Page 1
SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014
RPI 12
Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme
Kementerian Kehutanan
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email : [email protected]
web : www.puskonser.or.id
Page 3
i
KATA PENGANTAR
Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK.23/VIII-
SET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan
Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi
(Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian
Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai
komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program
Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS.
Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan
(ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang
telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada
setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan
informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh.
Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun
2010-2014 (Revisi) adalah Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme. Sampai
akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 228 kegiatan penelitian untuk
mencapai tujuan memperoleh model-model konservasi berbasis jenis serta
membangun model-model pengelolaan dan pemanfaatan jenis di setiap tipologi
kawasan konservasi dengan sasaran adalah flora/fauna dan mikroorganisme yang ada
di dalam, sekitar dan di luar kawasan konservasi. Sampai dengan akhir 2012
(pertengahan Renstra) telah dilaksanakan 133 kegiatan penelitian oleh Puskonser,
BBPBPTH Yogyakarta, BBPD Samarinda, BPK Aek Nauli, BPTHHBK Mataram,
BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan
BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis dalam
bentuk sintesis antara untuk melihat kemajuan/capaian kinerja RPI tersebut dan
menilai apakah kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras (in line)
dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun 2014. Dalam buku
sintesis antara ini juga disajikan ringkasan hasil-hasil penelitian penting di bidang
konservasi flora, fauna dan mikroorganisme yang ditempatkan setelah bab sintesis
antara. Penyajian ringkasan hasil penelitian ini penting untuk menunjukkan darimana
sumber utama sintesis antara tersebut. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan
penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif.
Sintesis antara RPI Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme tahun 2013
dapat dijadikan milestone untuk mencapai sintesis RPI akhir tahun 2014 yang
berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya konservasi flora, fauna dan
mikroorganisme yang berkelanjutan. Dari sintesis antara ini, kita dapat melihat
berbagai output dalam bentuk kebun konservasi genetik Ramin di OKI dan
Tumbangnusa, teknik inokulasi gaharu, paten produksi gaharu buatan dan grand
strategi laboratorium mikrobiologi hutan tropis. Koordinator RPI beserta tim
penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada.
Page 4
ii
Masih ada waktu selama dua tahun untuk mengisi gap penelitian yang ada dan
mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian untuk menghasilkan sintesis RPI
yang mumpuni dan bermanfaat.
Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Konservasi
Flora, Fauna dan Mikroorganisme beserta tim penelitinya yang telah menunaikan
tugasnya dengan baik menyusun sintesis antara ini.Semoga sintesis antara ini
bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan sintesis
RPI berikutnya.
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc.
NIP. 19571221 198203 1 002
Page 5
iii
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 12
KOORDINATOR : Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc
Sub Koordinator : Dr. Ir. R Garsetiasih, M.P
Dra. Marfuah Wardami, M.P
Ir. Ragil S.B Irianto, M.Sc
PELAKSANA
Puskonser : Dr. Titiek Setyawai, M.Sc
Dra. Marfuah Wardani, M.P
Dr. Ir. R Garsetiasih, M.P
Ir. Ragil S.B Irianto, M.Sc
Ir. Adi Susilo, M.Sc
Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si
Ir. Reny Sawitri, M.Sc
Drh. Pujo Setyo, M.Si
Drs. Sofian Iskandar, M.Si
Ir. Mariana Takandjandji, M.Si
Rozza Trikwatrina, S.Si., M.S
Dr. Maman Turjaman, DEA
Dr. Erdi Santoso
Luciasih Agustini, S.Si., M.Sc
BB Dipterocarpa : Ir. Amiril Saridan, MP
M. Fajri, S.Hut
Agus Wahyudi, S.Hut
B2PBPTH Yogya : Maryatul Qiptiyah, S.Hut., M.Si
BPK Makassar : Abdul Kadir W., S.Hut., M.Si
Heri Suryanto, S.Hut
Ir. Merry Kiding Alo, M.S
Nurhayati, SP., M.Sc
Ir. Halidah, M.Sc
Retno Prayudyaningsih, S.Si., M.Si
Ir. Nursyamsi
Bayu Broto, S.Hut.
BPK Manado : Julianus Kinho, S.Hut
Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut
BPTP Samboja : Drh. Amir Maaruf, M.H
Teguh Muslim, S.Hut
Triatmoko, S.Hut, M.Sc
Noorcahyati, S.Hut
Page 6
iv
BPK Manokwari : Hadi Warsito, S.Hut
Permenas Dimomonmau,S.Hut
Yohanes Wibisono, S.Hut
R.G.N. Triantoro, S.Hut., M.Si
Krisma Lekito, S.Hut., M.Sc
Sarah Yuliana, S.,Hut., M.App.Sc
BPK Kupang : Aziz Umroni, S,Hut.
Oki Hidayat, S. Hut.
Ir. Kayat, M.Si
Dani Sulistiyo Hadi, S.Si
Hery Kurniawan, S.Hut., M.Sc
Siswadi, S.Hut
Sujarwo Sujatmoko, S.Hut
Sumardi, S.Hut., M.Sc
Rina Yuana Puspiyatun, S.Hut
BPTHHBK Mataram : Resti Wahyuni, S.Si
BPK Aek Nauli : Darmawan Edy, S.Hut
Wanda Kuswanda, S.Hut, M.Sc.
BPK Banjarbaru : Rusmana, S.Hut
BPK Ciamis : Aji Winara, S.Hut
Page 7
v
DAFTAR ISI
Hal.
KATA PENGANTAR ................................................................................... i
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 12 .................................................... iii
DAFTAR ISI ................................................................................................. v
DAFTAR TABEL ......................................................................................... vii
DAFTAR GAMBAR ....................................................................................
I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1
II PENDEKATAN RISET BIODIVERSITAS .................................................. 2
A. Tahapan Riset .......................................................................................... 2
B. Rumusan Masalah.................................................................................... 3
C. Metode Sintesis ....................................................................................... 8
III RISET PENELITIAN INTEGRATIF FLORA, FAUNA DAN
MIKROORGANISME .................................................................................
9
A. SINTESIS 2010 – 2014 .......................................................................... 9
1. Flora ................................................................................................. 9
2. Fauna ................................................................................................ 32
3. Mikroorganisme ............................................................................... 160
Page 9
vii
DAFTAR TABEL
Tabel Hal.
1. Perkiraan jumlah spesies yang dikenal dan perkiraan jumlah total di dunia .... 6
2. Nilai rata rata karakter daun Eusideroxylon zwageri di KHDTK
Bondowoso berdasarkan analisis klaster ....................................................... 26
3. Pertumbuhan tanaman ulin umur 9 tahun di plot konservasi ex-situ tahun
tanam 2004 di Bondowoso ........................................................................... 27
4. Pertumbuhan tanaman ulin umur 7 tahun di plot konservasi ex-situtahun
tanam 2006 di Bondowoso ........................................................................... 27
5. Pertumbuhan tanaman ulin umur 5 tahun di plot konservasi ex-situ tahun
tanam 2008 di Bondowoso ........................................................................... 28
6. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi ............ 35
7. Jenis tumbuhan pakan Siamang di CA Dolok Sipirok dan sekitarnya ............ 36
8. Hasil analisis pemilihan tipe habitat dengan menggunakan Indeks Neu ......... 38
9. Jenis endoparasit banteng pada lembaga konservasi eks-situ dan
kawasan konservasi in-situ ............................................................................ 40
10. Jarak genetik antar populasi di KBS, KBR, TNB, TNMB, TSI II, Sapi
Bali dan TSI III ............................................................................................. 41
11. Jarak genetik antar populasi trenggiling (Manis javanica) ............................. 44
12. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan............................... 54
13. Luas kawasan TNBNW berdasarkan ketinggian tempat................................. 54
14. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kemiringan lahan ................................. 55
15. Pembagian tipe habitat .................................................................................. 56
16. Luas kesesuaian habitat anoa ......................................................................... 57
17. Luas kesesuaian habitat anoa berdasarkan zonasi TNBNW ........................... 58
18. Petak pengamatan I di hutan Warmariri. Sarmi .............................................. 79
19. Petak pengamatan II di hutan Warmariri, Sarmi ............................................ 80
20. Petak pengamatan di hutan Sasui. Tamraw .................................................... 80
21. Petak pengamatan I di hutan Sidei, Manokwari ............................................. 81
22. Petak pengamatan II di hutan Sidei, Manokwari ............................................ 82
23. Nilai chi-square pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba ............... 93
24. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan ketinggian
tempat ........................................................................................................... 93
25. Nilai chi-square pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba ............... 94
Page 10
viii
Tabel Hal.
26. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan kelerengan
tempat........................................................................................................... 94
27. Rata-rata bobot badan anak rusa pada umur penyapihan ............................... 105
28. Jenis pakan rusa Timor di penangkaran NTT ................................................ 107
29. Nilai fisiologis normal pada rusa sambar di UPTD BPIB Api-api ................. 113
30. Nilai hematologi normal rusa sambar di UPTD BPIB Api-api ....................... 113
31. Kondisi Umum Habitat Elang Jawa di TN Gunung Halimun-Salak dan
TN Gunung Merbabu .................................................................................... 124
32. Karakteristik persarangan elang di Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN
Wilayah II Bogor, TN Gunung Halimun-Salak) ............................................ 126
33. Ukuran dan komposisi kelompok lutung di hutan Bodogol, TNGP ............... 131
34. Jumlah dan komposisi kelompok lutung jawa di kawasan hutan Situ
Gunung ......................................................................................................... 132
35. Jumlah dan komposisi kelompok lutung di kawasan hutan Gunung Beser ..... 132
36. Jenis Tumbuhan Pakan Lutung Jawa ............................................................. 133
37. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan
tutul di Jawa tengah. ..................................................................................... ... 137
38. Jenis-jenis mangsa utama dan mangsa sekunder potensial bagi
macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten ..................................... 138
39. Status sebaran Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa ..... 143
Page 11
ix
DAFTAR GAMBAR
Gambar Hal.
1. Tingkat biodiversitas di dunia ........................................................................... 1
2. Status dan tahapan riset di bidang biodiversitas .................................................. 2
3. Bruguiera gymnorrhiza Lamk (A. Daun; B. Buah muda; C. Buah tua)
jenis yang paling dominan pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay ...........
16
4. Tumbuhan non kayu pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay (A.
Grammatophyllum speciosum; B. Pigafetta filaris; C. Nypa fruticans). ..............
16
5. Tumbuhan berkayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.
Dodonea viscosa; B. Thespesia populnea; C. Cordia subcordata). .....................
16
6. Tumbuhan non kayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.
Ipomoea pres-caprae; B. Widelia biflora; C. Scaevola taccada).......................
17
7. Beberapa jenis vegetasi pada hutan kerangas di Kampung Isenebuay (A.
Gleychenia linearis; B. Flindersia pimentelliana; C. Comersonia
bartramia). ........................................................................................................
17
8. Mapania heyneana adalah salah satu jenis herba yang terdapat pada plot
monitoring biodiversitas flora TWA Gunung Meja. Jenis ini secara
taksonomi sangat mirip dengan jenis pandan .....................................................
17
9. Acacia nilotica yang mendapat perlakuan pengolesan pada permukaan
batang dan pengolesan pada batang yang ditebang .............................................
25
10. Merremia peltata sebelum perlakuan dan yang baru mendapat perlakuan .......... 25
11. Restorasi savanna baluran dan TN Bukit Barisan Selatan ................................... 25
12. Peta sebaran populasi siamang berdasarkan ketinggian di CADS dan
wilayah sekitarnya .............................................................................................
34
13. Penutupan lahan di kawasan CADS dsk ............................................................. 35
14. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya .............. 36
15. Banteng jantan di KBS (A), dan di KBR (B). ..................................................... 38
16. Banteng betina di KBS (A), dan di TSI II (B)..................................................... 39
17. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional ................................................ 39
18. Materi genetik yang dikoleksi ............................................................................ 42
19. Hasil PCR menggunakan DNA dari darah.......................................................... 42
20. Trenggiling yang berasal dari Pulau Jawa (A) dan Pulau Sumatera (B) .............. 45
21. Karakteristik sarang Tarsius di Kawasan Bantimurung....................................... 47
22. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan gantung ................. 48
Page 12
x
Gambar Hal.
23. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan tanam (pitt
fall traps) ..........................................................................................................
49
24. Peta Kesesuaian Habitat Anoa di Kawasan TNBNW ......................................... 58
25. Pengambilan Sampel Kotoran Anoa .................................................................. 61
26. Pengukuran Jejak .............................................................................................. 61
27. Pengukuran Jejak .............................................................................................. 61
28. Sebaran tekstur pasir peneluran sarang labi-labi moncong babi di
wilayah Sungai Vriendschap .............................................................................
62
29. Tutupan (a) Mimosa pudica (putri malu) pada pasir peneluran di sungai
Jeprey dan (b) Scirpus glosus pada pasir peneluran di sungai
Vriendschap ......................................................................................................
66
30. Telur dari labi-labi Moncong Babi ..................................................................... 70
31. Sarang labi-labi Moncong Babi ......................................................................... 71
32. Labi-labi Moncong Babi .................................................................................... 71
33. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal ................................ 71
34. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal ................................ 71
35. Jejak Goura spp. yang ditemukan ...................................................................... 82
36. Sarang Goura spp. di hutan primer..................................................................... 83
37. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) jantan ..................................... 87
38. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) betina ..................................... 87
39. Grafik prediksi pertumbuhan populasi siamang ................................................. 91
40. Peluang kehadiran trenggiling tertinggi berdasarkan jumlah jenis tingkat
semai dan tumbuhan bawah ...............................................................................
99
41. Sistem kandang di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor ........................................ 101
42. Sistem Mini Ranch di NTT dan Taman Safari Indonesia, Bogor ........................ 102
43. Sistem Ranch di Jonggol, Cariu, Bogor dan Ranca Upas, Bandung .................... 102
44. Sketsa kandang rusa .......................................................................................... 102
45. Bangunan peneduh pada sistem terkurung di HP Dramaga, Bogor ..................... 103
46. Tempat makan dan minum pada sistem terkurung dan Sistem Ranch ................. 104
47. Model kandang jepit di Hutan Penelitian Dramaga ............................................ 104
48. Bahan dan alat tagging (pemberian nomor telinga) pada rusa ............................ 106
49. Beberapa jenis pakan rusa Timor di HP Dramaga .............................................. 107
50. Perkembangan puting dan ambing susu pada rusa betina sebagai deteksi
bulan melahirkan ...............................................................................................
109
Page 13
xi
Gambar Hal.
51. Perkembangan kantung ketuban dan perilaku induk betina pada masa
melahirkan .........................................................................................................
110
52. Perilaku induk betina dan anak yang menyusu pada masa pasca
melahirkan .........................................................................................................
110
53. Model peti angkut rusa ....................................................................................... 115
54. Titik perjumpaan elang jawa dan sarang di Blok Tapos TN Gunung
Halimun-Salak ...................................................................................................
128
55. Lokasi Perjumpaan Elang Jawa dan Elang Hitam pada Blok Hutan di
TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah ...................................................................
128
56. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Cipinang Gading,
Blok Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi
sejajar di lereng tebing) ......................................................................................
129
57. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Bobojong, Blok
Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi dari
dasar tebing) ......................................................................................................
129
58. Peta kerawanan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di
Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................
145
59. Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan
Banten ...............................................................................................................
146
60. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di
Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................
146
61. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe
metapopulasinya ................................................................................................
151
62. Peta metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten ............. 151
63. Perkembangan jumlah kasus macan tutul keluar dari hutan dan masuk
perkampungan di Provinsi Jawa Barat dan Banten .............................................
152
64. Jumlah dan persentase kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan
masuk ke perkampungan menurut wilayah kabupaten di Provinsi Jawa
Barat ..................................................................................................................
153
65. Jumlah kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke
perkampungan menurut bulan terjadinya di Provinsi Jawa Barat ........................
154
66. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan konflik
antara macan tutul dan manusia .........................................................................
159
Page 16
Sintesis 2010-2014 | 1
I. PENDAHULUAN
Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta
keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh
negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Primack et
al, 1998). Keanekaragaman hayati tersebut memiliki peran yang
sangat berarti bagi kehidupan manusia dan lingkungan, antara
lain sebagai sumber pangan dan obat-obatan, menjadi reservoir
air, menjaga siklus karbon dan lain sebagainya. Tidak hanya itu,
di tingkat dunia hampir semua kawasan hutan di Indonesia
memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi dibandingkan dengan
negaralain (Gambar 1).
Pada saat ini keanekaragaman hayati mengalami penurunan yang cukup tinggi,
yang apabila tidak segera dihentikan akan mengalami penurunan secara terus
menerus dan diperkirakan sekitar 20-70 persen habitat asli telah lenyap (Bappenas,
1993). Penyebab utama hilangnya biodiversitas sebagian besar akibat dari rusaknya
lingkungan dan habitat akibat ulah manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya
tanpa mengindahkan kelestarian serta laju pertambahan populasi manusia (Indrawan
et al. 2007). Tidak dapat dielakkan lagi bahwa kekayaan hayati terbesar banyak
ditemukan di hutan-hutan di daerah tropis, meskipun daerah ini hanya mencakup 7%
dari luas bumi namun lebih dari setengah dari jumlah spesies di dunia dapat
ditemukan di hutan tropis (Whitmore 1990).
Faktor yang menjadi ancaman utama keberadaan spesies flora dan fauna adalah
pertanian, pembangunan untuk kepentingan komersial, proyek air, rekreasi alam,
penggembalaan ternak, polusi, infrastruktur dan jalan, kebakaran alami dan
penebangan pohon (Stein et. al., 2000). Menjaga biodiversitas serta kesehatan
lingkungan sekitar kita berarti menjaga seluruh komponen baik ekosistem, habitat,
populasi, spesies dan variasi genetik.Sebagian besar kerusakan habitat, terutama
habitat asli di berbagai wilayah di penjuru dunia, berada di lokasi yang memiliki
kepadatan populasi manusia yang tinggi (WRI 2003).
Gambar 1. Tingkat biodiversitas
di dunia (source: www.cbd.int/gbo1/chap-01.html)
Page 17
Sintesis 2010-2014 | 2
II. PENDEKATAN RISET BIODIVERSITAS
A. Tahapan Riset
Pada intinya riset di bidang biodiversitas bertujuan untuk menambah informasi
tentang status keanekaragaman mulai dari tingkat genetika, spesies, habitat hingga
ekosistem. Informasi sebaiknya merupakan hal baru dan tidak mengulang kegiatan
riset yang sudah dilakukan oleh orang lain. Gambar 2. menunjukkan tahapan riset
yang dilalui mencakup riset dasar hingga ke terapan.
Gambar 2. Status dan tahapan riset di bidang biodiversitas
Riset pada umumnya dapat dimulai dengan kegiatan yang paling awal untuk
mengumpulkan data dibidang genetika, spesies, habitat dan ekosistem. Sedangkan
riset terapan mencakup skala yang lebih luas lagi yakni aplikasi suatu teknik untuk
memperoleh data dan infor-masi lanjutan. Untuk melakukan inventarisasi dan proses
pemantauan keberhasilan riset diperlukan desain yang sesuai dan memadai. Data
yang diperoleh selama beberapa waktu tidak ada gunanya jika desain pengambilan
data tidak dirancang dengan baik dan tidak dapat diulang di tempat lain.
Harus ada prosedur untuk melakukan inventarisasi dan monitoring untuk
mengetahui tingkat keanekaragaman hayati yang ada di suatu wilayah.Tahapan atau
prosedur untuk melakukan kegiatan riset yang terkait dengan inventarisasi dan
monitoring biodiversitas, jika diterap-kan dengan benar maka akan mudah untuk
memecahkan masalah pengelolaan ekosistem yang mencakup didalamnya habitat,
spesies dan variasi genetika.Untuk melakukan riset biodiversitas di lingkup Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi ini dalam skema Rencana Penelitian Integratif,
perlu dibuat tahapan sebagai berikut:
- Tujuan, Sasaran dan Luaran;
- Scoping (Definisi Masalah/Ruang Lingkup);
- Hipotesa;
- Pengumpulan data (inventarisasi, kajian);
Page 18
Sintesis 2010-2014 | 3
- Analisis Data, Interpretasi, Evaluasi, Penyajian (tulisan dalam jurnal. Media dll),
Penyimpanan Data;
- Keputusan Pengelolaan;
- Kajian Pengelolaan dan Pemantauan.
Tahapan tersebut diatas dideskripsikan secara lengkap dalam buku pedoman
Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Kehutanan
untuk periode tahun 2010 – 2014 (lima tahun).
B. Rumusan Masalah
Menurunnya populasi suatu jenis flora dan fauna di alam lebih banyak
diakibatkan oleh aktifitas manusia dalam memanfaatkan sum-berdaya alam untuk
kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk
melestarikan kelangsungan hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak
negatif bagi jenis flora dan fauna tertentu, terutama jenis-jenis flora yang lambat
tumbuh dan secara alami memilki sifat dan karakter yang sangat spesifik. Beberapa
jenis flora di Indonesia yang dimanfaatkan kayunya untuk perda-gangan,seperti
contohnya beberapa jenis dalam keluarga Dipterocarpaceae memiliki kecepatan
tumbuh yang sangat lambat sehingga pengambilan kayu dalam jumlah besar dalam
waktu relatif singkat tidak seimbang dengan kemampuan regenerasi alaminya
sehingga dikuatirkan laju kepunahan jenis akan berlangsung cepat. Bahkan
terjadinya illegal logging yang akhir-akhir ini kian marak akan semakin
memperparah kondisi hutan beserta isinya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang
memicu cepatnya status kelangkaan atau kepunahan jenis di habitat alaminya.
Kelangkaan jenis juga bisa diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi
suatu jenis, dalam hal ini untuk keperluan perdagangan. Seperti yang terjadi pada
saat pengelompokan jenis. Ada beberapa jenis kayu yang sulit ditemukan di alam,
namun pada saat diperdagangkan jenis langka tersebut masuk ke dalam kelompok
jenis tertentu. Seperti contohnya adalah perdagangan jenis merbau yang dalam
perdagangan dimasukkan dalam kelompok meranti. Pada prakteknya di alam sangat
sulit membedakan jenis meranti dengan jenis lainnya. Ironisnya dalam kelompok
meranti terdapat berbagai jenis flora yang sudah mulai langka dan juga jenis-jenis
yang memerlukan perhatian akibat menurunnya populasi jenis-jenis tersebut. Bahkan
berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Papua No.72 tahun 2002 tentang
Ketentuan Ekspor Kayu Bulat Jenis Merbau di Propinsi Papua, dalam pasal 1 ayat 3
disebutkan bahwa Merbau (Intsia sp.) adalah jenis kayu dari kelompok meranti yang
termasuk dalam pos tarif/HS 4403.10.211. Demikian pula dengan kayu eboni yang
pada prakteknya ada 3 species yang diperdagangkan dengan nama perdagangan yang
sama yaitu eboni (Diospyros phillipinensis, D. pilosanthera dan D. rumphii) padahal
menurut kriteria IUCN D. Phillipinensi smasuk kategori genting atau EN
(endangered). Khusus untuk jenis Diospyros celebica yang merupakan jenis endemik
di Sulawesi saat ini tercatat sebagai vurnerable /rentan dalam Daftar IUCN 2006.
Page 19
Sintesis 2010-2014 | 4
Disamping jenis-jenis yang memang komersial dan sudah dikenal dalam
perdagangan, ada beberapa jenis kayu multi-potensial yang tidak hanya
dimanfaatkan untuk kayunya namun juga sebagai bahan baku alternatif energi dan
obat-obatan, saat ini populasinya di alam mengalami penurunan. Contohnya adalah
jenis ki beusi (Pongamia pinnata) dan kempis/kemiren (Hernandia nymphaeifolia).
Ki beusi merupakan jenis yang umum tumbuh di hutan dataran rendah, mangrove
atau pantai berpasir yang dikenal sebagai ekosistem yang saat ini juga mengalami
tekanan akibat kerusakan karena alih fungsi lahan. Jenis ini secara lokal digunakan
sebagai bahan bangunan dan barang-barang/furniture rumah tangga. Jenis ini juga
menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan pelumas dan penyamak kulit.
Kulit kayu dan daunnya digunakan sebagai bahan obat. Akar dari jenis ini
mengandung bakteri rhizobium yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Jenis-
jenis yang banyak dimanfaatkan dan merupakan jenis yang umum ditemukan di
habitat aslinya yang dikategorikan menjadi spesies kunci. Penanaman baru dimulai
pada tahun 2009 di Cikalong, Tasikmalaya oleh Balai Besar Pemuliaan Tanaman
HutanYogyakarta dan pembibitan juga dilakukan oleh instansi ini. Kedua jenis ini
populasinya saat ini hanya terbatas di Cagar Alam dan Taman Nasional. Spesies
kunci juga dapat dijadikan indikator kerusakan habitat atau ekosistem, seperti
contohnya ramin yang hanya tumbuh baik di daerah rawa gambut dan beberapa jenis
baik flora dan fauna kunci yang terdapat baik di dataran tinggi maupun dataran
rendah kawasan hutan tropika di Indonesia.
Selain jenis-jenis kayu komersial yang telah dikenal, berbagai jenis kayu yang
kurang dikenal (lesser-known species) bahkan masih ada kemungkinan belum
teridentifikasi dengan benar berdasarkan nomenklatur (nama botanis), juga terancam
kelangkaan dan kepunahan akibat penyusutan hutan. Laporan IUCN yang terbaru
menyatakan bahwa hampir sebagian besar jenis flora yang terancam punah atau
masuk dalam red list berada di Indonesia (Heriyanto dan Subiandono 2003). Namun
demikian data yang diperoleh dari laporan IUCN tersebut juga perlu dikaji ulang
karena data dan informasi yang diperoleh kemungkinan menggunakan teknik yang
berbeda sehingga kepastian status langka oleh IUCN belum tentu terbukti dengan
kondisi yang sebenarnya di alam. Hasil kajian Heriyanto dan Garsetiasih (2002)
menunjukkan bahwa jenis-jenis yang masuk dalam daftar IUCN ternyata berdasarkan
hasil analisa tidak menunjukkan kelangkaan, dan ada juga beberapa jenis lainnya
yang berbeda status kelangkaannya.
Jenis non-Dipterocarpaceae yang masuk dalam kategori langka dan terancam
punah di Pulau Jawa antara lain Planchonia valida, Phyllanthus indicus, Sterculia
oblongifolia, Bischoffia javanica, Symplocos fasciculate, Zyzygium antiseptum,
Alstonia scholaris, Parkia roxburghiidan Stelechocarpus burahol. Upaya konservasi
eks-situ untuk jenis Dipterocarpus haseltii telah dilakukan oleh peneliti dari Pusat
Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan melakukan penyemaian anakan hasil
cabutan alam dari Cagar Alam Leuweung Sancang di lokasi KHDTK Pasir Awi.
Page 20
Sintesis 2010-2014 | 5
Beberapa kajian jenis flora langka penghasil tengkawang berikut upaya
konservasi in-situ dan eks-situ telah dilakukan di beberapa wilayah di Kalimantan
Timur, Tengah dan Barat oleh beberapa peneliti dari Balai Besar Penelitian
Diperokarpa Samarinda. Salah satu contoh upaya konservasi in-situ jenis Shorea sp.
yang berhasil dibangun adalah seluas 18 ha di Muara Wahau dan Malinau. Demikian
pula dengan konservasi in-situ untuk Agathis borneensis di hutan alam Berau dan
Melak seluas 4,6 ha, sedangkan konsevasi eks-situ seluas 1 ha di hutan produksi
Samboja.
Tidak hanya flora, satwa juga mengalami hal yang sama. Ancaman utama pada
penurunan populasinya adalah akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, polusi,
pemanfaatan jenis secara berlebihan, introduksi jenis eksotik dan penyebaran
penyakit (Primack et al, 1998). Seperti contohnya keragaman burung yang sangat
tergantung pada tegakan hutan dan kualitas ekosistem. Dengan demikian, keanekara-
gaman burung langka (besar) bisa digunakan sebagai indikatorbagi sebaran dan
populasi satwa terestrial dan arboreal lainnya seperti macan tutul, harimau, tapir,
gajah dan mamalia lainnya yang saat ini terancam punah. Contoh lainnya yaitu
burung punai besar (Treron capellei) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat saat ini
mulai menurun populasinya di alam. Burung ini masuk dalam ketegori rentan
(Vurnerable) berdasarkan IUCN (2002). Sebaliknya, satwa yang di beberapa
wilayah dianggap mulai berkurang populasinya seperti rusa (Rusa timorensis)
ternyata memiliki potensi untuk dikembangbiakkan melalui penangkaran. Disamping
itu daging rusa merupakan sumber protein hewani yang mulai dilirik oleh pasar saat
ini. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah mulai melakukan uji
peningkatan laju reproduksi rusa dan kajian pasar konsumsi daging rusa sebagai
pengganti daging sapi.
Penelitian tentang populasi, dan habitat satwa akan selalu terkait dengan jenis
satwa itu sendiri dan tergantung pula dengan kondisi tapak dari lokasinya. Sejak
tahun 2003 hingga 2008, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah melakukan
kegiatan riset yang terkait dengan konservasi in-situ beberapa jenis burung (tipe
penetap dan invasive). Termasuk di dalamnya juga mengkaji aspek pemanfaatan-nya
secara komersial. Selain burung, penelitian mamalia khususnya konservasi in-situ
banyak dilakukan di kawasan hutan taman nasional, hutan lindung dan hutan
produksi. Termasuk didalamnya juga aspek ekonomi jenis-jenis trenggiling (Manis
javanicus) dan kancil (Tragulus javanica), serta monyet ekor panjang (Macaca
fascicularis) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena banyaknya
permintaan akan jenis monyet ini untuk dijadikan obyek penelitian kedokteran.
Meningkatnya permintaan dalam perdagangan dan ekspor satwa-liar dari
Indonesia ditandai dengan tingginya angka kuota ekspor atau penangkapan satwa
untuk diperdagangkan (masuk dalam CITES), seperti monyet ekor panjang sebanyak
4.000 ekor per tahun. Jenis lain yang diekspor ke luar negeri seperti ular sanca,
biawak, karnifora dan beberapa jenis burung. Sayangnya, semua jenis tersebut masih
Page 21
Sintesis 2010-2014 | 6
diperoleh dari alam (PHKA, 2007). Dari hasil perdagangan satwaliar ini, berhasil
meraup devisa sebanyak Rp. 2.285.152.708,- (Departemen Kehutanan, 2008).
Realitas ini menunjukkan bahwa satwaliar dijadikan andalan hasil hutan bukan kayu
(HHBK) yang menjanjikan karena jika dikelola dengan baik dan jenis satwanva
memiliki tingkat reproduksi yang tinggi sebagai sumberdaya hutan yang
terperbaharui maka hal ini dapat mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih
memperhati-kan keberadaan dan keberlangsungan hidup satwa-satwa multiguna
tersebut. Selama 5 tahun terakhir,diperoleh devisa dari ekspor satwa sebesar lebih
dari 40 kali lipat.
Selain jenis-jenis lokal dan endemik yang menjadi target penelitian, jenis flora
dan fauna eksotik yang bersifat invasif juga merupakan topik kegiatan penelitian
yang menarik mengingat keberadaan jenis-jenis tersebut pada awalnya
diperuntukkan bagi tujuan tertentu. Seperti contohnya, penanaman Acacia nilotica di
Taman Nasional Baluran pada awalnya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran
agar tidak mudah meluas atau menjadi tanaman sekat bakar namun pada akhirnya
jenis ini menjadi dominan dan menekan pertumbuhan jenis-jenis flora lokal serta
sulit untuk dikendalikan. Jenis invasif ini dipahami bisa berpengaruhnegatif maupun
positif bagi kesehatan manusia, lingkungan dan ekonomi di suatu negara, terutama
kesehatan dan produktifitas hutan. Jenis asing invasif sangat berpengaruh terhadap
keberlangsungan biodiversitas di Indonesia.
Definisi biodiversitas secara luas diterjemahkan kedalam beberapa tingkatan
penilaian berdasarkan wilayah kecil dan batasan negara yang ada di seluruh dunia.
Dalam skala dunia, sekitar 1,75 miliar spesies sudah terdeskripsi dan memperoleh
nama ilmiahnya dan masih banyak lagi yang belum ditemukan (Tabel 1).
Tabel 1. Perkiraan jumlah spesies yang dikenal dan perkiraan jumlah total di dunia
Kerajaan Spesies dikenal Perkiraaan jumlah
total
Bakteri 4 .000 1.000.000
Protoctists (alga, protozoa, dll) 80.000 600.000
Fauna 1.320.000 10.600.000
Fungi 70.000 1.500.000
Flora 270.000 300.000
JUMLAH TOTAL 1.744.000 ca.14.000.000
Sumber : CBD (www.cbd.int/gbo1/chap-01.html)
Status konservasi suatu jenis secara global yang dibuat selama ini adalah
berdasarkan kategori IUCN. Lembaga riset di Indonesia yang diprakarsai oleh LIPI
(Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah membuat daftar flora langka yang
tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Mogea et al,2001). Namun demikian, masih
perlu diadakan kajian potensi terkini menyangkut status jenis-jenis flora dan fauna
Page 22
Sintesis 2010-2014 | 7
tersebut untuk mengetahui potensi dan status terakhir masing-masing jenis tersebut
di habitat alaminya.
Jika IUCN khusus membuat daftar semua jenis flora yang perlu mendapatkan
perhatian khusus disebabkan potensi di habitat alaminya, terutama di dataran tinggi
dan dataran rendah yang mulai menurun maka untuk jenis-jenis flora yang
diperdagangkan kayunya secara internasional, CITES telah membuat daftar jenis-
jenis yang perlu dilindungi berdasarkan tingkat kelangkaannya. Pada dasarnya,
CITES membuat daftar untuk flora dan fauna. Daftar ini sangat membantu dalam
upaya mencegah penebangan liar, perdagangan satwaliar dan pasar gelap.
CITES membagi kelompok/kategori berdasarkan status kelangka-an jenis di
alam yaitu Appendix I tentang jenis-jenis yang sudah terancam punah sehingga
peredaran antar negara dilarang, kecuali untuk tujuan tertentu dan tidak merusak
habitat alaminya. Appendix II memuat jenis yang belum terancam punah namun jika
perdagangan internasional tidak dikontrol maka terjadi risiko kepunahan. Sedang-
kan Appendix III memuat jenis-jenis yang perlu diawasi oleh suatu negara secara
internasional, meskipun negara tempat penyebaran jenis yang bersangkutan belum
memerlukan alat kontrol secara interna-sional. Seperti kasus ramin di Indonesia,
yaitu menurunnya potensi ramin di alam serta tingginya risiko kepunahan,
sedangkan ramin masih diperdagangkan secara internasional, maka perdagangan
yang tidak dikontrol dikuatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis ramin dalam
waktu singkat. Dengan demikian, ramin masuk dalam kategori Appendix III
(Sumarhani, 2007).
Selain ramin, masih banyak jenis flora pohon lainnya yang memerlukan
perhatian karena populasinya di alam mengalami penurunan drastis akibat
eksploitasi yang tidak mengindahkan keles-tarian serta akibat menurunnya kualitas
habitat atau ekosistem tempat jenis tersebut hidup. Seperti contohnya, ulin
(Eusideroxylon zwageri) dan eboni (Diospyrosspp.) keberadaannya di alam terancam
kepunahan akibat penurunan populasi di beberapa habitat aslinya di Kalimantan dan
Sulawesi. Demikian pula dengan beberapa jenis fauna yang habitatnya di Indonesia
mengalami penurunan hingga mencapai 49% (Mc.Neely et al. 1990). Beberapa
kawasan hutan yang masih berfungsi dengan baik, tidak hanya di kawasan
konservasi dan bahkan di kawasan hutan produksi yang tidak produktif, masih bisa
dimanfa-atkan oleh beberapa jenis satwaliar, terutama jenis fauna langka
terestrialdan jenis satwa arboreal yang dapat beradaptasi dengan baik (Bismark,
2006).
Dalam rangka mencegah kepunahan jenis-jenis flora dan fauna yang saat ini
sudah sangat sulit ditemukan di habitat alaminya, berbagai lembaga baik nasional
dan internasional serta badan-badan dunia di bidang yang terkait membuat inisiatif
untuk melakukan kajian tentang perlindungan dan pengawetan bagi flora dan fauna
yang mengalami tekanan di habitat aslinya akibat perkembangan kemajuan jaman.
Page 23
Sintesis 2010-2014 | 8
Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on Biological
Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan
sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian (Ramono,
2004) perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga
pemerintah daerah dan masyarakat setempat.Kegiatan konservasi ini pada dasarnya
bertujuan untuk mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem.
Permasalahan di atas tersebut dicoba dirumuskan untuk mencari solusi atau
jawabannya melalui pembagian berdasarkan takson yakni flora, fauna dan
mikroorganisme berdasarkan komponen berikut:
- Analisis biofisik dan potensi flora, fauna dan mikroorganisme;
- Biologi konservasi jenis flora, fauna dan mikroorganisme;
- Bioprospecting mikroorganisme;
- Konservasi eks- situ dan in- situ flora, fauna dan mikroorganisme.
C. Metode Sintesis
Pembuatan sintesis hasil penelitian dilakukan berdasarkan hasil riset yang
dilakukan oleh para pelaksana di masing-masing UPT yang kegiatan risetnya dimulai
pada tahun 2010 dan didanai oleh anggaran DIPA ditambah dengan penelitian lain
yang terkait. Sintesis diperlukan untuk melihat sejauh mana capaian akhir hasil riset
yang dilakukan. Jika ada gap atau kesenjangan dapat direncanakan tindakan yang
perlu dilakukan untuk memenuhi target pencapaian riset. Sintesis dibangun
berdasarkan hasil dari riset dikombinasikan dengan berbagai pengetahuan maupun
pengalaman yang diperoleh dari sumber lainnya dengan aspek yang sama.
Sintesis diperoleh melalui koleksi rangkuman hasil penelitian sesuai dengan
tema yang tertera dibawah RPI 12 konservasi flora, fauna dan mikroorganisme.
Masing-masing kegiatan berada pada sub-bab dibawah tema yang sudah ditentukan
dalam kerangka kerja logis (KKL) pedoman RPI dan disahkan oleh Badan Litbang
Kehutanan (Lampiran 1).
Indikator yang tertera pada KKL menjadi bahan verifikasi untuk menilai apakah
sasaran dan tujuan akhir bisa tercapai jika dibanding-kan dengan perkembangan riset
sesuai yang dilaporkan atau dirang-kum hingga tahun berjalan. Kata kunci dari
masing-masing indikator dapat ditemukan pada tujuan di setiap tema yang tertera
pada KKL. Scoring dan valuasi dilakukan secara subjektif mengingat tidak ada
perangkat yang digunankan untuk menilai secara kuantitatif. Penilaian lebih
berdasarkan pada capaian secara kualitatif.
Page 24
Sintesis 2010-2014 | 9
III. RISET PENELITIAN INTEGRATIF FLORA, FAUNA DAN
MIKROORGANISME
A. SINTESIS 2010 – 2014
1. FLORA
a. Informasi Biofisik Habitat, Dinamika Populasi dan Keragaman Genetik
Jenis-Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Ki beusi, Kempis,
Genetika Cendana, Eksplorasi Ulin, Ramin, dan Eboni)
a.1. Habitat Dan Populasi Ulin di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan.
Kegiatannya penelitian tahun 2010 dilakukan pada tiga lokasi di wilayah
Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulin (Eusideroxylon
zwageri Teijsm.&Binn.) tumbuh dengan baik pada tempat-tempat yang memiliki
kondisi iklim dengan tingkat kelem-baban udara yang relatif tinggi (69,17%-79,29%)
dan suhu berkisar antara 27,06ºC hingga 29,16ºC serta dengan pH tanah yang sangat
masam hingga agak masam. Unsur kimia tanah (terutama yang bersifat makro)
umumnya sangat rendah hingga rendah. Tekstur tanah bervariasi antara berpasir (di
Sungai Wein) hingga berliat (Muara Wahau). Topografi di daerah ini umumnya
bergelombang, hanya sebagian kecil yang merupakan daerah datar hingga landai,
mulai dari tepi sungai hingga punggung bukit. Hasil penelitian tahun 2010 tersebut
memberikan data bahwa dalam petak cuplikan seluas 1-1,84 ha tercatat sebanyak
172-234 jenis pohon yang berdiameter batang ≥10 cm, dengan nilai kerapatan 484-
503 pohon/ha dan luas bidang dasar 31,13-36,68 m²/ha. Populasi ulin sangat kecil
dan cenderung menjadi semakin langka karena eksploitasinya yang berlebihan.
Regenerasi alaminya tidak menunjukkan prospek yang menguntungkan bagi upaya
konservasi. Oleh karena itu upaya pengembangan dan konservasi eks-situ perlu
dilakukan.
Kegiatan pada tahun berikutnya yang dilakukan pada dua lokasi menunjukkan
bahwa tegakan ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) di areal HPH PT Aya
Yayang (Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan) dan Mungku Baru (Kota
Palangka Raya, Kalimantan Tengah) tumbuh baik pada tempat-tempat yang memiliki
kondisi iklim dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi. Suhu udara rata-rata
antara 26,40ºC dan 29ºC dengan kelembaban udara antara 68% dan 81% di
Tabalong. Sedangkan untuk di Mungku Baru, nilai kisarannya adalah antara 26,6 dan
29,7ºC untuk suhu udara dan antara 74 dan 82% untuk kelembaban udaranya.
Topografi pada kedua areal penelitian sangat berbeda. Di Tabalong, topografinya
bergelombang mulai dari lereng-lereng di tepi anak sungai hingga punggung bukit,
sedangkan yang di Mungku Baru umumnya datar hingga agak landai dengan
beberapa anak sungai yang mengalir di dalamnya. Pada petak pengamatan (jalur)
seluas 60m x 5m (= 0,03 ha) tercatat sebanyak 455 semai atau dengan nilai kerapatan
Page 25
Sintesis 2010-2014 | 10
15.167 semai/ha. Pada daerah ini, intensitas cahayanya berkisar antara 30,8 hingga
34,4 lux.
Perkembangan atau pertumbuhan ulin mengalami stagnan yang dicirikan oleh
menurunnya jumlah semai setelah mencapai tinggi 100 cm. Semai yang baru tumbuh
sangat jarang karena musim berbuah ulin dalam 2-3 tahun terakhir ini tidak teratur
atau bahkan tidak terjadi. Populasi dan habitat ulin saat ini mengalami penurunan
yang sangat drastis akibat dari gangguan (terutama penebangan) yang berlebihan
yang dilakukan oleh masyarakat, dan itu terjadi baik di hutan-hutan produksi, hutan
lindung maupun di hutan konservasi. Proses regenerasi ulin secara alami cenderung
mengarah ketidak normalan, berlangsung sangat lambat dan berisiko mengancam
kelestarian ulin di masa datang apabila penanganannya (melalui upaya
pengembangan dan konservasi in-situ) tidak dilakukan secara sungguh-sungguh.
Kegiatan eksplorasi benih ulin pada tahun 2012 dilakukan di Balikpapan,
Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Berau.
Sebanyak 2.821 benih ulin dari 84 pohon induk telah dikumpulkan dan disemaikan
di persemaian Balitek KSDA Samboja. Bentuk benih ulin bervariasi diantaranya
obovoid, ellipsoid, oblong dan sylindrical dengan panjang 9,88 s/d 10.53 cm dan
diameter 4,94 s/d 5,16 cm. Total benih yang berkecambah pada akhir 2012 sebanyak
68,3%. Persentase perkecambahan tertinggi berasal dari Balikpapan sedangkan
terendah dari Penajam Paser Utara. Tinggi dari 20 semai ulin tertinggi berkisar
antara 57,5 - 74,2 cm. Rencana lokasi pembangunan plot penanaman ulin adalah
antarai Km 3,5 - Km 4 arah Semoi, KHDTK Samboja.
a.2. Informasi Jenis Eboni (Diospyrosspp.) dan Populasinya di Kawasan
Konservasi Cagar Alam Tongkoko, TN Bogani Nani Wartabone Dan TN
Aketajewa Lolobata.
Di Cagar Alam Tangkoko ditemukan jenis-jenis eboni pada ketinggian tempat<
500 m dpl. Teridentifikasi ada tujuh jenis eboni yaitu Diospyros malabarica Kostel.,
D. cauliflora Blume, D. minahasae Bakh, D. pilosanthera Blanco, D. ebenum A.
Koenig, D. korthalsiana Hiern. dan D. hebecarpa A.Cunn. Pada tingkat pohon, INP
tertinggi pada D. pilosantherayaitu 9,91% dan terendah pada D. cauliflora yaitu
0.75%. Permudaan alami yang cukup banyak terdapat pada jenis D. pilosanthera dan
D. cauliflora. Permudaan alami eboni jenis D. cauliflora pada tingkat semai
berjumlah banyak, dan pada tingkat pohon sangat kurang. Hal ini disebabkan eboni
termasuk jenis semi toleran, membutuhkan naungan pada tingkat semai dan ketika
tumbuh menjadi pohon dewasa membutuhkan penyinaran matahari yang cukup. Pada
ketinggian tempat > 500 m dpl. eboni yang ditemukan sebanyak lima jenis yaitu D.
maritima, D. ebenum, D. cauliflora , D. pilosanthera , dan D. minahasae . INP pohon
tertinggi pada D. minahasaeyaitu 9,47% dan terendah pada D. Maritima yaitu1,86%.
Permudaan alami yang cukup banyak terdapat pada jenis D. minahasae dan D.
pilosanthera. Secara kuantitas, distribusi jenis eboni pada ketinggian tempat < 500 m
Page 26
Sintesis 2010-2014 | 11
dpl. lebih melimpah bila dibandingkan dengan ketinggian tempat > 500 m dpl. Jenis
eboni yang populasinya terbatas dihabitat alami pada kawasan CA.Tangkoko yaitu
D. korthalsiana yang hanya ditemukan pada tingkat tiang dengan jumlah individu
yang sangat sedikit. Tercatat sebanyak 153 jenis yang terdiri dari 39 famili dalam
berbagai tingkat vegetasi yang hidup berasosiasi dengan eboni (Diospyros spp.).
Famili Euphorbiaceae merupakan famili yang paling dominan, yakni sebanyak 12
jenis, Lokasi penelitian di bawah 500 m dpl. memiliki indeks keanekaragaman
species (H’) = 3,369. INP tertinggi untuk vegetasi tingkat pohon yaitu Cananga
odorata Hook.f.et Th. sebesar 40,36%. Pada lokasi penelitian di atas 500 m dpl.,
INP tertinggi yaitu Homalium celebicum Koorder., sebesar 17,43% dengan indeks
keanekaragaman spesies (H’) sebesar = 3,386. Populasi eboni pada ketinggian tempat
di atas 500 m dpl. lebih besar daripada ketinggian tempat di bawah 500 m dpl.
Jumlah populasi pada tingkat semai tinggi, kemudian cenderung menurun pada
tingkat pancang dan tiang selanjutnya kembali naik pada tingkat pohon. Eboni dari
jenis D. cauliflora dan D. pilosanthera, relatif mempunyai permudaan alami yang
lebih tinggi dibanding dengan eboni jenis lainnya. Di CA. Tangkoko, tempat tumbuh
pohon eboni (D. pilosanthera) bervariasi mulai dari 60-450 m dpl. Konsentrasi
pertumbuhan berdasarkan altitude yang paling banyak (melimpah) pada ketinggian
tempat 301-400 m dpl, dengan kelerengan antara 100-30
0. Ketinggian tempat, suhu
rata-rata dan interaksi antara kedua faktor tersebutberpengaruh nyata terhadap
diameter pohon yang dijumpai. Faktor suhu berpengaruh nyata terhadap diameter
batang permudaan tingkat tiang, namun ketinggian tempat tumbuh tidak berpengaruh
nyata pada diameter batang. Permudaan tingkat pancang berpengaruh nyata menurut
ketinggian tempat tumbuh. Interaksi antara faktor ketinggian tempat tumbuh dan
suhu juga berpengaruh nyata terhadap diameter batang.
Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) diketemukan jenis-jenis
eboni pada ketinggian tempat < 500 m dpl. Teridentifikasi ada enam jenis eboni
yaitu D. cauliflora, D. minahasae, D. malabarica, D. pilosanthera, D. korthalsiana
dan D. buxifolia. INP tertinggi tingkat pohon adalah D. pilosanthera yaitu 3,22% dan
terendah adalah D. cauliflora yaitu 0,64%. Pada ketinggian tempat> 500 m dpl.
hanya dijumpai 2 jenis eboni yaitu: D. cauliflora dengan INP 0,64% dan D.
pilosanthera dengan INP 6,73%. Jenis eboni yang paling dominan di dua ketinggian
tempat tumbuh tersebut adalah D. pilosanthera.Jenis D. pilosanthera memiliki
permudaan tingkat semai dan jumlah pohon dewasa paling banyak dengan sebaran
lebih luas dan kerapatan yang tinggi. Eboni yang paling sedikit dijumpai adalah jenis
D. buxifolia, di mana hanya dijumpai pada tingkat semai dan pancang.
Berdasarkan hasil analisis vegetasi terdapat sedikitnya 137 jenis yang terdiri dari
28 famili dalam berbagai tingkatan vegetasi. Kelompok famili yang paling banyak
jumlah jenisnya adalah Euphorbiaceae yaitu 11 jenis, kemudian Clusiaceae dan
Myristicaceae, yang masing-masing mempunyai 7 jenis, sedangkan suku Ebenaceae
yang ditemukan sebanyak 6 jenis. Pada lokasi penelitian di bawah 500 m dpl. untuk
Page 27
Sintesis 2010-2014 | 12
tingkat pohon, nilai INP tertinggi adalah Drypetes neglecta 28,75% dengan nilai H
3,553, sedangkan pada ketinggian tempat > 500 m dpl. untuk tingkat pohon INP
tertinggi adalah Macaranga celebica yaitu 18,56% dengan nilai H 3,666. Di TN.
Bogani Nani Wartabone, faktor suhu danketinggian tempat tidak berpengaruh nyata
terhadap diameter pohon eboni (D. pilosanthera) pada tingkat pohon. Frekuensi
perjumpaan pohon yang tertinggi pada kuadran ke III (201-300 m dpl.) dengan
diameter pohon rata-rata 76,38 cm dan diameter berkisar antara 42 sampai 113 cm.
Faktor ketinggian tempat tumbuh, suhu dan interaksi keduanya berpengaruh nyata
terhadap diameter permudaan eboni tingkat pancang. Pengaruh suhu dan ketinggian
tempat tumbuh terhadap tinggi permudaan eboni (D. pilosanthera) tingkat pancang
tidak berbeda nyata, sedangkan interaksi keduanya berbeda nyata. Anakan eboni (D.
pilosanthera) selain menyebar dibawah pohon induknya, banyak juga ditemukan
tumbuh bergerembol jauh dari pohon induknya.
Di TN. Aketajawe Lolobata, tercatat ada 13 jenis eboni yaitu: D. buxifolia, D.
cauliflora, D. celebica, D. ebenum, D. hebecarpa, D. korthalsiana, D. lolin, D.
malabarica, D. maritima, D. minahasae, D.philippinensis, D. Pilosanthera dan D.
rumphii. Vegetasi tempat tumbuh eboni di lokasi penelitian lebih banyak didominasi
tingkat semai. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat pohon, INP tertinggi terdapat
pada jenis Canarium indicum sebesar 57,43%. Sedangkan pengamatan vegetasi pada
ketinggian tempat di atas 500 m dpl. hanya dijumpai beberapa jenis vegetasi pioner
seperti Imperata cylindrica, Spathologlotis plicata, Nephentes hirsutum dan
Nephentes spp., serta beberapa jenis dari suku Clusiaceae seperti Calophyllum spp.
dan Garcinia sp.
a.3. Eksplorasi Habitat dan Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh) di
Sulawesi Selatan.
Kegiatan eksplorasi dilakukan di hutan Bellabori, Kabupaten Gowa dan di hutan
Coppo, Lasitae, Kabupaten Barru. Dari data yang dikumpulkan, habitat eboni pada
kedua lokasiberada pada formasi hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian
tempat antara 60 sampai 175 m dpl. Kondisi hutan mengalami gangguan akibat
tebangan. Eboni juga tumbuh diatas kondisi tanah yang masam, cukup dalam,
berdrainase baik dengantekstur lempung berliat. Sifat kimia ditandai dengan
rendahnya tingkat ketersediaan unsur hara makro, nilai tukar kation rendah,
kejenuhan basa rendah yang ditandai denganrendahnya kandungan Ca dan Mg.
Penyebaran populasi eboni pada hutan yang terganggu lebih kecil dibandingkan
dengan hutan utuh. Perlu dilakukan penanaman pengayaan pada lokasi yang tingkat
regenerasi tumbuhnya rendah. Benih dapat diambil dari anakan alami yang tumbuh di
bawah tegakan induknya. Penanaman dapat dilakukan dengan jalur maupun dalam
petak-petak dengan konsentrasi penanaman di bawah tegakan yang jarang dengan
pohon yang terpencar. Penanaman pengayaan dapat dilakukan dengan melibatkan
masyarakat setempat.
Page 28
Sintesis 2010-2014 | 13
b. Teknik Pelestarian Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Taxus,
Dipterokarpa, Pinus, Gaharu, Symplocos, Sterculia, Kayu Papi, Ramin,
Kempas, Ulin, Flora Endemic Papua, Flora Kunci Dataran Rendah, IAS,
Identifikasi Flora Invasif Merauke).
b.1. Teknik Konservasi Gaharu (Gyrinops versteegii), Kadimbil/ Merbau (Intsia
bijuga) dan Injuwatu (Pleiogynium timoriense) di Nusa Tenggara Timur.
Daerah persebaran alami gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) di Nusa
Tenggara Timur meliputi Sumbawa dan Pulau Flores. Jenis ini di Sumbawa dapat
ditemui di Sumba Tengah, Sumba Barat, Ende, Nagekeo dan Amfoang Kabupaten
Kupang. Gyrinops versteegii paling banyak dijumpai di Pulau Flores, terdapat pada
ketinggian tempat 250–1.000 m dpl., dengan suhu rata-rata 26oC.
Pengumpulan data gaharu tahun 2012, dilaksanakan di Kabupaten Ende dan
Nagekeo, Flores.Di Kabupaten Ende, G. versteegii dapat dijumpai di dua desa yaitu
di Desa Mbobhenga dan Desa Detukeli. Kondisi habitat G. versteegii di Desa
Mbobhenga memiliki ketinggian tempat 662–700 m dpl. Berdasarkan informasi
masyarakat Desa Mbobhenga, pada tahun 1980-an G. Versteegiidi alam masih
banyak dijumpai. Tingginya tingkat eksploitasi menyebabkan populasinya
mengalami penurunan. Gyrinops versteegii di Desa Detukeli dijumpai pada
ketinggian tempat ±1.000 m dpl.dengan suhu ± 26oC. Pada lokasi ini pohon G.
versteegii yang dijumpai merupakan pohon hasil penanaman tahun 1997.
Koleksi materi genetik G.versteegii didapatkan dari beberapa populasi meliputi
Ende dan Nagekeo (Pulau Flores), Sumba Barat dan Sumba Tengah (Pulau Sumba)
serta Amfoang, Kabupaten Kupang (Pulau Timor). Koleksi materi genetik yang
diambil dari lokasi terdiri dari cabutan anakan alam, buah serta biji. Koleksi materi
genetik dalam bentuk buahdilakukan dengan mengunduh buah masak. Sedangkan
anakan alam diambil dengan cara mencongkelnya. Kondisi anakan yang diambil
mempunyai tinggi sekitar 7 cm. Pembangunan plot konservasi eks-situ G. versteegii
direncanakan di Wanariset Soe, Kabupaten Timor Timur Selatan/TTS (Pulau Timor).
Daerah persebaran kadimbil/merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O.K.) dan injuwatu
(Pleiogynium timoriense (DC.) Leenh.) saat ini diketahui hanya tumbuh secara alami
di Pulau Sumba, yaitu di Sumba Barat dan Sumba Timur. Kondisi habitat
kadimbil/merbau yaitu tumbuh pada ketinggian tempat 131-558 m dpl.; suhu udara
28,10C-29,30C; kelembaban udara61-63%. Kondisi habitat injuwatu, tumbuh pada
ketinggian tempat 22-157 m dpl.; suhu udara 27,60C-39,10C; dan kelembaban udara
67-86%.
Koleksi materi genetik kadimbil dan injuwatu didapatkan dalam bentuk cabutan
anakan. Koleksi materi genetik kadimbil diperoleh dari dua populasi, yaitu Lamboya
dan Lamboya Bawah. Koleksi materi genetik injuwatu diperoleh dari dua populasi
yaitu Pambotan Jara dan Tarimbang.
Page 29
Sintesis 2010-2014 | 14
Konservasi eks-situ kadimbil/merbau dibuat di KHDTK Banamla’at,
Kefamenanu, Kabupaten Timor Timur Utara/TTU(Pulau Timor). Penanaman jenis
kadimbil/merbau dilapangan menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar
populasinya. Kadimbil yang berasal dari populasi Lamboya Bawah memiliki rata-rata
pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan populasi
Lamboya. Meskipun terdapat perbedaan pertumbuhan dari ke dua populasi tersebut,
kadimbil/merbau dari kedua populasi, secara visual masih mampu tumbuh dengan
baik diluar habitat aslinya.
Konservasi eks-situ untuk jenis Injuwatu dilaksanakan di KHDTK Banamla’at
Kefa Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman awal (dua populasi yaitu populasi
Pambotan Jara dan Tarimbang) hingga akhir bulan Desember 2012 diketahui bahwa
secara visual tanaman dapat tumbuh dengan baik. Bila dilihat dari persen hidup,
tanaman dari dua populasi ini memiliki persen hidup 100%. Dengan demikian dapat
diprediksi bahwa injuwatu mampu tumbuh beradaptasi dengan baik diluar habitat
alaminya.
Kesimpulan :
1. Daerah persebaran gaharu di Nusa Tenggara Timur meliputi Pulau Sumbawa dan
Pulau Flores. Jenis ini di Sumbawa dapat ditemui di Sumba Tengah, Sumba Barat,
Ende, Nagekeo dan Amfoang Kabu-paten Kupang. Gaharu di Pulau Flores
tumbuh pada ketinggian tempat 250-1.000 m dpl., dengan suhu rata-rata 26oC.
