Top Banner
110

riset paper ABK

Jun 30, 2015

Download

Documents

Riska Emidiati
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: riset paper ABK
Page 2: riset paper ABK

i

KATA PENGANTAR

Seiring dengan semangat reformasi birokrasi Departeman Keuangan, BPPK

telah menggulirkan beberapa kebijakan tahunan yang dijadikan tema program kerja.

Dimulai pada tahun 2007 dengan Back to Basic yang menekankan pada compliance

sebagai lembaga pendidikan dan sebagai unit kerja pada Departeman Keuangan.

Langkah ini diarahkan pada pencitraan BPPK yang lebih baik. Dilanjutkan pada tahun

2008 dengan tema Revitalisasi yang berupaya menajamkan fungsi – fungsi pada

seluruh satuan kerja BPPK sebagai langkah optimalisasi pencapaiaan kinerja

organisasi. Pada tahun 2009 ini, BPPK mengusung tema Leap to Lead.

Tema Leap to Lead merupakan usaha untuk mewujudkan BPPK sebagai

rujukan utama pengelola diklat di bidang Keuangan Negara dan Akuntansi

Pemerintahan melalui kebijakan kajian akademik yang berkesinambungan. Dua topik

kajian yang menjadi tonggak pelaksanaan tema Leap to Lead adalah Performance-

based Budgeting d a n Accrual Basis Accounting. Kedua riset tersebut, yang

dilaksanakan oleh tim riset yang beranggotakan para Widyaiswara, merupakan hasil

karya BPPK sebagai lompatan untuk dapat menjadi yang terdepan dalam pengkajian

materi kediklatan.

Melalui kebijakan di atas, tema sentral 2010 yang mensyaratkan diklat

berbasis kompetensi dengan memanfaatkan teknologi informasi akan menjadi hal

yang lebih mudah untuk dicapai. Fungsi diklat sebagai solusi kesenjangan kompetensi

SDM Departemen Keuangan dan seluruh stakeholders BPPK dapat diwujudkan.

Dengan perancangan kurikulum berdasarkan kajian akan kebutuhan unit,

pengembangan materi berdasarkan kajian akademik, dan penetapan metode

pembelajaran dengan dukungan Teknologi Informasi, BPPK akan dapat

Page 3: riset paper ABK

ii

bertransformasi menjadi ‘pusat pembelajaran’ dan bukan hanya sebatas sebagai

‘lembaga pendidikan dan pelatihan’.

Kepada tim riset khususnya, dan seluruh pihak terkait, saya menyampaikan

apresiasi yang setinggi – tinginya atas kinerja Saudara sekalian. Semoga semangat

ketulusan Saudara dapat mejadi inspirasi bagi kemunculan karya – karya berikutnya.

Terima kasih.

Jakarta, Januari 2009

Kepala BPPK

Page 4: riset paper ABK

iii

DAFTAR ISI

Halaman

Kata Pengantar.....................................................................................................

Daftar Isi..............................................................................................................

BAB I PENDAHULUAN...................................................................................

1.1. Latar Belakang..............................................................................................

1.2. Perumusan Masalah.......................................................................................

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian.....................................................................

1.4. Metode Penelitian.........................................................................................

1.5. Kerangka Penulisan........................................................................................

BAB II TEORI ANGGARAN BERBASIS KINERJA.......................................

2.1. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja..........................................................

2.2. Prinsip-prinsip Anggaran Berbasis Kinerja...................................................

2.2.1. Prinsip Value For Money...........................................................................

2.2.2. Prinsip Good Corporate Governance..........................................................

2.3. Elemen-elemen Anggaran Berbasis Kinerja..................................................

2.4. Unsur-unsur Pendukung Anggaran Berbasis Kinerja……………………...

2.4.1. Pengukuran Kinerja....................................................................................

2.4.2. Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punishment)……………………..

2.4.3. Kontrak atas Kinerja……………………………………………………..

2.4.4. Kontrol Internal dan Esternal……………………………………………

2.4.5. Akuntabilitas Manajemen……………………………………………….

2.5. Prakondisi Anggaran Berbasis Kinerja Menurut Allen Shick……………..

2.6. Keuntungan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja......................................

i

iii

1

1

2

3

3

4

5

5

6

7

8

10

14

15

17

18

18

19

19

22

Page 5: riset paper ABK

iv

BAB III PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM PERSIAPAN DAN

PELAKSANAAN SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA........

3.1. Perubahan Budaya Manajemen dengan New Public Management................

3.1.1. Manajemen Kontrak………………………………………………………

3.1.2. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)……………………………………...

3.1.3. Controlling……………………………………………………………….

3.1.4. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan…………………………………...

3.1.5. Personalia………………………………………………………………...

3.1.6. Teknik Informasi…………………………………………………………

3.1.7. Manajemen Mutu………………………………………………………...

3.2. Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi……………………………

3.2.1. Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi……………………………

3.2.2. Pengalaman Negara-negara terhadap Penggunaan Sistem Pemantauan

dan Evaluasi……………………………………………………………

3.2.2.1. Australia………………………………………………………………..

3.2.2.2. Inggris………………………………………………………………….

3.2.2.3. Amerika Serikat.......…………………………………………………...

3.2.2.4. Chile……………………………………………………………………

3.2.2.5. Kolumbia……………………………………………………………….

3.3. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja……...………………………

3.3.1. Australia………………………………………………………………….

3.3.2. Inggris……………………………………………………………………

24

24

26

27

27

28

29

29

30

30

30

32

33

34

35

36

39

39

42

46

Page 6: riset paper ABK

v

BAB IV IMPLEMENTASI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS

KINERJA DI INDONESIA……........................................................................

4.1. Persiapan Penganggaran Berbasis Kinerja.....................................................

4.1.1. Penuangan dalam Peraturan Perundangan sebagai Landasan Hukum.......

4.1.2. Cascading Perencanaan Kinerja.................................................................

4.1.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)......................................

4.1.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM).................................

4.1.2.3. Rencana Kerja Pemerintah.......................................................................

4.1.2.4. Visi dan Misi Kementerian Negara/Lembaga..........................................

4.1.2.5. Renstra Kementerian Negara/Lembaga...................................................

4.1.2.6. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga................

4.1.2.7. Klasifikasi Anggaran...............................................................................

4.1.3. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Sesuai Dengan Konsep New Public

Management..............................................................................................

4.1.4. Penerapan Good Corporate Governance....................................................

4.2. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja………………………………

4.2.1. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja………………………………

4.2.1.1. Indikator Kinerja dan Pengukurannya.....................................................

4.2.1.2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)..........................................................

4.2.1.3. Analisis Standar Biaya (ASB)..................................................................

4.2.2. Evaluasi atas Pemberian Ganjaran dan Hukuman......................................

4.2.3. Evaluasi atas Pelaksanaan Kontrak Kinerja...............................................

4.2.4. Evaluasi atas Pengendalian Internal dan Eksternal.....................................

4.2.5. Evaluasi atas Cascading Perencanaan Kinerja (BPPK sebagai Ilustrasi)...

4.2.6. Evaluasi atas Penyusunan Dokumen Anggaran.........................................

47

47

47

54

54

57

58

59

60

62

63

67

67

71

73

73

73

78

78

81

81

82

84

91

Page 7: riset paper ABK

vi

4.2.7. Evaluasi atas Pembahasan Anggaran.........................................................

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN…………………………………..........

5.1. Kesimpulan....................................................................................................

5.2. Saran...............................................................................................................

Daftar Pustaka.......................................................................................................

96

97

97

100

102

Page 8: riset paper ABK

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Dengan berlakunya paket undang-undang di bidang Pengelolaan Keuangan

Negara yaitu Undang-undang N omor 1 7 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-

Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung

Jawab Keuangan Negara telah mengubah secara drastis sistem penganggaran di

Indonesia. Paket undang-undang tersebut merupakan fondasi bagi pelaksanaan

reformasi di bidang keuangan. Reformasi terkait dengan berlakunya paket undang-

undang di bidang keuangan negara tersebut adalah:

1) Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting),

2) Penerapan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term

Expenditure Framework/MTEF),

3) Penerapan Anggaran terpadu (Unified Budget).

Pada prinsipnya ketiga hal tersebut adalah jawaban atas semakin meningkatnya

tuntutan untuk terciptanya tranparansi, akuntabilitas dan profesionalitas dalam

pengelolaan APBN. Ketiga hal tersebut merupakan satu kesatuan prinsip yang harus

dapat diterapkan dengan baik untuk menjawab harapan publik terhadap anggaran

pemerintah.

Dalam pelaksanaan sistem penganggaran di Indonesia dinyatakan ketiga

pendekatan tersebut telah diadopsi dan telah dilaksanakan, namun dalam

pelaksanaannya ditemui berbagai macam kendala yang masih sangat sulit untuk

dipecahkan. Penerapan kerangka pengeluaran jangka menengah telah diadopsi dalam

penyusunan Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga meskipun

Page 9: riset paper ABK

2

masih belum sempurna begitu juga penerapan unified budget (penyatuan anggaran

rutin dengan anggaran pembangunan) juga telah diterapkan dan senantiasa terus

dipertegas dan dipertajam. Penerapan prinsip anggaran berbasis kinerja merupakan

hal yang paling sulit untuk diimplementasikan meskipun secara formal telah

dinyatakan berlaku namun semua pihak masih mengakui bahwa penerapan prinsip

tesebut masih jauh dari yang diharapkan.

Pengalaman negara-negara lain memerlukan waktu yang panjang untuk

menerapkan prinsip penganggaran berbasis kinerja, sehingga selalu menjadi dasar

permakluman apabila Indonesia sampai saat sekarang belum mampu melaksanakan

prinsip tersebut secara utuh. Research paper ini berusaha meninjau sejauh mana

prinsip tersebut telah diterapkan di Indonesia dan kendala apa yang dihadapi serta

saran dan usulan untuk mendukung pelaksanaan prinsip penganggaran berbasis

kinerja di Indonesia sehingga harapan terciptanya anggaran publik yang akuntabel,

transparan, profesional sesuai dengan best practice internasional dapat tercapai.

Secara teoritis ada tahapan-tahapan yang harus dilalui ketika suatu negara akan

melaksanakan penganggaran berbasis kinerja. Prakondisi yang tercipta sebelum

pelaksanaan pengganggaran berbasis kinerja akan menentukan keberhasilan

pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja tersebut. Untuk itu kajian singkat ini juga

akan menilai sejauh mana pemerintah Indonesia telah menciptakan prasyarat-

prasyarat bagi terlaksananya penganggaran berbasis kinerja secara optimal.

I.2. Perumusan Masalah

Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia secara formal telah

diterapkan sejak Tahun 2002, namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan adanya

kesenjangan antara teori Anggaran Berbasis Kinerja yang telah diterapkan di berbagai

Page 10: riset paper ABK

3

negara di dunia dengan penerapan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia. Dari

kondisi tersebut dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Sejauh mana Indonesia telah mempersiapkan pelaksanaan Anggaran Berbasis

Kinerja;

2. Sejauh mana pencapaian Indonesia dalam pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja.

I.3. Tujuan Dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah:

1) Melakukan kajian secara umum terhadap penganggaran berbasis kinerja di

Indonesia dibandingkan dengan teorinya;

2) Mengidentifikasi persiapan dan pelaksanaan yang telah dilakukan Indonesia.

1.3.2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari kegiatan penelitian ini adalah:

1) Mendapatkan gambaran atas capaian persiapan dan pelaksanaan penganggaran

berbasis kinerja di Indonesia;

2) Menjadi dasar bagi penelitian lebih lanjut atas hal-hal yang belum dapat dicapai

atas persiapan dan pelaksanaan penganggaran berbasis kinerja di Indonesia.

1.4. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan cara riset kepustakaan dan mengambil data-data

sekunder dari BPPK, berupa renstra, renja dan RKA-KL sebagai ilustrasi untuk

evaluasi atas perencanaan kinerja dan penuangannya dalam anggaran.

Page 11: riset paper ABK

4

1.5. Kerangka penulisan

Kerangka penulisan dari laporan penelitian ini terdiri dari lima bab, yaitu:

Bab I Pendahuluan, b erisi latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan

manfaat penelitian, metode penelitian dan kerangka penulisan.

Bab II Teori Sistem Penganggaran Berbasis Kinerja, berisi pengertian anggaran

berbasis kinerja, proses penyusunan anggaran berbasis kinerja, prasyarat

anggaran berbasis kinerja.

Bab III Pengalaman Negara Lain dalam Persiapan dan Pelaksanaan Anggaran

Berbasis Kinerja, berisi New Public Management, Sistem Pemantauan dan

Evaluasi dan penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di beberapa negara.

Bab IV Pelaksanaan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia, berisi pembahasan

persiapan dan perkembangan pelaksanaan ABK di Indonesia, evaluasi atas

prasyarat pelaksanaan ABK, evaluasi atas perencanaan kinerja, evaluasi

atas penyusunan anggaran dan evaluasi atas pembahasan anggaran.

Bab V Kesimpulan dan Saran.

Page 12: riset paper ABK

5

BAB II

TEORI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

2.1. Pengertian Anggaran Berbasis Kinerja

Seiring dengan semakin tingginya tuntutan masyarakat terhadap transparansi

penganggaran belanja publik, maka diperkenalkanlah sistem penganggaran yang

berbasis kinerja ( Performance Based Budgeting) sebagai pengganti sistem

penganggaran lama dengan sistem Line Item Budgeting. Dalam sistem Line Item

Budgeting penekanan utama adalah terhadap input, di mana perubahan terletak pada

jumlah anggaran yang meningkat dibanding tahun sebelumnya dengan kurang

menekankan pada output yang hendak dicapai dan kurang mempertimbangkan

prioritas dan kebijakan yang ditetapkan secara nasional.

Secara teori, prinsip anggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang

menghubungkan anggaran negara (pengeluaran negara) dengan hasil yang diinginkan

(output d a n outcome) s e h i n g g a s e t i a p ru p i a h yang dikeluarkan d a p a t

dipertanggungjawabkan kemanfaatannya. Performance based budgeting dirancang

untuk menciptakan efisiensi, efektivitas dan akuntabilitas dalam pemanfaatan

anggaran belanja publik dengan output dan outcome yang jelas sesuai dengan prioritas

nasional sehingga semua anggaran yang dikeluarkan dapat dipertangungjawabkan

secara transparan kepada masyarakat luas. Penerapan penganggaran berdasarkan

kinerja juga akan meningkatkan kualitas pelayanan publik, dan memperkuat

dampak dari peningkatan pelayanan kepada publik. Untuk mencapai semua tujuan

tersebut, kementerian negara/lembaga diberikan keleluasaan yang lebih besar

(let’s the manager manage) untuk mengelola program dan kegiatan didukung

Page 13: riset paper ABK

6

dengan adanya tingkat kepastian yang lebih tinggi atas pembiayaan untuk program

dan kegiatan yang akan dilaksanakan.

Performance Based Budgeting memperhatikan keterkaitan antara pendanaan

dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian

hasil dan keluaran tersebut sehingga prinsip-prinsip transparansi, efisiensi, efektivitas

dan akuntabilitas dapat dicapai. Kunci pokok untuk memahami Performance Based

Budgeting adalah pada kata “Performance atau Kinerja”. Untuk mendukung sistem

penganggaran berbasis kinerja yang menetapkan kinerja sebagai tujuan utamanya

maka diperlukan alat ukur kinerja yang jelas dan transparan berupa indikator kinerja

(performance indicators). Selain indikator kinerja juga diperlukan adanya sasaran

(targets) yang jelas agar kinerja dapat diukur dan diperbandingkan sehingga

selanjutnya dapat dinilai efisiensi dan efektivitas dari pekerjaan yang dilaksanakan

serta dana yang telah dikeluarkan untuk mencapai output/kinerja yang telah

ditetapkan. Perbedaan antara Line Item Budgeting dengan Performance Based

Budgeting dapat digambarkan pada Tabel 2.1.

2.2. Prinsip-Prinsip Anggaran Berbasis Kinerja

Secara umum prinsip-prinsip anggaran berbasis kinerja didasarkan pada

konsep value for money (ekonomis, efisiensi dan efektivitas) dan prinsip good

corporate governance, termasuk adanya pertanggungjawaban para pengambil

keputusan atas penggunaan uang yang dianggarkan untuk mencapai tujuan, sasaran,

dan indikator yang telah ditetapkan.

Page 14: riset paper ABK

7

Tabel 2.1

Perbedaan Line Item Budgeting Dengan Performance Base Budgeting

2.2.1. Prinsip Value for Money

Dalam kaitan dengan penganggaran prinsip ini digunakan untuk menilai

apakah negara telah mendapatkan manfaat maksimal dari belanja yang dilakukan

serta pemanfaatan sumber daya yang dimiliki. Beberapa hal memang sulit untuk

diukur, tidak berwujud dan bersifat subyektif sehingga sering disalah artikan karena

itu dibutuhkan pertimbangan yang matang dalam menentukan apakah prinsip value

for money telah diterapkan dan dicapai dengan baik. Value for money tidak semata

mengukur biaya barang dan jasa melainkan juga memasukkan gabungan dari unsur

kualitas, biaya, sumber daya yang digunakan, ketepatan penggunaan, batasan waktu

dan kemudahan dalam menilai apakah secara bersamaan kesemua unsur tersebut

membentuk “value” (nilai) yang baik.

No Uraian Line Item Budgeting PerformanceBase Budgeting1 Sistem Anggaran Berimbang,inkremental Tidak harus berimbang,

incremental be rdasa rkan kinerja tahun sebelumnya

2 Struktur Anggaran Pendapatan dan Belanja Pendapatan,Belanja dan Pembiayaan

3 Belanja Rutin dan Pembangunan Unified budgeting (anggaran operasional dan anggaran modal

4 Pinjaman (loan) Bagian dari pendapatam Bagian d a r i s u m b e r pembiayaan

5 Tolok ukur kinerja(Performance measure)

Tidak dapat diterapkan Berfokus pada hasil, manfaat dan dampak

6 Pengorganisasian Cenderung terpusat Desentralisasi dan focus pada pelayanan publik

7 Laporan Laporan keuangan Laporan keuangan, laporan kinerja dan pelayanan

Page 15: riset paper ABK

8

Pencapaian value for money sering digambarkan dalam bentuk tiga E, yaitu:

1. Ekonomis, yaitu meminimalkan biaya sumber daya untuk suatu kegiatan

(mengerjakan sesuatu dengan biaya rendah);

2. Efisien, yaitu melaksanakan tugas dengan usaha yang optimal (melakukan

sesuatu dengan benar);

3. Efektif, yaitu sejauh mana sasaran dicapai (melakukan hal yang benar).

2.2.2. Prinsip Good Corporate Governance

Prinsip good corporate governance telah diadopsi oleh hampir semua

pemerintahan yang mengaku menjalakan administrasi publik yang modern.

Good governance antara lain dipahami sebagai suatu kondisi yang mempunyai

delapan karakteristik utama yaitu partisipasi, rule of law, transparansi, responsiveness,

consensus orientation, equity and inclusiveness, effectiveness and efficiency dan

accountability. Selanjutnya diyakini ke delapan karakteristik utama tersebut akan

mampu menjamin terciptanya pemerintahan yang bebas dari KKN, melindungi kaum

minoritas dan suara masyarakat didengar dalam rangka pengambilan keputusan.

Masing-masing prinsip utama tersebut selanjutnya secara ringkas dapat dijelaskan

sebagai berikut:

a. Participation, adanya partisipasi dari semua pihak, masyarakat luas termasuk

adanya jaminan kebebasan berserikat dan berekspresi dalam proses penganggaran

termasuk adanya pengawasan terhadap belanja publik oleh masyarakat luas;

b. Rule of law, dalam kaitan dengan sistem penganggaran prinsip ini merupakan

pusat dari proses penyusunan anggaran. APBN ditetapkan dengan Undang-

Undang begitu juga aturan-aturan pelaksanaan semua harus mengacu pada

Undang-undang.

Page 16: riset paper ABK

9

c. Transparency, prinsip ini berlaku di berbagai fungsi dan tanggungjawab

pengelolaan keuangan pemerintah, termasuk dalam proses perencanaan, kebijakan

keuangan, pencatatan, audit keuangan dan pelibatan masyarakat dalam kegiatan

pengelolaan keuangan.

d. Responsiveness, sistem penganggaran harus mampu menampung semua

kebutuhan publik dalam waktu yang masuk akal.

e. Consensus orientation, penganggaran harus mengakomodir segala kepentingan

yang ada pada masyarakat luas atau juga dikenal dengan istilah anggaran

partisipatif. Penganggaran partisipatif didasarkan pada pemikiran partisipasi

masyarakat yang intensif dalam proses pengambilan keputusan anggaran. Hal ini

juga terkait dengan perspektif jangka panjang dalam rangka terciptanya

pembangunan sumber daya manusia dan bagaimana mencapai tujuan

pembangunan.

f. Equity and inclusiveness, kesamaan dan pengikutsertaan jika diterapkan dalam

sistem penganggaran maka semua keputusan dalam bidang keuangan dibuat demi

kepentingan seluruh masyarakat bukan hanya sebagian golongan. Sehingga

seluruh masyarakat merasakan bagian dari kebijakan penganggaran dan tidak

merasa seolah-olah anggaran yang dibuat oleh pemerintah hanyalah untuk

kepentingan pemerintah.

g. Effectiveness and efficiency, anggaran berbasis kinerja merupakan cerminan

kedua prinsip tersebut. Efektivitas adalah melakukan hal yang benar dan efisiensi

adalah melakukan sesuatu dengan benar. Keputusan anggaran harus memilih hal-

hal yang benar untuk dibiayai oleh dana masyarakat dan mengelola pengeluaran

dana-dana dan sumber daya tersebut untuk memastikan bahwa hal tersebut

dilaksanakan dengan benar.

Page 17: riset paper ABK

10

h. Accountability, akuntabilitas merupakan inti dari proses anggaran. Akuntabilitas

m e m b u a t p e j a b a t y a n g m e n d a p a t t u g a s m e l a k s a n a k a n d a n

mempertangggungjawabkan anggaran harus dapat mengungkapkan bagaimana

dana masyarakat akan digunakan. Audit program dan keuangan akan dapat

menentukan apakah pejabat bersangkutan akuntabel dalam pelaksanaan anggaran

yang menjadi tanggungjawabnya.

2.3. Elemen-Elemen Penganggaran Berbasis Kinerja

Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja terdapat elemen-elemen

utama yang harus harus ditetapkan terlebih dahulu yaitu:

1. Visi dan Misi yang hendak dicapai. Visi mengacu kepada hal yang ingin

dicapai oleh pemerintah dalam jangka panjang sedangkan misi adalah

kerangka yang menggambarkan bagaimana visi akan dicapai.

2. Tujuan . Tujuan merupakan penjabaran lebih lanjut dari visi dan misi. Tujuan

tergambar dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional yang

menunjukkan tahapan-tahapan yang harus dilalui dalam rangka mencapai visi

dan misi yang telah ditetapkan. Tujuan harus menggambarkan arah yang jelas

serta tantangan yang realisitis. Tujuan yang baik bercirikan, antara lain

memberikan gambaran pelayanan utama yang akan disediakan, secara jelas

menggambarkan arah organisasi dan program-programnya, menantang namun

realistis, mengidentifikasikan obyek yang akan dilayani serta apa yang hendak

dicapai.

3. Sasaran. Sasaran menggambarkan langkah-langkah yang spesifik dan terukur

untuk mencapai tujuan. Sasaran akan membantu penyusun anggaran untuk

mencapai tujuan dengan menetapkan target tertentu dan terukur. Kriteria

Page 18: riset paper ABK

11

sasaran yang baik adalah dilakukan dengan menggunakan kriteria spesifik,

terukur, dapat dicapai, relevan, dan ada batasan waktu (specific, measurable,

achievable, relevant, timely/SMART) dan yang tidak kalah penting bahwa sasaran

tersebut harus mendukung tujuan (support goal).

4. Program. Program adalah sekumpulan kegiatan yang akan dilaksanakan

sebagai bagian dari usaha untuk mencapai serangkaian tujuan dan sasaran.

Program dibagi menjadi kegiatan dan harus disertai dengan target sasaran

output dan outcome. Program yang baik harus mempunyai keterkaitan dengan

tujuan dan sasaran serta masuk akal dan dapat dicapai.

5. Kegiatan. Kegiatan adalah serangkaian pelayanan yang mempunyai maksud

menghasilkan output dan hasil yang penting untuk pencapaian program.

Kegiatan yang baik kriterianya adalah harus dapat mendukung pencapaian

program.

