat khususnya dari negara-negara

Singapura, China, Hongkong, Taiwan dan Jepang. Labi-labi yang diperbolehkan

untuk dipanen adalah yang berukuran <5 kg dan >13,5 kg, dengan kuota diberikan

dalam bentuk jumlah bukan berat, maka diduga pedagang akan lebih menginginkan

mengirim labi-labi berukuran besar untuk pasar ekspor. (Amri. K, &

Khairuman,2009)

Hingga saat ini ekspor labi-labi dari Indonesia masih didominasi oleh hasil

tangkapan dari alam. Hal ini terbukti dari banyaknya perusahaan pengekspor labi-

labi hanya sebagai penampung hasil tangkapan dari alam saja. Mengingat lambatnya

perkembangan populasinya di alam, maka dikhawatirkan dengan semakin tingginya

tingkat eksplorasi terhadap labi-labi akan dapat menimbulkan penurunan populasi

sehingga mengancam kelestariannya.

Sampai saat ini diketahui penyebaran Amyda cartilaginea di Indonesia hanya

ada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Kalimantan sendiri penyebarannya

hampir merata akan tetapi belum ada data dan informasi yang lengkap mengenai

habitat dan penyebarannya. Belum lengkapnya informasi sebaran dan habitat Labi-

Labi Amyda cartilaginea di alam khususnya di Kalimantan sehingga populasinya

belum dapat diperkirakan. Maka mendorong untuk dilakukannya penelitian

mengenai penyebaran dan habitat di Kalimantan agar dapat mendukung kelengkapan

informasi Amyda cartilaginea di alam untuk menduga populasinya di alam sehingga

upaya/tindakan konservasi dapat dilakukan dengan tepat termasuk penentuan

kuotanya.

Habitat dan Penyebaran Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur

Habitat Amyda cartilaginea tersebar di seluruh wilayah sungai di Kalimantan

Timur namun berdasarkan referensi/pustaka dan penelusuran Informasi maka daerah

sungai yg menjadi habitat Amyda cartilaginea terbagi menjadi 6 Kelompok Wilayah

Sungai antara lain: Sesayap, Kayan, Berau-Kelai, Mahakam, Karangan, Kendilo .

Berdasarkan daerah yang menjadi kantong pemanenan dibagi menjadi 2 yaitu: lokasi

kantong pemanenan bagian utara meliputi sekitar DAS Berau (Nunukan, Berau,

Malinau, Tarakan, Bulungan) dan DAS Mahakam (Kutai Kertanegara, Kutai Timur,

Kutai Barat). DAS Mahakam memiliki luas sebesar 77.700 Km², yang terbagi dalam

7 sub DAS, yaitu sub DAS Mahakam Ulu (25.530 km²), Sub DAS Kedang Pahu

(7.520 km²), sub DAS seberang Muara Pahu (4.980 km²), sub DAS Danau Melintang

dan Danau Semayang (2.430 km²), Sub DAS Belayan (10.350 km²), Sub DAS

Page 90: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 75

Kedang Kepala dan Kedang Rantau (20.190 km²), dan sub DAS Mahakam Ilir (6.910

km²). Beberapa lokasi yang telah di survey meliputi: Teluk Bingkai (N 01.992 - E

116 22.034), Sungai Loa Surut (N 01.018 - E 116 23.589),Kahala S 01.362 - E 116

21.720), Tuana Tuha (S 01.253 - E 116 25.828), Rawa Buak (N 01 794 - E 116

25.’659), Sungai Tiwei (S 01o29’14.7” - E 116

o 08’23.9”), Sungai Lombok (S

01o37’14.5” - E 116

o 07’56.7”). Sungai Kelinjau (N 0 25.980 E 116 40.776), sungai

Mesangat (N 0 30.189 E 116 41.858), sungai Senambah, sungai Ngayau (N 0 24.882

E 116 42.381), sungai Suwi ( N 0 24.599 E 116 36.954) (Kutai Timur), sungai

Kedang Pahu (S 0 19.399 E 116 03.933), sungai Jintan (S 0 18.907 E 116 03.062),

sungai Belowan (S 0 19.675 E 116 02.379).

Karakteristik Sungai Yang Menjadi Habitat Amyda cartilaginea

Karakteristik sungai yang disurvei berdasarkan luas DAS termasuk dalam

klasifikasi sungai sedang sampai besar ( 50 - ≥300 KM2). Dilihat dari beberapa

indikator seperti kecepatan arus air (tenang), suhu air (25,1 – 28,20 C) dasar perairan

(lumpur berpasir), sumber pakan hampir semua sesuai bagi habitat Amyda

cartilaginea bila. Untuk diketahui pada umumnya suhu permukaan perairan

Indonesia adalah berkisar antara 28 - 31°C (Monoarfa, 2002 dalam Byna, dkk, 2009),

masih dibawah standar baku mutu untuk perikanan yaitu 35°C. Berdasarkan referensi

menyebutkan bahwa Amyda cartilaginea hidup di alam seperti rawa-rawa, danau,

sungai yang suhu airnya berkisar 25 – 30°C. Beberapa jenis ikan yang berhasil

ditangkap antara lain : Ikan seluang (Osteochillus Schlegeli), wader (Puntius

brammoides), baung (Mystus nemurus), dan beberapa jenis ikan snake head (Channa

spp.), kihung, Toman Giant Snake Head (Channa micropeltes) dan gabus (Channa

striata). Predator yang ditemukan biawak (Varanus salvator), Toman, Buaya

(crocodylus siamensis), Ular Piton (phyton reticulates), Ular karung (Achrocordus

granulates). Satwa yang dijumpai antara lain : elang, burung raja udang, bangau,

rangkong/enggang, bangau tong tong, kuntul, toman, gabus, baung, jelawat/sepat,

pepuyu, wader, lais/lepok, belida/pipih, seluang, ular air belang kuning, kera,

bekantan, lutung/owa, lebah. Jenis vegetasi secara umum hampir disepanjang

pinggir sungai kedang pahu sebelah kanan banyak ditumbuhi jenis rotan (callamus

sp) “jahab” yaitu jenis yang sering dijadikan tali dan kerajinan lampit (alas tikar khas

Kalimantan), akan tetapi saat ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat secara

komersil karena harganya rendah. Selain jenis rotan yang dominan juga ada jenis :

bamboo (bambusa sp), baringtonia sp. yang terdapat disepanjang pinggir sungai

kecil seperti di sungai Belowan dan Jintan. jenis ini terdapat dilapisan depan

berperan sebagai buffer line (terdekat dengan air sungai) bagi tumbuhan

dibelakangnya. Jenis – jenis lain yang dijumpai berdasarkan pengamatan

disepanjang perjalanan menyusuri sungai antara lain : Gluta rengas

(anacardiaceae), Vitex pinnata (laban), dracontomelon dao (sengkuang),

pterospermum sp., lagerstromia sp. (bungur), family dari Annonaceae, rubiaceae,

Anacardiaceae, Malvace, Heritiera sp, Dilenia sp (simpur), Artocarpus sp.,

Page 91: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 76

Cratoxyilon sp, Glocidion sp, Garcinia sp, Pandanus sp, Sizigium sp., Mangifera sp.

(buah gepeng)

Hasil analisis kualitas air pH antara 6,79 – 8 masih masuk dalam pH yang

normal, Nilai pH air sungai yang normal berkisar antara 6,0 - 8,0 (Kristanto, 2002

dalam Byna, dkk. 2009). Salinitas pada perairan sungai yang disurvey menunjukan

nilai 0 (nol) yang berarti perairan tersebut tidak /belum dipengaruhi oleh air laut

(interusi air asin). Sungai yang termasuk dalam kategori tidak layak untuk kehidupan

biota perairan berdasarkan nilai COD (COD>10 ppm) mencapai 50% dari 10 sungai

yang disurvey. Kandungan karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan

maksimal 20 ppm, lebih dari itu akan membahayakan kehidupan organisme perairan.

Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan adalah tidak lebih dari 12 ppm dengan

kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983). TDS air sungai yang

disurvey antara 63 – 1034 mg/L sedangkan nilai standar baku mutu yang ditetapkan

untuk TDS adalah 2000 mg/L.

Pemanenan Amyda cartilaginea

Pengukuran individu Amyda cartilaginea dilakukan dari hasil panen di

pengumpul, sedangkan pemancingan langsung tidak mendapatkan Amyda

cartilaginea. Hal ini dimungkinkan karena Amyda cartilaginea sering ditemukan

secara tidak berkelompok (Suwarno, 1996 dalam Nurbaiti, 1999). Serta aktivitas

pada siang dan malam hari dengan aktivitas makan biasanya pagi jam 06.00 – 10.00

dan sore hari 16.00 – 23.00 (Kusdinar, 1995 ; Rahmi.N, 2008). Sedangkan

pengecekan jaring/pancing dilakukan jam 08 – 16.00 sehingga waktu potensial hanya

3 jam dari 11 jam aktivitas makan labi-labi. Kusrini. dkk, 2009 melaporkan bahwa

peluang untuk dapat menangkap seekor A. cartilaginea cukup kecil. Mengingat

tingginya variasi pada upaya pemancingan (lama pemancingan, jumlah mata

pancing, panjang wilayah yang dipancing), Sesungguhnya data yang dikumpulkan

tidak dapat menggambarkan kondisi populasi A. cartilaginea di lokasi survei.

Perhitungan selanjutnya di bawah ini, mengenai estimasi produksi dan keberhasilan

penangkapan merupakan hasil etimasi kasar yang memerlukan pengulangan pada

masa mendatang. Berdasarkan perbandingan jenis kelamin lebih banyak Amyda

cartilaginea Jantan ( 74 ekor) daripada betina (41 ekor). Sedangkan penggolongan

kelas umur Amyda cartilaginea dapat diperkirakan berdasarkan Panjang Lengkung

Karapas (PLK), maka dapat digolongkan menjadi 3 kelas umur yaitu : remaja 3 ekor,

dewasa muda 14 ekor, dan dewasa 98 ekor. Hal ini dimungkinkan karena individu

dewasa lebih mudah terlihat dan mata pancing yang digunakan berukuran besar (bila

menggunakan alat pancing) sehingga tukik/anakan tidak tertangkap. Rata – rata

pemanenan labi – labi per-bulan 100 ekor lebih (di pengumpul besar). Diketahui ada

3 pengumpul besar di Kutai kertanegara jadi bila kumulasikan menjadi 300

ekor/bulan, artinya dalam 1 tahun untuk wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara saja

bisa mencapai 3600 ekor (3/4 dari quota ekspor). Jumlah ini lebih besar daripada

hasil pemanenan di wilayah Kalimantan Timur bagian utara (Kalimantan Utara) yang

Page 92: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 77

merupakan kantong pemanenan, hanya mencapai 2766/tahun (2/3 dari quota ekspor).

persentase labi-labi Betina yang dipanen lebih kecil yaitu 36 %, sedangkan Jantan

mencapai 64 %. Untuk melihat kategori labi-labi yang dipanen termasuk ke dalam

criteria yang diperbolehkan oleh CITES management (yaitu ukuran <5,5kg dan

>13,5 kg) maka dilakukan penghitungan jumlah labi-labi yang dipanen berdasarkan

criteria berat yang hasilnya adalah 62,2 % ukuran/berat yang boleh dipanen dan

37,8% untuk ukuran/berat yang seharusnya tidak boleh dipanen. Bila dilihat dari

struktur populasi berdasarkan umur/ukuran terlihat jumlah labi-labi yang besar lebih

banyak daripada labi-labi berukuran kecil. Hasil pengumpulan di wilayah ini berbeda

dengan hasil pengumpulan diwilayah utara Kalimantan Timur yang dilaporkan oleh

Kusrini, dkk pada tahun 2009. Akan tetapi hasil pengumpulan labi-labi setiap

wilayah yang bervariasi baik jumlah Maupun ukuran belum tentu bersifat konstan,

yang artinya pengumpulan pada periode tertentu dapat berbeda-beda.

Ancaman Terhadap Populasi Labi-Labi

Ancaman terbesar terhadap populasi labi-labi bukan oleh tingginya tingkat

perburuan/pemanenan, karena hampir tidak ada pekerjaan khusus sebagai pemburu

labi-labi. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan. Jadi hasil

tangkapan labi-labi lebih banyak diperoleh dari pemasangan rawai untuk mencari

ikan berukuran besar, karena lebih pasti daripada khusus mencari labi-labi. Ancaman

terbesar adalah penurunan kualitas dan kuantitas perairan sungai sebagai habitat labi-

labi akibat dari dampak pembukaan lahan untuk tujuan perkebunan dan

pertambangan. Hal ini ditunjukan dari hasil analisis kualitas air yang rendah dan

berdasarkan informasi serta pengamatan langsung banyaknya pembukaan lahan

untuk perkebunan (sawit) yang memanfaatkan lahan berair seperti daerah rawa

sampai dipinggir sungai yang tidak sesuai dengan jarak minimal dari sempadan

sungai. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya berasal dari perkebunan akan tetapi

juga berasal dari pertambangan serta budaya masyarakat sendiri yang membuang

sampah di sungai. Dari hasil penelitian sebelumnya tidak diketahui populasinya

secara pasti, akan tetapi ancaman konversi lahan basah (rawa) sampai sempadan

sungai berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas habitat Amyda cartilaginea.

KESIMPULAN

Pendugaan populasi di alam tidak dapat diperkirakan secara pasti, tetapi

produksi pemanenan di tingkat pengumpul dapat menjadi acuan yang lebih

mendekati/mendukung prinsip kehati-hatian dalam penentuan quota. Monitoring

berkelanjutan perlu dilakukan dengan dibantu oleh enumerator di lokasi asal

pemanenan. Parameter analisis kualitas yang lengkap perlu dilakukan untuk

menentukan tingkat kualitas air dan dampaknya bagi labi-labi sehingga dapat

dijadikan indikator kualitas habitat bagi Amyda cartilaginea serta dapat dipergunakan

sebagai standar kualitas kolam budidaya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dicapai terlihat hasil pemanenan Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur di

Page 93: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 78

khawatirkan tidak mencukupi quota (3/4 dari kuota 5000 ekor/tahun) bila

Kalimantan Utara memiliki kuota sendiri karena sebelumnya Kalimantan Utara

masih masuk dalam kuota Kalimantan Timur untuk ekspor satwa liar. Di

Kalimantan Timur sendiri upaya penangkaran dan budidaya belum ada karena

menganggap hasil tangkapan dari alam masih cukup banyak. Perlu dilakukan

pembudidayaan guna memenuhi permintaan pasar yang diharapkan bisa menekan

penangkapan dan penurunan populasi skala besar. Masih kurangnya informasi

penangkaran dan teknik budidaya Labi-Labi Amyda cartilaginea di Kalimantan

Timur maka perlu dilakukannya penelitian upaya penangkaran labi-labi di

Kalimantan Timur.

a.12. Kajian Biodiversitas, Potensi dan Sebaran Mambruk (Goura sp.) di Hutan

Papua.

Pendahuluan

Diperkirakan Papua memiliki 8 dari 24 daerah burung endemik (DBE) di

Indonesia (DBE terbesar di dunia). Selain itu terdapat sekitar 101 spesies burung

sebaran terbatas (BST) atau 25% BST di Indonesia dengan tingkat endemisitas Papua

sebanyak 39 spesies. Spesies burung-burung tersebut yang tersebar di kawasan

Papua, terdapat beberapa jenis yang kemungkinan merupakan jenis satwa kunci suatu

daerah yang perlu mendapat perhatian.

Sebagai jenis yang dilindungi Goura spp.,merupakan jenis endemik yang telah

ditetapkan oleh Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora

and Fauna (CITES), (UNEP-WCMC, 2011) dengan status Vulnerable oleh The

IUCNRed List of Threatened Species (IUCN, 2010) maupun Undang-Undang

Pemerintah sebagai jenis yang dilindungi dan terancam kepunahan, namun keadaan

dilapangan tidak menjamin jenis-jenis tersebut yang termasuk dalam kategori

dilindungi dapat bertahan leluasa dan bebas. Jenis ini masih merupakan jenis yang

paling dicari dan diincar oleh para kolektor satwa burung, baik untuk dipelihara

maupun dijual. Selain perburuan, adanya ekosistem hutan tempat beraktifitas yang

telah terganggu. Sehingga habitat sebagai tempat tinggal (baik untuk

berkembangbiak, mencari makan dan aktifitas lainnya) bagi jenis ini semakin

terdesak dan tidak menutup kemungkinan jenis ini dapat hilang (punah).

Sebagai akibat dari tekanan kebutuhan ekonomi dan adanya kepentingan daerah

yang semakin berkembang, kondisi kawasan hutan sebagai tempat hidup dan

berkembang perlu dilakukan kajian identifikasi keragaman jenis, habitat dan sebaran

populasi dari jenis yang termasuk dalam kategori langka dan dilndungi. Data dan

informasi yang berkenaan dengan jenis, habitat dan sebarannya dapat kiranya

dijadikan acuan sebagai penetapan pengelolaan kawasan yang lestari dan jenis yang

menjadi proritas perhatian dalam melindungi jenis langka yang terancam kepunahan.

Page 94: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 79

Hasil Sintesis

Hasil pengamatan yang dilakukan pada kawasan hutan Warmariri (Sarmi), Sasui

(Tambraw) dan Sidei (Manokwari), secara sederhana dibuat dalam bentuk tabel hasil

pengamatan yang terdiri dari habitat, kepadatan (ekor) dan sebaran burung saat

pengamatan yang dapat dilihat diketahui beberapa di antaranya terdapat hasil

pengamatan.

Pada daerah pengamatan di hutan Warmariri, pengamatan dibagi dalam

beberapa petak pengamatan yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabel. Pada

Tabel 18. menampilkan hasil pengamatan di petak I yang disajikan sebagai berikut:

Tabel 18. Petak pengamatan I di hutan Warmariri. Sarmi

Titik Habitat Jumlah perjumpaan burung (ekor)

Primer Sekunder Rawa Primer Sekunder Rawa

I

Pada kawasan

hutan ini

banyak

ditemukan

jenis tegakan

pohon seperti

Intsia sp.,

Celtis

latifolia,

Canarium

commune,

Pometi

sp.,danIntsia

palembanica

Habitat hutan

sekunder pada

titik

pengamatan

ini didoinasi

jenis

Antocephalus

cadamba,

Pericopsis

moniana

Diketahui

beberapa jenis

pohon yang

terdapat pada

habitat ini

adalah Ficus

spp.,

Macaranga

spp.,

Metroxylon sp.,

Dysoxylum

molle

danbeberapa

jenis palem

2 3 Tidak

ditemukan

II

Jenis tegakan

pohon seperti

Intsia sp.,

Litsea

sp.,Pometia

spdan

Myrstica sp.

Jenis tegakan

pohon seperti:

Ficus spp,

Macaranga

spp

Dysoxylum

molle dan

Pometia sp.

Tidak terdapat

rawa

Tidak

ditemukan 1 -

III

Tegakan

pohon

Pometia

sp.,Intsia

palembanica,

Ficus spp.,

Canarium sp.,

dan Litsea sp.

Tegakan

pohon Ficus

spp, Pometia

spdan

Myrstica sp.

Beberapa jenis

palem dan

Metroxylon sp.

1 Tidak

ditemukan

Tidak

ditemukan

IV Tegakan Tegakan Tidak terdapat Tidak Tidak -

Page 95: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 80

Sedangkan pada petak pengamatan II disajikan pada Tabel 19. sebagai berikut;

Tabel 19. Petak pengamatan II di hutan Warmariri, Sarmi

Titik Habitat

Jumlah perjumpaan burung

(ekor)

Primer Sekunder Rawa Primer Sekunder Rawa

I

Pada kawasan hutan

ini banyak ditemukan

jenis tegakan pohon

seperti

Pimelodendron

amboinicum, Celtis

latifolia, Canarium

commune dan Intsia

palembanica

Pada habitat ini

diketahui jenis

tegakan

Canarium sp,

Myristica fatua

dan Artocarpus

communis

Tidak

terdapat

rawa

Tidak

ditemukan 3 -

II

Jenis tegakan pohon

seperti Pometia sp.

Canarium sp.,

Artocarpus sp.,dan

Myrstica sp.

Jenis tegakan

pohon seperti:

Ficus spp.,

MyristicaMacara

nga spp

Dysoxylum molle

dan Artocarpus

Tidak

terdapat

rawa

1 Tidak

ditemukan -

Sementara hasil pengamatan di kawasan hutan Sasui, Kabupaten Tamraw, dapat

disajikan pada Tabel 20. sebagai berikut:

Tabel 20. Petak pengamatan di hutan Sasui. Tamraw.

Titik Habitat

Jumlah perjumpaan

burung (ekor)

Primer Sekunder Primer Sekunder

I

Pada habitat ini diketahui jenis

tegakan Myristica spp,

Canarium sp, dan Litsea sp.,

Ficus spp., dan Pometia sp.

Pada habitat ini

diketahui tegakan

pohon dari jenis

:Pometia coreaceae,

Dracontomelon dao,

Sterculia parkinsonii

dan Antocephalus

cadamba

Tidak

ditemukan 2

pohon

Antocephalus

cadamba,

Pericopsis

moniana,

Myristica spp,

Canarium sp

pohon

Macaranga

spp.,

Metroxylon

sp.,

danbeberapa

jenis palem

rawa ditemukan ditemukan

Page 96: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 81

Titik Habitat

Jumlah perjumpaan

burung (ekor)

Primer Sekunder Primer Sekunder

II

Jenis tegakan pohon Pometia

sp., Litsea sp., Pimelodendron

amboinicum, Celtis latifolia

Canarium commune dan

Intsia palembanica

Canarium commune,

Intsia palembanica,

dan Dracontomelon

dao, Litsea sp dan

Pometia spp.

Tidak

ditemukan

Tidak

ditemukan

III

Canarium sp., Myristica fatua

Artocarpus communis

Dysoxylum molle

Gnetum genemo,

Alstonia sp.,

Pometia coreaceae,

dan Dracontomelon

dao

Tidak

ditemukan 1

IV

Antocephalus cadamba,

Dysoxylum molle, Pericopsis

moniana, Dysoxylum molle

Canarium sp,

Dysoxylum molle,

Litsea sp., Myristica

dan Gnetum genemo

2 Tidak

ditemukan

Pada hasil pengamatan yang dilakukan pada daerah hutan Sidei, Kabupaten

Manokwari disajikan pada Tabel 21. sebagai berikut;

Tabel. 21. Petak pengamatan I di hutan Sidei, Manokwari

Titik Habitat

Jumlah perjumpaan burung

(ekor)

Primer Sekunder Primer Sekunder

I

Jenis tegakan pohon

seperti Intsia sp., Spondias

sp., Octomeles sumatrana,

Pisonia umbelliferra, vitex

pinnata dan Vatica rassak

Jenis tegakan pohon

seperti Dysoxylum molle,.

Intsia sp., Spondias sp.,

Pisonia umbelliferra, dan

Vatica rassak

Tidak

ditemukan 3

II

Jenis tegakan pohon

seperti Octomeles

sumatrana, Spondias sp,

dan Litsea sp.

Jenis tegakan pohon

seperti Spondias sp.,

Octomeles sumatrana,

Pisonia umbelliferra, dan

Vatica rassak

Tidak

ditemukan

Tidak

ditemukan

III

Jenis tegakan pohon

seperti Intsia sp., Pisonia

sp.,Litsea sp., Ficus sp

dan Octomeles sumatrana

Jenis tegakan pohon

seperti Intsia sp.,

Canarium sp, 1

Tidak

ditemukan

Sedangkan pada Tabel 22. ditampilkan petak pengamatan II yang dilakukan di

hutan sedei sebagai berikut;

Page 97: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 82

Tabel. 22. Petak pengamatan II di hutan Sidei, Manokwari

Titik Habitat

Jumlah perjumpaan

burung (ekor)

Primer Sekunder Primer Sekunder

I

Intsia sp., Pisonia sp

Dysoxylum molle, Litsea sp.,

dan Myristica

Dysoxylum molle,. Intsia sp.,

Spondias sp., Pisonia

umbelliferra, dan Vatica rassak

1 2

II

Spondias sp, Litsea sp.

Pisonia spdan Dysoxylum

molle

Spondias sp., Octomeles

sumatrana, Pisonia

umbelliferra, dan Vatica rassak

Tidak

ditemuka

n

1

III

,Litsea sp., Ficus sp dan

Octomeles sumatrana, Intsia

sp., Spondias sp., dan

Octomeles sumatrana

Intsia sp., Canarium sp,

Dysoxylum molle, Litsea sp.,

Myristica

Tidak

ditemuka

n

Tidak

ditemuka

n

IV

Pisonia umbelliferra, vitex

pinnata dan Vatica rassak

Intsia sp., Spondias sp.,

Octomeles sumatrana

Tidak

ditemuka

n

Tidak

ditemuka

n

Habitat

Berdasarkan pengamatan di beberapa tipe habitat yang ada di kawasan tersebut

dapat dibedakan menjadi tipe habitat rawa, hutan primer dan sekunder. Hutan

sekunder banyak didominasi dengan kondisi tegakan hutan yang terbuka sebagai

akibat dari perambahan atau pembukaan lahan sebagai kebun masyarakat., sehingga

areal ini lebih terbuka dibandingkan pada tipe habitat lainnya. Dari beberapa habitat

ini, diketahui tipe habitat sekunder yang didalamnya teraliri atau adanya genangan

air dan dalam kondisi yang agak lembab merupakan tempat yang sering dikunjungi

Goura spp. Hal ini diketahui telah ditemukan jejak atau bekas bemain atau mengais-

ngais tanah untuk mencari makanan yang dapat ditampilakan pada Gambar 35

sebagai berikut:

Gambar 35. Jejak Goura spp. yang ditemukan

Page 98: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 83

Di habitat ini ditumbuhi juga jenis-jenis vegetasi seperti Ficus spp, dan,

Macaranga spp serta berbagai jenis liana, herba dan tumbuhan bawah. Pada daerah

ini juga banyak ditumbuhi tanaman sagu (Metroxylon sp). Sementara pada Gambar

36., hasil pengamatan di habitat hutan primer ditemukan sarang burung baru

dibangun oleh Goura spp.

Potensi

Goura spp. yang ditemukan pada kawasan hutan Warmariri dari jenis Goura

spp.Victoria. Sedangkan jenis Goura spp. yang sitemukan di daerah seputaran Papua

Barat dari jenis Goura spp.Cristata. Secara umum potensi kedua jenis ini belum

dapat dipastikan, hal ini adanya keterbatasan dalam pengamatan yang dilakukan saat

kegiatan berlangsung. Penemuan secara visual tidak mudah dijumpai, namun jejak

atau bekas cakaran (mengais) dimana tempat bermain dan mencari makan pada lantai

hutan dapat dilihat dan ditemukan.

Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan beberapa informasi yang

diperoleh dari masyarakat setempat, jenis ini melakukan aktifitasnya secara

kelompok kecil (lek). Dapat dijumpai antara 2 hingga 4 ekor dalam aktifitasnya.

Minimnya data dan informasi mengenai potensi Goura spp., tidak terlepas dari

pelaksanaan kegiatan pengamatan dilapangan dan adanya sensifitas Goura spp.

tersebut terhadap kondisi lingkungan. Berdasarkan informasi masyarakat yang sering

melakukan perburuan, pada jenis ini (Goura spp.), sering hanya mendapatkan 1

(satu) hingga 2 (dua) ekor saja, bila dibandingkan melakukan perburuan untuk jenis

lainnya seperti pada kelompok Ducula, Julang Irian atau jenis Parrot lainnya. Hal

ini disebabkan pada jenis ini relatif sangat sensitif dan peka terhadap kondisi

lingkungan sekitar. Bila konsidi sekitar tempat beraktifitas terganggu dengan cepat

langsung terbang burung meninggalkan tempat tersebut. Sehingga tidak mudah untuk

mendekati dan memantau keberadaan jenis ini.

Gambar 36. Sarang Goura spp. di hutan primer

Page 99: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 84

Sebaran

Pengamatan Goura spp. yang dilakukan di beberapa tempat cukup menyulitkan,

hal ini disebabkan jenis ini sangat sensitif terhadap faktor lingkungan yang dianggap

mengganggu. Perilaku yang ditunjukan oleh Goura spp. bila merasa terganggu atau

terancam dengan cara langsung terbang pada menjauh dari sumber pengganggu dan

hinggap di dahan yang tinggi seraya mengeluarkan suara untuk memberitahukan

kelompok lainnya. Hal ini sering terjadi di lokasi pengamatan yang menyebabkan

kedala dalam kegiatan pengamatan.

Berdasarkan pengamatan yang diperoleh terdapat beberapa jenis burung lain

yang berasosiasi dengan burung Goura spp. Diketahui jenis Bayan (Eclectus

roratus), Nuri hitam (Chalcopsitta atra) dan beberapa jenis Ducula. Sebaran

beberapa jenis Goura spp. ditemukan pada daerah tertentu. Pada areal hutan

sekunder tidak ditemukan/ terdengar, hal ini kemungkinan disebabkan adanya lahan

terbuka untuk berkebun sehingga kemungkinan habitat bagi burung tersebut yang

tidak nyaman.

Pada daerah yang berawa, dimana kondisi yang agak lembab dan adanya aliran

air serta sumber pakan yang ada dilantai hutan. yang sering didatangi oleh jenis ini.

Hal ini dapat dilihat adanya bekas jejak kaki atau bekas mengais tanah tuk mencari

makanan di lantai hutan.habitat hutan

Sedangkan pada habitat hutan primer, berdasarkan informasi dari masyarakat

yang menngataan bahwa jenis ini sering mendatangi pohon pala hutan (Myrstica

spp.) untuk memakan buahnya yang jatuh di lantai hutan.

Pemanfatan

Pada umumnya masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai peramu, dimana

menggantungkan hidupnya pada berkebun dan mencari ikan. Hal ini terlihat dengan

adannya kebun tanaman semusim yang banyak di temukan di sepanjang jalan menuju

kawasan dan adanya kebun tanaman pinang, pisang dan tanaman semusim (jagung,

kacang atau ketela) yang merupakan tanaman andalan oleh masyarakat. Pemanfaatan

secara langsung satwa burung, diketahui pada sebagian dari mereka melakukan

perburuan untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan protein maupun untuk

menambah ekonomi. Untuk menambah ekonomi dengan cara menjual jenis ini,

namun bila hasil buruan mereka masih hidup. Sedangkan bila hasil perburuan

mereka telah mati, biasa mereka konsumsi sendiri atau ada yang berkeinginan untuk

membeli.