Jenis ini di Kabupaten Ende dan Nageke (Flores), dapat dijumpai di desa
Mbobhenga dan desa Detukeli. Di Desa Mbobhenga, gaharutum-buh pada
ketinggian tempat 662-700 m dpl., dan di Desa Detukeli dijumpai pada
ketinggian tempat ± 1.000 m dpl. Sedangkan materi genetik gaharu Gyrinops
versteegii didapatkan dari Ende dan Nageke(PulauFlores), Sumba Barat dan
Sumba Tengah (Pulau Sumba) serta Amfoang Kabupaten Kupang (Pulau Timor).
Koleksi materi genetik yang diambil terdiri dari cabutan anakan alam, buah dan
biji.
2. Daerah persebaran kadimbil/merbau dan injuwatu di Sumba Barat dan Sumba
Timur, Pulau Sumba. Kadimbil/merbau tumbuh pada ketinggian tempat 131-558
m dpl.; suhu udara 28,1–29,3 0C; kelem-baban udara 61-63%. Injuwatu tumbuh
pada ketinggian tempat 22–157 m dpl.; suhu udara 27,6–39,10C; kelembaban
udara 67-86%. Koleksi materi genetik kadimbil/merbau dan injuwatu didapatkan
dalam bentuk anakan cabutan. Koleksi materi genetik kadimbil/merbau
diperolehn dari dua populasi, yaitu Lamboya dan Lamboya Bawah. Koleksi
materi genetik injuwatu diperoleh dari dua populasi yaitu Pambotan Jara dan
Tarimbang.Konservasi eks-situ kadimbil/merbau dibuat di KHDTK Banamla’at,
Kefamenanu, Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman jenis kadimbil/merbau
dilapangan menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar populasinya. Kadimbil
yang berasal dari populasi Lamboya Bawah memiliki rata-rata pertumbuhan
Page 30
Sintesis 2010-2014 | 15
tinggi dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan populasi
Lamboya.Konservasi eks-situ jenis injuwatu dilaksanakan di KHDTK Banamlaat
Kefa Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman awal dua populasi yaitu
populasi Pambotan Jara dan Tarimbang, secara visual tanaman dapat tumbuh
dengan baik. Tanaman dari dua populasi memiliki persen hidup 100%.
b.2. Identifikasi Berbagai Jenis Flora Endemik dan Areal Sumberdaya Genetik
di Papua.
Hasil penelitian menunjukkan secara ekologi terdapat empat tipe habitat di
kawasan hutan dataran rendah Kampung Isenebuay, yaitu:hutan dataran rendah,
hutan pantai, hutan mangrove dan hutan kerangas. Kondisi lokasi penelitian
merupakan hutan dataran rendah dengan datar, bergelombong ringan dengan
topografi berbukit-bukit. Kondisi komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan
yang berbeda di lokasi penelitian menunjukkan komposisi tegakan yang normal.
Jumlah jenis tumbuhan berkayu yang dijumpai di lokasi penelitian adalah 121
jenis dari 39 famili. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis untuk tingkat pertumbuhan
semai 3,768, pancang 3,758, tiang 3,352 dan pohon 3,363. Perbedaan komposisi pada
berbagai tingkat keaneka-ragaman jenis tumbuhan berkayu di lokasi penelitian dapat
terjadi akibat beberapa hal, yaitu perbedaan kondisi fisik, kondisi hutan, ukur-an
petak contoh selama penelitian, dan tingkat kelimpahan relatif masing-masing jenis
pada habitat tersebut.
Sedangkan pengukuran dan monitoring pada petak ukur biodiversitas dalam
Hutan Wisata Gunung Meja yang dilakukan pada tahun 2012 mencakup pengukuran
riap dari petak A-E sampai dengan petak JJ-NN, dilanjutkan dengan petak OO-
SS.Data untuk plot moni-toring ini masih berada dalam tahap penghitungan riap dan
analisis, sehingga yang bisa ditampilkan adalah informasi dari petak A, F, K, EE dan
JJ yang mencapai kenaikan riap diameter rata-rata 0,782-1,893 cm.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Secara fisik kondisi lokasi penelitian di Kampung Isenebuay Pulau Rumberpon
merupakan hutan dataran rendah dengan topografi landai, bergelombang ringan
hingga berbukit-bukit.Lokasi peneliti-an merupakan kawasan hutan bekas
tebangan oleh PT. Inhutani pada tahun 1970-an.
2. Terdapat empat (4) jenis tipe habitat pada kawasan hutan Kampung Isenebuay,
yaitu: hutan pantai, hutan mangrove, hutan kerangas dan hutan dataran rendah.
3. Jumlah jenis tumbuhan berkayu yang dijumpai dari lokasi penelitian hutan dataran
rendah Kampung Isenebuay adalah 121 jenis dari 39 famili.
4. Secara umum keanekaragaman jenis untuk tingkat pertumbuhan se-mai, pancang,
tiang dan pohon di Kampung Isenebuay adalah tinggidengan rata-rata indeks
Shanon-winners adalah diatas 3.
5. Kondisi komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan pada kawasan hutan
dataran rendah Kampung Isenebuay menunjukkan komposisi tegakan yang
Page 31
Sintesis 2010-2014 | 16
normal, dimana semai memiliki jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan
dengan pancang, tiang dan pohon.
6. Tumbuhan non kayu pada plot monitoring biodiversitas flora TWA Gn. Meja
terdiri dari 11 jenis palem dan rotan, 21 jenis anggrek, 50 jenis herba, 4 jenis
bambu, 36 jenis paku-pakuan, 40 jenis semak dan perdu, 9 jenis pandan, 41 jenis
liana dan 6 jenis benalu.
7. Pengamatan dan pengukuran dalam petak A, F, K, EE dan JJ dalam TWAGn.
Meja, Manokwari menunjukkan adanya perubahan kon-disi tegakan, akibat
adanya individu yang mati dan juga adanya perkembangan riap diameter yang
berkisar dari 0,782-1,893 cm.
Gambar 3. Bruguiera gymnorrhiza Lamk (A. Daun; B. Buah muda; C. Buah tua)
jenis yang paling dominan pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay
Gambar 4.Tumbuhan non kayu pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay (A.
Grammatophyllum speciosum; B. Pigafetta filaris; C. Nypa fruticans).
Gambar 5.Tumbuhan berkayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.
Dodonea viscosa; B. Thespesia populnea; C. Cordia subcordata).
A
A
B C
C B A
A
A
A
B C
Page 32
Sintesis 2010-2014 | 17
Gambar 6.Tumbuhan non kayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A.
Ipomoea pres-caprae; B. Widelia biflora; C. Scaevola taccada).
Gambar 7. Beberapa jenis vegetasi pada hutan kerangas di Kampung Isenebuay (A.
Gleychenia linearis; B. Flindersia pimentelliana; C. Comersonia bartramia).
Gambar 8. Mapania heyneana adalah salah satu jenis herba yang terdapat pada plot
monitoring biodiversitas flora TWA Gunung Meja. Jenis ini secara taksonomi sangat
mirip dengan jenis pandan.
b.3. Kajian Ekologi Jenis Dipterokarpa Langka dan Terancam Punah
Lokasi kajian dilakukan di kawasan hutan KHDTK Labanan, Kab. Berau,
Kalimantan Timur. Dari 31 jenis pohonfamili Dipterocarpa-ceae, terdapat9 jenis
pohon yang masuk dalam kategori kritis, yakni: Shorea hopeifolia, Shorea superba,
Dipterocarpus tempehes, Shorea johorensis, Shorea seminis, Hopea mengerawan,
Shorea mujongensis, Parashorea malaanonan, Shorea smithiana, Dipterocarpus
elongates, Shorea almon dan Shorea longisperma.
b.4. Teknik Konservasi Eks-situ eboni (Diospyros spp.) di Prop. Sulawesi Utara.
Pengumpulan materi genetik eboni (Diospyros spp.) berupa biji dan anakan
cabutan alam dilakukan di Pulau Talise, Kabupaten Mina-hasa Utara, Cagar Alam
Tangkoko, Kota Bitung, Sulut, TN Bogani Nani Wartabone di Kabupaten Bolaang
A
A
B
A
A
B C
A
A
B C
Page 33
Sintesis 2010-2014 | 18
Mongondow (Sulut) dan Kab. Bone Bolango (Gorontalo) serta Kabupaten Pohuwato
(Gorontalo).
Pembangunan tegakan eboni (Diospyros spp.) telah dilaksanakan di Hutan
Penelitian Taman Wisata Alam Batuangus yang berlokasi di Kelurahan Kasawari,
Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara seluas 4 ha. Jumlah
total bibit anakan yang ditanam sebanyak 4.356 bibit, terdiri dari : D. pilosanthera
sebanyak 1.518 bibit, D. rumphii sebanyak 1.320 bibit dan D. minahasae sebanyak
1.518 bibit. Jumlah bibit yang diteliti sebanyak 3.600 bibit, terdiri dari 1.200 bibit
per jenis untuk ketiga jenis eboni (Diospyros spp.). Pembangunan tegakan konservasi
eksitu Diospyros spp., juga dilakukan di Arboretum BPK Manado seluas 1,2 ha yang
terdiri dari 10 (sepuluh) jenis yaitu ; D. pilosanthera, D. cauliflora, D. minahasae, D.
ebenum, D. korthalsiana, D. celebica, D. rumphii, D. malabarica, D. hebecarpa dan
D. lolindengan masing-masing jenis yang ditanam sebanyak 50 bibit (= 500 bibit).
Total luas kebun konservasi eksitu yang dibangun pada tahun 2012 seluas 5,2 ha
dengan jumlah tanaman seluruhnya sebanyak 4.856 bibit anakan.
Respon perlakuan terhadap pertumbuhan bibit anakan yang ditanam,
menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persen tumbuh dan
pertumbuhan diameter batang eboni. Interaksi antara ukuran lubang dengan
pemupukan juga tidak berpengaruh nyata. Pem-berian pupuk organik tidak
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman eboni. Interaksi antara
ukuran lubang tanam dengan pemupukan juga belum memberikan respon yang nyata.
Hal ini diduga karena pengukuran dan pengambilan data yang dilakukan terlalu dini
karena umur tanam dilapangan baru 45 hari. Pertumbuhan tinggi (3)jenis eboni (D.
minahasae, D. pilosantheradan D. rumphii) yang ditanam pada areal terbuka di
HPTWA Batuangus pada umur tanam 45 hari, menunjukkan pengaruh yang cukup
baik pada perlakuan pemu-pukan pupuk kandang ayam dan pupuk kandang sapi
dibandingkan dengan yang tidak diberikan perlakuan pemupukan. Faktor lain yang
diduga ikut mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan atau persentase tumbuh ketiga
jenis tersebut adalah teknik penanaman. Penanaman dilakukan pada awal musim
penghujan, dengan teknik tanam lebih dalam dari pangkal batang. Teknik penanaman
demikian dilakukan agar tanaman tetap kokoh dari terjangan angin, dan ujung akar
dapat menjangkau bagian tanah dalam yang lembab.
b.5. Jenis-jenis Tumbuhan Asing Invasif di TN Wasur.
Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal
sebagai berikut:
Jumlah jenis tumbuhan invasif yang dijumpai dalam rawa-rawa TN Wasur
mencapai 50 jenis, terdiri dari berbagai famili dan habitus. Habitus yang dijumpai
mulai dari rumput, teki, herba, semak, liana, paku-pakuan, tumbuhan air, sampai
dengan pohon. Anggota famili terbanyak berasal Famili rumput-rumputan (Poaceae),
diikuti famili teki-tekian (Cyperaceae) dan polong-polongan (Fabaceae). Jenis yang
Page 34
Sintesis 2010-2014 | 19
berupa semak-semak merupakan yang terbanyak, diikuti jenis-jenis yang habitusnya
berupa rumput, liana dan teki-tekian.
Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Biru mencapai 25 jenis, terbanyak
dari famili Cyperaceae dan disusul famili Poaceae. Habitus jenis terbanyak berupa
teki-tekian, liana dan rumput. Jenis-jenis dominan adalah Thoracostachium
sumatranum, Carex sp. dan Ischaemum timorense.
Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Donggamit 7 jenis, terbanyak
darifamili Cyperaceae, diikuti dari famili Poaceae. Habitus jenis-jenis yang dijumpai
umumnya rumput dan semak. Jenis-jenis yang dominan adalah Eleocharis indica,
Eragrostis tenuifolia dan Ischaemum timorense.
Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Ukra mencapai 29 jenis, terbanyak
darifamili polong-polongan (Fabaceae), disusul famili Poaceae dan famili
Cyperaceae. Habitus jenisterbanyak berupa semak, diikuti jenis-jenis rumput dan
liana. Jenis-jenis yang dominan adalah Stachytarpeta jamaicensis dan Imperata
cylindricadi daerah pinggiran rawa, serta Ludwigia octovalvis di badan air rawa
Ukra.
Jenis-jenis invasif utama rawa yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah
Carex sp., Hanguana malayana, Thoracostachium sumatranum, Elaeocharis indica,
Ludwigia oktovalvisdan Stachytarpeta jamaicensis. Jenis lainnya yang perlu
diwaspadai adalah Mimosa pigra yang dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan
lahan-lahan basah dan sabana dalam kawasan.
Proses invasi jenis-jenis tersebut diperkirakan merupakan perpa-duan beberapa
karakter seperti akibat tiadanya musuh alami, toleransi jenis invasif yang luas dan
kemampuan jenis tersebut untuk meman-faatkan sumberdaya, selain didukung
dengan kondisi lahan basah dalam kawasan yang secara alami menjadi penampung
segala material yang masuk di dalamnya.
TN. Wasur mencakup beberapa daerah lahan basah yang penting untuk sistem
pengaturan tata air kawasan dan habitat satwa seperti burung air dan kangguru.
Rawa-rawa tersebut antara lain adalah Rawa Biru, Rawa Donggamit dan Rawa Ukra.
Dari pengamatan di lapangan, rawa-rawa tersebut sudah mengalami proses invasi
dari beragam jenis tumbuhan. Secara keseluruhan, jenis-jenisyang dijumpai di dalam
ketiga daerah rawa ini mencapai 50 jenis dari berbagai famili dan habitus.
Famili rumput-rumputan (Poaceae) memiliki anggota jenis terbanyak yaitu 8
jenis invasif diikuti 7 jenis dari famili teki-tekian (Cyperaceae) dan 6 jenis dari famili
polong-polongan (Fabaceae). Sedangkan dari segi habitus, jenisyang berupa semak-
semak merupakan yang terbanyak menginvasi daerah ini diikuti jenis-jenis yang
habitusnya berupa rumput, liana dan teki-tekian.
Berdasarkan daftar-daftar jenis dari ketiga rawa tersebut di atas, sedikitnya
terdapat 6 (enam) jenis yang perlu mendapat perhatian .
Page 35
Sintesis 2010-2014 | 20
a) Carex spp.
Jenis-jenis Carex spp. sering dikenal secara lokal dengan nama rumput pisau,
termasuk dalam famili teki-tekian (Cyperaceae). Anggota famili ini sekilas nampak
seperti rumput biasa, namun dapat dibedakan dengan rumput umumnya (famili
Poaceae) dari bagian batangnya yang solid, menyudut dan membentuk segitiga.
Carex spp. umumnya menyebar dengan baik di daerah yang terpapar matahari
sampai dengan sangat sedikit naungan, di daerah padang rumput yang tidak terlalu
basah, tepi-tepi jalan dan di daerah Jawa lazim dijumpai di hutan tanaman jati
(Soerjani dkk, 1986; Weber, 2005). Jenis ini dapat tumbuh sampai pada daerah
dengan ketinggian tempat ± 900 mdpl. (di beberapa lokasi sampai dengan ± 1.200
mdpl.). Seperti jenis teki-tekian dan rumput lainnya, Carex spp. sangat mudah untuk
menyebar di suatu lokasi dengan bantuan rhizom dan bijinya.
b) Hanguana malayana (Jacq.) Merr.
Jenis ini dikenal masyarakat setempat dengan nama tebu rawa, meskipun jenis
H. malayana sebenarnya tidak tergolong dalam kelompok tebu-tebuan (atau bagian
dari famili rumput-rumputan, Poaceae), melainkan termasuk dalam famili
Hanguanaceae. Jenis ini diketahui merupakan tanaman hias yang berasal dari
Semenanjung Malaya. Jenis ini tumbuh dan menyebar dengan mudah pada daerah
yang tergenang air. Kemampuannya untuk membentuk rumpun yang tebal dan rapat
seringkali menghambat jenis-jenis lain menempati daerah yang ditumbuhinya.
c) Thoracostachium sumatranum L.
Anggota teki-tekian ini dijumpai bersama-sama dengan rumput Carex sp.
menginvasi daerah Rawa Biru. Di beberapa lokasi juga membentuk asosiasi dengan
jenis-jenis lainnya.
d) Eleocharis indica (Lour) Druce.
Salah satu jenis rumput ini diketahui tahan terhadap kedua kondisi musim yang
berbeda di kawasan. Jenis ini terutama tumbuh dominan pada badan air Rawa
Donggamit saat musim kemarau dan mampu ber-tahan dalam penggenangan yang
cukup tinggi saat musim penghujan. Pada musim kering jenis ini ikut membantu
perkembangan jenis-jenislainnya yang menyebar di sekitar perakarannya, pada
permukaan tanah rawa yang mengering.
Eleocharis indica dapat tumbuh dan menyebar dengan baik pada daerah terbuka,
di tempat-tempat yang basah dan tergenang, pada daerah ber-air tawar dan berair
payau, rawa-rawa, seringkali membentuk ham-paran sejenis, sampai dengan daerah
berketinggian 1.350 mdpl, (Soerjani et al, 1986; Weber, 2003). Jenis ini dijumpai
menginvasi rawa Ukra yang secara fisik dapat berhubungan dengan daerah muara
dan laut pada saat kondisi genangan tinggi. Invasi jenis ini dikhawa-tirkan oleh
pengelola kawasan dapat menjadi ancaman terhadap habitat burung-burung migran.
Page 36
Sintesis 2010-2014 | 21
e) Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven.
Herba berbunga kuning ini tumbuh sangat rapat dan sering dijum-pai bersama-
sama dengan jenis rerumputan lainnya menginvasi daerah rawa-rawa dalam
kawasan. Invasi jenis ini seringkali menyebabkan pendangkalan dan mengurangi
permukaan air yang terbuka.
Ludwigia octovalvis umumnya tumbuh di daerah-daerah yang selalu basah
dengan musim kemarau yang jelas, juga dijumpai di padang-padang rumput dan
daerah-daerah lembab, membentuk rumpun-rumpun tebal di sepanjang aliran-aliran
air, di Pulau Jawa dapat dijumpai sampai pada daerah berketinggian 1.450 mdpl.
f) Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl.
Jenis ini diketahui merupakan jenis asing yang sangat mudahmenempati daerah-
daerah terbuka dan terganggu. Tumbuhan yang dikenal secara lokal sebagai rumput
ekor tikus atau jarong ini dapat tumbuh dan menyebar dengan cepat di daerah
terbuka sampai dengan sedikit ternaungi, dengan kondisi daerah yang tidak terlalu
kering, seringkali dijumpai di tepi-tepi jalan, hutan sekunder, tepi-tepi kali kecil, dan
umumnya tumbuh dalam jumlah yang banyak (Soerjani et al, 1986; Weber, 2003).
Di dalam kawasan TN. Wasur, jenis ini terutama dijumpai di daerah padang-
padang sabana dan di sekitar rawa-rawa seperti rawa Ukra. Jenis ini cukup sulit
diawasi penyebarannya karena biji yang dihasilkannya mampu bertahan terhadap
kebakaran, dan sangat mudah tumbuh kembali setelah tergenang air pada musim
penghujan.
Selain keenam jenis yang dijelaskan di atas, meskipun tidak dilakukan
pengukuran, di dalam kawasan juga sudah tampak adanya jenis Mimosa pigra L.,
yang secara lokal dikenal jenis putri malu raksasa. Jenis ini telah dikategorikan
sebagai salah satu dari 100 jenis invasif paling berbahaya di seluruh dunia (Lowe et
al, 2000; Weber, 2003; Westcott & Dennis, 2003, Zimdahl, 2007). Jenis yang sangat
berguna sebagai tanaman pakan ternak ini perlu diwaspadai penyebarannya dalam
kawasan, karena berdasarkan bukti di banyak negara, pembasmian dan
penanggulangannya merupakan masalah yang cukup berat dan kompleks.
Penyebab dan Dampak Invasi Tumbuhan Asing
Suatu jenis dapat menginvasi suatu ekosistem karena berbagai sebab. Beberapa
kasus dan sumber pustaka menyatakan sedikitnya ada 3 (tiga) dugaan atau hipotesis
penyebab terjadinya invasi tumbuhan pada suatu daerah. Ketiga hipotesis tersebut
meliputi:
1. Hipotesis ketiadaan musuh alami (the enemy release hypothesis)
Suatu jenis tumbuhan dapat berkembang menjadi tumbuhan invasif di suatu
ekosistem disebabkan karena tidak adanya musuh alami. Musuh alami ini dapat
berupa pemangsa alami dan patogen atau penyakit yang bisa menghambat
Page 37
Sintesis 2010-2014 | 22
pertumbuhan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut di ekosistem yang
bersangkutan (Fine, 2002; Zedler dan Kercher, 2004). Berdasarkan hipotesis ini,
jenis-jenis yang merupakan jenis eksotik atau jenis asing adalah yang berpeluang
paling besar untuk menjadi invasif terhadap suatu ekosistem alami.
Di rawa-rawa TN Wasur, jenis-jenis seperti Hanguana malayana, Stachytarpeta
jamaicensis dan Thoracostacium sumatranum termasuk jenis-jenis invasif yang
penyebarannya sesuai dengan hipotesis ini.
2. Hipotesis toleransi yang luas (the broader tolerance hypothesis)
Hipotesis ini memperkirakan bahwa pada dasarnya jenis tumbuhan invasif
secara alami memiliki toleransi yang luas terhadap batas-batas kondisi lingkungan
yang lebih luas dan beragam (Zedler dan Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Tumbuhan
invasif diduga lebih mampu mentoleransi kondisi-kondisi lingkungan yang lebih
ekstrim jika dibanding dengan jenis-jenis non invasif.
Contoh-contoh yang sesuai dengan hipotesis ini, yang dijumpai dari lokasi
pengamatan adalah jenis Stachytarpeta jamaicensis dan Eleocharis indica. Kedua
jenis ini memiliki adaptasi yang besar terhadap kondisi musim cukup ekstrim yang
ada di kawasan. Pada saat musim kering mampu bertahan melewati kemungkinan
kebakaran dan kekeringan, sementara di musim hujan mampu tumbuh dengan baik
pula pada kondisi tergenang.
3. Hipotesis efisiensi pemanfaatan sumberdaya (the efficient use hypothesis)
Hipotesis ini menyatakan bahwa jenis-jenis tumbuhan invasif umumnya
merupakan jenis-jenis yang mampu memanfaatkan sumberdaya di habitatnya secara
lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis non invasif (Westcott dan Dennis,
2003; Zedler dan Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Sumberdaya yang dimaksud dapat
meliputi cahaya, zat hara dan air. Tumbuhan invasif bisa saja berasal dari jenis yang
memiliki musim tumbuh yang lebih panjang, tingkat fotosintesis yang lebih tinggi,
ciri morfologis yang lebih efektif dalam pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain.
Bervariasinya bentuk habitus jenis-jenis invasif yang dijumpai di rawa-rawa TN.
Wasur dapat disesuasikan dengan hipotesis ini. Adanya habitus yang beragam, mulai
dari tumbuhan bawah berupa semak dan liana yang menutupi permukaan tanah,
rerumputan dan teki-tekian hingga pada pepohonan memungkinkan seluruh strata
dalam ekosistem alami secara vertikal dapat diduduki oleh tumbuh-an
invasif.Kondisi ini selanjutnya mengarahkan pemanfaatan setiap sumberdaya untuk
proses fotosintesis secara efisien, sekaligus mengancam keberadaan jenis-jenis asli
lainnya.
Beberapa hal dapat pula menjadi penyebab rawa-rawa dalam TN Wasur, seperti
juga lahan basah lainnya lebih rentan terhadap invasi jenis tumbuhan asing adalah:
1. Kondisi rawa yang menjadi semacam “tempat pembuangan akhir”. Sumber air
bagi rawa umumnya membawa segala bahan dan benda yang pada akhirnya akan
Page 38
Sintesis 2010-2014 | 23
mengendap di rawa (Zedler dan Kercher, 2004). Sumber-sumber bibit tumbuhan
atau propagul tumbuhan yang mudah menyebar pada lahan basah akan ikut
terbawa aliran air pada saat musim hujan, ikut menggenang di rawa, mengendap
pada saat kering dan selanjutnya dapat tumbuh dan menginvasi rawa tersebut.
2. Bahan-bahan yang dibawa pada saat penggenangan dapat pula berupa sedimen
yang pada akhirnya mendangkalkan bahkan mengeringkan rawa. Daratan yang
baru terbentuk ini dapat dengan mudah mendukung pertumbuhan propagul-
propagul tumbuhan yang ikut terbawa pada saat penggenangan sebelumnya.
Proses invasi tumbuhan pada lahan basah membawa pengaruh baik secara
langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi suatu ekosistem. Kondisi ini dapat
terjadi pula pada rawa-rawa dalam TN. Wasur. Secara langsung, proses invasi
tumbuhan akan mengubah struktur dan komposisi tumbuhan dalam ekosistem.
Perubahan ini terutama terjadi pada karakter arsitektur secara vertikal, perubahan
pada kandungan zat hara tanah, dan mungkin saja mempengaruhi sumber bahan yang
mempermudah kebakaran lahan. Secara tidak lang-sung,adanya perubahan struktur
dan komposisi ekosistem akibat invasi tumbuhan menyebabkan perubahan pada
mikroorganisme tanah, yang selanjutnya akan mempengaruhi organisme pada tingkat
di atasnya.
Akibat langsung dari menyebarnya tumbuhan invasif dalam suatu kawasan
adalah menurunkan keanekaragaman hayati terutama jenis-jenis tumbuhan dalam
kawasan tersebut. Jenis invasif cenderung men-jadi dominan karena berhasil
menempati ruang yang jauh lebih luas daripada jenis-jenis yang sebelumnya
mendiami habitat tersebut.Pro-ses pengendalian dan pengelolaan penyebaran jenis-
jenisdi masing-masing rawa, yang dapat diawali dengan penentuan prioritas jenis dan
tindakan ujicoba pengendalian.Pertimbangan untuk pelibatan masya-rakat sekitar
dalam pengendalian penyebaran jenis-jenis tumbuhan prioritas, misalnya dengan
pemantauan rutin, pembasmian secara fisik dan rutin.
b.6. Teknik Eradikasi Spesies Invasif Flora Acacia nilotica di TN. Baluran dan
Merremia peltata di TN. Bukit Barisan Selatan, Lampung serta Teknik
Restorasi Savana Baluran, Jawa Timur.
Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik yang tepat untuk
mengeradikasi jenis tumbuhan invasif di dua Taman Nasional yakni Acacia nilotica
di TN. Baluran dan Merremia peltata (mantangan) di TN. Bukit Barisan Selatan.
Perlakukan aplikasi herbisida dilakukan terhadap kedua tanaman tersebut serta teknik
restorasinya dengan hasil sebagai berikut:
1. Herbisida Garlon pada konsentrasi 2, 10 dan 15 ml/l solar dapat mematikan 100%
tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada permukaan batang dengan
ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. Herbisida Garlon pada konsentrasi 500,
250, 125, 67,5, dan 10 ml/l solar dapat mematikan 100% tanaman A. nilotica
dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman yang baru dipotong. Herbisida
Page 39
Sintesis 2010-2014 | 24
Starane pada konsentrasi 500, 250, 125, dan 67,5 ml/l solar dapat mematikan
100% tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman yang
baru dipotong.
2. Penyemprotan herbisida Lindomin dapat mematikan 100% daun dan batang
bagian atas permukaan tanah jenis Merremia peltata. Penggunaan herbisida
Garlon dengan konsentrasi 10 ml per satu liter solar dengan cara pembababatan
dan oles sulur , tiap sulur diolesi 25 ml campuran Garlon dan solar dapat
mematikan tumbuhan Merremia peltata.
3. Untuk menghindari tumbuhnya jenis invasif lain seperti Chromolaena odorata
dan Lantana camara, setelah pembabatan dan pengolesan herbisida harus segera
dilakukan penanaman oleh jenis cepat tumbuh yaitu binuang (Octomeles
sumatrana).
4. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang nyata produktivitas rumput
lamuran (Dichantium caricosum) pada areal terbuka dan di bawah naungan pohon
akasia (A. nilotica) yang sudah mati karena olesan Garlon. Pada areal terbuka
produk-tivitasnya lebih tinggi dibanding di bawah naungan. Sedangkan untuk
pemupukan, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antar
tingkat perlakuan pemupukan NPK terhadap produktivitas rumput. Tetapi secara
kuantitatif perlakuan pemupukan sebanyak 4 g memberikan nilai produktivitas
paling baik disbanding perlakuan lainnya.
5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh antar perlakuan
pemberian hidrogel, NPK dan FMA terhadap produk-tivitas rumput. Perlakuan
pemberian hidrogel sebanyak 500 ml dan FMA tanpa NPK memberikan nilai
produktivitas rata-rata saat musim basah sebesar 1,347 gr/rumpun/hari.
Produktivitas tersebut sedikit lebih kecil dibanding produksi yang didapat pada
perlakuan dengan pemberian pupuk NPK sebanyak 4 gr yaitu sebesar 1,380
gr/rumpun/hari.
6. Pemupukan urea sebanyak 3 gr per rumpun pada saat penanaman pada areal
terbuka yaitu areal yang sudah dilakukan tebang oles tunggul perlu dilakukan
untuk meningkatkan produktivitas rumput.
Berdasarkan hasil yang diperoleh, ada beberapa hal yang dapat
direkomendasikan untuk aplikasi di lapangan, yaitu:
1. Dosis 10 ml Garlon per satu liter solar dapat diaplikasikan dalam pengendalian A
nilotica di lapang dengan cara pengolesan pada permukaan batang dengan
ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. Selain itu Garlon pada konsentrasi 10
ml/l solar dapat diaplikasikan dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman
dengan ketinggian 25 cm dari permukaan tanah.
2. Dosis 10 ml Garlon per satu liter solar dapat diaplikasikan dalam pengendalian
Merremia peltata dengan cara babad dan oles sulur, masing-masing sulur diolesi
25 ml.
Page 40
Sintesis 2010-2014 | 25
3. Areal yang sudah dilakukan pengendalian dengan cara tebang oles batang atau
tunggul di TN Baluran atau babad oles sulur Merremia peltata di TN Bukit
Barisan Selatan harus segera dilakukan restorasi yaitu di savanna Baluran dengan
rumput lamuran (Dichantium caricosum), sedangkan di TN Bukit Barisan Selatan
dengan tanaman penghambat binuang (Octomeles sumatrana) . Kegiatan
penelitian disajikan pada gambar berikut:
Gambar 9. Acacia nilotica yang mendapat perlakuan pengolesan pada permukaan
batang dan pengolesan pada batang yang ditebang.
Gambar 10. Merremia peltata sebelum perlakuan dan yang baru mendapat perlakuan
Gambar 11. Restorasi savanna baluran dan TN Bukit Barisan Selatan
Page 41
Sintesis 2010-2014 | 26
c. Teknik Reproduksi Jenis-Jenis Flora Langka dan Terancam Punah
dan/atau Bernilai Ekonomi (Konservasi Ek-Situ Ulin, Cendana, Eboni dan
Ramin)
c.1. Teknologi Konservasi Eks-Situ Beberapa Jenis Flora Langka dan
Terancam Punah (Eboni dan Ulin).
Plot konservasi genetik jenis ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) di
KHDTK Sumberwringin, Bondowoso Jawa Timur dibangun pada tahun 2004
sebanyak 400 tanaman, tahun 2006 sebanyak 300 tanaman dan tahun 2008 sebanyak
196 tanaman, total areal seluas 3 ha. Dengan materi genetik berasal dari 11 populasi
yaitu Kalimantan Barat (populasi Nanga Tayap, Sanggau), Kalimantan Tengah
(populasi Sumber Barito dan Seruyan Hulu) Kalimantan Timur (populasi Sepaku,
Labanan, Samboja, Kutai Kertanegara), Jambi (Batanghari dan Durian Luncuk) dan
populasi Belitung. Kegiatan pemeliharaan tanaman hingga tahun 2014 berupa
pembersihan semak sekitar tanaman, pendangiran, pembuatan piringan, pemupukan
tanaman dan evaluasi pertumbuhan.
Karakterisasi morfologi merupakan informasi tahap awal untuk membedakan
variasi ulin berdasarkan sifat morfologi daun. Informasi ini perlu diklarifikasi lebih
lanjut dengan menggunakan uji DNA untuk mengetahui kepastian taksonomi di
dalam jenis ulin. Karakter morfolo-gi daun ulin dari beberapa provenan
menunjukkan adanya perbedaan pada ukuran panjang dan lebar daun, akan tetapi
rasio antara panjang dan lebar, cenderung menunjukkan kemiripan. Nilai rata- rata
beberapa variabel daun disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Nilai rata rata karakter daun Eusideroxylon zwageri di KHDTK Bondowoso
berdasarkan analisis klaster.
Variabel Klaster
1 2 3 4
Panjang daun (cm) 24,59 25,76 29,2 18,4
Lebar daun (cm) 10,17 8,98 13,2 7,19
Rasio (cm) 2,42 2,87 2,21 2,57
Pengukuran sifat pertumbuhan dilakukan terhadap semua individu tanaman
tahun tanam 2004, 2006 dan 2008. Persentase hidup tanaman tahun tanam 2004 pada
umur 8 tahun yang tertinggi adalah dari provenan Seruyan Hulu, diikuti oleh
provenan Nanga Tayap, Sepaku dan Sumber Barito. Demikian juga untuk rata-rata
tinggi dan diameter tanaman.
Plot konservasi ulin tahun tanam 2006 menunjukkan persentase hidup yang
cukup moderat untuk semua provenansi. Tanaman pada plot ini berasal dari
Sanggau-Kalbar, Belitung-Babel, Durian Luncuk- Jambi dan Samboja-Kaltim.
Namun demikian tidak ada informasi dan peta tanaman yang jelas menyebabkan
Page 42
Sintesis 2010-2014 | 27
evaluasi tanaman tidak bisa dilakukan berdasarkan provenan, sehingga evaluasi
tanaman didasar-kan pada perbedaan jenis pohon penaung yaitu Eucalyptus pellita
(Blok 1), Pinus sp. (Blok 2), dan semak belukar (Blok 3). Intensitas cahaya yang
tinggi pada tanaman di bawah semak belukar menyebabkan pertumbuhan tinggi dan
diameter tanaman lebih cepat diban-dingkan dengan tanaman di bawah vegetasi
dengan tajuk yang lebih rapat.
Hasil evaluasi terhadap tanaman ulin tahun tanam 2008 menun-jukkan bahwa
provenan Samboja menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan
dengan populasi lainnya. Sedangkan Provenan Labanan mempunyai tinggi pohon
yang paling cepat, namun mempunyai pertumbuhan diameter pangkal yang paling
lambat diban-dingkan dengan populasi lainnya. Persentase hidup tanaman masih
cukup tinggi (85%), bila dibandingkan dengan tanaman tahun tanam 2006 (79%),
dan tahun tanam 2004 (60%). Persentase hidup tanaman ulin di Bondowoso
mengalami penurunan seiring dengan pertambahan umur tanaman karena adanya
tanaman penaung yang rapat pada lokasi penanaman.Dengan demikian perlu
dipertimbangkan untuk mengura-ngi naungan sehingga intensitas cahaya yang masuk
ke lantai hutan bisa lebih optimal untuk pertumbuhan tanaman ulin. Hasil evaluasi
pertumbuhan sampai dengan tahun 2013 sebagaimana disajikan pada Tabel 3 sampai
dengan Tabel 5.
Tabel 3. Pertumbuhan tanaman ulin umur 9 tahun di plot konservasi ex-situ tahun
tanam 2004 di Bondowoso
Provenan
Persen
hidup
(%)
Tinggi tanaman (m) Diameter batang
@10 cm (cm)
min max Rata
-rata Min max
Rata
-rata
Nanga Tayap -Kalbar 58 0,80 6,86 1,45 0,67 9,56 1,85
Sumber Barito -
Kalteng 44 0,75 3,10 1,17 0,66 3,31 1,48
Sepaku- Kaltim 49 0,80 4,70 1,36 0,73 4,43 1,66
Seruyan Hulu -Kalteng 75 0,90 7,10 2,20 0,84 8,82 2,57
Tabel 4. Pertumbuhan tanaman ulin umur 7 tahun di plot konservasi ex-situtahun
tanam 2006 di Bondowoso
Provenan
Persen
hidup
(%)
Tinggi tanaman (m) Diameter batang
@10 cm (cm)
min max Rata-
rata Min max
Rata-
rata
Sanggau-Kalbar 60 0,25 1,70 0,75 0,66 2,53 1,32
Belitung-Babel 76 0,45 2,40 1,20 0,65 3,15 1,66
Durian Luncuk-Jambi 88 0,30 2,50 1,31 1,01 4,54 2,1,3
Samboja-Kaltim 83 0,30 2,00 0,98 0,74 2,91 1,55
Page 43
Sintesis 2010-2014 | 28
Tabel 5. Pertumbuhan tanaman ulin umur 5 tahun di plot konservasi ex-situ tahun
tanam 2008 di Bondowoso
Provenan
Persen
hidup
(%)
Tinggi tanaman (m) Diameter batang @10
cm (cm)
min max Rata
-rata Min max
Rata-
rata
Semani-Batanghari
Jambi 79 0,30 2,40 1,01 0,69 3,64 1,60
Labanan Berau-Kaltim 76 0,30 2,90 0,99 0,54 3,36 1,33
Semboja- Kaltim 83 0,40 2,00 0,95 0,70 2,46 1,34
Pengumpulan materi genetik eboni (Diospyros celebica Bakh.) dilakukan di
Tegakan benih eboni di Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi
Tengah. Materi genetik yang dikumpulkan berupa buah masak dari empat pohon
induk sebanyak kurang lebih 1.000 buah dan 1.200 anakan/cabutan (wildlinsg)
dengan tinggi kurang lebih 10 cm dan baru memiliki 2 helai daun yang berasal dari
30 pohon induk.
Pengumpulan materi genetik eboni dilakukan di Sulawesi Selatan dengan
mengambil anakan alam di dua lokasi yang berbeda, yaitu Tegakan Benih
Teridentifikasi Desa Coppo, Kabupaten Barru dan Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung, Kabupaten Maros. Pada tahun 2010 dan 2011 pohon induk di kedua
lokasi tersebut tidak berbunga dan berbuah, maka dilakukan pengambilan anakan di
bawah tegakan 20 pohon induk dengan jumlah 700 anakan. Berdasarkan informasi
dari petugas lapangan bahwa pohon eboni di TBT Copp, Kabupaten Barru pada saat
ini (Januari, 2013) sedang terjadi pembungaan.
Perlakuan bibit eboni asal benih melalui penyemaian dengan media tanah dan
pasir (1:3). Benih berkecambah 10-30 hari setelah penaburan, dan siap disapih
setelah biji terangkat dari media dan kulit biji terlepas dari kotiledon. Dengan metode
ini keberhasian berkecam-bah benih mencapai 85%. Semai disapih pada polybag
yang telah diisi media tanah + pupukkandang + pasir dengan perbandingan 1:1:1.
Jumlah bibit hingga berumur 7 bulan di persemaian adalah sebanyak 700 bibit.
Perlakuan bibit eboni asal cabutan pada polybag dengan media
tanah+pasir+pupuk kandang (1:1:1). Polybag-polybag tersebut kemudian diletakkan
pada bedeng semai dengan sungkup 28nvasiv dan dinaungi dengan paranet 80%.
Pertumbuhan bibit eboni tergolong lambat, memerlukan waktu yang cukup lama
untuk mencapai ukuran siap tanaman. Daya hidup bibit asal cabutan dari Sulawesi
Tengah lebih baik daripada cabutan asal Sulawesi Selatan (94% bibit asal Sulawesi
Tengah hidup sedangkan cabutan asal Sulawesi Selatan hanya sebesar 50%). Dalam
hal ini diduga, umur bibit dapat berpengaruh terhadap daya hidup. Hingga umur 7
bulan di persemaian, jumlah bibit yang masih hidup adalah sebanyak 1.132 bibit dari
populasi Sulawesi Tengah dan 350 bibit dari populasi Sulawesi Selatan.
Page 44
Sintesis 2010-2014 | 29
Kesimpulan:
1. Terbangunnya plot konservasi eks-situ ulin (Eusideroxylon zwageri
Teijsm.&Binn.) seluas 3 ha di Bondowoso, Jawa Timur (2004). Hasil evaluasi
pertumbuhan tanaman ulin tahun tanam 2004, 2006 dan 2008 menunjukkan
bahwa terjadi penurunan persentase hidup seiring dengan bertambahnya umur
tanaman. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya vegetasi penaung yang
rapat. Sedangkan hasil karakterisasi terhadap morfologi daun tanaman ulin tahun
tanam 2004 menunjukkan indikasi adanya variasi yang mengarah pada perbedaan
varietas yaitu varietas kapur, daging, sirap dan tanduk.
2. Koleksi materi genetik eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Sulawesi Tengah
telah dilakukan di TBT Sausu, Kabupaten Parigi Moutong dengan mengumpulkan
anakan(wildlings) sebanyak 1.200 anakan yang berasal dari 30 pohon induk dan
1.000 butir buah eboni yang berasal dari 4 pohon induk. Sedangkan keleksi materi
genetik di Sulawesi Selatan telah dilakukan di TBT Coppo, Kabupaten Barru dan
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Karena pada tahun 2010 dan 2011
tidak terjadi pembungaan dan pembuahan di kedua daerah tersebut, anakan yang
berhasil dikoleksi adalah sebanyak 700 anakan dari hasil pembuahan 2-3 tahun
sebelumnya yang berasal dari 20 pohon induk. Jumlah bibit yang masih hidup
hingga umur 7 bulan di persemaian sebanyak 1.132 bibit dari populasi Sulawesi
Tengah dan 350 bibit dari populasi Sulawesi Selatan.
d. Potensi Jenis Pohon Potential Sebagai Bahan Baku Obat Anti Kolesterol,
Diabetes dan Kanker.
d.1. Informasi Bahan Baku Obat Anti Diabetes, Anti Kolesterol dan Anti
Kanker yang Diperoleh dari Tumbuhan Hutan.
Kegiatan penelitian dimulai pada tahun 2010 dengan melakukan kajian
etnobotani di beberapa lokasi hutan cagar alam di pulau Jawa untuk melihat
bagaimana pemanfaatan jenis tumbuhan oleh masyara-kat terutama untuk bahan
baku obat diabetes, kolesterol dan kanker. Terdapat empat jenis pohon hutan secara
tradisional dimanfaatkan sebagai obat kolesterol dan obat diabetes oleh masyarakat
di sekitar kawasan hutan Cagar Alam Pagerwunung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten
Kendal, Jawa Tengah, danCagar Alam Yanlapa, Jasinga, Jawa Barat. Dua jenis
sebagai obat anti kolesterol yaitu Dialium indum L. (ranji) dan Bouea macrophylla
Blume (gandaria). Dua jenis untuk obat diabetes adalah Alstonia scholaris R. Br.
(pulai atau lame) dan Lagerstroemia speciosa Auct. (bungur).
Pada tahun selanjutnya yakni tahun 2011, ditemukan tujuh jenis pohon hutan
oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Cagar Alam Sempu, Malang, Jawa Timur
secara tradisional dimanfaatkan untuk pengobatan diabetes adalah: Pterospermum
javanicum Jungh. (bayur), Artocarpus elasticus Reinw. (bendo), Lagerstroemia
speciosa Pers. (bungur), Heritiera littoralis Dryand. (dungun), Bischoffia javanica
Blume (gintungan), Litsea cubeba Pers. (huru) dan Antiaris toxicaria Lesch (ipuh).
Page 45
Sintesis 2010-2014 | 30
Kondisi Tempat Tumbuh Jenis Shorea platyclados Slooten Ex Foxw., Shorea
ovalis (Korth.) Blume, Shorea balangeran (Korth.) Burck, Shorea teysmanniana
Dyer. ex Brandis, Shorea leprosula Miq. dan Shorea bracteolata Dyer. Beserta
Kandungan Senyawa Metabolik Sekunder Potensial Sebagai Bahan Obat
Kanker.
Enam jenis Shorea tumbuh alami di kawasan hutan Sumatera, yaitu : Shorea
platyclados Slooten Ex Foxw., Shorea ovalis (Korth.) Blume, Shorea balangeran
(Korth.) Burck, Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis, Shorea leprosula Miq. dan
Shorea bracteolata Dyer. Dua jenis diantaranya juga tumbuh di Kepulauan Bangka
Belitung, S. ovalis dan S. balangeran. Jenis S. ovalis dan S. platyclados diketahui
dapat ditanam di luar habitatnya. Kedua jenis Shorea yang ditanam di luar habitatnya
berdasarkan hasil analisis sampel diketahui memiliki kandungan senyawa metabolik
sekunder lebih lengkap. Kondisi tempat tumbuh dan kandungan senyawa metabolik
sekunder keenam jenis Shorea tersebut adalah sebagai berikut:
Shorea platyclados
Shorea platyclados (meranti tenam, meranti bukit) di Hutan Lindung Bukit
Daun, Bengkulu tumbuh pada ketinggian tempat 400 – 600 m dpl. jenis tanah
Podsolik Merah Kuning, pH tanah 5,9 – 6,8 dan tipe iklim A. Jenis ini ditanam dan
dapat tumbuh di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi pada ketinggian tempat
650 – 673 m dpl., jenis tanah Latosol, pH tanah 6,3 – 6,8 dan tipe iklim B.
Shorea ovalis
Shorea ovalis (meranti kujung, meranti merah) di Hutan Produksi Pemerihan,
Lampung Selatan tumbuh pada ketinggian tempat 253-297 m dpl., jenis tanah
Podsolik Merah Kuning, pH tanah 5,4 – 6,6 dan tipe iklim A. Shorea ovalis yang
ditanam di Hutan Penelitian Cigerendeng, Ciamis tumbuh pada ketinggian tempat
97-119 m dpl., jenis tanah Alluvial Coklat, pH tanah 6,2 – 6,6 dan tipe iklim B.
Shorea balangeran
Shorea balangeran (belangir, belangiran) di hutan Bangka Belitung tumbuh
pada daerah dataran rendah lahan kering atau kadang tergenang air pasang surut,
tumbuh pada ketinggian 9 – 55 m dpl., tipe iklim B. Jenis tanah Asosiasi Alluvial
dan Regusol berwarna kelabu muda kehitaman, berasal dari endapan liat, debu dan
pasir.
Shorea teysmanniana
Shorea teysmanniana (meranti bunga, meranti batu) tumbuh sangat jarang di
hutan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Jenis ini tumbuh pada dataran rendah
lahan kering dan lahan basah pasang surut, ketinggian 10 – 40 m dpl., dengan tipe
iklim A. Jenis tanah Podsolik merah kuning pada daerah lahan kering, dan jenis
Alluvial serta Regusol berwarna hitam keabu-abuan untuk lahan basah.
Page 46
Sintesis 2010-2014 | 31
Shorea leprosula
Shorea leprosula (meranti babi) tumbuh di hutan Way Kanan, Taman Nasional
Way Kambas, Lampung. Jenis ini tumbuh mengelompok jarang pada daerah dataran
rendah dengan ketinggian hingga 60 m dpl., tipe iklim A. Jenis tanah podsolik coklat
kuning, podsolik merah kuning, aluvial hidromorf dan gley humus lacustrin.
Shorea bracteolata
Shorea bracteolata (meranti putih) tumbuh di hutan HL Boven Lais Bengkulu
Utara. Tumbuh mengelompok jarang pada tebing bukit dengan ketinggian 340 - 460
m dpl., tipe iklim A. Jenis tanah Podsolik Merah Kuning warna kehitaman, dengan
tekstur liat dan sedikit berpasir.
Uji fitokimia kulit batang dari keenam jenis Shorea tersebut mengandung tujuh
jenis senyawa metabolik sekunder yaitu: alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid,
triterfenoid dan glikosida. Uji fitokimia ranting dan daun S. ovalis, S. teysmanniana
asal hutan Musi Banyuasin dan S. bracteolata HL Boven Lais Bengkulu Utara
bracteolata mengandung 8 (delapan) jenis senyawa metabolit sekunder yaitu
alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida dan steroid.
Kandungan senyawa fitokimia ini disinyalir merupakan senyawa aktif sebagai
antioksidan dan anti kanker.
Kulit batang S. platyclados dan Shorea ovalis asal Hutan Penelitian memiliki
kandungan fitokimia lebih lengkap dibanding asal hutan alam. Kondisi tempat
tumbuh diprediksi dapat berpengaruh terhadap kandungan fitokimianya.
Dapat disimpulkan bahwa :
1. Terdapat dua jenis pohon hutan yang berpotensi sebagai bahan obat kolesterol
yakni Dialium indum L. (ranji) danBouea macrophylla Blume (gandaria). Untuk
pengobatan diabetes dapat digunakan delapan jenis pohon hutan sebagai
obatnya:Pterospermum javanicum Jungh. (bayur), Artocarpus elasticus Reinw.
(bendo), Lagestromia speciosa Pers. (bungur), Heritiera littoralis Dryand.
(dungun), Bischoffia javanica Blume (gintungan), Litsea cubeba Pers. (huru),
Antiaris toxicaria Lesch (ipuh) dan Alstonia scholaris R. Br. (pulai atau lame).
2. Terdapat enam jenis Shorea yakni : Shorea platyclados Slooten ex Foxw. (meranti
tenam, meranti bukit), Shorea ovalis (Korth.) Blume (meranti kujung, meranti
merah), Shorea balangeran (Korth.) Burck (belangir, belangiran), Shorea
teysmanniana Dyer. ex Brandis (meranti bunga, meranti batu), Shorea leprosula
Miq. (meranti babi) dan Shorea bracteolata Dyer.(meranti putih) diketahui
mengandung tujuh jenis senyawa metabolik sekunder terdiri dari: alkaloid,
saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida.
3. Daun dan ranting Shorea ovalis (Korth.) Blume (meranti kujung, meranti merah),
Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis meranti bunga, meranti batu) dan Shorea
bracteolata Dyer. (meranti putih) diketahui mengandung 8 (delapan) jenis
Page 47
Sintesis 2010-2014 | 32
senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid,
triterfenoid dan glikosida dan steroid.
4. Turunan dari senyawa-senyawa metabolik sekunder Shorea disinyalir berperan
aktif sebagai antikanker.
5. Shorea platyclados Slooten ex Foxw. dan Shorea ovalis (Korth.) Blume dapat
tumbuh di luar habitatnya dan memiliki golongan senyawa metabolik sekunder
yang sama. Kedua jenis Shorea yang ditanam di luar habitatnya memiliki
kandungan senyawa metabolik sekunder yang lebih lengkap.
6. Jenis Shorea platyclados Slooten ex Foxw. dan Shorea ovalis (Korth.) Blume
dapat diprioritaskan untuk dibudidayakan dalam rangka pemanfaatan bahan baku
obat kanker.
2. FAUNA
a. Informasi Biofisik Habitat, Dinamika Populasi dan Keragaman Genetik
Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah.
a.1. Metoda Pendugaan Populasi Jenis-jenis Burung Paruh Bengkok.
Di Indonesia terdapat beberapa jenis burung paruh bengkok yang diantaranya
sudah masuk dalam Appendix I CITES seperti Cacatua mollucensis (kakatua
maluku), C. sulphurea (kakatua jambul kuning) dan Eos histrio (nuri talaud).
Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP 7 tahun 1999), jenis-jenis burung paruh
bengkok yang dilindungi antara lain: kakatua koki (C. galerita), kakatua jambul
kuning (C. sulphurea), kakatua tanimbar (C. coffini), kakatua maluku (C.
mollucensis) dan beberapa jenis nuri dan betet. Namun demikian jenis-jenis tersebut
masih saja diperdagangkan dan pengambilan dilakukan masih dari habitat alaminya.
Saat ini populasi di alam terancam mengalami penurunan akibat perdagangan liar
tersebut. Kuota pemanenan di alam kadangkala terkendala oleh akurasi data
populasi di alam. Untuk itu dicari teknik pendugaan yang tepat dan efisien dalam
menentukan ukuran populasi alami dan laju reproduksinya.
Hasil penelitian yang dilakukan di areal hutan KHDTK Malili, Kabupaten Luwu
Timur, Makassar, terhadap dua jenis burung paruh bengkok endemik yakni perkici
dora (Trichoglossus ornatus) dan serindit paruh merah (Loriculus exilis). Populasi
perkici dora yang terbesar diikuti oleh betet kelapa punggung hijau dan serindit
Sulawesi. Metode sirkular terbukti merupakan metoda inventarisasi burung yang
memiliki tingkat akurasi paling tinggi dibandingkan dengan metoda jalur dan
transek. Sedangkan yang murah dan efisien untuk inventarisasi burung paruh
bengkok adalah metode transek garis. Kombinasi kedua metoda ini merupakan yang
terbaik dan disarankan untuk menduga populasi burung paruh bengkok di habitat
alaminya.
Page 48
Sintesis 2010-2014 | 33
a.2. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)
pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara
Sebaran dan Pola Sebaran
Populasi siamang di kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok(CADS) dan sekitarnya
tersebar pada beberapa lokasi. Dari semua tipe penutupan lahan yang ada di CADS,
siamang hanya dijumpai pada hutan lahan kering primer sebanyak 81,8%, serta pada
hutan lahan kering sekunder dan pinggiran sungai di dekat pertanian lahan kering
sebanyak 9,1%. Keberadaan siamang di pinggiran sungai dekat pertanian lahan
kering tersebut diduga berkaitan dengan adanya pohon pakan di sekitar areal tersebut
walaupun dalam jumlah yang terbatas.
Berdasarkan kelas ketinggian, sebagian besar wilayah CADS termasuk dalam
kelas ketinggian 900-1200 m dpl, dan sebagian kecil termasuk kelas ketinggian 600-
900 m dpl. Sebagai pembanding, hasil pengamatan di sekitar CADS yang termasuk
kelas ketinggian >1200 m dpl menunjukkan adanya keberadaan siamang pada
ketinggian di atas 1200 m dpl (Gambar 13). Hasil analisis pola sebaran spasial
menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS tersebar menurut pola berkelompok
atau agregat.
Kepadatan individu dan kelompok, dan struktur umur
Jumlah populasi siamang yang dijumpai di beberapa lokasi CADS dan daerah
penyangganya adalah 24 individu yang tersebar dalam 7 kelompok. Lokasi dengan
jumlah siamang terbanyak adalah Rambasi-hasur yaitu 12 individu yang terdiri dari 4
kelompok dan 1 individu soliter. Berdasarkan survey lokasi-lokasi pengamatan
dengan intensitas sampling sebesar ± 2,7%, maka nilai dugaan kepadatan individu
adalah sebesar 9,91±3,40 individu/km2. Nilai koefisien variasi (CV) untuk nilai
dugaan kepadatan individu tersebut adalah 0,22. Dengan luas CADS 69,7 km2, maka
diperkirakan terdapat 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya.
Kepadatan kelompok siamang adalah sebesar 3,71 kelompok/km2. Satu
kelompok berukuran 3,43 individu/kelompok. Selain berkelom-pok, selama
pengamatan di CADS juga dijumpai individu tunggal (4 kali dari 11 kali
perjumpaan). Berdasarkan fase pertumbuhan siamang, pada pengamatan di CADS
terdapat empat kategori umur yaitu bayi, anak, remaja, dan dewasa. Proporsi tiap
kategori dari hasil penelitian ini adalah 4,17% bayi, 12,5% anak, 29,17% remaja dan
54,17% dewasa.
Distribusi umur menunjukkan bahwa kelompok remaja merupakan kategori
umur dengan jumlah terbanyak dibandingkan kategori lainnya. Bayi merupakan
kategori dengan jumlah paling sedikit. Kelompok yang hanya terdiri dari pasangan
jantan dan betina adalah 71,4%, sedangkan sisanya sebesar 28,6% terdiri dari betina
dewasa dengan remaja, anak, atau bayi. Berdasarkan komposisi kelompok, terlihat
bahwa tingkat keberhasilan menghasilkan keturunan tergolong rendah.
Page 49
Sintesis 2010-2014 | 34
Hasil analisis populasi menunjukkan struktur umur sedang terganggu. Jika
kondisi ini terus berlangsung, populasi akan terus menurun, dan dapat terjadi
kepunahan. Hal ini diantaranya terlihat dari minimnya klas umur bayi dan anak
(masing-masing 4,17% dan 12,5%), cukup besarnya individu yang belum memiliki
pasangan (36%), besarnya proporsi pasangan yg tidak memiliki keturunan (71,4%),
rendahnya potensi reproduksi (R0<1) dan indikator laju pertumbuhan negatif (rm= -
0,04) dan kurang dari 1 ( λ=0,965).
Walaupun kepadatan siamang relatif tidak terlalu rendah, namun struktur
populasi kurang mendukung untuk perkembangan populasi di masa yang akan
datang. Populasi siamang di CADS terindikasi merupakan populasi yang menurun
(regressive population), dan potensi reproduksinya tidak mendukung untuk
kelangsungan generasi dalam jangka waktu yang lama.
Karakteristik Habitat
Kawasan CA. Sipirok merupakan bagian dari barisan Hutan Ba-tang Toru yang
merupakan hutan hujan tropika yang mewakili tipe hutan sub Montana dan Montana,
dengan ketinggian tempat antara 600-1.200 meter dari permukaan laut. Dalam
penelitian ini, habitat siamang di Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS) dan sekitarnya
dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu hutan primer dan hutan sekunder.
Penutupan lahan lainnya yaitu pertanian lahan kering, kebun campur, dan semak,
tidak dimasukkan dalam penelitian karena bukan merupakan bagian dari habitat
alamiah siamang. Penutupan lahan di CADS secara rinci disajikan pada Gambar 13.
Gambar 12. Peta sebaran populasi siamang berdasarkan ketinggian di CADS
dan wilayah sekitarnya.
