Top Banner
RINGKASAN SKRIPSI KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar SARJANA HUKUM O l e h: LOURENT SINAGA NPM.086000078 BAGIAN HUKUM PIDANA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS SIMALUNGUN PEMATANGSIANTAR 2012
31

Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

Dec 28, 2015

Download

Documents

RickyAdriwan
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

RINGKASAN SKRIPSI

KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF

HUKUM DAN HAM

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi

Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

O l e h:

LOURENT SINAGA

NPM.086000078

BAGIAN HUKUM PIDANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SIMALUNGUN

PEMATANGSIANTAR

2012

Page 2: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF

HUKUM DAN HAM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi

Syarat-syarat Untuk Mencapai Gelar

SARJANA HUKUM

Oleh:

LOURENT SINAGA

NPM.086000078

BAGIAN HUKUM PIDANA

DISETUJUI OLEH:

PEMBIMBING UTAMA

RAHAMEN SARAGIH, S.H., M.Hum.

DIKETAHUI OLEH

DEKAN KETUA BAGIAN

JANUARISON SARAGIH, S.H., M.Hum. JASEBEL GIRSANG,S.H.

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SIMALUNGUN

PEMATANGSIANTAR

2012

Page 3: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

PAKTA INTEGRITAS

Yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Lourent Sinaga

Npm : 086000078

Fakultas : Hukum

Bagian : Hukum Pidana

Menyatakan bahwa, skripsi yang berjudul: “KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK

PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM”, adalah

asli hasil karya sendiri, bebas plagiat. Sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau

pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali yang secara tertulis diacu

dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terbukti dan

terdapat plagiat dalam karya tersebut maka saya bersedia menerima sanksi sesuai ketentuan

perundang-undangan sebagaimana tertulis dalam Pasal 12 ayat (1) Permendiknas RI nomor 17

Tahun 2010.

Pematangsiantar, Agustus 2012

Yang membuat Pakta Integritas,

Lourent Sinaga 086000078

Page 4: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

ABSTRAK

KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM

Nama : Lourent Sinaga

Npm : 086000078

Bagian : Hukum Pidana

Praktek perdagangan orang khususnya yang dialami oleh perempuan dan anak-anak

terjadi dengan berbagai modus operandi yang melibatkan berbagai pihak yang kadangkala

sulit dideteksi dengan jaringan yang begitu rapi bahkan acapkali melibatkan para

penyelenggara negara dengan menyalah gunakan kekuasaannya. Peraturan yang ada didalam

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang melarang perdagangan orang hanya

mengatur secara sekilas saja sehingga seiring dengan perkembangan zaman dirasakan sudah

tidak memadai sehingga dengan dibentuknya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diharapkan dapat memberantas setidak-

tidaknya meminimalisir tindak pidana perdagangan orang untuk mewujudkan perlindungan

terhadap hukum dan hak asasi manusia. Terkait dengan tindak pidana perdagangan orang ini

dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut:

1. Bagaimanakah tindak pidana perdagangan orang ini dilihat dari sisi Hukum dan HAM.

2. Bagaimanakah kebijakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pencegahan tindak pidana

perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM.

3. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam

perspektif Hukum dan HAM.

Dalam penulisan ini, penulis hanya mengkaji berbagai literatur yang ada yang relavan dengan

permasalahan tersebut, maka didapatlah kesimpulan sebagai berikut:

1. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat

manusia, hak dan kewajibannya yang merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia yang harus dicegah dan ditanggulangi atau diberantas.

2. Untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan

melalui tahapan kebijakan hukum yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi.

3. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang yaitu

dengan pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling serta bantuan hukum dan

pemberian informasi.

Kata kunci: Perdagangan orang, Hukum dan HAM.

Page 5: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

DAFTAR ISI

PAKTA INTEGRITAS

ABSTRAK

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………. 1

A. Alasan Memilih Judul ……………………………………………. 1

B. Rumusan Masalah ………………………………………………… 3

C. Hipotesa …………………………………………………………… 3

D. Batasan Penulisan ………………………………………………… 3

E. Tujuan Penulisan …………………………………………………. 3

F. Metode Penelitian ………………………………………………… 4

BAB II URAIAN UMUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG.. 5

A. Sekilas Tentang Sejarah Perdagangan Orang …………………….. 5

B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang ………………….. 7

C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang …………….. 8

BAB III LATAR BELAKANG TERJADINYA TINDAK PIDANA

PERDAGANGAN ORANG…………………………………………. 10

A. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan ………………………… 10

B. Latar Belakang Sosial Budaya dan Ketidaksetaraan Gender ……… 11

C. Latar Belakang Penegakan Hukum Dan Moral ………………….. 12

BAB IV KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN

ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM ………….. 16

A. Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari Sisi Hukum Dan HAM …. 16

B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana

Perdagangan Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM ……….. 18

C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang Dalam

Perspektif Hukum dan HAM………………………………………. 19

BAB V PENUTUP ……………………………………………………………. 23

A. Kesimpulan ………………………………………………………… 23

B. Saran ……………………………...................................................... 23

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Alasan Memilih Judul

Perdagangan orang adalah salah satu bentuk modern dari perbudakan manusia yang

merupakan perlakuan terburuk terhadap harkat dan martabat manusia. Bertambah maraknya

masalah perdagangan orang di berbagai negara, termasuk Indonesia dan negara-negara yang

sedang berkembang lainnya, telah menjadi perhatian Indonesia sebagai bangsa, masyarakat

internasional, dan anggota organisasi internasional, terutama Perserikatan Bangsa-Bangsa

(PBB).

Berdasarkan bukti empiris, perempuan dan anak adalah kelompok yang paling

banyak menjadi korban tindak pidana perdagangan orang. Korban diperdagangkan tidak hanya

untuk tujuan pelacuran atau bentuk eksploitasi seksual lainnya, tetapi juga mencakup bentuk

eksploitasi yang lain, Misalnya kerja paksa atau pelayanan paksa, perbudakan, atau praktik

serupa perbudakan itu. Pelaku tindak pidana perdagangan orang melakukan perekrutan,

pengangkutan, pemindahan, penyembunyian, atau penerimaan orang untuk tujuan menjebak,

menjerumuskan, atau memanfaatkan orang tersebut dalam praktik eksploitasi dengan segala

bentuknya dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, pemalsuan,

penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, atau memberi bayaran atau manfaat

sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas korban.

Bentuk-bentuk eksploitasi meliputi kerja paksa, atau pelayanan paksa, perbudakan, dan

praktik-praktik serupa perbudakan, kerja paksa atau pelayanan paksa adalah kondisi kerja

yang timbul, melalui cara, rencana, atau pola yang dimaksudkan agar seseorang yakin bahwa

jika ia tidak melakukan pekerjaan tertentu, maka ia atau orang yang menjadi tanggungannya

akan menderita baik secara fisik maupun psikis.

Perbudakan adalah kondisi seseorang di bawah kepemilikan orang lain. Praktik

serupa perbudakan adalah tindakan menempatkan seseorang dalam kekuasaan orang lain

sehingga orang tersebut tidak mampu menolak suatu pekerjaan yang secara melawan hukum

diperintahkan oleh orang lain itu kepadanya, walaupun orang tersebut tidak menghendakinya.

Tindak pidana perdagangan orang sebenarnya sudah dikenal sejak lama bahkan

sebelum kita mengenal abad modern seperti sekarang ini praktek perdagangan orang tersebut

sudah dikenal pada jaman dahulu kala dengan sebutan perbudakan. Pada masa itu perbudakan

Page 7: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

2

merupakan keadaan umum yang wajar yang dapat terjadi terhadap siapapun dan kapan pun

dan pada masa itu tidak semua orang memandang bahwa perbudakan tersebut sebagai praktek

jahat atau tidak adil.

