KEⅣIENTERIAN LINGKUNGAN HIDUP DAN KEⅡ UTANANDIREKTORAT JENDERAL
KONSERVASI SUⅣ質BER DAYA ALAPIIDAN EKOSISTEⅣ 質
KEPCTCSAN DIREKTdR」 ENDERALKONSERVASISCMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
NOMOR:SK.3ァ ]洋1応31た五一ふ亜 ノ[:015
TENTANG
ZONASITAMAN NASIONAL BANTIMdRdNG BCLCSARAdNG
DIREKTUR」ENDERAL PERLINDCNGAN HdTAN DAN KONSERVASIALAM,
Menimbang : a.
Mengingat : 1.
b.
C.
bahwa dengan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK. 3g8/Menhut-ll/20)4 tanggal 18 Oktober 2004, telah diubah fungsi kawasan hutan pada
kelompok hutan Bantimurung Bulusaraung seluas-r 43.750 (empat puluh
tiga ribu tujuh ratus lima puluh) hektar, yang terdiri dari cagar alam seluas t10.282,65 (sepuluh ribu dua ratus delapan puluh dua koma enam puluhlima) hekar, taman wisata alam seluas 1- t.624,25 (seribu enam ratus duapuluh empat koma dua puluh lima) hektar, hutan lindung seluas -f
27.343,10 (dua puluh satu ribu tiga ratus empat puluh tiga koma sepuluh)
hektar, hutan produksi terbatas seluas 'r 145 (seratus emPat puluh lima)hektar dan hutan produksi tetap seluas -r 10.355 (sepuluh ribu tiga ratuslima puluh lima) hel(ar yang terletak di Kabupaten Maros dan Pangkep,
Provinsi Sulawesi Selatan, menjadi Taman Nasional BantimurungBulusaraung;
bahwa dengan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor SK. 5BllY-SEf/2}LZ tanggal 4 April 2012 telahditetapkan Zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung;bahwa dengan hasil evaluasi dan mempertimbangkan kondisi dinamikayang terjadi di dalam maupun di luar Taman Nasional BantimurungBulusaraung, maka perlu dilakukan perubahan zonasi Taman Nasional
Bantimurung Bulusaraung sebagaimana dimaksud pada huruf b;
bahwa Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sesuai surat
S.806/BTNBABUL-1/2015 tanggal 11 Desember 2015, mengusulkan revisi
Zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung kepada Direktur JenderalKonservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem;
bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a,
huruf b, huruf c dan huruf d, perlu ditetapkan Keputusan Direktur JenderalKonservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem tentang Zonasi TamanNasional Bantimurung Bulusaraung.
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi SumberdayaAlam Hayati dan Ekosistemnya;
Undang-undang Nomor 4t Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-undang Nomor 19 Tahun 2004 tentangPenetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 1
Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 4l Tahun
1999 tentang Kehutanan, menjadi Undang-undang;
Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2010 tentang Pengusahaan
Pariwisata Alam di Suaka Margasatwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya
dan Taman Wsata AIam;4. Peraturan.....
d.
e.
2
3.
Menetapkan
Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam;
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 56/Menhut-lll2}O1 tentang PedomanZonasiTaman Nasional;
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.03/Menhut-lll2007 sebagaimanatelah diubah dengan Peraturan Menteri Kehutanan P.52lMenhut-ll/2009tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional;Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.18/MenLHK-ll/2}t5 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Lingkungan Hidupdan Kehutanan.
MEMUTUEKAII:
KEPUTUS${ DIREKTUR JENDEML KONSERVASI SUMBER DAYA AIA/VIDAN EKOSISTEM TENTANG ZQNASI TAMAN NASIONAL BAI'{TIMURUNGBULUSARAUNG.
Mengesahkan Zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung seluas-{- 43.750 (empat puluh tiga ribu tujuh ratus lima puluh) hektar,sebagaimana peta lampiran keputusan ini.
Zonasi Taman Nasional sebagaimana dimaksud pada Diktum KESATU,sebagaimana buku lampiran dan merupakan bagian yang tidak terpisahkandari keputusan ini.
Menugaskan Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung untukmenindaklanjuti keputusan ini dalam mengelola kawasan.
Dengan ditetapkannya Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutandan Konservasi Alam ini, maka Keputusan Direktur Jenderal PHKANomor SK. 5BllV-S{f/2012 tanggal 4 April 2012 tentang Zonasi TamanNasional Bantimurung Bulusaraung, dinyatakan dicabut dan tidak berlaku.
KELIMA Keputusan ini berlaku pada tanggal ditetapkan.
di
:31 Dette菫ねer 2015
R FA 1,MoSc1982021 001
Salinan Keputusan ini disampaikan kepada Yth. :
1. MenteriLingkungan Hidup dan Kehutanan;2. Direktur Jenderal/l(epala Badan lingkup Lingkungan Hidup dan Kehutanan;3. Gubernur Sulawesi Selatan;4. Sekretaris/Direktur lingkup Direktorat Jenderal KSDAE;5. BupatiMaros;6. Bupati Pangkajene dan Kepulauan;7. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Sulawesi Selatan;8. Kepala Bappeda ProvinsiSulawesi Selatan;9. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Maros;
10. Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan;
11. Kepala Bappeda Kabupaten Maros;12. Kepala Bappeda Kabupaten Pangkajene dan Kepulauan;13. Kepala BalaiTaman Nasional Batimurung Bulusaraung.
4.
5.
6.
一/
KESATC
KEDGヘ
KETIGA
KEEMPAT
K E M E N T E R I A N L I N G K U N G A N H I D U P D A N K E H U T A N A N DIREKTORAT JENDERAL KONSERVASI SUMBER DAYA ALAM DAN EKOSISTEM
BALAI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG Jl. Poros Maros Bone Km. 12 Bantimurung, Telp. (0411) 3880252, Fax. (0411) 3880139
Maros - Sulawesi Selatan 90561
Nomor Laporan: 192/LAP/KEU/2015
REVISI ZONASI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
Maros, Desember 2015
ii
REVISI ZONASI TAMAN NASIONAL BANTIMURUNG BULUSARAUNG
Dinilai di : Jakarta Pada tanggal : Oleh : Direktur Pemolaan dan Informasi Konservasi Alam, Ir. LISTYA KUSUMA WARDHANI, M.Sc NIP. 19590520 198501 2 001
Disusun di : Maros Pada tanggal : November 2015 Oleh : Plt. Kepala Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Ir. DODY WAHYU KARYANTO, MM NIP. 19590101 198803 1 002
Disahkan di : Jakarta Pada tanggal : Oleh : Direktur Jenderal Konservasi Sumber Daya dan Ekosistem, Dr. Ir. TACHRIR FATHONI, M.Sc. NIP. 19560929 198202 1 001
iii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat
hidayah-Nya sehingga dokumen Revisi Zonasi Taman Nasional (TN)
Bantimurung Bulusaraung ini telah selesai disusun.
Revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung disusun sebagai amanat
Undang-Undang RI Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya, dimana disebutkan bahwa taman nasional
adalah kawasan pelestarian alam yang dikelola dengan sistem zonasi.
Penyusunan Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung mengacu pada Peraturan
Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman
Nasional, serta dengan memperhatikan kaidah-kaidah teknis dan keilmuan
dalam praktek pengelolaan kawasan konservasi.
Sistem zonasi menjadi penting peranannya dalam pengelolaan taman
nasional karena merupakan “rules of the game” atau “management order”.
Penataan zonasi pada kawasan taman nasional diperlukan dalam rangka
pengelolaan kawasan dan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya
secara efektif guna memperoleh manfaat yang optimal dan lestari. Zonasi TN.
Bantimurung Bulusaraung dimaksudkan untuk menyediakan salah satu
perangkat lunak pengelolaan kawasan sebagai pedoman dan arahan dalam
perencanaan dan evaluasi, pengembangan serta pemanfaatan sumber daya
alam hayati dan ekosistemnya secara efektif dan optimal.
Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung telah melalui proses yang
panjang. Penyusunannya telah dirintis sejak tahun 2007 dengan mengumpulkan
dan mengkompilasi data dan informasi yang akurat, valid dan reliable, baik data
primer maupun data dan informasi sekunder. Pada akhirnya, hasil analisis
spasial dan rancangan zonasi dapat diselesaikan pada tahun 2009. Dalam tahun
2010 hingga 2011, dilaksanakan konsultasi publik rancangan zonasi secara
berjenjang dari tingkat desa hingga ke tingkat provinsi. Konsultasi publik
menghasilkan berbagai masukan dan koreksi dari pihak-pihak terkait, yang
sebagian besar digunakan untuk penyempurnaan zonasi yang telah disusun.
Pada tahun 2012, TN. Bantimurung Bulusaraung telah memiliki sistem zonasi
sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi
iv
Alam Nomor: SK.58/IV-SET/2012 tanggal 04 April 2012. Seiring dengan
perkembangan yang ada baik kondisi faktual di lapangan maupun kebijakan
dalam rangka optimalisasi pengelolaan maka dilakukan revisi zonasi.
Besar harapan kami bahwa revisi zonasi ini bermanfaat adanya, serta
dipedomani dengan sungguh-sungguh dalam pengelolaan TN. Bantimurung
Bulusaraung. Selain oleh pemangku dan pengelola kawasan, revisi zonasi ini
juga diharapkan dapat dipatuhi secara konsisten oleh pihak-pihak yang
berkepentingan terhadap kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung. Semoga
dengan penerapan sistem zonasi ini, kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung
dapat memberikan manfaat yang optimal dan lestari bagi kepentingan ekologi,
ekonomi dan sosial secara serasi dan seimbang.
Kepada para pihak yang telah turut berpartisipasi dalam penyusunan
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung ini dari awal hingga akhir, kami
sampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan atas segala jerih payahnya,
kesediaannya untuk meluangkan banyak waktu, serta keikhlasan sumbangan
pemikirannya.
Maros, November 2015 Plt. Kepala Balai,
Ir. Dody Wahyu Karyanto, MM NIP. 19590101 198803 1 002
v
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ............................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN ................................................................. ii KATA PENGANTAR ............................................................................ iii DAFTAR ISI ........................................................................................ v DAFTAR GAMBAR ............................................................................. vii DAFTAR TABEL ................................................................................. viii DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................... ix TIM PENYUSUN ................................................................................... x
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang .................................................................. 1 1.2. Tujuan dan Sasaran .......................................................... 3 1.3. Ruang Lingkup .................................................................. 3 1.4. Batasan Pengertian ............................................................ 3
II. LANDASAN PEMIKIRAN 2.1. Kebijakan Umum Pengelolaan Taman Nasional ................. 6 2.2. Dasar Hukum Zonasi Taman Nasional ............................... 7 2.3. Metode Revisi Zonasi ......................................................... 18
III. DESKRIPSI TAMAN NASIONAL 3.1. Sejarah Kawasan ............................................................... 22 3.2. Karakteristik Penunjukan .................................................... 29 3.3. Letak Kawasan ................................................................... 32 3.4. Topografi ............................................................................ 33 3.5. Geologi dan Hidrologi ......................................................... 33 3.6. Iklim ................................................................................... 34 3.7. Bioekologi ........................................................................... 35 3.8. Sosial, Ekonomi dan Budaya .............................................. 37 3.9. Permasalahan Kawasan ..................................................... 45
IV. HASIL EVALUASI ZONASI 4.1. Pengembangan Ruas Jalan Nasional Maros-Ujung
Lamuru-Watampone ........................................................... 48 4.2. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air Mata Air Ulu Ere, Mata
Air Leang Paniki, Sungai Galung-galung dan Sungai Balanglohe ......................................................................... 49
4.3. Pemanfaatan Tradisional Ammarae .................................... 51 4.4. Perlindungan dan Pengawetan Ekosistem Hutan Tombolo 53 4.5. Konsultasi Publik ................................................................ 54
V. DESKRIPSI ZONASI 5.1. Zona Inti ............................................................................. 56 5.2. Zona Rimba ........................................................................ 59 5.3. Zona Pemanfaatan ............................................................. 61
5.4. Zona Tradisional ................................................................. 66 5.5. Zona Rehabilitasi ................................................................ 68 5.6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah ....................................... 71 5.7. Zona khusus ....................................................................... 72
vi
VI. PENUTUP ................................................................................... 75
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 76
LAMPIRAN ........................................................................................... 78
vii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Skema penyusunan rancangan zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung ................................................................................ 20
viii
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Rumah tangga, penduduk, luas wilayah, dan kepadatan penduduk di daerah penyangga TN. Bantimurung Bulusaraung .. 38
2. Banyaknya sekolah menurut tingkatannya di daerah penyangga TN. Bantimurung Bulusaraung ..................................................... 40
3. Banyaknya peserta didik pada sekolah menurut tingkatannya di daerah penyangga TN. Bantimurung Bulusaraung ...................... 41
4. Revisi zona untuk Pengembangan Ruas Jalan Nasional Maros-Ujung Lamuru-Watampone .......................................................... 49
5. Jenis pemanfaatan jasa lingkungan air di TN. Bantimurung Bulusaraung pada zona inti dan zona rimba ................................ 50
6. Revisi zona untuk pemanfaatan jasa lingkungan air .................... 51
7. Revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung ............................... 75
ix
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung dan Keterwakilan Tipe Ekosistem ............................................................................ 78
2. Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung berdasarkan Wilayah Administrasi .................................................................... 79
3. Matriks Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung .................. 81
4. Peta Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung ...................... 84
x
TIM PENYUSUN
Pengarah/ : 1. Ir. Siti Chadidjah Kaniawati, MWC.
Penanggung jawab (Kepala Balai TN. Bantimurung Bulusaraung)
2. Ir. Dody Wahyu Karyanto, MM
(Plt. Kepala Balai TN. Bantimurung Bulusaraung)
Koordinator : 1. Dedy Asriady, S.Si, MP
(Kepala SBTU Balai TN. Bantimurung Bulusaraung)
2. Daniwari Widiyanto, S.Hut, M.Si
(Kepala SPTN Wilayah I)
3. Abdul Rajab, S.TP, MP
(Kepala SPTN Wilayah II)
Tim Ahli : 1. Prof. Dr. Ir. Amran Achmad, M.Sc
(Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin)
2. Prof. Dr. Ir. Ngakan Putu Oka, M.Sc
(Fakultas Kehutanan Universitas Hasanuddin)
Tim Kerja :
Ketua : Kama Jaya Shagir, S.Hut
Sekretaris : Iqbal Abadi Rasjid, S.Pt
Anggota : 1. Chaeril, S.Hut
2. Much. Syachrir, S. Hut
3. Muasril
4. Kadriansyah
5. Saiful Bachri, S. Hut
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Taman Nasional (TN) adalah kawasan pelestarian alam baik daratan
maupun perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi
yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,
menunjang budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi. Dalam pengelolaan
taman nasional, zonasi merupakan suatu perangkat penting pengelolaan yang
menjadi “rules of the game” atau “management order”. Penataan zonasi pada
kawasan taman nasional diperlukan dalam rangka pengelolaan kawasan dan
potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya secara efektif guna
memperoleh manfaat yang optimal dan lestari. Penataan zonasi tersebut
merupakan upaya penataan ruang di dalam taman nasional untuk optimalisasi
fungsi dan peruntukan potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistem pada
setiap bagian kawasan, serta untuk penerapan dan penegakan hukum yang
dilaksanakan atas pelanggaran di setiap zona taman nasional secara tegas dan
pasti.
Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung merupakan salah satu kawasan
pelestarian alam yang penting di Indonesia untuk perlindungan dan pengawetan
perwakilan tipe ekosistem alami, yaitu ekosistem hutan pada batu gamping atau
diistilahkan sebagai ekosistem karst, ekosistem hutan hujan non
dipterocarpaceae pamah, dan ekosistem hutan pegunungan bawah. Pada
masing-masing tipe ekosistem alami tersebut memiliki potensi sumberdaya alam
hayati dengan keanekaragaman yang tinggi, keunikan dan kekhasan gejala alam
dengan fenomena alam yang indah. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri
Kehutanan Nomor: SK.398/Menhut-II/2004 tanggal 18 Oktober 2004, kawasan ini
ditunjuk dengan luas ± 43.750 ha memiliki fungsi sebagai laboratorium alam
untuk ilmu pengetahuan dan pendidikan konservasi alam serta kepentingan
ekowisata, juga merupakan daerah tangkapan air bagi kawasan di bawahnya
(catchment area) dan beberapa sungai penting provinsi Sulawesi Selatan seperti
sungai Walanae, sungai Pangkep, sungai Pute dan sungai Bantimurung.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 2
Saat ini TN. Bantimurung Bulusaraung telah memiliki sistem zonasi sesuai
Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Nomor: SK.58/IV-SET/2012 tanggal 04 April 2012. Zonasi TN. Bantimurung
Bulusaraung tersebut dirancang dengan mengkompilasikan seluruh data dan
informasi terkait potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
permasalahan dan potensi konflik di dalam dan sekitar kawasan, serta
memperhatikan hak-hak masyarakat setempat yang lahir karena kesejarahan
dan kondisi aktualnya sebagai akibat penunjukan dan penerapan pengelolaan
taman nasional. Dengan pertimbangan kekhasan kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung, penyusunan zonasi dilaksanakan dengan metode Sensitifitas
Ekologi. Metode ini dipilih karena dianggap bersifat lebih obyektif dan kuantitatif.
Adapun dalam pelaksanaan penyusunan zonasi kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung, dilakukan beberapa modifikasi terhadap metode tersebut dengan
Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional. Seiring dengan perkembangan yang ada baik kondisi
faktual di lapangan maupun kebijakan dalam rangka optimalisasi pengelolaan
maka beberapa pertimbangan yang menjadi dasar revisi zonasi TN. Bantimurung
Bulusaraung adalah:
1. Optimalisasi pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung dalam
pengembangan jalan di dalam kawasan yang mendukung pembangunan
daerah dalam skala pembangunan nasional.
2. Optimalisasi fungsi TN. Bantimurung Bulusaraung dalam memberikan
kontribusi kepada masyarakat sekitar kawasan melalui pengembangan
pemanfaatan jasa lingkungan air dan pemanfaatan tradisional.
3. Optimalisasi perlindungan dan pengawetan ekosistem alami TN.
Bantimurung Bulusaraung yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati
dengan keanekaragaman yang tinggi, keunikan dan kekhasan gejala alam
dengan fenomena alam yang indah.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 3
1.2. Tujuan dan Sasaran
Tujuan penyusunan revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung adalah:
1. Menyusun sistem zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung sesuai dengan
kondisi bio-fisik kawasan dan sosial, ekonomi, budaya masyarakat yang ada
di dalam dan sekitar kawasan;
2. Memetakan pengaturan pemanfaatan ruang di dalam kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi
ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada di dalam dan
sekitar kawasan;
3. Menyelaraskan dokumen zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung sesuai
dengan perkembangan kondisi kawasan terkini sehingga dapat dijadikan
pedoman yang lebih konkrit dan akurat dalam pengelolaan TN. Bantimurung
Bulusaraung.
Sasaran yang ingin dicapai adalah:
1. Tersedianya sistem Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung sesuai dengan
kondisi bio-fisik kawasan dan sosial, ekonomi, budaya masyarakat yang ada
di dalam dan sekitar kawasan;
2. Terpetakannya pengaturan pemanfaatan ruang di dalam kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi
ekologis, sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat yang ada di dalam dan
sekitar kawasan.
1.3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup rancangan revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung
meliputi evaluasi, perubahan zonasi dan deskripsi zonasi berdasarkan hasil
evaluasi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung.
1.4. Batasan Pengertian
1. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
daratan maupun perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan
ekosistemnya.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 4
2. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai
ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan
penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata,
dan rekreasi.
3. Zonasi Taman Nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam
taman nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap
persiapan, pengumpulan dan analisa data, penyusunan draft rancangan
zonasi, konsultasi public, perancangan, tata batas dan penetapan, dengan
mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, social, ekonomi
dan budaya masyarakat.
4. Zona Taman Nasional adalah wilayah di dalam kawasan taman nasional
yang dibedakan menurut fungsi dan kondisi ekologis, social, ekonomi dan
budaya masyarakat.
5. Zona Inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia
yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan
keanekaragaman hayati.
6. Zona Rimba adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan
potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan
zona pemanfaatan.
7. Zona Pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata
alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
8. Zona Tradisional adalah bagian taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.
9. Zona Rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan
komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.
10. Zona Religi, Budaya dan Sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau
sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-
nilai budaya atau sejarah.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 5
11. Zona Khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana
penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan
sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas
transportasi dan listrik.
12. Pengelolaan Taman Nasional adalah upaya terpadu dalam perencanaan,
penataan, pengembangan, pemanfaatan, pemeliharaan, pengawasan,
perlindungan, dan pengendalian kawasan Taman Nasional dan sumberdaya
alam di dalamnya.
13. Rencana Pengelolaan Taman Nasional adalah panduan yang memuat
tujuan, kegiatan, dan perangkat yang diperlukan untuk pengelolaan Taman
Nasional.
14. Jasa lingkungan adalah jasa yang diberikan oleh potensi ekosistem,
keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis dan peninggalan budaya
yang dapat dikategorikan sebagai keindahan dan fenomena alam,
keanekaragaman hayati dan ekosistem, fungsi hidrologi, penyerapan dan
penyimpanan karbon, dan berbagai jasa lainnya.
15. Pemanfaatan jasa lingkungan adalah pemanfaatan potensi ekosistem,
keadaan iklim, fenomena alam, kekhasan jenis dan peninggalan budaya
yang berada dalam kawasan konservasi dan hutan lindung.
16. Para pihak (stakeholder) bagi taman nasional dalam hal ini dapat terdiri
dari masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, pemerintah daerah
setempat, perguruan tinggi, serta pihak-pihak lain yang berinteraksi, baik
secara langsung maupun tidak langsung dengan kawasan konservasi, serta
mendapatkan manfaat dari keberadaan taman nasional tersebut.
II. LANDASAN PEMIKIRAN
2.1. Kebijakan Umum Pengelolaan Taman Nasional
Secara umum landasan utama dalam pengelolaan kawasan taman
nasional hutan sampai saat ini adalah Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi
Sumberdaya Hayati dan Ekosistemnya, dan Undang-Undang Nomor 23 tahun
1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, Peraturan Pemerintah Nomor 68
tahun 1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam serta
peraturan-peraturan lain sebagai turunannya.
Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 pasal 6, disebutkan bahwa
fungsi pokok hutan ditetapkan menjadi hutan produksi, hutan konservasi dan
hutan lindung. Hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri
khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan
keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya (pasal 1 UU No 41
tahun 1999). Pembagian fungsi pokok hutan tersebut, apabila dicermati
sesungguhnya masing-masing fungsi hutan tersebut hanya terfokus pada satu
fungsi hutan saja. Atas dasar hal tersebut akibatnya dalam pengelolaan hutan
cenderung kurang memandang hutan sebagai satu kesatuan ekosistem sebagai
sistem penyangga kehidupan.
Pengertian konservasi berdasarkan peraturan perundang-undangan,
menimbulkan arti yang berbeda. Menurut Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999
konservasi menekankan pada aspek kewilayahan, sementara Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1990 dan Undang-Undang Nomor 23 tahun 1997 konservasi lebih
menekankan pada kegiatan pengelolaan sumberdaya alam hayati yang
dilakukan secara bijaksana untuk menjamin kesinambungan persediaannya,
dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas keanekaragaman hayati.
