Utama Mongabay Emisi Metana Air Limbah Kelapa Sawit Beri Dampak Perubahan Iklim PENEMUAN tujuh kerangka gajah Sumatra (Elephas maximus sumatrae) di dekat Taman Nasional Tesso Nilo pada pekan lalu merupakan eskalasi dari perperangan antara mening- katnya permintaan terhadap kelapa sawit dunia dengan lemahnya pene- gakkan hukum Indonesia dan tidak kuatnya kebijakan keberlanjutan perusahaan. Demikian disampaikan Eyes on the Forest (EoF) terkait dengan tingginya angka kematian gajah sumatra di habitatnya di Riau hari ini seba- gaimana tertulis di laman Eyes on the Forest, sebuah koalisi WWF, Walhi Riau dan Jikalahari. Dari 2012 hingga pekan lalu seba- nyak 33 gajah telah ditemukan mati di Tesso Nilo, satu-satunya habitat di Riau yang masih bisa diharapkan namun terancam. Mayoritas bangkai gajah yang diperkirakan mati sejak beberapa bulan itu telah diambil gadingnya. Namun demikian koalisi ini menilai pencurian gading bukan- lah satu-satunya alasan pembu- nuhan gajah tersebut meski harganya cukup menjanjikan. “Jika hutan semakin berkurang dan kematian gajah tidak ditekan, maka populasi gajah Tesso Nilo diperkirakan akan punah kurang dari sepuluh tahun mendatang,” tertulis dalam rilis. Laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dan hilangnya tutupan hutan di Laju pertumbuhan perkebunan kelapa sawit dan hilangnya tutupan hutan di Indonesia dan Malaysia Tersudutnya gajah dan satwa penting lainnya dikarenakan meluas- nya para perambah yang secara ilegal menanam kelapa sawit. Perubahan hutan menjadi sawit telah menye- babkan gajah penghuni aslinya terdesak dan akhirnya berkonflik dengan para perambah. Kelapa sawit BUANGAN gas metana dari air limbah olahan kelapa sawit ternyata sangat siginifikan berdampak pada perubahan iklim dibandingkan dengan pembukaan lahan, ke- bakaran hutan dan penge- ringan lahan gambut. Hal ini terungkap dari sebuah studi yang dimuat dalam jurnal ilmiah Nature Climate Change baru-baru ini. Penelitian yang dipimpin oleh Philip G. Taylor dari Universitas Colorado menemukan bahwa emisi gas metana dalam setahun dari limbah pengolahan kelapa sawit setara dengan 115 juta ton karbon dioksida di Malaysia dan Indonesia saja, atau sekitar 15% dari total emisi dari penegringan lahan gambut dan alihfungsi lahan di kedua negara tersebut. “Buangan metana dari limbah kelapa sawit merupakan ancaman iklim yang sangat besar, dimana bisa menaikkan sekitar 1% emisi gas rumah kaca di tahun 2050 mendatang,” ungkap Taylor kepada Mongabay.com. “Metana limbah kelapa sawit mewakili 15% emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan,.” Namun masalahnya bisa dicari jalan keluar, ungkap- Taylor, yang menyarankan untuk memanfaatkan metana produksi limbah air olahan kelapa sawit ini menjadi bioenergi dibandingkan harus membiarkannya lepas ke atmosfir dan menambah emisi gas rumah kaca. ”Emisi ini adalah sumber dari energi terbarukan yang seharusnya bisa menjadi solusi yang menguntungkan bagi perubahan iklim,” jelasnya. Menurut penelitian, Malaysia bisa memenuhi seperempat energi mereka dengan memanfaatkan metana dari limbah olahan kelapa sawit ini. Keuntungan dari meng- gunakan metana ini, karena merupakan bahan bakar yang alternatif dan bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan energi di wilayah-wilayah yang miskin. “Pembangunan infrastruktur itu