Seiring dengan perkembangan jaman dimana manusia semakin mengenal tingkat

peradaban, dan juga semakin berkembangnya hukum yang semakin memperhatikan unsur-

unsur kemanusiaan maka praktek-praktek perdagangan orang seperti perbudakan tersebut

diatas semakin berkurang bahkan kalau boleh dikatakan sekarang ini hampir tidak dikenal

lagi. Fenomena yang terjadi kemudian adalah bentuk-bentuk perdagangan orang yang justru

semakin meningkat dengan berbagai modus operandi yang terkadang sulit untuk dideteksi dan

tindak pidana orang tersebut korbannya khususnya adalah perempuan dan anak-anak. Semakin

maraknya tindak pidana perdagangan orang ini bahkan tidak hanya melibatkan perorangan

tapi juga korporasi dan acapkali justru para penyelenggara negara menyalahgunakan

wewenang dan kekuasaannya yang membuat praktek perdagangan orang semakin merajalela.

Jaringan pelaku tindak pidana perdagangan orang bahkan memiliki jangkauan operasi tidak

hanya antar wilayah dalam negeri tetapi juga antarnegara dengan menggunakan berbagai cara

termasuk teknologi canggih.

Ketentuan mengenai larangan perdagangan orang pada dasarnya telah diatur dalam

Pasal 297 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menentukan mengenai

larangan perdagangan wanita dan anak laki-laki belum dewasa dan mengkualifikasikan

tindakan tersebut sebagai kejahatan. Namun Pasal 297 KUHP ini memberikan sanksi yang

terlalu ringan dan tidak sepadan dengan dampak yang diderita korban akibat kejahatan

perdagangan orang. Dengan latar belakang tersebut dibentuklah undang-undang khusus untuk

mengantisipasi dan menjerat semua jenis tindakan dalam proses, cara, atau semua bentuk

eksploitasi yang mungkin terjadi dalam praktek perdagangan baik yang dilakukan

antarwilayah dalam negeri maupun antarnegara baik oleh pelaku perorangan maupun

korporasi, yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak

Pidana Perdagangan Orang yang merupakan kejahatan terhadap hak asasi manusia.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 ini telah membawa nuansa positif

untuk mengantisipasi, mencegah dan menanggulangi segala bentuk tindak pidana perdagangan

orang. Demikian juga dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan upaya bukan hanya untuk

Page 8: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

3

mencegah kejahatan Hak Asasi Manusia (HAM) tetapi lebih luasnya untuk menanggulangi

serta melindungi keberadaan keberadaan HAM.

Begitu rumitnya masalah perdagangan orang ini dengan berbagai latar belakangnya

serta bagaimana dia dilihat dari sisi Hukum dan HAM menarik minat penulis untuk mengkaji

dan mendalaminya lebih lanjut, sehingga memilih judul: KAJIAN YURIDIS TENTANG

TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN

HAM.

B. Rumusan Masalah

4. Bagaimanakah tindak pidana perdagangan orang ini dilihat dari sisi Hukum dan HAM.

5. Bagaimanakah kebijakan hukum yang dapat dilakukan terhadap pencegahan tindak pidana

perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM.

6. Bagaimana pula perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang dalam

perspektif Hukum dan HAM.

C. Hipotesa

4. Tindak pidana perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat

manusia, hak dan kewajibannya yang merupakan pelanggaran terhadap Hak Asasi

Manusia yang harus dicegah dan ditanggulangi atau diberantas.

5. Untuk melakukan pencegahan terhadap tindak pidana perdagangan orang dapat dilakukan

melalui tahapan kebijakan hukum yaitu tahapan formulasi, aplikasi dan eksekusi.

6. Perlindungan hukum yang dapat diberikan terhadap korban perdagangan orang yaitu

dengan pemberian restitusi dan kompensasi, layanan konseling serta bantuan hukum dan

pemberian informasi.

D. Batasan Penulisan

Setiap tulisan yang berupa karya ilmiah haruslah ada batasan penulisannya supaya

penulisan tadi lebih terarah, tidak mengambang dan fokus kepada permasalahan yang ada.

Demikian halnya dalam tulisan ini, penulis membatasi diri untuk mengkaji bagaimana tindak

pidana perdagangan orang tersebut dalam perspektif Hukum dan HAM dalam arti

penekanannya khusus dalam lingkup Hukum dan HAM saja, sehingga dengan demikian

tulisan ini diharapkan lebih gampang dipahami dan dicerna.

E. Tujuan Penulisan

1. Untuk mengetahui tindak pidana perdagangan orang dilihat dari sisi Hukum dan HAM.

Page 9: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

4

2. Untuk mengetahui kebijakan hukum pidana terhadap pencegahan tindak pidana

perdagangan orang dalam perspektif Hukum dan HAM.

3. Untuk mengetahui model perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang

dalam perspektif Hukum dan HAM.

F. Metode Penelitian

Dalam penelitian ini penulis hanya mempergunakan Penelitian Kepustakaan (Library

Research) yaitu dengan membaca, megupas, dan mendalami berbagai literatur yang ada yang

sudah banyak ditemukan yang dapat memberikan solusi atas segala permasalahan yang ada

yang menyangkut tentang tindak pidana perdagangan orang. Disamping itu karena semakin

rapi dan canggihnya praktek pelaksanaan perdagangan orang membuat kasus tersebut jarang

muncul ke permukaan bahkan kasusnya sangat minim sekali sampai ke pengadilan membuat

penulis lebih cenderung untuk mengadakan penelitian kepustakaan saja.

Page 10: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

5

BAB II

URAIAN UMUM TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Sekilas Tentang Sejarah Perdagangan Orang.

Pada dasarnya perdagangan orang bukanlah hal yang baru, dalam arti bahwa jauh

sebelum manusia mengenal peradaban seperti sekarang ini, perdagangan orang sudah

berlangsung begitu lama.

Dalam sejarah perdagangan orang, pada awalnya yang menjadi objek perdagangan

adalah perempuan yang sering dilakukan transaksi jual beli di pasar-pasar layaknya seperti

dagangan binatang atau barang-barang lainnya, sehingga perempuan tersebut khususnya

dimata laki-laki sepertinya kurang atau bahkan tidak berharga, seperti legenda terkenal di

Yunani, yaitu tentang kisah Dewi Aphrodite. Dewi Aphrodite dengan mudahnya menghianati

suaminya yang oleh masyarakat Yunani dianggap sebagai Dewa. Aphrodite melahirkan anak

yang bernama Koubid yang dianggap sevagai Dewa Cinta. Dewa Cinta itu lahir dari hasil

perselingkuhan Aphrodite dengan kekasihnya. Legenda ini sangat merendahkan martabat dan

moral perempuan, karena merupakan penghianatan moral.1)

Demikian juga kalau kita menyaksikan film-film Romawi Kuno dan Mesir acapkali

kaum laki-laki bertindak sesuka hatinya terhadap perempuan dan berhak menjual atau

menganiaya istri dan anak-anaknya dengan alasan apapun.

Di India, Konstitusi Manu (kitab suci agama Hindu, memandang wanita hanya sebagai

pengikut dan baying-bayang suami. Jika suami meninggal dunia, istri harus ikut meninggalkan

kehidupan. Sedangkan menurut agama Nasrani yang menyebar di Eropa dan beberapa negara

Timur Tengah, menganggap perempuan sangat diremehkan. Paus Sostam (tokoh agama suci

Nasrani) mengatakan: “wanita adalah jahat yang tidak dapat dihindari, penyakit terkutuk yang

akan menimpa laki-laki dengan penuh kesadaran, dan bencana yang dikemas dalam hiasan

yang elok dan memikiat”. Pastor Tortulian menganggap “wanita adalah gerbang masuknya

setan ke dalam hati dan iwa laki-laki, selalu menyalahi ajaran-ajaran tuhan dan senantiasa

mebujuk laki-laki untuk keluar dari agamanya”.2)

_______________________________

1)Ahsin Sakho Muhammad, Sayuti Anshari Nasution, Ahmad Munif Suratmaputra, Ensiklopedi Al-Quran Jilid 3,

Kharisma Ilmu, Jakarta, ha103. 2)

Ibid., hal. 105.