Page 50
Sintesis 2010-2014 | 35
Gambar 13. Penutupan lahan di kawasan CADS dsk. (Sumber: Kwatrina et al. (2010)
Struktur dan Komposisi Vegetasi
Untuk mengetahui struktur dan vegetasi pada habitat siamang, telah dilakukan
analisis vegetasi yang mewakili tipe habitat dan ketinggian. Berdasarkan tipe habitat
dan ketinggian tempat, maka habitat siamang dalam penelitian ini dikategorikan
menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600-900 m dpl, hutan primer
pada ketinggian 900-1.200 m dpl, hutan sekunder pada ketinggian 600-900 m dpl,
dan hutan sekunder pada ketinggian 900-1.200 m dpl. Penga-matan dilakukan pada
delapan lokasi yang tersebar di wilayah CADS dan sekitarnya. Secara lengkap hasil
analisis disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi
Tingkat
vegetasi
Jumlah
jenis
tumbuhan
(ind.)
Jenis dominan
Nama lokal INP
(%) Kerapatan (ind./ha)
Semai 87 Haundolok Siala Pakis panjang
15,80 9,77 8,95
4.000 2.562,5 2.187,5
Pancang 84 Haundolok Hoteng Api-api
23,50 11,40 8,25
650 240 210
Tiang 56 Haundolok Randu
kambing Hoteng
36,13 31,33 26,08
50 45
42,05
Pohon 78 Hoteng Haundolok Hoteng
maranak
28,94 28,58 16,18
35,6 30,6 15
PETA PENUTUPAN LAHAN DI
CAGAR ALAM DOLOK SIPIROK
Page 51
Sintesis 2010-2014 | 36
Dari keempat tingkat vegetasi yang diamati, jumlah jenis paling tinggi
ditemukan pada tingkat semai sebanyak 87 jenis, sedangkan terendah pada tingkat
tiang sebanyak 56 jenis. Jenis yang mendominasi adalah Haundolok yang memiliki
INP dan kerapatan tertinggi pada tingkat semai, pancang dan tiang. Pada tingkat
pohon didominasi oleh Hoteng. Hoteng merupakan salah satu jenis tumbuhan pakan
Siamang.
Keanekaragaman, Kelimpahan, dan Kemerataan Jenis Vegetasi
Hasil analisis vegetasi disajikan dalam bentuk indek keanekaragaman, indek
kelimpahan dan indeks kemerataan jenis vegetasi. Hasil selengkapnya disajikan pada
Gambar 14.
Keterangan: H’ = indeks keanekargaman jenis Shannon, D = indekskekayaan
jenis Margalef.
Gambar 14. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya.
Jika dibandingkan indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkat vegetasi,
maka nilai tertinggi terdapat pada tingkat semai dengan nilai 4. Selanjutnya adalah
tingkat pancang, pohon, dan teren-dah pada tingkat tiang. Indeks Margalef dan N
(indeks kelimpahan jenis)sebagai salah satu ukuran keanekaragaman jenis yang
menunjukkan kekayaan jenis juga menunjukkan hasil yang sama. Hal ini
menunjukkan bahwa vegetasi tingkat tiang di CADS dan sekitarnya memiliki ukuran
keanekaragaman jenis terendah dibandingkan tingkat pertumbuhan lainnya.
Jenis Dan Pola Sebaran Jenis Tumbuhan Pakan
Salah satu komponen penting dalam habitat siamang adalah pakan. Siamang
merupakan satwa pemakan daun (foliovorous) dan buah (frugivorous).
Tabel 7. Jenis tumbuhan pakan Siamang di CA Dolok Sipirok dan sekitarnya.
No Nama Lokal Nama Ilmiah Suku
Bagian yang
dimakan
Daun Buah Kulit
1 Andarasi Ficus congesta Roxb. Moraceae √
-
2 Api-api Gordonia excelsaBlume Theaceae
√ -
0
2
4
6
8
10
12
14
Semai Pancang Tiang Pohon
H'
D
Page 52
Sintesis 2010-2014 | 37
No Nama Lokal Nama Ilmiah Suku
Bagian yang
dimakan
Daun Buah Kulit
3 Bayur
Pterospermum
blumeanum Korth. Sterculiaceae √
-
4 Dapdap - - √
-
5 Handis Garcinia celebica L. Guttiferae
√ -
6 Hatopul Artocarpus rigidus
Blume
Moraceae √ -
7 Haundolok
jambu
Eugenia grandis Wight. Myrtaceae √ √ -
8 Hayu horsik Ilex pleiobrachiata Loes Aquifaceae √ -
9 Hole misang Ficus sp. Moraceae √ -
10 Hoteng Quercus gemelliflora
Blume
Fagaceae √ -
11 Hoteng maranak - - √ -
12 Hoteng barangan Castanopsis inermis
Jack.
Fagaceae √ -
13 Junjung buhit Actinodaphne glabra
Blume
Lauraceae √ -
14 Karet Hevea
brasiliensis Muell. Arg
Euphorbiaceae √ -
15 Lacat bodat Shorea hopeifolia Sym. Dipterocarpaceae √ -
16 Mayang Palaquium obovatum
Engl., var.
Sapotaceae √ -
17 Mayang durian Palaquium obovatum
Engl., var.
Sapotaceae √ -
18 Modang kuning Litsea odorifera
Valeton
Lauraceae √ -
19 Pege-pege - - √ -
20 Rambutan hutan Cryptocarya nitens
(Blume) Koord.&Val.
Lauraceae √ -
21 Sampinur tali Podocarpus imbricatus
Bl. Var
Podocarpaceae √ -
22 Simargalunggung - - √ -
23 Songgak Aquilaria malaccensis
Lamk.
Thymelaeaceae √ -
24 Takki gatal - - √ -
25 Tambiski tombak Eurea
acuminataA.P.DC.
Theaceae √ √ -
26 Torop Artocarpus elasticus
Reinw.
Moraceae √ -
27 Tupe - - √ -
Page 53
Sintesis 2010-2014 | 38
Tabel 8. Hasil analisis pemilihan tipe habitat dengan menggunakan Indeks Neu
Lokasi
Klasifikasi
tipe habitat
Luas Proporsi Jumlah Indeks Indeks
(ha) Luas Plot Seleksi Standar SE
A π m wi Bi
Lumban lobu
dan Poldung
Hutan Primer
600 – 900 m dpl. 10 0,250 10 0,333 0,083 0,160
Aek Latong
dan Simander
Hutan Primer >
900 -1.200 m
dpl. 10 0,250 10 1,000 0,250 0,250
Hutain baru
dan
sitandiang
Hutan Sekunder
600-900 m dpl. 10 0,250 10 2,000 0,500 0,289
Rambas I dan
Rambas II
Hutan Sekunder
>900-1.200 m
dpl. 10 0,250 10 0,667 0,167 0,215
Total 40 1,000 40 4,000 1,000 0,913
a.3. Kajian Keanekaragaman Genetik Banteng di Pulau Jawa
Morfologi Atau Organ Tubuh.
Hasil penelitian di kebun binatang Surabaya dan Ragunan menunjukkan adanya
perubahan yang merupakan penyelewengan fisik maupun biologis, yaitu:
Warna kulit badan banteng jantan di KBS telah mengalami perubahan di mana
terlihat warna badan keabu-abuan dan timbul warna coklat di bagian belakang
(Gambar 15). Di KBR juga terjadi perubahan warna kulit banteng jantan menjadi
coklat (Gambar 15).
Gambar 15.Banteng jantan di KBS (A), dan di KBR (B).
Ukuran dan bentuk tanduk pada banteng betina di KBS dan KBR mengecil
letaknya hampir menempel pada kepala (Gambar 16), bila dibandingkan dengan
banteng betina di TSI II dan TSI III (Gambar 16).
A
A
B
Page 54
Sintesis 2010-2014 | 39
Gambar 16. Banteng betina di KBS (A), dan di TSI II (B).
Benjolan pada kepala dan gelambir banteng jantan di KBS terlihat sangat
menonjol bila dibandingkan dengan banteng jantan di TSI II dan TSI III.
Di kawasan konservasi in-situ, banteng di TNUK dan TNB, ben-tuk tanduk lebih
lebar, panjang dan besar; panjang kaki lebih pendek, badan lebih gempal, sehingga
banteng di kedua taman nasional ini merupakan banteng yang lebih banyak
beraktifitas di dataran rendah, sedangkan banteng di TNMB dan TNA, bentuk tanduk
banteng lebih kecil, pendek; kaki lebih panjang, badan lebih ramping, dan badan
bagian belakang lebih tinggi. Hal ini disebabkan banteng di kedua taman nasional ini
bergerak di dataran rendah dan perbukitan.
Gambar 17. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional
A
A
B
A
Page 55
Sintesis 2010-2014 | 40
Endoparasit
Tabel 9. Jenis endoparasit banteng pada lembaga konservasi eks-situ dan kawasan
konservasi in-situ.
No Lokasi Sedimentasi-Filtrasi Jenis endoparasit
1. KB Surabaya (+)telur trematoda Paramphistomum spp.
2. KB Ragunan (+)telur nematoda Haemonchus spp.
Oeshophagustomum spp.
3. TSI II, Prigen (+) telur trematoda Paramphistomum spp.
4. TSI III, Denpasar (+) telur nematoda Moniezia spp.
3. TN Alas Purwo (+) telur trematoda Paramphistomum spp.
5. TN Baluran (+) telur trematoda Paramphistomum spp.
6. TN Ujung Kuloni* (+) telur trematoda Fasciola spp.
Paramphistomum spp.
Kecacingan trematoides tersebut merupakan penyakit parasitik yang
privalensinya cukup tinggi, namun tidak disertai gejala klinis yang jelas. Sedangkan
dampak yang ditimbulkan dapat menurunkan daya produksi dan reproduksi bahkan
kematian. Di lembaga konservasi kebun binatang dan TSI, banteng diberi obat cacing
secara rutin tiga bulan sekali, tetapi satwa masih terinfeksi telur cacing melalui
hewan perantara (hospes) siput atau langsung dari air yang diminum.
Keragaman Genetik Banteng
Hasil multiple alignment 657 urutan basa fragmen D-loop DNA mitokondria
dari banteng dari KB Surabaya, KB Ragunan, TSI II (Prigen), TN Meru Betiri, TN
Baluran, Sapi Bali, TSI III (Bali) diketahui terdiri dari 6 haplotipe. Haplotipe 1 (41
individu) yaitu: KBS-01, KBS-02, KBS-03, KBS-04, KBS-05, KBS-06, KBS-07,
KBS-08, KBS-09, KBS-10, KBS-11, KBS-12, RAG-01, RAG-02, RAG-03, RAG-
04, RAG-05, RAG-06, RAG-07, RAG-08, RAG-09, RAG-10, RAG-11, RAG-12,
RAG-13, RAG-14, RAG-15, SB-01, SB-05, SB-06, SB-07, SB-09, SB-10, TSI-05,
TSI-07, TSI-08, Timis, Nila, TNMB-02, TNMB-03, dan TNMB-04; haplotipe 2
(satu individu), yaitu: SB-04; haplotipe 3 (8 individu), yaitu: TSI-01, TSI-02, TSI-03,
TSI-04, TSI-06, SB-02, SB-08, dan Nanik; haplotipe 4 (satu individu), yaitu :
TNMB-01; haplotipe 5 (satu individu), yaitu : SB-03; dan haplotipe 6 (satu individu),
yaitu: SB-11.
Diversitas haplotipe populasi banteng di KB Surabaya, KB Ragunan, TSI II dan
TSI III, TN. Baluran, TN. Meru Betiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan
diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218±0,00095. Pada uji Tajima (Tajima test)
menunjukkan nilai D= -0,50134 dan tidak berbeda nyata P>0,10 diantara individu
banteng di semua populasi. Demikian pula pada uji Fu dan Li menunjukkan nilai D =
-0,86873 dan tidak berbeda nyata P>10 diantara individu pada semua populasi
banteng. Sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang menunjukkan nilai positif yang
berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding).
Page 56
Sintesis 2010-2014 | 41
Jarak genetik di dalam populasi KB. Surabaya (0), KB. Ragunan (0), TN Meru
Betiri (0,001), TSI II (0,003), Sapi Bali (0,004), dan TSI III (0,004). Jarak genetik
antar populasi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3, sedangkan rata-rata jarak
genetik antar populasi adalah 0,002. Jarak genetik antar individu banteng di KB.
Surabaya, KB. Ragunan, TN. Meru Betiri, TSI II (Prigen), Sapi Bali, dan TSI III
(Bali) berkisar antara 0,000 – 0,011 (Tabel 10).
Tabel 10. Jarak genetik antar populasi di KBS, KBR, TNB, TNMB, TSI II, Sapi Bali
dan TSI III.
No. Lokasi 1 2 3 4 5 6
1 KB Surabaya
2 KB Ragunan 0,000
3 TN Meru Betiri 0,000 0,000 0,001
4 TSI II, Prigen 0,004 0,004 0,004 0,004
5 Sapi Bali 0,003 0,003 0,003 0,003 0,004
6 TSI III, Bali 0,002 0,002 0,002 0,002 0,003 0,003
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa di lembaga konservasi eks-situ seperti
KB. Surabaya dan KB. Ragunan, morfo-metrik banteng telah mengalami perubahan
berupa ukuran bagian badan seperti bentuk dan ukuran tanduk, warna kulit, dan
kemampuan reproduksi, hal ini disebabkan terjadinya inbreeding dilihat dari jarak
genetik di dalam populasi 0. Sedangkan di kawasan konservasi in-situ TN. Meru
Betiri, TN. Baluran, TN. Ujung Kulon dan TN. Alas Purwo, morfometrik banteng
paling besar adalah di TN. Baluran dilihat dari ukuran telapak kaki dan jarak kaki.
Pengelompokan banteng di kawasan konservasi in-situ berda-sarkan habitat,
bentuk tanduk dan bentuk badan ada dua golongan yaitu banteng TN. Ujung Kulon
dan TN. Baluran yang lebih banyak beraktifitas di dataran rendah dan memiliki
bentuk badan lebih pendek dan gempal, tanduk lebih besar dan panjang serta kaki
lebih pendek dan besar, sedangkan banteng TN. Meru Betiri dan TN. Alas Purwo
beraktifitas di dataran rendah dan dataran tinggi memiliki bentuk dan ukuran badan
lebih panjang dan ramping. Tanduk lebih kecil dan pendek serta kaki yang lebih
panjang dan ramping.
Diversitas haplotipe populasi banteng di KBS, KBR, TSI II dan III (Prigen dan
Bali), TN. Baluran, TN. Meru Betiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan diversitas
nukleotida (Pi) = 0,00218±0,00095, sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang
menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding).
a.4. Teknik Pengambilan Materi Genetik
Teknik pengambilan materi genetik dari feses yang dicobakan ada 3 macam,
yaitu dengan menggunakan cotton buds steril, menggunakan kertas tissue dan
diambil secara langsung pada feses yang masih basah. Preservasi sampel di lapangan
yang dicobakan di lapangan ada 3 macam, yaitu : tanpa perendaman, direndam
Page 57
Sintesis 2010-2014 | 42
dalam buffer EDTA dan direndam ethanol. Pada masing-masing perlakuan, sampel
disimpan pada suhu 4ºC.
Gambar 18. Materi genetik yang dikoleksi
Hasil koleksi sampel materi genetik DNA diekstraksi dengan menggunakan kit
ekstraksi dari Wizard Genomic PROMEGA dan Ultra Clean Fecal DNA Kit.
Berdasar hasil kuantifikasi DNA, didapatkan konsentrasi DNA pada absorbansi
260/280 yang bervariasi, yaitu antara 2,4 – 309 ng/ml, dengan rasio 1,6 – 5,3. Hasil
PCR crude DNA feses menggunakan primer D-Loop Mitokondria CDR dan YDF
belum menampakkan adanya DNA yang teramplifikasi. Sementara itu, hasil PCR
dengan menggunakan metode dan primer yang sama untuk sampel darah DNA sudah
berhasil diamplifikasi.
Gambar 19. Hasil PCR menggunakan DNA dari darah
Variasi konsentrasi DNA dari sampel feses diduga berkaitan dengan teknik
pengambilan feses. Nilai konsentrasi yang tinggi diduga berkaitan dengan kondisi
feses yang dikoleksi untuk sampel, yaitu masih banyak mengandung lendir.
Sebaliknya, konsentrasi yang rendah didapatkan dari feses yang tidak berlendir.
Sementara itu, belum teramplifikasinya DNA pada proses PCR sesuai dengan
Frantzen et al. (1998) yang menyatakan bahwa amplifikasi DNA dari sampel feses
memiliki peluang yang rendah dibandingkan sampel darah atau pun jaringan. Hal ini
karena pada sampel feses lebih banyak dijumpai inbibitor PCR yang masih perlu
Page 58
Sintesis 2010-2014 | 43
dianalisis lebih lanjut sehingga mampu dieliminasi. Berkaitan dengan hal tersebut di
atas, upaya untuk terus mengoptimasi ekstraksi DNA masih diperlukan sehingga
memiliki peluang yang besar sampai dengan amplifikasi DNA.
Materi genetik yang telah dikoleksi dari dua Taman Nasional (Alas Purwo dan
Baluran) adalah feses dan tulang.
Metode ekstraksi dari kit Wizard Genomic PROMEGA mampu mengamplifikasi
DNA darah.
Metode ekstraksi dari kit Wizard Genomic PROMEGA dan Ultra Clean Fecal
DNA Kit belum mampu mengamplifikasi DNA dari feses banteng.
a.5. Kajian Keanekaragaman Genetika Trenggiling
Keragaman genetik
Sebanyak 222 sekuen (111 sekuen forward dan 111 sekuen reverse) dan satu
sekuen Anis sp.( GU206864.1 ), serta outgroup dari Manis p.pendactyla
(GQ232079.1) ) digunakan dalam penelitian ini. Panjang sekuen fragmen D-loop
dari DNA mitokondria trenggiling yang digunakan dalam penelitian sepanjang 1133
bp. Distribusi situs polimorfik sekuen D-loop DNA mitokondria tertinggi
menyatakan bahwa variabilitas tinggi pada trenggiling terdapat pada urutan
nukleotida 701-800, yaitu 26 situs polimorfik (2,30%).
Distribusi haplotipe 84, dimana frekuensi haplotipe tertinggi pada populasi
trenggiling (Manis javanica) terdapat pada H-66 (9,52%) dengan distribusi haplotipe
dari spesimen yang disita di Merak (Banten), H-19 (7,14%) dengan distribusi
haplotipe di Sumatera Utara dan di Penangkaran Dramaga, dan H-77 (4,76%) dengan
distribusi di Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), sedangkan frekuensi haplotipe
lainnya berkisar antara 1,8% dan 2,38%.
Hasil analisa filogeni menunjukkan pada populasi trenggiling di Sumatera Utara,
Palembang, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Sukabumi,
Banten, Penangkaran Dramaga, penyitaan di Pangkalan Bun, penyitaan di Serang,
penyitaan di Jakarta, dan penyitaan di Surabaya terdapat 22 clade/haplogroup, yaitu
clade I (9,52%), II (7,14%), III (5,95%), IV (3,57%), V (4,76%), VI (9,52%), VII
(7,14%), VIII (2,38%), IX (8,33%), X (4,76%), XI (15,48%), XII (2,38), XIII
(5,95%), XIV (1,19%), XV (11,90%), XVI (1,19%), XVII (5,95%), XVIII (1,19%),
IXX (1,19%), XX (1,19%), XXI (7,14%), dan clade XXII (13,09%). Dari hasil
tersebut menunjukkan frekuensi clade tertinggi adalah clade XI (15,48%) dan yang
terendah clade XIV, XVI, XVIII, IXX, XVI,XVIII, IXX, XX (1,19%). Clade XI
yang memiliki nilai tertinggi (15,48%), demikian juga dengan clade I (9,52%) dan
clade VI (9,52%) berasal dari Sumatera Utara. Pada clade IX (8,33%) yang
merupakan kumpulan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang Ragunan,
Banten dan Sukabumi terdapat satu trenggiling yang berasal dari Sumatera Utara.
Clade XV (11,90%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan yang berasal dari
Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Pelabuhan Merak, Banten. Clade XXII
Page 59
Sintesis 2010-2014 | 44
(13,0%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan dari Tanjung Priok, Jakarta dan
Surabaya. Disamping itu trenggiling sitaan yang ditemukan di Surabaya tersebar
pada clade dari Pangkalan Bun dan Jakarta, sehingga dapat dikatakan bahwa
trenggiling sitaan yang berasal dari Pelabuhan Merak, Banten; Tanjung Priok,
Jakarta dan Surabaya merupakan trenggiling yang memiliki kekerabatan dekat
dengan trenggiling dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah.
Rata-rata jarak genetik antar individu pada semua populasi adalah 0,012, dalam
populasi berkisar antara 0,001-0,010 dan antar populasi 0,002-0,020 (Tabel 11).
Tabel 11. Jarak genetik antar populasi trenggiling (Manis javanica)
Sumatera Utara 0,055
Sukabumi 0,052 0,006
Ragunan 0,054 0,0070,002
Kebun Binatang Surabaya 0,056 0,017 0,016 0,017
Palembang 0,052 0,007 0,005 0,007 0,013
Banten 0,055 0,009 0,003 0,004 0,019 0,008
Penyitaan di Jakarta 0,056 0,019 0,017 0,020 0,007 0,013 0,021
Penyitaan di Surabaya 0,055 0,018 0,016 0,018 0,008 0,013 0,019 0,004
Penyitaan di Merak 0,054 0,009 0,008 0,010 0,014 0,006 0,011 0,014 0,014
Kandang Dramaga 0,053 0,005 0,004 0,005 0,015 0,005 0,006 0,017 0,016
0,008
Jarak populasi trenggiling yang hubungan kekerabatan paling dekat dimiliki
oleh kelompok trenggiling dari Kebun Binatang Ragunan dan Sukabumi, sedangkan
trenggiling yang memiliki hubungan kekerabatan paling jauh adalah trenggiling
sitaan yang berasal dari Tanjung Priok, Jakarta dengan Kebun Binatang Surabaya.
Jarak genetik dalam clade berkisar 0,002-0,15 (rata-rata 0,0035±0,0023) dan
jarak genetik antar clade berkisar antara 0,003-0,021. Jarak clade terdekat adalah
0,003 antar clade VIII dan clade XI adalah trenggiling berasal dari Sumatera Utara
dan trenggiling dari penangkaran di Kandang Darmaga, sedangkan clade paling jauh
berasal dari clade XVIII, Sumatera Utara dengan clade XIII, sitaan Merak yang
diduga dari Kalimantan.
Pohon filogeni trenggiling (Manis javanica) berdasarkan sekuen d-loop DNA
mitokondria menyatakan hubungan kekerabatan masing-masing clade/haplogroup.
Clade I trenggiling sitaan dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dengan
trenggiling sitaan yang berasal dari Merak, dan diduga berasal dari Pulau
Kalimantan, ternyata benar karena hubungan kekerabatannya yang dekat dan dapat
dikelompokkan dalam satu clade. Hal ini didukung oleh nilai boostrap tinggi (92%)
dari trenggiling pada clade XXI, demikian juga dengan trenggiling yang berasal
dari Kebun Binatang Ragunan dengan trenggiling dari Sukabumi dengan nilai
boostrap, 90%.
Page 60
Sintesis 2010-2014 | 45
Morfometrik Trenggiling
Ukuran bagian tubuh trenggiling jantan dan betina yang terdiri dari berat badan,
panjang badan, panjang ekor, panjang kepala, panjang kaki depan, panjang kaki
belakang, telapak kaki depan, telapak kaki belakang, lingkar ekor, lingkar kepala dan
lingkar badan .
Morfometrik dibedakan menurut lokasi asal usul atau lembaga konservasi
tempat ditemukannya trenggiling.Trenggiling yang berasal dari Kalimantan, yaitu
dari Pangkalan Bun memiliki ukuran bagian tubuh yang paling besar, seperti bobot
badan, panjang total dari ujung kepala sampai ujung ekor, panjang ekor, lingkar
dada, lingkar ekor dan lingkar kepala. Trenggiling yang berasal dari Pulau
Kalimantan memiliki ukuran paling besar dibandingkan trenggiling dari Pulau Jawa
dan Pulau Sumatra (Gambar 20). Warna sisik trenggiling yang berasal dari Pulau
Kalimantan lebih kehitam-hitaman dibandingkan sisik trenggiling dari pulau lainnya.
Gambar 20. Trenggiling yang berasal dari Pulau Jawa (A) dan Pulau Sumatera (B)
Analisis Bahan Aktif Sisik Trenggiling
Hasil analisis kandungan bahan aktif dengan metode GCMS yang cukup
menonjol adalah 1,4-diaza-2,5 dioxobicyclo [4.3.0]nonane (C14H16N2O2) pada kulit
(22,18%)dan daging trenggiling (13,60%) yang dapat berfungsi melawan infeksi
penyakit yang disebabkan oleh beberapa pathogen seperti Staphylococcus epidermis,
Staphylococcus aureus dan Enterobacteria faecalis (Goharet.al , 2010). Sedangkan
zat Methanethiol (CAS) Mercaptomethane (17,35%) yang juga terdapat pada daging
trenggiling merupakan bahan aktif yang digunakan pada produksi pestisida,
fungisida, bahan bakar jet dan plastik.
Sisik trenggiling mengandung bahan aktif yang menonjol yaitu Phenol, 3-methyl
(CAS)m-cresol digunakan atau diproduksi sebagai zat antara (synthetic intermediate)
untuk bahan atau material lainnya yang meliputi plastik, pesticida, obat-obatan dan
dyes. Turunan dari m-cresol termasuk Tolimidone, 5-(3-methylphenoxy) pyrimidin-
2(1H)-one, Bevantotol (RS)-[2-(3,4-dimethoxyphenyl)ethyl] [2-hydroxy-3-(3
methylphenoxy) propylamine dan Bromocresol green. Tolimodine digunakan sebagai
A
A
B
A
Page 61
Sintesis 2010-2014 | 46
obat yang dapat meningkatkan glucose homeostatis (Ochman et.al , 2012) dan glucose
toleransi (Saporito et.al, 2012) serta branchodilator dan antiulcer
phyroxyphyrimidinous (Lipinski et.al, 2012).
Kandungan bahan aktif yang cukup tinggi dan terdapat pada hati trenggiling
yaitu 9-Octadecanoic acid(2)-CAS).oleic acid (21,91%), yang dapat
dikatagorikankan sebagai monoinsaturated omega-9, omega 3 dan omega 6 secara
alami berasal dari lemak dan minyak minyak satwa dan tumbuhan yang tidak berbau
dan berwarna. Pemanfaatan oleic acid dalam beberapa bentuk seperti triglyceride
untuk makanan manusia, garam sodium untuk emulsi pada sabun, serta obat paru-
paru dan vitamin F.
Kesimpulan :
Sekuen D-Loop DNA mitokondria populasi trenggiling (Manis javanica
Desmarest, 1822) sepanjang 1133 pasang basa (base pair) terdapat pada 84
haplotipe dengan jumlah polimorfik sebanyak 172 situs dan total mutasi sebanyak
185.
Hasil analisa filogeni menunjukkan pada populasi trenggiling di Sumatera Utara,
Palembang, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Sukabumi,
Banten, Penangkaran Dramaga, penyitaan di Pangkalan Bun, penyitaan di Serang,
penyitaan di Jakarta, dan penyitaan di Surabaya terdapat 22 clade/haplogroup,
clade XI yang memiliki nilai tertinggi (15,48%), demikian juga dengan clade I
(9,52%) dan clade VI (9,52%) berasal dari Sumatera Utara. Pada clade IX
(8,33%) yang merupakan kumpulan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang
Ragunan, Banten dan Sukabumi terdapat satu trenggiling yang berasal dari
Sumatera Utara. Clade XV (11,90%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan
yang berasal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Pelabuhan Merak,
Banten. Clade XXII (13,0%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan dari
Tanjung Priok, Jakarta dan Surabaya.
Rata-rata jarak genetik antar individu pada semua populasi adalah 0,012, dalam
populasi berkisar antara 0,001-0,01, antar populasi 0,002-0,020. Jarak genetik
dalam clade berkisar 0,002-0,15 (rata-rata 0,0035±0,0023) dan jarak genetik antar
clade berkisar antara 0,003-0,02.
Diversitas genetik sangat tinggi terdapat 84 haplotipe dengan diversitas haplotipe
(Hd) 0,99±0,004 dan diversitas nukleotida (Pi) 0,01038. Fu’s Fs statistik -59,713
menunjukkan tingginya diversitas genetik dan ekspansi populasi.
Morfometrik trenggiling (Manis javanica) merupakan adaptasi terhadap
lingkungannya, seperti eyelids, warna dan urutan sisik pada ekor, dan ukuran
bagian tubuh. Trenggiling yang berasal dari P. Kalimantan memiliki ukuran bobot
tubuh paling besar dibandingkan trenggiling dari P. Jawa dan Sumatera, bobot
badan trenggiling jantan dari Pangkalan Bun 7,545±2.970 kg dan betina
3,650±1,375 kg.
Page 62
Sintesis 2010-2014 | 47
Bioprospeksi pada bagian tubuh trenggiling ternyata mempunyai kandungan
bahan aktif maupun turunannya telah banyak digunakan pada kesehatan manusia
maupun kesehatan lingkungan. Kandungan bahan aktif pada hati trenggiling
seperti 9-Octadecanoic acid(2)-CAS).oleic acid (21,91%), 1,4-diaza-2,5
dioxobicyclo [4.3.0]nonane (C14H16N2O2) pada kulit (22,18%)dan daging
trenggiling (13,60%), Methanethiol (CAS) Mercaptomethane (17,35%), dan
Phenol, 3-methyl (CAS)m-cresol pada sisik yang dapat berfungsi untuk obat-
obatan, pestisida, fungisida, bahan bakar jet, plastik dan vitamin.
a.6. Kajian Populasi dan Habitat Tarsius (Tarsius spectrum) di Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung
Populasi Tarsius
Tarsius yang dijumpai secara tidak langsung melalui suara di berbagai lokasi
seperti di sepanjang jalur Gua Mimpi, Gua Batu maupun Biraeang. Tarsius bersarang
di tebing-tebing karst yang bervariasi ketinggiannya, yaitu antara 10 – 20 meter dari
permukaan tanah (Gambar 21). Sedikitnya dijumpai 3 - 8 kelompok Tarsius berdasar
suara yang berasal dari tebing karst di masing-masing lokasi dan waktu pengamatan.
Fluktuasi perjumpaan Tarsius berkaitan dengan adanya fluktuasi sumberdaya
pakan. Pada musim hujan, vegetasi lebih rapat sehingga kelimpahan serangga lebih
tinggi. Hal ini berarti sumberdaya pakan lebih melimpah sehingga Tarsius hanya
sedikit menggunakan waktu untuk mencari makan dan lebih susah untuk terdeteksi.
Sebaliknya, di musim kemarau vegetasi lebih kering sehingga kelimpahan serangga
berkurang. Hal ini berakibat pada waktu mencari makan lebih lama dan Tarsius
menjadi lebih mudah terdeteksi.
Gambar 21. Karakteristik sarang Tarsius di Kawasan Bantimurung
Kepadatan Tarsius di lokasi sekitar Gua Mimpi pada saat penghujan 0,4375
ekor/km2 dan saat kemarau 0,594 ekor/km
2. Kepadatan Tarsius di sekitar Gua Batu
saat penghujan 0,114 ekor/km2 dan saat kemarau 1,473 ekor/km
2. Kepadatan di
Biraeng, Kabupaten Pangkep saat penghujan sebesar 4,91 ekor/km2 dan saat
kemarau sebesar 2,00 ekor/km2 .
Page 63
Sintesis 2010-2014 | 48
Kepadatan maksimal Tarsius adalah pada musim kemarau. Kepadatan rata-rata
sebesar 1,82 ekor/km2
pada bulan Mei dan sebesar 0,81 ekor/km2 pada bulan
Oktober.
Karakteristik Habitat
Ketinggian sarang Tarsius bervariasi pada masing-masing lokasi yaitu berkisar
antara antara 5 – 50 meter di atas permukaan tanah. Selama pergerakannya, Tarsius
membutuhkan cabang dengan diameter kecil (< 4 cm) terutama untuk berburu dan
menjelajah. Diameter sedang (4 – 8 cm) terutama digunakan untuk istirahat dan
menandai daerah jelajah (home range). Sedangkan diameter > 8 cm juga digunakan
untuk istirahat dan menandai daerah jelajah (home range) meskipun tidak sebanyak
diameter sedang (MacKinnon dan MacKinnon, 1980).
Nama jenis penyusun vegetasi habitat Tarsius yang memiliki Indeks Nilai
Penting (INP) tinggi dan secara intensif digunakan dalam pergerakan harian yaitu:
Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.), Ficus spp., Mali-mali (Leea indica (Burm f.)
Merr.), dan Bitti (Vitex cofassus).
Karakteristik habitat tidur Tarsius adalah di lubang pada tebing karst. Vegetasi
yang memiliki INP tertinggi pada berbagai tingkat di habitat Tarsius adalah : Jabon
(Anthocephalus cadamba) pada tingkat pohon, Bungur (Langerstronia speciosa)
pada tingkat Tiang dan Pancang dan Biraeng (Ficus spp.) pada tingkat semai.
Potensi pakan
Secara umum Tarsius merupakan hewan pemakan serangga (insectivorus), di
samping juga dapat memanfaatkan vertebrata kecil lainnya seperti kadal dan burung.
Jumlah individu serangga pakan Tarsius yang tertangkap pada jenis jebakan
gantung dan jebakan tanam sebagai gambar berikut.
Gambar 22. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan gantung.
Jumlah individu serangga dengan jebakan gantung
02468
101214161820
Gua
Mim
pi I
Gua
Mim
pi II
Gua
Batu I
Gua
Batu II
Kaleb
ong Kaleng
kere
Galun
gkulang
I
Galun
gkulang
II
Rea
Lokasi
Ju
mla
h in
div
idu
musim kemarau
musim penghujan
Page 64
Sintesis 2010-2014 | 49
Gambar 23. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan tanam (pitt
fall traps)
Jumlah individu dan jumlah jenis serangga yang tertangkap lebih banyak pada
musim kemarau dibandingkan pada musim penghujan. Ketersedian pakan lebih
banyak pada saat musim kemarau. Tarsius lebih banyak mengkonsumsi kelompok
Orthoptera dan Lepidoptera. Sebaliknya selama musim kemarau Tarsius tetap
memakan beberapa jenis Orthoptera dan Lepidoptera, namun di samping itu juga
meningkatkan konsumsi Coleoptera dan Hymenoptera.
a.7. Kajian Populasi dan Habitat Anoa (Bubalus spp.) pada Kawasan
Konservasi di Propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo
Kawasan TN Bogani Nani Wartabone
Penelitian di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dilakukan di kompleks
hutan Gunung Poniki dan sekitarnya dengan luas wilayah penelitian 516 ha. Dalam
pengelolaanya wilayah ini masuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional
Wilayah (SPTNW) II Doloduo. Secara ekosistem masuk ke dalam tipe hutan dataran
rendah (300-1.000 m dpl.) dan hutan dataran tinggi (1.000-1.600 m dpl.). Secara
fisik, kondisi wilayah pengamatan didominasi oleh kelas ketinggian 900–1.000 m
dpl. yaitu seluas 204 ha, sedangkan untuk kelas kelerengan didominasi oleh kelas
25-45% seluas 171 ha. Suhu di lokasi penelitian berkisar pada 17oC di pagi hari dan
23oC di sore hari.
Hasil analisis vegetasi, ditemukan 98 jenis pohon yang dikelompokkan kedalam
48 famili dengan jumlah individu sebanyak 4.762 individu. Jenis famili yang
mendominasi adalah jenis Euphorbiaceae, Rubiaceae dan Meliaceae. Indeks Nilai
penting (INP) di kompleks hutan Gunung Poniki adalah: tingkat anakan pohon dan
pohon muda didominasi oleh jenis Orophea sp. Dengan nilai INP masing-masing
57,835% dan 51,742%. Sedangkan tingkat pohon, INP tertinggi pada jenis
Calophyllum soulattri Burm.f. atau Poguingon (INP = 32,106%). Dari hasil
pengamatan teridentifikasi sebanyak 28 jenis pohon pakan, di mana sebagian besar
Jumlah individu serangga dengan pitt fall traps
05
101520253035404550
Gua
Mim
pi I
Gua
mim
pi II
Gua
Batu I
Gua
Batu II
Kaleb
ong Kalen
gkere
Galun
gkulan
g I
Galun
gkulan
g II
Rea
Lokasi
Ju
mla
h in
div
idu
musim kemarau
musim penghujan
Page 65
Sintesis 2010-2014 | 50
bagian yang dimakan oleh anoa adalah bagian daun. Jenis-jenis tumbuhan pakan
tersebut di antaranya buah leler (Dillenia serrata), jenis rumput-rumputan
(Paspalum conjugatum), paku naga (Atryium nigripes) dan kunyit hutan (Alpinia
sp.).
Tempat yang digunakan sebagai pelindung atau cover, tempat tidur atau sarang
berupa gua batu dan rongga pohon. Jumlah jejak anoa yang ditemukan di lapangan
se-banyak 143 jejak dengan kepadatan 1.8 jejak/ha. Pengelompokan berdasarkan
kelas umur menghasilkan tingkatan 37 jejak merupakan jejak dewasa, 86 jejak
remaja dan 20 merupakan jejak anak. Kisaran ukuran populasi anoa adalah 5-14
individu dengan kepadatan sebesar satu (1) individu/km2. Hasil pengumpulan
terhadap morfometri tengkorak anoa yang berasal dari kawasan TNBNW diperoleh
sebanyak 6 spesimen yang terdiri dari 5 spesimen merupakan anoa dataran rendah
dan satu anoa gunung. Kisaran panjang tanduk untuk anoa dataran rendah adalah
18.5-29.5 cm dan 17-18 cm untuk anoa dataran tinggi.
Anoa, babi rusa atau babi putih dan babi hutan adalah satwa yang paling banyak
diburu oleh masyarakat yang diperoleh dengan mema-sang jerat atau dodeso di
sepanjang jalur anoa. Hasil dari buruan terse-but biasanya dijual di pasar-pasar
tradisional dengan harga mencapai Rp.28.000-30.000/kg. Keberadaan anoa, kini
mulai jarang ditemukan seiring dengan perubahan hutan yang merupakan habitat
anoa serta tingginya tingkat perburuan di alam.
Suaka Margasatwa Nantu
Suaka Margasatwa Nantu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No : 537/Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999 dengan luas
sebesar ±31.215 ha. Lokasi penelitian berada di sebelah selatan dengan luas wilayah
lokasi penelitian ± 3.300 ha. Secara fisik, kondisi SM Nantu bagian Selatan
didominasi oleh kelas ketinggian 0-200 m dpl. seluas 1.319 ha atau sebesar 39,97%
dari luas total. Kelas kelerengan didominasi kelerengan 25-45% yaitu seluas 1.142
ha atau sebesar 34,61% dari luas keseluruhan.
Hasil pengamatan vegetasi pada seluruh plot diperoleh sebanyak 9.608 individu,
terdiri dari 61 jenis yang dikelompokkan menjadi 29 famili. Tingkatan anakan
pohon, pohon muda dan pohon didominasi oleh jenis Thea lanceolata Piere. dengan
masing-masing nilai INP yang diper-oleh sebesar 54,968%, 50,218% dan 41,658%.
Sedangkan jenis famili yang mendominasi di wilayah ini yaitu famili Euphorbiaceae,
Annonaceae dan Guttiferae.
Di SM Nantu, kondisi populasi anoa jauh lebih banyak dibanding-kan di
kompleks hutan Gunung Poniki TNBNW. Dalam penelitian ini berhasil dijumpai
empat ekor anoa, tiga anoa di lokasi Hatibi yang terdiri dari jantan, betina dan anak,
warna bulu yang dijumpai berwarna merah, namun perjumpaan tersebut hanya
berlangsung secara singkat. Demikian pula anoa yang dijumpai di Blok Adudu yaitu
satu ekor anak anoa dengan bulu berwarna kuning keemasan. Jumlah jejak yang
Page 66
Sintesis 2010-2014 | 51
diperoleh sebanyak 180 jejak yang terdiri dari 103 jejak dewasa, remaja 59 jejak dan
anak-anak 18 jejak. Dari hasil perjumpaan langsung diperoleh dugaan kisaran
populasi anoa sebesar 20-22 individu, dengan kepadatan populasi di wilayah
penelitian sebesar 0,76 ind/km2.
Habitat Preferensi Anoa
Pemilihan habitat tertentu oleh anoa terhadap seluruh komponen habitat
sebanyak 14 habitat dengan nilai > . Hasil perhitungan tertinggi dengan
indeks preferensi terhadap 14 komponen habitat anoa baik fisik dan biotik dijelaskan
sebagai berikut:
1. Ketinggian tempat (X1): anoa memilih lokasi yang berada pada urutan ketinggian
>1.000 m dpl.; 800-1.000 m dp.l dan 600-800 m dpl. Ketinggian tempat sangat
erat kaitannya dengan gangguan, kesimpulan yang dihasilkan adalah semakin
tinggi suatu tempat maka semakin ideal sebagai habitat anoa.
2. Kemiringan lereng (X2): Indeks preferensi terhadap variabel kemiringan lereng,
diperoleh bahwa anoa lebih banyak melakukan aktivitasnya pada lokasi dengan
kemiringan lereng 9-15%; 16-25% dan 0-8%.
3. Kelembaban (X3): indeks preferensi terhadap variabel kelembaban relatif
menunjukkan bahwa lokasi dengan nilai kelembaban relatif > 90% dipilih oleh
anoa untuk melakukan aktivitasnya; 71-80% dan 81-90%.
4. Kerapatan tajuk atas (X4): indeks preferensi tertinggi terhadap tutupan tajuk atas
diperoleh angka 51-59% merupakan habitat yang paling disukai oleh anoa, disusul
81-89% dan > 91%.
5. Jarak dari sungai (X5): indeks preferensi tertinggi terhadap jarak dari sungai
menunjukkan bahwa kisaran jarak 401-600 m merupa-kan habitat yang disukai
oleh anoa disusul jarak 800-1.000 m dan > 1000 m. Meskipun menggunakan
habitat pada radial yang jauh dari sumber air namun dalam aktivitas hariannya,
anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada
air.
6. Jarak dari aktivitas manusia (X6): Indeks prefrensi terhadap jarak dari aktivitas
manusia menunjukkan angka jarak 6-8 km dari pemukiman menjadi habitat
dengan aktivitas anoa tertinggi, diikuti jarak >8 km dan 4-6 km. Meskipun
dikatakan anoa sangat menyukai habitat yang jauh dari gangguan dan aktivitas
manusia, namun tidak jarang anoa juga sering menggunakan habitat yang
berbatasan dengan wilayah perkebunan.
7. Jarak dari tepi hutan (X7): Indeks preferensi terhadap jarak dari tepi hutan (forest
edge) menunjukkan bahwa habitat dengan jarak 2-4 km jauhnya dari tepi hutan
adalah habitat yang paling disukai oleh anoa, diikuti dengan jarak <2 km dan >8
km. Hal ini menunjukkan bahwa habitat anoa berdasarkan jarak dari tepi hutan
adalah tersebar merata.
8. Jarak dari jalan (X8): Indeks preferensi terhadap jarak dari jalan menunjukkan
bahwa jarak dengan kisaran >8 km merupakan habitat yang paling disukai oleh
l2hit
l20.05,4( )
Page 67
Sintesis 2010-2014 | 52
anoa, diikuti dengan kisaran jarak < 2 km dan 2-4 km. Demikian halnya dengan
jarak dari aktivitas manusia, menunjukkan bahwa aktivitas anoa pada jarak dari
jalan adalah tersebar merata. Ada saat anoa menjauh dari gangguan namun
tidakjarang juga anoa mendatangi juga tempat-tempat yang dekat dengan aktivitas
manusia.
9. Kerapatan tumbuhan bawah (X9): Indeks Prefrensi terhadap nilai kerapatan
tumbuhan bawah, menunjukkan bahwa anoa memilih habitat yang memiliki nilai
kerapatan tumbuhan bawah pada kisaran 400.000-500.000 ind/ha. Kerapatan nilai
tumbuhan bawah terkait dengan ketersediaan pakan anoa di alam.
10. Kerapatan tingkat pohon (X10): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan
pohon, menunjukkan bahwa habitat dengan nilai kera-patan pohon 201-250
Ind/ha, dipilih oleh anoa untuk melakukan aktivitasnya.
11. Kerapatan tingkat pancang (X11): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan
vegetasi tingkat pancang, menunjukkan bahwa habitat yang memiliki kisaran
angka berada pada nilai 40.000-50.000 ind/ha.
12. Kerapatan tingkat tiang (X12): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan
vegetasi tingkat tiang menunjukkan bahwa habitat yang disukai oleh anoa di
TNBNW memiliki nilai kisaran > 2.800 ind/ha.
13. Kerapatan tingkat semai (X13): indeks preferensi habitat terhadap nilai
kerapatan vegetasi tingkat semai menunjukkan bahwa habitat dengan kisaran
angka 100.000-200.000 indivdu/ha, merupakan habitat yang sangat disukai oleh
anoa.
14. Jumlah jenis tumbuhan pakan (X14): indeks preferensi habitat terhadap nilai
jumlah tumbuhan pakan menunjukkan bahwa semakin bervariasi jenis tumbuhan
pakan di suatu habitat merupakan habitat yang paling disukai oleh anoa. Variasi
pakan menunjukkan kebutuhan satwa terhadap nutrisi tertentu, satwa memiliki
naluri dengan memilih berbagai jenis pakan seperti daun muda.
Faktor Dominan Habitat
Faktor dominan habitat diperoleh variabel yang sangat berpengaruh terhadap
kehadiran anoa adalah variabel ketinggian tempat (X1) dan nilai kerapatan vegetasi
pohon (X10). Model persamaan regresi yang diperoleh adalah:
ln Y = -5.664+0.932 ln X1 + 0.02X10.
Hasil persamaan regresi menunjukkan adanya indikasi bahwa semakin tinggi
suatu tempat di kawasan TNBNW, frekuensi kehadiran anoa akan semakin tinggi.
Hal ini membuktikan teori yang menjelaskan bahwa anoa kini menempati dataran
tinggi untuk menghindari adanya gangguan. Penggunaan habitat berdasarkan
ketinggian tempat tertentu juga dipengaruhi oleh musim. Musim penghujan biasanya
menempati habitat di puncak-puncak gunung, sedangkan musim kema-rau anoa akan
menempati ketinggian tempat yang lebih rendah untuk mencari sumber air. Variabel
kedua adalah kerapatan jumlah pohon. Semakin tinggi kerapatan jumlah pohon akan
Page 68
Sintesis 2010-2014 | 53
meningkatkan frekuensi kehadiran anoa, korelasi ini terkait dengan ketersediaan
tumbuhan pakan, kerapatan tajuk serta nilai kelembaban.
Potensi Tumbuhan Pakan
Jumlah jenis tumbuhan pakan yang teridentifikasi di Wilayah Seksi III Maelang
yaitu di Gunung Imandi ditemukan sebanyak 21 jenis, sebanyak 12 jenis di wilayah
Gunung Gambuta dan sebanyak 13 jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di wilayah
Gunung Sinombayuga. Sebagian jenis pakan alami anoa terdiri dari tumbuhan bawah
dan buah-buahan. Indeks kelimpahan diperoleh sebanyak 9 jenis tumbuhan pakan
memiliki nilai kelimpahan yang tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan di
lokasi Gn. Imandi memiliki indeks kekayaan (Dmg = 2,019) dan keanekaraman
jenis yang tertinggi (H’ = 1,879). Sedangkan indeks kemerataan jenis tertinggi
berada di lokasi penelitian Gn. Sinombayuga–Doloduo (J’=0,659). Semakin tinggi
indeks kemerataan jenis pada suatu habitat maka keseimbangan komunitas akan
semakin tinggi.
Kandungan Nutrisis Pakan Anoa
Dari 28 jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di Kompleks Hutan Poniki
TNBNW dan 31 jenis tumbuhan pakan dari SM. Nantu, hanya dilakukan analisis
terhadap 11 jenis tumbuhan pakan yang sering dimakan anoa. Hasil analisis
proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein yang terdapat pada beberapa jenis
pakan anoa memiliki nilai protein di atas 20% yaitu Calophyllum soulattri Burm.f.
sebesar 28,863%. Jenis yang memiliki kandungan lemak tertinggi yaitu jenis
Elatostema sp., kandungan serat kasar paling tinggi adalah Calophyllum soulattri
Burm.f sebesar 35,794%.
Pendugaan Kelimpahan Populasi Anoa
Pendugaan populasi anoa dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan
estimasi kepadatan jejak. Sifat yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia,
soliter dan memiliki daya jelajah luas merupakan faktor pembatas untuk menduga
populasi anoa secara pasti. Jumlah keseluruhan jejak kaki anoa yang dijumpai di tiga
lokasi pengamatan sebanyak 460 jejak yang terdiri dari kelas umur Dewasa (D)
sejumlah 237 jejak, Muda (M) sejumlah 197 jejak dan Anak (A) sejumlah 25 jejak.
Berdasarkan jumlah jejak yang dijumpai di masing-masing lokasi menunjukkan
bahwa habitat Gn. Imandi di Maelang lebih banyak jika dibandingkan dengan lokasi
di Gn. Gambuta Suwawa yaitu sebanyak 272 jejak dan 185 jejak. Berdasarkan
penghi-tungan terhadap jumlah populasi diketahui bahwa lokasi Gn. Imandi di
Maelang memiliki nilai kepadatan populasi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi
Gn. Gambuta di Suwawa dengan nilai kepadatan masing-masing sebesar 63,06
ekor/ha dan 51,39 ekor/ha.
Page 69
Sintesis 2010-2014 | 54
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat
Variabel Habitat
Vegetasi
Hasil analisis citra satelit landsat tahun 2012 diperoleh kelas penutupan lahan
yaitu Hutan (hutan primer dan sekunder), kebun campuran, sawah, pertanian lahan
kering, pemukiman/lahan terba-ngun, semak belukar, badan air, lahan kosong dan
awan. Analisis citra menghasilkan nilai indeks vegetasi untuk kawasan TNBNW
berada pada selang -1 hingga 0,82. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan
lahan disajikan dalam Tabel 12.
Tabel 12. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan
Kelas Tutupan Lahan Luas
ha %
Hutan 275.330,20 97,23
Kebun 357,99 0,13
Sawah 1,54 0,00
Pertanian Lahan Kering 3128,62 1,10
Pemukiman /Lahan terbangun 0,003 0,00
Semak Belukar 3834,02 1,35
Badan Air 506,98 0,18
Tanah kosong 20,83 0,01
Awan dan Bayangan awan 0,00 0,00
Jumlah 283.180,19 100,00
1. Ketinggian tempat (elevasi) dan kemiringan lahan (slope)
Ke dua faktor dikategorikan sebagai faktor topografi, menurut National
Research Council (1993) dalam Okarda (2010), anoa dapat hidup hingga pada
ketinggan tempat di atas 2.300 m dpl. Data topografi diperoleh melalui Digital
Elevation Model (DEM) dengan resolusi 100 x100 meter. Secara umum keadaan
topografi kawasan TNBNW berupa rangkaian pegunungan dan lembah yang terjal
dengan ketinggian yang cukup bervariasi yaitu antara 50 – 2.000 m dpl.
Tabel 13. Luas kawasan TNBNW berdasarkan ketinggian tempat.
Kelas Ketinggian Luas
ha %
Kelas Ketinggian 0 – 300 m dpl 18.625 6,58
Kelas Ketinggian 300 – 600 m dpl 80.250 28,34
Kelas Ketinggian 600 – 1.000 m dpl 105.687 37,32
Kelas Ketinggian 1.000 – 1.300 m dpl 53.998 19,07
Kelas Ketinggian 1.300 – 1.600 m dpl 23.099 8,16
Kelas Ketinggian > 1.600 mdpl 1.521 0,54
Jumlah 283.180 100,00
Page 70
Sintesis 2010-2014 | 55
Tabel 14. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kemiringan lahan.
Kemiringan Lahan Kelas Luas
ha %
Datar 0 – 8 % 19.941 7,04
Berombak 8 – 15 % 34.376 12,14
Bergelombang 15 – 25 % 63.562 22,45
Berbukit 25 – 45 % 110.461 39,01
Bergunung > 45 % 54.840 19,37
Jumlah 283.180 100,00
2. Jarak dari Jalan
Berdasarkan hasil penelitian kajian karakteristik habitat anoa (Arini et al., 2011)
terdapat pemilihan habitat oleh anoa berdasarkan jarak dari jalan yaitu >8 km.
Artinya anoa cenderung menempati habitat yang sangat jauh dari gangguan
manusia. Jarak dari jalan diperoleh dengan metode Euclidean yang tersedia
dalam Software ArcGis 10.
3. Jarak dari Pemukiman
Menurut Mustari (2003), anoa memiliki kecenderungan terlihat lebih dari satu
kilometer dari jalan, atau titik-titik kegiatan manusia khususnya di Tanjung
Amalengo, Sulawesi Tenggara. Adanya fakta ini menunjukkan bahwa aktivitas
manusia (dalam hal ini pemukiman) akan mempengaruhi kehadiran anoa di suatu
habitat. Jarak dari pemu-kiman diperoleh dengan metode Euclidean yang tersedia
dalam Software ArcGis 10. Hasil uji menggunakan indeks pemilihan habitat
diperoleh jarak > 6 km dari pemukiman memiliki preferensi tertinggi. Ada
kecenderungan anoa menghindari adanya manusia dan aktivitas manusia serta
beberapa habitat yang tergang-gu (Mustari, 2003; Bason, 2012). Namun tidak
jarang jejak anoa ditemukan di pinggir-pinggir kebun dalam frekuensi yang
sangat sedikit.
4. Jarak dari Sumber Air
Hasil penelitian dengan menggunakan indeks pemilihan habitat menjelaskan
terdapat pemilihan habitat berdasarkan jarak dari sungai yaitu pada jarak 800
meter dari sungai (Arini, et al., 2011).
5. Jarak dari Forest edge
Jarak dari Forest edge didefinisikan sebagai jarak dari tepi hutan. Hutan, terutama
hutan primer yang tidak terganggu merupakan habitat utama bagi anoa. Tepi
hutan adalah gangguan dan cenderung untuk dihindari dengan memberikan respon
berpindah lebih jauh masuk ke dalam hutan yang tidak terganggu.
Page 71
Sintesis 2010-2014 | 56
Klasifikasi Tipe Habitat
Klasifikasi tipe habitat oleh anoa di kawasan TN. Bogani Nani Wartabone
dilakukan melalui pengkategorian habitat berdasarkan ketinggian tempat dan
tutupan lahan. Jumlah keseluruhan plot pe-ngamatan adalah 809 plot yang terdiri
atas 226 plot merupakan plot yang terdapat perjumpaan langsung maupun tanda-
tanda anoa yang ditinggalkan (presence ≈ 1) yang ditemukan di lapangan,
sedangkan sejumlah 583 plot merupakan titik di mana tidak atau kemungkinan
ditemukannya kehadiran anoa (pseudo absence ≈ 0). Titik-titik per-jumpaan inilah
yang nantinya akan digunakan sebagai variabel dalam penyusunan model regresi
logistik biner. Sebanyak 509 titik diguna-kan untuk membangun model dan 300 titik
digunakan sebagai uji validasi model.
Tabel 15. Pembagian tipe habitat.
Tipe Habitat Luas Jumlah
Plot ha %
Habitat non hutan (lahan
pertanian kebun campuran & pemukiman
dsb)/NH
4.894 1,73 123 plot
Hutan dataran rendah (300–1,000 m dpl.)/ HDR 197.791 69,85 481 plot
Hutan pegunungan (1,000–
1,600 m dpl.)/ HP 78.927 27,87 187 plot
Hutan lumut (> 1.600 mdpl)/HL 1.568 0,55 18 plot
Jumlah 283.180 100,00 809 plot
Indeks Pemilihan Habitat
Pemilihan terhadap suatu tipe habitat sangat dipengaruhi oleh kualitas serta
ketersediaan sumberdaya di dalamnya. Preferensi meru-pakan kemungkinan suatu
sumberdaya untuk dipilih satwa di antara sumberdaya yang ada dan menunjukkan
hasil perilaku suatu organisme (Jhonson, 1980; Singer, 2000; Chapman, 2000;
Olabarria et al, 2002). Preferensi satwa dalam suatu habitat dapat dipengaruhi oleh
ketersediaan sumber pakan, predator dan sejarah masa lalu dan prefe-rensi satwa
dapat digambarkan dari pola sebaran spasial (Underwood et al, 2004).Dari
perhitungan diketahui bahwa nilai 2
(hitung)>2
(tabel) yaitu 164,589 > 11,35 sehingga
dapat disimpulkan bahwa terdapat pemilihan tipe habitat oleh anoa di kawasan
TNBNW.
Dari tabel di atas diketahui bahwa terdapat pemilihan dalam penggunaan
habitat. Nilai w atau indeks preferensi pada habitat Hutan Lumut (w=14,38) dan
Hutan Pegunungan (w=1,92) menunjukkan lebih dari satu yang berarti bahwa
habitat tersebut sangat disukai oleh anoa yang ditunjukkan oleh banyaknya tanda
yang ditinggalkan ataupun perjumpaan secara langsung. Sedangkan Hutan Dataran
Rendah memiliki nilai indeks preferensi kurang dari 1 yaitu 0,55. Hal ini
menunjukkan bahwa habitat tersebut kurang disukai. Hal ini disebabkan karena
Page 72
Sintesis 2010-2014 | 57
sebagian hutan dataran rendah di kawasan TN Bogani Nani Wartabone telah ada
aktivitas manusia atau frekuensi gangguan manusia cukup tinggi. Hal ini
menyebabkan perubahan perilaku anoa yang sangat sensitif terhadap gangguan
yaitu dengan mencari tempat yang relatif lebih aman seperti di puncak-puncak
gunung atau hutan-hutan yang tidak terjangkau oleh aktivitas manusia.
Pembentukan Model Kesesuaian Habitat
1. Uji Multikolinieritas
Langkah dalam analisis regresi dimulai dengan melakukan uji korelasi antar
variabel. Uji yang digunakan adalah uji multikolinieritas. Ghozali (2006)
menyatakan bahwa uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model
regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Indikasi ada tidaknya
multikolinieritas dianalisis dengan menggunakan Tolerance Value (TOL) dan dari
Varians Inflation Factor (VIF) (Okarda, 2010; Ambagau, 2010; Kuswanda, 2011).
Nilai toleransi kurang dari 1 atau VIF lebih besar dari 10 menunjukkan
multikolinieritas signifikan.