Selanjutnya berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 klasifikasi
hutan konservasi itu sendiri terdiri dari kawasan hutan suaka alam, kawasan
hutan pelestarian alam dan taman buru. Kawasan pelestarian alam terdiri dari
taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 7
“Kawasan pelestarian alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik
di darat maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan sistem
penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa,
serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.”
Kawasan pelestarian alam utamanya dalam bentuk taman nasional saat ini
merupakan salah satu pengelolaan kawasan hutan konservasi yang dianggap
mampu mewujudkan kelestarian sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya,
karena sistem pengelolaannya berdasarkan zonasi yang mencakup aspek
ekologi, sosial ekonomi, dan budaya. Pengertian taman nasional adalah:
“Taman nasional merupakan salah satu kawasan pelestarian alam yang
mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan
untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,
pariwisata, dan rekreasi.”
Selanjutnya pada pasal 30 disebutkan bahwa fungsi kawasan pelestarian
alam yaitu (1) perlindungan terhadap ekosistem penyangga kehidupan, (2)
pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya,
(3) pemanfaatan secara lestari sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya. Atas
dasar hal tersebut maka dalam pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung juga
tidak terlepas dari fungsi yang telah ditetapkan sesuai dengan ketentuan yang
ada.
2.2. Dasar Hukum Zonasi Taman Nasional
Pengelolaan taman nasional saat ini menghadapi permasalahan dan
tantangan yang tidak ringan dalam rangka mewujudkan kelestarian sumberdaya
alam hayati dan ekosistemnya. Hal ini sangat dimungkinkan karena dalam
pengelolaannya tidak hanya aspek ekologis saja yang harus dicapai, tetapi juga
dituntut untuk bisa mengakomodir kepentingan masyarakat utamanya
masyarakat sekitar kawasan hutan. Mengingat kompleksitasnya tantangan dan
permasalahan yang ada dalam pengelolaan kawasan taman nasional, maka
dilakukan pembagian ruang menjadi zona-zona yang disesuaikan dengan kondisi
dan potensi sumberdaya alam dan ekosistemnya sesuai dengan ketentuan yang
berlaku.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 8
Prinsipnya pengelolaan taman nasional dengan sistem zonasi telah
memiliki landasan hukum yang mendukung dalam penetapannya, antara lain:
1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya
Alam Hayati dan Ekosistemnya
2. Undang-Undang Lingkungan Hidup Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup
3. Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
4. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 tentang Pengelolaan
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam
5. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang
Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada Kelompok Hutan Bantimurung-
Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha terdiri dari Cagar Alam seluas ± 10.282,65
Ha, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan Lindung seluas ±
21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 Ha, dan Hutan
Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan
Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
6. Keputusan Menteri Kehutanan P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman
Zonasi Taman Nasional
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2011 diamanatkan
bahwa untuk mewujudkan fungsi taman nasional, maka kawasan taman nasional
itu harus dikelola dengan sistem zonasi. Zonasi taman nasional pada dasarnya
merupakan pengaturan ruang dalam taman nasional dengan mempertimbangkan
kajian-kajian dari aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat.
Selanjutnya sesuai Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-
II/2006 pasal 3 disebutkan bahwa zona kawasan hutan terdiri dari zona inti, zona
rimba, zona pemanfaatan, dan zona lain. Zona lain seperti zona tradisional, zona
rehabilitasi, zona religi, budaya dan sejarah, serta zona khusus. Pembagian
kawasan menjadi zona-zona dimaksud tentunya disesuaikan dengan kondisi
potensi sumberdaya alam di setiap taman nasional. Selanjutnya berdasarkan
pada peraturan yang sama pada pasal 4 dinyatakan bahwa zonasi suatu
kawasan taman nasional sekurang-kurangnya terdiri dari zona inti, zona rimba
dan zona pemanfaatan. Sementara itu untuk pengelolaan lebih lanjut suatu
kawasan taman nasional dapat dibentuk zona lainnya sesuai dengan variasi
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 9
kondisi dari taman nasional baik ditinjau dari aspek potensi sumberdaya alamnya
maupun adanya pemanfaatan oleh masyarakat sekitar. Jika merujuk pada
pengertian taman nasional, maka dalam penetapan rancangan zonasi yang perlu
mendapat perhatian adalah keberadaan ekosistem asli yang mutlak harus ada di
dalam suatu kawasan taman nasinal sebagai sumber plasma nutfah dan
keterwakilan keanekaragaman hayati. Keberadaan ekosistem asli merupakan
pertimbangan yang utama dalam penetapan zonasi, utamanya untuk zona inti.
Zona rimba merupakan ruang di dalam kawasan taman nasional yang
diperuntukan sebagai zona perlindungan bagi ekosistem yang berada di zona inti
dan mampu melindungi ekosistem pada zona pemanfaatan. Sementara itu zona
pemanfaatan merupakan bagian dari taman nasional yang memiliki potensi baik
dari aspek kondisi, letak dan potensi alamnya dapat dimanfaatkan untuk tujuan
wisata alam dan manfaat jasa lingkungan. Zona-zona lain ditetapkan dengan
memperhatikan dan mempertimbangkan posisi/letak, potensi, kondisi, dan
pengaruh atau tekanan masyarakat sekitar kawasan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.56/Menhut-II/2006
tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional, maka Zona dalam kawasan taman
nasional terdiri dari:
1. Zona Inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia
yang mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan
keanekaragaman hayati.
Diskripsi:
Zona inti merupakan kawasan yang sangat sensitif dan memerlukan upaya
perlindungan secara ketat, terutama untuk perlindungan hidupan liar (flora
dan fauna) terpenting/kunci berikut habitatnya dan umumnya berupa
habitat/hutan primer. Zona ini merupakan bagian kawasan yang berada
relatif jauh dari batas kawasan dengan akses yang minimum.
Tujuan:
Untuk memberikan perlindungan mutlak atas flora dan fauna penting/kunci,
endemik, langka dan dilindungi, sangat peka/sensitif terhadap berbagai
bentuk gangguan/kerusakan, dengan keanekaragaman hayati yang tinggi,
ekosistem khas, dan merupakan contoh perwakilan ekosistem. Pada zona ini
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 10
tidak diperbolehkan adanya perubahan apapun oleh aktivitas manusia, dan
perubahan yang terjadi agar dijaga dan berjalan secara alami. Kegiatan yang
diperkenankan adalah penelitian, pemantauan, perlindungan dan
pengamanan.
Fungsi dan Peruntukan:
Untuk perlindungan ekosistem, pengawetan flora dan fauna khas beserta
habitatnya yang peka terhadap gangguan dan perubahan, sumber plasma
nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa liar, untuk kepentingan penelitian dan
pengembangan ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya
Kriteria:
a. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis
tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya;
b. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang
merupakan cirri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang
kondisi fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia;
c. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli
dan tidak atau belum diganggu manusia;
d. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu untuk menjamin
kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang
efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;
e. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
f. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta
ekosistemnya yang langka yang keberadaannya terancam punah;
g. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan
khas/endemik;
h. Merupakan tempat aktivitas satwa migran.
Kegiatan yang dapat dilakukan:
a. Perlindungan dan pengamanan;
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 11
c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau
penunjang budidaya;
d. Dapat dibangun sarana dan prasarana tidak permanen dan terbatas
untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan.
2. Zona rimba/zona perlindungan bahari (untuk wilayah perairan) adalah
adalah bagian taman nasional yang karena letak, kondisi dan potensinya
mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona
pemanfaatan.
Diskripsi:
Merupakan zona yang memerlukan upaya perlindungan dan pelestarian
serta merupakan zona peralihan antara zona inti dengan zona pemanfaatan
dan/atau zona lainnya, serta proses alami tetap menjadi prioritas namun
kegiatan manusia dalam batas tertentu masih diperkenankan dan bahkan
diperlukan dalam bentuk pembinaan habitat, pembinaan populasi dan
kegiatan pariwisata alam terbatas.
Tujuan:
Untuk memberikan perlindungan dan pelestarian terhadap zona inti dan
sekaligus sebagai perluasan habitat zona inti dan merupakan daerah jelajah
berbagai jenis satwa liar, khususnya jenis satwa liar yang dilindungi dari
bahaya kepunahan, serta pemanfaatan atas potensi sumberdaya alam dan
lingkungan alam yang kurang sensitif terhadap gangguan/kerusakan untuk
kegiatan penelitian, pemantauan, pendidikan lingkungan dan konservasi
alam, serta pariwisata alam secara terbatas.
Fungsi dan Peruntukan:
Untuk kegiatan pengawetan dan pemanfaatan sumber daya alam dan
lingkungan alam bagi kepentingan penelitian, pendidikan konservasi, wisata
terbatas, habitat satwa migrant dan menunjang budidaya serta mendukung
zona inti.
Kriteria:
a. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi
dan mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa liar;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 12
b. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu
menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan;
c. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.
Kegiatan yang dapat dilakukan:
a. Perlindungan dan pengamanan;
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya;
c. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas,
pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya;
d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan
keberadaan populasi hidupan liar;
e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan
penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
3. Zona Pemanfaatan adalah bagian taman nasional yang letak, kondisi dan
potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata
alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.
Diskripsi:
Merupakan zona yang memiliki potensi phenomena alam yang menarik, dan
secara fisik dan biologi kurang sensitif untuk kepentingan pembangunan
sarana dan prasarana fisik bagi akomodasi pariwisata alam dan pengelolaan
taman nasional. Zona pemanfaatan ini merupakan pusat rekreasi dan
kunjungan wisata, yang dikembangkan pada lokasi-lokasi sesuai kondisi
lingkungan untuk kepentingan wisata alam. Lokasi-lokasi tersebut tersebut
pada umumnya dikembangkan berdekatan atau terdapat kemudahan akses
dengan perkampung-an tempat pemukiman masyarakat, sehingga
pengembangan wisata alam/ekologi di kawasan ini dapat memberi dampak
penyertaan masyarakat dalam pelayanan jasa wisata alam dan memberikan
keuntungan ekonomi bagi masyarakat setempat. Fasilitas yang akan
dilengkapi di setiap lokasi selain fasilitas pengelolaan lapangan dan
akomodasi wisata alam, juga akan dilengkapi jalan, areal parkir, jalur trail,
papan informasi, papan petunjuk, shelter, MCK umum, sarana keamanan
pengunjung, pos jaga, dan lain-lain.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 13
Tujuan:
Untuk pemanfaatan potensi jasa lingkungan alam berupa phenomena dan
keindahan alam bagi pengembangan pariwisata alam dan pusat rekreasi,
pembangunan sarana dan prasarana pariwisata alam dan pengelolaan
lapangan, dan menunjang keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam
pelayanan jasa pariwisata alam serta mendorong pengembangan ekonomi
masyarakat dan daerah dari jasa pariwisata alam
Fungsi dan Peruntukan:
Untuk pengembangan pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan,
pendidikan, penelitian dan pengembangan yang menunjang pemanfaatan,
kegiatan penunjang budidaya.
Kriteria:
a. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;
b. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
c. Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan,
pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan;
d. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana dan
prasarana bagi kegiatan, pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam,
rekreasi, penelitian dan pendidikan;
e. Tidak berbatasan langsung dengan zona inti.
Secara fisik dan biologi dapat dikembangkan untuk pembangunan sarana
dan prasarana akomodasi pariwisata alam dan pengelolaan lapangan, serta
memiliki topografi dan fisik lapangan yang memungkinkan kegiatan wisata
alam berlangsung secara aman dan nyaman. Dampak negatif akibat
pengembangan fasilitas akomodasi dan peningkatan jumlah pengunjung
berada dalam batas-batas daya dukung dan dapat dikendalikan oleh
pengelola, serta masih dalam batas recovery secara alami. Memiliki
pengembangan aksesibilitas yang cukup baik dan mudah dikunjungi, serta
lokasi pengembanganya dekat pemukiman/ perkampungan penduduk,
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 14
sehingga dapat mendorong peranserta aktif masyarakat dalam pelayanan
jasa pariwisata alam.
Kegiatan yang dapat dilakukan:
a. Perlindungan dan pengamanan;
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya;
c. Penelitian dan pengembangan pendidikan, dan penunjang budidaya;
d. Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam;
e. Pembinaan habitat dan populasi;
f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa
lingkungan;
g. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan,penelitian,
pendidikan, wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan.
4. Zona lain adalah merupakan zona kawasan taman nasional yang karena
fungsi dan kondisinya dikembangkan di luar ketentuan zona inti dan zona
pemanfaatan, yang mencakup :
a. Zona tradisional adalah bagian taman nasional yang ditetapkan untuk
kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam
Diskripsi:
Merupakan bagian kawasan taman nasional yang masih terdapat
kegiatan tradisional penduduk setempat dalam memanfaatkan
sumberdaya alam hayati untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-
hari dan bersifat non-komersial.
Tujuan:
Untuk mengakomodasi pemanfaatan secara tradisonal yang dilakukan
oleh penduduk setempat dalam memanfaatkan sumberdaya alam hayati
untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bersifat non-
komersial, serta mencegah kemungkinan terjadinya perluasan
perambahan untuk perladangan dan pemanfaatan lain yang merusak.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 15
Fungsi dan Peruntukan:
Untuk pemanfaatan potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat
setempat secara lestari melalui pengaturan pemanfaatan dalam rangka
memenuhi kebutuhan hidupnya
Kriteria:
1) Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati non kayu
tertentu yang telah dimanfaatkan secara tradisional oleh
masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya;
2) Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam
hayati tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan
pengembangbiakan, perbanyakan dan pembesaran oleh
masyarakat setempat guna memenuhi kebutuhan hidupnya.
Kegiatan yang dapat dilakukan:
1) Perlindungan dan pengamanan;
2) Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh
masyarakat;
3) Pembinaan habitat dan populasi;
4) Penelitian dan pengembangan;
5) Pemanfaatan potensi dan kondisi sumber daya alam sesuai dengan
kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.
b. Zona rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan
komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan
Diskripsi:
Merupakan zona/bagian kawasan yang mengalami kerusakan akibat
ulah/kegiatan manusia atau alam, dan perlu segera direhabilitasi/
dipulihkan kembali dengan memper-gunakan jenis-jenis asli setempat.
Zona ini mencakup areal bekas peladangan, pemukiman liar, bencana
alam dan sebagainya.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 16
Tujuan:
Untuk pemulihan dan rehabilitasi kawasan yang rusak akibat kegiatan
manusia atau bencana alam agar dapat dikembalikan kepada fungsi
semula.
Fungsi dan Peruntukan :
Untuk mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak menjadi atau
mendekati kondisi ekosistem alamiahnya.
Kriteria:
1) Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi
berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya
diperlukan campur tangan manusia;
2) Adanya invasive spesies yang menggangu jenis atau spesies asli
dalam kawasan;
3) Pemulihan kawasan pada huruf a, dan b sekurang-kurangnya
memerlukan waktu 5 (lima) tahun.
c. Zona religi, budaya dan sejarah adalah bagian dari taman nasional
yang didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan
atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan,
perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.
Diskripsi:
Merupakan zona yang memiliki potensi sebagai lokasi kegiatan manusia
di masa lampau dengan meninggalkan hasil karya budaya yang bernilai
sejarah, arkeologi maupun keagamaan, baik pada lokasi yang sering
dikunjungi manusia maupun tidak pernah.
Tujuan:
Untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai budaya yang pernah
ada dan berkembang, serta dikembangkan sebagai wahana penelitian,
pendidikan, dan wisata alam sejarah, arkeologi dan religius.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 17
Fungsi dan Peruntukan:
Untuk memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai hasil karya budaya,
sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana penelitian,
pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi, dan religius.
Kriteria:
1) Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan
dipergunakan oleh masyarakat;
2) Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undang-
undang, maupun tidak dilindungi undang-undang.
Kegiatan yang dapat dilakukan:
1) Perlindungan dan pengamanan;
2) Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi;
3) Penyelenggaraan upacara adat;
4) Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan
upacara-upacara ritual keagamaan/adat yang ada.
d. Zona khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang
tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana
penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut
ditetapkan sebagai taman nasional antara lain sarana telekomunikasi,
fasilitas transportasi dan listrik.
Diskripsi:
Merupakan zona yang memiliki potensi sumberdaya alam dan kondisi
lingkungan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan
khusus dengan pengaturan yang bersifat khusus dengan tidak
melakukan penebangan pohon dan merubah bentang alam seperti
untuk pemanfaatan sarang burung, pemanfaatan lebah madu,
pemanfaatan bahan baku obat, dan lain-lain kegiatan.
Fungsi dan Peruntukan:
Untuk kepentingan aktivitas kelompok masyarakat yang tinggal di
wilayah tersebut sebelum ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional
dan sarana penunjang kehidupannya, serta kepentingan yang tidak
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 18
dapat dihindari berupa sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan
listrik.
Kriteria:
1) Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
2) Telah terdapat sarana dan prasarana antara lain telekomunikasi,
faslitas transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional;
3) Lokasi tidak berbatasan dengan zona inti.
Kegiatan yang dapat dilakukan:
1) Perlindungan dan pengamanan;
2) Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat, dan;
3) Rehabilitasi;
4) Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung
wilayah.
2.3. Metode Revisi Zonasi
TN. Bantimurung Bulusaraung telah memiliki sistem zonasi sesuai Surat
Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor:
SK.58/IV-SET/2012 tanggal 04 April 2012. Dalam penentuan penataan zonasi
tersebut telah dikembangkan suatu metoda penentuan usulan penetapan zonasi
kawasan Taman nasional dengan cara memadukan empat macam peta dasar:
Peta Vegetasi, Peta Sensitivitas Satwa liar, Peta Kelas Ketinggian, dan Peta Kelas kemiringan. Peta-peta tersebut kemudian dibagi ke dalam kota-kotak
(grid) dengan luasan 1 km², untuk selanjutnya dilakukan klasifikasi sesuai status
dari setiap kotak/grid tersebut menurut nilai dari 0-3 atau 4.
Peta-peta yang diperoleh dari klasifikasi status penilaian tersebut kemudian
dioverlaping dengan menjumlahkan nilai-nilai pada setiap kotak/grid. Hasil
overlaping peta-peta tersebut dilakukan deliniasi berdasarkan suatu klasifikasi
sensitifitas ekologi yang terdiri dari penjumlahan nilai-nilai pada kotak/grid, untuk
diklasifikasi menurut : nilai sangat sensitif (total nilai kotak/grid : 9-12), nilai
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 19
sensitif (total nilai kotak/grid : 6-8), dan nilai tidak sensitif (total nilai kotak/grid: 3-
5), peta yang dihasilkan tersebut disebut sebagai peta sensitifitas ekologi.
Berdasarkan peta sensitifitas ekologi tersebut dan dilengkapi dengan informasi
tambahan yang mencakup keberadaan jalan trail, jalan patroli, potensi obyek wisata,
informasi keberadaan keunikan potensi kawasan, tempat bersarang/home range
satwa liar yang tercatat, adanya aktivitas ilegal, dan batas-batas tata guna lahan di
sekitarnya dilakukan penetapan kriteria untuk setiap zonasi. Secara umum skematis
penyusunan rancangan zonasi kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung dapat
digambarkan pada Gambar 1.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 20
Gambar 1. Skema penyusunan rancangan zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung
PETA VEGETASI Nilai 0 : Perkebunan Nilai 1 : Pertanian Nilai 2 : H. Sekunder Nilai 3 : H. Primer
PETA SEBARAN FLORA & FAUNA
Nilai 1 : Rendah Nilai 2 : Sedang Nilai 3 : Tinggi
PETA KELAS KELERENGAN
Nilai 1 : <30% Nilai 2 : 30 – 45% Nilai 3 : > 45%
PETA KELAS KETINGGIAN
Nilai 1 : <1000 m Nilai 2 : 1000-1400 m Nilai 3 : >1400 m
ANALISA PADA SETIAP UNIT PENGUKURAN (ukuran grid 1 Ha)
PETA SENSITIFITAS EKOLOGI Sangat sensitif : Nilai 9 - 12 Sensitif : Nilai 6 - 8 Kurang Sensitif : Nilai 3 - 5
ZONASI AWAL Zona Inti : S. Sensitif - Sensitif Zona Rimba : Kurang Sensitif Zona Pemanfaatan : ODTWA Prioritas
PETA SEBARAN ODTWA
DRAFT RANCANGAN ZONASI
Zona Rimba : - Buffer 50 m jalan - Buffer 50 m jalan trail - Buffer 250 m dari batas
luar - Buffer 100 m dari Zona Inti - Buffer 100 m dari Zona
Pemanfaatan - Buffer 100 m dari Zona
Tradisional dan Zona Khusus
- Buffer 100 m dari Zona Religi, Budaya dan Sejarah
- Zona Tradisional : sesuai kriteria dalam P.56/2006
- Zona Rehabilitasi : sesuai
kriteria dalam P.56/2006 - Zona Religi, Budaya dan
Sejarah : sesuai kriteria dalam P.56/2006
- Zona Khusus : sesuai
kriteria dalam P.56/2006 - Zona Rimba : radius 50 m
dari mulut gua
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 21
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006
pasal 20 dinyatakan bahwa evaluasi zonasi dapat dilakukan sebagai peninjauan
ulang untuk usulan perubahan zonasi yang diperlukan sesuai dengan
kepentingan pengelolaan. Seiring dengan perkembangan yang ada baik kondisi
faktual di lapangan maupun kebijakan dalam rangka optimalisasi pengelolaan
maka beberapa pertimbangan yang menjadi dasar revisi zonasi TN. Bantimurung
Bulusaraung adalah:
1. Optimalisasi pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung dalam
pengembangan jalan di dalam kawasan yang mendukung pembangunan
daerah dalam skala pembangunan nasional.
2. Optimalisasi fungsi TN. Bantimurung Bulusaraung dalam memberikan
kontribusi kepada masyarakat sekitar kawasan melalui pengembangan
pemanfaatan jasa lingkungan air dan pemanfaatan tradisional.
3. Optimalisasi perlindungan dan pengawetan ekosistem alami TN.
Bantimurung Bulusaraung yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati
dengan keanekaragaman yang tinggi, keunikan dan kekhasan gejala alam
dengan fenomena alam yang indah.
Metoda pelaksanaan penyusunan rancangan revisi zonasi TN.
Bantimurung Bulusaraung adalah:
1. Persiapan
Tahap awal yang dilaksanakan dalam kegiatan Revisi Zonasi ini adalah
persiapan dengan pembentukan Tim Kerja yang dibentuk oleh Kepala Balai TN.
Bantimurung Bulusaraung melalui Surat Keputusan Nomor : SK. 77/BTNBABUL-
1/2015 tanggal 26 Mei 2015.
2. Pengumpulan dan Analisis Data
Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan alat dan bahan yang diperlukan,
terutama peta dasar (Peta Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung), citra satelit,
peta Rupa Bumi Indonesia, peta penutupan lahan, dan peta zonasi dari kajian
sebelumnya.
Analisis data dilaksanakan melalui:
Rapat dan Focus Group Discussion;
Konsultasi dengan Tenaga Ahli;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 22
Peta zonasi kajian sebelumnya dan peta penutupan lahan TN.
Bantimurung Bulusaraung tahun 2015 dilakukan analisis overlay guna
menentukan rancangan revisi zonasi serta dilengkapi dengan data dan
informasi tambahan yang mencakup keberadaan pengembangan jalan,
pemanfaatan jasa lingkungan air dan pemanfaatan tradisional, serta
perlindungan dan pengawetan ekosistem.
