Top Banner

of 31

Rf Abortus

Jul 17, 2015

Download

Documents

Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

BAB I PENDAHULUAN Dalam terminologi kedokteran, abortus adalah pengeluaran kehamilan dengan cara apapun sebelum janin cukup berkembang untuk dapat bertahan hidup di luar kandungan.(1) Menurut kejadiannya dibagi atas abortus spontan dan abortus provokatus.(2) Dalam perjalanan klinisnya abortus spontan dapat diklasifikasikan menjadi abortus imminens, abortus insipiens, abortus inkompletus, missed abortion dan abortus habitualis.(3) Abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu disebut abortus habitualis.(4) Insiden abortus spontan umumnya tercatat sebesar 10% dari seluruh kehamilan, namun insiden abortus spontan sulit untuk ditentukan secara persis karena belum adanya kesepakatan yang dicapai mengenai kapan kehamilan itu sesungguhnya dimulai dan pertimbangan mengenai kecermatan dalam teknik yang digunakan untuk penentuan kehamilan tersebut.(1) Di Amerika Serikat abortus spontan yang diperkirakan 10-15% dari kehamilan meningkat insidennya menjadi 50% apabila pemeriksaan biokimiawi hCG dalam darah 7-10 hari setelah konsepsi ikut diperhitungkan.(5) Abortus spontan di Indonesia diperkirakan sekitar 10-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau sekitar 600-900 ribu, sedangkan abortus buatan sekitar 750.000-1,5 juta per tahunnya.(6) Abortus habitualis terjadi sekitar 1% dari populasi (Regan dan Rai, 2000).(7) Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%.(8) Penyebab abortus habitualis pada dasarnya sama dengan penyebab pada abortus spontan yaitu multifaktorial yang dapat dibedakan menjadi faktor fetal (terutama disebabkan oleh abnormalitas kariotipe embrionik) dan faktor maternal yang berdampak pada endometrium dan atau perkembangan plasenta (Aplin, 2000; Li dkk, 2002). Penyebab maternal yang dikenali termasuk gangguan koagulasi,

1

defek autoimun, gangguan endokrin dan defek endometrium (Li, 1998; Regan dan Rai, 2000; Li dkk, 2002). Etiologi pada sekitar 50% kasus-kasus abortus spontan masih tidak diketahui, tapi diperkirakan proporsi abortus berulang ini dihubungkan dengan penyebab-penyebab immunologis.(7)

BAB II

2

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Abortus Abortus didefinisikan sebagai pengeluaran kehamilan dengan cara apapun sebelum janin cukup berkembang untuk dapat bertahan hidup di luar kandungan. Di Amerika Serikat defenisi ini dikhususkan untuk pengakhiran kehamilan sebelum 20 minggu atau berat badan janin lebih kecil dari 500 gram yang didasarkan pada tanggal hari pertama menstruasi normal terakhir.(3,9) Ada beberapa ahli yang mengemukakan batasan abortus. Eastman mengatakan abortus adalah terputusnya suatu kehamilan dimana fetus belum sanggup hidup sendiri di luar uterus. Belum sanggup diartikan apabila fetus itu beratnya terletak antara 400-1000 gram, atau usia kehamilan kurang dari 28 minggu. Menurut Jeffcoat, abortus adalah pengeluaran hasil konsepsi sebelum usia kehamilan 28 minggu yaitu fetus belum dapat hidup menurut aturan perundangundangan yang berlaku. Sedangkan Holmer memberi batasan yang lebih rendah yaitu 16 minggu.(1,12) Abortus menurut kejadiannya dibagi atas abortus spontan dan abortus provokatus. Abortus spontan adalah abortus yang terjadi secara alamiah tanpa intervensi dari luar sedangkan abortus provokatus adalah abortus yang disengaja, baik dengan memakai obat-obatan ataupun secara mekanis dengan bantuan alat.(2) Dalam perjalanan klinisnya abortus spontan dapat diklasifikasikan sebagai berikut:(3,8) 1. Abortus imminens (threatened) Suatu abortus imminens dicurigai bila terdapat pengeluaran vagina yang mengandung darah, atau perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan. Suatu abortus imminens dapat atau tanpa disertai rasa mulas ringan, sama dengan pada waktu menstruasi atau nyeri pinggang bawah. Perdarahan pada abortus imminens seringkali hanya sedikit, namun hal tersebut berlangsung beberapa hari atau minggu. Pemeriksaan vagina pada kelainan ini memperlihatkan tidak adanya pembukaan serviks. Sementara pemeriksaan dengan real time ultrasound pada panggul

3

menunjukkan ukuran kantong amnion normal, jantung janin berdenyut, dan kantong amnion kosong. 2. Abortus insipiens (inevitable) Merupakan suatu abortus yang tidak dapat dipertahankan lagi ditandai dengan pecahnya selaput janin dan adanya pembukaan serviks. Pada keadaan ini didapatkan juga nyeri perut bagian bawah atau nyeri kolik uterus yang hebat. Pada pemeriksaan vagina memperlihatkan dilatasi ostium serviks dengan bagian kantong konsepsi menonjol. Hasil pemeriksaan USG mungkin didapatkan jantung janin masih berdenyut, kantong gestasi kosong (5-6,5 minggu), uterus kosong (3-5 minggu) atau perdarahan subkhorionik banyak di bagian bawah. 3. Abortus inkompletus (incomplete) Abortus inkompletus adalah pengeluaran sebagian hasil konsepsi pada kehamilan sebelum 20 minggu dengan masih ada sisa yang tertinggal dalam uterus. Pada pemeriksaan vagina, kanalis servikalis terbuka dan jaringan dapat diraba dalam kavum uteri atau kadang-kadang sudah menonjol dari ostium uteri eksternum. Pada USG didapatkan endometrium yang tipis dan irreguler. 4. Abortus kompletus (complete) Pada abortus kompletus semua hasil konsepsi sudah dikeluarkan. Pada penderita ditemukan perdarahan sedikit, ostium uteri telah menutup, dan uterus sudah banyak mengecil. Selain ini, tidak ada lagi gejala kehamilan dan uji kehamilan menjadi negatif. Pada pemeriksaan USG didapatkan uterus yang kosong. 5. Missed abortion Missed abortion adalah kematian janin berusia sebelum 20 minggu, tetapi janin mati itu tidak dikeluarkan selama 8 minggu atau lebih. 6. Abortus habitualis (habitual abortion) Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih. Pada umumnya penderita tidak sukar menjadi hamil, namun kehamilannya berakhir sebelum 28 minggu. B. Epidemiologi Insiden abortus spontan umumnya tercatat sebesar 10% dari seluruh kehamilan. Gambaran ini diperoleh dari data yang memiliki paling tidak dua

4

kelemahan, yaitu ketidakmampuan mengenali abortus secara dini, sehingga terlewatkan dan dicantumkannya kasus induksi abortus ilegal yang dinyatakan sebagai abortus spontan.(1) Insiden abortus spontan sulit ditentukan secara tepat karena belum adanya kesepakatan yang dicapai mengenai kapan kehamilan itu sesungguhnya dimulai dan pertimbangan mengenai kecermatan dalam teknik yang digunakan untuk penentuan kehamilan tersebut. Dengan penggunaan uji yang dapat menentukan sejumlah kecil hCG (human Chorionic Gonadotropin), frekuensi abortus akan lebih tinggi dibandingkan penentuan diagnosis abortus berdasarkan konfirmasi histologik saja. Di Amerika Serikat abortus spontan yang diperkirakan 10-15% dari kehamilan meningkat insidennya menjadi 50% apabila pemeriksaan biokimiawi hCG dalam darah 7-10 hari setelah konsepsi ikut diperhitungkan.(5) Abortus spontan di Indonesia diperkirakan sekitar 10-15% dari 6 juta kehamilan setiap tahunnya atau sekitar 600-900 ribu, sedangkan abortus buatan sekitar 750.000-1,5 juta per tahunnya.(6) C. Etiologi Abortus spontan dapat terjadi pada trimester pertama kehamilan yang meliputi 85% dari kejadian abortus spontan dan cenderung disebabkan oleh faktorfaktor fetal. Sementara abortus spontan yang terjadi pada trimester kedua lebih cenderung disebabkan oleh faktor-faktor maternal termasuk inkompetensia serviks, anomali kavum uterus yang kongenital atau didapat, hipotiroid, diabetes mellitus, nefritis kronik, infeksi akut oleh penggunaan kokain, gangguan immunologi, dan gangguan psikologis tertentu.(13) a. Faktor fetal Sekitar 2/3 dari abortus spontan pada trimester pertama merupakan anomali kromosom dengan dari jumlah tersebut adalah trisomi autosom dan sebagian lagi merupakan triploidi, tetraploidi, atau monosomi 45X.(5) Menurut Eiben dkk (1990), Zhou (1990), dan Ohno dkk (1991) mayoritas abortus spontan berhubungan dengan abnormalitas kromosom, terutama trisomi. Suatu penelitian sitogenetik mendapatkan abnormalitas kromosom antara 21-50% pada abortus spontan di trimester pertama (Boue dkk, 1975; Chua dkk, 1989; Eiben