Model Resource Selection Function (RSF)
Berdasarkan tahapan analisis di atas maka model RSF yang terbentuk dari
persamaan regresi logistik adalah sebagai berikut:
𝑃 =exp (– 24.419 + 5.407 𝑁𝐷𝑉𝐼 + 0.004 𝐸𝐿𝑉 + 4.672 log 𝐽𝑃𝑀)
1 + exp(– 24.419 + 5.407 𝑁𝐷𝑉𝐼 + 0.004 𝐸𝐿𝑉 + 4.672 log 𝐽𝑃𝑀)
Hasil model RSF di atas menjelaskan bahwa peluang pemilihan sumberdaya oleh
anoa di kawasan TNBNW sangat dipengaruhi oleh 3 faktor variabel habitat yaitu
tutupan lahan (indeks vegetasi), ketinggian tempat dan jarak dari pemukiman yang
menunjukkan frekuensi intensitas gangguan oleh manusia.
Pemetaan Kesesuaian Habitat Anoa di TNBW.
Penerapan model yang terbentuk akan menghasilkan peta probabilitas kesesuaian
habitat anoa. Peta probabilitas dibagi ke dalam tiga batas yang telah ditetapkan yaitu
daerah yang tidak sesuai, sesuai dan sangat sesuai (Tabel 16).
Tabel 16. Luas kesesuaian habitat anoa.
No Kelas Kesesuaian Habitat Luas
ha %
1. Kelas kesesuaian rendah 180.668 63,80
2. Kelas Kesesuaian sedang 45.788 16,17
3. Kelas kesesuaian tinggi 56.724 20,03
Jumlah Total 283.180 100,00
Dari tabel 16 di atas diketahui bahwa kelas kesesuaian habitat rendah memiliki
luasan terbesar yaitu 63,80%, diikuti kelas kesesuaian tinggi sebesar 20,03% dan
Page 73
Sintesis 2010-2014 | 58
kelas kesesuaian sedang sebesar 16,17%. Berdasarkan peta terlihat bahwa kelas
kesesuaian tinggi cenderung berada pada nilai ketinggian tempat yang tinggi dan
jauh dari gangguan manusia seperti pemukiman, jalan atau aktivitas lainnya. Dari
hasil perhitungan accuracy assesment dalam ERDAS 9.1, diperoleh nilai Overall
Classification Accuracy sebesar 81,00% dan nilai Kappa Statistic yang diperoleh
sebesar 64,23%. Hal ini berarti peta memiliki tingkat keakuratan model yang cukup
memuaskan.
Gambar 24. Peta Kesesuaian Habitat Anoa di Kawasan TNBNW
2. Aplikasi Model RSF
Taman nasional di Indonesia dikelola berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidik-an, menunjang budidaya,
pariwisata dan rekreasi di mana kriteria-nya didasarkan pada PP No. 68 tahun 1998.
Kawasan TNBNW dibagi ke dalam empat zona yaitu zona inti (171.935,34 ha), zona
pemanfaatan (17.670,18 ha), Zona Rehabilitasi (15.937,70 ha) dan zona Rimba
(77.813,97 ha). Hasil overlay antara peta kesesuaian habitat anoa dan peta zonasi
TNBNW menunjukkan bahwa sebagian besar kelas kesesuaian tinggi untuk habitat
anoa berada di dalam zona inti kawasan dengan luas sebesar 55.365 ha dan berada di
zona rimba sebesar 1.359 ha. Demikian pula dengan kelas kesesuaian habitat sedang
juga berada pada zona inti kawasan dengan masing-masing luasan 40.056 ha untuk
zona inti dan 5.732 ha untuk zona rimba.
Tabel 17. Luas kesesuaian habitat anoa berdasarkan zonasi TNBNW.
Zonasi TNBNW
Luas Kelas Kesesuaian Habita Anoa (ha)
Kesesuaian
Rendah
Kesesuaian
Sedang
Kesesuaian
Tinggi
Zona Inti 77.389 40.056 55.365
Zona Rimba 71.011 5.732 1.359
Zona Rehabilitasi 15.073 0 0
Zona Pemanfaatan 17.195 0 0
JUMLAH 180.668 45.788 56.724
Page 74
Sintesis 2010-2014 | 59
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 yang menyebutkan
bahwa zona inti di suatu kawasan taman nasional merupakan wilayah yang
mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka
atau yang keberada-annya terancam punah. Habitat anoa dengan kelas kesesuaian
tinggi berdasarkan overlay, berada di zona inti dan zona rimba kawasan TNBNW
dan kondisi ini harus tetap dijaga dan diperta-hankan untuk mendukung keberadaan
anoa di kawasan ini.
Vegetasi kompleks hutan Gunung Poniki TNBNW didominasi oleh jenis
Orophea sp. Famili Euphorbiaceae, Rubiaceae dan Meliaceae merupakan jenis yang
mendominasi. Dari hasil analisis vegetasi, dijumpai sebanyak 28 jenis tumbuhan
yang teridentfikasi sebagai pakan anoa.
Kepadatan populasi anoa di Kompleks Hutan Gunung Poniki sebesar 1
individu/km2 dengan jumlah individu diperkirakan sebesar 5-14 individu. Kepadatan
jejak kaki sebesar 1.8 jejak/ha dengan jumlah jejak yang dtemukan sebanyak 143
jejak.
Jenis vegetasi yang dominan di lokasi penelitian SM. Nantu adalah jenis Thea
lanceolata Piere baik untuk tingkat anakan, pohon muda dan pohon. Famili
Euphorbiaceae, Annonaceae dan Guttiferae me-rupakan jenisyang mendominasi
jenis vegetasi di lokasi penelitian.Jenis vegetasi pakan yang dijumpai di lapangan
berjumlah 31 jenis.
Kepadatan populasi anoa SM. Nantu berkisar 0,76 individu/km2
dengan kisaran
populasi 20-22 individu. Kepadatan jejak yang ada di kawasan sebesar 0,53 jejak/ha,
dengan jumlah jejak yang ditemukan sebanyak 180 jejak.
Hasil regresi linier berganda menghasilkan duadominan terhadap habitat anoa
yaitu ketinggian tempat dan nilai kerapatan pohon.
Kelimpahan anoa berdasarkan jejak yang ditemukan di masing-masing lokasi
penelitian adalah sebagai berikut, 63,06 ekor/ha di Gn. Imandi Maelang, 51.39
ekor/ha di Gn. Gambuta Suwawa dan 3.4 ekor/ha di Gn. Sinombayuga Doloduo.
Nilai kepadatan jejak tertinggi ada lokasi di Gn. Imandi Maelang
Berdasarkan model Resource Selection Function (RSF) yang dibangun dengan
menggunakan model regresi biner diperoleh model kesesuaian habitat anoa di
kawasan TN. Bogani Nani Wartabone dengan tiga faktor variabelutama yang paling
berpe-ngaruh yaitu indeks vegetasi, jarak dari pemukiman dan ketinggian tempat.
Dari model yang diperoleh tiga kelas kesesuaian habitat anoa yaitu kelas
kesesuaian rendah sebesar 63,80% (180.668 ha), kesesuaian sedang 16,17% (45.788
ha) dan kelas kesesuaian tinggi sebesar 20,03% (56.724 ha).Hasil tumpang tindih
(overlay) antara peta kesesuaian habitat anoa dan peta zonasi TN. Bogani Nani
Wartabone, kelas kesesuaian tinggi secara keseluruhan berada di zona inti dan zona
rimba kawasan taman nasional.
Page 75
Sintesis 2010-2014 | 60
a.8. Estimasi Populasi dan Habitat Anoa Dataran Rendah (Bubalus
depressicornis) di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga, Kolaka,
Sulawesi Tenggara.
Penelitian dilakukan di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga, Kolaka,
Sulawesi Tenggara. Selama penelitian dilakukan pengumpulan data menggunakan 2
metode dengan hasil yaitu metode strip transect tidak ditemukan perjumpaan
langsung dengan anoa, sedangkan estimasi populasi anoa dengan perhitungan tanda-
tanda kehadiran yaitu jejak (footprint count) didapatkan perkiraan jumlah individu di
komplek hutan Salodong sebanyak 18 individu, sedangkan di komplek hutan Leang
Paniki sebanyak 20 individu. Dari perhitungan kepadatan populasi diketahui
Komplek Hutan Salodong sebanyak 5.39 individu/ha, sedangkan di Komplek Hutan
Leang Paniki sebanyak 5.45 individu/ha.Dari komposisi umur, populasi tidak stabil
dikarenakan jumlah anoa dewasa relative lebih banyak dibandingkan remaja.
Populasi stabil/ berkembang apa bila jumlah remaja lebih besar (Indrawanet al.,
2007).
Habitat anoa dilokasi penelitian berada jauh dari aktivitas manusia atau pada
hutan yang belum terjamah (virgin forest), terdapat aliran sungai, dengan
karakteristik berbatu dan bertebing curam.Hal ini sesuai dengan Mustari (2009) yang
menyatakan hutan dengan karakteristik berbatu dan bertebing curam dimana banyak
terdapat formasi gua bebatuan (limestone) juga dapat dijadikan anoa sebagai habitat,
namun dengan tingkat okupansi yang lebihrendah (Mustari, 2009). Sedangkan
menurutLabiro (2001) anoa (Bubalus sp.) tidak lagi memiliki habitat yang khas,
sebab anoa dataran rendah dapat ditemukan di dataran tinggi dan sekitarnya begitu
pula sebaliknya.Hal ini dimungkinkan karena habitat anoa terganggu oleh adanya
aktivitas manusia di dalam hutan.Karakteristik fisik habitat Anoa dilokasi penelitian
memiliki suhu berkisar 18 – 25 0C, kelembapan 62-70%, kemiringan 0-100%,
intense tascahaya 500-1, Phtanah 3.5-7, Ph air 7-8, suhu air 14-190C, dan ketinggian
766-1391 mdpl. Sedangkan, dari analisis vegetasi diketahui jenis yang dominan
pada tumbuhan bawah yaitu jenis Katilaporo 1 (Elatostema ingriflorum), sedangkan
untuk semua tingkatan pohon, jenis yang mendominasi adalah Jambu-Jambu
(Acronychiapedunculata.).
Terdapat 2 ancaman terhadap kelestarian anoa di HL. Peg. Mekongga yaitu
Perambahan dan Perburuan. Hal ini sesuai dengan Burton et al. (2005) yang
menyebutkan bahwa perburuan dan hilangnya habitat merupakan factor utama
menurunya populasi anoa di alam. Perambahan di lokasi penelitian dilakukan
masyarakat untuk dijadikan perkebunan coklat dan cengkeh. Sedangkan perburuan
dilakukan untuk kebutuhan daging dan ekonomi. Perburuan dilakukan dengan dua
metode yaitu dengan jerat dan anjing. Perburuan menggunakan jerat rata-rata
dilakukan 2 kali dalam seminggu dengan rata-rata mendapatkan anoa sebanyak 2-4
ekor. Sedangkan penggunaan anjing rata-rata dilakukan 2 kali dalam setahun dengan
rata-rata mendapatkan buruan anoa sebanyak 6-10 ekor. Jumlah terbanyak yang
Page 76
Sintesis 2010-2014 | 61
pernah didapatkan dengan anjing yaitu sebanyak 23 ekor dalam satu kali perburuan.
Daging dari satu ekor anoa dijual perbagian tubuh, dimana kaki depan dan belakang
(Rp. 170.000-Rp. 250.000/kaki), leher dan kepala (Rp.300.000-Rp.400.000), dada
(Rp. 200.000), rusuk dan pinggul (Rp. 250.000) dan rusuk dan punggung (Rp.
150.000-Rp.250.000). Dari informasi didapatkan bahwa daging anoa pernah
ditemukan dijual di salah satu pasar di Kolaka dengan harga 50-75 kg/kg (Balai
Penelitian Kehutanan Makassar, 2013).
Gambar 27. Pengukuran Jejak
a.9. Teknologi Konservasi Jenis Labi-Labi Moncong Babi (Carettochelys
insculpta) di Papua
Habitat
Habitat pasir peneluran Labi-labi di Sungai Vriendschap menyebar di sepanjang
sungai mulai dari hulu sampai dengan hilir termasuk kumpulan pasir di wilayah
rawa. Pasir yang terkumpul (sandbank) muncul saat debit sungai turun, tertutup atau
tenggelam saat debit air sungai meningkat. Peningkatan debit air terutama
Ket.Gambar
:teknikberburudengananjingdanjerat
Gambar 25. Pengambilan Sampel
Kotoran Anoa
Gambar 26. Pengukuran Jejak
Page 77
Sintesis 2010-2014 | 62
disebabkan oleh hujan di wilayah pegunungan yang terkumpul pada aliran Sungai
Baliem dan Sungai Seng kemudian bersatu pada satu aliran di Sungai Vriendschap.
Pasir terlihat sangat lebar dan luas pada saat sungai mulai surut.Tekstur pasir
peneluran terdiri atas beberapa bagian yang meliputi tekstur debu kasar sampai pasir
sangat kasar. Substrat dasar pasir terdiri dari pasir halus dan pasir dengan bebatuan
kecil/halus.
Gambar 28. Sebaran tekstur pasir peneluran sarang labi-labi moncong babi di
wilayah Sungai Vriendschap
Gambar 28 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai
Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama
dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir
peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran,
tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat
kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI)
sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V)
sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor (rawa)
terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan sebarannya di
dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai) dan Indama tekstur
pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan sedang. Sebaran
tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit dimana tekstur
pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar, sedang, halus dan
debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas dua kelompok pasir
yaitu pasir sedang dan halus.
Dalam wilayah jelajah labi-labi moncong babi, penggunaan pasir persarangan
tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi labi-labi moncong babi
betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya
(Doody et al., 2002). Sarang-sarang labi-labi moncong babi umumnya terdapat pada
pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air
(Georges et al., 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir
0 0 1
11
3
0 1
2 3
0 0 0
2
4 4
1 0
3
1 2
3
0 0 0 0 0
6
1 0 0
02468
1012
I (2 - 1) II (1 - 0.5) III (0.5 -
0.25)
IV (0.25 -
0.1)
V (0.1 -
0.05)
VI (0.05 -
0.02)
Tekstur pasir (mm)
Bor (Rawa)
Bor
(Sungai)Obokain
Indama
Sumo
Σpasi
r
Page 78
Sintesis 2010-2014 | 63
masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, pada pasir dengan
sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas
air (Doody et al., 2003b), pada pasir di sungai, pasir ditikungan alur sungai, atau di
anak sungai kecil yang memasuki aliran utama (Georges et al., 2008b), pasir pada
tepi sungai atau rawa.
Tingginya jumlah jejak tidak diikuti oleh keberhasilan dalam proses peneluran
atau membuat sarang di sungai Vriendschap dapat disebabkan oleh beberapa faktor
seperti 1) adanya gangguan suara motor perahu saat induk naik ke pasir untuk
bertelur, 2) perburuan induk di saat hendak naik ke pasir, 3) kondisi pasir yang masih
basah oleh luapan air sungai, 4) turunnya hujan di sore hari sebelum hari gelap, dan
5) gangguan alam (atmosfir) berupa kilatan-kilatan cahaya dilangit yang biasa
menandakan hujan akan turun. Pada peneluran penyu di pantai, kepadatan pasir
dapat memberikan kontribusi bagi berkurangnya kehadiran jumlah sarang.Pasir yang
padat umumnya masih terkena dampak hempasan air laut ataupun air sungai saat
banjir yang menghasilkan jumlah sarang lebih sedikit dibanding jumlah sarang yang
terdapat pada pasir tidak padat. Triantoro dan Kuswandi (2005) mendapati jumlah
sarang penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) di Suaka Margasatwa (SM)
Jamursba Medi lebih sedikit pada bagian pantai yang padat akibat sering mengalami
limpasan atau abrasi air sungai, sementara Karavas et al. (2005) mendapati
berkurangnya jumlah sarang jenis penyu tempayan (Caretta caretta) di bagian barat
pantai dibandingkan jumlah sarang di bagian timur Pantai Sekania, akibat semakin
meningkatnya konsentrasi pasir halus dari timur pantai ke barat pantai. Peningkatan
konsentrasi pasir halus tersebut mengakibatkan struktur pasir menjadi lebih padat
yang dihindari oleh penyu Tempayan.
Potensi pasir dengan jejak induk yang cukup banyak terdapat pada pasir sangat
kasar (I) dan halus (IV) pada wilayah Obokain dan pasir sedang (III) pada wilayah
Sumo, sedangkan jumlah sarang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok
pasir halus (IV) di wilayah pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo.
Potensi jejak induk labi-labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang)
menggambarkan bahwa kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus di
Sungai Vriendschap berpotensi dijadikan pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi
induk labi-labi untuk melakukan aktifitas bertelur. Pasir peneluran di wilayah
Obokain paling dipilih oleh induk labi-labi moncong babi untuk dijadikan tempat
bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan Sumo juga
mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh induk labi-labi
moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi. Sementara pasir
peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) mempunyai potensi yang kecil
untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan rendahnya jumlah jejak
maupun sarang yang ditemukan. Pada Sungai Jeprey, tekstur pasir di dominasi
tekstur pasir sedang, diikuti tekstur pasir halus dan kasar. Keberadaan jejak dan
Page 79
Sintesis 2010-2014 | 64
sarang labi-labi moncong babi menyebar pada tekstur pasir kasar, sedang dan halus,
dengan konsentrasi jejak dan sarang terbaik pada tekstur pasir halus.
Pada induk betina labi-labi moncong babi, kepekaaan terhadap isyarat
lingkungan dalam proses peneluran ditunjukkan berbeda dengan yang ditemukan
pada proses peneluran penyu. Minimnya aktifitas peneluran oleh induk labi-labi
moncong babi disebabkan adanya gangguan cuaca (hujan) baik yang terjadi pada
wilayah Vriendschap maupun pada wilayah pegunungan. Hujan yang turun pada
wilayah Sungai Vriendschap menyebabkan basahnya pasir peneluran sedangkan
hujan yang turun pada wilayah pegunungan menyebabkan permukaan air sungai
meningkat sehingga menutup sebagian atau seluruh pasir peneluran.
Sebaran pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) mempunyai tutupan vegetasi
yang lebih luas dibandingkan pasir peneluran yang berada di wilayah tepi sungai
(Obokain, Indama dan Sumo). Jenis vegetasi yang dominan menutupi pasir
peneluran di wilayah rawa terdiri atas beberapa jenis rumput seperti Ludwigia
scandens, Scirpus glosus, Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka. Di luar
jenis-jenis rumput tersebut, jenis Pandanus lauterbachii terlihat bersama-sama
mendominasi wilayah rawa.
Tutupan vegetasi pada wilayah tepi sungai Vriendschap lebih banyak di
dominasi jenis Casuarina rumphiana (Gymnostoma rumphianum), Sacharum
spontaneum dan Cyperus rotundus.Jenis Casuarina rumphiana dapat tumbuh dan
menyebar pada pasir peneluran di tepi sungai disebabkan buahnya terbawa air sungai
saat meluap.Jenis ini sudah terdapat di wilayah Bor (rawa) namun masih jarang
sebarannya.Sementara jenis rumput Sacharum spontaneum tumbuh secara
mengelompok pada pasir peneluran dan menyebar mulai dari wilayah Bor (sungai)
sampai Sumo namun masih dalam jumlah sedikit di wilayah Bor (rawa). Jenis
Cyperus rotundus baru ditemui pada wilayah Obokain dengan konsentrasi cukup
banyak pada pasir dimana terdapat banyak sarang peneluran (pasir nomor 3 pada
wilayah pemanfaatan Obokain).
Jenis vegetasi yang terdapat di sekitar hulu sungai Vriendschap meliputi
Casuarina rumphiana, Duabanga moluccana Blume, Anthocephalus cinensis,
Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus variagata, Premna corymbosa,
Dysoxylum moltissimum, Timonius timons, Canarium indicum, Pandanus
polycephalus Lamk.,Pandanus tectorius Sol., Calamus spBlume dan Koorthalsia
sp.Vegetasi pada rawa peneluran meliputi Intsia bijuga ok.,Heritiera littoralis,
Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica Miquel, Hibiscus tiliaceus L.,
Elaeocarpus spaericus K., Gymnacranthera paniculata, Myristica fatua Houtt,
Schefflera lucescens, Alstonia sp, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius
Sol. dan Freycinetia funicularis Mar, sedangkan jenis vegetasi yang terdapat pada
rawa sebagai tempat perkembangan hidup meliputi Alstonia cf macrophylla,
Myristica fatua, Gymnocranthera paniculata, Hibiscus tiliaceus, Campnosperma
Page 80
Sintesis 2010-2014 | 65
auriculata, Gluta renghas, Evodia gonwichi, Anthocephallus cadamba, Canarium
indicum, Artocarpus elasticus, Artocarpus communis, Ficus Benjamina, Intsia bijuga
ok., Cryptocaria sp, Sterculia parkinsonii, Sterculia singilawi, Inocarpus sp,
Heritiera littoralis, Syzygium verstegi, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus
tectorius Sol., Freycinetia funicularis Mar., Hidriastele costata, Rophaloblaste
ladermanii dan Caryota rumphiana. Pada pasir peneluran di Sungai Jeprey,
vegetasinya meliputi vegetasi berkayu dan vegetasi non kayu.
Tumbuhan di tepi Sungai atau Rawa Vriendschap, yang diperkirakan menjadi
sumber makanannya adalah Pandanaceae (Pandanus polycephalus Lamk.,Pandanus
tectorius Sol. dan Pandanuslauterbachii), Sagu (Metroxylon sp), Premna corymbosa,
Dysoxylum moltissimum, Syzygium verstegi, Ipomoea aquatica (kangkung air) dan
Pragmintes karka (rumput air). Hasil analisa makanan dari perut labi-labi moncong
babi di Australia, ditemukan remah-remah buah pandan batu, daun Melaleuca spp,
biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air
tawar (Thiaridae sp), Water boatmen (Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes
scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut
(Iridomyrmex sp) (Schodde et al., 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon
Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae,
ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan
Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett, 1989). Buah pandan dari beberapa
jenis, setelah tua jatuh dan masuk kedalam sungai yang dapat menjadi makanan bagi
labi-labi.
Pada sungai Vriendschap, terdapat perbedaan sifat penutupan vegetasi antara
pasir peneluran di wilayah rawa dengan pasir peneluran di tepi sungai akibat
perbedaan jenis vegetasi penyusun.Pasir peneluran di wilayah rawa lebih di dominasi
oleh rerumputan dengan pertumbuhan yang rapat seperti Scirpus glosus (rumput
pisau), Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka, sedangkan pada pasir
peneluran di tepi sungai sifat penutupan vegetasi diselingi pepohonan dan rumput.
Sifat penutupan rapat yang terjadi pada pasir peneluran yang terdapat di tepi sungai
disebabkan telah terjadi pembentukan pulau vegetasi pada pasir peneluran dengan
memberikan ruang pasir peneluran di sekeliling vegetasi, sementara sifat penutupan
yang tidak rapat terjadi apabila jenis vegetasinya tumbuh secara menyebar dalam
kelompok-kelompok (rumpun-rumpun) kecil atau tunggal dengan memberikan ruang
pasir peneluran di antara kelompok-kelompok vegetasi atau di celah-celah vegetasi
yang ada.
Jenis yang mengelompok (berumpun) diisi oleh jenis Sacharum spontaneum
(tebu air) sedangkan jenis Cyperus rotundus pertumbuhannya menyebar.Walaupun
pertumbuhannya menyebar namun batangnya yang kecil dan lemah masih bisa
diterobos oleh induk labi-labi untuk melakukan persarangan dicelah-celahnya dan
tidak mengurangi tingginya intensitas cahaya matahari. Di Sungai Jeprey, sebaran
jenis Mimosa pudica dapat menutupi pasir peneluran. Batangnya yang berduri dan
Page 81
Sintesis 2010-2014 | 66
sebaran pertumbuhannya yang rapat (mengelompok) dapat memberikan kesulitan
bagi induk labi-labi moncong babi menemukan pasir diantara vegetasi ini dan
membuat sarang.Secara umum penyebaran Mimosa pudica pada pasir peneluran di
Sungai Jeprey belum meluas.Gambaran vegetasi penutup pasir dapat dilihat pada
Gambar 29 dibawah ini.
a
Gambar 29. Tutupan (a) Mimosa pudica (putri malu) pada pasir peneluran di sungai
Jeprey dan (b) Scirpus glosus pada pasir peneluran di sungai Vriendschap
Populasi
Populasi labi-labi moncong babi tahun 2009 - 2012 di Sungai Vriendschap,
kabupaten Asmat, menunjukkan tahun 2009 populasi jejak labi-labi yang naik ke
pasir sebanyak 1059 jejak dengan sarang sebanyak 720 buah. Tahun 2011 total
jejak labi-labi moncong babi berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak terdapat di
wilayah rawa sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai (rata-rata = 11.44 ±
34.11;kisaran = 0 – 201), sedangkan total sarang berjumlah 131 sarang dengan
rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa dan 124 sarang terdapat di sepanjang
sungai (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Tahun 2012 di wilayah Bor
(rawa) populasi jumlah jejak yang didapat selama 7 hari pengamatan sebanyak 53
dan jumlah sarang sebanyak 13. Tahun 2013 di Sungai Jeprey, kabupaten Kaimana,
populasi jejak induk sebanyak 221 jejak dan populasi sarang sebanyak 61 sarang
dengan pengamatan selama 14 hari.
Hasil penelitian lapangan yang dilakukan di Rawa Bor, Sungai Katarina, dan
Sungai Vriendschaap yang berada dalam wilayah Kabupaten Asmat, provinsi Papua,
ditemukan 13 sarang dan 53 jejak dari labi-labi moncong babi dengan rata-rata 20
telur per-sarang
Kepadatan sarang (2011) sebesar 2.76 sarang/Ha dan kepadatan jejak sebesar
5.74 jejak/Ha pada pasir peneluran yang terdapat vegetasi, lebih tinggi dibandingkan
kepadatan sarang sebesar 0.23/Ha dan jejak sebesar 4.19/Ha pada pasir yang tidak
terdapat vegetasi. Pada tahun 2013, kepadatan jejak pada pasir bervegetasi adalah
b
Page 82
Sintesis 2010-2014 | 67
67,24/Ha dan kepadatan sarang adalah 21,81/Ha. Pada pasir tanpa adanya vegetasi
diperoleh kepadatan jejak sebesar 43,50/Ha dan kepadatan sarang sebesar 12,24/Ha.
Apabila didasarkan pada perimeter, terlihat kepadatan sarang sebanyak 9.00
sarang/Km dan jejak sebanyak 18.70 jejak/Km pada pasir peneluran yang terdapat
vegetasi lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.75 sarang/Km dan
jejak sebesar 13.63 jejak/Km pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Dari sisi
kepadatan harian, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009 selama 34 hari (15
Oktober – 19 November) sebanyak 720 sarang, tahun 2011 selama 18 hari (8 – 25
November) sebanyak 132 sarang, tahun 2012 selama 7 hari sebanyak 13 sarangdan
tahun 2013 selama 14 hari (1 – 14 Oktober) sebanyak 61 sarang, maka jumlah rata-
rata sarang tahun 2009 sebanyak 21 sarang/hari, jumlah rata-rata sarang tahun 2011
sebanyak 7 sarang/hari, tahun 2012 sebanyak 2 sarang/hari dan tahun 2013 sebanyak
4 sarang/hari.
Pengaruh faktor lingkungan utama terhadap keberadaan jejak dan sarang labi-
labi moncong babi di Sungai Vriendschap berbeda dengan yang di Sungai Jeprey. Di
sungai Vriendschap, dari 6 faktor lingkungan yang meliputi luasan pasir, panjang
pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan
pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir,
diperoleh faktor luas tutupan vegetasi yang paling memberikan pengaruh atas
keberadaan jumlah jejak dan sarang. Sementara di Sungai Jeprey, dari 3 faktor
lingkungan yang meliputi luasan pasir, luas tutupan vegetasi dan tekstur pasir,
diperoleh faktor luasan pasir paling memberikan pengaruh terhadap keberadaan
jumlah jejak induk, namun ketiga faktor tersebut tidak ada yang memberikan
memberikan pengaruh terhadap keberadaan jumlah sarang. Pada labi-labi moncong
babi, pasir bervegetasi (Sungai Vrendschap) dan luasan pasir (Sungai Jeprey) paling
mempengaruhi keberadaan jejak dan sarang. Hal berbeda dengan induk betina jenis
Spotted turtle (Clemmys guttata) yang menunjukkan mereka lebih memilih kondisi
substrat untuk sarang dibandingkan lokasi untuk bersarang (Rasmussen dan Litzgus,
2010).
Biologi Peneluran
Diameter rata-rata sarang yang dibangun di Sungai Vriendschap adalah 11.91 ±
1.73 cm (n = 62, kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38
± 1.86 cm (n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang
adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34), dengan diameter rata-rata adalah
41.33 ± 1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ±
6.30 gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang
yang keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur labi-
labi moncong babi yang tidak normal (abnormal).
Karakteristik ukuran morfologi dari induk betina labi-labi moncong babidi
Sungai Vriendschap meliputi rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14,
Page 83
Sintesis 2010-2014 | 68
kisaran = 10.43 – 13.38), rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14,
kisaran = 35 – 39), rata-rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran =
27 - 31), rata-rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14,
kisaran = 46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ±
2.91 cm (n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah
48.16 ± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus
kerapas (SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36).
Etnozoologi (pemanfaatan) labi-labi moncong babi
Intensitas pemanfaatan terhadap telur labi-labi moncong babi di Sungai
Vriendschap, Asmat mencapai 100% (sangat tinggi) dimana pengambilan telur tidak
terbatas dan tidak menyisakan satupun telur dalam sarang untuk menetas secara
alami. Pemanfaatan indukmerupakan dampak dari pemanenan telur dalam semusim
peneluran dan jumlah yang ditangkap untuk di konsumsi juga tidak ada batasan
minimal, tergantung pada kesempatan menangkap induk dan kemampuan daya
angkut perahu. Tingginya intensitas pemanfaatan disebabkan telur ditetaskan dan
diperdagangkan dalam bentuk tukik (anakan). Diprediksikan selama hampir 10
tahun (mulai tahun 2001) telah terjadi hilangnya generasi labi-labi moncong babi di
Sungai Vriendschap karena induknya di konsumsi dan telurnya di ambil tanpa
menyisakan sebutir pun dalam sarang alaminya.
Pemanfaatan induk dan telur labi-labi moncong babi di Sungai Jeprey, Kaimana
masih sebatas untuk konsumsi dan belum sampai pada taraf perdagangan. Hal
tersebut disebabkan masyarakat masih mempunyai alternatif hewan buruan yang
dapat dijual sebagai sumber pendapatan seperti Kasuari (Casuari sp), babi hutan (Sus
sp) dan rusa (Cervus timorenses). Kedepannya, telur labi-labi moncong babi
dimungkinkan dapat diburu dan diperdagangkan oleh masyarakat di sekitar Sungai
Jeprey apabila masyarakat sudah kesulitan mendapat hewan buruan untuk
diperdagangkan dan sudah mengetahui nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari
penjualan tukik.Kondisi tersebut disebabkan pola ketergantungan dan pemanfaatan
sumber daya alam pada masyarakat lokal masih tinggi.
Intensitas pemanfaatan telur labi-labi moncong babi yang sangat tinggi di Sungai
Vriendschap menjadi ancaman tersendiri bagi pelestarian populasinya di alam.Di
Sungai Kikori (PNG), intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi menyebabkan
penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006 (Georges et al., 2008b)
dan penurunan populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang
terindikasi dari kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang
sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina
yang dipanen (Eisemberg et al., 2011).
Komposisi gizi daging labi-labi moncong babi
Komposisi kandungan gizi labi-labi moncong babi dilakukan sebab masyarakat
di sekitar Sungai Vriendschap dan Sungai Jeprey telah memanfaatkannya sebagai
Page 84
Sintesis 2010-2014 | 69
sumber bahan makanan pengganti daging dan tidak menutup kemungkinan upaya
penangkaran labi-labi moncong babi kedepannya dalam menjaga dan mendapatkan
sumber ketahanan pangan yang baru. Hasil analisis proksimat menunjukkan
mayoritas penyusun daging labi-labi moncong babi terdiri dari air. Kandungan air
pada daging labi-labi mentah berkisar antara 78,56 % – 79,07 %. Kadar protein dari
labi-labi yang berkisar 16,39 – 18,40 masih lebih besar daripada nilai protein pada
Keong (12,00), Kodok (16,40), Kerang (8,00), dan Kepiting (13,80) (Siahaan, 2012).
Hasil analisa nutrisi pada daging labi-labi bagian dada dan paha menunjukkan
kandungan yang terdapat dalam kedua sampel daging memiliki nilai yang tidak jauh
berbeda, kecuali nilai kolesterolnya pada dada memiliki nilai lebih tinggi. Nilai
kandungan kolesterol pada bagian dada sebanyak 25 mg/ takaran saji.
Data morfometri dari 5 ekor labi-labi tersebut memiliki variasi ukuran cukup
tinggi. Bobot labi-labi tersebut bervariasi dari 2 kg hingga 11 kg. Pemanfaatan labi-
labi moncong babi terbagi atas 2 golongan yaitu masyarakat lokal (asli Papua) yang
mengumpulkan telur dan meng-onsumsi telur dan daging, dan pemanfaatan oleh
masyarakat dari luar (non lokal) yang mengumpulkan telur. Hasil analisis kandungan
nutrisi menunjukkan bahwa daging labi-labi moncong babi terdiri dari 78,56% air,
1,08% abu, 1,54% lemak dan 18,40% protein. Analisis asam lemak yang dilakukan
menunjukkan bahwa dalam daging labi-labi terkandung beberapa jenis asam lemak
(asam miristat, asam palmitat, asam stearat, asam palmitoleat, asam oleat, asam
linoleat (omega 3), dan asam arakhidonat (AA)).
Keragaman Genetik
Keragaman genetik dari wilayah Sungai Jeprey berhasil diperoleh, sementara
dari Sungai Vriendschap belum berhasil dilakukan. Keragaman genetik labi-labi
moncong babi berdasarkan Nei’s Gene Diversity (Nei, 1978) pada populasi di Sungai
Jeprey adalah 0,3632.Nilai ini termasuk tinggi, yang berarti pada populasi tersebut
memiliki fitness tinggi dan memiliki peluang untuk lestari. Populasi dengan
keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik untuk
beradaptasi dengan lingkungannya (Rina, 2000) dalam Indrasari (2002). Individu 1,
individu 2, individu 4, individu 5, dan individu 6, merupakan kelompok pertama
yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat, sementara kelompok kedua yang
mempunyai kekerabatan dekat adalah individu individu 3 dan individu 7.
Pergerakan atau daya jelajah dari labi-labi moncong babi di Sungai Jeprey cukup
jauh.Hal tersebut terlihat pada hubungan kekerabatan yang ada. Individu 5 dan 7
termasuk dalam kelompok kekerabatan yang berbeda, sementara kedua individu
ditemukan pada wilayah sungai yang sama yaitu kearah hulu. Kemampuan daya
jelajah labi-labi moncong babi yang jauh menyebabkan keragaman genetiknya di
alam cukup baik akibat minimnya kemungkinan terjadinya inbreeding. Dengan
keragaman genetik yang baik maka kemampuan jenis untuk berkembangbiak dan
bertahan di alam juga baik dan secara tidak langsung kelestarian dan populasi
Page 85
Sintesis 2010-2014 | 70
genetiknya tetap lestari. Kemampuan daya jelajah yang tinggi di alam, di dukung
oleh rute pergerakannya yang masih sangat baik dan tidak terhalang antara Sungai
Jeprey dengan Danau Yamur, dan Sungai Jeprey dengan sungai-sungai utama
lainnya di sekitar Kaimana, seperti Sungai Napuri. Kondisi habitatnya harus tetap
terjaga dan hubungan antar sungai tidak boleh terhalang oleh kepentingan lain,
misalnya pembuatan bendungan, yang dapat memutus kemampuan jelajah labi-labi
moncong babi. Kasus pembendungan sungai dapat saja terjadi terutama pada alur-
alur sungai yang tidak lebar dan dalam.Habitat atau alur-alur sungai dimana satwa ini
hidup sebagian masuk dalam areal konsesi Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan
(IUPHH) Kaltim Utama.Pembuatan jalan yang melintasi alur sungai untuk aktifitas
logging, dikuatirkan dapat menggangu dan memutus alur pergerakan jenis ini di
alam.Apabila dikaitkan dengan kampanye “Go Green”, maka perusahaan dapat
mempunyai nilai tambah apabila dapat memberikan suatu pengelolaan yang baik
terhadap jenis dilindungi ini di alam.
Selain faktor habitat yang perlu dipertahankan untuk menjaga kelestarian labi-
labi moncong babi di alam, faktor pemanfaatan untuk kebutuhan konsumsi
masyarakat lokal perlu juga diperhatikan.Wilayah sebaran hidup atau peneluran labi-
labi moncong babi umumnya berada di wilayah yang jauh ke dalam areal hutan
(pedalaman), yang kondisi ekonomi masyarakatnya terbatas.Terbatas bukan hanya
dari segi pendapatan tetapi terbatas dalam mendapatkan kebutuhan pangan diluar
sumber pangan yang berasal dari alam.Secara tidak langsung, ketergantungan pangan
dari alam juga cukup tinggi, tidak terkecuali sumber pangan dari satwa yang hidup di
air (labi-labi moncong babi, kura-kura air tawar lain, dan berbagai jenis ikan). Saat
ini, masyarakat di sekitar Sungai Jeprey dan Danau Yamur sudah memanfaatkan
labi-labi moncong babi sebagai sumber makanan, namun mereka belum sampai
kepada tahap memperdagangkan. Hilangnya genetik akibat pemanenan atau
eksploitasi berlebih dapat menyebabkan meningkatnya resiko menuju kepunahan dan
menurunkan tingkat pemulihan dari populasi (Allendorf et al., 2008).
Gambar 30. Telur dari labi-labi Moncong Babi
Page 86
Sintesis 2010-2014 | 71
Gambar 31. Sarang labi-labi Moncong Babi
Gambar 32. Labi-labi Moncong Babi
Gambar 33. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal
Gambar 34. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal
Page 87
Sintesis 2010-2014 | 72
a.10. Habitat dan Sebaran Populasi Rusa Sambar di Kaltim
Status Rusa Sambar
Status perlindungan rusa sambar di IUCN adalah vulnerable dan merupakan
hewan yang dilindungi menurut undang-undang Ordonansi dan Peraturan
Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No. 134 dan 266. Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan
Satwa, pada tanggal 27 Januari 1999 memasukkan semua jenis dan genus Cervus
kedalam Lampiran Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Anonim,
2008).
Penyebaran rusa sambar di Kalimantan tercatat ada di semua daerah, baik hutan
primer maupun hutan sekunder. Penyebarannya terdapat di daerah sekitar Bantol,
Sungai Malinau, Sungai Semendarut, Sungai Sesayap, Apau Kayan, Long Pahangai,
Muara Wahau, Sungai Sangatta, Kutai, Muara Langun, Bukit Soeharto dan Muara
Koman. Habitat yang disukai adalah hutan yang terbuka atau padang rumput dan
hidup pada berbagai ketinggian mulai dari dataran rendah sampai daerah pantai
hingga ketinggian 3000 m di atas permukaan laut. (Yasuma, 1990), semak belukar
yang rapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung dan bersembunyi
(Ariantiningsih, 2000).
Populasi rusa di alam dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu
kelompok yang hidup di kawasan hutan lindung/konservasi dan yang hidup di luar
kawasan tersebut. Tidak ada data yang pernah dicatat mengenai populasi yang berada
di kawasan non konservasi. Perburuan secara modern (senjata api) yang cukup
tinggi, beberapa populasi yang tertinggal tidak diketahui (Semiadi, 2002).
Eksploitasi terhadap hidupan liar di Indonesia akan mengakibatkan munculnya
masalah-masalah konservasi (Suhartono, 2003).
Data jumlah satwa yang terdapat di alam merupakan sangat penting dalam
sebuah pengelolaan kawasan. Namun demikian untuk mengetahui jumlahnya secara
tepat sangat sulit dilakukan dan memerlukan teknik penghitungan khusus. Secara
garis besar metode yang sering dipergunakan yaitu penghitungan secara langsung
dan tidak langsung (Rabinowitz, 1997).
Keberadaan rusa sambar di Kalimantan Timur juga tidak terlepas dari
tersedianya habitat sebagai kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik
yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta
berkembang biaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan
lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat
mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Habitat yang sesuai
untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa
menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Habitat suatu jenis satwa liar
merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta
dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (UGM, 2007)
Page 88
Sintesis 2010-2014 | 73
Rusa unicolor adalah salah satu jenis herbivora yang dilindungi dan kini
keberadaanya semakin berkurang dikarenakan perburuan dan kerusakan habitat.
Prosentase penyebaran populasi di Kalimantan Timur terdapat di kawasan Hutan
Lindung Sungai Wain (HLSW) di tiga lokasi yang berbeda adalah 48% pada tipe
habitat hutan primer campuran sekunder, 39% tipe hutan primer dan 13% tipe
sekunder. Penyebaran rusa sambar di HLSW terdapat pada ketinggian antara 18,28m
– 91,13m. Tipe habitat Rusa Sambar di HLSW adalah hutan primer campuran dan
tercatat terdapat 63 jenis tumbuhan pakan rusa. Tumbuhan yang dimanfaatkan
sebagai pakan adalah famili Leguminoceae 43%, Euphorbiaceae (10%), Lauraceae
(9%) Meliaceae (7%).
Rusa di Sangkulirang sangat jarang ditemui dikarenakan aktivitas masyarakat
seperti berladang, berburu dan menebang pohon. Adanya perusahaan sawit yang
intensif disekitar kawasan mengakibatkan rusa sambar semakin jauh masuk kedalam
hutan, Di habitat hutan Sangkulirang terdapat 25 jenis tumbuhan pakan rusa antara
lain famili Annonaceae 8%, Rutaceae, Cyperaceae dan Dileniaceae 8%,
Euphorbiaceae 13%, Leaceae 16%, Leguminoceae 9%, Moraceae 8%, Rubiaceae
5% dan schicaeae 8%.
Habitat rusa sambar di Tane Olen kab. Malinau berbukit-bukit dengan
ketinggian antara 100 – 700 m dpl. Rusa sambar mempunyai sifat alami untuk
mencari mineral pada mata air yang mengandung mineral tinggi. Perburuan yang
dilakukan oleh masyarakat setempat menyebabkan rusa sambar sangat sulit untuk
ditemui. Dari lima kamera yang dipasang pada lokasi yang berbeda, terdapat 2 ekor
rusa sambar, 1 ekor babi hutan, 1 ekor pelanduk dan aktifitas perburuan oleh
masyarakat lokal.
Penyebaran populasi di Kalimantan Timur terdapat di kawasan Hutan Lindung
Gunung Beratus (HLGB) sebanyak 22 titik dan Taman Nasional Kutai (TNK)
sebanyak 15 titik. Tipe habitat Rusa Sambar di HLGB adalah hutan primer dan
tercatat terdapat 23 jenis tumbuhan pakan rusa. Tipe habitat di TNK adalah hutan
sekunder dan diketemukan sebanyak 7 jenis pakan rusa. Indeks Nilai Penting
Beberapa jenis pakan rusa ditemukan, dan pada tingkat semai ini didominasi oleh
Hypobathrum sp. (15.83) kemudian diikuti oleh jenis pakan lain yaitu; Leea Indica
(I2,44), Polyalthia sp. (10,8), Fordia splendidisima (7,92), Melicope sp. (2,26) dan
Dacroides sp. (1,13).
a.11. Kajian Sebaran Dan Habitat Labi-Labi (Amyda cartilaginea Boddaert
1770) Di Kalimantan Timur
Pendahuluan
Labi-Labi (Amyda cartilaginea) termasuk satwaliar yang tidak dilindungi oleh
undang-undang RI namun masuk dalam Apendix II CITES dan masuk dalam red list
IUCN dengan status terancam. Dan pada tahun 2008 CITES Animal Committee
(AC) memutuskan untuk memasukkan A. cartilaginea dalam Review of Significant
Page 89
Sintesis 2010-2014 | 74
Trade. Hal ini berarti perlu ada perhatian khusus atas populasi alami, yang bermakna
bahwa pemanfaatan untuk pemanenan harus sesuai dengan kaidah kelestarian. Dari
hasil rapat koordinasi penegakan hukum bidang pemanfaatan dan perdagangan
tumbuhan dan satwa liar tahun 2010 di Ambon pada tanggal 5 Agustus 2010,
menyebutkan bahwa pola pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU
namun masuk Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan Kura-kura).
Permintaan ekspor semakin meningkat khususnya dari negara-negara
Singapura, China, Hongkong, Taiwan dan Jepang. Labi-labi yang diperbolehkan
untuk dipanen adalah yang berukuran <5 kg dan >13,5 kg, dengan kuota diberikan
dalam bentuk jumlah bukan berat, maka diduga pedagang akan lebih menginginkan
mengirim labi-labi berukuran besar untuk pasar ekspor. (Amri. K, &
Khairuman,2009)
Hingga saat ini ekspor labi-labi dari Indonesia masih didominasi oleh hasil
tangkapan dari alam. Hal ini terbukti dari banyaknya perusahaan pengekspor labi-
labi hanya sebagai penampung hasil tangkapan dari alam saja. Mengingat lambatnya
perkembangan populasinya di alam, maka dikhawatirkan dengan semakin tingginya
tingkat eksplorasi terhadap labi-labi akan dapat menimbulkan penurunan populasi
sehingga mengancam kelestariannya.
Sampai saat ini diketahui penyebaran Amyda cartilaginea di Indonesia hanya
ada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Kalimantan sendiri penyebarannya
hampir merata akan tetapi belum ada data dan informasi yang lengkap mengenai
habitat dan penyebarannya. Belum lengkapnya informasi sebaran dan habitat Labi-
Labi Amyda cartilaginea di alam khususnya di Kalimantan sehingga populasinya
belum dapat diperkirakan. Maka mendorong untuk dilakukannya penelitian
mengenai penyebaran dan habitat di Kalimantan agar dapat mendukung kelengkapan
informasi Amyda cartilaginea di alam untuk menduga populasinya di alam sehingga
upaya/tindakan konservasi dapat dilakukan dengan tepat termasuk penentuan
kuotanya.
Habitat dan Penyebaran Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur
Habitat Amyda cartilaginea tersebar di seluruh wilayah sungai di Kalimantan
Timur namun berdasarkan referensi/pustaka dan penelusuran Informasi maka daerah
sungai yg menjadi habitat Amyda cartilaginea terbagi menjadi 6 Kelompok Wilayah
Sungai antara lain: Sesayap, Kayan, Berau-Kelai, Mahakam, Karangan, Kendilo .
Berdasarkan daerah yang menjadi kantong pemanenan dibagi menjadi 2 yaitu: lokasi
kantong pemanenan bagian utara meliputi sekitar DAS Berau (Nunukan, Berau,
Malinau, Tarakan, Bulungan) dan DAS Mahakam (Kutai Kertanegara, Kutai Timur,
Kutai Barat). DAS Mahakam memiliki luas sebesar 77.700 Km², yang terbagi dalam
7 sub DAS, yaitu sub DAS Mahakam Ulu (25.530 km²), Sub DAS Kedang Pahu
(7.520 km²), sub DAS seberang Muara Pahu (4.980 km²), sub DAS Danau Melintang
dan Danau Semayang (2.430 km²), Sub DAS Belayan (10.350 km²), Sub DAS
Page 90
Sintesis 2010-2014 | 75
Kedang Kepala dan Kedang Rantau (20.190 km²), dan sub DAS Mahakam Ilir (6.910
km²). Beberapa lokasi yang telah di survey meliputi: Teluk Bingkai (N 01.992 - E
116 22.034), Sungai Loa Surut (N 01.018 - E 116 23.589),Kahala S 01.362 - E 116
21.720), Tuana Tuha (S 01.253 - E 116 25.828), Rawa Buak (N 01 794 - E 116
25.’659), Sungai Tiwei (S 01o29’14.7” - E 116
o 08’23.9”), Sungai Lombok (S
01o37’14.5” - E 116
o 07’56.7”). Sungai Kelinjau (N 0 25.980 E 116 40.776), sungai
Mesangat (N 0 30.189 E 116 41.858), sungai Senambah, sungai Ngayau (N 0 24.882
E 116 42.381), sungai Suwi ( N 0 24.599 E 116 36.954) (Kutai Timur), sungai
Kedang Pahu (S 0 19.399 E 116 03.933), sungai Jintan (S 0 18.907 E 116 03.062),
sungai Belowan (S 0 19.675 E 116 02.379).
Karakteristik Sungai Yang Menjadi Habitat Amyda cartilaginea
Karakteristik sungai yang disurvei berdasarkan luas DAS termasuk dalam
klasifikasi sungai sedang sampai besar ( 50 - ≥300 KM2). Dilihat dari beberapa
indikator seperti kecepatan arus air (tenang), suhu air (25,1 – 28,20 C) dasar perairan
(lumpur berpasir), sumber pakan hampir semua sesuai bagi habitat Amyda
cartilaginea bila. Untuk diketahui pada umumnya suhu permukaan perairan
Indonesia adalah berkisar antara 28 - 31°C (Monoarfa, 2002 dalam Byna, dkk, 2009),
masih dibawah standar baku mutu untuk perikanan yaitu 35°C. Berdasarkan referensi
menyebutkan bahwa Amyda cartilaginea hidup di alam seperti rawa-rawa, danau,
sungai yang suhu airnya berkisar 25 – 30°C. Beberapa jenis ikan yang berhasil
ditangkap antara lain : Ikan seluang (Osteochillus Schlegeli), wader (Puntius
brammoides), baung (Mystus nemurus), dan beberapa jenis ikan snake head (Channa
spp.), kihung, Toman Giant Snake Head (Channa micropeltes) dan gabus (Channa
striata). Predator yang ditemukan biawak (Varanus salvator), Toman, Buaya
(crocodylus siamensis), Ular Piton (phyton reticulates), Ular karung (Achrocordus
granulates). Satwa yang dijumpai antara lain : elang, burung raja udang, bangau,
rangkong/enggang, bangau tong tong, kuntul, toman, gabus, baung, jelawat/sepat,
pepuyu, wader, lais/lepok, belida/pipih, seluang, ular air belang kuning, kera,
bekantan, lutung/owa, lebah. Jenis vegetasi secara umum hampir disepanjang
pinggir sungai kedang pahu sebelah kanan banyak ditumbuhi jenis rotan (callamus
sp) “jahab” yaitu jenis yang sering dijadikan tali dan kerajinan lampit (alas tikar khas
Kalimantan), akan tetapi saat ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat secara
komersil karena harganya rendah. Selain jenis rotan yang dominan juga ada jenis :
bamboo (bambusa sp), baringtonia sp. yang terdapat disepanjang pinggir sungai
kecil seperti di sungai Belowan dan Jintan. jenis ini terdapat dilapisan depan
berperan sebagai buffer line (terdekat dengan air sungai) bagi tumbuhan
dibelakangnya. Jenis – jenis lain yang dijumpai berdasarkan pengamatan
disepanjang perjalanan menyusuri sungai antara lain : Gluta rengas
(anacardiaceae), Vitex pinnata (laban), dracontomelon dao (sengkuang),
pterospermum sp., lagerstromia sp. (bungur), family dari Annonaceae, rubiaceae,
Anacardiaceae, Malvace, Heritiera sp, Dilenia sp (simpur), Artocarpus sp.,
Page 91
Sintesis 2010-2014 | 76
Cratoxyilon sp, Glocidion sp, Garcinia sp, Pandanus sp, Sizigium sp., Mangifera sp.
(buah gepeng)
Hasil analisis kualitas air pH antara 6,79 – 8 masih masuk dalam pH yang
normal, Nilai pH air sungai yang normal berkisar antara 6,0 - 8,0 (Kristanto, 2002
dalam Byna, dkk. 2009). Salinitas pada perairan sungai yang disurvey menunjukan
nilai 0 (nol) yang berarti perairan tersebut tidak /belum dipengaruhi oleh air laut
(interusi air asin). Sungai yang termasuk dalam kategori tidak layak untuk kehidupan
biota perairan berdasarkan nilai COD (COD>10 ppm) mencapai 50% dari 10 sungai
yang disurvey. Kandungan karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan
maksimal 20 ppm, lebih dari itu akan membahayakan kehidupan organisme perairan.
Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan adalah tidak lebih dari 12 ppm dengan
kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983). TDS air sungai yang
disurvey antara 63 – 1034 mg/L sedangkan nilai standar baku mutu yang ditetapkan
untuk TDS adalah 2000 mg/L.
Pemanenan Amyda cartilaginea
Pengukuran individu Amyda cartilaginea dilakukan dari hasil panen di
pengumpul, sedangkan pemancingan langsung tidak mendapatkan Amyda
cartilaginea. Hal ini dimungkinkan karena Amyda cartilaginea sering ditemukan
secara tidak berkelompok (Suwarno, 1996 dalam Nurbaiti, 1999). Serta aktivitas
pada siang dan malam hari dengan aktivitas makan biasanya pagi jam 06.00 – 10.00
dan sore hari 16.00 – 23.00 (Kusdinar, 1995 ; Rahmi.N, 2008). Sedangkan
pengecekan jaring/pancing dilakukan jam 08 – 16.00 sehingga waktu potensial hanya
3 jam dari 11 jam aktivitas makan labi-labi. Kusrini. dkk, 2009 melaporkan bahwa
peluang untuk dapat menangkap seekor A. cartilaginea cukup kecil. Mengingat
tingginya variasi pada upaya pemancingan (lama pemancingan, jumlah mata
pancing, panjang wilayah yang dipancing), Sesungguhnya data yang dikumpulkan
tidak dapat menggambarkan kondisi populasi A. cartilaginea di lokasi survei.
Perhitungan selanjutnya di bawah ini, mengenai estimasi produksi dan keberhasilan
penangkapan merupakan hasil etimasi kasar yang memerlukan pengulangan pada
masa mendatang. Berdasarkan perbandingan jenis kelamin lebih banyak Amyda
cartilaginea Jantan ( 74 ekor) daripada betina (41 ekor). Sedangkan penggolongan
kelas umur Amyda cartilaginea dapat diperkirakan berdasarkan Panjang Lengkung
Karapas (PLK), maka dapat digolongkan menjadi 3 kelas umur yaitu : remaja 3 ekor,
dewasa muda 14 ekor, dan dewasa 98 ekor. Hal ini dimungkinkan karena individu
dewasa lebih mudah terlihat dan mata pancing yang digunakan berukuran besar (bila
menggunakan alat pancing) sehingga tukik/anakan tidak tertangkap. Rata – rata
pemanenan labi – labi per-bulan 100 ekor lebih (di pengumpul besar). Diketahui ada
3 pengumpul besar di Kutai kertanegara jadi bila kumulasikan menjadi 300
ekor/bulan, artinya dalam 1 tahun untuk wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara saja
bisa mencapai 3600 ekor (3/4 dari quota ekspor). Jumlah ini lebih besar daripada
hasil pemanenan di wilayah Kalimantan Timur bagian utara (Kalimantan Utara) yang
Page 92
Sintesis 2010-2014 | 77
merupakan kantong pemanenan, hanya mencapai 2766/tahun (2/3 dari quota ekspor).
persentase labi-labi Betina yang dipanen lebih kecil yaitu 36 %, sedangkan Jantan
mencapai 64 %. Untuk melihat kategori labi-labi yang dipanen termasuk ke dalam
criteria yang diperbolehkan oleh CITES management (yaitu ukuran <5,5kg dan
>13,5 kg) maka dilakukan penghitungan jumlah labi-labi yang dipanen berdasarkan
criteria berat yang hasilnya adalah 62,2 % ukuran/berat yang boleh dipanen dan
37,8% untuk ukuran/berat yang seharusnya tidak boleh dipanen. Bila dilihat dari
struktur populasi berdasarkan umur/ukuran terlihat jumlah labi-labi yang besar lebih
banyak daripada labi-labi berukuran kecil. Hasil pengumpulan di wilayah ini berbeda
dengan hasil pengumpulan diwilayah utara Kalimantan Timur yang dilaporkan oleh
Kusrini, dkk pada tahun 2009. Akan tetapi hasil pengumpulan labi-labi setiap
wilayah yang bervariasi baik jumlah Maupun ukuran belum tentu bersifat konstan,
yang artinya pengumpulan pada periode tertentu dapat berbeda-beda.
Ancaman Terhadap Populasi Labi-Labi
Ancaman terbesar terhadap populasi labi-labi bukan oleh tingginya tingkat
perburuan/pemanenan, karena hampir tidak ada pekerjaan khusus sebagai pemburu
labi-labi. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan. Jadi hasil
tangkapan labi-labi lebih banyak diperoleh dari pemasangan rawai untuk mencari
ikan berukuran besar, karena lebih pasti daripada khusus mencari labi-labi. Ancaman
terbesar adalah penurunan kualitas dan kuantitas perairan sungai sebagai habitat labi-
labi akibat dari dampak pembukaan lahan untuk tujuan perkebunan dan
pertambangan. Hal ini ditunjukan dari hasil analisis kualitas air yang rendah dan
berdasarkan informasi serta pengamatan langsung banyaknya pembukaan lahan
untuk perkebunan (sawit) yang memanfaatkan lahan berair seperti daerah rawa
sampai dipinggir sungai yang tidak sesuai dengan jarak minimal dari sempadan
sungai. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya berasal dari perkebunan akan tetapi
juga berasal dari pertambangan serta budaya masyarakat sendiri yang membuang
sampah di sungai. Dari hasil penelitian sebelumnya tidak diketahui populasinya
secara pasti, akan tetapi ancaman konversi lahan basah (rawa) sampai sempadan
sungai berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas habitat Amyda cartilaginea.
