Top Banner
l Edisi : Oktober - Desember 2006 RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAM
20

RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

Mar 06, 2019

Download

Documents

tranthu
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

l Edisi : Oktober - Desember 2006

RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAM

Page 2: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

2

SuSunan RedakSi

Penanggungjawabdudi Rufendi

Redaksi nurchalis Fadhli

nursamsu Sri Mariati

dani Rahadian arif Budiman

SuhandriSyamsidar

M. Yudi agusrin

Bulletin intern WWF Indonesia Riau Elephant Conservation

Program

Alamat Redaksi: Perkantoran Grand Sudirman B.1Jl. dt. Setia Maharaja - Pekanbaru

Telp/Fax: (0761) 855006e-mail: [email protected]

Website: http://www.wwf.or.id/tessonilo

alam Lestari,

Pembaca yang terhormat,Tahun 2006 telah berakhir meninggalkan berbagai pekerjaan terkait dengan

masalah lingkungan hidup yang harus ditindaklanjuti dengan sebaik mungkin. Berbagai insiden mewarnai konflik manusia-gajah tahun 2006. Konflik tersebut telah mengakibatkan kerugian bagi kedua belah pihak baik gajah maupun manusia, ada gajah yang mati diracun, ditembak ada pula gajah yang terjerat. Di sisi lain, manusia menjadi korban terinjak gajah dan terluka berat bahkan hingga meninggal dunia.

Konflik manusia-gajah akan terus meningkat karena habitat alaminya semakin terfragmentasi dan terdegradasi sehingga menyisakan ruang sempit bagi gajah untuk menjelajah. Hampir di seluruh kabupaten di Riau, cerita mengenai konflik manusia-gajah terus bergulir sepanjang tahun. Hal ini mengisyaratkan tidak ada lagi tempat yang aman bagi gajah untuk hidup, sehingga perlu segera dilakukan upaya perlindungan habitat gajah Sumatera yang tersisa di Riau. Bila tidak, konflik akan semakin meningkat.

Tepatnya tanggal 19 Juli 2006 Menteri Kehutanan menerbitkan Peraturan Menteri yang menetapkan Provinsi Riau sebagai pusat konservasi gajah Sumatera melalui Permenhut No. P.54. Permenhut ini merupakan realisasi dari hasil kunjungan Menteri Kehutanan ke Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dua bulan sebelumnya. Melalui Peraturan Menteri ini diharapkan dapat menjawab persoalan konflik manusia-gajah di Riau. Namun kenyataan di lapangan, TNTN yang diharapkan dapat menjadi salah satu solusi penanganan konflik manusia-gajah hingga kini belum terbebas dari berbagai permasalahan yang mengancam keutuhan kawasan, khususnya sebagai habitat gajah. Pembalakan liar, perambahan, dan pembakaran lahan tetap terjadi di kawasan ini.

Sementara itu, kawasan HPH yang diusulkan menjadi areal perluasan taman nasional tersebut juga tidak kalah terancamnya. Perambahan, permukiman liar, pembakaran hutan untuk kebun masyarakat semakin marak terjadi di kawasan tersebut. Menyikapi hal ini, Forum Masyarakat Tesso Nilo sebagai wadah perwakilan masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan Tesso Nilo telah melakukan gugatan hukum dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum Riau dan satu LSM Lingkungan lokal terhadap pelaku penjual lahan hutan Tesso Nilo. Beberapa kemajuan berarti telah tampak sebagai hasil dari perjuangan masyarakat tersebut dengan ditahannya seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan yang diokupasi oleh masyarakat pendatang.

Semangat melindungi hutan Tesso Nilo dan sumber daya alam yang ada di dalamnya juga mewarnai perkembangan positif untuk upaya konservasi. Hal ini terbukti dengan lahirnya Peraturan Bupati Kuantan Singingi mengenai Perlindungan Pohon Sialang dan Hutan Kepungannya. Taman Nasional Tesso Nilo dan areal perluasannya menyimpan potensi madu alam yang besar yang dinamakan madu sialang. Diharapkan peraturan ini dapat memberikan semangat dalam upaya konservasi hutan Tesso Nilo dan dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar hutan.

Beberapa hal diatas adalah sekelumit artikel yang akan pembaca temui dalam edisi kali ini. Kami yakin, pembaca sekalian pasti memiliki harapan yang sama dengan kami. Selamat tahun baru 2007 semoga permasalahan lingkungan tahun ini tidak sebesar tahun lalu dan semoga tahun ini kita lebih bijak dalam menangani permasalahan lingkungan.

Wassalam ww,

Dudi RufendiProgram Manager

daRi RedakSi

DAFTAR ISIl Penegakan Hukum Terhadap Perambahan di

Tesso Nilo

l Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penjualan Lahan di Tesso Nilo

l Wawancara

l Tahun 2006 dan Nasib Gajah Sumatera di Riau

l Kematian Beruntun Gajah di Kuantan Mudik - Kabupaten Kuansing

l Peraturan Bupati Kuantan Singingi "Perlindungan Pohon Sialang dan Hutan Kepungannya"

l Credit Union Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Masyarakat Selain Bank

l Tata Batas Taman Nasional Tesso NIlo Segera Direalisasikan

l Berburu Harimau di Rawa Gambut

l Pembangunan Ekonomi Skala Besar dan Dampak Lingkungan

S

Page 3: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

Edisi Oktober - Desember 2006LAPORAN UTAMA

Suara Tesso Nilo

3

Konflik gajah manusia semakin meningkat di provinsi Riau. Dapat dikatakan hampir setiap bulan konflik serupa kembali terdengar dan hingga kini pihak pemerintah sepertinya belum dapat memberikan alternatif pemecahan masalah. Sementara itu perubahan fungsi lahan yang merupakan habitat gajah terus saja terjadi dan diperparah lagi

dengan perambahan yang terus saja menggerus hutan tersebut.

Upaya menjadikan hutan Tesso Nilo menjadi salah satu model kawasan konservasi gajah hingga kini belum menemui kesuksesan yang berarti. Eskalasi maraknya perambahan di kawasan hutan tersebut semakin mengancam keutuhan hutan yang didiami oleh 80-90 ekor gajah Sumatera ini.

Penegakan HukumTerhadap Perambahan

di Tesso Nilo

Peta lokasi perambahan dalam kawasan hutan Tesso Nilo

Page 4: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006LAPORAN UTAMA

Suara Tesso Nilo

4

jalan yang masuk dalam kawasan saja sepanjang 40 km di sebelah barat (sektor Baserah) dan

Sementara itu, pada beberapa kasus konflik gajah-manusia, pihak berwenang mengambil langkah untuk merelokasi gajah “berkonflik” tersebut ke kawasan hutan Tesso Nilo. Bijakkah pilihan ini ditengah-tengah ancaman perambahan dikawasan tersebut?

Perambahan di Tesso NiloPerambahan di kawasan hutan

Tesso Nilo dipicu oleh beberapa hal diantaranya adalah pembangunan dua buah koridor di dalam kawasan hutan tersebut oleh PT. RAPP yaitu di sebelah barat dan timur. Pembangunan koridor ini dapat dikatakan sebagai ancaman utama karena secara tidak langsung memberikan kehancuran pada perubahan hutan. Ancaman ini jauh lebih besar karena memberikan stimulan bagi masuknya ancaman lain, termasuk ancaman langsung di dalam kawasan Taman Nasional seperti perambahan.

Akses koridor RAPP yang dimaksud adalah jaringan jalan di sebelah barat dan timur yang membelah kawasan Tesso Nilo dari Utara ke Selatan. Jaringan

13 Km di sebelah timur (dari Pangkalan Gondai menuju Ukui) dengan lebar 20 meter (14 meter badan jalan dan 6 meter untuk saluran). Koridor ini digunakan oleh RAPP untuk membawa hasil tebangan akasia di sekitar Tesso Nilo menuju pabrik di Pangkalan Kerinci. Namun kenyataan di lapangan, keberadaan koridor ini telah membuka peluang besar bagi kegiatan pembalakan liar dan perambahan karena membuat kawasan Tesso Nilo dapat dengan mudah dijangkau.

Pada awal pembangunan koridor sektor Baserah oleh RAPP pada tahun 2001 terlihat deforestasi di Tesso Nilo masih relatif kecil, dari tahun 1996 hingga Maret tahun 2001 deforetasi hanya berkisar 3 % atau 0,6 % pertahun, lihat tabel. Namun pada tahun 2002

Jalan yang dibangun oleh perambah di dalam Taman Nasional Tesso Nilo. Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Alhamran Ariawan

Citra Satelite, 1996 155.270 Citra Satellite, tanggal 5 Maret 2001 150.616 3,00 %Citra Satellite, tanggal 15 Agus 2002 141.177 6,27 %Citra Satellite, tanggal 23 Juni 2004 134.881 4,46 %

Jalan koridor PT. RAPP yang membuka akses ke hutan Tesso Nilo. Foto : WWF-Tesso Nilo Program

Perkembangan Deforestasi Hutan di Kawasan Tesso Nilo tahun 1996 – 2004

Sumber : Analisis GIS WWF-Indonesia

Luas (ha)Perkembangan Usulan Taman Nasional Tesso Nilo

berdasarkan Image Satelit Deforestasi

Page 5: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

masyarakat pendatang untuk membeli lahan yang akan digunakan untuk pemukiman dan kebun mereka, apa lagi mereka bisa memperolehnya dengan harga sangat murah dan proses transaksinya pun tidak berbelit-belit. Petak-petak hutan yang telah mereka klaim menjadi milik mereka pun segera diusahakan agar bisa menghasilkan seperti harapan yang mereka bawa dari tanah asal mereka. Deru mesin chainsaw atau pun kapak saling bersahutan ditengah hutan tersebut, dan kayu-kayu pun segera bertumbangan. Dalam beberapa waktu kemudian asap pun telah membumbung tinggi ke udara pertanda mereka telah mulai melakukan pembersihan lahan.

BULETIN WWF

Edisi Oktober - Desember 2006LAPORAN UTAMA

Suara Tesso Nilo

5

setelah koridor ini dioperasikan terlihat deforestasi meningkat cukup drastis yaitu terjadi sebesar 6,27 % dalam kurun waktu 17 bulan. Dalam jangka waktu 2 tahun yaitu mulai bulan Agustus tahun 2002 hingga bulan Juni 2004 deforestasi yang terjadi yaitu sebesar 4,46 % atau rata-rata 2,23 % per tahun. Deforestasi ini dapat disimpulkan dipicu oleh pembangunan dua koridor milik PT. RAPP tersebut.

Dalam perkembangannya, akses koridor ini tidak hanya digunakan oleh RAPP saja tetapi juga digunakan oleh pembalak liar untuk mengangkut hasil jarahannya dari hutan Tesso Nilo. Hal ini juga dipicu dengan tidak aktifnya tiga pemegang HPH di kawasan usulan perluasan Taman Nasional Tesso Nilo dilapangan

baik dalam melakukan aktifitas penebangan selektif maupun monitoring kawasan yang menjadi konsesinya. Dengan kondisi seperti ini, bukan saja kegiatan pembalakan liar yang menjarah kekayaan kawasan tersebut, tetapi ancaman yang lebih besar yaitu perambahan semakin memperparah keutuhan kawasan tersebut. Beberapa oknum masyarakat lokal dengan beberapa alasan tertentu melakukan transaksi penjualan lahan kawasan hutan ini dengan alasan hutan ulayat kepada masyarakat pendatang karena mereka tidak melihat bahwa kawasan hutan tersebut "bertuan".

