Top Banner
TUGAS PEPK RISKESDAS DAN SDKI 2012 Oleh : YATMI 1311211118
22

Riskesdas Dan Sdki

Nov 07, 2015

Download

Documents

data
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

TUGAS PEPKRISKESDAS DAN SDKI 2012

Oleh :

YATMI

1311211118FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG, 2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat dan karunia yang telah diberikan oleh Allah SWT, sehingga penulis dapat menyelesaikan ringkasan ini dengan baik. Ringkasan ini ditulis sebagai tugas pada mata kuliah PEPK.Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Zulkarnain Agus sebagai dosen pembimbing serta semua pihak yang telah membantu kelancaran pembuatan ringkasan ini.

Penulis telah menyelesaikan makalah ini dengan segenap kemampuan dan pikiran, namun penulis menyadari bahwa penulisan ringkasan ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar ringkasan ini dapat mencapai kesempurnaan dan dapat bermanfaat bagi pembaca.

Padang, 17 Mei 2015

Penulis

DAFTAR ISI

iKATA PENGANTAR

iDAFTAR ISI

1Kesimpulan dan Implikasi

11.1 Riskesdas 2007

41.2 Riskesdas 2010

81.3 Riskesdas 2013

1.4 SDKI 201212

Kesimpulan dan Implikasi

1.1 Riskesdas 2007

Status Gizi Balita

Prevalensi nasional Gizi Buruk pada Balita adalah 5,4%, dan Gizi Kurang pada Balita adalah 13,0%. Keduanya menunjukkan bahwa baik target Rencana Pembangunan Jangka Menengah untuk pencapaian program perbaikan gizi (20%), maupun target Millenium Development Goalspada 2015 (18,5%) telah tercapai pada 2007. Namun demikian, sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang diatas prevalensi nasional, yaitu Nanggroe Aceh Darussalam, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat dan Papua.

Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita tertinggi berturut-turut adalah Aceh Tenggara (48,7%), Rote Ndao (40,8%), Kepulauan Aru (40,2%), Timor Tengah Selatan (40,2%), Simeulue (39,7%), Aceh Barat Daya (39,1%), Mamuju Utara (39,1%), Tapanuli Utara (38,3%), Kupang (38,0%), dan Buru (37,6%). Sedangkan 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Gizi Buruk dan Gizi Kurang pada Balita terendah adalah Kota Tomohon (4,8%), Minahasa (6,0%), Kota Madiun (6,8%), Gianyar (6,8%), Tabanan (7,1%),Bantul (7,4%), Badung (7,5%), Kota Magelang (8,2%), Kota Jakarta Selatan (8,3%), dan Bondowoso (8,7%).

Prevalensi nasional Gizi Lebih Pada Balita adalah 4,3%. Sebanyak 15 provinsi mempunyai prevalensi Gizi Lebih Pada Balita diatas prevalensi nasional, yaitu Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua.

Secara bersama-sama, prevalensi nasional Balita Pendek dan Balita Sangat Pendek (stunting) adalah 36,8%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Balita Pendek dan Balita Sangat Pendek di atas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua Barat.

Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek tertinggi adalah Seram Bagian Timur (67,4%), Nias Selatan (67,1), Aceh Tenggara (66,8%), Simeulue (63,9%), Tapanuli Utara (61,2%), Aceh Barat Daya (60,9%), Sorong Selatan (60,6%), Timor Tengah Utara(59,7%), , Gayo Lues (59,7), dan Kapuas Hulu (59,0%). Sedangkan 10 kabupaten/kota yang mempunyai prevalensi Balita Pendek dan Sangat Pendek terendah adalah Sarmi (16,7%), Wajo (18,6%), Kota Mojokerto (19,0%), Kota Tanjung Pinang (19,3%), Kota Batam ( 20,2%), Kampar (20,4%), Kota Jakarta Selatan (20,9%), Kota Madiun (21,0%), Kota Bekasi (21,5%), dan Luwu Timur (21,7%).