Dalam menyusun anggaran berdasarkan kinerja, organisasi ataupun unit

organisasi tidak hanya diwajibkan menyusun anggaran atas dasar fungsi, program,

kegiatan, dan jenis belanja tetapi juga menetapkan kinerja yang ingin dicapai. Kinerja

tersebut antara lain dalam bentuk keluaran (output) dari kegiatan yang akan

dilaksanakan dan hasil (outcome) dari program yang telah ditetapkan. Apabila telah

ditetapkan prestasi (kinerja) yang hendak dicapai, baru kemudian dihitung

pendanaan yang dibutuhkan untuk menghasilkan keluaran atau hasil yang

ditargetkan sesuai rencana kinerja.

Rencana kerja Kementerian Negara/Lembaga ditetapkan berdasarkan

rencana strategis (renstra) yang telah disusun sebelumnya. Rencana strategis berisi

visi, misi, tujuan, kebijakan, program, dan kegiatan. Dalam rencana strategis juga

diperhitungkan hambatan-hambatan, baik dari dalam maupun dari luar yang akan

Page 19: riset paper ABK

12

dapat menghalangi pencapaian tujuan serta struktur dari organisasi yang disusun

untuk mendukung perencanaan strategis dimaksud. Dari rencana strategis selanjutnya

diturunkan/disusun Rencana Kerja Pemerintah (RKP) yang bersifat operasional dan

penjabaran lebih lanjut dari rencana RKP tersebut maka dapat ditentukan kinerja yang

harus dicapai oleh masing-masing unit organisasi.

Dalam rencana kerja dapat ditemukan beberapa informasi tambahan yang belum

terlihat dalam perencanaan strategis, seperti indikator hasil/indikator keluaran yang

diharapkan, perkiraan sumberdaya yang dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan,

serta penanggung jawab dan pelaksana program prioritas yang telah ditetapkan.

Program sebagai turunan dari rencana strategis adalah penjabaran kebijakan

Kementerian Negara/Lembaga dalam bentuk upaya yang berisi satu atau beberapa

kegiatan dengan menggunakan sumberdaya yang disediakan untuk mencapai hasil

yang terukur sesuai dengan misi Kementerian Negara/Lembaga.

Masing-masing Kementerian Negara/Lembaga harus menyusun dan menetapkan

program berdasarkan prioritas. Beberapa kriteria yang dapat membantu dalam

penentuan skala prioritas suatu program, antara lain adalah program yang

direncanakan untuk mendukung pencapaian platform presiden terpilih, program yang

mendukung pencapaian misi Kementerian Negara/Lembaga yang bersangkutan,

program yang cukup sensitif secara poli t is dan mendapat perhatian dari

masyarakat dan pengguna. Hal lain yang perlu mendapat perhatian adalah

pentingnya menyusun target sasaran program prioritas yang jelas agar dapat dinilai

kinerja pelaksanaannya.

Selanjutnya juga harus ditetapkan sumberdaya yang dibutuhkan untuk

melaksanakan suatu program dan kegiatan yang terdiri dari: (i) anggaran yang

dibutuhkan untuk melaksanakan kegiatan, (ii) tenaga kerja yang dibutuhkan, baik

Page 20: riset paper ABK

13

jumlah pegawai maupun jumlah jam kerja, (iii) aset pendukung seperti bangunan,

kendaraan dan aset-aset lainnya.

Suatu program diukur tingkat keberhasilannya atas pencapaian hasil

(outcomes) yang telah ditargetkan. Outcome merupakan sasaran pencapaian untuk

jangka menengah atau jangka panjang sebagai tanggung jawab politis dari

Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai pengguna anggaran. Sedangkan keberhasilan

suatu kegiatan diukur dari tingkat pencapaian kinerja berupa keluaran (output) yang

diproduksi baik berupa barang maupun jasa. Keluaran merupakan keseimbangan

antara komponen harga (anggaran), kuantitas, dan kualitas. Keberhasilan dari

kegiatan yang menghasilkan berbagai keluaran merupakan tanggung jawab dari

pimpinan satuan kerja sebagai tanggung jawab operasional.

Untuk penilaian keberhasilan suatu kinerja harus disusun indikator kinerja.

Dalam penetapan kinerja harus ditetapkan lebih dari satu indikator kinerja dengan

menekankan pada indikator kunci (key performance indicators) sehingga terhindar

dari indikator yang bersifat main-main atau asal-asalan. Penetapan indikator kinerja

umumnya terkait dengan kuantitas dan kualitas. Di samping itu dalam penyusunan

indikator harus jelas (clear), relevan (relevant) atau sejalan dengan pencapaian tujuan

organisasi, dapat tersedia dengan biaya yang ada (economic), mempunyai dasar yang

cukup untuk ditetapkan (adequate), dan dapat dimonitor keberhasilannya

(monitorable).

Dalam penetapan anggaran yang akan digunakan untuk mendukung suatu

kegiatan, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Pertama, dalam penerapan

penganggaran harus ditentukan metode perhitungan biaya untuk masing-masing unit

keluaran. Kedua, perlu memperhitungkan biaya bersama (common cost) yaitu biaya

yang diakibatkan oleh pemanfaatan fasilitas secara bersamaan untuk menghasilkan

Page 21: riset paper ABK

14

beberapa keluaran. Dengan demikian dibutuhkan suatu standar akuntansi biaya

untuk sektor pemerintahan dalam menentukan standar biaya dimaksud.

Untuk mendukung siklus pengelolaan kinerja yang baik diperlukan suatu

sistem informasi yang dapat mendukung penilaian dan pengelolaan kinerja

(performance management) secara keseluruhan. Ada beberapa metode yang dapat

digunakan untuk mendukung sistem informasi dimaksud, antara lain dengan:

a) penyusunan survey kepuasan pelanggan (client survey) yang ditujukan untuk

mengukur indikator kualitas yang telah ditetapkan.

b) pelaksanaan perbandingan (benchmarking) yang ditujukan untuk membandingkan

seluruh kinerja yang dicapai dengan pencapaian kinerja penyedia barang/jasa

tertentu. Dalam menyusun perbandingan ini perlu menetapkan lembaga

pembanding yang seimbang dan memiliki kompetensi. Perbandingan dilakukan

tidak hanya dengan lembaga lain, tetapi juga dengan target kinerja, pencapaian

tahun yang lalu, dan standar kinerja di sektor swasta.

c) penentuan peringkat pencapaian kinerja antar instansi pemerintah yang

menyediakan barang dan jasa sejenis. Dengan membuat peringkat ini,

masing-masing instansi pemerintah berusaha untuk mencapai kinerja sesuai

dengan standar rata-rata, sehingga diharapkan ada keinginan untuk terus

memperbaiki tingkat pelayanan kegiatan dimaksud.

2.4. Unsur-unsur Pendukung Anggaran Berbasis Kinerja

Dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja terdapat unsur-unsur yang

harus dipahami dengan baik oleh semua pihak yang terkait dengan pelaksanaan

anggaran berbasis kinerja. Unsur-unsur pokok yang harus dipahami tersebut adalah

Page 22: riset paper ABK

15

pengukuran kinerja, penghargaan dan hukuman, kontrak kinerja, kontrol eksternal dan

internal, akuntabilitas manajemen, serta prakondisi yang harus dipenuhi.

2.4.1. Pengukuran Kinerja

Pengukuran kinerja adalah suatu proses yang obyektif dan sistematis dalam

mengumpulkan, menganalisis dan menggunakan informasi untuk menentukan

seberapa efektif dan efisien pelayanan yang dilaksanakan oleh pemerintah mencapai

tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Konsekuensi Anggaran Berbasis Kinerja

yang menghubungkan perencanaan strategis (tertuang dalam program) dengan

penganggaran (tertuang dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan) untuk

mencapai tujuan strategis adalah harus menentukan program dan kegiatan dengan

jelas. Pembiayaan dari masing-masing program, kegiatan dan keluaran juga harus

tergambar dengan jelas. Struktur pembiayaan yang jelas akan muncul apabila sistem

akuntansi yang dipakai berdasarkan akrual.

Dalam rangka pengukuran kinerja yang baik diperlukan adanya sistem

informasi yang mampu menghasilkan informasi yang memadai untuk menilai

pencapaian kinerja dari masing-masing lembaga/unit kerja yang bertanggung jawab

atas suatu kegiatan. Tingkat informasi dasar yang harus dikembangkan meliputi:

a) Ekonomis, sejauh mana masukan yang ada digunakan dengan sebaik-baiknya;

b) Efisiensi, sejauh mana perbandingan antara tingkat keluaran suatu kegiatan

dengan masukan yang digunakan;

c) Efektivitas, sejauh mana keluaran yang dihasilkan mendukung pencapaian hasil

yang ditetapkan.

Informasi yang dihasilkan juga harus dapat membandingkan kinerja yang

direncanakan dengan pencapaiannya. Pengukuran kinerja dilaksanakan oleh

Page 23: riset paper ABK

16

masing-masing lembaga/unit kerja yang selanjutnya dikontrol mutunya serta

diverifikasi oleh instansi pusat serta lembaga audit. Agar tercapai penilaian yang

fair diperlukan peran dari pihak eksternal dalam mengukur kinerja secara lebih

independen. Pendekatan dalam mengukur kinerja akan bervariasi antar

lembaga/unit kerja, bergantung pada bentuk keluaran yang dihasilkan. Beberapa

teknik dan sumber informasi yang relevan yang digunakan antara lain:

a) Pengembangan biaya per unit: di mana kuantitas dan biaya dari keluaran

merupakan sesuatu yang menjadi pertimbangan;

b) Pembandingan (benchmarking) atas biaya dan standar pelayanan, baik itu antar

lembaga, antara wilayah, maupun antar negara;

c) Penentuan peringkat atas kinerja masing-masing lembaga:

d) Survey atas pengguna (client survey): dimana kualitas dan ketepatan waktu dari

pelayanan publik dinilai.

Pimpinan harus diyakinkan bahwa pengukuran kinerja merupakan suatu alat

yang sangat berguna untuk meningkatkan kinerja lembaga secara keseluruhan.

Dengan adanya pengukuran kinerja yang baik diharapkan terdapat peningkatan

keinginan dan kebutuhan untuk selalu memperbaiki kinerja lembaga, lebih

dari sekedar pengukuran secara formal dan pelaporan kinerja.

Pengukuran kinerja harus dilakukan secara efisien dan efektif dengan

membandingkan biaya dan manfaat atas sistem yang dibangun. Jadi harus

dipertimbangkan cost b e n e f i t dari sistem pengukuran kinerja yang akan

dikembangkan. Suatu sistem pengukuran kinerja sebaiknya hanya mengukur kinerja

yang strategis (key performance indicators), bukan menekankan tingkat komprehensif

dan birokratis atas kinerja yang disusun. (catatan: kinerja tidak diukur berdasarkan

Page 24: riset paper ABK

17

jumlah surat masuk/keluar jumlah laporan yang dibuat/jumlah surat yang ditandatangani)

karena pengkuran seperti ini dapat menyesatkan.

2.4.2. Ganjaran dan Hukuman (Reward and Punishment)

Pelaksanaan penganggaran berdasarkan kinerja sulit dicapai dengan

optimal tanpa ditunjang dengan penerapan insentif atas kinerja yang dicapai

dan hukuman atas kegagalannya. Penerapan insentif di sektor publik bukan hal yang

mudah untuk dilaksanakan karena penerapan sistem insentif perlu didukung oleh

mekanisme non keuangan, terutama keinginan dan kebutuhan atas pencapaian

kinerja. Hal ini dapat tumbuh misalnya jika ada aturan bahwa lembaga/unit kerja yang

mencapai kinerja dengan baik dapat memperoleh prioritas atas anggaran berikutnya

walaupun alokasi anggaran telah ditentukan oleh prioritas kebijakan dan program.

Hal lain yang bisa menjadi insentif bagi pencapaian kinerja adalah bertambahnya

fleksibilitas bagi pihak manajer dalam mengelola keuangan publik dan kepastian

atas pendanaan suatu program dan kegiatan.

Pendekatan lain dalam pemberian insentif adalah berdasarkan kapasitas yang

dimiliki oleh suatu lembaga dalam mencapai suatu target kinerja. Apabila suatu

lembaga dapat mencapai target yang ditetapkan, dapat diberikan keleluasaan

yang lebih dalam mengelola anggaran yang dialokasikan sesuai dengan kapasitas

yang dimiliki. Hal ini memungkinkan setiap lembaga untuk maju dan berkembang

secara konsisten dengan kapasitas yang mereka miliki.

Bentuk lain untuk peningkatan kinerja melalui insentif atau disinsentif yaitu

penerapan efisiensi (savings). Hal ini dapat dilakukan untuk program dan kegiatan

yang bersifat pelayanan publik. Alokasi anggaran untuk setiap program dan kegiatan

dikurangi dengan jumlah tertentu untuk saving dalam rangka meningkatkan efisiensi

Page 25: riset paper ABK

18

atas pelayanan yang diberikan. Selain itu dapat juga diterapkan penahanan atas

penerimaan yang diperoleh oleh suatu lembaga, hal ini dapat dilaksanakan dengan

suatu bentuk perjanjian antara lembaga pusat (central agency) dengan lembaga

bersangkutan dalam pembagian atas hasil yang diterima.

2.4.3. Kontrak atas Kinerja

Jika penganggaran berdasarkan kinerja telah dapat berkembang dengan baik,

kontrak atas kinerja dapat mulai diterapkan. Atas nama pemerintah, Departemen

Keuangan dapat melaksanakan kontrak atas pencapaian suatu kinerja dengan

kementerian negara/lembaga teknis lainnya, begitu juga antara menteri dengan unit

organisasi di bawahnya. Walaupun demikian, suatu sistem kontrak kinerja harus

didukung oleh definisi yang jelas terhadap pelayanan yang dikontrakkan dan

kewenangan yang ada bagi pihak kementerian negara/lembaga untuk mengelola sumber

daya yang ada. Kriteria tersebut dapat terlaksana apabila reformasi bidang pengelolaan

keuangan negara dapat menciptakan kondisi yang dapat meningkatkan keinginan dan

kebutuhan atas pencapaian kinerja.

2.4.4. Kontrol Eksternal dan Internal

Sistem kontrol eksternal terhadap penggunaan anggaran harus dilakukan oleh

badan di luar pengguna anggaran. Pengguna anggaran harus mendapat persetujuan

sebelum menggunakan anggaran mereka. Kontrol diarahkan pada kontrol input suatu

kegiatan, serta apa dan bagaimana pencapaian output. Untuk menciptakan kontrol yang

efektif harus memenuhi persyaratan:

(1) adanya pemisahan antara lembaga kontrol dan lembaga pengguna anggaran;

(2) kontrol dilakukan pada input dan output;

Page 26: riset paper ABK

19

(3) kontrol dilakukan sebelum dan sesudah anggaran digunakan.

2.4.5. Akuntabilitas Manajemen

Bila sistem penganggaran yang lama menekankan pada kontrol terhadap

input, maka di dalam sistem penganggaran berbasis kinerja difokuskan pada output.

Dalam sistem ini manajer pengguna anggaran memperoleh kewenangan penuh

dalam merencanakan dan mengelola anggaran mereka. Belum banyak negara

yang melaksanakan sistem ini. Negara yang telah menerapkan sistem ini adalah

Inggris, Australia, New Zealand, Swedia. Prinsip dasar di dalam sistem ini adalah

manajer pengguna anggaran harus diberi kebebasan penuh bila akuntabilitas atas

pencapaian output yang ingin dicapai. Agar akuntabilitas dapat diwujudkan, maka

sistem ini didesain mengandung dua karakteristik dasar. Pertama, kontrol dilakukan

pada output. Hal ini menyebabkan manajer bertanggung jawab terhadap output

baik volume, waktu pengerjaan maupun kualitasnya. Kedua, dengan adanya

kebebasan bagi manajer, maka manajer dapat melakukan dan mengekspresikan

profesionalitas mereka dengan optimal.

2.5. Prakondisi Anggaran Berbasis Kinerja Menurut Allen Schick

Dalam memutuskan bentuk kontrol dan besaran pelimpahan kewenangan

kepada pengguna anggaran, Allen Schick mengingatkan bahwa terdapat beberapa hal

yang harus dipertimbangkan dan dipenuhi (prakondisi) sebelum memberi kewenangan

sepenuhnya kepada pengguna anggaran. Menurut Allen Schick konsep tersebut tidak

bisa diterapkan secara sekaligus bila prakondisinya tidak memenuhi. Prakondisi ini

merupakan prasyarat untuk melakukan reformasi belanja negara secara komprehensif.

Page 27: riset paper ABK

20

Dalam working-paper-nya Allen Schick menyebutnya dengan istilah "the basics

right". Kondisi tersebut adalah:

a) Sebelum penganggaran berbasis kinerja diterapkan sebaiknya telah tercipta sebuah

lingkungan atau kondisi yang mendukung dan telah berorientasi pada kinerja.

b) Sebelum melakukan perubahan kepada kontrol terhadap output sebaiknya telah

terbentuk sistem kontrol terhadap input yang kuat.

c) Sebelum merubah sistem akuntansi menjadi sistem akrual, sebaiknya telah

berjalan sistem account for cash yang baik.

d) Sebelum merubah mekanisme kontrol menjadi sistem kontrol internal sebaiknya

telah terbentuk sistem eksternal kontrol yang baik dan untuk bergeser menjadi

mekanisme akuntabilitas manajerial (managerial accountability) diperlukan

sistem internal kontrol yang baik.

e) Telah beroperasinya sistem akuntansi yang handal sebelum diterapkannya sistem

keuangan yang terintegrasi (intregated financial management system).

f) Telah terbentuk sebuah mekanisme pengalokasian yang berorientasi pada output

sebelum difokuskan pada outcome.

g) Telah berjalannya mekanisme kontrak (formal contract) dengan baik di pasar

(perekonomian) sebelum diterapkannya mekanisme kontrak kinerja (performance

contracts).

h) Telah berjalannya sistem audit keuangan yang efektif sebelum audit kinerja

(performance audit) dilakukan.

i) Adanya budget negara yang realistis dan predictable sebelum menuntut para

manajer untuk bertindak efisien dan efektif dalam menggunakan anggarannya.

Page 28: riset paper ABK

21

Oleh karena itu, pemberian kewenangan kepada pengguna anggaran menurutnya

perlu dilakukan secara bertahap. Penerapan harus dimulai terlebih dahulu dari

kontrol eksternal, kontrol internal, baru kemudian bergeser pada akuntabilitas

manajemen. Perpindahan dari satu sistem ke sistem lainnya sebaiknya dilakukan jika

sebuah sistem telah berjalan dengan baik.

a) Kontrol eksternal diharapkan telah memberikan landasan peraturan yang kuat.

Disamping itu para manajer pengguna anggaran telah terbiasa mengikuti

peraturan tersebut.

b) Jika hal ini telah berjalan dengan baik maka kontrol internal dapat dilakukan.

Kontrol internal merupakan sistem transisi di antara kontrol eksternal dan

akuntabilitas manajemen. Pemerintah harus memiliki mekanisme kontrol

eksternal yang baik sebelum dialihkan pada kontrol internal.

c) Jika kedua sistem sebelumnya belum berjalan baik maka akuntabilitas manajemen

akan sulit untuk berjalan dengan baik.

Budaya masyarakat, utamanya adalah aparatur negara, untuk taat pada aturan

juga sangat penting dalam penerapan akuntabilitas manajemen ini. Tanpa adanya

faktor tersebut sistem ini akan menjadi riskan di tengah fleksibilitas manajer untuk

melakukan dan merumuskan aturan sendiri. Dari pengalaman empiris, salah satu

negara yang sukses menerapkan akuntabilitas manajemen dalam desentralisasi

kewenangan pengguna anggaran adalah New Zealand. Menurut Schick, terdapat dua

faktor sukses dari sistem ini di New Zealand yaitu adanya pasar yang kuat (robust

market sector) serta adanya aturan/kepastian yang jelas atas sebuah kontrak (enforcing

contracts).

Page 29: riset paper ABK

22

2.6. Keuntungan Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja

Penerapan anggaran berbasis kinerja akan memberikan manfaat dalam

pelaksanaan pengelolaan keuangan dalam rangka penyelenggaraan tugas

kepemerintahan, sebagai berikut:

a. Anggaran Berbasis Kinerja memungkinkan pengalokasian sumber daya yang

terbatas untuk membiayai kegiatan prioritas pemerintah sehingga tujuan

pemerintah dapat tercapai dengan efisien dan efektif. Dengan melihat anggaran

yang telah disusun dengan berdasarkan prinsip-prinsip berbasis kinerja akan

dengan mudah diketahui program-program yang diprioritaskan dan memudahkan

penerapannya dengan melihat jumlah alokasi anggaran pada masing-masing

program.

b. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja adalah hal penting untuk menuju

pelaksanaan kegiatan pemerintah yang transparan. Dengan anggaran yang jelas,

dan juga output yang jelas, serta adanya hubungan yang jelas antara pengeluaran

dan output yang hendak dicapai maka akan tercipta transparansi. Karena dengan

adanya kejelasan hubungan semua pihak terkait dan juga masyarakat dengan

mudah akan turut mengawasi kinerja pemerintah;

c. Penerapan Anggaran Berbasis Kinerja mengubah fokus pengeluaran pemerintah

keluar dari sistem line item menuju pendanaan program pemerintah dengan tujuan

khusus terkait dengan kebijakan prioritas pemerintah. Dengan penerapan

Anggaran Berbasis Kinerja maka setiap departemen dipaksa untuk fokus pada

tujuan pokok yang hendak dicapai dengan keberadaan departemen yang

bersangkutan. Selanjutnya penganggaran yang dialokasikan untuk masing-masing

departemen akan dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai.

Page 30: riset paper ABK

23

d. Organisasi pembuat kebijakan seperti kabinet dan parlemen, berada pada posisi

yang lebih baik untuk menentukan prioritas kegiatan pemerintah yang rasional

ketika pendekatan Anggaran Berbasis Kinerja. Parlemen dan lembaga perencana

serta departemen keuangan akan lebih mudah untuk menetapkan kebijakan,

menentukan alokasi anggaran untuk masing-masing departemen karena adanya

kejelasan dalam prioritas pembangunan, output yang hendak dicapai dan jumlah

penganggaran yang diusulkan dan dialokasikan oleh masing-masing departemen.

e. Meskipun terdapat perubahan kebijakan yang terbatas dalam jangka menengah,

kementerian tetap bisa lebih fokus kepada prioritas untuk mencapai tujuan

departemen meskipun hanya dengan sumber daya yang terbatas. Dengan

penetapan prioritas pekerjaan yang telah ditetapkan, pimpinan akan tetap fokus

untuk mencapai tujuan departemen yang dipimpin tidak perlu terganggu oleh

keterbatasan sumber daya.

f. Anggaran memungkinkan untuk peningkatan efisiensi administrasi. Dengan

adanya fokus anggaran pada output d a n outcome maka diharapkan tercipta

efisiensi dan efektivitas dalam pelaksanaan pekerjaan. Hal ini sangat jauh berbeda

apabila dibandingkan dengan ketika fokus penganggaran tertuju pada input.

Page 31: riset paper ABK

24

BAB III

PENGALAMAN NEGARA LAIN DALAM PERSIAPAN DAN

PELAKSANAAN SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

3.1. Perubahan Budaya Manajemen Dengan New Public Management

Reformasi menuju penganggaran yang berorientasi kepada hasil sudah menjadi

tren perkembangan di banyak negara sejalan dengan perkembangan budaya

pemerintahan yaitu budaya manajemen publik baru (the new public management) atau

mewirausahakan pemerintah (reinventing government) yang berorientasi kepada hasil,

pelayanan publik, dan akuntabilitas.

New Public Management merupakan sistem manajemen administrasi publik

yang paling aktual di seluruh dunia dan sedang direalisasikan di hampir seluruh

negara. Sistem ini dikembangkan di wilayah anglo Amerika sejak Tahun 1980-an dan

telah mencapai status sangat tinggi di Selandia Baru. Perusahaan-perusahaan umum

diprivatisasi, pasar tenaga umum dan swasta diregulasi, dan dilakukan pemisahan

yang jelas antara penetapan strategis wewenang negara oleh lembaga-lembaga politik

(apa yang dilakukan negara) dan pelaksanaan operasional wewenang oleh

administrasi (pemerintah) dan oleh penanggungjawab independen (swasta) terkait

baga imana wewenang t e r s e b u t dilaksanakan. Administrasi dan badan

penanggungjawab melaksanakan tugas yang diserahkan negara atas dasar perumusan

“order” secara kuantitatif dan kualitatif, lalu disepakatilah anggaran biaya untuk

pelaksanaan order tersebut.