5

dkk 1990) dengan lebih dari separuhnya tidak mengandung bagian-bagian embrionik untuk pemeriksaan (Kalousek dkk, 1993). Sebuah penelitian lain mendapatkan 70% dari missed abortion merupakan abnormalitas kromosom (Phillp dan Kalousek, 2002).(11,12) 2. Faktor maternal (11,12) a. Faktor-faktor endokrin Beberapa gangguan endokrin telah terlibat dalam abotus spontan berulang, termasuk diantaranya adalah diabetes mellitus tak terkontrol (Mestman, 2002), hipo dan hipertiroid (Fedele dan Bianchi, 1995; Lazarus dan Kokandi, 2000), oligomenorrhea (Hasegawa dkk, 1996), hipersekresi luteinezing hormone, insufisiensi korpus luteum atau disfungsi fase luteal (Fritz, 1988; Dlugi, 1998), dan penyakit polikistik ovarium (Homburg dkk, 1988; Regan dkk, 1990). Pada perkembangan terbaru peranan hiperandrogenemia (Tulppala dkk, 1993; Okok dkk, 1998) dan hiperprolaktinemia (Hirahara dkk, 1998) telah dihubungkan dengan terjadinya abortus yang berulang. b. Faktor-faktor anatomi Anomali uterus termasuk malformasi kongenital, defek uterus yang didapat (Asthermans syndrome dan defek sekunder terhadap dietilestilbestrol), leiomyoma, dan inkompentensia serviks (Garcia-Enguidanos dkk, 2002). Meskipun anomali-anomali ini sering dihubungkan dengan abortus spontan, insiden, klasifikasi dan peranannya dalam etiologi masih belum diketahui secara pasti (Bulletti dkk, 1996). Abnormalitas uterus terjadi pada 1,9% dalam populasi wanita, dan 13 sampai 30% wanita dengan abortus spontan berulang (Bulletti dkk, 1996; Garcia-Enguidanos dkk, 2002). Penelitian lain menunjukkan bahwa wanita dengan anomali didapat seperti Ashermans syndrome, adhesi uterus, dan anomali didapat melalui paparan dietilestilbestrol memiliki angka kemungkinan hidup fetus yang lebih rendah (GarciaEnguidanos dkk, 2002) dan meningkatnya angka kejadian abortus spontan (Herbs dkk, 1981). c. Faktor-faktor immunologi Pada kehamilan normal, sistem imun maternal tidak bereaksi terhadap spermatozoa atau embrio. Namun 40% pada abortus berulang diperkirakan

6

secara immunologis kehadiran fetus tidak dapat diterima (Giacomucci dkk, 1994). Respon imun dapat dipicu oleh beragam faktor endogen dan eksogen, termasuk pembentukan antibodi antiparental, gangguan autoimun yang mengarah pada pembentukan antibodi autoimun (antibodi antifosfolipid, antibodi antinuclear, aktivasi sel B poliklonal), infeksi, bahan-bahan toksik, dan stress (Giacomucci dkk, 1994; Thellin dan Heinen, 2003). d. Trombofilia Trombofilia merupakan keadaan hiperkoagulasi yang berhubungan dengan predisposisi terhadap trombolitik. Kehamilan akan mengawali keadaan hiperkoagulasi dan melibatkan keseimbangan antara jalur prekoagulan dan antikoagulan (Kujovich, 2004). Trombofilia dapat merupakan kelainan yang herediter atau didapat. Terdapat hubungan antara antibodi antifosfolipid yang didapat dan abortus berulang (Rand, 1998; Branch, 1998; Vinatier dkk, 2001) dan semacam terapi dan kombinasi terapi yang melibatkan heparin dan aspirin telah direkomendasikan untuk menyokong pemeliharaan kehamilan sampai persalinan (Empson dkk, 2002). Pada sindrom antifosfolipid, antibodi antifosfolipid mempunyai hubungan dengan kejadian trombosis vena, trombosis arteri, abortus atau trombositopenia. Namun, mekanisme pasti yang menyebabkan antibodi antifosfolipid mengarah ke trombosis masih belum diketahui. Pada perkembangan terbaru, beberapa gangguan trombolitik yang herediter atau didapat telah dihubungkan dengan abortus berulang termasuk faktor V Leiden, defisiensi protein antikoagulan dan antitrombin, hiperhomosistinemia, mutasi genetik protrombin, dan mutasi homozigot pada gen metileneterhidrofolat reduktase (Kujovich, 2004). e. Infeksi Infeksi-infeksi maternal yang memperlihatkan hubungan yang jelas dengan abortus spontan termasuk sifilis, parvovirus B19, HIV, dan malaria (GarciaEnguidanos dkk, 2002). Brusellosis, suatu penyakit zoonosis yang paling sering menginfeksi manusia melalui produk susu yang tidak dipasteurisasi juga dapat menyebabkan abortus spontan (Mandell dkk, 2000). Suatu penelitian retrospektif terbaru di Saudi Arabia menemukan bahwa hampir separuh (43%) wanita hamil yang didiagnosa menderita brusellosis akut pada awal

7

kehamilannya mengalami abortus spontan pada trimester pertama atau kedua kehamilannya (Khan dkk, 2001). f. Faktor-faktor eksogen, meliputi: Bahan-bahan kimia: Gas anestesi Nitrat oksida dan gas-gas anestesi lain diyakini sebagai faktor resiko untuk terjadinya abortus spontan (Aldridge dan Tunstall, 1986). Pada suatu tinjauan oleh Tannenbaum dkk (Tannenbaum dan Goldberg, 1985), wanita yang bekerja di kamar operasi sebelum dan selama kehamilan mempunyai kecenderungan 1,5 sampai 2 kali untuk mengalami abortus spontan. Pada suatu penelitian meta analisis yang lebih baru, hubungan antara pekerjaan maternal yang terpapar gas anestesi dan resiko abortus spontan (Bolvin, 1997) digambarkan adalah 1,48 kali daripada yang tidak terpapar. Air yang tercermar Beberapa penelitian epidemiologi telah mendapatkan data dari fasilitasfasilitas air di daerah perkotaan untuk mengetahui paparan lingkungan (Bove dkk, 2002). Suatu penelitian prospektif fi California (Waller dkk, 1998) menemukan hubungan bermakna antara resiko abortus spontan pada wanita yang terpapar trihalometana dan terhadap salah satu turunannya, bromodikhlorometana. Demikian juga wanita yang tinggal di daerah Santa Clara, daerah yang dengan kadar bromida pada air permukaan paling tinggi tersebut, memiliki resiko 4 kali lebih tinggi untuk mengalami abortus spontan. Dioxin Dioxin telah terbukti menyebabkan kanker pada manusia dan binatang, dan menyebabkan anomali reproduksi pada binatang (McNulty, 1985). Beberapa penelitian pada manusia menunjukkan hubungan antara dioxin dan abortus spontan. Pada akhir tahun 1990, dioxin ditemukan di dalam air, tanah, air minum, di kota Chapaevsk Rusia. Kadar dioxin dalam air minum pada kota itu merupakan kadar dioxin tertinggi yang ditemukan di Rusia, dan ternyata frekuensi rata-rata abortus spontan pada kota