Berdasarkan informasi dari masyarakat, harga Goura spp. anak (muda) relatif

lebih murah rata-rata berkisar Rp. 30.000,- hingga Rp. 50.000,- dibandingkan yang

telah dewasa yang berkisar Rp. 100.000,- hingga Rp. 150.000,-. Berbeda dengan

jenis lainnya seperti burung Kakatua atau Nuri, dimana yang anak (muda) relatif

lebih mahal berkisarRp. 100.000,- hingga Rp. 120.000,-. Menurut keterangan

Page 100: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 85

masyarakat, jenis Goura spp. tidak dapat menirukan atau bernyanyi seperti burung

kakatua atau Nuri yang dapat dilatih. Sehingga harganya lebih murah, selain itu pada

usia muda masih perlu perawatan pemeliharaan termasuk dalam pemberian pakan.

Sedangkan bila telah dewasa (besar) dapat dipelihara untuk kepentingan hobby atau

estetika sebagai peliharaan di rumah.

Implementasi Hasil Penelitian

A. Metode

Mengetahui secara pasti populasiGoura spp. berdasarkan jumlah induk sangat

sulit dilakukan. Pendekatan terbaik adalah dengan mengetahui intensitas perburuan

masyarakat dan berapa hasil yang mereka peroleh, sehingga dapat dilakukan estimasi

jumlah Goura spp. tersebut dalam kawasan hutan. Observasi secara langsung

dengan teknik survey membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga perlu

dilakukan penggalian informasi dari masyarakat yang mengetahui kebiasaan jenis

burung ini bermain. Penyadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sangat

diperlukan guna menunjang upaya konservasi selanjutnya. Melalui pertemuan yang

digagas oleh pemerintah daerah maupun ketua adat akan memberikan pengertian dan

pemahaman kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian plasma nutfah yang ada

didaerahnya.

B. Input Kebijakan

Pemanfaatan satwa liar mendapat dukungan pada pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.

41 tahun 1999 yang isinya menjelaskan bahwa peyelenggaraan dan pemanfaatan

kehutanan berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat

yang berkeadilan. Namun perlu dilakukan pemberian rambu-rambu dalam

melakukan hal tersebut, dimana terkadang lebih banyak disalah gunakan dalam

pelaksanaanya. Dalam banyak kasus perlindungan terhadap satwa liar, kegiatan

konservasi pada ayat 3 UU No. 5 tahun 1990 belum dilaksanakan karena berbagai

pertimbangan.

C. Produk

Pengetahuan akan penangkaran setidaknya dapat menjadi jembatan bagi

masyarakat dalam meningkatkan populasi di luar kawasan hutan (ek situ).

Penanggaan yang baik pada pengelolaan penangkaran akan berjalan sesuai dengan

perencanaan apabila adanya kompensasi bagi masyarakat dalam melakukan

penangkaran.

Kesimpulan Dan Saran

1. Pada kawasan yang agak lembab merupakan tempat yang sering didatangi oleh

burung Goura spp..

2. Rendahnya penemuan jenis mambruk kemungkinan disebabkan perburuan yang

dilakukan oleh masyarakat sebagai penyedia protein keluarga, dan kemungkinnan

Page 101: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 86

lainnya adalah sensitifnya jenis ini terhadap kondisi yang kurang nyaman,

sehingga kegiatan pengamatan kuarng mendapat hasil yang maksimal.

3. Upaya konservasi dengan melalui kegiatan penangkaran merupakan upaya

perlindungan perlu dilakukan untuk mencegah kerentanan atau punahnya jenis ini.

a.13. Karakteristik Habitat Dan Populasi Kuskus Bertotol Biasa (Spilocucus

maculatus) di Hutan Dataran Rendah Papua

Kuskus bertotol biasa (S) merupakan salah satu jenis kuskus yang umum

dijumpai pada kawasan hutan dataran rendah, baik pada hutan primer maupun

sekunder. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter morfologis jenis S pada ke dua

lokasi pengamatan (di Pulau Moor), satwa ini diketahui merupakan jenis kuskus

berukuran paling besar jika dibandingkan dengan jenis kuskus lainnya yang terdapat

pada kawasan ini (Phalanger orientalis), perbedaan jenis kelamin menun-jukkan

adanya dimorfisme nyata, yaitu pejantan berukuran lebih besar daripada jenis betina

dan dapat mencapai 650 mm (kira-kira sepanjang lengan orang dewasa). Panjang

ekor sama dengan panjang tubuh dan hanya ¼ -1/3 dari ujung distal yang tidak

berbulu.

Seperti halnya jenis-jenis kuskus pada umumnya, jenis Stelah umum

dimanfaatkan oleh penduduk lokal di Papua secara turun-temurun, terutama untuk

konsumsi daging sebagai salah satu sumber protein hewani. Kuskus ini termasuk

hewan buruan yang mudah di-jumpai pada malam hari dalam perburuan, karena

satwa ini biasanya bergerak lambat di atas tajuk vegetasi, kehadiran mereka dapat

dengan mudah dideteksi melalui aroma pekat dari suatu zat berbentuk gel yang

dieksresikan lewat anusnya dan pollet pada dahan-dahan vegeta-si untuk menandai

wilayah jelajahnya (home range). Aroma tersebut dapat diketahui dari jarak yang

cukup jauh. Mereka juga seringkali dapat dideteksi melalui suara ringkikannya

ketika berkelahi maupun kawin. Kuskus bertotol biasa (S) dewasa ini menjadi jenis

yang marak diburu (dengan teknologi berburu yang lebih modern) karena selain

untuk konsumsi daging, karena bulunya yang halus dengan pola warna yang indah

biasanya juga dijadikan berbagai bentuk karya kerajinan tas ataupun untuk

diawetkan. Satwa ini juga seringkali ditangkap untuk diperdagangkan secara ilegal

ataupun untuk dipelihara. Selain oleh aktivitas perburuan, penebangan dan konversi

areal hutan merupakan ancaman serius bagi eksistensi satwa Sdan fauna arboreal

lainnya karena rusaknya/hilangnya habitat serta terganggunya jalur lalulintas dalam

pergerakan mereka.

Dapat disimpulkan bahwa Kuskus bertotol biasa (Spilocuscus) merupakan satwa

yang peka terhadap gangguan sehingga cenderung menempati habitat yang tidak

terusik. Hal ini terlihat dari rendahnya kepadatan populasi satwa pada tempat-tempat

yang telah mengalami kerusakan habitat. Populasi di lokasi penelitian terendah

terjadi pada areal hutan yang terganggu dan tinggi pada areal hutan yang tidak

terganggu dengan kisaran kepadatan populasi antara 3,093 – 13,173 satwa per

Page 102: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 87

hektar. Pada umumnya Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus) mudah dijumpai pada

habitat yang menyediakan lebih beraneka ragamnya jenis vegetasi pakan dan

vegetasi tempat berlindung. Beberapa populasi satwa Kuskus Bertotol Biasa

(Spilocuscus) terisolasi pada daerah kepulauan memiliki karakteristik yang unik,

namun pada umumnya satwa tersebut rentan terhadap kepunahan sehingga

diperlukan tindakan pengelolaan populasi dan habitat yang optimal.

b. Teknik Pelestarian Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah

b.1. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)

Pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara

Seleksi Sumberdaya/Komponen Habitat

Variabel komponen habitat/sumberdaya untuk penentuan pemi-lihan site adalah

jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X1), jumlah jenis tumbuhan pakan

pada tingkat tiang (X2), jumlah jenis vegetasi tingkat pohon (X3), jumlah jenis

vegetasi tingkat tiang (X4), Lbds total tingkat pohon (X5), Lbds total tingkat tiang

(X6), tinggi tumbuhan pada tingkat pohon (X7), tinggi tumbuhan pada tingkat tiang

(X8), kerapatan vegetasi pada tingkat pohon (X9), kerapatan vegetasi tingkat tiang

(X10), kerapatan jenis tumbuhan pakan tingkat pohon (X11), kerapatan jenis

tumbuhan pakan tingkat tiang (X12), suhu udara (X13), kelembaban udara (X14).

Berdasarkan tahapan analisis maka model RSF yang terbentuk dari

persamaan regresi adalah :

𝜋(𝑥) =exp(−1,779 + 0,683𝑋2 − 2,849𝑋6 − 0,178𝑋8)

1 + exp(−1,779 + 0,683𝑋2 − 2,849𝑋6 − 0,178𝑋8)

Keterangan :

𝜋(𝑥) = kemungkinan kehadiran siamang

X2 = jumlah jenis pakan tingkat tiang

X6 = Lbds total tingkat tiang

X8 = Tinggi tumbuhan tingkat tiang

Analisis terhadap komponen habitat menunjukkan bahwa kemung-kinan

kehadiran siamang ditentukan oleh jumlah jenis pakan tingkat tiang, luas bidang

Gambar 37. Kuskus Bertotol Biasa

(Spilocuscus maculatus ) jantan.

Gambar 38. Kuskus Bertotol Biasa

(Spilocuscus maculatus ) betina

Page 103: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 88

dasar total tingkat tiang, dan tinggi tumbuhan tingkat tiang. Hasil ini memberikan

gambaran bahwa vegetasi pertumbuhan tingkat tiang memiliki arti sangat penting

bagi kehidupan siamang. Walaupun sebagai satwa aboreal siamang tergantung pada

keberadaan pohon, tetapi keberadaan tingkat pertumbuhan tiang sangat penting

artinya.Secara keseluruhan hasil penelitian habitat ini menunjukkan bahwa tipe

habitat tidak memberikan implikasi penting bagi keber-adaan siamang di CADS,

namun komponen habitat pada tingkat tiang yang memberikan implikasi penting.

Hasil analisis rendahnya ukuran keanekaragaman hayati tingkat tiang dibandingkan

tingkat pertumbuh-an lainnya perlu mendapat perhatian dalam upaya pengelolaan

kawasan CADS sebagai habitat siamang.

Produktifitas Pakan dan Daya Dukung Habitat

Rata-rata kerapatan tumbuhan pakan siamang di CA. Sipirok adalah sebesar 136

individu/ha (hasil analisis dari Kwatrina et al., (2011)), Data ini selanjutnya akan

digunakan dalam analisis biomassa, produktivitas dan daya dukung habitat bagi

siamang di CA. Sipirok.

Nilai rata-rata biomasa daun tumbuhan pakan siamang pada hutan sekunder

sebesar 4,04 kg/individu pohon (berat basah) lebih besar dibandingkan biomassa

pada hutan primer sebesar 3,04 kg/individu pohon (berat basah) dan hal yang sama

juga pada berat keringnya. Apabila kerapatan tumbuhan pakan daun di CA. Dolok

Sipirok sekitar 136 ind./ha maka dugaan biomassa pada hutan primer sebesar 414

kg/ha (berat basah) dan 222 kg/ha (berat kering) dan pada hutan sekunder sebesar

550 kg/ha (berat basah) dan 249 kg/ha (berat kering). Rata-rata biomassa per

individu pohon atau per hektar pada hutan sekunder lebih besar dapat terjadi akibat

adanya perbedaan intensitas cahaya, iklim mikro serta kondisi bio-fisik lainnya.

Sebagai contoh, intensitas cahaya yang lebih tinggi sampai menembus lapisan bawah

tajuk pada hutan sekunder karena kerapatan lebih rendah (Kwatrina et al, 2011)

mengakibatkan lebih banyak daun yang berkembang pada setiap ranting atau cabang

pohonnya.

Hasil pendugaan nilai produktivitas daun pada hutan sekunder diperoleh sebesar

10,8 kg/ha/hari (berat basah) atau 6,8 kg/ha/hari (berat kering) dan pada hutan primer

sebesar 10,1 kg/ha/hari (berat basah) atau 4,7 kg/ha/hari (berat kering). Dengan

demikian, rata-rata nilai produktivitas daun (hutan sekunder dan hutan primer) adalah

sebesar 10,5 kg/ha/hari (berat basah) atau 5,75 kg/ha/hari (berat kering). Hasil

penelitian ini tidak berbeda jauh dengan Chapin III (2002) yang menyatakan bahwa

produktivitas daun pada tumbuhan di hutan hujan tropis sekitar 1,14 gram/m2/hari

atau 11,4 kg/ha/hari.

Nilai rata-rata produktivitas daun pakan siamang antara hasil pendugaan

(analisis regresi) dengan hasil pengukuran di lapangan tidak begitu berbeda, kecuali

pada berat kering di hutan primer. Hal ini menunjukkan bahwa nilai simpangan baku

dari ke dua pendekatan di atas sangat kecil, kurang dari 1 gram/m2/hari. Hasil ini

Page 104: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 89

menunjukkan bahwa persamaan di bawah ini dapat menjadi referensi untuk menduga

produktivitas daun tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA. Sipirok

dan sekitarnya, yaitu:

Produktivitas daun pada hutan sekunder:

- Berat basah : Yb= -2,035 + 0,146 Dp, Adjusted R2 = 61,1 %

- Berat kering : Yk= -1,266 + 0,091 Dp, Adjusted R2 = 56,0 %

Produktivitas daun pada hutan primer:

- Berat basah : Yb = -0,310 + 0,002 Dtj, Adjusted R2 = 60,6 %

- Berat kering : Yk = -0,189 + 0,001 Dtj, Adjusted R2 = 61,7 %

Nilai dugaan biomassa tumbuhan pakan buah siamang pada hutan sekunder

sebesar 17,13 kg/individu pohon (berat basah) dan 7,92 kg/individu pohon (berat

kering). Pada hutan primer diperoleh sebesar 16,69 kg/individu pohon (berat basah)

dan 7,63 kg/individu pohon (berat kering). Secara keseluruhan, nilai rata-rata

biomassa antara hasil pendugaan (analisis regresi) dengan hasil pengukuran di

lapangan untuk pakan buahpun tidak begitu berbeda, baik pada hutan primer maupun

hutan sekunder. Nilai rata-rata simpangan baku di bawah 0,5 kg/individu pohon.

Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan di bawah ini dapat menjadi referensi untuk

menduga biomassa buah tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA.

Sipirok dan sekitarnya, yaitu:

a. Biomassa buah pada Hutan Sekunder:

- Berat basah: Yb= 0,07 + 1,111 Dp – 1,316 Ttot, Adjusted R2 = 81,2%

- Berat kering: Yk= 1,929 + 0,510 Dp – 0,748 Ttot, Adjusted R2 = 65,3%

b. Biomassa buah pada Hutan Primer:

- Berat basa : Yb= -12,598 + 3,275 Dp – 4,299 Ttot, Adjusted R2 = 90,5 %

- Berat kering: Yk= -7,808 + 1,694 Dp – 2,198 Ttot, Adjusted R2 = 89,7 %

Nilai produktivitas buah tumbuhan pakan siamang (berdasarkan contoh

penelitian) adalah sebesar 58,94 kg/ha per hari (berat basah) dan 35,90 kg/ha per

hari (berat kering) pada hutan sekunder dan pada hutan primer diperoleh sebesar

60,50 kg/ha per hari (berat basah) dan 26,95 kg/ha per hari (berat kering). Dengan

demikian, rata-rata dugaan nilai produktivitas buah pakan siamang (hutan primer dan

sekunder) adalah sebesar 59,72 kg/ha per hari (berat basah) dan 27,45 kg/ha per hari

(berat kering). Persentase spesies tumbuhan pakan buah tentunya tidak serentak

sepanjang musim berbuah (100%), Sugardjito (1986) menyatakan bahwa jenis

tumbuhan berbuah rata-rata hanya berkisar antara 5–30 % dalam setiap bulannya.

Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh nilai produktivitas buah

(mempertimbangkan musim ber-buah) rata-rata berkisar antara 10,45 kg/ha per hari

(berat basah) dan rata-rata sebesar 4,81 kg/ha per hari (berat kering).

Page 105: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 90

Nilai konsumsi pakan siamang berdasarkan hasil pengamatan di kebun binatang

diperoleh rata-rata sebesar 1,02 kg/hari per ekor. Nilai dugaan daya dukung

(berdasarkan nilai produktivitas daun dan buah dibagi nilai konsumsi pakan) antara

702 – 2.765 ekor atau rata-rata sekitar 1.743 ekor dengan asumsi kondisi hutan CA.

Sipirok tidak mengalami kerusakan dan siamang selalu mengkonsumsi kombinasi

antara buah dan daun. Apabila luas keseluruhan hutan primer dan sekunder sekitar

6.600 ha maka kapasitas optimum kawasan CA. Dolok Sipirok yang akan mampu

mendukung pertumbuhan siamang adalah sekitar 3,5 –4 ha untuk 1 ekor siamang.

Nilai dugaan ini masih cenderung overestimate karena belum memperhatikan

persaingan pakan maupun penggunaan ruang dengan lainnya, seperti orangutan.

Jenis tumbuhan pakan siamang sebagian besar juga merupakan pakan orangutan

yang sama-sama menggunakan CA. Dolok Sipirok sebagai habitatnya (Kuswanda,

2011). Menurut Rockwood (2006), adanya kompetisi konsumsi pakan akan

mengakibatkan suatu jenis satwaliar tidak optimal untuk memanfaatkan segala

sumberdaya yang ada di habitatnya.

Model Pertumbuhan Populasi

Menurut Kwatrina et al., (2010), dugaan kepadatan siamang di CA. Dolok

Sipirok saat ini adalah 9,91±3,4 individu/km2 dengan dugaan populasi sekitar 691

ekor. Hal ini berarti ke depannya populasi siamang masih dapat berkembang sampai

mencapai nilai daya dukungnya. Namun demikian, untuk meningkatkan populasi

siamang tersebut perlu didukung oleh rencana pengelolaan yang tepat, terutama

untuk mengantisipasi perubahan dan penyerobotan kawasan menjadi lahan pertanian

atau pemukiman yang sudah terjadi di beberapa lokasi sekitar CA. Sipirok, seperti

sekitar Desa Rambassiasur dan Daerah Arse.

Berdasarkan analisis dengan menggunakan matrik Leslie diper-oleh dugaan

populasi tahun ke-1 (N1) sebesar 708 ekor dengan N0 merujuk hasil penelitian

Kwatrina et al., (2010) yaitu sebesar 691 ekor. Dari ke dua ukuran populasi tersebut

kemudian dianalisis nilai r (laju pertumbuhan populasi) dengan menggunakan dasar

persamaan pertum-buhan logistik. Nilai r yang diperoleh adalah sebesar 0,041, yang

menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tersebut termasuk kategori titik

keseimbangan yang stabil (Alstad, 2001). Dengan menggunakan nilai r tersebut,

maka populasi akan mencapai kondisi stabil (berfluk-tuasi di sekitar daya

dukungnya) adalah pada tahun ke-170 dengan asumsi kondisi habitat di CA. Dolok

Sipirok tetap dalam kondisi normal (tidak ada bencana, perubahan habitat dan sebab

lainnya secara drastis). Model pertumbuhan populasi siamang (berdasarkan model)

adalah:

𝑁𝑡 =1.743

1 + 1,522. 𝑒−0,041.𝑡

Pada waktu ukuran populasi akan mencapai kondisi stabil (tahun ke-170),

pertumbuhan populasi terjadi sangat lamban (Gambar 39). Kondisi ini dapat

Page 106: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 91

dimungkinkan karena setiap individu akan bersaing memperebutkan sumberdaya

yang sangat terbatas dan tentunya akan mempengaruhi terhadap berbagai perilaku

reproduksi terutama bagi betina dewasa.

Gambar 39. Grafik prediksi pertumbuhan populasi siamang

Grafik ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan populasi siamang di CA.

Dolok Sipirok relatif cepat sampai mencapai ambang batas daya dukungnya, dari

tahun ke-1 sampai tahun ke-80 an. Pertumbuhan populasi akan melambat sesaat akan

mencapai nilai daya dukungnya. Menurut Tarumingkeng (1994), pertumbuhan

populasi satwaliar sebenarnya akan berfluktuasi di sekitar daya dukungnya apabila

tidak ada bencana alam atau faktor lain yang berubah secara ekstrim. Untuk menjaga

pertumbuhan populasi siamang maka pihak pengelola (Balai Besar KSDA Sumut)

disarankan untuk terus melakukan pengamanan kawasan untuk mencegah kerusakan

habitat, terutama akibat perambahan.

b.2. Kajian Habitat dan Sebaran Populasi Kura-kura Leher Ular Rote

(Chelodina mccordi Rhodin, 1994)

Habitat dan Populasi Kura-Kura Leher Ular Rote

Beberapa danau yang pernah menjadi habitat kura-kura leher ular di Kab. Rote

Ndao, berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Dinas Pertanian, Perkebunan

dan Kehutanan serta masyarakat adalah: (1). Kec. Rote Tengah: D.Peto dan

D.Manute; (2). Kec. Rote Selatan: D.Seda; (3). Kec. Lobalain: D.Holoama dan mata

air Lelain; (4). Kec. Rote Barat Daya: D.Tua dan D.Ana; (5). Kec. Rote Barat Laut:

D.Lenggu, D.Naluk: (6). Kec. Rote Barat: D Hela; (7). Kec. Rote Timur: D. Oendui,

D.Oesuti dan D.Landu.

Survei habitat dan populasi kura-kura leher ular Rote dilakukan pada 11 danau

yang tersebar di Pulau Rote. Berdasarkan hasil inventa-risasi dan informasi dari

masyarakat sekitar habitat kura-kura tersebut, dari kesebelas danau hanya 2 danau

yang masih ada populasi kura-kura leher ular Rote, yaitu Danau Peto dan D. Ledulu.

Namun total populasi yang masih ada belum diketahui secara pasti karena selama

inventa-risasi baik dengan metode langsung berupa mengelilingi danau maupun

dengan metode sensus tangkap lepas dengan memasang perangkap, tidak ditemukan

perjumpaan langsung dengan kura-kura leher ular tersebut.

-200

300

800

1300

1800

1

13 25 37 49 61 73 85 97

109

121

133

145

157

169

181

193

205

Pre

dik

si p

op

ula

si

(eko

r)

Tahun ke..

Page 107: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 92

Vegetasi yang dominan pada empat danau (Danau Peto, Manute, Seda, dan Tua)

adalah jenis kayu putih. Danau Ledulu didominasi oleh jenis pohon rawa seperti

pandan hutan dan kedondong air. Danau Holoama, Lenggu, Feo dan Naluk

sekitarnya didominasi oleh tanaman pertanian seperti kelapa. Sedangkan Danau

Oendui dan Ina, di sekitarnya banyak pohon duri (Acacia nilotica).

Sosek Masyarakat Terkait Kura-kura Leher Ular Rote

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangkaan kura-kura leher ular

disebabkan eksploitasi berlebihan yang dilakukan penduduk sekitar guna

memperoleh keuntungan ekonomi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisispasi masyarakat dalam pelestarian

kura-kura leher ular perlu ditingkatkan. Beberapa ke-lompok masyarakat sangat

mendukung upaya pelestarian kura-kura tersebut. Sementara itu, sebagian

masyarakat setempat tidak peduli ter-hadap upaya pelestarian tersebut. Upaya

pelestarian kura-kura leher ular ditempuh dengan berbagai cara. Cara pertama adalah

dengan me-larang eksploitasi kura-kura leher ular serta menghentikan perdagang-

annyadi Pulau Rote. Cara kedua adalah dengan melakukan penangkar-an terhadap

kura-kura leher ular yang masih tersisa dan kemudian mengembalikan lagi anakan

kura-kura tersebut ke habitat aslinya.

Percobaan Pemberian Pakan

Tingkat palatabilitas kura-kura leher ular Rote terhadap pakan yang diberikan

adalah lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang, dengan rata-rata konsumsi

pakan, berturut-turut: 10,7; 7,8; 5,3; dan 2,2 gram/ekor/hari.

Hasil analisis proksimat pakan kura-kura leher ular Rote menunjukkan udang

dan lele memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan

cakalang dan kembung.

Kesimpulan

1. Populasi kura-kura leher ular Rote walaupun masih ada tetapi sudah langka dan

danau yang menjadi habitatnya sudah sangat terbatas.

2. Hasil survei sosek menunjukkan bahwa kelangkaan kura-kura leher ular

disebabkan eksplotasi yang berlebihan.

3. Tingkat palatabilitas kura-kura leher ular Rote terhadap pakan yang diberikan

berturut-turut adalah lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang.

4. Perlu penetapan sebagai kawasan yang dilindungi pada danau-danau yang

habitatnya masih baik dan diduga masih ada populasi kura-kura leher ular Rote.

5. Perlu dibuat aturan yang lebih ketat untuk melindungi populasi kura-kura leher

ular Rote dan habitatnya yang masih ada.

Page 108: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 93

b.3. Analisis Preferensi Habitat Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea

citrinocristata) di TN. Laiwangi Wanggameti.

Untuk mengetahui apakah kakatua Sumba memiliki preferensi terhadap

ketinggian tempat dilakukan uji chi-square (X2

hit). Dari hasil penghitungan diketahui

bahwa nilai X2

hit> X2

(0.005,k-1), yaitu 50,06 > 9,488 sehingga terdapat pemilihan

ketinggian tempat oleh kakatua Sumba.

Tabel 23. Nilai chi-square pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba.

Kelas

ketinggian

(m dpl.)

a p ni=O

i

ei=X

nipi Oi – ei

(Oi –

Ei)2/Ei

X2(0.005,k-1)

< 250 7.188,37 0,15 0 9,33 -9,33 9,33

251 – 500 11.570,24 0,25 36 15,01 20,99 29,34

501 – 750 12.465,41 0,27 6 16,17 -10,17 6,40

751 – 1000 12.369,08 0,26 19 16,05 2,95 0,54

1000 –

1250

3.429,90

0,07

0

4,45 -4,45 4,45

Jumlah 47.014 1 61 61 50,06 9,488

Keterangan: a=luas areal, p=proporsi luas areal, Oi=frekuensi kehadiran kakatua,

ei=harapan frekuensi kehadiran kakatua

Untuk mengetahui ketinggian tempat yang disukai kakatua Sumba selanjutnya

dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu (indeks

preferensi). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kakatua Sumba lebih

menyukai lokasi dengan ketinggian tempat antara 201 – 400 m dpl. (Tabel 24).

Tabel 24. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan ketinggian tempat

Kelas

ketinggian

(m dpl.)

a

(ha) p n u e w b rangking

0 – 200 7.188,37 0,15 0 0 9,33 0 0 4

201 – 400 11.570,24 0,25 36 0,59 15,01 2,36 0,6 1

401 – 600 12.465,41 0,27 6 0,10 16,17 0,36 0,09 3

601 – 800 12.369,08 0,26 19 0,31 16,05 1,20 0,31 2

801 – 1000 3.429,90 0,07 0 0 4,45 0 0 5

Jumlah 47.014 1 61 1 61 3,92 1

Keterangan : p=proporsi luas, n=frekuensi kehadiran kakatua, u=proporsi frekuensi

kehadiran kakatua, e=nilai harapan. W=indeks preferensi, b=indeks

preferensi yang distrandarkan.

Untuk mengetahui apakah kakatua memiliki preferensi terhadap kelerengan

tempat dilakukan uji chi-square (X2

hit). Dari hasil penghitungan diketahui bahwa

Page 109: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 94

nilai X2

hit> X2

(0.005,k-1), yaitu 236,57 > 12,592 sehingga terdapat pemilihan kelerengan

tempat oleh kakatua Sumba.

Tabel 25. Nilai chi-square pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba

Kelerengan tempat

(%)

a

(ha) p

ni=

Oi

ei=X

nipi

Oi –

Ei

(Oi –

Ei)2/Ei

X2(0.005,k-

1)

0 – 2 (datar) 29.775 0,63 1 38,63 -37,63 36,66

2 – 8 (landai) 768 0,02 11 1,00 10,00 100,43

8 – 16 (miring) 3.975 0,08 3 5,16 -2,16 0,90

16 – 25 (curam) 1.307 0,03 4 1,70 2,30 3,13

25 – 40 (agak terjal) 1.510 0,03 10 1,96 8,04 33,00

40 – 55 (terjal) 6.551 0,14 12 8,50 3,50 1,44

> 55 (sangat terjal) 3.182 0,07 20 4,13 15,87 61,01

Jumlah 47.014 1 61 61,07 -0,07 236,57 12,592

Keterangan: a=luas areal, p=proporsi luas areal, Oi=frekuensi kehadiran kakatua,

Ei=harapan frekuensi kehadiran kakatua

Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kehadiran kakatua dengan

kelerengan dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu.

Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kakatua lebih menyukai daerah-

daerah yang agak terjal, landai dan terjal (Tabel 26).

Tabel 26.Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan kelerengan tempat

Kelerengan tempat

(%)

a

(ha) p n u e w b rangking

0 – 2 (datar)

29.775 0,63 1 0,02

38,6

3 0,03 0,00 7

2 – 8 (landai) 768 0,02 5 0,08 1,00 5,02 0,22 2

8 – 16 (miring) 3.975 0,08 3 0,05 5,16 0,58 0,03 6

16 – 25 (curam) 1.307 0,03 4 0,07 1,70 2,36 0,11 4

25 – 40 (agak terjal) 1.510 0,03 16 0,26 1,96 8,17 0,36 1

40 – 55 (terjal) 6.551 0,14 12 0,20 8,50 1,41 0,06 5

> 55 (sangat terjal) 3.182 0,07 20 0,33 4,13 4,84 0,22 3

Jumlah

47.014 1 61 1 61

22,4

1 100

Keterangan : p=proporsi luas, n=frekuensi kehadiran kakatua, u=proporsi frekuensi

kehadiran kakatua, e=nilai harapan. W=indeks preferensi, b=indeks

preferensi yang distrandarkan

Komponen habitat terdiri atas komponen fisik dan komponen. Komponen fisik

dan invasi ini membentuk suatu yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar.

Suatu habitat adalah hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci

komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen

terdiri dari vegetasi, mikro dan makrofauna serta manusia (Alikodra, 1990).

Page 110: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 95

Kakatua Sumba menempati wilayah yang memiliki ketinggian tempat beragam,

mulai dari ketinggian 200 hingga 800 m dpl. Dari tiga lokasi tempat dilakukannya

penelitian, kakatua Sumba terkonsentrasi pada ketinggian 200 – 400 m dpl. di lokasi

Blok Hutan Billa.

Faktor yang mempengaruhi frekuensi kehadiran kakatua pada habitat di TNLW

adalah jarak dari aktivitas manusia, jumlah jenis pohon istirahat, jumlah jenis pohon

sarang dan ketinggian lokasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada habitat yang

memiliki jumlah jenis pakan yang banyak dan jauh dari aktifitas manusia maka ada

kecenderungan semakin tinggi frekuensi kehadiran kakatua di lokasi tersebut.