Tujuan New Public Management adalah untuk mengubah administrasi yang

sedemikian rupa sehingga administasi publik sebagai penyedia jasa bagi masyarakat

harus sadar akan tugasnya untuk menghasilkan layanan yang efisien dan efektif,

Page 32: riset paper ABK

25

namun tidak berorientasi kepada laba. Beberapa negara seperti Swedia, Belanda,

Selandia Baru, Amerika Serikat, Britania Raya, Amerika Latin dan beberapa negara

lainnya beberapa tahun lalu merasa harus melakukn reformasi terhadap kinerja

administrasi publik di negara mereka.

Penyusunan administrasi negara yang efisien di negara-negara Amerika Latin

merupakan prasyarat bagi peningkatan demokratisasi, pengembangan ekonomi dan

pengalokasian dana secara adil. Dalam kaitan ini reformasi manajemen memiliki

peran yang sangat penting guna memperbaiki efisensi penyelenggaraan pemerintahan.

Sebelumnya, jawatan publik di Amerika Latin sebagian besar tidak memiliki

administrasi yang profesional. Akses terhadap jawatan publik dan juga praktik

kenaikan pangkat (promosi) sangat dipolitisasi dan biasanya tidak berdasarkan

prestasi kerja dan kualifikasi. Ini terjadi baik di tingkat pimpinan maupun pada

sebagian besar karyawan di dinas pemerintahan. Jabatan dalam pemerintahan selalu

menjadi wadah bagi yang berkuasa untuk menciptakan lapangan kerja bagi aktivis

partai. Oleh karena itu, sangat mungkin setelah dilakukan analisis terhadap kebutuhan

pegawai untuk layanan-layanan yang dihasilkan, angkanya jauh di bawah angka riil

daripada jumlah pegawai yang saat itu ada. Menghadapi hal tersebut hanya ada dua

opsi, yaitu mengurangi jumlah personil jabatan publik sesuai kebutuhan yang ada

yang berarti akan terjadi PHK masal di mana hal ini secara politis tidak akan berhasil,

atau memperbanyak cakupan layanan sehingga pegawai yang ada menjadi produktif,

yang berarti harus mengeluarkan biaya untuk meningkatkan pendidikan dan

peningkatan kualifikasi pegawai.

Hambatan dalam pelaksanaan new public management di Amerika Latin adalah

terlalu banyaknya regulasi yang tidak jelas dan pelaksanaan yang semena-mena.

Regulasi tersebut lebih bersifat mengatur daripada memberikan arahan untuk kegiatan

Page 33: riset paper ABK

26

layanan kepada masyarakat. Administrasi publik Amerika Latin cenderung mengatur

tata kehidupan warganya tapi tidak melayani masyarakat. Sedangkan New Public

Management menganggap segala bentuk kegiatan dalam administrasi publik yang

tidak memberikan kemanfaatan dan pelayanan terhadap masyarakat justru merupakan

tindakan pemborosan. Untuk itulah, dipandang sangat penting dan mendesak untuk

membenahi Amerika Latin dengan reformasi pemerintahan dengan memperbaiki

birokrasi untuk administrasi publik.

Langkah untuk menerapkan New Public Management bisa dilakukan dengan

syarat didukung oleh birokrat, politisi dan masyarakat. Adapun perangkat-perangkat

dari New Public Management adalah beberapa hal berikut ini.

3.1.1. Manajemen Kontrak

Yang dimaksud dengan manajemen kontrak adalah penyelenggaraan

administrasi melalui kesepakatan-kesepakatan tentang tujuan yang hendak dicapai.

Kesepakatan ini mencakup mulai dari tujuan yang hendak diraih sampai dengan

pengawasan terhadap proses pencapaian tujuan tersebut. Landasan manajemen

kontrak adalah kontrak atau perjanjian antara pihak politisi (Parlemen atau DPR)

dengan pihak yang akan memberikan layanan atau pemerintah sebagai pelaksana.

Kontrak ini menyangkut kesepakatan tujuan yang bersifat mengikat tentang jangka

waktu yang telah ditetapkan, yang mengandung unsur-unsur, yaitu ditetapkannya

produk atau kinerja yang harus dilakukan berdasarkan kuantitas dan kualitas serta

anggaran yang dibutuhkan. Si pemberi order menjelaskan produk yang diinginkan,

tetapi tidak menentukan bagaimana proses kerja tersebut dilakukan. Artinya,

bagaimana pihak pelaksana mengerjakan produk yang diinginkan oleh pemberi order

merupakan urusan mereka sendiri dengan diberikan kewenangan untuk menentukan

Page 34: riset paper ABK

27

sendiri cara untuk menghasilkan produk yang diminta. Unsur lainnya yang

mendukung berfungsinya manajemen kontrak adalah penerapan sistem pelaporan

yang menyediakan seluruh informasi mengenai pelaksanaan kinerja kepada pihak

pemberi order dengan mendokumentasikan kemajuan kinerja sedemikian rupa

sehingga di dalam pembahasan didukung oleh data-data kinerja untuk kepentingan

evaluasi.

3.1.2. Orientasi pada Hasil Kerja (Output)

Administrasi hanya dapat dikendalikan secara efisien apabila titik tolak di dalam

penyelenggaraannya berorientasi pada hasil (output) kerja. Namun sampai dengan

hari ini masih banyak negara yang pengendalian administrasi publiknya masih

dilakukan melalui input, artinya melalui penjatahan sumber daya secara sentral.

Rancangan anggaran belanja mengatur berapa banyak uang yang boleh dikeluarkan

oleh administrasi dan bagaimana mereka harus menggunakan uang itu, namun tidak

ada bagian penjelasan atau keterangan dalam anggaran itu yang menyatakan dengan

jelas kinerja atau produk apa yang akan dihasilkan dengan uang itu dan apa yang

benar-benar diharapkan pemerintah dari anggaran tersebut.

3.1.3. Controlling

Controlling diartikan sebagai satu konsep terpadu guna mengendalikan

administrasi secara efisien dan ekonomis dalam rangka mencapai tujuan yang telah

ditetapkan oleh politik. Untuk bisa berfungsi, pengawasan harus menyediakan

informasi yang dibutuhkan pada saat yang tepat dengan tujuan mengendalikan proses.

Controlling sebagai pendukung manajemen sangat tergantung pada, pertama,

kalkulasi biaya dan produk kerja, dimana penerapan kalkulasi biaya kerja ini

Page 35: riset paper ABK

28

merupakan beban yang berat dalam adminstrasi publik karena itu dibutuhkan

perombakan cara berpikir karena instrumen ini merupakan satu persyaratan untuk

mencapai efisiensi. Kalkulasi biaya administrasi memberikan data mengenai seberapa

jauh produksi yang hendak dilakukan dalam administrasi publik dan bidang apa saja

yang bisa diserahkan pada pihak swasta untuk dikerjakan, untuk dapat menekan biaya.

Kedua, adanya pelaporan. Keleluasaan yang muncul dengan adanya desentralisasi

dan pendelegasian wewenang harus dihubungkan oleh kewajiban membuat laporan

oleh pihak yang diberikan keleluasaan dan wewenang kepada si pemberi order

mengenai apa yang telah mereka lakukan dengan dana yang telah dipercayakan

kepada mereka dan apakah mereka telah mencapai tujuan dan standar mutu yang telah

ditetapkan sebelumnya. Ketiga adalah penganggaran. Penganggaran dalam konteks

new public management berangkat dari metode arus balik, di mana politik atau

parlemen menetapkan kerangka acuan bagi administrasi (pemerintah) untuk

menentukan anggarannya. Patokan anggaran yang ditetapkan secara top-down ini

diperbandingkan dengan anggaran departemen yang dibuat secara bottom-up dan

akhirnya baru dirundingkan suatu anggaran yang akan ditetapkan.

3.1.4. Orientasi pada Masyarakat/Pelanggan

Prinsip new public management menekankan bahwa “segala sesuatu yang tidak

bermanfaat bagi warga adalah pemborosan.” Kalimat ini mengandung makna bahwa

administrasi bukanlah tujuan akhir, mempunyai satu tugas yaitu memberikan layanan

kepada rakyat yang memang berhak mendapatkannya. Di beberapa negara pernah

dikembangkan apa yang disebut “citizen charta” (piagam warga) yang merangkum

hak-hak apa saja yang dimiliki warga sebagai warga pembayar pajak kepada negara.

Ini artinya, warga tidak dilihat sebagai abdi, melainkan sebagai pelanggan yang

Page 36: riset paper ABK

29

karena pajak yang dibayarkannya, mempunyai hak atas layanan dalam jumlah dan

kuantitas tertentu. Jadi, negara dilihat sebagai suatu perusahaan jasa modern yang

kadang-kadang bersaing dengan pihak swasta, tetapi di lain pihak, dalam bidang-

bidang tertentu memonopoli layanan jasa, dengan memberikan layanan dengan

kualitas maksimal sejalan dengan benchmarking dan administrasi-administrasi publik

lainnya. Tugas admistrasi (pemerintah) adalah menciptakan transparansi dan

tercapainya layanan, memberdayakan personil dalam melayani masyarakat, serta

menciptakan kondisi yang berorientasi pada pelayanan.

3.1.5. Personalia

Personalia merupakan faktor kunci bagi suksesnya sebuah proses modernisasi.

Modernisasi administrasi publik hanya akan berhasil apabila potensi sumber daya

manusia dimanfaatkan secara maksimal dan memperbaiki jika ada kekurangan.

Dalam proses modernisasi penting sekali melibatkan karyawan dengan menentukan

tujuan-tujuan yang jelas dan menunjukkan keuntungan apa saja yang mereka miliki

dengan tujuan yang jelas tersebut, meningkatkan kompetensi dan kualitas pegawai, di

mana proses untuk menjadi karyawan dalam kantor publik harus berdasarkan

kualifikasi dan reliabilitas.

3.1.6. Teknik Informasi

Prinsip-prinsip manajemen yang telah diuraikan di atas serta berbagai bentuk

pengendaliannya membutuhkan suatu sistem informasi yang sempurna.

Penggabungan informasi dan komunikasi yang cepat, pemadatan data untuk

pengendalian dan kemungkinan mengakses kumpulan data guna memenuhi keinginan

Page 37: riset paper ABK

30

pelanggan, membutuhkan jaringan alat pengolahan data sehingga pekerjaan bisa

dilakukan dengan cepat, akurat dan dapat dipercaya.

3.1.7. Manajemen Mutu

Manajemen mutu di sini adalah bahwa ‘administrasi’ melakukan segala sesuatu

dalam rangka mengorganisir proses-proses produksi, standar dan sumber daya

bersama para pegawai. Tujuannya adalah merespon kebutuhan pelanggan (dalam hal

ini adalah masyarakat).

3.2. Membangun Sistem Pemantauan dan Evaluasi

Untuk dapat memperbaiki kinerja, beberapa negara menciptakan sistem

pemantauan dan evaluasi untuk mengukur dan membantu mereka dalam memahami

kinerja mereka. Sistem pemantauan dan evaluasi digunakan untuk mengukur kuantitas,

kualitas dan penargetan barang dan jasa (outputs) yang disediakan negara dan

mengukur dampak dari output tersebut. Sistem ini juga membantu pemerintah

memahami sebab-sebab bagi kinerja yang baik dan kinerja yang buruk. Pemantauan

dan evaluasi dapat memberikan informasi tentang kinerja kebijakan, program dan

proyek pemerintah. Pemantauan dan evaluasi dapat mengidentifikasi apa yang dapat

berfungsi, apa yang tidak, dan mengapa. Pemantauan dan evaluasi juga menyediakan

informasi tentang kinerja pemerintah, kinerja masing-masing kementerian dan

lembaga pemerintah, serta kinerja manajer dan staf mereka.

3.2.1. Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi

Kontribusi Sistem Pemantauan dan Evaluasi untuk mewujudkan tata

pemerintahan yang baik adalah sebagai berikut:

Page 38: riset paper ABK

31

a. Untuk mendukung pembuatan kebijakan terutama pembuatan keputusan di bidang

anggaran, yaitu penyusunan anggaran berbasis kinerja dan perencanaan nasional.

Proses ini berfokus pada prioritas pemerintah di antara tuntutan-tuntutan warga

negara dan kelompok-kelpompok dalam masyarakat. Informasi pemantauan dn

evaluasi dapat mendukung pembahasan pemerintah dengan menyediakan bukti

menyangkut kegiatan pemerintah yang paling efektif dari segi biaya, seperti

berbagai macam program penyediaan lapangan kerja, intervensi di bidang

kesehatan atau bantuan tunai bersyarat.

b. Untuk membantu kementerian-kementerian pemerintah dalam mengembangkan

kebijakan dan analisis kebijakan serta pengembangan program.

c. Untuk membantu kementerian dan badan pemerintah dalam mengelola kegiatan-

kegiatan pada tingkat sektor, program dan proyek. Hal ini mencakup penyediaan

layanan pemerintah dan staf, di mana pemantauan dan evaluasi mengidentifikasi

penggunaan paling efisien atas sumber daya yang tersedia. Pemantauan dan

evaluasi dapat digunakan untuk mengidentifikasi kesulitan-kesulitan dalam

pelaksanaan. Indikator kinerja dapat digunakan untuk membuat perbandingan

biaya dan kinerja, pembuatan tolok ukur kinerja di tingkat satuan kerja, wilayah

dan distrik pemerintahan yang berbeda.

d. Untuk meningkatkan transparansi dan mendukung hubungan akuntabilitas dengan

memperlihatkan sejauhmana pemerintah telah mencapai sasaran-sasaran yang

diinginkan. Pemantauan dan evaluasi menyediakan bukti yang mendasar guna

menopang hubungan akuntabilitas, seperti hubungan akuntabilitas antara

pemerintah dengan parlemen atau kongres, dengan masyarakat sipil dan lembaga

donor.

Page 39: riset paper ABK

32

3.2.2. Pengalaman negara-negara terhadap Penggunaan Sistem Pemantauan

dan Evaluasi

Kebanyakan pemerintah yang tergabung dalam OECD memberikan penekanan

besar pada empat cara penggunaan informasi pemantauan dan evaluasi, yaitu

mendukung pembuatan kebijakan berbasis-bukti (khususnya penyusunan anggaran

berbasis-kinerja), pengembangan kebijakan, manajemen, dan akuntabilitas.

Pemerintah-pemerintah anggota OECD secara kolektif memiliki banyak sekali

pengalaman menyangkut topik ini, di mana ada pemahaman umum bahwa agar

pemerintah dapat memperbaiki kinerjanya sendiri, maka pemerintah perlu

memberikan perhatian lebih pada upaya untuk mengukur kinerjanya. Sekretariat

OECD dan pihak-pihak lainnya telah menerbitkan berbagai survei dan analisis atas

kerja negara-negara anggota untuk memperkuat orientasi kinerja mereka. Hal ini

mencakup tinjauan yang ekstensif atas praktik-praktik dan pelajaran-pelajaran dari

evaluasi pemerintah, baik menyangkut pembangunan kapasitas dan pemanfaatan

evaluasi serta tinjauan atas praktik-praktik dan pelajaran-pelajaran dari penyusunan

anggaran berbasis kinerja.

Kekeliruan pemahaman yang umum terjadi adalah bukti mengenai kinerja yang

buruk menyebabkan pengurangan atau penghapusan sama sekali sebuah program.

Meskipun hal ini mungkin saja terjadi pada kegiatan-kegiatan pemerintah yang

memiliki prioritas rendah, namun sering kali lebih banyak dana yang harus

dikucurkan untuk suatu program yang dinilai berkinerja buruk dalam rangka

memperbaiki program tersebut, setidaknya dalam jangka waktu dekat. Misalnya,

temuan evaluasi bahwa pengeluaran untuk pendidikan dasar atau rumah sakit umum

sangat tidak efisien, hendaknya tidak membawa pada kesimpulan bahwa program-

program itu harus dihapus karena program-program tersebut dipandang penting.

Page 40: riset paper ABK

33

Sebaliknya, penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kinerja

buruk dari program-program tersebut di mana hal ini harus diungkap melalui sebuah

evaluasi, dan harus segera ditangani.

3.2.2.1.Australia

Pada 1980-an pemerintah Australia menciptakan sistem evaluasi pemerintah

secara keseluruhan (whole-of-government evaluation system), yang dikelola oleh

Departemen Keuangan. Seluruh kementerian diharuskan mengevaluasi setiap program

mereka setiap tiga hingga lima tahun. Mereka juga diharuskan untuk mempersiapkan

rencana evaluasi portofolio (portfolio evaluation plans). Rencana tersebut

menguraikan secara terperinci evaluasi yang direncanakan untuk tiga tahun

berikutnya dan menunjukkan program-program yang akan dievaluasi, isu-isu yang

akan dibahas dalam setiap evaluasi, dan metode evaluasi yang akan digunakan.

Evaluasi tersebut dilakukan oleh kementerian lini, namun evaluasi itu ditinjau oleh

Departemen Keuangan dan departemen-departemen pusat lainnya. Sebagai hasilnya,

jumlah evaluasi yang dilakukan meningkat dengan pesat, dan hingga pertengahan

1990-an sekitar 160 evaluasi tengah dikerjakan. Penggunaan utama hasil-hasil

evaluasi tersebut adalah dalam proses anggaran tahunan. Setiap proposal pengeluaran

baru oleh kementerian lini harus secara jelas menerangkan sasaran dari proposal

tersebut dan harus menyajikan temuan-temuan evaluasi yang ada mengenai keadaan

sesungguhnya atau perkiraan kinerja dari kegiatan pemerintah. Serupa pula, opsi-opsi

penghematan, yakni usulan untuk memangkas pengeluaran pemerintah, yang

disiapkan baik oleh Departemen Keuangan maupun kementerian-kementerian lini,

diharuskan melaporkan setiap temuan evaluasi yang ada. Departemen Keuangan

memperkirakan bahwa pada Tahun 1994 sekitar 80 persen dari proposal pengeluaran

Page 41: riset paper ABK

34

baru didasarkan atas temuan-temuan evaluasi, biasanya hingga tingkat yang cukup

signifikan. Sekitar dua pertiga dari opsi-opsi penghematan juga didasarkan atas

temuan-temuan evaluasi. Para pejabat Departemen Keuangan, yang menghadiri

pertemuan kabinet dalam rangka membahas proposal-proposal anggaran tersebut,

menilai bahwa informasi hasil evaluasi tersebut sangat mempengaruhi pembuatan

keputusan anggaran oleh kabinet. Kantor Audit Nasional Australia menemukan

bahwa departemen-departemen lini juga menggunakan informasi ini secara intensif,

terutama untuk membantu mereka dalam meningkatkan efisiensi operasional.

3.2.2.2.Inggris

Pada 1998 pemerintah Inggris menciptakan sebuah sistem target kinerja, yang

terkandung dalam Kesepakatan Sektor Publik (Public Sector Agreements) antara

kantor Bendahara dan masing-masing dari 18 departemen utama. Di dalam

Kesepakatan Sektor Publik itu dituangkan tujuan keseluruhan departemen

bersangkutan, sasaran prioritas dan target-target utama kinerja. Kini ada 110 target

bagi pemerintah secara keseluruhan, dan target-target itu terutama difokuskan pada

area-area yang menjadi prioritas, yakni pendidikan, kesehatan, transportasi dan

pengadilan kriminal. Target-target itu terutama dinyatakan dalam kerangka hasil

(bukan keluaran) yang akan dicapai. Sebanyak dua kali dalam setahun departemen-

departemen melaporkan secara terbuka jumlah evaluasi, sebagai bahan masukan bagi

pembuatan keputusan anggaran. Prioritas pengeluaran, pagu pengeluaran dan target

kinerja terkait ditetapkan dalam suatu sistem peninjauan terhadap pengeluaran tiga

tahunan. Kantor Audit Nasional Inggris melaporkan bahwa departemen-departemen

juga mengggunakan informasi kinerja dari Kesepakatan Sektor Publik untuk

Page 42: riset paper ABK

35

kepentingan perencanaan internal dan akuntabilitas mereka; namun, informasi ini

kurang dimanfaatkan untuk kepentingan manajemen yang berkelanjutan.

3.2.2.3. Amerika Serikat

Pada 2002 pemerintah AS menciptakan Alat Pemeringkat Penilaian Program

(Program Assesment Rating Tool, PART), yang didasarkan pada upaya-upaya

terdahulu untuk mengukur kinerja pemerintah. Seluruh 1.000 program pemerintah

diberi peringkat dengan menggunakan metodologi PART, yang difokuskan pada

empat aspek kinerja program: (1) kejelasan sasaran dan rancangan program; (2)

kualitas perencanaan strategis dan jangkauan fokus pada target program; (3)

keefektifan manajemen program; dan (4) hasil-hasil aktual program yang dicapai.

Kriteria terakhir ini memiliki nilai bobot sebesar 50 persen dari pemeringkatan PART

bagi setiap program. Keempat kriteria di atas memberikan penekanan besar pada perlu

adanya bukti yang kuat mengenai kinerja program, yang didasarkan atas informasi

hasil pemantauan dan temuan temuan evaluasi.

Pemeringkatan disiapkan oleh Kantor Manajemen dan Anggaran (Office of

Management and Budget, OMB) yang merupakan departemen keuangan pada

pemerintah AS, bersama-sama dengan departemen-departemen dan badan-badan

pemerintah; namun, keputusan akhir pemeringkatan tersebut terletak di tangan OMB.

Pada tahun fiskal 2004, 44 persen program diberi peringkat “efektif” atau “cukup

efektif”; 24 persen program diberi peringkat “hasil yang tidak terbukti” karena

informasi Pemantauan & Evaluasi yang tidak memadai (angka ini turun tajam dari

tahun fiskal 2002, di mana 50 persen program diberi peringkat “hasil yang tidak

terbukti”). Pemeringkatan PART diharuskan untuk digunakan oleh departemen-

departemen ketika mereka mengajukan permintaan pendanaan anggaran tahunan

Page 43: riset paper ABK

36

kepada OMB. Permintaan tersebut harus menyoroti pemeringkatan PART, saran-

saran untuk perbaikan kinerja program, dan target kinerja. Pada gilirannya OMB juga

menggunakan pemeringkatan PART sebagai satu masukan ketika menyiapkan

permintaan pendanaan anggaran kepada Kongres. Selain itu, OMB juga menggunakan

pemeringkatan PART untuk menyetujui atau memberlakukan syarat-syarat perbaikan

kinerja pada departemen-departemen. Kantor Akuntabilitas Pemerintah (Government

Accountability Office, GAO) AS menyimpulkan bahwa PART telah membantu OMB

untuk menganalisis informasi tentang kinerja program sebagai bagian dari tugas

analisis anggarannya. PART juga telah merangsang minat departemen-departemen

terhadap informasi kinerja anggaran. Namun, GAO menyimpulkan bahwa pihak

Kongres terus menggunakan pendekatan tradisional dalam pembahasan anggaran,

dengan hanya sedikit memberi penekanan pada informasi evaluasi.

3.2.2.4. Chile

Pengembangan sistem pemantauan dan evaluasi di Chile dipengaruhi oleh

tekanan-tekanan fiskal dan kebutuhan membatasi pengeluaran pemerintah secara

keseluruhan. Pengaruh lainnya adalah perubahan lanskap akibat reformasi sektor

publik. Sistem ini memiliki 6 komponen utama. Komponen pertama yang telah

berlangsung lama adalah analisis biaya-manfaat terhadap seluruh proyek investasi.

Komponen ini pertama kali diperkenalkan pada 1974, dan menjadi tugas Kementerian

Perencanaan. Seluruh komponen lain sistem pemerintah dipusatkan di Kementerian

Keuangan. Chile memiliki Kementerian Keuangan yang berperngaruh dan mumpuni.

Kementerian ini memainkan peranan yang dominan dalam proses anggaran dan dalam

sistem pemantauan dan evaluasi. Kementerian ini jauh lebih berpengaruh daripada

kementerian-kementerian dan badan-badan tingkat sektor. Komponen kedua Chile

Page 44: riset paper ABK

37

adalah indikator kinerja, yang pertama kali dirintis pada 1994. Kementerian Keuangan

kini menghimpun sekitar 1.550 indikator kinerja untuk seluruh sektor. Komponen

ketiga, laporan manajemen komprehensif diperkenalkan pada 1996. Laporan ini

disiapkan setiap tahun oleh tiap-tiap kementerian dan badan, yang berisi laporan

tentang sasaran, pengeluaran dan kinerja mereka. Komponen keempat adalah evaluasi

terhadap program-program pemerintah, yang dimulai pada 1996. Evaluasi ini

mengikuti suatu format yang telah distandarkan dan berupa tinjauan cepat (rapid

reviews), yang meliputi analisis kerangka-kerja logis (logframe analysis) atas sebuah

program, tinjauan terhadap data sekunder (desk reivew), dan analisis terhadap data

yang sudah ada. Evaluasi dampak yang cermat (rigorous impact evaluation)

merupakan komponen yang kelima. Komponen ini diperkenalkan pada 2001, yang

mencakup pengumpulan dan analisis data primer yang biasanya didasarkan teknik-

teknik statistik yang canggih. Komponen keenam yang baru diperkenalkan pada 2002

adalah tinjauan pengeluaran yang bersifat menyeluruh (comprehensive spending

review). Tinjauan ini menganalisis seluruh program dalam wilayah fungsional tertentu

dan membahas isu seperti inefisiensi dan duplikasi program.

