Top Banner
XI-RPL SEJARAH INDONESIA SEMESTER 2 REVOLUSI MENEGAKKAN PANJI-PANJI NKRI
85

Revolusi Menegakkan Panji-Panji NKRI

Sep 05, 2015

Download

Documents

Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan , dan berbagai insiden masih terus terjadi. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan jepang. Disamping menghadapi kekuatan jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara inggris atas nama sekutu, dan juga NICA(Belanda) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng sekutu.
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript

A. Menganalisis Perkembangan dan Tantangan Awal Kemerdekaan

1. Kondisi awal Indonesia merdeka

Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan , dan berbagai insiden masih terus terjadi. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisa-sisa kekuatan jepang. Disamping menghadapi kekuatan jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara inggris atas nama sekutu, dan juga NICA(Belanda) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng sekutu. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-wakil presiden. Bahkan untuk menjaga keamanan negara juga telah dibentuk TNI. Kondisi perekonomian negara memprihatinkan, sehingga terjadi inflasi yang cukup berat. Karena peredaran mata uang rupiah jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat rendah. Pemerintahan RI sendiri tidak bisa melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri belum memiliki mata uang sendiri. Diedarkannya uang cadangan sebesar 2,3 milyar, Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang: De Javaesche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah jepang, Pajak dan bea sangat berkurang, pengeluaran bertambah banyak, serta Hasil produksi pertanian dan perkebunan tidak dapat diekspor. Bahkan setelah NICA datang ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah karena adanya blokade. Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap pemerintah Indonesia. Sehingga pada tanggal 4 januari 1946 Ibu kota RI pindah ke Yogyakarta. Pada 1 oktober 1946, Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI, uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah. dibidang politik bangsa Indonesia mengambil langkah-langkah untuk melengkapi syarat-syarat berdirinya Negara yang berdaulat antara lain :

a. Daerah (wilayah)

b. Rakyat Indonesia

c. Pemerintah yang berdaulat

d. Pengakuan dari negara lain

Raditya Bagus W , Risaldi Hutama Parikesit, Ilham Qomarudin Putra, Andika Yudha Pratama

2. Kedatangan Sekutu dan Belanda

Awal kedatangan Sekutu ditandai dengan dibomnya dua kota di Jepang yaitu kota Hiroshima pada 6 Agustus 1945 dan kota Nagasaki pada 9 Agustus 1945, membuat Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu pada tanggal 14 Agustus 1945. Sebagai pihak yang kalah perang, maka Jepang harus menarik semua pasukan di wilayah kekuasaannya di Asia, termasuk Indonesia dan diatur oleh SEAC (South East Asia Command). SEAC dipimpin oleh Lord Mountbatten (Amerika) yang berkedudukan di Singapura. Sedang untuk pelucutan senjata tentara Jepang di Indonesia dilakukan oleh AFNEI (Allied Forces Netherland East Indies). Ada pun tugas AFNEI adalah:

a. Membebaskan tawanan perang Sekutu yang ditahan Jepang.

b. Menerima penyerahan kekuasaan dari Jepang.

c. Melucuti dan memulangkan tentara Jepang.

d. Mencari dan menuntut penjahat perang.

Pasukan AFNEI yang akan menlucuti senjata tentara Jepang di Indonesia dibagi menjadi 2, dimana pendatarannya diatur oleh Lord Mountbatten di Singapura yaitu:

a. Pasukan AFNEI Inggris yang dipimpin oleh Sir Philip Christisson. Pasukan ini bertugas melucuti senjata tentara Jepang yang ada di Sumatra dan Jawa.

b. Pasukan AFNEI Australia yang dipimpin oleh Albert Thomas Blarney. Pasukan ini bertugas melucuti senjata tentara Jepang yang ada di Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Ternyata pasukan AFNEI Inggris yang akan melucuti senjata Jepang di Indonesia di boncengi NICA (Belanda). Maksud NICA membonceng Sekutu tidak lain adalah ingin kembali menguasai wilayah Indonesia. Pada tanggal 15 September 1945, pasukan Sekutu yang diboncengi NICA mendarat di pelabuhan Tanjung Priok dengan menggunakan Kapal Chamberlain yang dipimpin oleh W.R Petterson dan disertai oleh dua tokoh NICA, yaitu Van Der Plass dan Van Mook. Inggris bersedia membawa NICA ke Indonesia karena terikat perjanjian rahasia dalam Civil Affairs Agreement di Chequers, London pada tanggal 24 Agustus 1945. Dimana isi perjanjian tersebut yaitu Inggris bertindak atas nama Belanda dan pelaksanaannya diatur oleh NICA yang bertanggung jawab kepada Sekutu.

Raditya Bagus W , Risaldi Hutama Parikesit, Ilham Qomarudin Putra, Andika Yudha Pratama

Setelah mengetahui bahwa pasukan AFNEI Inggris diboncengi NICA dan ingin kembali merebut wilayah Indonesia, maka muncullah perlawanan rakyat diberbagai daerah di Indonesia. Rakyat ingin mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Berbeda dengan pasukan AFNEI Australia, yang dapat melaksanakan tugas melucuti tentara Jepang dengan lancar tanpa adanya perlawanan dari rakyat Indonesia.

Adapun faktor-faktor yang menyebabkan konflik antara Indonesia dan Belanda adalah sebagai berikut:

a. Hasil perundingan Linggajati, Belanda yang hanya memasukkan Sumatra, Jawa, dan Madura sebagai wilayah Republik Indonesia, sehingga beberapa wilayah mengadakan perlawanan.

b. Belanda terus berusaha memecah belah bangsa Indonesia dengan mendirikan negaranegara boneka sebagai negara bagian dari RIS.

c. Belanda mengajukan tuntutan-tuntutan, antara lain:

1) pembentukan pemerintah federal sementara yang akan berkuasa di seluruh Indonesia sampai terbentuk RIS

2) pembentukan pasukan keamanan bersama yang juga akan masuk daerah republik.

d. Adanya Agresi Militer Belanda I dan II.

Raditya Bagus W , Risaldi Hutama Parikesit, Ilham Qomarudin Putra, Andika Yudha Pratama

3. Merdeka atau Mati

Dibawah ini berbagai perlawanan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia, diataranya :

a. Pertempuran di Surabaya (10 November 1945)

Pada tangggal 25 Oktober 1945, pasukan Inggris di bawah pimpinan Brigjen AWS. Mallaby tiba di Surabaya. Saat itu juga, pasukan Inggris menyerbu dan menduduki gedung-gedung pemerintah. Selain itu, pasukan Inggris juga menyebar selebaran yang memerintahkan kepada semua orang Indonesia untuk menyerahkan senjata. Bila tidak mengindahkan himbauan itu akan diancam hukuman mati.

Rakyat pun menolak himbauan Sekutu dan melakukan perlawnan. Pada tanggal 31 Oktober 1945. Terjadi baku tembak yang mengakibatkan Brigjen Mallaby tewas di Bank Internio (Jembatan Merah). Dan penggantinya Mayjen Mansergh, mengeluarkan ultimatum: Bahwa siapa yang membunuh Mallaby harus menyerahkan diri selambat-lambatnya tanggal 10 November 1945 pukul 06.00 pagi. Jika tidak menyerahkan diri, maka pasukan Sekutu akan menyerang Kota Surabaya.