Blok Hutan Billa paling sering dikunjungi oleh kakatua kemudian Mahaniwa

dan Praingkareha. Meskipun Praingkareha memiliki luas paling besar (6.477,56 ha)

dibandingkan dengan Billa (826 ha) dan Mahaniwa (1.866,5 ha) Praingkareha kurang

dikunjungi oleh kakatua. Hal ini diduga terkait jarak dengan aktivitas manusia yang

sangat dekat. Diketahui bahwa Praingkareha dilalui oleh jalan aspal yang

menghubungkan Desa Praingkareha dan Desa Wahang. Jalan tersebut menjadi satu-

satunya akses masyarakat. Terlebih lagi adanya pos per-istirahatan sejenak oleh

angkutan truk di dekat plang kawasan tepatnya di samping mata air menyebabkan

lokasi tersebut cukup ramai pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat mengganggu

keberadaan kakatua.

Berdasarkan pengamatan di lapangan kakatua biasanya tidak nya-man dengan

kehadiran dan aktivitas manusia. Hal tersebut ditunjukkan melalui teriakan

peringatan hingga terbang/kabur meninggalkan lokasi tempat di mana manusia

berada. Namun ada sedikit perbedaan pada perjumpaan dengan dua ekor kakatua di

Praingkareha, Kakatua tersebut tampak tenang bertengger istirahat di ranting pohon

kahambi omang yang tepat terletak di atas jalan aspal yang membelah kawasan Blok

Hutan Praingkareha. Bahkan saat truk penumpang lewat, burung tersebut tetap

tenang bertengger di tempatnya tanpa merasa sedikit terganggu. Diduga hal tersebut

terjadi karena kakatua tersebut sudah terbiasa dan beradaptasi dengan kondisi

lingkungannya.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kesimpulan

1. Kehadiran kakatua pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan

biotik habitat itu sendiri. Faktor dominan komponen habitat yang mempengaruhi

frekuensi kehadiran kakatua pada suatu habitat yang disukai di TNLW adalah

jumlah jenis pohon pakan, jumlah jenis pohon sarang, jumlah jenis pohon istirahat

dan ketinggian tempat.

2. Habitat yang disukai oleh kakatua di TNLW adalah habitat yang memiliki jumlah

jenis pohon pakan, sarang dan istirahat terbanyak, jauh dari aktivitas manusia dan

Page 111: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 96

memiliki kelerengan agak curam. Komponen habitat yang dapat mendukung

kehadiran kakatua adalah ketinggian tempat berkisar antara 251 – 500 m dpl.

Rekomendasi

1. Lokasi yang disukai kakatua serta daerah yang berdekatan dengan lokasi tersebut

dijadikan zona inti alam pengelolaan di TNLW.

2. Perlu dilakukan pengelolaan habitat dengan cara menanam pohon-pohon pakan,

sarang dan istirahat pada lokasi-lokasi yang tidak disukai oleh kakatua pada

kisaran ketinggian 251 – 500 m dpl.

b.4. Kajian Ekologi dan Teknik Konservasi Trenggiling (Manis javanica

Desmarest. 1822) Pada Hutan Konservasi di Sumatra Utara

Penurunan populasi trenggiling yang cepat mengakibatkan IUCN Red List of

Threatened Species (2008) meningkatkan status konservasi trenggiling menjadi

endangered (terancam punah). Trenggiling banyak diburu karena daging dan

sisiknya dapat dipergunakan sebagai bahan baku kosmetik, hiasan, obat-obatan dan

shabu (narkoba). Pada beberapa daerah lidah trenggiling dipercayai dapat digunakan

untuk penglaris. Pemanfaatan trenggiling yang tinggi membutuhkan upaya

konservasi agar populasi trenggiling dapat berkembang dengan baik dan menahan

laju kepunahan secara alami. Penelitian ini (tahun 2012-2014) bertujuan untuk

mendapatkan informasi ilmiah mengenai kondisi ekologi dan teknik konservasi insitu

trenggiling pada kawasan konservasi di Sumatera Utara. Sasaran penelitian pada

Tahun 2012 adalah tersedianya informasi komponen habitat (vegetasi, suhu,

kelembaban dan pH tanah) pada habitat trenggiling (habitat used dan unused),

pemilihan tipe habitat yang paling disukai oleh trenggiling dan variabel sumberdaya

yang paling mempengaruhi peluang kehadiran (penempatan sarang) oleh trenggiling

di Suka Margasatwa Siranggas.

Rancangan pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara stratifikasi berdasarkan

perbedaan tipe asosiasi vegetasi/tipe habitat dan sehingga mewakili beberapa kondisi

habitat trenggiling. Pada setiap tipe habitat dibuat garis transek (line transect)

sepanjang 1 km yang ditempatkan secara acak (random sampling). Di dalam transek

dibuat plot pengukuran pemilihan tipe dan komponen habitat berbentuk bujur

sangkar/square dengan ukuran 50 m x 50 m. Jumlah plot pada setiap tipe habitat

sebanyak 7 plot (luas total 1,75 ha). Selanjutnya, pada plot pemilihan tipe habitat

dibuat plot pengukuran komponen habitat dengani pembuatan plot analisis vegetasi

menggunakan metode garis berpetak (strip transect method) merujuk Kusmana

(1997). Used plot ditentukan secara search samping method (Morrison et al., 2001)

berdasarkan penemuan lubang dan unused plot diletakan secara sistematik dengan

jarak 100 meter. Pengukuran komponen fisik menggunakan alat ukur, seperti termo-

Page 112: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 97

hygrometer dan soil tester dan komponen spesifik (jumlah lubang semut) dilakukan

pada plot 1 m x 1 m dengan titik tengah plot adalah lokasi lubang.

Variabel komponen habitat/sumberdaya untuk penentuan pemilihan site yang

diamati adalah adalah jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pohon (X1), tingkat tiang

(X2), tingkat pancang (X3) dan tingkat semai dan tumbuhan bawah (X4), luas total

bidang dasar pada tingkat pohon (X5) dan tingkat tiang (X6), kerapatan jenis pada

tingkat pohon (X7), tingkat tiang (X8), tingkat pancang (X9) dan tingkat semai dan

tumbuhan bawah (X10), suhu udara (X11), kelembaban udara (X12), pH tanah

(X13) dan sumber pakan, seperti sarang semut dan/atau serangga (X14). Analisis

data yang digunakan diantaranya adalah indeks keanekaragaman jenis Shannon

(Ludwig dan Reynolds, 1988), analisis deskriptif statistik untuk semua variabel

komponen habitat, analisis MANOVA, uji normalitas data, uji korelasi dan regresi

logistik.

Lokasi plot penelitian pada tipe habitat hutan primer secara geografis terletak

sekitar koordinat 98° 14' 8,3" Bujur Timur dan 02° 34' 16.2" Lintang Utara sampai

dengan 98° 14' 9.8" Bujur Timur dan 02° 34' 45.1" Lintang Utara dengan ketinggian

antara 900 – 1.000 m dpl. Tipe habitat hutan pada 98° 17' 56,4" BT dan 02° 34'

15,5" LU sampai dengan 98° 17' 56,3" BT dan 02° 34' 27.3" LU dan 98° 18' 16,5"

BT dan 02° 34' 16,6" LU sampai dengan 98° 18' 13,9" BT dan 02° 34' 32.9" LU

dengan ketinggian antara 1.000 – 1.150 m dpl. Tipe habitat hutan campuran pada

98° 12' 51,0" BT dan 02° 34' 23,8" LU sampai dengan 98° 13' 19.7" BT dan 02° 34'

20,5" LU dengan ketinggian antara 520-650 m dpl. Tipe lahan perkebunan

masyarakat pada 98° 15' 5.5" BT dan 02° 36' 8.6" LU sampai dengan 98° 14' 29.2"

BT dan 02° 36' 7.4" LU dengan ketinggian 650 – 700 meter dpl.

Komponen habitat biotik dari seluruh plot penelitian (42 plot) memiliki nilai

rata-rata adalah untuk jenis dan jumlah tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan

bawah adalah 6,1±2,2 jenis/4m2 atau 15,8 individu/4m

2, tingkat pancang 3,7±1,5

jenis/25m2 atau 6,3 individu/25m

2, tingkat tiang 4,1±2,0 jenis/100m

2 atau 5,3

individu/100m2 dan tingkat pohon 4,4±2,5 jenis/400m

2 atau 6,6 individu/400m

2.

Rata-rata nilai komponen fisik adalah suhu 27,9°± 3,3 C, kelembaban udara 76,8 ±

13,8 % dan pH tanah sebesar 6,5±0,3. Jenis tumbuhan yang mendominasi

diantaranya adalah kemenyan toba (Styrax paralleloneurus Perk), hoting batu

(Quercus maingayi Bakh), hau dolok baringin (Syzygium acuminatum Miq.) dan

meranti batu (Shorea acuminata Dyer). Komponen habitat yang menunjukan

perbedaan antara used plot (plot yang ditemukan lubang trenggiling) dengan

availability plot (plot yang tersedia) diantaranya adalah jenis dan jumlah tumbuhan

pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, luas bidang dasar (Lbds) pada tingkat

pohon dan kelembaban udara

Tipe habitat trenggiling di dan sekitar SM. Siranggas sedikitnya meliputi tipe

hutan primer, tipe hutan sekunder, tipe hutan campuran dan kebun/lahan olahan.

Page 113: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 98

Hasil uji MANOVA keempat tipe tersebut menunjukan karakteristik komponen

habitat biotik yang berbeda. Proporsi penggunaan habitat tertinggi adalah pada tipe

hutan sekunder dengan nilai proporsi sebesar 35,71%, kemudian hutan campuran

sebesar 28,27% dan terendah hutan primer sebesar 14,29%. Hasil analisis ini

menunjukkan bahwa tipe habitat hutan sekunder dan hutan campuran merupakan tipe

habitat yang paling banyak digunakan oleh trenggiling di sekitar SM. Siranggas.

Tingginya penggunaan habitat pada hutan sekunder dimungkinkan karena kondisi

suhu tanah sedang (tidak terlalu panas seperti pada lahan olahan dan tidak terlalu

lembab seperti pada hutan primer) sehingga memberi kenyamanan untuk bersarang

bagi trenggiling.

Trenggiling tidak memilih habitat tertentu untuk mencari makan atau

menempatkan sarang dan cenderung menggunakan seluruh tipe habitat untuk hidup

(uji Chi-square menyimpulkan nilai χ2

hitung < χ2

(0.01;k-1). Hal ini terlihat dari hasil

pengamatan yang menunjukan bahwa lubang/sarang trenggiling hampir secara

merata ditemukan pada setiap tipe habitat. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena

trenggiling sebagai satwa pemakan serangga akan cenderung menyebar mengikuti

sumber pakannya. Serangga, seperti semut dan jangkrik secara umum dapat

ditemukan dan hidup pada setiap tipe lahan, mulai dari area terbuka, semak belukar

sampai hutan yang masih primer.

Selanjutnya, berdasarkan uji indeks preferensi (indeks kesukaan) dengan

menggunakan metode Neu menunjukan bahwa rasio seleksi (wi) dan indeks standar

seleksi (Bi) yang nilainnya >1 adalah pada tipe hutan sekunder (wi= 1,429; Bi=

0,357) dan hutan campuran (wi= 1,143; Bi= 0,286). Hal ini berarti bahwa kedua tipe

habitat tersebut merupakan lokasi yang memiliki peluang paling tinggi untuk dipilih

oleh trenggiling sebagai habitat untuk mencari makan dan tinggal. Habitat hutan

sekunder dan hutan campuran lebih disukai dimungkinkan karena kondisi jumlah dan

kerapatan tumbuhan, terutama pada tingkat semai dan tumbuhan bawah relatif jarang

bila dibandingkan dengan tipe lainnya. Kondisi ini diduga akan memudahkan

trenggiling untuk mendeteksi atau mencari keberadaan lubang semut pada lantai

hutan yang lebih terbuka. Tipe habitat lainnya, hutan primer dan kebun masyarakat

cenderung dihindari oleh trenggiling (tidak disukai).

Untuk mengetahui fungsi pemilihan sumber daya (resources selection

function/RSF) oleh trenggiling digunakan uji regresi logistik. Hasil step terakhir

(step ke-3) dari forward stepwise menunjukan terdapat tiga variabel bebas yang

paling berpengaruh terhadap nilai Y (ada dan tidak adanya sarang), yaitu X1 (Jumlah

jenis tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah), X13 (pH tanah) dan X15

(Jumlah lubang semut pada kategori sedang). Namun dari tiga variabel ternyata

yang signifikan (nilai Sig < 0.05) adalah hanya variabel X1 dan X13. Variabel yang

tidak signifikan (X15) kemudian dikeluarkan dalam penyusunan model karena

pengaruhnya akan sangat kecil terhadap perubahan variabel terikat/kehadiran

Page 114: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 99

trenggiling (Y). Model RSF (resources selection function/RSF) trenggiling dengan

nilai Nagelkerke R2 sebesar 83,5% yang terbentuk adalah :

𝜋(𝑥) =exp(−63,879 + 2,160𝑋1 + 11,731 𝑋13)

1 + exp(−63,879 + 2,160𝑋1 + 11,731 𝑋13)

dimana :

π(x) = peluang kehadiran trenggiling dalam penempatan lubang

pakan/sarang.

X1 = Jumlah jenis tingkat semai dan tumbuhan bawah

X13 = pH tanah

Dari model RSF yang tersusun dapat disimpulkan bahwa semakin berkurang

jenis atau jumlah tingkat semai dan tumbuhan bawah dengan kondisi tanah normal

dan sedikit basa akan meningkatkan peluang trenggiling untuk membuat lubang

(pakan maupun sarang). Pada kodisi lantai hutan yang relatif bersih memungkinkan

trenggiling lebih mudah untuk mencari dan mendeteksi keberadaan atau lubang

semut. Selain itu, dimungkinkan juga untuk menghemat energi karena tidak perlu

terlebih dahulu membersihkan tumbuhan dalam membuat lubang. Sebaran dan

jumlah pakan/keberadaan lubang semut (X15) tidak berpengaruh secara signifikan

karena keberadaan semut dan serangga sebagai makanan utama trenggiling hampir

menyebar secara merata pada lantai hutan. Keadaan pakan yang masih melimpah dan

trenggiling mampu hidup pada berbagai tipe hutan (tidak ada pemilihan tipe habitat)

mengakibatkan variabel pakan tidak begitu berpengaruh terhadap kehadiran

trenggiling/pembuatan lubang.

Simulasi model RSF selanjutnya dilakukan terhadap nilai variabel habitat

terpilih, yaitu X1 dan X13 yang dimisalkan dalam jumlah tertentu antara selang 1

sampai dengan 7. Penetapan angka tersebut berdasarkan hasil pengamatan

sebenarnya yang ditemukan pada plot penelitian. Hasil simulasi disajikan pada

Gambar 40 dibawah ini.

Gambar 40. Peluang kehadiran trenggiling tertinggi berdasarkan jumlah jenis tingkat

semai dan tumbuhan bawah

0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,91,01,1

1 2 3 4 5 6 7 8 9

P

e

l

u

a

n

g

k

e

h

a

d

i

r

a

n

Jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah

pH=6.0 pH=6.2 pH=6.4 pH=6.6 pH=6.8 pH=7.0

Page 115: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 100

Berdasarkan hasil simulasi menunjukan bahwa semakin sedikit jumlah jenis

semai dan tumbuhan bawah dengan pH tanah mendekati 7,0 (netral) maka peluang

kehadiran trenggiling (mencari makan dan/atau bersarang) sangat tinggi. Semakin

banyak jumlah jenis tumbuhan bawah dengan pH tanah menjauh dari netral maka

peluang kehadiran akan semakin rendah. Sebagai contoh, pada kondisi pH tanah =

6,0 dengan jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah hanya ada 1 jenis (luasan plot =

4 m2) maka peluang kehadiran sebesar 0,98. Akan tetapi jika jenis tumbuhan bawah

bertambah satu maka peluang kehadiran menurun menjadi 0,89. Hasil simulasi ini

semakin memberikan gambaran bahwa habitat yang disukai oleh trenggiling adalah

kondisi dengan jenis atau jumlah semai dan tumbuhan bawah yang rendah dan pH

tanah mendekati netral (pH tanah=7).

C. Teknik Reproduksi Jenis-Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah

dan/atau Bernilai Ekonomi

c.1. Teknologi Penangkaran Rusa Timor

Sistem Penangkaran

Secara umum ada tiga penangkaran rusa, yaitu terkurung (kandang), semi

terkurung (mini ranch), dan bebas (ranch). Namun penetapan penangkaran,

tergantung pada ketersediaan dana atau biaya, luas lahan dan tenaga kerja.

Penangkaran dengan terkurung merupakan pedok intensif yang dapat dilakukan pada

lahan seluas kurang dari 250 m2 dengan kepadatan 1 jantan dan 4 betina. Sistem

semi terkurung merupakan pedok intensif dengan luas lahan sampai 1 ha yang terdiri

dari 1-2 jantan dewasa dan 4-5 betina dewasa serta beberapa individu remaja dan

anak (total 12 individu). Penangkaran dengan bebas merupakan pedok ekstensif

dengan luas lahan sekitar 1-5 ha atau lebih dengan kepadatan 12 individu/ha.

Penangkaran rusa timor yang dilakukan di Pusat Pengembangan Penangkaran

Rusa di Hutan Penelitian Dramaga Bogor, menggunakan terkurung atau kandang.

Sistem terkurung dilakukan dengan cara rusa dipelihara pada suatu areal yang

dikelilingi pagar dan pakan diberikan dari luar dengan cara pengaritan (cut and

carry).

Persyaratan Penangkaran Rusa

Beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam penetapan lokasi

penangkaran rusa baik pada kandang, semi tertutup maupun bebas antara lain: lokasi

berada di luar kawasan, terletak di tempat yang tenang, dan aman dari gangguan,

mudah dicapai baik pada musim kemarau maupun musim hujan, tersedia air yang

banyak sepanjang tahun untuk keperluan minum, pembersihan kandang, penyiraman

pakan, maupun untuk berkubang, topografi rata sampai bergelombang ringan, luas

lahan minimal 0,5 ha (untuk tertutup), terisolasi dari pengaruh binatang atau ternak

lain, permukaan tanah bertekstur halus, bukan batu karang yang tajam atau kasar,

tersedia beberapa pohon peneduh atau saung karena rusa memerlukan tempat untuk

Page 116: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 101

berteduh dan berlindung dari panas atau hujan, serta mudah mendapatkan hijauan

yang dapat digunakan sebagai pakan.

Sarana dan Prasarana Perkandangan

Kandang

Kandang berfungsi sebagai tempat berlindung dari hujan, panas, predator;

tempat berteduh atau beristirahat, tempat berkembangbiak, tempat makan atau

minum, tempat perawatan bagi rusa yang sakit dan pengontrolan.

Kandang sebaiknya disekat sesuai dengan status fisiologi rusa, diberi pintu, agar

mudah dalam penanganan sehari-hari baik dalam pemberian pakan, mudah dalam

penangkapan untuk penimbangan dan pengukuran, mudah dalam pemberian tanda,

pemeriksaan kesehatan, mudah dalam perawatan rusa yang sakit, dan karantina bagi

rusa yang baru.

Pagar

Pagar sebaiknya dibuat sekeliling areal penangkaran. Bahan terdiri dari tiang

pagar (besi siku, beton atau pagar hidup) dan kawat ram dan kawat duri. Tinggi

tiang pagar minimum 2,5 m dari permukaan tanah, ditanam 50–75 cm dengan

pondasi beton dan jarak antar tiang pagar 2 m. Ujung bagian atas tiang pagar,

dibengkokkan sepanjang 0,5 m dan diberi kawat duri sebanyak 3–4 baris. Tinggi

tiang pohon hidup 2,5 m dari permukaan tanah, diameter minimum 10 cm dan

ditanam dengan kedalaman 50–75 cm serta pohon hidup ditanam di antara tiang

pagar beton/besi.

Gambar 41. Sistem kandang di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor

Page 117: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 102

Gambar 42. Sistem Mini Ranch di NTT dan Taman Safari Indonesia, Bogor

Gambar 43. Sistem Ranch di Jonggol, Cariu, Bogor dan Ranca Upas, Bandung

Gambar 44. Sketsa kandang rusa.

Page 118: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 103

Bangunan Peneduh

Bangunan peneduh terdiri dari atap yang terbuat dari alang-alang atau rumbia,

atau genteng atau seng atau terpal. Bangunan peneduh berfungsi sebagai tempat

berteduh pada saat hujan atau panas dan sebaiknya dalam sebuah kandang, terdapat

sebuah bangunan peneduh.

Gambar 45. Bangunan peneduh pada sistem terkurung di HP Dramaga, Bogor

Tempat Makan dan Minum

Tempat makan terbuat dari kayu atau papan yang berbentuk palungan sepanjang

1,5–2,0 m atau berbentuk bulat segi 6 sepanjang 50–75 cm. Sedangkan tempat

minum berbentuk kolam atau dari ember atau bak yang dibenamkan ke dalam tanah.

Setiap kandang terdapat satu tempat makan dan satu tempat minum (Gambar 46).

Kandang Jepit

Kandang jepit berbentuk:kotak persegi dengan ukuran 200x100x200

cm3(Gambar 47). Bahan kandang jepit terdiri dari rangka besi pipa berukuran 1.5”

dan 1” dan rangka dinding terbuat dari besi behel 6 mm, dinding dan alas jepit dari

plywood 20 mm serta tiang jepit dari balok pinus 5 x 10 cm. Sistem kerja dari

kandang jepit merupakan perangkap jepit yang beralas lepas. Kandang jepit

berfungsi dalam penimbangan bobot badan rusa, pemotongan velvet dan ranggah

serta pemasangan tagging.

Jalan Kontrol dan Saluran Air

Jalan berfungsi untuk pengontrolan dan pemberian pakan terletak di sepanjang

pinggir kandang selebar 1,5–2,0 m. Air diperlukan untuk mengairi pakan,

pemeliharaan kandang dan untuk minum sehingga diperlukan bak penampung dan

menara air.

Page 119: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 104

Gambar 46. Tempat makan dan minum pada sistem terkurung dan Sistem Ranch

Gambar 47. Model kandang jepit di Hutan Penelitian Dramaga

Gudang dan Peralatan

Gudang digunakan untuk menyimpan peralatan dan bahan-bahan perlengkapan

penangkaran. Peralatan yang dibutuhkan adalah tim-bangan, generator, perlengkapan

kandang, pemeliharaan pakan seperti dedak padi dan obat-obatan.

Teknik Pemeliharaan Rusa di Penangkaran

Pengelompokan Rusa

Pengelompokan rusa bermanfaat untuk memudahkan dalam pem-berian pakan

sesuai kebutuhan, memudahkan dalam pengaturan perkawinan, menghindari

perkawinan sedarah (in breeding), menjaga pejantan agar tidak mengganggu rusa

yang lain, keamanan bagi induk yang bunting dalam proses kelahiran, ketenangan

bagi induk yang menyusui dalam merawat anak, menghindari perkawinan sebelum

waktunya, memperoleh kesempatan makan bagi rusa yang baru disapih,

memudahkan penanganan bagi rusa yang sakit serta memu-dahkan pemeliharaan

bagi rusa yang baru agar cepat beradaptasi.

Teknik pengelompokkan rusa didasarkan atas status fisiologi, yaitu jantan dan

betina yang telah siap kawin, jantan yang belum siap kawin (baru disapih), betina

yang belum siap kawin (baru disapih), betina yang sedang bunting, betina yang

melahirkan, rusa yang sakit dan rusa yang baru dari lokasi lain.

Page 120: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 105

Penyapihan Anak Rusa

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyapihan anak rusa adalah induk

disatukan dengan anaknya sampai berumur 4 bulan agar anak rusa mendapat air susu

lebih banyak; penyapihan sebelum berumur 4 bulan khususnya pada anak rusa yang

ditinggal mati oleh induknya, diperlukan penambahan air susu dari luar; setelah

disapih pemeliharaan tetap terpisah antara jantan dan betina untuk menghindari

kemungkinan terjadi perkawinan lebih awal.

Perbandingan antara anak rusa yang disapih pada umur 4 bulan dan sebelum

berumur 4 bulan, adalah:

Tabel 27. Rata-rata bobot badan anak rusa pada umur penyapihan.

No.

Jenis Kelamin

Rata-rata bobot badan pada umur

penyapihan

Sebelum 4 bulan (kg) 4 bulan (kg)

1. Jantan 11,1 17,35

2. Betina 10,1 16,15

Sumber: Takandjandji, 1993

Kesehatan

Kematian rusa timor di penangkaran dengan kandang lebih banyak terjadi pada

musim hujan. Penyakit yang sering menyerang pada mu-sim hujan adalah pneumonia

(radang paru-paru) sebagai akibat kandang yang becek dan lembab. Kematian pada

rusa dewasa disebab-kan oleh makanan, lingkungan dan stress akibat penanganan

yang kurang pas.

Upaya pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit pada rusa timor,

dilakukan beberapa kegiatan, antara lain sanitasi lingkung-an kandang, pemberian

pakan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan rusa, memperbaiki teknik

penanganan dan vaksinasi secara rutin (3 bulan sekali) sesuai anjuran medis dengan

menggunakan Clostridial dan Leptospiral.

Penandaan atau pemberian nomor

Penandaan dengan cara pemberian nomor merupakan hal penting di dalam

manajemen penangkaran rusa.Penandaan sebaiknya dilaku-kan sebelum anak rusa

disapih.Tujuan penandaan atau pemberian no-mor, adalah untuk mengetahui silsilah

(pedigree), mengetahui umur, untuk memudahkan dalam pengontrolan dan

pengenalan individu serta memudahkan pengaturan perkawinan.

Cara pemberian nomor pada rusa adalah dengan membeli nomor telinga (ear

tag) yang dijual di poultry shop. Nomor dipasang di teli-nga rusa dengan

menggunakan tang yang telah disiapkan dan dipasang di sebelah kanan untuk jantan

dan kiri untuk betina. Nomor tersebut memberikan tanda registrasi pada rusa,

misalnya DMG-M-2-010709-1. Huruf pertama menunjukkan kode lokasi tempat

Page 121: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 106

kelahiran rusa yaitu Dramaga. Huruf kedua menunjukkan jenis kelamin rusa yaitu

jantan (male) dan betina (female). Angka 2 berarti jantan kedua dari hasil

penangkaran di Dramaga. Angka 010709 berarti rusa lahir tanggal 1 bulan Juli tahun

2009 dan merupakan anak pertama.

Gambar 48. Bahan dan alat tagging (pemberian nomor telinga) pada rusa

Teknik Pemeliharaan Pagar dan Kandang

Pemeriksaan dan pemeliharaan pagar harus dilakukan secara ter-atur agar rusa

tidak ke luar kandang karena kerusakan pagar. Kerusak-an pagar sering terjadi pada

saat musim kawin, karena adanya perkelahian antar pejantan. Lingkungan dan

ventilasi dalam kandang harus tetap terjaga agar tidak lembab terutama pada saat

musim hujan karena rusa timor terutama pada anak yang belum disapih tidak tahan

terhadap kondisi yang lembab.

Teknik Pemeliharaan Pakan

Pemeliharaan pakan harus sering dilakukan agar memperoleh pakan yang baik

secara kualitas maupun kuantitas serta selalu tersedia secara kontinyu sepanjang

tahun. Pemeliharaan terhadap pakan dilakukan dengan cara pembersihan, pengolahan

tanah, pemupukan, pendangiran, dan penyiraman terutama pada musim kemarau

panjang. Pembersihan rumput liar dan pendangiran dilakukan 3 bulan sekali,

pengolahan tanah dan pemupukan dilakukan 1 tahun sekali.

Teknik Pemberian Pakan

Pakan segar diberikan berdasarkan bobot badan rusa, dengan perhitungan 10% x

bobot badan x 2. Maksud dikalikan 2 yaitu diperhi-tungkan dengan jumlah hijauan

yang tidak dimakan karena sudah tua, tidak disenangi atau tidak palatable, kotor

karena terinjak-injak, dan telah bercampur dengan urine dan faeces. Pemberian

pakan sebaiknya disertai dengan pemberian garam sebagai perangsang nafsu makan

dan untuk memenuhi kebutuhan mineral. Pemberian pakan dilakukan de-ngan cara

pengaritan (hijauan dipotong) baik pada musim hujan mau-pun musim kemarau,

tergantung penangkaran.Frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 atau 3 kali dalam

sehari (pagi, siang dan sore) dengan jumlah pemberian pada sore hari yang lebih

banyak karena rusa termasuk satwa yang memamahbiak. Pemberian pakan tambahan

berupa dedak padi diberikan 3 kali dalam seminggu, sebanyak 0,5 kg per individu.

Pemberian pakan bagi rusa yang sedang bunting, harus lebih intensif baik kualitas

maupun kuantitas karena peranan makanan sangat penting untuk pertumbuhan janin

Page 122: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 107

di dalam rahim dan juga berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh induk.

Pemberian pakan pada anak rusa, dimulai pada umur 2 minggu dengan cara

memberikan hijauan muda (pucuk) yang dipotong kecil-kecil.Jenis pakan rusa terdiri

dari jenis rerumputan, hijauan dan dedaunan serta makanan penguat berupa dedak

padi (Tabel 28).

Tabel 28. Jenis pakan rusa Timor di penangkaran NTT

No. Jenis Pakan Rusa Timor di Penangkaran

Nama Lokal/Daerah Nama Latin Famili

1. Rumput Gajah Pennisetum purpureum Graminae/Poaceae

2. Rumput Raja Pennisetum

purpuphoides

Graminae/Poaceae

3. Rumput Setaria Setaria sphacelata Graminae/Poaceae

4. Rumput Hamil Panicum maximum Graminae/Poaceae

5. Turi Sesbania grandiflora Leguminosae

6. Lamtoro Leucaena leucephalla Leguminosae

7. Kabesak Acacia leucophloea Leguminosae

8. Beringin Ficus benjamina Moraceae

9. Name (nama NTT) Pipturus argenteus Urticaceae

10. Busi (nama NTT) Melochia umbellata Sterculiaceae

11. Rumput Lapangan - -

12. Dedak Padi - -

Sumber: Takandjandji, 1994

Sedangkan jenis pakan yang diberikan pada rusa timor di penangkaran HP

Dramaga, Bogor adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum Scumacher), hanjeli

(Coix lacryma jobi L.), sulanjana (Hierochloe horsfieldii Kunth Maxim) dan gewor

(Comellina nudiflora L.), alang-alang muda (Imperata), sorgum (Sorghum spp.),

kaliandra (Calliandra sp.) dan padi-padian (Pennisetum spp.).

Gambar 49. Beberapa jenis pakan rusa Timor di HP Dramaga

Page 123: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 108

Air bersih harus selalu tersedia di dalam kandang yang digunakan untuk minum

dan berkubang karena pada musim kawin, rusa jantan sangat menyenangi air sebagai

tempat berkubang sambil meraung-raung dan mengejar sang betina.