Di Chile Sistem Pemantauan & Evaluasi, yang merupakan tanggung jawab

Kementerian Keuangan, dikelola oleh divisi kendali manajemen kementerian tersebut.

Divisi ini bekerja sama erat dengan direktur anggaran, yang kepadanya divisi itu

melapor—dan yang memiliki kedudukan setara dengan kementerian serta merupakan

anggota Kabinet—dan juga dengan seksi-seksi anggaran yang bertanggung jawab

mengawasi keuangan dan kinerja seluruh kementerian sektor dan badan-badan

pemerintah. Indikasi-indikasi mengenai kinerja program yang buruk digunakan di

Chile sebagai satu pemicu untuk memberi pembenaran untuk dilakukannya

investigasi yang lebih mendalam terhadap sebab-sebab kinerja yang buruk itu, melalui

Page 45: riset paper ABK

38

sebuah evaluasi formal: baik melalui evaluasi cepat ataupun evaluasi dampak yang

canggih. Direktorat anggaran Kementerian Keuangan memainkan peranan penting

dalam mengidentifikasi program program pemerintah yang perlu dievaluasi. Dalam

menyiapkan agenda evaluasi ini, Kementerian Keuangan berupaya mengantisipasi

kebutuhan informasi untuk anggaran mendatang. Agenda ini juga dibahas bersama

dengan kementerian di bawah Presiden dan Kementerian Perencanaan—bahkan

ketiga kementerian utama ini menjadi anggota dari komite antarkementerian yang

mengawasi seluruh evaluasi—dan dengan Kongres. Namun, jelas bahwa pemain

utamanya adalah Kementerian Keuangan. Kepala-kepala seksi anggaran di

Kementerian Keuangan juga diharuskan memberikan komentar terperinci mengenai

laporan evaluasi terkait dengan lembaga-lembaga yang menjadi tanggung jawab

mereka untuk awasi, dan evaluasi itu kemudian dibahas bersama dengan

direktur anggaran Kementerian Keuangan. Keputusan mengenai alokasi anggaran

mungkin diambil pada tahap ini. Selama proses anggaran, direktur anggaran bertemu

dengan para staf dari divisi kendali manajemen dan seksi-seksi anggaran untuk

membahas proposal anggaran masing-masing lembaga dan kinerja keseluruhan

lembaga bersangkutan. Laporan ini membahas laporan manajemen komprehensif

yang harus disediakan oleh masing-masing lembaga1 Laporan itu mencakup sasaran

lembaga, informasi keuangan dan kinerja, temuan-temuan evaluasi, dan kemajuan

yang dicapai dibandingkan dengan target-target kinerja yang ditetapkan pada saat

periode anggaran sebelumnya. Informasi Pemantauan dan Evaluasi tersebut menjadi

suatu masukan penting bagi pembuatan keputusan anggaran, namun itu hanya

merupakan salah satu di antara masukan-masukan lainnya. Meskipun demikian

jarang sekali terdapat hubungan yang bersifat otomatis dan langsung antara kinerja

baik atau buruk sebuah lembaga dan alokasi anggaran. Karena itu, dalam sebagian

Page 46: riset paper ABK

39

kasus, kinerja buruk sebuah lembaga boleh jadi berakibat pada pengurangan anggaran,

atau penghentian sama sekali sebuah program. Namun, dalam sebagian kasus yang

lain, kinerja buruk sebuah program yang dianggap sebagai prioritas pemerintah dapat

saja mengharuskan peningkatan pembiayaan anggaran untuk jangka pendek guna

memperbaiki masalah-masalah yang telah diidentifikasi.

3.2.2.5.Kolumbia

Sistem Pemantauan dan Evaluasi pemerintah Kolumbia, SINERGIA, dikelola

oleh Departemen Perencanaan Nasional. Salah satu komponen utama sistem tersebut

adalah database informasi kinerja, yang berisi sekitar 500 indikator kinerja untuk

menelusuri kinerja pemerintah, dibandingkan dengan 320 tujuan yang ditetapkan oleh

presiden. Untuk tiap-tiap indikator kinerja, database yang tersedia untuk publik itu

merekam sasaran, strategi untuk mencapai sasaran tersebut, kinerja awal (baseline

performance), target tahunan, dan jumlah dana yang dibelanjakan oleh pemerintah.

Ketika target kinerja tidak tercapai, manajer yang bertanggung jawab untuk

memenuhi target ini diharuskan menyiapkan sebuah pernyataan yang menjelaskan

tentang mengapa target kinerja tersebut tidak tercapai. Presiden menggunakan

informasi ini dalam pertemuan kontrol manajemen setiap bulan dengan masing-

masing menteri dan dalam pertemuan mingguan di balai kota di kota-kota di seluruh

negara tersebut.

3.3. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja

Mayoritas pemerintah anggota OECD telah berupaya mengalihkan penekanan

penyusunan anggaran dan manajemen dari masukan (inputs) kepada fokus pada hasil

(results), diukur dalam bentuk keluaran (outputs) dan/atau hasil (outcomes).

Page 47: riset paper ABK

40

Sementara isi, tempo dan metode implementasi pembaruan ini bervariasi antarnegara

dan di sepanjang waktu, seluruh pembaruan itu memiliki fokus baru yang sama, yaitu

pada hasil yang dapat diukur. Di mayoritas negara anggota OECD, upaya-upaya

untuk menilai kinerja program dan kementerian kini dipandang sebagai bagian lazim

dari pemerintah. Negara-negara menempuh metode yang berbeda-beda untuk menilai

kinerja, termasuk dalam hal ukuran kinerja, evaluasi dan penolok-ukuran.

Penerapan penganggaran kinerja (Trisacti Wahyuni, 2006) dimulai dari

Australia dan New Zealand pada akhir tahun 1980-an, diikuti oleh Canada, Denmark,

Finlandia, Perancis, Belanda, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat pada awal sampai

pertengahan tahun 1990-an. Selanjutnya pada akhir tahun 1990-an sampai dengan

awal tahun 2000-an diterapkan di Austria, Jerman, dan Switzerland. Cara yang

digunakan dalam penganggaran kinerja di antara negara-negara tersebut ternyata

berbeda-beda. Amerika Serikat dan beberapa negara mengembangkan perencanaan

stratejik dan perencanaan kinerja yang berisi target-target kinerja. Negara lain seperti

Canada dan Inggris menggunakan kontrak kinerja (performance contract) antara

menteri dengan instansi di bawahnya. Dalam upaya mengaitkan kinerja dengan

anggaran, Australia mengintegrasikan data kinerja dalam dokumen utama

anggarannya. Perancis menyajikan informasi pemetaan kinerja dan keterkaitan

outcome dengan output sebagai lampiran dokumen utama anggaran. Sementara

Canada, Inggris, dan Amerika menggunakan dokumen kinerja yang terpisah dengan

dokumen anggaran.

Meskipun sebagian besar negara-negara tersebut telah memasukkan informasi

non keuangan dalam dokumen anggarannya, kenyataannya hanya sedikit yang benar-

benar melaksanakan anggaran kinerja dalam arti mengaitkan pengeluaran dengan

hasil, melaporkan kinerja atas target-target tersebut dan menggunakan informasi

Page 48: riset paper ABK

41

kinerja untuk pengambilan keputusan alokasi anggaran pada masa mendatang, seperti

Australia dan New Zealand. Beberapa negara masih menghadapi kendala dalam

mengintegrasikan kinerja dalam dokumen anggaran, seperti Canada, Inggris, dan

Amerika. Perubahan menuju penganggaran kinerja memang merupakan proses yang

kompleks karena berkaitan dengan perubahan yang fundamental baik dalam sistem,

manajemen maupun perilaku manusianya. Selain itu, penganggaran kinerja

membutuhkan dukungan sistem manajemen kinerja, sistem akuntansi pemerintahan,

dan perhitungan biaya.

Penyusunan anggaran berbasis-kinerja melibatkan pemanfaatan informasi

pemantauan dan temuan-temuan evaluasi. Ada tiga pendekatan utama untuk

penyusunan anggaran berbasis-kinerja. Pertama adalah yang dikenal sebagai

penyusunan anggaran berbasis kinerja yang be r s i f a t l angsung (direct

performance budgeting). Dalam pendekatan ini terdapat hubungan yang bersifat

langsung, dan sering kali didasarkan atas suatu formula, sehingga alokasi anggaran

untuk sebuah program didasarkan atas kinerja program tersebut yang diukur dari hasil

yang dicapainya (yakni, keluaran [outputs] atau hasil [outcomes]). Contohnya adalah

pendanaan universitas yang didasarkan atas jumlah lulusan dari setiap bidang

keilmuan, seperti kedokteran atau kesenian.

Pendekatan kedua adalah penyusunan anggaran berbasis-kinerja yang bersifat

tidak langsung (indirect performance budgeting). Ini merupakan bentuk umum dari

penyusunan anggaran berbasis-kinerja. Informasi pemantauan dan temuan-temuan

evaluasi tentang hasil-hasil program menjadi masukan, tetapi hanya merupakan salah

satu masukan, bagi keputusan alokasi anggaran bagi sebuah program. Informasi

lainnya, serta prioritas kebijakan pemerintah (termasuk pertimbangan menyangkut

keadilan), juga memengaruhi alokasi anggaran.

Page 49: riset paper ABK

42

Pendekatan ketiga adalah penyusunan anggaran berbasis-kinerja yang bersifat

penyajian (presentational performance budgeting) . Pemerintah menggunakan

informasi pemantauan dan temuan-temuan evaluasi untuk melaporkan kinerja aktual

(pada masa lalu) atau kinerja yang diharapkan (pada masa mendatang) dalam

dokumen anggaran yang dikirimkan kepada Parlemen atau Kongres. Informasi ini

mungkin saja tidak berpengaruh pada pembuatan keputusan menyangkut anggaran

dan merupakan bentuk paling lemah dari penyusunan anggaran berbasis kinerja.

3.3.1. Australia

Pada 1983 pemerintah berhaluan reformis terpilih di Australia. Saat itu

pemerintah menghadapi situasi makroekonomi yang sulit. Sebagai respons terhadap

situasi tersebut, pemerintah mengurangi total pengeluaran pemerintah, dari 30 persen

dari PDB pada 1983 menjadi 23 persen dari PDB pada 1989, suatu pengurangan yang

signifikan menurut ukuran internasional. Pada saat yang sama, pemerintah

menargetkan pengeluarannya secara lebih ketat untuk kelompok masyarakat yang

paling kurang diuntungkan. Pemerintah terlihat jelas berupaya mencapai nilai uang

yang lebih besar dari pengeluaran pemerintah, dan dengan tujuan itu pemerintah

merintis serangkaian program reformasi sektor publik yang inovatif, khususnya di

bidang manajemen keuangan dan reformasi anggaran. Secara keseluruhan, berbagai

reformasi tersebut menempatkan Australia di barisan terdepan negara-negara OECD

dari segi manajemen sektor publik. Berbagai reformasi tersebut memberikan otonomi

yang lebih besar bagi kepala-kepala departemen lini untuk mengelola penggunaan

anggaran mereka secara tepat di bawah filosofi “biarkan para manajer mengelola”.

Meskipun pada mulanya diharapkan bahwa berbagai reformasi itu akan mendorong

departemen-departemen untuk mengelola secara ketat dan mengukur kinerja mereka,

Page 50: riset paper ABK

43

namun harapan itu tidak terwujud. Karena itu, dengan dukungan departemen-

depa r t emen u tama l a innya , Depar t emen K euangan yang berpengaruh

mengembangkan suatu strategi evaluasi pemerintah secara keseluruhan (a whole-of-

government evaluation strategy). Strategi ini memperoleh dukungan kuat kabinet

melalui suatu keputusan formal kabinet. Strategi ini mengikuti filosofi “membiarkan

para manajer mengelola”.

Negara yang terbilang paling maju dalam penganggaran kinerja adalah Australia

(Trisacti Wahyuni, 2006), karena telah mengintegrasikan sistem akuntansi dengan

sistem penganggarannya dan merestuktrukrisasi keduanya dengan berorientasi kepada

outcome. Dalam merencanakan kinerjanya, Australia mengembangkan outcomes-

outputs approach di mana pemerintah menetapkan pr ior i tas dan platform

kebijakannya, yang selanjutnya menjadi rujukan bagi menteri untuk merumuskan

outcome dan bagi unit kerja di bawahnya mengembangkan output untuk mendukung

outcome tersebut. Banyak unit kerja yang menggunakan pendekatan balance

scorecard dalam merumuskan outcome/output-nya. Agar tercapai keselarasan

kebijakan dengan outcome/output yang akan dihasilkan, penyusunan Government

Outcome Statement dan Agency Output dilakukan dengan konsultasi secara ekstensif

dengan berbagai pihak terkait, seperti stakeholders dan grup pelanggan. Keterkaitan

output u n i t k e r j a d e n g a n outcome menteri tergambar dengan jelas dan

terpetakan/terstruktur dengan baik dengan indikator yang spesifik dan terukur.

Pembahasan anggaran di parlemen dilakukan dengan mempertimbangkan kinerja

yang ditargetkan. Apropriasi anggaran didasarkan pada outcome yang dihasilkan.

Dalam dokumen anggarannya (Portfolio Budget Statement) tergambar secara jelas

alokasi anggaran per outcome dan output. Informasi mengenai kinerja berupa definisi

indikator, target, serta cara mengukur kinerja outcome dan output diuraikan secara

Page 51: riset paper ABK

44

lengkap dalam dokumen anggaran tersebut. Outcome diukur dengan menggunakan

ukuran efektivitas, yaitu dengan melihat seberapa jauh program yang dilakukan dapat

mencapa i sasa ran da lam a r t i memenuh i harapan/memuaskan kepentingan

masyarakat/stakeholders. Sedangkan output diukur dari tiga hal, yaitu kuantitas,

kualitas, dan harganya.

Sebagai ilustrasi, Australian National Audit Office (ANAO) memiliki dua

outcome yaitu (1) memperbaiki administrasi publik dan (2) memberikan assurance

atas laporan keuangan, pengendalian dan akuntabilitas sektor publik. Outcome

tersebut diukur dengan menilai seberapa besar pengakuan parlemen atas nilai

kontribusi ANAO, pengakuan entitas sektor publik atas nilai tambah yang diberikan

oleh produk dan jasa ANAO serta tingkat kepuasan atas kualitas, ketepatan waktu dan

cakupan produk dan jasa ANAO. Capaian kinerja tersebut diukur melalui analisis atas

sejumlah pertanyaan (survai) yang dilakukan terhadap parlemen maupun klien

auditnya. Sedangkan, untuk mengukur output, misalnya untuk kegiatan jasa audit

tidak sekedar diukur dengan berapa jumlah opini audit yang diterbitkan, namun juga

diukur kualitas (ketepatan waktu dan kesesuaian dengan standar audit) dan harganya.

Setelah tahun anggaran berakhir, dibuat annual report yang selain melaporkan

realisasi penggunaan anggaran per outcome dan output, juga melaporkan realisasi

capaian kinerja per outcome atau output tersebut. Secara periodik dilakukan reviu atas

struktur outcome-output khususnya apabila terjadi perubahan pemerintahan, ada

kebijakan baru atau perubahan kondisi ekonomi. Selain itu, juga dilakukan pricing

review dengan metode activity based costing, market testing dan benchmarking untuk

memastikan bahwa harga produk atau jasa yang dilakukan instansi pemerintah adalah

harga yang kompetitif.

Page 52: riset paper ABK

45

Departemen Keuangan memainkan peran yang sangat berpengaruh dalam proses

penyusunan anggaran di Australia. Departemen Keuangan menyiapkan analisis

kebijakan terhadap seluruh proposal pengeluaran yang diajukan oleh kementerian

kementerian sektor, dan berbagai analisis tersebut menyertai proposal-porposal

pengeluaran yang dikirimkan ke menteri-menteri kabinet sebagai bahan pertimbangan

bersama ketika membuat keputusan-keputusan menyangkut anggaran. Dengan

demikian Departemen Keuangan memberikan suatu analisis kebijakan yang

independen, yang biasanya merupakan kontra-pandangan terhadap pandangan

kementerian yang mengajukan proposal pengeluaran. Kerja seksi anggaran

Departemen Keuangan juga termasuk menyiapkan “opsi-opsi penghematan”: usulan

kebijakan untuk memangkas atau menghapus program-program pemerintah yang ada.

Proses penyusunan anggaran melibatkan semacam “pasar untuk menjajakan ide-ide”

(marketplace of ideas). Dalam situasi yang pada dasarnya diwarnai oleh persaingan

tersebut, memiliki temuan-temuan evaluasi mengenai kinerja program merupakan alat

penting untuk memastikan landasan bukti yang dapat diandalkan untuk membuat

keputusan-keputusan menyangkut anggaran. Evaluasi memiliki potensi untuk

memberikan keuntungan kompetitif bagi pihak-pihak yang menjadikan evaluasi

sebagai sandaran. Dengan demikian, seksi anggaran Departemen Keuangan perlu

terlibat sepenuhnya dalam perencanaan evaluasi yang dilakukan kementerian-

kementerian dan dalam pelaksanaan evaluasi-evaluasi besar. Hal ini guna memastikan

bahwa para pejabat bidang anggaran di Departemen Keuangan mengenal dengan baik

kualitas dan keterbatasan-keterbatasan evaluasi, menyadari sepenuhnya temuan-

temuan evaluasi dan rekomendasi-rekomendasi, dan dengan demikian mampu

menggunakan mereka dalam tugas analisis kebijakan mereka. Keterlibatan pejabat-

pejabat itu dalam evaluasi juga akan meningkatkan pengetahuan mereka tentang

Page 53: riset paper ABK

46

tujuan program dan realitas lingkungan pelaksanaan program karena pemahaman ini

penting bagi kerja mereka.

3.3.2. Inggris

Penerapan sistem manajemen yang berorientasi pada hasil pada sektor publik di

Inggris di mulai sejak Tahun 1980-an yang menitikberatkan pada kampanye efisiensi

besar-besaran pada pengeluaran publik dengan cara melakukan pengaturan terhadap

sektor publik. Perhatian difokuskan pada menjamin tercapainya penghargaan terhadap

uang dengan menghasilkan kinerja yang tinggi dalam layanan publik. Kemudian

dilakukan perubahan yang semula fokus terhadap input dan proses menjadi fokus

kepada output dan selanjutnya outcome. Pemerintah Inggris mengkaitkan secara

eksplisit antara sumber daya dengan komitmen departemen dalam rangka pencapaian

target kinerja yang spesifik dan terukur. Pada Tahun 1998, Inggris memperkenalkan

Comprehensif Spending Review sebagai dokumen anggaran dan Public Service

Agreement yang merupakan dokumen kinerja, dengan harapan dapat menciptakan

proses penganggaran yang berorientasi pada multi kebijakan dan multi tahun. Selain

itu, Inggris juga melakukan perubahan dengan penerapan sistem akrual dalam

akuntansi dan penganggarannya. Hal ini ditujukan untuk mendorong pengelolaan

yang lebih efisien dan untuk tujuan akuntabilitas departemen terhadap parlemen.

Selanjutnya Inggris mengubah sistem pengelolaan sumber dayanya dengan anggaran

pengeluaran berbasis akrual menggantikan anggaran pengeluaran berbasis kas.

Page 54: riset paper ABK

47

BAB IV

IMPLEMENTASI SISTEM PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA

DI INDONESIA

4.1. Persiapan Penganggaran Berbasis Kinerja

4.1.1. Penuangan dalam Peraturan Perundangan sebagai Landasan Hukum

Dalam rangka penerapan Anggaran Berbasis Kinerja di Indonesia yang pertama

kali dilakukan adalah memberikan landasan hukum bagi pelaksanaan ABK di

Indonesia, yaitu paket peraturan yang terkait dengan Sistem Perencanaan

Pembangunan Nasional berikut ini.

NO PASAL ISI DAN PENJELASANUU NOMOR 25 TAHUN 2004 TENTANG SISTEM PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL1 Pasal 2 (4) Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional bertujuan untuk:

a. mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan;b. menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi

baik antardaerah, antarruang,antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah;

c. menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan,dan pengawasan;

d. mengoptimalkan partisipasi masyarakat; dane. menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara

efisien, efektif, berkeadilan, danberkelanjutan.

2 Pasal 3 (1) Perencanaan Pembangunan Nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) menghasilkan:

a. rencana pembangunan jangka panjang;b. rencana pembangunan jangka menengah; danc. rencana pernbangunan tahunan.

3 Pasal 4(1) RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan

dibentuknya pernerintahan Negara Indonesia yang tercanturn dalarn Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi, misi, dan arah pernbangunan Nasional.

(2) RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi, dan

Page 55: riset paper ABK

48

program Presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang memuat strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

(3) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, mernuat prioritas pembangunan, rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga, lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif

4 Pasal 14 (1) Menteri menyiapkan rancangan awal RPJM Nasional sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program Presiden ke dalam strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program prioritas Presiden, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal.

UU 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara1. Pasal 3 (1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan

perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

(2) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi.

2. Pasal 14 (1) Dalam rangka penyusunan RAPBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang menyusun RKAKL tahun berikutnya.

(2) RKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapai.

(3) RKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang disusun.

(4) RKA sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBN.

(5) Hasil pembahasan RKA disampaikan kepada menteri keuangan sebagai bahan penyusunan RUU tentang APBN tahun berikutnya.

Kegiatan:- Kementerian/Lembaga menyusun RKAKL tahun berikutnya

berdasarkan prestasi kerja dan disertai prakiraan belanja untuk tahun berikutnya;

- Pembahasan RKAKL dengan DPR dalam pembahasan pendahuluan RAPBN.

Page 56: riset paper ABK

49

7. Pasal 15 (5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.

PP 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah1. Pasal 2 (1) RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat

rancangan kerangka ekonomi makro yang termasuk didalamnya arah kebijakan fiskal dan moneter, prioritas pembangunan, rencana kerja dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

(2) Penyusunan rencana kerja dan pendanaannya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), menggunakan renja KL dan rancangan RKPD provinsi, kabupaten, dan kota sebagai bahan masukan.

2. Pasal 3 (1) Renja Kementerian/Lembaga disusun dengan berpedoman pada Renstra KL dan mengacu pada prioritas pembangunan nasional dan pagu indikatif serta memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah maupun yang ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat.

(2) Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), disusun dengan berbasis kinerja, kerangka pengeluaran jangka menengah, dan penganggaran terpadu.

(3) Program sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), terdiri dari kegiatan yang berupa :a. Kerangka regulasi yang bertujuan untuk memfasilitasi,

mendorong, maupun mengatur kegiatan pembangunan yang dilaksanakan sendiri oleh masyarakat, dan/atau

b. Kerangka pelayanan umum dan investasi pemerintah yang bertujuan untuk menyediakan barang dan jasa publik yang diperlukan masyarakat

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pendekatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), diatur tersendiri dalam PP mengenai penyusunan RKAKL.

3. Pasal 4 (1) Kementerian/Lembaga yang fungsinya mengatur dan/atau melaksanakan pelayanan langsung kepada masyarakat, menyusun standar pelayanan minimum berkoordinasi dengan kementerian perencanaan, kementerian keuangan, dan Kementerian/Lembaga terkait.

(2) Standar pelayanan minimum sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), digunakan sebagai bahan masukan dalam menyusun RKP.

4. Pasal 8 (1) Hasil program-program pembangunan harus secara sinergis mendukung pencapaian sasaran pembangunan nasional yang ditetapkan dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional.

(2) Keluaran dari masing-masing kegiatan dalam satu program harus secara sinergis mendukung pencapaian hasil yang diharapkan dari program yang bersangkutan

5. Pasal 9 (1) Menteri/pimpinan lembaga bertanggung jawab dari segi kebijakan atas pencapaian kinerja kementerian negara/lembaga.

(2) Kepala satuan kerja sebagai kuasa pengguna anggaran bertanggung jawab atas pencapaian kinerja berupa barang dan atas jasa dari kegiatan yang dilaksanakan satuan kerja yang bersangkutan.

Page 57: riset paper ABK

50

(3) Kementerian/Lembaga membuat laporan kinerja triwulanan dan tahunan atas pelaksanaan rencana kerja dan anggaran yang berisi uraian tentang keluaran kegiatan dan indikator kinerja masing-masing program.

(4) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) disampaikan kepada Kementerian Keuangan dan Kementerian Perencanaan paling lambat 14 hari setelah berakhirnya triwulan yang bersangkutan.