Kawasan hutan yang kini relatif mudah dijangkau karena pembangunan koridor RAPP tersebut tentu saja menggiurkan

Taman Nasional Tesso Nilo yang dirambah. Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Alhamran Ariawan

Page 6: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Mitigasi Konflik Gajah - Manusia

Suara Tesso Nilo

6

Maraknya masyarakat pendatang yang menduduki

kawasan hutan Tesso Nilo dikhawatirkan akan mengganggu struktur sosial masyarakat lokal. Untuk menghambat laju kerusakan

ekosistem hutan Tesso Nilo, Masyarakat yang hidup disekitar Tesso Nilo telah melakukan serangkaian upaya advokasi penyelamatan hutan Tesso Nilo lewat Forum Masyarakat Tesso

Nilo (FMTN). Tidak tanggung-tanggung

perjuangan yang dilakukan oleh Forum ini, dengan bantuan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Riau dan sebuah LSM lokal (Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup) mengumpulkan semua bukti-bukti jual beli lahan khususnya di Sei Toro. Bukti-bukti tersebut kemudian dengan bantuan dari LBH Riau disusun menjadi suatu laporan kepada kepolisian Kabupaten Pelalawan. Menindak lanjuti laporan ini, kepolisian Pelalawan bersama Forum, LALH, LBH Riau didampingi oleh dinas kehutanan Kabupaten Pelalawan melakukan kunjungan ke Sei Toro pada akhir Juli 2006 untuk melakukan verifikasi langsung di lapangan mengenai keberadaan pemukiman illegal tersebut yang berada dibawah konsesi Nanjak

Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Penjualan Lahan

di Tesso Nilo

Kebakaran hutan di Tesso Nilo, WWF Prog. Teso Nilo /Foto: Samsidar

Pekanbaru, kompas - Awal pekan ini, Jaspun, warga setempat yang mengaku sebagai salah satu sesepuh adat, dibekuk Kepolisian Resor Pelelawan, Riau. Jas-pun terbukti memperjualbelikan sedikit-nya 2.000 hektar lahan yang menjadi desa liar.

“Jual beli ini terjadi tiga tahun sampai empat tahun lalu. Lahan itu adalah areal hak pengusahaan hutan (HPH) yang bakal dialihfungsikan untuk perluasan taman nasional sehingga tidak boleh diperjual-belikan, apalagi dihuni. Akibat ulah Jas-pun, terdapat 1.000 kepala keluarga yang mendiami areal bukaan hutan itu,” kata Kepala Polres Pelelawan Ajun Komisaris Besar Berti Sinaga, Rabu (4/10).

Dari data World Wildlife Fund for

Nature (WWF) Riau, perambahan liar terjadi mulai tahun 2004 diawali dengan 500 keluarga. Mereka mendirikan rumah dan mengelola tanah seluas satu pancang (sekitar dua hektar) setelah membayar Rp 1 juta-Rp 1,5 juta. Semakin lama minat warga masuk ke kawasan ini pun menin-gkat. Harga lahan naik menjadi Rp 5 juta per pancang lahan.

Sampai tahun 2006, sudah lebih dari 2.000 hektar (ha) lahan hutan dibuka, digunduli kayunya, serta ditanami sawit. Warga menyebut lokasi itu Desa Toro Jaya. Selain akses jalan tanah selebar hampir enam meter, beberapa fasilitas umum seperti tempat ibadah dan pasar sudah tersedia.

Menurut Berti, polisi tidak memperma-

salahkan penyebutan desa liar atau tidak, mereka hanya mengusut kasus jual beli lahan yang bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 41 tentang Kehutanan. Menurut dia, bukti-bukti kasus Jaspun cukup kuat dan dia terancam, sedikitnya, hukuman lima tahun penjara.

Kasus perambahan liar dan munculnya permukiman ilegal banyak terjadi. Staf Humas WWF Riau Syamsidar megatakan, sedikitnya ada 13 lokasi perambahan liar di kawasan tersebut dan sudah berupa permukiman.

Modusnya sama, yaitu lahan dijual ke-pada pendatang oleh mereka yang mega-ku ninik mamak pemilik tanah adat. Pen-datang lalu menggarap lahan. (nel)

Kamis, 05 Oktober 2006

Penjual 2.000 Ha Hutan Tesso nilo ditangkap

Page 7: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Mitigasi Konflik Gajah-Manusia

Suara Tesso Nilo

7

Makmur dan merupakan usulan perluasan Taman Nasional Tesso Nilo.

Akhirnya pada 29 September, 2006 Polres Pelalawan resmi menahan seorang tersangka pelaku penjualan lahan di Sei Toro yang bernama Jaspun. Sejauh ini penyelidikan terus dilakukan oleh Polres Pelalawan dalam mengembangkan kasus ini. Harapan kita tentu sama dengan harapan masyarakat Tesso Nilo bahwa kasus ini segera dapat dituntaskan sehingga bisa menjadi efek jera bagi pelaku-pelaku penjual hutan lainnya.

Sementara itu kebakaran yang melanda hutan Tesso Nilo khususnya pada bulan Juli hingga September 2006 lalu juga telah menyisakan sejumlah pekerjaan rumah bagi aparat terkait dalam upaya penegakan hukum akan kasus kebakaran yang setidaknya telah melahap hutan Tesso Nilo seluas 6. 392 ha ( menurut analisa GIS atau Geography Information System).

Menurut pemberitaan yang dilansir di Riau Pos tanggal 3 Oktober 2006 halaman 40” pemberkasan perkara terhadap 11 tersangka pembakaran hutan dan lahan yang terjadi di wilayah hukum Polres Pelalawan telah

dinyatakan P21, dan siap dilakukan proses sidang terhadap tersangka yang telah turut menyumbang kabut asap di Riau”. Lebih jauh dalam pemberitaan itu juga disebutkan “Seperti dikatakan sebelumnya, jajaran Polres Pelalawan berhasil membekuk tersangka pembakar lahan berikut barang bukti di TKP yang berbeda. Lima tersangka diantaranya ditangkap di jalan akses Langgam (di sekitar hutan Tesso Nilo di sepanjang koridor sektor Ukui-PT. RAPP, red Suara Tesso Nilo) dan enam lainnya dibekuk oleh jajaran Polsek Ukui."

Tidak tanggung-tanggung rupanya komitmen pihak berwenang dalam melakukan upaya penegakan hukum terhadap perambahan dan kebakaran lahan ini. Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa masalah asap karena pembukaan lahan dengan cara dibakar ini telah menarik perhatian dunia untuk segera menuntaskannya. Hal ini pun terlihat jelas dengan dilaksanakannya pertemuan regional tingkat menteri lingkungan hidup se ASEAN yang dilaksanakan di Pekanbaru pada 13 Oktober 2006. Pada kesempatan itu dibicarakan juga langkah yang dapat diambil oleh

pemerintah Indonesia sebagai bentuk keseriusannya dalam menanggulangi kebakaran ini terutama penegakan hukum. “Menteri Negara Lingkungan Hidup Rahmat Witoelar saat menutup konferensi pers, Jumat malam menyatakan, semua negara setuju tidak mengungkit masa lalu dan memperbaiki serta memperkuat kerja sama menanggulangi asap saat ini dan masa akan datang, terutama penegakan hukum bagi semua pihak terkait pembakaran hutan dan lahan tanpa terkecuali “ (Kompas Cyber Media, 13 Oktober 2006).

Komitmen ini sudah seharusnya diimplementasikan dilapangan dengan harapan kebakaran hutan dan lahan tidak lagi terjadi sehingga Indonesia tidak terus dituding sebagai negara pengekspor asap oleh dunia. Bentuk nyata komitmen ini dari pihak terkait sudah selayaknya didukung oleh semua lapisan masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh polres Pelalawan dan pihak terkait yang telah memproses pelaku kebakaran hutan dan lahan seperti disebutkan diatas. Ternyata tidak itu saja, proses penyelidikan serupa pun turut diberlakukan kepada dua pemegang konsesi yang ada di Tesso Nilo. Dua Direktur pemegang HPH (PT. Nanjak Makmur dan Siak Raya Timber) telah menjalani serangkaian proses penyelidikan yang dilakukan oleh polres pelalawan terkait terjadinya kebakaran hutan dikawasan konsesi mereka pada pertengahan tahun 2006 ini.

Kebakaran dan perambahan hutan adalah hal yang sangat mengancam ekosistem kita, yang mana bila ke dua kegiatan ini tidak dituntaskan tentu akan berdampak buruk bagi kehidupan kita semua. Penegakan hukum terhadap kasus perambahan dan kebakaran hutan ini tentu merupakan harapan kita semua untuk dapat terealisasi dan dapat memberikan “shock therapy” kepada pihak-pihak yang melakukan kegiatan terlarang tersebut.(Syamsidar)***

Menurut UU RI No.4 tentang Kehutanan, pemegang konsesi berkewajiban mengamankan areal kerjanya seperti diatur dalam pasal 49 dan 50.

Pasal 49Pemegang hak atau izin bertanggung jawab atas terjadinya kebakaran

hutan di areal kerjanya.

Pasal 50(1) Setiap orang dilarang merusak prasarana dan sarana perlindungan

hutan.(2) Setiap orang yang diberikan izin usaha pemanfaatan kawasan, izin

usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta izin pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dilarang melakukan kegiatan yang menimbulkan kerusakan hutan.

Page 8: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso NiloWawancara

8

Perambahan di hutan Tesso Nilo semakin meningkat. Masyarakat yang telah lama mendiami desa-desa sekitar tentu akan merasakan dampak dari perambahan ini seperti meningkatnya serangan gajah. Oleh karena itu untuk menggali suara masyarakat mengenai perambahan ini, berikut kutipan wawancara dengan Radaimon selaku ketu Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN). FMTN adalah suatu organisasi yang merupakan perwakilan dari 22 desa yang ada disekitar hutan Tesso Nilo

Bagaimana tanggapan Forum Masyarakat Tesso Nilo (FMTN) yang mewakili masyarakat yang hidup disekitar Tesso Nilo mengenai perambahan di hutan Tesso Nilo?

Forum Masyarakat Tesso Nilo tidak setuju dengan adanya kegiatan perambahan di hutan Tesso Nilo karena akan terjadi konflik sosial, misalnya perselisihan antara ninik mamak dengan anak kemenakan mengenai hutan ulayat. Selain itu gajah juga akan keluar karena perambahan itu terjadi ditengah hutan. Gajah-gajah akan masuk ke pemukiman masyarakat yang hidup di pinggir hutan Tesso Nilo, hal ini terbukti dengan semakin banyaknya serangan gajah yang terjadi akhir-akhir ini.

Menurut Forum mengapa perambahan bisa terjadi di hutan Tesso Nilo?

Perambahan tersebut terjadi karena pemerintah tidak serius melakukan penegakan hukum bagi pelaku perambahan sehingga hal ini membuat masyarakat berani melakukan perambahan dan menjual lahan dalam kawasan hutan. Sebagai contoh bukaan Toro yang dulunya hanya 20 kk sekarang diprediksi mencapai 500 kk lebih ditambah lagi dengan bukaan di Kampung Bukit dekat koridor RAPP. Bila perambahan tersebut dapat diantisipasi dari awal tentu tidak akan jadi seperti ini.

Sejauh ini apa upaya yang telah dilakukan FMTN untuk mengatasi perambahan di Tesso Nilo?