Page 11: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

6

Pada masa jahiliuah di Arab, perempuan sangat tertindas dan terpinggirkan.

Kelahiran bayi perempuan dianggap membuat aib keluarga dan akan mendatangkan sial bagi

keluarga.

Bayi perempuan yang lahir akan disembunyikan oleh keluarganya, karena setiap bayi

lahir yang berjenis kelamin perempuan akan dibunuh dan

dikubur hidup-hidup (al-mau’udah), selain itu kaum perempuan tidak berhak atas warisan,

bahkan perempuan termasuk harta yang dapat diwariskan. Keadaan ini sangat merendahkan

martabat dan derajat kaum perempuan, dan merendahkan sendi-sendi keluarga.3)

Di Indonesia masalah perdagangan orang juga pernah terjadi melaui perbudakan pada

zaman kerajaan-kerajaan yang terbukti dari para raja-raja yang mempunyai banyak selir. Selir-

selir tersebut ada yang diserahkan atau di jual untuk menyenangkan hati raja dan bahkan ada

yang secara terpaksa harus menyerahkan putrinya kepada raja dengan maksud agar raja senang

dan mereka mempunyai ikatan kekeluargaan dengan raja/istana untuk meningkatkan derajat

keluarganya.

Di Bali juga terjadi hal tersebut, misalnya soerang janda dari kasta rendah tanpa

dukungan yang kuat dari keluarganya, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja

memutuskan tidak mengambil dan masuk ke lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar

kota untuk menjadi pelacur dan sebahagian penghasilannya harus diserahkan kepada raja

secara teratur. Perlakuan terhadap orang, yaitu perempuan sebagai barang dagangan tidak

terbatas di Jawa saja, tetapi kenyataan juga di seluruh Asia. 4)

Dalam Prostitution in Colonial Java dalam DP Chandler and M.C. Ricklefs bahwa

prostitusi diIndonesia mengalami puncaknya sekitar tahun 1811, yaitu pada saat pembangunan

jalan Anyer-Panarukan dan dilanjutkanpembangunan jalan dan stasiun kereta api oleh

Dandaels. Sekarang juga masih terjadi di mana lokalisasi prostitusi dekat stasiun kereta api.

Perkembangan prostitusi kedua adalah tahun 1870 ketika pemerintah Belanda melakukan

privatisasi perkebunan atau kulturstelsel.5)

_________________________________

3) Dr. Hj. Henny Nuraeny, S.H., M.H. Tindak Pidana Perdagangan Orang: Kebijakan Hukum Pidana dan

Pencegahannya, Sinar Grafika, 2011. hal. 92 4)

Terence H. Hull, Endang S., Gavin W. Jones, Pelacuran di Indonesia, cetakan I, Jakarta: Pustaka Sinar

Harapan, 1997, hal. 2. 5)

Kuntjoro, Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan No. 36, 2004, Yayasan

Jurnal Perempuan, cetakan pertama, Jakarta, Juli 2004.

Page 12: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

7

Begitu juga periode penjajahan Jepang, perdagangan orang berbentuk kerja rodi dan

komersial seks terus berkembang. Selain memaksa perempuan pribumi menjadi pelacur,

Jepang juga membawa banyak perempuan ke Jawa dari Singapura, Malaysia, dan Hongkong

untuk melayani perwira tinggi Jepang.6)

Praktek perdagangan orang setelah masa penjajahan Jepang juga berlangsung terus dan

bahkan hingga sekarang ini tidak bisa dipungkiri perdagangan orang semakin marak

khususnya untuk tujuan komersil seperti bayi yang diperjual belikan, perempuan yang

diperjual belikan sebagai pelayan di restoran, pembantu rumah tangga, pemain sandiwara atau

bahkan sebagai pelacur di tempat rumah pelacuran yang awalnya mereka diiming-imingi

dengan berbagai kehidupan mewah, namun akhirnya tertipu oleh orang-orang yang tidak

bertanggung jawab.

B. Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang

1. Menurut KUHP

Pada dasarnya di dalam KUHP tidak ada defenisi secara resmi dan jelas tentang

perdagangan orang, namun dalam Pasal 297 ada diatur secara eksplisit sehingga tidak dapat

dirumuskan unsur-unsur tindak pidana yang dapat digunakan oleh penegak hukum untuk

melakukan penuntutan dan pembuktian adanya tindak pidana perdagangan wanita dan anak

laki-laki dibawah umur.

Pasal 297 tidak menjelaskan tentang eksploitasi sebagai unsur tujuan atau maksud

dari perdagangan wanita dan laki-laki di bawah umur, tetapi dalam penjelasan KUHP yang

disusun oleh R. Sugandhi bahwa perdagangan wanita dan anak laki-laki di bawah umur ke

luar negeri hanya terbatas pada eksploitasi pelacuran atau pelacuran paksa.7)

Hampir sama dengan penjelasan Pasal 297 KUHP menurut R. Soesilo bahwa

8)yang

dimaksud dengan perdagangan perempuan adalah melakukan perbuatan-perbuatan dengan

maksud untuk menyerahkan perempuan guna pelacuran. Masuk pula di sini mereka yang

_________________ 6)

Dian Kartika Sari, Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Dalam Tinjauan Hukum, makalah

disampaikan pada Semiloka sehari Woman Trafficking dalam Perspektif agama dan Budaya, Jakarta, 8 Agustus

2002), hal 1.

7) R. Sugandhi, KUHP dengan Penjelasannya, Surabaya: Usaha Nasional, 1980, hal. 314.

8) R. Soesilo, Kitab Undang Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal,

Bogor: Politea, 1976, hal. 188.

Page 13: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

8

biasanya mencari perempuan-perempuan muda untuk dikirim ke luar negeri yang maksudnya

akan digunakan untuk pelacuran.

2. Menurut Rancangan Undang Undang KUHP Tahun 2006

Dalam RUU KUHP tidak ditemukan pengertian perekrutan, pengiriman,

penyerahterimaan, pengertian tersebut ada dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Orang. Juga pengertian penyalahgunaan kekuasaan dan

pemanfaatan posisi kerentanan dan penjeratan utang tidak dijelaskan dalam RUU KUHP.

“Dalam RUU KUHP terdapat unsur tujuan atau maksud dari perdagangan orang adalah

bertujuan untuk eksploitasi atau berakibat tereks-ploitasi orang tersebut, tetapi eksploitasi

yang merupakan tujuan perdagangan tidak didefenisikan. unsur tujuan ini tidak relevan lagi

atau tidak berarti apabila cara-cara pemaksaan atau penipuan sebagaimana diuraikan dalam

defenisi di atas digunakan. Hal ini tidak dijelaskan dalam RUU KUHP, tetapi dalam Undang-

Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

ditegaskan dalam Pasal 1 angka 9, dengan menyebutkan bahwa “eksploitasi adalah tindakan

memanfaatkan orang baik dengan atau tanpa persetujuan orang tersebut…”

3. Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan

Orang

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana Perdagangan

Orang. Pasal 2 ayat (1) berbunyi: “Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan,

penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman

kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan,

penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau

manfaat walaupun memperoleh persetujuan dari orang tersebut di wilayah negara Republik

Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 120.000.000,00 (seratus dua puluh juta

rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah). Dengan adanya

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang, maka Pasal 297 dan Pasal 324 KUHP tidak berlaku lagi.