8

tersebut didapatkan lebih tinggi dari kota-kota yang lain (Revich dkk, 2001). Pestisida Resiko abortus spontan telah diteliti pada sejumlah kelompok pekerja yang menggunakan pestisida. Suatu peningkatan prevalensi abortus spontan terlihat pada istri-istri pekerja yang menggunakan pestisida di Italia (Petrelli dkk, 2000), India (Rupa dkk, 1991), dan Amerika Serikat (Gary dkk, 2002), pekerja rumah hijau di Kolombia (Restrepo dkk, 1990) dan Spanyol (Parron dkk, 1996), pekerja kebun di Argentina (Matos dkk, 1987), petani tebu di Ukraina (Kundiev, 1994), dan wanita yang terlibat di bidang agrikultural di Amerika Serikat (Engel dkk, 1995) dan Findlandia (Hemminki dkk, 1980). Suatu peningkatan prevalensi abortus yang terlambat telah diamati juga di antara wanita peternakan di Norwegia (Kristensen dkk, 1997), dan pekerja agrikultural atau hortikultural di Kanada (McDonald dkk, 1988). Gaya hidup seperti merokok dan alkoholisme. Penelitian epidemiologi mengenai merokok tembakau dan abortus spontan menemukan bahwa merokok tembakau dapat sedikit meningkatkan resiko untuk terjadinya abortus spontan. Namun, hubungan antara merokok dan abortus spontan tergantung pada faktor-faktor lain termasuk konsumsi alkohol, perjalanan reproduksi, waktu gestasi untuk abortus spontan, kariotipe fetal, dan status sosioekonomi (Werler, 1997). Peningkatan angka kejadian abortus spontan pada wanita alkoholik mungkin berhubungan dengan akibat tak langsung dari gangguan terkait alkoholisme (Abel, 1997). Radiasi

Radiasi ionisasi dikenal menyebabkan gangguan hasil reproduksi, termasuk malformasi kongenital, restriksi pertumbuhan intrauterine, dan kematian embrio (UNSCEAR, 1993). Pada tahun 1990, Komisi Internasional Terhadap Perlindungan Radiasi menyerankan untuk wanita dengan konsepsi tidak terpapar lebih dari 5mSv selama kehamilan (Clarke, 1990). Penelitianpenelitian mengenai kontaminasi radioaktif memperlihatkan akibat

9

Chernobyl yang meningkatkan angka kejadian abortus spontan di Finlandia dan Norwegia (Auvien dkk, 2001; Ulstein dkk, 1990). D. Patofisiologi (8) Abortus biasanya disertai dengan perdarahan di dalam desidua basalis dan perubahan nekrotik di dalam jaringan-jaringan yang berdekatan dengan tempat perdarahan. Ovum yang terlepas sebagian atau seluruhnya dan mungkin menjadi benda asing di dalam uterus sehingga merangsang kontraksi uterus dan mengakibatkan pengeluaran janin. Bila kantong ketuban dibuka umumnya ditemukan cairan yang mengelilingi janin kecil yang telah mengalami maserasi atau kemungkinan lain dijumpai janin yang tidak tampak dalam kantong ketuban, keadaan terakhir disebut blighted ovum. Dengan mikroskop untuk pembedahan terlihat villi plasenta yang sering kali menebal serta meragng karena cairan, dan ujung villi tersebut tampak bercabang sehingga menyerupai bentuk kantong sosis yang kecil. Cairan yang mengisi tersebut mengalami degenerasi molar karena penyerapan cairan jaringan. Mola darah atau mola karneosa adalah sebuah ovum yang dikelilingi oleh kapsul gumpalan darah. Tebal kapsul tersebut bervariasi dengan di dalamnya tersebar villi korialis yang sudah mengalami degenerasi. Rongga kecil yang berisi cairan di dalamnya tampak tertekan dan berubah bentuk akibat dinding tebal gumpalan darah yang lama. Spesimen macam ini berkaitan dengan abortus yang terjadi agak lamat sehingga darah dibiarkan berkumpul di antara desidua dan korion serta mengental dan membentuk sejumlah lapisan. Mola tuberosa dan hematoma subkorionik tuberosa pada desidua merupakan istilah yang dipakai untuk menyatakan lesi yang sama. Gambaran karakteristiknya adalah amnion yang secara makroskopik tampak noduler sebagai akibat tonjolan dari hematom yang terlokalisir dengan berbagai macam ukuran di antara selaput amnion dan korion. Pada abortus setelah janin mencapai ukuran yang cukup besar dapat terjadi beberapa kemungkinan. Janin yang tertahan dapat mengalami maserasi. Dalam keadaan seperti ini tulang tengkorak kepala janin dapat kolaps, abdomen mengalami distensi karena adanya cairan yang mengandung darah, dan seluruh tubuh janin

10

berwarna merah gelap. Pada saat yang sama, kulit menjadi lunak dan akan mengelupas di dalam uterus atau dengan sentuhan yang sangat ringan sehingga yang tertinggal hanya lapisan korium. Organ-organ dalam akan mengalami degenerasi dan nekrosis, menjadi rapuh dan kehilangan kemampuannya untuk menyerap zat warna histologi yang biasa. Cairan amnion dapat diabsorbsi bila janin tertekan sampai pipih dan mengering sehingga membentuk fetus compressus. Kadangkala, janin menjadi sedemikian keringnya dan pipih sedemikian rupa sehingga menyerupai kertas, dan disebut fetus papyraceus. Hasil akhir ini relatif sering terjadi pada kehamilan kembar, yaitu jika salah satu janin mati pada awal masa kehamilan sedangkan janin yang lain tetap berkembang penuh. E. Diagnosis (1,8) Abortus dapat diduga bila seorang wanita dalam masa reproduksi mengeluh tentang perdarahan pervaginam setelah mengalami haid terlambat, sering pula terdapat rasa mulas. Kecurigaan tersebut dapat diperkuat dengan ditentukannya kehamilan muda pada pemeriksaan bimanual dan dengan tes kehamilan secara biologis (Galli Mainini) atau imunologi (Pregnosticon, Gravindex) bilamana hal itu dikerjakan. Harus diperhatikan macam dan banyaknya perdarahan, pembukaan serviks, dan adanya jaringan dalam kavum uterus atau vagina.

F. Komplikasi (8) Komplikasi yang serius kebanyakan terjadi pada fase abortus yang tidak aman (unsafe abortion) walaupun kadang-kadang dijumpai juga pada abortus spontan. Komplikasi dapat berupa perdarahan, kegagalan ginjal, infeksi, syok akibat perdarahan dan infeksi sepsis. 1. Perdarahan Perdarahan dapat diatasi dengan pengosongan uterus dari sisa-sisa hasil konsepsi dan jika perlu pemberian transfusi darah. Kematian karena perdarahan dapat terjadi apabila pertolongan tidak diberikan pada waktunya. 2. Perforasi

11

Perforasi uterus pada kerokan dapat terjadi terutama pada uterus dalam posisi hiperretrofleksi. Jika terjadi peristiwa ini penderita perlu diamati dengan teliti jika ada tanda bahaya, perlu segera dilakukan laparatomi, dan tergantung dari luas dan bentuk perforasi, penjahitan luka perforasi atau perlu histerektomi. Perforasi uterus pada abortus yang dikerjakan oleh seorang awam menimbulkan persoalan gawat karena perlukaan uterus biasanya luas, mungkin pula terjadi pada kandung kemih atau usus. Dengan adanya dugaan atau kepastian terjadinya perforasi, laparatomi harus segera dilakukan untuk menentukan luasnya cedera, untuk selanjutnya mengambil tindakan-tindakan seperlunya guna mengatasi komplikasi. 3. Infeksi Infeksi dalam uterus dan adneksa dapat terjadi dalam setiap abortus tetapi biasanya didapatkan pada abortus inkomplet yang berkaitan erat dengan suatu abortus yang tidak aman (unsafe abortion) 4. Syok Syok pada abortus bisa terjadi karena perdarahan (syok hemoragik) dan karena infeksi berat (syok endoseptik).