Karena ultimatum tersebut tidak diindahkan oleh rakyat Surabaya, maka pasuka Sekutu Kota Surabaya. Dibawah pimpinan Bung Tomo, Sungkono dan Gubernur Suryo, rakyat melakukan perlawanan. Ribuan rakyat meninggal dalam pertempuran itu. Oleh karena itu, tiap tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan.

b. Pertempuran Medan Area (10 Desember 1945)

Pertempuran ini terjadi karena Sekutu di bawah pimpinan Brigjen. TED Kelly dan pimpinan NICA yaitu Raymond Westerling melakukan berbagai tindakan yang membuat marah rakyat, diantaranya:

1. Membebaskan tawanan Belanda dan mempersenjatai KNIL (10 Oktober 1945)

Fatimah Isnaini S, Khafido Ilzam, Moch Muhammad Syafri Romadhon, Dalilah Octavianti

2. Melarang rakyat membawa senjata (18 Oktober 1945)

3. Menduduki tempat penting dan menyerang Medan (10 Desember 1945)

Karena tindakan tersebut maka rakyat Medan berusaha merebut kembali wilayah-wilayah yang telah dikuasai oleh Sekutu, hal ini yang menyebabkan terjadinya peristiwa Medan Area.

c. Pertempuran Ambarawa (15 Desember 1945)

Pertempuran Ambarawa terjadi karena Sekutu yang dipimpin Brigjen Bethel yang diboncengi NICA dengan sepihak membebaskan tawanan Sekutu yang ada di Magelang dan Ambarawa. Tindakan Sekutu ini dianggap telah melanggar kedaulatan RI. Setelah TKR mengadakan konsolidasi, Divisi V Kolonel Sudirman memperkuat wilayah Ambarawa dengan taktik Supit Urang yaitu dengan menyerang dari berbagai arah. Terjadilah pertempuran yang dahsyat pada tanggal 15 Desember 1945. Dalam pertempuran ini, TKR dibantu kesatuan-kesatuan dari daerah lain, yaitu dari Surakarta dan Salatiga. Pertempuran Ambarawa dimenangkan pihak TKR. Namun dalam tertempuran tersebut, Kolonel Isdiman gugur dan diperingati sebagai Hari Infanteri.

d. Pertempuran di Manado (Peristiwa Bendera)

Untuk menyambut kemerdekaan, rakyat Manado segera mengambil alih kekuasaan dari pihak Jepang dan mengibarkan Sang Merah Putih. Kebahagiaan rakyat Minahasa dikejutkan dengan kedatangan tentara Sekutu yang diboncengi NICA (Netherland Indische Civil Administration) yang melarang rakyat mengibarkan bendera Merah Putih. Mereka memaksa rakyat mengibarkan bendera merah putih biru (bendera Belanda). Pada tanggal 14 Februari 1946 pukul 01.00, sejumlah tentara KNIL (Komenlijk Netherland Indische Large) yang setia kepada RI menyerang Belanda dan Sekutu, serta berhasil melucuti senjata dan menyobek warna biru sehingga tinggal merah putih. Saat itu pemimpin TKR adalah Ch. Taulu, Wuisan, dan J. Kaseger.

Fatimah Isnaini S, Khafido Ilzam, Moch Muhammad Syafri Romadhon, Dalilah Octavianti

e. Peristiwa Bandung Lautan Api

Sejak bulan Oktober 1945, pasukan AFNEI memasuki Kota Bandung. Ketika itu TKR bersama rakyat sedang berjuang merebut senjata dari tangan Jepang. AFNEI menuntut kepada pasukan Indonesia untuk menyerahkan senjata dan disusul ultimatum yang memerintahkan TKR menginggalkan Kota Bandung Utara paling lambat tanggal 29 Oktober 1945. Namun, ultimatum tersebut tidak dipedulikan oleh TKR dan rakyat Bandung.

TKR yang dipimpin Arudji Kartawinata melakukan serangan terhadap kedudukan AFNEI. Keadaan itu berlanjut sampai memasuki tahun 1946. Untuk kedua kalinya pada taggal 23 Maret 1945, AFNEI mengeluarkan ultimatum agar TRI meninggalkan Kota Bandung. Bersamaan dengan itu sehari sebelumnya, pemerintah RI dari Jakarta mengeluarkan perintah yang sama. Akhirnya TRI Bandung patuh terhadap pemerintah meskipun dengan berat hati. Sambil mengundurkan diri, TRI membumihanguskan Kota Bandung bagian selatan. Dalam pertempuran di Bandung, M. Thoha gugur.

f. Puputan Margarana

Latar belakang pertempuran ini adalah akibat dari ketidakpuasan akan hasil Perjanjian Linggarjati. Perlawanan rakyat Bali ini dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai. Pada tanggal 18 November 1946 tentara Ngurah Rai atau pasukan Ciung Wanara menyerang Tabanan. Belanda membalas serangan tersebut dengan menyerang Bali dan Lombok. Kekuatan yang tidak seimbang menyebabkan I Gusti Ngurah Rai melaksanakan perang puputan atau perang sampai mati. Perang besar-besaran ini terjadi di Margarana. Dan pada tanggal 29 November 1946 I Gusti Ngurah Rai gugur.

Fatimah Isnaini S, Khafido Ilzam, Moch Muhammad Syafri Romadhon, Dalilah Octavianti

B. Mengevaluasi Perjuangan Bangsa: Antara Perang dan Damai.

1. Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggajati atau kadang juga disebut Perundingan Lingga'r'jati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan ditandatangani secara sah oleh kedua negara pada 25 Maret 1947.

Fatimah Isnaini S, Khafido Ilzam, Moch Muhammad Syafri Romadhon, Dalilah Octavianti

Latar Belakang

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan 'status quo' di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia. Oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, Diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Pulau Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Idris Riza Pahlevi, M. Marsudiarto, Dimas Kartiko, Ganang Ganindra

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook,dan Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi: Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan Madura. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth/Persemakmuran Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Idris Riza Pahlevi, M. Marsudiarto, Dimas Kartiko, Ganang Ganindra

Pelanggaran Perjanjian

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

2. Agresi Militer Belanda I

"Operatie Product" (bahasa Indonesia: Operasi Produk) atau yang dikenal di Indonesia dengan nama Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggarjati.

Latar belakang

Pada tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum supaya RI menarik mundur pasukan sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

Idris Riza Pahlevi, M. Marsudiarto, Dimas Kartiko, Ganang Ganindra

Dimulainya operasi militer

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama. Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari Pembantaian Westerling|pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera Barat.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto|Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

Idris Riza Pahlevi, M. Marsudiarto, Dimas Kartiko, Ganang Ganindra

Campur tangan PBB

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggarjati. Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan. Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 Agustus 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question. Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran. Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Idris Riza Pahlevi, M. Marsudiarto, Dimas Kartiko, Ganang Ganindra

Idris Riza Pahlevi, M. Marsudiarto, Dimas Kartiko, Ganang Ganindra

3. Komisi Tiga Negara (KTN)

Sengketa Indonesia dan Belanda memuncak ketika persetujuan Linggarjati dilanggar oleh Belanda dengan agresi militer tanggal 21 Juli 1947. Hal ini menjadi pokok bahasan di forum internasional. Setelah perdebatan panjang di PBB dan tidak ada keputusan, maka lahirlah beberapa pendapat yang berkembang dari negara-negara besar seperti Rusia dan Amerika Serikat.

Usul Rusia untuk membentuk komisi pengawas gencatan senjata didukung oleh Amerika Serikat, Australia, Brazilia, Columbia, Polandia dan Suriah, tetapi diveto oleh Perancis karena terlalu menguntungkan Republik Indonesia.

Akhirnya usul AS pada tanggal 21 Agustus 1947 melalui Departemen Luar Negeri AS memberitahukan kepada Belanda bahwa AS akan mengusulkan kepada Dewan Keamanan PBB agar menawarkan jasa-jasa baiknya kepada pihak yang bersengketa. Usul tersebut diterima oleh DK-PBB tanggal 25 Agustus 1947 yang selanjutnya menjadi keputusan PBB untuk membentuk suatu Committee of Good Offices (Komisi Jasa-jasa Baik) yang kemudian dikenal sebagai KTN (Komisi Tiga Negara).

KTN adalah suatu komite yang dibentuk oleh Dewan Keamanan PBB yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini dikenal sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), Komisi Tiga Negara (KTN), disebut begitu karena beranggotakan tiga negara, yaitu

1. Australia yang dipilih oleh Indonesia diwakili oleh Richard C. Kirby

2. Belgia yang dipilih oleh Belanda diwakili oleh Paul van Zeeland

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

3. Amerika Serikat sebagai pihak yang netral menunjuk Dr. Frank Graham.

Tugas KTN adalah

1. Menguasai secara langsung penghentian tembak menembak sesuai dengan resolusi PBB

2. Menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda.

3. Memasang patok-patok wilayah status quo yang dibantu oleh TNI

4. Mempertemukan kembali Indonesia dan Belanda dalam Perundingan Renville. Namun, Perundingan Renville ini mengakibatkan wilayah RI makin sempit.