Prevalensi nasional Balita Kurus adalah 7,4% (wasting-serius) dan Balita Sangat Kurus adalah 6,2% (wasting-kritis).

Sebanyak 25 provinsi mempunyai prevalensi Balita Kurus diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.

Sebanyak 21 provinsi mempunyai prevalensi Balita Sangat Kurus diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara,Sumatera Barat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DKI Jakarta, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, dan Papua Barat.

Secara nasional, 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Balita Sangat Kurus dan Kurus tertinggi adalah Solok Selatan (41,5%), Seruyan (41,1%), Manggarai (33,3%), Tapanuli Selatan (31,9%), Seram Bagian Barat (31,0%), Asmat (30,9%), Buru ( 30,3%), Nagan Raya (30,1%), dan Aceh Utara (29,9%). Sedangkan 10 kabupaten/kota dengan prevalensi Balita Sangat Kurus dan Kurus terendah adalah Minahasa (0%), Kota Tomohon (2,6%), Kota Sukabumi (3,3%), Kota Bogor (4,0%), Bandung (4,6%), Kota Salatiga (4,9%), Kota Magelang (5,2%), Cianjur (5,4%), dan Bangka (5,6%).

Prevalensi nasional Balita Gemuk adalah 12,2%. Sebanyak 18 provinsi mempunyai Balita Gemuk diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Barat, Maluku, dan Maluku Utara.

Status Gizi Penduduk Umur 6-14 Tahun (Usia Sekolah)

Prevalensi nasional Anak Usia Sekolah Kurus (laki-laki) adalah 13,3%, sedangkan prevalensi nasional Anak Usia Sekolah Kurus (Perempuan) adalah 10,9%.

Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi Anak Usia Sekolah Kurus (laki-laki) diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, SumateraBarat, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, dan Maluku.

Sebanyak 19 provinsi mempunyai prevalensi Anak Usia Sekolah Kurus (Perempuan) diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Lampung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Tengah, Banten, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, dan Maluku.

Prevalensi nasional Anak Usia Sekolah Gemuk (Laki-laki) adalah 9,5%, sedangkan prevalensi nasional Anak Usia Sekolah Gemuk (Perempuan) adalah 6,4%.

Sebanyak 16 provinsi mempunyai prevalensi Anak Usia Sekolah Gemuk (Laki-laki) diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Maluku Utara, dan Papua.

Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Anak Usia Sekolah Gemuk (Perempuan) diatas prevalensi nasional, yaitu DI Aceh, Sumatera Utara, Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Bengkulu, Lampung, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Timur, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Maluku, dan Papua.

Status Gizi Penduduk Umur 15 Tahun

Prevalensi nasional Obesitas Umum Pada Penduduk Umur 15 Tahun adalah 10,3%. Sebanyak 12 provinsi mempunyai prevalensi Obesitas Umum Pada Penduduk Umur 15 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.

Berdasarkan perbedaan menurut jenis kelamin menunjukkan, bahwa prevalensi nasional Obesitas Umum Pada Laki-Laki Umur 15 Tahun adalah 13,9%, sedangkan prevalensi nasional Obesitas Umum Pada Perempuan Umur 15 Tahun adalah 23,8%.

Prevalensi nasional Obesitas Sentral Pada PendudukUmur 15 Tahun adalah 18,8%. Sebanyak 17 provinsi mempunyai prevalensi Obesitas Sentral Pada Penduduk Umur 15 Tahun diatas prevalensi nasional, yaitu Sumatera Utara, Bengkulu, Bangka Belitung, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Bali, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Maluku Utara, Papua Barat, dan Papua.

Status gizi Wanita Usia Subur 15-45 tahun

Prevalensi nasional Kurang Energi Kronis Pada Wanita Usia Subur (berdasarkan LILA yang disesuaikan dengan umur) adalah 13,6%. Sebanyak 10 provinsi mempunyai prevalensi Kurang Energi Kronis Pada Wanita Usia Subur diatas prevalensi nasional, yaitu DKI Jakarta, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, JawaTimur, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku, Papua Barat, dan Papua.