Verifikasi lapangan
Hasil zonasi yang masih bersifat hipotetis tersebut kemudian diverifikasi di
lapangan. Verifikasi dilakukan terhadap kebenaran interpretasi citra
terhadap batas yang ditetapkan dan kebenaran kegiatan interpretasi
penggunaan lahan. Verifikasi lapangan juga dilakukan terhadap macam
zonasi, jumlah zonasi dan kebenaran isi zonasi.
3. Penyusunan draft rancangan revisi zonasi
Draft rancangan revisi zonasi disusun berdasarkan hasil analisa data serta
mengacu pada Permenhut No. 56/menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi
Taman Nasional.
4. Konsultasi Publik
Konsultasi Publik dilaksanakan dilaksanakan di tingkat Daerah dan Pusat
dengan melibatkan Para Pihak (stakeholder).
5. Pengiriman Dokumen
III. DESKRIPSI TAMAN NASIONAL
3.1. Sejarah Kawasan
Alfred Russel Wallace, adalah naturalis berkebangsaan Inggris yang
pernah menjelajah Kepulauan Nusantara (The Malay Archipelago) dari tahun
1856 sampai dengan 1862. Sejak kembalinya ke Inggris sampai dengan tahun
1886, Wallace menerbitkan delapan belas dokumen, baik berupa catatan
maupun proceeding untuk Linnaean Zoological and Entomological Societies yang
menggambarkan atau mendeskripsikan koleksi speciemennya. Setelah itu, ia
kemudian menuliskan dan menerbitkan jurnal perjalanan eksplorasi selama
enam tahunnya yang berjudul “The Malay Archipelago”. Deskripsi yang dibuat
oleh Wallace pada saat itu menjadi pembuka tabir keunikan khasanah
keanekaragaman hayati Nusantara dan menggugah kekaguman para ilmuwan
dan naturalis. Wallace sangat terpesona oleh keunikan ekosistem Sulawesi dan
pulau-pulau satelitnya, dan memberinya inspirasi pencetusan teori biogeografi
(Neo-Darwinism) yang menjadi sumbangan sangat berharga buat sang pencetus
teori evolusi Charles Robert Darwin. Wallace melakukan eksplorasi flora dan
fauna di kawasan Maros dari tanggal 11 Juli 1857 sampai dengan awal
Nopember 1857 dan berhasil mengumpulkan cukup banyak koleksi speciemen di
wilayah Maros. Wallace sendiri memberikan julukan “The Kingdom of Butterfly”
untuk kawasan Bantimurung dan sekitarnya.
Hal lain yang menarik dari kawasan ini adalah bentang alam karst yang
berbangun menara. “The Spectacular Tower Karst”, begitu kemudian orang-
orang memberikan nama pada kawasan Karst Maros-Pangkep. Memang
berbeda dengan kebanyakan kawasan karst di tempat-tempat lain yang pada
umumnya berbentuk Conicall Hill Karst, Karst Maros-Pangkep berbentuk
menara-menara yang berdiri sendiri maupun berkelompok membentuk gugusan
pegunungan batu gamping. Ko (2001) menginformasikan bahwa kawasan Karst
Maros-Pangkep sudah dikenal oleh dunia internasional sejak sebelum perang
dunia II. Kawasan ini antara lain juga dikenal melalui publikasi ahli geografi
Danes. Kawasan ini dikatakan memiliki geomorfologi yang amat khas dan tidak
dijumpai di tempat lain. Karst Maros-Pangkep menjadi kawasan karst yang paling
terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang spesifik dan ornamen gua
terindah (ACS, 1989; Deharveng dan Bedos, 1999; McDonald, 1976; Whitten
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 24
dkk, 1987; Suhardjono dkk, 2007). Di samping itu, Maros juga terkenal memiliki
keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika (Deharveng dan Bedos, 1999
dalam Suhardjono dkk, 2007).
Dari segi arkeologi, kawasan Karst Maros-Pangkep dikenal karena temuan
Frits Sarasin dan Paul Sarasin. Di awal abad kedua puluh, tepatnya pada tahun
1902-1903, mereka menemukan sisa-sisa peralatan manusia prasejarah berupa
serpih, bilah, mata panah dan alat-alat yang terbuat dari tulang di Gua Cakondo,
Ulu Leba dan Balisao Kabupaten Maros. Berdasarkan temuan-temuan tersebut,
para ahli menyimpulkan bahwa pada masa prasejarah, Sulawesi merupakan
salah satu daerah lintasan yang strategis bagi perpindahan penduduk dari
daratan Asia Tenggara ke kawasan Pasifik. Dalam perjalanan migrasi tersebut,
gua-gua payung atau rock shelter merupakan satu-satunya tempat yang ideal
untuk berlindung, baik sebagai tempat tinggal maupun sekedar transit bagi para
imigran (Gunadi, 1997 dalam Achmad, 2001). Pada tahun 2007 Balai
Peninggalan Prasejarah dan Purbakala (BP3) Sulawesi Selatan melaporkan 27
Situs Purbakala yang dilindungi di kawasan Karst Maros-Pangkep dari total 89
gua prasejarah yang ada.
Seluruh kawasan yang dideskripsikan tersebut di atas, kemudian
ditetapkan sebagai kawasan hutan oleh pemerintah melalui Surat Keputusan
Menteri Pertanian Nomor : 760/Kpts/Um/10/1982 tanggal 12 Oktober 1982,
menyempurnakan Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) Tahun 1976,
walaupun sebelumnya telah dilakukan penetapan kawasan hutan secara parsial
oleh Pemerintah Hindia Belanda pada dekade awal abad ke-20. Karena
kebutuhan akan lahan budidaya yang semakin meningkat, Departemen
Kehutanan mulai melakukan penyesuaian antara TGHK dan rencana tata ruang
wilayah (RTRW) pada tahun 1997. Provinsi Sulawesi Selatan berhasil
menyelesaikan Paduserasi TGHK-RTRWP pada tahun 1999 dengan
diterbitkannya Keputusan Gubernur Sulawesi Selatan Nomor: 276/IV/Tahun 1999
tanggal 1 April 1999 tentang Penetapan Hasil Paduserasi antara Rencana Tata
Ruang Wilayah dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Propinsi Daerah Tingkat I
Sulawesi Selatan. Paduserasi ditindaklajuti dengan penerbitan Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 890/Kpts-II/1999 tanggal 14 Oktober
1999 tentang Penunjukan Kembali Kawasan Hutan di Provinsi Sulawesi Selatan
seluas ± 3.879.771 Ha. Berdasarkan seluruh dokumen tersebut, kawasan Karst
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 25
Maros-Pangkep dan sekitarnya merupakan kawasan hutan dengan fungsi
lindung, produksi dan konservasi.
Antara dekade 1970-1980, di kawasan Karst Maros-Pangkep telah ditunjuk
dan/atau ditetapkan 5 unit kawasan konservasi seluas ±11.906,9 Ha. Air terjun
Bantimurung yang terkenal sejak kunjungan Wallace dijadikan kawasan
konservasi sejak tahun 1919 dengan luas 18 Ha berdasarkan Gouvernements
Besluits tanggal 21-2-1919 No. 6 Staatblad No. 90. Kawasan Bantimurung
karena potensi wisata tirta, panorama alam dan gua-gua alamnya, ditunjuk
kembali menjadi kawasan konservasi taman wisata alam dengan nama TWA.
Bantimurung seluas 118 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor
237/Kpts/Um/3/1981 tanggal 30 Maret 1981.
Kawasan hutan di sekitar Pattunuang Asue ditetapkan menjadi kawasan
konservasi taman wisata alam dengan nama TWA. Gua Pattunuang seluas
1.506,25 Ha berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor : 59/Kpts-II/1987
tanggal 12 Maret 1987. Penunjukan kawasan ini didasarkan pada potensi wisata
tirta wilayah tersebut, keanekaragaman hayatinya, panorama alamnya,
fenomena tebing-tebing karstnya yang ideal untuk wisata alam minat khusus,
legenda tentang perahu yang membatu (Biseang Labboro) di Sungai Pattunuang,
serta gua-gua alamnya.
Sebagian kawasan karst Bantimurung, karena mempunyai
keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, kondisi alam, baik biota maupun
fisiknya yang masih asli dan tidak atau belum diganggu manusia, ciri khas
potensi yang merupakan contoh ekosistem karst yang keberadaannya
memerlukan upaya konservasi, komunitas tumbuhan dan satwa beserta
ekosistemnya yang langka, ditunjuk menjadi kawasan konservasi cagar alam
dengan nama CA. Bantimurung seluas 1.000 Ha berdasarkan Keputusan Menteri
Pertanian Nomor : 839/Kpts/Um/11/1980 tanggal 23 Nopember 1980. Tidak jauh
berbeda dengan pertimbangan tersebut di atas, kawasan karst dan hutan pamah
primer di wilayah sebelah Timur Bantimurung ditunjuk menjadi kawasan
konservasi cagar alam dengan nama CA. Karaenta seluas 1.000 Ha berdasarkan
Keputusan Menteri Pertanian Nomor 647/Kpts/Um/10/1976 tanggal 15 Oktober
1976. Berdasarkan hasil penataan batas CA. Karaenta yang dilaksanakan pada
tahun 1979/1980, luasnya definitifnya bertambah menjadi 1.226 Ha.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 26
Kawasan konservasi yang lainnya adalah CA. Bulusaraung. Kawasan ini
memiliki komunitas tumbuhan dan satwa beserta ekosistem yang memerlukan
upaya konservasi. Kawasan ini terletak di wilayah paling Utara Kabupaten Maros
yang berbatasan dengan wilayah administratif Kabupaten Bone. Kawasan seluas
5.690 Ha yang merupakan bagian dari gugusan Pegunungan Bulusaraung ini
ditunjuk menjadi kawasan konservasi berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian
Nomor 607/Kpts/Um/8/1980 tanggal 20 Agustus 1980. Berdasarkan hasil
penataan batas CA. Bulusaraung yang dilaksanakan pada tahun 1999/2000,
luasnya definitifnya berubah menjadi 8.056,65 Ha.
Pada tahun 1989, seluruh kawasan konservasi di Kabupaten Maros
tersebut beserta kawasan karst dan kawasan hutan lainnya di wilayah Kabupaten
Maros dan Kabupaten Pangkep diusulkan oleh Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan untuk dirubah fungsinya menjadi taman
nasional, dengan nama Taman Nasional Hasanuddin. Nama tersebut diambil dari
nama pahlawan nasional Sulawesi Selatan. Dalam proses berikutnya, nama
calon taman nasional ini berulang kali dirubah berdasarkan berbagai
pertimbangan. Menindaklanjuti usulan Kantor Wilayah Departemen Kehutanan
Propinsi Sulawesi Selatan tersebut, Direktur Jenderal PHKA Departemen
Kehutanan kemudian mengusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk melakukan
perubahan fungsi kawasan hutan di Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi
Taman Nasional Hasanuddin dengan terlebih dahulu melakukan pengkajian
terhadap lokasi yang diusulkan.
National Conservation Plan for Indonesia Volume 6D Sulawesi Selatan
Province (Juni 1995) yang merupakan review dan updating NCP 1982,
menguraikan bahwa pada tahun 1993, Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan
dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan menetapkan gabungan dari CA.
Bulusaraung, TWA. Bantimurung, CA. Bantimurung, CA. Karaenta, TWA Gua
Pattunuang serta Hutan Lindung di sekitarnya sebagai calon kawasan konservasi
Taman Nasional Hasanuddin seluas 86.682 Ha (termasuk seluruh kawasan Dry
Lowland Forest on Limestone seluas 47.000 Ha dan Wet Lowland Forest on
Limestone seluas 1.000 Ha) dengan pertimbangan perlindungan flora dan fauna,
perlindungan fungsi hydrologis, pengembangan wisata alam serta membatasi
perluasan perladangan di kawasan tersebut. Tujuan utama NCP 1995, yaitu
untuk mengevaluasi dan menentukan prioritas pengembangan kawasan
konservasi, dan Calon Taman Nasional Hasanuddin mendapatkan prioritas
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 27
pertama. Hasil skoring yang dilakukan memberikan genetic value 115 dan socio-
economic justification 10.
International Union of Speleology menyelenggarakan Kongres
Internasional ke-11 di Beijing pada tanggal 8 Agustus 1993. Kongres ini dihadiri
oleh para ilmuwan dan pemerhati kawasan karst dan gua dari 34 negara.
Kongres ini secara aklamasi menyatakan Karst Maros-Pangkep memiliki nilai
keunikan yang mendunia. Dalam rapat pleno, Presiden dan Sekretaris Jenderal
International Union of Speleology mengesahkan surat himbauan kepada
Pemerintah Indonesia agar kawasan Karst Maros-Pangkep dikonservasi dan
diusulkan sebagai bentukan alam Warisan Dunia (Ko, 2001; Palaguna, 2001).
Dukungan datang dari berbagai pihak dengan pertimbangan adanya asosiasi
secara langsung antara karst dengan kepurbakalaan serta antara karst dengan
keanekaragaman hayatinya. Pusat Studi Lingkungan Universitas Hasanuddin
yang menyelenggarakan Seminar Lingkungan Karst di Makassar pada tanggal
19 Desember 1997 juga menekankan pentingnya perlindungan ekosistem karst
Maros-Pangkep dan melaporkan sedikitnya terdapat 29 gua di kawasan Karst
Maros-Pangkep yang layak dilindungi.
Melanjutkan dan menindaklajuti usulan Kantor Wilayah Departemen
Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan dan NCP 1995, Unit KSDA Sulawesi
Selatan I bekerjasama dengan Universitas Hasanuddin melakukan penilaian
potensi calon taman nasional pada tahun 1999, dan memberikan rekomendasi
kelayakannya. Berdasarkan rekomendasi tersebut, Kepala Kantor Wilayah
Departemen Kehutanan Propinsi Sulawesi Selatan kembali mengajukan usulan
penunjukan taman nasional di kawasan Maros-pangkep dengan nama Taman
Nasional Karaenta.
Pada bulan Mei 2001, IUCN Asia Regional Office dan UNESCO World
Heritage Centre mengadakan The Asia-Pasific Forum on Karst Ecosystems and
World Heritage di Gunung Mulu, Serawak, Malaysia. Forum ini dihadiri oleh para
ahli dari berbagai disiplin ilmu serta dihadiri pula oleh para pejabat tinggi
UNESCO dan World Bank. Forum ini bertekad menyatakan kawasan Karst
Maros-Pangkep sebagai Warisan Dunia. Forum ini memberikan rekomendasi
kepada Pemerintah Indonesia agar mengkonservasi kawasan-kawasan karst,
termasuk kawasan Karst Maros-Pangkep. Nilai-nilai warisan dunianya akan
ditinjau kemudian dan kelayakan status perlindungannya akan diidentifikasi
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 28
kemudian guna mendapatkan pengakuan internasional (Ko, 2001; Nitta, 2001;
Samodra, 2003).
Tanggal 12-13 Nopember 2001, Bapedal Regional III di Makassar
menyelenggarakan Simposium Karst Maros-Pangkep yang bertema “Menuju
Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World
Heritage di Era Otonomi Daerah”. Melalui acara ini, Bapedal Regional III
berusaha membangun kembali komitmen dan menggalang kerjasama dengan
berbagai pihak terkait dalam upaya mewujudkan kawasan Karst Maros-Pangkep
sebagai kawasan taman nasional dan situs warisan dunia. Beberapa kesimpulan
dari simposium ini adalah bahwa kawasan Karst Maros-Pangkep memiliki
berbagai potensi sumberdaya yang perlu mendapat perlindungan dan
pengelolaan secara seksama, terpadu dan menyeluruh; Pemerintah Sulawesi
Selatan, Maros dan Pangkep mendukung dan berkomitmen terhadap pengajuan
kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai taman nasional maupun world heritage
site; serta membentuk tim terpadu untuk menyusun rencana aksi dalam
mewujudkan penetapan kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai taman nasional
dan world heritage site. Untuk mempercepat proses penunjukan kawasan Karst
Maros-Pangkep menjadi taman nasional diadakan pertemuan dengan berbagai
pihak terkait di Sulawesi Selatan pada tanggal 15 Januari 2002 dan membentuk
tim terpadu yang terdiri dari unsur Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan,
Pemerintah Kabupaten Maros dan Pangkep, Unit KSDA Sulawesi Selatan I,
Bapedal Regional III dan diketuai oleh Universitas Hasanuddin. Tim terpadu ini
terus melaksanakan tugasnya hingga tahun 2004.
Pada tanggal 5 Januari 2004, Gubernur Sulawesi Selatan mengusulkan
kembali kawasan Karst Maros-Pangkep untuk ditetapkan menjadi Taman
Nasional Bantimurung Bulusaraung. Direktur Jenderal PHKA pada tanggal 25
Pebruari 2004 mengusulkan kembali perubahan fungsi kawasan hutan di
Kabupaten Maros dan Pangkep menjadi taman nasional melalui Sekretaris
Jenderal Departemen Kehutanan dan Kepala Badan Planologi Kehutanan.
Tanggal 29 April 2004, Gubernur Sulawesi Selatan sekali lagi mendesak Menteri
Kehutanan agar memproses penetapan kawasan Karst Maros-Pangkep menjadi
taman nasional.
Dalam proses koordinasi yang berjalan lamban tersebut, Kepala Pusat
Pembentukan Wilayah Pengelolaan dan Perubahan Kawasan Hutan Badan
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 29
Planologi Kehutanan mengundang seluruh anggota tim terpadu dan pihak terkait
untuk hadir pada tanggal 8 Oktober 2004 dengan agenda pengkajian dan
pembahasan oleh Tim Terpadu Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Bantimurung
Bulusaraung. Pertemuan ini menyimpulkan bahwa perubahan fungsi Kawasan
Hutan Bantimurung dan Bulusaraung memenuhi syarat untuk dirubah menjadi
kawasan pelestarian alam dengan fungsi taman nasional berdasarkan : (1)
Laporan Hasil Pengkajian Tim Terpadu yang dipaparkan oleh Amran Achmad
(Universitas Hasanuddin) selaku Ketua Tim Terpadu Daerah; (2) Surat Gubernur
Sulawesi Selatan Nomor 660/27/Set tanggal 5 Januari 2004 dan Rekomendasi
nomor 660/472/SET tanggal 7 Pebruari 2003; (3) Rekomendasi Bupati Maros
nomor 660.1/532/Set tanggal 13 Nopember 2002; (4) Surat Bupati Pangkep
nomor 430/13/DLHK tanggal 15 Maret 2003; (5) Keputusan DPRD Provinsi
Sulawesi Selatan Nomor 27 Tahun 2003 tanggal 19 Desember 2003; (6)
Rekomendasi DPRD Kabupaten Maros nomor 660.1/347/DPRD/2002 tanggal 17
Desember 2002; serta (7) Surat Ketua DPRD Kabupaten Pangkep nomor
005/194/Sek-DPRD tanggal 30 Juli 2003.
Pada tanggal 18 Oktober 2004, Menteri Kehutanan menerbitkan Keputusan
Nomor SK.398/Menhut-II/2004 tentang Perubahan Fungsi Kawasan Hutan pada
Kelompok Hutan Bantimurung-Bulusaraung seluas ± 43.750 Ha terdiri dari Cagar
Alam seluas ± 10.282,65 Ha, Taman Wisata Alam seluas ± 1.624,25 Ha, Hutan
Lindung seluas ± 21.343,10 Ha, Hutan Produksi Terbatas seluas ± 145 Ha, dan
Hutan Produksi Tetap seluas ± 10.335 Ha yang terletak di Kabupaten Maros dan
Pangkep, Provinsi Sulawesi Selatan menjadi Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung.
3.2. Karakteristik Penunjukkan
Wilayah yang saat ini merupakan kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung
merupakan sebagian dari kawasan Karst Maros-Pangkep yang sudah terkenal ke
seluruh dunia. Samodra (2003) menyampaikan bahwa singkapan batu gamping
yang luas di Sulawesi Selatan ini membentuk tipe karst tersendiri. Bukit-bukit
berlereng terjal yang sebagian besar genesanya dipengaruhi oleh struktur
geologi, sebelum diperlebar dan diperluas oleh proses pelarutan (karstifikasi)
membentuk bangun menara yang sangat khas (tower karst). Bukit-bukit menara
Karst Maros-Pangkep serupa dengan karst yang ada di China Selatan dan
Vietnam.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 30
Tipe Karst Maros-Pangkep memang berbeda dengan karst yang ada di
tempat lain yang pada umumnya berbentuk Conicall Hill Karst atau perpaduan
dari keduanya. Karakteristik eksokarstnya dikatakan sebagai bentukan karst
yang terindah kedua setelah kawasan karst yang telah ditetapkan sebagai
warisan alam dunia di Halong Bay Vietnam. Karst Maros-Pangkep juga
merupakan kawasan karst terluas kedua setelah karst yang ada di China
Selatan. Selain keindahan eksokarst, kawasan Karst Maros-Pangkep
sebagaimana pada umumnya kawasan karst juga dihiasi oleh endokarst yang tak
ternilai. Tidak kurang dari 400 gua di kawasan ini yang dapat menyajikan
keindahan bentukan ornamen gua (speleothem).
Gua-gua di kawasan Karst Maros-Pangkep, terutama gua fosil mempunyai
nilai arkeologi yang tinggi. Di dalamnya banyak dijumpai lukisan gua (rock
painting) manusia prasejarah yang dapat menguak kehidupan manusia
prasejarah dan budayanya (Samodra, 2003). Karst Maros-Pangkep menjadi
kawasan karst yang paling terkenal di Indonesia karena landsekapnya yang
spesifik dan ornamen gua terindah (ACS, 1989; Deharveng and Bedos, 1999;
McDonald, 1976; Whitten dkk, 1987; Suhardjono dkk 2007). Di samping itu,
Maros juga terkenal memiliki keanekaragaman hayati tertinggi di Asia Tropika
(Deharveng and Bedos, 1999 dalam Suhardjono dkk, 2007).
Dari segi keanekaragaman hayati, TN. Bantimurung Bulusaraung dikenal
dengan potensi Kupu-kupunya yang beranekaragam. Selama berada di wilayah
Maros, Wallace menemukan Rusa (Cervus timorensis), Babi (Sus celebensis),
Monyet Hitam Sulawesi Cynopthecus nigrescens (sekarang Macaca maura),
Rangkong (Rhyticeros cassidix), Trichoglossus ornatus, burung Punai, Corvus
advena, Idea tondana, Kumbang Macan (Therates flavilabris) dan berbagai jenis
kumbang lainnya, tiga species Ornithoptera yang sayapnya berukuran 7 – 8 inchi
(17 – 20 cm), Papilio miletus, P. telephus, P. macedon, Papilio rhesus (sekarang
Graphium rhesus), Papilio gigon, Tachyris zarinda (sekarang Appias zarinda),
dan banyak lagi yang lainnya. Hal yang paling berkesan bagi Wallace di
Bantimurung adalah pertemuannya dengan “The Magnificent Butterfly” Papilio
androcles (sekarang Graphium androcles), salah satu jenis Kupu-kupu Swallow
Tailed terbesar dan terjarang ditemukan.