Kita sudah melakukan beberapa upaya baik pencegahan agar perambahan tidak meluas atau pun upaya ke arah penegakan hukum.Pertengahan 2005 kita telah melakukan mediasi konflik antara masyarakat Desa Gunung Melintang dan Desa Lubuk Kembang Bunga bersama pemerintah desa dan tokoh masyarakat di kedua desa tersebut. Hal

ini dikarenakan daerah Toro yang dijual belikan kepada masyarakat pendatang tersebut merupakan wilayah administrasi Lubuk Kembang Bunga (Kabupaten Pelalawan) tapi oknum masyarakat dari Desa Gunung Melintang (Kabupaten Kuantan Singingi) melakukan penjualan lahan kawasan hutan tersebut kepada pendatang. Selain itu kita telah mengirimkan surat kepada Bupati Pelalawan, Gubernur Riau dan Menteri Kehutanan mengenai pemukiman illegal Sei Toro ini agar pemerintah dapat mengambil langkah-langkah penanganan yang serius karena kekhawatiran kami yang mendalam bahwa bila keadaan perambahan dan jual beli lahan terus dibiarkan akan menimbulkan berbagai konflik sosial, gangguan gajah dan lainnyaNamun karena belum ada tindakan serius, Forum dengan bantuan LSM lokal (Lembaga Advokasi Lingkungan Hidup atau LALH) didampingi LBH Riau menyusun gugatan terhadap pelaku penjualan lahan di Toro yang bernama Jaspun. Sejauh ini penyelidikan Polres Pelalawan kepada tersangka tersebut telah berlanjut dan tersangka telah ditahan oleh pihak kepolisian.

Apa yang seharusnya dilakukan pihak terkait dalam mengatasi perambahan ini?

Penegakan hukum terhadap pelaku penjual lahan sehingga menjadi contoh bagi masyarakat lain untuk tidak mencoba menjual belikan lahan hutan. Selain itu melakukan penyelesaian terhadap para perambah tersebut karena mereka adalah orang pendatang yang menduduki kawasan hutan kami. Dengan jumlah mereka sebanyak itu tentu dapat dimanfaatkan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu misalnya untuk pemilihan kepala desa dan lainnya. Kami sangat menolak bentuk-bentuk seperti ini karena ini berarti juga melegalkan keberadaan mereka.

Bagaimana tanggapan FMTN mengenai berlangsungnya proses penyelidikan terhadap salah satu penjual lahan di Tesso Nilo?

Menyambut gembira dengan respon cepat dari aparat penegak hukum dalam menindak lanjuti laporan kami. Kami berharap pelaku dapat dijerat dengan hukuman yang setimpal.

Apakah penjual lahan itu memang dilakukan oleh tokoh adat setempat?

Penjualan lahan tersebut dilakukan oleh oknum masyarakat yang mengatasnamakan tokoh adat. Namun kenyataan sebenarnya penjual lahan tersebut bukan merupakan seorang bathin atau tokoh adat yang diakui oleh struktur adat yang ada.

Bagaimana menurut FMTN mengenai konflik gajah

Serangan gajah ke desa-desa disekitar Tesso Nilo semakin banyak, namun belum ada upaya serius untuk menanganinya. Apalagi sekarang kami lihat sendiri ada gajah-gajah dari daerah lain dipindahkan ke Tesso Nilo. Gajah-gajah seperti ini terlebih lagi sangat menyusahkan masyarakat karena mereka tidak mau diusir kalau masuk ke kebun masyarakat. Gajah-gajah itu berkonflik ditempat lain tapi kemudian kami yang merasakan susahnya, kebun-kebun masyarakat dirusak hanya dalam semalam.

Radaimon, Ketua Forum Masyarakat Tesso Nilo

Page 9: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Mitigasi Konflik Gajah-Manusia

Suara Tesso Nilo

9

Sungguh ironis kehidupan gajah Sumatera khususnya di Riau sepanjang tahun 2006 ini. Lembaran baru tahun 2006 tepatnya 26 Februari 2006 dibuka dengan kematian enam ekor gajah di perbatasan Kabupaten Rokan Hulu ( Provinsi Riau) dan Provinsi Sumatera Utara. Bangkai enam ekor gajah tersebut ditemukan tergeletak di kawasan hutan yang telah terbuka dimana daerah sekitarnya telah dikonversi menjadi perkebunan sawit. Sepanjang 2006 tercatat 23 ekor gajah Sumatera mati di Riau karena diracun, ditembak, ditransloka-si dan sebab lainnya. Bukan tidak mungkin angka ini bisa jauh lebih besar dari kenyataan dilapangan karena tidak dapat disangkal lagi bahwa habitat gajah di Riau sudah semakin menyempit dan terancam.

Dari data enam tahun terakhir (2000-2006) yang berhasil dikumpulkan, kematian gajah pada tahun 2006 merupakan angka kematian gajah yang paling tinggi. Sementara itu akibat konflik tersebut telah merenggut 5 jiwa manusia dan sekali lagi ini adalah jumlah korban jiwa yang terbesar sepanjang periode tersebut. Tentu kita berharap kejadian serupa tidak berulang kembali di tahun-tahun mendatang namun harapan tersebut tidak akan pernah terwujud bila kita tidak segera bersama-sama melakukan penanganan terencana terhadap permasalahan-permasalahan yang menimbulkan konflik manusia- gajah tersebut.

Hingga akhir 2005 menurut analisa GIS (Geography Information System) atau Sistem Informasi Geografi luas hutan yang tersisa di provinsi Riau adalah 2.743.198 ha atau sekitar 33% dari luas Riau daratan. Dari 33% ini hanya seki-tar 10 % yang layak sebagai habitat gajah karena yang lainnya berupa daerah rawa yang merupakan kawasan yang tidak disukai gajah. Diantara kawasan yang layak untuk dipertahankan sebagai habitat gajah tersebut adalah Taman Nasional Tesso Nilo dan usulan perluasannya, dan usulan perluasan Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Namun alih fungsi lahan di sekitar kawasan tersebut, akhir-akhir ini memicu terjadinya konflik manusia-gajah. Belum lagi masalah perambahan dan kebakaran hutan yang juga terjadi

Tahun 2006 dan Nasib Gajah Sumatera

di Riau

Page 10: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

10

Mitigasi Konflik Gajah-Manusia

dalam kawasan khususnya Taman Nasional Tesso Nilo.

Beberapa konflik di sekitar ke dua kawasan tersebut yang terjadi sepanjang 2006:

Di sekitar kawasan hutan Tesso Nilo:• 7 Februari 2006 ditemukan 3

ekor kerangka gajah di areal akasia PT. Riaupulp di Tenggara Taman Nasional Tesso Nilo. Di duga gajah ini bagian dari gajah tangkapan dari daerah lain yang dilepaskan di TNTN

• 14 Mei 2006, 8 ekor gajah (4 jantan 4 betina) tangkapan di Balai Raja – Duri ditranslokasi ke TNTN, dua minggu kemu-dian pada tanggal 26 Mei satu ekor gajah betina ditemukan mati di dekat lokasi pelepas-an.

• 16 April 2006, Tim Flying Squad bersama dengan dua ekor gajahnya berhasil menye-lamatkan satu ekor anak gajah jantan yang sakit karena kak-inya terjerat di kawasan kebun kelapa sawit PT. Peputra Supra Jaya di Utara TNTN. Setelah diobati selama 4 hari anak gajah tersebut kembali dilepas-kan ke arah kelompoknya.

• 10 Mei 2006, satu ekor gajah jantan mati akibat ditembak

pemburu di daerah Pontian Mekar, Kec. Kelayang, Kab. Inhu, sebelah Selatan TNTN.

• 21 September 2006, ditemukan 4 kerangka gajah di Utara TNTN, Desa Segati, Kec. Langgam, Kab. Pelalawan, gajah-gajah ini diduga mati karena berkonflik.

• Pertengahan Desember 2006 konflik gajah terjadi di dae-rah Logas Tanah Darat, Kab. Kuansing dimanan 4 rumah penduduk dirobohkan gajah.

• 16 Desember 2006, satu ekor gajah jantan berkonflik dengan masyarakat di Desa Rawang Empat, Kec. Bandar Petalangan, satu orang warga desa cedera berat. Gajah ini diperkirakan berasal dari TNTN.Di sekitar Taman Nasional Bukit

Tigapuluh:

Bulan Oktober sampai November terjadi konflik di Desa Anak Talang, Desa Talang Mulia dan Desa Talang Bersemi, Kec Batang Cinaku, Kab. Inhu. Daerah ini berada di Barat Laut dari TN Bukit Tigapuluh. Tim Flying Squad bersama BKSDA Riau telah men-gunjungi daerah tersebut untuk memberi pemahaman kepada

masyarakat mengenai cara pen-anggulangan konflik gajah. Diduga konflik ini terjadi begitu lama di seki-tar daerah tersebut karena adanya pembukaan hutan alam untuk HTI oleh PT Citra Sumber Sejahtera, PT. Bukit Betabuh Sungai Indah, dan PT. PT. Artelindo.

• 5 Desember 2006 ditemukan

tiga ekor bangkai gajah mati di Desa Sungai Besar, Kec. Kuantan Mudik, Kab. Kuansing. Dari informasi masyarakat gajah yang mati sebanyak 4 ekor, kemudian dari pengecekan lapangan ditemukan 3 ekor bangkai gajah. Lokasi temuan, berada di konsesi HTI PT. Artelindo bagian Selatan, yang juga termasuk dalam konsesi HPH PT Industries Et Forest Asiatiques (IFA) yang belum habis masa berlakunya pada bagian Barat dari Taman Nasional Bukit Tigapuluh.

• 4 Desember di Desa Pauh Ranap, Kab. Inhu terjadi kon-flik-manusia-gajah yang men-gakibatkan 2 orang cedera

• 18 Desember terjadi konflik gajah di Desa Serangge, Kab. Inhu

Titik terang upaya konser-vasi gajah di Riau sebenarnya mulai terlihat yaitu dengan dike-luarkannya Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) nomor P.54/Menhut-II/2006 tentang pene-tapan Provinsi Riau sebagai Pusat Konservasi Gajah pada 19 Juli 2006. Permenhut ini merupakan realisasi dari kunjungan Menteri Kehutanan ke Taman Nasional Tesso Nilo pada akhir Mei 2006. Pada kunjungan tersebut Menteri Kehutanan terkesan dengan model penanggulangan konflik gajah-manusia di Taman Nasional Tesso Nilo sehingga pada saat tersebut Menteri berkomitmen akan menja-dikan Riau sebagai pusat konser-

Gajah liar di sekitar TN Tesso Nilo, Foto WWF Tesso Nilo Prog./Syamsuardi

Page 11: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Mitigasi Konflik Gajah-Manusia

Suara Tesso Nilo

11

vasi gajah di Indonesia.

Permenhut tersebut meliputi:a. Kebijakan dan strategi konser-

vasi gajahb. Kebijakan tata ruang dan tata

guna hutanc. Pengendalian dan penanggu-

langan konflik gajah dan manu-sia

d. Pengembangan kelem-bagaan dan manajemen Pusat Konservasi Gajah Sumatera yang mandiri

Dalam Permenhut tersebut juga diatur beberapa kegiatan pokok Pusat Konservasi Gajah Sumatera

Konflik manusia-gajah akan te-rus meningkat oleh karena itu perlu upaya penanganan yang meny-eluruh yang harus didukung oleh berbagai komponen masyarakat. Sesuai dengan arahan Menteri Ke-hutanan RI pada launching Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo tanggal 30 Mei 2006 bahwa kawasan TNTN akan dijadikan kawasan konservasi gajah, maka untuk mewujudkan hal tersebut pengelolaan yang harus di-lakukan diarahkan kepada tiga hal :• Mengimplementasikan tindakan

mitigasi konflik manusia- gajah di sekitar hutan Tesso Nilo.

• Mengelola kawasan TNTN, se-hingga mempunyai kapasitas dan daya dukung (alami dan in-tervensi) sebagai kawasan kon-servasi gajah.