KESIMPULAN
Pendugaan populasi di alam tidak dapat diperkirakan secara pasti, tetapi
produksi pemanenan di tingkat pengumpul dapat menjadi acuan yang lebih
mendekati/mendukung prinsip kehati-hatian dalam penentuan quota. Monitoring
berkelanjutan perlu dilakukan dengan dibantu oleh enumerator di lokasi asal
pemanenan. Parameter analisis kualitas yang lengkap perlu dilakukan untuk
menentukan tingkat kualitas air dan dampaknya bagi labi-labi sehingga dapat
dijadikan indikator kualitas habitat bagi Amyda cartilaginea serta dapat dipergunakan
sebagai standar kualitas kolam budidaya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah
dicapai terlihat hasil pemanenan Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur di
Page 93
Sintesis 2010-2014 | 78
khawatirkan tidak mencukupi quota (3/4 dari kuota 5000 ekor/tahun) bila
Kalimantan Utara memiliki kuota sendiri karena sebelumnya Kalimantan Utara
masih masuk dalam kuota Kalimantan Timur untuk ekspor satwa liar. Di
Kalimantan Timur sendiri upaya penangkaran dan budidaya belum ada karena
menganggap hasil tangkapan dari alam masih cukup banyak. Perlu dilakukan
pembudidayaan guna memenuhi permintaan pasar yang diharapkan bisa menekan
penangkapan dan penurunan populasi skala besar. Masih kurangnya informasi
penangkaran dan teknik budidaya Labi-Labi Amyda cartilaginea di Kalimantan
Timur maka perlu dilakukannya penelitian upaya penangkaran labi-labi di
Kalimantan Timur.
a.12. Kajian Biodiversitas, Potensi dan Sebaran Mambruk (Goura sp.) di Hutan
Papua.
Pendahuluan
Diperkirakan Papua memiliki 8 dari 24 daerah burung endemik (DBE) di
Indonesia (DBE terbesar di dunia). Selain itu terdapat sekitar 101 spesies burung
sebaran terbatas (BST) atau 25% BST di Indonesia dengan tingkat endemisitas Papua
sebanyak 39 spesies. Spesies burung-burung tersebut yang tersebar di kawasan
Papua, terdapat beberapa jenis yang kemungkinan merupakan jenis satwa kunci suatu
daerah yang perlu mendapat perhatian.
Sebagai jenis yang dilindungi Goura spp.,merupakan jenis endemik yang telah
ditetapkan oleh Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora
and Fauna (CITES), (UNEP-WCMC, 2011) dengan status Vulnerable oleh The
IUCNRed List of Threatened Species (IUCN, 2010) maupun Undang-Undang
Pemerintah sebagai jenis yang dilindungi dan terancam kepunahan, namun keadaan
dilapangan tidak menjamin jenis-jenis tersebut yang termasuk dalam kategori
dilindungi dapat bertahan leluasa dan bebas. Jenis ini masih merupakan jenis yang
paling dicari dan diincar oleh para kolektor satwa burung, baik untuk dipelihara
maupun dijual. Selain perburuan, adanya ekosistem hutan tempat beraktifitas yang
telah terganggu. Sehingga habitat sebagai tempat tinggal (baik untuk
berkembangbiak, mencari makan dan aktifitas lainnya) bagi jenis ini semakin
terdesak dan tidak menutup kemungkinan jenis ini dapat hilang (punah).
Sebagai akibat dari tekanan kebutuhan ekonomi dan adanya kepentingan daerah
yang semakin berkembang, kondisi kawasan hutan sebagai tempat hidup dan
berkembang perlu dilakukan kajian identifikasi keragaman jenis, habitat dan sebaran
populasi dari jenis yang termasuk dalam kategori langka dan dilndungi. Data dan
informasi yang berkenaan dengan jenis, habitat dan sebarannya dapat kiranya
dijadikan acuan sebagai penetapan pengelolaan kawasan yang lestari dan jenis yang
menjadi proritas perhatian dalam melindungi jenis langka yang terancam kepunahan.
Page 94
Sintesis 2010-2014 | 79
Hasil Sintesis
Hasil pengamatan yang dilakukan pada kawasan hutan Warmariri (Sarmi), Sasui
(Tambraw) dan Sidei (Manokwari), secara sederhana dibuat dalam bentuk tabel hasil
pengamatan yang terdiri dari habitat, kepadatan (ekor) dan sebaran burung saat
pengamatan yang dapat dilihat diketahui beberapa di antaranya terdapat hasil
pengamatan.
Pada daerah pengamatan di hutan Warmariri, pengamatan dibagi dalam
beberapa petak pengamatan yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabel. Pada
Tabel 18. menampilkan hasil pengamatan di petak I yang disajikan sebagai berikut:
Tabel 18. Petak pengamatan I di hutan Warmariri. Sarmi
Titik Habitat Jumlah perjumpaan burung (ekor)
Primer Sekunder Rawa Primer Sekunder Rawa
I
Pada kawasan
hutan ini
banyak
ditemukan
jenis tegakan
pohon seperti
Intsia sp.,
Celtis
latifolia,
Canarium
commune,
Pometi
sp.,danIntsia
palembanica
Habitat hutan
sekunder pada
titik
pengamatan
ini didoinasi
jenis
Antocephalus
cadamba,
Pericopsis
moniana
Diketahui
beberapa jenis
pohon yang
terdapat pada
habitat ini
adalah Ficus
spp.,
Macaranga
spp.,
Metroxylon sp.,
Dysoxylum
molle
danbeberapa
jenis palem
2 3 Tidak
ditemukan
II
Jenis tegakan
pohon seperti
Intsia sp.,
Litsea
sp.,Pometia
spdan
Myrstica sp.
Jenis tegakan
pohon seperti:
Ficus spp,
Macaranga
spp
Dysoxylum
molle dan
Pometia sp.
Tidak terdapat
rawa
Tidak
ditemukan 1 -
III
Tegakan
pohon
Pometia
sp.,Intsia
palembanica,
Ficus spp.,
Canarium sp.,
dan Litsea sp.
Tegakan
pohon Ficus
spp, Pometia
spdan
Myrstica sp.
Beberapa jenis
palem dan
Metroxylon sp.
1 Tidak
ditemukan
Tidak
ditemukan
IV Tegakan Tegakan Tidak terdapat Tidak Tidak -
Page 95
Sintesis 2010-2014 | 80
Sedangkan pada petak pengamatan II disajikan pada Tabel 19. sebagai berikut;
Tabel 19. Petak pengamatan II di hutan Warmariri, Sarmi
Titik Habitat
Jumlah perjumpaan burung
(ekor)
Primer Sekunder Rawa Primer Sekunder Rawa
I
Pada kawasan hutan
ini banyak ditemukan
jenis tegakan pohon
seperti
Pimelodendron
amboinicum, Celtis
latifolia, Canarium
commune dan Intsia
palembanica
Pada habitat ini
diketahui jenis
tegakan
Canarium sp,
Myristica fatua
dan Artocarpus
communis
Tidak
terdapat
rawa
Tidak
ditemukan 3 -
II
Jenis tegakan pohon
seperti Pometia sp.
Canarium sp.,
Artocarpus sp.,dan
Myrstica sp.
Jenis tegakan
pohon seperti:
Ficus spp.,
MyristicaMacara
nga spp
Dysoxylum molle
dan Artocarpus
Tidak
terdapat
rawa
1 Tidak
ditemukan -
Sementara hasil pengamatan di kawasan hutan Sasui, Kabupaten Tamraw, dapat
disajikan pada Tabel 20. sebagai berikut:
Tabel 20. Petak pengamatan di hutan Sasui. Tamraw.
Titik Habitat
Jumlah perjumpaan
burung (ekor)
Primer Sekunder Primer Sekunder
I
Pada habitat ini diketahui jenis
tegakan Myristica spp,
Canarium sp, dan Litsea sp.,
Ficus spp., dan Pometia sp.
Pada habitat ini
diketahui tegakan
pohon dari jenis
:Pometia coreaceae,
Dracontomelon dao,
Sterculia parkinsonii
dan Antocephalus
cadamba
Tidak
ditemukan 2
pohon
Antocephalus
cadamba,
Pericopsis
moniana,
Myristica spp,
Canarium sp
pohon
Macaranga
spp.,
Metroxylon
sp.,
danbeberapa
jenis palem
rawa ditemukan ditemukan
Page 96
Sintesis 2010-2014 | 81
Titik Habitat
Jumlah perjumpaan
burung (ekor)
Primer Sekunder Primer Sekunder
II
Jenis tegakan pohon Pometia
sp., Litsea sp., Pimelodendron
amboinicum, Celtis latifolia
Canarium commune dan
Intsia palembanica
Canarium commune,
Intsia palembanica,
dan Dracontomelon
dao, Litsea sp dan
Pometia spp.
Tidak
ditemukan
Tidak
ditemukan
III
Canarium sp., Myristica fatua
Artocarpus communis
Dysoxylum molle
Gnetum genemo,
Alstonia sp.,
Pometia coreaceae,
dan Dracontomelon
dao
Tidak
ditemukan 1
IV
Antocephalus cadamba,
Dysoxylum molle, Pericopsis
moniana, Dysoxylum molle
Canarium sp,
Dysoxylum molle,
Litsea sp., Myristica
dan Gnetum genemo
2 Tidak
ditemukan
Pada hasil pengamatan yang dilakukan pada daerah hutan Sidei, Kabupaten
Manokwari disajikan pada Tabel 21. sebagai berikut;
Tabel. 21. Petak pengamatan I di hutan Sidei, Manokwari
Titik Habitat
Jumlah perjumpaan burung
(ekor)
Primer Sekunder Primer Sekunder
I
Jenis tegakan pohon
seperti Intsia sp., Spondias
sp., Octomeles sumatrana,
Pisonia umbelliferra, vitex
pinnata dan Vatica rassak
Jenis tegakan pohon
seperti Dysoxylum molle,.
Intsia sp., Spondias sp.,
Pisonia umbelliferra, dan
Vatica rassak
Tidak
ditemukan 3
II
Jenis tegakan pohon
seperti Octomeles
sumatrana, Spondias sp,
dan Litsea sp.
Jenis tegakan pohon
seperti Spondias sp.,
Octomeles sumatrana,
Pisonia umbelliferra, dan
Vatica rassak
Tidak
ditemukan
Tidak
ditemukan
III
Jenis tegakan pohon
seperti Intsia sp., Pisonia
sp.,Litsea sp., Ficus sp
dan Octomeles sumatrana
Jenis tegakan pohon
seperti Intsia sp.,
Canarium sp, 1
Tidak
ditemukan
Sedangkan pada Tabel 22. ditampilkan petak pengamatan II yang dilakukan di
hutan sedei sebagai berikut;
Page 97
Sintesis 2010-2014 | 82
Tabel. 22. Petak pengamatan II di hutan Sidei, Manokwari
Titik Habitat
Jumlah perjumpaan
burung (ekor)
Primer Sekunder Primer Sekunder
I
Intsia sp., Pisonia sp
Dysoxylum molle, Litsea sp.,
dan Myristica
Dysoxylum molle,. Intsia sp.,
Spondias sp., Pisonia
umbelliferra, dan Vatica rassak
1 2
II
Spondias sp, Litsea sp.
Pisonia spdan Dysoxylum
molle
Spondias sp., Octomeles
sumatrana, Pisonia
umbelliferra, dan Vatica rassak
Tidak
ditemuka
n
1
III
,Litsea sp., Ficus sp dan
Octomeles sumatrana, Intsia
sp., Spondias sp., dan
Octomeles sumatrana
Intsia sp., Canarium sp,
Dysoxylum molle, Litsea sp.,
Myristica
Tidak
ditemuka
n
Tidak
ditemuka
n
IV
Pisonia umbelliferra, vitex
pinnata dan Vatica rassak
Intsia sp., Spondias sp.,
Octomeles sumatrana
Tidak
ditemuka
n
Tidak
ditemuka
n
Habitat
Berdasarkan pengamatan di beberapa tipe habitat yang ada di kawasan tersebut
dapat dibedakan menjadi tipe habitat rawa, hutan primer dan sekunder. Hutan
sekunder banyak didominasi dengan kondisi tegakan hutan yang terbuka sebagai
akibat dari perambahan atau pembukaan lahan sebagai kebun masyarakat., sehingga
areal ini lebih terbuka dibandingkan pada tipe habitat lainnya. Dari beberapa habitat
ini, diketahui tipe habitat sekunder yang didalamnya teraliri atau adanya genangan
air dan dalam kondisi yang agak lembab merupakan tempat yang sering dikunjungi
Goura spp. Hal ini diketahui telah ditemukan jejak atau bekas bemain atau mengais-
ngais tanah untuk mencari makanan yang dapat ditampilakan pada Gambar 35
sebagai berikut:
Gambar 35. Jejak Goura spp. yang ditemukan
Page 98
Sintesis 2010-2014 | 83
Di habitat ini ditumbuhi juga jenis-jenis vegetasi seperti Ficus spp, dan,
Macaranga spp serta berbagai jenis liana, herba dan tumbuhan bawah. Pada daerah
ini juga banyak ditumbuhi tanaman sagu (Metroxylon sp). Sementara pada Gambar
36., hasil pengamatan di habitat hutan primer ditemukan sarang burung baru
dibangun oleh Goura spp.
Potensi
Goura spp. yang ditemukan pada kawasan hutan Warmariri dari jenis Goura
spp.Victoria. Sedangkan jenis Goura spp. yang sitemukan di daerah seputaran Papua
Barat dari jenis Goura spp.Cristata. Secara umum potensi kedua jenis ini belum
dapat dipastikan, hal ini adanya keterbatasan dalam pengamatan yang dilakukan saat
kegiatan berlangsung. Penemuan secara visual tidak mudah dijumpai, namun jejak
atau bekas cakaran (mengais) dimana tempat bermain dan mencari makan pada lantai
hutan dapat dilihat dan ditemukan.
Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan beberapa informasi yang
diperoleh dari masyarakat setempat, jenis ini melakukan aktifitasnya secara
kelompok kecil (lek). Dapat dijumpai antara 2 hingga 4 ekor dalam aktifitasnya.
Minimnya data dan informasi mengenai potensi Goura spp., tidak terlepas dari
pelaksanaan kegiatan pengamatan dilapangan dan adanya sensifitas Goura spp.
tersebut terhadap kondisi lingkungan. Berdasarkan informasi masyarakat yang sering
melakukan perburuan, pada jenis ini (Goura spp.), sering hanya mendapatkan 1
(satu) hingga 2 (dua) ekor saja, bila dibandingkan melakukan perburuan untuk jenis
lainnya seperti pada kelompok Ducula, Julang Irian atau jenis Parrot lainnya. Hal
ini disebabkan pada jenis ini relatif sangat sensitif dan peka terhadap kondisi
lingkungan sekitar. Bila konsidi sekitar tempat beraktifitas terganggu dengan cepat
langsung terbang burung meninggalkan tempat tersebut. Sehingga tidak mudah untuk
mendekati dan memantau keberadaan jenis ini.
Gambar 36. Sarang Goura spp. di hutan primer
Page 99
Sintesis 2010-2014 | 84
Sebaran
Pengamatan Goura spp. yang dilakukan di beberapa tempat cukup menyulitkan,
hal ini disebabkan jenis ini sangat sensitif terhadap faktor lingkungan yang dianggap
mengganggu. Perilaku yang ditunjukan oleh Goura spp. bila merasa terganggu atau
terancam dengan cara langsung terbang pada menjauh dari sumber pengganggu dan
hinggap di dahan yang tinggi seraya mengeluarkan suara untuk memberitahukan
kelompok lainnya. Hal ini sering terjadi di lokasi pengamatan yang menyebabkan
kedala dalam kegiatan pengamatan.
Berdasarkan pengamatan yang diperoleh terdapat beberapa jenis burung lain
yang berasosiasi dengan burung Goura spp. Diketahui jenis Bayan (Eclectus
roratus), Nuri hitam (Chalcopsitta atra) dan beberapa jenis Ducula. Sebaran
beberapa jenis Goura spp. ditemukan pada daerah tertentu. Pada areal hutan
sekunder tidak ditemukan/ terdengar, hal ini kemungkinan disebabkan adanya lahan
terbuka untuk berkebun sehingga kemungkinan habitat bagi burung tersebut yang
tidak nyaman.
Pada daerah yang berawa, dimana kondisi yang agak lembab dan adanya aliran
air serta sumber pakan yang ada dilantai hutan. yang sering didatangi oleh jenis ini.
Hal ini dapat dilihat adanya bekas jejak kaki atau bekas mengais tanah tuk mencari
makanan di lantai hutan.habitat hutan
Sedangkan pada habitat hutan primer, berdasarkan informasi dari masyarakat
yang menngataan bahwa jenis ini sering mendatangi pohon pala hutan (Myrstica
spp.) untuk memakan buahnya yang jatuh di lantai hutan.
Pemanfatan
Pada umumnya masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai peramu, dimana
menggantungkan hidupnya pada berkebun dan mencari ikan. Hal ini terlihat dengan
adannya kebun tanaman semusim yang banyak di temukan di sepanjang jalan menuju
kawasan dan adanya kebun tanaman pinang, pisang dan tanaman semusim (jagung,
kacang atau ketela) yang merupakan tanaman andalan oleh masyarakat. Pemanfaatan
secara langsung satwa burung, diketahui pada sebagian dari mereka melakukan
perburuan untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan protein maupun untuk
menambah ekonomi. Untuk menambah ekonomi dengan cara menjual jenis ini,
namun bila hasil buruan mereka masih hidup. Sedangkan bila hasil perburuan
mereka telah mati, biasa mereka konsumsi sendiri atau ada yang berkeinginan untuk
membeli.
Berdasarkan informasi dari masyarakat, harga Goura spp. anak (muda) relatif
lebih murah rata-rata berkisar Rp. 30.000,- hingga Rp. 50.000,- dibandingkan yang
telah dewasa yang berkisar Rp. 100.000,- hingga Rp. 150.000,-. Berbeda dengan
jenis lainnya seperti burung Kakatua atau Nuri, dimana yang anak (muda) relatif
lebih mahal berkisarRp. 100.000,- hingga Rp. 120.000,-. Menurut keterangan
Page 100
Sintesis 2010-2014 | 85
masyarakat, jenis Goura spp. tidak dapat menirukan atau bernyanyi seperti burung
kakatua atau Nuri yang dapat dilatih. Sehingga harganya lebih murah, selain itu pada
usia muda masih perlu perawatan pemeliharaan termasuk dalam pemberian pakan.
Sedangkan bila telah dewasa (besar) dapat dipelihara untuk kepentingan hobby atau
estetika sebagai peliharaan di rumah.
Implementasi Hasil Penelitian
A. Metode
Mengetahui secara pasti populasiGoura spp. berdasarkan jumlah induk sangat
sulit dilakukan. Pendekatan terbaik adalah dengan mengetahui intensitas perburuan
masyarakat dan berapa hasil yang mereka peroleh, sehingga dapat dilakukan estimasi
jumlah Goura spp. tersebut dalam kawasan hutan. Observasi secara langsung
dengan teknik survey membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga perlu
dilakukan penggalian informasi dari masyarakat yang mengetahui kebiasaan jenis
burung ini bermain. Penyadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sangat
diperlukan guna menunjang upaya konservasi selanjutnya. Melalui pertemuan yang
digagas oleh pemerintah daerah maupun ketua adat akan memberikan pengertian dan
pemahaman kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian plasma nutfah yang ada
didaerahnya.
B. Input Kebijakan
Pemanfaatan satwa liar mendapat dukungan pada pasal 2, 3 dan 23 dari UU no.
41 tahun 1999 yang isinya menjelaskan bahwa peyelenggaraan dan pemanfaatan
kehutanan berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat
yang berkeadilan. Namun perlu dilakukan pemberian rambu-rambu dalam
melakukan hal tersebut, dimana terkadang lebih banyak disalah gunakan dalam
pelaksanaanya. Dalam banyak kasus perlindungan terhadap satwa liar, kegiatan
konservasi pada ayat 3 UU No. 5 tahun 1990 belum dilaksanakan karena berbagai
pertimbangan.
C. Produk
Pengetahuan akan penangkaran setidaknya dapat menjadi jembatan bagi
masyarakat dalam meningkatkan populasi di luar kawasan hutan (ek situ).
Penanggaan yang baik pada pengelolaan penangkaran akan berjalan sesuai dengan
perencanaan apabila adanya kompensasi bagi masyarakat dalam melakukan
penangkaran.
Kesimpulan Dan Saran
1. Pada kawasan yang agak lembab merupakan tempat yang sering didatangi oleh
burung Goura spp..
2. Rendahnya penemuan jenis mambruk kemungkinan disebabkan perburuan yang
dilakukan oleh masyarakat sebagai penyedia protein keluarga, dan kemungkinnan
Page 101
Sintesis 2010-2014 | 86
lainnya adalah sensitifnya jenis ini terhadap kondisi yang kurang nyaman,
sehingga kegiatan pengamatan kuarng mendapat hasil yang maksimal.
3. Upaya konservasi dengan melalui kegiatan penangkaran merupakan upaya
perlindungan perlu dilakukan untuk mencegah kerentanan atau punahnya jenis ini.
a.13. Karakteristik Habitat Dan Populasi Kuskus Bertotol Biasa (Spilocucus
maculatus) di Hutan Dataran Rendah Papua
Kuskus bertotol biasa (S) merupakan salah satu jenis kuskus yang umum
dijumpai pada kawasan hutan dataran rendah, baik pada hutan primer maupun
sekunder. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter morfologis jenis S pada ke dua
lokasi pengamatan (di Pulau Moor), satwa ini diketahui merupakan jenis kuskus
berukuran paling besar jika dibandingkan dengan jenis kuskus lainnya yang terdapat
pada kawasan ini (Phalanger orientalis), perbedaan jenis kelamin menun-jukkan
adanya dimorfisme nyata, yaitu pejantan berukuran lebih besar daripada jenis betina
dan dapat mencapai 650 mm (kira-kira sepanjang lengan orang dewasa). Panjang
ekor sama dengan panjang tubuh dan hanya ¼ -1/3 dari ujung distal yang tidak
berbulu.
Seperti halnya jenis-jenis kuskus pada umumnya, jenis Stelah umum
dimanfaatkan oleh penduduk lokal di Papua secara turun-temurun, terutama untuk
konsumsi daging sebagai salah satu sumber protein hewani. Kuskus ini termasuk
hewan buruan yang mudah di-jumpai pada malam hari dalam perburuan, karena
satwa ini biasanya bergerak lambat di atas tajuk vegetasi, kehadiran mereka dapat
dengan mudah dideteksi melalui aroma pekat dari suatu zat berbentuk gel yang
dieksresikan lewat anusnya dan pollet pada dahan-dahan vegeta-si untuk menandai
wilayah jelajahnya (home range). Aroma tersebut dapat diketahui dari jarak yang
cukup jauh. Mereka juga seringkali dapat dideteksi melalui suara ringkikannya
ketika berkelahi maupun kawin. Kuskus bertotol biasa (S) dewasa ini menjadi jenis
yang marak diburu (dengan teknologi berburu yang lebih modern) karena selain
untuk konsumsi daging, karena bulunya yang halus dengan pola warna yang indah
biasanya juga dijadikan berbagai bentuk karya kerajinan tas ataupun untuk
diawetkan. Satwa ini juga seringkali ditangkap untuk diperdagangkan secara ilegal
ataupun untuk dipelihara. Selain oleh aktivitas perburuan, penebangan dan konversi
areal hutan merupakan ancaman serius bagi eksistensi satwa Sdan fauna arboreal
lainnya karena rusaknya/hilangnya habitat serta terganggunya jalur lalulintas dalam
pergerakan mereka.
Dapat disimpulkan bahwa Kuskus bertotol biasa (Spilocuscus) merupakan satwa
yang peka terhadap gangguan sehingga cenderung menempati habitat yang tidak
terusik. Hal ini terlihat dari rendahnya kepadatan populasi satwa pada tempat-tempat
yang telah mengalami kerusakan habitat. Populasi di lokasi penelitian terendah
terjadi pada areal hutan yang terganggu dan tinggi pada areal hutan yang tidak
terganggu dengan kisaran kepadatan populasi antara 3,093 – 13,173 satwa per
Page 102
Sintesis 2010-2014 | 87
hektar. Pada umumnya Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus) mudah dijumpai pada
habitat yang menyediakan lebih beraneka ragamnya jenis vegetasi pakan dan
vegetasi tempat berlindung. Beberapa populasi satwa Kuskus Bertotol Biasa
(Spilocuscus) terisolasi pada daerah kepulauan memiliki karakteristik yang unik,
namun pada umumnya satwa tersebut rentan terhadap kepunahan sehingga
diperlukan tindakan pengelolaan populasi dan habitat yang optimal.
b. Teknik Pelestarian Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah
b.1. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821)
Pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara
Seleksi Sumberdaya/Komponen Habitat
Variabel komponen habitat/sumberdaya untuk penentuan pemi-lihan site adalah
jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X1), jumlah jenis tumbuhan pakan
pada tingkat tiang (X2), jumlah jenis vegetasi tingkat pohon (X3), jumlah jenis
vegetasi tingkat tiang (X4), Lbds total tingkat pohon (X5), Lbds total tingkat tiang
(X6), tinggi tumbuhan pada tingkat pohon (X7), tinggi tumbuhan pada tingkat tiang
(X8), kerapatan vegetasi pada tingkat pohon (X9), kerapatan vegetasi tingkat tiang
(X10), kerapatan jenis tumbuhan pakan tingkat pohon (X11), kerapatan jenis
tumbuhan pakan tingkat tiang (X12), suhu udara (X13), kelembaban udara (X14).
Berdasarkan tahapan analisis maka model RSF yang terbentuk dari
persamaan regresi adalah :
𝜋(𝑥) =exp(−1,779 + 0,683𝑋2 − 2,849𝑋6 − 0,178𝑋8)
1 + exp(−1,779 + 0,683𝑋2 − 2,849𝑋6 − 0,178𝑋8)
Keterangan :
𝜋(𝑥) = kemungkinan kehadiran siamang
X2 = jumlah jenis pakan tingkat tiang
X6 = Lbds total tingkat tiang
X8 = Tinggi tumbuhan tingkat tiang
Analisis terhadap komponen habitat menunjukkan bahwa kemung-kinan
kehadiran siamang ditentukan oleh jumlah jenis pakan tingkat tiang, luas bidang
Gambar 37. Kuskus Bertotol Biasa
(Spilocuscus maculatus ) jantan.
Gambar 38. Kuskus Bertotol Biasa
(Spilocuscus maculatus ) betina
Page 103
Sintesis 2010-2014 | 88
dasar total tingkat tiang, dan tinggi tumbuhan tingkat tiang. Hasil ini memberikan
gambaran bahwa vegetasi pertumbuhan tingkat tiang memiliki arti sangat penting
bagi kehidupan siamang. Walaupun sebagai satwa aboreal siamang tergantung pada
keberadaan pohon, tetapi keberadaan tingkat pertumbuhan tiang sangat penting
artinya.Secara keseluruhan hasil penelitian habitat ini menunjukkan bahwa tipe
habitat tidak memberikan implikasi penting bagi keber-adaan siamang di CADS,
namun komponen habitat pada tingkat tiang yang memberikan implikasi penting.
Hasil analisis rendahnya ukuran keanekaragaman hayati tingkat tiang dibandingkan
tingkat pertumbuh-an lainnya perlu mendapat perhatian dalam upaya pengelolaan
kawasan CADS sebagai habitat siamang.
Produktifitas Pakan dan Daya Dukung Habitat
Rata-rata kerapatan tumbuhan pakan siamang di CA. Sipirok adalah sebesar 136
individu/ha (hasil analisis dari Kwatrina et al., (2011)), Data ini selanjutnya akan
digunakan dalam analisis biomassa, produktivitas dan daya dukung habitat bagi
siamang di CA. Sipirok.
Nilai rata-rata biomasa daun tumbuhan pakan siamang pada hutan sekunder
sebesar 4,04 kg/individu pohon (berat basah) lebih besar dibandingkan biomassa
pada hutan primer sebesar 3,04 kg/individu pohon (berat basah) dan hal yang sama
juga pada berat keringnya. Apabila kerapatan tumbuhan pakan daun di CA. Dolok
Sipirok sekitar 136 ind./ha maka dugaan biomassa pada hutan primer sebesar 414
kg/ha (berat basah) dan 222 kg/ha (berat kering) dan pada hutan sekunder sebesar
550 kg/ha (berat basah) dan 249 kg/ha (berat kering). Rata-rata biomassa per
individu pohon atau per hektar pada hutan sekunder lebih besar dapat terjadi akibat
adanya perbedaan intensitas cahaya, iklim mikro serta kondisi bio-fisik lainnya.
Sebagai contoh, intensitas cahaya yang lebih tinggi sampai menembus lapisan bawah
tajuk pada hutan sekunder karena kerapatan lebih rendah (Kwatrina et al, 2011)
mengakibatkan lebih banyak daun yang berkembang pada setiap ranting atau cabang
pohonnya.
Hasil pendugaan nilai produktivitas daun pada hutan sekunder diperoleh sebesar
10,8 kg/ha/hari (berat basah) atau 6,8 kg/ha/hari (berat kering) dan pada hutan primer
sebesar 10,1 kg/ha/hari (berat basah) atau 4,7 kg/ha/hari (berat kering). Dengan
demikian, rata-rata nilai produktivitas daun (hutan sekunder dan hutan primer) adalah
sebesar 10,5 kg/ha/hari (berat basah) atau 5,75 kg/ha/hari (berat kering). Hasil
penelitian ini tidak berbeda jauh dengan Chapin III (2002) yang menyatakan bahwa
produktivitas daun pada tumbuhan di hutan hujan tropis sekitar 1,14 gram/m2/hari
atau 11,4 kg/ha/hari.
Nilai rata-rata produktivitas daun pakan siamang antara hasil pendugaan
(analisis regresi) dengan hasil pengukuran di lapangan tidak begitu berbeda, kecuali
pada berat kering di hutan primer. Hal ini menunjukkan bahwa nilai simpangan baku
dari ke dua pendekatan di atas sangat kecil, kurang dari 1 gram/m2/hari. Hasil ini
Page 104
Sintesis 2010-2014 | 89
menunjukkan bahwa persamaan di bawah ini dapat menjadi referensi untuk menduga
produktivitas daun tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA. Sipirok
dan sekitarnya, yaitu:
Produktivitas daun pada hutan sekunder:
- Berat basah : Yb= -2,035 + 0,146 Dp, Adjusted R2 = 61,1 %
- Berat kering : Yk= -1,266 + 0,091 Dp, Adjusted R2 = 56,0 %
Produktivitas daun pada hutan primer:
- Berat basah : Yb = -0,310 + 0,002 Dtj, Adjusted R2 = 60,6 %
- Berat kering : Yk = -0,189 + 0,001 Dtj, Adjusted R2 = 61,7 %
Nilai dugaan biomassa tumbuhan pakan buah siamang pada hutan sekunder
sebesar 17,13 kg/individu pohon (berat basah) dan 7,92 kg/individu pohon (berat
kering). Pada hutan primer diperoleh sebesar 16,69 kg/individu pohon (berat basah)
dan 7,63 kg/individu pohon (berat kering). Secara keseluruhan, nilai rata-rata
biomassa antara hasil pendugaan (analisis regresi) dengan hasil pengukuran di
lapangan untuk pakan buahpun tidak begitu berbeda, baik pada hutan primer maupun
hutan sekunder. Nilai rata-rata simpangan baku di bawah 0,5 kg/individu pohon.
Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan di bawah ini dapat menjadi referensi untuk
menduga biomassa buah tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA.
Sipirok dan sekitarnya, yaitu:
a. Biomassa buah pada Hutan Sekunder:
- Berat basah: Yb= 0,07 + 1,111 Dp – 1,316 Ttot, Adjusted R2 = 81,2%
- Berat kering: Yk= 1,929 + 0,510 Dp – 0,748 Ttot, Adjusted R2 = 65,3%
b. Biomassa buah pada Hutan Primer:
- Berat basa : Yb= -12,598 + 3,275 Dp – 4,299 Ttot, Adjusted R2 = 90,5 %
- Berat kering: Yk= -7,808 + 1,694 Dp – 2,198 Ttot, Adjusted R2 = 89,7 %
Nilai produktivitas buah tumbuhan pakan siamang (berdasarkan contoh
penelitian) adalah sebesar 58,94 kg/ha per hari (berat basah) dan 35,90 kg/ha per
hari (berat kering) pada hutan sekunder dan pada hutan primer diperoleh sebesar
60,50 kg/ha per hari (berat basah) dan 26,95 kg/ha per hari (berat kering). Dengan
demikian, rata-rata dugaan nilai produktivitas buah pakan siamang (hutan primer dan
sekunder) adalah sebesar 59,72 kg/ha per hari (berat basah) dan 27,45 kg/ha per hari
(berat kering). Persentase spesies tumbuhan pakan buah tentunya tidak serentak
sepanjang musim berbuah (100%), Sugardjito (1986) menyatakan bahwa jenis
tumbuhan berbuah rata-rata hanya berkisar antara 5–30 % dalam setiap bulannya.
Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh nilai produktivitas buah
(mempertimbangkan musim ber-buah) rata-rata berkisar antara 10,45 kg/ha per hari
(berat basah) dan rata-rata sebesar 4,81 kg/ha per hari (berat kering).
Page 105
Sintesis 2010-2014 | 90
Nilai konsumsi pakan siamang berdasarkan hasil pengamatan di kebun binatang
diperoleh rata-rata sebesar 1,02 kg/hari per ekor. Nilai dugaan daya dukung
(berdasarkan nilai produktivitas daun dan buah dibagi nilai konsumsi pakan) antara
702 – 2.765 ekor atau rata-rata sekitar 1.743 ekor dengan asumsi kondisi hutan CA.
Sipirok tidak mengalami kerusakan dan siamang selalu mengkonsumsi kombinasi
antara buah dan daun. Apabila luas keseluruhan hutan primer dan sekunder sekitar
6.600 ha maka kapasitas optimum kawasan CA. Dolok Sipirok yang akan mampu
mendukung pertumbuhan siamang adalah sekitar 3,5 –4 ha untuk 1 ekor siamang.
Nilai dugaan ini masih cenderung overestimate karena belum memperhatikan
persaingan pakan maupun penggunaan ruang dengan lainnya, seperti orangutan.
Jenis tumbuhan pakan siamang sebagian besar juga merupakan pakan orangutan
yang sama-sama menggunakan CA. Dolok Sipirok sebagai habitatnya (Kuswanda,
2011). Menurut Rockwood (2006), adanya kompetisi konsumsi pakan akan
mengakibatkan suatu jenis satwaliar tidak optimal untuk memanfaatkan segala
sumberdaya yang ada di habitatnya.
Model Pertumbuhan Populasi
Menurut Kwatrina et al., (2010), dugaan kepadatan siamang di CA. Dolok
Sipirok saat ini adalah 9,91±3,4 individu/km2 dengan dugaan populasi sekitar 691
ekor. Hal ini berarti ke depannya populasi siamang masih dapat berkembang sampai
mencapai nilai daya dukungnya. Namun demikian, untuk meningkatkan populasi
siamang tersebut perlu didukung oleh rencana pengelolaan yang tepat, terutama
untuk mengantisipasi perubahan dan penyerobotan kawasan menjadi lahan pertanian
atau pemukiman yang sudah terjadi di beberapa lokasi sekitar CA. Sipirok, seperti
sekitar Desa Rambassiasur dan Daerah Arse.
Berdasarkan analisis dengan menggunakan matrik Leslie diper-oleh dugaan
populasi tahun ke-1 (N1) sebesar 708 ekor dengan N0 merujuk hasil penelitian
Kwatrina et al., (2010) yaitu sebesar 691 ekor. Dari ke dua ukuran populasi tersebut
kemudian dianalisis nilai r (laju pertumbuhan populasi) dengan menggunakan dasar
persamaan pertum-buhan logistik. Nilai r yang diperoleh adalah sebesar 0,041, yang
menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tersebut termasuk kategori titik
keseimbangan yang stabil (Alstad, 2001). Dengan menggunakan nilai r tersebut,
maka populasi akan mencapai kondisi stabil (berfluk-tuasi di sekitar daya
dukungnya) adalah pada tahun ke-170 dengan asumsi kondisi habitat di CA. Dolok
Sipirok tetap dalam kondisi normal (tidak ada bencana, perubahan habitat dan sebab
lainnya secara drastis). Model pertumbuhan populasi siamang (berdasarkan model)
adalah:
𝑁𝑡 =1.743
1 + 1,522. 𝑒−0,041.𝑡
Pada waktu ukuran populasi akan mencapai kondisi stabil (tahun ke-170),
pertumbuhan populasi terjadi sangat lamban (Gambar 39). Kondisi ini dapat
Page 106
Sintesis 2010-2014 | 91
dimungkinkan karena setiap individu akan bersaing memperebutkan sumberdaya
yang sangat terbatas dan tentunya akan mempengaruhi terhadap berbagai perilaku
reproduksi terutama bagi betina dewasa.
Gambar 39. Grafik prediksi pertumbuhan populasi siamang
Grafik ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan populasi siamang di CA.
Dolok Sipirok relatif cepat sampai mencapai ambang batas daya dukungnya, dari
tahun ke-1 sampai tahun ke-80 an. Pertumbuhan populasi akan melambat sesaat akan
mencapai nilai daya dukungnya. Menurut Tarumingkeng (1994), pertumbuhan
populasi satwaliar sebenarnya akan berfluktuasi di sekitar daya dukungnya apabila
tidak ada bencana alam atau faktor lain yang berubah secara ekstrim. Untuk menjaga
pertumbuhan populasi siamang maka pihak pengelola (Balai Besar KSDA Sumut)
disarankan untuk terus melakukan pengamanan kawasan untuk mencegah kerusakan
habitat, terutama akibat perambahan.
b.2. Kajian Habitat dan Sebaran Populasi Kura-kura Leher Ular Rote
(Chelodina mccordi Rhodin, 1994)
Habitat dan Populasi Kura-Kura Leher Ular Rote
Beberapa danau yang pernah menjadi habitat kura-kura leher ular di Kab. Rote
Ndao, berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Dinas Pertanian, Perkebunan
dan Kehutanan serta masyarakat adalah: (1). Kec. Rote Tengah: D.Peto dan
D.Manute; (2). Kec. Rote Selatan: D.Seda; (3). Kec. Lobalain: D.Holoama dan mata
air Lelain; (4). Kec. Rote Barat Daya: D.Tua dan D.Ana; (5). Kec. Rote Barat Laut:
D.Lenggu, D.Naluk: (6). Kec. Rote Barat: D Hela; (7). Kec. Rote Timur: D. Oendui,
D.Oesuti dan D.Landu.
Survei habitat dan populasi kura-kura leher ular Rote dilakukan pada 11 danau
yang tersebar di Pulau Rote. Berdasarkan hasil inventa-risasi dan informasi dari
masyarakat sekitar habitat kura-kura tersebut, dari kesebelas danau hanya 2 danau
yang masih ada populasi kura-kura leher ular Rote, yaitu Danau Peto dan D. Ledulu.
Namun total populasi yang masih ada belum diketahui secara pasti karena selama
inventa-risasi baik dengan metode langsung berupa mengelilingi danau maupun
dengan metode sensus tangkap lepas dengan memasang perangkap, tidak ditemukan
perjumpaan langsung dengan kura-kura leher ular tersebut.
-200
300
800
1300
1800
1
13 25 37 49 61 73 85 97
109
121
133
145
157
169
181
193
205
Pre
dik
si p
op
ula
si
(eko
r)
Tahun ke..
Page 107
Sintesis 2010-2014 | 92
Vegetasi yang dominan pada empat danau (Danau Peto, Manute, Seda, dan Tua)
adalah jenis kayu putih. Danau Ledulu didominasi oleh jenis pohon rawa seperti
pandan hutan dan kedondong air. Danau Holoama, Lenggu, Feo dan Naluk
sekitarnya didominasi oleh tanaman pertanian seperti kelapa. Sedangkan Danau
Oendui dan Ina, di sekitarnya banyak pohon duri (Acacia nilotica).
Sosek Masyarakat Terkait Kura-kura Leher Ular Rote
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangkaan kura-kura leher ular
disebabkan eksploitasi berlebihan yang dilakukan penduduk sekitar guna
memperoleh keuntungan ekonomi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisispasi masyarakat dalam pelestarian
kura-kura leher ular perlu ditingkatkan. Beberapa ke-lompok masyarakat sangat
mendukung upaya pelestarian kura-kura tersebut. Sementara itu, sebagian
masyarakat setempat tidak peduli ter-hadap upaya pelestarian tersebut. Upaya
pelestarian kura-kura leher ular ditempuh dengan berbagai cara. Cara pertama adalah
dengan me-larang eksploitasi kura-kura leher ular serta menghentikan perdagang-
annyadi Pulau Rote. Cara kedua adalah dengan melakukan penangkar-an terhadap
kura-kura leher ular yang masih tersisa dan kemudian mengembalikan lagi anakan
kura-kura tersebut ke habitat aslinya.
Percobaan Pemberian Pakan
Tingkat palatabilitas kura-kura leher ular Rote terhadap pakan yang diberikan
adalah lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang, dengan rata-rata konsumsi
pakan, berturut-turut: 10,7; 7,8; 5,3; dan 2,2 gram/ekor/hari.
Hasil analisis proksimat pakan kura-kura leher ular Rote menunjukkan udang
dan lele memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan
cakalang dan kembung.
Kesimpulan
1. Populasi kura-kura leher ular Rote walaupun masih ada tetapi sudah langka dan
danau yang menjadi habitatnya sudah sangat terbatas.
2. Hasil survei sosek menunjukkan bahwa kelangkaan kura-kura leher ular
disebabkan eksplotasi yang berlebihan.
3. Tingkat palatabilitas kura-kura leher ular Rote terhadap pakan yang diberikan
berturut-turut adalah lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang.
4. Perlu penetapan sebagai kawasan yang dilindungi pada danau-danau yang
habitatnya masih baik dan diduga masih ada populasi kura-kura leher ular Rote.
5. Perlu dibuat aturan yang lebih ketat untuk melindungi populasi kura-kura leher
ular Rote dan habitatnya yang masih ada.
Page 108
Sintesis 2010-2014 | 93
b.3. Analisis Preferensi Habitat Kakatua Sumba (Cacatua sulphurea
citrinocristata) di TN. Laiwangi Wanggameti.
Untuk mengetahui apakah kakatua Sumba memiliki preferensi terhadap
ketinggian tempat dilakukan uji chi-square (X2
hit). Dari hasil penghitungan diketahui
bahwa nilai X2
hit> X2
(0.005,k-1), yaitu 50,06 > 9,488 sehingga terdapat pemilihan
ketinggian tempat oleh kakatua Sumba.
Tabel 23. Nilai chi-square pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba.
Kelas
ketinggian
(m dpl.)
a p ni=O
i
ei=X
nipi Oi – ei
(Oi –
Ei)2/Ei
X2(0.005,k-1)
< 250 7.188,37 0,15 0 9,33 -9,33 9,33
251 – 500 11.570,24 0,25 36 15,01 20,99 29,34
501 – 750 12.465,41 0,27 6 16,17 -10,17 6,40
751 – 1000 12.369,08 0,26 19 16,05 2,95 0,54
1000 –
1250
3.429,90
0,07
0
4,45 -4,45 4,45
Jumlah 47.014 1 61 61 50,06 9,488
Keterangan: a=luas areal, p=proporsi luas areal, Oi=frekuensi kehadiran kakatua,
ei=harapan frekuensi kehadiran kakatua
Untuk mengetahui ketinggian tempat yang disukai kakatua Sumba selanjutnya
dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu (indeks
preferensi). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kakatua Sumba lebih
menyukai lokasi dengan ketinggian tempat antara 201 – 400 m dpl. (Tabel 24).
Tabel 24. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan ketinggian tempat
Kelas
ketinggian
(m dpl.)
a
(ha) p n u e w b rangking
0 – 200 7.188,37 0,15 0 0 9,33 0 0 4
201 – 400 11.570,24 0,25 36 0,59 15,01 2,36 0,6 1
401 – 600 12.465,41 0,27 6 0,10 16,17 0,36 0,09 3
601 – 800 12.369,08 0,26 19 0,31 16,05 1,20 0,31 2
801 – 1000 3.429,90 0,07 0 0 4,45 0 0 5
Jumlah 47.014 1 61 1 61 3,92 1
Keterangan : p=proporsi luas, n=frekuensi kehadiran kakatua, u=proporsi frekuensi
kehadiran kakatua, e=nilai harapan. W=indeks preferensi, b=indeks
preferensi yang distrandarkan.
Untuk mengetahui apakah kakatua memiliki preferensi terhadap kelerengan
tempat dilakukan uji chi-square (X2
hit). Dari hasil penghitungan diketahui bahwa
Page 109
Sintesis 2010-2014 | 94
nilai X2
hit> X2
(0.005,k-1), yaitu 236,57 > 12,592 sehingga terdapat pemilihan kelerengan
tempat oleh kakatua Sumba.
Tabel 25. Nilai chi-square pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba
Kelerengan tempat
(%)
a
(ha) p
ni=
Oi
ei=X
nipi
Oi –
Ei
(Oi –
Ei)2/Ei
X2(0.005,k-
1)
0 – 2 (datar) 29.775 0,63 1 38,63 -37,63 36,66
2 – 8 (landai) 768 0,02 11 1,00 10,00 100,43
8 – 16 (miring) 3.975 0,08 3 5,16 -2,16 0,90
16 – 25 (curam) 1.307 0,03 4 1,70 2,30 3,13
25 – 40 (agak terjal) 1.510 0,03 10 1,96 8,04 33,00
40 – 55 (terjal) 6.551 0,14 12 8,50 3,50 1,44
> 55 (sangat terjal) 3.182 0,07 20 4,13 15,87 61,01
Jumlah 47.014 1 61 61,07 -0,07 236,57 12,592
Keterangan: a=luas areal, p=proporsi luas areal, Oi=frekuensi kehadiran kakatua,
Ei=harapan frekuensi kehadiran kakatua
Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kehadiran kakatua dengan
kelerengan dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu.
Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kakatua lebih menyukai daerah-
daerah yang agak terjal, landai dan terjal (Tabel 26).
Tabel 26.Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan kelerengan tempat
Kelerengan tempat
(%)
a
(ha) p n u e w b rangking
0 – 2 (datar)
29.775 0,63 1 0,02
38,6
3 0,03 0,00 7
2 – 8 (landai) 768 0,02 5 0,08 1,00 5,02 0,22 2
8 – 16 (miring) 3.975 0,08 3 0,05 5,16 0,58 0,03 6
16 – 25 (curam) 1.307 0,03 4 0,07 1,70 2,36 0,11 4
25 – 40 (agak terjal) 1.510 0,03 16 0,26 1,96 8,17 0,36 1
40 – 55 (terjal) 6.551 0,14 12 0,20 8,50 1,41 0,06 5
> 55 (sangat terjal) 3.182 0,07 20 0,33 4,13 4,84 0,22 3
Jumlah
47.014 1 61 1 61
22,4
1 100
Keterangan : p=proporsi luas, n=frekuensi kehadiran kakatua, u=proporsi frekuensi
kehadiran kakatua, e=nilai harapan. W=indeks preferensi, b=indeks
preferensi yang distrandarkan
Komponen habitat terdiri atas komponen fisik dan komponen. Komponen fisik
dan invasi ini membentuk suatu yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar.
Suatu habitat adalah hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci
komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen
terdiri dari vegetasi, mikro dan makrofauna serta manusia (Alikodra, 1990).
Page 110
Sintesis 2010-2014 | 95
Kakatua Sumba menempati wilayah yang memiliki ketinggian tempat beragam,
mulai dari ketinggian 200 hingga 800 m dpl. Dari tiga lokasi tempat dilakukannya
penelitian, kakatua Sumba terkonsentrasi pada ketinggian 200 – 400 m dpl. di lokasi
Blok Hutan Billa.
Faktor yang mempengaruhi frekuensi kehadiran kakatua pada habitat di TNLW
adalah jarak dari aktivitas manusia, jumlah jenis pohon istirahat, jumlah jenis pohon
sarang dan ketinggian lokasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada habitat yang
memiliki jumlah jenis pakan yang banyak dan jauh dari aktifitas manusia maka ada
kecenderungan semakin tinggi frekuensi kehadiran kakatua di lokasi tersebut.
Blok Hutan Billa paling sering dikunjungi oleh kakatua kemudian Mahaniwa
dan Praingkareha. Meskipun Praingkareha memiliki luas paling besar (6.477,56 ha)
dibandingkan dengan Billa (826 ha) dan Mahaniwa (1.866,5 ha) Praingkareha kurang
dikunjungi oleh kakatua. Hal ini diduga terkait jarak dengan aktivitas manusia yang
sangat dekat. Diketahui bahwa Praingkareha dilalui oleh jalan aspal yang
menghubungkan Desa Praingkareha dan Desa Wahang. Jalan tersebut menjadi satu-
satunya akses masyarakat. Terlebih lagi adanya pos per-istirahatan sejenak oleh
angkutan truk di dekat plang kawasan tepatnya di samping mata air menyebabkan
lokasi tersebut cukup ramai pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat mengganggu
keberadaan kakatua.
Berdasarkan pengamatan di lapangan kakatua biasanya tidak nya-man dengan
kehadiran dan aktivitas manusia. Hal tersebut ditunjukkan melalui teriakan
peringatan hingga terbang/kabur meninggalkan lokasi tempat di mana manusia
berada. Namun ada sedikit perbedaan pada perjumpaan dengan dua ekor kakatua di
Praingkareha, Kakatua tersebut tampak tenang bertengger istirahat di ranting pohon
kahambi omang yang tepat terletak di atas jalan aspal yang membelah kawasan Blok
Hutan Praingkareha. Bahkan saat truk penumpang lewat, burung tersebut tetap
tenang bertengger di tempatnya tanpa merasa sedikit terganggu. Diduga hal tersebut
terjadi karena kakatua tersebut sudah terbiasa dan beradaptasi dengan kondisi
lingkungannya.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Kesimpulan
1. Kehadiran kakatua pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan
biotik habitat itu sendiri. Faktor dominan komponen habitat yang mempengaruhi
frekuensi kehadiran kakatua pada suatu habitat yang disukai di TNLW adalah
jumlah jenis pohon pakan, jumlah jenis pohon sarang, jumlah jenis pohon istirahat
dan ketinggian tempat.
2. Habitat yang disukai oleh kakatua di TNLW adalah habitat yang memiliki jumlah
jenis pohon pakan, sarang dan istirahat terbanyak, jauh dari aktivitas manusia dan
Page 111
Sintesis 2010-2014 | 96
memiliki kelerengan agak curam. Komponen habitat yang dapat mendukung
kehadiran kakatua adalah ketinggian tempat berkisar antara 251 – 500 m dpl.
Rekomendasi
1. Lokasi yang disukai kakatua serta daerah yang berdekatan dengan lokasi tersebut
dijadikan zona inti alam pengelolaan di TNLW.
2. Perlu dilakukan pengelolaan habitat dengan cara menanam pohon-pohon pakan,
sarang dan istirahat pada lokasi-lokasi yang tidak disukai oleh kakatua pada
kisaran ketinggian 251 – 500 m dpl.
b.4. Kajian Ekologi dan Teknik Konservasi Trenggiling (Manis javanica
Desmarest. 1822) Pada Hutan Konservasi di Sumatra Utara
Penurunan populasi trenggiling yang cepat mengakibatkan IUCN Red List of
Threatened Species (2008) meningkatkan status konservasi trenggiling menjadi
endangered (terancam punah). Trenggiling banyak diburu karena daging dan
sisiknya dapat dipergunakan sebagai bahan baku kosmetik, hiasan, obat-obatan dan
shabu (narkoba). Pada beberapa daerah lidah trenggiling dipercayai dapat digunakan
untuk penglaris. Pemanfaatan trenggiling yang tinggi membutuhkan upaya
konservasi agar populasi trenggiling dapat berkembang dengan baik dan menahan
laju kepunahan secara alami. Penelitian ini (tahun 2012-2014) bertujuan untuk
mendapatkan informasi ilmiah mengenai kondisi ekologi dan teknik konservasi insitu
trenggiling pada kawasan konservasi di Sumatera Utara. Sasaran penelitian pada
Tahun 2012 adalah tersedianya informasi komponen habitat (vegetasi, suhu,
kelembaban dan pH tanah) pada habitat trenggiling (habitat used dan unused),
pemilihan tipe habitat yang paling disukai oleh trenggiling dan variabel sumberdaya
yang paling mempengaruhi peluang kehadiran (penempatan sarang) oleh trenggiling
di Suka Margasatwa Siranggas.
Rancangan pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara stratifikasi berdasarkan
perbedaan tipe asosiasi vegetasi/tipe habitat dan sehingga mewakili beberapa kondisi
habitat trenggiling. Pada setiap tipe habitat dibuat garis transek (line transect)
sepanjang 1 km yang ditempatkan secara acak (random sampling). Di dalam transek
dibuat plot pengukuran pemilihan tipe dan komponen habitat berbentuk bujur
sangkar/square dengan ukuran 50 m x 50 m. Jumlah plot pada setiap tipe habitat
sebanyak 7 plot (luas total 1,75 ha). Selanjutnya, pada plot pemilihan tipe habitat
dibuat plot pengukuran komponen habitat dengani pembuatan plot analisis vegetasi
menggunakan metode garis berpetak (strip transect method) merujuk Kusmana
(1997). Used plot ditentukan secara search samping method (Morrison et al., 2001)
berdasarkan penemuan lubang dan unused plot diletakan secara sistematik dengan
jarak 100 meter. Pengukuran komponen fisik menggunakan alat ukur, seperti termo-
Page 112
Sintesis 2010-2014 | 97
hygrometer dan soil tester dan komponen spesifik (jumlah lubang semut) dilakukan
pada plot 1 m x 1 m dengan titik tengah plot adalah lokasi lubang.
Variabel komponen habitat/sumberdaya untuk penentuan pemilihan site yang
diamati adalah adalah jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pohon (X1), tingkat tiang
(X2), tingkat pancang (X3) dan tingkat semai dan tumbuhan bawah (X4), luas total
bidang dasar pada tingkat pohon (X5) dan tingkat tiang (X6), kerapatan jenis pada
tingkat pohon (X7), tingkat tiang (X8), tingkat pancang (X9) dan tingkat semai dan
tumbuhan bawah (X10), suhu udara (X11), kelembaban udara (X12), pH tanah
(X13) dan sumber pakan, seperti sarang semut dan/atau serangga (X14). Analisis
data yang digunakan diantaranya adalah indeks keanekaragaman jenis Shannon
(Ludwig dan Reynolds, 1988), analisis deskriptif statistik untuk semua variabel
komponen habitat, analisis MANOVA, uji normalitas data, uji korelasi dan regresi
logistik.
Lokasi plot penelitian pada tipe habitat hutan primer secara geografis terletak
sekitar koordinat 98° 14' 8,3" Bujur Timur dan 02° 34' 16.2" Lintang Utara sampai
dengan 98° 14' 9.8" Bujur Timur dan 02° 34' 45.1" Lintang Utara dengan ketinggian
antara 900 – 1.000 m dpl. Tipe habitat hutan pada 98° 17' 56,4" BT dan 02° 34'
15,5" LU sampai dengan 98° 17' 56,3" BT dan 02° 34' 27.3" LU dan 98° 18' 16,5"
BT dan 02° 34' 16,6" LU sampai dengan 98° 18' 13,9" BT dan 02° 34' 32.9" LU
dengan ketinggian antara 1.000 – 1.150 m dpl. Tipe habitat hutan campuran pada
98° 12' 51,0" BT dan 02° 34' 23,8" LU sampai dengan 98° 13' 19.7" BT dan 02° 34'
20,5" LU dengan ketinggian antara 520-650 m dpl. Tipe lahan perkebunan
masyarakat pada 98° 15' 5.5" BT dan 02° 36' 8.6" LU sampai dengan 98° 14' 29.2"
BT dan 02° 36' 7.4" LU dengan ketinggian 650 – 700 meter dpl.
Komponen habitat biotik dari seluruh plot penelitian (42 plot) memiliki nilai
rata-rata adalah untuk jenis dan jumlah tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan
bawah adalah 6,1±2,2 jenis/4m2 atau 15,8 individu/4m
2, tingkat pancang 3,7±1,5
jenis/25m2 atau 6,3 individu/25m
2, tingkat tiang 4,1±2,0 jenis/100m
2 atau 5,3
individu/100m2 dan tingkat pohon 4,4±2,5 jenis/400m
2 atau 6,6 individu/400m
2.
Rata-rata nilai komponen fisik adalah suhu 27,9°± 3,3 C, kelembaban udara 76,8 ±
13,8 % dan pH tanah sebesar 6,5±0,3. Jenis tumbuhan yang mendominasi
diantaranya adalah kemenyan toba (Styrax paralleloneurus Perk), hoting batu
(Quercus maingayi Bakh), hau dolok baringin (Syzygium acuminatum Miq.) dan
meranti batu (Shorea acuminata Dyer). Komponen habitat yang menunjukan
perbedaan antara used plot (plot yang ditemukan lubang trenggiling) dengan
availability plot (plot yang tersedia) diantaranya adalah jenis dan jumlah tumbuhan
pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, luas bidang dasar (Lbds) pada tingkat
pohon dan kelembaban udara
Tipe habitat trenggiling di dan sekitar SM. Siranggas sedikitnya meliputi tipe
hutan primer, tipe hutan sekunder, tipe hutan campuran dan kebun/lahan olahan.
Page 113
Sintesis 2010-2014 | 98
Hasil uji MANOVA keempat tipe tersebut menunjukan karakteristik komponen
habitat biotik yang berbeda. Proporsi penggunaan habitat tertinggi adalah pada tipe
hutan sekunder dengan nilai proporsi sebesar 35,71%, kemudian hutan campuran
sebesar 28,27% dan terendah hutan primer sebesar 14,29%. Hasil analisis ini
menunjukkan bahwa tipe habitat hutan sekunder dan hutan campuran merupakan tipe
habitat yang paling banyak digunakan oleh trenggiling di sekitar SM. Siranggas.
Tingginya penggunaan habitat pada hutan sekunder dimungkinkan karena kondisi
suhu tanah sedang (tidak terlalu panas seperti pada lahan olahan dan tidak terlalu
lembab seperti pada hutan primer) sehingga memberi kenyamanan untuk bersarang
bagi trenggiling.
Trenggiling tidak memilih habitat tertentu untuk mencari makan atau
menempatkan sarang dan cenderung menggunakan seluruh tipe habitat untuk hidup
(uji Chi-square menyimpulkan nilai χ2
hitung < χ2
(0.01;k-1). Hal ini terlihat dari hasil
pengamatan yang menunjukan bahwa lubang/sarang trenggiling hampir secara
merata ditemukan pada setiap tipe habitat. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena
trenggiling sebagai satwa pemakan serangga akan cenderung menyebar mengikuti
sumber pakannya. Serangga, seperti semut dan jangkrik secara umum dapat
ditemukan dan hidup pada setiap tipe lahan, mulai dari area terbuka, semak belukar
sampai hutan yang masih primer.