Banyak yang kemudian mengikuti jejak Wallace untuk menapaki kawasan
Bantimurung. 25 tahun kemudian, di tahun 1882 Graphium androcles tidak
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 31
ditemukan dan dilaporkan punah walaupun species-species lain tetap ada
(Guillemard, 1889 dalam Whitten, 2002). Hal ini mungkin merupakan pengaruh
iklim, sebab 45 tahun kemudian Kupu-kupu ini kembali banyak ditemukan
(Leefmans, 1927 dalam Whitten, 2002). Wallace (1890) dalam Whitten dkk
(2002) melaporkan bahwa ia menemukan 256 species Kupu-kupu dari kawasan
Bantimurung. Berbeda dengan laporan tersebut, Mattimu (1977) melaporkan
bahwa ada 103 jenis kupu-kupu yang ia temukan di hutan wisata Bantimurung,
dengan jenis endemik antara lain adalah : Papilio blumei, P. polites, P. sataspes,
Troides haliphron, T. helena, T. hypolitus, dan Graphium androcles. Achmad
(1998) telah meneliti secara khusus habitat dan pola sebaran kupu-kupu jenis
komersil di hutan wisata Bantimurung selama satu tahun. Ia juga
menginformasikan bahwa kupu-kupu Troides haliphron dan Papilio blumei adalah
dua jenis endemik yang mempunyai sebaran yang sangat sempit, yakni hanya
pada habitat berhutan di pinggiran sungai.
Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung juga terkenal sebagai habitat
beberapa species penting lain yang kondisi populasinya sudah semakin menurun
di alam. Dare atau Monyet Hitam Sulawesi (Macaca maura) adalah salah satu
jenis primata endemik Sulawesi yang habitatnya meluas hampir di seluruh
kawasan. Kuskus Beruang (Ailurops ursinus) dan Kuskus Kecil (Stigocuscus
celebensis) juga dapat ditemukan di dalam kawasan ini. Salah satu primata
terkecil di dunia, Tarsius fuscus atau oleh masyarakat setempat diberikan nama
Balao-cengke atau Passipassi tersebar di beberapa lokasi di dalam kawasan.
Namun, keberadaan T. fuscus hanya diketahui di kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung, tidak ada yang melaporkan keberadaannya di tempat lain.
Dari aspek tata air, kawasan karst merupakan reservoir air raksasa yang
sangat strategis kedudukannya dalam menunjang berbagai kepentingan.
Kemampuan bukit karst dan mintakat epikarst pada umumnya mampu
menyimpan air selama tiga hingga empat bulan setelah berakhirnya musim
penghujan, sehingga sebagian besar sungai bawah tanah dan mata air di
kawasan karst mengalir sepanjang tahun dengan kualitas air yang baik. Dengan
formasi geologi utama berupa batuan kapur, kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung merupakan catchment area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi
Selatan. Beberapa sungai menghulu di kawasan ini, antara lain sungai Walanae
yang merupakan salah satu sungai yang mempengaruhi sistem hidrologi Danau
Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai Pangkep, Sungai Pute dan Sungai
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 32
Bantimurung/Maros. Di samping itu juga ditemukan beberapa mata air dan
sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta air bawah tanah pada sistem
perguaan, seperti di Gua Salle dan Gua Salukang Kallang.
Dari segi keunikan dan fenomena alam untuk kepentingan pariwisata dan
rekreasi alam, kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung tidak kekurangan potensi.
Bantimurung dengan air terjunnya sudah dikenal luas sampai ke seluruh belahan
dunia. Endokarst dengan keheningan, kegelapan abadinya serta berbagai
bentukan ornamen gua merupakan daya tarik tersendiri bagi sebagian besar
wisatawan maupun para penggiat perguaan (speleolog/ caver). Tebing-tebing
batu gamping yang berdiri vertikal atau bahkan overhang menjadi tantangan
tersendiri yang mengasyikkan bagi para penggiat panjat tebing. Untuk aktifitas
pendakian gunung, Pegunungan Bulusaraung menjadi pilihan yang tepat dan
biaya yang tidak mahal. Dari seluruh potensi petualangan itulah maka kawasan
TN. Bantimurung Bulusaraung kemudian diberikan julukan “Surga bagi Para
Petualang” (The Adventurer Paradise).
Apabila seluruh karakteristik dan keunikan utama TN. Bantimurung
Bulusaraung tersebut ingin diungkapkan dengan beberapa kalimat, maka
setidaknya terdapat tiga jargon atau gelar yang dapat diberikan, yaitu: (1) The
Kingdom of Butterfly; (2) The Spectacular Tower Karst; dan (3) The Adventurer
Paradise.
3.3. Letak Kawasan
Secara administrasi pemerintahan, TN. Bantimurung Bulusaraung terletak di
Wilayah Kabupaten Maros dan Kabupaten Pangkep dengan batas-batas
wilayahnya adalah:
- Sebelah Utara : Kabupaten Pangkep, Barru dan Bone
- Sebelah Timur : Kabupaten Maros dan Bone
- Sebelah Selatan : Kabupaten Maros
- Sebelah Barat : Kabupaten Maros dan Pangkep
Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung yang memiliki luas ±43.750 Ha
ini secara geografis terletak pada 4°42’49” – 5°06’42” Lintang Selatan dan
119°34’17” – 119°55’13” Bujur Timur.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 33
3.4. Topografi
Sebagaimana pada umumnya kawasan dengan landskap karst, bentuk
permukaan kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung bervariasi dari datar,
bergelombang, berbukit sampai dengan bergunung. Bagian kawasan yang
bergunung terletak pada sisi Timur Laut kawasan atau terletak pada blok
Pegunungan Bulusaraung di Kecamatan Mallawa Kabupaten Maros dan
Gunung Bulusaraung sendiri di Kecamatan Balocci Kabupaten Pangkep.
Puncak tertinggi terletak pada ketinggian 1.565 m.dpl di sebelah Utara
Pegunungan Bulusaraung. Puncak Gunung Bulusaraung sendiri terletak pada
ketinggian 1.315 m.dpl. Sisi ini dicirikan oleh kenampakan topografi relief
tinggi, bentuk lereng yang terjal dan tekstur topografi yang kasar.
Daerah perbukitan dicirikan oleh bentuk relief dan tekstur topografi halus
sampai sedang, bentuk lereng sedang sampai rendah, bentuk bukit yang
tumpul dengan lembah yang sempit sampai melebar. Daerah perbukitan ini
dapat dikelompokkan ke dalam perbukitan intrusi, perbukitan sedimen dan
perbukitan karst. Kawasan dengan topografi dataran dicirikan oleh bentuk
permukaan lahan yang datar sampai sedang dan sedikit bergelombang, relief
rendah dan tekstur topografi halus. Bentuk permukaan seperti ini banyak
dijumpai di antara perbukitan karst yang berbentuk menara.
3.5. Geologi dan Hidrologi
Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung tersusun atas beberapa formasi
geologi. Formasi yang didasarkan pada ciri-ciri litologi dan dominasi batuan
tersebut antara lain adalah: Formasi Balang Baru, Batuan Gunungapi
Terpropilitkan, Formasi Mallawa, Formasi Tonasa, Formasi Camba, Batuan
Gunungapi Formasi Camba, Batuan Gunungapi Baturape-Cindako, Batuan
Terobosan, dan Endapan Aluvium.
Pada Bukit kapur Maros-Pangkep terdapat dua jenis tanah yang kaya
akan Kalsium dan Magnesium, yaitu:
1. Rendolls, dengan ciri warna kehitaman karena kandungan bahan organik
yang tinggi. Ditemukan pada dasar lembah lereng yang landai, terutama di
bagian Selatan batu kapur Maros.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 34
2. Eutropepts, merupakan turunan dari inceptisol. Umumnya ditemukan pada
daerah dengan kelerengan yang terjal dan di puncak bukit kapur. Tanah ini
sangat dangkal dan berwarna terang.
Batuan kapur dikenal memiliki porositas yang tinggi, namun tidak
mampu melepaskan air selain mengalirkannya dalam bentuk aliran bawah
tanah melalui lorong/celah batuannya. Dengan formasi geologi utama berupa
batuan kapur, kawasan TN. Bantimurung-Bulusaraung merupakan catchment
area bagi beberapa sungai besar di Sulawesi Selatan. Beberapa sungai menghulu di
kawasan ini, antara lain Sungai Walanae yang merupakan salah satu sungai yang
mempengaruhi sistem hidrologi Danau Tempe. Sungai lainnya adalah Sungai
Pangkep, Sungai Pute dan Sungai Bantimurung/Maros. Di samping itu, juga
ditemukan beberapa mata air dan sungai kecil, terutama di kawasan Karst, serta air
bawah tanah pada sistem gua. Debit mata air terbesar dijumpai pada batu gamping
pejal dengan debit 50-250 lt/det, sedangkan mata air yang muncul di batuan sedimen
terlipat dan batuan gunung api umumnya < 10 lt/det.
3.6. Iklim
Berdasarkan perhitungan data curah hujan yang dikumpulkan dari
beberapa stasiun yang ada di sekitar kawasan taman nasional, ditemukan
bahwa pada wilayah bagian selatan terutama bagian yang berdekatan dengan
ibukota Kabupaten Maros, seperti Bantimurung termasuk beriklim tipe D
(Schmidt dan Ferguson), sedangkan Bengo-Bengo, Karaenta, Biseang
Labboro, Tonasa dan Minasa Te’ne beriklim tipe C, sementara pada bagian
utara, terutama wilayah Kecamatan Camba dan Mallawa termasuk kedalam
tipe B.
Peta curah hujan TN. Bantimurung Bulusaraung memperlihatkan adanya
empat zona curah hujan, yakni curah hujan 2.250 mm, 2.750 mm, 3.250 mm
dan 3.750 mm. Peta curah hujan memperlihatkan bahwa curah hujan 2.250
mm sampai 2.750 mm berada di bagian timur kawasan taman nasional,
dimana di wilayah inilah masyarakat banyak memanfaatkan kawasan hutan.
Sebaliknya, curah hujan yang lebih tinggi yakni 3.250 mm sampai 3.750 mm,
berada di bagian barat taman nasional dimana sekitar 75 % wilayah
cakupannya merupakan arael karst. Di wilayah ini, pemanfaatan lahan oleh
masyarakat dalam kawasan hutan relatif kecil karena kondisi lahan yang tidak
memungkinkan. Sisanya 25 % yang berupa ekosistem non karst dan
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 35
menyebar di bagian selatan, juga banyak dimanfaatkan oleh masyarakat
sebagai lahan pertanian. Tingginya pemanfaatan lahan areal taman nasional
oleh masyarakat pada wilayah yang mempunyai curah hujan tinggi, adalah
merupakan ancaman terhadap sumberdaya lahan di wilayah taman nasional,
terutama kaitannya dengan erosi tanah.
3.7. Biekologi
Berdasarkan pembagian tipe ekosistem alami yang ada di Indonesia dan
Sulawesi (mengikuti Sastrapradja dkk dan Whitten dkk), kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung dibagi ke dalam tiga tipe ekosistem utama, yaitu
ekosistem hutan pada batuan gamping (forest over limestone) atau lebih dikenal
dengan nama ekosistem karst, ekosistem hutan hujan non dipterocarpaceae
pamah, serta ekosistem hutan pegunungan bawah. Batas ketiga tipe ekosistem
ini sangat jelas karena hamparan batuan karst yang berdinding terjal dengan
puncak menaranya yang relatif datar, sangat berbeda dengan topografi dataran
rendah yang mempunyai topografi datar sampai berbukit, serta kondisi ekosistem
hutan pegunungan yang ditandai oleh bentuk relief yang terjal atau terkadang
bergelombang.
Pada kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung, terdapat dua lokasi
ekosistem karst yang saling terpisah, yaitu di wilayah Maros - Pangkep pada
bagian barat taman nasional, dan di ujung Utara, yakni di wilayah Mallawa. Para
ahli geologi membedakan kedua kelompok karst ini, yakni yang pertama dikenal
dengan kelompok Pangkajene dan yang kedua disebut kelompok pegunungan
bagian timur. Kedua lokasi ini merupakan wilayah penyebaran vegetasi bukit
karst dan lainnya merupakan areal penyebaran vegetasi hutan dataran rendah.
Tingginya kandungan kalsium dan magnesium dari batuan kapur yang
mendominasi areal karst di wilayah TN. Bantimurung Bulusaraung,
menyebabkan terbatasnya jenis-jenis tumbuhan yang dapat hidup pada
ekosistem tersebut. Achmad (2001) melakukan penelitian vegetasi pada empat
tipe habitat, yakni daerah puncak, tebing, lereng dan lorong patahan di wilayah
yang dulu merupakan areal Taman Wisata Alam Gua Pattunuang. Ia melaporkan
adanya variasi jenis yang menyusun kelompok vegetasi pada keempat tipe
habitat tersebut. Bahkan ada jenis yang ditemukan sangat spesifik berdasarkan
tempat tumbuhnya.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 36
Jenis flora yang terdapat di dalam TN. Bantimurung Bulusaraung sangat
beranekaragam dan di antaranya terdapat jenis-jenis dominan seperti palem
wanga (Piqafetta filaris dan Arenga sp.) yang tidak dijumpai lagi pada ketinggian
di atas 1.000 m.dpl. Jenis kayu-kayuan antara lain terdiri dari Uru (Elmerillia sp.),
Casuaria sp., Duabanga moluccana, Vatica sp., Pangium edule, termasuk
dijumpai tegakan murni Eucalyptus deglupta. Pada hutan pegunungan bawah
dijumpai Litsea sp., Agathis philippinensis, berbagai jenis bambu dan Ficus
sumatrana.
Hutan primer bukan pada batuan kapur ditemukan pada kompleks
Pegunungan Bulusaraung, sekitar hutan pendidikan Bengo-Bengo dan formasi
hutan di Kecamatan Camba dan Mallawa, serta sedikit di bagian Selatan TN.
Bantimurung Bulusaraung. Berdasarkan hasil eksplorasi, diketahui bahwa pada
hutan dataran rendah tersebut dihuni oleh jenis-jenis Vitex cofassus (bitti),
Palaquium obtusifolium (nyatoh), Pterocarpus indicus (cendrana), Ficus spp.
(beringin), Sterqulia foetida, Dracontomelon dao (dao), Dracontomelon
mangiferum, Arenga pinnata (aren), Colona sp., Dillenia serrata, Aleurites
moluccana (Kemiri), Pterospermum celebicum (bayur), Mangifera spp., Cananga
odoratum (kenanga), Duabanga moluccana, Eugenia spp., Garcinia spp.,
Zizigium cuminii, Arthocarpus spp., Diospyros celebica (kayu hitam), Buchanania
arborescens, Antocephalus cadamba, Myristica sp., Knema sp., dan Calophyllum
inophyllum.
Sampai tahun 2014 telah teridentifikasi sedikitnya 709 jenis tumbuhan yang
terdiri dari 14 family kelas monocotyledonae dan 86 family kelas dicotyledonae.
Di antaranya 43 jenis Ficus merupakan key species di kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung, 116 jenis Anggrek alam, dan 6 jenis yang dilindungi, yaitu ebony
(Diospyros celebica), palem (Livistona chinensis, Livistona sp.), anggrek alam
(Ascocentrum miniatum, Dendrobium macrophyllum dan Phalaenopsis
amboinensis).
Dari keluarga fauna, hingga tahun 2015 tercatat sedikitnya 728 jenis satwa
liar terdiri dari 33 jenis mamalia, 154 jenis burung, 17 jenis amphibia, 30 jenis
reptil, 329 jenis serangga (di antaranya 238 jenis kupu-kupu/Papilionoidea), serta
165 jenis collembola, pisces, moluska dan lain sebagainya. Di antaranya terdapat
52 jenis satwa liar penting yang dilindungi undang-undang dan 153 jenis satwa
liar endemik Sulawesi.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 37
Jenis-jenis mamalia yang ditemukan antara lain monyet hitam sulawesi
(Macaca maura), musang sulawesi (Macrogalidia musschenbroeckii), kuskus
sulawesi (Strigocuscus celebencis), kuskus beruang sulawesi (Ailurops ursinus),
Rusa (Cervus timorensis) dan Tarsius (Tarsius fuscus). Beberapa jenis burung
yang dijumpai di antaranya julang sulawesi (Aceros cassidix), cekakak-hutan
tunggir-hijau (Actenoides monachus), udang-merah sulawesi (Ceyx fallax),
kangkareng sulawesi (Penelopides exarhatus), elang ular sulawesi (Spilornis
rufipectu) dan perkici dora (Trichoglossus ornatus). Jenis herpetofauna seperti
katak sulawesi (Bufo celebensis dan Rana celebensis), ular kepala dua
(Cylindrophis melanotus), tokek-tanah sulawesi (Cyrtodactylus jellesmae), soa-
soa (Hydrosaurus amboinensis), dan kadal terbang (Draco walkeri).
TN. Bantimurung Bulusaraung juga dikenal ke segala penjuru dunia karena
memiliki keanekaragaman jenis dan populasi kupu-kupu yang tinggi. Alfred
Russel Wallace (1856) bahkan menjulukinya sebagai “The Kingdom of Butterfly”.
Kupu-kupu yang terdapat di Taman Nasional ini tidak kurang 200 jenis yang
teridentifikasi pada tingkat species, dengan jenis endemik antara lain adalah:
Papilio blumei, Papilio polytes, Papilio sataspes, Troides halyphron, Troides
Helena, Troides hypolithus, dan Graphium androcles.
Selain itu, terdapat jenis fauna yang endemik dalam gua sebagai penghuni
gelap abadi seperi ikan yang dengan mata tereduksi bahkan Mata buta
(Bostrychus spp.), Kecoa buta (Nocticola spp.) Kumbang gua (Eustra
saripaensis), Jangkrik gua (Rhaphidophora sp.) serta Tungau gua
(Trombidiidae).
3.8. Sosial, Ekonomi, dan Budaya
3.8.1. Demografi
Seluruh wilayah atau daerah penyangga kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung yang berjumlah 45 desa/kelurahan didiami oleh penduduk yang
berjumlah 100.879 jiwa dan terhimpun dalam 25.842 rumah tangga. Dengan total
wilayah administratif di daerah penyangga seluas 938,55 Km2, maka kepadatan
penduduk di wilayah-wilayah tersebut adalah 107 jiwa/Km2. Angka kepadatan
tersebut masih berada di bawah angka kepadatan total penduduk Provinsi
Sulawesi Selatan (201 jiwa/Km2), serta masih berada di bawah angka kepadatan
total penduduk Indonesia (136 jiwa/Km2). Namun demikian, angka kepadatan
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 38
total penduduk tersebut masih berada jauh di atas angka kepadatan penduduk di
beberapa provinsi di Indonesia, seperti Papua (9 jiwa/Km2), Papua Barat (10
jiwa/Km2), Sulawesi Tengah (43 jiwa/Km2), Sulawesi Tenggara (66 jiwa/Km2),
Sulawesi Barat (85 jiwa/Km2), Gorontalo (102 jiwa/Km2), serta banyak provinsi
lainnya.
Di antara 45 desa/kelurahan tersebut, kepadatan penduduk tertinggi
berada pada wilayah Kelurahan Minasa Tene (1.257 jiwa/Km2), Kelurahan
Tonasa (800 jiwa/Km2), dan Kelurahan Kalabbirang (595 jiwa/Km2). Adapun
wilayah desa/kelurahan dengan kepadatan penduduk terendah berada pada
wilayah Desa Samaenre (21 jiwa/Km2), Desa Gattareng Matinggi (27 jiwa/Km2),
dan Desa Tompo Bulu (32 jiwa/Km2). Wilayah-wilayah dengan kepadatan
tertinggi tersebut, pada umumnya adalah wilayah yang sangat dekat dengan
wilayah perkotaan, dengan infrastruktur yang relatif baik. Adapun beberapa
wilayah dengan kepadatan terendah, pada umumnya merupakan wilayah
pedesaan yang terpencil dan relatif sulit dijangkau. Wilayah-wilayah dengan
kepadatan penduduk rendah, pada umumnya juga merupakan wilayah dengan
topografi yang terjal serta pada umumnya merupakan bagian dari kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung. Kondisi demografi di daerah penyangga kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung adalah sebagaimana diuraikan secara lengkap pada
Tabel 1.
Tabel 1. Rumah tangga, penduduk, luas wilayah, dan kepadatan penduduk di daerah penyangga TN. Bantimurung Bulusaraung.
No. Kabupaten/ Kecamatan/ Kelurahan/ Desa
Rumah Tangga
Penduduk (Jiwa)
Luas Wilayah
(Km2)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
I. KABUPATEN MAROS I.A. Kec. Bantimurung 1. Kalabbirang 932 4.095 7,25 595 2. Leang-Leang 574 2.201 10,70 382
I.B. Kec. Simbang 3. Jenetaesa 483 3.763 10,08 373 4. Samangki 1.082 4.848 43,62 111 5. Sambueja 965 3.626 19,67 184
I.C. Kec. Cenrana 6. Laiya 671 2.682 63,83 42 7. Lebbotengae 262 1.047 15,67 66 8. Labuaja 520 2.078 21,45 97 9. Baji Pamai 328 1.311 7,55 173 10 Rompe Gading 397 1.586 17,97 88 11. Limampoccoe 836 3.343 23,37 143 I.D. Kec. Tompobulu 12. Toddolimae 289 1.952 45,54 43 13. Bonto Manai 373 1.426 12,00 119 14. Bonto Matinggi 382 1.268 23,67 54 15. Bonto Somba 306 1.236 32,13 38 I.E. Kec. Camba 16. Pattanyamang 360 1.228 27,91 44 17. Pattiro Deceng 475 1.775 13,47 132
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 39
No. Kabupaten/ Kecamatan/ Kelurahan/ Desa
Rumah Tangga
Penduduk (Jiwa)
Luas Wilayah
(Km2)
Kepadatan Penduduk (Jiwa/Km2)
18. Cempaniga 538 2.036 6,34 321 19. Timpuseng 367 1.425 10,75 133 20. Mario Pulana 317 1.198 16,70 72 I.F. Kec. Mallawa 21. Wanua Waru 386 1.459 21,22 67 22. Gattareng Matinggi 225 884 33,34 27 23. Batu Putih 332 1.183 24,61 48 24. Uludaya 182 641 11,30 57 25. Samaenre 232 894 42,25 21 26. Bentenge 254 875 23,84 37 27. Barugae 261 1.034 18,11 57
II. KAB. PANGKEP
II.A. Kec. Balocci 28. Kassi 920 3.485 19,23 181 29. Balocci Baru 788 2.949 39,00 76 30. Balleangin 1.303 4.048 23,40 173 31. Tompobulu 520 1.851 57,52 32 32. Tonasa 803 3.462 4,33 800 II.B. Kec. Minasa Te’ne 33. Kalabbirang 1.206 4.179 11,30 370 34. Minasa Te’ne 1.307 4.299 3,42 1.257 35. Bontokio 1.088 4.681 6,65 704 36. Kabba 957 3.172 10,20 311 37. Panaikang 710 2.714 10,20 266 38. Bontoa 1.033 4.289 16,00 268 II.C. Kec. Tondong Tallasa 39. Malaka 245 927 17,62 53 40. Bantimurung 528 1.938 26,42 73 41. Tondong Kura 493 1.917 19,00 95 42. Bonto Birao 414 1.453 11,92 121 43. Lanne 480 1.734 20.00 86
III. KABUPATEN BONE
III.A. Kec. Tellu Limpoe 44. Bonto Masunggu 238 1.031 26,00 40 45. Polewali 480 1.656 32,00 52
Jumlah 25.842 100.879 938,55 107 Sumber: Badan Pusat Statistik (2012) dan Monografi Desa/Kelurahan (2012)
3.8.2. Pendidikan
Pada 45 desa/kelurahan yang menjadi daerah penyangga kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung, terdapat 230 sekolah dalam berbagai tingkatan.