• Mendirikan fasilitas Pusat konser-vasi Gajah (PKG) yang menjadi tempat pelatihan, pemeliharaan, pengobatan, dan penampungan

gajah-gajah yang berkonflik dan ti-dak dapat dilepaskan ke alam.

Flying Squad adalah salah satu bentuk tindakan penanganan kon-flik manusia-gajah jangka pendek. Tim Flying Squad terdiri dari beber-apa ekor gajah latih dan pawangnya dilengkapi dengan peralatan pen-dukung yang bertugas melakukan pengusiran gajah liar yang masuk ke pemukiman atau perkebunan. Tim ini siap sedia melakukan penggiringan dan pengusiran gajah liar kembali ke habitatnya sehingga diharapkan keru-gian antar dua bela pihak, baik gajah atau manusia dapat diminimalisir. Un-tuk menganstisipasi masuknya gajah liar ke pemukiman atau perkebunan tim ini melakukan patroli rutin

Diperkirakan dibutuhkan minimal 6 tim flying squad di kawasan TNTN dan perluasannya. Perusahaan-pe-rusahaan yang beroperasi disekitar Tesso Nilo telah berkomitmen untuk mengimplementasikan Teknik Flying

Squad di beberapa wilayah yang berbeda di sekitar Taman Nasio-nal Tesso Nilo. Sepanjang tahun 2006 ini telah dilakukan dua kali penandatangan MoU mengenai keikutsertaan perusahaan dalam upaya penanganan konflik manusia dan gajah khususnya disekitar Ta-man Nasional Tesso Nilo dengan mengadopsi tekhnik flying squad yang telah diimplementasikan oleh WWF bekerjasama dengan BKSDA Riau sejak April 2004. Penandatan-ganan MoU pertama dilaksanakan pada 14 Agustus 2006 antara WWF dan PT. Inti Indosawit Subur, yang kemudian disusul dengan penan-datanganan antara WWF, Yayasan Taman Nasional Tesso Nilo dan PT. Musim Mas pada 22 Desember 2006. Tahun sebelumnya juga telah dilakukan penandatanganan antara WWF, BKSDA dan PT. Riaupulp. Pengalaman yang telah didapat oleh WWF dan BKSDA selama ini dalam pengoperasian flying squad akan menjadi bantuan tekhnis bagi pengoperasian tim-tim flying squad yang lain.

nya Permenut No.P 54 ini men-jadi kebanggaan bagi seluruh lapisan masyarakat Riau karena provinsi ini menjadi pusat konser-vasi gajah Sumatera. Angin segar bagi upaya konservasi gajah pun telah berhembus dengan harap-an implementasi dari Permenhut ini dapat meminimalkan konflik gajah yang terjadi di Riau dan hutan-hutan yang menjadi habitat mereka dapat terjaga. Semoga saja angin ini benar-benar dapat terwujud menjadi kenyataan yang menjanjikan.(Syamsidar)

yang antara lain mencakup:1. Menghentikan konversi hutan

alam untuk tujuan apapun2. Mengevaluasi pemanfaatan

kawasan hutan untuk kepen-tingan non kehutanan

3. Mempertahankan kantong-kan-tong habitat gajah yang tersisa

4. Membangun koridor antar kan-tong-kantong habitat gajah antara Taman Nasional Tesso Nilo dan Suaka Margasatwa Rimbang Baling dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh

5. Menetapkan protokol pena-nganan konflik gajah Sumatera dan manusia.Sudah selayaknya dikeluarkan-

Flying Squad, Teknik Penanganan Konflik Manusia - Gajah

Page 12: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Pemberdayaan Masyarakat

Suara Tesso Nilo

13

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan khususnya seki-

tar hutan Tesso Nilo telah lama memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimilikinya. Sementara itu madu sialang merupakan sumber pendapatan ke dua bagi masyara-kat sesudah getah. Peraturan adat yang mengikat masyarakat untuk melindungi pohon sialang dan hutan kepungannya adalah salah satu contoh kearifan yang telah lama ada di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya, per-aturan tersebut seakan memudar baik dikarenakan oleh faktor dari masyarakat sendiri atau pun dam-pak dari proses pembangunan.

Namun disisi lain ada keinginan masyarakat khususnya masyara-kat sekitar Tesso Nilo untuk meng-hidupkan kembali kearifan lokal yang pernah ada dalam upaya per-lindungan hutan Tesso Nilo. Seiring dengan itu, WWF sejak tahun 2004 bersama dengan masyarakat Kecamatan Logas Tanah Darat-Kabupaten Kuantan Singingi telah memulai upaya lahirnya suatu peraturan yang melindungi pohon Sialang dan hutan kepungannya. Gagasan untuk membuat per-aturan perlindungan pohon sial-ang dan peraturannya dalam ben-tuk peraturan desa (Perdes) pun akhirnya menjadi pilihan masyara-kat Logas Tanah Darat. Hingga awal 2005, lima desa yang ada di Kecamatan Logas Tanah Darat tersebut telah menyelesaikan draft peraturan desa dimaksud. Draft tersebut pada 25 Januari 2005 dikonsultasikan ke publik untuk mendapatkan masukan sebelum disyahkan.

Draft peraturan desa ini dis-ambut baik oleh pemerintah keca-matan Logas Tanah Darat yang

kepada Bupati.Hasil dari konsultasi publik

ini kemudian direvisi oleh bagian hukum pemkab Kuantan Singingi. Akhirnya pada 27 Oktober 2006, Peraturan Bupati Kuantan Singingi tentang Perlindungan Sialang dan Hutan Kepungannya resmi ditan-datangani oleh Bupati Kuantan Singingi H. Sukarmis. Dengan ada-nya Peraturan Bupati ini, masyara-kat dan badan hukum diwilayah administrasi Kabupaten Kuantan Singingi terikat dengan sanksi-sanksi adat dan peraturan yang berlaku bila melakukan pelangga-ran terhadap pasal-pasal yang ada dalam peraturan tersebut.

Potensi pohon sialang seba-gai tempat bersarangnya madu hutan di wilayah administrasi Kabupaten Kuantan Singingi yang terbagi dalam 12 Kecamatan ini sangat tinggi. Namun belum semua potensi tersebut tercatat dengan baik. Menurut survei yang dilakukan oleh WWF bersama dengan masyarakat Logas Tanah Darat, di wilayah Kecamatan ini terdapat 154 pohon sialang yang sebagiannya terdapat di kawasan hutan Tesso Nilo. Peraturan ini diharapkan juga dapat menahan laju kerusakan hutan di kawasan Tesso Nilo karena dalam peraturan ini diatur hal-hal yang mendukung perlindungan pohon sialang itu sendiri dan hutan tempat pohon sialang tersebut tumbuh minimal dalam radius 40 meter dari pohon sialang tersebut.

Dengan adanya Peraturan Bupati ini, kita berharap bahwa semangat untuk melindungi sum-ber daya alam dengan tetap dapat berkontribusi kepada perekonomi-an masyarakat yang hidup di ping-gir hutan dapat saling mengun-tungkan. (Syamsidar, Syafrizal)

kemudian berupaya agar per-aturan ini dapat diadopsi menjadi peraturan Bupati.

Pada tanggal 18 Oktober 2006 diadakan konsultasi publik di kantor Bupati Kuantan Singingi mengenai peraturan Bupati ten-tang Perlindungan Sialang dan Hutan Kepungannya yang dihadiri oleh Wakil Bupati, beberapa staff

Peraturan Bupati Kuantan Singingi “Perlindungan Pohon Sialang dan

Hutan Kepungannya”

pemkab Kuantan Singingi beser-ta beberapa kepala dinas terkait, camat se Kabupaten Kuantan Singingi dan tokoh masyarakat setempat termasuk perwakilan dari perusahaan dalam hal ini pihak PT. RAPP. Melalui konsulta-si publik ini diperoleh beberapa masukan diantaranya pasal pera-lihan/tambahan mengenai pohon sialang yang berada di dalam areal perkebunan atau hutan tanaman. Dalam pasal ini disebutkan jika tanaman atau pohon itu telah dipanen dan ketika dilakukan replanting (penanaman kembali) maka untuk wilayah sekitar pohon sialang dengan radius minimal 40 m tidak akan ditanami dengan tanaman perkebunan atau harus mengikuti Perbup ini. Jika pihak perusahaan membuka lahan baru, maka harus melakukan identifi-kasi terhadap keberadaan pohon sialang di lokasi itu dengan meli-batkan tokoh masyarakat setem-pat dan hasilnya harus dilaporkan

Page 13: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Pemberdayaan Masyarakat

Suara Tesso Nilo

13

Masyarakat yang tinggal di sekitar hutan khususnya seki-

tar hutan Tesso Nilo telah lama memiliki kearifan lokal dalam pemanfaatan sumber daya alam yang dimilikinya. Sementara itu madu sialang merupakan sumber pendapatan ke dua bagi masyara-kat sesudah getah. Peraturan adat yang mengikat masyarakat untuk melindungi pohon sialang dan hutan kepungannya adalah salah satu contoh kearifan yang telah lama ada di tengah masyarakat. Dalam perkembangannya, per-aturan tersebut seakan memudar baik dikarenakan oleh faktor dari masyarakat sendiri atau pun dam-pak dari proses pembangunan.

Namun disisi lain ada keinginan masyarakat khususnya masyara-kat sekitar Tesso Nilo untuk meng-hidupkan kembali kearifan lokal yang pernah ada dalam upaya per-lindungan hutan Tesso Nilo. Seiring dengan itu, WWF sejak tahun 2004 bersama dengan masyarakat Kecamatan Logas Tanah Darat-Kabupaten Kuantan Singingi telah memulai upaya lahirnya suatu peraturan yang melindungi pohon Sialang dan hutan kepungannya. Gagasan untuk membuat per-aturan perlindungan pohon sial-ang dan peraturannya dalam ben-tuk peraturan desa (Perdes) pun akhirnya menjadi pilihan masyara-kat Logas Tanah Darat. Hingga awal 2005, lima desa yang ada di Kecamatan Logas Tanah Darat tersebut telah menyelesaikan draft peraturan desa dimaksud. Draft tersebut pada 25 Januari 2005 dikonsultasikan ke publik untuk mendapatkan masukan sebelum disyahkan.

Draft peraturan desa ini dis-ambut baik oleh pemerintah keca-matan Logas Tanah Darat yang

kepada Bupati.Hasil dari konsultasi publik

ini kemudian direvisi oleh bagian hukum pemkab Kuantan Singingi. Akhirnya pada 27 Oktober 2006, Peraturan Bupati Kuantan Singingi tentang Perlindungan Sialang dan Hutan Kepungannya resmi ditan-datangani oleh Bupati Kuantan Singingi H. Sukarmis. Dengan ada-nya Peraturan Bupati ini, masyara-kat dan badan hukum diwilayah administrasi Kabupaten Kuantan Singingi terikat dengan sanksi-sanksi adat dan peraturan yang berlaku bila melakukan pelangga-ran terhadap pasal-pasal yang ada dalam peraturan tersebut.

Potensi pohon sialang seba-gai tempat bersarangnya madu hutan di wilayah administrasi Kabupaten Kuantan Singingi yang terbagi dalam 12 Kecamatan ini sangat tinggi. Namun belum semua potensi tersebut tercatat dengan baik. Menurut survei yang dilakukan oleh WWF bersama dengan masyarakat Logas Tanah Darat, di wilayah Kecamatan ini terdapat 154 pohon sialang yang sebagiannya terdapat di kawasan hutan Tesso Nilo. Peraturan ini diharapkan juga dapat menahan laju kerusakan hutan di kawasan Tesso Nilo karena dalam peraturan ini diatur hal-hal yang mendukung perlindungan pohon sialang itu sendiri dan hutan tempat pohon sialang tersebut tumbuh minimal dalam radius 40 meter dari pohon sialang tersebut.