Selanjutnya, berdasarkan uji indeks preferensi (indeks kesukaan) dengan
menggunakan metode Neu menunjukan bahwa rasio seleksi (wi) dan indeks standar
seleksi (Bi) yang nilainnya >1 adalah pada tipe hutan sekunder (wi= 1,429; Bi=
0,357) dan hutan campuran (wi= 1,143; Bi= 0,286). Hal ini berarti bahwa kedua tipe
habitat tersebut merupakan lokasi yang memiliki peluang paling tinggi untuk dipilih
oleh trenggiling sebagai habitat untuk mencari makan dan tinggal. Habitat hutan
sekunder dan hutan campuran lebih disukai dimungkinkan karena kondisi jumlah dan
kerapatan tumbuhan, terutama pada tingkat semai dan tumbuhan bawah relatif jarang
bila dibandingkan dengan tipe lainnya. Kondisi ini diduga akan memudahkan
trenggiling untuk mendeteksi atau mencari keberadaan lubang semut pada lantai
hutan yang lebih terbuka. Tipe habitat lainnya, hutan primer dan kebun masyarakat
cenderung dihindari oleh trenggiling (tidak disukai).
Untuk mengetahui fungsi pemilihan sumber daya (resources selection
function/RSF) oleh trenggiling digunakan uji regresi logistik. Hasil step terakhir
(step ke-3) dari forward stepwise menunjukan terdapat tiga variabel bebas yang
paling berpengaruh terhadap nilai Y (ada dan tidak adanya sarang), yaitu X1 (Jumlah
jenis tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah), X13 (pH tanah) dan X15
(Jumlah lubang semut pada kategori sedang). Namun dari tiga variabel ternyata
yang signifikan (nilai Sig < 0.05) adalah hanya variabel X1 dan X13. Variabel yang
tidak signifikan (X15) kemudian dikeluarkan dalam penyusunan model karena
pengaruhnya akan sangat kecil terhadap perubahan variabel terikat/kehadiran
Page 114
Sintesis 2010-2014 | 99
trenggiling (Y). Model RSF (resources selection function/RSF) trenggiling dengan
nilai Nagelkerke R2 sebesar 83,5% yang terbentuk adalah :
𝜋(𝑥) =exp(−63,879 + 2,160𝑋1 + 11,731 𝑋13)
1 + exp(−63,879 + 2,160𝑋1 + 11,731 𝑋13)
dimana :
π(x) = peluang kehadiran trenggiling dalam penempatan lubang
pakan/sarang.
X1 = Jumlah jenis tingkat semai dan tumbuhan bawah
X13 = pH tanah
Dari model RSF yang tersusun dapat disimpulkan bahwa semakin berkurang
jenis atau jumlah tingkat semai dan tumbuhan bawah dengan kondisi tanah normal
dan sedikit basa akan meningkatkan peluang trenggiling untuk membuat lubang
(pakan maupun sarang). Pada kodisi lantai hutan yang relatif bersih memungkinkan
trenggiling lebih mudah untuk mencari dan mendeteksi keberadaan atau lubang
semut. Selain itu, dimungkinkan juga untuk menghemat energi karena tidak perlu
terlebih dahulu membersihkan tumbuhan dalam membuat lubang. Sebaran dan
jumlah pakan/keberadaan lubang semut (X15) tidak berpengaruh secara signifikan
karena keberadaan semut dan serangga sebagai makanan utama trenggiling hampir
menyebar secara merata pada lantai hutan. Keadaan pakan yang masih melimpah dan
trenggiling mampu hidup pada berbagai tipe hutan (tidak ada pemilihan tipe habitat)
mengakibatkan variabel pakan tidak begitu berpengaruh terhadap kehadiran
trenggiling/pembuatan lubang.
Simulasi model RSF selanjutnya dilakukan terhadap nilai variabel habitat
terpilih, yaitu X1 dan X13 yang dimisalkan dalam jumlah tertentu antara selang 1
sampai dengan 7. Penetapan angka tersebut berdasarkan hasil pengamatan
sebenarnya yang ditemukan pada plot penelitian. Hasil simulasi disajikan pada
Gambar 40 dibawah ini.
Gambar 40. Peluang kehadiran trenggiling tertinggi berdasarkan jumlah jenis tingkat
semai dan tumbuhan bawah
0,00,10,20,30,40,50,60,70,80,91,01,1
1 2 3 4 5 6 7 8 9
P
e
l
u
a
n
g
k
e
h
a
d
i
r
a
n
Jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah
pH=6.0 pH=6.2 pH=6.4 pH=6.6 pH=6.8 pH=7.0
Page 115
Sintesis 2010-2014 | 100
Berdasarkan hasil simulasi menunjukan bahwa semakin sedikit jumlah jenis
semai dan tumbuhan bawah dengan pH tanah mendekati 7,0 (netral) maka peluang
kehadiran trenggiling (mencari makan dan/atau bersarang) sangat tinggi. Semakin
banyak jumlah jenis tumbuhan bawah dengan pH tanah menjauh dari netral maka
peluang kehadiran akan semakin rendah. Sebagai contoh, pada kondisi pH tanah =
6,0 dengan jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah hanya ada 1 jenis (luasan plot =
4 m2) maka peluang kehadiran sebesar 0,98. Akan tetapi jika jenis tumbuhan bawah
bertambah satu maka peluang kehadiran menurun menjadi 0,89. Hasil simulasi ini
semakin memberikan gambaran bahwa habitat yang disukai oleh trenggiling adalah
kondisi dengan jenis atau jumlah semai dan tumbuhan bawah yang rendah dan pH
tanah mendekati netral (pH tanah=7).
C. Teknik Reproduksi Jenis-Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah
dan/atau Bernilai Ekonomi
c.1. Teknologi Penangkaran Rusa Timor
Sistem Penangkaran
Secara umum ada tiga penangkaran rusa, yaitu terkurung (kandang), semi
terkurung (mini ranch), dan bebas (ranch). Namun penetapan penangkaran,
tergantung pada ketersediaan dana atau biaya, luas lahan dan tenaga kerja.
Penangkaran dengan terkurung merupakan pedok intensif yang dapat dilakukan pada
lahan seluas kurang dari 250 m2 dengan kepadatan 1 jantan dan 4 betina. Sistem
semi terkurung merupakan pedok intensif dengan luas lahan sampai 1 ha yang terdiri
dari 1-2 jantan dewasa dan 4-5 betina dewasa serta beberapa individu remaja dan
anak (total 12 individu). Penangkaran dengan bebas merupakan pedok ekstensif
dengan luas lahan sekitar 1-5 ha atau lebih dengan kepadatan 12 individu/ha.
Penangkaran rusa timor yang dilakukan di Pusat Pengembangan Penangkaran
Rusa di Hutan Penelitian Dramaga Bogor, menggunakan terkurung atau kandang.
Sistem terkurung dilakukan dengan cara rusa dipelihara pada suatu areal yang
dikelilingi pagar dan pakan diberikan dari luar dengan cara pengaritan (cut and
carry).
Persyaratan Penangkaran Rusa
Beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam penetapan lokasi
penangkaran rusa baik pada kandang, semi tertutup maupun bebas antara lain: lokasi
berada di luar kawasan, terletak di tempat yang tenang, dan aman dari gangguan,
mudah dicapai baik pada musim kemarau maupun musim hujan, tersedia air yang
banyak sepanjang tahun untuk keperluan minum, pembersihan kandang, penyiraman
pakan, maupun untuk berkubang, topografi rata sampai bergelombang ringan, luas
lahan minimal 0,5 ha (untuk tertutup), terisolasi dari pengaruh binatang atau ternak
lain, permukaan tanah bertekstur halus, bukan batu karang yang tajam atau kasar,
tersedia beberapa pohon peneduh atau saung karena rusa memerlukan tempat untuk
Page 116
Sintesis 2010-2014 | 101
berteduh dan berlindung dari panas atau hujan, serta mudah mendapatkan hijauan
yang dapat digunakan sebagai pakan.
Sarana dan Prasarana Perkandangan
Kandang
Kandang berfungsi sebagai tempat berlindung dari hujan, panas, predator;
tempat berteduh atau beristirahat, tempat berkembangbiak, tempat makan atau
minum, tempat perawatan bagi rusa yang sakit dan pengontrolan.
Kandang sebaiknya disekat sesuai dengan status fisiologi rusa, diberi pintu, agar
mudah dalam penanganan sehari-hari baik dalam pemberian pakan, mudah dalam
penangkapan untuk penimbangan dan pengukuran, mudah dalam pemberian tanda,
pemeriksaan kesehatan, mudah dalam perawatan rusa yang sakit, dan karantina bagi
rusa yang baru.
Pagar
Pagar sebaiknya dibuat sekeliling areal penangkaran. Bahan terdiri dari tiang
pagar (besi siku, beton atau pagar hidup) dan kawat ram dan kawat duri. Tinggi
tiang pagar minimum 2,5 m dari permukaan tanah, ditanam 50–75 cm dengan
pondasi beton dan jarak antar tiang pagar 2 m. Ujung bagian atas tiang pagar,
dibengkokkan sepanjang 0,5 m dan diberi kawat duri sebanyak 3–4 baris. Tinggi
tiang pohon hidup 2,5 m dari permukaan tanah, diameter minimum 10 cm dan
ditanam dengan kedalaman 50–75 cm serta pohon hidup ditanam di antara tiang
pagar beton/besi.
Gambar 41. Sistem kandang di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor
Page 117
Sintesis 2010-2014 | 102
Gambar 42. Sistem Mini Ranch di NTT dan Taman Safari Indonesia, Bogor
Gambar 43. Sistem Ranch di Jonggol, Cariu, Bogor dan Ranca Upas, Bandung
Gambar 44. Sketsa kandang rusa.
Page 118
Sintesis 2010-2014 | 103
Bangunan Peneduh
Bangunan peneduh terdiri dari atap yang terbuat dari alang-alang atau rumbia,
atau genteng atau seng atau terpal. Bangunan peneduh berfungsi sebagai tempat
berteduh pada saat hujan atau panas dan sebaiknya dalam sebuah kandang, terdapat
sebuah bangunan peneduh.
Gambar 45. Bangunan peneduh pada sistem terkurung di HP Dramaga, Bogor
Tempat Makan dan Minum
Tempat makan terbuat dari kayu atau papan yang berbentuk palungan sepanjang
1,5–2,0 m atau berbentuk bulat segi 6 sepanjang 50–75 cm. Sedangkan tempat
minum berbentuk kolam atau dari ember atau bak yang dibenamkan ke dalam tanah.
Setiap kandang terdapat satu tempat makan dan satu tempat minum (Gambar 46).
Kandang Jepit
Kandang jepit berbentuk:kotak persegi dengan ukuran 200x100x200
cm3(Gambar 47). Bahan kandang jepit terdiri dari rangka besi pipa berukuran 1.5”
dan 1” dan rangka dinding terbuat dari besi behel 6 mm, dinding dan alas jepit dari
plywood 20 mm serta tiang jepit dari balok pinus 5 x 10 cm. Sistem kerja dari
kandang jepit merupakan perangkap jepit yang beralas lepas. Kandang jepit
berfungsi dalam penimbangan bobot badan rusa, pemotongan velvet dan ranggah
serta pemasangan tagging.
Jalan Kontrol dan Saluran Air
Jalan berfungsi untuk pengontrolan dan pemberian pakan terletak di sepanjang
pinggir kandang selebar 1,5–2,0 m. Air diperlukan untuk mengairi pakan,
pemeliharaan kandang dan untuk minum sehingga diperlukan bak penampung dan
menara air.
Page 119
Sintesis 2010-2014 | 104
Gambar 46. Tempat makan dan minum pada sistem terkurung dan Sistem Ranch
Gambar 47. Model kandang jepit di Hutan Penelitian Dramaga
Gudang dan Peralatan
Gudang digunakan untuk menyimpan peralatan dan bahan-bahan perlengkapan
penangkaran. Peralatan yang dibutuhkan adalah tim-bangan, generator, perlengkapan
kandang, pemeliharaan pakan seperti dedak padi dan obat-obatan.
Teknik Pemeliharaan Rusa di Penangkaran
Pengelompokan Rusa
Pengelompokan rusa bermanfaat untuk memudahkan dalam pem-berian pakan
sesuai kebutuhan, memudahkan dalam pengaturan perkawinan, menghindari
perkawinan sedarah (in breeding), menjaga pejantan agar tidak mengganggu rusa
yang lain, keamanan bagi induk yang bunting dalam proses kelahiran, ketenangan
bagi induk yang menyusui dalam merawat anak, menghindari perkawinan sebelum
waktunya, memperoleh kesempatan makan bagi rusa yang baru disapih,
memudahkan penanganan bagi rusa yang sakit serta memu-dahkan pemeliharaan
bagi rusa yang baru agar cepat beradaptasi.
Teknik pengelompokkan rusa didasarkan atas status fisiologi, yaitu jantan dan
betina yang telah siap kawin, jantan yang belum siap kawin (baru disapih), betina
yang belum siap kawin (baru disapih), betina yang sedang bunting, betina yang
melahirkan, rusa yang sakit dan rusa yang baru dari lokasi lain.
Page 120
Sintesis 2010-2014 | 105
Penyapihan Anak Rusa
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyapihan anak rusa adalah induk
disatukan dengan anaknya sampai berumur 4 bulan agar anak rusa mendapat air susu
lebih banyak; penyapihan sebelum berumur 4 bulan khususnya pada anak rusa yang
ditinggal mati oleh induknya, diperlukan penambahan air susu dari luar; setelah
disapih pemeliharaan tetap terpisah antara jantan dan betina untuk menghindari
kemungkinan terjadi perkawinan lebih awal.
Perbandingan antara anak rusa yang disapih pada umur 4 bulan dan sebelum
berumur 4 bulan, adalah:
Tabel 27. Rata-rata bobot badan anak rusa pada umur penyapihan.
No.
Jenis Kelamin
Rata-rata bobot badan pada umur
penyapihan
Sebelum 4 bulan (kg) 4 bulan (kg)
1. Jantan 11,1 17,35
2. Betina 10,1 16,15
Sumber: Takandjandji, 1993
Kesehatan
Kematian rusa timor di penangkaran dengan kandang lebih banyak terjadi pada
musim hujan. Penyakit yang sering menyerang pada mu-sim hujan adalah pneumonia
(radang paru-paru) sebagai akibat kandang yang becek dan lembab. Kematian pada
rusa dewasa disebab-kan oleh makanan, lingkungan dan stress akibat penanganan
yang kurang pas.
Upaya pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit pada rusa timor,
dilakukan beberapa kegiatan, antara lain sanitasi lingkung-an kandang, pemberian
pakan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan rusa, memperbaiki teknik
penanganan dan vaksinasi secara rutin (3 bulan sekali) sesuai anjuran medis dengan
menggunakan Clostridial dan Leptospiral.
Penandaan atau pemberian nomor
Penandaan dengan cara pemberian nomor merupakan hal penting di dalam
manajemen penangkaran rusa.Penandaan sebaiknya dilaku-kan sebelum anak rusa
disapih.Tujuan penandaan atau pemberian no-mor, adalah untuk mengetahui silsilah
(pedigree), mengetahui umur, untuk memudahkan dalam pengontrolan dan
pengenalan individu serta memudahkan pengaturan perkawinan.
Cara pemberian nomor pada rusa adalah dengan membeli nomor telinga (ear
tag) yang dijual di poultry shop. Nomor dipasang di teli-nga rusa dengan
menggunakan tang yang telah disiapkan dan dipasang di sebelah kanan untuk jantan
dan kiri untuk betina. Nomor tersebut memberikan tanda registrasi pada rusa,
misalnya DMG-M-2-010709-1. Huruf pertama menunjukkan kode lokasi tempat
Page 121
Sintesis 2010-2014 | 106
kelahiran rusa yaitu Dramaga. Huruf kedua menunjukkan jenis kelamin rusa yaitu
jantan (male) dan betina (female). Angka 2 berarti jantan kedua dari hasil
penangkaran di Dramaga. Angka 010709 berarti rusa lahir tanggal 1 bulan Juli tahun
2009 dan merupakan anak pertama.
Gambar 48. Bahan dan alat tagging (pemberian nomor telinga) pada rusa
Teknik Pemeliharaan Pagar dan Kandang
Pemeriksaan dan pemeliharaan pagar harus dilakukan secara ter-atur agar rusa
tidak ke luar kandang karena kerusakan pagar. Kerusak-an pagar sering terjadi pada
saat musim kawin, karena adanya perkelahian antar pejantan. Lingkungan dan
ventilasi dalam kandang harus tetap terjaga agar tidak lembab terutama pada saat
musim hujan karena rusa timor terutama pada anak yang belum disapih tidak tahan
terhadap kondisi yang lembab.
Teknik Pemeliharaan Pakan
Pemeliharaan pakan harus sering dilakukan agar memperoleh pakan yang baik
secara kualitas maupun kuantitas serta selalu tersedia secara kontinyu sepanjang
tahun. Pemeliharaan terhadap pakan dilakukan dengan cara pembersihan, pengolahan
tanah, pemupukan, pendangiran, dan penyiraman terutama pada musim kemarau
panjang. Pembersihan rumput liar dan pendangiran dilakukan 3 bulan sekali,
pengolahan tanah dan pemupukan dilakukan 1 tahun sekali.
Teknik Pemberian Pakan
Pakan segar diberikan berdasarkan bobot badan rusa, dengan perhitungan 10% x
bobot badan x 2. Maksud dikalikan 2 yaitu diperhi-tungkan dengan jumlah hijauan
yang tidak dimakan karena sudah tua, tidak disenangi atau tidak palatable, kotor
karena terinjak-injak, dan telah bercampur dengan urine dan faeces. Pemberian
pakan sebaiknya disertai dengan pemberian garam sebagai perangsang nafsu makan
dan untuk memenuhi kebutuhan mineral. Pemberian pakan dilakukan de-ngan cara
pengaritan (hijauan dipotong) baik pada musim hujan mau-pun musim kemarau,
tergantung penangkaran.Frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 atau 3 kali dalam
sehari (pagi, siang dan sore) dengan jumlah pemberian pada sore hari yang lebih
banyak karena rusa termasuk satwa yang memamahbiak. Pemberian pakan tambahan
berupa dedak padi diberikan 3 kali dalam seminggu, sebanyak 0,5 kg per individu.
Pemberian pakan bagi rusa yang sedang bunting, harus lebih intensif baik kualitas
maupun kuantitas karena peranan makanan sangat penting untuk pertumbuhan janin
Page 122
Sintesis 2010-2014 | 107
di dalam rahim dan juga berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh induk.
Pemberian pakan pada anak rusa, dimulai pada umur 2 minggu dengan cara
memberikan hijauan muda (pucuk) yang dipotong kecil-kecil.Jenis pakan rusa terdiri
dari jenis rerumputan, hijauan dan dedaunan serta makanan penguat berupa dedak
padi (Tabel 28).
Tabel 28. Jenis pakan rusa Timor di penangkaran NTT
No. Jenis Pakan Rusa Timor di Penangkaran
Nama Lokal/Daerah Nama Latin Famili
1. Rumput Gajah Pennisetum purpureum Graminae/Poaceae
2. Rumput Raja Pennisetum
purpuphoides
Graminae/Poaceae
3. Rumput Setaria Setaria sphacelata Graminae/Poaceae
4. Rumput Hamil Panicum maximum Graminae/Poaceae
5. Turi Sesbania grandiflora Leguminosae
6. Lamtoro Leucaena leucephalla Leguminosae
7. Kabesak Acacia leucophloea Leguminosae
8. Beringin Ficus benjamina Moraceae
9. Name (nama NTT) Pipturus argenteus Urticaceae
10. Busi (nama NTT) Melochia umbellata Sterculiaceae
11. Rumput Lapangan - -
12. Dedak Padi - -
Sumber: Takandjandji, 1994
Sedangkan jenis pakan yang diberikan pada rusa timor di penangkaran HP
Dramaga, Bogor adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum Scumacher), hanjeli
(Coix lacryma jobi L.), sulanjana (Hierochloe horsfieldii Kunth Maxim) dan gewor
(Comellina nudiflora L.), alang-alang muda (Imperata), sorgum (Sorghum spp.),
kaliandra (Calliandra sp.) dan padi-padian (Pennisetum spp.).
Gambar 49. Beberapa jenis pakan rusa Timor di HP Dramaga
Page 123
Sintesis 2010-2014 | 108
Air bersih harus selalu tersedia di dalam kandang yang digunakan untuk minum
dan berkubang karena pada musim kawin, rusa jantan sangat menyenangi air sebagai
tempat berkubang sambil meraung-raung dan mengejar sang betina.
Teknik Reproduksi
Reproduksi adalah suatu proses biologi yang terjadi antara jantan dan betina
dengan tujuan untuk membentuk satu individu baru di dalam kehidupannya. Secara
ideal, perbandingan antara jantan dan betina di dalam penangkaran adalah 1 : 4-5
(poligamus). Berahi pada rusa betina menandakan bahwa betina telah mengalami
dewasa kela-min dan bersedia menerima pejantan dalam perkawinan. Berahi terjadi
bersamaan dengan pengeluaran sel telur dari kandung telur (ovulasi) di mana terjadi
pertemuan antara sel telur dengan sel kelamin jantan dalam proses pembuahan untuk
pembentukan suatu makhluk baru.
Tanda-tanda berahi pada betina adalah nafsu makan berkurang, tidak tenang,
berdiri tenang apabila dinaiki sang jantan atau betina, sering kencing, mencium dan
menjilat alat kelamin jantan, vulva (alat kelamin betina paling luar) terlihat
membengkak, berwarna merah dan apabila dipegang terasa hangat.
Tanda-tanda berahi pada jantan adalah sering meraung, berkubang,
menancapkan ranggah ke tanah atau pohon atau kawat, bahkan sering mencium dan
membaui urine yang dikeluarkan rusa betina sambil menjulurkan lidah.Lama berahi
diamati mulai dari permulaan timbulnya keinginan untuk kawin hingga saat terakhir.
Pubertas (dewasa kelamin) pada jantan ditandai oleh kesanggupan berkopulasi
(kawin) dan menghasilkan sperma, di samping perubahan-perubahan kelamin
sekunder lain. Pubertas pada betina ditandai oleh terjadinya estrus, ovulasi dan dapat
berreproduksi atau menghasilkan keturunan walaupun sebenarnya belum mencapai
ukuran bobot badan dewasa. Dewasa kelamin (pubertas) terjadi sebelum dewasa
tubuh. Perkawinan pertama yang tepat pada rusa betina dara dilakukan beberapa
bulan setelah mencapai dewasa kelamin (pubertas). Apabila perkawinan dilakukan
pada saat pubertas,induknya akan sulit mela-hirkan bahkan anak yang dilahirkan
cenderung lemah, kurang sehat, bobot lahir rendah dan pertumbuhan induknya akan
kerdil karena organ-organ reproduksi belum berkembang secara sempurna.
Perkawinan pada rusa ditunjukkan oleh adanya musim kawin yang jelas. Rusa
yang masih produktif, perkawinannya sebaiknya dilakukan pada saat betina sedang
berahi. Permulaan pembuahan pada rusa sulit diketahui, sehingga yang dijadikan
tolok ukur dalam menentukan kebuntingan adalah perilaku setelah terjadi
perkawinan di mana terlihat rusa betina lebih tenang, perut sebelah kanan membesar,
susu (ambing) menurun, dan selalu menolak atau menghindar apabila didekati oleh
jantan. Aktivitas kelahiran (partus) terdiri dari 3 tahap yakni kontraksi uterus,
pengeluaran anak (foetus) dan pengeluaran placenta. Rusa timor termasuk dalam
golongan beranak tunggal.
Page 124
Sintesis 2010-2014 | 109
Hasil penelitian Takandjandji (1993) terhadap rusa timor di penangkaran
memperoleh data fisiologis, yaitu: lama berahi 2,25 hari dengan siklus berahi 20,25
hari, umur pubertas pada rusa jantan 8 bulan, betina 8,13 bulan, umur yang tepat bagi
betina dara untuk dikawinkan 15,25 bulan, dan jantan 12,67 bulan, lama kawin
(kopulasi) 2,33 detik, frekuensi kawin 2,14 kali/hari, lama bunting 8,38 bulan, umur
kebuntingan pertama 17,00 bulan, musim melahirkan pada bulan September, umur
beranak pertama 25,50 bulan, interval kelahiran I dan II 13,25 bulan dan anak rusa
disapih pada umur 4,00 bulan.
Keberhasilan aspek reproduksi pada rusa timor di HP Dramaga diindikasikan
dengan angka konsepsi yang berlanjut dengan kebun-tingan dan angka kelahiran
hidup dari akhir kebuntingan tersebut. Hasil penelitian Setio, et al (2010) tentang
reproduksi terkait dengan indikasi masa bunting dan partus menunjukan bahwa
selama masa pengasuhan anak (termasuk menyusui), pola reproduksi tetap berlang-
sung (masa estrus/berahi, konsepsi/perkawinan dan kebuntingan). Interval waktu
melahirkan tercatat 356 hari sedangkan menurut Toelihere, et al (2005) masa bunting
pada rusa timor antara 248-285 hari (8-9 bulan).
Hasil pengamatan Setio, et al (2010) di penangkaran rusa timor di HP Dramaga,
Bogor menyatakan bahwa berahi pertama 63-85 hari setelah melahirkan, kedekatan
betina terhadap jantan terjadi 2-3 hari selama masa berahi, nafsu makan induk betina
lebih tinggi selama bunting dan 1-2 hari menjelang melahirkan, gerakan janin pada
induk betina yang sedang bunting umumnya mulai terlihat setelah umur kebuntingan
6 bulan (perut sebelah kanan) dan deteksi bulan partus terlihat dari perkembangan
puting dan ambing (2-3 bulan sebelum partus). Sedangkan deteksi hari partus (1-2
hari), antara lain terlihat dari ruang pelvis melebar, vulva memerah dan membengkak
(kadang keluar cairan mukosa dan sedikit terbuka), ambing besar dan padat berwarna
putih kemerahan (kadang terlihat pembuluh darah vena).
Deteksi jam partus (1-3 jam sebelumnya), antara lain dapat dilihat pada Gambar
50 dengan posisi rebah badan pada satu sisi dengan kaki depan dan/atau belakang
direntangkan, posisi rebah-berdiri terjadi berulang kali pada waktu yang berdekatan,
perejanan beberapa kali (berdiri atau berbaring satu sisi), sering menjilati bagian
vulva dan anus, dan kontraksi otot defekasi (perejanan) 2-5 menit sekali dengan
ekor diangkat ke atas (Setio, et al, 2010).
Gambar 50. Perkembangan puting dan ambing susu pada rusa betina sebagai deteksi
bulan melahirkan (sumber foto: Setio, 2010)
Page 125
Sintesis 2010-2014 | 110
Hasil penelitian Setio, et al (2010), kondisi pada saat partus (Gambar 51), antara
lain kantung ketuban dapat pecah di dalam atau di luar ruang pelvis (gelembung
krem pucat atau berdarah dan transparan keluar dari vulva), induk berusaha
memecahkan kantung ketuban yang keluar dari vulva untuk memudahkan proses
keluar anak (lahir), posisi partus anak dimulai dari kaki depan kemudian kepala,
selanjutnya badan dan jatuh ke lantai kandang.
Gambar 51. Perkembangan kantung ketuban dan perilaku induk betina pada masa
melahirkan (sumber foto: Setio, 2010)
Perilaku pasca partus (Gambar 52) adalah induk betina menjilati seluruh tubuh
anak dan memakan bekas kantung ketuban, cairan ketuban dan plasenta, anak
menyusu pada induk untuk mendapatkan kolostrum (air susu pertama yang baru
keluar dan mengandung antibody).
Gambar 52. Perilaku induk betina dan anak yang menyusu pada masa pasca
melahirkan (sumber foto: Setio, 2010)
Teknik Pemindahan (Transfering)
Penggiringan Rusa
Pengandangan rusa merupakan teknik memindahkan rusa dengan menggiring
rusa ke kandang yang telah disiapkan.Penggiringan dilakukan dengan cara
menggiring rusa yang telah dipilih dan ditentukan untuk ditangkap atau dipindahkan
ke areal pembiakan (pedok), melalui jalur yang telah disediakan. Thohari et al.
(1991) menyatakan bahwa perlakuan dalam penggiringan sebaiknya tidak dengan
cara-cara kasar dan pelibatan banyak orang untuk menghindari stres pada rusa.
Page 126
Sintesis 2010-2014 | 111
Cara Penangkapan dan Penjeratan
Penangkapan adalah kegiatan menangkap rusa yang dilakukan dalam areal
penangkaran untuk keperluan penanganan, seperti pembe-rian perlakuan,
pengobatan, pemanenan dan pemotongan velvet atau ranggah.Yang perlu
diperhatikan dalam penangkapan adalah meng-hindari pada rusa. Stres sering terjadi
pada rusa terutama pada saat penangkapan untuk pemotongan ranggah, penimbangan
berat badan, perlakuan pemberian pakan dan pengangkutan rusa untuk pemindahan
lokasi (Takandjandji, 2007). Akibat dari tersebut dapat menyebabkan rusa mati
secara mendadak, terutama pada rusa jantan di penangkaran.
Penangkapan rusa membutuhkan tenaga 2–3 orang dan pada rusa jantan yang
mempunyai ranggah kokoh atau sempurna, harus menda-pat perhatian yang lebih
serius karena sangat galak dan liar serta dorongan kaki belakang rusa sangat kuat.
Apabila penangkapan dilakukan dengan benar dan kaki belakang dipegang dengan
kuat dan tetap tenang, biasanya rusa tidak akan bereaksi atau melawan. Cara
menangkap dan memegang rusa, yaitu dengan mendekatinya dari belakang namun
tetap tenang. Dalam proses pendekatan, langkah harus perlahan sehingga rusa
menjadi terbiasa dengan keberadaan kita, dengan demikian akan mudah ditangkap.
Setelah rusa ditangkap, leher-nya dijepit dengan tangan kanan, dan ke dua mata
ditutup menggu-nakan tangan kiri agar dapat mengurangi stres. Petugas lainnya,
memegang ke dua pangkal paha atau bagian kaki belakang rusa dari arah samping
(Takandjandji 2007).
Proses penangkapan dengan penjeratan sering dilakukan pada rusa di
penangkaran, yaitu dengan menggunakan alat berupa jaring, tali, dan pembuatan
lubang-lubang perangkap. Rusa yang telah meningkat kewaspadaannya akan terus
menjauh dari petugas sehingga membutuh-kan waktu yang lama untuk kembali
menenangkan rusa.Sambil berjalan mendekati rusa, petugas membawa pakan dan tali
untuk menjerat. Apabila rusa sudah mendekat, tali langsung dilemparkan tepat pada
ranggahnya dan setelah terjerat, petugas lainnya membantu menangkap dan
memegang rusa. Cara ini merupakan cara yang paling fatal karena membuat rusa
menjadi stres tetapi relatif lebih ekonomis karena tidak membutuhkan biaya yang
besar.
Penangkapan dengan Pembiusan
Pembiusan dilakukan untuk menghindari stres pada rusa dengan pemberian obat.
Namun Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan, penggunaan obat bius merupakan
pekerjaan yang sangat berbahaya, khususnya pada manusia dan rusa. Oleh sebab itu,
penggunaan obat bius untuk tujuan pengendalian rusa harus dilakukan oleh dokter
he-wan atau staf kesehatan yang telah mendapat kewenangan. Obat bius yang sering
digunakan terbagi atas dua kelompok yakni untuk kepentingan pembiusan total dan
bius lokal.
Page 127
Sintesis 2010-2014 | 112
Obat bius yang sering digunakan dalam penangkaran adalah xylazine dan
ketamine. Pembiusan dapat menggunakan sumpit yang dibuat dari aluminium atau
paralon yang panjangnya 100-120 cm dan diameternya sama dengan alat suntik yang
volumenya sekitar 3-5 cc yang telah diisi obat bius. Alat suntik dipasang pada bagian
ujung sumpit dan dibidikkan ke sasaran rusa yang akan ditangkap dengan
meniupkannya sehingga alat suntik ini mengenai tubuh rusa. Beberapa saat
kemudian rusa tersebut akan terbius dan pingsan. Obat bius yang digunakan adalah
campuran rompun (xylazine) dengan dosis 2 mg per kg berat rusa (estimasi) dan
katalar (ketamine) dengan dosis 5 mg per kg berat rusa (estimasi). Pengisian ampul
sulfas atropin yaitu untuk rusa dewasa sebanyak 2 cc, sedangkan untuk anak rusa
sebanyak 1 cc (Mukhtar 1996). Jenis obat ini mempunyai obat penawar (antidota)
sehingga rusa yang terbius, dapat segera sadar kembali.
Rusa yang telah dibius dapat ditangkap dengan mudah. Teknik ini lebih banyak
digunakan sehingga tidak mengakibatkan cidera pada rusa dan operator atau petugas.
Walaupun cara ini membutuhkan waktu yang lama karena rusa mempunyai alat
penciuman yang tajam. Biasanya rusa tidak akan menyerang jika pendekatan
dilakukan dengan benar, kaki belakang dipegang kuat dan tetap tenang. Asisten
operator harus siap untuk menghindar jika rusa telah sadar dari obat bius dan mulai
melawan. Namun tetaplah tenang sambil memegang kaki belakang dan biarkan rusa
melakukan perlawanannya selama beberapa saat. Setelah itu, rusa akan berhenti
melawan karena masih dipengaruhi oleh obat bius yang diberikan.
Pengangkutan Rusa
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan rusa adalah apabila
jaraknya sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama, sebaiknya menggunakan
peti atau kandang angkut yang berbentuk persegi empat (Takandjandji dan Sutrisno,
2006). Ukuran kandang angkut yang digunakan disesuaikan dengan ukuran tubuh
rusa, yaitu sekitar 1,5x1,5x1,5m dan setiap kandang berisi seekor rusa . Ukuran
kandang diusahakan agar rusa dapat berdiri tegak atau tidak membungkuk dan dapat
bergerak bebas. Kandang angkut harus mempunyai lubang udara. Pemberian pakan
hijauan segar dapat dilakukan di dalam kandang angkut. Pengangkutan rusa
sebaiknya pada waktu matahari tidak bersinar terik dan suhu udara cukup sejuk.
Waktu yang terbaik adalah pada pagi, sore atau malam hari. Thohari et al. (1991)
menyatakan bahwa pengangkutan rusa perlu memperhatikan persiapan, jarak dan
lama pengangkutan, perlakuan selama pengangkutan dan pelepasan setelah
pengangkutan.
Pengendalian Stres pada Rusa
Stres merupakan salah satu gambaran kondisi fisiologis yang mengalami
gangguan secara non-fisik. Perubahan kondisi fisiologis dapat menggunakan
patokan nilai fisiologis rusa yang sehat sebagai parameternya. Pengetahuan
Page 128
Sintesis 2010-2014 | 113
perubahan kondisi ini sangat baik untuk melakukan perawatan, pencegahan atau
pengobatan dengan tepat dan mengenai sasaran.
Kondisi yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan fisiologis dan
berdampak pula pada perubahan nilai hematologi (Ma’ruf dan Triatmoko, 2004).
Nilai fisiologis normal maupun hematologi normal dapat dijadikan parameter kondisi
rusa, sebagaimana disajikan pada Tabel 29 dan Tabel 30.
Tabel 29. Nilai fisiologis normal pada rusa sambar di UPTD BPIB Api-api
Umur/Seks Napas (menit) Nadi (menit) Suhu rektal
Jantan dewasa 72-84 120-140 38,5-40,5
Betina dewasa 60-84 120-140 38,5-41,0
Anak 60-96 96-120 39,8-41,2
Sumber: Ma’ruf dan Triatmoko (2004)
Tabel 30. Nilai hematologi normal rusa sambar di UPTD BPIB Api-api
No. Hematologi Jantan dewasa Betina dewasa Anak-anak
1. Hemaglobine (g/dl) 14-18 14-18 12-14
2. Sedimentation rate (mm/jam) 3-8 2-3 5-15
3. Leucocyte count(103/mm
3 ) 4-9 7-9 4-12
4. Trombocyte count (103/mm
3) 75-200 60-204 225-500
5. Eritrocyte count (106/mm
6 ) 210-250 150-200 128-230
6. Packed cell volume (%) 45-55 43-56 38-44
Differential count
1. Eosinophile 0-4 0-4 0-3
2. Basophile 0-1 0-1 0-1
3. Stab 0-1 0-1 0-1
4. Segmen 58-66 53-67 40-50
5. Lymphocyt 32-42 25-40 40-60
6. Monocyte 0-1 0-2 0-1
Sumber: Ma’ruf dan Triatmoko (2004)
Cara penanggulangan stres dapat dilakukan dengan mengurangi pengejaran dan
penangkapan dalam jumlah orang yang banyak. Pengejaran dilakukan hanya oleh
seorang petugas perawat agar rusa tidak merasa curiga. Apabila rusa sudah
tertangkap atau terjerat, pemberian suntikan yang berisi obat bius dapat dilakukan
dan dilanjutkan dengan pemindahan dan pengangkutan. Cara ini telah digunakan di
penangkaran di Oilsonbai, Nusa Tenggara Timur sebagai upaya untuk
menanggulangi stres pada rusa dan tidak mengakibatkan cidera baik pada rusa
maupun petugas (Takandjandji 1994).
Cara lain dalam penanggulangan stres pada rusa adalah dengan mengetahui
penanganan yang tepat, khususnya dalam bidang medis veteriner, melalui konsultasi
dengan dokter hewan.Selain itu, perlakuan terhadap rusa, terutama rusa jantan
dewasa yang baru dipotong ranggahnya, perlu mendapat perhatian lebih
dibandingkan dengan kelompok rusa lainnya.
Page 129
Sintesis 2010-2014 | 114
Konsultasi dengan dokter hewan setempat perlu dilakukan untuk mendapatkan
petunjuk atau pengobatan medis veteriner. Upaya ini untuk mencari solusi yang
terbaik agar dapat mengurangi stres pada rusa di penangkaran. Sampai saat ini
capture myopathy pada rusa belum ada obatnya, sehingga tindakan pencegahan harus
diutamakan yakni dengan cara mengurangi stres saat penanganan (Semiadi dan
Nugraha 2004).
Teknik Penangkapan Rusa
Cara menangkap rusa di penangkaran agar tidak menimbulkan cidera baik pada
petugas maupun rusa itu sendiri, antara lain menjepit leher dengan tangan kanan, ke
dua mata ditutup menggunakan tangan kiri, agar dapat mengurangi stress, petugas
lainnya, memegang ke dua pangkal paha dari arah samping. Penangkapan pada rusa
jantan yang mempunyai ranggah kokoh atau sempurna, harus mendapat perhatian
yang lebih serius karena sangat galak dan liar.
Penangkapan rusa dapat juga dilakukan dengan cara penggiringan ke kandang
jepit atau kandang yang lebih kecil, lalu dimasukkan ke kotak angkut. Penggiringan
tersebut dapat dilakukan dengan pem-berian umpan pakan atau di tempat pemberian
pakan. Penangkapan yang terbaik adalah pada sore hari ketika pengaruh panas sinar
matahari sudah berkurang atau pagi hari sebelum udara panas. Pembiusan hanya
dianjurkan apabila cara penggiringan tidak dapat dilakukan dan dalam pengawasan
tenaga kesehatan hewan (dokter hewan).
Teknik penangkapan rusa menggunakan kandang jepit badan beralas yang dapat
dilepas. Penggunaan kandang jepit beralas lepas dapat dilakukan dengan dua model,
yaitu model kandang jepit bertangga dan model kandang jepit berkolong. Ke dua
model tersebut sudah diuji dan dapat digunakan untuk penangkapan, namun
demikian, model kandang jepit berkolong memberikan waktu habituasi yang lebih
singkat. Hal ini disebabkan rusa tidak merasa aneh pada saat melalui kandang jepit
berkolong dibandingkan model bertangga yang tidak umum dalam kandang rusa.
Selanjutnya, penangkapan rusa dilakukan dengan cara menarik pengunci alas
kandang jepit, sehingga alas kandang lepas ke bawah dan rusa terperangkap
badannya dengan posisi kaki menggantung.
Pengangkutan Rusa
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan rusa, adalah, apabila jarak
pengangkutan sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama, sebaiknya
menggunakan peti atau kandang berbentuk persegi 4. Bentuk dan model kotak
angkut harus kompak, kokoh, mampu menahan beban tubuh rusa, tetapi mudah
untuk diangkat atau dipindahkan. Ukuran kotak angkut (pxlxt) sekitar 150x70x120
cm (Gambar 53). Bahan kotak dapat berasal dari kayu (papan, balok atau kayu lapis
tebal), besi, atau kombinasi berbagai bahan. Kotak angkut sebaiknya tertutup
sebagian besar dan terbuka sebagian kecil (untuk sirkulasi udara). Seluruh sisi kotak
angkut dibuat permanen, kecuali untuk pintu masuk/keluar (bagian muka dan
Page 130
Sintesis 2010-2014 | 115
belakang) dibuat buka/tutup dengan geser atas. Pada bagian dalam kotak sebaiknya
kering dan lembut, atau dapat dimasukkan sedikit jerami kering.
Proses pemasukan ke kotak angkut dan teknik pengangkutan men-jadi sangat
peting untuk mengurangi pada rusa. Setiap individu dima-sukkan ke dalam satu
kotak angkut, kecuali yang sedang mengasuh anak. Setelah penangkapan dan
pemasukan rusa ke kotak angkut, rusa segera dibawa dan tidak diinapkan terlalu
lama. Pengangkutan rusa menggunakan alat angkut yang terlindung dari gangguan
dan pengaruh cuaca (panas atau hujan). Pengangkutan terbaik sebelum matahari
bersinar terik, yaitu pagi hari, sore hari atau malam hari.
Stres pada rusa dapat dihindari dengan pengelolaan pengangkutan yang baik dan
saat pelepasannya. Pemberian vitamin anti melalui makanan atau minuman dapat
dilakukan pada waktu sebelum dan sesu-dah pengangkutan.Stres juga dapat
dikurangi dengan cara mengurangi kebisingan dan gangguan lainnya selama proses
penangkapan, pe-ngangkutan hingga pelepasan di tempat pemeliharaan yang baru.
Pemberian pakan hijauan segar yang berserat (rumput) sangat dianjurkan untuk
pengangkutan jarak jauh, sehingga rusa disibukkan dengan makan dan memamah
biak. Selanjutnya, pelepasan dilakukan dengan membuka pintu pada arah kepala rusa
dan membiarkannya keluar sendiri untuk proses adaptasi di lokasi atau kandang
pemeliharaan yang baru.
Gambar 53. Model peti angkut rusa
Analisis Ekonomi
Pemanfaatan rusa di Indonesia umumnya masih mengandalkan potensi di alam
dan masih terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga akan daging padahal
rusa memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi baik daging maupun hasil ikutan
lainnya. Daging, kulit, dan ranggah (muda dan tua) merupakan komoditas yang
bernilai mahal. Daging rusa sangat digemari orang karena mempunyai tekstur yang
lembut, berwarna merah dan rendah kolesterol.
Produk hasil rusa memiliki keunggulan antara lain kulit dan ranggah dengan
nilai jual yang cukup tinggi dan dapat diproduksi tanpa harus menyembelih rusa.
Dalam dunia pengobatan, ranggah muda (velvet) dapat digunakan orang sebagai
ramuan obat-obatan. Harga ranggah muda (velvet) tahun 1981 di pasaran
internasional adalah $ 90/kg. Berat ranggah muda rata-rata 1,0-2,5 kg tergantung
Page 131
Sintesis 2010-2014 | 116
pada umur pejantan. Ranggah digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional Cina
karena mengandung mineral dan testoteron. Ranggah dipotong pada umur 50-70
hari, kemudian dikeringkan dan diekspor. Menurut Takandjandji dan Garsetiasih
(2002), rusa timor dewasa di NTT mempunyai berat hidup 50-70 kg dengan rata-rata
berat karkas sebesar 20,0 – 31,0 kg atau 44,3 – 62,0 % dari berat hidup. Karkas
adalah berat daging tanpa kepala, kaki dan jeroan dan berat karkas dipengaruhi oleh
pakan, umur, jenis kelamin dan lingkungan.
Rusa yang dijadikan sebagai bibit berumur 12 – 15 bulan atau yang telah siap
kawin. Umumnya rusa berproduksi 10-15 tahun dan waktu yang dibutuhkan sampai
menghasilkan keturunan kemudian dijual yakni ± 30 bulan (2,5 tahun). Umur yang
tepat untuk dijual 18 bulan karena bobot badan rusa sudah stabil, penjualan di bawah
umur akan rugi karena harganya rendah dan kesempatan untuk memanfaat-kan
kecepatan pertumbuhan badan yang optimal akan hilang. Penju-alan di atas umur,
akan rugi karena biaya pemeliharaan terus berjalan sedangkan pertambahan berat
badan tidak ada. Waktu yang tepat untuk penjualan rusa, pada saat musim kemarau
di mana pakan segar sulit dijumpai. Harga jual rusa, didekati dengan cara
mengetahui dan mempertimbangkan harga daging eceran serta produk lainnya di
pasaran.
Rusa yang disisakan setelah dimanfaatkan harus lebih sedikit agar hemat biaya,
lahan dan memperoleh keuntungan yang cukup besar, minimal 10 ekor (2 jantan dan
8 betina) dengan perbandingan ideal 1:4. Pada tahun keenam, bibit rusa sebanyak 5
ekor (1 jantan dan 4 betina), apabila diperhitungkan dengan risiko kematian 25%,
tinggal 4 ekor terdiri dari 1 jantan dan 3 betina dan pada akhir proyek (tahun
kesepuluh), semua rusa dijual.
Berdasarkan asumsi-asumsi di atas diperoleh perkiraan nilai-nilai Net Present
Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate Ratio (IRR) di
penangkaran rusa timor di NTT, masing-masing Rp. 77.000; 2,960 dan 38,767%.
Nilai NPV penangkaran rusa di HP Dramaga Bogor pada tingkat suku bunga 18%
sebesar Rp.150.624.719, nilai BCR selama 10 tahun sebesar 1,43 dan nilai IRR
sebesar 17,31%. Kegiatan penangkaran rusa timor di HP Dramaga mempunyai
kemampuan untuk mengembalikan modal seluruh biaya investasi (payback period)
selama 3,14 tahun pada tingkat suku bunga deposito 18%. Kondisi ini
menggambarkan bahwa upaya penangkaran rusa timor di NTT dan di HP Dramaga
Bogor layak untuk dilaksana-kan. Kegiatan penangkaran rusa cukup menguntungkan
walaupun pada awalnya memerlukan biaya dan investasi yang cukup besar. Usaha
ini memerlukan luas lahan yang lebih kecil, akan tetapi dapat memberikan
keuntungan yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan ternak-ternak yang
sudah umum dikenal.
Page 132
Sintesis 2010-2014 | 117
c.2. Kajian Kelayakan Penangkaran Rusa Sambar (Rusa unicolor) Di KHDTK
Hutan Penelitian Samboja
Identifikasi Regulasi
Rusa sambar terdiri dari tujuh sub spesies di dunia, dua diantaranya ada di
Indoensia, yaitu R.u. equina yang menyebar di Sumatera dan R.u. brookei di
Kalimantan (Leslie, 2010). Ancaman akan keberadaannya saat ini banyak
mengalami ancaman baik akibat kerusakan habitat maupun perburuan liar (Suzanna
& Masy'ud, 1991; Atmoko, 2007). Gambaran perburuan liar terhadap rusa sambar di
Kalimantan Timur jika dilihat dari pengiriman hasil buruan rusa ke pasar,
menunjukkan bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu kabupaten diburu
minimal 60 - 120 ekor, atau sekitar 600 – 1400 ekor rusa Sambar liar dibunuh
pertahunnya (Semiadi et al., 2008). Penurunan populasi rusa sambar di Sumatera
dan Kalimantan diperkirakan lebih dari 50% selama kurun waktu 24-30 tahun
terakhir (Timmins et al., 2008). Mengingat tingginya ancaman terhadap rusa
sambar, maka jenis ini dilindungi berdasarkan PP nomor 7 tahun 1999 (Pemerintah
RI, 1999), dan masuk dalam kategori rentan menurut IUCN (Timmins et al., 2008).
Persepsi masyarakat terhadap penangkaran rusa sambar
Menurut sebagian besar responden saat ini sudah semakin sulit menemukan rusa
sambar saat mereka masuk ke dalam hutan. Menurut 86,67% responden, penurunan
populasi tersebut disebabkan oleh adanya perburuan liar dengan menggunakan
perangkap-perangkap (jerat) di dalam hutan.
Daging rusa hasil buruan tersebut selanjutnya dijual di pasar tradisional dengan
harga Rp 35.000,00-45.000,00/kg, sedangkan daging yang sudah digiling dijual
dengan harga Rp 60.000,00/kg. Selain akibat perburuan penurunan populasi juga
disebabkan oleh kerusakan habitanya. Masyarakat menyadari bahwa kondisi
KHDTK Samboja yang sering mengalami kebakaran pada musim kemarau juga
berpengaruh terhadap penurunan populasi rusa sambar. Kebakaran tersebut, menurut
masyarakat dapat merusak tempat hidup/habitat rusa sambar, seperti pohon-pohon
pelindung (shelter), dan sumber pakan.
Pengetahuan tentang Perlindungan Rusa sambar
Masyarakat Desa Semoi Dua sebagian besar mengetahui bahwa rusa sambar
termasuk satwa yang dilindungi sehingga tidak boleh diburu. Informasi tersebut
mereka dapatkan dari televisi, surat kabar, maupun informasi yang bersifat lisan.
Masyarakat menyebutkan bahwa rusa sambar merupakan satwa yang dilindungi oleh
pemerintah, mereka tidak menyebutkan bahwa satwa tersebut dilindungi oleh
undang-undang.
Aspek Pengembangan Penangkaran Rusa sambar
Menurut masyarakat pembangunan penangkaran rusa sambar di KHDTK
Samboja merupakan salah satu upaya yang perlu untuk pelestarian satwa tersebut.
Page 133
Sintesis 2010-2014 | 118
Mereka berharap dengan pembangunan penangkaran tersebut anak cucu mereka
masih dapat mengetahui rusa sambar di masa depan.
Berdasarkan skoring, persepsi masyarakat Desa Semoi Dua mengenai
pengembangan rusa sambar tergolong “sedang”. Masyarakat mendukung
pengembangan penangkaran rusa sambar, tetapi sedikit khawatir jika pengembangan
penangkaran tersebut mengganggu aktivitas berladang mereka. Hal itu dikarenakan
masyarakat Desa Semoi Dua adalah masyarakat petani yang menggantungkan
hidupnya dari hasil pertanian. Selain itu masyarakat juga khawatir apabila rusa-rusa
yang ditangkarkan merusak tanaman mereka dan membatasi akses untuk membuka
ladang baru. Masyarakat mengharapkan agar areal penangkaran rusa dipagar
sekelilingnya sehingga rusa tidak merusak tanaman pertanian.
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat
Variabel-variabel umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non
formal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan lama
tinggal berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh
positif terhadap persepsi masyarakat adalah tingkat pendidikan formal, tingkat
pendidikan non formal, dan lama tinggal. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh
negatif terhadap persepsi masyarakat adalah umur, pendapatan, jumlah tanggungan
keluarga, dan luas lahan garapan. Variabel-variabel bebas memiliki pengaruh sebesar
46,05 % terhadap variabel terikat, sehingga sebanyak 53,95% variabel terikat
(persepsi masyarakat) dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar.
Faktor tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap persepsi
masyarakat, sedangkan faktor lainnya (umur, tingkat pendidikan formal, pendapatan,
jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan lama tinggal) tidak
berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat. Pembangunan dan
pengembangan penangkaran rusa memerlukan partisipasi masyarakat sekitar
kawasan, khususnya masyarakat yang berinteraksi secara langsung dengan KHDTK
Samboja. Pada tahap awal, partisipasi masyarakat dapat ditujukan untuk tujuan
keamanan, dimana ada komitmen dari masyarakat untuk tidak menganggu
keberadaan rusa berikut habitatnya di dalam penangkaran. Hal ini menjadi perlu,
mengingat kawasan KHDTK Samboja merupakan kawasan yang rawan akan
gangguan hutan. Usia responden yang sebagian besar merupakan usia produktif dan
tingkat persepsi yang termasuk kategori “sedang” merupakan modal utama dalam
pelibatan masyarakat dalam kegiatan penangkaran rusa sambar. Bercermin dari
keberhasilan penangkaran rusa timor di Nusa Tenggara Timur salah satunya
disebabkan adanya unsur partisipasi masyarakat (Takandjandji et al., 2011).
Beberapa desain penangkaran rusa yang dapat diadopsi di KHDTK Samboja
adalah ranch apabila tersedia lahan yang cukup luas (sekitar 1-5 ha) dan semi ranch
apabila lahan terbatas sampai dengan 1 ha (Setio, 2007). Desain apapun yang dipilih
oleh perencana nantinya diharapkan dapat mengakomodir kekhawatiran masyarakat
Page 134
Sintesis 2010-2014 | 119
salah satunya dengan membuat pagar pembatas yang cukup kuat dengan kebun
masyarakat.
Tingkat Kepentingan Stakeholder
Persepsi para stakeholder dari kalangan pemerintahan dan swasta (Dishut
Kaltim, PPA Tahura, BKSDA Kaltim, pihak penangkar rusa sambar yang ada di
Kaltim) semuanya mendukung kegiatan penangkaran rusa sambar yang akan
dilakukan, kecuali pihak aparat desa Semoi Dua yang menyatakan ragu sebab status
kawasan di Km 16 di KHDTK Samboja masih dianggap tumpang tindih karena
berdasarkan peta penempatan transmigrasi berada dalam pengelolaan wilayah desa
Semoi Dua.
Identifikasi Kondisi Biofisik
Areal di Km 16 KHDTK Samboja memenuhi syarat sebagai lokasi penangkaran
rusa dilihat dari kondisi biofisiknya.
Kondisi Tapak
Kondisi topografi di lokasi ini bergelombang bervariasi. Terdapat beberapa plot
penelitian yang ada, diantaranya plot gaharu, ulin, tegakan benih meranti. Plot
Tegakan Benih Meranti sekitar 3 bulan yang lalu mengalami kebakaran, sehingga
banyak tanaman yang mati. Berdasarkan informasi masyarakat lokasi tersebut pernah
dilakukan pengeboran minyak/gas oleh perusahaan VICO. Terdapat lokasi yang
datar di sekitar danau VICO, menurut informasi dari masyarakat lokasi tersebut
dulunya dipergunakan oleh perusahaan VICO untuk menaruh alat-alat berat yang
digunakan untuk pengeboran minyak/gas di lokasi tersebut.
Aksesibilitas
Aksesibilitas menuju lokasi ini dari Km. 38 Samboja berjarak 16 km,
selanjutnya masuk kedalam sekitar 1 km. Kondisi jalan dulunya dapat dilalui mobil
roda empat, namun karena jarang dilalui, saat ini hanya bisa dilalui kendaraan roda
dua atau roda empat 4WD.
Kondisi Hidroorologi
Pada lokasi ini terdapat danau buatan yang dibuat oleh perusahaan VICO, danau
tersebut berasal dari beberapa anak sungai yang dibendung. Luas danau sekitar 4 ha,
dengan kondisi tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Danau berada
berdekatan dengan lokasi yang bertopografi datar, yaitu sekitar 20 meter.
Vegetasi dan sumber pakan
Lokasi bertopografi datar sebagian bekas terbakar dan sebagian lainnya tidak
terbakar. Kondisi yang terbakar sekarang ditumbuhi Acacia mangium dan alang-
alang. Sedangkan yang tidak terbakar ditumbuhi semak-semak, macaranga, jenis
rumput-rumputan dan liana/herba, selain itu juga masih tersisa beberapa tanaman
Page 135
Sintesis 2010-2014 | 120
meranti yang masih hidup. Jenis pohon adalah Acacia mangium (INP=242,66%),
Macaranga motleyana (INP=15,41%), Vernonia arborea (INP=12,08%), Shorea
leprosula (INP=12,02%), Gmelina arborea (INP=11,36%) dan Swietenia mahagony
(INP=6,44%).
Hasil identifikasi terhadap tumbuhan bawah ditemukan 32 jenis, 18 jenis di
antaranya berpotensi sebagai sumber pakan bagi rusa sambar dalam penangkaran.
Lima jenis tumbuhan bawah dominan pada lokasi penelitian adalah Scleria sp.
(INP=64,60%), Nephrolepis sp. (INP=17,35%), Imperata cylindrical (INP=15,82%),
Mikania sp. (INP=7,63%), dan Saccharum spontaneum (INP=7,31%).
Produktivitas Hijauan
Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa total produktivitas dari 18 jenis
hijauan yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi rusa sambar hanya sebesar 33,74
Kg/ha/hari untuk berat segar dan 1,00 Kg/ha/hari untuk berat kering.
Dengan memperhitungkan bahwa kebutuhan pakan bagi setiap ekor rusa
umumnya adalah 6 kg/hari maka dari proper use 70% yang ditumbuhi oleh hijauan
pakan dapat diketahui bahwa daya dukung habitat bagi rusa sambar saat ini adalah
sebanyak 8 ekor/ha/hari.
Desain Tapak Penangkaran
Bila mengacu pada kondisi fisik dan biologis kawasan di Km 16 LHDTK
Samboja yang akan dijadikan sebagai lokasi penangkaran maka setidaknya dalam
desain penangkaran jangka panjang dapat dikembangkan menjadi dua zona utama,
yakni zona perkantoran serta zona penangkaran. Kedua zona tersebut dibangun
dengan mempertimbangkan proyeksi efisiensi pengelolaan, daya dukung habitat,
ketersediaan lahan penangkaran, serta populasi rusa yang akan ditangkarkan.