1.2 Riskesdas 2010a. Status Gizi balita

Kesimpulan

1) Secara nasional sudah terjadi penurunan prevalensi berat kurang pada balita dari 18,4 persen tahun 2007 menjadi 17,9 persen tahun 2010. Penurunan terjadi pada gizi buruk yaitu dari 5,4 persen pada tahun 2007 menjadi 4,9 persen tahun 2010. Tidak terjadi penurunan pada prevalensi gizi kurang, yaitu tetap 13,0 persen.

2) Prevalensi kependekan menurun dari 36,7 persen pada tahun 2007 menjadi 35,6 persen pada tahun 2010. Penurunan terutama terjadi pada prevalensi balita pendek yaitu dari 18,0 persen tahun 2007 menjadi 17,1 persen tahun 2010. Sedangkan prevalensi balita sangat pendek hanya sedikit menurun yaitu dari 18,8persen tahun 2007 menjadi 18,5 persen tahun 2010.

3) Penurunan juga terjadi pada prevalensi kekurusan dimana prevalensi balita sangat kurus menurun dari 13,6 persen tahun 2007 menjadi 13,3 persen tahun 2010. Penurunan ini relatif lebih kecil dari penurunan prevalensi berat kurang dan prevalensi kependekan. Dari 0,3 persen penurunan prevalensi kekurusan, 0,2 persen terjadi pada prevalensi balita sangat kurus. Balita sangat kurusadalah balita yang menjadi sasaran penanganan masalah gizi buruk.

4) Dari 35,6 persen balita pendek 25,3 persen diantaranya adalah balita yang memiliki berat badan yang proporsional dengan tinggi badannya (BB/TB normal). Ini berarti masih cukup banyak balita yang mengalami masalah gizi yang sifatnya kronis dan berisiko untuk memiliki berat badan yang kurang (underweight) karena sebagian dari balita ini memiliki berat badan menurut umurnya normal tetapi berada dekat dengan batas gizi kurang. Oleh karenanya masalah berat badan kurang pada balita memiliki kaitan erat dengan masalah kependekan.

5) Walaupun secara nasional terjadi penurunan prevalensi masalah gizi pada balita, tetapi masih terdapat kesenjangan antar provinsi. Terdapat18 provinsi yang memiliki prevalensi berat badan kurang diatas prevalensi berat badan kurang nasional. Untuk prevalensi kependekan pada balita masih ada 15 provinsi yang memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional, dan untuk prevalensi kekurusan masih ada 19 provinsi yang memiliki prevalensi diatas prevalensi nasional.

6) Sebagian besar provinsi yang memiliki masalah berat badan kurang dan masalah kependekan adalah provinsi-provnsi di wilayah tengah dan timur Indonesia (Kepulauan Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku dan Papua) dan sebagian kecil di wilayah barat (Sumatera dan Jawa-Bali).

7) Grafik pertumbuhan anak balita, baik panjang, tinggi badan maupun berat badan sudah terlihat mengalami gangguan sejak usia dini mulai umur sebelum 6 bulan. Penyimpangan berat badan dan panjang badan atau tinggi badan mulai melebar dari garis median baku WHO sejak umur 6 bulan dan seterusnya. Hal ini ditunjukkan pula oleh prevalensi masalah gizi yang secara umum semakin meningkat seiring dengan bertambahnya umur balita.

8) Masalah gizi pada balita laki-laki secara umum lebih tinggi dari balita perempuan.

9) Masalah kurang gizi balita di daerah perkotaan lebih rendah dari masalah yang ada di perdesaan, kecuali untuk masalah kegemukan pada balita yang lebih tinggi di perkotaan dari di perdesaan.

10) Masalah gizi pada balita menunjukkan ada kaitannya dengan karakteristik responden yang dalam hal ini adalah tingkat pendidikan kepalarumahtangga, jenis pekerjaan kepala rumahtangga dan keadaan ekonomi rumahtangga yang diestimasi dengan pengeluaran rumahtangga per kapita. Semakin baik tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan kepala rumahtangga serta keadaan ekonomi rumahtangga semakin menurun prevalensi masalah gizi pada balita dan sebaliknya.