Menghadapi sengketa Indonesia Belanda yang semakin memuncak, maka Komisi Tiga Negara mengambil beberapa langkah penyelesaian dengan mengusulkan kepada forum PBB melalui DK PBB untuk membahas dan mengambil tindakan yang dianggap perlu atas segaka kejadian di Indonesia. Namun demikian, usaha KTN melalui PBB menemui banyak perbedaan persepsi tentang keadaan yang terjadi di Indonesia, sehingga usul tersebut tidak mendapat tanggapan. Berkali-kali KTN mengirimkan laporan ke DK PBB tetapi tidak pernah mendapat jawaban.

KTN berusaha mempertemukan kedua pihak yang bersengketa ke meja perundingan. Akhirnya pada tanggal 8 Desember 1947 diadakan perundingan di atas kapal AS, Renville yang berlabuh di Tanjung Priok. Namun demikian, perundingan Renville ini mengalami jalan buntu dalam mencapai suatu persetujuan. KTN dalam pesan Natalnya tertanggal 26 Desember, mengajukan usul yang sangat dekat dengan keinginan Belanda. Usul tersebut diterima oleh pihak RI, sedangkan Belanda dalam jawabannya tertanggal 2 Januari 1948 hanya menerima sebagian usul KTN tersebut dan mangajukan usul 12 pasal.

Menanggapi 12 pasal usulan Belanda, KTN kembali mengambil langkah yaitu memasukkan usul 6 pasal tambahan, karena KTN memahami bahwa Indonesia tak mungkin menerima`12 pasal dari Belanda.

KTN berusaha meyakinkan Indonesia tentang usul KTN tersebut sambul memberikan peringatan tentang kemungkinan nagatif yang dapat terjadi apabila Indonesia menolak usulan tersebut. Wakil KTN, Graham meyakinkan Indonesia bahwa hanya dengan menerima tiga naskah persetujuan Renville itu, pemerintah Amerika Serikat akan melindungi RI dari setiap tindakan kekuasaan Belanda. Harus diakui bahwa KTN bekerja amat keras untuk menolong RI. Paling kurang dua dari tiga anggotanya adalah simpatisan Republik, sekalipun kekuatan mereka tidak begitu besar.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

Perundingan-perundingan lanjutan, kemudian dilaksanakan, seperti pada perundingan di bulan Maret 1948, akan tetapi mengalami jalan buntu karena kedua belah pihak tidak ada yang mau mengalah.

KTN tak henti-hentinya mencari jalan penyelesaian dengan Indonesia di Kaliurang, Belanda tiba-tiba melancarkan agresinya yang kedua. Sehingga PBB merasa amat tersinggung karena penyerangan itu dilakukan di depan hidung mereka (KTN), yang menyebabkan PBB mengeluarkan beberapa resolusi yang mengecam Belanda.

Setelah peristiwa Agresi Belanda II, forum PBB mulai gencar memperhatikan permasalahan yang ditangani KTN. Muncullah resolusi yang mengecam tindakan Belanda. Selama terbentuknya KTN hingga berakhirnya sengketa pada tanggal 27 Desember 1949, selama kurang lebih tiga setengah tahun, Dewan Keamanan telah mengadakan sidang mengenai sengketa itu lebih dari 90 kali.

Pada tanggal 28 Januari 1949, PBB mengeluarkan suatu resolusi yang menyerukan kepada kedua pihak untuk menghentikan tembak-menembak dan lain-lain yang berhubungan dengan sengketa tersebut. Akhirnya resolusi itu menetapkan perubahan KTN menjadi Komisi PBB untuk Indonesia, yaitu UNCI (United Nations Commission for Indonesia).

Tugas UNCI antara lain melaksanakan resolusi-resolusi DK-PBB, membuat saran-saran mengenai pemilihan umum, pengawasannya dan menjamin pemilihan umum secepat mungkin. Dengan adanya resolusi tanggal 28 Januari 1949 itu telah mengubah nama KTN menjadi UNCI, yang pada dasarnya merupakan kalanjutan dari perjuangan dan perpanjangan tangan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

4. Perjanjian Renville

Atas usulan KTN pada tanggal 8 Desember 1947 dilaksanakan perundingan antara Indonesia serta Belanada di atas kapal renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifudin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun serta Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangran Kartansupayaa serta Zulkarnain. Nyatanya wakil-wakil Belanda hampir semua berasala dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda. Dengan demikian Belanda masih meperbuat politik adu domba supaya Indonesia mudah dikuasainya. Seusai berakhir perdebatan dari tanggal 8 Desember 1947 hingga dengan 17 Januari 1948 maka diperoleh hasil persetujuan damai yang disebut Perjanjian Renville. Pokok-pokok isi perjanjian Renville, antara lain sebagai berikut :

Belanda masih berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia samapi kedaulatan Indonesia diserahkan terhadap Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk.

Republik Indonesia Serikat memiliki kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-Belanda.

Republik Indonesia bakal menjadi negara tahap dari RIS

Sebelum RIS terbentuk, Belanda bisa menyerahkan sebagain kekuasaannya terhadap pemerintahan federal sementara.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

Pasukan republik Indonesia yang berda di derah kantong haruns ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong merupakan daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis yang menghubungkan dua derah terdepan yang diduduki Belanda.

Perjanjian Renville ditandatangani kedua belah pihak pada tanggal 17 Januari 1948. adapun kemenyesalan yang diderita Indonesia dengan penandatanganan perjanjian Renville merupakan sebagai berikut :

Indonesia terpaksa menyetujui dibentuknya negara Indonesia Serikat melalaui masa peralihan.

Indonesia kehilangan sebagaian daerah kekuasaannya sebab grais Van Mook terpaksa wajib diakui sebagai daerah kekuasaan Belanda.

Pihak republik Indonesia wajib luar biasa seluruh pasukanya yang berda di derah kekuasaan Belanda serta kantong-kantong gerilya masuk ke daerah republic Indonesia.

Penandatanganan naskah perjanjian Renville memunculkan dampak kurang baik bagi pemerinthan republik Indonesia, antra lain sebagai berikut:

Wilayah Republik Indonesia menjadi makin sempit serta dikurung oleh daerah-daerah kekuasaan belanda.

Timbulnya reaksi kekerasan dikalangan para pemimpin republic Indonesia yang mengdampakkan jatuhnya cabinet Amir Syarifuddin sebab dianggap menjual negara terhadap Belanda.

Perekonomian Indonesia diblokade dengan cara ketata oleh Belanda

Indonesia terpaksa wajib luar biasa mundur kesatuan-kesatuan militernya dari daerah-daerah gerilya untuk kemudian hijrah ke wilayah Republik Indonesia yang berdekatan.

Dalam usaha memecah belah Negara kesatuan republic Indonesia, Belanda membentuk negara-negara boneka, semacam; negara Borneo Barat, Negara Madura, Negara Sumatera Timur, serta Negara jawa Timur. Negara boneka tersebut tergabung dalam BFO (Bijeenkomstvoor Federal Overslag)

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

5. Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948

Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah peristiwa penyerbuan ke wilayah Republik Indonesia oleh tentara Belanda. Pemerintahan Belanda di wilayah bekas Hindia Belanda bersikeras menyebut peristiwa penyerbuan tersebut sebagai Aksi Polisionil. Dengan istilah Aksi Polisionil, pihak Belanda ingin menegaskan bahwa peristiwa tersebut bukan merupakan peristiwa militer.

Sebuah peristiwa militer mengasumsikan adanya perang antara dua entitas negara yang berbeda. Padahal, bagi pihak Belanda, RI bukan merupakan sebuah negara, melainkan bagian dari wilayah yang dikuasai oleh Belanda. Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 dimaksudkan oleh Belanda untuk memusnahkan kekuatan bersenjata yang berada di pihak RI, yaitu TNI, yang dianggap sebagai ekstrimis atau bahkan kriminal.

Bagi Belanda, apa yang kita kenal sebagai Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah sebuah tindakan yang dilakukan oleh kekuatan polisi, yang dalam struktur kelembagaan negara manapun merupakan sebuah lembaga untuk menegakkan keamanan dan ketertiban sipil. Dengan demikian, TNI bagi Belanda adalah kriminalyang mengganggu ketertiban dan keamanan.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

Walaupun demikian, pada kenyataannya, kekuatan tentaralah yang dikerahkan untuk melaksanakan Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948. Kekuatan polisi yang digunakan oleh pihak Belanda secara praktis merupakan sebuah kekuatan militer karena dilengkapi dengan peralatan yang biasanya hanya dimiliki oleh kesatuan-kesatuan militer, antara lain kendaraan lapis baja dan alat-alat persenjataan berat.