Teknik Reproduksi

Reproduksi adalah suatu proses biologi yang terjadi antara jantan dan betina

dengan tujuan untuk membentuk satu individu baru di dalam kehidupannya. Secara

ideal, perbandingan antara jantan dan betina di dalam penangkaran adalah 1 : 4-5

(poligamus). Berahi pada rusa betina menandakan bahwa betina telah mengalami

dewasa kela-min dan bersedia menerima pejantan dalam perkawinan. Berahi terjadi

bersamaan dengan pengeluaran sel telur dari kandung telur (ovulasi) di mana terjadi

pertemuan antara sel telur dengan sel kelamin jantan dalam proses pembuahan untuk

pembentukan suatu makhluk baru.

Tanda-tanda berahi pada betina adalah nafsu makan berkurang, tidak tenang,

berdiri tenang apabila dinaiki sang jantan atau betina, sering kencing, mencium dan

menjilat alat kelamin jantan, vulva (alat kelamin betina paling luar) terlihat

membengkak, berwarna merah dan apabila dipegang terasa hangat.

Tanda-tanda berahi pada jantan adalah sering meraung, berkubang,

menancapkan ranggah ke tanah atau pohon atau kawat, bahkan sering mencium dan

membaui urine yang dikeluarkan rusa betina sambil menjulurkan lidah.Lama berahi

diamati mulai dari permulaan timbulnya keinginan untuk kawin hingga saat terakhir.

Pubertas (dewasa kelamin) pada jantan ditandai oleh kesanggupan berkopulasi

(kawin) dan menghasilkan sperma, di samping perubahan-perubahan kelamin

sekunder lain. Pubertas pada betina ditandai oleh terjadinya estrus, ovulasi dan dapat

berreproduksi atau menghasilkan keturunan walaupun sebenarnya belum mencapai

ukuran bobot badan dewasa. Dewasa kelamin (pubertas) terjadi sebelum dewasa

tubuh. Perkawinan pertama yang tepat pada rusa betina dara dilakukan beberapa

bulan setelah mencapai dewasa kelamin (pubertas). Apabila perkawinan dilakukan

pada saat pubertas,induknya akan sulit mela-hirkan bahkan anak yang dilahirkan

cenderung lemah, kurang sehat, bobot lahir rendah dan pertumbuhan induknya akan

kerdil karena organ-organ reproduksi belum berkembang secara sempurna.

Perkawinan pada rusa ditunjukkan oleh adanya musim kawin yang jelas. Rusa

yang masih produktif, perkawinannya sebaiknya dilakukan pada saat betina sedang

berahi. Permulaan pembuahan pada rusa sulit diketahui, sehingga yang dijadikan

tolok ukur dalam menentukan kebuntingan adalah perilaku setelah terjadi

perkawinan di mana terlihat rusa betina lebih tenang, perut sebelah kanan membesar,

susu (ambing) menurun, dan selalu menolak atau menghindar apabila didekati oleh

jantan. Aktivitas kelahiran (partus) terdiri dari 3 tahap yakni kontraksi uterus,

pengeluaran anak (foetus) dan pengeluaran placenta. Rusa timor termasuk dalam

golongan beranak tunggal.

Page 124: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 109

Hasil penelitian Takandjandji (1993) terhadap rusa timor di penangkaran

memperoleh data fisiologis, yaitu: lama berahi 2,25 hari dengan siklus berahi 20,25

hari, umur pubertas pada rusa jantan 8 bulan, betina 8,13 bulan, umur yang tepat bagi

betina dara untuk dikawinkan 15,25 bulan, dan jantan 12,67 bulan, lama kawin

(kopulasi) 2,33 detik, frekuensi kawin 2,14 kali/hari, lama bunting 8,38 bulan, umur

kebuntingan pertama 17,00 bulan, musim melahirkan pada bulan September, umur

beranak pertama 25,50 bulan, interval kelahiran I dan II 13,25 bulan dan anak rusa

disapih pada umur 4,00 bulan.

Keberhasilan aspek reproduksi pada rusa timor di HP Dramaga diindikasikan

dengan angka konsepsi yang berlanjut dengan kebun-tingan dan angka kelahiran

hidup dari akhir kebuntingan tersebut. Hasil penelitian Setio, et al (2010) tentang

reproduksi terkait dengan indikasi masa bunting dan partus menunjukan bahwa

selama masa pengasuhan anak (termasuk menyusui), pola reproduksi tetap berlang-

sung (masa estrus/berahi, konsepsi/perkawinan dan kebuntingan). Interval waktu

melahirkan tercatat 356 hari sedangkan menurut Toelihere, et al (2005) masa bunting

pada rusa timor antara 248-285 hari (8-9 bulan).

Hasil pengamatan Setio, et al (2010) di penangkaran rusa timor di HP Dramaga,

Bogor menyatakan bahwa berahi pertama 63-85 hari setelah melahirkan, kedekatan

betina terhadap jantan terjadi 2-3 hari selama masa berahi, nafsu makan induk betina

lebih tinggi selama bunting dan 1-2 hari menjelang melahirkan, gerakan janin pada

induk betina yang sedang bunting umumnya mulai terlihat setelah umur kebuntingan

6 bulan (perut sebelah kanan) dan deteksi bulan partus terlihat dari perkembangan

puting dan ambing (2-3 bulan sebelum partus). Sedangkan deteksi hari partus (1-2

hari), antara lain terlihat dari ruang pelvis melebar, vulva memerah dan membengkak

(kadang keluar cairan mukosa dan sedikit terbuka), ambing besar dan padat berwarna

putih kemerahan (kadang terlihat pembuluh darah vena).

Deteksi jam partus (1-3 jam sebelumnya), antara lain dapat dilihat pada Gambar

50 dengan posisi rebah badan pada satu sisi dengan kaki depan dan/atau belakang

direntangkan, posisi rebah-berdiri terjadi berulang kali pada waktu yang berdekatan,

perejanan beberapa kali (berdiri atau berbaring satu sisi), sering menjilati bagian

vulva dan anus, dan kontraksi otot defekasi (perejanan) 2-5 menit sekali dengan

ekor diangkat ke atas (Setio, et al, 2010).

Gambar 50. Perkembangan puting dan ambing susu pada rusa betina sebagai deteksi

bulan melahirkan (sumber foto: Setio, 2010)

Page 125: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 110

Hasil penelitian Setio, et al (2010), kondisi pada saat partus (Gambar 51), antara

lain kantung ketuban dapat pecah di dalam atau di luar ruang pelvis (gelembung

krem pucat atau berdarah dan transparan keluar dari vulva), induk berusaha

memecahkan kantung ketuban yang keluar dari vulva untuk memudahkan proses

keluar anak (lahir), posisi partus anak dimulai dari kaki depan kemudian kepala,

selanjutnya badan dan jatuh ke lantai kandang.

Gambar 51. Perkembangan kantung ketuban dan perilaku induk betina pada masa

melahirkan (sumber foto: Setio, 2010)

Perilaku pasca partus (Gambar 52) adalah induk betina menjilati seluruh tubuh

anak dan memakan bekas kantung ketuban, cairan ketuban dan plasenta, anak

menyusu pada induk untuk mendapatkan kolostrum (air susu pertama yang baru

keluar dan mengandung antibody).

Gambar 52. Perilaku induk betina dan anak yang menyusu pada masa pasca

melahirkan (sumber foto: Setio, 2010)

Teknik Pemindahan (Transfering)

Penggiringan Rusa

Pengandangan rusa merupakan teknik memindahkan rusa dengan menggiring

rusa ke kandang yang telah disiapkan.Penggiringan dilakukan dengan cara

menggiring rusa yang telah dipilih dan ditentukan untuk ditangkap atau dipindahkan

ke areal pembiakan (pedok), melalui jalur yang telah disediakan. Thohari et al.

(1991) menyatakan bahwa perlakuan dalam penggiringan sebaiknya tidak dengan

cara-cara kasar dan pelibatan banyak orang untuk menghindari stres pada rusa.

Page 126: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 111

Cara Penangkapan dan Penjeratan

Penangkapan adalah kegiatan menangkap rusa yang dilakukan dalam areal

penangkaran untuk keperluan penanganan, seperti pembe-rian perlakuan,

pengobatan, pemanenan dan pemotongan velvet atau ranggah.Yang perlu

diperhatikan dalam penangkapan adalah meng-hindari pada rusa. Stres sering terjadi

pada rusa terutama pada saat penangkapan untuk pemotongan ranggah, penimbangan

berat badan, perlakuan pemberian pakan dan pengangkutan rusa untuk pemindahan

lokasi (Takandjandji, 2007). Akibat dari tersebut dapat menyebabkan rusa mati

secara mendadak, terutama pada rusa jantan di penangkaran.

Penangkapan rusa membutuhkan tenaga 2–3 orang dan pada rusa jantan yang

mempunyai ranggah kokoh atau sempurna, harus menda-pat perhatian yang lebih

serius karena sangat galak dan liar serta dorongan kaki belakang rusa sangat kuat.

Apabila penangkapan dilakukan dengan benar dan kaki belakang dipegang dengan

kuat dan tetap tenang, biasanya rusa tidak akan bereaksi atau melawan. Cara

menangkap dan memegang rusa, yaitu dengan mendekatinya dari belakang namun

tetap tenang. Dalam proses pendekatan, langkah harus perlahan sehingga rusa

menjadi terbiasa dengan keberadaan kita, dengan demikian akan mudah ditangkap.

Setelah rusa ditangkap, leher-nya dijepit dengan tangan kanan, dan ke dua mata

ditutup menggu-nakan tangan kiri agar dapat mengurangi stres. Petugas lainnya,

memegang ke dua pangkal paha atau bagian kaki belakang rusa dari arah samping

(Takandjandji 2007).

Proses penangkapan dengan penjeratan sering dilakukan pada rusa di

penangkaran, yaitu dengan menggunakan alat berupa jaring, tali, dan pembuatan

lubang-lubang perangkap. Rusa yang telah meningkat kewaspadaannya akan terus

menjauh dari petugas sehingga membutuh-kan waktu yang lama untuk kembali

menenangkan rusa.Sambil berjalan mendekati rusa, petugas membawa pakan dan tali

untuk menjerat. Apabila rusa sudah mendekat, tali langsung dilemparkan tepat pada

ranggahnya dan setelah terjerat, petugas lainnya membantu menangkap dan

memegang rusa. Cara ini merupakan cara yang paling fatal karena membuat rusa

menjadi stres tetapi relatif lebih ekonomis karena tidak membutuhkan biaya yang

besar.

Penangkapan dengan Pembiusan

Pembiusan dilakukan untuk menghindari stres pada rusa dengan pemberian obat.

Namun Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan, penggunaan obat bius merupakan

pekerjaan yang sangat berbahaya, khususnya pada manusia dan rusa. Oleh sebab itu,

penggunaan obat bius untuk tujuan pengendalian rusa harus dilakukan oleh dokter

he-wan atau staf kesehatan yang telah mendapat kewenangan. Obat bius yang sering

digunakan terbagi atas dua kelompok yakni untuk kepentingan pembiusan total dan

bius lokal.

Page 127: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 112

Obat bius yang sering digunakan dalam penangkaran adalah xylazine dan

ketamine. Pembiusan dapat menggunakan sumpit yang dibuat dari aluminium atau

paralon yang panjangnya 100-120 cm dan diameternya sama dengan alat suntik yang

volumenya sekitar 3-5 cc yang telah diisi obat bius. Alat suntik dipasang pada bagian

ujung sumpit dan dibidikkan ke sasaran rusa yang akan ditangkap dengan

meniupkannya sehingga alat suntik ini mengenai tubuh rusa. Beberapa saat

kemudian rusa tersebut akan terbius dan pingsan. Obat bius yang digunakan adalah

campuran rompun (xylazine) dengan dosis 2 mg per kg berat rusa (estimasi) dan

katalar (ketamine) dengan dosis 5 mg per kg berat rusa (estimasi). Pengisian ampul

sulfas atropin yaitu untuk rusa dewasa sebanyak 2 cc, sedangkan untuk anak rusa

sebanyak 1 cc (Mukhtar 1996). Jenis obat ini mempunyai obat penawar (antidota)

sehingga rusa yang terbius, dapat segera sadar kembali.

Rusa yang telah dibius dapat ditangkap dengan mudah. Teknik ini lebih banyak

digunakan sehingga tidak mengakibatkan cidera pada rusa dan operator atau petugas.

Walaupun cara ini membutuhkan waktu yang lama karena rusa mempunyai alat

penciuman yang tajam. Biasanya rusa tidak akan menyerang jika pendekatan

dilakukan dengan benar, kaki belakang dipegang kuat dan tetap tenang. Asisten

operator harus siap untuk menghindar jika rusa telah sadar dari obat bius dan mulai

melawan. Namun tetaplah tenang sambil memegang kaki belakang dan biarkan rusa

melakukan perlawanannya selama beberapa saat. Setelah itu, rusa akan berhenti

melawan karena masih dipengaruhi oleh obat bius yang diberikan.

Pengangkutan Rusa

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan rusa adalah apabila

jaraknya sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama, sebaiknya menggunakan

peti atau kandang angkut yang berbentuk persegi empat (Takandjandji dan Sutrisno,

2006). Ukuran kandang angkut yang digunakan disesuaikan dengan ukuran tubuh

rusa, yaitu sekitar 1,5x1,5x1,5m dan setiap kandang berisi seekor rusa . Ukuran

kandang diusahakan agar rusa dapat berdiri tegak atau tidak membungkuk dan dapat

bergerak bebas. Kandang angkut harus mempunyai lubang udara. Pemberian pakan

hijauan segar dapat dilakukan di dalam kandang angkut. Pengangkutan rusa

sebaiknya pada waktu matahari tidak bersinar terik dan suhu udara cukup sejuk.

Waktu yang terbaik adalah pada pagi, sore atau malam hari. Thohari et al. (1991)

menyatakan bahwa pengangkutan rusa perlu memperhatikan persiapan, jarak dan

lama pengangkutan, perlakuan selama pengangkutan dan pelepasan setelah

pengangkutan.

Pengendalian Stres pada Rusa

Stres merupakan salah satu gambaran kondisi fisiologis yang mengalami

gangguan secara non-fisik. Perubahan kondisi fisiologis dapat menggunakan

patokan nilai fisiologis rusa yang sehat sebagai parameternya. Pengetahuan

Page 128: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 113

perubahan kondisi ini sangat baik untuk melakukan perawatan, pencegahan atau

pengobatan dengan tepat dan mengenai sasaran.

Kondisi yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan fisiologis dan

berdampak pula pada perubahan nilai hematologi (Ma’ruf dan Triatmoko, 2004).

Nilai fisiologis normal maupun hematologi normal dapat dijadikan parameter kondisi

rusa, sebagaimana disajikan pada Tabel 29 dan Tabel 30.

Tabel 29. Nilai fisiologis normal pada rusa sambar di UPTD BPIB Api-api

Umur/Seks Napas (menit) Nadi (menit) Suhu rektal

Jantan dewasa 72-84 120-140 38,5-40,5

Betina dewasa 60-84 120-140 38,5-41,0

Anak 60-96 96-120 39,8-41,2

Sumber: Ma’ruf dan Triatmoko (2004)

Tabel 30. Nilai hematologi normal rusa sambar di UPTD BPIB Api-api

No. Hematologi Jantan dewasa Betina dewasa Anak-anak

1. Hemaglobine (g/dl) 14-18 14-18 12-14

2. Sedimentation rate (mm/jam) 3-8 2-3 5-15

3. Leucocyte count(103/mm

3 ) 4-9 7-9 4-12

4. Trombocyte count (103/mm

3) 75-200 60-204 225-500

5. Eritrocyte count (106/mm

6 ) 210-250 150-200 128-230

6. Packed cell volume (%) 45-55 43-56 38-44

Differential count

1. Eosinophile 0-4 0-4 0-3

2. Basophile 0-1 0-1 0-1

3. Stab 0-1 0-1 0-1

4. Segmen 58-66 53-67 40-50

5. Lymphocyt 32-42 25-40 40-60

6. Monocyte 0-1 0-2 0-1

Sumber: Ma’ruf dan Triatmoko (2004)

Cara penanggulangan stres dapat dilakukan dengan mengurangi pengejaran dan

penangkapan dalam jumlah orang yang banyak. Pengejaran dilakukan hanya oleh

seorang petugas perawat agar rusa tidak merasa curiga. Apabila rusa sudah

tertangkap atau terjerat, pemberian suntikan yang berisi obat bius dapat dilakukan

dan dilanjutkan dengan pemindahan dan pengangkutan. Cara ini telah digunakan di

penangkaran di Oilsonbai, Nusa Tenggara Timur sebagai upaya untuk

menanggulangi stres pada rusa dan tidak mengakibatkan cidera baik pada rusa

maupun petugas (Takandjandji 1994).

Cara lain dalam penanggulangan stres pada rusa adalah dengan mengetahui

penanganan yang tepat, khususnya dalam bidang medis veteriner, melalui konsultasi

dengan dokter hewan.Selain itu, perlakuan terhadap rusa, terutama rusa jantan

dewasa yang baru dipotong ranggahnya, perlu mendapat perhatian lebih

dibandingkan dengan kelompok rusa lainnya.

Page 129: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 114

Konsultasi dengan dokter hewan setempat perlu dilakukan untuk mendapatkan

petunjuk atau pengobatan medis veteriner. Upaya ini untuk mencari solusi yang

terbaik agar dapat mengurangi stres pada rusa di penangkaran. Sampai saat ini

capture myopathy pada rusa belum ada obatnya, sehingga tindakan pencegahan harus

diutamakan yakni dengan cara mengurangi stres saat penanganan (Semiadi dan

Nugraha 2004).

Teknik Penangkapan Rusa

Cara menangkap rusa di penangkaran agar tidak menimbulkan cidera baik pada

petugas maupun rusa itu sendiri, antara lain menjepit leher dengan tangan kanan, ke

dua mata ditutup menggunakan tangan kiri, agar dapat mengurangi stress, petugas

lainnya, memegang ke dua pangkal paha dari arah samping. Penangkapan pada rusa

jantan yang mempunyai ranggah kokoh atau sempurna, harus mendapat perhatian

yang lebih serius karena sangat galak dan liar.

Penangkapan rusa dapat juga dilakukan dengan cara penggiringan ke kandang

jepit atau kandang yang lebih kecil, lalu dimasukkan ke kotak angkut. Penggiringan

tersebut dapat dilakukan dengan pem-berian umpan pakan atau di tempat pemberian

pakan. Penangkapan yang terbaik adalah pada sore hari ketika pengaruh panas sinar

matahari sudah berkurang atau pagi hari sebelum udara panas. Pembiusan hanya

dianjurkan apabila cara penggiringan tidak dapat dilakukan dan dalam pengawasan

tenaga kesehatan hewan (dokter hewan).

Teknik penangkapan rusa menggunakan kandang jepit badan beralas yang dapat

dilepas. Penggunaan kandang jepit beralas lepas dapat dilakukan dengan dua model,

yaitu model kandang jepit bertangga dan model kandang jepit berkolong. Ke dua

model tersebut sudah diuji dan dapat digunakan untuk penangkapan, namun

demikian, model kandang jepit berkolong memberikan waktu habituasi yang lebih

singkat. Hal ini disebabkan rusa tidak merasa aneh pada saat melalui kandang jepit

berkolong dibandingkan model bertangga yang tidak umum dalam kandang rusa.

Selanjutnya, penangkapan rusa dilakukan dengan cara menarik pengunci alas

kandang jepit, sehingga alas kandang lepas ke bawah dan rusa terperangkap

badannya dengan posisi kaki menggantung.

Pengangkutan Rusa

Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan rusa, adalah, apabila jarak

pengangkutan sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama, sebaiknya

menggunakan peti atau kandang berbentuk persegi 4. Bentuk dan model kotak

angkut harus kompak, kokoh, mampu menahan beban tubuh rusa, tetapi mudah

untuk diangkat atau dipindahkan. Ukuran kotak angkut (pxlxt) sekitar 150x70x120

cm (Gambar 53). Bahan kotak dapat berasal dari kayu (papan, balok atau kayu lapis

tebal), besi, atau kombinasi berbagai bahan. Kotak angkut sebaiknya tertutup

sebagian besar dan terbuka sebagian kecil (untuk sirkulasi udara). Seluruh sisi kotak

angkut dibuat permanen, kecuali untuk pintu masuk/keluar (bagian muka dan

Page 130: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 115

belakang) dibuat buka/tutup dengan geser atas. Pada bagian dalam kotak sebaiknya

kering dan lembut, atau dapat dimasukkan sedikit jerami kering.

Proses pemasukan ke kotak angkut dan teknik pengangkutan men-jadi sangat

peting untuk mengurangi pada rusa. Setiap individu dima-sukkan ke dalam satu

kotak angkut, kecuali yang sedang mengasuh anak. Setelah penangkapan dan

pemasukan rusa ke kotak angkut, rusa segera dibawa dan tidak diinapkan terlalu

lama. Pengangkutan rusa menggunakan alat angkut yang terlindung dari gangguan

dan pengaruh cuaca (panas atau hujan). Pengangkutan terbaik sebelum matahari

bersinar terik, yaitu pagi hari, sore hari atau malam hari.

Stres pada rusa dapat dihindari dengan pengelolaan pengangkutan yang baik dan

saat pelepasannya. Pemberian vitamin anti melalui makanan atau minuman dapat

dilakukan pada waktu sebelum dan sesu-dah pengangkutan.Stres juga dapat

dikurangi dengan cara mengurangi kebisingan dan gangguan lainnya selama proses

penangkapan, pe-ngangkutan hingga pelepasan di tempat pemeliharaan yang baru.

Pemberian pakan hijauan segar yang berserat (rumput) sangat dianjurkan untuk

pengangkutan jarak jauh, sehingga rusa disibukkan dengan makan dan memamah

biak. Selanjutnya, pelepasan dilakukan dengan membuka pintu pada arah kepala rusa

dan membiarkannya keluar sendiri untuk proses adaptasi di lokasi atau kandang

pemeliharaan yang baru.

Gambar 53. Model peti angkut rusa

Analisis Ekonomi

Pemanfaatan rusa di Indonesia umumnya masih mengandalkan potensi di alam

dan masih terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga akan daging padahal

rusa memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi baik daging maupun hasil ikutan

lainnya. Daging, kulit, dan ranggah (muda dan tua) merupakan komoditas yang

bernilai mahal. Daging rusa sangat digemari orang karena mempunyai tekstur yang

lembut, berwarna merah dan rendah kolesterol.

Produk hasil rusa memiliki keunggulan antara lain kulit dan ranggah dengan

nilai jual yang cukup tinggi dan dapat diproduksi tanpa harus menyembelih rusa.

Dalam dunia pengobatan, ranggah muda (velvet) dapat digunakan orang sebagai

ramuan obat-obatan. Harga ranggah muda (velvet) tahun 1981 di pasaran

internasional adalah $ 90/kg. Berat ranggah muda rata-rata 1,0-2,5 kg tergantung

Page 131: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 116

pada umur pejantan. Ranggah digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional Cina

karena mengandung mineral dan testoteron. Ranggah dipotong pada umur 50-70

hari, kemudian dikeringkan dan diekspor. Menurut Takandjandji dan Garsetiasih

(2002), rusa timor dewasa di NTT mempunyai berat hidup 50-70 kg dengan rata-rata

berat karkas sebesar 20,0 – 31,0 kg atau 44,3 – 62,0 % dari berat hidup. Karkas

adalah berat daging tanpa kepala, kaki dan jeroan dan berat karkas dipengaruhi oleh

pakan, umur, jenis kelamin dan lingkungan.

Rusa yang dijadikan sebagai bibit berumur 12 – 15 bulan atau yang telah siap

kawin. Umumnya rusa berproduksi 10-15 tahun dan waktu yang dibutuhkan sampai

menghasilkan keturunan kemudian dijual yakni ± 30 bulan (2,5 tahun). Umur yang

tepat untuk dijual 18 bulan karena bobot badan rusa sudah stabil, penjualan di bawah

umur akan rugi karena harganya rendah dan kesempatan untuk memanfaat-kan

kecepatan pertumbuhan badan yang optimal akan hilang. Penju-alan di atas umur,

akan rugi karena biaya pemeliharaan terus berjalan sedangkan pertambahan berat

badan tidak ada. Waktu yang tepat untuk penjualan rusa, pada saat musim kemarau

di mana pakan segar sulit dijumpai. Harga jual rusa, didekati dengan cara

mengetahui dan mempertimbangkan harga daging eceran serta produk lainnya di

pasaran.

Rusa yang disisakan setelah dimanfaatkan harus lebih sedikit agar hemat biaya,

lahan dan memperoleh keuntungan yang cukup besar, minimal 10 ekor (2 jantan dan

8 betina) dengan perbandingan ideal 1:4. Pada tahun keenam, bibit rusa sebanyak 5

ekor (1 jantan dan 4 betina), apabila diperhitungkan dengan risiko kematian 25%,

tinggal 4 ekor terdiri dari 1 jantan dan 3 betina dan pada akhir proyek (tahun

kesepuluh), semua rusa dijual.

Berdasarkan asumsi-asumsi di atas diperoleh perkiraan nilai-nilai Net Present

Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate Ratio (IRR) di

penangkaran rusa timor di NTT, masing-masing Rp. 77.000; 2,960 dan 38,767%.

Nilai NPV penangkaran rusa di HP Dramaga Bogor pada tingkat suku bunga 18%

sebesar Rp.150.624.719, nilai BCR selama 10 tahun sebesar 1,43 dan nilai IRR

sebesar 17,31%. Kegiatan penangkaran rusa timor di HP Dramaga mempunyai

kemampuan untuk mengembalikan modal seluruh biaya investasi (payback period)

selama 3,14 tahun pada tingkat suku bunga deposito 18%. Kondisi ini

menggambarkan bahwa upaya penangkaran rusa timor di NTT dan di HP Dramaga

Bogor layak untuk dilaksana-kan. Kegiatan penangkaran rusa cukup menguntungkan

walaupun pada awalnya memerlukan biaya dan investasi yang cukup besar. Usaha

ini memerlukan luas lahan yang lebih kecil, akan tetapi dapat memberikan

keuntungan yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan ternak-ternak yang

sudah umum dikenal.

Page 132: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 117

c.2. Kajian Kelayakan Penangkaran Rusa Sambar (Rusa unicolor) Di KHDTK

Hutan Penelitian Samboja

Identifikasi Regulasi

Rusa sambar terdiri dari tujuh sub spesies di dunia, dua diantaranya ada di

Indoensia, yaitu R.u. equina yang menyebar di Sumatera dan R.u. brookei di

Kalimantan (Leslie, 2010). Ancaman akan keberadaannya saat ini banyak

mengalami ancaman baik akibat kerusakan habitat maupun perburuan liar (Suzanna

& Masy'ud, 1991; Atmoko, 2007). Gambaran perburuan liar terhadap rusa sambar di

Kalimantan Timur jika dilihat dari pengiriman hasil buruan rusa ke pasar,

menunjukkan bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu kabupaten diburu

minimal 60 - 120 ekor, atau sekitar 600 – 1400 ekor rusa Sambar liar dibunuh

pertahunnya (Semiadi et al., 2008). Penurunan populasi rusa sambar di Sumatera

dan Kalimantan diperkirakan lebih dari 50% selama kurun waktu 24-30 tahun

terakhir (Timmins et al., 2008). Mengingat tingginya ancaman terhadap rusa

sambar, maka jenis ini dilindungi berdasarkan PP nomor 7 tahun 1999 (Pemerintah

RI, 1999), dan masuk dalam kategori rentan menurut IUCN (Timmins et al., 2008).

Persepsi masyarakat terhadap penangkaran rusa sambar

Menurut sebagian besar responden saat ini sudah semakin sulit menemukan rusa

sambar saat mereka masuk ke dalam hutan. Menurut 86,67% responden, penurunan

populasi tersebut disebabkan oleh adanya perburuan liar dengan menggunakan

perangkap-perangkap (jerat) di dalam hutan.

Daging rusa hasil buruan tersebut selanjutnya dijual di pasar tradisional dengan

harga Rp 35.000,00-45.000,00/kg, sedangkan daging yang sudah digiling dijual

dengan harga Rp 60.000,00/kg. Selain akibat perburuan penurunan populasi juga

disebabkan oleh kerusakan habitanya. Masyarakat menyadari bahwa kondisi

KHDTK Samboja yang sering mengalami kebakaran pada musim kemarau juga

berpengaruh terhadap penurunan populasi rusa sambar. Kebakaran tersebut, menurut

masyarakat dapat merusak tempat hidup/habitat rusa sambar, seperti pohon-pohon

pelindung (shelter), dan sumber pakan.

Pengetahuan tentang Perlindungan Rusa sambar

Masyarakat Desa Semoi Dua sebagian besar mengetahui bahwa rusa sambar

termasuk satwa yang dilindungi sehingga tidak boleh diburu. Informasi tersebut

mereka dapatkan dari televisi, surat kabar, maupun informasi yang bersifat lisan.

Masyarakat menyebutkan bahwa rusa sambar merupakan satwa yang dilindungi oleh

pemerintah, mereka tidak menyebutkan bahwa satwa tersebut dilindungi oleh

undang-undang.

Aspek Pengembangan Penangkaran Rusa sambar

Menurut masyarakat pembangunan penangkaran rusa sambar di KHDTK

Samboja merupakan salah satu upaya yang perlu untuk pelestarian satwa tersebut.

Page 133: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 118

Mereka berharap dengan pembangunan penangkaran tersebut anak cucu mereka

masih dapat mengetahui rusa sambar di masa depan.

Berdasarkan skoring, persepsi masyarakat Desa Semoi Dua mengenai

pengembangan rusa sambar tergolong “sedang”. Masyarakat mendukung

pengembangan penangkaran rusa sambar, tetapi sedikit khawatir jika pengembangan

penangkaran tersebut mengganggu aktivitas berladang mereka. Hal itu dikarenakan

masyarakat Desa Semoi Dua adalah masyarakat petani yang menggantungkan

hidupnya dari hasil pertanian. Selain itu masyarakat juga khawatir apabila rusa-rusa

yang ditangkarkan merusak tanaman mereka dan membatasi akses untuk membuka

ladang baru. Masyarakat mengharapkan agar areal penangkaran rusa dipagar

sekelilingnya sehingga rusa tidak merusak tanaman pertanian.

Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat

Variabel-variabel umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non

formal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan lama

tinggal berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh

positif terhadap persepsi masyarakat adalah tingkat pendidikan formal, tingkat

pendidikan non formal, dan lama tinggal. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh

negatif terhadap persepsi masyarakat adalah umur, pendapatan, jumlah tanggungan

keluarga, dan luas lahan garapan. Variabel-variabel bebas memiliki pengaruh sebesar

46,05 % terhadap variabel terikat, sehingga sebanyak 53,95% variabel terikat

(persepsi masyarakat) dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar.