Implikasi Bagi Upaya Penangan Masalah Gizi Balita

Dari diskusi di atas, ada dua hal yang memerlukan perhatian dalam upaya penurunan prevalensi balita dengan BB/U kurang, yaitu:

1) Penurunan jumlah balita pendek utamanya dilakukan melalui pencegahan lahirnya balita pendek baru, karena apabila masalah pertumbuhan sudah melewati periode kritis pertumbuhan (2 tahun) maka balita yang mengalami gangguan gizi akan sulit untuk mengejar pertumbuhan potensialnya. Upaya ini sudah harus sejak dini dilakukan dengan meningkatan pelayanan kesehatan dan gizi ibuhamil, sampai pemberian ASI ekslusif pada bayi umur 0-6 bulan. Upaya edukasi gizi untuk meningkatkan kesadaran gizi bagi keluarga, diharapkan akan membantu mempersiapkan remaja untuk memasuki jenjang perkawinan dan siap menjadi calon bapak dancalon ibu bagi bayi.

2) Untuk menunjang upaya pada poin (1) di atas maka menjadi penting peningkatan upaya pencegahan dan penanganan masalah balita kurus dan masalah balita gemuk. Upaya ini perlu ditunjang dengan peningkatan survaiilens gizi untuk dapat mengidentifikasi balita kurus, maupun untuk memantau perkembangannya.

3) Mengingat masalah gizi, baik yang bersifat akut, kronis maupun akut-kronis berkaitan dengan masalah sosial-ekonomi keluarga (beyond health), maka upaya perbaikan status gizi keluarga (UPGK) memerlukan koordinasi dan integrasi upaya secara lintas-program maupun lintas-sektor terkait. Upaya pemberdayaan masyarakat serta public-privatepartnership juga perlu digalakkan.

b. Status Gizi Anak Umur 6-18 Tahun

Kesimpulan

Secara umum prevalensi kependekan pada anak umur 6-18 tahun adalah 34,6 persen, masih tidak jauh berbeda dengan pada anak balita, sedangkan prevalensi kekurusan dan kegemukan lebih rendah dari prevalensi pada balita.Prevalensi kependekan pada kelompok umur 6-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun masih tinggi yaitu masih diatas 30,0%, tertinggi pada umur 6-12 tahun (35,6 persen) dan terendah pada kelompok umur 16-18 tahun yaitu 31,2 persen. Prevalensi kekurusan pada kelompok umur 6-12 tahun sama dengan pada umur 13-15 tahun yaitu 11,2 persen dan 11,1 persen dan terendah padakelompok umur 16-18 tahun yaitu 8,9 persen. Prevalensi kegemukan tertinggi pada kelompok umur 6-12 tahun yaitu 9,2 persen dan terendah pada kelompok umur 16-18 tahun yaitu 1,4 persen, sedangkan pada kelompok umur 13-15 tahun sebesar 2,5 persen.

Seperti halnya pada balita, prevalensi kependekan, kekurusan dan kegemukan secara umum lebih tinggi pada anak laki-laki dibanding dengan anak perempuan. Prevalensi kependekan dan kekurusan di perkotaan lebih rendah dibanding perdesaan, sebaliknya prevalensi kegemukan lebih tinggi di perkotaan dari perdesaan. Masalah kependekan pada kelompok umur 6-12 tahun, 13-15 tahun dan 16-18 tahun sangat erat kaitannya dengan tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan kepala rumahtangga serta keadaan ekonomi rumahtangga. Semakin baik tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan kepala rumahtangga serta keadaan ekonomi rumahtangga semakin rendah prevalensi kependekan. Sedangkan prevalensi kekurusan tidak memiliki pola hubungan yang jelas dengan ketiga karakteristik responden tersebut.. Masalah kegemukan memiliki keterkaitan dengan tingkat pendidikan kepala rumahtangga dan semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga. Semakin tinggi tingkat pendidikan kepala rumahtangga dan semakin baik keadaan ekonomi rumahtangga prevalensi kegemukan cenderung meningkat. Implikasi untuk upaya perbaikan gizi anak umur 6-18tahun