(5) Laporan kinerja menjadi masukan dan bahan pertimbangan bagi analisis dan evaluasi usulan anggaran tahun berikutnya yang diajukan oleh Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

6. Pasal 10 (1) Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja program paling sedikit 1 kali dalam 5 tahun berdasarkan sasaran dan atau standar kinerja yang telah ditetapkan.

(2) Perubahan terhadap program Kementerian/Lembaga didasarkan atas usulan menteri/pimpinan lembaga setelah dilakukan evaluasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan harus mendapat persetujuan dari Menteri Perencanaan setelah berkoordinasi dengan Menteri Keuangan.

PP 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL)2. Pasal 3 (1) RKA-KL terdiri dari rencana kerja Kementerian/Lembaga dan

anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut.

(2) Di dalam rencana kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan, kegiatan, keluaran yang diharapkan.

(3) Di dalam anggaran yang diperlukan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan Kementerian/Lembaga yang bersangkutan.

(4) RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan Kementerian/Lembagatermasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas pembantuan.

3. Pasal 4 RKA-KL disusun dengan menggunakan pendekatan sebagai berikut :a. Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (KPJM)b. Penganggaran terpadu.c. Penganggaran berbasis kinerja.

6. Pasal 7 (1) Penyusunan anggaran berbasis kinerja dilakukan dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran tersebut.

(2) Dalam penyusunan anggaran berbasis kinerja diperlukan indikator kinerja, standar biaya, dan evaluasi kinerja dari setiap program dan jenis kegiatan.

(3) Tingkat kegiatan yang direncanakan dan standar biaya yang ditetapkan pada permulaan siklus tahunan penyusunan anggaran

Page 58: riset paper ABK

51

menjadi dasar untuk menentukan anggaran untuk tahun anggaran yang direncanakan dan prakiraan maju bagi program yang bersangkutan.

(4) Menteri Keuangan menetapkan standar biaya, baik yang bersifat umum maupun yang bersifat khusus bagi pemerintah pusat setelah berkoordinasi dengan Kementerian/Lembaga terkait.

7. Pasal 8 (1) Dalam rangka penerapan anggaran berbasis kinerja, Kementerian/Lembaga melaksanakan pengukuran kinerja.

(2) Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja kegiatan satuan kerja Kementerian/Lembaga setiap tahun berdasarkan sasaran dan/atau standar kinerja kegiatan yang telah ditetapkan sebagai umpan balik bagi penyusunan RKA-KL tahun berikutnya.

(3) Kementerian/Lembaga melakukan evaluasi kinerja program sekurang-kurangnya sekali dalam 5 tahun berdasarkan sasaran dan/atau standar kinerja yang telah ditetapkan.

Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah1. Instruksi

KeduaPada tanggal 30 September 1999, setiap instansi pemerintahsampai tingkat eselon II telah mempunyai PerencanaanStrategis tentang program-program utama yang akan dicapaiselama 1 (satu) sampai dengan 5 (lima) tahunan.

2. InstruksiKetiga

Perencanaan sebagaimana dimaksud dalam Diktum KEDUAmencakup:1. Uraian tentang visi, misi, strategi, dan faktot-faktor kunci

keberhasilan organisasi;2. Uraian tentang tujuan, sasaran, dan aktivitas organisasi;3. Uraian tentang cara mencapai tujuan dan sasaran

tersebut.

3. IntruksiKeempat

Pada setiap akhir tahun anggaran, mulai Tahun Anggaran2000/2001, setiap instansi menyampaikan laporanakuntabilitas kinerja instansi pemerintah kepada Presiden dansalinannya kepada Kepala Badan Pengawasan danPembangunan dengan menggunakan pedoman penyusunansistem akuntabilitas kinerja.

Lampiran Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah1. Poin II

Nomor 5Pelaksanaan penyusunan Sistem Akuntabilitas Kinerja InstansiPemerintah dilakukan dengan:a. mempersiapkan dan menyusun perencanaan strategis;b. merumuskan visi, misi, faktor-faktor kunci keberhasilan,

tujuan, sasaran, dan strategi instansi pemerintah;c. merumuskan indikator kinerja instansi pemerintah dengan

berpedoman pada kegiatan yang dominan, menjadi isu nasional, dan vital bagi pencapaian visi dan misi instansi pemerintah;

d. memantau dan mengamati pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dengan seksama;e. mengukur pencapaian kinerja dengan:

Page 59: riset paper ABK

52

1. perbandingan kinerja aktual dengan rencana atau target;2. perbandingan kinerja aktual dengan tahun-tahun sebelumnya;3. perbandingan kinerja aktual dengan kinerja di negara-

negara lain, atau dengan strandar internasional.f. melakukan evaluasi kinerja dengan:

1. menganalisis hasil pengukuran kinerja;2. menginterpretasikan data yang diperoleh;3. membuat pembobotan (rating) keberhasilan pencapaian

program;4. membandingkan pencapaian program dengan visi dan misi instansi pemerintah.

Poin II Nomor 6

Alat untuk melaksanakan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah adalah Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah.

Poin II Nomor 7

Mekanisme pelaksanaan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah sebagai berikut:a. Setiap pemimpin Departemen/Lembaga Pemerintah Non

Departemen, Pemerintah Daerah, Satuan Kerja atau Unit Kerja didalamnya wajib membuat laporan akuntabilitas kinerja instansi pemerintah secara berjenjang serta berkala untuk disampaikan kepada atasannya;

b. Laporan akuntabilitas kinerja tahunan dari tiapDepartemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen, masing-masing Menteri/pemimpin Lembaga Pemerintah Non Departemen menyampaikannya kepada Presiden dan Wakil Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Koordinator Bidang Pengawasan Pembangunan dan Pendayagunaan aparatur Negara serta Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan;

c. Laporan akuntabilitas kinerja tahunan dari setiap Daerah Tingkat I disampaikan kepada Presiden/Wakil Presiden dengan tembusan kepada Menteri Dalam Negeri dan Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan ;

d. Laporan akuntabilitas kinerja tahunan dari setiap daerah Tingkat II disampaikan kepada Gubernur/Kepala daerah yang

terkait dengan tembusan kepada Kepala Perwakilan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan.

PP 8/2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi Pemerintah1. Pasal 2 Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD, setiap

Entitas Pelaporan wajib menyusun dan menyajikan: a. Laporan Keuangan, danb. Laporan Kinerja

2. Pasal 17 (1) Laporan kinerja berisi ringkasan keluaran dari masing-masing kegiatan dan hasil yang dicapai dari masing-masing program sebagaimana ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan APBN/APBD.

(2) Bentuk dan Laporan Kinerja disesuaikan dengan bentuk dan isi rencana kerja dan anggaran sebagaimana ditetapkan dalam peraturan pemerintah terkait.

Page 60: riset paper ABK

53

Peraturan Menteri Keuangan 105/PMK.02/2008 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan RKA-KL Dan Penyusunan, Penelaahan, Pengesahan dan Pelaksanaan DIPA Tahun Anggaran 20091. Pasal 1 Dalam rangka pemyusunan dan pelaksanaan APBN Tahun Anggaran

2009, Menteri/Pimpinan Lembaga menyusun RKA-KL dan DIPA Kementerian/Lembaga yang dipimpinnya.

2. Pasal 2 (1) RKA-KL disusun berdasarkan pagu sementara yang ditetapkan Menteri Keuangan dengan mengacu pada Renja KL.

(2) Penyusunan RKA-KL sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan menggunakan pendekatan Penganggaran Terpadu, Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah dan Penganggaran Berbasis Kinerja.

3. Pasal 3 (1) RKA-KL sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dibahas bersama antara Kementerian/Lembaga dan Komisi terkait di DPR.

(2) Hasil pembahasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada Kementerian Keuangan c.q. Direktorat Jenderal Anggaran untuk dilakukan penelaahan dalam rangka meneliti kesesuian RKA-KL dengan :a. Surat Edaran Menteri Keuangan tentang Pagu Sementara.b. Prakiraan Maju yang telah disetujui tahun anggaran

sebelumnya.c. Standar Biaya yang telah ditetapkan dan/atau Kerangka Acuan

Kerja/Term of Reference (TOR) dan Rincian Anggaran Biaya (RAB) dalam hal Standar Biaya belum ditetapkan.

d. Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) untuk Badan Layanan Umum (BLU).

4. Pasal 6 (1) Peraturan Presiden tentang Rincian Anggaran Belanja Pemerintah Pusat menjadi dasar bagi penyusunan dan Pengesahan DIPA.

(2) DIPA sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat uraian fungsi/sub fungsi, program, sasaran program, rincian kegiatan/sub kegiatan, jenis belanja, kelompok mata anggaran/akun dan rencana penarikan dana serta perkiraan penerimaan Kementerian/Lembaga.

5. Pasal 7 (1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menunjuk Kuasa Penguna Anggaran Satker Pusat untuk menyusun Konsep DIPA Satker Pusat dan Konsep DIPA Tugas Pembantuan.

(2) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran menunjuk Kuasa Penguna Anggaran Satker Vertikal/UPT untuk menyusun Konsep DIPA Satker Vertikal.

(3) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran melalui Gubernur menunjuk Kuasa Penguna Anggaran SKPD untuk menyusun Konsep DIPA Dekonsentrasi.

(4) Kuasa Penguna Anggaran Satker sebagaimana pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) bertanggung jawab sepenuhnya terhadap penyusunan kegiatan dan perhitungan biaya dalam Konsep DIPA.

Peraturan Menteri Keuangan 64/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 20091. Pasal 1 Standar Biaya Umum adalah satuan biaya yang merupakan batas paling

tinggi yang penggunaannya bersifat lintas Kementerian/Lembaga,

Page 61: riset paper ABK

54

dan/atau lintas wilayah.

2. Pasal 2 Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009 digunakan sebagai pedoman bagi Kementerian/Lembaga dalam menyusun biaya kegiatan dalam RKA-KL Tahun Anggaran 2009.

3. Pasal 3 Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009 terdiri dari satuan biaya masukan dan/atau satuan biaya keluaran.

4. Pasal 4 Standar Biaya Umum Tahun Anggaran 2009 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

Peraturan Menteri Keuangan 88/PMK.02/2008 tentang Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 20091. Pasal 1 Standar Biaya Khusus adalah satuan biaya yang digunakan untuk

kegiatan yang khusus dilaksanakan oleh Kementerian/Lembaga tertentu, dan/atau di wilayah tertentu.

2. Pasal 2 Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 2009 merupakan standar biaya tertinggi yang digunakan sebagai pedoman dalam penyusunan RKA-KL Tahun Anggaran 2009.

3. Pasal 3 Standar Biaya Khusus Tahun Anggaran 2009 adalah sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan Menteri Keuangan ini.

4.1.2. Cascading Perencanaan Kinerja

4.1.2.1. Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP)

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang merupakan

landasan konstitusional penyelenggaraan negara telah mengalami 4 (empat) kali

perubahan. Amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 merubah pola pengelolaan pembangunan, diantaranya :

a) Penguatan kedudukan lembaga legislatif dalam penyusunan Anggaran Pendapatan

dan Belanja Negara (APBN).

b) Ditiadakannya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sebagai pedoman

penyusunan rencana pernbangunan nasional.

c) Diperkuatnya Otonomi Daerah dan desentralisasi pemerintahan dalam Negara

Kesatuan Republik Indonesia.

Page 62: riset paper ABK

55

GBHN yang ditetapkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik

Indonesia (MPR RI) berfungsi sebagai landasan perencanaan pembangunan nasional

sebagaimana telah dilaksanakan dalam praktek ketatanegaraan sebelumnya. Ketetapan

MPR RI ini menjadi landasan hukum bagi Presiden untuk dijabarkan dalam bentuk

Rencana Pembangunan Lima Tahunan dengan memperhatikan saran Dewan

Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI). Selanjutnya Pemerintah bersama

DPR RI menyusun APBN.

Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

mengatur bahwa Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat dan tidak adanya

GBHN sebagai pedoman Presiden untuk menyusun rencana pembangunan maka

dibutuhkan pengaturan lebih lanjut bagi proses perencanaan pembangunan nasional.

Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 dibentuk untuk mengatur Sistem

Perencanaan Pembangunan Nasional. Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional

bertujuan untuk:

1) mendukung koordinasi antarpelaku pembangunan.

2) menjamin terciptanya integrasi, sinkronisasi, dan sinergi baik antardaerah,

antarruang, antarwaktu, antarfungsi pemerintah maupun antara Pusat dan Daerah.

3) menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran,

pelaksanaan, dan pengawasan.

4) mengoptimalkan partisipasi masyarakat.

5) menjamin tercapainya penggunaan sumber daya secara efisien, efektif,

berkeadilan, dan berkelanjutan.

Perencanaan Pembangunan Nasional mencakup penyelenggaraan perencanaan

makro semua fungsi pernerintahan yang meliputi semua bidang kehidupan secara,

Page 63: riset paper ABK

56

terpadu dalam Wilayah Negara Republik Indonesia. Perencanaan Pembangunan

Nasional menghasilkan:

1) Rencana pembangunan jangka panjang (RPJP).

2) Rencana pembangunan jangka menengah (RPJM).

3) Rencana pembangunan tahunan.

Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) adalah dokumen perencanaan

untuk periode 20 (dua puluh) tahun. RPJP Nasional merupakan penjabaran dari tujuan

dibentuknya pemerintahan Negara Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam bentuk visi,

misi, dan arah pembangunan Nasional. Penyusunan RPJP dilakukan melalui urutan:

1) penyiapan rancangan awal rencana pembangunan.

2) musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang).

3) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Rancangan RPJP Nasional dalam penyusunannya disiapkan oleh Menteri

Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan

Nasional (Menteri PPN/Kepala Bappenas). Rancangan RPJP Nasional menjadi bahan

utama bagi Musrenbang. Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun RPJP

dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dengan mengikutsertakan

masyarakat. Musrenbang diselenggarakan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas.

Musrenbang Jangka Panjang Nasional dilaksanakan paling lambat 1 (satu) tahun

sebelum berakhimya periode RPJP yang sedang berjalan. RPJP Nasional ditetapkan

dengan Undang-Undang.

Page 64: riset paper ABK

57

4.1.2.2. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM)

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) adalah dokumen perencanaan

untuk periode 5 (lima) tahun. RPJM Nasional merupakan penjabaran dari visi, misi,

dan program presiden yang penyusunannya berpedoman pada RPJP Nasional, yang

memua t s t r a t eg i pembangunan nas iona l , keb i j akan umum, p rog ram

Kementerian/Lembaga dan lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dan lintas

kewilayahan, serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran

perekonomian secara menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal dalam rencana kerja

yang berupa kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Penyusunan RPJM Nasional dan RKP dilakukan melalui urutan kegiatan:

a) penyiapan rancangan awal rencana pembangunan.

b) penyiapan rancangan rencana kerja.

c) musyawarah perencanaan pembangunan.

d) penyusunan rancangan akhir rencana pembangunan.

Penyusunan rancangan awal RPJM Nasional disiapkan ol e h Menteri

PPN/Kepala Bappenas sebagai penjabaran dari visi, misi, dan program presiden ke

dalam strategi pembangunan nasional, kebijakan umum, program prioritas presiden,

serta kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara

menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal.

Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan RPJM Nasional dengan

menggunakan rancangan rencana strategis kementerian negara/lembaga (Renstra K/L)

dan berpedoman pada RPJP Nasional. Rancangan RPJM Nasional menjadi bahan bagi

Musrenbang Jangka Menengah. Musrenbang Jangka Menengah diselenggarakan

dalam rangka menyusun RPJM diikuti oleh unsur-unsur penyelenggara negara dan

mengikutsertakan masyarakat. Musrenbang Jangka Menengah Nasional

Page 65: riset paper ABK

58

diselenggarakan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas. Musrenbang Jangka Menengah

Nasional dilaksanakan paling lambat 2 (dua) bulan setelah presiden dilantik.

Menteri PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan akhir RPJM Nasional

berdasarkan hasil Musrenbang Jangka Menengah Nasional. RPJM Nasional

ditetapkan dengan peraturan presiden paling lambat 3 (tiga) bulan setelah presiden

dilantik.

4.1.2.3. Rencana Kerja Pemerintah (RKP)

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) merupakan Rencana Pembangunan Tahunan

Nasional. RKP adalah dokumen perencanaan Nasional untuk periode 1 (satu) tahun.

RKP merupakan penjabaran dari RPJM Nasional, memuat prioritas pembangunan,

rancangan kerangka ekonomi makro yang mencakup gambaran perekonomian secara

menyeluruh termasuk arah kebijakan fiskal, serta program Kementerian/Lembaga,

lintas Kementerian/Lembaga, kewilayahan dalam bentuk kerangka regulasi dan

kerangka pendanaan yang bersifat indikatif.

Rancangan awal RKP disiapkan oleh Menteri PPN/Kepala Bappenas sebagai

penjabaran dari RPJM Nasional. Pimpinan Kementerian/Lembaga menyiapkan

rancangan rencana kerja kementerian negara/lembaga (Renja-KL) sesuai dengan tugas

pokok dan fungsinya dengan mengacu kepada rancangan awal RKP dan berpedoman

pada Renstra-KL. Menteri PPN/Kepala Bappenas mengkoordinasikan penyusunan

rancangan RKP dengan menggunakan rancangan Renja-KL. Rancangan RKP

menjadi bahan bagi Musrenbang. Musrenbang dalam rangka penyusunan RKP diikuti

oleh unsur-unsur penyelenggara pemerintahan.

Menteri PPN/Kepala Bappenas menyelenggarakan Musrenbang penyusunan

RKP. Musrenbang penyusunan RKP dilaksanakan paling lambat bulan April. Menteri

Page 66: riset paper ABK

59

PPN/Kepala Bappenas menyusun rancangan akhir RKP berdasarkan hasil

Musrenbang. Rancangan RKP dibahas dalam Sidang Kabinet untuk ditetapkan

menjadi RKP paling lambat pertengahan bulan Mei. RKP menjadi pedoman

penyusunan RAPBN. RKP ditetapkan dengan Peraturan Presiden. RKP dipergunakan

sebagai bahan pembahasan kebijakan umum dan prioritas anggaran di DPR.

4.1.2.4. Visi dan Misi Kementerian Negara/Lembaga

Akuntabilitas kinerja instansi pemerintah dimulai dengan disusunnya visi dan

misi penyelenggara pemerintahan dan hasil-hasil yang diharapkan dalam suatu

perencanaan stratejik. Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (SAKIP)

merupakan suatu sistem yang membentuk suatu siklus yang dimulai dari proses

penetapan visi, misi, tujuan dan sasaran organisasi yang akan dicapai yang tercantum

dalam perencanaan stratejik organisasi; yang kemudian dijabarkan lebih lanjut

kedalam Rencana Kinerja Tahunan; kemudian ditetapkan dalam Penetapan Kinerja;

penetapan pengukuran kinerja; pengumpulan data untuk menilai kinerja; menganalisis,

mereviu dan melaporkan kinerja; serta menggunakan data kinerja tersebut untuk

memperbaiki kinerja organisasi pada periode berikutnya.

Visi adalah rumusan umum mengenai keadaan yang diinginkan pada akhir

periode perencanaan. Visi adalah cara pandang jauh ke depan kemana instansi

pemerintah harus dibawa agar dapat eksis, antisipatif dan inovatif. Visi adalah

gambaran yang menantang tentang keadaan masa depan yang diinginkan oleh instansi

pemerintah.

Misi adalah rumusan umum mengenai upaya-upaya yang akan dilaksanakan

untuk mewujudkan visi. Misi adalah sustu yang harus dilaksanakan oleh instansi

pemerintah agar tujuan organisasi dapat terlaksana dan berhasil dengan baik. Dengan

Page 67: riset paper ABK

60

pernyataan misi tersebut, diharapkan seluruh pegawai dan pihak yang berkepentingan

dapat mengenal instansi pemerintah, dan mengetahui peran dan program-programnya

serta hasil yang akan diperoleh dimasa mendatang.

Keluaran utama dari sistem akuntabilitas kinerja adalah Laporan Akuntabilitas

Kinerja. Laporan ini sangat penting untuk digunakan sebagai umpan balik bagi para

penyelenggara pemerintah. Hubungan antara SAKIP dengan penganggaran

digambarkan pada Gambar 1.

Gambar 1 Hubungan Sistem AKIP dan Penganggaran

Sumber : Modul SAKIP – Kemenpan

4.1.2.5. Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga

Rencana Strategis Kementerian Negara/Lembaga (Renstra-KL) merupakan

Rencana Pembangunan Jangka Menengah Kementerian/Lembaga adalah dokumen

perencanaan kementerian/lembaga untuk periode 5 (l ima) tahun. Pimpinan

Page 68: riset paper ABK

61

Kementerian/Lembaga menyiapkan rancangan Renstra-KL sesuai dengan tugas pokok

dan fungsinya dengan berpedoman kepada rancangan awal RPJM Nasional. Renstra-

KL ditetapkan dengan peraturan pimpinan Kementerian/Lembaga setelah disesuaikan

dengan RPJM Nasional. Penyusunan Renstra berpedoman pada Keputusan Kepala

LAN Nomor 589/IX/6/Y/99 tahun 1999 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan

AKIP. Adapun formulir yang digunakan dalam menyusun Renstra antara lain:

1) Formulir PS-1 yaitu formulir perencanaan untuk tahun ke-1 dari 5 tahun.

PERENCANAAN STRATEGIK-1Instansi :Tahun : Formulir PS-1

Rencana Strategis Instansi ... Tahun ...(tahun ke-1 dari 5 tahun)

Cara Mencapai Tujuan/SasaranNo. Bidang/Sektor/ Sub Sektor

Kebijaksanaan Nasional Stratejik Visi Misi Tujuan Sasaran Kebijaksanaan Program Kegiatan

Ket.

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10) (11)

Jakarta, .................An. Menteri/Kepala Lembaga

2) Formulir PS-2 yaitu formulir perencanaan untuk tahun ke-2 sampai dengan ke-5.

PERENCANAAN STRATEGIK-2Instansi :Tahun : Formulir PS-2

Rencana Strategis Instansi ... Tahun ...(tahun ke-2/3/4/5 dari 5 tahun)

Cara Mencapai Tujuan/SasaranNo.Sasaran Kebijaksanaan Program Kegiatan

Ket.

(1) (2) (3) (4) (5) (6)Jakarta, .................An. Menteri/Kepala Lembaga

Page 69: riset paper ABK

62

4.1.2.6. Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL)

Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga yang selanjutnya

disebut RKA-KL adalah dokumen perencanaan dan penganggaran yang berisi

program dan kegiatan suatu kementerian negara/lembaga yang merupakan penjabaran

dari rencana kerja pemerintah dan rencana strategis kementerian negara/lembaga yang

bersangkutan dalam satu tahun anggaran serta anggaran yang diperlukan untuk

melaksanakannya. Penyusunan rencana kerja dan pendanaannya menggunakan

Renja-KL sebagai bahan masukan. Rencana Kerja Kementerian Negara/Lembaga

(Renja-KL) adalah dokumen perencanaan kementerian negara/lembaga untuk untuk

periode 1 (satu) tahun.

Kementerian negara/lembaga menyusun RKA-KL berpedoman kepada rencana

kerja pemerintah. RKA-KL terdiri dari rencana kerja kementerian negara/lembaga

dan anggaran yang diperlukan untuk melaksanakan rencana kerja tersebut. Di dalam

rencana kerja diuraikan visi, misi, tujuan, kebijakan, program, hasil yang diharapkan,

kegiatan, keluaran yang diharapkan. Di dalam anggaran yang diperlukan tersebut

diuraikan biaya untuk masing-masing program dan kegiatan untuk tahun anggaran

yang direncanakan yang dirinci menurut jenis belanja, prakiraan maju untuk tahun

berikutnya, serta sumber dan sasaran pendapatan kementerian negara/lembaga yang

bersangkutan. RKA-KL meliputi seluruh kegiatan satuan kerja di lingkungan

kementerian negara/lembaga termasuk kegiatan dalam rangka dekonsentrasi dan tugas

pembantuan.