butuh waktu, Dan bagi pabrik- pabrik pengolahan yang tidak memiliki aksies ke jalan utama, hal ini menjadi sumber energi baru dengan mengoptimalkan POME CH4,” ungkap kajian ini. Limbah ini juga bisa bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Hasil studi ini memperli- hatkan bahwa dengan pengolahan limbah yang baik, digabung dengan penghentian konversi hutan untuk pembukaan perkebunan kelapa sawit, serta meningkatkan kepadatan hasil di setiap buah sawit, bisa membuat industri minyak kelapa sawit menjadi lebih berkelanjutan. “Kendati melalui peman- faatan metana ini tidak akan mengganti kerusakan hutan Pekebunan kelapa sawit Riau telah lama menjadi pembunuh nomor satu gajah di Sumatra. Seringkali pemilik kebun yang marah menebar racun di daun-daun atau mema- sukkannya ke dalam buah yang akan dimakan oleh gajah. Dalam investigasi WWF beberapa waktu lalu menemukan bahwa rute suplai kelapa sawit dari dalam taman nasional itu berakhir di pabrik-pabrik yang dioperasikan Wilmar dan Asian Agri dan disuling di kilang di pela- buhan Dumai. Minyak sawit yang telah disuling kemudian dikapalkan ke sejumlah pabrik di sejumlah negara dan diproses lebih lanjut untuk menj- adi apa saja mulai dari margarin dan lipstik. WWF mendesak pemerintah Indo- nesia untuk mengindentifikasi dan memperkarakan para pembunuh dan mengembalikan Taman Nasional ke penghuni aslinya, gajah, harimau dan banyak lagi spesies lainnya,” tulisnya. Kehancuran Tesso Nilo telah me- narik banyak perhatian sejumlah publik dunia. Pada September lalu, bintang hollywood, Harrison Ford secara khusus berkunjung dan me- nyaksikan dengan mata sendiri bagai- mana hutan yang kaya keanekara- gaman hayati ini terancam. Keane- karagaman hayati di kawasan ini antara lain terdapat 360 jenis flora dalam 165 marga dan 57 suku di setiap hektarnya. Selain rumah bagi gajah dan harimau Sumatra juga terdapat 114 jenis burung, 50 jenis ikan, 33 jenis herpetofauna dan 644 jenis kumbang. Dan faktanya, lebih dari 50 persen dari total luas Tesso Nilo 83 ribu hektar kini telah dirambah. Kematian Gajah: Potret Pincang Ekspansi Kelapa Sawit & Penegakan Hukum Kabut Asap Riau, Enam Ribu Hektare Lahan Terbakar akibat penebangan, namun hal ini akan membawa keuntungan tambahan bagi pemilik pabrik, masyarakat lokal dan dampak luas perubahan iklim. Keuntungan finansial dari bioenergi metana ini harus digabungkan dengan moratorium ketat pada pembukaan hutan untuk mencegah pembiayaan deforestasi, yang akan memberikan manfaat ekstra bagi iklim KEPALA Pusat Data, Infor- masi, dan Hubungan Masya- rakat Badan Nasional Pena- nggulangan Bencana, Sutopo Purwo Nugroho, mengatakan 6 ribu hektare lahan di Provinsi Riau terbakar. Kebakaran ini menyebabkan gangguan kabut asap menyebar hingga ke wi- layah lain. "Kebakaran bahkan sudah merambat ke kawasan cagar alam." katanya kepada Tempo, Sabtu, 1 Maret 2014. Data BNPB menyebutkan kebakaran sudah merambat ke kawasan konservasi Cagar Biosfer Giam Siak Kecil di Kabupaten Bengkalis dan Taman Nasional Tesso Nilo di Kabupaten Pelalawan dan Indragiri Hulu. Menurut Sutopo, kebaka- ran terparah terjadi di Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. Asap tebal dari hutan di wilayah konservasi alam itu menyebar hingga Kota Pekanbaru dan Kabupaten Bengkalis, Siak, serta eranti. Indeks Standar Pencemaran Udara (ISPU) di