C. Ruang Lingkup Tindak Pidana Perdagangan Orang

Dalam Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 dirumuskan mengenai ruang lingkup

tindak pidana perdagangan orang, yaitu:

Page 14: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

9

1. Setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang

ditentukan dalam undang-undang ini (Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007). Selain itu,

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 juga melarang setiap orang yang memasukan

orang ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) untuk dieksploitasi;

2. Membawa Warga Negara Indonesia (WNI) ke luar wilayah NKRI untuk tujuan

eksploitasi;

3. Mengangkat anak dengan menjanjikan sesuatu atau memberikan sesuatu untuk maksud

eksploitasi;

4. Mengirimkan anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun; dan setiap orang

yang menggunakan atau memanfaatkan korban TPPO dengan cara melakukan

persetubuhan atau pencabulan, mempekerjakan korban untuk tujuan eksploitasi atau

mengambil keuntungan;

5. Setiap orang yang memberikan atau memasukan keterangan palsu pada dokumen negara

atau dokumen lain untuk mempermudah TPPO;

6. Setiap orang yang memberikan kesaksian palsu, menyampaikan bukti palsu atau barang

bukti palsu, atau mempengaruhi saksi secara melawan hukum;

7. Setiap orang yang menyerangan fisik terhadap saksi atau petugas dipersidangan perkara

TPPO; setiap orang yang mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau

tidak langsung penyidikan, penuntutan dan persidangan di sidang Pengadilan terhadap

tersangka, terdakwa, atau saksi dalam perkara TPPO; setiap orang yang membantu

pelarian pelaku TPPO;

8. Setiap orang yang memberikan identitas saksi atau korban padahal seharusnya

dirahasiakan.

Page 15: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

10

BAB III

LATAR BELAKANG TERJADINYA TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

A. Latar Belakang Ekonomi dan Pendidikan

Faktor ekonomi menjadi penyebab terjadinya perdagangan manusia yang

dilatarbelakangi kemiskinan dan lapangan kerja yang tidak ada atau tidak memadai dengan

besarnya jumlah penduduk, sehingga kedua hal inilah yang menyebabkan seseorang

melakukan sesuatu, yaitu mencari pekerjaan meskipun harus ke luar dari daerah asalnya

dengan risiko yang tidak sedikit. Menurut Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004, bahwa

jumlah penduduk miskin Indonesia mencapai 37,7 juta jiwa di daerah perkotaan. Dari 213 juta

pendudukan Indonesia pada saat ini hidup di bawah garis kemiskinan yang ditetapkan oleh

pemerintah, dengan penghasilan kurang dari Rp 9000,00 per hari dan pengangguran di

Indonesia pun semakin meningkat jumlah per harinya.9)

Sebuah studi dari Wijers dan Lap Chew mengenai perdagangan orang di 41 negara

menunjukkan bahwa keinginan untuk memperbaiki situasi ekonomi ditambah dengan

langkanya peluang ekonomi di tempat asalmerupakan salah satu alasan utama

mencaripekerjaan di luar negeri. peneliti di Indonesia juga menyatakan bahwa motivasi utama

ekonomi bagi kebanyakan pekerja untuk bermigrasi adalah motivasi karena ekonomi10)

.

Ini sesuai dengan teori migrasi yang dikembangkan oleh Everest S. Lee yang

menjelaskan bahwa: “Keputusan berpindah tempat tinggal dari satu wilayah ke wilayah lain

adalah merupakan konsekuensi dari perbedaan dalam nilai ke faedahan antara daerah asal dan

daerah tujuan. Perpindahan terjadi jika ada faktor pendorong (push) dari tempat asal dan faktor

penarik (pull) dari tempat tujuan.”11)

Kemiskinan bukan satu-satunya indicator kerentanan seseorang terhadap

perdagangan orang. Ternyata disisi lain masih ada juga begitu banyak penduduk Indonesia

yang hidup dalam kemiskinan tetapi tidak menjadi korban perdagangan orang, malah

sebaliknya justru ada penduduk yang relatif baik ekonominya dan tidak hidup dalam

_______________________ 9)

Dra. Farhana, S.H., M.H., M.Pdi. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta:

2010. hal 50 10)

Rosenberg, Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID. 2003 hal. 137-138 11)

Muhadjir Darwin, Pencegahan Migran dan Seksualitas, Center for Population and Policy Studies, Gajah

Mada University, 2003.

Page 16: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

11

kemiskinan malah menjadi korban perdagangan orang. Ini disebabkan mereka beremigrasi

untuk mencari pekerjaan bukanlah semata-mata tidak mempunyai uang tetapi untuk

memperbaiki hidup yang lebih layak lagi. Hal ini diperparah oleh dukungan dan rangsangan

media yang menyajikan tontonan yang glamour dan konsumtif sehingga membentuk gaya

hidup yang materialistis dan konsumtif.

Akhir-akhir ini gaya hidup materialistis dan konsumtif tampak sangat kontras sekali

yang hampir rata-rata mewarnai pola hidup masyarakat perkotaan, bahkan tak terkecuali anak

sekolah di perkotaan cenderung memaksakan diri untuk berkeinginan menikmati hidup mewah

tanpa perlu perjuangan sehingga rentan untuk menjadi korban perdagangan orang.

Disamping faktor ekonomi tersebut diatas, ternyata faktor pendidikan juga

mengambil peranan yang signifikan sebagai yang melatarbelakangi tindak pidana perdagangan

orang. Secara umum orang-orang yang mempunyai pendidikan akan lebih sulit menjadi

korban perdagangan orang karena yang bersangkutan sudah bisa membedakan mana yang baik

dan mana yang buruk. Korban perdagangan orang pada umumnya adalah perempuan dan

anak-anak, tapi secara umum dapat dikatakan bahwa mereka berasal dari orang-orang yang

tidak berpendidikan atau yang pendidikannya sangat minim sehingga sangat rentan untuk

menjadi korban.

B. Latar Belakang Sosial Budaya dan Ketidaksetaraan Gender

Secara geografis, Indonesia terdiri atas 17.000 pulau dan 33 provinsi. Bahasa

Indonesia adalah bahasa resmi, lebih dari 400 bahasa berbeda digunakan di Indonesia.

Keragaman budaya dimanifestasikan dalam banyak macam suku bangsa, tradisi, dan pola

pemukiman yang kemudian menghasilkan keragaman gugus budaya dan sosial. Secara

keseluruhan, pola keturunan paling umum di Indonesia adalah pola bilateral, dengan

patrilineal sebagai pola keturunan kedua paling lazim, tetapi ada banyak variasi.12)

Nilai sosial budaya patriaki yang masih kuat ini menempatkan laki-laki dan perempuan pada

kedudukan danperan yang berbeda dan tidak tidak setara. Hal ini ditandai dengan adanya

pembakuan peran, yaitu sebagai istri, sebagai ibu, pengelola rumah tangga, dan pendidikan

anak-anak di rumah, serta pencari nafkah tambahan dan jenis pekerjaannya pun serupa dengan

tugas di dalam rumah tangga, misalnya menjadi pembantu rumah tangga dan mengasuh anak.

_________________

12) Rosenberg. Op-cit, hal. 143

Page 17: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

12

Oleh sebab itu, disinyalir bahwa faktor sosial budaya yang merupakan penyebab

terjadinya kesenjangan gender, antara lain sebagai berikut:

1. Lemahnya pemberdayaan ekonomi perempuan dibandingkan dengan laki-laki, yang

ditandai dengan masih rendahnya peluang perempuan untuk bekerja dan berusaha, serta

rendahnya akses sumber daya ekonomi seperti teknologi, informasi, pasar, kredit, dan

modal kerja.

2. Kurangnya pengetahuan pada perempuan disbanding dengan laki-laki.

3. Ketidak tahuan perempuan dan anak-anak tentang apa yang sebenarnya terjadi di era

globalisasi.