Faktor tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap persepsi

masyarakat, sedangkan faktor lainnya (umur, tingkat pendidikan formal, pendapatan,

jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan lama tinggal) tidak

berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat. Pembangunan dan

pengembangan penangkaran rusa memerlukan partisipasi masyarakat sekitar

kawasan, khususnya masyarakat yang berinteraksi secara langsung dengan KHDTK

Samboja. Pada tahap awal, partisipasi masyarakat dapat ditujukan untuk tujuan

keamanan, dimana ada komitmen dari masyarakat untuk tidak menganggu

keberadaan rusa berikut habitatnya di dalam penangkaran. Hal ini menjadi perlu,

mengingat kawasan KHDTK Samboja merupakan kawasan yang rawan akan

gangguan hutan. Usia responden yang sebagian besar merupakan usia produktif dan

tingkat persepsi yang termasuk kategori “sedang” merupakan modal utama dalam

pelibatan masyarakat dalam kegiatan penangkaran rusa sambar. Bercermin dari

keberhasilan penangkaran rusa timor di Nusa Tenggara Timur salah satunya

disebabkan adanya unsur partisipasi masyarakat (Takandjandji et al., 2011).

Beberapa desain penangkaran rusa yang dapat diadopsi di KHDTK Samboja

adalah ranch apabila tersedia lahan yang cukup luas (sekitar 1-5 ha) dan semi ranch

apabila lahan terbatas sampai dengan 1 ha (Setio, 2007). Desain apapun yang dipilih

oleh perencana nantinya diharapkan dapat mengakomodir kekhawatiran masyarakat

Page 134: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 119

salah satunya dengan membuat pagar pembatas yang cukup kuat dengan kebun

masyarakat.

Tingkat Kepentingan Stakeholder

Persepsi para stakeholder dari kalangan pemerintahan dan swasta (Dishut

Kaltim, PPA Tahura, BKSDA Kaltim, pihak penangkar rusa sambar yang ada di

Kaltim) semuanya mendukung kegiatan penangkaran rusa sambar yang akan

dilakukan, kecuali pihak aparat desa Semoi Dua yang menyatakan ragu sebab status

kawasan di Km 16 di KHDTK Samboja masih dianggap tumpang tindih karena

berdasarkan peta penempatan transmigrasi berada dalam pengelolaan wilayah desa

Semoi Dua.

Identifikasi Kondisi Biofisik

Areal di Km 16 KHDTK Samboja memenuhi syarat sebagai lokasi penangkaran

rusa dilihat dari kondisi biofisiknya.

Kondisi Tapak

Kondisi topografi di lokasi ini bergelombang bervariasi. Terdapat beberapa plot

penelitian yang ada, diantaranya plot gaharu, ulin, tegakan benih meranti. Plot

Tegakan Benih Meranti sekitar 3 bulan yang lalu mengalami kebakaran, sehingga

banyak tanaman yang mati. Berdasarkan informasi masyarakat lokasi tersebut pernah

dilakukan pengeboran minyak/gas oleh perusahaan VICO. Terdapat lokasi yang

datar di sekitar danau VICO, menurut informasi dari masyarakat lokasi tersebut

dulunya dipergunakan oleh perusahaan VICO untuk menaruh alat-alat berat yang

digunakan untuk pengeboran minyak/gas di lokasi tersebut.

Aksesibilitas

Aksesibilitas menuju lokasi ini dari Km. 38 Samboja berjarak 16 km,

selanjutnya masuk kedalam sekitar 1 km. Kondisi jalan dulunya dapat dilalui mobil

roda empat, namun karena jarang dilalui, saat ini hanya bisa dilalui kendaraan roda

dua atau roda empat 4WD.

Kondisi Hidroorologi

Pada lokasi ini terdapat danau buatan yang dibuat oleh perusahaan VICO, danau

tersebut berasal dari beberapa anak sungai yang dibendung. Luas danau sekitar 4 ha,

dengan kondisi tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Danau berada

berdekatan dengan lokasi yang bertopografi datar, yaitu sekitar 20 meter.

Vegetasi dan sumber pakan

Lokasi bertopografi datar sebagian bekas terbakar dan sebagian lainnya tidak

terbakar. Kondisi yang terbakar sekarang ditumbuhi Acacia mangium dan alang-

alang. Sedangkan yang tidak terbakar ditumbuhi semak-semak, macaranga, jenis

rumput-rumputan dan liana/herba, selain itu juga masih tersisa beberapa tanaman

Page 135: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 120

meranti yang masih hidup. Jenis pohon adalah Acacia mangium (INP=242,66%),

Macaranga motleyana (INP=15,41%), Vernonia arborea (INP=12,08%), Shorea

leprosula (INP=12,02%), Gmelina arborea (INP=11,36%) dan Swietenia mahagony

(INP=6,44%).

Hasil identifikasi terhadap tumbuhan bawah ditemukan 32 jenis, 18 jenis di

antaranya berpotensi sebagai sumber pakan bagi rusa sambar dalam penangkaran.

Lima jenis tumbuhan bawah dominan pada lokasi penelitian adalah Scleria sp.

(INP=64,60%), Nephrolepis sp. (INP=17,35%), Imperata cylindrical (INP=15,82%),

Mikania sp. (INP=7,63%), dan Saccharum spontaneum (INP=7,31%).

Produktivitas Hijauan

Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa total produktivitas dari 18 jenis

hijauan yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi rusa sambar hanya sebesar 33,74

Kg/ha/hari untuk berat segar dan 1,00 Kg/ha/hari untuk berat kering.

Dengan memperhitungkan bahwa kebutuhan pakan bagi setiap ekor rusa

umumnya adalah 6 kg/hari maka dari proper use 70% yang ditumbuhi oleh hijauan

pakan dapat diketahui bahwa daya dukung habitat bagi rusa sambar saat ini adalah

sebanyak 8 ekor/ha/hari.

Desain Tapak Penangkaran

Bila mengacu pada kondisi fisik dan biologis kawasan di Km 16 LHDTK

Samboja yang akan dijadikan sebagai lokasi penangkaran maka setidaknya dalam

desain penangkaran jangka panjang dapat dikembangkan menjadi dua zona utama,

yakni zona perkantoran serta zona penangkaran. Kedua zona tersebut dibangun

dengan mempertimbangkan proyeksi efisiensi pengelolaan, daya dukung habitat,

ketersediaan lahan penangkaran, serta populasi rusa yang akan ditangkarkan.

Alokasi kebutuhan ruang untuk penangkaran sistem ranching yang dapat diterapkan

di KHDTK Samboja adalah sebagai berikut:

a. Zona perkantoran (A), memiliki luas 0,7 ha atau 23,33% dari total luas rencana

penangkaran. Topografi kawasan ini terlalu berbukit dan tidak cocok untuk

aktivitas rusa sehingga peruntukannya lebih bermanfaat untuk bangunan bagi

penjaga/pekerja, menara kontrol pengawasan rusa, serta gudang peralatan dan

pakan.

b. Pedok Indukan (B dan C), memiliki luas 1,4 ha atau 46,67% dari total luas

rencana penangkaran. Dipergunakan bagi rusa yang telah memasuki usia

kematangan secara reproduksi. Diproyeksikan dapat menampung 15 ekor rusa

indukan.

c. Pedok pembesaran (D), memiliki luas 0,4 ha atau 13,33% dari total luas rencana

penangkaran. Diproyeksikan dapat menampung 5 ekor rusa yang masih dalam

usia muda ( < 2 tahun).

d. Pedok adaptasi dan isolasi/karantina (B2), memiliki luas 0,018 ha atau 0,6 % dari

total luas rencana penangkaran. Diproyeksikan penggunaannya sebagai kandang

Page 136: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 121

untuk adaptasi rusa yang baru datang, tempat untuk melahirkan bagi rusa betina,

serta lokasi untuk perawatan bagi rusa yang sedang sakit.

e. Pedok areal pengembangan/kebun rumput (E), memiliki luas 0,9 ha atau 30%.

Pedok ini berfungsi untuk mensuplai kebutuhan pakan bagi rusa di saat kondisi

pakan yang tersedia sudah tidak mencukupi. Selanjutnya, seiring dengan

pertambahan populasi rusa dalam penangkaran, maka pedok

pengembangan/kebun rumput ini ke depannya dapat juga dipergunakan sebagai

pedok indukan.

Faktor interaksi antara naungan (ternaung) dan jenis tanaman (S. sphacelata)

memberikan pengaruh terendah terhadap persentase kehidupan tanaman dengan nilai

rata-rata persen hidup hanya mencapai 84,08% sementara persentase hidup perlakuan

lain pada interaksi yang sama berkisar antara 89,75%-95,39%. Untuk interaksi antara

konsentrasi NPK dan jenis tanaman, perlakuan konsentrasi NPK 6 gr/rumpun pada

jenis P.dilatatum dan P. purpureum memberikan persentase kehidupan tertinggi

hingga mencapai 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis tanaman

tersebut memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Kedua

jenis rumput tersebut selain memiliki keunggulan produktivitas biomassa yang tinggi

juga mampu bertahan pada kondisi kekeringan dan tanah yang kurang subur

(Polakitan dan Kairupan, 2011).

c.3. Teknik Penangkaran Trenggiling

Kandang Penangkaran

Model teknik penangkaran trenggiling dilakukan di Sumatera Utara, Medan

milik UD. Multi Jaya Abadi yang dimulai sejak tahun 2007. Pengamatan trenggiling

dilakukan dengan cara dikandangkan secara berpasangan dan individu. Kandang

penangkaran berbentuk permanen sebanyak 40 buah berukuran 2 m x 4 m, tinggi 2,0

m di bagian depan dan 1,5 m di bagian belakang, berlantai semen, dan beratap asbes

dengan sirkulasi udara baik. Pagar kandang terbuat dari tembok, teralis besi, kawat

harmonika dan antar kandang disekat dengan teralis besi yang dilapisi kawat

harmonika.

Konsumsi Pakan

Kondisi trenggiling di penangkaran sehat secara fisik, tidak menunjukkan

perilaku anta-gonistik , nafsu makan cukup bagus, iklim mikro seimbang dan

trenggiling sudah beradaptasi dengan jenis pakan yang diberikan yaitu dedak padi,

jagung halus, yang dicampur dengan kroto sebagai pakan utama. Konsumsi pakan

pada trenggiling berpasangan sebesar 178,21 gram/pasang/hari dengan rata-rata

perlakuan P1 (dedak+jagung+kroto 50 gram) sebesar 167,69 gram/hari dan P2

(dedak+jagung+kroto 80 gram) 188,72 gram/hari, serta konsumsi per individu

sebanyak 89,10 gram/individu/hari sedang konsumsi pakan trenggiling dalam

kandang individu sebanyak 100,24 gram/individu/hari.

Page 137: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 122

Trenggiling lebih menyukai pakan yang sering diberikan (dedak padi dicampur

dengan jagung halus dan kroto) dibandingkan dengan jenis pakan yang baru (rayap,

cacing, dan jangkrik). Konsumsi dedak padi dan jagung halus sebesar 13,64%;

kroto 11,57%; cacing 1,27%; rayap 1,01% dan jangkrik sebesar 0,78% dengan total

pemberian pakan 362,65 gram/individu/hari.

Rata-rata bobot badan trenggiling jantan lebih besar daripada betina, demikian

pula halnya dengan ukuran morfometrik. Rata-rata bobot badan jantan adalah 2,99

kg dan betina 2,33 kg. Sedangkan ukuran morfometrik berupa panjang total 78,62

cm (jantan) dan 70,32 (betina) serta lingkar dada jantan 33,44 cm dan betina 27,32

cm. Bobot badan harian pada trenggiling yang diberi perlakuan pakan alternatif,

tidak mengalami kenaikan bahkan cenderung menurun karena berkaitan erat dengan

tingkat konsumsi dan lamanya pengamatan.

Konversi pakan juga masih sangat rendah dimana berkorelasi dengan konsumsi

pakan dan pertambahan bobot badan harian, sedangkan daya cerna trenggiling

terhadap pakan jangkrik lebih tinggi karena jangkrik mengandung serat kasar yang

tinggi dan rayap terendah.

Pakan utama trenggiling adalah serangga, sehingga pemberian dedak dan jagung

kurang memenuhi gizi yang dibutuhkan trenggiling. Oleh karena itu, pada Tahun

2012 dicobakan lagi jenis pakan yang memiliki nilai gizi tinggi yaitu telur, tahu, dan

rayap. Penelitian Tahun 2012 dilakukan di Penangkaran Trenggiling HP Dramaga

selama 84 hari. Penelitian menggunakan 4 (empat) individu trenggiling terdiri dari 2

(dua) jantan dan 2 (dua) betina. Perlakuan pakan yang diberikan yakni kroto yang

dikombinasikan dengan beberapa jenis pakan alternatif dengan formulasi sebagai

berikut :

A = Kroto (50%) + Telur (50%)

B = Kroto (50%) + Tahu (50%)

C = Kroto (50%) + Telur (20%) + Tahu (30%)

D = Kroto (50%) + Telur (18%) + Tahu (26%) + Rayap (6%)

Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata konsumsi pakan 229,012

gram/individu/hari dan tertinggi dicapai oleh trenggiling jantan. Pakan alternatif

dengan perlakuan menggunakan campuran antara telur, tahu dan kroto lebih disukai

dan banyak dikonsumsi trenggiling. Pertambahan bobot badan tertinggi dicapai oleh

trenggiling 2 (betina) dan nilai rata-rata sebesar 0,19 kg/individu/hari serta perlakuan

menggunakan campuran telur, tahu, rayap, dan kroto memberikan kontribusi

tertinggi. Rata-rata konversi tertinggi dicapai oleh trenggiling 3 (betina) sedangkan

perlakuan tertinggi adalah perlakuan dengan menggunakan campuran telur dan kroto

dengan rata-rata konversi sebanyak 3571,891. Ukuran morfometrik tertinggi terjadi

pada trengiling betina dengan perlakuan yang bervariasi.

Page 138: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 123

Penelitian Tahun 2013 difokuskan pada perlakuan pemberian pakan dengan

menggunakan bahan pakan yang bernutrisi, tidak bersaing dengan manusia dan

mudah di dapat, yaitu ampas tahu, limbah sayur dan buah yang dicampur dengan

pakan alami berupa kroto sebagai pembentuk aroma. Penelitian menggunakan 4

(empat) individu trenggiling. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata

konsumsi pakan trenggiling tertinggi dicapai oleh trenggiling 3 yaitu 260,607±1,668

gram/individu/hari (bahan kering 155,322±0,994 dan protein kasar 56,491±0,361).

Konversi pakan tertinggi dicapai trenggiling 4 yaitu 0,183 gram/individu/hari.

Konversi pakan meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi pakan dan

pertambahan bobot badan harian trenggiling. Pertambahan bobot badan harian

tertinggi dicapai oleh trenggiling 4 yaitu 17,857±22,208 gram/individu/hari.

Pertumbuhan dalam hal ini pertambahan bobot badan harian pada trenggiling yang

diberikan pakan alternatif, meningkat pada periode I karena trenggiling sudah mulai

beradaptasi dengan bahan pakan yang diberikan.

Berdasarkan hasil penelitian pemberian pakan pada tahun 2013 menunjukkan

bahwa dari bahan pakan yang diberikan (ampas tahu, tepung ikan, pellet yang

dicampur dengan kroto), ternyata tidak semua disukai trenggiling. Oleh karena itu,

bentuk dan teknik pemberian pakan alternatif perlu disesuaikan agar trenggiling

dapat memanfaatkan pakan tersebut secara optimal. Berdasarkan pemikiran tersebut,

maka penelitian pakan alternatif pada tahun 2014 lebih diarahkan kepada jenis pakan

yang disukai pada tahun sebelumnya (tahun 2011-2013), dengan berbagai formula. Hal

ini dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penyediaan pakan

trenggiling di penangkaran, baik teknik pemberian maupun bahan pakan. Di samping

itu, penyediaan pakan alternatif juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan

keuntungan bagi para penangkar trenggiling agar dapat meminimalisasi harga kroto

sebagai pakan utama yang mahal.

Ukuran Morfologis, Penyakit dan Perilaku Trenggiling

Ukuran morfologis trenggiling dewasa di penangkaran Medan, panjang kaki

depan jantan 9,08 cm dan betina 8,40 cm, panjang kaki belakang jantan 9,92 cm dan

betina 9,30 cm, panjang badan jantan 87,58 cm dan betina 86,40 cm. Berat badan

anak berumur 1 bulan 300 gram, panjang badan 20 cm dan lingkar badan 17 cm,

sedang umur enam bulan memiliki berat badan 700 gram, panjang badan 27 cm dan

lingkar badan 23 cm.

Penyakit yang sering menyerang trenggiling di penangkaran adalah caplak,

diare, pilek, dan luka . Trenggiling akan cepat mati apabila terdapat luka pada

bagian yang tidak bersisik (bagian abdomen). Hasil analisis endoparasit di

laboratorium helmintologi menggunakan metode Mc Master, sedimentasi, dan

pengapungan terhadap trenggiling di penangkaran Medan, tidak ditemukan telur

cacing .

Page 139: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 124

Perilaku trenggiling di penangkaran meliputi posisi tidur, perilaku bergerak,

perilaku makan, memanjat dan berdiri. Posisi tidur trenggiling yaitu melingkar

(64%), terlentang (27%), dan memanjangkan tubuh (9%). Perilaku bergerak adalah

berjalan (38,6%), mendatangi pakan (29,9%), memanjat (24,5%), dan berdiri (7%).

Perilaku makan dengan aktivitas minum 37,8%; urinasi 16,8%; defekasi 15,4%.

d. Teknik Konservasi Fauna Kunci

d.1. Kajian Habitat dan Populasi Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Jawa Barat

dan Jawa Tengah

Kondisi Umum Habitat Elang Jawa

Beberapa lokasi yang diindikasikan menjadi habitat elang jawa pada kawasan

hutan TN Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat), dua diantaranya adalah Blok Koridor

(Resort Gunung Kendeng, Seksi Pengelolaan Taman Nasional/SPTN Wilayah III

Sukabumi) dan Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN Wilayah II Bogor). Sementara

itu, lokasi habitat indikatif elang jawa di TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) yang

dilakukan penelitiannya adalah pada blok hutan yang relatif menyatu, yaitu:

Balongan, Balongan Timur, Bimo, Dok Malang, Dok Cilik, Tulangan, Ngerakalan,

Bukit Mungkro, Babon, dan Ganje.

Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dan pohon pada habitat indikatif elang jawa

di Blok Koridor TN Gunung Halimun-Salak menunjukkan indeks keragaman jenis

(H’) berkisar 2,06-2,63 (kategori sedang) dan nilai keseragaman antar jenis (E)

berkisar 0,75-0,85 (kategori tinggi). Sementara itu, vegetasi tingkat tiang dan pohon

di blok hutan TN Gunung Merbabu menunjukkan indeks keragaman jenis (H’)

berkisar 0,99-1,80 (kategori rendah hingga sedang) dan nilai keseragaman antar jenis

(E) berkisar 0,53-0,87 (kategori sedang hingga tinggi).

Tabel 31. Kondisi Umum Habitat Elang Jawa di TN Gunung Halimun-Salak dan TN

Gunung Merbabu

Lokasi Penelitian Tipologi

Habitat

Kondisi

Topografi Jenis Vegetasi utama

TN Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat)

Blok Koridor

- Sub Blok GH (850-

1.100 m dpl.)

- Sub Blok Pasir Bedil

(950-1.000 m dpl.)

Hutan sekunder

yang bercampur

dengan tanah

terbuka dan

perkebunan

masyarakat

Bergelombang

ringan hingga

sedang

Puspa (Schima walichii),

saninten (Castanopsis

argentea), pasang

(Quercus spp.), pasang

batarua (Q.

dolichorcarpa) dan

kirung (Elaeocarpus

pierri), ki hiur (C.

acuminatisima), dan ki

ronyok (Castanopsis

spp.)

Page 140: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 125

Lokasi Penelitian Tipologi

Habitat

Kondisi

Topografi Jenis Vegetasi utama

Blok Tapos

- Sub Blok Loji (750-

950 m dpl)

- Sub Blok Cipinang

Gading (850-1.150 m

dpl)

- Sub Blok Bobojong

(750-1.050 m dpl)

Kombinasi

hutan primer,

hutan sekunder

dan perkebunan

Bergelombang

sedang hingga

berat

Pinus (Pinus merkusii),

puspa (Schima walichii),

mara (Macaranga spp.),

ki bancet (Turpini spp.),

kayu afrika (Maesopsis

ominii), ki sireum

(Eugenia clavimyrtus),

huru (Litsea spp.), kurai

(Trema orientalis),

ganitri (Elaeocarpus

ganitrus), pasang

(Quercus spp.) dan suren

(Toona spp.)

TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah)

Blok: Balongan,

Balongan Timur, Bimo,

Dok Malang, Dok

Cilik, Tulangan,

Ngerakalan, Bukit

Mungkro, Babon, dan

Ganje (1.650-2.300 m

dpl)

Hutan lahan

kering sekunder

(alam dan

tanaman), tanah

terbuka, dan

berbatasan

dengan

pertanian lahan

kering

Cenderung

bertopografi

landai dengan

beberapa areal

bergelombang

ringan hingga

sedang

Puspa (Schima walichii),

pinus (Pinus merkusii),

sowo (Vitis landuk),

bitami (Podocarpus

spp.), akasia (Acacia

decurrens), pasang

(Quercus spp.), wuru

besi (Hibiscus similis),

dempul (Glochidion

rubrum), pampung

(Macropanax

dispermus), lodrok

(Saurauia bracteosa) dan

melandingan gunung

(Leucaena glauca)

Perjumpaan Elang

Hasil penelitian pada habitat indikasi di kawasan hutan TN Gunung Halimun-

Salak (Jawa Barat) hanya berhasil dijumpai elang jawa di Blok Tapos, yaitu Sub

Blok Cipinang Gading (925 m) dan Sub Blok Bobojong (852 m dpl). Pada kedua

sub blok tersebut, elang jawa dijumpai masing-masing sebanyak dua individu dalam

aktivitas terbang melayang dan berputar (soaring) secara terpisah. Selain elang jawa,

penelitian berhasil menjumpai satu individu elang brontok (Spizaetus cirrhatus) di

Sub Blok Loji (875 m dpl), dan tiga individu elang hitam (Ictinaetus malayensis) di

Sub Blok Bobojong (di atas Sungai Ciapus, ketinggian 864 m dpl).

Hasil penelitian pada habitat indikasi di kawasan hutan TN Gunung Merbabu

(Jawa Tengah) hanya berhasil dijumpai dua individu elang jawa di Blok Babon

(1.940 m dpl) dalam aktivitas terbang melayang dan berputar (soaring). Jenis elang

lain yang paling sering dijumpai pada blok hutan TN Gunung Merbabu adalah elang

Page 141: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 126

hitam (Ictinaetus malayensis), yaitu: satu individu di Blok Bimo, tiga individu di

Blok Ngerakalan, tiga individu di Blok Ganje, satu individu di Blok Tulangan.

Keberadaan elang lain selain elang jawa dimungkinkan pada suatu wilayah

karena beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa jenis-jenis elang tersebut

memiliki home range yang bertumpuk (overlapped). Home range tersebut biasanya

bertumpuk dengan home range elang ular, elang hitam dan elang brontok.

Persarangan Elang

Persarangan elang jawa dan elang lainnya yang berhasil dijumpai pada

penelitian ini hanya terdapat di Blok Tapos (TN Gunung Halimun-Salak).

Karakteristik persarangan dan jenis pohon sarang tersebut sebagaimana dimuat pada

Tabel 32.

Tabel 32. Karakteristik persarangan elang di Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN

Wilayah II Bogor, TN Gunung Halimun-Salak)

Lokasi Jenis

Elang

Jenis Vegetasi

Pohon sarang

Karakteristik

Persarangan Topografi Lokasi

Sub Blok

Cipinang

Gading

Elang

Jawa

(Nisaetus

bartelsii)

Suren (Toona

spp.),

Famili: Meliaceae

Tinggi pohon

35-40 m

diameter 60 cm

Tinggi sarang

25 m

Ketinggian tempat

1.111 m dpl pada

lereng tebing,

kemiringan > 45o,

ketinggian lereng ± 100

m, posisi pohon sarang

pada pertengahan

lereng.

Sub Blok

Bobojong

Elang

Jawa

(Nisaetus

bartelsii)

Ganitri

(Elaeocarpus

ganitrus), Famili:

Tiliaceae

Rasamala

(Altingia excelsa),

Famili:

Hamamelidaceae

Pasang (Quercus

spp.), Famili:

Fagaceae

Tinggi pohon

25-35 m

diameter 40-60

cm

Tinggi sarang

20-25 m

Ketinggian tempat 968

m dpl pada lereng

tebing, kemiringan >

45o, ketinggian lereng ±

150 m, posisi pohon

sarang pada sepertiga

atas lereng.

Sub Blok

Loji

elang

brontok

(Spizaetus

cirrhatus)

Randu (Ceiba

spp.), Famili:

Bombacaceae

Tinggi pohon

40-50 m

diameter 170

cm

Tinggi sarang

20 m (baru)

dan 25 m

(lama)

Ketinggian tempat 856

m dpl pada lereng

tebing, kemiringan >

45o, ketinggian lereng ±

75 m, posisi pohon

sarang pada

pertengahan lereng.

Page 142: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 127

Potensi Satwa Mangsa dan Ancaman

Hasil penelitian pada habitat indikatif di kawasan hutan TN Gunung Halimun-

Salak (Jawa Barat) dan TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) berhasil diidentifikasi

beberapa jenis satwa yang berpotensi sebagai satwa mangsa elang jawa. Beberapa

jenis satwa liar tersebut antara lain: tupai (Callosciurus sp.), jalarang (Ratufa

bicolor), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), owa jawa (Hylobates moloch),

lutung jawa (Trachyphitecus auratus), jenis burung kecil, kadal dan ular.

Beberapa jenis burung kecil pada habitat elang jawa merupakan target perburuan

liar. Jenis-jenis burung tersebut antara lain adalah burung cucak kutilang

(Pycnonotus aurigaster), cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus) dan kacamata

gunung (Zosterops montanus). Perburuan liar dalam kawasan hutan konservasi ini

berpotensi sebagai ancaman terhadap keberadaan satwa mangsa dan gangguan

habitat.

Kesimpulan dan Saran

1. Kesimpulan

Beberapa temuan hasil penelitian menunjukkan perjumpaan elang jawa sangat

terbatas, sehingga tidak dapat diperkirakan populasinya. Perjumpaan elang jawa

cenderung pada tipologi habitat hutan alam (habitat utama bersarang), hutan

sekunder dan daerah terbuka (habitat perburuan mangsa). Penggunaan habitat dalam

home range elang jawa juga bertumpuk dengan elang lainnya, seperti elang hitam

(Ictinaetus malayensis) dan elang brontok (Spizaetus cirrhatus). Namun demikian,

terdapat preferensi habitat bagi elang jawa, terutama untuk persarangan. Tipologi dan

karakteristik habitat elang jawa dan persarangannya, antara lain:

ketinggian lokasi 852-1.940 m dpl dengan keberadaan pohon sarang pada

ketinggian 968-1.111 m dpl.

topografi bergelombang ringan hingga berat, terutama habitat persarangan pada

perbukitan/lembah (100-150 m) dengan tebing yang curam (kemiringan > 45o),

keberadaan jenis pohon yang spesifik sebagai pohon sarang, terutama adalah jenis

rasamala (Altingia excelsa), pasang (Quercus spp.), suren (Toona spp), ganitri

(Elaeocarpus ganitrus) dan puspa (Schima wallichii).

keberadaan satwa mangsa, antara lain: mamalia kecil, bayi primata, burung-

burung kecil dan kelompok reptil.

2. Saran

Hasil penelitian ini merupakan sebagian data dan informasi yang dapat dijadikan

acuan dalam menentukan kriteria dan indikator kelayakan habitat elang jawa.

Kecenderungan preferensi habitat juga dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan

habitat elang jawa dan pemilihan lokasi pelepasliarannya (second habitat).

Page 143: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 128

Sumber Peta: Google Earth (2014)

Gambar 55. Lokasi Perjumpaan Elang Jawa dan Elang Hitam pada Blok Hutan di TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah

Blok Balongan

Blok

Balonga

n

Timur Blok

Ganj

e

Blok

Bukit

Mungkro

Blok

Ngerakalan

Blok

Bimo

Blok

Dok

Malang

Blok

Dok

Cilik

Blok

Tulangan

Blok

Babon

Lokasi

perjumpaan

elang jawa

Lokasi

perjumpaan

elang hitam

Sub Blok

Bobojong

Sub Blok

Cipinang

Gading Lokasi sarang

elang jawa

Lokasi

perjumpaan

elang jawa

Gambar 54. Titik perjumpaan elang jawa dan sarang di Blok Tapos TN

Gunung Halimun-Salak

Sumber Peta: Google Earth (2014)

Page 144: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 129

d.2. Populasi dan Habitat Lutung jawa (Trachypithecus auratus)

Pendahuluan

Indonesia memiliki sedikitnya 40 jenis primata dari lima suku, yaitu Pongidae,

Hylobatidae, Cercopythecidae, Nycticidae dan Lorisidae. Lima jenis diantaranya

tersebar di kawasan hutan Pulau Jawa, yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili

(Presbytis comata), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung jawa

(Trachypithecus auratus), dan kukang jawa (Nycticebus javanicus). Owa jawa dan

surili merupakan jenis endemik Jawa (Supriatna dan Wahyono, 2000).

Lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) merupakan jenis primata

jawa yang mempunyai daerah sebaran yang luas, dari mulai bagian barat hingga

timur Pulau Jawa. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.

733/Kpts-II/1999, lutung jawa termasuk satwa yang dilindungi. Berdasarkan IUCN

Redlist Data Book (2008), status konservasi lutung jawa adalah Vulnerable (langka).

Habitat lutung jawa tersebar dari mulai hutan hujan dataran rendah (0 m dpl

hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1600 m dpl. Populasi lutung jawa

tersebar pada beberapa habitat utama seperti Taman Nasional (TN) Ujung Kulon,

TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Ciremai,

Gambar 56. Pohon sarang dan

persarangan elang jawa di Sub Blok

Cipinang Gading, Blok Tapos TN

Gunung Halimun-Salak (gambar

diambil pada posisi sejajar di lereng

tebing)

Gambar 57. Pohon sarang dan

persarangan elang jawa di Sub Blok

Bobojong, Blok Tapos TN Gunung

Halimun-Salak (gambar diambil

pada posisi dari dasar tebing)

Page 145: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 130

TN. Alas Purwo, TN. Meru Betiri dan TN. Baluran. Namun demikian, sebaran

populasinya terdapat pula di beberapa kawasan suaka alam, seperti CA. Leuweung

Sancang, SM. Cikepuh, CA. Gunung Papandayan, Hutan Lindung Gunung Slamet

dan CA. Dungus Iwul. Selain itu lutung jawa juga terdapat di beberapa kawasan

hutan produksi dan hutan/ lahan yang terfragmentasi (Nijman, 2000).