Dengan adanya Peraturan Bupati ini, kita berharap bahwa semangat untuk melindungi sum-ber daya alam dengan tetap dapat berkontribusi kepada perekonomi-an masyarakat yang hidup di ping-gir hutan dapat saling mengun-tungkan. (Syamsidar, Syafrizal)

kemudian berupaya agar per-aturan ini dapat diadopsi menjadi peraturan Bupati.

Pada tanggal 18 Oktober 2006 diadakan konsultasi publik di kantor Bupati Kuantan Singingi mengenai peraturan Bupati ten-tang Perlindungan Sialang dan Hutan Kepungannya yang dihadiri oleh Wakil Bupati, beberapa staff

Peraturan Bupati Kuantan Singingi “Perlindungan Pohon Sialang dan

Hutan Kepungannya”

pemkab Kuantan Singingi beser-ta beberapa kepala dinas terkait, camat se Kabupaten Kuantan Singingi dan tokoh masyarakat setempat termasuk perwakilan dari perusahaan dalam hal ini pihak PT. RAPP. Melalui konsulta-si publik ini diperoleh beberapa masukan diantaranya pasal pera-lihan/tambahan mengenai pohon sialang yang berada di dalam areal perkebunan atau hutan tanaman. Dalam pasal ini disebutkan jika tanaman atau pohon itu telah dipanen dan ketika dilakukan replanting (penanaman kembali) maka untuk wilayah sekitar pohon sialang dengan radius minimal 40 m tidak akan ditanami dengan tanaman perkebunan atau harus mengikuti Perbup ini. Jika pihak perusahaan membuka lahan baru, maka harus melakukan identifi-kasi terhadap keberadaan pohon sialang di lokasi itu dengan meli-batkan tokoh masyarakat setem-pat dan hasilnya harus dilaporkan

EDISI Oktober - Desember 2006Mitigasi Konflik Gajah-Manusia

BULETIN WWF Suara Tesso Nilo

12

Penemuan awal dua bangkai gajah Sumatera (jantan dan betina) yang di temukan di Desa Sungai Besar Kecamatan

Kuantan Mudik Kabupaten Kuantan Singingi awal Desember ini telah menambah daftar panjang kematian gajah Sumatera di Riau. Pada hari terakhir tim berada di lapangan, tim akhirnya menemukan satu lagi gajah betina dewasa. Informasi yang didapat dari masyarakat setempat menyatakan ada empat ekor gajah yang mati disekitar lokasi yang berupa hutan yang baru dibuka. Lokasi kejadian ini masuk dalam konsesi HPH PT. Industries Et Forest Asiatiques (IFA) yang sekarang telah ada izin konsesi HTI PT. Artelindo Informasi lapangan tidak saja mengungkap jumlah ini, berdasarkan laporan kepala desa sebanyak tiga ekor bangkai gajah juga telah ditemukan masyarakat di sekitar Desa Sungai Besar sekitar dua bulan

gajah-gajah ini mati memakan makanan beracun. Sementara itu, informasi yang dikumpulkan dari lapangan juga menunjuk-kan bahwa konflik gajah manusia, ini telah terjadi di beberapa daerah di sekitar lokasi kejadian. Seperti yang diungkapkan seorang penjaga perkebunan kelapa sawit milik CV. Mylhona yang berjarak ± 200 meter dari lokasi temuan, pada kebun yang baru ditanami kelapa sawit berumur satu tahun ini gajah-gajah liar pernah mengganggu tanaman kelapa sawit di sini. Untuk mengatasinya, dilakukan penjagaan pada malam hari sambil membakar ban bekas dan membunyikan meriam karbit terbuat dari pipa besi. Informasi yang dikumpulkan juga menunjukkan konflik terjadi di PT. Tri Bakti Sarimas.

Gajah-gajah ini merupakan gajah dari kantong distribusi populasi Gajah Serangge yang berada di kawasan penyangga

Kematian Beruntun Gajah di Kuantan Mudik- Kabupaten Kuansing

lalu. Sementara itu tiga ekor gajah juga dilaporkan ditemukan mati di desa Pangkalan, desa tetangga yang berjarak sekitar 8 km dari desa Sungai Besar.

Bangkai gajah ini pertama kali ditemukan oleh masyara-kat pada hari Sabtu tanggal 2 Desember 2006 seperti infor-masi yang didapatkan tim yang turun ke lokasi tersebut pada 6 Desember. Pada saat ditemukan, gajah jantan yang sudah tergolek lemah masih dalam keadaan hidup. Karena merasa khawatir gading gajah yang sekarat ini akan diambil orang lain, sebagian masyarakat melakukan penjagaan di sekitar lokasi. Sedangkan yang lain melaporkan temuan ini kepada Kepala Desa dan Polisi dari Sektor Lubuk Jambi. Polisi kemu-dian memotong gading dan mengamankannya di Polsek Lubuk Jambi untuk kemudian menyerahkannya kepada Balai KSDA Riau. Gajah jantan tersebut ditemukan di kawasan hutan yang baru saja dibuka, sementara itu gajah betina terkapar di dalam hutan yang berjarak sekitar 20 m dari gajah jantan.

Hasil temuan di lapangan menunjukkan beberapa indikasi, bahwa gajah-gajah tersebut mati dengan tidak normal seper-ti misalnya kotoran gajah yang terlihat berserakan di lokasi. Dengan beberapa indikasi di lapangan ini, besar kemungkinan

Bangkai gajah betina Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Samsuardi Bangkai gajah jantan. Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Samsuardi

di bagian Barat Daya Taman Nasional Bukit Tigapuluh. Pada Bulan September – Oktober gajah kelompok ini juga berkon-flik dengan masyarakat Desa Anak Talang, Desa Talang Mulia, dan Desa Talang Bersemi, salah satu desa penyangga Taman Nasioanal Bukit Tigapuluh, di Kecamatan Batang Cinaku. Menurut informasi dari masyarakat desa, gajah telah lama tidak datang ke desa mereka mungkin lebih 20 tahun yang lalu. Gajah-gajah liar yang diperkirakan sekitar 15 ekor tersebut cukup lama bertahan disekitar desa-desa tersebut sebelum akhirnya meninggalkan lokasi. Bukan tidak mungkin gajah-gajah yang sama yang mendatangi desa Sungai Besar ini.

Konversi hutan alam yang sedang berlangsung di konsesi PT. Citra Sumber Sejahtera, PT. Bukit Batabuh Sungai Indah dan PT. Artelindo di sekitar daerah penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) diduga turut memicu besarnya konflik gajah di daerah ini. Padahal daerah ini merupakan kawasan yang cocok untuk habitat gajah, oleh karena itu sudah seha-rusnya perlindungan kawasan penyangga TNBT ini segera dilakukan.( Syamsidar, Nurchalis Fadhli)

Page 14: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

15

Pemberdayaan Masyarakat

kegiatan sosialisasi dan moti-vasi tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Peserta yang hadir pada saat itu menanggapi dengan antusias program simpan pinjam (credit union) yang digambarkan terse-but hal ini terbukti dengan telah terbentuknya kelompok sim-pan pinjam di empat desa dari lima desa yang di undang pada saat itu. Hal ini tentunya men-jadi pemicu semangat WWF dan Forum Masyarakat Tesso Nilo untuk terus menindak-lanjuti dan mengembangkan kegiatan ini.

Pada pelatihan kali ini WWF dan Forum menambah jumlah peserta dan desa yang akan dikembangkan unit simpan pin-jam melalui Credit Union. Tujuan pelatihan ini adalah memberikan pemahaman kepada peserta ten-tang prinsip-prinsip dan tujuan Credit Union (CU) dalam rangka pengorganisasian masyarakat. Serta memberikan kemampuan dasar tentang sistem pembu-kuan yang digunakan dalam mengelola Credit Union. Peserta pelatihan ini merupakan utus-an dari desa Gondai, Lubuk Kembang Bunga, Rantau Kasih, Gunung Sahilan, Rambahan dan Logas. Dalam pelatihan ini WWF dan Forum juga melibatkan lembaga Kudapan (Kelompok Diskusi Perempuan) yang ada di Pekanbaru untuk turut serta menjadi peserta aktif. Hal ini dikarenakan Kudapan merupak-an lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perem-puan yang rencananya juga akan melibatkan diri dalam pendamp-ingan masyarakat khususnya perempuan di desa-desa sekitar

taman nasional Tesso Nilo. Adi Purwoko selaku commu-

nity organization officer WWF Riau pada acara penutupan pela-tihan mengatakan “Pelatihan Credit Union ini hanyalah suatu cara bagaimana masyarakat melek finansial sehingga dengan begitu dapat mengatur dan men-gelola keuangan keluarganya. Diharapkan pula Credit Union yang terbentuk ini dapat ber-fungsi sebagai sumber penda-naan alternatif bagi masyarakat selain dari bank”. Pada kesempa-

pulang dari pelatihan ini. Pada acara penutupan terse-

but diberikan kesempatan kepa-da salah seorang peserta untuk menyampaikan kesan dan pesan dalam mengikuti pelatihan CU. Peserta dari Desa Rambahan mewakili dalam menyampakan kesan dan pesan dengan diakh-iri melantunkan sebuah pan-tun yang berbunyi, “jalan-jalan membeli duku, duku dimakan ditepi tebing. Jangan lupa hai kawan mari kita membentuk CU, setelah itu kita studi banding.

tan itu juga disampaikan harap-an kepada peserta agar terus mengajak anggota masyarakat yang lain untuk mau bergabung dalam Credit Union yang telah dibentuk oleh peserta di desan-ya masing-masing, sehingga gerakan simpan-pinjam melaui Credit Union ini menjadi sesuatu yang besar dan dapat mem-bantu perekonomian masyara-kat. Menanggapi harapan ini, peserta dengan antusias merasa yakin akan dapat menjalankan kelompok CU di desanya setelah

Kontan saja seluruh peserta dan panitia yang ada dalam ruang-an itu tertawa terbahak-bahak mendengannya. Ternyata selama pelatihan mereka telah mende-ngar dari Lembaga Bitra selaku instruktur dalam pelatihan ini tentang pelaksanaan CU yang ada di Medan, sehingga mere-ka berharap dapat melihat lang-sung pelaksanaan CU yang ada dibawah binaan lembaga Bitra – Medan. (Adi Purwoko)

Instruktur pelatihan memberikan petunjuk kepada peserta pelatihan, foto Forum Masyarakat Tesso Nilo

Page 15: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

15

Pemberdayaan Masyarakat

kegiatan sosialisasi dan moti-vasi tersebut membuahkan hasil yang cukup menggembirakan. Peserta yang hadir pada saat itu menanggapi dengan antusias program simpan pinjam (credit union) yang digambarkan terse-but hal ini terbukti dengan telah terbentuknya kelompok sim-pan pinjam di empat desa dari lima desa yang di undang pada saat itu. Hal ini tentunya men-jadi pemicu semangat WWF dan Forum Masyarakat Tesso Nilo untuk terus menindak-lanjuti dan mengembangkan kegiatan ini.