4. Perempuan kurang mempunyai hak untuk mengambil keputusan dalam keluarga atau

masyarakat disbanding dengan laki-laki.13)

C. Latar Belakang Penegakan Hukum Dan Moral

Faktor-faktor yang mempengaruhi faktor penegakan hukum adalah faktor hukumnya

sendiri, faktor penegak hukum, faktor sarana atau fasilitas, dan faktor masyarakat dan faktor

kebudayaan.14)

Keempat faktor diatas saling berkaitan dengan eratnya karena merupakan esensi dari

penegakan hukum. adapun faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum dalam

perdagangan orang, yaitu sebagai berikut:15)

1. Faktor Hukumnya Sendiri

Sebelum disahkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Tindak Pidana

Perdagangan Orang, tidak ada peraturan perundang-undangan yang dengan tegas mengatur

hal ini. Kebanyakan pelaku perdagangan orang yang tertangkap pun tidak semua dijatuhi

hukuman yang setimpal dengan jenis dan akibat kejahatan tersebut, akibat lemahnya

peranti hukum yang tersedia. Selama itu ketentuan hukum positif yang mengatur tentang

larangan perdagangan orang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan

seperti Pasal 297 KUHP. Pasal tersebut tidak menyebutkan dengan jelas tentang defenisi -

_______________________ 13)

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, Penghapusan Perdagangan Orang Trafficking in

Persons di Indonesia Tahun 2003-2004, Jakarta, 2004, hal.8.

14) Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, cet. Kelima, Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 2004, hal.8.

15) Op.,Cit,.hal. 71.

Page 18: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

13

perdagangan orang, sehingga tidak dapat dirumuskan dengan jelas unsur-unsur tindak

pidana yang dapat digunakan penegak hukum untuk melakukan penuntutan dan

pembuktian adanya tindak pidana. Pasal ini dapat dikatakan mengandung diskriminasi

terhadap jenis kelamin karena pasal ini menyebutkan hanya wanita dan anak laki-laki di

bawah umur, artinya hanya perempuan dewasa dan anak laki-laki yang masih di bawah

umur yang mendapat perlindungan hukum.

2. Penegakan hukum di dalam masyarakat selain dipengaruhi oleh peraturan atau undang-

undang (kaidah-kaidah) juga ditentukan oleh para penegak hukum (pengembala hukum),

sering terjadi beberapa peraturan tidak dapat terlaksana dengan baik karena ada penegak

hukum yang tidak melaksanakan suatu peraturan dengan cara sebagaimana mestinya.

Terjadinya korupsi dalam pengurusan-pengurusan dokumen seperti terjadinya pemalsuan

informasi pada dokumen-dokumen resmi seperti KTP, akta kelahiran, dan paspor.

Sebagaimana kita ketahui dan bukan menjadi rahasia umum lagi manakala ada

masyarakat yang berurusan dengan pihak kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan

terkait dengan perkara yang dialami seseorang tidak pernah lepas dari masalah uang atau

sogok-menyogok yang merupakan gambaran buruk dari citra penegak hukum kita, bahkan

penegak hukum sendiri sering terlibat dalam praktek-praktek perdagangan orang dan

pemerasan pengelola rumah pelacuran (bordil), mucikari, dan para pelacur sendiri.

Rendahnya citra penegak hukum membuat masyarakat pencari keadilan sering merasa

enggan dan trauma berurusan dengan para penegak hukum khususnya kepolisian tak

terkecuali untuk melaporkan tindak pidana perdagangan orang sebab penegak hukum lebih

sering memperlakukan korban sebagai pelaku tindak pidana dan bahkan para saksi

terkadang diperlakukan sebagai tersangka. Hal ini terjadi karena perbedaan interpretasi

dan lemahnya koordinasi antar sesama penegak hukum.

3. Faktor Sarana atau Fasilitas

Sarana atau fasilitas mempengaruhi penegak hukum. Tidak mungkin penegak hukum akan

berlangsung dengan lancar tanpa adanya sarana atau fasilitas. Sarana atau fasilitas antara

lain mencakup sumber daya manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang

baik, peralatan yang memadai, dan keuangan yang cukup.16)

___________________________________

16) Soerjono Soekanto, Op.,cit., hal. 37.

Page 19: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

14

Terjadinya perbedaan interpretasi pada penegak hukum tentang defenisi perdagangan

orang sangat berpengaruh terhadap penuntutan, pembuktian, dan penghukuman. Sistem

pendataan dan dokumentasi kasus dan penanganan perdagangan manusia yang tidak

memadai, sehingga data tidak terdokumentasi secara lengkap. Ini mengakibatkan adanya

anggapan bahwa upaya penanganan perdagangan manusia tidak merupakan prioritas.

Ruang Pelayanan Khusus (RPK) dalam struktur organisasi Polri bagian terdepan Polri

dalam menangani perempuan korban kekerasan dan eksploitasi. Peranan RPK belum

digunakan secara maksimal oleh masyarakat. Masih banyak masyarakat yang belum

terdorong mengadu ke RPK bila mengalami eksploitasi ekonomi atau seksual. Apabila

korban datang, mereka ingin segera pulang apabila RPK menahan korban lebih lama,

maka diperlukan dana operasional, sedangkan dana belum dimasukkan dalam anggaran.

4. Faktor Masyarakat

Kesadaran masyarakat terhadap hukum belum terbangun dengan baik. Di samping itu,

sebagian masyarakat masih mengalami krisis kepercayaan kepada hukum dan aparat

penegak hukum. hal tersebut sangat berpengaruh terhadap ketaatan terhadap hukum dan

jaminan pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya dalam pencegahan dan

penanggulangan tindak kejahatan perdagangan orang terutama perempuan dan anak.

Pemahaman masyarakat tentang tindak pidana perdagangan manusia sangat rendah.

Masyarakat tidak tahu bahwa mereka sedang melakukan salah satu bentuk kejahatan

perdagangan manusia dan masyarakat yang mengetahui adanya kejahatan perdagangan

manusia tidak melaporkan kepada kepolisian atau telah menjadi korban perdagangan

orang.

5. Faktor Kebudayaan

Dalam kehidupan sehari-hari, laki-laki dan perempuan telah memperoleh pembagian

peran, tugas, dan nilai-nilai serta aturan-aturan yang berbeda. Perempuan karena fungsi

reproduksi ditempatkan domestik (rumah tangga), sedangkan laki-laki ditempatkan pada

ruang publik. Pembagian peran, tugas, dan nilai serta aturan-aturan diberikan melalui

aturan sosial masyarakat, adat.

Pembagian peran ternyata berdampak luas serta mempengaruhi pola pengasuhan dan

kesempatan bagi anak-anak laki-laki dan perempuan. Hampir di seluruh Indonesia, terutama di

pedesaan, orang tua lebih memberikan kesempatan pendidikan kepada anak laki-laki, karena

Page 20: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

15

suatu hari anak laki-laki harus mencari nafkah bagi anak dan istrinya. Sedangkan anak

perempuan dianggap tidak terlalu membutuhkan pendidikan karena kelak akan mengikuti

suami.

Selanjutnya, orang tua memilih untuk menikahkan anak perempuan dalam usia muda

bahkan usia anak-anak dengan beberapa alasan. Anak yang baik adalah anak yang menurut

kepada keputusan orang tuanya. Banyak anak yang terpaksa bekerja untuk membantu

perekonomian keluarga. Budaya juga mengajarkan bahwa istri yang baik adalah istri yang

menurut kepada kepala keluarganya.

Dalam sebuah keluarga perempuan selalu diberikan pendidikan rela berkorban untuk

keluarga, sehingga banyak perempuan yang bekerja bukan untuk mengaktualisasikan dirinya

atau melaksanakan haknya, tetapi sekadar untuk membantu keluarga atau menambah

penghasilan keluarga. Oleh sebab itu, anak perempuan rentan terhadap perdagangan orang.

Dari sekian banyak faktor-faktor yang melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan

orang sebagaimana yang telah diuraikan diatas, menurut penulis faktor moral juga memegang

peranan yang sangat penting. Jika orang-orang yang terlibat dalam praktek perdagangan orang

mempunyai moral yang baik, akhlak yang mulia serta berbudi luhur tentunya tidak akan tega

melakukan tindak pidana perdagangan orang. Oleh sebab itu gerakan pemberantasan

kemiskinan, meningkatkan pendidikan, penyamarataan derajat laki-laki dan perempuan,

penegakan kesadaran hukum dan secara khusus penanaman nilai-nilai moral kepada setiap

insan harus dilangsungkan secara terus menerus sehingga dengan demikian praktek-praktek

perdagangan orang dapat dihindari atau setidak-tidaknya dapat diminimalisir.