Namun demikian, pada umumnya di setiap desa/kelurahan hanya terdapat
sekolah dasar. 56,09% dari total jumlah tersebut merupakan sekolah dasar atau
sejumlah 129 unit. Adapun peserta didik pada seluruh wilayah daerah penyangga
kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung berjumlah 22.003 orang. 65,31% dari
total jumlah tersebut merupakan peserta didik sekolah dasar atau sejumlah
14.369 orang. Uraian lengkap terkait pendidikan masyarakat di daerah
penyangga kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung adalah sebagaimana dalam
Tabel 2 dan Tabel 3.
Jika dibandingkan dengan populasi penduduk, maka jumlah peserta didik
di daerah penyangga kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung adalah sejumlah
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 40
21,81% dari total populasi. Jumlah tersebut dapat dianggap masih rendah dan
dapat diasumsikan bahwa masih banyak masyarakat yang belum mengikuti
pendidikan sebagaimana mestinya. Namun demikian, ketersediaan fasilitas
pendidikan yang dapat diakses oleh masyarakat masih merupakan kendala
utama. Dari data pada Tabel 2, dapat dilihat pada pada 45 desa/kelurahan
tersebut dengan luas wilayah 938,55 Km2, hanya terdapat 16 sekolah setingkat
SLTA dan 30 sekolah setingkat SLTP. Untuk menempuh pendidikan tinggi, pada
umumnya masyarakat ini hijrah ke kota kabupaten dan ke Kota Makassar atau
kota-kota besar lainnya di Indonesia.
Tabel 2. Banyaknya sekolah menurut tingkatannya di daerah penyangga TN. Bantimurung Bulusaraung.
No. Kabupaten/ Kecamatan/ Kelurahan/ Desa
TK/ MDA SD/ MI SLTP/
MTs SLTA/
MA Akademi/
Universitas Jumlah
I. KABUPATEN MAROS I.A. Kec. Bantimurung 1. Kalabbirang 2 4 3 2 - 11 2. Leang-Leang 2 3 - - - 5 I.B. Kec. Simbang 3. Jenetaesa 2 4 1 2 - 9 4. Samangki 1 5 1 1 - 8 5. Sambueja 2 2 1 - - 5 I.C. Kec. Cenrana 6. Laiya 2 6 2 - - 10 7. Lebbotengae 1 2 - - - 3 8. Labuaja 3 5 - - - 8 9. Baji Pamai 2 1 - - - 3 10 Rompe Gading 1 4 1 1 - 7 11. Limampoccoe 3 7 1 - - 11 I.D. Kec. Tompobulu 12. Toddolimae - 3 1 1 - 5 13. Bonto Manai - 1 - - - 1 14. Bonto Matinggi - 1 1 - - 2 15. Bonto Somba - - - - - - I.E. Kec. Camba 16. Pattanyamang 2 3 - - - 5 17. Pattiro Deceng 2 2 - - - 4 18. Cempaniga 3 4 3 1 - 11 19. Timpuseng 2 4 1 - - 7 20. Mario Pulana 1 2 - 1 - 4 I.F. Kec. Mallawa 21. Wanua Waru - 2 1 - - 3 22. Gattareng Matinggi 1 2 - - - 3 23. Batu Putih 2 3 - - - 5 24. Uludaya - 1 - - - 1 25. Samaenre - 2 - - - 2 26. Bentenge 1 1 - - - 2 27. Barugae - 1 - - - 1 II. KAB. PANGKEP II.A. Kec. Balocci 28. Kassi ? 3 1 - - 4 29. Balocci Baru ? 4 - - - 4 30. Balleangin ? 4 2 1 - 7 31. Tompobulu ? 4 1 - - 5 32. Tonasa ? 4 1 1 - 6 II.B. Kec. Minasa Te’ne 33. Kalabbirang 1 3 1 - - 5 34. Minasa Te’ne 2 6 3 3 - 14 35. Bontokio 2 2 - - 1 5 36. Kabba 3 3 - 1 - 7 37. Panaikang 2 3 - - - 5
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 41
No. Kabupaten/ Kecamatan/ Kelurahan/ Desa
TK/ MDA SD/ MI SLTP/
MTs SLTA/
MA Akademi/
Universitas Jumlah
38. Bontoa - 4 - - - 4 II.C. Kec. Tondong Tallasa 39. Malaka 1 1 - - - 2 40. Bantimurung 2 3 1 1 - 7 41. Tondong Kura 2 3 1 - - 6 42. Bonto Birao 1 2 1 - - 4 43. Lanne 1 3 1 - - 5 III. KABUPATEN BONE III.A. Kec. Tellu Limpoe 44. Bonto Masunggu 1 1 - - - 2 45. Polewali 1 1 - - - 2 Jumlah 54 129 30 16 1 230
Sumber: Badan Pusat Statistik (2012) dan Monografi Desa/Kelurahan (2012) Keterangan: ? = tidak tersedia data
Tabel 3. Banyaknya peserta didik pada sekolah menurut tingkatannya di daerah penyangga TN. Bantimurung Bulusaraung.
No. Kabupaten/ Kecamatan/ Kelurahan/ Desa
TK/ MDA SD/ MI SLTP/
MTs SLTA/
MA Akad/ Univ Jumlah
I. KABUPATEN MAROS
I.A. Kec. Bantimurung 1. Kalabbirang 58 511 1.034 753 - 2.356 2. Leang-Leang 62 263 - - - 325
I.B. Kec. Simbang 3. Jenetaesa 38 554 42 499 - 1.133 4. Samangki 10 590 268 20 - 888 5. Sambueja 66 484 - - - 550
I.C. Kec. Cenrana 6. Laiya 21 696 41 - - 758 7. Lebbotengae 22 290 - - - 312 8. Labuaja 39 479 - - - 518 9. Baji Pamai 37 80 - - - 117 10 Rompe Gading 17 256 289 261 - 823 11. Limampoccoe 44 849 287 - - 1.180
I.D. Kec. Tompobulu 12. Toddolimae - 463 107 49 - 619 13. Bonto Manai - 164 - - - 164 14. Bonto Matinggi - 204 90 - - 294 15. Bonto Somba - - - - - -
I.E. Kec. Camba 16. Pattanyamang 30 179 45 - - 254 17. Pattiro Deceng 41 174 - - - 215 18. Cempaniga 73 300 545 118 - 1.036 19. Timpuseng 46 243 46 - - 335 20. Mario Pulana 18 138 - 298 - 554
I.F. Kec. Mallawa 21. Wanua Waru ? 189 52 - - 241 22. Gattareng Matinggi ? 160 - - - 160 23. Batu Putih ? 316 - - - 316 24. Uludaya ? 90 - - - 90 25. Samaenre ? 158 - - - 158 26. Bentenge ? 106 - - - 106 27. Barugae ? 77 - - - 77 II. KAB. PANGKEP
II.A. Kec. Balocci 28. Kassi ? 504 461 - - 922 29. Balocci Baru ? 386 - - - 386 30. Balleangin ? 631 311 301 - 1.243 31. Tompobulu ? 242 89 - - 331 32. Tonasa ? 626 370 332 - 1.328
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 42
No. Kabupaten/ Kecamatan/ Kelurahan/ Desa
TK/ MDA SD/ MI SLTP/
MTs SLTA/
MA Akad/ Univ Jumlah
II.B. Kec. Minasa Te’ne 33. Kalabbirang 28 486 180 - - 694 34. Minasa Te’ne 90 984 172 206 - 1.452 35. Bontokio 52 468 - - 213 733 36. Kabba 58 524 - 55 - 637 37. Panaikang 88 296 - - - 384 38. Bontoa - 440 - - - 440
II.C. Kec. Tondong Tallasa 39. Malaka 22 91 - - - 113 40. Bantimurung 58 219 200 270 - 747
41. Tondong Kura 85 246 122 - - 453 42. Bonto Birao 32 196 52 - - 280 43. Lanne 41 173 24 - - 238 III. KABUPATEN BONE
III.A. Kec. Tellu Limpoe 44. Bonto Masunggu 21 160 - - - 181 45. Polewali 23 195 - - - 218
Jumlah 1.162 14.369 3.793 2.409 213 22.003 Sumber: Badan Pusat Statistik (2012) dan Monografi Desa/Kelurahan (2012) Keterangan: ? = tidak tersedia data
3.8.3. Ekonomi Wilayah
Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung, sebagaimana telah diuraikan
sebelumnya berada di wilayah administrasi Kabupaten Maros dan Kabupaten
Pangkep. Namun demikian, daerah penyangga kawasan taman nasional ini juga
meliputi dua desa di Kabupaten Bone. Secara umum, ekonomi masyarakat di
seluruh daerah penyangga kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung masih sangat
berkaitan dengan sektor pertanian. Komoditas pertanian utama di wilayah-
wilayah ini adalah padi dan palawija. Komoditas tanaman perkebunan yang
banyak diusahakan antara lain kakao, kopi, jambu mete, kemiri, dan lain-lain.
Sub sektor peternakan didominasi oleh ternak sapi, kambing, kuda, dan unggas.
Ekonomi Kabupaten Maros terutama ditunjang oleh sektor pertanian,
industri pengolahan, serta sektor jasa. Berdasarkan data yang dipublikasikan
oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), PDRB Kabupaten Maros
disumbang oleh sektor pertanian sebesar Rp. 471 Trilyun atau sebesar 37,97%
dari total PDRB. Komoditi pertanian unggulan antara lain berupa kemiri, kakao,
kelapa, kopi, jagung, lada, jambu mete, sapi, kerbau, kambing, budidaya
perikanan, serta padi dan palawija. Sektor industri pengolahan menyumbangkan
23,76% dari total PDRB Kabupaten Maros atau sebesar Rp. 294,75 Trilyun. Hal
yang menarik dari kondisi ekonomi di Kabupaten Maros adalah sektor jasa,
terutama jasa wisata. Sektor tersebut merupakan penyumbang terbesar ketiga
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 43
untuk PDRB Kabupaten Maros, yaitu sebesar Rp. 164,77 Trilyun atau sebesar
13,28% dari total PDRB. Adapun pertumbuhan ekonomi Kabupaten Maros pada
tahun 2011 adalah sebesar 8%.
Ekonomi Kabupaten Pangkep terutama ditunjang oleh sektor pertanian dan
industri. Komoditi unggulan Kabupaten Pangkajene Kepulauan yaitu sektor
perkebunan, pertanian dan jasa. Komoditi unggulan sektor perkebunan adalah
kakao, kopi, kelapa, cengkeh, jambu mete, kemiri dan lada. Komoditi unggulan
sub sektor pertanian berupa jagung dan ubi kayu. Sub sektor jasa pariwisatanya
yaitu wisata alam dan budaya.
Ekonomi Kabupaten Bone sangat erat dengan sektor pertanian. 50,22%
dari PDRB disumbang oleh sektor pertanian atau sebesar Rp. 1.713 Trilyun.
Komoditi pertanian unggulan antara lain berupa kemiri, kakao, kelapa, kopi,
jagung, lada, jambu mete, sapi, kerbau, kambing, budidaya perikanan, serta padi
dan palawija. Pertumbuhan ekonomi Kabupaten Bone pada tahun 2011 adalah
sebesar 6%.
3.8.4. Budaya Masyarakat
Masyarakat Kabupaten Maros, Pangkep dan Bone yang bermukim di
sekitar TN. Bantimurung Bulusaraung pada umumnya merupakan etnis Bugis
dan Makassar yang menganut Agama Islam. Kabupaten Maros dan Pangkep
merupakan daerah peralihan antara wilayah etnis Bugis dengan wilayah etnis
Makassar, sehingga masyarakat yang berada di wilayah tersebut umumnya
mampu berbahasa Bugis dan Makassar. Pada beberapa kecamatan di
Kabupaten Maros dan Pangkep, terdapat komunitas yang menggunakan Bahasa
Dentong dan Bahasa Makassar berdialek Konjo. Sistem kepercayaan dan
budaya masyarakat Maros, Pangkep dan Bone sangat dipengaruhi oleh nilai-nilai
budaya Bugis-Makassar dan Islam. Nilai-nilai budaya yang berlaku masih
dijunjung tinggi oleh sebagian besar masyarakat di wilayah-wilayah ini.
Sebagai masyarakat agraris, dikenal berbagai kegiatan kebudayaan yang
berkaitan dengan aktifitas pertanian, mulai dari persiapan lahan, penanaman dan
panen. Semangat gotong royong dalam pembuatan atau perbaikan saluran air,
jalan desa dan ritual budaya masih terpelihara dengan baik. Dalam penentuan
waktu musim tanam dilakukan kegiatan Tudang Sipulung yang dihadiri oleh
masyarakat dan aparat desa. Sedangkan kegiatan Mappadendang merupakan
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 44
acara syukuran yang dilaksanakan setelah musim panen padi. Disamping itu,
dikenal berbagai budaya lokal yang terkait dengan sistem kepemilikan (sanra,
teseng, dan pewarisan) dan perkawinan yang berkaitan dengan budaya agraris.
Masyarakat yang bermukim di sekitar taman nasional, selain bekerja
sebagai petani, peternak dan pedagang, sebagian juga menggantungkan
hidupnya dari hasil hutan. Bisa saja dikatakan bahwa tidak sedikit yang
menggantungkan hidupnya dari hasil hutan walaupun tidak dapat dikatakan
subsisten, karena pada umumnya masyarakat ini juga mempunyai mata
pencaharian ganda dan mata pencaharian alternatif. Aktifitas ekonomi
masyarakat yang dilakukan di dalam kawasan taman nasional umumnya adalah
pembuatan gula aren, mencari madu, menangkap kupu-kupu, memungut kemiri,
dan mengambil kayu bahan bangunan, bahkan sebagian masyarakat berkebun
atau berladang di dalam kawasan taman nasional karena ketidaktahuan atau
kurangnya informasi tentang status lahan, serta faktor kesejarahan pengelolaan
dan penguasaan lahan sebelum penunjukan taman nasional (pada umumnya di
wilayah-wilayah yang dulunya adalah hutan lindung dan produksi). Pemungutan
hasil hutan ikutan seperti gula aren, kemiri dan madu merupakan aktifitas yang
memberikan keuntungan ekonomi yang cukup besar bagi masyarakat setempat.
Penangkapan kupu-kupu juga merupakan sumber pendapatan masyarakat yang
bermukim di sekitar kawasan wisata Bantimurung (Kecamatan Bantimurung dan
Simbang).
Masyarakat yang hidup di sekitar kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung
merupakan masyarakat yang tergolong sudah dipengaruhi oleh modernisasi
karena letaknya yang tidak jauh dari wilayah perkotaan. Selain letaknya secara
geografis, infrastruktur yang umumnya tersedia di wilayah perkotaan juga telah
banyak tersedia di desa-desa sekitar kawasan. Sarana komunikasi telepon,
termasuk juga telepon seluler sudah menjangkau hampir seluruh bagian
kawasan. Fasilitas listrik (baik yang disediakan oleh PLN maupun swadaya
masyarakat) juga telah menjangkau pelosok pedesaan, walaupun belum secara
menyeluruh.
Walaupun demikian, kebersahajaan hidup masyarakat pedesaan masih
dapat dilihat di wilayah-wilayah tertentu, terutama di wilayah yang tingkat
aksesibilitasnya rendah. Lembaga-lembaga kemasyarakatan yang ada di wilayah
tersebut pada umumnya berupa LKMD, kelompok tani dan koperasi. Keberadaan
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 45
lembaga-lembaga adat secara konsisten tidak lagi ditemukan di seluruh wilayah
daerah penyangga taman nasional. Pada daerah penyangga kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung, di tahun 2006 dan 2007 telah dibentuk dua sentra
penyuluhan kehutanan pedesaan (SPKP), yaitu di Desa Samangki Kecamatan
Simbang dan Desa Pattanyamang Kecamatan Camba. Kedua desa tersebut juga
merupakan model desa konservasi yang dicanangkan sejak tahun 2006, namun
pembinaan-pembinaannya saat ini lebih diarahkan ke Desa Labuaja dan Desa
Tompobulu yang juga merupakan pilot project pemberdayaan masyarakat
berbasis zonasi taman nasional.
3.9. Permasalahan Kawasan
Berbagai permasalahan masih menyelimuti upaya-upaya pengelolaan
kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung. Permasalahan- permasalahan tersebut
pada dasarnya merupakan dampak dari upaya pembangunan ekonomi yang
belum berpihak kepada upaya konservasi, dampak dari populasi manusia dan
semakin tingginya kebutuhan manusia akan sumberdaya alam hayati, serta
belum mantapnya kelembagaan Balai TN. Bantimurung Bulusaraung.
Beberapa permasalahan yang terkait dengan pengelolaan kawasan
TN Bantimurung Bulusaraung diuraikan sebagai berikut:
1. Penataan batas kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung belum temu gelang.
Sampai dengan tahun 2011, realisasi tata batas sudah mencapai 432,52
Km (90,44%) dari total panjang batas luar 478,22 Km. Penataan batas
direncanakan akan dirampungkan hingga temu gelang pada tahun 2012.
Karena belum terselesaikannya penataan batas maka penetapan kawasan
juga belum dapat dilakukan.
2. Sebagian hasil tata batas kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung yang
dilaksanakan antara tahun 1975 sampai dengan tahun 2001, telah
mengalami banyak perubahan. Pada tahun 2006 sampai dengan 2009
dilaksanakan rekonstruksi batas kawasan dan banyak ditemukan tumpang
tindih penggunaan lahan di sekitar batas kawasan. Terkait dengan batas-
batas kawasan di lapangan, pada tahun 2009 telah dilakukan reposisi batas
kawasan hutan dan difokuskan pada kawasan TN Bantimurung
Bulusaraung, namun upaya ini belum mampu menjawab permasalahan
presisi batas kawasan di lapangan dan dokumen tata batas yang ada.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 46
3. Kawasan-kawasan hutan yang kemudian diubah fungsinya menjadi TN.
Bantimurung Bulusaraung belum clear and clean. Masih terdapat
tumpang tindih penggunaan atau kepemilikan lahan di dalam kawasan.
Berdasarkan penafsiran citra satelit yang tersedia, lebih dari 20% dari total
luas kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung merupakan bagian kawasan
yang bermasalah. Lahan- lahan tersebut antara lain telah berubah fungsi
menjadi kawasan pemukiman, areal persawahan, lahan pertanian dan
perkebunan serta areal yang ditumbuhi semak belukar.
4. Di dalam kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung terdapat tanaman Kemiri
(Aleurites moluccana) yang bagi masyarakat setempat merupakan
komoditas penunjang usaha ekonominya. Selain itu terdapat pula tanaman
Jati (Tectona grandis). Tanaman ini pada umumnya berada di dalam
kawasan yang sebelumnya berfungsi lindung dan produksi. Masyarakat di
sekitar kawasan mengakui tanaman Kemiri dan Jati tersebut sebagai milik
mereka walaupun diakui berada di dalam kawasan hutan. Karena klaim
kepemilikan tersebut, kelompok-kelompok masyarakat ini menuntut untuk
dapat memanfaatkan hasilnya.
5. Fenomena alam di bawah permukaan karst (endokarst) sangat khas dan
unik namun belum semua dapat diekplorasi karena keterbatasan
sumberdaya.
6. Pemanfaatan Kupu-kupu dari habitat alaminya masih terus terjadi di
kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung karena harga jualnya yang cukup
menjanjikan serta masih tingginya permintaan pasar. Untuk mengatasi
permasalahan ini, telah diupayakan untuk mensosialisasikan upaya-upaya
penangkaran jenis Kupu-Kupu, termasuk salah satunya dengan
pengembangan demplot penangkaran Kupu-kupu di kawasan Bantimurung.
7. Pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung secara kolaboratif belum
sepenuhnya berjalan dengan baik.
8. Kelembagaan Balai TN. Bantimurung Bulusaraung belum mapan. SDM yang
ada masih sangat terbatas, sarana dan prasarana pengelolaan juga
demikian adanya. Selain itu, struktur organisasi yang ada belum mampu
mendukung kebutuhan pengelolaan.
IV. HASIL EVALUASI ZONASI
Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung sesuai Surat Keputusan Direktur
Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Nomor: SK.58/IV-SET/2012
tanggal 04 April 2012, terdiri dari:
1. Zona Inti = 22.865,48 ha
2. Zona Rimba = 9.997,21 ha
3. Zona Pemanfaatan = 367,41 ha
4. Zona Tradisional = 4.349,77 ha
5. Zona Rehabilitasi = 1.791,49 ha
6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah = 191,49 ha
7. Zona Khusus = 4.187,15 ha
Pelaksanaan evaluasi zonasi dilakukan dengan pencermatan dokumen
zonasi yang sudah ada, menampung aspirasi dari internal Balai TN. Bantimurung
Bulusaraung berupa data lapangan maupun data eksternal hasil penelitian yang
dilakukan di TN. Bantimurung Bulusaraung.
Dari data-data dan masukan tersebut selanjutnya dibahas dan disusun
dalam bentuk Draft Revisi Zonasi, selanjutnya draft tersebut divalidasi di
lapangan. Pengecekan data di lapangan dilakukan untuk memastikan lokasi
revisi dan kebenaran interpretasi penggunaan lahan di lapangan. Draft revisi
zonasi tersebut selanjutnya dibahas di tingkat daerah dan pusat untuk
memperoleh kesepahaman mengenai hasil revisi zonasi. Ada beberapa prinsip
dalam revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung sebagai berikut:
1. Optimalisasi pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung dalam
pengembangan jalan di dalam kawasan yang mendukung pembangunan
daerah dalam skala pembangunan nasional.
2. Optimalisasi fungsi TN. Bantimurung Bulusaraung dalam memberikan
kontribusi kepada masyarakat sekitar kawasan melalui pengembangan
pemanfaatan jasa lingkungan air dan pemanfaatan tradisional.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 48
3. Optimalisasi perlindungan dan pengawetan ekosistem alami TN.
Bantimurung Bulusaraung yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati
dengan keanekaragaman yang tinggi, keunikan dan kekhasan gejala alam
dengan fenomena alam yang indah.
Berikut kajian beberapa zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung yang harus
direvisi guna peningkatan efektifitas pengelolaan kawasan:
4.1. Pengembangan Ruas Jalan Nasional Maros-Ujung Lamuru-Watampone
4.1.1. Kondisi Saat ini
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor: SK.58/IV-SET/2012 tanggal 04 April 2012 tentang
zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung, bahwa di antara zona khusus di taman
nasional terdapat sarana transportasi yang meliputi jalan nasional yang
memotong kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung sepanjang 11 km mulai km
km.48 sampai dengan km.59.
Kondisi vegetasi di sepanjang jalan berupa hutan karst. Jenis satwa yang
sering dijumpai langsung di sepanjang jalan adalah jenis monyet hitam Sulawesi
(Macaca maura), berbagai jenis burung dan jenis kupu-kupu.
Kondisi jalan yang sangat sempit dan berkelok serta pada beberapa titik di
sebelah kanan dan atau kiri jalan terdapat jurang dan tebing karst. Untuk
peningkatan jalan ini, Kementerian PU akan melakukan kegiatan pelebaran jalan
pada existing dan sebagian adalah perbaikan alinyement pada 4 (empat) daerah
Black Spot dengan Elevated Bridge atau Elevated Road sesuai dengan hasil
rekomendasi Feasibity Study. Lokasi Black Spot dimaksud antara lain:
- Segmen-1 mulai dari km.47+750 sampai dengan km.49+157
- Segmen-2 mulai dari km.52+685 sampai dengan km.53+358
- Segmen-3 mulai dari km.54+200 sampai dengan km.55+000
- Segmen-4 mulai dari km.56+240 sampai dengan km.56+604
4.1.2. Revisi Zona
Menindaklanjuti surat Menteri Kehutanan Nomor: S.429/Menhut-IV/2014
tanggal 24 September 2014 perihal Persetujuan Pemanfaatan Kawasan TN.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 49
Bantimurung Bulusaraung untuk Penanganan Ruas Jalan Nasional Maros-Ujung
Lamuru-Watampone di Provinsi Sulawesi Selatan, diperlukan perubahan zonasi
pada rencana lokasi jalan, sebagai dasar penyusunan perjanjian kerjasama
antara Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional VI Makassar dengan Balai TN.