Alasan lain yang sering dikemukakan Belanda untuk membenarkan Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah bahwa RI tidak sepenuhnya menjalankan Perjanjian Renville, yang ditandatangani pada 17 Januari 1947. Menurut perjanjian tersebut, RI harus mengosongkan kekuatan TNI dari Jawa Barat dan Jawa Timur. Perjanjian ini menyebabkan jatuhnya Kabinet Amir Syarifuddin.

Rakyat Indonesia yang hidup di sekitar tahun tersebut sering menyebut peristiwa tersebut sebagai zaman dorsetut (Doorstoot), atau kles (Clash). Pemerintah RI sendiri secara resmi menyebut peristiwa itu sebagai Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948. Angka II di belakang istilah tersebut menunjukkan bahwa Belanda sebelumnya juga pernah melancarkan serangan ke wilayah RI.

Dalam buku-buku sejarah resmi Indonesia, diceritakan bahwa pada tahun 1947 Belanda pernah melancarkan Agresi Militer Belanda I pada 1947 tak lama setelah penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Seperti istilah yang diberikan untuk Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, Belanda menyebut serangan ini sebagai Aksi Polisionil I.

Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948: Jalannya Peperangan

Walaupun pihak Belanda bersikeras menyebut peristiwa penyerbuan ke wilayah-wilayah RI sebagai Aksi Polisionil, dan dengan demikian kurang tepat bila disebut sebagai sebuah perang, perencanaan dan pelaksanaan penyerbuan tersebut adalah khas militer dan strategi dan taktik yang diterapkan menunjukkan bahwa penyerbuan tersebut memang merupakan sebuah perang.Pihak Belanda menyebut gerakan ofensif dalam Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 sebagai Operasi Kraai atau Operasi Gagak. Sasaran utamanya adalah ibu kota Republik Indonesia pada saat itu, yaitu Yogyakarta, dan wilayah-wilayah RI yang lain baik di Pulau Jawa maupun Pulau Sumatera. Karena perencanaan yang sangat matang dan pelaksanaan yang sempurna, operasi ini sering dianggap sebagai salah satu operasi militer paling berhasil di dunia.Pasukan Belanda yang melaksanakan Operasi Gagak atau Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 adalah gabungan dari personel KL (Koninlijk Leger/Tentara Kerajaan Belanda) dan KNIL (Koninlijk Nederlandsche Indische Leger/Tentara Kerajaan Hindia Belanda). Pemegang komando militer tertinggi pasukan Belanda adalah Jenderal Simon M. Spoor, yang juga memimpin Agresi Militer Belanda I pada 1947. Penyerbuan ke target utama Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, yaitu ibu kota Yogyakarta, dimulai dari Lapangan Terbang Maguwo (kini Bandar Udara Adisutjipto, sebelah timur kota Yogyakarta). Pasukan pertama yang menyerbu Lapangan Udara Maguwo terdiri dari 432 anggota pasukan KST. Seluruh anggota pasukan ini selamat.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

18 Desember 1948

Pukul 23:30: Radio Antara dari Jakarta melaporkan bahwa Dr. Beel, Wakil Tinggi Mahkota Belanda, akan mengucapkan pidato penting besok pagi.

19 Desember 1948

Pukul 02.00: Pasukan 1e para-compagnie (Pasukan para I) KST di Andir mulai memeproleh perlengkapan parasut masing-masing.

Pukul 03.30: Briefing akhir para komandan.

Pukul 03:45: Mayor Jendral Engles tiba di bandar udara Andir.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

Pukul 04:00: Jendral Spoor tiba. Pemimpin seluruh Operasi Gagak atau Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 ini melakukan inspeksi dan memberikan pidato singkat.

Pukul 04:20: Seluruh personel KST naik ke pesawat. Mereka diangkut dengan enambelas buah pesawat angkut Dakota. Komandan kelompok ini adalah Kapten Eekhout.

Pukul 04:30: Pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute penerbangan dari bandar udara Andir menuju Lapangan Udara Maguwo adalah melintasi Lautan Hindia.

Pukul 05:45: Lima pesawat Mustang dan sembilan pesawat Kittyhawk membombardir Lapangan Udara Maguwo dengan mitralyur dan bom.

Pukul 06:25: Para pilot pesawat pemburu melaporkan bahwa zona penerjunan telah dapat digunakan.

Pukul 06:45: Pasukan KST mulai diterjunkan. Pada saat yang sama, Dr. Beel mengucapkan sebuah pidato radio, di mana dia menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan Persetujuan Renville.

Penyerangan terhadap Lapangan Udara Maguwo, yang mengawali seluruh peperangan selama Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948, memang merupakan operasi militer yang sukses. Pertahanan Lapangan Udara tersebut dapat dikatakan tidak ada. Hanya terdapat beberapa pucuk senapan dan sebuah senapan anti pesawat kaliber 12,7. Senjata berat, yang tidak banyak jumlahnya, semua sedang rusak.

Secara keseluruhan, ada 150 personel TNI yang menjaga Lapangan Udara Maguwo. Pangkalan hanya dijaga oleh satu kompi TNI bersenjata lengkap, namun mereka bukan tandingan bagi serangan gabungan pasukan terjun payung yang terlatih dan skuadron pesawat pembom yang canggih. Hanya dalam waktu 25 menit, pertempuran telah selesai. KST tak kehilangan satu pun personelnya dalam fase awal Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 ini, sementara TNI kehilangan 128 personel.Pukul 07.10, Lapangan Udara Maguwo sepenuhnya dikuasai pasukan Belanda. Dua jam kemudian, seluruh personel KST telah mendarat. Dua jam berikutnya, Grup Tempur M, terdiri dari 2600 personel (termasuk dua batalyon dari Brigade T yang bersenjata berat, dipimpin Kolonel D.R.A. van Langen). Seluruh kekuatan Belanda yang telah dipersiapkan untuk Agresi Militer Belanda II 19 Desember 1948 pun mulai menyerbu Yogyakarta.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

Ibu kota Yogyakarta jatuh dengan mudah. Presiden Soekarno, Wakil Presiden Mohammad Hatta dan beberapa menteri ditawan dan diasingkan Belanda. Sebelum tertangkap, Presiden dan Wakil Presiden mengirimkan kawat kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang sedang berada di Sumatera. Kawat tersebut berisi perintah untuk membentuk sebuah pemerintahan darurat apabila Presiden dan Wakil Presiden tertawan musuh.

Panglima Besar Jenderal Soedirman mengeluarkan Perintah Kilat yang segera disebarkan kepada seluruh personel TNI untuk melakukan gerilya. Karena adanya Perintah Kilat ini, maka setiap tanggal 19 Desember diperingati sebagai Hari Infanteri atau Hari Juang Kartika TNI AD.

Moch Yusril Abdillah AP, Udzlifatin Nur Laili, Dio Ekky Pratama, M. Ananta Rizqullah

6. Peranan PDRI sebagai Penjaga Eksistensi RI

Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat kepada Syafruddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Sukarno mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi berdirinya Pemerintah

Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19 Desember 1948.

Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.

a. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri Pertahanan dan Menteri Penerangan.

b. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan, dan Menteri Agama.

c. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan Pemuda.

d. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.

e. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.

f. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.

g. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.

h. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.

i. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.

PDRI yang dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara ternyata berhasil memainkan peranan yang penting dalam mempertahankan dan menegakkan pemerintah RI. Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai kunci dalam mengatur arus informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Radiogram mengenai masih berdirinya PDRI dikirimkan kepada Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. PDRI juga berhasil menjalin hubungan dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India informasiinformasi tentang keberadaan dan perjuangan bangsa dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru. Terbukalah mata dunia mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Konflik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin terbukanya mata dunia terkait dengan konflik itu, menempatkan posisi Indonesia semakin menguntungkan. Untuk mempercepat penyelesaikan konflik ini maka oleh DK PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for Indonesia) atau Komisi PBB untuk Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini memiliki kekuasaan yang lebih besar dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas.