Alokasi kebutuhan ruang untuk penangkaran sistem ranching yang dapat diterapkan
di KHDTK Samboja adalah sebagai berikut:
a. Zona perkantoran (A), memiliki luas 0,7 ha atau 23,33% dari total luas rencana
penangkaran. Topografi kawasan ini terlalu berbukit dan tidak cocok untuk
aktivitas rusa sehingga peruntukannya lebih bermanfaat untuk bangunan bagi
penjaga/pekerja, menara kontrol pengawasan rusa, serta gudang peralatan dan
pakan.
b. Pedok Indukan (B dan C), memiliki luas 1,4 ha atau 46,67% dari total luas
rencana penangkaran. Dipergunakan bagi rusa yang telah memasuki usia
kematangan secara reproduksi. Diproyeksikan dapat menampung 15 ekor rusa
indukan.
c. Pedok pembesaran (D), memiliki luas 0,4 ha atau 13,33% dari total luas rencana
penangkaran. Diproyeksikan dapat menampung 5 ekor rusa yang masih dalam
usia muda ( < 2 tahun).
d. Pedok adaptasi dan isolasi/karantina (B2), memiliki luas 0,018 ha atau 0,6 % dari
total luas rencana penangkaran. Diproyeksikan penggunaannya sebagai kandang
Page 136
Sintesis 2010-2014 | 121
untuk adaptasi rusa yang baru datang, tempat untuk melahirkan bagi rusa betina,
serta lokasi untuk perawatan bagi rusa yang sedang sakit.
e. Pedok areal pengembangan/kebun rumput (E), memiliki luas 0,9 ha atau 30%.
Pedok ini berfungsi untuk mensuplai kebutuhan pakan bagi rusa di saat kondisi
pakan yang tersedia sudah tidak mencukupi. Selanjutnya, seiring dengan
pertambahan populasi rusa dalam penangkaran, maka pedok
pengembangan/kebun rumput ini ke depannya dapat juga dipergunakan sebagai
pedok indukan.
Faktor interaksi antara naungan (ternaung) dan jenis tanaman (S. sphacelata)
memberikan pengaruh terendah terhadap persentase kehidupan tanaman dengan nilai
rata-rata persen hidup hanya mencapai 84,08% sementara persentase hidup perlakuan
lain pada interaksi yang sama berkisar antara 89,75%-95,39%. Untuk interaksi antara
konsentrasi NPK dan jenis tanaman, perlakuan konsentrasi NPK 6 gr/rumpun pada
jenis P.dilatatum dan P. purpureum memberikan persentase kehidupan tertinggi
hingga mencapai 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis tanaman
tersebut memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Kedua
jenis rumput tersebut selain memiliki keunggulan produktivitas biomassa yang tinggi
juga mampu bertahan pada kondisi kekeringan dan tanah yang kurang subur
(Polakitan dan Kairupan, 2011).
c.3. Teknik Penangkaran Trenggiling
Kandang Penangkaran
Model teknik penangkaran trenggiling dilakukan di Sumatera Utara, Medan
milik UD. Multi Jaya Abadi yang dimulai sejak tahun 2007. Pengamatan trenggiling
dilakukan dengan cara dikandangkan secara berpasangan dan individu. Kandang
penangkaran berbentuk permanen sebanyak 40 buah berukuran 2 m x 4 m, tinggi 2,0
m di bagian depan dan 1,5 m di bagian belakang, berlantai semen, dan beratap asbes
dengan sirkulasi udara baik. Pagar kandang terbuat dari tembok, teralis besi, kawat
harmonika dan antar kandang disekat dengan teralis besi yang dilapisi kawat
harmonika.
Konsumsi Pakan
Kondisi trenggiling di penangkaran sehat secara fisik, tidak menunjukkan
perilaku anta-gonistik , nafsu makan cukup bagus, iklim mikro seimbang dan
trenggiling sudah beradaptasi dengan jenis pakan yang diberikan yaitu dedak padi,
jagung halus, yang dicampur dengan kroto sebagai pakan utama. Konsumsi pakan
pada trenggiling berpasangan sebesar 178,21 gram/pasang/hari dengan rata-rata
perlakuan P1 (dedak+jagung+kroto 50 gram) sebesar 167,69 gram/hari dan P2
(dedak+jagung+kroto 80 gram) 188,72 gram/hari, serta konsumsi per individu
sebanyak 89,10 gram/individu/hari sedang konsumsi pakan trenggiling dalam
kandang individu sebanyak 100,24 gram/individu/hari.
Page 137
Sintesis 2010-2014 | 122
Trenggiling lebih menyukai pakan yang sering diberikan (dedak padi dicampur
dengan jagung halus dan kroto) dibandingkan dengan jenis pakan yang baru (rayap,
cacing, dan jangkrik). Konsumsi dedak padi dan jagung halus sebesar 13,64%;
kroto 11,57%; cacing 1,27%; rayap 1,01% dan jangkrik sebesar 0,78% dengan total
pemberian pakan 362,65 gram/individu/hari.
Rata-rata bobot badan trenggiling jantan lebih besar daripada betina, demikian
pula halnya dengan ukuran morfometrik. Rata-rata bobot badan jantan adalah 2,99
kg dan betina 2,33 kg. Sedangkan ukuran morfometrik berupa panjang total 78,62
cm (jantan) dan 70,32 (betina) serta lingkar dada jantan 33,44 cm dan betina 27,32
cm. Bobot badan harian pada trenggiling yang diberi perlakuan pakan alternatif,
tidak mengalami kenaikan bahkan cenderung menurun karena berkaitan erat dengan
tingkat konsumsi dan lamanya pengamatan.
Konversi pakan juga masih sangat rendah dimana berkorelasi dengan konsumsi
pakan dan pertambahan bobot badan harian, sedangkan daya cerna trenggiling
terhadap pakan jangkrik lebih tinggi karena jangkrik mengandung serat kasar yang
tinggi dan rayap terendah.
Pakan utama trenggiling adalah serangga, sehingga pemberian dedak dan jagung
kurang memenuhi gizi yang dibutuhkan trenggiling. Oleh karena itu, pada Tahun
2012 dicobakan lagi jenis pakan yang memiliki nilai gizi tinggi yaitu telur, tahu, dan
rayap. Penelitian Tahun 2012 dilakukan di Penangkaran Trenggiling HP Dramaga
selama 84 hari. Penelitian menggunakan 4 (empat) individu trenggiling terdiri dari 2
(dua) jantan dan 2 (dua) betina. Perlakuan pakan yang diberikan yakni kroto yang
dikombinasikan dengan beberapa jenis pakan alternatif dengan formulasi sebagai
berikut :
A = Kroto (50%) + Telur (50%)
B = Kroto (50%) + Tahu (50%)
C = Kroto (50%) + Telur (20%) + Tahu (30%)
D = Kroto (50%) + Telur (18%) + Tahu (26%) + Rayap (6%)
Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata konsumsi pakan 229,012
gram/individu/hari dan tertinggi dicapai oleh trenggiling jantan. Pakan alternatif
dengan perlakuan menggunakan campuran antara telur, tahu dan kroto lebih disukai
dan banyak dikonsumsi trenggiling. Pertambahan bobot badan tertinggi dicapai oleh
trenggiling 2 (betina) dan nilai rata-rata sebesar 0,19 kg/individu/hari serta perlakuan
menggunakan campuran telur, tahu, rayap, dan kroto memberikan kontribusi
tertinggi. Rata-rata konversi tertinggi dicapai oleh trenggiling 3 (betina) sedangkan
perlakuan tertinggi adalah perlakuan dengan menggunakan campuran telur dan kroto
dengan rata-rata konversi sebanyak 3571,891. Ukuran morfometrik tertinggi terjadi
pada trengiling betina dengan perlakuan yang bervariasi.
Page 138
Sintesis 2010-2014 | 123
Penelitian Tahun 2013 difokuskan pada perlakuan pemberian pakan dengan
menggunakan bahan pakan yang bernutrisi, tidak bersaing dengan manusia dan
mudah di dapat, yaitu ampas tahu, limbah sayur dan buah yang dicampur dengan
pakan alami berupa kroto sebagai pembentuk aroma. Penelitian menggunakan 4
(empat) individu trenggiling. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata
konsumsi pakan trenggiling tertinggi dicapai oleh trenggiling 3 yaitu 260,607±1,668
gram/individu/hari (bahan kering 155,322±0,994 dan protein kasar 56,491±0,361).
Konversi pakan tertinggi dicapai trenggiling 4 yaitu 0,183 gram/individu/hari.
Konversi pakan meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi pakan dan
pertambahan bobot badan harian trenggiling. Pertambahan bobot badan harian
tertinggi dicapai oleh trenggiling 4 yaitu 17,857±22,208 gram/individu/hari.
Pertumbuhan dalam hal ini pertambahan bobot badan harian pada trenggiling yang
diberikan pakan alternatif, meningkat pada periode I karena trenggiling sudah mulai
beradaptasi dengan bahan pakan yang diberikan.
Berdasarkan hasil penelitian pemberian pakan pada tahun 2013 menunjukkan
bahwa dari bahan pakan yang diberikan (ampas tahu, tepung ikan, pellet yang
dicampur dengan kroto), ternyata tidak semua disukai trenggiling. Oleh karena itu,
bentuk dan teknik pemberian pakan alternatif perlu disesuaikan agar trenggiling
dapat memanfaatkan pakan tersebut secara optimal. Berdasarkan pemikiran tersebut,
maka penelitian pakan alternatif pada tahun 2014 lebih diarahkan kepada jenis pakan
yang disukai pada tahun sebelumnya (tahun 2011-2013), dengan berbagai formula. Hal
ini dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penyediaan pakan
trenggiling di penangkaran, baik teknik pemberian maupun bahan pakan. Di samping
itu, penyediaan pakan alternatif juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan
keuntungan bagi para penangkar trenggiling agar dapat meminimalisasi harga kroto
sebagai pakan utama yang mahal.
Ukuran Morfologis, Penyakit dan Perilaku Trenggiling
Ukuran morfologis trenggiling dewasa di penangkaran Medan, panjang kaki
depan jantan 9,08 cm dan betina 8,40 cm, panjang kaki belakang jantan 9,92 cm dan
betina 9,30 cm, panjang badan jantan 87,58 cm dan betina 86,40 cm. Berat badan
anak berumur 1 bulan 300 gram, panjang badan 20 cm dan lingkar badan 17 cm,
sedang umur enam bulan memiliki berat badan 700 gram, panjang badan 27 cm dan
lingkar badan 23 cm.
Penyakit yang sering menyerang trenggiling di penangkaran adalah caplak,
diare, pilek, dan luka . Trenggiling akan cepat mati apabila terdapat luka pada
bagian yang tidak bersisik (bagian abdomen). Hasil analisis endoparasit di
laboratorium helmintologi menggunakan metode Mc Master, sedimentasi, dan
pengapungan terhadap trenggiling di penangkaran Medan, tidak ditemukan telur
cacing .
Page 139
Sintesis 2010-2014 | 124
Perilaku trenggiling di penangkaran meliputi posisi tidur, perilaku bergerak,
perilaku makan, memanjat dan berdiri. Posisi tidur trenggiling yaitu melingkar
(64%), terlentang (27%), dan memanjangkan tubuh (9%). Perilaku bergerak adalah
berjalan (38,6%), mendatangi pakan (29,9%), memanjat (24,5%), dan berdiri (7%).
Perilaku makan dengan aktivitas minum 37,8%; urinasi 16,8%; defekasi 15,4%.
d. Teknik Konservasi Fauna Kunci
d.1. Kajian Habitat dan Populasi Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Jawa Barat
dan Jawa Tengah
Kondisi Umum Habitat Elang Jawa
Beberapa lokasi yang diindikasikan menjadi habitat elang jawa pada kawasan
hutan TN Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat), dua diantaranya adalah Blok Koridor
(Resort Gunung Kendeng, Seksi Pengelolaan Taman Nasional/SPTN Wilayah III
Sukabumi) dan Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN Wilayah II Bogor). Sementara
itu, lokasi habitat indikatif elang jawa di TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) yang
dilakukan penelitiannya adalah pada blok hutan yang relatif menyatu, yaitu:
Balongan, Balongan Timur, Bimo, Dok Malang, Dok Cilik, Tulangan, Ngerakalan,
Bukit Mungkro, Babon, dan Ganje.
Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dan pohon pada habitat indikatif elang jawa
di Blok Koridor TN Gunung Halimun-Salak menunjukkan indeks keragaman jenis
(H’) berkisar 2,06-2,63 (kategori sedang) dan nilai keseragaman antar jenis (E)
berkisar 0,75-0,85 (kategori tinggi). Sementara itu, vegetasi tingkat tiang dan pohon
di blok hutan TN Gunung Merbabu menunjukkan indeks keragaman jenis (H’)
berkisar 0,99-1,80 (kategori rendah hingga sedang) dan nilai keseragaman antar jenis
(E) berkisar 0,53-0,87 (kategori sedang hingga tinggi).
Tabel 31. Kondisi Umum Habitat Elang Jawa di TN Gunung Halimun-Salak dan TN
Gunung Merbabu
Lokasi Penelitian Tipologi
Habitat
Kondisi
Topografi Jenis Vegetasi utama
TN Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat)
Blok Koridor
- Sub Blok GH (850-
1.100 m dpl.)
- Sub Blok Pasir Bedil
(950-1.000 m dpl.)
Hutan sekunder
yang bercampur
dengan tanah
terbuka dan
perkebunan
masyarakat
Bergelombang
ringan hingga
sedang
Puspa (Schima walichii),
saninten (Castanopsis
argentea), pasang
(Quercus spp.), pasang
batarua (Q.
dolichorcarpa) dan
kirung (Elaeocarpus
pierri), ki hiur (C.
acuminatisima), dan ki
ronyok (Castanopsis
spp.)
Page 140
Sintesis 2010-2014 | 125
Lokasi Penelitian Tipologi
Habitat
Kondisi
Topografi Jenis Vegetasi utama
Blok Tapos
- Sub Blok Loji (750-
950 m dpl)
- Sub Blok Cipinang
Gading (850-1.150 m
dpl)
- Sub Blok Bobojong
(750-1.050 m dpl)
Kombinasi
hutan primer,
hutan sekunder
dan perkebunan
Bergelombang
sedang hingga
berat
Pinus (Pinus merkusii),
puspa (Schima walichii),
mara (Macaranga spp.),
ki bancet (Turpini spp.),
kayu afrika (Maesopsis
ominii), ki sireum
(Eugenia clavimyrtus),
huru (Litsea spp.), kurai
(Trema orientalis),
ganitri (Elaeocarpus
ganitrus), pasang
(Quercus spp.) dan suren
(Toona spp.)
TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah)
Blok: Balongan,
Balongan Timur, Bimo,
Dok Malang, Dok
Cilik, Tulangan,
Ngerakalan, Bukit
Mungkro, Babon, dan
Ganje (1.650-2.300 m
dpl)
Hutan lahan
kering sekunder
(alam dan
tanaman), tanah
terbuka, dan
berbatasan
dengan
pertanian lahan
kering
Cenderung
bertopografi
landai dengan
beberapa areal
bergelombang
ringan hingga
sedang
Puspa (Schima walichii),
pinus (Pinus merkusii),
sowo (Vitis landuk),
bitami (Podocarpus
spp.), akasia (Acacia
decurrens), pasang
(Quercus spp.), wuru
besi (Hibiscus similis),
dempul (Glochidion
rubrum), pampung
(Macropanax
dispermus), lodrok
(Saurauia bracteosa) dan
melandingan gunung
(Leucaena glauca)
Perjumpaan Elang
Hasil penelitian pada habitat indikasi di kawasan hutan TN Gunung Halimun-
Salak (Jawa Barat) hanya berhasil dijumpai elang jawa di Blok Tapos, yaitu Sub
Blok Cipinang Gading (925 m) dan Sub Blok Bobojong (852 m dpl). Pada kedua
sub blok tersebut, elang jawa dijumpai masing-masing sebanyak dua individu dalam
aktivitas terbang melayang dan berputar (soaring) secara terpisah. Selain elang jawa,
penelitian berhasil menjumpai satu individu elang brontok (Spizaetus cirrhatus) di
Sub Blok Loji (875 m dpl), dan tiga individu elang hitam (Ictinaetus malayensis) di
Sub Blok Bobojong (di atas Sungai Ciapus, ketinggian 864 m dpl).
Hasil penelitian pada habitat indikasi di kawasan hutan TN Gunung Merbabu
(Jawa Tengah) hanya berhasil dijumpai dua individu elang jawa di Blok Babon
(1.940 m dpl) dalam aktivitas terbang melayang dan berputar (soaring). Jenis elang
lain yang paling sering dijumpai pada blok hutan TN Gunung Merbabu adalah elang
Page 141
Sintesis 2010-2014 | 126
hitam (Ictinaetus malayensis), yaitu: satu individu di Blok Bimo, tiga individu di
Blok Ngerakalan, tiga individu di Blok Ganje, satu individu di Blok Tulangan.
Keberadaan elang lain selain elang jawa dimungkinkan pada suatu wilayah
karena beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa jenis-jenis elang tersebut
memiliki home range yang bertumpuk (overlapped). Home range tersebut biasanya
bertumpuk dengan home range elang ular, elang hitam dan elang brontok.
Persarangan Elang
Persarangan elang jawa dan elang lainnya yang berhasil dijumpai pada
penelitian ini hanya terdapat di Blok Tapos (TN Gunung Halimun-Salak).
Karakteristik persarangan dan jenis pohon sarang tersebut sebagaimana dimuat pada
Tabel 32.
Tabel 32. Karakteristik persarangan elang di Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN
Wilayah II Bogor, TN Gunung Halimun-Salak)
Lokasi Jenis
Elang
Jenis Vegetasi
Pohon sarang
Karakteristik
Persarangan Topografi Lokasi
Sub Blok
Cipinang
Gading
Elang
Jawa
(Nisaetus
bartelsii)
Suren (Toona
spp.),
Famili: Meliaceae
Tinggi pohon
35-40 m
diameter 60 cm
Tinggi sarang
25 m
Ketinggian tempat
1.111 m dpl pada
lereng tebing,
kemiringan > 45o,
ketinggian lereng ± 100
m, posisi pohon sarang
pada pertengahan
lereng.
Sub Blok
Bobojong
Elang
Jawa
(Nisaetus
bartelsii)
Ganitri
(Elaeocarpus
ganitrus), Famili:
Tiliaceae
Rasamala
(Altingia excelsa),
Famili:
Hamamelidaceae
Pasang (Quercus
spp.), Famili:
Fagaceae
Tinggi pohon
25-35 m
diameter 40-60
cm
Tinggi sarang
20-25 m
Ketinggian tempat 968
m dpl pada lereng
tebing, kemiringan >
45o, ketinggian lereng ±
150 m, posisi pohon
sarang pada sepertiga
atas lereng.
Sub Blok
Loji
elang
brontok
(Spizaetus
cirrhatus)
Randu (Ceiba
spp.), Famili:
Bombacaceae
Tinggi pohon
40-50 m
diameter 170
cm
Tinggi sarang
20 m (baru)
dan 25 m
(lama)
Ketinggian tempat 856
m dpl pada lereng
tebing, kemiringan >
45o, ketinggian lereng ±
75 m, posisi pohon
sarang pada
pertengahan lereng.
Page 142
Sintesis 2010-2014 | 127
Potensi Satwa Mangsa dan Ancaman
Hasil penelitian pada habitat indikatif di kawasan hutan TN Gunung Halimun-
Salak (Jawa Barat) dan TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) berhasil diidentifikasi
beberapa jenis satwa yang berpotensi sebagai satwa mangsa elang jawa. Beberapa
jenis satwa liar tersebut antara lain: tupai (Callosciurus sp.), jalarang (Ratufa
bicolor), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), owa jawa (Hylobates moloch),
lutung jawa (Trachyphitecus auratus), jenis burung kecil, kadal dan ular.
Beberapa jenis burung kecil pada habitat elang jawa merupakan target perburuan
liar. Jenis-jenis burung tersebut antara lain adalah burung cucak kutilang
(Pycnonotus aurigaster), cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus) dan kacamata
gunung (Zosterops montanus). Perburuan liar dalam kawasan hutan konservasi ini
berpotensi sebagai ancaman terhadap keberadaan satwa mangsa dan gangguan
habitat.
Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Beberapa temuan hasil penelitian menunjukkan perjumpaan elang jawa sangat
terbatas, sehingga tidak dapat diperkirakan populasinya. Perjumpaan elang jawa
cenderung pada tipologi habitat hutan alam (habitat utama bersarang), hutan
sekunder dan daerah terbuka (habitat perburuan mangsa). Penggunaan habitat dalam
home range elang jawa juga bertumpuk dengan elang lainnya, seperti elang hitam
(Ictinaetus malayensis) dan elang brontok (Spizaetus cirrhatus). Namun demikian,
terdapat preferensi habitat bagi elang jawa, terutama untuk persarangan. Tipologi dan
karakteristik habitat elang jawa dan persarangannya, antara lain:
ketinggian lokasi 852-1.940 m dpl dengan keberadaan pohon sarang pada
ketinggian 968-1.111 m dpl.
topografi bergelombang ringan hingga berat, terutama habitat persarangan pada
perbukitan/lembah (100-150 m) dengan tebing yang curam (kemiringan > 45o),
keberadaan jenis pohon yang spesifik sebagai pohon sarang, terutama adalah jenis
rasamala (Altingia excelsa), pasang (Quercus spp.), suren (Toona spp), ganitri
(Elaeocarpus ganitrus) dan puspa (Schima wallichii).
keberadaan satwa mangsa, antara lain: mamalia kecil, bayi primata, burung-
burung kecil dan kelompok reptil.
2. Saran
Hasil penelitian ini merupakan sebagian data dan informasi yang dapat dijadikan
acuan dalam menentukan kriteria dan indikator kelayakan habitat elang jawa.
Kecenderungan preferensi habitat juga dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan
habitat elang jawa dan pemilihan lokasi pelepasliarannya (second habitat).
Page 143
Sintesis 2010-2014 | 128
Sumber Peta: Google Earth (2014)
Gambar 55. Lokasi Perjumpaan Elang Jawa dan Elang Hitam pada Blok Hutan di TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah
Blok Balongan
Blok
Balonga
n
Timur Blok
Ganj
e
Blok
Bukit
Mungkro
Blok
Ngerakalan
Blok
Bimo
Blok
Dok
Malang
Blok
Dok
Cilik
Blok
Tulangan
Blok
Babon
Lokasi
perjumpaan
elang jawa
Lokasi
perjumpaan
elang hitam
Sub Blok
Bobojong
Sub Blok
Cipinang
Gading Lokasi sarang
elang jawa
Lokasi
perjumpaan
elang jawa
Gambar 54. Titik perjumpaan elang jawa dan sarang di Blok Tapos TN
Gunung Halimun-Salak
Sumber Peta: Google Earth (2014)
Page 144
Sintesis 2010-2014 | 129
d.2. Populasi dan Habitat Lutung jawa (Trachypithecus auratus)
Pendahuluan
Indonesia memiliki sedikitnya 40 jenis primata dari lima suku, yaitu Pongidae,
Hylobatidae, Cercopythecidae, Nycticidae dan Lorisidae. Lima jenis diantaranya
tersebar di kawasan hutan Pulau Jawa, yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili
(Presbytis comata), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung jawa
(Trachypithecus auratus), dan kukang jawa (Nycticebus javanicus). Owa jawa dan
surili merupakan jenis endemik Jawa (Supriatna dan Wahyono, 2000).
Lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) merupakan jenis primata
jawa yang mempunyai daerah sebaran yang luas, dari mulai bagian barat hingga
timur Pulau Jawa. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No.
733/Kpts-II/1999, lutung jawa termasuk satwa yang dilindungi. Berdasarkan IUCN
Redlist Data Book (2008), status konservasi lutung jawa adalah Vulnerable (langka).
Habitat lutung jawa tersebar dari mulai hutan hujan dataran rendah (0 m dpl
hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1600 m dpl. Populasi lutung jawa
tersebar pada beberapa habitat utama seperti Taman Nasional (TN) Ujung Kulon,
TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Ciremai,
Gambar 56. Pohon sarang dan
persarangan elang jawa di Sub Blok
Cipinang Gading, Blok Tapos TN
Gunung Halimun-Salak (gambar
diambil pada posisi sejajar di lereng
tebing)
Gambar 57. Pohon sarang dan
persarangan elang jawa di Sub Blok
Bobojong, Blok Tapos TN Gunung
Halimun-Salak (gambar diambil
pada posisi dari dasar tebing)
Page 145
Sintesis 2010-2014 | 130
TN. Alas Purwo, TN. Meru Betiri dan TN. Baluran. Namun demikian, sebaran
populasinya terdapat pula di beberapa kawasan suaka alam, seperti CA. Leuweung
Sancang, SM. Cikepuh, CA. Gunung Papandayan, Hutan Lindung Gunung Slamet
dan CA. Dungus Iwul. Selain itu lutung jawa juga terdapat di beberapa kawasan
hutan produksi dan hutan/ lahan yang terfragmentasi (Nijman, 2000).
Habitat lutung Jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan
mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang
cukup luas sehingga memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna
dan wahyono (2000), daerah jelajahnya berkisar antara 15-23 ha. Hal ini dipengaruhi
oleh jenis pakannya, menurut Clutton-Brock and Harvey (1977), primata yang hanya
memakan daun akan memiliki daerah jelajah dan bentuk tubuh yang kecil
dibandingkan dengan primata yang memakan beraneka ragam seperti daun, bunga
dan buah.
Ancaman utama populasi lutung jawa, adalah menurunnya luasan habitat,
terutama di kawasan hutan produksi. Selain itu adanya aktivitas perburuan dan
perdagangan liar terhadap jenis tersebut turut mempercepat laju kepunahannya.
Menurut kategori keterancaman jenis menurut IUCN (International Union for
Conservation of Nature and Natural Resources), suatu spesies disebut terancam
(threatened) jika termasuk salah satu dari tiga kategori yaitu vulnerable, endangered,
dan critically endangered. Berdasarkan kategori tersebut, tercatat ada empat jenis
primata yang terancam punah di pulau Jawa, yaitu owa jawa (Hylobathes moloch),
surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan kukang jawa
(Nycticebus javanicus) (IUCN 2011, Supriatna et al. 2000).
Hasil
Penelitian dilakukan di beberapa kawasan hutan, yaitu kawasan hutan Gunung
Honje, TN. Ujung Kulon, kawasan hutan Bodogol, TN. Gunung Gede Pangrango,
kawasan hutan Situ gunung, KPH Sukabumi, kawasan hutan Gunung Beser, KPH
Cianjur dan kawasan hutan mangrove Muara Gembong, KPH Bogor.
1. Populasi
Selama pengamatan di kawasan hutan Gunung Honje, TN. Ujung Kulon,
dijumpai tujuh kelompok lutung jawa dengan jumlah 33 individu. Jumlah individu
dalam kelompok yang terlihat bervariasi antara 3 hingga 7 individu. Kepadatan
populasi lutung jawa di kawasan hutan Gunung Honje mencapai 23,57 individu per
km2 dan kepadatan kelompok mencapai 5 kelompok per km2. Gurmaya, dkk (1992)
mencatat ada 21 kelompok lutung jawa dengan jumlah 114 individu dalam survey
yang dilakukan hampir di seluruh Ujung Kulon. Sementara itu hasil survei Tim PEH
TNUK pada tahun 2012, memperlihatkan lutung jawa tersebar hampir di seluruh
daratan Ujung Kulon (TNUK, data tidak dipublikasi).
Page 146
Sintesis 2010-2014 | 131
Berdasarkan komposisi umur dan kelamin, pada individu usia dewasa, individu
jantan berjumlah delapan individu sedangkan betina berjumlah 11 individu. Sex ratio
jantan : betina adalah 1 : 1,4. Berdasarkan kelompok umur, jumlah individu dewasa
lebih besar daripada jumlah individu usia muda dan anak, yaitu 19 individu dewasa
dan 14 individu usia remaja dan anak.
Di kawasan hutan Bodogol, TN. Gunung Gede Pangrango, dijumpai tujuh
kelompok lutung jawa, dengan total jumlah individu lutung yang terhitung sebanyak
34 individu dengan ukuran kelompok berkisar antara 3-8 individu per kelompok.
Komposisi individu per kelompok terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa, individu
anak dan bayi. Seks ratio jantan dewasa dan betina dewasa adalah 1:2,1.
Tabel 33. Ukuran dan komposisi kelompok lutung di hutan Bodogol, TNGP
Hutan alam Situ Gunung terletak di kaki Gunung Pangrango pada ketinggian
antara 950-1.036 meter dari permukaan laut. Keadaan topografinya bergelombang
sampai berbukit. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson TWA Situ Gunung
mempunyai tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 1.611-4.311 mm per
tahun dengan 106-187 hari hujan per tahun. Suhu udara berkisar pada suhu yaitu
16oC-28
oC dan kelembaban pada daerah ini rata-rata 84%
Menurut administrasi pemerintahan, TWA Situ Gunung termasuk wilayah Desa
Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Secara geografis,
kawasan ini terletak pada posisi antara 106’54’37” – 106’55’30” BT dan 06’39’40” –
06’41’12” LS. Kawasan hutan ini merupakan zona penyangga Taman Nasional
Gunung Gede Pangrango.
Selama pengamatan, tercatat dijumpai tiga kelompok lutung jawa, dan satu
kelompok monyet ekor panjang. Ukuran kelompok lutung jawa yang dijumpai
berkisar antara 6-11 individu per kelompoknya, dengan komposisi terdiri dari jantan
dewasa, betina dewasa, individu anak dan bayi. Seks ratio jantan dewasa dan betina
dewasa adalah 1:2,6.
No
Kelompok
Jantan
dewasa
Betina
dewasa Anak bayi
Jumlah
total
1 1 2 - - 3
2 1 3 1 1 6
3 1 2 2 1 6
4 1 2 1 4
5 1 3 3 1 8
6 1 1 1 3
7 1 2 1 1 5
7 15 9 4 35
Page 147
Sintesis 2010-2014 | 132
Tabel 34. Jumlah dan komposisi kelompok lutung jawa di kawasan hutan Situ
Gunung
Kelompok Jantan
Dewasa
Betina
dewasa Remaja/anak bayi Total
Kelompok 1 1 3 5 2 11
Kelompok 2 1 2 3 1 7
Kelompok 3 1 3 2 - 6
3 8 10 3 24
Hutan alam gunung Beser, terletak di wilayah kerja BKPH Cijedil. KPH
Cianjur, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat. Luas kawasan hutan alam
tersebut adalah 2.255,80 hektar. Kawasan hutan alam ini merupakan hutan produksi
dan kawasan lindung, dengan ketinggian antara 400 - 1000 meter dpl. Secara
Administratif, kawasan ini berada di desa Cijedil, Keamatan Cugenang, Kabupaten
Cianjur.
Hasil pengamatan mencatat, terdapat tiga kelompok lutung jawa dengan jumlah
15 individu (tabel 34). Selain lutung jawa dijumpai pula 1satu kelompok monyet
ekor panjang (Macaca fascicularis). Berdasarkan informasi dan laporan tahunan
KPH Cianjur, di kawasan hutan ini juga terdapat owa jawa (Hylobates moloch) dan
surili (Presyitis comata). Kedua jenis primata ini merupakan jenis endemic Jawa.
Tabel 35. Jumlah dan komposisi kelompok lutung di kawasan hutan Gunung Beser
Kelompok Jantan Dewasa Betina dewasa Remaja/anak bayi Total
Kelompok 1 1 1 1 1 4
Kelompok 2 1 2 1 1 5
Kelompok 3 1 2 2 1 6
3 8 10 3 15
2. Habitat
Habitat lutung jawa di hutan Gunung Honje terdiri dari hutan sekunder tua,
hutan primer dan kebun ladang masyarakat yang ada di dalam kawasan. Pada awal
sejarah kawasan, sebagian dari kawasan hutan Gunung Honje merupakan hutan
produksi Perum Perhutani. Sehingga pada habitat lutung jawa di Resort Kopi dan
Ketapang lebih mendekati tipe hutan sekunder.
Hasil pengamatan vegetasi pada habitat lutung jawa di kawasan hutan Gunung
Honje, dijumpai 23 jenis tumbuhan pohon. Beberapa jenis pohon yang cukup
dominan adalah gadog (Bridelia glauca), mahoni (Swietenia mahogani), hampelas
(Ficus ampelas), laban (Vitex pubescens), leungsir (Pometia pinnata) dan teureup
(Artocarpus elasticus). Mahoni banyak dijumpai di kawasan hutan resort Kopi dan
Ketapang, mengingat mahoni merupakan jenis tumbuhan yang ditanam ketika
kawasan tersebut berstatus hutan produksi.
Page 148
Sintesis 2010-2014 | 133
Habitat lutung jawa di kawasan hutan Bodogol merupakan hutan hujan dataran
tinggi pegunungan. Dari plot pengamatan vegetasi yang diamati, tercatat ada 32 jenis
tumbuhan di habitat lutung jawa. Beberapa jenis tumbuhan pohon merupakan sumber
pakan lutung jawa, diantaranya afrika (Maesopsis eminii), kisireum (Syzigium
restratum), kopo (Eugenia densiflora), hamerang (Ficus alba) dan teureup
(Artocarpus elasticus). Daftar jenis tumbuhan selengkapnya tertera pada tabel 36
berikut:
Tabel 36. Jenis Tumbuhan Pakan Lutung Jawa
No Nama Lokal Nama Ilmiah
1 Afrika Maesopsis eminii
2 Kisireum Syzigium restratum
3 Kopo Eugenia densiflora
4 Hamerang Ficus alba
5 teureup Artocarpus elasticus
6 Bisoro Ficus laevicarpa
7 kurai Trema orientalis
8 Mokla Knema cinerea
9 Salam gunung Eugenia clavimirtus
10 Cangcaratan Nauneoplea optusa
11 Beunying Ficus pistulosa
12 Kiputri Podocarpusneuriifolia
13 Kileho Sauraija pendula
14 Kondang Ficus variegate
15 walen Ficus ribes
16 Suren Toona suren
17 Jirak Symplocos chonchinen
18 Mara Macarangatriloba
19 Saninten Castanopsis argantea
20 Pasang Lithocarpus pallidus
21 Manglid Magnolia blumei
22 Seuseureuhan Pipier aduncum
23 Harendong Melastoma affine
24 huru Phobea grandis
25 Janitri Elaeocarpus pierrei
26 Rasamala Altingia excelsa
27 Puspa Schima wallichii
28 Leungsir Pometia pinnata
29 Kareumbi Omalanthus populneus
Page 149
Sintesis 2010-2014 | 134
Selama pengamatan tercatat 21 jenis tumbuhan di kawasan hutan Situ Gunung.
Vegetasi hutan Situ Gunung didominasi oleh jenis tumbuhan produksi, seperti puspa
(Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp), damar (Aghatis lorantifolia), dan
rasamala (Altingia excels).
Dalam plot pengamatan vegetasi pada habitat lutung jawa di kawasan hutan
Gunung Beser, KPH Cianjur, dijumpai 17 jenis tumbuhan tingkat pohon. Beberapa
jenis tumbuhan merupakan jenis dominan, diantaranya kayu afrika (Maesopsis
emanii), puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa) dan pasang
(Lithocarpus sp).
Kawasan hutan Muara Gembong merupakan bagian dari kawasan hutan di
kabupaten Bekasi seluas : 10.481,15 Ha terdiri dari 346,00 berupa Tanaman Jenis
Bako-bako (Rhizopora sp), dan Api-api (Avicenia sp), 25,18 Ha untuk penggunaan
boster Pertamina, 6,00 Ha untuk penggunaan PGN (Perusahaan Gas Negara) dan
seluas 10.099,17 Ha berupa tanah kosong akibat dari abrasi, pemukiman, tambak,
kebun, tegalan dan tanah yang disengketakan oleh pihak lain. Berdasarkan Surat
Keputusan Menteri kehutanan Nomor 475/Menhut-II/2005 tanggal 16 Desember
2005 Kawasan hutan Ujung Krawang (Muara gembong) seluas ± 5.311,15 Ha
terletak di Kecamatan Muara gembong kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai hutan
lindung, sedangkan sisanya seluas 5.170,00 Ha merupakan hutan produksi.
Seperti pada umumnya kawasan hutan mangrove, hutan mangrove di Muara
Gembong didominasi oleh tumbuhan bako-bako (Rhizopora sp), api-api (Avicenia
sp.) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia).
Kesimpulan
Populasi lutung jawa yang hidup di kawasan hutan Banten dan Jawa Barat masih
cukup banyak dan berada di atas ambang batas populasi minimum (minimum
viable population).
Sebagai primata pemakan daun (foliosvore), lutung jawa mudah beradaptasi
dengan berbagai kondisi habitat, dalam hal ini hutan produksi maupun kawasan
konservasi. Hal tersebut terlihat pada populasi lutung jawa yang terdapat di
kawasan hutan mangrove Muara Gembong, yang terisolasi dari kawasan hutan
mangrove lainnya di pantai utara Jawa.
Terdapatnya populasi lutung jawa di kawasan hutan mangrove Muara Gembong
menjadikan kawasan hutan tersebut mempunyai nilai penting dalam konservasi
jenis, dalam hal ini konservasi jenis primata jawa. Mengingat populasi lutung
jawa tersebut merupakan populasi yang tersisa di kawasan pantai utara Jawa.
30 Huru tangkil Gnetum sp.
31 Kiara bodas Ficus involucrate
32 Kecapi hutan Sandoricum kotjape
Page 150
Sintesis 2010-2014 | 135
Selain itu terdapatnya populasi lutung jawa di berbagai hutan produksi dan hutan
lindung di kawasan Situ Gunung dan Gunung Beser, yang lokasinya
berdampingan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede
Pangrango, memberikan peran penting sebagai koridor habitat bagi lutung jawa
dan jenis primata jawa lainnya, seperti monyet ekor panjang, owa jawa dan
surili.
Ancaman kepunahan lutung jawa yang utama adalah kegiatan perburuan liar
jenis tersebut untuk diperdagangkan. Kawasan hutan produksi yang masih lemah
pengamanannya, berpotensi mengundang pemburu liar untuk melakukan
aktivitasnya.
Pengelolaan kawasan hutan produksi dan hutan lindung menjadi daerah tujuan
ekowisata akan mengurangi tekanan aktivitas perburuan liar.
d.3. TEKNIK KONSERVASI SATWA KARNIVORA PUNCAK MACAN
TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809)
I. PENDAHULUAN
Macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) merupakan salah satu jenis
kucing besar dari genus Panthera dalam famili Felidae. Berdasarkan analisis
taksonomi modern ada delapan atau sembilan sub spesies, salah satunya adalah
macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809). Sebaran macan tutul jawa
sangat terbatas, hanya di Pulau Jawa (Santiapillai & Ramono, 1992; Meijaard 2004),
Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982), Pulau Nusakambangan (Gunawan,
1988) dan Pulau Sempu (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996).
Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada macan tutul
(Guggisberg, 1975; Nowak, 1997) dan yang mengalami melanisme dinamakan
macan kumbang (black panther). Macan kumbang masih memiliki tutul rosette
walaupun tersamar oleh warna rambut yang gelap (Lekagul & McNeely, 1977;
Garman, 1997). Macan tutul yang mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di
hutan yang lebat dan basah, dimana warna ini bermanfaat sebagai penyamaran dalam
perburuan mangsa (Garman, 1997).
Status kelangkaan macan tutul jawa menurut kategori Redlist IUCN
(International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) terus
meningkat dari Vulnerable (1978) menjadi Threatened (1988), Indeterminate (1994),
Endangered (1996) dan akhirnya menjadi Critically Endangered pada 2008 (IUCN-
The World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008). Di Indonesia, macan tutul
jawa sudah dilindungi sejak tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian pada tahun 1999 dipertegas lagi dengan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan
Tumbuhan dan Satwa. Macan tutul jawa juga termasuk dalam Appendix I CITES
Page 151
Sintesis 2010-2014 | 136
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora)
(Soehartono & Mardiastuti, 2002).
Kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan bersama-sama
dengan tekanan sosial-ekonomi serta sikap dan perilaku masyarakat secara simultan
dan akumulatif telah mengakibatkan: (1) hilangnya atau berkurangnya luasan habitat
(habitat loss) sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul jawa,
(2) degradasi kualitas habitat (habitat degradation) sehingga tidak sesuai lagi bagi
macan tutul jawa dan (3) fragmentasi habitat (habitat fragmentation) yang
meningkatkan resiko kepunahan macan tutul jawa akibat isolasi dan mekanisme
inbreeding. Dampak akhir dari berbagai penyebab tersebut terhadap macan tutul
jawa adalah: (1) menurun hingga hilangnya kesesuaian habitat; (2) menurunnya
populasi secara regional dan beberapa punah secara lokal, serta (3) berkurangya
daerah sebaran dan terisolasinya beberapa populasi (Gunawan, 2010).
Penelitian macan tutul jawa sangat penting dilakukan karena setelah harimau
jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) punah, macan tutul jawa
menduduki puncak rantai makanan (trophic level) dalam ekosistem hutan di Pulau
Jawa, sehingga. macan tutul jawa juga merupakan spesies kunci (keystone species)
yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Di sisi lain keberadaan macan
tutul jawa semakin terancam punah (Gunawan, 2010). Informasi tentang
perkembangan populasi dan penyebaran macan tutul jawa selama beberapa dekade
terakhir di Pulau Jawa tidak terpantau dengan baik. Meijaard (2004) menyarankan
agar pengelola kawasan konservasi memberikan perhatian khusus pada macan tutul
jawa, antara lain dengan survei satwa tersebut secara menyeluruh sebagai langkah
pertama dalam upaya konservasi.
II. STATUS EKOLOGI HABITAT
A. Tipe-Tipe Vegetasi Habitat
Provinsi Jawa Tengah memiliki sekitar 615.243,6 Ha yang terdiri atas Hutan
Alam Pegunungan 37.725,6 Ha, Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 Ha, Tanaman
Pinus 223.052,6 Ha, Tanaman Jati 340.453,2 Ha dan Tanaman Campuran 9.633,1
Ha. Hutan tanaman campuran biasanya terdiri atas dari dua atau lebih jenis-jenis
seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima
noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes
falcataria), dan lain-lain. Hutan tersebut terbagi dalam fungsi produksi, lindung dan
konservasi. Hutan produksi dan lindung dikelola oleh Perum Perhutani Unit 1 Jawa
Tengah. Sementara hutan konservasi dikelola oleh Balai KSDA dan Balai Taman
Nasional. Dari 20 KPH Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah yang diteliti, terdapat
15 KPH yang wilayahnya masih menjadi daerah sebaran macan tutul jawa. Dari 15
KPH tersebut terdapat 48 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa (Gunawan,
2010).
Page 152
Sintesis 2010-2014 | 137
Di Pulau Jawa, maca tutul jawa menghuni areal-areal berhutan, baik hutan alam
maupun hutan tanaman. Hutan habitat macan tutul jawa terdiri atas berbagai tipe
vegetasi, yaitu hutan mangrove, hutan pantai, hutan hujan tropis dataran rendah,
hutan hujan tropis pegunungan, dan hutan tanaman dengan berbagai jenis tanaman
monokultur seperti jati, pinus, mahoni, puspa, rasamala maupun tanaman campuran.
Hutan alam terdiri atas hutan primer dan sekunder.
Hasil penelitian Gunawan (2010) di Provinsi Jawa Tengah menemukan bahwa
dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ditemukan di hutan
pinus (43,8%) diikuti hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan
tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%). Sementara itu,
hasil penelitian Gunawan (2012) di Provinsi Jawa Barat dan Banten menemukan
bahwa dari 75 lokasi indikatif keberadaan macan tutul di wilayah Provinsi Jawa
Barat dan Banten, 64,0% tersebar di ekosistem hutan hujan tropis pegunungan
(>1.000 m dpl), sedangkan 17,3% tersebar di hutan hujan tropis dataran rendah (<
1.000 m dpl), sisanya tersebar di tipe ekosistem hutan tanaman pinus 5,3%, jati 6,7%,
mahoni 1,3%, kayu rimba campuran 4,0% serta hutan pantai dan mangrove 1,3%.
Satu-satunya lokasi indikatif ditemukannya macan tutul di hutan pantai dan
mangrove adalah di TN. Ujung Kulon.
B. Satwa Mangsa
Menurut Gunawan (2010) berdasarkan hasil peneltiannya di Provinsi Jawa
Tengah ditemukan 21 jenis satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul jawa.
Mangsa utama macan tutul adalah primata dan ungulata. Dengan demikian mangsa
utama potensial di Jawa Tengah adalah : monyet, lutung, owa jawa, surili, rekrekan,
kukang jawa, babi hutan, kijang, rusa, dan kancil.
Tabel 37. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan
tutul di Jawa tengah.
No. Nama Lokal Nama Latin
MANGSA UTAMA POTENSIAL
1 Monyet Macaca fascicularis Raffles, 1821
2 Lutung Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812
3 Owa jawa Hylobates molloch Audebert , 1798
4 Surili Presbytis comata Desmarest, 1822
5 Rek-rekan Presbytis fredericae Sody, 1930
6 Kukang Jawa Nycticebus coucang Boddaert, 1785
7 Babi hutan Sus scrofa Linnaeus, 1758
8 Kijang Muntiacus muntjak Rafinesque, 1815
9 Rusa Rusa timorensis, Blainville, 1822
10 Kancil Tragulus javanicus Osbeck ,1765
MANGSA SEKUNDER POTENSIAL
11 Lingsang Prionodon linsang Hardwicke, 1821
Page 153
Sintesis 2010-2014 | 138
No. Nama Lokal Nama Latin
12 Garangan Herpestes javanicus E. Geoffroy-Hilaire, 1818
13 Landak Hystrix javanica F. Cuvier, 1823
14 Luwak Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777
15 Trenggiling Manis javanica Desmarest, 1822
16 Kucing hutan Prionailurus bengalensis Kerr, 1792
17 Kelelawar Pteropus sp.
18 Cukbo Iomys horsfieldii, Waterhuse, 1838
19 Bajing Callosciurus sp.
20 Tikus Rattus rattus Linnaeus, 1758
21 Tupai Tupaia sp.
Sumber : Gunawan (2010)
Menurut Gunawan (2012) ada 10 jenis satwa mangsa utama potensial bagi
macan tutul di Jawa Barat dan Banten dari kelompok Primata dan Ungulata seperti :
Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Trachypithecus auratus), Surili (Presbytis
comata), Owa (Hylobates moloch), Oces (Nycticebus coucang), Rusa (Cervus
timorensis russa), Mencek (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa), Kancil
(Tragulus javanicus), dan Banteng (Bos javanicus). Terdapat 20 jenis satwa yang
potensial menjadi mangsa sekunder macan tutul yaitu dari kelompok mamalia kecil
dan sedang serta burung. Jenis-jenis satwa mangsa potensial bagi macan tutul jawa
di Provinsi Jawa Barat dan Banten disajikan di tabel berikut ini.
Tabel 38. Jenis-jenis mangsa utama dan mangsa sekunder potensial bagi
macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
No. Nama Lokal Nama Latin
MANGSA UTAMA POTENSIAL
1. Monyet ekor panjang Macaca fascicularis (Raffles, 1821)
2. Lutung jawa Trachypithecus auratus (É. Geoffroy, 1812)
3. Surili Presbytis comata (Desmarest, 1822)
4. Owa Hylobates moloch (Audebert, 1798)
5. Oces Nycticebus coucang (Boddaert, 1785)
6. Rusa Cervus timorensis russa (Müller & Schlegel, 1844)
7. Mencek Muntiacus muntjak (Zimmermann, 1780)
8. Babi Hutan Sus scrofa (Linnaeus, 1758)
9. Kancil Tragulus javanicus (Osbeck, 1765)
10. Banteng Bos javanicus (d'Alton, 1823)
MANGSA SEKUNDER POTENSIAL
1. Luwak Paradoxurus hermaphroditus (Pallas, 1777).
2. Garangan Herpestes javanicus (É. Geoffroy Saint-Hilaire, 1818)
3. Musang Viverricula indica (Desmarest, 1804)
4. Trenggiling Manis javanica (Desmarest, 1822)
5. Sero Prionodon linsang (Horsfield, 1822)
6. Landak Hystrix javanica (F. Cuvier, 1823)
Page 154
Sintesis 2010-2014 | 139
No. Nama Lokal Nama Latin
7. Ajag Cuon alpinus (Pallas, 1811)
8. Kucing Hutan Prionailurus bengalensis (Kerr, 1792)
9. Ayam Hutan Gallus gallus (Brisson, 1766)
10. Merak Pavo muticus (Linnaeus, 1766)
11. Sigung, teledu Mydaus javanensis (Desmarest, 1820)
12. Cukbo, Walangkopo Petaurista elegans (Müller, 1840)
13. Careuh besar Viverricula malaccensis (Gmelin, 1788)
14. Careuh kecil Mustela nudipes (Desmarest, 1822)
15. Tando Cyanocephalus variegatus (Simpson, 1945)
16. Encang-encang Iomys horsfieldii (Waterhouse, 1838)
17. Biawak Varanus salvator (Merrem, 1820)
18. Jelarang Ratufa bicolor (Sparrman, 1778)
19. Bajing Callosciurus notatus (Boddaert, 1785)
20. Tupai, Kekes Tupaia javanica (Horsfield, 1822)
Sumber : Gunawan (2012)
C. Preferensi Habitat
1. Tipe Vegetasi Hutan
Menurut Gunawan (2010) Macan tutul jawa menyeleksi habitatnya, di Jawa
Tengah, habitat hutan hujan tropis dataran rendah paling disukai oleh macan tutul
jawa kerena memiliki nilai indeks seleksi tertinggi (w = 8,5), diikuti hutan tanaman
campuran (w = 5,9), hutan hujan tropis pegunungan (w = 3,0) dan hutan tanaman
pinus (w = 1,2). Hutan jati walaupun memiliki proporsi luas paling besar tetapi tidak
disukai oleh macan tutul jawa karena nilai indeks seleksinya kurang dari satu (w =
0,5).
Menurut Gunawan (2012), di Jawa Barat dan Banten, macan tutul jawa lebih
menyukai ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dan hutan hujan tropis dataran
rendah. Hal ini diduga karena kondisinya yang umumnya masih memiliki vegetasi
primer dan kaya akan keanekaragaman jenis flora fauna. Demikian juga dengan
hutan hujan tropis dataran rendah, meskipun kemungkinan sudah banyak yang
sekunder, namun masih kaya keanekaragaman hayati flora dan fauna sehingga
disukai macan tutul jawa.
2. Iklim
Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di berbagai kondisi iklim
(A, B, C,D,E). Menurut Gunawan (2010) terdapat hubungan antara keberadaan
macan tutul jawa dengan kondisi iklim (tipe curah hujan) di suatu wilayah. Di Jawa
Tengah macan tutul jawa lebih banyak dijumpai daerah beriklim basah (A dan B)
(68,75%) daripada di daerah beriklim kering (C, D, E) (31,25%). Dengan demikian,
curah hujan merupakan koponen habitat yang penting bagi macan tutul jawa
(Gunawan, 2010).
Page 155
Sintesis 2010-2014 | 140
Menurut Gunawan (2010) Iklim (curah hujan) diduga berpengaruh terhadap
keberadaan satwa mangsa macan tutul yang merupakan herbivora. Satwa herbivora
tergantung pada ketersediaan hijauan pakan yang umumnya merupakan tumbuhan
bawah. Kelimpahan tumbuhan bawah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan
setempat.
3. Status Kawasan Hutan
Dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 14,58%
tersebar di kawasan hutan lindung, 6,25% di hutan konservasi dan 79,17% di hutan
produksi. Tidak ditemukan macan tutul di hutan rakyat. Hutan Konservasi yang
masih memiliki macan tutul jawa di Jawa Tengah adalah Taman Nasional Gunung
Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu dan Cagar Alam Nusa Kambangan (Barat
dan Timur) (Gunawan, 2010).
Pentingnya status fungsi kawasan hutan bagi habitat macan tutul jawa juga
ditunjukkan oleh fakta bahwa dari 17 lokasi sebaran macan tutul yang mengalami
kepunahan lokal, 94% (16) di antaranya berada di hutan produksi dan hanya satu
yang berada di hutan konservasi (hutan alam). Dari 16 lokasi sebaran macan tutul
jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 87,5% (14) diantaranya merupakan
hutan tanaman jati dan hanya dua lokasi yang merupakan hutan tanaman pinus
(Gunawan, 2010). Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) juga
menemukan bahwa macan tutul memiliki preferensi terhadap hutan konservasi,
kemudian hutan lindung dan yang terakhir hutan produksi.
4. Topografi
Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan dekat patahan tebing atau
puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat
berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia (Chundawat, 1990; Marker and
Dickman, 2005). Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan
dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul
jawa banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam.
Hasil penelitian Gunawan (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara
keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya. Dari 48 lokasi
indikasi macan tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar
(43,8%), curam (31,3%) dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai
6,3%, agak curam 8,3% dan sangat curam 16,4%.
Menurut Gunawan (2010) macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat
dengan lereng curam dan sangat curam diduga ada kaitannya dengan faktor
keamanan habitat, karena pada kondisi topografi yang berat umumnya tingkat
kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di lapangan
memang kawasan hutan bertopografi berat jarang dirambah manusia dan umumnya
juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan eksploitasi. Fakta
juga menunjukkan bahwa dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami
Page 156
Sintesis 2010-2014 | 141
kepunahan lokal di Provinsi Jawa Tengah, 46,67% memiliki topografi datar. Hal ini
diduga ada kaitannya dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar
hutan (tekanan dari penduduk) (Gunawan, 2010).
Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) juga menemukan
fenomena yang sama, yaitu macan tutul paling menyukai habitat bertopografi sangat
curam, kemudian curam dan agak curam. Hal ini diduga berkaitan dengan keamanan
habitat, karena daerah daerah berlereng curam umumnya dihindari manusia dan jauh
dari jangkauan manusia, sehingga aman dari gangguan manusia. Daerah
bertopografi terjal umumnya juga ditetapkan sebagai hutan lindung yang tidak
dieksploitasi dan selalu dijaga kelestariannya, sehingga daerah ini relatif aman bagi
macan tutul dan satwa mangsanya.
5. Ketinggian Tempat (Altitude)
Menurut Gunawan (2010) dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa di Jawa
Tengah, frekuensi terbanyak ada di ketinggian 0 – 500 m dpl (52,1%) diikuti
ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (31,3%) dan ketinggian 500-1.000 m dpl (16,7%).
Berdasarkan indeks seleksi, ketinggian di atas 1.000 m dpl paling disukai, sementara
ketinggian kurang dari 500 m dpl kurang disukai. Ada Sembilan lokasi indikasi
macan tutul jawa yang memiliki ketinggian 1.000 m atau lebih dari permukaan laut.
Lokasi-lokasi tersebut umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah
ditetapkan sebagai hutan lindung yaitu : Gunung Slamet, G. Prahu, G. Sindoro, G.
Sumbing, G. Merapi, G. Merbabu, G. Lawu, G. Ungaran dan.G. Muria. Sementara
itu, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu telah ditetapkan sebagai taman nasional
sejak tahun 2004 (Gunawan, 2010).
Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) menemukan bahwa macan
tutul memiliki preferensi terhadap daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl
atau daerah pegunungan. Beberapa gunung yang dihuni macan tutul jawa antara lain
: G. Cakrabuana, G. Papandayan, G. Galunggung, G. Tilu, G. Jubleg, G. Malabar, G.
Burangrang, G. Tangkubanprahu, G. Kalong, G. Sanggabuana, G. Kendeng, G.
Endut, G. Gede-Pangrango, G. Bongkok, G. Ciremai, G. Halimun-Salak (Gunawan,
2013).
Menurut Gunawan (2010) hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan
habitat oleh macan tutul jawa diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap
gangguan. Dalam hal ini kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan.
Perkampungan dan pemukiman padat umumnya berada di daerah dataran rendah
dengan ketinggian kurang dari 1.000 m dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran
rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman. Disamping itu, kawasan hutan di daerah
ketinggian lebih dari 1.000 m dpl banyak yang merupakan kawasan hutan lindung
atau hutan konservasi.
Page 157
Sintesis 2010-2014 | 142
D. Kerawanan Habitat
Pemetaan kerawanan habitat sangat penting bagi pengelolaan macan tutul karena
berguna untuk mitigasi potensi konflik antara macan tutul dan manusia. Di habitat-
habitat yang rawan, potensial terjadi kasus keluarnya macan tutul jawa dari hutan ke
pemukiman atau kebun di sekitar hutan yang bisa disebabkan kurangnya satwa
mangsa atau kalah dalam perebutan wilayah jelajah (Gunawan, 2013).
Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap potensi gangguan aktifitas manusia, di
Provinsi Jawa Tengah hanya sedikit habitat yang memiliki kelas kerawanan rendah
(aman) untuk habitat macan tutul jawa yaitu 16,90%, selebihnya memiliki kerawanan
tinggi atau tidak aman (40,74%) dan sedang (42,36%). Berdasarkan luasnya, areal
berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah atau aman untuk habitat macan
tutul jawa hanya 11,07%, sedangkan sebagian besar lainnya memiliki tingkat
kerawanan tinggi atau tidak aman (69,19%) dan sedang (19,73%).
Sementara di Jawa Barat dan Banten, 36% dari total luasan hutan memiliki
kerawanan tinggi untuk habitat macan tutul, 29% kerawanan sedang dan 35%
memiliki kerawanan rendah atau relatif aman bagi habitat macan tutul jawa. Habitat-
habitat yang aman (kerawanan rendah) umumnya adalah hutan konservasi seperti
Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan beberapa merupakan Hutan
Lindung. Kawasan Hutan Produksi umumnya memiliki kerawanan tinggi untuk
habitat macan tutul. Dari 75 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa di Jawa
Barat dan banten, 15% diantaranya ada di kawasan hutan dengan kerawanan tinggi
atau tidak aman, 25% kerawanan sedang dan 60% berada di habitat dengan
kerawanan rendah atau relatif aman (Gunawan, 2013).
Faktor keamanan sangat penting dalam analisis kesesuaian habitat macan tutul
jawa karena dari hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa 66,67% populasi macan
tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di Jawa Tengah berada di lokasi dengan
kerawanan habitat tinggi atau tingkat keamanannya rendah dan 33,33% berada di
lokasi dengan tingkat keamanan sedang (Gunawan, 2010).
E. Kesesuaian Habitat
Mengevaluasi habitat-habitat yang masih tersisa dan memperkirakan lokasi-
lokasi yang masih memiliki kesesuaian sebagai habitat macan tutul jawa merupakan
pekerjaan penting dalam rangka konservasi satwa tersebut (Gunawan, 2010).
Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif sangat penting untuk
pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi konservasi pada skala
lanskap (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et al., 2001). Model
kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode yang efisien dan murah
serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks 1997; Schamberger et al.,
1982; Cole & Smith, 1983).