Page 21: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

16

BAB IV

KAJIAN YURIDIS TENTANG TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG

DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN HAM

A. Tindak Pidana Perdagangan Orang Dari Sisi Hukum Dan HAM

Salah satu keberhasilan pemerintah Indonesia dalam melaksanakan perlindungan

HAM khususnya terhadap kesewenang-wenangan dari sesama manusia berupa penindasan

adalah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39Tahun 1999 Tentang HAM dan yang lebih

spesifik lagi adalah menghilangkan perbudakan manusia yang lebih luas sifatnya dari

penindasan yaitu dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 merupakan verifikasi dari beberapa

peraturan hukum HAM sebelumnya, karena beberapa peraturan hukum nasional yang

mengatur HAM masih bersifat umum dan sangat luas sifatnya sehingga diperlukan adanya

aturan yang khusus mengatur tentang perdagangan orang. Undang-Undang Nomor 21 Tahun

2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, merupakan upaya

memberikan perlindungan hukum baik langsung atau tidak langsung kepada korban dan/atau

calon korban agar tidak menjadi korban di kemudian hari.

Peraturan tentang perdagangan orang merupakan adanya pengakuan dari hukum

karena dalam pengakuan muncul adanya sikap bersama yang melekat dan bertujuan untuk

menciptakan keteraturan/ketertiban untuk mencapai keadilan.

Hukum sebagai panglima selalu menjadi dambaan oleh setiap orang dimana hukum

tidak membedakan status dan kedudukan seseorang dalam suatu negara. adanya persamaan

dan pengakuan hukum (equal protection of law) pada setiap orang, menjadi perdebatan dan

perjuangan panjang antara ilmu pengetahuan hukum, sejarah hukum, teori hukum dan

kenyataan sosial di manapun di dunia ini. Kesamaan, perlakuan dan perlindungan hukum yang

sama terhadap manusia, merupakan suatu proyek dalam system dan teori negara hukum yang

gagal, terbengkalai atau merupakan proyek yang mentah.17)

Sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 dalam sistem

hukum Indonesia, penegakan hukum perdagangan orang mengacu pada Pasal 297 dan Pasal

__________________ 17)

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (rechstaat), Refika Aditama, Bandung, 2009, hal. 203-204.

Page 22: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

17

298 KUHP. Namun sejalan dengan era globalisasi peraturan dalam KUHP ini dianggap tidak

sesuai lagi sehingga dilakukan regulasi hukum melalui tataran formulasi.

Regulasi hukum tentang perdagangan orang disesuaikan dengan sasaran

pembangunan hukum nasional, yaitu meliputi kaidah-kaidah/norma hukum, aparatur dan

organisasi penegak hukum, mekanisme dan prosedur hukum, falsafah dan budaya hukum,

termasuk perilaku hukum pemerintah dan masyarakat Indonesia, bahkan sampai pada

penyuluhan hukum, pelayanan hukum dan pengawasan hukum.18)

Pada hakekatnya HAM mengakui adanya persamaan kedudukan, namun dalam realita

masih ditemukan adanya diskriminasi dalam pengakuan HAM. Terbukti dalam tataran

kehidupan masih ditemukan adanya penindasan, perampasan kemerdekaan, perbudakan dan

masih banyak pelanggaran HAM lainnya termasuk perdagangan orang yang merupakan

pelanggaran HAM.

Sebagaimana yang dimuat dalam Harian Metro Siantar (salah satu harian terbitan

lokal) adanya gadis-gadis dibawah umur yang disinyalir berasal dari kota Medan merupakan

korban sindikat trafficking (perdagangan orang). Bahkan ketua umum Komisi Nasional

Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mensinyalir tujuh gadis belasan tahun

yang jadi korban prostitusi di lokalisasi Bukit Maraja adalah korban sindikat perdagangan

manusia untuk tujuan eksploitasi seksual komersial.19)

Melihat berbagai kasus yang ada dalam bidang tindak pidana perdagangan orang,

maka dalam penegakan hukum tidak cukup hanya dengan pembaharuan hukum yang ada

tetapi yang paling penting adalah bagaimana pemerintah melalui para penegak hukum dapat

menegakkan hukum yang ada itu sebagaimana mestinya. Demikian juga halnya dengan

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan

Orang, jika diterapkan sebagaimana mestinya maka upaya untuk mencegah dan memberantas

tindak pidana perdagangan orang yang merupakan bagian dari bentuk pelanggaran HAM akan

dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya untuk memberantas setidak-tidaknya meminimalisir

tindak pidana perdagangan orang.

______________________________________

18) L. M. Gandhi Lapian & Hetty A. Geru, Traffiking Perempuan dan Anak Penanggulangan Komprehensif Studi

Kasus: Sulawesi Utara, Kerja sama Yayasan Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas

Indonesia, dan NZAID, Jakarta, 2006, hal. 71 19)

Harian Metro Siantar, Senin 19 Maret 2012, hal. 1 kol 3-5.

Page 23: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

18

B. Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Pencegahan Tindak Pidana Perdagangan

Orang Dalam Perspektif Hukum dan HAM

Dalam perkembangan dewasa ini, hukum telah mengalami kemajuan yang sangat

besar, baik dari segi teori maupun fungsi-fungsi pragmatisnya. Perkembangan ini muncul

sebagai hasil dari perkembangan kehidupan manusia yang di atur oleh hukum, dalam

perkembangan tersebut, hukum ditempatkan sebagai sarana perubahan sosial ( agent of change

law as a tool of social engineering), atau sarana pembangunan untuk mengatur jalannya

perubahan dalam masyarakat.20)

Untuk itu agar suatu peraturan hukum yang dibuat dapat berfungsi, maka harus

memperhatikan dan menentukan perumusan dan penyelenggaraannya. Menurut Mardjono

Reksodiputro harus memperhatikan beberapa asas, yaitu: 21)

a. Asas masuk akalnya kerugian yang dapat digambarkan oleh perbuatan tersebut (dapat

mempunyai aspek moral, tetapi seharusnya merupakan “public issues”).

b. Asas toleransi terhadap perbuatan tersebut (penilaian atas terjadinya kerugian, berkaitan

erat dengan ada atau tidak adanya toleransi. Toleransi didasarkan pada penghormatan atas

kebebasan dan tanggung jawab individu.

c. Asas subsidaritas (sebelum perbuatan dinyatakan sebagai tindak pidana, perlu diperhatikan

apakah kepentingan hukum yang dilanggar oleh perbuatan tersebut masih dapat dilindungi

dengan cara lain, hukum pidana hanya ultimum remedium).

d. Asas proporsionalitas (harus ada keseimbangan antara kerugian yang digambarkan dengan

batas-batas yang diberikan oleh asas toleransi, dengan pidana yang diberikan).

e. Asas legalitas (apabila asas-asas dari nomor a samapai asas nomor d telah

dipertimbangkan, masih perlu dilihat apakah perbuatan tersebut dapat dirumuskan dengan

baik, sehingga kepentingan hukum akan dilindungi, tercermin pula jelas hubungannya

dengan asas kesalahan sendi utama hukum pidana).

___________________________

20) Lili Rasjidi, Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum Nasional, dalam Bernard Arief

Sidharta, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta,

Refika Aditama, Bandung, 2008, hal. 129.

21) Mardjono Reksodiputro, Meninjau RUU tentang KUHP dalam Konteks Perlindungan HAM, Makalah,

Disampaikan pada Diskusi Panel Ahli “Meninjau RUU tentang KUHP Konteks Perlindungan HAM, Lembaga

Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Jakarta, November 2001.

Page 24: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

19

f. Asas penggunaannya secara praktis dan efektifitasnya (berkaitan dengan kemungkinan

penegakannya serta dampaknya pada prevensi umum).