UNCI memiliki tugas dan kekuasaan sebagai berikut.

a. Memberi rekomendasi kepada DK PBB dan pihak-pihak yang bersengketa (Indonesia dan Belanda).

b. Membantu mereka yang bersengketa untuk mengambil keputusan dan melaksanakan resolusi DK PBB.

c. Mengajukan saran kepada DK PBB mengenai cara-cara yang dianggap terbaik untuk mengalihkan kekuasaan di Indonesia berlangsung secara aman dan tenteram. d. Membantu memulihkan kekuasaan pemerintah RI dengan segera.

e. Mengajukan rekomendasi kepada DK PBB mengenai bantuan yang dapat diberikan untuk membantu keadaan ekonomi penduduk di daerah-daerah yang diserahkan embali kepada RI.

f. Memberikan saran tentang pemakaian tentara Belanda di daerah-daerah yang dianggap perlu demi ketenteraman rakyat.

g. Mengawasi pemilihan umum, bila di wilayah Indonesia diadakan pemilihan.

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Ketika Presidan, Wakil presiden dan pembesar-pembesar Republik ditawan Belanda di Bangka, delegasi BFO (Bijzonder Federaal Overleg) mengunjungi mereka dan mengadakan perundingan. UNCI mengumumkan bahwa delegasi-delegasi Republik, Belanda dan BFO telah mecapai persetujuan pendapat mengenai akan diselenggarakannya KMB. UNCI juga berhasil menjadi mediator dalam KMB. Bahkan peranan itu juga tampak sampai penyerahan dan pemulihan kekuasaan Pemerintah RI di Indonesia. (Untuk bacaan lebih lengkap kamu dapat membaca buku Mestika Zed, Pemerintah Darurat Republik Indonesia: Sebuah Mata Rantai Sejarah yang Terlupakan).

7. Terus Memimpin Gerilya

Pasukan Tentara Belanda melakukan serangan penyerangan militer ke II melakukan serangan dari udara laut dan darat keseluruh wilayah nusantara. Pada tanggal 19 Desember 1948. Tujuanya ialah menguasai nusantara kembali dengan cara keseluruhan, dari pihak Indonesia tak mungkin melakukan perlawanan perang melewati perang stelling alias frontale corlog, disebabkan peralatan yang tak lebih dari sisi persenjataan yang tak lebih memadai untuk mempersiapkan alat alat itu tak memungkinkan bagi Indonesia sebab Indonesia yang baru membentuk Negara maka belum siap untuk mempersiapkan alat alat perang itu.

Pasukan Indonesia wajib mencari tutorial lain untuk menghadapi serangan pasukan belanda yaitu dengan taktik perang grilia.serangan tentara belanda itu datangnya sangat mendadak yang sangat susah dihadapi Indonesia dengan cara lansung.perang gredia ini dimasukan untuk menghadpi masa perang yang panjang dan juga menghindari korban yang tak sedikit tetapi kadang-kadang rakyat dan para tentara kami tak lebih memahami taktik grelia tersebut.

Perang gerilya adalah tekhnik mengepung dengan cara tak terkesan (infisibble).Perang gerilya adalah bentuk perang yang tak terbelit dengan cara resmi pada ketentuan perang.Saat itu perang gerilya dipimpin oleh Jenderal Sudirman.

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Perang gerilya bangsa Indonesia mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

Menghindari perang terbuka

Menghantam musuh dengan cara tiba-tiba

Menghilang ditengah lebatnya hutan alias kegelapan malam

Menyamar sebagai rakyat biasa.

Memasuki akhir tahun 1947, tentara rpiblik yang bergerilya mulai terorganisir dan mempunyai komando gerilya yang dinamis. Akibatnya belanda menjadi kesulitan untuuk menggempur tentara republik.setiap target yang diserang belanda,banyak yang telah kosong,namun pada saat yang tak disangka-sangka,tentara republik menyerang kedudukan Belandadengan cepat.Saat Belanda kembali menggencarkan serangan , kubu-kubu tentara republik telah kosong.

Dengan demikian,Belanda hanya menguasai kota-kota besar dan jalan raya. Seusai itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan bergerilya selagi delapan bulan ditempuh tak lebih lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sering Soedirman wajib ditandu alias digendong sebab dalam keadaan sakit keras. Seusai berpindah-pindah dari berbagai desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949. Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya maka seluruh Pulau Jawa bakal menjadi medan gerilya yang luas. Salah satu pasukan yang wajib melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi.

Pada tanggal 19 Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi gerombolan DI/TII. Dalam serangan itu Belanda sukses menawan presiden,wakil presiden,dan berbagai pejabat tinggi lainnya.Presiden Soekarno diterbangkan ke Prapat (Dekat Danau Toba) dan kemudian ke Bangka.Wakil presiden Hatta langsung ditawan di Bangka.Setekah itu Belanda menyiarkan kabar keseluruh dunia yang menyebutkan bahwa RI telah tak ada dan perlawanan TNI sama sekali tak berarti.Propaganda seperti ini jelas menyudutkan kedudukan RI di mata dunia Internasional. Kendati demikian,sebelum para pemimpin republik ditawan,Presiden Soekarno tetap semoat memimpin sidang kabinet dengan cara singkat.Hasil sidang kabinet tersebut yakni sebagai berikut :

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Pemerintahan Republik Indonesia memberikan amanah melalu radiogram terhadap Menteri Kemakmuran Mr.Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintahan Darurat Republik Indonesia(PDRI) dibukittinggi,Sumatra.

Presiden dan Wapres tetap tinggal didalam kota supaya tetap dekat dengan KTN dengan resiko ditawan Belanda.

Pemimpin TNI bakal menyingkir keluar kota untuk melaksanakan perang gerilya dengan membentuk wilayah komando di Jawa dan Sumatra.

Penyerangan Militer Belanda 2 ini mengajak reaksi dan kecaman dari dunia internasional.Belanda dinilai rutin mengganggu ketertiban dan perdamaian dunia.Belanda pun dianggap tak menghormati setiap persetujuan yang dibuatnya.Oleh sebab itu,Dewan Keamanan PBB mulai menuturkan penyerangan Belanda yang kedua ini.Dalam pertemuan tanggal 28 January 1949,Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi yang memerintahkan penghentian semua operasi militer Belanda dan penghentian semua aktivitas gerilya tentara Republik. Tidak hanya mendapat tekanan dari DK PBB, aksi militer Belanda kedua ini nyatanya tak didukung oleh negara boneka buatannya sendiri.Negara Indonesia Timur dan Negara Pasundah mencela dan memprotes Penyerangan militer kedua ini.Demikian juga Amerika Serikat yang dengan cara positif telah merubah pandangan atas Indonesia,segera memberikan tekanan politik terhadap Belanda.AS mengancam tak bakal memberikan bantuan dana dari program Marshall Plan terhadap Belanda. Dampak terus menerus memperoleh tekanan politik dari dunia internasional dan terus besarnya performa pasukan Republik melancarkan serangn gerilya,akhirnya Belanda menerima resoulusi DK PBB. Resoulusi DK PBB itu telah mengakhiri aksi Belanda dalam penyerangan militer keduanya.

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

8. Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng,[butuh rujukan] untuk membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.