Habitat lutung Jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan

mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang

cukup luas sehingga memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna

dan wahyono (2000), daerah jelajahnya berkisar antara 15-23 ha. Hal ini dipengaruhi

oleh jenis pakannya, menurut Clutton-Brock and Harvey (1977), primata yang hanya

memakan daun akan memiliki daerah jelajah dan bentuk tubuh yang kecil

dibandingkan dengan primata yang memakan beraneka ragam seperti daun, bunga

dan buah.

Ancaman utama populasi lutung jawa, adalah menurunnya luasan habitat,

terutama di kawasan hutan produksi. Selain itu adanya aktivitas perburuan dan

perdagangan liar terhadap jenis tersebut turut mempercepat laju kepunahannya.

Menurut kategori keterancaman jenis menurut IUCN (International Union for

Conservation of Nature and Natural Resources), suatu spesies disebut terancam

(threatened) jika termasuk salah satu dari tiga kategori yaitu vulnerable, endangered,

dan critically endangered. Berdasarkan kategori tersebut, tercatat ada empat jenis

primata yang terancam punah di pulau Jawa, yaitu owa jawa (Hylobathes moloch),

surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan kukang jawa

(Nycticebus javanicus) (IUCN 2011, Supriatna et al. 2000).

Hasil

Penelitian dilakukan di beberapa kawasan hutan, yaitu kawasan hutan Gunung

Honje, TN. Ujung Kulon, kawasan hutan Bodogol, TN. Gunung Gede Pangrango,

kawasan hutan Situ gunung, KPH Sukabumi, kawasan hutan Gunung Beser, KPH

Cianjur dan kawasan hutan mangrove Muara Gembong, KPH Bogor.

1. Populasi

Selama pengamatan di kawasan hutan Gunung Honje, TN. Ujung Kulon,

dijumpai tujuh kelompok lutung jawa dengan jumlah 33 individu. Jumlah individu

dalam kelompok yang terlihat bervariasi antara 3 hingga 7 individu. Kepadatan

populasi lutung jawa di kawasan hutan Gunung Honje mencapai 23,57 individu per

km2 dan kepadatan kelompok mencapai 5 kelompok per km2. Gurmaya, dkk (1992)

mencatat ada 21 kelompok lutung jawa dengan jumlah 114 individu dalam survey

yang dilakukan hampir di seluruh Ujung Kulon. Sementara itu hasil survei Tim PEH

TNUK pada tahun 2012, memperlihatkan lutung jawa tersebar hampir di seluruh

daratan Ujung Kulon (TNUK, data tidak dipublikasi).

Page 146: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 131

Berdasarkan komposisi umur dan kelamin, pada individu usia dewasa, individu

jantan berjumlah delapan individu sedangkan betina berjumlah 11 individu. Sex ratio

jantan : betina adalah 1 : 1,4. Berdasarkan kelompok umur, jumlah individu dewasa

lebih besar daripada jumlah individu usia muda dan anak, yaitu 19 individu dewasa

dan 14 individu usia remaja dan anak.

Di kawasan hutan Bodogol, TN. Gunung Gede Pangrango, dijumpai tujuh

kelompok lutung jawa, dengan total jumlah individu lutung yang terhitung sebanyak

34 individu dengan ukuran kelompok berkisar antara 3-8 individu per kelompok.

Komposisi individu per kelompok terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa, individu

anak dan bayi. Seks ratio jantan dewasa dan betina dewasa adalah 1:2,1.

Tabel 33. Ukuran dan komposisi kelompok lutung di hutan Bodogol, TNGP

Hutan alam Situ Gunung terletak di kaki Gunung Pangrango pada ketinggian

antara 950-1.036 meter dari permukaan laut. Keadaan topografinya bergelombang

sampai berbukit. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson TWA Situ Gunung

mempunyai tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 1.611-4.311 mm per

tahun dengan 106-187 hari hujan per tahun. Suhu udara berkisar pada suhu yaitu

16oC-28

oC dan kelembaban pada daerah ini rata-rata 84%

Menurut administrasi pemerintahan, TWA Situ Gunung termasuk wilayah Desa

Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Secara geografis,

kawasan ini terletak pada posisi antara 106’54’37” – 106’55’30” BT dan 06’39’40” –

06’41’12” LS. Kawasan hutan ini merupakan zona penyangga Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango.

Selama pengamatan, tercatat dijumpai tiga kelompok lutung jawa, dan satu

kelompok monyet ekor panjang. Ukuran kelompok lutung jawa yang dijumpai

berkisar antara 6-11 individu per kelompoknya, dengan komposisi terdiri dari jantan

dewasa, betina dewasa, individu anak dan bayi. Seks ratio jantan dewasa dan betina

dewasa adalah 1:2,6.

No

Kelompok

Jantan

dewasa

Betina

dewasa Anak bayi

Jumlah

total

1 1 2 - - 3

2 1 3 1 1 6

3 1 2 2 1 6

4 1 2 1 4

5 1 3 3 1 8

6 1 1 1 3

7 1 2 1 1 5

7 15 9 4 35

Page 147: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 132

Tabel 34. Jumlah dan komposisi kelompok lutung jawa di kawasan hutan Situ

Gunung

Kelompok Jantan

Dewasa

Betina

dewasa Remaja/anak bayi Total

Kelompok 1 1 3 5 2 11

Kelompok 2 1 2 3 1 7

Kelompok 3 1 3 2 - 6

3 8 10 3 24

Hutan alam gunung Beser, terletak di wilayah kerja BKPH Cijedil. KPH

Cianjur, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat. Luas kawasan hutan alam

tersebut adalah 2.255,80 hektar. Kawasan hutan alam ini merupakan hutan produksi

dan kawasan lindung, dengan ketinggian antara 400 - 1000 meter dpl. Secara

Administratif, kawasan ini berada di desa Cijedil, Keamatan Cugenang, Kabupaten

Cianjur.

Hasil pengamatan mencatat, terdapat tiga kelompok lutung jawa dengan jumlah

15 individu (tabel 34). Selain lutung jawa dijumpai pula 1satu kelompok monyet

ekor panjang (Macaca fascicularis). Berdasarkan informasi dan laporan tahunan

KPH Cianjur, di kawasan hutan ini juga terdapat owa jawa (Hylobates moloch) dan

surili (Presyitis comata). Kedua jenis primata ini merupakan jenis endemic Jawa.

Tabel 35. Jumlah dan komposisi kelompok lutung di kawasan hutan Gunung Beser

Kelompok Jantan Dewasa Betina dewasa Remaja/anak bayi Total

Kelompok 1 1 1 1 1 4

Kelompok 2 1 2 1 1 5

Kelompok 3 1 2 2 1 6

3 8 10 3 15

2. Habitat

Habitat lutung jawa di hutan Gunung Honje terdiri dari hutan sekunder tua,

hutan primer dan kebun ladang masyarakat yang ada di dalam kawasan. Pada awal

sejarah kawasan, sebagian dari kawasan hutan Gunung Honje merupakan hutan

produksi Perum Perhutani. Sehingga pada habitat lutung jawa di Resort Kopi dan

Ketapang lebih mendekati tipe hutan sekunder.

Hasil pengamatan vegetasi pada habitat lutung jawa di kawasan hutan Gunung

Honje, dijumpai 23 jenis tumbuhan pohon. Beberapa jenis pohon yang cukup

dominan adalah gadog (Bridelia glauca), mahoni (Swietenia mahogani), hampelas

(Ficus ampelas), laban (Vitex pubescens), leungsir (Pometia pinnata) dan teureup

(Artocarpus elasticus). Mahoni banyak dijumpai di kawasan hutan resort Kopi dan

Ketapang, mengingat mahoni merupakan jenis tumbuhan yang ditanam ketika

kawasan tersebut berstatus hutan produksi.

Page 148: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 133

Habitat lutung jawa di kawasan hutan Bodogol merupakan hutan hujan dataran

tinggi pegunungan. Dari plot pengamatan vegetasi yang diamati, tercatat ada 32 jenis

tumbuhan di habitat lutung jawa. Beberapa jenis tumbuhan pohon merupakan sumber

pakan lutung jawa, diantaranya afrika (Maesopsis eminii), kisireum (Syzigium

restratum), kopo (Eugenia densiflora), hamerang (Ficus alba) dan teureup

(Artocarpus elasticus). Daftar jenis tumbuhan selengkapnya tertera pada tabel 36

berikut:

Tabel 36. Jenis Tumbuhan Pakan Lutung Jawa

No Nama Lokal Nama Ilmiah

1 Afrika Maesopsis eminii

2 Kisireum Syzigium restratum

3 Kopo Eugenia densiflora

4 Hamerang Ficus alba

5 teureup Artocarpus elasticus

6 Bisoro Ficus laevicarpa

7 kurai Trema orientalis

8 Mokla Knema cinerea

9 Salam gunung Eugenia clavimirtus

10 Cangcaratan Nauneoplea optusa

11 Beunying Ficus pistulosa

12 Kiputri Podocarpusneuriifolia

13 Kileho Sauraija pendula

14 Kondang Ficus variegate

15 walen Ficus ribes

16 Suren Toona suren

17 Jirak Symplocos chonchinen

18 Mara Macarangatriloba

19 Saninten Castanopsis argantea

20 Pasang Lithocarpus pallidus

21 Manglid Magnolia blumei

22 Seuseureuhan Pipier aduncum

23 Harendong Melastoma affine

24 huru Phobea grandis

25 Janitri Elaeocarpus pierrei

26 Rasamala Altingia excelsa

27 Puspa Schima wallichii

28 Leungsir Pometia pinnata

29 Kareumbi Omalanthus populneus

Page 149: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 134

Selama pengamatan tercatat 21 jenis tumbuhan di kawasan hutan Situ Gunung.

Vegetasi hutan Situ Gunung didominasi oleh jenis tumbuhan produksi, seperti puspa

(Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp), damar (Aghatis lorantifolia), dan

rasamala (Altingia excels).

Dalam plot pengamatan vegetasi pada habitat lutung jawa di kawasan hutan

Gunung Beser, KPH Cianjur, dijumpai 17 jenis tumbuhan tingkat pohon. Beberapa

jenis tumbuhan merupakan jenis dominan, diantaranya kayu afrika (Maesopsis

emanii), puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa) dan pasang

(Lithocarpus sp).

Kawasan hutan Muara Gembong merupakan bagian dari kawasan hutan di

kabupaten Bekasi seluas : 10.481,15 Ha terdiri dari 346,00 berupa Tanaman Jenis

Bako-bako (Rhizopora sp), dan Api-api (Avicenia sp), 25,18 Ha untuk penggunaan

boster Pertamina, 6,00 Ha untuk penggunaan PGN (Perusahaan Gas Negara) dan

seluas 10.099,17 Ha berupa tanah kosong akibat dari abrasi, pemukiman, tambak,

kebun, tegalan dan tanah yang disengketakan oleh pihak lain. Berdasarkan Surat

Keputusan Menteri kehutanan Nomor 475/Menhut-II/2005 tanggal 16 Desember

2005 Kawasan hutan Ujung Krawang (Muara gembong) seluas ± 5.311,15 Ha

terletak di Kecamatan Muara gembong kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai hutan

lindung, sedangkan sisanya seluas 5.170,00 Ha merupakan hutan produksi.

Seperti pada umumnya kawasan hutan mangrove, hutan mangrove di Muara

Gembong didominasi oleh tumbuhan bako-bako (Rhizopora sp), api-api (Avicenia

sp.) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia).

Kesimpulan

Populasi lutung jawa yang hidup di kawasan hutan Banten dan Jawa Barat masih

cukup banyak dan berada di atas ambang batas populasi minimum (minimum

viable population).

Sebagai primata pemakan daun (foliosvore), lutung jawa mudah beradaptasi

dengan berbagai kondisi habitat, dalam hal ini hutan produksi maupun kawasan

konservasi. Hal tersebut terlihat pada populasi lutung jawa yang terdapat di

kawasan hutan mangrove Muara Gembong, yang terisolasi dari kawasan hutan

mangrove lainnya di pantai utara Jawa.

Terdapatnya populasi lutung jawa di kawasan hutan mangrove Muara Gembong

menjadikan kawasan hutan tersebut mempunyai nilai penting dalam konservasi

jenis, dalam hal ini konservasi jenis primata jawa. Mengingat populasi lutung

jawa tersebut merupakan populasi yang tersisa di kawasan pantai utara Jawa.

30 Huru tangkil Gnetum sp.

31 Kiara bodas Ficus involucrate

32 Kecapi hutan Sandoricum kotjape

Page 150: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 135

Selain itu terdapatnya populasi lutung jawa di berbagai hutan produksi dan hutan

lindung di kawasan Situ Gunung dan Gunung Beser, yang lokasinya

berdampingan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede

Pangrango, memberikan peran penting sebagai koridor habitat bagi lutung jawa

dan jenis primata jawa lainnya, seperti monyet ekor panjang, owa jawa dan

surili.

Ancaman kepunahan lutung jawa yang utama adalah kegiatan perburuan liar

jenis tersebut untuk diperdagangkan. Kawasan hutan produksi yang masih lemah

pengamanannya, berpotensi mengundang pemburu liar untuk melakukan

aktivitasnya.

Pengelolaan kawasan hutan produksi dan hutan lindung menjadi daerah tujuan

ekowisata akan mengurangi tekanan aktivitas perburuan liar.

d.3. TEKNIK KONSERVASI SATWA KARNIVORA PUNCAK MACAN

TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809)

I. PENDAHULUAN

Macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) merupakan salah satu jenis

kucing besar dari genus Panthera dalam famili Felidae. Berdasarkan analisis

taksonomi modern ada delapan atau sembilan sub spesies, salah satunya adalah

macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809). Sebaran macan tutul jawa

sangat terbatas, hanya di Pulau Jawa (Santiapillai & Ramono, 1992; Meijaard 2004),

Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982), Pulau Nusakambangan (Gunawan,

1988) dan Pulau Sempu (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996).

Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada macan tutul

(Guggisberg, 1975; Nowak, 1997) dan yang mengalami melanisme dinamakan

macan kumbang (black panther). Macan kumbang masih memiliki tutul rosette

walaupun tersamar oleh warna rambut yang gelap (Lekagul & McNeely, 1977;

Garman, 1997). Macan tutul yang mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di

hutan yang lebat dan basah, dimana warna ini bermanfaat sebagai penyamaran dalam

perburuan mangsa (Garman, 1997).

Status kelangkaan macan tutul jawa menurut kategori Redlist IUCN

(International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) terus

meningkat dari Vulnerable (1978) menjadi Threatened (1988), Indeterminate (1994),

Endangered (1996) dan akhirnya menjadi Critically Endangered pada 2008 (IUCN-

The World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008). Di Indonesia, macan tutul

jawa sudah dilindungi sejak tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian

Nomor 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian pada tahun 1999 dipertegas lagi dengan

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan

Tumbuhan dan Satwa. Macan tutul jawa juga termasuk dalam Appendix I CITES

Page 151: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 136

(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora)

(Soehartono & Mardiastuti, 2002).

Kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan bersama-sama

dengan tekanan sosial-ekonomi serta sikap dan perilaku masyarakat secara simultan

dan akumulatif telah mengakibatkan: (1) hilangnya atau berkurangnya luasan habitat

(habitat loss) sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul jawa,

(2) degradasi kualitas habitat (habitat degradation) sehingga tidak sesuai lagi bagi

macan tutul jawa dan (3) fragmentasi habitat (habitat fragmentation) yang

meningkatkan resiko kepunahan macan tutul jawa akibat isolasi dan mekanisme

inbreeding. Dampak akhir dari berbagai penyebab tersebut terhadap macan tutul

jawa adalah: (1) menurun hingga hilangnya kesesuaian habitat; (2) menurunnya

populasi secara regional dan beberapa punah secara lokal, serta (3) berkurangya

daerah sebaran dan terisolasinya beberapa populasi (Gunawan, 2010).

Penelitian macan tutul jawa sangat penting dilakukan karena setelah harimau

jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) punah, macan tutul jawa

menduduki puncak rantai makanan (trophic level) dalam ekosistem hutan di Pulau

Jawa, sehingga. macan tutul jawa juga merupakan spesies kunci (keystone species)

yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Di sisi lain keberadaan macan

tutul jawa semakin terancam punah (Gunawan, 2010). Informasi tentang

perkembangan populasi dan penyebaran macan tutul jawa selama beberapa dekade

terakhir di Pulau Jawa tidak terpantau dengan baik. Meijaard (2004) menyarankan

agar pengelola kawasan konservasi memberikan perhatian khusus pada macan tutul

jawa, antara lain dengan survei satwa tersebut secara menyeluruh sebagai langkah

pertama dalam upaya konservasi.

II. STATUS EKOLOGI HABITAT

A. Tipe-Tipe Vegetasi Habitat

Provinsi Jawa Tengah memiliki sekitar 615.243,6 Ha yang terdiri atas Hutan

Alam Pegunungan 37.725,6 Ha, Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 Ha, Tanaman

Pinus 223.052,6 Ha, Tanaman Jati 340.453,2 Ha dan Tanaman Campuran 9.633,1

Ha. Hutan tanaman campuran biasanya terdiri atas dari dua atau lebih jenis-jenis

seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima

noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes

falcataria), dan lain-lain. Hutan tersebut terbagi dalam fungsi produksi, lindung dan

konservasi. Hutan produksi dan lindung dikelola oleh Perum Perhutani Unit 1 Jawa

Tengah. Sementara hutan konservasi dikelola oleh Balai KSDA dan Balai Taman

Nasional. Dari 20 KPH Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah yang diteliti, terdapat

15 KPH yang wilayahnya masih menjadi daerah sebaran macan tutul jawa. Dari 15

KPH tersebut terdapat 48 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa (Gunawan,

2010).

Page 152: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 137

Di Pulau Jawa, maca tutul jawa menghuni areal-areal berhutan, baik hutan alam

maupun hutan tanaman. Hutan habitat macan tutul jawa terdiri atas berbagai tipe

vegetasi, yaitu hutan mangrove, hutan pantai, hutan hujan tropis dataran rendah,

hutan hujan tropis pegunungan, dan hutan tanaman dengan berbagai jenis tanaman

monokultur seperti jati, pinus, mahoni, puspa, rasamala maupun tanaman campuran.

Hutan alam terdiri atas hutan primer dan sekunder.

Hasil penelitian Gunawan (2010) di Provinsi Jawa Tengah menemukan bahwa

dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ditemukan di hutan

pinus (43,8%) diikuti hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan

tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%). Sementara itu,

hasil penelitian Gunawan (2012) di Provinsi Jawa Barat dan Banten menemukan

bahwa dari 75 lokasi indikatif keberadaan macan tutul di wilayah Provinsi Jawa

Barat dan Banten, 64,0% tersebar di ekosistem hutan hujan tropis pegunungan

(>1.000 m dpl), sedangkan 17,3% tersebar di hutan hujan tropis dataran rendah (<

1.000 m dpl), sisanya tersebar di tipe ekosistem hutan tanaman pinus 5,3%, jati 6,7%,

mahoni 1,3%, kayu rimba campuran 4,0% serta hutan pantai dan mangrove 1,3%.

Satu-satunya lokasi indikatif ditemukannya macan tutul di hutan pantai dan

mangrove adalah di TN. Ujung Kulon.

B. Satwa Mangsa

Menurut Gunawan (2010) berdasarkan hasil peneltiannya di Provinsi Jawa

Tengah ditemukan 21 jenis satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul jawa.

Mangsa utama macan tutul adalah primata dan ungulata. Dengan demikian mangsa

utama potensial di Jawa Tengah adalah : monyet, lutung, owa jawa, surili, rekrekan,

kukang jawa, babi hutan, kijang, rusa, dan kancil.

Tabel 37. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan

tutul di Jawa tengah.

No. Nama Lokal Nama Latin

MANGSA UTAMA POTENSIAL

1 Monyet Macaca fascicularis Raffles, 1821

2 Lutung Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812

3 Owa jawa Hylobates molloch Audebert , 1798

4 Surili Presbytis comata Desmarest, 1822

5 Rek-rekan Presbytis fredericae Sody, 1930

6 Kukang Jawa Nycticebus coucang Boddaert, 1785

7 Babi hutan Sus scrofa Linnaeus, 1758

8 Kijang Muntiacus muntjak Rafinesque, 1815

9 Rusa Rusa timorensis, Blainville, 1822

10 Kancil Tragulus javanicus Osbeck ,1765

MANGSA SEKUNDER POTENSIAL

11 Lingsang Prionodon linsang Hardwicke, 1821

Page 153: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 138

No. Nama Lokal Nama Latin

12 Garangan Herpestes javanicus E. Geoffroy-Hilaire, 1818

13 Landak Hystrix javanica F. Cuvier, 1823

14 Luwak Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777

15 Trenggiling Manis javanica Desmarest, 1822

16 Kucing hutan Prionailurus bengalensis Kerr, 1792

17 Kelelawar Pteropus sp.

18 Cukbo Iomys horsfieldii, Waterhuse, 1838

19 Bajing Callosciurus sp.

20 Tikus Rattus rattus Linnaeus, 1758

21 Tupai Tupaia sp.

Sumber : Gunawan (2010)

Menurut Gunawan (2012) ada 10 jenis satwa mangsa utama potensial bagi

macan tutul di Jawa Barat dan Banten dari kelompok Primata dan Ungulata seperti :

Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Trachypithecus auratus), Surili (Presbytis

comata), Owa (Hylobates moloch), Oces (Nycticebus coucang), Rusa (Cervus

timorensis russa), Mencek (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa), Kancil

(Tragulus javanicus), dan Banteng (Bos javanicus). Terdapat 20 jenis satwa yang

potensial menjadi mangsa sekunder macan tutul yaitu dari kelompok mamalia kecil

dan sedang serta burung. Jenis-jenis satwa mangsa potensial bagi macan tutul jawa

di Provinsi Jawa Barat dan Banten disajikan di tabel berikut ini.

Tabel 38. Jenis-jenis mangsa utama dan mangsa sekunder potensial bagi

macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

No. Nama Lokal Nama Latin

MANGSA UTAMA POTENSIAL

1. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis (Raffles, 1821)

2. Lutung jawa Trachypithecus auratus (É. Geoffroy, 1812)

3. Surili Presbytis comata (Desmarest, 1822)

4. Owa Hylobates moloch (Audebert, 1798)

5. Oces Nycticebus coucang (Boddaert, 1785)

6. Rusa Cervus timorensis russa (Müller & Schlegel, 1844)

7. Mencek Muntiacus muntjak (Zimmermann, 1780)

8. Babi Hutan Sus scrofa (Linnaeus, 1758)

9. Kancil Tragulus javanicus (Osbeck, 1765)

10. Banteng Bos javanicus (d'Alton, 1823)

MANGSA SEKUNDER POTENSIAL

1. Luwak Paradoxurus hermaphroditus (Pallas, 1777).

2. Garangan Herpestes javanicus (É. Geoffroy Saint-Hilaire, 1818)

3. Musang Viverricula indica (Desmarest, 1804)

4. Trenggiling Manis javanica (Desmarest, 1822)

5. Sero Prionodon linsang (Horsfield, 1822)

6. Landak Hystrix javanica (F. Cuvier, 1823)

Page 154: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 139

No. Nama Lokal Nama Latin

7. Ajag Cuon alpinus (Pallas, 1811)

8. Kucing Hutan Prionailurus bengalensis (Kerr, 1792)

9. Ayam Hutan Gallus gallus (Brisson, 1766)

10. Merak Pavo muticus (Linnaeus, 1766)

11. Sigung, teledu Mydaus javanensis (Desmarest, 1820)

12. Cukbo, Walangkopo Petaurista elegans (Müller, 1840)

13. Careuh besar Viverricula malaccensis (Gmelin, 1788)

14. Careuh kecil Mustela nudipes (Desmarest, 1822)

15. Tando Cyanocephalus variegatus (Simpson, 1945)

16. Encang-encang Iomys horsfieldii (Waterhouse, 1838)

17. Biawak Varanus salvator (Merrem, 1820)

18. Jelarang Ratufa bicolor (Sparrman, 1778)

19. Bajing Callosciurus notatus (Boddaert, 1785)

20. Tupai, Kekes Tupaia javanica (Horsfield, 1822)

Sumber : Gunawan (2012)

C. Preferensi Habitat

1. Tipe Vegetasi Hutan

Menurut Gunawan (2010) Macan tutul jawa menyeleksi habitatnya, di Jawa

Tengah, habitat hutan hujan tropis dataran rendah paling disukai oleh macan tutul

jawa kerena memiliki nilai indeks seleksi tertinggi (w = 8,5), diikuti hutan tanaman

campuran (w = 5,9), hutan hujan tropis pegunungan (w = 3,0) dan hutan tanaman

pinus (w = 1,2). Hutan jati walaupun memiliki proporsi luas paling besar tetapi tidak

disukai oleh macan tutul jawa karena nilai indeks seleksinya kurang dari satu (w =

0,5).

Menurut Gunawan (2012), di Jawa Barat dan Banten, macan tutul jawa lebih

menyukai ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dan hutan hujan tropis dataran

rendah. Hal ini diduga karena kondisinya yang umumnya masih memiliki vegetasi

primer dan kaya akan keanekaragaman jenis flora fauna. Demikian juga dengan

hutan hujan tropis dataran rendah, meskipun kemungkinan sudah banyak yang

sekunder, namun masih kaya keanekaragaman hayati flora dan fauna sehingga

disukai macan tutul jawa.

2. Iklim

Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di berbagai kondisi iklim

(A, B, C,D,E). Menurut Gunawan (2010) terdapat hubungan antara keberadaan

macan tutul jawa dengan kondisi iklim (tipe curah hujan) di suatu wilayah. Di Jawa

Tengah macan tutul jawa lebih banyak dijumpai daerah beriklim basah (A dan B)

(68,75%) daripada di daerah beriklim kering (C, D, E) (31,25%). Dengan demikian,

curah hujan merupakan koponen habitat yang penting bagi macan tutul jawa

(Gunawan, 2010).

Page 155: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 140

Menurut Gunawan (2010) Iklim (curah hujan) diduga berpengaruh terhadap

keberadaan satwa mangsa macan tutul yang merupakan herbivora. Satwa herbivora

tergantung pada ketersediaan hijauan pakan yang umumnya merupakan tumbuhan

bawah. Kelimpahan tumbuhan bawah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan

setempat.

3. Status Kawasan Hutan

Dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 14,58%

tersebar di kawasan hutan lindung, 6,25% di hutan konservasi dan 79,17% di hutan

produksi. Tidak ditemukan macan tutul di hutan rakyat. Hutan Konservasi yang

masih memiliki macan tutul jawa di Jawa Tengah adalah Taman Nasional Gunung

Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu dan Cagar Alam Nusa Kambangan (Barat

dan Timur) (Gunawan, 2010).

Pentingnya status fungsi kawasan hutan bagi habitat macan tutul jawa juga

ditunjukkan oleh fakta bahwa dari 17 lokasi sebaran macan tutul yang mengalami

kepunahan lokal, 94% (16) di antaranya berada di hutan produksi dan hanya satu

yang berada di hutan konservasi (hutan alam). Dari 16 lokasi sebaran macan tutul

jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 87,5% (14) diantaranya merupakan

hutan tanaman jati dan hanya dua lokasi yang merupakan hutan tanaman pinus

(Gunawan, 2010). Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) juga

menemukan bahwa macan tutul memiliki preferensi terhadap hutan konservasi,

kemudian hutan lindung dan yang terakhir hutan produksi.

4. Topografi

Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan dekat patahan tebing atau

puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat

berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia (Chundawat, 1990; Marker and

Dickman, 2005). Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan

dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul

jawa banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam.

Hasil penelitian Gunawan (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara

keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya. Dari 48 lokasi

indikasi macan tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar

(43,8%), curam (31,3%) dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai

6,3%, agak curam 8,3% dan sangat curam 16,4%.

Menurut Gunawan (2010) macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat

dengan lereng curam dan sangat curam diduga ada kaitannya dengan faktor

keamanan habitat, karena pada kondisi topografi yang berat umumnya tingkat

kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di lapangan

memang kawasan hutan bertopografi berat jarang dirambah manusia dan umumnya

juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan eksploitasi. Fakta

juga menunjukkan bahwa dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami

Page 156: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 141

kepunahan lokal di Provinsi Jawa Tengah, 46,67% memiliki topografi datar. Hal ini

diduga ada kaitannya dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar

hutan (tekanan dari penduduk) (Gunawan, 2010).

Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) juga menemukan

fenomena yang sama, yaitu macan tutul paling menyukai habitat bertopografi sangat

curam, kemudian curam dan agak curam. Hal ini diduga berkaitan dengan keamanan

habitat, karena daerah daerah berlereng curam umumnya dihindari manusia dan jauh

dari jangkauan manusia, sehingga aman dari gangguan manusia. Daerah

bertopografi terjal umumnya juga ditetapkan sebagai hutan lindung yang tidak

dieksploitasi dan selalu dijaga kelestariannya, sehingga daerah ini relatif aman bagi

macan tutul dan satwa mangsanya.

5. Ketinggian Tempat (Altitude)

Menurut Gunawan (2010) dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa di Jawa

Tengah, frekuensi terbanyak ada di ketinggian 0 – 500 m dpl (52,1%) diikuti

ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (31,3%) dan ketinggian 500-1.000 m dpl (16,7%).

Berdasarkan indeks seleksi, ketinggian di atas 1.000 m dpl paling disukai, sementara

ketinggian kurang dari 500 m dpl kurang disukai. Ada Sembilan lokasi indikasi

macan tutul jawa yang memiliki ketinggian 1.000 m atau lebih dari permukaan laut.

Lokasi-lokasi tersebut umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah

ditetapkan sebagai hutan lindung yaitu : Gunung Slamet, G. Prahu, G. Sindoro, G.

Sumbing, G. Merapi, G. Merbabu, G. Lawu, G. Ungaran dan.G. Muria. Sementara

itu, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu telah ditetapkan sebagai taman nasional

sejak tahun 2004 (Gunawan, 2010).

Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) menemukan bahwa macan

tutul memiliki preferensi terhadap daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl

atau daerah pegunungan. Beberapa gunung yang dihuni macan tutul jawa antara lain

: G. Cakrabuana, G. Papandayan, G. Galunggung, G. Tilu, G. Jubleg, G. Malabar, G.

Burangrang, G. Tangkubanprahu, G. Kalong, G. Sanggabuana, G. Kendeng, G.

Endut, G. Gede-Pangrango, G. Bongkok, G. Ciremai, G. Halimun-Salak (Gunawan,

2013).