Penyusunan RKA-KL pada suatu satker pada dasarnya adalah penyusunan

informasi berupa: 1) Rencana kegiatan dan rincian belanjanya, 2) pendapatan yang

diterima satker, dan 3) rencana penarikan alokasi anggarannya. Form-form dalam

penyusunan RKA-KL antara lain :

Page 70: riset paper ABK

63

1. Form Rincian (Form 1)

a. Rincian Kegiatan dan Keluaran (Form 1.1)

b. Rincian Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 1.2)

c. Rincian Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 1.3)

d. Rincian Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 1.4)

e. Rincian Perhitungan Biaya per Kegiatan (Form 1.5)

2. Form Uraian (Form 2)

a. Uraian Kegiatan dan Keluaran (Form 2.1)

b. Uraian Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 2.2)

c. Uraian Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 2.3)

d. Uraian Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 2.4)

3. Form Ringkasan (Form 3)

a. Ringkasan Kegiatan dan Keluaran (Form 3.1)

b. Ringkasan Anggaran Belanja per Kegiatan (Form 3.2)

c. Ringkasan Anggaran Belanja per Jenis Belanja (Form 3.3)

d. Ringkasan Anggaran Pendapatan per Akun Pendapatan (Form 3.4)

4.1.2.7. Klasifikasi Anggaran

Klasifikasi anggaran dibuat dengan mempertimbangkan aspek efisiensi dan

dalam upaya mempermudah evaluasi dan pengukuran kinerja. Klasifikasi terdiri dari

3 kelompok yaitu :

a. Klasifikasi Fungsi.

Klasifikasi fungsi mengelompokkan anggaran ke dalam 11 (sebelas) fungsi,

kemudian dijabarkan dalam 79 (tujuh puluh sembilan) sub fungsi, selanjutnya

dijabarkan lagi ke dalam program, kegiatan dan sub kegiatan. Rincian belanja negara

Page 71: riset paper ABK

64

menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum, pertahanan, ketertiban dan

keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan,

pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan perlindungan sosial.

b. Klasifikasi Ekonomi

Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri

dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, bantuan

sosial, dan belanja lain-lain.

c. Klasifikasi Organisasi

Dalam klasifikasi ini, anggaran belanja diklasifikasi menurut organisasi

kemente r i an / l embaga sebaga i pemegang bag ian anggaran /pengguna

anggaran/pengguna barang. Selanjutnya dirinci ke dalam beberapa unit organisasi

sebagai kuasa pengguna anggaran/pengguna barang. Anggaran unit organisasi dirinci

lebih lanjut ke dalam anggaran satuan kerja.

d. Satuan Kerja

Satuan kerja (Satker) adalah bagian dari suatu unit organisasi kementerian

negara/lembaga yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dari suatu program.

Satker merupakan unit terkecil dari klasifikasi organisasi yang bertanggung jawab

atas pelaksanaan satu atau lebih kegiatan dalam mencapai keluaran (output). Satker

yang dapat ditetapkan menjadi Kuasa Pengguna Anggaran dikelompokkan menjadi :

1) Satker Pusat

Satker Pusat adalah satker yang melakukan kegiatan pengelolaan anggaran yang

kewenangan dan tanggung jawabnya berada di kantor pusat kementerian

negara/lembaga sedangkan lokasinya dapat berada di pusat atau di daerah. Satker

Pusat terdiri dari unit eselon I dan eselon II yang langsung berada di bawah struktur

organisasi kantor pusat kementerian/lembaga. Satker pusat adalah satker yang

Page 72: riset paper ABK

65

melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan mengelola anggaran kantor pusat unit

organisasi Kementerian Negara/Lembaga.

Satker Pusat pada dasarnya adalah unit Eselon I, dalam hal tertentu Eselon II

dapat menjadi satker pusat dengan memenuhi alat kelengkapan sebuah satker

(mempunyai bagian yang menangani keuangan, akuntansi, dan pelaporan).

2) Satker Vertikal/Unit Pelaksana Teknis (UPT) Kementerian Negara/Lembaga

Satker Vertikal/UPT adalah satker di daerah yang melaksanakan satu atau

beberapa kegiatan dan mengelola anggaran Kementerian Negara/Lembaga untuk

mencapai keluaran/output dalam rangka menunjang sasaran program Kementerian

Negara/Lembaga yang bersangkutan. Contoh : Kantor Pelayanan Perbendaharaan

Negara (KPPN) sebagai instansi vertikal DJPBN.

3) Satker Khusus

Satker Khusus adalah satker yang ditetapkan untuk melaksanakan satu atau

beberapa kegiatan dan mengelola dana yang bersumber dari Bagian Anggaran (BA) di

luar anggaran Kementerian Negara/Lembaga atau Bagian Anggaran pembiayaan

Perhitungan, antara lain BA 69.

4) Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD)

SKPD adalah satker yang melaksanakan satu atau beberapa kegiatan dan

mengelola anggaran Kementerian Negara/Lembaga dalam rangka pelaksanaan azas

dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Kegiatan-kegiatan yang pelaksanaanya melalui

mekanisme dekonsentrasi dan tugas pembantuan mengacu pada Peraturan Pemerintah

Nomor 7 Tahun 2008 tentang Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan. SKPD penerima

dana dekonsentrasi dan/atau tugas pembantuan bertanggung jawab atas pelaporan

kegiatan dekonsentrasi/tugas pembantuan dan selanjutnya laporan dimaksud

disampaikan kepada K/L pemberi dana untuk dikonsolidasikan dengan bagian dari

Page 73: riset paper ABK

66

laporan keuangan K/L yang bersangkutan. Sedangkan bagi Kementerian

Negara/Lembaga yang mendelegasikan kegiatannya melalui mekanisme

dekonsentrasi dan tugas pembantuan kepada SKPD agar mempertimbangkan ketaatan

dalam menyampaikan laporan keuangan tahun anggaran sebelumnya.

5) Satuan Kerja Sementara (SKS)

Dalam hal Kementerian Negara/Lembaga tidak dapat memanfaatkan satker

sebagaimana tersebut diatas maka dapat menggunakan satker sementara.

6) Satker Badan Layanan Umum (BLU)

Satker BLU adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk

memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa

yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan

kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas.

e. Struktur Organisasi dalam Pengelolaan Keuangan

Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan

keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut

meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus.

Untuk membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian

dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola

Fiskal dan Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan,

serta kepada Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna

Barang kementrian negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai

pembantu Presiden dalam bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial

Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan

lembaga pada hakekatnya adalah Chief Operasional Officer (COO) untuk suatu

bidang tertentu pemerintahan.

Page 74: riset paper ABK

67

1) Menteri Keuangan selaku CFO

Unit organisasi yang terlibat dalam mengurus proses penganggaran adalah :

b) Direktorat Jenderal Anggaran dalam hal penyusunan RKA-KL.

c) Direktorat Jenderal Perbendaharaan dalam hal pelaksanaan anggaran yaitu untuk

pengesahan dokumen anggaran (DIPA).

2) Menteri Teknis/Pimpinan Lembaga selaku COO

Struktur pengelola administrasi keuangan pada Kementerian/Lembaga adalah:

a) Menteri/Pimpinan Lembaga sebagai Pengguna Anggaran.

b) Unit Eselon I/Satker sebagai Kuasa Pengguna Anggaran.

c) Pejabat Pembuat Komitmen.

d) Pejabat Penguji Tagihan/Penerbit Surat Perintah Membayar (SPM).

e) Bendahara Pengeluaran.

4.1.3. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi Sesuai Dengan Konsep New Public

Management

Demokrasi telah membuka pintu kebebasan dan akses masyarakat terhadap

lembaga publik dan entitas politik di negeri kita. Kesetaraan kedudukan rakyat secara

politis di hadapan negara sudah menjadi tuntutan bagi semua orang. Hal itu

diwujudkan melalui terbukanya akses rakyat kepada lembaga negara. Salah satu

wujud kebebasan akses rakyat kepada lembaga negara adalah proses pemilihan

langsung seorang kepala negara/kepala daerah secara demokratis. Memang tidak

sepenuhnya proses tersebut dapat berjalan sesuai konsep ideal sebuah negara

demokratis. Tuntutan publik atau masyarakat tentang perbaikan pengelolaan dan

pelayanan publik merupakan fenomena global di semua negara, terutama negara yang

sedang berkembang. Stereotip yang melekat kepada lembaga ini adalah sebagai

Page 75: riset paper ABK

68

sumber penyelewengan atau yang lebih populer dengan KKN, serta rendahnya

performa pengelolaan sumber daya masyarakat yang cenderung boros, tidak efisien

dan efektif. Keberadaan lembaga publik mempunyai peran yang sangat vital dalam

masyarakat dan berpengaruh sangat kuat terhadap sektor privat. Kesalahan

manajemen publik akan mempengaruhi kinerja sektor privat. Dalam konteks ilmu

ekonomi gejala ini akan menimbulkan high cost economy sehingga menurunkan

tingkat daya dukung terhadap iklim investasi dan usaha, sehingga menurunkan

keunggulan dalam kompetisi.

Tuntutan global terhadap pengelolaan lembaga publik diakomodasi oleh

lembaga dunia dan berbagai pihak yang concern. Output yang dihasilkan adalah

paradigma baru pengelolaan lembaga publik yang disebut sebagai good governance.

Karakteristiknya terdiri dari partisipasi publik dalam pembuatan keputusan yang

berkaitan dengan kepentingannya, penerapan ru le of l aw secara konsisten,

transparansi informasi berkaitan dengan penyelenggaraan kepentingan publik,

kepekaan dalam pemberian pelayanan kepada publik, orientasi program yang

mengacu kepada kepentingan publik, equity atau keadilan yang diwujudkan dengan

adanya kesempatan sosial yang sama dalam mendapatkan pelayanan, efisiensi dan

efektivitas dalam pengelolaan sumber daya yang diamanahkan, akuntabilitas atas

aktivitas yang dilakukan dan visi strategis dalam penyelenggaraan kegiatan.

New Public Management memberi perhatian lebih besar terhadap pencapaian

kinerja dan akuntabilitas, dengan mengadopsi teknik pengelolaan sektor swasta ke

dalam sektor publik. Penerapan New Public Management dipandang sebagai suatu

bentuk reformasi manajemen, depolitisasi kekuasaan, atau desentralisasi wewenang

yang mendorong demokrasi. Perubahan dimulai dari proses rethinking government

dan dilanjutkan dengan reinventing government yang mengubah peran pemerintah,

Page 76: riset paper ABK

69

terutama dalam hal hubungan pemerintah dengan masyarakat. Perubahan teoritis,

misalnya dari administrasi publik ke arah manajemen publik, pemangkasan birokrasi

pemerintah, dan penggunaan sistem kontrak telah meluas di seluruh dunia meskipun

secara rinci reformasinya bervariasi. Tren di hampir setiap negara mengarah pada

penggunaan anggaran berbasis kinerja, manajemen berbasis outcome (hasil), dan

pengunaan akuntansi accrual meskipun tidak terjadi dalam waktu bersamaan

menyatakan bahwa New Public Management merupakan fenomena global, akan tetapi

penerapannya dapat berbeda-beda tergantung faktor localized contingencies.

Walaupun penerapan New Public Management bervariasi, namun mempunyai tujuan

yang sama yaitu memperbaiki efisiensi dan efektivitas, meningkatkan responsivitas,

dan memperbaiki akuntabilitas manajerial.

Penerapan New Public Management di Indonesia diawali dengan reformasi di

bidang keuangan dengan lahirnya tiga paket undang-undang, yaitu Undang-Undang

No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-Undang No. 1 Tahun 2004

tentang Perbendaharaan Negara dan Undang-Undang No. 15 Tahun 2004 tentang

Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara telah mengubah

secara drastis sistem penganggaran di Indonesia. Paket undang-undang tersebut

merupakan fondasi bagi pelaksanaan reformasi di bidang Keuangan. Dalam undang-

undang tersebut dimuat prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang mengubah

paradigma lama, antara lain mengubah sistem penganggaran ”dual budgeting” yang

potensi terjadinya tumpang tindih (DIK dan DIP) ke sistem penganggaran terpadu

(unified budget), dengan alasan:

1. Duplikasi antara belanja rutin dan belanja pembangunan oleh karena kurang

tegasnya pemisahan antara kegiatan operasional organisasi dan proyek, khususnya

Page 77: riset paper ABK

70

proyek-proyek non-fisik. Dengan demikian, kinerja sulit diukur karena alokasi

dana yang ada tidak mencerminkan kondisi yang sesungguhnya.

2. Penggunaan “dual budgeting” mendorong dualisme dalam penyusunan daftar

perkiraan mata anggaran keluaran (MAK) karena untuk satu jenis belanja, ada

MAK yang diciptakan untuk belanja rutin dan ada MAK lain yang ditetapkan

untuk belanja pembangunan.

3. Analisis belanja dan biaya program sulit dilakukan karena anggaran belanja rutin

tidak dibatasi pada pengeluaran untuk operasional dan belanja anggaran

pembangunan tidak dibatasi pada pengeluaran untuk investasi.

4. Proyek yang menerima anggaran pembangunan diperlakukan sama dengan satuan

kerja, yaitu sebagai entitas akuntansi, walaupun proyek hanya bersifat sementara.

Jika proyek sudah selesai atau dihentikan tidak ada kesinambungan dalam

pertanggungjawaban terhadap asset dan kewajiban yang dimiliki proyek tersebut.

Hal ini selain menimbulkan ketidakefisienan dalam pembiayaan kegiatan

pemerintahan, juga menyebabkan ketidakjelasan keterkaitan antara

output/outcome yang dicapai dengan penganggaran organisasi.

Selanjutnya, sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka

sistem penganggaran mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional.

Sistem penganggaran belanja negara secara implisit menggunakan sistem unified

budget, di mana tidak ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan,

sehingga klasifikasi menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya.

Dalam hal ini, belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam

(1) kompensasi untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi dari

modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh unit

organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi; (6) hibah; (7) tunjangan sosial

Page 78: riset paper ABK

71

(social benefits); dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam

bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk

dikirim kepada unit lainnya.

Sejalan dengan amanat UU No.17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara akan

pula diterapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja di sektor publik, agar

pengguna anggaran tersebut bisa dinilai kemanfaatan dan kegunaannya bagi

masyarakat. Jelas ada keinginan yang kuat dari pemerintah bahwa pengelompokan

atas anggaran belanja rutin dan anggaran belanja pembangunan tidak boleh

dipergunakan lagi, karena telah menimbulkan peluang terjadinya duplikas i,

penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sejalan dengan rencana jangka menengah

sebagai penunjang penerapan perubahan format baru dan anggaran berbasis kinerja,

beberapa langkah penting yang akan ditempuh, yakni penyempurnaan mekanisme

penyusunan dan format anggaran. Jelas, pemerintah saat ini sedang giat-giatnya

melakukan reformasi yang siginifikan di bidang keuangan negara dalam upaya untuk

memberantas KKN, dan dimulai dari rumah tangganya sendiri. Upaya inilah yang

menunjukkan perubahan paradigma pengelolaan publik untuk menciptakan

pemerintah yang bersih dan transparan.

4.1.4. Penerapan Good Corporate Governance

Dalam tiga paket undang-undang ditegaskan pula keharusan untuk melaksanaan

tata kelola yang baik (good governance) untuk menuju pelaksanaan penyelenggaraan

kepemerintahan yang berorientasi kepada pelanggan/masyarakat. Berbagai penelitian

menunjukkan bahwa baik buruknya tata pemerintahan dijalankan mempunyai

hubungan kausualitas yang erat dengan hasil-hasil pembangunan. Bagi Indonesia,

relevansi konsep ini menjadi sangat tinggi setelah banyak pihak menyalahkan

Page 79: riset paper ABK

72

‘bad/poor governance’ sebagai faktor penyebab utama negara ini menjadi yang

kondisi sosial ekonominya paling buruk di antara sekian banyak negara Asia yang

terkena krisis moneter 1997.

Good corporate governance mengarah pada tujuan pokok yaitu best value

adalah memodernisasi penilaian pengelolaan pemerintahan sehingga unit kerja yang

berwenang menyediakan layanan yang baik dan responsif terhadap kebutuhan

masyarakat sehingga layanan yang disediakan bukan berdasarkan dana yang tersedia

(pelayanan merupakan fungsi pendapatan), tetapi lebih pada apa yang dibutuhkan

masyarakat (pelayanan merupakan fungsi kebutuhan). Setiap unit kerja menentukan

target dan tujuan serta merefleksikannya ke dalam suatu performance plan yang

memberikan informasi mengenai jenis layanan yang disediakan, cara menyediakan

layanan, obyek pemakai layanan, kualitas layanan yang diharapkan, dan tindakan

yang diperlukan dalam menyediakan layanan. Best value menitikberatkan pada

pembangunan yang berkelanjutan, keseimbangan kualitas layanan yang disediakan

dengan biaya yang dikeluarkan, dan meningkatkan akuntabilitas pemerintah dalam

menyediakan layanan publik. Dengan demikian, best value dapat dikatakan sebagai

konsep pengelolaan yang berfokus pada pelanggan dan kinerja.

Tata kelola yang baik menuntut lebih dari sekedar kapasitas pemerintah yang

memadai, akan tetapi juga mencakup kaidah aturan yang menciptakan suatu

legitimasi, kerangka kerja yang efektif dan efisien dalam melaksanakan kebijakan

publik. Tata kelola yang baik berimplikasi pada pengelolaan urusan masyarakat

dengan cara yang transparan, akuntabel, partisipatif dan berkesetaraan. Tata kelola

yang baik juga mencakup partisipasi dalam pembuatan kebijakan publik yang efektif,

penegakan hukum dan sistem peradilan yang independen, checks and balances

melalui pemisahan kekuasaan secara horisontal dan vertikal, dan adanya lembaga-

Page 80: riset paper ABK

73

lembaga pengawas yang efektif. Oleh karenanya, dorongan utama aktivitas-aktivitas

yang berbasis tata kelola adalah hadirnya manajemen birokrasi pemerintahan,

pengelolaan keuangan negara, modernisasi administrasi publik, dan privatisasi

BUMN yang baik dan sesuai dengan rule of the law. Pergeseran konsep tata kelola

menjadi tata kelola yang baik juga mencakup suatu dimensi normatif mengenai

kualitas tata kelola.

Secara legitimasi, keharusan melaksanakan tata kelola yang baik sudah dimiliki

oleh pemerintah Indonesia. Namun perwujudan tata kelola yang baik perlu dukungan

sistem yang memadai dan sumber daya manusia yang memiliki kemauan dan

kemampuan untuk melaksanakan sistem yang mendukung terwujudnya tata kelola

tersebut. Masih banyak layanan yang dilakukan oleh pemerintah yang perlu ditata

ulang agar mampu menghasilkan nilai baik (best value) dari masyarakat sebagai

pelanggan. Agaknya perhatian terhadap pengelolaan dan peningkatan kompetensi

para pegawai menjadi prioritas terkait dengan pencapaian good governance.

Pemerintah perlu menciptakan mekanisme pengelolaan SDM yang memberikan

kejelasan terkait dengan kompetensi yang dibutuhkan, kinerja yang diharapkan serta

sistem reward dan punishment yang jelas bagi para pegawai. Ketidakjelasan sistem

inilah yang memicu kelemahan SDM karena pegawai kurang bisa melihat hubungan

antara prestasi kinerja dengan imbalan atau penghargaan yang diberikan. Tentu saja

ini mendorong terjadinya inefisiensi karena produktivitas pegawai yang rendah.

4.2. Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja

4.2.1. Evaluasi atas Sistem Pengukuran Kinerja

4.2.1.1. Indikator Kinerja dan Pengukurannya

Page 81: riset paper ABK

74

Pengukuran Kinerja merupakan hasil dari suatu penilaian yang sistematik dan

didasarkan pada kelompok indikator kinerja kegiatan yang berupa indikator-indikator

masukan, keluaran, hasil, manfaat, dan dampak. Penilaian tersebut tidak terlepas dari

proses yang merupakan kegiatan mengolah masukan menjadi keluaran atau penilaian

dalam proses penyusunan kebijakan/program/kegiatan yang dianggap penting dan

berpengaruh terhadap pencapaian sasaran dan tujuan. Pengukuran kinerja digunakan

sebagai dasar untuk menilai keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan kegiatan sesuai

dengan sasaran dan tujuan yang telah ditetapkan dalam rangka mewujudkan visi dan

misi.

Format dokumen penyusunan anggaran di Indonesia baru terfokus pada

penjabaran nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran, tetapi

substansi ukuran kinerjanya belum diformulasikan dalam indikator kinerja yang

memadai. Padahal, dalam pengukuran kinerja perlu ditetapkan terlebih dahulu

kerangka pengukuran kinerja di mana pengukuran kinerja dilakukan dengan

menggunakan indikator kinerja kegiatan yang dilakukan dengan memanfaatkan data

kinerja yang diperoleh baik melalui data internal yang ditetapkan oleh instansi

maupun data eksternal yang berasal dari luar instansi. Pengukuran kinerja akan

menjadi masalah apabila indikator kinerja yang ditetapkan belum mencerminkan

sepenuhnya kinerja ideal yang sangat mungkin dicapai dalam kinerja aktual, apalagi

kalau disusun tanpa menggunakan data kinerja sebagai benchmarking. Ini yang masih

terjadi dalam penentuan indikator dalam penyusunan RKA-KL yaitu belum

memadainya indikator kinerja output, apalagi outcome.

Pengumpulan data kinerja dilakukan untuk memperoleh data yang akurat,

lengkap, tepat waktu, dan konsisten, yang berguna dalam pengambilan keputusan.

Pengumpulan data kinerja yang digunakan untuk indikator kinerja kegiatan yang

Page 82: riset paper ABK

75

terdiri dari indikator-indikator masukan, keluaran, dan hasil, dilakukan secara

terencana dan sistematis setiap tahun untuk mengukur kehematan, efektivitas,

efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran. Sedangkan pengumpulan data kinerja

untuk indikator manfaat dan dampak dapat diukur pada akhir periode selesainya suatu

program atau dalam rangka mengukur pencapaian tujuan-tujuan instansi pemerintah.

Pengukuran kinerja mencakup kinerja kegiatan yang merupakan tingkat pencapaian

target (rencana tingkat capaian) dari masing-masing kelompok indikator kinerja

kegiatan dan tingkat pencapaian sasaran instansi pemerintah yang merupakan tingkat

pencapaian target (rencana tingkat capaian) dan masing-masing indikator sasaran

yang telah ditetapkan dalam dokumen rencana kerja. Pengukuran tingkat pencapaian

sasaran didasarkan pada data hasil pengukuran kinerja kegiatan. Hal-hal inilah yang

belum secara nyata dilakukan oleh Kementerian Negara/Lembaga di dalam

pelaksanaan kegiatan yang telah ditetapkan dalam anggaran sehingga pencantuman

indikator kinerja dalam anggaran tidak didasarkan pada hasil analisis atas data kinerja.

Selain itu, Sistem Pengukuran Kinerja belum sepenuhnya terealisasi karena

belum adanya kegiatan evaluasi untuk melakukan pengukuran terhadap hasil kinerja

yang telah dilakukan. Berdasarkan hasil-hasil perhitungan pengukuran kinerja

kegiatan, seharusnya dilakukan evaluasi terhadap pencapaian setiap indikator kinerja

kegiatan untuk memberikan penjelasan lebih lanjut tentang hal-hal yang mendukung

keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan suatu kegiatan. Evaluasi bertujuan agar

diketahui pencapaian realisasi, kemajuan dan kendala yang dijumpai dalam rangka

pencapaian misi, agar dapat dinilai dan dipelajari guna perbaikan pelaksanaan

program/kegiatan di masa yang akan datang. Evaluasi kinerja dilakukan terhadap

analisis efisiensi dengan cara membandingkan antara output dengan input baik untuk

rencana maupun realisasinya. Evaluasi dilakukan pula pengukuran/ penentuan tingkat

Page 83: riset paper ABK

76

efektivitas yang menggambarkan tingkat kesesuaian antara tujuan dengan hasil,

manfaat, atau dampak. Evaluasi juga dilakukan terhadap setiap perbedaan kinerja

yang terjadi, baik terhadap penyebab terjadinya kendala maupun strategi pemecahan

masalah yang telah dan akan dilaksanakan. Dalam melakukan evaluasi kinerja, perlu

juga digunakan pembandingan-pembandingan antara lain:

a. Kinerja nyata dengan kinerja yang direncanakan.

b. Kinerja nyata dengan kinerja tahun-tahun sebelumnya.

c. Kinerja suatu instansi dengan kinerja instansi lain yang unggul di bidangnya

ataupun dengan kinerja sektor swasta.

d. Kinerja nyata dengan kinerja di negara-negara lain atau dengan standar

internasional.

Terkait dengan analisis atas akuntabilitas kinerja dalam Sistem Pengukuran

Kinerja, melalui Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006, ditetapkan bahwa

setiap entitas pelaporan wajib menyusun dan menyajikan laporan keuangan dan

laporan kinerja, di mana hal ini menunjukkan telah adanya dukungan legalitas

terhadap Sistem Pengukuran Kinerja. Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)

tersebut dipandang perlu untuk mengetahui kemampuan setiap instansi dalam

pencapaian visi, misi dan tujuan organisasi. Pada praktiknya, LAKIP menggantikan

Laporan Tahunan yang harus diterbitkan oleh instansi pemerintah. Dalam Penjelasan

PP ini disebutkan bahwa UU 17/2003 merupakan langkah maju di mana

mengharuskan pencantuman informasi tambahan tentang kinerja pengguna anggaran

dalam laporan keuangannya. Pencantuman atau penambahan tersebut sejalan dengan

paradigma penganggaran yang harus dapat mengidentifikasikan keluaran (output) dari

setiap kegiatan dan hasil (outcome) dari setiap program yang didanai dengan

APBN/APBD.