Bantimurung Bulusaraung sesuai ketentuan Keputusan Menteri Kehutanan
Nomor: 390/Kpts-II/2003 dan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.19/Menhut-
II/2004, serta perubahannya berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor:
P.85/Menhut-II/2014.
Berdasarkan pembahasan hasil survei lapangan dalam rangka usulan
peningkatan ruas jalan Maros – Ujung Lamuru – Watampone di dalam kawasan
TN. Bantimurung Bulusaraung pada tanggal 04 Juni 2015, maka rencana
perbaikan alinyement pada 4 (empat) daerah Black Spot dengan Elevated Bridge
atau Elevated Road perlu dilakukan perubahan zona sebagaimana disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Revisi zona untuk Pengembangan Ruas Jalan Nasional Maros-Ujung Lamuru-Watampone.
No. Lokasi Zona Awal Revisi Zona Luas (ha) 1. Segmen-1 1. Pemanfaatan Khusus 2,46 2. Rimba Khusus 0,02
2. Segmen-2 1. Rimba Khusus 1,48
2. Inti Khusus 0,83
3. Inti Rimba 2,19 3. Segmen-3 1. Rimba Khusus 0,59 2. Inti Rimba 1,34
4. Segmen-4 Rimba Khusus 0,55
4.2. Pemanfaatan Jasa Lingkungan Air Mata Air Ulu Ere, Mata Air Leang Paniki, Sungai Galung-galung dan Sungai Balanglohe
4.2.1. Kondisi Saat Ini
Kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung memiliki peran yang sangat penting
dan strategis karena kawasan ini merupakan daerah tangkapan air (catchments
area) bagi daerah-daerah yang ada di sekitarnya. Keberadaan catchments area ini
mendukung pemanfaatan jasa lingkungan air untuk konsumsi rumah tangga,
pertanian, perikanan, industri dan kebutuhan hidup lainnya. Berikut disampaikan
data pemanfaatan jasa lingkungan air (massa dan energi) di TN. Bantimurung
Bulusaraung pada zona inti dan atau zona rimba pada Tabel 3.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 50
Tabel 5. Jenis pemanfaatan jasa lingkungan air di TN. Bantimurung Bulusaraung pada zona inti dan zona rimba.
No. Nama Sungai/ Mata air Lokasi zona Jenis Pemanfaatan Keterangan
1. Mata air Ulu Ere Zona Rimba Komersial PDAM 2. Mata air Leang Paniki Zona Rimba Non komersial Air bersih 3. Sungai Galung-galung Zona Inti dan
Zona Rimba Non Komersial Saluran irigasi pertanian
4. Sungai Balanglohe Zona Rimba Non Komersial Mikrohidro
Keberadaan perbukitan karst potensial sebagai cadangan air, terutama
endokarst yang memiliki jaringan gua berair (sistem hidrologi karst) yang
mengalirkan sungai bawah permukaan (sub-terrain drainage). Di kabupaten
Pangkep beberapa sungai bawah permukaan yang masih aktif di TN.
Bantimurung Bulusaraung dan keberadaannya untuk pemanfaatan jasa
lingkungan air di antaranya Ulu ere dan Leang Paniki.
Di kabupaten Pangkep, Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) kabupaten
Pangkep telah memanfaatkan 2 (dua) sumber mata air, yaitu: Leang Kassi,
kelurahan Biraeng sejak tahun 1982, dan Ulu Ere di dusun Lonrong, desa
Panaikang, kecamatan Minasatene sejak tahun 1990. Hingga saat ini penyaluran
air bersih oleh PDAM kabupaten Pangkep telah didistribusikan pada masyarakat
dari berbagai jenis konsumen sebanyak 7.468 pelanggan (BPS kabupaten
Pangkep, 2013). Selain itu, di desa Bontobirao, kecamatan Tondong Tallasa
terdapat mata air dari Leang Paniki dan telah dibangun sarana dan prasarana air
bersih untuk masyarakat sekitar.
Sementara di kabupaten Maros beberapa aliran sungai di TN. Bantimurung
Bulusaraung juga telah dimanfaatkan oleh masyarakat di antaranya sungai
Galung-galung untuk saluran irigasi dan sungai Balanglohe untuk mikrohidro.
Aliran sungai Galung-galung di dusun Pattiro, desa Rompe Gading, Kecamatan
Cendrana dimanfaatkan oleh masyarakat desa Rompe Gading untuk saluran
irigasi pertanian bantuan Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM)
Lingkungan Mandiri Perdesaan (LMP) tahun 2011 sepanjang 575 meter.
Sedangkan aliran sungai Balanglohe di dusun Balanglohe, desa Barugae,
Kecamatan Mallawa dimanfaatkan oleh masyarakat Desa Barugae untuk
pembangunan mikrohidro bantuan dari PNPM LMP tahun 1998.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 51
4.2.2. Revisi Zona
Areal pemanfaatan air dan energi air pada TN. Bantimurung Bulusaraung
telah ditetapkan berdasarkan Keputusan Dirjen PHKA Nomor: SK.237/IV-
SET/2014 tanggal 2 Desember 2014. Dari keputusan tersebut, 13 areal
pemanfaatan air yang telah ditetapkan dan berada di luar zona inti dan zona
rimba. Sedangkan pemanfaatan air di mata air Ulu Ere, mata air Leang Paniki,
sungai Galung-galung dan sungai Balanglohe tidak ditetapkan karena berada di
dalam zona inti dan zona rimba.
Keberadaan air di mata air Ulu Ere, mata air Leang Paniki, sungai Galung-
galung dan sungai Balanglohe sangat diperlukan oleh masyarakat sekitar, maka
diperlukan perubahan zona di kawasan tersebut secara khusus lebih diarahkan
untuk pemanfaatan jasa lingkungan air. Namun dalam pengelolaanya perlu
kesadaran semua pihak, untuk memanfaatkan dan bertanggung jawab dalam
melakukan kewajibannya untuk menjaga kelestarian hutan berupa kontribusinya
sebagai kompensasi agar kebutuhan akan sumber air dapat terpenuhi.
Perubahan zona di mata air Ulu Ere, mata air Leang Paniki, sungai Galung-
galung dan sungai Balanglohe selengkapnya tercantum dalam Tabel 6.
Tabel 6. Revisi zona untuk pemanfaatan jasa lingkungan air. No. Nama Sungai/
Mata air Zona Awal Revisi Zona Luas (ha)
1. Mata air Ulu Ere Rimba Pemanfaatan 3,90 2. Mata air Leang Paniki Rimba Pemanfaatan 4,23 3. Sungai Galung-galung 1. Inti Pemanfaatan 0,53
2. Inti Rimba 10,86
3. Rimba Pemanfaatan 0,19 4. Sungai Balanglohe Rimba Pemanfaatan 0,62
4.3. Pemanfaatan Tradisional Ammarae
4.3.1. Kondisi Saat Ini
1. Kondisi Ekologi
Zona rehabilitasi Ammarae yang berbatasan dengan zona rimba memiliki
luas 24,28 ha berada pada ketinggian 80 - 130 m dpl. Zona ini merupakan tipe
eksosistem hutan karst dengan karakteristik morfologi hutan sekunder datar
dengan dominasi oleh rerumputan. Tingginya kadar kalsium dalam tanah, lapisan
tanah tipis, dan areal yang sering dimanfaatkan untuk pengembalaan ternak oleh
masyarakat sehingga pertumbuhan berbagai pohon menjadi terhambat.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 52
Sedangkan zona rimba dengan karakteristik morfologi hutan primer pada
perbukitan karst yang berbatasan dengan zona rehabilitasi ini merupakan habitat
satwa di antaranya tarsius (Tarsius fuscus), monyet hitam Sulawesi (Macaca
maura), julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), berbagai jenis burung dan jenis
kupu-kupu.
2. Kondisi Sosial, Ekonomi dan Budaya
Secara administrasi, Ammarae termasuk dalam dusun Bangkesangkeang,
kelurahan Kassi, kecamatan Balocci, kabupaten Pangkep. Kelurahan Kassi
merupakan wilayah administratif pemerintahan seluas ± 9,3 Km2. Populasi
penduduknya berjumlah 3.494 jiwa, yang terdiri dari 1.697 jiwa laki-laki dan 1.797
jiwa perempuan. Keseluruhan populasi tersebut berasal dari 919 rumah tangga.
Kelurahan ini terletak kurang lebih 7 Km dari ibukota kecamatan Balocci,
kabupaten Pangkep. Untuk mencapai desa ini dapat menggunakan kendaraan
bermotor roda empat selama lebih kurang 30 menit atau lebih kurang 15 menit
dengan kendaraan roda dua.
Masyarakat kelurahan Kassi pada umumnya adalah etnis Bugis dan
beragama Islam. Bahasa pengantar yang digunakan adalah Bahasa Bugis dan
Bahasa Indonesia. Mata pencaharian masyarakat pada umumnya adalah di
bidang pertanian, karyawan pemerintah serta bekerja di sektor industri dan
swasta lainnya. Sarana dan prasarana yang tersedia di Kelurahan ini terbilang
cukup baik. Fasilitas yang tersedia antara lain terdiri dari 3 buah sekolah dasar,
sebuah sekolah menengah pertama, sebuah PAUD, 3 buah masjid, 1 unit
Poskesdes, 1 unit Puskesmas Pembantu, serta fasilitas lainnya. Untuk
kepentingan perhubungan, di wilayah ini tersedia jalan aspal dengan kualitas
yang cukup baik.
Listrik disediakan oleh PLN di wilayah ini, sedangkan air bersih disediakan
sendiri oleh masyarakat dengan memanfaatkan sungai, mata air dan sumur.
Untuk kebutuhan komunikasi, tersedia telepon selluler dengan kualitas signal
yang cukup baik di seluruh wilayah. Tingkat pendidikan masyarakat cukup baik
apabila ditinjau dari jumlah peserta didik yang cukup signifikan dibandingkan
dengan total populasi dan fasilitas pendidikan yang cukup tersedia.
Masyarakat Kassi bermukim pada wilayah-wilayah yang sebagian
berbatasan langsung dengan kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung. Walaupun
demikian, belum seluruh masyarakat ini memahami keberadaan kawasan serta
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 53
fungsi dan manfaatnya. Masyarakat ini secara terbatas mengakses kawasan
taman nasional karena faktor topografi menara karst vertikal di sekitar desa ini.
Potensi kawasan yang dimanfaatkan terbatas pada tegakan bambu untuk
keperluan pertukangan, dan dengan demikian maka potensi ancaman terhadap
kawasan yang dapat ditimbulkan oleh masyarakat Kassi dapat dikatakan sangat
kecil. Begitu juga dengan pemanfaatan areal rehabilitasi Ammarae untuk
pengembalaan ternak, tidak terjadi konflik satwa liar dengan masyarakat sekitar.
4.3.2. Revisi Zona
Berdasarkan aspek ekologi kawasan, karakteristik sosial ekonomi, tingkat
ketergantungan terhadap hutan, dan persepsi masyarakat serta dengan
memperhatikan kebijakan pembangunan dan manajemen TN. Bantimurung
Bulusaraung, maka lokasi dan zona rehabilitasi Ammarae saat ini perlu ditinjau
ulang kembali dan perlu dirancang khusus agar dapat berfungsi lebih optimal
dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mengurangi tekanan terhadap
TN. Bantimurung Bulusaraung, sehingga zona rehabilitasi Ammarae direvisi menjadi zona tradisional seluas 24,28 ha. Namun demikian, pemberian
persetujuan tersebut perlu disertai dengan ketentuan-ketentuan yang menjamin
kelestarian kawasan, termasuk di dalamnya ketentuan-ketentuan yang mengatur
kewajiban masyarakat untuk secara proaktif melakukan kegiatan pengamanan
kawasan.
4.4. Perlindungan dan Pengawetan Ekosistem Hutan Tombolo
4.4.1. Kondisi Saat Ini
Perambahan hutan yang terjadi sebelum penunjukan TN. Bantimurung
Bulusaraung telah mengakibatkan rusaknya beberapa kawasan hutan di taman
nasional di antaranya di zona rehabilitasi Tombolo seluas 701,41 ha. Kondisi fisik
sebagian kawasan yang sebelumnya terbuka telah berubah menjadi hutan
sekunder muda dengan strata yang bervariasi seluas 435,84 ha dikarenakan
suksesi alami dan rehabilitasi hutan. Selain itu, zona rehabilitasi Tombolo ini juga
merupakan habitat satwa di antaranya tarsius (Tarsius fuscus), monyet hitam
Sulawesi (Macaca maura), julang Sulawesi (Rhyticeros cassidix), berbagai jenis
burung dan kupu-kupu.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 54
4.4.2. Revisi Zona
Pulihnya sebagian zona rehabilitasi Tombolo sebagai akibat dari suksesi
alami dan rehabilitasi hutan berdampak pada optimalnya sebagian zona
rehabilitasi Tombolo untuk melaksanakan fungsi ekologi habitat satwa dan fungsi
hidrologi serta termasuk mendukung sosial ekonomi masyarakat sekitar.
Berdasarkan hasil evaluasi dan pemantauan, sebagian zona rehabilitasi Tombolo ditingkatkan penataan zona-nya menjadi zona rimba seluas 435,84
ha dengan mempertimbangkan keberadaan habitat di antaranya satwa tarsius
(Tarsius fuscus), monyet hitam Sulawesi (Macaca maura), julang Sulawesi
(Rhyticeros cassidix), berbagai jenis burung dan jenis kupu-kupu.
4.5. Konsultasi Publik
Salah satu rangkaian kegiatan penyusunan revisi zonasi taman nasional
adalah digelarnya konsultasi publik. Konsultasi publik ditujukan untuk
mendapatkan dukungan, masukan, koreksi, dan rekomendasi dari pihak
pemerintahan daerah. Konsultasi publik dalam rangka penyusunan Revisi Zonasi
TN. Bantimurung Bulusaraung dilaksanakan pada tingkat daerah. Pada tahap
selanjutnya, diadakan penyempurnaan rancangan zonasi berdasarkan
kesepahaman yang terbangun, yang kemudian digunakan untuk penyempurnaan
rancangan zonasi hingga menjadi Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung.
Butir-butir kesepahaman bersama dalam konsultasi publik Rancangan
Revisi Zonasi TN Bantimurung Bulusaraung di tingkat daerah yang mengikat
secara umum adalah sebagai berikut:
1. Peserta Konsultasi Publik Rancangan Revisi Zonasi TN. Bantimurung
Bulusaraung Tingkat Daerah tidak berkeberatan atas revisi zonasi yang
telah disusun;
2. Peningkatan Jalan Poros Maros Ujung Lammuru sepanjang 11 km yang
melintasi kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung dilaksanakan
berdasarkan hasil zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung yang sudah
direvisi;
3. Pemanfaatan jasa ligkungan air di Mata air di Ulu Ere, Mata air Leang
Paniki, Sungai Galung-galung dan Sungai Balanglohe dilakukan revisi dari
zona rimba ke zona pemanfaatan;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 55
4. Pemanfaatan tradisional Ammarae yang sebelumnya merupakan zona
rehabilitasi direvisi menjadi zona tradisional;
5. Zona rehabilitasi tombolo direvisi menjadi zona rimba berdasarkan hasil
analisa tutupan lahan TN. Bantimurung Bulusaraung Tahun 2015;
6. Konsultasi Publik Rancangan Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung
Tingkat Daerah tetap memperhatikan prinsip pembangunan dan konservasi
yang berkelanjutan;
7. Pelaksanaan setiap program dari berbagai sektor yang terkait di dalam dan
di sekitar kawasan taman nasional, agar dikoordinasikan dengan Balai TN.
Bantimurung Bulusaraung, agar selalu sinkron dengan fungsi dan
peruntukan setiap zona taman nasional;
8. Kerjasama dan/atau kolaborasi agar selalu dikedepankan dalam
pengembangan pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung;
Berdasarkan hasil kajian dan hasil kesepahaman dalam konsultasi publik
tersebut di atas, telah diadakan penyempurnaan revisi zonasi TN. Bantimurung
Bulusaraung. Adapun hasil penyempurnaannya adalah:
1. Zona Inti = 22.849,73 ha
2. Zona Rimba = 10.435,84 ha
3. Zona Pemanfaatan = 374,43 ha
4. Zona Tradisional = 4.374,05 ha
5. Zona Rehabilitasi = 1.331,38 ha
6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah = 191,49 ha
7. Zona Khusus = 4.193,08 ha
V. DESKRIPSI ZONASI
5.1. Zona Inti
Zona Inti adalah bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik
biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang
mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman
hayati. Zona Inti merupakan kawasan yang sangat sensitif dan memerlukan
upaya perlindungan secara ketat, terutama untuk perlindungan hidupan liar (flora
dan fauna) terpenting/kunci berikut habitatnya dan umumnya berupa
habitat/hutan primer. Zona ini merupakan bagian kawasan yang berada relatif
jauh dari batas kawasan dengan akses yang minimum.
Keberadaan Zona Inti bertujuan untuk memberikan perlindungan mutlak
atas flora dan fauna penting/kunci, endemik, langka dan dilindungi, sangat peka/
sensitif terhadap berbagai bentuk gangguan/kerusakan, dengan
keanekaragaman hayati yang tinggi, ekosistem khas, dan merupakan contoh
perwakilan ekosistem. Pada zona ini tidak diperbolehkan adanya perubahan
apapun oleh aktivitas manusia, dan perubahan yang terjadi agar dijaga dan
berjalan secara alami. Kegiatan yang diperkenankan adalah penelitian,
pemantauan, perlindungan dan pengamanan.
Zona Inti berfungsi dan diperuntukkan bagi perlindungan ekosistem,
pengawetan flora dan fauna khas beserta habitatnya yang peka terhadap
gangguan dan perubahan, sumber plasma nutfah dari jenis tumbuhan dan satwa
liar, untuk kepentingan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan, penunjang budidaya.
Zona Inti ditetapkan berdasarkan kriteria:
1. Bagian taman nasional yang mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan
dan satwa beserta ekosistemnya;
2. Mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya yang
merupakan ciri khas ekosistem dalam kawasan taman nasional yang kondisi
fisiknya masih asli dan belum diganggu oleh manusia;
3. Mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan
tidak atau belum diganggu manusia;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 57
4. Mempunyai luasan yang cukup dan bentuk tertentu untuk menjamin
kelangsungan hidup jenis-jenis tertentu untuk menunjang pengelolaan yang
efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami;
5. Mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang
keberadaannya memerlukan upaya konservasi;
6. Mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa liar beserta ekosistemnya
yang langka yang keberadaannya terancam punah;
7. Merupakan habitat satwa dan atau tumbuhan tertentu yang prioritas dan
khas/endemik;
8. Merupakan tempat aktifitas satwa migran.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Inti TN. Bantimurung
Bulusaraung adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya;
3. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan atau
penunjang budidaya;
4. Pembangunan sarana dan prasarana non permanen dan terbatas untuk
kegiatan penelitian dan pengelolaan.
Zona Inti TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi kawasan seluas 22.849,73
ha atau sebesar 52,23% dari total luas taman nasional. Zona Inti TN.
Bantimurung Bulusaraung meliputi seluruh tipe ekosistem yang ada di dalam
kawasan. Tipe ekosistem terluas yang terwakili di dalam Zona Inti adalah
ekosistem Karst seluas 13.063,81 ha atau sebesar 29,86% dari total luas
kawasan taman nasional. 5.841,52 ha atau sebesar 13,35% dari total luas
kawasan taman nasional merupakan tipe ekosistem Hutan Hujan Non
Dipterocarpaceae Pamah yang terwakili di dalam Zona Inti. Adapun tipe
ekosistem Hutan Pegunungan Bawah terwakili di dalam Zona Inti seluas
3.944,40 ha atau sebesar 9,02% dari total luas kawasan taman nasional.
Keterwakilan tipe ekosistem Hutan Pegunungan Bawah di dalam zona inti taman
nasional adalah yang terluas dari seluruh zona yang ada. Hal tersebut antara lain
disebabkan oleh kondisi sensitifitas ekologinya, keterjangkauannya dari pusat-
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 58
pusat penyebaran pemukiman masyarakat, serta kondisinya yang pada
umumnya masih sangat baik atau dapat dikatakan dalam tingkat gangguan yang
minim.
Hampir seluruh potensi keanekaragaman hayati kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung menempati area pada Zona Inti. Pusat-pusat sebaran flora dan
fauna penting, unik dan endemik pada umumnya berada di dalam Zona Inti.
Ekosistem Karst yang merupakan pertimbangan utama penunjukan kawasan
hutan ini menjadi taman nasional juga terwakili dengan baik di dalam Zona Inti.
66,11% dari kawasan Karst seluas 19.767,33 ha yang ada di dalam kawasan TN.
Bantimurung Bulusaraung berada di dalam Zona Inti taman nasional.
Hingga saat ini, di dalam Zona Inti TN. Bantimurung Bulusaraung diketahui
terdapat 709 jenis tumbuhan yang terdiri dari 112 family. Jumlah tersebut
kemungkinan dapat bertambah seiring dengan semakin intensifnya pelaksanaan
eksplorasi. Selain itu, terdapat pula 728 jenis satwa liar fauna yang terdiri dari
hampir semua kelas yang ada.
Secara geografis, Zona Inti TN. Bantimurung Bulusaraung tersebar hampir
merata di seluruh kawasan. Zona Inti TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi 16
area yang terpisah, namun terdapat 3 area terluas yang kompak, yang masing-
masing terletak di sisi Barat Laut taman nasional di wilayah kabupaten Pangkep,
di sisi Timur Laut taman nasional yang merupakan wilayah administratif
kabupaten Maros, serta di sisi bagian tengah hingga Selatan taman nasional
yang merupakan wilayah administratif kabupaten Maros dan kabupaten
Pangkep. Zona Inti terluas pertama (5.963,37 ha) berada kisaran antara
119,574562° sampai dengan 119,748901° Bujur Timur, dan antara 4,817125°
sampai dengan 4,905248° Lintang Selatan. Zona Inti terluas kedua (5.631,64 ha)
berada kisaran antara 119,802010° sampai dengan 119,887718° Bujur Timur,
dan antara 4,727007° sampai dengan 4,844246° Lintang Selatan. Zona Inti
terluas ketiga (6.782,33 Ha) berada kisaran antara 119,665833° sampai dengan
119,796967° Bujur Timur, dan antara 4,913637° sampai dengan 5,055723°
Lintang Selatan.
Zona Inti TN. Bantimurung Bulusaraung seluas 22.849,73 ha, meliputi:
1. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros seluas 4.633,51 ha;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 59
2. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Bantimurung yang
terletak di kecamatan Simbang, kabupaten Maros seluas 1.274,66 ha;
3. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan
Tompobulu, kabupaten Maros seluas 59,96 ha;
4. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba yang terletak
di kecamatan Cenrana, kabupaten Maros seluas 1.639,65 ha;
5. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di kecamatan Camba,
kabupaten Maros seluas 829,46 ha;
6. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di kecamatan Mallawa,
kabupaten Maros seluas 6.085,33 ha;
7. Wilayah kerja Resort Minasatene yang terletak di kecamatan Minasatene,
kabupaten Pangkep seluas 2.474,17 ha;
8. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di kecamatan Balocci, kabupaten
Pangkep seluas 5.386,17 ha;
9. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di kecamatan Tondong
Tallasa, kabupaten Pangkep seluas 466,82 ha.