BAB III ABORTUS HABITUALIS

A. Defenisi Abortus habitualis adalah abortus spontan yang terjadi berturut-turut tiga kali atau lebih pada umur kehamilan kurang dari 22 minggu.(4) B. Epidemiologi

12

Abortus habitualis terjadi sekitar 1% dari populasi (Regan dan Rai, 2000).(7) Bishop melaporkan frekuensi 0,41% abortus habitualis pada semua kehamilan. Menurut Malpas dan Eastman kemungkinan terjadinya abortus lagi pada seorang wanita yang mengalami abortus habitualis ialah 73% dan 83,6%. Sebaliknya, Warton dan Fraser dan Llwellyn-Jones memberi prognosis yang lebih baik, yaitu 25,9% dan 39%.(8) C. Etiologi dan Patogenesis Etiologi abortus habitualis pada dasarnya sama dengan sebab-sebab abortus spontan.(8) Penyebab abortus habitualis merupakan multifaktor yang dapat dibedakan menjadi faktor fetal (terutama disebabkan oleh abnormalitas kariotipe embrionik) dan faktor maternal yang berdampak pada endometrium dan atau perkembangan plasenta (Aplin, 2000; Li dkk, 2002). Penyebab maternal yang dikenali termasuk gangguan koagulasi, defek autoimun, gangguan endokrin dan defek endometrium (Li, 1998; Regan dan Rai, 2000; Li dkk, 2002). Etiologi pada sekitar 50% kasus-kasus abortus spontan masih tidak diketahui, tapi diperkirakan proporsi abortus berulang ini dihubungkan dengan penyebab-penyebab immunologis.(7) Terdapat kecenderungan bahwa lebih dari satu penyebab immunologis abortus berulang, termasuk pengenalan antigen-antigen paternal pada unit fetoplasenta oleh sistem imun maternal, akan diikuti oleh destruksi fetus, meskipun bukti nyata terhadap kejadian ini masih terbatas.(7) Secara skematis penyebab abortus yang berulang dapat dilihat pada tabel berikut: (4) Etiologi1. Faktor genetik: a. Kromosomal b. Multifaktorial 2. Faktor anatomik: a. Kongenital - Incomplete mullerian fusion or septum reabsorbtion - Eksposur diethylstillbestrol - Anomali arteria uterina - Inkompentetia serviks b. Didapat/akuisita - Inkompentetia serviks

Prakiraan insiden5%

12%

13

-

Sinekhia Leiomioma Endometriosis, adenomiosis 17%

3. Faktor endokrin: a. Insufisiensi fase luteal termasuk kelainan luteinizing hormone b. Kelainan tiroid c. Diabetes mellitus d. Kelainan androgen e. Kelainan prolaktin 4. Faktor infeksi: bakteria, virus, parasit, zoonotik, fungus 5. Faktor immunologi: a. Mekanisme humoral - Antibodi antifosfolipid - Antibodi antisperma - Antibodi antitrofoblast - Blocking antibody deficiency b. Mekanisme seluler - Respon immun seluler THI pada antigen reproduksi - Sitokin TH2, growth factor dan defisiensi onkogen - Supressor cell and factor deficiency - Major histocompability antigen expression 6. Faktor-faktor lain: a. Lingkungan b. Drugs c. Abnormalitas plasenta d. Medical illness e. Male factors f. Dissychronous fertilization g. Koitus h. Latihan/exercise

5% 50%

10%

1. Faktor genetik Dengan adanya anamnesis yang lengkap tentang riwayat abortus pada keluarga, akan mengarahkan pada kepentingan pemeriksaan kromosom. Pengenalan perubahan struktur kromosom termasuk mosaicism, defek gen tunggal dan inversi dapat merupakan dasar terjadinya abortus. Faktor genetik antara suami dan istri dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan janin atau embrio yang kemudian dapat menyebabkan terjadinya abortus. Aberasi kromosom janin dan adanya kelainan kromosom yang tumbuh pada janin misalnya pada trisomi 16 atau trisomi 21 (sindroma Down) merupakan penyebab terjadinya abortus. Pada kelainan

14

monosomi X (45X atau sindroma Turner) juga dapat memberikan kegagalan janin yang berakhir dengan abortus. (4,11) 2. Kelainan anatomi Pada kelainan anatomi jelas dapat menyebabkan abortus spontan. Kelainan ini dapat kongenital maupun didapat. Kelainan kongenital yang sering didapat ialah kegagalan fusi duktus Mulleri atau terjadinya septum transversum, atau septum longitudinal uterus dan defek akibat pemakaian lama dietilestilbestrol maupun kelainan kongenital rahim. Ibu dengan septum uterus mempunyai angka kejadian abortus sebanyak 60% karena buah kehamilan yang terinplantasi di sana akan mengalami gangguan dalam perkembangannya. (4,11) Ibu yang mendapat dietilestilbestrol akan mengalami hipoplasi endometrium pada trimester pertama dan kedua kehamilan yang akan menyebabkan inkompentesia serviks sehingga mudah terjadi abortus atau persalinan prematur. (4,11) Terjadinya anomali pada arteria uterina perlu dicari karena hal ini akan mengganggu peredaran darah ke daerah inplantasi buah kehamilan sehingga mudah terjadi abortus. Patogenesis yang sama terjadi bila terdapat gangguan anatomis yang sama seperti pada keadaan leiomyoma terutama yang submukosa dan endometriosis. Pada endometriosis selain faktor anatomis juga terjadi faktor immunologi. (4,11) 3. Faktor endokrin Faktor endokrinologi dihubungkan dengan abortus berulang karena terjadinya insufisiensi fase luteal dengan atau tanpa terjadinya hipersekresi hormon LH (luteinizing hormone), diabetes mellitus atau kelainan kelenjar tiroid. Sebagaimana kita ketahui, pada kehamilan muda dengan terbentuknya korpus luteum maka akan diproduksi hormon progesteron untuk mempertahankan kehamilan. Bila terjadi gangguan produksi hormon ini oleh korpus luteum maka dapat terjadi abortus. Biasanya hal ini akan terjadi pada umur kehamilan kurang dari 10 minggu. Teori lain menyebutkan bila terjadi sekresi LH yang abnormal maka akan terjadi efek langsung pada pertumbuhan oosit dimana selanjutnya akan terjadi pematangan dini endometrium sehingga mudah terjadi abortus. Salah satu poros hormonal yang mungkin terjadi di sini ialah terjadinya kenaikan hormon testosteron, hal ini juga dapat menyebabkan abortus. Pada diabetes mellitus maka

15

penyebab abortus disebabkan oleh adanya gangguan aliran darah di uterus terutama pada diabetes mellitus yang sudah lanjut, selain itu bisa terjadi kenaikan haemoglobin A1 yang dapat menyebabkan abortus spontan. Kejadian hipotiroid juga dapat berpengaruh dalam produksi hormon dari korpus luteum sehingga dapat menimbulkan abortus. Adanya reaksi antibodi antitiroid juga dapat menyebabkan abortus karena secara umum proses immunologi juga terganggu. Kehamilan yang sebenarnya harus disertai kenaikan hormon tiroid dan di sini hal itu tidak terjadi.(4,11)