Bengkalis mencapai 375, se- mentara di wilayah Duri 500. "Artinya, sudah pada tingkat berbahaya," ujarnya. Berdasarkan laporan Ke- menterian Kehutanan, jum- lah titik api yang terpantau satelit NOAA18 di Riau men- capai 70. Enam titik di anta- ranya berada di Kabupaten Rokan Hillir, satu titik di Kabupaten Rokan Hulu, 18 titik di Kota Dumai, 15 titik di Kabupaten Bengkalis, satu titik di Kabupaten Meranti, 20 titik di Kabupaten Pelalawan, satu titik diKabupaten Indra- giri Hulu, tiga titik di Kabupa- ten Indragiri Hilir, dan satu titik di Kabupaten Kuansing. Sedangkan hasil penga- matan melalui satelit Aqua oleh Badan Meteorologi, Kli- matologi, dan Geofisika (BM- KG) hingga pukul 05.00 WIB, ada 1.042 titik api di Suma- tera. Sebanyak 962 di anta- ranya berada di Riau. Saat ini, kata Sutopo, 1.500 orang yang terdiri atas pers- onel TNI, polisi, Manggala Agni, BNPB, dan pemerintah daerah sudah dikerahkan un- tuk memadamkan api di Ca- gar Biosfer dan Taman Nasio- nal Tesso Nilo. Namun upaya ini terhambat karena wilayah yang terbakar sangat luas, sulit diakses, serta memiliki sumber air yang terbatas.*** Erupsi Sinabung, Warga Temukan Kambing Hutan Sumatera Langka Erupsi Gunungapi Sinabung terletak di Kabupaten Karo, Sumatera Utara (Sumut) masih berlanjut, dan belum menunjukkan penurunan dengan mengeluarkan debu vulkanik dan lava awan panas, serta batu-batu krikil kecil. Tak hanya masyarakat yang tinggal di radius dua hingga tujuh kilometer keluar dari desa mereka. Belum lama ini, masyarakat di kaki gunung melihat jejak kaki beruang, dan harimau Sumatera. Pada Jumat siang (18/1/14), masyarakat menemukan kambing hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis), yang keluar dari dalam hutan. Salah satu dugaan awal kambing hutan keluar karena aktivitas gunungapi terus meningkat. Dugaan lain, ketersediaan makanan sudah tidak ada, hingga harus turun gunung. Sebab menurut orang tua yang sudah tinggal turun temurun di desa itu, mereka sama sekali tak pernah melihat kambing hutan. Kambing hutan Sumatera itu ditemukan sejumlah warga yang tinggal di Desa Beras Tepu, Kecamatan Simpang Empat, Kabupaten Karo, pada Jumat siang. Kondisi sangat memprihatinkan. Tubuh tampak kurus, dan bagian wajah dan mata sayu. Hewan ini, ditemukan tengah terduduk lemah di belakang rumah warga yang tinggal tidak jauh dari perkebunan. Jonris Karokaro, seorang warga, awalnya menduga satwa bertanduk ini rusa. Karena kondisi desa mereka sangat sepi ditinggal mengungsi ke Kota Kabanjahe dan Berastagi, ditambah aktivitas perdagangan nyaris tidak ada, membuat sejumlah pemuda yang menjaga desa mereka ingin menyembelih. Namun, sejumlah orang tua melarang, dan memerintahkan satwa ini dibawa ke Kabanjahe. Menggunakan truk terbuka, kambing berbulu hitam ini dibawa ke kota. Tampak mata begitu tajam dan liar, saat sampai di Kabanjahe, ratusan orang ramai melihat. Petugas dari Balai Konservasi Sumberdaya Alam (BKSDA), Sumut, yang mendapatkan kabar mengenai temuan satwa ini langsung turun ke Kabupaten Karo bersama tim ahli. Saat melihat kambing ini, petugas BKSDA terkejut, ternyata kambing hutan Sumatera, yang dianggap sangat langka dan sudah jarang ditemukan. Setelah keluar dari hutan dan ditemukan warga, langsung dibawa ke Kota Medan dan dilakukan penelitian. BKSDA sementara menitipkan kambing langka ini di