Menurut Gunawan (2010) hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan

habitat oleh macan tutul jawa diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap

gangguan. Dalam hal ini kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan.

Perkampungan dan pemukiman padat umumnya berada di daerah dataran rendah

dengan ketinggian kurang dari 1.000 m dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran

rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman. Disamping itu, kawasan hutan di daerah

ketinggian lebih dari 1.000 m dpl banyak yang merupakan kawasan hutan lindung

atau hutan konservasi.

Page 157: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 142

D. Kerawanan Habitat

Pemetaan kerawanan habitat sangat penting bagi pengelolaan macan tutul karena

berguna untuk mitigasi potensi konflik antara macan tutul dan manusia. Di habitat-

habitat yang rawan, potensial terjadi kasus keluarnya macan tutul jawa dari hutan ke

pemukiman atau kebun di sekitar hutan yang bisa disebabkan kurangnya satwa

mangsa atau kalah dalam perebutan wilayah jelajah (Gunawan, 2013).

Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap potensi gangguan aktifitas manusia, di

Provinsi Jawa Tengah hanya sedikit habitat yang memiliki kelas kerawanan rendah

(aman) untuk habitat macan tutul jawa yaitu 16,90%, selebihnya memiliki kerawanan

tinggi atau tidak aman (40,74%) dan sedang (42,36%). Berdasarkan luasnya, areal

berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah atau aman untuk habitat macan

tutul jawa hanya 11,07%, sedangkan sebagian besar lainnya memiliki tingkat

kerawanan tinggi atau tidak aman (69,19%) dan sedang (19,73%).

Sementara di Jawa Barat dan Banten, 36% dari total luasan hutan memiliki

kerawanan tinggi untuk habitat macan tutul, 29% kerawanan sedang dan 35%

memiliki kerawanan rendah atau relatif aman bagi habitat macan tutul jawa. Habitat-

habitat yang aman (kerawanan rendah) umumnya adalah hutan konservasi seperti

Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan beberapa merupakan Hutan

Lindung. Kawasan Hutan Produksi umumnya memiliki kerawanan tinggi untuk

habitat macan tutul. Dari 75 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa di Jawa

Barat dan banten, 15% diantaranya ada di kawasan hutan dengan kerawanan tinggi

atau tidak aman, 25% kerawanan sedang dan 60% berada di habitat dengan

kerawanan rendah atau relatif aman (Gunawan, 2013).

Faktor keamanan sangat penting dalam analisis kesesuaian habitat macan tutul

jawa karena dari hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa 66,67% populasi macan

tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di Jawa Tengah berada di lokasi dengan

kerawanan habitat tinggi atau tingkat keamanannya rendah dan 33,33% berada di

lokasi dengan tingkat keamanan sedang (Gunawan, 2010).

E. Kesesuaian Habitat

Mengevaluasi habitat-habitat yang masih tersisa dan memperkirakan lokasi-

lokasi yang masih memiliki kesesuaian sebagai habitat macan tutul jawa merupakan

pekerjaan penting dalam rangka konservasi satwa tersebut (Gunawan, 2010).

Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif sangat penting untuk

pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi konservasi pada skala

lanskap (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et al., 2001). Model

kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode yang efisien dan murah

serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks 1997; Schamberger et al.,

1982; Cole & Smith, 1983).

Page 158: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 143

Hasil penelitian Gunawan (2010) di Jawa Tengah menemukan bahwa 7,67%

patches hutan (kantonog habitat) memiliki kelas kesesuaian habitat rendah, 36,92%

kesesuaian sedang dan 55,41% kesesuaian tinggi. Dari segi luasan, areal berhutan

yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian

habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Sementara itu,

lokasi indikasi macan tutul jawa terkonsentrasi di habitat-habitat dengan kelas

kesesuaian tinggi (54,17%), diikuti dengan kelas kesesuaian sedang (41,67%) dan

kelas kesesuaian rendah.

III. STATUS POPULASI

A. Distribusi Populasi

Dahulu pernah diklasifikasikan 30 sub spesies macan tutul, sekarang

berdasarkan analisis taksonomi modern hanya ada sembilan sub spesies yang valid,

salah satunya adalah Panthera pardus melas yang sebarannya hanya di Pulai Jawa.

Secara umum daerah sebaran macan tutul jawa disajikan pada Tabel 39 di bawah ini.

Tabel 39. Status sebaran Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa.

NO UNIT WILAYAH

HUTAN

FUNGSI HUTAN

UTAMA

PENGELOLA WILAYAH

HUTAN

JAWA TENGAH1)

1. KPH Banyumas Barat Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng

2. KPH Banyumas Timur Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

3. KPH Kedu Selatan Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

4. KPH Kedu Utara Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng

5. KPH Surakarta Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng

6. KPH Telawah Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

7. KPH Purwodadi Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

8. KPH Randublatung Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

9. KPH Cepu Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

10. KPH Kebunharjo Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

11. KPH Pati Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng

12. KPH Kendal Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

13. KPH Pekalongan Timur Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

14. KPH Pekalongan Barat Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng

15. KPH Pemalang Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng

16. CA. Nusakambangan Konservasi BKSDA Jawa Tengah

17. TN Gunung Merapi Konservasi BTN Gunung Merapi

18. TN Gunung Merbabu Konservasi BTN Gunung Merbabu

JAWA BARAT2)

1. KPH Kuningan Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

2. KPH Majalengka Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

3. KPH Ciamis Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

Page 159: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 144

NO UNIT WILAYAH

HUTAN

FUNGSI HUTAN

UTAMA

PENGELOLA WILAYAH

HUTAN

4. KPH Tasikmalaya Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

5. KPH Garut Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar

6. KPH Sukabumi Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

7. KPH Cianjur Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

8. KPH Purwakarta Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

9. KPH Bandung Selatan Produksi dan Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar

10. KPH Bandung Utara Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar

11. KPH Sumedang Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

12. KPH Indramayu Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

13. KPH Bogor Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar

14. KPH Banten Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar

15. CA Tukung Gede Konservasi BKSDA Jabar Banten

16. CA Rawa Dano/Danau Konservasi BKSDA Jabar Banten

17. CA Gunung Simpang Konservasi BKSDA Jabar Banten

18. CA Telaga Warna Konservasi BKSDA Jabar Banten

19. TWA Gunung Pancar Konservasi BKSDA Jabar Banten

20. TB Gunung Masigit-

Karembi

Konservasi BKSDA Jabar Banten

21. TWA Gunung

Tampomas

Konservasi dan

Lindung

BKSDA Jabar Banten

22. CA Burangrang Konservasi BKSDA Jabar Banten

23. CA Gunung Tangkuban

Perahu

Konservasi BKSDA Jabar Banten

24. CA Gunung Tilu Konservasi BKSDA Jabar Banten

25. CA Telaga Bodas Konservasi BKSDA Jabar Banten

26. CA Gunung Papandayan Konservasi BKSDA Jabar Banten

27. CA Kawah Kamojang Konservasi BKSDA Jabar Banten

28. CA Leuweung Sancang Konservasi BKSDA Jabar Banten

29. SM Cikepuh Konservasi BKSDA Jabar Banten

30. SM Gunung Sawal Konservasi BKSDA Jabar Banten

31. TN. Gunung Gede-

Pangrango

Konservasi BTN Gunung Gede pangrango

32. TN Gunung Halimun-

Salak

Konservasi BTN Gunung Halimun Salak

33. TN Gunung Ciremai Konservasi BTN Gunung Ciremai

34. TN Ujung Kulon Konservasi BTN Ujung Kulon

JAWA TIMUR3)

1. KPH Madura (P.

Kangean)

Lindung Perum Perhutani Unit II Jatim

2. KPH Tuban Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

3. KPH Padangan Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

4. KPH Saradan Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

Page 160: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 145

NO UNIT WILAYAH

HUTAN

FUNGSI HUTAN

UTAMA

PENGELOLA WILAYAH

HUTAN

5. KPH Jember Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

6. KPH Blitar Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

7. KPH Jatirogo Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

8. KPH Madiun (BH

Ponorogo)

Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

9. KPH Gundih Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim

10. CA. Kawah Ijen Konservasi BKSDA Jawa Timur

11. CA. P. Sempu Konservasi BKSDA Jawa Timur

12. CA. Gunung Sigogor Konservasi BKSDA Jawa Timur

13. SM. Dataran Tinggi

Yang

Konservasi BKSDA Jawa Timur

14. TN. Bromo Tengger

Semeru

Konservasi BTN. Bromo Tengger Semeru

15. TN. Meru Betiri Konservasi BTN. Meru Betiri

16. TN. Baluran Konservasi BTN. Baluran

17. TN. Alas Purwo Konservasi BTN. Alas Purwo

1) Sumber Gunawan (2010);

2) Sumber : Gunawan (2012);

3) Dari berbagai sumber.

Gambar 58. Peta kerawanan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus

melas) di Provinsi Jawa Tengah.

Page 161: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 146

Gambar 59. Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan

Banten

Gambar 60. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di

Provinsi Jawa Tengah

Page 162: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 147

B. Fragmentasi Populasi

Macan tutul jawa di Pulau Jawa menghadapi ancaman utama berupa

fragmentasi hutan. Ancaman terbesar fragmentasi terjadi di hutan produksi. Padahal

di Provinsi Jawa Tengah hutan produksi mencakup 83,84% dari seluruh kawasan

hutan (Perum Perhutani, 2006). Sementara di Jawa Barat dan Banten hampir

separuhnya (46,1%) dari kawasan hutan adalah Hutan Produksi. Hutan Produksi

sangat rentan terhadap fragmentasi karena setiap saat terancam oleh tebang habis

atau konversi. Provinsi Jawa Tengah memiliki laju deforestasi periode 2000-2005

rata-rata 142.560 ha per tahun. Pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi terbesar

yaitu 5.073,2 ha atau 80,6% dari total deforestasi di Pulau Jawa (Departemen

Kehutanan, 2007a).

Berdasarakan hasil penelitian Gunawan (2010) dalam kurun waktu 16 tahun

(1990-2006) provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alamnya seluas

446.561,09 Ha atau 88,0%. Fragmentasi telah terjadi di semua hutan alam yang

tersisa di gunung-gunung lainnya seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung

Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Gunung-

gunung tersebut merupakan daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa

Tengah (Gunawan, 1988).

Pada tahun 1990, luas hutan alam lahan kering masih 507.407,51 Ha yang

tersebar dalam 108 fragment hutan. Tahun 2000 menurun drastis (77,5%) menjadi

114.044,23 Ha dalam 88 fragment hutan dan pada tahun 2006 hutan alam lahan

kering yang tersisa tinggal 60.846,42 Ha dalam 39 fragment hutan atau menurun

46,6% dari tahun 2000. Secara total dari tahun 1990 sampai tahun 2006 Provinsi

Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 Ha

(88,0%) atau rata-rata 27.910 hektar per tahun (Gunawan, 2010).

Fragmentasi hutan juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini

diindikasikan oleh berkurangnya fragment-fragment hutan, misalnya fragment hutan

lahan kering sekunder dari 123 fragment pada tahun 2000 menjadi 86 fragment,

hutan primer dari 23 fragment menjadi 18 fragment, hutan tanaman dari 1.097

fragment menjadi 874 fragment. Hal ini mengindikasikan hilangnya kantong-

kantong habitat satwa dan ada kemungkinan menyebabkan fragmentasi atau

menjauhkan antar populasi yang satu dengan populasi lainnya (Gunawan, 2012).

Secara umum luas tutupan hutan Provinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2000

seluas 806.560,12 Ha berkurang sekitar 44.590,09 (5,53%) menjadi 761.971,03 Ha

pada tahun 2011 (Gunawan, 2012). Hal ini masih lebih baik dibandingkan dengan

kondisi di Provinsi Jawa Tengah yang tutupan hutannya berkurang 46,6% hanya

dalam kurun waktu 2000-2006 (Gunawan, 2010). Hilangnya habitat sangat

berpengaruh pada kepunahan macan tutul jawa secara lokal, karena hilangnya habitat

tidak saja menyebabkan penurunan total habitat tetapi juga menyebabkan terputusnya

penyebaran habitat yang tersisa. Terputusnya kesinambungan habitat tersebut antara

Page 163: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 148

lain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian, pemukiman, jalan raya,

irigasi, waduk dan jaringan listrik saluran udara tegangan esktra tinggi (SUTET).

C. Metapopulasi

Menurut Gunawan (2010) fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan

suatu populasi macan tutul jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong

habitat (patches) yang terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang

menyebar di Pulau Jawa dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti

yang diklasifikasikan oleh Harrison & Taylor (1997) yaitu: (1) classic

metapopulation; (2) mainland-island metapopulation; (3) non equilibrium

metapopulation; dan (4) patchy population.

Dari analisis yang dilakukan oleh Gunawan (2010) terhadap metapopulasi,

ditemukan populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar

dalam empat tipe metapopulasi. Terdapat enam kelompok populasi yang membentuk

non-equilibrium metapopulation yang melibatkan 15 populasi (lokasi indikasi macan

tutul jawa) atau 31,25% dari seluruh populasi. Terdapat satu satu metapopulasi tipe

mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan sekitarnya yang melibatkan 11

populasi atau 22,92% dari seluruh populasi. Hanya terdapat satu classic

metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42% dari seluruh populasi

dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42% dari seluruh

populasi.

Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2013) telah melakukan

inventarisasi populasi dan hasilnya dapat dikelompokan dalam empat tipe

metapopulasi yaitu mainland-islands, classic, non equilibrium dan patchy.

Metapopulasi-metapopulasi tersebut terbentuk akibat fragmentasi hutan yang

disebabkan oleh perubahan peruntukan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan

seperti pertanian, pemukiman, perkebunan, jalan raya, jaringan listrik, pembangunan

waduk dan jaringan irigasi.

Contoh metapopulasi patchy di Jawa Barat ditunjukkan oleh populasi-poopulasi

di titik 1, 2, 3, 4 (Resort Haurkuning, Resort Subang, Resort Pakem dan Resort

Ciniru, BKPH Garawangi, KPH Kuningan). Dalam metapopulasi tipe patchy,

populasi yang satu dengan lainnya masih terhubung dan dapat saling bertukar

genetik. Metapopulasi semacam ini relatif memiliki survival lebih tinggi

dibandingkan non equilibrium maupun classic.

Contoh metapoopulasi nonequilibrium di Jawa Barat ditunjukan oleh populasi-

populasi di KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya tidak terkoneksi dengan populasi lain

dan jaraknya terlalu jauh serta rintangannya terlalu sulit dilewati, sehingga tidak ada

pertukaran genetik antar populasi-populasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat

menyebabkan kepunahann lokal akibat tidak ada kolonisasi dari populasi di

sekitarnya. Kemungkinan lain adalah kepunahan akibat erosi genetik karena

Page 164: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 149

inbreeding atau perkawinan sekerabat karena terhalangi untuk kawin dengan

populasi lain.

Metapopulasi tipe classic dapat digambarkan oleh populasi-populasi ti titik 36-

38 (Cariu, BKPH Jonggol, KPH Bogor) dan titik 40 (Gunung Karang), titik 45

(Telaga Warna, Seksi Wilayah KSDA Bogor) dan titik 46 (Gunung Pancar, Seksi

Wilayah KSDA Bogor). Di sana terdapat kantong-kantong habitat yang tidak

berpenghuni macan tutul yang bila ada peluang akan dikolonisasi oleh kantong

habitat yang berisi macan tutul.

Provinsi Jawa Barat masih memiliki beberapa metapopulasi macan tutul jawa

tipe Mainland-islands yang dalam jangka panjang akan mampu melestarikan macan

tutul jawa. Kantong habitat yang dapat berperan sebagai mainland adalah Gunung

Gede, Gunung Salak, Gunung Halimun, Gunung Burangrang dan Gunung

Bukittungul dan Gunung Karang. Populasi macan tutul di gunung-gunung tersebut

diperlikrakan dapat mengkolonisasi patch yang kosong di sekitarnya yang berperan

sebagai islands. Sementara gunung-gunung yang lain tidak cukup luas untuk

menjadi mainland. Bahkan beberapa gunung kecil menjadi patch (kantong habitat)

atau habitat island (pulau habitat) yang terisolasi seperti Gunung Ciremai, Gunung

Syawal, Gunung Cakrabuana, Gunung Sangkur, dan Gunung Sanggabuana.

Disamping tersebar dalam berbagai tipe metapopulasi. Beberapa populasi

macan tutul merupakan populasi dengan luasan habitat kecil dan terisolasi seperti

populasi di titik 8 (Cisaladah, Pangandaran, KPH Ciamis), titik 9 (Cipatujah, Karang

Nunggal, KPH Tasikmalaya), titik 10 (Sodong, Tanaju, KPH Tasikmalaya), titik 17

(Tambakan, Cijambe, KPH Purwakarta), dan titik 55 (Cagar Alam Leuweung

Sancang, Seksi KSDA Sukabumi). Populasi-populasi kecil ini sangat terancam

kepunahan lokal akibat gagal bereproduksi karena tidak ada pasangan kawin atau

erosi genetik akibat inbreeding.

D. Resiko Kepunahan Lokal

Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa di Jawa Tengah, tampak

bahwa non equilibrium metaoipulation mencakup 31,25% dari seluruh populasi. Hal

ini tentu mengkhawatirkan di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut

rentan terhadap kepunahan lokal akibat isolasi sehingga tidak ada migrasi antar

populasi untuk rekolonisasi (Gunawan, 2010)

Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang

berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainland-

islands. Gunung Slamet menjadi patch sumber (source) kolonisasi (mainland) bagi

populasi-populasi di sekitarnya (islands) yang menjadi penerima (sink). Populasi

yang juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah

populasi-populasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH

Pekalongan Barat-KPH Banyumas Barat (Salem-Majenang), Pekalongan Timur

Page 165: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 150

(Brondong–Paninggaran dan sekitarnya), dan KPH Pemalang dan sekitarnya

(Gunawan, 2010).

Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola

Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH

Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH

Mantingan dan KPH Pati. Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi

ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik

sementara akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk

pemukiman, jalan dan lahan pertanian (Gunawan, 2010).

Berdasarkan analisis metapopulasi di Jawa Tengah dapat dikelompokkan resiko

kepunahan lokal macan tutul jawa dimana ada delapan populasi (17%) memiliki

resiko kepunahan lokal tinggi karena luas habitatnya yang kecil, terisolasi dan

terdegradasi berat. Sembilan belas populasi (39%) memiliki resiko kepunahan lokal

sedang dan 21 populasi (44%) memiliki resiko kepunahan lokal rendah (Gunawan,

2010).

Sementara itu Gunawan (2013) mendapatkan 75 titik lokasi indikasi macan tutul

jawa di Jawa Barat dan Banten yang tersebar di kawasan hutan produksi dan hutan

lindung sebanyak 41 titik lokasi (14 KPH Perum Perhutani unit III), 16 titik lokasi

ada di dalam kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh BKSDA dan 18 titik

lokasi ada di taman nasional yang dikelola oleh Balai Taman Nasional. Sebagian

hutan-hutan tersebut juga terlah terjadi fragmentasi yang menyebabkan beberapa

populasi dikhawatirkan terancam kepunahan lokal karena isolasi dan dalam tipe

metapopulasi non equilibrium.

Sebagai contoh, beberapa populasi di KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya tidak

terkoneksi dengan populasi lain dan jaraknya terlalu jauh serta rintangannya terlalu

sulit dilewati sehingga membentuk metapopulasi non equilibrium, dimana tidak ada

pertukaran genetik antar populaso-populasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat

menyebabkan kepunahann lokal akibat tidak ada kolonisasi dari populasi di

sekitarnya. Kemungkinan lain adalah kepunahan akibat erosi genetik karena

inbreeding atau perkawinan sekerabat karena terhalangi untuk kawin dengan

populasi lain (Gunawan, 2013).

Page 166: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 151

Gambar 61. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe

metapopulasinya

Gambar 62. Peta metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

Page 167: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 152

Populasi lain yang terancam kepunahan lokal adalah populasi dengan luasan

habitat kecil dan terisolasi seperti populasi di titik 8 (Cisaladah, Pangandaran, KPH

Ciamis), titik 9 (Cipatujah, Karang Nunggal, KPH Tasikmalaya), titik 10 (Sodong,

Tanaju, KPH Tasikmalaya), titik 17 (Tambakan, Cijambe, KPH Purwakarta), dan

titik 55 (Cagar Alam Leuweung Sancang, Seksi KSDA Sukabumi). Populasi-

populasi kecil ini sangat terancam kepunahan lokal akibat gagal bereproduksi karena

tidak ada pasangan kawin atau erosi genetik akibat inbreeding (Gunawan, 2013).

IV. KONFLIK MACAN TUTUL - MANUSIA

A. Bentuk dan Distribusi Konflik

Kasus gangguan macan tutul di Jawa Barat sejak tahun 2001 hingga tahun 2012

cenderung meningkat, yaitu dari satu kasus pada tahun 2001 menjadi 16 kasus di

tahun 2011. Sedangkan sampai Bulan Desember tahun 2012 baru dilaporkan 5

kasus gangguan macan tutul. Gangguan macan tutul ini berupa keluarnya macan

tutul dari hutan dan masuk ke perkampungan.

Keluarnya macan tutul dari habitatnya ini diduga bukan hanya disebabkan oleh

kurangnya satwa mangsa atau rusaknya habitat tetapi diduga disebabkan oleh

perebutan teritori. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semua macan tutul yang

keluar dari habitatnya berjenis kelamin jantan dan berumur 2 – 2,5 tahun lebih, yaitu

umur dimana macan tutul jantan menjadi dewasa muda (sub adult) yang matang

seksual dan harus meninggalkan induknya untuk membangun teritorinya sendiri

(Nowak, 1997; Guggisberg, 1975). Ketika berebut teritori dengan jantan dewasa

yang lebih kuat atau induk jantan, tampaknya kebanyakan macan tutul muda

mengalami kekalahan dan harus keluar dari teritori induknya. Sementara,

habitatnya sudah dikepung oleh pemukiman maka ketika macan tutul muda tersebut

keluar hutan langsung masuk ke pemukiman.

Gambar 63. Perkembangan jumlah kasus macan tutul keluar dari hutan dan masuk

perkampungan di Provinsi Jawa Barat dan Banten.

Page 168: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 153

Ada enam kabupaten dimana terjadi kasus macan tutul keluar dari habitatnya

yaitu Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Garut, Cianjur dan Sukabumi, namun

frekuensi keluarnya macan tutul dari habitatnya yang tertinggi terjadi di Kabupaten

Ciamis yaitu dari kawasan hutan Gunung Syawal. Gunung Syawal merupakan hutan

konservasi yang berfungsi sebagai suaka margasatwa (SM). Kawasan hutan ini

dikelilingi oleh hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani. Hutan produksi ini

berperan sebagai penyangga (buffer) dan sekaligus perluasan habitat bagi satwa di

SM. Gunung Syawal. Dalam satu dekade terakhir hutan produksi ini mengalami

kerusakan sehingga luas habitat satwa di SM Gunung Syawal berkurang.

Hutan-hutan produksi di sekeliling SM Gunung Syawal berbatasan langsung

dengan pemukiman desa-desa antara lain di Kecamatan Sadananya, Kecamatan

Cihaur Beuti, Kecamatan Cikoneng, , Kecamatan Panumbangan, dan Kecamatan

Panjalu. Desa-desa dari kecamatan-kecamatan tersebut yang paling sering didatangi

macan tutul dari Gunung Syawal.

Gambar 64. Jumlah dan persentase kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan

masuk ke perkampungan menurut wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat.

Dari 37 kasus keluarnya macan tutul dari habitatnya, paling sering terjadi pada

bulan Februari (7 kasus), Januari dan Oktober (masing-masing 5 kasus), November,

Maret dan April (masing-masing 3 kasus), Mei (2 kasus), Agustus dan September

(masing-masing 1 kasus) sedangkan pada bulan Juni dan Juli tidak terjadi kasus

keluarnya macan tutul dari habitatnya. Ada lima kasus yang laporannya tidak ada

catatan bulan terjadinya.

Dari pola gangguan keluarnya macan tutul dari habitatnya yang kebanyakan

terjadi justru pada musim hujan, dimana diasumsikan pada musim hujan, satwa

mangsa melimpah, maka anggapan bahwa keluarnya macan tutul akibat kekurangan

satwa mangsa akibat musim kemarau tidak sepenuhnya benar. Pada puncak musim

kemarau bulan Juni – Agustus jumlah kasus keluarnya macan tutul justru terendah

(nol). Apalagi dengan bukti bahwa semua macan tutul yang keluar dari habitatnya

merupakan jantan dewasa muda, maka dugaan bahwa keluarnya macan tutul dari

habitatnya akibat perebutan teritori bisa diterima dan hal ini menandakan bahwa

Page 169: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 154

reproduksi dalam populasi tersebut cukup baik karena populasi berkembang (jumlah

individu meningkat).

Gambar 65. Jumlah kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke

perkampungan menurut bulan terjadinya di Provinsi Jawa Barat.

B. Diagnosa Konflik

Analisis penyebab keluarnya macan tutul dari hutan dan memasuki kebun atau

pemukiman penduduk dijelaskan sebagai berikut :

1. Pendekatan teori teritorial

Macan tutul termasuk satwa yang meimiliki sifat teritorial, yaitu memiliki

wilayah jelajah (home range) yang dipertahankan dari individu jantan lain. Maca

tutul jantan memiliki home range yang sering overlap dengan beberapa home range

betina dan mengawini macan tutul betina yang overlap dengan home rangenya atau

berada di dalam home rangenya. Home range macan tutul umumnya terpusat di

sekitar badan air di mana mangsa terkonsentrasi (Seidentsicker dan Susan, 1991).

Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat tergantung pada

ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN - The World Conservation

Union, 1996).

Ukuran home range macan tutul jantan berkisar antara 30 – 78 km2 dan betina

23 – 33 km2 di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Home range mungkin jauh

lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang. Sebagai contoh, home range

berkisar antara 338 - 478 km2 ditemukan Norton & Lawson (1985) di dataran tinggi.

Bothma and Knight (1997) menemukan bahwa di Kalahari Selatan yang kering dan

miskin mangsa, rata-rata home range macan tutul jantan dewasa adalah 2.182 ± 492

km2 dan betina dewasa 489 ± 293 km

2. Sementara di Taman Nasional Royal

Chitwan, Nepal, yang memiliki kepadatan populasi ungulata sangat tinggi, home

range macan tutul betina hanya 6 – 13 km2

dan di Taman Nasional Serengeti dan

Tsavo, Afrika Timur, teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2 (IUCN - The

World Conservation Union, 1996). Gunawan (2010) membuat asumsi bahwa home

range macan tutul jawa sekitar 600 ha.

Page 170: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 155

Macan tutul muda tidak memiliki home range tetap sampai mendapatkan home

range karena yang dewasa mati atau berhasil merebutnya dari macan tutul dewasa.

Macan tutul mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis kelamin.

Menurut Grzimek (1975) macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan

cukup tersedia dan mudah didapat.

Berdasarkan teori dan pengalaman di atas maka, kasus masuknya macan tutul ke

pemukiman dapat dianggap sebagai fenomena teritorial. Apalagi macan tutul yang

keluar dari SM. Gunung Syawal umumnya adalah macan tutul jantan muda dengan

perkiraan umur sekitar 2,5 sampai 3 tahun, yaitu saatnya disapih oleh induknya.

Macan tutul muda jantan tersebut harus mencari teritorinya sendiri, bila tidak

tersedia lagi ruang, maka macan tutul muda harus berebut dengan macan tutul tua

(mungkin ayahnya) dan yang kalah harus keluar dari habitat yang ada dan mencari

habitat lain.

Kasus macan tutul masuk ke pemukiman sekitar Gunung Syawal dapat

disimpulkan sebagai fenomena teritorial. Dengan perkataan lain, macan tutul yang

keluar tersebut merupakan macan tutul muda yang sedang mencari teritori baru. Hal

ini juga menjadi indikasi keberhasilan perkembangbiakan populasi macan tutul jawa

di SM. Gunung Syawal.

2. Pendekatan teori daya dukung habitat

Habitat satwa adalah lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu jenis

satwa hidup. Habitat yang sesuai atau baik akan mendukung kehidupan dan

perkembangbiakan satwa di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kemampuan

atau kapasitas tertentu untuk mendukung kehidupan populasi suatu jenis yang

disebut sebagai daya dukung habitat. Dengan perkataan lain daya dukung (carrying

capacity) dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu habitat untuk mendukung

kehidupan satwa secara normal yang diukur dengan jumlah maksimum individu yang

dapat hidup dan berkembangbiak secara normal di habitat tersebut.

Apabila daya dukung suatu habitat terlampaui maka bisa terjadi peningkatan

persaingan ruang dan persaingan makanan yang dapat menimbulkan dampak

menurunnya kesehatan individu satwa, timbulnya penyakit, perkelahian dan

keluarnya satwa dari habitat tersebut untuk mencari makan, memperluas jelajah atau

mencari teritori baru. Fenomena keluarnya macan tutul dari SM. Gunung Syawal

dapat dilihat dari sudut pandang daya dukung. Dalam hal ini daya dukung habitat

SM. Gunung Syawal sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul

dalam jumlah yang ada, sehingga kelebihan jumlah individu tersebut melimpas

keluar untuk mencari sumber makanan baru. Hal ini diindikasikan oleh perilaku

pemangsaan terhadap ternak di sekitar SM. Gunung Syawal.

Peningkatan populasi macan tutul akibat keberhasilan reproduksi, tidak akan

sampai membuat macan tutul masuk perkampungan apabila di sekitar Gunung

Syawal masih terdapat hutan sebagai penyangga SM Gunung Syawal. Selama ini

Page 171: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 156

SM. Gunung Syawal dikelilingi oleh hutan lindung, hutan produksi terbatas dan

hutan produksi dengan vegetasi hutan alam dan hutan tanaman pinus, puspa dan

rasamala.

Sejak adanya krisis moneter dan euforia reformasi, terjadi perambahan kawasan

hutan produksi di sekitar Gunung Syawal. Meskipun kemudian peramabahan ini

diadopsi dalam pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), namun

kerusakan hutan sudah terlanjur parah. Vegetasi hutan telah dibabat, baik secara

menyeluruh maupun secara tumpang sari, sehingga secara umum kawasan hutan

produksi di sekitar SM Gunung Syawal yang menjadi lahan PHBM telah didominasi

oleh tanaman kopi.