Dalam realita, tidak sedikit peraturan yang dibuat dengan tujuan kesejahteraan

masyarakat, tetapi malah ditolak dan ditentang oleh masyarakat karena dianggap tidak sesuai

dan menyengsarakan masyarakat. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang merupakan salah

satu upaya dalam mensejahterakan masyarakat, harus dilakukan secara tepat dan serasi, baik

secara vertikal ataupun horizontal.

Demikian juga dengan kebjakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan

orang sebagai salah satu bagian hukum hak asasi manusia. Kebijakan hukum yang dilakukan

harus mengacu pada bidang hukum yang berhubungan dengan hukum hak asasi manusia.

Hukum hak asasi manusia tidak hanya berhubungan dengan hukum pidana saja, tetapi

berhubungan dengan bidang/cabang hukum lainnya. Oleh karena itu, kebijakan hukum yang

dilakukan sangat luas, dapat meliputi seluruh kebijakan hukum nasional.

Atas dasar itu kebijakan hukum yang dilakukan tidak hanya meliputi tahapan

substansi saja, tetapi harus meliputi semua tahapan kebijakan hukum, yaitu tahapan formulasi,

aplikasi dan eksekusi. Ketiga tahapan tersebut harus sejalan dan dilaksanakan secara

konsisten, apabilla kebijakan hukum yang dilakukan tidak tepat, maka akan terjadi

ketidakserasian dalam implementasi penegakan hukumnya. Terlebih banyak undang-undang

dalam substansinya tidak mencerminkan produk legislatif yang responsif dan berkualitas.22)

C. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Perdagangan Orang Dalam Perspektif

Hukum dan HAM

Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam

suatu tindak pidana, tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan undang-undang

kepada pelaku kejahatan sehingga korban tersebut sering luput dari perhatian apalagi setelah

pelaku kejahatan menjalani proses hukum dan menjalani hukumannya. Dengan telah

diberikannya sanksi kepada pelaku kejahatan seolah-olah selesailah persoalan tanpa

memperhatikan bagaimana akibat daripada perbuatan tersebut terhadap korban kejahatan tadi.

Dalam kaitannya dengan upaya perlindungan hkum terhadap korban perdagangan orang, maka

__________________________ 22)

A.A.G. Peters dalam Koesriani Siswosoebroto (Ed), Hukum dan Perkembangan Sosial, Buku Teks Sosiologi

Hukum Buku III, Sinar Harapan, Jakarta, 1990. hal. 166-169.

Page 25: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

20

upaya perlindungan hukum bagi masyarakat menjadi penting. Hal tersebut disebabkan

masyarakat baik kelompok maupun perorangan dapat sewaktu-waktu menjadi korban

kejahatan perdagangan orang. Perlindungan hukum korban kejahatan perdagangan orang

sebagai bagian dari perlindungan kepada masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai

bentuk atau model.

Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief, ada dua model perlindungan, yaitu

sebagai berikut:23)

1. Model hak-hak prosedural (the procedural rights model)

Model ini diPerancis disebut partie civile model (civil action sistem). Model ini

menekankan dimungkinkan berperan aktifnya korban dalam proses peradilan pidana seperti

mambantu jaksa, dilibatkan dalam setiap tingkat pemeriksaan perkara, wajib didengar

pendapatnya apabila terpidana dilepas bersyarat dan lain-lain. Model ini melihat korban

sebagai subjek yang harus diberi hak-hak yuridis yang luas untuk menuntut dan mengejar

kepentingan-kepentingannya.

2. Model pelayanan (the services model)

Model ini menekankan pada pemberian ganti kerugian dalam bentuk kompensasi,

restitusi, dan upaya pengembalian kondisi korban yang mengalami trauma, rasa takut, dan

tekanan akibat kejahatan, sehingga diperlukan standar baku bagi pembinaan korban yang

dapat digunakan polisi. Pendekatan ini melihat korban kejahatan sebagai sasaran khusus untuk

melayani dalam kerangka para penegak hukum.

Pada dasarnya bentuk-bentuk atau model perlindungan terhadap korban kejahatan

dapat juga diberikan kepada korban tindak pidana perdagangan orang, untuk lebih mendalami

bentuk perlindungan terhadap korban kejahatan perdagangan orang, maka terdapat beberapa

bentuk atau model perlindungan yang dapat diberikan kepada korban, yaitu sebagai berikut:24)

a. Pemberian Restitusi dan Kompensasi

Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak

memperoleh restitusi dari pelaku. Restitusi ini merupakan ganti kerugian atas kehilangan -

____________________________

23) Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung: Alumni, 1992, hal. 79-80.

24) Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan antara Norma dan

Realita, ed. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hal. 166-17.

Page 26: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

21

kekayaan atau penghasilan, penderitaan, biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau

psikologis dan/atau kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.

Selain restitusi, kompensasi dapat digunakan sebagai bentuk lain perlindungan

korban tindak pidana sebagai ganti kerugian yang diberikan oleh negara. ganti kerugian

oleh negara tersebut merupakan suatu pembayaran pelayanan kesejahteraan, karena negara

bertanggung jawab dan berkewajiban secara moral untuk melindungi masyarakatnya.

Apabila anggota masyarakat menjadi korban tindak pidana, maka pemerintah dianggap

gagal dalam memenuhi kewajibannya, yakni mencegah atau melindungi masyarakat dari

kejahatan.

Menurut Stephen Schafer, perbedaan antara restitusi dan kompensasi adalah restitusi

lebih bersifat pidana yang timbul dari putusan pengadilan pidana dan dibayar oleh pelaku

atau merupakan wujud pertanggungjawaban pelaku, sedangkan kompensasi lebih bersifat

keperdataan, yang timbul dari permintaan korban dan dibayar oleh masyarakat atau

merupakan bentuk pertanggungjawaban masyarakat atau negara.51)

Rehabilitasi adalah

pemulihan kondisi semula baik fisik maupun psikis dan sosial.

b. Layanan Konseling dan Pelayanan/Bantuan Medis

Pada umumnya perlindungan yang diberikan kepada korban sebagai akibat dari

tindak pidana perdagangan orang dapat bersifat fisik maupun psikis. Akibat yang bersifat

psikis lebih lama untuk memulihkan daripada akibat yang bersifat fisik. Pengaruh akibat

tindak pidana perdagangan orang dapat berlangsung selama berbulan-bulan bahkan

bertahun-tahun. Untuk sebagian korban pengaruh akibat itu tidak sampai mencapai situasi

yang stabil di mana ingatan akan kejadian dapat diterima dengan satu cara atau cara lain.

Bagi sejumlah korban pengaruh akibat itu tidak mendapat jalan keluar yang baik seperti

tenggelam dalam penderitaan yang disebut psikotrauma. Oleh karena itu, diperlukan

pendampingan atau konseling untuk membantu korban dalam rangka memulihkan kondisi

psikologisnya seperti semula.

Pelayanan medis diberikan kepada korban yang menderita akibat suatu tindak pidana.

Pelayanan medis yang dimaksud dapat berupa pemeriksaan kesehatan, pengobatan dan

laporan tertulis atau visum.

Page 27: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

22

c. Bantuan Hukum

Korban tindak pidana termasuk tindak pidana perdagangan orang hendaknya

diberikan bantuan hukum. ketika korban memutuskan untuk menyelesaikan kasusnya

melalui jalur hukum, maka negara wajib memfasilitasinya.

d. Pemberian Informasi

Pemberian informasi kepada korban atau keluarganya berkaitan dengan proses

penyelidikan dan pemeriksaan tindak pidana yang dialami korban. Pemberian informasi ini

memegang peranan pdalam upaya menjadikan masyarakat sebagai mitra aparat kepolisian

karena melalui informasi diharapkan fungsi control masyarakat terhadap kinerja kepolisian

dapat berjalan dengan efektif. Salah satu upaya yang dilakukan oleh kepolisian dalam

memberikan informasi kepada korban atau keluarganya melalui web sites di beberapa

kantor kepolisian, baik yang sifatnya kebijakan maupun operasional.