Page 158
Sintesis 2010-2014 | 143
Hasil penelitian Gunawan (2010) di Jawa Tengah menemukan bahwa 7,67%
patches hutan (kantonog habitat) memiliki kelas kesesuaian habitat rendah, 36,92%
kesesuaian sedang dan 55,41% kesesuaian tinggi. Dari segi luasan, areal berhutan
yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian
habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Sementara itu,
lokasi indikasi macan tutul jawa terkonsentrasi di habitat-habitat dengan kelas
kesesuaian tinggi (54,17%), diikuti dengan kelas kesesuaian sedang (41,67%) dan
kelas kesesuaian rendah.
III. STATUS POPULASI
A. Distribusi Populasi
Dahulu pernah diklasifikasikan 30 sub spesies macan tutul, sekarang
berdasarkan analisis taksonomi modern hanya ada sembilan sub spesies yang valid,
salah satunya adalah Panthera pardus melas yang sebarannya hanya di Pulai Jawa.
Secara umum daerah sebaran macan tutul jawa disajikan pada Tabel 39 di bawah ini.
Tabel 39. Status sebaran Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa.
NO UNIT WILAYAH
HUTAN
FUNGSI HUTAN
UTAMA
PENGELOLA WILAYAH
HUTAN
JAWA TENGAH1)
1. KPH Banyumas Barat Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng
2. KPH Banyumas Timur Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
3. KPH Kedu Selatan Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
4. KPH Kedu Utara Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng
5. KPH Surakarta Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng
6. KPH Telawah Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
7. KPH Purwodadi Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
8. KPH Randublatung Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
9. KPH Cepu Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
10. KPH Kebunharjo Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
11. KPH Pati Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng
12. KPH Kendal Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
13. KPH Pekalongan Timur Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
14. KPH Pekalongan Barat Produksi dan Lindung Perum Perhutani Unit I Jateng
15. KPH Pemalang Produksi Perum Perhutani Unit I Jateng
16. CA. Nusakambangan Konservasi BKSDA Jawa Tengah
17. TN Gunung Merapi Konservasi BTN Gunung Merapi
18. TN Gunung Merbabu Konservasi BTN Gunung Merbabu
JAWA BARAT2)
1. KPH Kuningan Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
2. KPH Majalengka Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
3. KPH Ciamis Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
Page 159
Sintesis 2010-2014 | 144
NO UNIT WILAYAH
HUTAN
FUNGSI HUTAN
UTAMA
PENGELOLA WILAYAH
HUTAN
4. KPH Tasikmalaya Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
5. KPH Garut Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar
6. KPH Sukabumi Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
7. KPH Cianjur Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
8. KPH Purwakarta Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
9. KPH Bandung Selatan Produksi dan Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar
10. KPH Bandung Utara Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar
11. KPH Sumedang Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
12. KPH Indramayu Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
13. KPH Bogor Produksi Perum Perhutanu Unit III Jabar
14. KPH Banten Lindung Perum Perhutanu Unit III Jabar
15. CA Tukung Gede Konservasi BKSDA Jabar Banten
16. CA Rawa Dano/Danau Konservasi BKSDA Jabar Banten
17. CA Gunung Simpang Konservasi BKSDA Jabar Banten
18. CA Telaga Warna Konservasi BKSDA Jabar Banten
19. TWA Gunung Pancar Konservasi BKSDA Jabar Banten
20. TB Gunung Masigit-
Karembi
Konservasi BKSDA Jabar Banten
21. TWA Gunung
Tampomas
Konservasi dan
Lindung
BKSDA Jabar Banten
22. CA Burangrang Konservasi BKSDA Jabar Banten
23. CA Gunung Tangkuban
Perahu
Konservasi BKSDA Jabar Banten
24. CA Gunung Tilu Konservasi BKSDA Jabar Banten
25. CA Telaga Bodas Konservasi BKSDA Jabar Banten
26. CA Gunung Papandayan Konservasi BKSDA Jabar Banten
27. CA Kawah Kamojang Konservasi BKSDA Jabar Banten
28. CA Leuweung Sancang Konservasi BKSDA Jabar Banten
29. SM Cikepuh Konservasi BKSDA Jabar Banten
30. SM Gunung Sawal Konservasi BKSDA Jabar Banten
31. TN. Gunung Gede-
Pangrango
Konservasi BTN Gunung Gede pangrango
32. TN Gunung Halimun-
Salak
Konservasi BTN Gunung Halimun Salak
33. TN Gunung Ciremai Konservasi BTN Gunung Ciremai
34. TN Ujung Kulon Konservasi BTN Ujung Kulon
JAWA TIMUR3)
1. KPH Madura (P.
Kangean)
Lindung Perum Perhutani Unit II Jatim
2. KPH Tuban Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
3. KPH Padangan Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
4. KPH Saradan Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
Page 160
Sintesis 2010-2014 | 145
NO UNIT WILAYAH
HUTAN
FUNGSI HUTAN
UTAMA
PENGELOLA WILAYAH
HUTAN
5. KPH Jember Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
6. KPH Blitar Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
7. KPH Jatirogo Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
8. KPH Madiun (BH
Ponorogo)
Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
9. KPH Gundih Produksi Perum Perhutani Unit II Jatim
10. CA. Kawah Ijen Konservasi BKSDA Jawa Timur
11. CA. P. Sempu Konservasi BKSDA Jawa Timur
12. CA. Gunung Sigogor Konservasi BKSDA Jawa Timur
13. SM. Dataran Tinggi
Yang
Konservasi BKSDA Jawa Timur
14. TN. Bromo Tengger
Semeru
Konservasi BTN. Bromo Tengger Semeru
15. TN. Meru Betiri Konservasi BTN. Meru Betiri
16. TN. Baluran Konservasi BTN. Baluran
17. TN. Alas Purwo Konservasi BTN. Alas Purwo
1) Sumber Gunawan (2010);
2) Sumber : Gunawan (2012);
3) Dari berbagai sumber.
Gambar 58. Peta kerawanan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus
melas) di Provinsi Jawa Tengah.
Page 161
Sintesis 2010-2014 | 146
Gambar 59. Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan
Banten
Gambar 60. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di
Provinsi Jawa Tengah
Page 162
Sintesis 2010-2014 | 147
B. Fragmentasi Populasi
Macan tutul jawa di Pulau Jawa menghadapi ancaman utama berupa
fragmentasi hutan. Ancaman terbesar fragmentasi terjadi di hutan produksi. Padahal
di Provinsi Jawa Tengah hutan produksi mencakup 83,84% dari seluruh kawasan
hutan (Perum Perhutani, 2006). Sementara di Jawa Barat dan Banten hampir
separuhnya (46,1%) dari kawasan hutan adalah Hutan Produksi. Hutan Produksi
sangat rentan terhadap fragmentasi karena setiap saat terancam oleh tebang habis
atau konversi. Provinsi Jawa Tengah memiliki laju deforestasi periode 2000-2005
rata-rata 142.560 ha per tahun. Pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi terbesar
yaitu 5.073,2 ha atau 80,6% dari total deforestasi di Pulau Jawa (Departemen
Kehutanan, 2007a).
Berdasarakan hasil penelitian Gunawan (2010) dalam kurun waktu 16 tahun
(1990-2006) provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alamnya seluas
446.561,09 Ha atau 88,0%. Fragmentasi telah terjadi di semua hutan alam yang
tersisa di gunung-gunung lainnya seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung
Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Gunung-
gunung tersebut merupakan daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa
Tengah (Gunawan, 1988).
Pada tahun 1990, luas hutan alam lahan kering masih 507.407,51 Ha yang
tersebar dalam 108 fragment hutan. Tahun 2000 menurun drastis (77,5%) menjadi
114.044,23 Ha dalam 88 fragment hutan dan pada tahun 2006 hutan alam lahan
kering yang tersisa tinggal 60.846,42 Ha dalam 39 fragment hutan atau menurun
46,6% dari tahun 2000. Secara total dari tahun 1990 sampai tahun 2006 Provinsi
Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 Ha
(88,0%) atau rata-rata 27.910 hektar per tahun (Gunawan, 2010).
Fragmentasi hutan juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini
diindikasikan oleh berkurangnya fragment-fragment hutan, misalnya fragment hutan
lahan kering sekunder dari 123 fragment pada tahun 2000 menjadi 86 fragment,
hutan primer dari 23 fragment menjadi 18 fragment, hutan tanaman dari 1.097
fragment menjadi 874 fragment. Hal ini mengindikasikan hilangnya kantong-
kantong habitat satwa dan ada kemungkinan menyebabkan fragmentasi atau
menjauhkan antar populasi yang satu dengan populasi lainnya (Gunawan, 2012).
Secara umum luas tutupan hutan Provinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2000
seluas 806.560,12 Ha berkurang sekitar 44.590,09 (5,53%) menjadi 761.971,03 Ha
pada tahun 2011 (Gunawan, 2012). Hal ini masih lebih baik dibandingkan dengan
kondisi di Provinsi Jawa Tengah yang tutupan hutannya berkurang 46,6% hanya
dalam kurun waktu 2000-2006 (Gunawan, 2010). Hilangnya habitat sangat
berpengaruh pada kepunahan macan tutul jawa secara lokal, karena hilangnya habitat
tidak saja menyebabkan penurunan total habitat tetapi juga menyebabkan terputusnya
penyebaran habitat yang tersisa. Terputusnya kesinambungan habitat tersebut antara
Page 163
Sintesis 2010-2014 | 148
lain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian, pemukiman, jalan raya,
irigasi, waduk dan jaringan listrik saluran udara tegangan esktra tinggi (SUTET).
C. Metapopulasi
Menurut Gunawan (2010) fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan
suatu populasi macan tutul jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong
habitat (patches) yang terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang
menyebar di Pulau Jawa dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti
yang diklasifikasikan oleh Harrison & Taylor (1997) yaitu: (1) classic
metapopulation; (2) mainland-island metapopulation; (3) non equilibrium
metapopulation; dan (4) patchy population.
Dari analisis yang dilakukan oleh Gunawan (2010) terhadap metapopulasi,
ditemukan populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar
dalam empat tipe metapopulasi. Terdapat enam kelompok populasi yang membentuk
non-equilibrium metapopulation yang melibatkan 15 populasi (lokasi indikasi macan
tutul jawa) atau 31,25% dari seluruh populasi. Terdapat satu satu metapopulasi tipe
mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan sekitarnya yang melibatkan 11
populasi atau 22,92% dari seluruh populasi. Hanya terdapat satu classic
metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42% dari seluruh populasi
dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42% dari seluruh
populasi.
Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2013) telah melakukan
inventarisasi populasi dan hasilnya dapat dikelompokan dalam empat tipe
metapopulasi yaitu mainland-islands, classic, non equilibrium dan patchy.
Metapopulasi-metapopulasi tersebut terbentuk akibat fragmentasi hutan yang
disebabkan oleh perubahan peruntukan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan
seperti pertanian, pemukiman, perkebunan, jalan raya, jaringan listrik, pembangunan
waduk dan jaringan irigasi.
Contoh metapopulasi patchy di Jawa Barat ditunjukkan oleh populasi-poopulasi
di titik 1, 2, 3, 4 (Resort Haurkuning, Resort Subang, Resort Pakem dan Resort
Ciniru, BKPH Garawangi, KPH Kuningan). Dalam metapopulasi tipe patchy,
populasi yang satu dengan lainnya masih terhubung dan dapat saling bertukar
genetik. Metapopulasi semacam ini relatif memiliki survival lebih tinggi
dibandingkan non equilibrium maupun classic.
Contoh metapoopulasi nonequilibrium di Jawa Barat ditunjukan oleh populasi-
populasi di KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya tidak terkoneksi dengan populasi lain
dan jaraknya terlalu jauh serta rintangannya terlalu sulit dilewati, sehingga tidak ada
pertukaran genetik antar populasi-populasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat
menyebabkan kepunahann lokal akibat tidak ada kolonisasi dari populasi di
sekitarnya. Kemungkinan lain adalah kepunahan akibat erosi genetik karena
Page 164
Sintesis 2010-2014 | 149
inbreeding atau perkawinan sekerabat karena terhalangi untuk kawin dengan
populasi lain.
Metapopulasi tipe classic dapat digambarkan oleh populasi-populasi ti titik 36-
38 (Cariu, BKPH Jonggol, KPH Bogor) dan titik 40 (Gunung Karang), titik 45
(Telaga Warna, Seksi Wilayah KSDA Bogor) dan titik 46 (Gunung Pancar, Seksi
Wilayah KSDA Bogor). Di sana terdapat kantong-kantong habitat yang tidak
berpenghuni macan tutul yang bila ada peluang akan dikolonisasi oleh kantong
habitat yang berisi macan tutul.
Provinsi Jawa Barat masih memiliki beberapa metapopulasi macan tutul jawa
tipe Mainland-islands yang dalam jangka panjang akan mampu melestarikan macan
tutul jawa. Kantong habitat yang dapat berperan sebagai mainland adalah Gunung
Gede, Gunung Salak, Gunung Halimun, Gunung Burangrang dan Gunung
Bukittungul dan Gunung Karang. Populasi macan tutul di gunung-gunung tersebut
diperlikrakan dapat mengkolonisasi patch yang kosong di sekitarnya yang berperan
sebagai islands. Sementara gunung-gunung yang lain tidak cukup luas untuk
menjadi mainland. Bahkan beberapa gunung kecil menjadi patch (kantong habitat)
atau habitat island (pulau habitat) yang terisolasi seperti Gunung Ciremai, Gunung
Syawal, Gunung Cakrabuana, Gunung Sangkur, dan Gunung Sanggabuana.
Disamping tersebar dalam berbagai tipe metapopulasi. Beberapa populasi
macan tutul merupakan populasi dengan luasan habitat kecil dan terisolasi seperti
populasi di titik 8 (Cisaladah, Pangandaran, KPH Ciamis), titik 9 (Cipatujah, Karang
Nunggal, KPH Tasikmalaya), titik 10 (Sodong, Tanaju, KPH Tasikmalaya), titik 17
(Tambakan, Cijambe, KPH Purwakarta), dan titik 55 (Cagar Alam Leuweung
Sancang, Seksi KSDA Sukabumi). Populasi-populasi kecil ini sangat terancam
kepunahan lokal akibat gagal bereproduksi karena tidak ada pasangan kawin atau
erosi genetik akibat inbreeding.
D. Resiko Kepunahan Lokal
Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa di Jawa Tengah, tampak
bahwa non equilibrium metaoipulation mencakup 31,25% dari seluruh populasi. Hal
ini tentu mengkhawatirkan di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut
rentan terhadap kepunahan lokal akibat isolasi sehingga tidak ada migrasi antar
populasi untuk rekolonisasi (Gunawan, 2010)
Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang
berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainland-
islands. Gunung Slamet menjadi patch sumber (source) kolonisasi (mainland) bagi
populasi-populasi di sekitarnya (islands) yang menjadi penerima (sink). Populasi
yang juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah
populasi-populasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH
Pekalongan Barat-KPH Banyumas Barat (Salem-Majenang), Pekalongan Timur
Page 165
Sintesis 2010-2014 | 150
(Brondong–Paninggaran dan sekitarnya), dan KPH Pemalang dan sekitarnya
(Gunawan, 2010).
Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola
Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH
Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH
Mantingan dan KPH Pati. Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi
ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik
sementara akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk
pemukiman, jalan dan lahan pertanian (Gunawan, 2010).
Berdasarkan analisis metapopulasi di Jawa Tengah dapat dikelompokkan resiko
kepunahan lokal macan tutul jawa dimana ada delapan populasi (17%) memiliki
resiko kepunahan lokal tinggi karena luas habitatnya yang kecil, terisolasi dan
terdegradasi berat. Sembilan belas populasi (39%) memiliki resiko kepunahan lokal
sedang dan 21 populasi (44%) memiliki resiko kepunahan lokal rendah (Gunawan,
2010).
Sementara itu Gunawan (2013) mendapatkan 75 titik lokasi indikasi macan tutul
jawa di Jawa Barat dan Banten yang tersebar di kawasan hutan produksi dan hutan
lindung sebanyak 41 titik lokasi (14 KPH Perum Perhutani unit III), 16 titik lokasi
ada di dalam kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh BKSDA dan 18 titik
lokasi ada di taman nasional yang dikelola oleh Balai Taman Nasional. Sebagian
hutan-hutan tersebut juga terlah terjadi fragmentasi yang menyebabkan beberapa
populasi dikhawatirkan terancam kepunahan lokal karena isolasi dan dalam tipe
metapopulasi non equilibrium.
Sebagai contoh, beberapa populasi di KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya tidak
terkoneksi dengan populasi lain dan jaraknya terlalu jauh serta rintangannya terlalu
sulit dilewati sehingga membentuk metapopulasi non equilibrium, dimana tidak ada
pertukaran genetik antar populaso-populasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat
menyebabkan kepunahann lokal akibat tidak ada kolonisasi dari populasi di
sekitarnya. Kemungkinan lain adalah kepunahan akibat erosi genetik karena
inbreeding atau perkawinan sekerabat karena terhalangi untuk kawin dengan
populasi lain (Gunawan, 2013).
Page 166
Sintesis 2010-2014 | 151
Gambar 61. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe
metapopulasinya
Gambar 62. Peta metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Page 167
Sintesis 2010-2014 | 152
Populasi lain yang terancam kepunahan lokal adalah populasi dengan luasan
habitat kecil dan terisolasi seperti populasi di titik 8 (Cisaladah, Pangandaran, KPH
Ciamis), titik 9 (Cipatujah, Karang Nunggal, KPH Tasikmalaya), titik 10 (Sodong,
Tanaju, KPH Tasikmalaya), titik 17 (Tambakan, Cijambe, KPH Purwakarta), dan
titik 55 (Cagar Alam Leuweung Sancang, Seksi KSDA Sukabumi). Populasi-
populasi kecil ini sangat terancam kepunahan lokal akibat gagal bereproduksi karena
tidak ada pasangan kawin atau erosi genetik akibat inbreeding (Gunawan, 2013).
IV. KONFLIK MACAN TUTUL - MANUSIA
A. Bentuk dan Distribusi Konflik
Kasus gangguan macan tutul di Jawa Barat sejak tahun 2001 hingga tahun 2012
cenderung meningkat, yaitu dari satu kasus pada tahun 2001 menjadi 16 kasus di
tahun 2011. Sedangkan sampai Bulan Desember tahun 2012 baru dilaporkan 5
kasus gangguan macan tutul. Gangguan macan tutul ini berupa keluarnya macan
tutul dari hutan dan masuk ke perkampungan.
Keluarnya macan tutul dari habitatnya ini diduga bukan hanya disebabkan oleh
kurangnya satwa mangsa atau rusaknya habitat tetapi diduga disebabkan oleh
perebutan teritori. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semua macan tutul yang
keluar dari habitatnya berjenis kelamin jantan dan berumur 2 – 2,5 tahun lebih, yaitu
umur dimana macan tutul jantan menjadi dewasa muda (sub adult) yang matang
seksual dan harus meninggalkan induknya untuk membangun teritorinya sendiri
(Nowak, 1997; Guggisberg, 1975). Ketika berebut teritori dengan jantan dewasa
yang lebih kuat atau induk jantan, tampaknya kebanyakan macan tutul muda
mengalami kekalahan dan harus keluar dari teritori induknya. Sementara,
habitatnya sudah dikepung oleh pemukiman maka ketika macan tutul muda tersebut
keluar hutan langsung masuk ke pemukiman.
Gambar 63. Perkembangan jumlah kasus macan tutul keluar dari hutan dan masuk
perkampungan di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Page 168
Sintesis 2010-2014 | 153
Ada enam kabupaten dimana terjadi kasus macan tutul keluar dari habitatnya
yaitu Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Garut, Cianjur dan Sukabumi, namun
frekuensi keluarnya macan tutul dari habitatnya yang tertinggi terjadi di Kabupaten
Ciamis yaitu dari kawasan hutan Gunung Syawal. Gunung Syawal merupakan hutan
konservasi yang berfungsi sebagai suaka margasatwa (SM). Kawasan hutan ini
dikelilingi oleh hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani. Hutan produksi ini
berperan sebagai penyangga (buffer) dan sekaligus perluasan habitat bagi satwa di
SM. Gunung Syawal. Dalam satu dekade terakhir hutan produksi ini mengalami
kerusakan sehingga luas habitat satwa di SM Gunung Syawal berkurang.
Hutan-hutan produksi di sekeliling SM Gunung Syawal berbatasan langsung
dengan pemukiman desa-desa antara lain di Kecamatan Sadananya, Kecamatan
Cihaur Beuti, Kecamatan Cikoneng, , Kecamatan Panumbangan, dan Kecamatan
Panjalu. Desa-desa dari kecamatan-kecamatan tersebut yang paling sering didatangi
macan tutul dari Gunung Syawal.
Gambar 64. Jumlah dan persentase kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan
masuk ke perkampungan menurut wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat.
Dari 37 kasus keluarnya macan tutul dari habitatnya, paling sering terjadi pada
bulan Februari (7 kasus), Januari dan Oktober (masing-masing 5 kasus), November,
Maret dan April (masing-masing 3 kasus), Mei (2 kasus), Agustus dan September
(masing-masing 1 kasus) sedangkan pada bulan Juni dan Juli tidak terjadi kasus
keluarnya macan tutul dari habitatnya. Ada lima kasus yang laporannya tidak ada
catatan bulan terjadinya.
Dari pola gangguan keluarnya macan tutul dari habitatnya yang kebanyakan
terjadi justru pada musim hujan, dimana diasumsikan pada musim hujan, satwa
mangsa melimpah, maka anggapan bahwa keluarnya macan tutul akibat kekurangan
satwa mangsa akibat musim kemarau tidak sepenuhnya benar. Pada puncak musim
kemarau bulan Juni – Agustus jumlah kasus keluarnya macan tutul justru terendah
(nol). Apalagi dengan bukti bahwa semua macan tutul yang keluar dari habitatnya
merupakan jantan dewasa muda, maka dugaan bahwa keluarnya macan tutul dari
habitatnya akibat perebutan teritori bisa diterima dan hal ini menandakan bahwa
Page 169
Sintesis 2010-2014 | 154
reproduksi dalam populasi tersebut cukup baik karena populasi berkembang (jumlah
individu meningkat).
Gambar 65. Jumlah kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke
perkampungan menurut bulan terjadinya di Provinsi Jawa Barat.
B. Diagnosa Konflik
Analisis penyebab keluarnya macan tutul dari hutan dan memasuki kebun atau
pemukiman penduduk dijelaskan sebagai berikut :
1. Pendekatan teori teritorial
Macan tutul termasuk satwa yang meimiliki sifat teritorial, yaitu memiliki
wilayah jelajah (home range) yang dipertahankan dari individu jantan lain. Maca
tutul jantan memiliki home range yang sering overlap dengan beberapa home range
betina dan mengawini macan tutul betina yang overlap dengan home rangenya atau
berada di dalam home rangenya. Home range macan tutul umumnya terpusat di
sekitar badan air di mana mangsa terkonsentrasi (Seidentsicker dan Susan, 1991).
Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat tergantung pada
ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN - The World Conservation
Union, 1996).
Ukuran home range macan tutul jantan berkisar antara 30 – 78 km2 dan betina
23 – 33 km2 di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Home range mungkin jauh
lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang. Sebagai contoh, home range
berkisar antara 338 - 478 km2 ditemukan Norton & Lawson (1985) di dataran tinggi.
Bothma and Knight (1997) menemukan bahwa di Kalahari Selatan yang kering dan
miskin mangsa, rata-rata home range macan tutul jantan dewasa adalah 2.182 ± 492
km2 dan betina dewasa 489 ± 293 km
2. Sementara di Taman Nasional Royal
Chitwan, Nepal, yang memiliki kepadatan populasi ungulata sangat tinggi, home
range macan tutul betina hanya 6 – 13 km2
dan di Taman Nasional Serengeti dan
Tsavo, Afrika Timur, teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2 (IUCN - The
World Conservation Union, 1996). Gunawan (2010) membuat asumsi bahwa home
range macan tutul jawa sekitar 600 ha.
Page 170
Sintesis 2010-2014 | 155
Macan tutul muda tidak memiliki home range tetap sampai mendapatkan home
range karena yang dewasa mati atau berhasil merebutnya dari macan tutul dewasa.
Macan tutul mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis kelamin.
Menurut Grzimek (1975) macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan
cukup tersedia dan mudah didapat.
Berdasarkan teori dan pengalaman di atas maka, kasus masuknya macan tutul ke
pemukiman dapat dianggap sebagai fenomena teritorial. Apalagi macan tutul yang
keluar dari SM. Gunung Syawal umumnya adalah macan tutul jantan muda dengan
perkiraan umur sekitar 2,5 sampai 3 tahun, yaitu saatnya disapih oleh induknya.
Macan tutul muda jantan tersebut harus mencari teritorinya sendiri, bila tidak
tersedia lagi ruang, maka macan tutul muda harus berebut dengan macan tutul tua
(mungkin ayahnya) dan yang kalah harus keluar dari habitat yang ada dan mencari
habitat lain.
Kasus macan tutul masuk ke pemukiman sekitar Gunung Syawal dapat
disimpulkan sebagai fenomena teritorial. Dengan perkataan lain, macan tutul yang
keluar tersebut merupakan macan tutul muda yang sedang mencari teritori baru. Hal
ini juga menjadi indikasi keberhasilan perkembangbiakan populasi macan tutul jawa
di SM. Gunung Syawal.
2. Pendekatan teori daya dukung habitat
Habitat satwa adalah lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu jenis
satwa hidup. Habitat yang sesuai atau baik akan mendukung kehidupan dan
perkembangbiakan satwa di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kemampuan
atau kapasitas tertentu untuk mendukung kehidupan populasi suatu jenis yang
disebut sebagai daya dukung habitat. Dengan perkataan lain daya dukung (carrying
capacity) dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu habitat untuk mendukung
kehidupan satwa secara normal yang diukur dengan jumlah maksimum individu yang
dapat hidup dan berkembangbiak secara normal di habitat tersebut.
Apabila daya dukung suatu habitat terlampaui maka bisa terjadi peningkatan
persaingan ruang dan persaingan makanan yang dapat menimbulkan dampak
menurunnya kesehatan individu satwa, timbulnya penyakit, perkelahian dan
keluarnya satwa dari habitat tersebut untuk mencari makan, memperluas jelajah atau
mencari teritori baru. Fenomena keluarnya macan tutul dari SM. Gunung Syawal
dapat dilihat dari sudut pandang daya dukung. Dalam hal ini daya dukung habitat
SM. Gunung Syawal sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul
dalam jumlah yang ada, sehingga kelebihan jumlah individu tersebut melimpas
keluar untuk mencari sumber makanan baru. Hal ini diindikasikan oleh perilaku
pemangsaan terhadap ternak di sekitar SM. Gunung Syawal.
Peningkatan populasi macan tutul akibat keberhasilan reproduksi, tidak akan
sampai membuat macan tutul masuk perkampungan apabila di sekitar Gunung
Syawal masih terdapat hutan sebagai penyangga SM Gunung Syawal. Selama ini
Page 171
Sintesis 2010-2014 | 156
SM. Gunung Syawal dikelilingi oleh hutan lindung, hutan produksi terbatas dan
hutan produksi dengan vegetasi hutan alam dan hutan tanaman pinus, puspa dan
rasamala.
Sejak adanya krisis moneter dan euforia reformasi, terjadi perambahan kawasan
hutan produksi di sekitar Gunung Syawal. Meskipun kemudian peramabahan ini
diadopsi dalam pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), namun
kerusakan hutan sudah terlanjur parah. Vegetasi hutan telah dibabat, baik secara
menyeluruh maupun secara tumpang sari, sehingga secara umum kawasan hutan
produksi di sekitar SM Gunung Syawal yang menjadi lahan PHBM telah didominasi
oleh tanaman kopi.
Sementara itu, lantai hutan dengan vegetasi tanaman kopi tidak memiliki
tumbuhan bawah yang merupakan pakan herbivora. Hal ini karena tumbuhan bawah
dianggap pengganggu (gulma) yang mempengaruhi produktivitas tanaman kopi
sehingga dibasmi menggunakan herbisida (Gambar 24). Tidak adanya tumbuhan
bawah menyebabkan kawasan yang ditanami kopi, menjadi tidak cocok bagi habitat
satwa herbivora, padahal satwa herbivora seperti kijang, babi hutan, monyet ekor
panjang dan lain-lain merupakan mangsa macan tutul. Akibatnya populasi satwa
mangsa macan tutul tersebut pun menurun sehingga macan tutul memerlukan daerah
jelajah lebih luas lagi untuk mendapatkan mangsanya dengan cukup.
Dengan fakta-fakta tersebut di atas, maka kasus keluarnya macan tutul dari SM
Gunung Syawal ke pemukiman dapat disimpulkan sebagai akibat dari menurunnya
daya dukung habitat. SM Gunung Syawal saja dengan luas sekitar 5.360 Ha tidak
mampu mendukung populasi macan tutul yang terus berkembang, jika tidak
didukung oleh hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya sebagai penyangga.
Dengan adanya pembabatan hutan produksi dan menggantinya dengan tanaman kopi
melalui program PHBM, terbukti telah mengurangi luasan ruang habitat macan tutul
jawa dan budidaya kopi telah menurunkan kualitas habitat satwaliar herbivora
mangsa macan tutul. Dengan perkataan lain, telah terjadi penurunan daya dukung
habitat macan tutul jawa di kelompok hutan Gunung Syawal dan sekitarnya.
3. Pendekatan hubungan pemangsa-mangsa
Sementara hutan produksi di sekitar SM. Gunung Syawal mengalami
perambahan dan berubah menjadi tanaman kopi, di luar kawasan hutan yang
dirambah tersebut terdapat kebun masyarakat dengan pola tanaman campuran dan
strukturnya menyerupai struktur hutan yang terdiri dari beberapa strata. Jenis-jenis
pohon di lahan-lahan masyarakat di sekitar SM. Gunung Syawal, baik yang
dibudidayakan maupun tumbuh alami.
Keragaman jenis tanaman kebun sekitar SM Gunung Syawal dan strukturnya
yang menyerupai hutan menjadi habitat yang cocok bagi beberapa jenis satwa seperti
kijang, babi hutan dan monyet ekor panjang. Oleh karena itu seiring dengan
kerusakan hutan, maka intensitas kasus masuknya satwaliar ke dalam kebun
Page 172
Sintesis 2010-2014 | 157
budidaya semakin meningkat, terutama gangguan oleh babi hutan dan monyet ekor
panjang. Kebun milik penduduk menjadi habitat alternatif bagi beberapa jenis satwa.
Keluarnya macan tutul dari Gunung Syawal dan masuk ke kebun budidaya
diduga karena mengikuti satwa mangsanya, namun ketika masuk pemukiman dan
menemukan ternak yang mudah didapatkan karena dikandangkan atau diikat di
sekitar rumah, maka ternak tersebut dijadikan mangsanya.
Pendekatan teori ini kurang akurat, karena pada hakekatnya macan tutul
merupakan satwa yang cenderung menjauhi manusia dan memilih tinggal di dalam
hutan (satwa interior) yang menjauhi daerah tepian hutan (edge). Masuknya macan
tutul ke pemukiman merupakan keterpaksaan saja karena habitatnya telah berkurang
dan rusak sehingga tak mampu lagi mendukung kehidupannya dan diperlukan
wilayah baru sebagai home rangenya.
V. IMPLIKASI MANAJEMEN
1. Manajemen Habitat
Habitat macan tutul jawa yang telah terdegradasi, sehingga daya dukungnya
menurun perlu dilakukan pembinaan habitat guna memulihkan kembali daya dukung
habitat dan meningkatkan kembali populasinya.
Gunawan (2013) memberikan prinsip-prinsip yang perlu dipahami dan
diimplementasikan dalam pembinaan habitat antara lain :
a. Kawasan hutan konservasi berupa Cagar Alam dan Suaka Margasatwa yang
umumnya tidak luas tidak akan mampu mendukung kehidupan macan tutul jawa
yang terus berkembang. Oleh karena itu, peranan hutan produksi dan hutan
lindung di sekitarnya menjadi sangat penting sebagai penyangga atau buffer.
Hutan produksi atau hutan lindung di sekitar hutan konservasi berperan sebagai
perluasan habitat. Hal ini membawa implikasi bahwa hutan produksi atau hutan
lindung di sekitar hutan konservasi yang memiliki luasan kecil perlu
dipertahankan tutupan hutannya dan tidak digarap untuk PHBM ataupun tumpang
sari.
b. Pihak manajemen KSDA perlu menginventarisasi kawasan hutan konservasi yang
memiliki luasan kecil dan kemudian bekerjasama dengan pihak manajemen hutan
lindung dan hutan produksi untuk bersama-sama menetapkan luasan penyangga
hutan konservasi yang diperlukan. Bagi pengelola hutan produksi dan hutan
lindung, upaya konservasi seperti ini sebenarnya sejalan dengan program
sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) khususnya dalam
pengelolaan HCVF (High Conservation Value Forest).
c. Habitat-habitat macan tutul yang rusak akibat perambahan perlu segera direstorasi
agar tidak menimbulkan dampak lanjutan berupa konflik antara macan tutul
dengan masyarakat.
Page 173
Sintesis 2010-2014 | 158
2. Manajemen Populasi
Populasi-populasi yang terbentuk kelompok metapopulasi tipe non equilibrium
perlu mendapat perhatian serius, karena populasi-populasi ini sesungguhnya
merupakan populasi yang terisolasi sehingga terancam oleh inbreeding ataupun
kegagalan reproduksi karena tidak ada pasangan kawin. Populasi-populasi tersebut
perlu terus dimonitor dan diamankan dari ancaman seperti perburuan dan
perambahan habitat (Gunawan, 2013).
Populasi-populasi yang tidak terhubung perlu dibuatkan koridor perpindahan
sebagai penghubung sehingga bisa saling bertukar genetik melalui perkawinan antar
populasi. Kantong-kantong habitat yang masih memiliki kesesuaian untuk macan
tutul tetapi kosong, perlu juga dihubungkan dengan kantong habitat berpenghuni
macan tutul agar terjadi migrasi atau rekolonisasi. Meskipun upaya translokasi
mungkin diperlukan di masa mendatang, namun saat ini tampaknya masih belum
dapat dilakukan karena perlu dilakukan studi yang mendalam tentang kelayakan dan
dampak yang mungkin ditimbulkan.
Metapopulasi tipe Mainland-islands perlu dijaga dan diamankan agar proses
migrasi dari mainland ke islands dapat berlangsung. Faktanya, beberapa islands
sudah terputus dan tidak terhubung dengan mainland akibat fragmentasi hutan. Hal
ini perlu dihubungkan kembali melalui pembuatan koridor perpindahan. Demikian
juga metapopulasi tipe classic, untuk melancarkan arus perpindahan antar kantong
habitat, maka konektifitas antar populasi perlu dipelihara. Kantong-kantong habitat
yang kosong namun memiliki kesesuaian untuk habitat macan tutul juga perlu
dihubungkan dengan kantong habitat berpenghuni macan tutul agar dapat
direkolonisasi.
3. Manajemen Konflik
Informasi tentang peta kerawanan habitat sangat membantu pengelola KSDA
untuk melakukan upaya mitigasi atau pencegahan konflik antara macan tutul dan
manusia. Habitat-habitat yang rawan ini perlu diwaspadai dan dimonitor terus
karena potensiaal terjadi gangguan macan tutul terhadap ternak. Di sisi lain,
masyarakat di sekitarnya perlu diberi pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi
terjadinya gangguan macan tutul terhadap ternak mereka. Bila terjadi kasus konflik
macan tutul, maka langkah-langkah yang harus dilakukan disajikan pada diagram di
bawah ini.
Page 174
Sintesis 2010-2014 | 159
Gambar 66. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan konflik antara
macan tutul dan manusia.
Penanganan konflik antara macan tutul dan manusia harus didasari pengetahuan
tentang penyebabnya. Salah mendiagnosa penyebabnya mengakibatkan upaya
penanganannya menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, macan tutul jantan yang
keluar dari hutan disebabkan oleh perebutan wilayah jelajah atau teritori, maka
penanganannya tidak boleh dikembalikan ke habitat asalnya karena pasti akan keluar
hutan lagi. Macan tutul jantan yang kalah dalam perebutan wilayah jelajah, harus
keluar dari habitat yang diperebutkan dan mencari wilayah jelajah baru yang belum
dikuasai oleh individu jantan lain. Dalam pencarian wilayah jelajah baru, seringkali
macan tutul jantan harus menyeberangi pemukiman atau kebun dimana masyarakat
sudah memaasang perangkap untuk satwa pengganggu lain misalnya jerat babi hutan.
Oleh karena itu, sering terjadi macan tutul terperangkap jerat babi hutan di kebun
milik penduduk di luar hutan.
KONFLIK MACAN TUTUL-MANUSIA
Macan Tutul Tertangkap
Hidup Mati
Tidak Tertangkap
INFORMASI POKOK
Identifikasi jenis kelamin
Perkiraan umur
Panjang, tinggi, Berat
Gemuk, sedang, kurus INFORMASI TAMBAHAN
Kesehatan
Luka
Tutul atau kumbang
Frekuensi kejadian
Musim (kemarau/hujan)
Kondisi hutan terdekat
Jarak ke hutan terdekat
Ada/tidak perburuan satwa
INFORMASI POKOK
Identifikasi jenis kelamin
Perkiraan umur
Panjang, tinggi, Berat
Gemuk, sedang, kurus
Penyebab kematian
INFORMASI TAMBAHAN
Kesehatan
Luka
Tutul atau kumbang
Frekuensi kejadian
Musim (kemarau/hujan)
Kondisi hutan terdekat
Jarak ke hutan terdekat Ada/tidak perburuan satwa
INFORMASI POKOK
Identifikasi jenis melalui jejak atau tanda lain (macan tutul atau bukan)
Pengukuran jejak untuk perkiraan umur
Luka pada korban
Identifikasi tanda-tanda lain yang tertinggal
INFORMASI TAMBAHAN
Frekuensi kejadian
Musim (kemarau/hujan)
Kondisi hutan terdekat
Jarak ke hutan terdekat
Ada/tidak perburuan satwa
Satwa diserahkan ke BKSDA atau
Lembaga Konservasi untuk
penanganan lebih lanjut
Spesimen atau bagian-bagiannya
diserahkan ke BKSDA
Dilaporkan ke BKSDA untuk
penanganan lebih lanjut
Page 175
Sintesis 2010-2014 | 160
VI. KESIMPULAN
Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) secara umum sedang
menghadapi berbagai ancaman terutama akibat deforestasi yang menyebabkan
kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi habitat (habitat fragmentation) dan
degradasi habitat (habitat degradation). Hal ini menyebabkan populasi macan tutul
jawa menjadi terpencar-pencar dalam berbagai tipe metapopulasi dengan berbagai
tingkatan resiko kepunahannya. Dampak akhir dari semua proses tersebut adalah
terjadinya konflik antara macan tutul jawa dan manusia. Hal ini semakin menambah
ancaman terhadap kelestarian satwa tersebut, karena dianggap sebagai musuh
manusia.
Sehubungan dengan berbagai permasalahan tersebut, maka diperlukan upaya
yang komprehensif, holistik dan terus menerus mulai dari penelitian sampai dengan
implementasi pembinaan habitat, pengelolaan populasi dan penanganan konflik.
Upaya-upaya tersebut harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Hal ini
karena habitat macan tutul jawa meliputi berbagai tipe tutupan lahan, fungsi kawasan
hutan, lembaga pengelola kawasan hutan dan lembaga lintas sektoral lainnya. Hal
ini karena menyangkut pengelolaan tata ruang yang melibatkan kawasan hutan.
3. MIKROORGANISME
a. Pengelolaan Koleksi dan Pengembangan Database Mikroba
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengelola koleksi dan mengembangkan database
mikroba yang berasal dari hutan tropis Indonesia. Pengelolaan mencakup teknik
pemeliharaan yang berkesinambungan sebagai bagian dari konservasiex-situ,
pencegahan biopiracy, dan penyediaan mikroba potensial untuk
pemanfaatanbioprospeksi mikroba. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan
pengumpulan sampel dari berbagai tipe ekosistem hutan tropis di Indonesia,
kegiatan isolasi mikroba, identifikasi mikroba, dan preservasi mikroba. Kegiatan
isolasi merupakan usaha kegiatan penting untuk mendapatkan mikroba dari sampel
serasah daun, tanah, pencernaan serangga, feses satwa liar, dan batang kayu yang
mengalami pembusukan. Identifikasi mikroba dilakukan dengan analisis sekuen
Deoxyribonucleic acid (DNA). Kegiatan eksplorasi mikroba telah dilakukan
diantaranya di Mekongga (Sulawesi Tenggara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara,
Gunung Krakatau (Lampung), Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Hutan
Penelitian Samboja (Kalimantan Timur), Gunung Tangkubanperahu (Jawa Barat),
Sawah Lunto (Sumatera Barat), dan Aek Nauli (Sumatera Utara). Analisis sekuen
DNA adalah suatu metode untuk mengetahui keragaman dengan satu sekuen gen 16S
atau 28S rRNA. Keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan metode analisis
sekuens gen 16S rRNA ialah kumpulan datanya mudah diperoleh melalui database
yang tersedia di website database mikroba dunia sehingga dapat dengan mudah
dibandingkan. Penyusunan database menggunakan software File Maker Pro. Pada
Page 176
Sintesis 2010-2014 | 161
waktu tertentu, Revival study dilakukan untuk memeriksa viabilitas mikroba yang
telah disimpan pada freezer -80 0C juga telah dilakukan, hal ini dilakukan bila terjadi
kerusakan refrigerator (-80 oC) dan gangguan listrik yang cukup lama. Data isolat
mikroba yang terdiri dari bakteri, fungi dan yeast sudah masuk dan dicatat ke dalam
database adalah 2.967 isolat mikroba, jumlah isolat yang sudah diidentifikasi secara
molekuler adalah 1.444 jenis mikroba. Sampai saat ini kegiatan pemanfaatan dari
koleksi mikroba yang tersedia saat ini, baru terbatas pada pemanfaatan Fusarium
solani sebagai fungi pembentuk gaharu.
Semua isolat tersebut di atas disimpan di Pusat Koleksi Mikroba Hutan Tropis
Indonesia (INDONESIA TROPICAL FOREST CULTURE COLLECTION-
INTROF CC) yang bertempat di Kelti Mikrobiologi, Puslitbang Konservasi dan
Rehabilitasi.
b. Eksplorasi dan Bioprospeksi Mikroba Lignoselulolitik Sebagai Agen
Biodegradasi
Kegiatan penelitian ini meliputi 2 aspek, yaitu eksplorasi (untuk mengumpulkan
sampel dan mengisolasi mikroorganisme) dan bioprospeksi (untuk menyeleksi isolat
mikroorganisme yang dapat mendegradasi biomasa berlignoselulosa). Eksplorasi
dilakukan di 15 lokasi TN/Cagar Alam, yaitu:TN Karimunjawa, Bali Barat, Gn.
Ceremai, Gn. Leuseur, Berbak, Bukit Barisan Selatan, Gn. Gede-Pangrango, Gn.
Merapi, Bukit TigaPuluh, Bantimurung-Bulusaraung, Lore Lindu, Kutai, Bromo
Tengger Semeru, Ujung Kulon dan Cagar Alam Danau Maninjau, dan berhasil
memperoleh lebih dari 2100 isolat mikroorganisme dari sampel berupa kayu lapuk,
serasah, tanah, serangga penggerek batang dan hewan kaki seribu. Berdasarkan hasil
skrining pada tahap bioprospeksi, dari 2100 lebih isolat diperoleh 620 isolat
mikroorganisme yang dapat mendegradasi senyawa lignoselulosa. Biodiversitas
mikroba lignoselulolitik ini meliputi 219 isolat fungi, 395 isolat bakteri, 2 isolat yeast
dan 4 isolat actinomycetes. Keenam ratus dua puluh isolat ini disimpan sebagai
koleksi INTROF-CC. Beberapa diantaranya telah diuji lebih lanjut dan diketahui
potensi pemanfaatannya dalam proses produksi bioetanol dari biomasa
berlignoselulosa, seperti:
1. Isolat fungi : TNK-F2.1-X dan GB. K1-P berpotensi digunakan pada tahap
delignifikasi dan sakarifikasi, karena menghasilkan enzim pendegradasi lignin,
selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi aktivitasnya.
TNK-F2.1-X memproduksi enzim laccase 268,2 Unit/L; enzim lignin
peroksidase 195,1 Unit/L; enzim mangan peroksidase 29,2 Unit/L; dan crude
enzyme selulase 1,5 FPU/ml.
GB.K1-P memproduksi enzim laccase 96,4 Unit/L; enzim lignin peroksidase
17,6 Unit/L; enzim mangan peroksidase 38,5Unit/L. Adapun aktivitas crude
enzyme selulase dari isolat ini masih dalam proses pengerjaan .
Page 177
Sintesis 2010-2014 | 162
2. Isolat bakteri : LR-15.T8, TG-02 S.9, PM-ED1.11 dan BLW-26B T.2
berpotensi dibiakan untuk memproduksi enzim selulase dan hemiselulase,
namun metode optimasi produksi enzimnya masih perlu dipelajari lebih lanjut.
3. Isolat yeast: BTS-F7.2B-N dan AK.7B.4 dapat dimanfaatkan pada proses
fermentasi glukosa menjadi etanol. Berdasarkan uji fermentasi glukosa yang
dilakukanpada tahun 2013, kedua isolat ini dapat menghasilkan etanol dengan
kadar 17,5 mg/ml; dan dalam uji fermentasi hidrolisat kayu sengon dan kayu
kelapa sawit hanya isolat AK.7B.4 yang dapat diuji sebagai agen fermentasi
dengan menghasilkan kadar etanol 4,5 – 4,7 mg/ml. Hasil ini tidak jauh berbeda
dengan fermentasi oleh Saccharomyces cerevisae (FST 74.5) sebagai strain
pembanding, yang menghasilkan kadar etanol 3,8 – 4,9 mg/ml dari substrat yang
sama. Isolat BTS-F7.2B-N tidak dapat diuji dan dikembangbiakan lebih lanjut
karena telah kehilangan viabilitasnya.
Dapat disimpulkan bahwa target dan tujuan kegiatan penelitian ini telah tercapai,
dan diperoleh beberapa isolat potensial yang dapat diteliti dan dikembangbiakan
lebih lanjut dalam rangka mensuplai kebutuhan enzim-enzim lignoselulolitik seperti
laccase, lignin peroksidase, mangan peroksidase, selulase dan hemiselulase, baik
untuk produksi bioetanol Generasi II ataupun kegiatan penelitian dan/atau industri
terkait lainnya.
c. Pembentukan Gubal Gaharu
Ekplorasi fungi pembentuk gubal gaharu telah dilaksanakan oleh Puslitbang
Konservasi ddan Rehabilitasi dan BPTHHBK Mataram di seluruh propinsi di
Indonesia dan telah mendapatkan isolat sebanyak 58 isolat yang telah teridentifikasi
secara molekuler dan 6 isolat yang belum teridentifikasi secara molecular. Dari
sejumlah isolat tersebut yang telah dicoba di lapang sejumlah 24 isolat, dari kedua
puluh enam isolat tersebut yang diminati oleh para petani gaharu sebanyak 5 isolat
yaitu FORDACC00509, FORDACC00500, FORDACC0052963, FORDACC00512
dan FORDACC52957.
Penelitian inokulasi pembentukan gubal gaharu telah dilaksanakan di NTB,
Riau, Banten, Jabar, Kepulau Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, NTT
dengan 54 isolat yang tersimpan di lemari pendingin dengan suhu -82oC. Di samping
itu juga telah dilaksanakan penelitian pada berbagai jenis tanaman Aquilaria spp. dan
Gyrynopsverstegiidengan berbagai jarak inokulasi yaitu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 40 dan
50 cm. Bor yang digunakan saat ini juga sudah mengarah yang kecil yaitu 3 mm,
sedangkan BPHHBK Mataram di NTB menggunakan jenis bor tersendiri (SIMPORI)
yaitu bor yang didalamnya berongga dan berlubang namun tidak bermata,cara
memasukkan dengan dipalu dan menariknya dengan alat pencabut.
Page 178
Sintesis 2010-2014 | 163
d. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula untuk Bioreklamasi Lahan Bekas
Tambang di Sulawesi
Lahan bekas tambang batu kapur PT Semen Tonasa mempunyai tingkat
kesuburan tanah yang rendah karena kadar unsur hara makro seperti N (0,06%), P
(15,67 ppm) dan K (3,47 ppm) yang rendah dan populasi mikroba bakteri (1,68 x
1014
) serta cendawan (5,41 x 101) dalam tanah yang rendah juga. Penanganan lahan
bekas tambang secara baik dan benar merupakan kunci keberhasilan upaya
rehabilitasi lahan.
Eksplorasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada lahan bekas tambang batu kapur di
PT Semen Tonasa mendapatkan 4 morfotipe spora yaitu Acaulospora sp (2 jenis),
Gigaspora sp (1 jenis) dan Glomus sp (1 jenis). Keempat jenis FMA tersebut
diproduksi secara massal untuk djadian sebagai inokulan dalam uji efektivitas FMA
di tingkat semai dan lapang di lahan bekas tambang batubara. Jenis FMA
Acaulospora sp. dicampur dengan Gigaspora sp. dan diberi nama Isomik MK1.
Inokulasi FMA indigen Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Isomik MK1. pada
semai Muntingia calabura, Acasia auriculiformis, Alstonia scholaris, Vitex cofassus
dan Tectona grandis dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, biomasa,
serapan P dan kolonisasi akar yang sangat tinggi dibandingkan dengan kontrol.
Disamping itu indeks mutu bibit juga semakin tinggi dengan adanya inokulasi FMA
tunggal dan Isomik MK.
Peningkatan pertumbuhan semai terbesar sebagai akibat perlakuan inokulasi
FMA adalah semai V. Cofassus dengan peningkatan tertinggi sebesar 635%
(tinggi), 275% (diameter), 1.694% (biomasa), 2.313% (serapan P), serta 829 (indeks
mutu bibit).
Pertumbuhan bibit S sericea dan V. Cofassus yang telah terinokulasi dengan
FMA dan ditanam di lapang masih menunjukan peningkatan pertumbuhan pada
parameter tinggi, diameter tanaman muda umur 3, 9, 15 dan 21 bulan di lapang.
Demkian juga parameter kolonisasi FMA dan kadar P pada jaringan tanaman muda
masih menunjukkan peningkatan. Namun demikian peningkatan tersebut sangat kecil
dibandingkan dengan peningkatan pada saat di pembibitan.
Dengan adanya revegetasi dengan tanaman bibit S sericea dan V. Cofassus yang
telah terinokulasi dengan FMA pada lahan bekas tambang batu kapur dapat
meningkatkan populasi bakteri dan cendawan pada lahan tersebut. Demikian juga
pada parameter N, P dan K pada tanah juga semakin meningkat.
e. Pengendalian Hama Tanaman Penghasil Gaharu Heortia vitessoides
Serangan ulat daun Heortia vitessoides pada pohon penghasil gaharu terjadi
sepanjang tahun dengan pola serangan berfluktuasi dan dengan intensitas yang
berbeda dari waktu ke waktu. Perkembangan populasi hama meningkat antara bulan
Januari – April dengan diselingi sedikit penurunan pada bulan Pebruari.
Page 179
Sintesis 2010-2014 | 164
Perkembangan populasi hama turun kembali pada bulan Mei – Juni pada tingkat
yang relatif rendah, kemudian meningkat kembali sampai mencapai tingkat tertinggi
antara Agustus – September. Setelah itu populasi kembali turun pada tingkat yang
rendah antara Oktober – Desember.
Perkembangan populasi dan serangan hama dipengaruhi oleh jumlah rata-rata
curah hujan. Munculnya tunas baru dan daun muda pada saat curah hujan relatif
tinggi berperan dalam memengaruhi kenaikan populasi hama. Menurut Qiau et al.
(2012), serangga betina H. vitessoides lebih tertarik kepada daun muda. Hasil
pengamatan juga menunjukkan bahwa koloni telur dan kelompok ulat instar awal
selalu ditemukan pada daun yang masih muda.
Hama ulat ditemukan dalam berbagai tingkat perkembangan (instar), namun
pada setiap pohon yang terserang kebanyakan hanya terdapat satu macam instar atau
satu generasi ulat gaharu. Meskipun demikian, pada setiap lokasi terdapat beberapa
generasi yang overlaping mengingat di setiap waktu pengamatan dijumpai ulat
dengan tingkat perkembangan yang berbeda. Menurut Kalita et al. (2002) dan Chen
et al (2011), H. vitessoides dapat menghasilkan beberapa generasi dalam satu tahun.
Pengatamatan di daerah Kandangan, Kalimantan Selatan, dan di Kebun Raya Bogor,
bahkan menemukan beberapa generasi ulat gaharu dalam satu pohon yang terserang.
Hasil mapping serangan ulat menunjukkan sebagian besar tanaman gaharu
pernah terserang dengan frekuensi 1-2 kali serangan dalam satu tahun. Berdasarkan
persentase, populasi pohon yang mengalami serangan ulat H. vitessoides rata-rata
berkisar 70-75%, bahkan ada yang di atas 90%. Di antara populasi pohon tersebut,
lebih dari sepertiganya (>30%) mengalami serangan berulang 2-4 kali per tahun.
Serangan hama berulang membawa kosekuensi terjadinya proses penggundulan
daun yang juga berulang. Defoliasi total terutama dialami tanaman gaharu berukuran
kecil (seedling). Terjadinya peningkatan kuantitas dan kualitas serangan ulat H.
vitessoides menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, dan tidak jarang
menyebabkan kematian. Di KHDTK Carita pada tahun 2013 ditandai dengan
peningkatan jumlah pohon yang mati, terutama di plot ITTO dan Rorak yang ukuran
pohonnya masih dalam kategori seedling. Apabila pada tahun 2012 hanya terdapat
pohon mati di plot ITTO sebanyak 2 batang, pada tahun 2013 pohon mati ditemukan
di semua plot, masing-masing sebanyak 15, 4 dan 1 batang berturut-turut di plot
ITTO, Rorak dan Werkit.
Secara umum, tingkat kerusakan tanaman dengan intensitas defoliasi berat (50-
75%) dan berat sekali (75-100%) selama tahun 2013 relatif sama antara plot ITTO
dan Rorak, yakni berkisar antara 10 – 80% dari populasi pohon. Persentase terendah
dari populasi pohon dengan tingkat serangan kategori berat dan berat sekali terjadi
pada bulan Januari, sedangkan persentase tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Hal
yang sama juga terlihat pada plot Werkit, namun dengan persentase yang lebih
rendah. Pada plot ini, persentase terendah populasi pohon dengan tingkat defoliasi
Page 180
Sintesis 2010-2014 | 165
berat dan berat sekali hanya sebesar 5 % sedangkan tertinggi hanya mencapai 25%.
Ukuran pohon yang rata-rata jauh lebih besar, baik diameter maupun tinggi pohon, di
plot Werkit dibanding dua plot lainnya menyebabkan populasi pohon dengan tingkat
serangan berat dan sangat berat menjadi jauh lebih rendah persentasenya karena
masing-masing pohon memiliki jumlah daun yang jauh lebih banyak. Sebaliknya,
pohon di plot ITTO dan Rorak rata-rata bertajuk kecil dengan jumlah daun yang
lebih sedikit, sehingga tingkat defoliasi akibat serangan hama cenderung lebih berat.
Kondisi ekologis, khususnya tingkat kerapatan pohon, dan tinggi pohon tampaknya
berpengaruh terhadap serangan ulat gaharu dan tingkat kerusakan yang
diakibatkannya. Plot Werkit dengan tingkat kerapatan pohon yang sangat tinggi
dengan rata-rata tinggi pohon gaharu di atas 4m mendapatkan serangan dan tingkat
kerusakan yang lebih ringan dari 2 plot yang lain yang memiliki tanaman gaharu
dengan tinggi rata-rata sekitar 1,0-1,25 m.
Pengendalian yang telah dilakukan dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu
pengendalian mekanik, kimiawi, nabati, hayati dan Integrated Pest Management.
a. Pengendalian secara mekanik
Pengendalian mekanikmerupakan salah satu cara pengendalian yang telah
diterapkan sejak lama oleh nenek moyang kita. Cara pengendalian ini adalah dengan
cara memetik daun yang ada telurnya atau ada ulatnya/larva untuk dimusnahkan
dengan cara diremas atau diinjak dengan kaki.
b. Pengendalian dengan insektisida nabati
Pengendalian nabati adalah pengendalian dengan menggunakan bagian dari
tanaman yang mempunyai daya bunuh, penolak (repellent) terhadap serangga.
Ekstrak biji mimba dengan dosis 0,3 g/l dapat mengakibatkan mortalitas ulat H.
vitessoides sebesar 100%.
Pada penelitan di BPK Mataram, konsentasi perasan biji mimba dengan dosis
100 g/l air dapat menyebabkan motalitas H. vitessoides di rumah kaca sampai
100%, sedangkan pada perasan daun biji mimba dengan dosis 100 g/l air dapat
menyebabkan mortalitas sebesar 85,7 %.
c. Pengendalian secara biologis (biological control)
Pengendalian biologis adalah pengendalian dengan menggunakan material
hidup seperti entomopathogen, predator dan parasit. Bacillus thuringiensis pada
konsentrasi 0,5 g dan 1,5 g/l air dapat mematikan 100% ulat H. vitessoides pada
skala laboratorium.
Predator Sycanus sp. dapat mempredasi ulat daun tanaman pengahsil gahary H.
vitessodes sebesar 82% di rumah kaca.
Page 181
Sintesis 2010-2014 | 166
d. Pengendalian secara Kimiawi
Pengendalian kimiawi adalah pengendalian dengan menggunakan bahan kimia
anorganik. Pengendalian secara kimiawi sudah sangat lazim dilakukan oleh para
petani sejak dulu, namun resiko terhadap lingkungan dan produk tanaman cukup
tinggi. Insektisida kimiawi Curacron dan Sevin pada konsentrasi 2 ml/l dapat
mematikan ulat H. vitessoides 100%.
e. Pengendalian Terpadu (Integrated Pest Management)
Pengendalian ini merupakan gabungan dari beberapa cara pengendalian
serangga seperti pengendalian mekanik, pengendalian kimiawi, pengendalian nabati
dan pengendalian hayati. Pengendalian terpadu ini telah diterapkan oleh seorang
petani gaharu dengan cara penyemprotan secara kimiawi menyeluruh di kebunnya
seluas 2 ha., kemudian setelahnya dilakukan monitoring pada seluruh tanaman
apabila ada serangan maka akan dipetik daunnya atau rantingnya. Pada tahap
selanjutnya dilakukan monitoring pada tanaman bagian tepi setiap minggu, apabila
ada serangan maka akan disemprot atau dipetik daunnya/rantingnya.
(a)