5.2. Zona Rimba
Zona Rimba adalah adalah bagian taman nasional yang karena letak,
kondisi dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada Zona
Inti dan Zona Pemanfaatan. Zona Rimba merupakan zona yang memerlukan
upaya perlindungan dan pelestarian serta merupakan zona peralihan antara
Zona Inti dengan Zona Pemanfaatan dan/atau zona lainnya, serta proses alami
tetap menjadi prioritas namun kegiatan manusia dalam batas tertentu masih
diperkenankan dan bahkan diperlukan dalam bentuk pembinaan habitat,
pembinaan populasi dan kegiatan pariwisata alam terbatas.
Keberadaan Zona Rimba bertujuan untuk memberikan perlindungan dan
pelestarian terhadap Zona Inti dan sekaligus sebagai perluasan habitat Zona Inti
dan merupakan daerah jelajah berbagai jenis satwa liar, khususnya jenis satwa
liar yang dilindungi dari bahaya kepunahan, serta pemanfaatan atas potensi
sumberdaya alam dan lingkungan alam yang kurang sensitif terhadap
gangguan/kerusakan untuk kegiatan penelitian, pemantauan, pendidikan
lingkungan dan konservasi alam, serta pariwisata alam secara terbatas.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 60
Zona Rimba berfungsi dan diperuntukkan bagi kegiatan pengawetan dan
pemanfaatan sumber daya alam dan lingkungan alam bagi kepentingan
penelitian, pendidikan konservasi, wisata terbatas, habitat satwa migran dan
menunjang budidaya serta mendukung Zona Inti. Zona Rimba ditetapkan
berdasarkan kriteria:
1. Kawasan yang merupakan habitat atau daerah jelajah untuk melindungi dan
mendukung upaya perkembangbiakan dari jenis satwa liar;
2. Memiliki ekosistem dan atau keanekaragaman jenis yang mampu
menyangga pelestarian Zona Inti dan Zona Pemanfaatan;
3. Merupakan tempat kehidupan bagi jenis satwa migran.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Rimba TN. Bantimurung
Bulusaraung adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya;
3. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas, pemanfaatan
jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya;
4. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan keberadaan
populasi hidupan liar;
5. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk kepentingan
penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
Karena posisinya yang berbatasan langsung dengan Zona Inti atau dapat
dikatakan melingkupi seluruh Zona Inti, maka pada dasarnya dapat diasumsikan
bahwa potensi yang ada di dalam Zona Rimba tidak berbeda jauh dengan
potensi Zona Inti. Dari segi sensitifitas ekologinya, sebagian Zona Rimba
merupakan area yang termasuk kurang sensitif. Sebagian lagi merupakan bagian
yang diperuntukkan sebagai penyangga Zona Inti.
Zona Rimba TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi kawasan seluas 10.435,84 ha atau sebesar 23,85% dari total luas taman nasional. Zona Rimba
TN. Bantimurung Bulusaraung juga meliputi seluruh tipe ekosistem yang ada di
dalam kawasan. Tipe ekosistem terluas yang terwakili di dalam Zona Rimba
adalah ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah seluas 5.389,66 ha
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 61
atau sebesar 12,32% dari total luas kawasan taman nasional 4.554,06 ha atau
sebesar 10,41% dari total luas kawasan taman nasional merupakan tipe
ekosistem Karst yang terwakili di dalam Zona Rimba. Adapun tipe ekosistem
Hutan Pegunungan Bawah terwakili di dalam Zona Rimba seluas 492,11 ha atau
sebesar 1,12% dari total luas kawasan taman nasional.
Berdasarkan kriteria, fungsi dan peruntukannya, maka Zona Rimba
tersebar hampir merata di seluruh kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung. Zona
Rimba ini membatasi atau melingkupi seluruh Zona Inti, serta melingkupi hampir
seluruh batas luar taman nasional. Zona Rimba TN. Bantimurung Bulusaraung
seluas 10.435,84 ha, meliputi:
1. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros seluas 882,75 ha;
2. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Bantimurung yang
terletak di kecamatan Simbang, kabupaten Maros seluas 686,91 ha;
3. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan
Tompobulu, kabupaten Maros seluas 118,05 ha;
4. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba yang terletak
di kecamatan Cenrana, kabupaten Maros seluas 1.748,83 ha;
5. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di kecamatan Camba,
kabupaten Maros seluas 1.225,10 ha;
6. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di kecamatan Mallawa,
kabupaten Maros seluas 1.212,99 ha;
7. Wilayah kerja Resort Minasatene yang terletak di kecamatan Minasatene,
Kabupaten Pangkep seluas 806,93 ha;
8. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di kecamatan Balocci, kabupaten
Pangkep seluas 3.348,55 ha;
9. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di kecamatan Tondong
Tallasa, kabupaten Pangkep seluas 405,73 ha.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 62
5.3. Zona Pemanfaatan
Zona Pemanfaatan adalah adalah bagian taman nasional yang letak,
kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan
pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya. Zona Pemanfaatan
merupakan zona yang memiliki potensi fenomena alam yang menarik, dan
secara fisik dan biologi kurang sensitif untuk kepentingan pembangunan sarana
dan prasarana fisik bagi akomodasi pariwisata alam, jasa lingkungan dan
pengelolaan taman nasional. Zona Pemanfaatan ini merupakan pusat rekreasi
dan kunjungan wisata serta jasa lingkungan, yang dikembangkan pada lokasi-
lokasi sesuai kondisi lingkungan untuk kepentingan wisata alam dan jasa
lingkungan. Lokasi-lokasi tersebut tersebut pada umumnya dikembangkan
berdekatan atau terdapat kemudahan akses dengan perkampungan tempat
pemukiman masyarakat, sehingga pengembangan wisata alam dan jasa
lingkungan di kawasan ini dapat memberi dampak penyertaan masyarakat dalam
pelayanan jasa wisata alam, jasa lingkungan dan memberikan keuntungan
ekonomi bagi masyarakat setempat. Fasilitas yang akan dilengkapi di setiap
lokasi selain fasilitas pengelolaan lapangan dan akomodasi wisata alam, juga
akan dilengkapi jalan, areal parkir, jalur trail, papan informasi, papan petunjuk,
shelter, MCK umum, sarana keamanan pengunjung, pos jaga, dan fasilitas jasa
lingkungan lainnya.
Keberadaan Zona Pemanfaatan bertujuan untuk pemanfaatan potensi jasa
lingkungan alam berupa fenomena dan keindahan alam bagi pengembangan
pariwisata alam dan pusat rekreasi, pembangunan sarana dan prasarana
pariwisata alam, jasa lingkungan dan pengelolaan lapangan, dan menunjang
keikutsertaan masyarakat secara aktif dalam pelayanan jasa pariwisata alam
serta mendorong pengembangan ekonomi masyarakat dan daerah dari jasa
pariwisata alam dan jasa lingkungan.
Zona Pemanfaatan berfungsi dan diperuntukkan bagi pengembangan
pariwisata alam dan rekreasi, jasa lingkungan, pendidikan, penelitian dan
pengembangan yang menunjang pemanfaatan, serta kegiatan penunjang
budidaya. Zona Pemanfaatan ditetapkan berdasarkan kriteria:
1. Mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi
ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 63
2. Mempunyai luasan yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya
tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam;
3. Kondisi lingkungan yang mendukung pemanfaatan jasa lingkungan,
pengembangan pariwisata alam, penelitian dan pendidikan;
4. Merupakan wilayah yang memungkinkan dibangunnya sarana dan
prasarana bagi kegiatan, pemanfaatan jasa lingkungan, pariwisata alam,
rekreasi, penelitian dan pendidikan;
5. Tidak berbatasan langsung dengan Zona Inti.
Kawasan yang dicadangkan untuk Zona Pemanfaatan sebaik mungkin
secara fisik dan biologi dapat dikembangkan untuk pembangunan sarana dan
prasarana akomodasi pariwisata alam, jasa lingkungan dan pengelolaan
lapangan, serta memiliki topografi dan fisik lapangan yang memungkinkan
kegiatan wisata alam berlangsung secara aman dan nyaman. Dampak negatif
akibat pengembangan fasilitas akomodasi dan peningkatan jumlah pengunjung
berada dalam batas-batas daya dukung dan dapat dikendalikan oleh pengelola,
serta masih dalam batas recovery secara alami. Memiliki pengembangan
aksesibilitas yang cukup baik dan mudah dikunjungi, serta lokasi
pengembangannya dekat pemukiman/ perkampungan penduduk, sehingga dapat
mendorong peranserta aktif masyarakat dalam pelayanan jasa pariwisata alam
dan jasa lingkungan.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Pemanfaatan TN.
Bantimurung Bulusaraung adalah sebagai berikut:
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya;
3. Penelitian, pengembangan pendidikan, dan kegiatan penunjang budidaya;
Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam;
4. Pembinaan habitat dan populasi;
5. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan;
6. Pembangunan sarana dan prasarana pengelolaan, penelitian, pendidikan,
wisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa lingkungan.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 64
Zona Pemanfaatan TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi kawasan seluas
374,43 ha atau sebesar 0,86% dari total luas taman nasional. Zona Pemanfaatan
TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi tipe ekosistem Karst seluas 235,47 ha
(0,54%), tipe ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah seluas 54,82
ha (0,13%), serta tipe Hutan Pegunungan Bawah seluas 84,15 ha (0,19%).
Zona Pemanfaatan ini, selain ditetapkan berdasarkan kriteria-kriteria yang
telah diuraikan di atas, juga ditetapkan berdasarkan pertimbangan prioritas
pengembangannya. Mengacu kepada hasil Analisis Daerah Operasi Obyek dan
Daya Tarik Wisata Alam (ADOODTWA), pada kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung terdapat 7 situs ODTWA yang prioritas untuk dikembangkan.
Lokasi-lokasi dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Kawasan Wisata Bantimurung dan sekitarnya
Kawasan Wisata Bantimurung terletak di wilayah administratif kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros. Dalam pengelolaan taman nasional, kawasan ini
merupakan wilayah kerja Resort Bantimurung. Zona Pemanfaatan ini meliputi
area seluas 48,60 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak antara 119,678436°
sampai dengan 119,691872° Bujur Timur, dan antara 5,008744° sampai dengan
5,021357° Lintang Selatan.
ODTWA yang terdapat di dalam Kawasan Wisata Bantimurung adalah Air
Terjun Bantimurung, Gua Mimpi, Gua Batu, Telaga Kassi Kebo, Telaga Toakala,
Mata Air Bidadari (Jamala), serta Penangkaran Kupu-kupu. Adapun aktifitas
wisata alam yang dapat dilakukan di dalam kawasan ini antara lain wisata tirta,
menikmati panorama alam, tracking, flying fox, selusur gua, mengamati flora dan
fauna.
2. Kawasan Wisata Pattunuang Asue
Kawasan Wisata Pattunuang Asue terletak di wilayah administratif
kecamatan Simbang, kabupaten Maros. Dalam pengelolaan taman nasional,
kawasan ini merupakan wilayah kerja Resort Pattunuang. Zona Pemanfaatan ini
meliputi area seluas 101,16 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak antara
119,710411° sampai dengan 119,727165° Bujur Timur, dan antara 5,050045°
sampai dengan 5,067427° Lintang Selatan.
ODTWA yang terdapat di dalam Kawasan Wisata Pattunuang Asue adalah
Sungai Pattunuang, Gua Pattunuang Asue, serta Biseang Labboro. Adapun
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 65
aktifitas wisata alam yang dapat dilakukan di dalam kawasan ini antara lain
wisata tirta, menikmati panorama alam, tracking, rock climbing, mengamati flora
dan fauna.
3. Kawasan Pengamatan Satwa Karaenta
Kawasan Pengamatan Satwa Karaenta terletak di wilayah administratif
kecamatan Cenrana, kabupaten Maros. Dalam pengelolaan taman nasional,
kawasan ini merupakan wilayah kerja Resort Pattunuang. Zona Pemanfaatan ini
meliputi area seluas 8,90 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak antara
119,737923° sampai dengan 119,741165° Bujur Timur, dan antara 5,030678°
sampai dengan 5,033394° Lintang Selatan. ODTWA yang terdapat di dalam
Kawasan Pengamatan Satwa Karaenta adalah keragaman species flora dan
fauna terutama jenis Macaca maura yang dapat berinteraksi secara langsung
dengan manusia. Adapun aktifitas wisata alam yang dapat dilakukan di dalam
kawasan ini antara lain menikmati panorama alam, tracking, mengamati flora dan
fauna.
4. Kawasan Gua Vertikal Leang Pute
Kawasan Gua Vertikal Leang Pute terletak di wilayah administratif
kecamatan Cenrana, kabupaten Maros. Dalam pengelolaan taman nasional,
kawasan ini merupakan wilayah kerja Resort Pattunuang. Zona Pemanfaatan ini
meliputi area seluas 15,19 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak antara
119,721947° sampai dengan 119,725914° Bujur Timur, dan antara 4,983336°
sampai dengan 4,986477° Lintang Selatan. ODTWA yang terdapat di dalam
kawasan ini adalah Gua Vertikal Leang Pute dan Gua Dinosaurus. Leang Pute
adalah gua vertikal single pitch terdalam di Asia Tenggara, dengan kedalaman -
273 m. Adapun aktifitas wisata alam yang dapat dilakukan di dalam kawasan ini
antara lain penelusuran gua vertikal, pengamatan flora dan fauna, panorama
alam, camping dan tracking.
5. Kawasan Situs Prasejarah Leang-leang
Kawasan Situs Prasejarah Leang-leang terletak di wilayah administratif
kecamatan Bantimurung, kabupaten Maros. Dalam pengelolaan taman nasional,
kawasan ini merupakan wilayah kerja Resort Bantimurung. Zona Pemanfaatan ini
meliputi area seluas 2,25 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak antara
119,674049° sampai dengan 119,676888° Bujur Timur, dan antara 4,977801°
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 66
sampai dengan 4,979686° Lintang Selatan. ODTWA yang terdapat di dalam
kawasan ini adalah Gua Prasejarah Leang Pettae dan Leang Petta Kere. Kedua
gua prasejarah ini adalah gua yang ditemukan pertama kali oleh Sarasin
bersaudara pada awal abad ke-19 dalam ekplorasi arkeologinya di Sulawesi. Di
dalam kedua gua terdapat peninggalan lukisan-lukisan dinding gua serta benda-
benda purbakala lainnya.
6. Kawasan Pegunungan Bulusaraung
Kawasan Pegunungan Bulusaraung terletak di wilayah administratif
kecamatan Balocci, kabupaten Pangkep. Dalam pengelolaan taman nasional,
kawasan ini merupakan wilayah kerja Resort Balocci. Zona Pemanfaatan ini
meliputi area seluas 137,29 ha. Secara geografis, kawasan ini terletak antara
119,740807° sampai dengan 119,766853° Bujur Timur, dan antara 4,923181°
sampai dengan 4,932688° Lintang Selatan. ODTWA yang terdapat di dalam
kawasan ini adalah Desa Wisata Tompobulu, dan Gunung Bulusaraung. Aktifitas
wisata yang dapat dilakukan di dalam kawasan ini antara lain pendakian gunung
Bulusaraung (hiking), pengamatan flora dan fauna, panorama alam dan camping.
7. Kawasan Permandian Alam Leang Londrong
Kawasan Permandian Alam Leang Londrong terletak di wilayah
administratif kecamatan Minasatene, kabupaten Pangkep. Dalam pengelolaan
taman nasional, kawasan ini merupakan wilayah kerja Resort Minasatene. Zona
Pemanfaatan ini meliputi area seluas 51,57 ha. Secara geografis, kawasan ini
terletak antara 119,630699° sampai dengan 119,639259° Bujur Timur, dan
antara 4,856477° sampai dengan 4,865425° Lintang Selatan. ODTWA yang
terdapat di dalam kawasan ini adalah Gua Leang Londrong dan aliran sungai
yang berasal dari dalam gua. Aktifitas wisata yang dapat dilakukan di dalam
kawasan ini antara lain wisata tirta, penelusuran gua horisontal, pengamatan
flora dan fauna, panorama alam, dan tracking.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 67
5.4. Zona Tradisional
Zona Tradisional adalah adalah bagian taman nasional yang ditetapkan
untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena
kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumber daya alam. Zona
Tradisional merupakan bagian kawasan taman nasional yang masih terdapat
kegiatan tradisional penduduk setempat dalam memanfaatkan sumberdaya alam
hayati untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari dan bersifat non
komersial.
Keberadaan Zona Tradisional bertujuan untuk mengakomodasi
pemanfaatan secara tradisional yang dilakukan oleh penduduk setempat dalam
memanfaatkan sumberdaya alam hayati untuk pemenuhan kebutuhan hidupnya
sehari-hari dan bersifat non komersial, serta mencegah kemungkinan terjadinya
perluasan perambahan untuk perladangan dan pemanfaatan lain yang merusak.
Zona Tradisional berfungsi dan diperuntukkan bagi kegiatan pemanfaatan
potensi tertentu taman nasional oleh masyarakat setempat secara lestari melalui
pengaturan pemanfaatan dalam rangka memenuhi kebutuhan hidup masyarakat.
Zona Tradisional ditetapkan berdasarkan kriteria :
1. Adanya potensi dan kondisi sumber daya alam hayati non kayu tertentu yang
telah dimanfaatkan secara tradisional oleh masyarakat setempat guna
memenuhi kebutuhan hidupnya;
2. Di wilayah perairan terdapat potensi dan kondisi sumber daya alam hayati
tertentu yang telah dimanfaatkan melalui kegiatan pengembangbiakan,
perbanyakan dan pembesaran oleh masyarakat setempat guna memenuhi
kebutuhan hidupnya.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Tradisional TN. Bantimurung
Bulusaraung adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan oleh
masyarakat;
3. Pembinaan habitat dan populasi;
4. Penelitian dan pengembangan;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 68
5. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumber daya alam sesuai dengan
kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.
Zona Tradisional TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi kawasan seluas
4.374,05 ha atau sebesar 10,00% dari total luas taman nasional. Zona
Tradisional TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi ketiga tipe ekosistem yang
ada di dalam kawasan. Tipe ekosistem terluas yang terwakili di dalam zona
tradisional adalah ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah seluas
3.860,21 ha atau sebesar 8,82% dari total luas kawasan taman nasional. 469,79
ha atau sebesar 1,07% dari total luas kawasan taman nasional merupakan tipe
ekosistem Karst yang terwakili di dalam Zona Tradisional. Adapun tipe ekosistem
Hutan Pegunungan Bawah terwakili di dalam Zona Tradisional seluas 44,05 ha
atau sebesar 0,10% dari total luas kawasan taman nasional.
Sebagian besar area Zona Tradisional pada kawasan TN. Bantimurung
Bulusaraung terletak di wilayah administratif kabupaten Maros dan hanya
sebagian kecil yang berada di wilayah administratif kabupaten Pangkep. Zona
Tradisional ini pada umumnya merupakan areal yang ditumbuhi oleh tegakan
Kemiri (Aleurites moluccana) dan sebagian kecil lainnya merupakan tegakan
Pinus merkusii yang homogen. Kemiri tersebut telah dibudidayakan oleh
masyarakat setempat sejak beberapa generasi sebelumnya. Sebagian besar
Zona Tradisional TN. Bantimurung Bulusaraung berada di ekosistem Hutan
Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah karena kesesuaian kondisi lingkungan
biofisiknya dengan persyaratan tumbuh jenis Kemiri.
Zona Tradisional TN. Bantimurung Bulusaraung seluas 4.374,05 ha,
meliputi :
1. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros seluas 677,92 ha;
2. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Bantimurung yang
terletak di kecamatan Simbang, kabupaten Maros seluas 11,90 ha;
3. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba yang terletak
di kecamatan Cenrana, kabupaten Maros seluas 248,64 ha;
4. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di kecamatan Camba,
kabupaten Maros seluas 1.024,03 ha;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 69
5. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di kecamatan Mallawa,
kabupaten Maros seluas 2.380,96 ha;
6. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di kecamatan Balocci, kabupaten
Pangkep seluas 30,60 ha.
5.5. Zona Rehabilitasi
Zona Rehabilitasi adalah bagian dari taman nasional yang karena
mengalami degradasi dan/atau kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan
pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya. Zona Rehabilitasi merupakan
zona/bagian kawasan yang mengalami kerusakan akibat ulah/ kegiatan manusia
atau alam, dan perlu segera direhabilitasi/ dipulihkan kembali dengan
mempergunakan jenis-jenis asli setempat. Zona ini mencakup areal bekas
peladangan, pemukiman liar, bencana alam dan sebagainya.
Keberadaan Zona Rehabilitasi bertujuan untuk pemulihan dan rehabilitasi
kawasan yang rusak akibat kegiatan manusia atau bencana alam agar dapat
dikembalikan kepada fungsi semula. Zona Rehabilitasi berfungsi dan
diperuntukkan bagi upaya mengembalikan ekosistem kawasan yang rusak
menjadi atau mendekati kondisi ekosistem alamiahnya. Zona Rehabilitasi
ditetapkan berdasarkan kriteria :
1. Adanya perubahan fisik, sifat fisik dan hayati yang secara ekologi
berpengaruh kepada kelestarian ekosistem yang pemulihannya memerlukan
campur tangan manusia;
2. Adanya spesies invasif yang menggangu jenis atau spesies asli di dalam
kawasan;
3. Pemulihan kawasan sekurang-kurangnya memerlukan waktu 5 (lima) tahun.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Rehabilitasi TN.
Bantimurung Bulusaraung adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Inventarisasi dan monitoring;
3. Rehabilitasi, pembinaan habitat dan populasi;
4. Penelitian dan pengembangan.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 70
Zona Rehabilitasi TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi kawasan seluas
1.331,38 ha atau sebesar 3,04% dari total luas taman nasional. Zona Rehabilitasi
TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi dua dari tiga tipe ekosistem yang ada di
dalam kawasan. Tipe ekosistem terluas yang terwakili di dalam Zona Rehabilitasi
adalah ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah seluas 740,41 ha
atau sebesar 1,69% dari total luas kawasan taman nasional. Adapun tipe
ekosistem Karst terwakili di dalam Zona Rehabilitasi seluas 590,96 ha atau
sebesar 1,35% dari total luas kawasan taman nasional. Areal-areal di dalam
taman nasional yang perlu dilakukan rehabilitasi ini terutama disebabkan oleh
degradasi sumberdaya akibat okupasi oleh masyarakat yang ada di dalam dan
sekitar kawasan.
Zona Rehabilitasi TN. Bantimurung Bulusaraung seluas 1.331,38 ha,
meliputi :
1. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros seluas 49,62 ha;
2. Wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan Simbang,
kabupaten Maros seluas 780,31 ha;
3. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan
Tompobulu, kabupaten Maros seluas 42,18 ha;
4. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba yang terletak
di kecamatan Cenrana, kabupaten Maros seluas 105,38 ha;
5. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di kecamatan Balocci, kabupaten
Pangkep seluas 342,00 ha;
6. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di kecamatan Tondong
Tallasa, kabupaten Pangkep seluas 11,89 ha.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 71
5.6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah
Zona Religi, Budaya dan Sejarah adalah bagian dari taman nasional yang
didalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah
yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya
atau sejarah. Zona Religi, Budaya dan Sejarah merupakan zona yang memiliki
potensi sebagai lokasi kegiatan manusia di masa lampau dengan meninggalkan
hasil karya budaya yang bernilai sejarah, arkeologi maupun keagamaan, baik
pada lokasi yang sering dikunjungi manusia maupun tidak pernah.