Pada pelatihan kali ini WWF dan Forum menambah jumlah peserta dan desa yang akan dikembangkan unit simpan pin-jam melalui Credit Union. Tujuan pelatihan ini adalah memberikan pemahaman kepada peserta ten-tang prinsip-prinsip dan tujuan Credit Union (CU) dalam rangka pengorganisasian masyarakat. Serta memberikan kemampuan dasar tentang sistem pembu-kuan yang digunakan dalam mengelola Credit Union. Peserta pelatihan ini merupakan utus-an dari desa Gondai, Lubuk Kembang Bunga, Rantau Kasih, Gunung Sahilan, Rambahan dan Logas. Dalam pelatihan ini WWF dan Forum juga melibatkan lembaga Kudapan (Kelompok Diskusi Perempuan) yang ada di Pekanbaru untuk turut serta menjadi peserta aktif. Hal ini dikarenakan Kudapan merupak-an lembaga yang bergerak dalam bidang pemberdayaan perem-puan yang rencananya juga akan melibatkan diri dalam pendamp-ingan masyarakat khususnya perempuan di desa-desa sekitar

taman nasional Tesso Nilo. Adi Purwoko selaku commu-

nity organization officer WWF Riau pada acara penutupan pela-tihan mengatakan “Pelatihan Credit Union ini hanyalah suatu cara bagaimana masyarakat melek finansial sehingga dengan begitu dapat mengatur dan men-gelola keuangan keluarganya. Diharapkan pula Credit Union yang terbentuk ini dapat ber-fungsi sebagai sumber penda-naan alternatif bagi masyarakat selain dari bank”. Pada kesempa-

pulang dari pelatihan ini. Pada acara penutupan terse-

but diberikan kesempatan kepa-da salah seorang peserta untuk menyampaikan kesan dan pesan dalam mengikuti pelatihan CU. Peserta dari Desa Rambahan mewakili dalam menyampakan kesan dan pesan dengan diakh-iri melantunkan sebuah pan-tun yang berbunyi, “jalan-jalan membeli duku, duku dimakan ditepi tebing. Jangan lupa hai kawan mari kita membentuk CU, setelah itu kita studi banding.

tan itu juga disampaikan harap-an kepada peserta agar terus mengajak anggota masyarakat yang lain untuk mau bergabung dalam Credit Union yang telah dibentuk oleh peserta di desan-ya masing-masing, sehingga gerakan simpan-pinjam melaui Credit Union ini menjadi sesuatu yang besar dan dapat mem-bantu perekonomian masyara-kat. Menanggapi harapan ini, peserta dengan antusias merasa yakin akan dapat menjalankan kelompok CU di desanya setelah

Kontan saja seluruh peserta dan panitia yang ada dalam ruang-an itu tertawa terbahak-bahak mendengannya. Ternyata selama pelatihan mereka telah mende-ngar dari Lembaga Bitra selaku instruktur dalam pelatihan ini tentang pelaksanaan CU yang ada di Medan, sehingga mere-ka berharap dapat melihat lang-sung pelaksanaan CU yang ada dibawah binaan lembaga Bitra – Medan. (Adi Purwoko)

Instruktur pelatihan memberikan petunjuk kepada peserta pelatihan, foto Forum Masyarakat Tesso Nilo

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Pemberdayaan Masyarakat

Suara Tesso Nilo

14

untuk bersama-sama menabung yang mana uang tabungan terse-but dipinjamkan diantara mereka sendiri dengan bunga ringan untuk dapat dimanfaatkan dalam mengembangkan perekonomian dan kesejahteraan anggota CU.

Tidak terasa sudah tiga hari para peserta bergelut dengan angka-angka dan perhitungan yang cukup menguras pikiran dan ketekunan dalam mempe-lajari pembukuan dan keuangan Credit Union. Apa lagi kegiatan seperti ini merupakan hal yang terhitung baru buat sebahagian besar peserta namun pelatihan tersebut dilalui dengan semangat tinggi dan harapan untuk dapat menerapkan hasil-hasil kegiat-an tersebut di daerah peserta masing-masing.

Pelatihan ini merupakan pro-gram tindak-lanjut dari divisi Community Empowerment WWF Riau dan Forum Masyarakat Tesso Nilo dalam upaya menin-gkatkan ekonomi masyarakat lokal melalui pengelolaan keuan-gan dalam bentuk simpam pin-jam. Hal ini dilakukan setelah sebelumnya peserta mendapat sosialisasi dan gambaran tentang Credit Union yang diselenggara-kan di kantor Forum Masyarakat Tesso Nilo di Pangkalan Kerinci tiga bulan yang lalu oleh lem-baga Bitra – Medan. Dari hasil

Credit Union Sebagai Alternatif Sumber Pembiayaan Masyarakat Selain Bank

Demikianlah bait sebuah lagu terdengar memecah kehen-ingan sore itu di hotel Flora – Pekanbaru. Ternyata paduan suara itu berasal dari dalam ruangan pertemuan lantai dua tempat diadakannya pelatihan managemen keuangan Credit Union yang diselenggarakan oleh WWF bekerjasama dengan Forum Masyarakat Tesso Nilo. Pelatihan ini difasilitasi oleh Bitra – Medan, lembaga yang telah lama melakukan pendampingan

masyarakat lokal dalam penge-lolaan simpan pinjam. Pelatihan tiga hari ini diikuti oleh peserta berjumlah 22 orang yang dii-kuti sebagian besar ibu-ibu dan remaja putri. Peserta sangat bersemangat melantunkan lagu tersebut sambil diiringi tepu-kan tangan dan tawa sehingga menambah semarak suasana sore itu.

Credit Union (CU) atau Usaha Bersama Simpan Pinjam adalah kumpulan orang yang bersepakat

Mana dimana simpan pinjam kita…….Simpan pinjam kita ada di credit union....Caca marica simpan....Caca marica pinjam....Caca marica mari kita ber CU

Peserta tengah mengikuti pelatihan CU, foto Forum Masyarakat Tesso Nilo

Page 16: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

Harimau saat ini sedang terancam keberadaannya. Dua anak jenis harimau (sub spesies) yaitu harimau Jawa dan

Bali yang terdapat di Indonesia telah dinyatakan punah. Hari-mau Sumatera merupakan satu-satunya yang masih bertahan namun kehilangan habitat alaminya menyebabkan populasinya semakin turun. Meski demikian informasi keberadaannya juga masih sangat minim diketahui terlebih pada kawasan hutan rawa gambut. Hampir tidak ada penelitian secara intensif yang pernah dilakukan untuk mengetahui keberadaan harimau pada daerah seperti ini.

Tim Harimau WWF Riau berkesempatan untuk mengetahui lebih lanjut tentang keberadaan satwa terancam punah ini. Lo-kasi penelitian yang dituju adalah Suaka Margasawata Kerumu-tan. Kawasan suaka alam ini masuk dalam wilayah administrasi tiga kabupaten yaitu Pelelawan, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir provinsi Riau. Total luas yang ditetapkan melalui Surat Keputus-an Menteri Pertanian nomor 350/Kpts/II/6/1979 adalah seluas 120.000 hektar. Kawasan ini diharapkan mampu untuk memper-tahankan keberadaan beragam satwa terancam punah (seper-ti harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Mentok Rimba Cairina scutulata dan lainnya) dan juga dapat menjaga sistem hidrologi.

Mencapai kawasanLokasi penelitian adalah dibagian barat kawasan hutan Keru-

mutan. Untuk mencapai kawasan ini dari Pekanbaru (ibukota provinsi Riau) dapat ditempuh dengan kendaraan umum menuju kota Rengat. Disini terdapat 2 desa yang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Kerumutan yang menjadi pintu ma-

suk kawasan yaitu desa Redang dibagian utara dan desa Kam-pung Pulau di selatan. Dari desa Redang ke dalam kawasan hu-tan Kerumutan dapat dicapai dengan berjalan kaki pada musim kemarau. Sedangkan dari desa Kampung Pulau harus ditempuh melalui jalur sungai. Tetapi pada saat musim kering kebanyakan air sungai surut, sehingga mendorong dan mengangkat perahu dari rintangan pohon tumbang pun harus dilakukan. Hal ini men-jadi keasyikan tersendiri ditengah hitamnya air sungai yang juga asam rasanya, khas rawa gambut.

Menyusuri Batang Rengat dengan sampan ke hutan Kerumutan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Rintangan yang harus dilalui menyusuri sungai di hutan rawa Kerumutan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Berburu Harimau di Rawa Gambut

Pengecekan kamera penjebak saat musim penghujan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Base camp sumur 4 ditengah hutan Kerumutan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Camera trappingTidak semudah yang dibayangkan, memasuki kawasan hu-

tan gambut tidak seperti kawasan hutan lainnya. Tanah datar untuk mendirikan tenda saja sangat susah untuk dijumpai. Se-hingga tim peneliti harus bersusah payah untuk mendirikan tem-pat untuk berkemah. Saat pencarian jejak dan lokasi penempa-tan kamera penjebak, dahaga dan teriknya matahari merupakan tantangan tersendiri. Saat musim kering, sangatlah susah untuk menemukan air untuk minum dan seringkali tim harus minum air dari kantung semar “periuk kera” Nephentes sp. Dan me-masuki musim penghujan, tanah digenangi air, “becek”, dan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

17

Konservasi Harimau Sumatera

Page 17: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

Harimau saat ini sedang terancam keberadaannya. Dua anak jenis harimau (sub spesies) yaitu harimau Jawa dan

Bali yang terdapat di Indonesia telah dinyatakan punah. Hari-mau Sumatera merupakan satu-satunya yang masih bertahan namun kehilangan habitat alaminya menyebabkan populasinya semakin turun. Meski demikian informasi keberadaannya juga masih sangat minim diketahui terlebih pada kawasan hutan rawa gambut. Hampir tidak ada penelitian secara intensif yang pernah dilakukan untuk mengetahui keberadaan harimau pada daerah seperti ini.

Tim Harimau WWF Riau berkesempatan untuk mengetahui lebih lanjut tentang keberadaan satwa terancam punah ini. Lo-kasi penelitian yang dituju adalah Suaka Margasawata Kerumu-tan. Kawasan suaka alam ini masuk dalam wilayah administrasi tiga kabupaten yaitu Pelelawan, Indragiri Hulu dan Indragiri Hilir provinsi Riau. Total luas yang ditetapkan melalui Surat Keputus-an Menteri Pertanian nomor 350/Kpts/II/6/1979 adalah seluas 120.000 hektar. Kawasan ini diharapkan mampu untuk memper-tahankan keberadaan beragam satwa terancam punah (seper-ti harimau Sumatera Panthera tigris sumatrae, Mentok Rimba Cairina scutulata dan lainnya) dan juga dapat menjaga sistem hidrologi.

Mencapai kawasanLokasi penelitian adalah dibagian barat kawasan hutan Keru-

mutan. Untuk mencapai kawasan ini dari Pekanbaru (ibukota provinsi Riau) dapat ditempuh dengan kendaraan umum menuju kota Rengat. Disini terdapat 2 desa yang berbatasan langsung dengan Suaka Margasatwa Kerumutan yang menjadi pintu ma-

suk kawasan yaitu desa Redang dibagian utara dan desa Kam-pung Pulau di selatan. Dari desa Redang ke dalam kawasan hu-tan Kerumutan dapat dicapai dengan berjalan kaki pada musim kemarau. Sedangkan dari desa Kampung Pulau harus ditempuh melalui jalur sungai. Tetapi pada saat musim kering kebanyakan air sungai surut, sehingga mendorong dan mengangkat perahu dari rintangan pohon tumbang pun harus dilakukan. Hal ini men-jadi keasyikan tersendiri ditengah hitamnya air sungai yang juga asam rasanya, khas rawa gambut.