a. Latar Belakang

Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi Belanda, serta tindakan sabotase lainnya. Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna memutarbalikkan propaganda Belanda. Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949, Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta. Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlunya meyakinkan dunia internasional terutama Amerika Serikat dan Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan (Pemerintah Darurat Republik Indonesia PDRI), ada organisasi TNI dan ada tentaranya. Untuk membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tidak bisa disembunyikan oleh Belanda, dan harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia) dan wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI dan para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang dapat berbahasa Inggris, Belanda, atau Perancis. Panglima Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut dan menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II dan III. Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer dan Sipil di wilayah Gubernur Militer III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing. Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng dan Letkol Wiliater Hutagalung, juga hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, dan pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu Gubernur Sipil, Mr. K.R.M.T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun, Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking, dan Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas bersama-sama yaitu: Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I, II dan III, Mengerahkan seluruh potensi militer dan sipil di bawah Gubernur Militer III, Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III, Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar, Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh AURI dan Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian Pertahanan. Tujuan utama dari ini rencana adalah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI dan dengan demikian juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat perwira-perwira yang berseragam TNI. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, dan khusus mengenai "serangan spektakuler" terhadap satu kota besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang secara spektakuler adalah Yogyakarta. Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai sasaran utama adalah: Yogyakarta adalah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda. Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB. Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tidak perlu persetujuan Panglima/GM lain dan semua pasukan memahami dan menguasai situasi/daerah operasi. Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih dalam menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen dan Bupati, selalu diikutsertakan dalam rapat dan pengambilan keputusan yang penting dan kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu, dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat. Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi dan tegap, yang lancar berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis dan akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, dan pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda dan Inggris. Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T.B. Simatupang yang bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar setelah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan. Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti Magelang, Semarang dan Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang - Yogya hanya sekitar 3 - 4 jam saja; Solo - Yogya, sekitar 4 - 5 jam, dan Semarang - Yogya, sekitar 6 - 7 jam. Magelang dan Semarang (bagian Barat) berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II dan III harus dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tidak dapat diperlambat. Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun, Bupati Sangidi dan Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan dan pasokan perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan dan memasok perbekalan (makanan dan minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur dan ditetapkan oleh pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan dan perawatan medis, diserahkan kepada PMI. Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar. Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total - sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1 - yang dikeluarkan oleh Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada Kesehatan Rakyat dan P.M.I. karena itu evakuasi para dokter dan rumah obat mesti menjadi perhatian. Walaupun dengan risiko besar, Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga adalah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia), mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter dan staf PMI kemudian banyak yang ditangkap oleh Belanda dan ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat selesai, Komandan Wehrkreise II dan para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar Sudirman dan Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto. Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita dan pemberian perintah, perintah yang sangat penting dan rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng), seorang mantri kesehatan, seorang sopir dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) dan beberapa anggota staf Gubernur Militer (GM) serta pengawal. Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tidak jauh dari markas Panglima Divisi, dan memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi dan tegap serta fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari, Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang. Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui pemancar radio AURI di Playen dan di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini. Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi dan rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari dan beristirahat pada siang hari, untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng dan masih sempat berenang di telaga yang ada di dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol. dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan antara tanggal 25 Februari dan 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, setelah koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian Pertahanan. Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25 Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06.00 pagi. Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait. Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara) pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah Wehrkreise III, setelah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

b. Jalannya Serangan Umum

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yang serentak dilakukan di seluruh wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan adalah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta koar-besaran oleh pasukan Brigade X yang diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang dan penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yang dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun dan Komandan Wehrkreis II Letkol Sarbini. Pada saat yang bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan fokus penyerangan adalah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dalam pertempuran agar tidak dapat mengirimkan bantuan ke Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota dan dalam jumlah kecil mulai disusupkan ke dalam kota. Pagi hari sekitar pukul 06.00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan dan timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono dan Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12.00 siang, sebagaimana yang telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur Serangan terhadap kota Solo yang juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di Solo sehingga tidak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yang sedang diserang secara besar-besaran Yogyakarta yang dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan gerilyawan Republik, dan sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11.00.

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

Muhammad Aris Ashari, Dendy Firmansyah, Dewi Lely, Rachelia Ghea Putri A., Aliffianti Putri Irfani

9. Belanda semakin terjepit dalam Persetujuan Roem-Royen

Serangan Umum 1 Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia bahwa propaganda Belanda itu tidak benar. RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel dan tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan pun menjadi macet.

Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas dan terus mendesak agar Belanda mau melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan perundingan dengan Indonesia. Ketika terlihat titik terang bahwa RI dan Belanda bersedia maju ke meja perundingan, maka atas inisiatif Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 14 April 1949 diselenggarakan perundingan di Jakarta di bawah pimpinan Merle Cochran, anggota Komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap berpendirian bahwa pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka perundingan-perundingan selanjutnya. Sebaliknya pihak Belanda menuntut agar lebih dulu dicapai persetujuan tentang perintah penghentian perang gerilya oleh pihak RI. Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei 1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut.

a. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag, guna mempercepat penyerahan edaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa syarat.

b. Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember 1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS. Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengkubowono IX untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta dari pihak Belanda. Pihak tentara dengan penuh kecurigaan menyambut hasil persetujuan itu, namun Panglima Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando kesatuan agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan. Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada wakil presiden Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri Sultan Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan.

Aisyah Quinta Evelina, Putri Indrawati Cahyani, Nur Laili Nazami, Lukman Harun, Dinda Putri

10. Peristiwa Jogja Kembali

Kota Jogjakarta pernah menjadi Ibu Kota RI selama hampir 2 tahun. Perpindahan Ibu Kota Republik Indonesia dari Jakarta ke Yogyakarta pada saat itu dikarenakan keamanan Jakarta sebagai ibu kota Republik Indonesia saat itu terancam. Belanda bahkan bisa menduduki Jakarta 29 September 1945. Kota Yogyakarta resmi menjadi Ibu Kota Republik Indonesia pada saat itu pada tanggal 4 Januari 1946. Peristiwa Yogya Kembali sangat erat kaitannya dengan berbagai peristiwa dalam mempertahankan kemerdakaan RI. Dimulai dari peristiwa Agresi Militer Belanda Kedua sampai Serangan Umum 1 Maret 1949. Berikut kronologis singkat dari peristiwa Yogya Kembali.

1) Pada tanggal 18 Desember 1948 : Dr. Beel menyatakan tidak terikat lagi dengan perjanjian Renville.

2) 19 Desember 1948 : Belanda melancarkan agresinya yang kedua dengan menggempur ibu kota RI, Yogyakarta. Dalam peristiwa ini, pemimpin RI ditawan oleh Belanda dan Yogyakarta dikuasai oleh Belanda.

3) 19 Desember 1948 : Didirikan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukittinggi. PDRI adalah pemerintahan Republik Indonesia periode 22 Desember 1948 - 13 Juli 1949, dipimpin oleh Syafruddin Prawiranegara yang disebut juga dengan Kabinet Darurat.

Aisyah Quinta Evelina, Putri Indrawati Cahyani, Nur Laili Nazami, Lukman Harun, Dinda Putri

4) 23 Desember 1948 : PDRI bersedia memerintahkan penghentian tembak menembak dan memasuki meja perundingan.

5) 28 Januari 1949 : Belanda tidak mengindahkan Resolusi DK PBB tentang penghentian tembak menembak karena yakin RI hanya tinggal namanya saja.

6) 1 Maret 1949 : TNI melakukan serangan besar-besaran terhadap Belanda di Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal dengan nama Serangan Umum 1 Maret 1949 yg berlangsung selama 6 jam. Pasukan Belanda dapat ditarik dari Yogyakarta.

7) 7 Mei 1949 : Diadakan Persetujuan Roem-Royen oleh ketua delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem dengan ketua delegasi Belanda Dr. Van Royen. Salah satu pernyataan dari Dr. Van Royen dalam persetujuan ini adalah Belanda menyetujui kembalinya Pemerintah RI ke Yogyakarta.

8) 29 Juni 1949 : Ditariknya tentara pendudukan Belanda dari ibukota RI Yogyakarta

9) 6 Juli 1949 : Setelah kota Yogyakarta dikuasai penuh oleh TNI, barulah para pemimpin RI kembali ke Yogyakarta.

10) 10 Juli 1949 : Sedangkan Panglima Besar Jendral Sudirman baru masuk ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli 1949. Peristiwa ini dikenal dengan nama Peristiwa Yogya Kembali.