Page 28: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

23

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Terjadinya tindak pidana perdagangan orang secara umum karena latar belakang ekonomi

dan pendidikan, sosial-budaya, dan ketidaksetaraan gender, serta latar belakang penegakan

hukum dan moral.

2. Perdagangan orang merupakan pelanggaran terhadap harkat dan martabat manusia serta

hak-hak dan kewajibannya menurut kodrat yang diberikan oleh Tuhan yang merupakan

pelanggaran terhadap hak asasi manusia sehingga pemberantasan tindak pidana

perdagangan orang harus berdasarkan prinsip-prinsip HAM.

3. Kebijakan hukum pidana terhadap tindak pidana perdagangan orang harus meliputi semua

tahapan kebijakan hukum, yaitu tahapan formulasi (dari sisi perundang-undangan),

aplikasi (kesatuan pandang/kesamaan derap langkah diantara sesama aparat penegak

hukum), dan eksekusi (kebijakan hukum dan tahap pelaksanaan hukum pidana secara

konkrit).

4. Perlindungan hukum terhadap korban perdagangan orang bisa dilakukan dengan

pemberian restitusi dan kompensasi, rehabilitasi layanan konseling serta bantuan hukum.

B. Saran

1. Mengingat bentuk dan modus tindak pidana perdagangan orang sangat beragam, maka

upaya pencegahan dan penanggulangan hukum harus disesuaikan dengan kasus dan modus

dari tindak pidana perdagangan orang dengan berorientasi kepada penyebab yang

melatarbelakangi terjadinya tindak pidana perdagangan orang.

2. Agar sesama aparat penegak hukum mempunyai kesatuan pandang dan derap langkah

yang sama untuk mengantisipasi, mencegah dan memberantas tindak pidana perdagangan

orang.

3. Agar Pemerintah dan Pemerintah Daerah membuat kebijakan, program, kegiatan, dan

mengalokasikan anggaran untuk melaksanakan pencegahan dan penanganan masalah

perdagangan orang.

4. Agar kepada setiap pelaku tindak pidana perdagangan orang dikenakan hukuman yang

berat untuk menimbulkan efek jera.

Page 29: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

DAFTAR PUSTAKA

Ali, Ahmad. 2008. Menguak Tabir Hukum, Edisi Kedua. Bogor: Ghalia Indonesia

Arief Mansur Dikdik, M. dan Elisatris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban

Kejahatan antara Norma dan Realita, ed. 1, Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Darwin, Muhadjir. 2003. Pencegahan Migran dan Seksualitas, Center for Population and

Policy Studies, Gajah Mada University.

Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Effendi, Masnhyur & Taufani Sukmana Evandri, Edisi Revisi. 2007. HAM dalam Dimens

/Dinamika Yuridis, Sosial, Politik, dan Proses Penyusunan /Aplikasi Ha-Kham

(Hukum Hak Asasi Manusia) dalam Masyarakat. Bogor: Ghalia Indonesia.

Effendi, Manshyur.1993. Dimensi Dinamika Hak Asasi Manusia dalam Hukum Nasional dan

Internasional. Bogor: Ghalia Indonesia.

Fadillah, Syarif dan Chaerudin. 2004. Korban Kejahatan dalam Perspektif Viktimologi dan

Hukum Pidana Islam.Jakarta: Grahadikha Press.

Fuady Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern (rechstaat). Bandung: Refika Aditama.

Gandhi, Lapian. L. M. & Hetty A. Geru. 2006. Traffiking Perempuan dan Anak

Penanggulangan Komprehensif Studi Kasus: Sulawesi Utara, Jakarta: Yayasan

Obor, Convention Watch, Pusat Kajian Perempuan Universitas Indonesia, dan

NZAID.

Gosita, Arif, 1987. Viktimologi dan KUHAP. Jakarta: Akademika Pressindo.

Hendrojono. 2005. Kriminologi Pengaruh Perubahan Masyarakat dan Hukum, cetakan

pertama. Surabaya: Srikandi.

Hull Terence H. Endang S, Gavin W. Jones, 1997. Pelacuran di Indonesia, cetakan I.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Kartika Sari, Dian. 2002. Perdagangan Manusia Khususnya Perempuan dan Anak Dalam

Tinjauan Hukum. Jakarta.

Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat, 2004. Penghapusan Perdagangan

Orang Trafficking in Persons di Indonesia Tahun 2003-2004 . Jakarta.

Kuntjoro. 2004. Memahami Pekerja Seks sebagai Korban Penyakit Sosial, Jurnal Perempuan

No. 36, 2004, cetakan pertama. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan.

Page 30: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

Kusuma, Mahmud. 2009. Menyelami Semangat Hukum Progresif TetapiParadigmatik Bagi

Lemahnya Hukum Indonesia. Yogjakarta: Antonio Lib.

Manan, Bagir. 2005. Sistem Peradilan Berwibawa Suatu Pencarian, Yogyakarta: FH UII

Press.

Mertokusumo, Sudikno. 1999. Mengenai Hukum Suatu Pengantar. Yogyakarta: Liberty.

Muladi. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Universitas Diponegoro.

Mulya, Lubis Todung. 1984. Bantuan Hukum dan Kemiskinan Struktural. Jakarta: LP3ES.

Mulyadi Lilik. 2004. Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan Victimologi. Jakarta:

Djambatan.

Najih, Mokhammad. 2008. Politik Hukum Pidana Pasca Reformasi. Malang: In-Trans

Publishing.

Nawawi Arief, Bardadan Muladi.1992. Bunga Rampai Hukum Pidana.Bandung: Alumni.

Nuraeny, Henny. Tindak Pidana Perdagangan Orang: Kebijakan Hukum Pidana dan

Pencegahannya. Sinar Grafika.

Peters A.A.G. dalam Koesriani Siswosoebroto (Ed), 1990. Hukum danPerkembangan Sosial,

Buku Teks Sosiologi Hukum Buku III. Jakarta: Sinar Harapan.

Rasjidi, Lili. 2008. Pembangunan Sistem Hukum dalam Rangka Pembinaan Hukum

Nasional, dalam Bernard Arief Sidharta, Butir-butir Pemikiran dalam Hukum

Memperingati 70 Tahun Prof. Dr. Bernard Arief Sidharta. Bandung: RefikaAditama.

Reksodiputro, Mardjono. 2001. Meninjau RUU tentang KUHP dalam Konteks Perlindungan

HAM, Makalah, Disampaikan pada Diskusi Panel Ahli Meninjau RUU tentang

KUHP Konteks Perlindungan HAM. Jakarta: Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat (ELSAM).

Riyanto, Astim. 2006. Teori Konstitusi. Bandung: Yapemdo.

Rosenberg. 2003. Perdagangan Perempuan dan Anak di Indonesia. Jakarta: USAID.

Sakho Muhammad, Ahsin, Sayuti Anshari Nasution, Ahmad Munif Suratmaputra.

Ensiklopedi Al-Quran Jilid 3. Jakarta: Kharisma Ilmu.

Soekanto, Soerjono. 2004. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum,cet.

Kelima. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Soesilo. R. 1976. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-komentarnya

Lengkap Pasal Demi Pasal, Bogor: Politea.

Page 31: Ringkasan Skripsi Louret Sinaga

Sudarto. 1977. Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.

Sugandhi, R. 1980. KUHP dengan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional.

Sunggono, Bambang dan Aries Harianto, 2009. Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia, Cet.

Ketiga. Bandung: Mandar Maju.

Utrecht. E, 2004. HukumPidana I. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.

Vide Mahmud MD. Politik Hukum di Indonesia .Jakarta: LP3ES.

Yulianto, Agus. 1994. Eksistensi Konsep Negara Hukum dalam UUD 1945, dalam Lili Rasjidi

& B. Arief Sidharta (Ed), Filsafat Hukum Mazhab dan Refleksinya ,Bandung:

RemajaRosdaKarya.

---------------- Harian Metro Siantar, Senin 19 Maret 2012.