4. Faktor infeksi Faktor infeksi yang dapat menyebabkan abortus masih banyak kontroversial. Infeksi traktus reproduksi oleh karena bakteri, virus, zoonotik dan jamur banyak dibicarakan tetapi mikoplasma, ureaplasma, chlamydia dan streptococcus banyak dilaporkan cukup patogen untuk menyebabkan kelainan pada vagina yang dapat menyebabkan reaksi immunologi dan memudahkan terjadinya abortus. Pada pengamatan lebih lanjut faktor ini dapat menghambat pertumbuhan janin, ketuban pecah dini dan mengakibatkan terjadinya partus prematurus. (4,11) 5. Faktor immunologi Faktor immunologi sering dihubungkan dengan abortus ibu dan janin di dalam uterus yang mungkin banyak dipengaruhi oleh faktor immunologi. Dimana sering disebutkan ada beberapa paradoks immunologi pada kehamilan mammalia, antara lain: a. Konsepsi alogenetik tidak diterima secara normal oleh ibu b. Reakri immunitas ibu terhadap konsepsi sangat menentukan keberhasilan kehamilan. (4,11) Selanjutnya faktor immunologi ini berkembang dengan dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibagi menjadi dua mekanisme yaitu mekanisme aferen dan mekanisme eferen. Pada mekanisme aferen terdapat peranan sel supresi desidual dan faktor immunomodulator dari desidual yang terdiri dari interleukin internal, embrioderived messages dan sitokin lokal. Sedangkan pada mekanisme aferen ada beberapa faktor yang bekerja yaitu antibodi blocking, faktor blocking yang lain, hormon dan faktor supresi lain. (4,11)

16

Faktor immunologi ini berkembang dengan pesat sehingga masih menjadi fenomena karena di sini sering dihubungkan dengan faktor gen yang menyebabkan terjadinya histokompabilitas mayor (MHC). HLA-A, HLA-B dan HLA-C dan MHC kelas II antigen (HLA-DR, HLA-DP, HLA-DQ) sebagai terminologi dari jaringan immunologi dari MHC klasik antigen dan alograf dapat terjadi reaksi penolakan. Antigen kelas I mempunyai peranan yang penting dalam reaksi penolakan oleh limfosit T. Antigen penolak kelas II menyebabkan timbulnya antigen untuk limfosit T dan memacu terjadinya immunitas. Gen MHC kelas II disebut gen respon imun yang merupakan regulasi genetik yang dipercaya sebagai efek akibat timbulnya suatu penyakit. Karenanya sekarang antigen MHC kelas I non klasikal disebut dengan HLA-G yang dapat merubah bentuk sitotrofoblast manusia dan jaringan trofoblast JEG-3 dan Be-Wo tetapi tidak pada jaringan. Keadaan ini menyebabkan perubahan trofoblast yang merupakan hipotesis nyata dari HLA-G yang dapat menyebabkan respon terhadap terjadinya abortus. (4,11) Kelainan imunitas seluler Kelainan immunitas seluler yaitu imunitas yang secara spesifik diatur oleh sel CD4(+)T yang dapat dibagi menjadi TH-1 dan TH-2 dalam kemampuannya untuk membentuk sitokin. Sel TH-1 akan mensekresi interferon (IFN)-, interleukin (IL)-2, dan tumor necrosis factor (TNF)-. Sementara sekresi utama sel TH2 berupa IL-10, IL-4, IL-5 dan IL-6. TNF- dapat disekresi oleh TH-1 dan TH-2 dan ini merupakan suatu respon dari TH-1 yang membentuk suatu hubungan pengaturan resiprokal antara sel TH-1 dan TH-2 dengan sitokin. (4,11) Endometrium manusia dan desidual akan membentuk suatu reaksi imun dan inflamasi sel yang dapat mensekresi sitokin. Suatu keadaan respon imun seluler TH-1 yang abnormal akan termasuk dalam (IFN)- dan TNF yang merupakan hipotesis terbaru untuk kegagalan immunologi reproduksi. Pada keadaan ini hasil konsepsi merupakan target dari respon imun sel media lokal yang dapat menyebabkan abortus. Pada wanita yang dapat menerima antigen trofoblast dapat mengaktifkan makrofag dan limfosit sehingga akan terbentuk respon imun seluler melewati sitokin TH-1, (IFN)- dan TNF yang mana dapat menghambat pertumbuhan embrio dan pertumbuhan serta fungsi trofoblast secara in vitro. Kadar

17

TNF dan INF-2 yang lebih tinggi dilaporkan pada serum wanita yang sedang abortus dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Sejumlah 60% sampai 80% wanita tidak hamil dengan riwayat abortus spontan berulang dapat dijumpai kadar sel TH-1 yang abnormal menjadi antigen trofoblast, dan kurang dari 3% wanita reproduksi normal mempunyai imunitas seluler yang sama dengan trofoblast. Sebaliknya, imunitas TH-1 untuk trofoblast pada wanita yang mengalami abortus dengan penyebab yang tidak jelas, merupakan indikasi bahwa wanita dengan kehamilan normal mempunyai respon imun TH-2 terhadap antigen trofoblast. Data ini menunjukkan adanya hubungan antara mekanisme suatu non MHC-reaktif dengan kegagalan reproduksi yang melibatkan imunitas TH-1 dan trofoblast. Sitokin dapat memberikan efek kegagalan reproduksi secara langsung maupun tidak langsung tergantung pada sitokin spesifik yang disekresi, dengan konsentrasi dan tahap diferensiasi dari jaringan target reproduksi yang potensial. (4,11) Mekanisme imun seluler yang lain dapat menyebabkan terjadinya abortus berulang yaitu adanya defisiensi sel supresor dan aktivasi makrofag yang dapat dihubungkan dengan kematian janin, walaupun hal ini masih belum jelas. (4,11) Kelainan imunitas humoral Pada mekanisme imunitas humoral ini sering dihubungkan dengan kejadian abortus berulang, meliputi antibodi antifosfolipid yang menyangkut tentang kardiolipin atau fosfatdilserin. Di sini termasuk imunoglobulin G (IgG) dan IgM yang berkaitan dengan fosfolipid. Dimana antibodi antifosfolipid akan menimbulkan pemanjangan test koagulasi fosfolipid secara in vitro dengan adanya perpanjangan activated thromboplastin time, Russel Viper Venum Time dan trombosis invivo. Keadaan ini dapat menimbulkan abortus spontan, partus prematurus, ketuban pecah dini, stillbirth, pertumbuhan janin terhambat dan preeklamsia yang disebut dengan sindroma antifosfolipid (APS). Insiden APS ini terjadi sekitar 3% sampai 5%. Mekanisme yang terjadi adalah antibodi antifosfolipid dapat menyebabkan penambahan tromboxan dan pengurangan sintesis prostasiklin yang menyebabkan penempelan trombosit pada pembuluh darah yang ada di plasenta. Dengan adanya peristiwa ini maka karakteristik kelainan pada plasenta adalah terjadinya infark, solutsio plasenta dan perdarahan. (4,11)

18

Mekanisme antibodi humoral yang dapat menyebabkan abortus berulang dapat pula disebabkan oleh antisperma dan anti trofoblast dan blocking antibody defisiency tetapi hal ini masih banyak diperdebatkan(4,11). Perlu diingat bahwa kehamilan tidak sepenuhnya tergantung pada sistem imun maternal yang ada karena gammaglobulin binatang dan pada wanita dapat direproduksi dan kemudian dapat dipakai sebagai dasar pengelolaan pencegahan terjadinya abortus berulang. (4,11) 6. Faktor-faktor lain Faktor-faktor lain yang dapat dikaitkan dengan abortus berulang ialah adanya faktor lingkungan yang terkena keracunan logam berat dan terkontaminasinya makanan dengan bahan pengawet dalam jangka panjang. Obatobatan yang sering disebut adalah golongan anti progesteron, antineoplastik, obatobat anestesi inhalasi, nikotin, dan etanol radiasi ion dan penyakit kronik dapat menyebabkan gangguan peredaran darah uterus. Trombositosis dengan trombosit > 1 juta juga dapat menyebabkan abortus spontan. Minum kopi bila jumlahnya banyak atau melebihi 300 gram perhari dapat dihubungkan dengan kejadian abortus spontan. Kalaupun bertahan hal ini dapat menyebabbabkan pertumbuhan janin terhambat(4,11). D. Diagnosis Diagnosis abortus habitualis tidak sukar ditentukan dengan anamnesis. Khususnya diagnosis abortus habitualis karena inkompetensia serviks menunjukkan gambaran klinik yang khas, yaitu dalam kehamilan triwulan kedua terjadi pembukaan serviks tanpa disertai mulas, ketuban menonjol dan pada suatu saat pecah. Kemudian timbul mulas yang selanjutnya diikuti oleh pengeluaran janin yang biasanya masih hidup dan normal. Apabila penderita datang dalam triwulan pertama, maka gambaran klinik tersebut dapat diikuti dengan melakukan pemeriksaan vagina tiap minggu. Penderita tidak jarang mengeluh bahwa ia mengeluarkan banyak lendir dari vagina. Di luar kehamilan penentuan serviks inkompeten dilakukan dengan histerosalpingografi yaitu ostium internum uteri melebar lebih dari 8 mm(8) .