11. Konferensi Inter-Indonesia

Konferensi Inter Indonesia merupakan konferensi yang berlangsung antara negara Republik Indonesia dengan negara-negara boneka atau negara bagian bentukkan Belanda yang tergabung dalam BFO (Bijenkomst Voor Federal Overslag) Konferensi Inter Indonesia berlangsung di Yogyakarta pada tanggal 19-22 Juli 1949 yang dipimpin oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Karena simpati dari negara-negara BFO ini maka pemimpin-pemimpin Republik Indonesia dapat dibebaskan dan BFO jugalah yang turut berjasa dalam terselenggaranya Konferensi Inter-Indonesia. Hal itulah yang melatarbelakangi dilaksanaklannya Konferensi Inter-Indonesia. Soekarno menyebut konferensi ini sebagai trace baru bagi arah perjuangan Indonesia.Konferensi ini banyak didominasi perbincangan mengenai konsep dan teknis pembentukan RIS, terutama mengenai susunan kenegaraaan berikut hak dan kewajiban antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Hasil kesepakatan dari Konferensi Inter-Indonesia adalah:1. Negara Indonesia Serikat disetujui dengan nama Republik Indonesia Serikat (RIS) berdasarkan demokrasi dan federalisme (serikat).2. RIS akan dikepalai oleh seorang Presiden dibantu oleh menteri-menteri yang bertanggung jawab kepada Presiden.3. RIS akan menerima penyerahan kedaulatan, baik dari Republik Indonesia maupun dari kerajaan Belanda.4. Angkatan perang RIS adalah angkatan perang nasional, dan Presiden RIS adalah Panglima Tertinggi Angkatan Perang RIS.5. Pembentukkan angkatan Perang RIS adalah semata-mata soal bangsa Indonesia sendiri. Angkatan Perang RIS akan dibentuk oleh Pemerintah RIS dengan inti dari TNI dan KNIL serta kesatuan-kesatuan Belanda lainnya.Sidang kedua Konferensi Inter Indonesia di selenggrakan di Jakarta pada tanggal 30 Juli dengan keputusan: 1. Bendera RIS adalah Sang Merah Putih2. Lagu kebangsaan Indonesia Raya3. Bahasa resmi RIS adalah Bahsa Indonesia4. Presiden RIS dipilih wakil RI dan BFO. Pengisian anggota MPRS diserahkan kepada kebijakan negara-negara bagian yang jumlahnya enam belas negara. Kedua delegasi juga setuju untuk membentuk panitia persiapan nasional yang bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berkaitan dengan pelaksanaan Konferensi Meja Bundar.

Aisyah Quinta Evelina, Putri Indrawati Cahyani, Nur Laili Nazami, Lukman Harun, Dinda Putri

Aisyah Quinta Evelina, Putri Indrawati Cahyani, Nur Laili Nazami, Lukman Harun, Dinda Putri

Aisyah Quinta Evelina, Putri Indrawati Cahyani, Nur Laili Nazami, Lukman Harun, Dinda Putri

12. KMB dan Pengakuan Kedaulatan

Konferensi Meja Bundar (KMB) merupakan sebuah perundingan tindak lanjut dari semuaperundingan yang telah ada. KMB dilaksanakan pada 23 Agustus 1949 sampai 2November 1949 di Den Haag, Belanda. Perundingan ini dilakukan untuk meredam segalabentuk kekerasan yang dilakukan oleh Belanda yang berujung kegagalan pada pihakBelanda. KMB adalah sebuah titik terang bagi bangsa Indonesia untuk memperolehpengakuan kedaulatan dari Belanda, menyelesaikan sengketa antara Indonesia-Belanda,dan berusaha menjadi negara yang merdeka dari para penjajah.

Suasana KMB

Konferensi Meja Bundar diikuti oleh perwakilan dari Indonesia, Belanda, danperwakilan badan yang mengurusi sengketa antara Indonesia-Belanda. Berikut ini paradelegasi yang hadir dalam KMB:a. Indonesia terdiri dari Drs. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof.Dr. Mr. Soepomo.b. BFO dipimpin Sultan Hamid II dari Pontianak.c. Belanda diwakili Mr. van Maarseveen.d. UNCI diwakili oleh Chritchley.

Setelah melakukan perundingan cukup lama, maka diperoleh hasil dari konferensi tersebut. Berikut merupakan hasil KMB: a. Belanda mengakui RIS sebagai negara yang merdeka dan berdaulat.b. Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat-lambatnya tanggal 30 Desember 1949.c. Masalah Irian Barat akan diadakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan kedaulatan RIS.d. Antara RIS dan Kerajaan Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia Belanda yang dikepalai Raja Belanda.e. Kapal-kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan diserahkan kepada RIS.f. Tentara Kerajaan Belanda selekas mungkin ditarik mundur, sedang TentaraKerajaan Hindia Belanda (KNIL) akan dibubarkan dengan catatan bahwa paraanggotanya yang diperlukan akan dimasukkan dalam kesatuan TNI.

Konferensi Meja Bundar memberikan dampak yang cukup menggembirakan bagibangsa Indonesia. Karena sebagian besar hasil dari KMB berpihak pada bangsa Indonesia,sehingga dampak positif pun diperoleh Indonesia. Berikut merupakan dampak dari Konferensi Meja Bundar bagi Indonesia:a. Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia.b. Konflik dengan Belanda dapat diakhiri dan pembangunan segera dapat dimulai.c. Irian Barat belum bisa diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat.d. Bentuk negara serikat tidak sesuai dengan cita-cita ProklamasiKemerdekaan 17 Agustus 1945. Selain dampak positif, Indonesia juga memperoleh dampak negatif, yaitu belum diakuinya Irian Barat sebagai bagian dari Indonesia. Sehingga Indonesia masih berusaha untuk memperoleh pengakuan bahwa Irian Barat merupakan bagian dari NKRI.

Aisyah Quinta Evelina, Putri Indrawati Cahyani, Nur Laili Nazami, Lukman Harun, Dinda Putri

13. Pembentukan Republik Indonesia Serikat

Salah satu keputusan KMB di Den Haag Belanda adalah Indonesia menjadi negara serikat dengan nama Republik Indonesia Serikat. untuk membentuk RIS tersebut, pada tanggal 14 Desember 1949 para wakil pemerintah yang akan menjadi bagian dari RIS, NIP, dan DPR mengadakan sidan di jakarta. sidang tersebut berhasil menyetujui naskah konstitusi untuk RIS yang dikenal sebagai UUD RIS. pada tanggal 16 Desember 1949 diadakan sidang pemilihan presiden RIS di gedung Kepatihan, Yogyakarta oleh wakil dari enam belas negara bagian. sidang itu dipimpin oleh ketua dan wakil ketua panitia persiapan nasional, Muh.Roem dan Anak Agung Gede Agung. calon presiden RIS adalah Ir. Sukarno sebab ketokohannya paling populer, baik diwilayah RI maupun di lingkungan BFO.

Pada tanggal 17 Desember 1949 diadakan upacara pelantikan presiden RIS di Bangsal Sitinggil, Keraton Yogyakarta. setelah dilantik, presiden sukarno menunju empat formatur kabinet, yaitu Drs. Moh. Hatta, Sri Sultan Hamengku Buwana IX, Anak Agung Gede Agung, dan Sultan Hamid Algadrie. Drs. Moh. Hatta terpilih menjadi perdana menteri yang akan memimpin Kabinet RIS. berdasarkan UUD RIS, maka DPR-RIS terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Negara yang disebut Senat. jumlah anggota DPR ada 150 orang, terdiri atas 50 orang dari RI dan 100 orang dari lingkungan BFO. jumlah anggota senat ada 32 orang. Setiap negara bagian mengirimkan dua orang wakilnya. Kepala Negara RIS adalah Presiden. Presiden RIS berstatus sebagai presiden konstitusional sehingga tidak mempunyai kekuasaan untuk memerintah. Kekuasaan pemerintahan dipegang oleh perdana menteri.

Presiden hanya mempunyai wewenang untuk mengesahkan hasil putusan kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri. Dengan demikian, sistem demokrasi yang diterapkan pada RIS adalah demokrasi Liberal seperti yang diterapkan di Belanda dan RI sejak Sultan Syahrir berkuasa.

Alfredo Eka Wibowo, Endah Nurvitri, Oktavia Margaretha, Novie Setya R

14. Penyerahan dan Pengakuan Kedaulatan

Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda adalah peristiwa di mana Belanda akhirnya mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi kemerdekaan Indonesia, bukan tanggal 27 Desember 1949 saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Pengakuan ini baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi kemerdekaan Indonesia, oleh Menlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan harinya, Bot juga menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta. Langkah Bot ini mendobrak tabu dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah. Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag. Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Hukum Ernst Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda untuk Indonesia.[1] Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam. Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal. Sebelumnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat ingin menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun RI ke-50. Tapi keinginan ini ditentang PM Wim Kok. Akhirnya Beatrix terpaksa mampir di Singapura dan baru memasuki Indonesia beberapa hari setelah peringatan proklamasi.

Alfredo Eka Wibowo, Endah Nurvitri, Oktavia Margaretha, Novie Setya R

Pernyataan Pemerintah Belanda di Den Haag

Menlu Ben Bot menegaskan, kehadirannya pada upacara Hari Ulang Tahun RI ke-60 dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral bahwa Indonesia merdeka pada 17-8-1945. Atas nama Belanda, ia juga meminta maaf.