Sementara itu, lantai hutan dengan vegetasi tanaman kopi tidak memiliki

tumbuhan bawah yang merupakan pakan herbivora. Hal ini karena tumbuhan bawah

dianggap pengganggu (gulma) yang mempengaruhi produktivitas tanaman kopi

sehingga dibasmi menggunakan herbisida (Gambar 24). Tidak adanya tumbuhan

bawah menyebabkan kawasan yang ditanami kopi, menjadi tidak cocok bagi habitat

satwa herbivora, padahal satwa herbivora seperti kijang, babi hutan, monyet ekor

panjang dan lain-lain merupakan mangsa macan tutul. Akibatnya populasi satwa

mangsa macan tutul tersebut pun menurun sehingga macan tutul memerlukan daerah

jelajah lebih luas lagi untuk mendapatkan mangsanya dengan cukup.

Dengan fakta-fakta tersebut di atas, maka kasus keluarnya macan tutul dari SM

Gunung Syawal ke pemukiman dapat disimpulkan sebagai akibat dari menurunnya

daya dukung habitat. SM Gunung Syawal saja dengan luas sekitar 5.360 Ha tidak

mampu mendukung populasi macan tutul yang terus berkembang, jika tidak

didukung oleh hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya sebagai penyangga.

Dengan adanya pembabatan hutan produksi dan menggantinya dengan tanaman kopi

melalui program PHBM, terbukti telah mengurangi luasan ruang habitat macan tutul

jawa dan budidaya kopi telah menurunkan kualitas habitat satwaliar herbivora

mangsa macan tutul. Dengan perkataan lain, telah terjadi penurunan daya dukung

habitat macan tutul jawa di kelompok hutan Gunung Syawal dan sekitarnya.

3. Pendekatan hubungan pemangsa-mangsa

Sementara hutan produksi di sekitar SM. Gunung Syawal mengalami

perambahan dan berubah menjadi tanaman kopi, di luar kawasan hutan yang

dirambah tersebut terdapat kebun masyarakat dengan pola tanaman campuran dan

strukturnya menyerupai struktur hutan yang terdiri dari beberapa strata. Jenis-jenis

pohon di lahan-lahan masyarakat di sekitar SM. Gunung Syawal, baik yang

dibudidayakan maupun tumbuh alami.

Keragaman jenis tanaman kebun sekitar SM Gunung Syawal dan strukturnya

yang menyerupai hutan menjadi habitat yang cocok bagi beberapa jenis satwa seperti

kijang, babi hutan dan monyet ekor panjang. Oleh karena itu seiring dengan

kerusakan hutan, maka intensitas kasus masuknya satwaliar ke dalam kebun

Page 172: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 157

budidaya semakin meningkat, terutama gangguan oleh babi hutan dan monyet ekor

panjang. Kebun milik penduduk menjadi habitat alternatif bagi beberapa jenis satwa.

Keluarnya macan tutul dari Gunung Syawal dan masuk ke kebun budidaya

diduga karena mengikuti satwa mangsanya, namun ketika masuk pemukiman dan

menemukan ternak yang mudah didapatkan karena dikandangkan atau diikat di

sekitar rumah, maka ternak tersebut dijadikan mangsanya.

Pendekatan teori ini kurang akurat, karena pada hakekatnya macan tutul

merupakan satwa yang cenderung menjauhi manusia dan memilih tinggal di dalam

hutan (satwa interior) yang menjauhi daerah tepian hutan (edge). Masuknya macan

tutul ke pemukiman merupakan keterpaksaan saja karena habitatnya telah berkurang

dan rusak sehingga tak mampu lagi mendukung kehidupannya dan diperlukan

wilayah baru sebagai home rangenya.

V. IMPLIKASI MANAJEMEN

1. Manajemen Habitat

Habitat macan tutul jawa yang telah terdegradasi, sehingga daya dukungnya

menurun perlu dilakukan pembinaan habitat guna memulihkan kembali daya dukung

habitat dan meningkatkan kembali populasinya.

Gunawan (2013) memberikan prinsip-prinsip yang perlu dipahami dan

diimplementasikan dalam pembinaan habitat antara lain :

a. Kawasan hutan konservasi berupa Cagar Alam dan Suaka Margasatwa yang

umumnya tidak luas tidak akan mampu mendukung kehidupan macan tutul jawa

yang terus berkembang. Oleh karena itu, peranan hutan produksi dan hutan

lindung di sekitarnya menjadi sangat penting sebagai penyangga atau buffer.

Hutan produksi atau hutan lindung di sekitar hutan konservasi berperan sebagai

perluasan habitat. Hal ini membawa implikasi bahwa hutan produksi atau hutan

lindung di sekitar hutan konservasi yang memiliki luasan kecil perlu

dipertahankan tutupan hutannya dan tidak digarap untuk PHBM ataupun tumpang

sari.

b. Pihak manajemen KSDA perlu menginventarisasi kawasan hutan konservasi yang

memiliki luasan kecil dan kemudian bekerjasama dengan pihak manajemen hutan

lindung dan hutan produksi untuk bersama-sama menetapkan luasan penyangga

hutan konservasi yang diperlukan. Bagi pengelola hutan produksi dan hutan

lindung, upaya konservasi seperti ini sebenarnya sejalan dengan program

sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) khususnya dalam

pengelolaan HCVF (High Conservation Value Forest).

c. Habitat-habitat macan tutul yang rusak akibat perambahan perlu segera direstorasi

agar tidak menimbulkan dampak lanjutan berupa konflik antara macan tutul

dengan masyarakat.

Page 173: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 158

2. Manajemen Populasi

Populasi-populasi yang terbentuk kelompok metapopulasi tipe non equilibrium

perlu mendapat perhatian serius, karena populasi-populasi ini sesungguhnya

merupakan populasi yang terisolasi sehingga terancam oleh inbreeding ataupun

kegagalan reproduksi karena tidak ada pasangan kawin. Populasi-populasi tersebut

perlu terus dimonitor dan diamankan dari ancaman seperti perburuan dan

perambahan habitat (Gunawan, 2013).

Populasi-populasi yang tidak terhubung perlu dibuatkan koridor perpindahan

sebagai penghubung sehingga bisa saling bertukar genetik melalui perkawinan antar

populasi. Kantong-kantong habitat yang masih memiliki kesesuaian untuk macan

tutul tetapi kosong, perlu juga dihubungkan dengan kantong habitat berpenghuni

macan tutul agar terjadi migrasi atau rekolonisasi. Meskipun upaya translokasi

mungkin diperlukan di masa mendatang, namun saat ini tampaknya masih belum

dapat dilakukan karena perlu dilakukan studi yang mendalam tentang kelayakan dan

dampak yang mungkin ditimbulkan.

Metapopulasi tipe Mainland-islands perlu dijaga dan diamankan agar proses

migrasi dari mainland ke islands dapat berlangsung. Faktanya, beberapa islands

sudah terputus dan tidak terhubung dengan mainland akibat fragmentasi hutan. Hal

ini perlu dihubungkan kembali melalui pembuatan koridor perpindahan. Demikian

juga metapopulasi tipe classic, untuk melancarkan arus perpindahan antar kantong

habitat, maka konektifitas antar populasi perlu dipelihara. Kantong-kantong habitat

yang kosong namun memiliki kesesuaian untuk habitat macan tutul juga perlu

dihubungkan dengan kantong habitat berpenghuni macan tutul agar dapat

direkolonisasi.

3. Manajemen Konflik

Informasi tentang peta kerawanan habitat sangat membantu pengelola KSDA

untuk melakukan upaya mitigasi atau pencegahan konflik antara macan tutul dan

manusia. Habitat-habitat yang rawan ini perlu diwaspadai dan dimonitor terus

karena potensiaal terjadi gangguan macan tutul terhadap ternak. Di sisi lain,

masyarakat di sekitarnya perlu diberi pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi

terjadinya gangguan macan tutul terhadap ternak mereka. Bila terjadi kasus konflik

macan tutul, maka langkah-langkah yang harus dilakukan disajikan pada diagram di

bawah ini.

Page 174: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 159

Gambar 66. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan konflik antara

macan tutul dan manusia.

Penanganan konflik antara macan tutul dan manusia harus didasari pengetahuan

tentang penyebabnya. Salah mendiagnosa penyebabnya mengakibatkan upaya

penanganannya menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, macan tutul jantan yang

keluar dari hutan disebabkan oleh perebutan wilayah jelajah atau teritori, maka

penanganannya tidak boleh dikembalikan ke habitat asalnya karena pasti akan keluar

hutan lagi. Macan tutul jantan yang kalah dalam perebutan wilayah jelajah, harus

keluar dari habitat yang diperebutkan dan mencari wilayah jelajah baru yang belum

dikuasai oleh individu jantan lain. Dalam pencarian wilayah jelajah baru, seringkali

macan tutul jantan harus menyeberangi pemukiman atau kebun dimana masyarakat

sudah memaasang perangkap untuk satwa pengganggu lain misalnya jerat babi hutan.

Oleh karena itu, sering terjadi macan tutul terperangkap jerat babi hutan di kebun

milik penduduk di luar hutan.

KONFLIK MACAN TUTUL-MANUSIA

Macan Tutul Tertangkap

Hidup Mati

Tidak Tertangkap

INFORMASI POKOK

Identifikasi jenis kelamin

Perkiraan umur

Panjang, tinggi, Berat

Gemuk, sedang, kurus INFORMASI TAMBAHAN

Kesehatan

Luka

Tutul atau kumbang

Frekuensi kejadian

Musim (kemarau/hujan)

Kondisi hutan terdekat

Jarak ke hutan terdekat

Ada/tidak perburuan satwa

INFORMASI POKOK

Identifikasi jenis kelamin

Perkiraan umur

Panjang, tinggi, Berat

Gemuk, sedang, kurus

Penyebab kematian

INFORMASI TAMBAHAN

Kesehatan

Luka

Tutul atau kumbang

Frekuensi kejadian

Musim (kemarau/hujan)

Kondisi hutan terdekat

Jarak ke hutan terdekat Ada/tidak perburuan satwa

INFORMASI POKOK

Identifikasi jenis melalui jejak atau tanda lain (macan tutul atau bukan)

Pengukuran jejak untuk perkiraan umur

Luka pada korban

Identifikasi tanda-tanda lain yang tertinggal

INFORMASI TAMBAHAN

Frekuensi kejadian

Musim (kemarau/hujan)

Kondisi hutan terdekat

Jarak ke hutan terdekat

Ada/tidak perburuan satwa

Satwa diserahkan ke BKSDA atau

Lembaga Konservasi untuk

penanganan lebih lanjut

Spesimen atau bagian-bagiannya

diserahkan ke BKSDA

Dilaporkan ke BKSDA untuk

penanganan lebih lanjut

Page 175: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 160

VI. KESIMPULAN

Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) secara umum sedang

menghadapi berbagai ancaman terutama akibat deforestasi yang menyebabkan

kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi habitat (habitat fragmentation) dan

degradasi habitat (habitat degradation). Hal ini menyebabkan populasi macan tutul

jawa menjadi terpencar-pencar dalam berbagai tipe metapopulasi dengan berbagai

tingkatan resiko kepunahannya. Dampak akhir dari semua proses tersebut adalah

terjadinya konflik antara macan tutul jawa dan manusia. Hal ini semakin menambah

ancaman terhadap kelestarian satwa tersebut, karena dianggap sebagai musuh

manusia.

Sehubungan dengan berbagai permasalahan tersebut, maka diperlukan upaya

yang komprehensif, holistik dan terus menerus mulai dari penelitian sampai dengan

implementasi pembinaan habitat, pengelolaan populasi dan penanganan konflik.

Upaya-upaya tersebut harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Hal ini

karena habitat macan tutul jawa meliputi berbagai tipe tutupan lahan, fungsi kawasan

hutan, lembaga pengelola kawasan hutan dan lembaga lintas sektoral lainnya. Hal

ini karena menyangkut pengelolaan tata ruang yang melibatkan kawasan hutan.

3. MIKROORGANISME

a. Pengelolaan Koleksi dan Pengembangan Database Mikroba

Tujuan dari kegiatan ini adalah mengelola koleksi dan mengembangkan database

mikroba yang berasal dari hutan tropis Indonesia. Pengelolaan mencakup teknik

pemeliharaan yang berkesinambungan sebagai bagian dari konservasiex-situ,

pencegahan biopiracy, dan penyediaan mikroba potensial untuk

pemanfaatanbioprospeksi mikroba. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan

pengumpulan sampel dari berbagai tipe ekosistem hutan tropis di Indonesia,

kegiatan isolasi mikroba, identifikasi mikroba, dan preservasi mikroba. Kegiatan

isolasi merupakan usaha kegiatan penting untuk mendapatkan mikroba dari sampel

serasah daun, tanah, pencernaan serangga, feses satwa liar, dan batang kayu yang

mengalami pembusukan. Identifikasi mikroba dilakukan dengan analisis sekuen

Deoxyribonucleic acid (DNA). Kegiatan eksplorasi mikroba telah dilakukan

diantaranya di Mekongga (Sulawesi Tenggara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara,

Gunung Krakatau (Lampung), Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Hutan

Penelitian Samboja (Kalimantan Timur), Gunung Tangkubanperahu (Jawa Barat),

Sawah Lunto (Sumatera Barat), dan Aek Nauli (Sumatera Utara). Analisis sekuen

DNA adalah suatu metode untuk mengetahui keragaman dengan satu sekuen gen 16S

atau 28S rRNA. Keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan metode analisis

sekuens gen 16S rRNA ialah kumpulan datanya mudah diperoleh melalui database

yang tersedia di website database mikroba dunia sehingga dapat dengan mudah

dibandingkan. Penyusunan database menggunakan software File Maker Pro. Pada

Page 176: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 161

waktu tertentu, Revival study dilakukan untuk memeriksa viabilitas mikroba yang

telah disimpan pada freezer -80 0C juga telah dilakukan, hal ini dilakukan bila terjadi

kerusakan refrigerator (-80 oC) dan gangguan listrik yang cukup lama. Data isolat

mikroba yang terdiri dari bakteri, fungi dan yeast sudah masuk dan dicatat ke dalam

database adalah 2.967 isolat mikroba, jumlah isolat yang sudah diidentifikasi secara

molekuler adalah 1.444 jenis mikroba. Sampai saat ini kegiatan pemanfaatan dari

koleksi mikroba yang tersedia saat ini, baru terbatas pada pemanfaatan Fusarium

solani sebagai fungi pembentuk gaharu.

Semua isolat tersebut di atas disimpan di Pusat Koleksi Mikroba Hutan Tropis

Indonesia (INDONESIA TROPICAL FOREST CULTURE COLLECTION-

INTROF CC) yang bertempat di Kelti Mikrobiologi, Puslitbang Konservasi dan

Rehabilitasi.

b. Eksplorasi dan Bioprospeksi Mikroba Lignoselulolitik Sebagai Agen

Biodegradasi

Kegiatan penelitian ini meliputi 2 aspek, yaitu eksplorasi (untuk mengumpulkan

sampel dan mengisolasi mikroorganisme) dan bioprospeksi (untuk menyeleksi isolat

mikroorganisme yang dapat mendegradasi biomasa berlignoselulosa). Eksplorasi

dilakukan di 15 lokasi TN/Cagar Alam, yaitu:TN Karimunjawa, Bali Barat, Gn.

Ceremai, Gn. Leuseur, Berbak, Bukit Barisan Selatan, Gn. Gede-Pangrango, Gn.

Merapi, Bukit TigaPuluh, Bantimurung-Bulusaraung, Lore Lindu, Kutai, Bromo

Tengger Semeru, Ujung Kulon dan Cagar Alam Danau Maninjau, dan berhasil

memperoleh lebih dari 2100 isolat mikroorganisme dari sampel berupa kayu lapuk,

serasah, tanah, serangga penggerek batang dan hewan kaki seribu. Berdasarkan hasil

skrining pada tahap bioprospeksi, dari 2100 lebih isolat diperoleh 620 isolat

mikroorganisme yang dapat mendegradasi senyawa lignoselulosa. Biodiversitas

mikroba lignoselulolitik ini meliputi 219 isolat fungi, 395 isolat bakteri, 2 isolat yeast

dan 4 isolat actinomycetes. Keenam ratus dua puluh isolat ini disimpan sebagai

koleksi INTROF-CC. Beberapa diantaranya telah diuji lebih lanjut dan diketahui

potensi pemanfaatannya dalam proses produksi bioetanol dari biomasa

berlignoselulosa, seperti:

1. Isolat fungi : TNK-F2.1-X dan GB. K1-P berpotensi digunakan pada tahap

delignifikasi dan sakarifikasi, karena menghasilkan enzim pendegradasi lignin,

selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi aktivitasnya.

TNK-F2.1-X memproduksi enzim laccase 268,2 Unit/L; enzim lignin

peroksidase 195,1 Unit/L; enzim mangan peroksidase 29,2 Unit/L; dan crude

enzyme selulase 1,5 FPU/ml.

GB.K1-P memproduksi enzim laccase 96,4 Unit/L; enzim lignin peroksidase

17,6 Unit/L; enzim mangan peroksidase 38,5Unit/L. Adapun aktivitas crude

enzyme selulase dari isolat ini masih dalam proses pengerjaan .

Page 177: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 162

2. Isolat bakteri : LR-15.T8, TG-02 S.9, PM-ED1.11 dan BLW-26B T.2

berpotensi dibiakan untuk memproduksi enzim selulase dan hemiselulase,

namun metode optimasi produksi enzimnya masih perlu dipelajari lebih lanjut.

3. Isolat yeast: BTS-F7.2B-N dan AK.7B.4 dapat dimanfaatkan pada proses

fermentasi glukosa menjadi etanol. Berdasarkan uji fermentasi glukosa yang

dilakukanpada tahun 2013, kedua isolat ini dapat menghasilkan etanol dengan

kadar 17,5 mg/ml; dan dalam uji fermentasi hidrolisat kayu sengon dan kayu

kelapa sawit hanya isolat AK.7B.4 yang dapat diuji sebagai agen fermentasi

dengan menghasilkan kadar etanol 4,5 – 4,7 mg/ml. Hasil ini tidak jauh berbeda

dengan fermentasi oleh Saccharomyces cerevisae (FST 74.5) sebagai strain

pembanding, yang menghasilkan kadar etanol 3,8 – 4,9 mg/ml dari substrat yang

sama. Isolat BTS-F7.2B-N tidak dapat diuji dan dikembangbiakan lebih lanjut

karena telah kehilangan viabilitasnya.

Dapat disimpulkan bahwa target dan tujuan kegiatan penelitian ini telah tercapai,

dan diperoleh beberapa isolat potensial yang dapat diteliti dan dikembangbiakan

lebih lanjut dalam rangka mensuplai kebutuhan enzim-enzim lignoselulolitik seperti

laccase, lignin peroksidase, mangan peroksidase, selulase dan hemiselulase, baik

untuk produksi bioetanol Generasi II ataupun kegiatan penelitian dan/atau industri

terkait lainnya.

c. Pembentukan Gubal Gaharu

Ekplorasi fungi pembentuk gubal gaharu telah dilaksanakan oleh Puslitbang

Konservasi ddan Rehabilitasi dan BPTHHBK Mataram di seluruh propinsi di

Indonesia dan telah mendapatkan isolat sebanyak 58 isolat yang telah teridentifikasi

secara molekuler dan 6 isolat yang belum teridentifikasi secara molecular. Dari

sejumlah isolat tersebut yang telah dicoba di lapang sejumlah 24 isolat, dari kedua

puluh enam isolat tersebut yang diminati oleh para petani gaharu sebanyak 5 isolat

yaitu FORDACC00509, FORDACC00500, FORDACC0052963, FORDACC00512

dan FORDACC52957.

Penelitian inokulasi pembentukan gubal gaharu telah dilaksanakan di NTB,

Riau, Banten, Jabar, Kepulau Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, NTT

dengan 54 isolat yang tersimpan di lemari pendingin dengan suhu -82oC. Di samping

itu juga telah dilaksanakan penelitian pada berbagai jenis tanaman Aquilaria spp. dan

Gyrynopsverstegiidengan berbagai jarak inokulasi yaitu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 40 dan

50 cm. Bor yang digunakan saat ini juga sudah mengarah yang kecil yaitu 3 mm,

sedangkan BPHHBK Mataram di NTB menggunakan jenis bor tersendiri (SIMPORI)

yaitu bor yang didalamnya berongga dan berlubang namun tidak bermata,cara

memasukkan dengan dipalu dan menariknya dengan alat pencabut.

Page 178: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 163

d. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula untuk Bioreklamasi Lahan Bekas

Tambang di Sulawesi

Lahan bekas tambang batu kapur PT Semen Tonasa mempunyai tingkat

kesuburan tanah yang rendah karena kadar unsur hara makro seperti N (0,06%), P

(15,67 ppm) dan K (3,47 ppm) yang rendah dan populasi mikroba bakteri (1,68 x

1014

) serta cendawan (5,41 x 101) dalam tanah yang rendah juga. Penanganan lahan

bekas tambang secara baik dan benar merupakan kunci keberhasilan upaya

rehabilitasi lahan.

Eksplorasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada lahan bekas tambang batu kapur di

PT Semen Tonasa mendapatkan 4 morfotipe spora yaitu Acaulospora sp (2 jenis),

Gigaspora sp (1 jenis) dan Glomus sp (1 jenis). Keempat jenis FMA tersebut

diproduksi secara massal untuk djadian sebagai inokulan dalam uji efektivitas FMA

di tingkat semai dan lapang di lahan bekas tambang batubara. Jenis FMA

Acaulospora sp. dicampur dengan Gigaspora sp. dan diberi nama Isomik MK1.

Inokulasi FMA indigen Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Isomik MK1. pada

semai Muntingia calabura, Acasia auriculiformis, Alstonia scholaris, Vitex cofassus

dan Tectona grandis dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, biomasa,

serapan P dan kolonisasi akar yang sangat tinggi dibandingkan dengan kontrol.

Disamping itu indeks mutu bibit juga semakin tinggi dengan adanya inokulasi FMA

tunggal dan Isomik MK.

Peningkatan pertumbuhan semai terbesar sebagai akibat perlakuan inokulasi

FMA adalah semai V. Cofassus dengan peningkatan tertinggi sebesar 635%

(tinggi), 275% (diameter), 1.694% (biomasa), 2.313% (serapan P), serta 829 (indeks

mutu bibit).

Pertumbuhan bibit S sericea dan V. Cofassus yang telah terinokulasi dengan

FMA dan ditanam di lapang masih menunjukan peningkatan pertumbuhan pada

parameter tinggi, diameter tanaman muda umur 3, 9, 15 dan 21 bulan di lapang.

Demkian juga parameter kolonisasi FMA dan kadar P pada jaringan tanaman muda

masih menunjukkan peningkatan. Namun demikian peningkatan tersebut sangat kecil

dibandingkan dengan peningkatan pada saat di pembibitan.

Dengan adanya revegetasi dengan tanaman bibit S sericea dan V. Cofassus yang

telah terinokulasi dengan FMA pada lahan bekas tambang batu kapur dapat

meningkatkan populasi bakteri dan cendawan pada lahan tersebut. Demikian juga

pada parameter N, P dan K pada tanah juga semakin meningkat.

e. Pengendalian Hama Tanaman Penghasil Gaharu Heortia vitessoides

Serangan ulat daun Heortia vitessoides pada pohon penghasil gaharu terjadi

sepanjang tahun dengan pola serangan berfluktuasi dan dengan intensitas yang

berbeda dari waktu ke waktu. Perkembangan populasi hama meningkat antara bulan

Januari – April dengan diselingi sedikit penurunan pada bulan Pebruari.

Page 179: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 164

Perkembangan populasi hama turun kembali pada bulan Mei – Juni pada tingkat

yang relatif rendah, kemudian meningkat kembali sampai mencapai tingkat tertinggi

antara Agustus – September. Setelah itu populasi kembali turun pada tingkat yang

rendah antara Oktober – Desember.

Perkembangan populasi dan serangan hama dipengaruhi oleh jumlah rata-rata

curah hujan. Munculnya tunas baru dan daun muda pada saat curah hujan relatif

tinggi berperan dalam memengaruhi kenaikan populasi hama. Menurut Qiau et al.

(2012), serangga betina H. vitessoides lebih tertarik kepada daun muda. Hasil

pengamatan juga menunjukkan bahwa koloni telur dan kelompok ulat instar awal

selalu ditemukan pada daun yang masih muda.

Hama ulat ditemukan dalam berbagai tingkat perkembangan (instar), namun

pada setiap pohon yang terserang kebanyakan hanya terdapat satu macam instar atau

satu generasi ulat gaharu. Meskipun demikian, pada setiap lokasi terdapat beberapa

generasi yang overlaping mengingat di setiap waktu pengamatan dijumpai ulat

dengan tingkat perkembangan yang berbeda. Menurut Kalita et al. (2002) dan Chen

et al (2011), H. vitessoides dapat menghasilkan beberapa generasi dalam satu tahun.

Pengatamatan di daerah Kandangan, Kalimantan Selatan, dan di Kebun Raya Bogor,

bahkan menemukan beberapa generasi ulat gaharu dalam satu pohon yang terserang.

Hasil mapping serangan ulat menunjukkan sebagian besar tanaman gaharu

pernah terserang dengan frekuensi 1-2 kali serangan dalam satu tahun. Berdasarkan

persentase, populasi pohon yang mengalami serangan ulat H. vitessoides rata-rata

berkisar 70-75%, bahkan ada yang di atas 90%. Di antara populasi pohon tersebut,

lebih dari sepertiganya (>30%) mengalami serangan berulang 2-4 kali per tahun.

Serangan hama berulang membawa kosekuensi terjadinya proses penggundulan

daun yang juga berulang. Defoliasi total terutama dialami tanaman gaharu berukuran

kecil (seedling). Terjadinya peningkatan kuantitas dan kualitas serangan ulat H.

vitessoides menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, dan tidak jarang

menyebabkan kematian. Di KHDTK Carita pada tahun 2013 ditandai dengan

peningkatan jumlah pohon yang mati, terutama di plot ITTO dan Rorak yang ukuran

pohonnya masih dalam kategori seedling. Apabila pada tahun 2012 hanya terdapat

pohon mati di plot ITTO sebanyak 2 batang, pada tahun 2013 pohon mati ditemukan

di semua plot, masing-masing sebanyak 15, 4 dan 1 batang berturut-turut di plot

ITTO, Rorak dan Werkit.

Secara umum, tingkat kerusakan tanaman dengan intensitas defoliasi berat (50-

75%) dan berat sekali (75-100%) selama tahun 2013 relatif sama antara plot ITTO

dan Rorak, yakni berkisar antara 10 – 80% dari populasi pohon. Persentase terendah

dari populasi pohon dengan tingkat serangan kategori berat dan berat sekali terjadi

pada bulan Januari, sedangkan persentase tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Hal

yang sama juga terlihat pada plot Werkit, namun dengan persentase yang lebih

rendah. Pada plot ini, persentase terendah populasi pohon dengan tingkat defoliasi

Page 180: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 165

berat dan berat sekali hanya sebesar 5 % sedangkan tertinggi hanya mencapai 25%.

Ukuran pohon yang rata-rata jauh lebih besar, baik diameter maupun tinggi pohon, di

plot Werkit dibanding dua plot lainnya menyebabkan populasi pohon dengan tingkat

serangan berat dan sangat berat menjadi jauh lebih rendah persentasenya karena

masing-masing pohon memiliki jumlah daun yang jauh lebih banyak. Sebaliknya,

pohon di plot ITTO dan Rorak rata-rata bertajuk kecil dengan jumlah daun yang

lebih sedikit, sehingga tingkat defoliasi akibat serangan hama cenderung lebih berat.

Kondisi ekologis, khususnya tingkat kerapatan pohon, dan tinggi pohon tampaknya

berpengaruh terhadap serangan ulat gaharu dan tingkat kerusakan yang

diakibatkannya. Plot Werkit dengan tingkat kerapatan pohon yang sangat tinggi

dengan rata-rata tinggi pohon gaharu di atas 4m mendapatkan serangan dan tingkat

kerusakan yang lebih ringan dari 2 plot yang lain yang memiliki tanaman gaharu

dengan tinggi rata-rata sekitar 1,0-1,25 m.

Pengendalian yang telah dilakukan dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu

pengendalian mekanik, kimiawi, nabati, hayati dan Integrated Pest Management.

a. Pengendalian secara mekanik

Pengendalian mekanikmerupakan salah satu cara pengendalian yang telah

diterapkan sejak lama oleh nenek moyang kita. Cara pengendalian ini adalah dengan

cara memetik daun yang ada telurnya atau ada ulatnya/larva untuk dimusnahkan

dengan cara diremas atau diinjak dengan kaki.

b. Pengendalian dengan insektisida nabati

Pengendalian nabati adalah pengendalian dengan menggunakan bagian dari

tanaman yang mempunyai daya bunuh, penolak (repellent) terhadap serangga.

Ekstrak biji mimba dengan dosis 0,3 g/l dapat mengakibatkan mortalitas ulat H.

vitessoides sebesar 100%.

Pada penelitan di BPK Mataram, konsentasi perasan biji mimba dengan dosis

100 g/l air dapat menyebabkan motalitas H. vitessoides di rumah kaca sampai

100%, sedangkan pada perasan daun biji mimba dengan dosis 100 g/l air dapat

menyebabkan mortalitas sebesar 85,7 %.

c. Pengendalian secara biologis (biological control)

Pengendalian biologis adalah pengendalian dengan menggunakan material

hidup seperti entomopathogen, predator dan parasit. Bacillus thuringiensis pada

konsentrasi 0,5 g dan 1,5 g/l air dapat mematikan 100% ulat H. vitessoides pada

skala laboratorium.

Predator Sycanus sp. dapat mempredasi ulat daun tanaman pengahsil gahary H.

vitessodes sebesar 82% di rumah kaca.

Page 181: RPI 12 - forda-mof.org_Fauna_dan_Mikro... · BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu

Sintesis 2010-2014 | 166

d. Pengendalian secara Kimiawi

Pengendalian kimiawi adalah pengendalian dengan menggunakan bahan kimia

anorganik. Pengendalian secara kimiawi sudah sangat lazim dilakukan oleh para

petani sejak dulu, namun resiko terhadap lingkungan dan produk tanaman cukup

tinggi. Insektisida kimiawi Curacron dan Sevin pada konsentrasi 2 ml/l dapat

mematikan ulat H. vitessoides 100%.

e. Pengendalian Terpadu (Integrated Pest Management)

Pengendalian ini merupakan gabungan dari beberapa cara pengendalian

serangga seperti pengendalian mekanik, pengendalian kimiawi, pengendalian nabati

dan pengendalian hayati. Pengendalian terpadu ini telah diterapkan oleh seorang

petani gaharu dengan cara penyemprotan secara kimiawi menyeluruh di kebunnya

seluas 2 ha., kemudian setelahnya dilakukan monitoring pada seluruh tanaman

apabila ada serangan maka akan dipetik daunnya atau rantingnya. Pada tahap

selanjutnya dilakukan monitoring pada tanaman bagian tepi setiap minggu, apabila

ada serangan maka akan disemprot atau dipetik daunnya/rantingnya.

(a)