Masih tingginya prevalensi kekurusan pada kelompok umur 6-12 tahun (usia sekolah) mengindikasikan adanya risiko terganggunya konsentrasi belajar bagi sekitar sepertiga jumlah siswa SD/MI atau yang sederajat. Masalah kependekanyang masih tinggi, dimana prevalensi kependekan pada anak perempuan juga tinggi yaitu sekitar 30 persen, dimana 12 persen diantaranya adalah sangat pendek. Hal ini merupakankeadaan yang berisiko sebagai calon ibu rumahtangga yang akan melahirkan generasi penerus. Untuk mengatasi masalah-masalah tersebut di atas maka perlu diintensifkan upaya perbaikan gizi anak sekolah, melalui: Peningkatan edukasi gizi bagi anak sekolah baik di sektor pendidikan formal maupun informal untuk pencapaian KADARZI UNTUK SEMUA. Untuk ini diperlukan kerjasama dengan sektor pendidikan baik negeri maupun swasta untuk merumuskan kurikulum gizi yang memadai sesuai dengan tingkatan sekolah (SD, SLTP, SLTA atau yang sederajat). Penyediaan makanan tambahan bagi anak sekolah (PMT-AS) terutama untuk daerah-daerah miskin, terutama untuk anak usia sekolah (6-12 tahun). Untuk ini diperlukan kerjasama antara sektor kesehatan dengan lembaga pendidikan baik negeri maupun swasta serta sektor terkait lainnya

c. Status Gizi Penduduk Dewasa >18 tahun

Kesimpulan

Secara umum status gizi pada penduduk dewasa laki-laki dan perempuan cenderung lebih tinggi untuk yang kelebihan berat badan dibanding yang kurus. Angka obesitas pada perempuan lebih tinggi dibanding laki-laki. Berdasarkan karakteristik, permasalahan obesitas sangat dominan pada kelompok penduduk yang tinggi di perkotaan, status ekonomi yang lebih baik, dan tinggi pendidikan tinggi.

Implikasi untuk upaya perbaikan gizi penduduk dewasa

Penyuluhan gizi seimbang diikuti dengan aktivitas fisik diperlukan untuk mengatasi masalah obesitas pada penduduk dewasa, agar dapat dicegah penyakit khronis seperti darah tinggi, kolesterol, diabetes, dan lain-lain1.3 Riskesdas 2013

Status Gizi Balita

Status gizi anak umur 512 tahun

Status gizi remaja umur 13 -15 tahun

Status gizi remaja umur 1618 tahun

Status Gizi Dewasa

1.4 SDKI 2012Kematian Bayi dan Anak

Temuan Utama:

Angka kematian bayi dan balita untuk periode lima tahun sebelum survey masing-masing adalah 32 dan 40 kematian per 1.000 kelahiran hidup. Berarti satu di antara 31 bayi meninggal sebelum mencapai umur satu tahun, dan satu di antara 28 anak meninggal sebelum mencapai ulang tahun kelima.

Enam puluh persen kematian bayi terjadi pada umur 0 bulan, dan delapan puluh persen kematian balita terjadi pada umur 0-1 1 bulan.

Kematian bayi tertinggi selama periode 10 tahun sebelum survei terdapat pada bayi yang tinggal di perdesaan, serta bayi yang ibunya tidak sekolah dan pada kuintil kekayaan terendah.

Kematian bayi tertinggi selama periode 10 tahun sebelum survei juga didapati pada wanita yang melahirkan pada umur 40 tahun atau lebih, wanita dengan paritas tinggi (3 anak atau lebih), serta selang kelahiran yang pendek (kurang dari 24 tahun).

Kematian perinatal tertinggi ditemui pada wanita yang melahirkan anak dengan selang kelahiran kurang dari 15 bulan (45 kematian per 1.000 kehamilan).

EMBED Word.Picture.8

_1485496628.doc