Page 84: riset paper ABK

77

Penjelasan PP 8/2006 juga mengakui belum terintegrasinya LAKIP dengan

laporan keuangan sehingga menetapkan perlunya penyusunan sistem akuntabilitas

kinerja instansi pemerintah (SAKIP) yang terintegrasi dengan sistem perencanaan

strategis, sistem penganggaran, dan sistem akuntansi pemerintahan (SAP). Dalam PP

8/2006 disebutkan bahwa SAKIP tersebut setidaknya dapat menginformasikan

perkembangan keluaran dari setiap kegiatan dan hasil dari setiap program

sebagaimana yang telah ditetapkan dalam dokumen pelaksanaan anggaran.

Berdasarkan UU 1/2004, dalam dokumen pelaksanaan anggaran, yang disusun oleh

menteri/pimpinan lembaga, diuraikan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program

dan rincian kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan

rencana penarikan dana tiap-tiap satuan kerja, serta pendapatan yang diperkirakan.

Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) seharusnya

menyajikan data dan informasi relevan bagi pembuat keputusan agar dapat

menginterpretasikan keberhasilan dan kegagalan secara lebih luas dan mendalam.

Analisis akuntabilitas kinerja meliputi uraian keterkaitan pencapaian kinerja kegiatan

dengan program dan kebijakan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, misi dan visi yang

ditetapkan dalam rencana stratejik. Dalam analisis ini dijelaskan pula perkembangan

kondisi pencapaian sasaran dan tujuan secara efisien dan efektif, sesuai dengan

kebijakan, program, dan kegiatan yang telah ditetapkan. Analisis dilakukan dengan

menggunakan informasi/data yang diperoleh secara lengkap dan akurat, dan bila

memungkinkan dilakukan pula evaluasi kebijakan untuk mengetahui ketepatan dan

efektivitas baik untuk kebijakan itu sendiri maupun sistem dan proses pelaksanaannya.

Page 85: riset paper ABK

78

4.2.1.2. Standar Pelayanan Minimal (SPM)

Standar Pelayanan Minimal yang selanjutnya disingkat dengan SPM adalah

ketentuan tentang jenis dan mutu pelayanan dasar yang merupakan urusan wajib unit

pemerintah, yang berhak diperoleh setiap warga secara minimal. Adapun indikator

SPM merupakan tolok ukur prestasi kuantitatif dan kualitatif yang digunakan untuk

menggambarkan besaran sasaran yang hendak dipenuhi dalam pencapaian suatu SPM

tertentu, berupa masukan, proses, hasil dan/atau manfaat pelayanan.

Masalah yang muncul dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja adalah

bahwa belum seluruh kementerian negara/lembaga yang memberikan layanan mampu

merumuskan dan menyusun Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang dapat

digunakan sebagai dasar target outcome minimum. Padahal, konsep teoretis sistem

penganggaran berbasis kinerja mengharuskan keberadaan SPM. Namun demikian

secara legalitas, pemerintah telah menerbitkan peraturan tentang pedoman

penyusunan dan penerapan SPM, antara lain PP No. 65 Tahun 2005. Sehingga yang

terpenting dari kondisi yang terkait dengan SPM ini adalah bagaimana penetap

kebijakan mampu menekankan kepada unit layanan untuk dapat menyusun dan

merumuskan SPM sebagai dasar dalam persetujuan pengajuan anggaran mereka.

Caranya adalah dengan menekankan bahwa anggaran yang diajukan harus

berdasarkan pada kinerja layanan yang akan diberikan dalam SPM. Tanpa SPM

pengajuan anggaran akan menghadapi masalah karena tidak didukung dengan bukti-

bukti kinerja layanan.

4.2.1.2. Analisis Standar Biaya (ASB)

Masalah lain dalam pelaksanaan anggaran berbasis kinerja di Indonesia adalah

masalah penetapan ASB. Biaya (pengeluaran) yang digunakan untuk mendanai output

Page 86: riset paper ABK

79

belum menggunakan metode penghitungan biaya yang memadai atau belum

menggunakan costing system yang jelas. Hal Ini juga didukung oleh kondisi yaitu

belum adanya suatu sistem akuntansi yang baik. Saat ini, akuntansi pemerintah masih

menggunakan basis cash toward accrual sebagaimana diatur dalam PMK

171/PMK.05/2007 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah

Pusat, padahal untuk dapat menghitung biaya sesuai dengan standard costing

diperlukan penerapan basis akrual. Ini berbeda dengan praktik yang ada di sektor

privat atau swasta, di mana penetapan harga standar bisa dihitung dari data masa lalu

yang dihasilkan oleh sistem akuntansi yang ada setelah disesuaikan dengan unsur lain

dengan menggunakan costing system, seperti Activity Based Costing.

Standar biaya umum dan standar biaya khusus per program dan kegiatan yang

harus disusun oleh masing-masing kementerian/lembaga, yang ada sekarang masih

berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor panitia

pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor per orang/tahun. Sebagian

besar kementerian negara/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun harga

standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh data base,

sistem akuntansi dan pencatatan yang baik. Ketiadaan standar biaya mengakibatkan

penyusunan anggaran per program dan kegiatan menjadi beragam sehingga sulit

diukur efisiensinya.

Untuk dapat menyusun standar biaya yang memadai perlu dilakukan

penyempurnaan terhadap sistem akuntansi dan pelaporan yang dilakukan oleh entitas

pelaporan. Basis akuntansi akrual nampaknya menjadi syarat untuk dapat

menentukan standar biaya secara layak. Sebenarnya keharusan untuk menerapkan

akuntansi berbasis akrual telah ditetapkan dalam UU No. 17 Tahun 2003, namun pada

kenyataan sampai dengan saat ini pemerintah menghadapi kendala untuk

Page 87: riset paper ABK

80

melaksanakan basis akrual tersebut. Oleh karena itu, diperlukan kajian dan

perumusan secara mendalam untuk dapat segera menerapkan akuntansi berbasis

akrual. Hal ini ditunjukkan oleh pengalaman dari beberapa negara, seperti Australia,

bahwa sistem akuntansi dan sistem penganggaran harus terintegrasi dengan

berorientasi pada basis akrual. Pengaplikasian accrual basis memberikan gambaran

kondisi keuangan secara menyeluruh (full picture), yang meliputi manajemen sumber

daya (resource management) dan manajemen utang (liability management), dan

menyediakan indikasi kekuatan fiskal jangka panjang dalam reformasi manajemen

keuangan dan reformasi manajemen lainnya. Penekanan penggunaan accrual basis

juga disyaratkan dalam GASB (1999) dan diterapkan bersama-sama dengan asumsi

dasar lainnya seperti going concern, consistency of presentation, materiality and

aggregation untuk mewujudkan comparative information (IFAC, 2000). Beberapa

negara telah mereformasi akuntansi sektor publik mereka, terutama perubahan dari

cash basis menjadi accrual basis. New Zealand merupakan contoh sukses dalam

menerapkannya. Namun, beberapa kasus menunjukkan bahwa perubahan yang

dilakukan tidak seluruhnya menjamin keberhasilan. Kasus di Italia menunjukkan

bahwa perubahan tersebut tidak memberikan kontribusi signifikan terhadap

transparansi, efisiensi, dan efektivitas organisasi. Oleh karena itu, dalam mereformasi

suatu sistem perlu dilakukan analisis mendalam terhadap faktor lingkungan, salah

satunya adalah faktor sosiologi masyarakat. Menurut UU No. 17 Tahun 2003 tentang

Keuangan Negara, pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual

dilaksanakan selambat-lambatnya Tahun 2008. Selama pengakuan dan pengukuran

pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan

dan pengukuran berbasis kas. Dipertegas dalam PP No. 24 Tahun 2005 tentang

Standar Akuntansi Pemerintahan yang menyatakan bahwa laporan keuangan untuk

Page 88: riset paper ABK

81

tujuan umum disusun dan disajikan dengan basis kas untuk pengakuan pos-pos

pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan, serta basis akrual untuk pengakuan

pos-pos aset, kewajiban, dan ekuitas dana.

4.2.2. Evaluasi atas Pemberian Ganjaran dan hukuman

Dalam pelaksanaan anggaran di Indonesia belum dikenal adanya reward and

punishment yang jelas dan tegas. Tidak ada penghargaan terhadap satuan kerja yang

dianggap berhasil mencapai target kinerja yang diharapkan. Belum ada lembaga yang

kredibel dan dapat memberikan penilaian atas keberhasilan satuan kerja dalam

mencapai kinerja. Diperlukan sistem informasi yang baik agar dapat dipakai sebagai

dasar penilaian pencapaian kinerja. Pemberian penghargaan atau hukuman dapat

diwujudkan dengan pemberian insentif atau disintensif bagi satuan kerja yang berhasil

atau gagal. Insentif dapat diberikan misalnya bagi satuan kerja yang mencapai kinerja

yang diharapkan diberikan prioritas anggaran, fleksibilitas yang lebih, pembayaran

gaji berdasarkan kinerja.

4.2.3. Evaluasi atas Pelaksanaan Kontrak Kinerja

Belum ada kontrak kinerja yang dilaksanakan. Atas nama pemerintah

Departemen Keuangan dapat melaksanakan kontrak atas pencapaian suatu kinerja.

Dalam pembuatan kontrak kinerja harus diperjelas pelayanan yang dikontrakkan.

Telah dicoba dengan pendirian Badan Layanan Umum, namun belum ada kejelasan

sampai sejauh mana pelayanan yang harus diberikan oleh BLU dan sebagian besar

organisasi mengajukan diri menjadi BLU lebih pada keinginan untuk mendapatkan

fleksibilitas dalam penggunaan dana APBN dan PNBP.

Page 89: riset paper ABK

82

4.2.4. Evaluasi atas Pengendalian Internal dan Eksternal

Ketika keleluasaan penggunaan anggaran diberikan kepada kementerian negara/

lembaga maka agar tidak terjadi penyimpangan dan penyelewengan, pemberian

wewenang dan keleluasaan harus diikuti dengan pengawasan dan pengendalian yang

kuat, serta pemeriksaan yang efektif. Pengawasan dilakukan oleh pihak luar eksekutif

(dalam hal ini DPR dan masyarakat); pengendalian, yang berupa pengendalian

internal dan pengendalian manajemen, berada di bawah kendali eksekutif

(pemerintah) dan dilakukan untuk memastikan strategi dijalankan dengan baik

sehingga tujuan tercapai. Sedangkan pemeriksaan (audit) sesuai dengan prinsip baru

pengelolaan APBN dilakukan oleh badan yang memiliki kompetensi dan

independensi yaitu Badan Pemeriksa Keuangan. Audit yang dilakukan bertujuan

untuk mengukur apakah kinerja eksekutif sudah sesuai dengan kriteria yang telah

ditetapkan.

Penguatan fungsi pengawasan dapat dilakukan melalui optimalisasi peran DPR

sebagai kekuatan penyeimbang antara eksekutif dengan masyarakat, baik secara

langsung maupun tidak langsung, dan melalui LSM serta organisasi sosial

kemasyarakatan. Terdapat pemahaman yang yang salah dalam diri anggota DPR

ketika pengawasan DPR terhadap pihak eksekutif adalah pemeriksaan (audit) padahal

seharusnya pengawasan terhadap eksekutif adalah pengawasan terhadap pelaksanaan

kebijakan yang telah digariskan. Pemeriksaan tetap harus dilakukan oleh badan atau

lembaga yang memiliki otoritas dan keahlian profesional seperti BPK.

Pada saat ini masih terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan audit

pemerintah di Indonesia. Kelemahan pertama bersifat inherent sedangkan kelemahan

kedua bersifat struktural. Kelemahan pertama adalah tidak tersedianya indikator

kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kelemahan kedua

Page 90: riset paper ABK

83

adalah masalah kelembagaan audit Pemerintah Pusat dan Daerah yang overlapping

satu dengan lainnya, sehingga pelaksanaan pengauditan tidak efisien dan tidak efektif.

Reposisi lembaga pemeriksa diperlukan untuk menciptakan lembaga audit yang

efisien dan efektif dengan memisahkan tugas dan fungsi secara jelas ke dalam

kategori auditor internal dan eksternal agar tidak terjadi tumpang tindih dalam

pengawasan. Audit internal dilakukan oleh unit pemeriksa yang merupakan bagian

dari organisasi yang diperiksa. Sedangkan, audit eksternal dilakukan oleh unit

pemeriksa yang berada di luar organisasi yang diperiksa dan bersifat independen.

Dalam hal ini yang bertindak sebagai auditor eksternal pemerintah adalah BPK yang

merupakan lembaga independen dan merupakan supreme auditor sesuai dengan

Undang-Undang No. 17 Tahun 2003. Permasalahan pada pemerintah Indonesia saat

sekarang adalah banyaknya auditor internal yang dimiliki yaitu: BPKP. Inspektorat

Jenderal Departemen, Inspektorat Wilayah Propinsi, Inspektorat Wilayah Kabupaten

dan yang terbaru khusus untuk Direktorat Jenderal Pajak terdapat Kepatuhan Internal

dan Transformasi Sumber Daya Aparatur (KITSDA)

Fokus pemeriksaan yang selama ini dilakukan kurang memperhatikan Value For

Money (VFM). Audit yang dilakukan seharusnya dapat menciptakan Good

governance dan hal ini akan tercapai jika lembaga pemeriksa berfungsi dan tertata

dengan baik. Perlu ada pengembangan dan perluasan cakupan audit, tidak hanya audit

keuangan (financial audit) tetapi juga performance audit (audit kinerja) termasuk

value for money audit. Audit kinerja merupakan suatu proses sistematis untuk

memperoleh dan mengevaluasi bukti secara obyektif, agar dapat melakukan penilaian

secara independen atas ekonomi dan efisiensi operasi serta efektivitas dalam

pencapaian hasil yang diinginkan, dan kepatuhan terhadap kebijakan, peraturan, dan

hukum yang berlaku, serta menentukan kesesuaian antara kinerja yang telah dicapai

Page 91: riset paper ABK

84

dengan kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya, serta mengkomunikasikan hasilnya

kepada pihak-pihak pengguna laporan tersebut.

Secara lebih rinci, audit kinerja dibagi menjadi audit ekonomi dan efisiensi

(management audit) dan audit efektivitas (program audit). Audit ekonomi dan

efisiensi bertujuan untuk menentukan:

(1) apakah suatu entitas telah memperoleh, melindungi, dan menggunakan sumber

dayanya (seperti karyawan, gedung, dan peralatan kantor) secara hemat

(ekonomis) dan efisien;

(2) penyebab ketidakhematan dan ketidakefisienan, dan

(3) apakah entitas tersebut telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang

berkaitan dengan kehematan dan efisiensi.

Audit efektivitas bertujuan untuk menentukan tingkat pencapaian hasil program,

efektivitas pelaksanaan program, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-

undangan yang berkaitan dengan pelaksanaan program. Tujuan memperkuat

pelaksanaan value for money audit adalah meningkatkan akuntabilitas sektor publik.

Di masa mendatang DPR, menteri-menteri dan lembaga-lembaga pemerintahan, harus

memberikan pertanggungjawaban kepada masyarakat, dan akhirnya akuntabilitas

publik merupakan bagian penting dari sistem politik dan demokrasi.

4.2.5. Evaluasi atas Cascading Perencanaan Kinerja (BPPK sebagai ilustrasi)

Renstra merupakan analisis dan pengambilan keputusan stratejik tentang masa

depan organisasi untuk menempatkan dirinya pada masa yang akan datang. Renstra

memberikan petunjuk tentang mengerjakan sesuatu program/kegiatan yang benar

(doing the right things). Oleh karena itu, bahasa yang digunakan dalam perumusan

Page 92: riset paper ABK

85

renstra haruslah jelas dan nyata serta tidak bermakna ganda sehingga dapat menjadi

petunjuk/arah perencanaan dan pelaksanaan kegiatan operasional.

Beberapa langkah yang biasa dilakukan dalam perencanaan stratejik yaitu,

merumuskan visi dan misi organisasi, melakukan analisis lingkungan internal dan

eksternal (environment scanning) dengan melihat lingkungan stratejik organisasi,

merumuskan tujuan dan sasaran (goal setting), dan merumuskan stratejik-stratejik

untuk mencapai tujuan dan sasaran tersebut.

Organisasi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan merupakan salah satu

unit eselon satu di bawah Departemen Keuangan. Berdasarkan Peraturan Menteri

Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tanggal 22 Desember 2006 tentang Organisasi

dan Tata Kerja Departemen Keuangan Bab XIV dijelaskan bahwa Badan Pendidikan

dan Pelatihan Keuangan (BPPK) mempunyai tugas melaksanakan pendidikan dan

pelatihan di bidang Keuangan Negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh

Menteri Keuangan dan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Adapun fungsi BPPK :

1. Perumusan kebijakan Menteri Keuangan di bidang pendidikan dan pelatihan

keuangan negara dalam rangka pembinaan sumber daya manusia Departemen

Keuangan;

2. Pelaksanaan kebijakan Menteri Keuangan di bidang pendidikan dan pelatihan

keuangan negara dalam rangka pembinaan sumber daya manusia Departemen

Keuangan;

3. Penelaahan, evaluasi, dan penyusunan laporan pelaksanaan pendidikan dan

pelatihan keuangan negara dalam rangka pembinaan sumber daya manusia

Departemen Keuangan;

Page 93: riset paper ABK

86

4. Pengkajian dan pengembangan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan

negara;

5. Koordinasi pelaksanaan kerjasama pendidikan dan pelatihan dengan lembaga

pendidikan dalam dan luar negeri, lembaga pemerintah, dan lembaga

internasional;

6. Pelaksanaan administrasif badan

Saat ini Renstra Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan menggunakan

Renstra yang berlaku untuk tahun yang terakhir dari renstra lima tahunan 2004 -2009.

Visi:

Visi Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK) berdasarkan dokumen

renstra adalah menjadi pusat unggulan bertaraf internasional dalam menghasilkan

manusia yang profesional di bidang keuangan negara

Misi :

1. Diklat dan Pengembangan

Meningkatkan kualitas manusia di bidang keuangan negara melalui pendidikan,

pelatihan, dan pengembangan

2. Pengkajian

Mengembangkan tradisi pengkajian di bidang pendidikan dan pelatihan yang

dapat diandalkan

3. Organisasi Belajar

Senantiasa memperbarui diri melalui proses organisasi belajar (Learning

Organization) sesuai dengan dinamika lingkungan internal dan eksternal

4. Sosial

Berpartisipasi dalam mengembangkan masyarakat yang sadar akan keuangan

negara

Page 94: riset paper ABK

87

Kemudian Visi dan Misi tersebut dijelaskan lebih lanjut dalam program-

program.

Program:

Perencanaan/pembuatan program menjelaskan hubungan garis organisasi secara

kolektif yang menunjukkan apa yang hendak dicapai dan bagaimana setiap rupiah

dialokasikan untuk memenuhi program dan sasaran. Program-program dasar yang

merupakan prioritas dan memenuhi tingkat pelayanan yang diharapkan sudah harus

diidentifikasikan dan disepakati untuk dilaksanakan, dan bila perlu kemudian dibagi

ke dalam subprogram. Pembiayaan seharusnya merupakan representasi dari usaha

pencapaian program yang ada.

Dalam Penyusunan RKA-KL BPPK dari Tahun 2008 sampai dengan 2009,

program yang digunakan adalah yang tercantum dalam RKP, di mana program yang

dimuat dalam RKP tersebut mengacu pada RPJMN yang berlaku selama 5 tahun.

Dalam RPJMN 2004-2009, program dan kegiatan dilaksanakan oleh satu atau lebih

Kementerian Negara/Lembaga, sehingga program dan kegiatan dimungkinkan untuk

digunakan bersama dengan Kementerian Negara/Lembaga yang lain. BPPK sebagai

bagian dari Departemen Keuangan dalam perencanaan dan penyusunan anggaran

Tahun 2008 dan 2009, telah menggunakan beberapa program, di mana ada beberapa

program yang tidak ada di Tahun 2008 kemudian muncul di Tahun 2009. Program

yang tertulis dalam Renstra 2005 sampai dengan 2009, adalah sebagai berikut:

1. Program Pendidikan kedinasan

2. Program Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur

Rencana kerja Tahun 2005 sampai dengan 2007 menggunakan dua program,

yaitu Program Pendidikan kedinasan dan Program Pengelolaan Sumber Daya

Manusia Aparatur. Sedangkan mulai Tahun 2009 Departemen Keuangan mulai

Page 95: riset paper ABK

88

menyusun program yang spesifik untuk setiap Eselon 1. Program ini menjadi program

bayangan untuk Tahun 2009 karena program yang ada saat ini (yang tercantum dalam

RKA-KL) masih dipakai mengingat program tersebut masih berlaku sampai RPJM

periode saat ini yang berakhir Tahun 2009.

Rencana Kerja Anggaran Kementerian/lembaga Tahun 2008 membiayai empat

program antara lain program-program :

1. Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik

2. Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur

3. Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara

4. Program Pendidikan kedinasan

RKA-KL Tahun Anggaran 2009 membiayai 5 program, 4 program sama dengan

tahun sebelumnya ditambah satu Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas

Aparatur Negara. Sebagai perbandingan tabel di bawah ini memperlihatkan program

yang dibiayai oleh RKA KL 2008 dan RKA KL 2009,

NO KODE PROGRAM 2008 20091

01.01.09***Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik

V V

201.01.10***

Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara

- V

3 01.03.0313*01.01.0113**01.01.13***

Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur

V V

401.01.17

Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara

V V

5 10.06.01 Program Pendidikan kedinasan V V

Nilai Alokasi per program tahun 2008 dan 2009

No Kode Program 2008(dalam ribuan)

2009(dalam ribuan)

1 01.01.09 Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik

58.703.834 58.808.915

2 01.01.10 Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas

9.999.745

Page 96: riset paper ABK

89

Aparatur Negara3 01.01.13 Program Pengelolaan

Sumberdaya Manusia Aparatur230.694.599 118.330.445

4 01.01.17 Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara

82.265.064 111.295.064

5 10.06.01 Program Pendidikan kedinasan

12.522.353 64.700.585

Jumlah total 384.185.850 363.134.754

Nilai alokasi per program dalam prosentase Tahun Anggaran 2008 dan 2009

No Kode Program 2008(dalam ribuan)

2009(dalam ribuan)

1 01.01.09 Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik

15,28 % 16,19 %

2 01.01.10 Program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara

0 % 2,75 %

3 01.01.13 Program Pengelolaan Sumberdaya Manusia Aparatur

60,05 % 32,59 %

4 01.01.17 Program Peningkatan sarana & Prasarana Aparatur Negara

21,41 % 30,65 %

5 10.06.01 Program Pendidikan kedinasan

3,26 % 17,82 %

Jumlah total 100 % 100 %

Salah satu agenda utama dalam penganggaran berdasarkan pada perencanaan

strategis adalah mengintegrasikan prioritas pemerintah secara nasional sebagai

pedoman bagi hasil yang harus dicapai oleh kementerian negara/lembaga melalui

pelaksanaan kegiatan atau program. Setiap tahun pemerintah menetapkan prioritas

nasional sebagai pedoman kerja pemerintah secara umum. Prioritas nasional ini harus

dipahami sebagai pedoman bagi masing-masing departemen atau lembaga yang

terkait dalam proses pelaksanaan program dan kegiatan untuk mencapai tujuan

nasional yang dicitakan. Dengan kata lain harus tercipta sinkronisasi antara Rencana

Kerja Anggaran Kementerian atau Lembaga dengan Rencana Kerja Pemerintah.

Hubungan antara prioritas nasional dan rencana kerja badan diklat keuangan

tidak dapat dibantah memiliki hubungan yang erat karena program-program yang

Page 97: riset paper ABK

90

dilaksanakan merupakan hasil singkronisasi antara prioritas nasional yang tertulis di

RKP dan prioritas Departemen Keuangan sebagai induk organisasi BPPK. Namun

bila kita mencari hubungan antara program yang tercantum dalam renstra sebagai

pedoman strategis BPPK dengan yang dibiayai seperti yang tercantum dalam RKA-

KL maka akan terjadi ketidaksingkronan. Seperti yang diungkapkan dalam data di

atas bahwa Rentra BPPK hanya mencantumkan 2 program sebagai pedoman kegiatan

sedangkan pembiayaan yang tercantum dalam RKA-KL diperuntukkan 4 program di

Tahun 2008 dan 5 program di Tahun 2009. Atau dengan kata lain terdapat program

yang tidak tercantum dalam Renstra tetapi dibiayai dan tercantum dalam RKA-KL

yaitu Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik, Program Peningkatan Sarana &

Prasarana Aparatur Negara untuk Tahun 2008 ditambah Program Peningkatan

Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur. Simpulan umum yang dapat ditarik bila

tidak tercantum dalam Renstra tetapi dibiayai oleh RKA-KL adalah Badan Diklat

melakukan pembiayaan terhadap program yang sebelumnya tidak direncanakan.