19

E. Manajemen Penatalaksanaan Untuk penatalaksanaan abortus berulang dibutuhkan anamnesis yang terarah mengenai riwayat suami istri dan pemeriksaan fisik ibu baik secara anatomis maupun laboratorik. Apakah abortus terjadi pada trimester pertama atau trimester kedua juga penting untuk diperhatikan. Bila terjadi pada trimester pertama maka banyak faktor yang harus dicari sesuai kemungkinan etiologi atau mekanisme terjadinya abortus berulang. Bila terjadi pada trimester kedua maka faktor-faktor penyebab lain cenderung pada faktor anatomis terjadinya inkompetensia serviks dan adanya tumor mioma uteri serta infeksi yang berat pada uterus atau serviks. Tahaptahap penatalaksanaan tersebut meliputi(4,8): 1. Riwayat penyakit dahulu: Kapan abortus terjadi, apakah pada trimester pertama atau pada trimester berikutnya, adakah penyebab mekanis yang menonjol. Mencari kemungkinan adanya toksin, lingkungan dan pecandu obat terlarang. Infeksi ginekologi dan obstetri. Gambaran asosiasi terjadinya antiphospholipid syndrome (trombosis, fenomena autoimun, false positive test untuk sifilis). Faktor genetika antara suami istri (consanguinity). Riwayat keluarga yang pernah mengalami terjadinya abortus berulang dan sindroma yang berkaitan dengan kejadian abortus ataupun partus prematurus yang kemudian meninggal. Pemeriksaan diagnostik yang terkait dan pengobatan yang pernah didapat. 2. Pemeriksaan fisik: 1. Pemeriksaan fisik secara umum 2. Pemeriksaan ginekologi 3. Pemeriksaan laboratorium: a. Kariotik darah tepi kedua orang tua b. Histerosangografi diikuti dengan histeroskopi atau laparoskopi bila ada indikasi c. Biopsi endometrium pada fase luteal d. Pemeriksaan hormon TSH dan antibodi anti tiroid

20

e. Antibodi antifosfolipid (cardiolipin, fosfatidilserin) f. Lupus antikoagulan (apartial thromboplastin time atau russel viper venom) g. Pemeriksaan darah lengkap termasuk trombosit Kultur cairan serviks (mycoplasma, ureaplasma, chlamydia) bila diperlukan(4,8). Pengobatan Setelah didapatkan anamnesis yang maksimal, bila sudah terjadi konsepsi baru pada ibu dengan riwayat abortus berulang maka support psikologis untuk pertumbuhan embrio intra uterine yang baik perlu diberikan pada ibu. Kenali kemungkinan terjadinya anti fosfolipid sindrome atau mencegah terjadinya infeksi intra uterine(4). Pemeriksaan kadar -HCG secara periodik pada awal kehamilan dapat membantu pemantauan kelangsungan kehamilan sampai pemeriksaan USG dapat dikerjakan. Gold standard untuk monitoring kehamilan dini adalah pemeriksaan USG, dikerjakan setiap dua minggu sampai kehamilan ini tidak mengalami abortus. Pada keadaan embrio tidak terdapat gerakan jantung janin maka perlu segera dilakukan evakuasi serta pemeriksaan kariotip jaringan hasil konsepsi tersebut(4). Pemeriksaan serum -fetoprotein perlu dilakukan pada usia kehamilan 1618 minggu. Pemeriksaan kariotip dari buah kehamilan dapat dilakukan dengan melakukan amniosintesis air ketuban untuk menilai bagus atau tidaknya kehamilan(4). Bila belum terjadi kehamilan, pengobatan dilakukan sesuai dengan hasil penilaian yang ada. Pengobatan di sini termasuk memperbaiki kualitas sel telur atau spermatozoa, kelainan anatomi, kelainan endokrin, infeksi dan berbagai variasi hasil pemeriksaan reaksi immunologi. Pengobatan pada penderita yang mengidap pecandu obat-obatan perlu dilakukan juga. Konsultasi psikologi juga akan sangat membantu(4). Bila kehamilan kemudian berakhir dengan kegagalan lagi maka pengoatan secara intensif harus dikerjakan secara bertahap baik perbaikan kromosom, anomali anatomi, kelainan endokrin, infeksi, faktor immunologi, anti fosfolipid sindrom, terapi imunoglobulin atau imunomodulator perlu diberikan secara berurutan. Hal ini

21

merupakan suatu pekerjaan yang besar dan memerlukan pengamatan yang memadai untuk mendapatkan hasil yang maksimal(4). Test Diagnostik Pasangan yang Pernah Abortus Berulang Penyebab terjadinya abortus berulang merupakan problem multi faktor sehingga penatalaksanaan yang segera pada test pertama yang abnormal tidak dapat segera dilakukan. Idealnya dilakukan evaluasi yang komprehensif sebelum merencanakan penanganan yang lebih lanjut. Sayangnya test diagnostik ini, tidak ada yang merupakan gold standart. Akhirnya, prognosis pada wanita yang test diagnosisnya positif tidaklah dapat bisa kita pastikan. Dilihat dari metodeloginya, sangat banyak test yang bisa dilakukan pada pasangan dengan keguguran berulang sehingga penatalaksanaan baru bisa dilakukan setelah semua test diagnostik selesai13. F.1. Test Analisis Karyotipe Anomali kromosom dapat diidentifikasi pada tiap pasangan laki-laki atau perempuan, dimana prevalensinya lebih tinggi pada wanita dari pada laki-laki. Prevalensi anomali yang di dapat dari analisa data pada data base computer dimana dari 200 publikasi studi sitogenetik yang dicatat memberikan informasi lebih dari 20.000 pasangan yang mengalami abortus berulang didapatkan : - translokasi resiprokal (1,3%) - translokasi robersonian (0,6%) - aneploidi kromosom seks (0,1%) - kromosom supernumeri (0,003%) Jadi, balance translokasi (termasuk resiprokal dan tipe robersonian) merupakan abnormalitas yang paling banyak menyebabkan abortus. Kurangnya dilakukan analisa kromosom pada abortus pertama kali, membuat sulit untuk mengetahui etiologi pasti anomali kromosom. Bagaimanapun, sekarang dapat dilakukan penelitian pada laboratorium patologi dengan menggunakan metode hibridisasi yang dikombinasikan dengan pewarnaan sitokimia.Penelitian tersebut dapat memberikan informasi yang berguna dan bermanfaat untuk mengetahui etiologi dari abortus berulang13. F.2. Penilaian Anomali Uterus

22

Ada 4 kategori mayor dari anomali uterus yang dilaporkan berhubungan dengan abortus berulang.