Menlu Belanda Bernard Bot menyampaikan hal itu dalam upacara peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Hindia Belanda, hari Senin 15 Agustus 2005 di kompleks Monumen Hindia, Den Haag. Pernyataan Bot itu juga disaksikan Ratu Beatrix, yang hadir meletakkan karangan bunga.

Bot secara eksplisit mengungkapkan bahwa sikap dan langkahnya tersebut telah mendapat dukungan kabinet. "Saya dengan dukungan kabinet akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa di Belanda ada kesadaran bahwa kemerdekaan Indonesia de facto telah dimulai 17-8-1945 dan bahwa kita 60 tahun setelah itu, dalam pengertian politik dan moral, telah menerima dengan lapang dada," demikian Bot.

Pengakuan secara resmi soal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 selama ini sulit diterima para veteran, sebab mereka ketika itu setelah tanggal tersebut dikerahkan untuk melakukan Agresi Militer. Baru kemudian pada 27 Desember 1949 penyerahan kedaulatan dari Belanda ke Indonesia secara resmi diteken.

Menurut menteri yang lahir pada 21 November 1937 di Batavia (kini Jakarta), itu sikap menerima tanggal kemerdekaan Indonesia pada 17-8-1945 dalam pengertian moral juga berarti bahwa dirinya ikut mendukung ungkapan penyesalan mengenai perpisahan Indonesia-Belanda yang menyakitkan dan penuh kekerasan. "Hampir 6.000 militer Belanda gugur dalam pertempuran, banyak yang cacat atau menjadi korban trauma psikologis. Akibat pengerahan militer skala besar-besaran, negeri kita juga sepertinya berdiri pada sisi sejarah yang salah. Ini sungguh kurang mengenakkan bagi pihak-pihak yang terlibat," tandas Bot.

Alfredo Eka Wibowo, Endah Nurvitri, Oktavia Margaretha, Novie Setya R

Doktor hukum lulusan Harvard Law School itu melukiskan berlikunya pengakuan seputar tanggal kemerdekaan dan hubungan Belanda-Indonesia itu seperti orang mendaki gunung. "Baru setelah seseorang berdiri di puncak gunung, orang dapat melihat mana jalan tersederhana dan tersingkat untuk menuju ke puncak. Hal seperti itu juga berlaku bagi mereka yang terlibat pengambilan keputusan pada tahun 40-an. Baru belakangan terlihat bahwa perpisahan Indonesia-Belanda terlalu berlarut-larut dan dengan diiringi banyak kekerasan militer melebihi seharusnya. Untuk itu saya atas nama pemerintah Belanda akan menyampaikan permohonan maaf di Jakarta," tekad Bot.

"Dalam hal ini saya mengharapkan pengertian dan dukungan dari masyarakat Hindia (angkatan Hindia Belanda), masyarakat Maluku di Belanda dan para veteran Aksi Polisionil," demikian Bot.

Pernyataan Pemerintah Belanda di Jakarta

Selain itu Belanda sesalkan siksa Rakyat Indonesia pasca 17-8-1945, akhirnya mengakui Indonesia merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda pun mengakui tentaranya telah melakukan penyiksaan terhadap rakyat Indonesia melalui agresi militernya pasca proklamasi.

"Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas terjadinya semuanya ini," begitulah kata Menlu Bernard Bot dalam pidato resminya kepada pemerintah Indonesia yang diwakili Menlu Hassan Wirajuda, di ruang Nusantara, Gedung Deplu, Jl Pejambon, Jakarta Pusat. "Fakta adanya aksi militer merupakan kenyataan sangat pahit bagi rakyat Indonesia. Atas nama pemerintah Belanda saya ingin menyatakan penyesalan sedalam-dalamnya atas semua penderitaan ini," kata Menlu Belanda Bernard Bot kepada wartawan dalam pidato kenegaraan tersebut, hari Selasa 16 Agustus 2005.

Bot tidak menyampaikan permintaan maaf secara langsung, hanya berupa bentuk penyesalan. Ketika ditanya mengenai hal ini, Bot menjawab diplomatis. "Ini masalah sensitif bagi kedua negara. Pernyataan ini merupakan bentuk penyesalan yang mendalam. Kami yakin pemerintah Indonesia dapat memahami artinya," kilah Bot.

Alfredo Eka Wibowo, Endah Nurvitri, Oktavia Margaretha, Novie Setya R

Bot mengakui, kehadiran dirinya merupakan pertama kali sejak 60 tahun lalu di mana seorang kabinet Belanda hadir dalam perayaan kemerdekaan. "Dengan kehadiran saya ini, pemerintah Belanda secara politik dan moral telah menerima proklamasi yaitu tanggal RI menyatakan kemerdekaannya," tukas pria kelahiran Batavia (Jakarta) ini.

Pasca proklamasi, lanjut Bot, agresi militer Belanda telah menghilangkan nyawa rakyat Indonesia dalam jumlah sangat besar. Bot berharap, meski kenangan tersebut tidak pernah hilang dari ingatan rakyat Indonesia, jangan sampai hal tersebut menjadi penghalang rekonsiliasi antara Indonesia dan Belanda.

Meski menyesali penjajahan itu, Belanda tidak secara resmi menyatakan permintaan maaf. Indonesia pun tidak secara resmi menyatakan memaafkan Belanda atas tiga setengah abad penjajahannya.

Pidato ini dilakukan dalam rangka pesan dari pemerintah Belanda terkait peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 RI. Turut hadir Menlu Hassan Wirajuda, Jubir Deplu Marty Natalegawa, dan sejumlah mantan Menlu. Dari pihak Belanda, hadir Dubes Belanda untuk Indonesia dan disaksikan para Dubes dari negara-negara sahabat.

Sikap Pemerintah Indonesia

Menlu Hassan pun hanya mengatakan,"Kami menerima pernyataan penyesalan dari pemerintah Belanda". Saat ditanya apakah dengan menerima penyesalan dari pemerintah Belanda berarti Indonesia memaafkan kejahatan Belanda semasa penjajahan dulu, Hassan tidak membenarkan dan tidak membantahnya. "Kita sudah dengar sendiri dari Menlu Bot. Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda," tutur Hassan.

Alfredo Eka Wibowo, Endah Nurvitri, Oktavia Margaretha, Novie Setya R

Acara yang dimulai pukul 19.30 ini berakhir pada pukul 20.15 WIB. Usai menyampaikan pidatonya, kedua Menlu ini saling memotong tumpengan nasi kuning sebagai tanda dimulainya babak baru hubungan Indonesia dan Belanda

15. Kembalinya ke Negara Kesatuan

Belum lama sesudah pelantikan presiden dan berdirinya Republik Indonesia Serikat {RIS}, muncul suatu peristiwa politik baru, yaitu mulai terdengar suara-suara dari rakyat di berbagai pelosok tanah air yang menyatakan ketidakpuasannya denga pemerintah RIS. Sebagian besar dari seluruh rakyat menentang negara-negara boneka dan daerah-daerah otonom yang diciptakan oleh gubernur jenderal Van Mook dan Van de Plas sebagai pemimpin NICA {Netherland Indies Civil Administration} yang sekaligus sebagai otak dari politik devide et impera. Alasan rakyat Indonesia yang menghendaki pembubaran negara Republik Indonesia Serikat {RIS} dan pengembalian ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia {NKRI} sesuai dengan Proklamasi 17 Agustus 1945, antara lain :

1. Konstitusi RIS yang membentuk negara federal menimbulkan perpecahan bangsa.

2. Beberapa negara bagian dan rakyat menghendaki Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan

3. Sebagian besar para pemimpin negara federal tidak memperjuangkan rakyat, tetapi lebih memihak kepada Belanda

4. Rakyat Indonesia merasa tidak puas dengan hasil perundingan KMB {Konferensi Meja Bundar} yang masih memberi peluang pada pihak Belanda atas Indonesia

5. Bentuk negara federal di Indonesiaadalah bentukan kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945

6. Anggota kabinet sebagian besar adalah pendukung unitarisme sehingga gerakan untuk membubarkan negara federal dan mengembalikan bentuk negara Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia {NKRI}

Alfredo Eka Wibowo, Endah Nurvitri, Oktavia Margaretha, Novie Setya R

7. Pembentukan negara-negara bagian {federal} di Indonesia tidak berdasarkan konsepsi