Menyusuri Batang Rengat dengan sampan ke hutan Kerumutan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Rintangan yang harus dilalui menyusuri sungai di hutan rawa Kerumutan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Berburu Harimau di Rawa Gambut

Pengecekan kamera penjebak saat musim penghujan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Base camp sumur 4 ditengah hutan Kerumutan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Camera trappingTidak semudah yang dibayangkan, memasuki kawasan hu-

tan gambut tidak seperti kawasan hutan lainnya. Tanah datar untuk mendirikan tenda saja sangat susah untuk dijumpai. Se-hingga tim peneliti harus bersusah payah untuk mendirikan tem-pat untuk berkemah. Saat pencarian jejak dan lokasi penempa-tan kamera penjebak, dahaga dan teriknya matahari merupakan tantangan tersendiri. Saat musim kering, sangatlah susah untuk menemukan air untuk minum dan seringkali tim harus minum air dari kantung semar “periuk kera” Nephentes sp. Dan me-masuki musim penghujan, tanah digenangi air, “becek”, dan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

17

Konservasi Harimau Sumatera

Seluas 38.576 ha kawasan hutan Tesso Nilo telah ditunjuk lewat Surat Keputusan Menteri Kehutanan sebagai Taman Nasional pada 19 Juli 2004. Rangkaian pertemuan telah dilaksanakan dalam rangka memperjelas tata batas Taman Nasional Tesso Nilo. Pada Oktober 2004 Dinas Kehutanan Provinsi Riau telah mengeluarkan peta kerja Taman Nasional mengacu pada peta eks Inhutani IV dan eks HPH PT. Dwi Marta. Ketika dibandingkan, beberapa koordinat yang ada dalam peta kerja Taman Nasional Tesso Nilo terlihat tumpang tindih dengan beberapa kawasan yang diberikan izin kepada penggunaan lain. Hingga akhir 2006, tata batas Taman Nasional Tesso Nilo yang definitif belum terealisasi, hal ini juga menyebabkan maraknya perambahan di dalam kawasan Taman Nasional itu sendiri.

Menurut peta kerja tersebut beberapa kawasan yang tumpang tindih dengan Taman Nasional Tesso Nilo antara lain:1. Seluas 3.700 ha tumpang tindih dengan perkebunan akasia PT.

Riau pulp.2. Seluas 500 ha tumpang tindih dengan konsesi PT. Rimba Lazuardi

dan PT. Putri Lindung Bulan3. Seluas 517 ha tumpang tindih dengan KKPA ( Kredit Koperasi

Primer Anggota) Inti Indosawit 4. Seluas 6.000 ha lahan telah dikeluarkan sertifikatnya oleh BPN

Indragiri Hulu untuk koperasi kebun sawit 5. Seluas 1.300 ha kawasan Taman Nasional (data pada saat peta

tersebut dibuat) telah dirambah tepatnya di dusun Bagan Limau.

Tidak jelasnya tata batas taman nasional ini mewarnai berbagai konflik kepentingan di sekitar kawasan. Masyarakat sekitar sering-kali pula menjadikan tidak jelasnya batas taman tersebut sebagai alat pembenaran kegiatan pembalakan liar dan perambahan yang dilakukan di dalam taman nasional tersebut. Disisi lain pemangku kepentingan memahami perlunya kejelasan tata batas tersebut namun upaya-upaya kearah itu sepertinya harus melewati proses pan-jang. Hingga akhirnya 2 Februari 2006 keluar Keputusan Bupati Pelalawan No.Kpts.622/Dishut/II/2006/27 tentang Pembentukan Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Kabupaten Pelalawan.

Secercah harapan pun menawarkan seman-gat baru dipenghujung tahun 2006 bahwa proses tata batas taman nasional tersebut diharapkan dapat terealisasi segera. Sebagai tindak lanjut dari agenda pemantapan kawasan Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) maka Tim Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH ) Wilayah I Medan ber-sama dengan tim tata batas Kabupaten Pelalawan ditugaskan ke Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) dari tanggal 18 November sampai 11 Desember 2006 untuk melakukan pemancangan trayek batas taman nasional sesuai dengan SK penunjukan TNTN. Kedatangan tim ini merupakan salah satu agenda percepatan terwujudnya tata batas defenitif TNTN yang sudah menjadi agenda baik daerah maupun Departemen Kehutanan. Tim BPKH Medan yang terdiri dari 8 orang didampingi oleh dua orang staf Dinas Kehutanan Kabupaten Pelalawan telah bekerja melaku-kan pemancangan batas sementara sesuai waktu yang ditentukan .

Dalam melakukan tugasnya, tim juga difasilitasi oleh BKSDA Riau dan melibatkan sembilan orang masyarakat lokal sebagai tenaga surveyor untuk memudahkan koordinasi dilapangan.

Tim, di lapangan secara teknis dibagi ke dalam tiga wilayah kerja untuk melakukan verifikasi koordinat kawasan yang telah ditunjuk menjadi TNTN tersebut. Tim I melakukan verifikasi batas kawasan yang berbatasan dengan PT. RAPP, Lubuk Kembang Bunga, Air Hitam, Bagan Limau dan PT. Inti Indosawit Subur. Tim II bertugas pada kawasan yang berbatasan dengan PT. Putri Lindung Bulan, PT. Rimba Peranap Indah, dan Pondok Kempas, sedangkan Tim III pada kawasan yang berbatasan dengan PT. Rimba Lazuardi, HPH PT. Nanjak Makmur, PT RAPP.

Kenyataan di lapangan tim menemukan adanya tumpang tindih pemanfaatan lahan dalam kawasan TNTN. Pada posisi S 00 18’ 49. 2” E 101 56’ 04. 4”, terjadi tumpang tindih pemanfaatan kawasan

TNTN oleh PT Rimba Lazuardi dengan perkiraan lahan yang sudah dibuka ± 50 meter. Kawasan tersebut tidak hanya masuk ke dalam kawasan TNTN namun sebagiannya sudah ditanami aka-sia. Selain itu tim juga menemukan pada posisi S 00 10’ 45. 4” E 101 59’ 14. 3” tumpang tindih dengan TNTN dimana kawasan sudah ditanami akasia oleh PT. RAPP dengan kondisi tanaman umur ± 2 tahun.

Sesuai dengan tugasnya tim hanya melaku-kan pemasangan trayek batas sementara taman nasional sesuai dengan kawasan yang ditunjuk lewat SK Menteri Kehutanan. Tim telah mema-sang pal batas sementara pada trayek batas sepanjang 72 km yang masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten Pelalawan. Sementara itu temuan tim di lapangan akan menjadi agenda bagi panitia tata batas untuk melakukan veri-fikasi terhadap tumpang tindih lahan tersebut. Secara prosedur administrasi, panitia tata batas

memberikan waktu 45 hari setelah pemasangan batas sementara kepada stakeholder terkait untuk memberikan tanggapannya terhadap batas-batas sementara yang telah dibuat di lapangan. Jika dalam waktu tersebut tidak ada keberatan dari para pihak, panitia tata batas telah dapat menentukan batas Taman Nasional secara defenitif. (Syamsidar)

Tim tata batas tengah membandingkan koordinat di peta dan lapangan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Alhamran Ariawan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

16

Pengelolaan Kawasan Konservasi

Tim tata batas memasang batas sementara pada trayek yang ditentukan Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Alhamran Ariawan

Page 18: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

19

Hubungan Korporasi

ada akhir tahun 2006, alam di Provinsi Riau memberikan reaksi negatif yang sudah terakumulasi akibat arah pembangunan

selama ini. Reaksi negatif tersebut berupa banjir dengan segala bentuk kerugian yang diterima oleh masyarakat. Apakah dampak ini cukup adil diterima oleh masyarakat yang barangkali tidak memiliki satu petak pun kebun sawit atau juga tidak bekerja pada industri HTI atau Perkebunan Sawit? siapa sebenarnya yang turut menciptakan dampak ini, apakah disebabkan oleh faktor musim/iklim atau ada kontribusi pengambil kebijakan?.

Provinsi Riau mengalami banjir yang cukup parah akhir tahun 2006 ini dibandingkan dengan kondisi banjir sebelumnya. Dampak banjir ini mengakibatkan 22 titik ruas jalan di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Kampar rusak, ruas jalan utama di Kabupaten Rokan Hulu putus, lebih dari 9 kecamatan terendam dan lebih

841 juta (sumber Walhi Riau). Dampak ini hingga awal tahun 2007 terus bertambah karena hujan dan dampak akibat banjir masih dirasakan oleh masyarakat Riau.

Jika kita kilas balik, kondisi banjir ini tidak lain dikarenakan oleh pembangunan yang salah arah. Pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunannya lebih menitikberatkan pada pengembangan industri modern skala besar seperti : industri kehutanan (HPH dan HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Industri-industri ini juga membutuhkan lahan dalam skala besar dengan kebutuhan tenaga kerja dengan keahlian tertentu. Sektor pertambangan yang

Pembangunan Ekonomi Skala Besar dan Dampak Lingkungan

1. Kabupaten Indragiri Hulu Jalan Lintas rusak di 18 titik -

2. Kabupaten KuantanSingingi 3 kecamatan terendam -

3. Kabupaten Rokan Hulu Jalan utama rusak -

4. Kabupaten Rokan Hilir 3.500 KK terendam/ 1.740 ha kebunrusak -

5. Kabupaten Kampar 12.000 KK terendam/4 titik jalan rusak -6. Kabupaten Pelalawan 6 kecamatan terendam -7. Kotamadya Pekanbaru 600 rumah, 3.000 jiwa/500 kk 2 orang meninggal8. Kabupaten Bengkalis 19 KK terendam -

Kabupaten/Kota Kerugian Harta Benda Korban Jiwa

Sumber: Riau Pos, Riau Terkini, Detik Com

dari 16 ribu KK terancam kelaparan, sakit dan lainnya serta 2 orang meninggal dunia (Sumber : Riau Pos, Riau Terkini, Detik Com). Banjir juga mengakibatkan total kerugian di 7 Kabupaten/Kota sebesar lebih Rp

Sumber : Walhi Riau

1. Kabupaten Rokan Hulu 15810 933462. Kabupaten Rokan Hilir 33510 1955083. Kabuapten Kuantan Singingi 31355 1829044. Kabupaten Kampar 29399 978155. Kabupaten Indragiri Hulu 2398 39646. Kabupaten Pelalawan 34172 1997037. Kota Pekanbaru 11694 67896 Total 158.338 841.136

Total Kerugian(Rp. Juta)

Kerugian DampakLangsung(Rp.Juta)Kabupaten/KotaNo.

memang menjadi andalan Provinsi Riau juga mengarah pada industri modern. Sedangkan sektor pertanian yang berbasis pada penyerapan tenaga kerja dengan keahlian rendah dan berbasis pada kondisi masyarakat umumnya (hampir 70% masyarakat Riau adalah petani) cenderung terabaikan. Penganekaragaman komoditi pertanian (buah-buahan dan peningkatan produktifitas padi sawah) cenderung bukan menjadi pilihan fokus pembanguan.

Perencanaan pembangunan cenderung tidak melihat daya dukung lahan namun lebih pada permintaan ekonomi makro dari pasar global. Hingga saat ini, kebijakan pemerintah tidak ada yang membatasi perluasan industri-industri modern namun cenderung terus mendorong kearah tersebut. Sampai-

Page 19: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

19

Hubungan Korporasi

ada akhir tahun 2006, alam di Provinsi Riau memberikan reaksi negatif yang sudah terakumulasi akibat arah pembangunan

selama ini. Reaksi negatif tersebut berupa banjir dengan segala bentuk kerugian yang diterima oleh masyarakat. Apakah dampak ini cukup adil diterima oleh masyarakat yang barangkali tidak memiliki satu petak pun kebun sawit atau juga tidak bekerja pada industri HTI atau Perkebunan Sawit? siapa sebenarnya yang turut menciptakan dampak ini, apakah disebabkan oleh faktor musim/iklim atau ada kontribusi pengambil kebijakan?.