Anomali uterus kongenital Tidak adanya persamaan persepsi mengenai nomenklatur dan strategi diagnostik yang tepat membuat lebih sulit untuk menegakkan bukti yang akurat. Kejadian mayor yang menyebabkan anomali uterus kongenital lebih tinggi pervalensinya pada wanita yang abortus berulang. Diantara berbagai anomali uterus kongenital (contoh. unicornus, didelphys, bicornus, septum, arcuatus, dan obat DES). Septum dan arcuatus adalah anomali yang paling banyak terjadi. Hipotesisnya adalah bagian septum relatif avascular, mencegah implantasi yang adekuat dan menyebabkan kegagalan kehamilan. Teori inipun belum valid. Bagaimanapun, resiko tinggi terjadinya abortus dihubungkan dengan anomali arkuatus masih menimbulkan pertanyaan mekanisme operatifnya13. Permasalahan yang muncul dalam diagnosa anomali uterus adalah subyektif yang dihubungkan interpretasinya dari test diagnostik yang ditemukan.Test Hysterosalpingogram (HSG) yang paling sering dilakukan, tetapi itu hanya terbatas pada penggunaan eksternal saja. Posisi yang tepat pada HSG sangat penting, sehingga dapat diketahui aksis longitudinal dari uterus seperti halnya pada gambar foto rontgent agar gambaran tangensial di posisi anteversi atau retroversi uteri. Histeroskopi sekarang digunakan untuk menilai cavum uteri dan juga untuk koreksi jika ada anomali sebelum operasi. USG transvaginal juga sangat berguna untuk skrining. Gambaran yang jelas dari endometrium sangat diperlukan agar dapat menilai cavum uteri dengan tepat. Sebaiknya penilaian dilakukan pada fase luteal karena pada siklus tersebut endometrium bersifat echogenic dan dapat menghasilkan kontras yang baik terhadap miometrium yang hipoechoik. Akhir-akhir ini pemakaian USG 3 dimensi terbukti sebagai alat diagnostik yang tepat untuk mendeteksi anomali uterus. MRI (Magnetic Resonance Imaging) juga merupakan metode yang berguna untuk membedakan anomali-anomali pada uterus13.

Servik Inkompetensia Servik inkompetensia adalah ketidakmampuan servik dalam

mempertahankan kehamilan intrauterin sampai dengan aterm. Insidensi ini terjadi

23

bervariasi dengan terjadinya abortus berulang sekitar 8-15%. Tidak ada kriteria umum untuk mendiagnosanya, melainkan berdasarkan perjalanan klinik dan gejala pada masa tidak hamil sampai masa hamil. Perjalanan klinisnya biasanya terjadi abortus pada trisemester ke 2 dengan dilatasi serviks tanpa nyeri. fetus biasanya berkembang normal dan lahir hidup13. Riwayat janin mati atau fetus maserasi umumnya berlawanan dengan diagnosis servik inkompetensia. Faktor predisposisi diantaranya riwayat hamil sebelumnya, prosedur D & C, biopsi servik dan adanya abortus theraupetik. hal ini juga dihubungkan dengan anomali uterus kongenital. Pada saat wanita hamil, effacement dan atau dilatasi dari bagian dalam dapat dilihat dari USG transvaginal (terutama jika scanning dilakukan serial selama trisemester ke 2 kehamilan), dipikirkan serviks inkompetensia jika panjang serviks lebih dari 2,5 cm. Untuk USG, pasien servik inkompetensia disuruh menekan perut atau manuver valsava (mengedan) 13.

Adhesi Intrauterine Perlengketan didalam rahim harus dicurigai, terutama jika dari perjalanan

kliniknya pernah melakukan kuretase pada nasa kehamilan atau masa nifas yang disertai amenorea atau hipomenorea. Dengan HSG dapat di diagnosa baik tunggal atau multipel Lacuna Shape Filling Defect dari berbagai ukuran kavum uterus. Gambaran filling defect adalah irreguler, bentuk bersudut, kontur yang sangat tajam, oposisi yang homogen dan gambaran persisten pada beberapa tampilan. Histeroskopi digunakan untuk mengkonfirmasi penemuan HSG dan koreksi pada persiapan operasi13.

Fibroid Uterus Fibroid uterus adalah tumor yang umumnya dapat tunggal atau multipel

dengan ukuran yang beragam. Hal ini dilaporkan, berkaitan insiden abortus dan kegagalan pada implantasi plasenta. Pada studi observasional dimana ditemukan penurunan kejadian abortus setelah pengangkatan fibroid menimbulkan implikasi di duga fibroid menyebabkan keguguran. Sehingga diduga distorsi cavum uteri, distorsi suplai pembuluh darah pada saat hamil dan dugaan berdasarkan adanya

24

implantasi terganggu karena pertumbuhan fibroid berulang selama kehamilan. Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik,Pemeriksaan USG, MRI, laparoskopi dan histeroskopi sebagai pemeriksaan tambahan untuk menentukan lokasi fibroid13. F.3. Abnormalitas Endokrin Bermacam-macam disfungsi endokrin dilaporkan ada hubungannya abotus berulang :

Defisiensi Fase Luteal (LPD) Progesteron yang dihasilkan dari korpus luteum berguna untuk merangsang sekresi endometrium sehingga siap untuk menerima kehamilan sampai transformasi plasenta berfungsi, dimana plasenta mengambil alih fungsinya. Metode yang digunakan saat ini yaitu dengan mengukur kadar progesteron serum pada fase mid luteal dan biopsi endometrium. Kadar progesteron yang rendah (kurang dari 21 nmol/ L pada hari ke 25 dan 26) dan lebih tinggi nilainya dari pada hari ke 2 diantaranya dilakukan pemeriksaan histologi dan PA endometrium ( mulai dari LH ditentukan sampai menstruasi berikutnya ini yang sering digunakan untuk mendeteksi LPD) 13. Bagaimanapun ketepatan tes ini sangat kurang karena variabilitas dari pengukuran progesteron pada pasien dan biopsi endometrium yang saat ini masih dipertanyakan untuk dapat membuktikan prevalensi LPD lebih tinggi pada wanita yang fertil dibandingkan infertil(11, 13).

Hipersekresi LH Peningkatan kadar LH (10 iu/l) pada fase folikular lebih banyak terjadi pada dengan abotus berulang. Namun penelitian ini belum bisa ditentukan secara pasti karena bisa saja nilai ini tergantung dari sistem radioimmunoassay atau imunometric assay yang digunakan. Pada penggunaan imunometric assay terjadi hipersekresi LH pada pertengahan fase folikuler yaitu sekitar 8% pada penderita abortus berulang13.

Kadar Androgen yang Tinggi Pada wanita abortus berulang didapatkan kadar androgen yang tinggi dibandingkan pada wanita fertil yang sebagai kontrol. Relevansinya masih dipertanyakan dan perlu penelitian lebih lanjut13.

25

Fungsi Thyroid Keduanya baik hipotiroid dan hipertiroid mempunyai hubungan yang timbal balik dengan efek fertilitas dan kehamilan. Berdasarkan laporan literatur, adanya hubungan antara penyakit thyroid dengan abortus spontan berulang tapi frekwensinya sangat rendah. Pengukuran Thyroid Stimulating Hormon (TSH) sangat berguna untuk skrinning13.

Diabetes Mellitus Hubungan antara abortus dan diabetes masih diteliti, tetapi pada sedikit penelitian (studi) telah didapatkan hubungan antara kejadian abortus berulang pada Diabetes Gestasional. Dari data-data tersebut tidak ada bukti DMG dependent insulin yang terkontrol dengan kejadian abortus spontan atau berulang. Pengukuran gula darah dipergunakan untuk skrinning test13.

Hiperprolaktinemia Tidak ada bukti yang jelas menyokong hubungan hiperprolaktinemia dengan abortus berulang. Tapi, sebenarnya ada hubungan antara stress dan hiperprolaktinemia. Hal ini memberikan petunjuk yang baik untuk mengukur kadar prolaktin pada abortus berulang karena kadarnya meningkat pada saat stress13.

F.4 Protrombolitik Beberapa penelitian meneliti hubungan predisposisi trombolitik dengan abortus berulang. Mekanisme untuk kematian janin itu menyebabkan inhibisi sistem trombolitik, trombosis plasenta, infara plasenta, metabolisme prostasiklin abnormal dan efek sitotoksik langsung13. Permasalahannya adalah apa saja yang termasuk inklusi dari keguguran dan IUFD dibawah kategori abortus berulang. Jadinya untuk mengevaluasi predisposisi trombolik abortus berulang itu merupakan hal yang sulit. Thrombophilia merupakan tendensi trombolitik didapat. Penyebab terbanyak trombophilia didapat adalah Lupus Antikoagulans (LAC) dan Anti Cardiolipid Antibody (ACA) 13.