Selanjutnya kita akan membahas satu persatu Program yang tidak tercantum dalam

renstra tersebut.

Program Penerapan Pemerintahan Yang Baik merupakan Program yang

menampung kegiatan seperti pengelolaan gaji, honorarium dan tunjangan

penyelenggaraan operasional dan pemeliharaan. Setiap Kementerian Negara/Lembaga

melaksanakan program ini sehingga sering kali banyak pendapat yang mengatakan

bahwa program ini bukanlah merupakan program strategik sehingga tidak wajib

dicantumkan dalam renstra karena dalam kondisi apapun akan tetap dilaksanakan

sebagai aktivitas rutin. Hal ini dapat menjadi pembenaran bagi tidak dicantumkannya

program generik ini dalam sebuah renstra organisasi pemerintahan.

Page 98: riset paper ABK

91

Program berikutnya adalah Program Peningkatan sarana dan Prasarana Aparatur

Negara. Kegiatan yang tercantum dalam program ini antara lain kegiatan

pembangunan/pengadaan/peningkatan sarana dan prasarana, pengadaan tanah,

pengadaan kendaraan, pengadaan peralatan dan perlengkapan gedung. Program ini

juga merupakan program generik di mana setiap K/L bila melakukan kegiatan

semacam ini akan dikelompokkan dalam program yang sama. BPPK mengalokasikan

Program ini pada anggaran Tahun 2008 (RKA-KL) sebesar Rp82.265.064.000 atau

21,41 % dari keseluruhan anggaran Tahun 2008 dan sebesar Rp111.295.064.000 atau

30,65 % untuk anggaran Tahun 2009. Program Peningkatan sarana dan Prasarana

Aparatur Negara memiliki arti penting dari sisi hasil yang berupa aset tetap dan

jumlah yang dialokasikan. Dari sisi hasil yang berupa aset tetap maka akan

mempengaruhi kualitas tupoksi BPPK apabila aset tetap yang mendukung tupoksi

tersedia dengan baik sehingga standar layannan dapat ditingkatkan dan akan

sebaliknya bila aset tetap yang dibutuhkan tidak ada. Dari sisi alokasi amat mustahil

bila alokasi sebesar 21,41 % (2008) dan 30,65 % (2009) termasuk yang tidak

tercantum dalam rencana strategis lembaga.

Program berikutnya adalah program Peningkatan Pengawasan dan Akuntabilitas

Aparatur yang secara sebutan akan jadi pertanyaan apakah ini merupakan tupoksi

BPPK atau bukan? Dan bagaimana bila program ini juga baru muncul Tahun 2009

dan tidak terdapat dalam renstra. Dapat diduga ini merupakan program titipan dari

instansi lain.

4.2.6. Evaluasi Atas Penyusunan Dokumen Anggaran

Permasalahan yang senantiasa dikeluhkan oleh Kementerian/Lembaga selama

ini adalah bagaimana mungkin mencapai kinerja ideal, jika anggaran yang tersedia

Page 99: riset paper ABK

92

tidak mencukupi? Disinilah mungkin permasalahan utama penyusunan anggaran di

negara kita. Ketika dana disadari sangat terbatas maka seharusnya prioritas anggaran

yarus lebih tajam, selama ini prioritas anggaran tidak dapat dibaca dengan jelas dan

masih banyak ketidakkonsistenan dalam penyusunan anggaran di mana seharusnya

anggaran prioritas diikuti dengan pembaiyaan yang terjamin untuk mencapai kinerja

yang diinginkan sedangkan kegiatan yang tidak prioritas seharusnya dapat dilewatkan

atau malahan dihilangkan. Ketika tidak ada kejelasan kegiatan prioritas maka keluhan

anggaran yang terbatas tidak akan pernah dapat diselesaikan. Fakta sampai dengan

Tahun 2008, meski sudah dibungkus dengan istilah berbasis kinerja, jiwa sistem

penganggaran tradisional tak seluruhnya bisa dihapuskan. Bukan hanya karena sistem

tradisional ini sudah mendarah daging selama tiga puluh tahun, namun juga karena

pola pikir yang ada tidak diubah. Kondisi ini dapat kita lihat, bagaimana anggaran

yang disusun lebih berorientasi pada kenaikan jumlah anggaran. Jarang sekali

anggaran suatu unit kerja disusun lebih kecil dari tahun-tahun sebelumnya. Jika

anggaran belanja cenderung membesar dari tahun ke tahun, yang dalam istilah lain

sering disebut sebagai sistem incremental, maka kesulitan justru menyangkut

anggaran pendapatan. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) kita

senantiasa defisit karena tidak mampu mengejar pertambahan Anggaran pengeluaran

yang secara incremental terus bertambah dengan pesat.

Kesulitan lain dalam penyusunan anggaran adalah ketiadaan standar biaya.

Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan

kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. PP No 20/2004 tentang

Rencana Kerja Pemerintah (RKP) dan PP No 21/2004 tentang Penyusunan Rencana

Kerja dan Anggaran Kementerian/Lembaga (RKA-KL) sebagai operasionalisasi

kebijakan penganggaran kinerja. Dalam rangka penyusunan RKA KL Departemen

Page 100: riset paper ABK

93

Keuangan telah membangun aplikasi program komputer RKA-KL dan sudah

digunakan oleh kementerian/lembaga. Tetapi, apakah kinerja benar-benar telah

menjadi basis dalam penyusunan anggaran dengan format RKA-KL tersebut?

Rasanya masih jauh dari harapan. Saat ini, format RKA-KL baru sekadar

menempelkan nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen anggaran,

namun substansi ukuran kinerjanya belum nampak dan proses penyusunannya belum

sesuai dengan prinsip-prinsip penganggaran kinerja.

Kementrian negara/lembaga dalam beberapa hal merasakan penyusunan

anggaran terlalu rinci dan kaku dan kurang fleksibel padahal paradigma baru yang

dikenalkan adalah let’s the manager manage. Hal ini sangat jauh dari esensi anggaran

kinerja yang mengaitkan kinerja dengan anggaran, menjanjikan fleksibilitas dalam

pelaksanaan anggaran, memberikan kebebasan dalam mengelola sumber daya (let’s

the managers manage), dan memiliki mekanisme pelaporan yang dapat memberikan

umpan balik untuk peningkatan kinerja.

Penerapan penganggaran kinerja harus dimulai dengan perencanaan kinerja,

baik pada level nasional (pemerintah) maupun level instansi (kementerian

negara/lembaga), yang berisi komitmen tentang kinerja yang akan dihasilkan, yang

dijabarkan dalam program-program dan kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan.

Setiap instansi selanjutnya menyusun kebutuhan anggaran berdasarkan program dan

kegiatan yang direncanakan dengan format RKA-KL, yang selanjutnya dibahas

dengan otoritas anggaran (Departemen Keuangan, Bappenas, dan DPR). RKA-KL

dari keseluruhan kementerian/lembaga menjadi bahan penyusunan RAPBN bagi

pemerintah. Dalam praktik, masih banyak dijumpai kelemahan sejak perencanaan

kinerja, proses penyusunan dan pembahasan anggaran sampai dengan penuangannya

dalam format-format dokumen anggaran (RKA-KL dan APBN). Meski pemerintah

Page 101: riset paper ABK

94

telah memiliki RKP, namun RKP ini hanya merupakan kompilasi berbagai usulan

program kementrian/lembaga dengan indikator yang juga beragam yang menjadikan

Bappenas mengalami kesulitan untuk merumuskan indikator kinerja nasional. Dalam

RKP belum terlihat dengan jelas apa kinerja yang spesifik dan terukur yang akan

dihasilkan dari program-program pemerintah.

Dalam RKP tercantum sasaran kinerja program, tetapi tidak jelas bagaimana

mengukurnya dan berapa target yang harus dicapai. Misalnya, Program Peningkatan

Pengawasan dan Akuntabilitas Aparatur Negara sebagaimana telah disebutkan di

halaman 89, sasaran yang dirumuskan dalam RKP adalah terwujudnya sistem

pengawasan dan audit yang akuntabel di lingkungan aparatur negara. Tidak jelas apa

kriteria akuntabel dan bagaimana mengukur serta berapa targetnya.

Ketidakjelasan perencanaan kinerja pada level nasional berlanjut pada

ketidakjelasan rencana kinerja (Renja) masing-masing kementrian/lembaga.

Penamaan program dan kegiatan instansi juga belum menunjukkan core business dari

kementerian/lembaga karena masih banyak terpengaruh oleh penamaan program dan

proyek versi lama atau versi Daftar Isian Proyek (DIP). Banyak nama program yang

bersifat generik seperti Program Peningkatan Sarana dan Prasarana, Program

Pengelolaan Sumber Daya Manusia Aparatur, serta Program Penataan Kelembagaan

dan Ketatalaksanaan, yang terdapat pada hampir seluruh instansi. Untuk program

yang sama, tiap instansi mendefinisikan sendiri-sendiri apa sasaran programnya, yang

kemungkinan besar berbeda-beda yang pada akhirnya menyulitkan pendefinisian

ukuran kinerja nasional untuk program tersebut.

Dari sisi proses penyusunan dokumen anggaran, formulir-formulir RKA-KL

( f o r m u l i r 1 . 1 s . d f o r m u l i r 3 . 4 ) , belum m ampu menunjukkan k i n e r j a

kementerian/lembaga, baik kinerja hasil (outcome) program maupun keluaran (output)

Page 102: riset paper ABK

95

kegiatan. Formulir-formulir RKA-KL lebih menonjolkan perhitungan detil anggaran

per kegiatan, sub kegiatan, jenis belanja, dan akun belanja. Dalam formulir 1.1,

indikator keluaran dan hasil program dinyatakan secara naratif dan kualitatif tetapi

tanpa target yang terukur dan jelas. Contoh indikator keluaran untuk perjalanan dinas

dengan ‘Orang Hari (OH)’, untuk pengadaan barang dengan satuan ‘paket’, untuk

penyelenggaraan rapat dengan satuan ‘kali’ dan sebagainya.

Dalam formulir 1.5 kementerian/lembaga membuat perhitungan anggaran per

kegiatan tetapi perhitungan ini masih menggunakan pola lama yang mirip dengan

Lembaran Kerja yang terfokus kepada input, terinci per sub kegiatan, jenis belanja

dan akun belanja anggaran dengan mengalikan volume kegiatan dengan harga

satuannya. Hal ini mengakibatkan RKA-KL terlihat seperti dokumen yang berisi

angka-angka hasil perhitungan matematis. Indikator yang termuat dalam RKA-KL

tidak memenuhi kriteria SMART (spesific, measurable, achievable, relevan & time-

bound).

PP No. 21/2004 mensyaratkan perlunya standar biaya dalam penyusunan

anggaran berbasis kinerja, baik standar biaya umum yang harus disusun oleh Menteri

Keuangan maupun standar biaya khusus per program dan kegiatan yang harus disusun

oleh masing-masing kementerian/lembaga. Standar biaya umum yang ada sekarang

masih berorientasi kepada input, misalnya uang lauk pauk per orang per hari, honor

panitia pengadaan per orang/bulan, pengadaan inventaris kantor perorang/tahun.

Sebagian besar kementerian/lembaga masih mengalami kesulitan dalam menyusun

harga standar biaya khusus per kegiatan dan program, karena tidak didukung oleh

data base, sistem akuntansi dan pencatatan yang baik.

Ketiadaan standar biaya mengakibatkan penyusunan anggaran per program dan

kegiatan menjadi beragam sehingga sulit diukur efisiensinya. Terkait dengan standar

Page 103: riset paper ABK

96

pelayanan minimal, belum semua Departemen memiliki SPM, padahal standar

pelayanan minimal seharusnya menjadi acuan awal dalam menentukan kinerja yang

harus dihasilkan.

4.2.7. Evaluasi Atas Pembahasan Anggaran oleh DPR

Kinerja belum dijadikan dasar alokasi dan acuan pembahasan anggaran di

pemerintah maupun DPR. Pola pembahasan masih menggunakan pola lama, yang

masih berfokus pada penentuan alokasi yang lebih besar didasarkan pada alokasi

tahun sebelumnya. Belum banyak anggota DPR yang concern dengan anggaran

kinerja dan mempertanyakan masalah kinerja pada saat membahas anggaran. Hal ini

sebagian karena keterbatasan data, karena adanya ketimpangan informasi (asymmetry

information). Ketimpangan informasi selain terjadi karena data perencanaan kinerja

(Renja) dan pelaporan kinerja (LAKIP) tidak sampai ke tangan DPR, juga karena

format RKA-KL yang dibahas dengan DPR tidak mampu berbicara mengenai kinerja

yang akan dihasilkan.

Dari perencanaan kinerja yang belum menunjukkan penjabaran yang jelas,

penyusunan RKA-KL dan pembahasan anggaran yang belum mengacu kepada kinerja,

maka dokumen anggaran nasional (APBN) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksanaan

Anggaran) belum memperlihatkan kinerja, output dan outcome yang ingin dicapai.

Dalam pembahasan anggaran, seharusnya DPR lebih fokus pada output dan

outcome. Ketika bahan yang sampai ke DPR memuat pula detil rencana anggaran

sampai dengan daftar kegiatan maka banyak anggota DPR justru lebih berfokus ke

input dibandingkan output apalagi outcome.

Page 104: riset paper ABK

97

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

a. Pemerintah Indonesia telah melakukan persiapan pelaksanaan Anggaran Berbasis

Kinerja tetapi belum sempurna.

1) Pemerintah Indonesia telah melakukan persiapan pelaksanaan Anggaran

Berbasis Kinerja terutama dengan mengeluarkan berbagai peraturan

perundang-undangan serta petunjuk teknis dan pelaksanaannya.

2) Berdasarkan paket undang-undang keuangan negara terjadi perubahan mindset

pengelolaan keuangan negara yang lebih mengedepankan efisiensi dan

efektivitas serta mendorong terwujudnya akuntabilitas dan transparansi.

Namun sampai saat ini pemerintah Indonesia belum mampu merubah mindset

pelaksana teknis penyelenggara pemerintahan sehingga pelaksanaan reformasi

pengelolaan keuangan negara belum berjalan dengan baik. Perubahan

paradigma baru seharusnya didukung oleh personalia atau sumberdaya

manusia yang handal, memiliki kompetensi yang sesuai dan memiliki kinerja

yang jelas dan terukur.

3) Format dokumen penyusunan anggaran di Indonesia baru terfokus pada

penjabaran nama program, kegiatan dan sub kegiatan dalam dokumen

anggaran, tetapi substansi ukuran kinerjanya belum diformulasikan dengan

baik. Hal ini dikarenakan belum dilakukan mekanisme pengumpulan data

kinerja (indikator masukan, keluaran, dan hasil) untuk mengukur kehematan,

efektivitas, efisiensi, dan kualitas pencapaian sasaran.

Page 105: riset paper ABK

98

4) Hingga kini belum semua unit pemerintahan yang bertindak sebagai unit

layanan memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM). SPM yang ada belum

dapat digunakan sebagai dasar menetapkan target outcome minimum.

5) Biaya (pengeluaran) dalam analisis standar biaya (ASB) yang digunakan

untuk mendanai output belum menggunakan metode penghitungan biaya yang

memadai atau standard costing yang jelas.

6) Terdapat beberapa kelemahan dalam pelaksanaan audit sehingga

pelaksanaannya tidak efisien dan efektif. Pertama, tidak tersedianya indikator

kinerja yang memadai sebagai dasar mengukur kinerja pemerintah. Kedua,

masalah kelembagaan audit yang overlapping satu dengan lainnya, contoh

BPK, BPKP, dan Itjen Departemen/Lembaga.

b. Pemerintah Indonesia telah melaksanakan Anggaran Berbasis Kinerja tetapi

belum utuh dan konsisten.

1) Sudah terdapat peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan sebagai

dasar hukum bagi pelaksanaan anggaran berbasis kinerja. Tetapi belum semua

aturan tersebut diimplementasikan dengan baik dan konsisten.

2) Masih kurangnya pemahaman semua pihak tentang peraturan perundan-

undangan yang be r l aku dan mas ih l emahnya komi tmen u n t u k

melaksanakannya menjadikan implementasi anggaran berbasis kinerja belum

berjalan dengan baik.

3) Peraturan perundang-undangan yang ada dilaksanakan baru sekedar

memenuhi aspek legal formal dan masih jauh dari esensi yang diharapkan dari

penerapan anggaran berbasis kinerja.

Page 106: riset paper ABK

99

4) Dalam rangka meningkatkan transparansi dan kejelasan dalam proses

anggaran dokumen anggaran dibuat rinci tetapi akibatnya dokumen anggaran

menjadi rumit dan berfokus pada sisi input. Hal ini menyebabkan waktu yang

diperlukan untuk persiapan dan pembahasan anggaran menjadi lama. D i

antara kerumitan penyusunan dokumen anggaran adalah klasifikasi anggaran

yang tidak sepenuhnya dipahami oleh satker.

5) Penyusunan program dan kegiatan belum sepenuhnya mempedomani

dokumen perencanaan strategis. Terdapat missing link antara Renstra, Renja,

Program, Kegiatan, dan RKA-KL. Muncul program dalam RKA-KL yang

tidak terdapat dalam Renstra.

6) Satker baik intern maupun antar Departemen/Lembaga tidak terkoordinasi

dalam penyusunan program/kegiatan dan penganggarannya . Ha l in i

mengakibatkan adanya duplikasi program/kegiatan dan pendanaannya serta

adanya program/kegiatan yang tidak tertampung di satker manapun.

7) Anggaran yang disusun lebih berorientasi pada kenaikan jumlah anggaran.

Anggaran belanja yang cenderung membesar (incremental) dari tahun ke

tahun mengakibatkan ketidakseimbangan antara anggaran belanja dengan

anggaran pendapatan.

8) Penyusunan anggaran per program dan kegiatan beragam dikarenakan belum

menggunakan metode penghitungan biaya yang memadai atau standard

costing yang jelas sehingga sulit diukur efisiensinya. Standar biaya yang ada

juga belum dilaksanakan secara konsisten.

9) Pembahasan anggaran di pemerintah maupun DPR belum sepenuhnya

berlandaskan penilaian atas kinerja. Pola pembahasan masih menggunakan

pola lama yang lebih terfokus pada penentuan alokasi anggaran. Banyak

Page 107: riset paper ABK

100

anggota DPR yang tidak concern dengan anggaran kinerja pada saat

membahas anggaran. Dalam pembahasan anggaran seharusnya DPR lebih

fokus output dan outcome. Tetapi ketika dokumen penyusunan anggaran yang

disampaikan ke DPR memuat detil rencana anggaran sampai dengan daftar

kegiatan maka banyak anggota DPR justru lebih fokus ke input. Hal ini

mengakibatkan konsep fleksibiltas penganggaran yang mengarah pada prinsip

let’s the manager manage belum sepenuhnya diwujudkan.

10) Belum tersedia sistem monitoring dan evaluasi yang terintegrasi untuk

mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan kinerja anggaran. Tidak adanya

sistem monitoring dan evaluasi juga menjadikan sulit untuk mendapatkan

feedback pelaksanaan anggaran.

5.2. Saran

a. Terkait dengan telah tersedianya landasan hukum yang telah dibuat untuk

memberikan landasan bagi penerapan anggaran berbasis kinerja maka diperlukan

adanya upaya yang konsisten dan terus-menerus untuk menerapkan aturan-aturan

tersebut. Konsistensi implemenrtasi aturan hukum tersebut harus diikuti dengan

upaya-upaya untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman semua pihak untuk

tidak sekedar memenuhi syarat legal formal tetapi esensi dan tujuan adanya aturan

tersebut harus dipenuhi dan senantiasa terus ditingkatkan.

b. Perlu diperjelas dan dipertegas tugas pokok dan fungsi dari setiap satker di

kementerian/lembaga. Hal ini dilakukan untuk menghindari adanya duplikasi

perencanaan program/kegiatan dan pendanaannya termasuk urusan yang belum

ditampung di satker baik dalam intern kementerian/lembaga maupun antar

Page 108: riset paper ABK

101

kementerian/lembaga. Disini peran Departemen Keuangan dan Bappenas

diperlukan untuk melakukan koordinasi di antara kementerian/lembaga.

c. Untuk dapat menyusun standar biaya yang baik maka diperlukan sistem akuntansi

berbasis akrual.

d. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengkaji tahapan-tahapan pelaksanaan

anggaran berbasis kinerja di negara lain dan di mana posisi Indonesia.

Page 109: riset paper ABK

102

DAFTAR PUSTAKA

Allen, R. (1999) “New Public Management:’ Pitfalls for Centrals and EasternEurope.” Public Management Forum 1(4).

Bram Scheers, Miekatrien Sterck and Geert Bouckaert, “Lessons from Australian and British Reforms in Results –oriented Financial Management”, Vol 5 No.2 Th 2005.

Christopher Pollitt, “Public Management Reform: Reliable Knowledge and International Experience” , OECD Journal on Budgeting, Vol 3 No.3 Th 2003;

David Webber, “Managing the Public Money: From Outputs to Outcomes-and Beyond, OECD Journal on Budgeting, Vol 4 No.2 Th 2004;

Departemen Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 171/PMK.05/2005 tentang Sistem Akuntansi dan Pelaporan Keuangan Pemerintah Pusat;

Departemen Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 131/PMK.01/2006 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Keuangan.

Directorate General of Budget, The Indonesian Budget 2008, Majalah Warta Anggaran, Directorate General of Budget,2008;

Direktorat Jenderal Anggaran, Reformasi Sistem Penganggaran “konsep Dan Implementasi 2005-2007”, Jakarta, 2006

Dunleavy, P., and C. Hood 1994. “From Old Public Administration to New Public Management.” Public Money and Management (July –Sept.): 9-16.

Hideaki Tanaka, OECD Journal on Budgeting, “Fiscal Consolidation and Mefium Term Fiscal Planning in Japan”, Vol 3 No.2 Th2003;

John R. Blondal, Chiara Goretti and Jens Kromann Kristensen, OECD Journal on Budgeting, “Budgeting in Brazil”, Vopl 3 No.1 Th2003;

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Penyusunan Penetapan Kinerja, Jakarta 2005;

Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara, Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi (SAKIP) dalam Konstelasi Peraturan Perundangan Manajemen Sektor Publik, Jakarta 2005;

Ken Warren and Cheryl Barnes, “ The Impact of GAAP on Fiscal Decision Making: A Review of Twelve Years’ Experience with Accrual and Output-based Budgets in New Zealand”, OECD Journal on Budgeting, Vol 3 No.4 Th 2003;

Page 110: riset paper ABK

103

Lembaga Administrasi Negara, Keputusan Kepala LAN No 589/IX/6/Y/99 tentang Pedoman Penyusunan Pelaporan AKIP;

Pemerintah (SAKIP) Dalam Konstelasi Peraturan Perundangan Manajemen Sektor Publik, Jakarta 2005;

Pemerintah Republik Indonesia Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;

Pemerintah Republik Indonesia, Instruksi Presiden RI nomor 7 Tahun 1999 tentang Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 20/2004 tentang Rencana Kerja Pemerintah;

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 21/2004 tentang Rencana Kerja Anggaran Kementerian Lembaga (RKA-KL);

Pemerintah Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 2005 tentang Pedoman Penyusunan dan Penerapan SPM;

Pemerintah Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;

Pemerintah Republik Indonesia, Undang Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Pertanggungjawaban Keuangan Negara;

Schick, A. “Sustainable Budget Policy: Concepts and Approaches”, OECD Journal on Budgeting, Vol 5 No.1 Th 2005;

Schick, A. 1996. The Spirit of Reform: Managing the New Zealand State Sector in aTime of Change. Wellington, New Zealand: State Services Commission.

Schick,A. “Twenty five Years of Budgeting Reform”, OECD Journal on Budgeting, Vol 4 No.1 Th 2004;

Schick,A. “The Role of Fiscal Rules in Budgeting:, OECD Journal on Budgeting, Vol 3 No.3 Th 2003;

Trisacti Wahyuni, Penganggaran Berbasis Kinerja Pada Kementerian/Lembaga : Masih Harus Banyak Berbenah diposting darihttp://www.bpkp.go.id/warta/index.php?view=688