Provinsi Riau mengalami banjir yang cukup parah akhir tahun 2006 ini dibandingkan dengan kondisi banjir sebelumnya. Dampak banjir ini mengakibatkan 22 titik ruas jalan di Kabupaten Indragiri Hulu dan Kabupaten Kampar rusak, ruas jalan utama di Kabupaten Rokan Hulu putus, lebih dari 9 kecamatan terendam dan lebih

841 juta (sumber Walhi Riau). Dampak ini hingga awal tahun 2007 terus bertambah karena hujan dan dampak akibat banjir masih dirasakan oleh masyarakat Riau.

Jika kita kilas balik, kondisi banjir ini tidak lain dikarenakan oleh pembangunan yang salah arah. Pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunannya lebih menitikberatkan pada pengembangan industri modern skala besar seperti : industri kehutanan (HPH dan HTI) dan perkebunan kelapa sawit. Industri-industri ini juga membutuhkan lahan dalam skala besar dengan kebutuhan tenaga kerja dengan keahlian tertentu. Sektor pertambangan yang

Pembangunan Ekonomi Skala Besar dan Dampak Lingkungan

1. Kabupaten Indragiri Hulu Jalan Lintas rusak di 18 titik -

2. Kabupaten KuantanSingingi 3 kecamatan terendam -

3. Kabupaten Rokan Hulu Jalan utama rusak -

4. Kabupaten Rokan Hilir 3.500 KK terendam/ 1.740 ha kebunrusak -

5. Kabupaten Kampar 12.000 KK terendam/4 titik jalan rusak -6. Kabupaten Pelalawan 6 kecamatan terendam -7. Kotamadya Pekanbaru 600 rumah, 3.000 jiwa/500 kk 2 orang meninggal8. Kabupaten Bengkalis 19 KK terendam -

Kabupaten/Kota Kerugian Harta Benda Korban Jiwa

Sumber: Riau Pos, Riau Terkini, Detik Com

dari 16 ribu KK terancam kelaparan, sakit dan lainnya serta 2 orang meninggal dunia (Sumber : Riau Pos, Riau Terkini, Detik Com). Banjir juga mengakibatkan total kerugian di 7 Kabupaten/Kota sebesar lebih Rp

Sumber : Walhi Riau

1. Kabupaten Rokan Hulu 15810 933462. Kabupaten Rokan Hilir 33510 1955083. Kabuapten Kuantan Singingi 31355 1829044. Kabupaten Kampar 29399 978155. Kabupaten Indragiri Hulu 2398 39646. Kabupaten Pelalawan 34172 1997037. Kota Pekanbaru 11694 67896 Total 158.338 841.136

Total Kerugian(Rp. Juta)

Kerugian DampakLangsung(Rp.Juta)Kabupaten/KotaNo.

memang menjadi andalan Provinsi Riau juga mengarah pada industri modern. Sedangkan sektor pertanian yang berbasis pada penyerapan tenaga kerja dengan keahlian rendah dan berbasis pada kondisi masyarakat umumnya (hampir 70% masyarakat Riau adalah petani) cenderung terabaikan. Penganekaragaman komoditi pertanian (buah-buahan dan peningkatan produktifitas padi sawah) cenderung bukan menjadi pilihan fokus pembanguan.

Perencanaan pembangunan cenderung tidak melihat daya dukung lahan namun lebih pada permintaan ekonomi makro dari pasar global. Hingga saat ini, kebijakan pemerintah tidak ada yang membatasi perluasan industri-industri modern namun cenderung terus mendorong kearah tersebut. Sampai-

sangat susah dilalui sehingga dibutuhkan kesabaran untuk mengetahui keberadaan satwa-satwa yang terdapat di hutan Keru-mutan.

Musim kering dipilih untuk penelitian ini untuk mengantisipasi meluapnya air. Selama tiga bulan kamera dipasang mulai bulan September 2006 dan terakhir pada bulan Desember 2006untuk mengetahui kekayaan hayati yang dikandung Keru-

mutan. Kamera penjebak ditempatkan pada

20 lokasi dan pada tiap lokasi kamera di-pasang secara berpasangan. Hal ini untuk memudahkan identifikasi terhadap indi-vidu-individu yang terfoto.

Upaya pencarian selama tiga bulan telah membuahkan hasil dengan ter-fotonya tiga individu harimau – sepasang betina dan jantan dewasa dan seekor

Ramin, jenis kayu paling diincar Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

Pembalakan liar, di hutan Kerumutan, Foto : WWF-Tesso Nilo Program/ Cobar

harimau betina remaja – melalui kamera penjebak. Disamping itu beberapa jenis satwa lainnya juga terfoto seperti beruang madu, macan dahan, kancil, dan beruk.

Pembalakan liarMeskipun unik, kawasan ini relatif

rentan terhadap berbagai ancaman. Ber-bagai kegiatan illegal seperti pembalakan liar, perambahan, illegal fishing dapat di-jumpai disana. Sebelum gencar-gencarnya pemerintah melakukan pembrantasan ter-hadap pembalakan liar, ratusan sawmill bekerja dengan leluasa di dalam kawasan ini. Tidak tanggung-tanggung, kayu jenis ramin dan meranti adalah jenis paling di-incar. Para pembalak biasanya merupakan penduduk lokal maupun para pendatang yang coba mengadu nasib. Untuk mem-permudah pengangkutan kayu, para pem-balak biasanya menggali kanal, meskipun relatif mahal – untuk kemudian mengilir-kan kayu hasil tebangannya melalui kanal tersebut hingga sungai besar. Cara pen-gangkutan lain adalah dengan membuat jalur rel dan mengangkut kayu dengan menggunakan sepeda hingga pinggir su-ngai. Dan kemudian kayu-kayu tersebut ditarik menggunakan perahu hingga ke tempat pengumpulan.

Genangan air tahunan di lahan-la-han gambut tidak terlihat lagi pada saat musim kering. Bahkan kanal-kanal untuk

Harimau Sumatera Beruang Madu

Kucing Hutan Bangau storm

mengilirkan kayu juga turut kering. Ini menyebabkan kawasan ini realtif mudah terbakar dan saat terjadi kebakaran sa-ngat susah untuk dipadamkan.

Hutan rawa gambut merupakan suatu ekosistem unik yang patut kita pertahank-an. Banyak misteri yang belum terungkap dari dalamnya. Untuk itu dibutuhkan ker-jasama multi pihak dan rasa memiliki yang tinggi agar hilangnya rawa gambut seba-gai habitat potensial harimau dari berbagai ancaman dapat dihindari.(Cobar)

Foto-foto hasil kamera penjebak

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006

Suara Tesso Nilo

18

Konservasi Harimau Sumatera

Page 20: RIAU ELEPHANT CONSERVATION PROGRAMawsassets.wwf.or.id/downloads/bulletin_wwfid_suara_tesso...seorang tersangka pelaku penjualan lahan hutan di Toro yaitu salah satu lokasi perambahan

banjir yang lebih parah di tahun-tahun mendatang.Selain fokus pada perencanaan berbasis DAS

(hubungan hulu dan hilir) dan perlindungan daerah lindung gambut, ke depan pemerintah juga harus mempunyai komitmen dalam penegakan hukum terhadap aksi pembalakan liar, perambahan kawasan hutan dan kawasan konservasi untuk pembukaan lahan bagi perkebunan sawit dan atau untuk pemenuhan kebutuhan bahan baku industri raksasa Pulp dan Kertas. Lemahnya penegakan hukum telah menjadikan pemerintah Provinsi Riau sebagai pemerintah yang pro pada kepentingan ekonomi semata atau ’pengusaha’ namun mengabaikan faktor kestabilan ekosistem dan kepentingan masyarakat. Hal ini telah dapat kita lihat dan bahkan rasakan sendiri dampaknya ditahun 2006 ini seperti banjir dan konflik lahan.

Tantangan tahun 2007 dan kedepannya diperkirakan akan lebih besar yaitu tuntutan pasar global terhadap produk pulp & kertas serta CPO masih tetap tinggi. Selain itu trend kedepan diantaranya adalah kebutuhan akan Biofuel akan tinggi seiring dengan dorongan kebijakan pemerintah pusat dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden no. 1 tahun 2006 TENTANG PENYEDIAAN DAN PEMANFAATAN BAHAN BAKAR NABATI (BIOFUEL) SEBAGAI BAHAN BAKAR LAIN.

Jika pemerintah daerah Riau tidak berpihak pada perencanaan yang berbasis; Daya dukung lahan termasuk perlindungan daerah lindung gambut, kawasan hutan dengan nilai konservasi tinggi bagi perlindungan keanekaragaman hayati penting dan perlindungan jasa lingkungan seperti kualitas air bersih, perlindungan kebutuhan ekonomi dan budaya masyarakat pedalaman serta hubungan hulu dan hilir sehingga sumber daya

alam yang ada dapat dikembangkan secara optimal (seperti PLTA, Pengadaan air bersih PDAM) maka sudah bisa dipastikan bahwa slogan peningkatan ekonomi regional akan semu belaka. Hal ini disebabkan adanya biaya eksternal (dampak lingkungan) yang harus ditanggung atau dikeluarkan pemerintah daerah sebagai akibat dampak pembangunan ekonomi yang tidak terarah dengan baik. Peningkatan ekonomi regional sudah bisa dipastikan tidak akan berkontribusi banyak pada peningkatan perkapita masyarakat Riau, terutama masyarakat miskin karena fokus pembangunan pada ekonomi skala besar modern.( Suhandri, diolah dari berbagai sumber)

BULETIN WWF

EDISI Oktober - Desember 2006Hubungan Korporasi

Suara Tesso Nilo

20

sampai lahan lindung gambut yang berfungsi sebagai penyimpan air pada musim hujan dan menyebarkan secara horizontal pada musim kemarau’juga menjadi sasaran perluasan industri tersebut.Bahkan kawasan konservasi juga sudah mulai terancam praktek ilegal untuk mendapatkan lahan terutama masyarakat dari luar Riau yang melihat kegiatan industri besar di Riau tersebut mendapat tanggapan dari pemerintah daerah.

Perencanaan pembangunan juga tidak melihat pada hubungan hulu dan hilir, daerah di bagian hulu tidak menjadi prioritas dalam perlindungan seperti Kabupaten Kuansing, Kampar dan Rokan Hulu yang memberikan perlindungan bagi Kabupaten Inhu, Inhil, Pelalawan, Pekanbaru, Siak, Bengkalis, Rohil dan Dumai. Sebagian besar wilayah perbukitan di ketiga kabupaten ini kondisi hutannya sudah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Salah satu contohnya adalah PLTA Koto Panjang yang saat ini tidak bisa lagi menjalankan fungsinya sebagai salah satu sumber pembangkit listrik untuk Riau karena hulu ’catchment area atau daerah tangkapan air ”sungai Kampar tidak mampu lagi mempertahankan debit air danau buatan Koto Panjang.

Hubungan Hulu – Hilir Kabupaten di Provinsi RiauPerencanaan yang berbasis hubungan hulu dan

hilir memang belum menjadi fokus pemerintahan Riau selama ini. Namun saat ini sudah terbentuk Forum Komunikasi DAS Riau yang kedepan akan dipadukan dengan pendekatan perencanaan DAS di Sumatera Barat. Namun demikian, pemerintah Riau harus mempunyai komitmen yang kuat untuk mulai melakukan tindakan nyata di lapangan tidak hanya sekedar retorika belaka jika tidak mau menuai bencana