Antiphospolipid Syndro (APS) APS ditemukan sekurangnya satu gejala klinik dan satu pemeriksaan

laboratorium. Gejala klinik termasuk 3 atau lebih terjadi keguguran spontan atau keguguran yang tidak bisa dijelaskan pada trisemester 2 dan 3. Pada pemeriksaan

26

laboratorium terdapat nilai abnormalitas paling kurang 2 atau lebih dari 8 minggu dari pemeriksaan : LAC atau ACA. Untuk tes LAC dapat digunakan tes koagulasi dengan cara Russel Viper Venom test. Sedangkan test untuk ACA menggunakan tehnik enzim Link imunosorben assay. 13 F.5 Tes Imunologi Dengan adanya bukti-bukti yang menyokong hipotesa humoral atau seluler imunologi yang responnya mempengaruhi abortus berulang F.5.1 Respon Humoral Abnormal Auto anti body pada wanita abortus berulang sering dideteksi ada dibandingkan dengan yang kontrol. Mekanisme anti phospolipid anti body sekarang sedang banyak didiskusikan. Namun laporan tersebut masih bertentangan karena ada literatur yang menyatakan ada hubungan dengan anti body thyroid. Berdasarkan penelitian prospektif bahwa anti body thyroid tidak berpengaruh terhadap berulangnya wanita abortus berulang. Jadinya, tes rutin untuk anti body thyroid tidak penting pada penderita abortus berulang13. F.5.2 Respon Selular Abnormal Wanita dengan abortus berulang yang kehamilannya euploid, terdapat peningkatan jumlah sel natural killer (NK) di dalam darah. Sebagai tambahan kenaikan jumlah sel NK pada wanita normal tidak hamil terlihat juga berhubungan dengan peningkatan probabilitas kejadian abortus jika dia hamil. Peningkatan imunitas seluler ini juga ditemukan pada endometrium dan desidual. Wanita dengan abortus berulang mempunyai sel NK lebih tinggi tipe 56+ di endometrium, dibandingkan dengan wanita hamil yang berakhir dengan bayi lahir hidup. Beberapa mekanisme lainnya (termasuk efek imunologi progesteron, imunotropis, sel T helper, sel supresor natural dan supresor protein), sering dihubungkan dengan interaksi maternal fetal sehingga dapat mempertahankan kehamilan13. F.5.3 Infeksi Meski beberapa organisme dihubungkan dengan abortus sporadik namun abortus berulang akibat agen infeksi masihlah kontroversi. Meskipun tidak sedikit kuman Ureaplasma urealyticum (Mikroplasma genital) banyak ditemukan pada traktus genitalia pada pasangan yang abortus berulang. Sampai saat ini, kultur

27

servik

dan

sperma

untuk

menemukan

organisme

penyebab

sehingga

penatalaksanaan dengan antibiotik bisa bermanfaat13. F.5.4 Endometriosis Prevalensi abortus pada trimester pertama, banyak ditemukan pada wanita dengan endometriosis. Berdasarkan study kontrol juga didapatkan bukti bahwa peningkatan abortus di dapat pada wanita dengan endometriosis. Bagaimanapun secara randonm tindakan bedah ablasi yang minimal atau sedang pada endometriosis dibandingkan dengan pengobatan keguguran yang diobati dengan yang tidak diobati hampir mirip. Kesulitan dalam menentukan penyebab hubungan antara endometriosis dan abortus endometriosis masih belum jelas13. G. Kesimpulan Abortus berulang memiliki gejala klinik yang signifikan, diperlukan evaluasi dan penatalaksanaan yang lebih lanjut. Kekurangan kriteria diagnostik yang dapat diterima membuat diagnostik ini lebih sulit karena problem yang heterogen. Sebaiknya evaluasi dilakukan secara berpasangan yang komprehensif sebelum diputuskan tindakan yang lebih lanjut(1, 13). Tes diagnostik untuk pasangan dengan abortus berulang Tes genetik Evaluasi uterus Karyotipe tes pada kedua pasangan Histerosalpingogram (HSG) USG transvaginal Tes servikal kompetens Histeroscopy dan laparoscopy Histerosalpingogram (HSG) USG transvaginal pada servik bumil Tes endokrin Serum progesteron pada fase luteal dan biopsi endometrial Kadar LH Kadar androgen TSH Tes DM jauh lebih sulit dari pada observasi adanya penyakit lain dengan abortus. Jadinya sampai sekarang hubungan abortus dengan

28

Tes Trombopilia Tes Alo imun

Kadar prolaktin Anti kardiolipin anti body (ACA) Lupus anti koagulan (LAC) Anti body sitotoksik anti paternal pada wanita

H. Prognosis Dengan perkecualian serviks inkompeten, angka kesembuhan setelah tiga kali abortus spontan berkisar antara 70 sampai 85 persen setelah protokol diagnostik dan penatalaksanaan optimal. Tidak didapatkan bukti bahwa wanita yang mengalami abortus spontan habitualis mempunyai resiko yang lebih tinggi untuk memperoleh anak yang abnormal, bila akhirnya dia hamil sampai aterm(1, 13).

29

DAFTAR PUSTAKA 1. Cunningham FG, et al. Abortion. In William Obstetrics, 21st ed. The Mc Graw Hill Medical Publishing Division , New York, 2001; 855-882 2. Abdul BA, Adrians Wikjosastro GA, Waspodo J. Aborsi. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Kedua Cetakan Kedua . JNPKKR-POGI- Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2001; 145-152 3. Llewellyn D, Jones. Abortus dalam Dasar-Dasar Obstetri dan Ginekologi. Penerbit Hipokrates. Jakarta, 1998; 96-103 4. Bantuk Hadijanto. Abortus Spontan Berulang.Dalam Ilmu Kesehatan Fetomaternal. Edisi Perdana. 2004. Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI., Penerbit Airlangga. Surabaya, 2004; 326-335 5. Humphrey W. Abortion, spontaneous. Diakses dari: http://www.5mcc.com/Assets/SUMMARY/TP0001.html 6. Alfauzi A. Kontroversi Masalah Aborsi. Diakses dari: http://www.kompas.com/kompas-cetak/0104/04/daerah/dkks19.htm 7. Laird SM, Tuckerman EM, Cork BA, Linjawi S, Blakemore A.I.F, LI TC. A Review of Immune Cells and Molecules in Women with Recurrent Miscarriage. Diakses dari: http://humupd.oxfordjournals.org/cgi/reprint/9/2/163 8. Prawirohardjo S. Kelainan Dalam Lamanya Kehamilan. Dalam Wiknjosastro H et al (Ed): Ilmu Kebidanan, Edisi Ketiga Cetakan Ketujuh, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2005 ; 309-310 9. Bennet MJ. Abortus. Esensial obstetri dan ginekologi. Jakarta : Hipokrates, 2001 ; 452-458.

30

10. Saifuddin AB. Perdarahan pada kehamilan muda. Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. Edisi Pertama Cetakan Ketiga 2002. JNPKKR-POGI- Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo. Jakarta, 2002 ; 145-152 11. The Influence of the Enviromental and Other Exogenous Agents on Spontaneous Abortion Risk. R. Samuel McLaughlin Center for Population Health Risk Assessment. Diakses dari: http://www.emcom.ca/health/Spontaneous%20Abortion_Feb2005.pdf 12. Spontaneous Abortion. Diakses dari: http://www.merck.com/mrkshared/mmanual/section18/chapter252/252a.js p 13. Salim Daya,M.D. Evidence-based management of recurrent miscarriage: Optimal Diagnostic Protocol on Advavces in Fertility and Reproductive Medicine. Elsevier Publishing , 2004 ; 318-327

31