Kebun Binatang Medan. Foto: Ayat S Karokaro Setelah keluar dari hutan dan ditemukan warga, langsung dibawa ke Kota Medan dan dilakukan penelitian. BKSDA sementara menitipkan kambing langka ini di Kebun Binatang Medan. Foto: Ayat S Karokaro Istanto, Kepala Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Sumut menjelaskan, dari pemeriksaan tubuh menyeluruh, satwa ini benar Capricornis sumatraensis sumatraensis. Menurut dia, satwa ini endemik Sumatera, masuk daftar Appendices I, atau sangat langka dan tidak boleh diburu. Satwa ini hanya di hutan tropis Sumatera, dan sangat jarang sekali terlihat. Ia diperkirakan hidup di sekitat Hutan Tahura, di kawasan hutan Kabupaten Langkat, Sumut. “Ketika kita tahu satwa ini sangat langka dan tak boleh dibunuh, langsung kita bawa ke Medan. Kita ambil darah untuk dites memperkuat dugaan kami.” Sementara waktu kambing dititipkan di Kebun Binatang Medan dan dengan perawatan maksimal. Istanto, menyebutkan satwa ini akan mendapatkan makanan layak dan dirawat sebaik mungkin. “Nanti akan ada serangkaian penelitian mengenai satwa ini.” Namun dia belum berani memutuskan, apakah akan dilepasliarkan ke hutan atau menjadi penghuni tetap kebun binatang. Satwa ini sangat langka karena penebangan dan perusakan hutan. Kelompok penyelamat dan perlindungan satwa liar menyebutkan, di Sumut, 1990 jumlah kambing ini ditaksir ada 32 ekor, dan hidup di hutan Bukit Barisan, serta kawasan hutan lindung Bukit Batabuh, Riau Kambing hutan Sumatera saat ditemukan langsung dibawa ke Kota Medan untuk penelitian habitat satwa langka. Kebisingan Laut Berpengaruh Buruk bagi Paus dan Lumba-lumba Perairan laut yang bising ternyata berpengaruh buruk terhadap paus, lumba-lumba dan mamalia laut lain. Kebisingan membuat mereka meng- hadapi masalah seperti kesulitan menemukan pasangan, mencari makan dan berpotensi menjauhkan paus dari habitat utama mereka. Hal ini terungkap dalam laporan WWF yang dirilis 14 Januari 2014, berj- udul Reducing Impacts of Noise from Human Activities on Cetaceans: Knowledge Gap Analysis and Recom- mendations. Dalam laporan itu menyebutkan, banyak paus dan mamalia laut terdam- par dan penyebabnya masih penuh misteri. Namun, polusi suara diduga kuat sebagai salah satu penyebab. WWF mengautopsi tujuh paus yang terdampar di Pantai Kepulauan Bahama. Hasilnya memperlihatkan, paus-paus ini menga- lami gangguan indera pendengaran. Ada pendarahan didekat telinga dan di dalam cairan otak mereka. Aimee Leslie, Global Cetacean and Marine Turtle Manager WWF menga- takan, ditemukan bukti peningkatan kebisingan di seluruh perairan di dunia. Hal ini disebabkan lalu lintas kapal berukuran besar, dan gelombang sonar untuk eksplorasi minyak lepas pantai serta pelatihan militer. “Ini menambah kebisingan pada ekosistem laut,” katanya dalam rilis kepada media di Jakarta. Eksplorasi dan pengeboran industri minyak dan gas di laut lepas, terutama yang menggunakan alat echo-sounder, dan pelayaran komersial, memproduksi suara di kisaran pendengaran paus, lumba-lumba, dan mamalia laut, yaitu 10 Hz-200 kHz. Dia mencontohkan, paus biru (Balaenoptera musculus), sebagai mamalia laut terbesar di dunia, mempr- oduksi suara dengan frekuensi sekitar 20 Hz. Manusia umumnya bisa mendengar percakapan satu sama lain pada kisaran 10- 1000 Hz.*** SABTU, 1 MARET 2014 C M Y K LINDA / SAD