Keberadaan Zona Religi, Budaya dan Sejarah bertujuan untuk
memperlihatkan dan melindungi nilai-nilai budaya yang pernah ada dan
berkembang, serta dikembangkan sebagai wahana penelitian, pendidikan, dan
wisata alam sejarah, arkeologi dan religius. Zona Religi, Budaya dan Sejarah
berfungsi dan diperuntukkan bagi perlindungan dan memamerkan nilai-nilai hasil
karya budaya, sejarah, arkeologi maupun keagamaan, sebagai wahana
penelitian, pendidikan dan wisata alam sejarah, arkeologi, dan religius. Zona
Religi, Budaya dan Sejarah ditetapkan berdasarkan kriteria :
1. Adanya lokasi untuk kegiatan religi yang masih dipelihara dan dipergunakan
oleh masyarakat;
2. Adanya situs budaya dan sejarah baik yang dilindungi undangundang,
maupun tidak dilindungi undang-undang.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Religi, Budaya dan Sejarah
TN. Bantimurung Bulusaraung adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi;
3. Penyelenggaraan upacara adat;
4. Pemeliharaan situs budaya dan sejarah, serta keberlangsungan upacara-
upacara ritual keagamaan/adat yang ada.
Zona Religi, Budaya dan Sejarah TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi
kawasan seluas 191,49 ha atau sebesar 0,44% dari total luas taman nasional.
Zona Religi, Budaya dan Sejarah TN. Bantimurung Bulusaraung secara
keseluruhan berada di dalam ekosistem Karst. Zona ini adalah bagian kawasan
taman nasional di mana terdapat situs prasejarah berupa gua-gua purbakala.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 72
Gua prasejarah ini adalah gua-gua yang ditemukan oleh Sarasin bersaudara
pada awal abad ke-19 dalam ekplorasi arkeologi di Sulawesi. Di dalam gua-gua
tersebut terdapat peninggalan lukisan-lukisan dinding gua serta benda-benda
purbakala lainnya, baik berupa artefak, fitur, maupun ekofak.
Zona Religi, Budaya dan Sejarah TN. Bantimurung Bulusaraung seluas
191,49 ha, meliputi :
1. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros seluas 57,47 ha;
2. Wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan Simbang,
kabupaten Maros seluas 16,49 ha;
3. Wilayah kerja Resort Minasatene yang terletak di kecamatan Minasatene,
kabupaten Pangkep seluas 117,53 ha.
5.7. Zona Khusus
Zona Khusus adalah bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak
dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman
nasional antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona
Khusus merupakan zona yang memiliki potensi sumberdaya alam dan kondisi
lingkungan yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kepentingan khusus
dengan pengaturan yang bersifat khusus dengan tidak melakukan penebangan
pohon dan merubah bentang alam.
Zona Khusus berfungsi dan diperuntukkan bagi kepentingan aktifitas
kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut sebelum
ditunjuk/ditetapkan sebagai taman nasional dan sarana penunjang
kehidupannya, serta kepentingan yang tidak dapat dihindari berupa sarana
telekomunikasi, fasilitas transportasi dan listrik. Zona Khusus ditetapkan
berdasarkan kriteria :
1. Telah terdapat sekelompok masyarakat dan sarana penunjang
kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan
sebagai taman nasional;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 73
2. Telah terdapat sarana dan prasarana antara lain telekomunikasi, faslitas
transportasi dan listrik, sebelum wilayah tersebut ditunjuk/ditetapkan sebagai
taman nasional;
3. Lokasi tidak berbatasan dengan Zona Inti.
Kegiatan yang dapat dilakukan di dalam Zona Khusus TN. Bantimurung
Bulusaraung adalah sebagai berikut :
1. Perlindungan dan pengamanan;
2. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat;
3. Rehabilitasi;
4. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung wilayah.
Zona Khusus TN. Bantimurung Bulusaraung meliputi kawasan seluas
4.193,08 ha atau sebesar 9,58% dari total luas taman nasional. Zona Khusus TN.
Bantimurung Bulusaraung berada pada kawasan dengan tipe ekosistem Hutan
Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah seluas 3.501,31 ha atau sebesar 8,00%
dari total luas kawasan. 661,75 ha atau sebesar 1,51% dari luas kawasan
merupakan Zona Khusus yang berada pada kawasan dengan tipe ekosistem
Karst, dan 30,02 ha atau sebesar 0,07% dari luas kawasan merupakan Zona
Khusus yang berada pada kawasan dengan tipe ekosistem Hutan Pegunungan
Bawah. Zona Khusus TN. Bantimurung Bulusaraung terdiri atas 42 bagian yang
terpisah di dalam kawasan taman nasional.
Zona Khusus di kawasan TN. Bantimurung Bulusaraung merupakan areal
yang telah sejak lama terokupasi oleh masyarakat. Zona Khusus di Kabupaten
Maros pada umumnya telah terekam di dalam Peta Topografi edisi tahun 1946
yang dibuat dan diterbitkan oleh US Army untuk Pemerintah Kerajaan Belanda.
Zona Khusus ini merupakan areal pemukiman masyarakat, areal persawahan
dan areal budidaya lainnya, serta sebagian kecil merupakan fasilitas umum yang
telah ada sejak sebelum penunjukan taman nasional.
Zona Khusus TN. Bantimurung Bulusaraung seluas 4.193,08 ha, meliputi :
1. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di kecamatan
Bantimurung, kabupaten Maros seluas 457,87 ha;
2. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan
Simbang, kabupaten Maros seluas 441,37 ha;
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 74
3. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di kecamatan
Tompobulu, kabupaten Maros seluas 101,87 ha;
4. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba yang terletak
di kecamatan Cenrana, kabupaten Maros seluas 1.166,59 ha;
5. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di kecamatan Camba,
kabupaten Maros seluas 352,05 ha;
6. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di kecamatan Mallawa,
kabupaten Maros seluas 1.301,20 ha;
7. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di kecamatan Balocci, kabupaten
Pangkep seluas 270,66 ha;
8. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di kecamatan Tondong
Tallasa, kabupaten Pangkep seluas 101,47 ha.
VI. PENUTUP
Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung sebelumnya telah memiliki
sistem zonasi sesuai Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam Nomor: SK.58/IV-SET/2012 tanggal 04 April 2012. Seiring
dengan perkembangan yang ada baik kondisi faktual di lapangan maupun
kebijakan dalam rangka optimalisasi pengelolaan maka beberapa pertimbangan
yang menjadi dasar revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung adalah:
1. Optimalisasi pengelolaan TN. Bantimurung Bulusaraung dalam
pengembangan jalan di dalam kawasan yang mendukung pembangunan
daerah dalam skala pembangunan nasional.
2. Optimalisasi fungsi TN. Bantimurung Bulusaraung dalam memberikan
kontribusi kepada masyarakat sekitar kawasan melalui pengembangan
pemanfaatan jasa lingkungan air dan pemanfaatan tradisional.
3. Optimalisasi perlindungan dan pengawetan ekosistem alami TN.
Bantimurung Bulusaraung yang memiliki potensi sumberdaya alam hayati
dengan keanekaragaman yang tinggi, keunikan dan kekhasan gejala alam
dengan fenomena alam yang indah.
Berdasarkan hasil kajian dan hasil kesepahaman dalam konsultasi publik
maka dilakukan penyempurnaan sehingga menghasilkan Revisi Zonasi TN.
Bantimurung Bulusaraung dengan uraian sebagai berikut:
Tabel 7. Revisi zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung.
No. Jenis Zona Kode Luas (ha) Presentase (%) 1. Zona Inti ZI 22.849,73 52,23 2. Zona Rimba Zri 10.435,84 23,85 3. Zona Pemanfaatan ZP 374,43 0,86 4. Zona Tradisional ZTr 4.374,05 10,00 5. Zona Rehabilitasi Zre 1.331,38 3,04 6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah ZBS 191,49 0,44 7. Zona Khusus ZKh 4.193,08 9,58
Jumlah
43.750,00 100,00
DAFTAR PUSTAKA
Achmad, A. 2001. Potensi dan Kondisi Kawasan Karst Maros-Pangkep. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Anonim. 1995. National Conservation Plan for Indonesia. (Volume 6D) Sulawesi Selatan Province. Directorate General of Forest Protection and Nature Conservation Ministry of Forestry. Jakarta.
Anonim. 2001. Kerangka Acuan (Term of Reference) Simposium Karst Maros-Pangkep. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2008. Rencana Pengelolaan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2008 – 2027. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2009. Identifikasi dan Pemetaan Sebaran ODTWA Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2010. Rencana Strategis Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2010 – 2014. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2010. Rencana Pengembangan Pariwisata Alam Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2011. Identifikasi Potensi Jasa Lingkungan Air Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2012. Zonasi Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2012. Profil Daerah Penyangga Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2015. Analisis Tutupan Lahan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. 2015. Data flora dan fauna Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Tahun 2015. Balai Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Maros.
Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung | 77
Deharveng, Louis. 2007. Zoological Investigations in The Karst of South and Southeast Sulawesi. Project Report. Museum National d’Histoire Naturelle de Paris. Paris. Unpublished.
Departemen Kehutanan, 2006. Pedoman Zonasi Taman Nasional. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P.56/Menhut-II/2006.
Ko, R.K.T. 2001. Kawasan Karst Maros-Pangkep, Nilai Lebihnya dalam Bidang Non Pertambangan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Mattimu, A.A., H. Sugondo dan H. Pabittei. 1977. Identifikasi dan Inventarisasi Jenis Kupu-kupu di Daerah Bantimurung Sulawesi Selatan. Proyek Penelitian Universitas Hasanuddin. Ujung Pandang.
Nitta, K. dan P. Delanghe. 2001. Introduction on Cultural and Natural World Heritage and World Heritage in Karst Areas. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Palaguna, H.Z.B dan Haruna Rachman. 2001. Kebijakan dan Komitmen Pemerintah Propinsi Sulawesi Selatan Terhadap Perlindungan dan Pemanfaatan Sumber Daya Alam Karst Maros-Pangkep yang Berkelanjutan. Prosiding Simposium Karst Maros-Pangkep: Menuju Perlindungan dan Pemanfaatan Kawasan Karst Maros-Pangkep sebagai World Heritage di Era Otonomi Daerah. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Regional III. Makassar.
Samodra, Hanang. 2003. Nilai Strategis Kawasan Kars di Indonesia dan Usaha Pengelolaannya Secara Berkelanjutan. Suplemen tulisan pada Pelatihan Dasar Geologi untuk Pecinta Alam dan Pendaki Gunung, kerjasama IAGI dengan Klub Pecinta Alam. Ikatan Ahli Geologi Indonesia. Bogor.
Suhardjono dan Yayuk R. 207. Laporan Teknik 206. Inventarisasi dan Karakterisasi Biota Karst dan Gua Pegunungan Sewu dan Sulawesi Selatan. Proyek 212. Bidang Zologi (Museum Zologicum Bogoriense) Pusat Penelitan Biologi – LIPI, Bogor.
Wallace, A.R. 1890. The Malay Archipelago. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.
Whitten, T., G.S. Henderson and M. Mustafa. 2002. The Ecology of Indonesia Series (Volume IV), The Ecology of Sulawesi. Periplus Editions (HK) Ltd. Singapore.
Winarto, Bambang. 2006. Kamus Rimbawan. Yayasan Bumi Indonesia Hijau. Jakarta.
LAMPIRAN 1 Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung dan Keterwakilan Tipe Ekosistem
Lampiran 1. Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung dan Keterwakilan Tipe Ekosistem
Luas (ha)Persentase
(%)Luas (ha)
Persentase
(%)
1. Zona Inti 22.865,48 52,26 22.849,73 52,23
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah 5.852,91 13,38 5.841,52 13,35
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 13.068,17 29,87 13.063,81 29,86
· Hutan Pegunungan Bawah 3.944,40 9,02 3.944,40 9,02
2. Zona Rimba 9.997,21 22,85 10.435,84 23,85
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah 4.943,77 11,30 5.389,66 12,32
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 4.561,32 10,43 4.554,06 10,41
· Hutan Pegunungan Bawah 492,12 1,12 492,12 1,12
3. Zona Pemanfaatan 367,41 0,84 374,43 0,86
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah 53,48 0,12 54,82 0,13
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 229,79 0,53 235,47 0,54
· Hutan Pegunungan Bawah 84,14 0,19 84,14 0,19
4. Zona Tradisional 4.349,77 9,94 4.374,05 10,00
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah 3.860,21 8,82 3.860,21 8,82
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 445,51 1,02 469,79 1,07
· Hutan Pegunungan Bawah 44,05 0,10 44,05 0,10
5. Zona Rehabilitasi 1.791,49 4,09 1.331,38 3,04
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah 1.176,25 2,69 740,41 1,69
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 615,24 1,41 590,96 1,35
· Hutan Pegunungan Bawah - - - -
6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah 191,49 0,44 191,49 0,44
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah - - - -
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 191,49 0,44 191,49 0,44
· Hutan Pegunungan Bawah - - - -
7. Zona Khusus 4.187,15 9,57 4.193,08 9,58
· Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah 3.501,31 8,00 3.501,31 8,00
· Hutan pada Batuan Gamping (Karst) 655,82 1,50 661,75 1,51
· Hutan Pegunungan Bawah 30,02 0,07 30,02 0,07
JUMLAH 43.750,00 100,00 43.750,00 100,00
Awal Revisi
Jenis Zona dan Tipe EkosistemNo.
LAMPIRAN 2 Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung berdasarkan Wilayah Administrasi
Lampiran 2. Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung berdasarkan Wilayah Administrasi
Luas (ha)Persentase
(%)Luas (ha)
Persentase
(%)
1. Zona Inti 22.865,48 52,26 22.849,73 52,23
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 4.633,51 10,59 4.633,51 10,59
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 1.279,02 2,92 1.274,66 2,91
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros 59,96 0,14 59,96 0,14
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros 1.651,04 3,77 1.639,65 3,75
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros 829,46 1,90 829,46 1,90
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros 6.085,33 13,91 6.085,33 13,91
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep 2.474,17 5,66 2.474,17 5,66
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep 5.386,17 12,31 5.386,17 12,31
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep 466,82 1,07 466,82 1,07
2. Zona Rimba 9.997,21 22,85 10.435,84 23,85
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 882,75 2,02 882,75 2,02
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 686,02 1,57 686,91 1,57
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros 118,05 0,27 118,05 0,27
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros 1.738,16 3,97 1.748,83 4,00
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros 1.225,10 2,80 1.225,10 2,80
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros 1.213,61 2,77 1.212,99 2,77
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep 810,83 1,85 806,93 1,84
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep 2.912,73 6,66 3.348,55 7,65
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep 409,96 0,94 405,73 0,93
3. Zona Pemanfaatan 367,41 0,84 374,43 0,86
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 66,26 0,15 66,26 0,15
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 102,95 0,24 100,49 0,23
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros 8,93 0,02 9,66 0,02
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros - - 0,62 0,00
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep 51,70 0,12 55,60 0,13
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep 137,57 0,31 137,57 0,31
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep - - 4,23 0,01
4. Zona Tradisional 4.349,77 9,94 4.374,05 10,00
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 677,92 1,55 677,92 1,55
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 11,90 0,03 11,90 0,03
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros 248,64 0,57 248,64 0,57
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros 1.024,03 2,34 1.024,03 2,34
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros 2.380,96 5,44 2.380,96 5,44
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep - - - -
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep 6,32 0,01 30,60 0,07
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep - - - -
5. Zona Rehabilitasi 1.791,49 4,09 1.331,38 3,04
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 49,62 0,11 49,62 0,11
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 780,31 1,78 780,31 1,78
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros 42,18 0,10 42,18 0,10
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros 105,38 0,24 105,38 0,24
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep - - - -
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep 802,11 1,83 342,00 0,78
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep 11,89 0,03 11,89 0,03
6. Zona Religi, Budaya dan Sejarah 191,49 0,44 191,49 0,44
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 57,47 0,13 57,47 0,13
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 16,49 0,04 16,49 0,04
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros - - - -
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep 117,53 0,27 117,53 0,27
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep - - - -
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep - - - -
Lanjutan Lampiran 2. Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung berdasarkan Wilayah Administrasi
No. Jenis Zona dan Tipe Ekosistem
Awal Revisi
7. Zona Khusus 4.187,15 9,57 4.193,08 9,58
· Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros 457,87 1,05 457,87 1,05
· Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros 435,44 1,00 441,37 1,00
· Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros 101,87 0,23 101,87 0,23
· Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros 1.166,59 2,67 1.166,59 2,67
· Kecamatan Camba, Kabupaten Maros 352,05 0,80 352,05 0,80
· Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros 1.301,20 2,97 1.301,20 2,97
· Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep - - - -
· Kecamatan Balocci, Kabupaten Pangkep 270,66 0,62 270,66 0,62
· Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep 101,47 0,23 101,47 0,23
JUMLAH 43.750,00 100,00 43.750,00 100,00
LAMPIRAN 3 Matriks Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung
Lampiran 3. Matriks Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung
Luas (ha)Persentase
(%)
1. 22.849,73 52,23
a. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
4.633,51 10,59 · Ekosistem Karst (13.063,81 Ha, 29,86%). a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort
Bantimurung yang terletak di Kecamatan Simbang, Kabupaten
Maros.
1.274,66 2,91 · Ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah (5.841,52
Ha, 13,35%).
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya.
c. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
59,96 0,14 · Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah (3.944,40 Ha, 9,02%). c. Penelitian dan pengembangan, ilmu pengetahuan, pendidikan,
dan atau penunjang budidaya.
d. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba
yang terletak di Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros.
1.639,65 3,75 · 709 species tumbuhan alam dan 728 species satwa liar. d. Pembangunan sarana dan prasarana non permanen dan
terbatas untuk kegiatan penelitian dan pengelolaan.
e. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros.
829,46 1,90
f. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di Kecamatan
Mallawa, Kabupaten Maros.
6.085,33 13,91
g. Wilayah kerja Resort Minasatene yang terletak di Kecamatan
Minasatene, Kabupaten Pangkep.
2.474,17 5,66
h. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep.
5.386,17 12,31
i. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di
Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep
466,82 1,07
2. 10.435,84 23,85
a. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
882,75 2,02 · Ekosistem Karst (4.551,43 Ha, 10,40%). a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort
Bantimurung yang terletak di Kecamatan Simbang, Kabupaten
Maros.
686,91 1,57 · Ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah (5.389,66
Ha, 12,32%).
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya.
c. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
118,05 0,27 · Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah (492,12 Ha, 1,12%). c. Pengembangan penelitian, pendidikan, wisata alam terbatas,
pemanfaatan jasa lingkungan dan kegiatan penunjang budidaya.
d. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba
yang terletak di Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros.
1.748,83 4,00 · 709 species tumbuhan alam dan 728 species satwa liar. d. Pembinaan habitat dan populasi dalam rangka meningkatkan
keberadaan populasi hidupan liar.
e. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros.
1.225,10 2,80 e. Pembangunan sarana dan prasarana sepanjang untuk
kepentingan penelitian, pendidikan, dan wisata alam terbatas.
f. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di Kecamatan
Mallawa, Kabupaten Maros.
1.212,99 2,77
g. Wilayah kerja Resort Minasatene yang terletak di Kecamatan
Minasatene, Kabupaten Pangkep.
806,93 1,84
h. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep.
3.348,55 7,65
i. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di
Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep.
405,73 0,93
3. 374,43 0,86
a. Kawasan Wisata Bantimurung dan Sekitarnya (Kecamatan
Bantimurung, Kabupaten Maros, Wilayah kerja Resort
Bantimurung).
48,60 0,11 · Air Terjun Bantimurung, Gua Mimpi, Gua Batu, Telaga Kassi
Kebo, Telaga Toakala, Jamala, serta Penangkaran Kupu-kupu.
a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Kawasan Wisata Pattunuang Asue (Kecamatan Simbang,
Kabupaten Maros, Wilayah kerja Resort Pattunuang).
101,16 0,24 · Sungai Pattunuang, Gua Pattunuang Asue, serta Biseang
Labboro.
b. Inventarisasi dan monitoring sumber daya alam hayati dengan
ekosistemnya.
Kegiatan
Zona Rimba
Zona Pemanfaatan
Zona Inti
Revisi
No. Jenis Zona dan Lokasi Potensi
Lanjutan Lampiran 3. Matriks Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraungc. Kawasan Pengamatan Satwa Karaenta (Kecamatan Cendrana,
Kabupaten Maros, Wilayah kerja Resort Pattunuang).
8,90 0,02 · Keragaman species flora dan fauna, terutama Macaca maura
yang dapat berinteraksi langsung dengan manusia.
c. Penelitian, pengembangan pendidikan, dan kegiatan penunjang
budidaya.
d. Gua Vertikal Leang Pute (Kecamatan Cendrana, Kabupaten
Maros, Wilayah kerja Resort Pattunuang).
15,19 0,03 · Gua Vertikal Leang Pute dan Gua Dinosaurus. d. Pengembangan, potensi dan daya tarik wisata alam.
e. Situs Prasejarah Leang-leang (Kecamatan Bantimurung,
Kabupaten Maros, Wilayah kerja Resort Bantimurung).
2,25 0,01 · Gua Prasejarah Leang Pettae dan Leang Petta Kere. e. Pembinaan habitat dan populasi.
f. Kawasan Pegunungan Bulusaraung (Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep, Wilayah kerja Resort Balocci).
137,29 0,31 · Desa Wisata Tompobulu, dan Jalur Pendakian Gunung
Bulusaraung.
f. Pengusahaan pariwisata alam dan pemanfaatan kondisi/jasa
lingkungan.
g. Kawasan Permandian Alam Leang Londrong (Kecamatan
Minasatene, Kabupaten Pangkep, Wilayah kerja Resort
Minasatene).
51,57 0,12 · Gua Leang Londrong dan aliran sungai yang berasal dari dalam
gua.
h. Mata air Ulu ere (Kecamatan Minasatene, Kabupaten Pangkep,
Wilayah kerja Resort Minasatene).
3,90 0,01 · Pemanfaatan air komersial oleh Perusahaan Daerah Air Minum
(PDAM) Kabupaten Pangkep.
i. Mata air Leang paniki (Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten
Pangkep, Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa)
4,23 0,01 · Pemanfaatan air non komersial oleh Masyarakat untuk air bersih.
j. Sungai Galung-galung (Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros,
Wilayah Kerja Resort Camba)
0,72 0,002 · Pemanfaatan air non komersial oleh Masyarakat untuk saluran
irigasi pertanian.
k. Sungai Balanglohe (Kecamatan Mallawa, Kabupaten Maros,
Wilayah Kerja Resort Mallawa)
0,62 0,001 · Pemanfaatan energi air non komersial oleh Masyarakat untuk
Mikrohidro.
4. 4.374,05 10,00
a. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
677,92 1,55 · Ekosistem Karst (469,79 Ha, 1,07%). a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort
Bantimurung yang terletak di Kecamatan Simbang, Kabupaten
Maros.
11,90 0,03 · Ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah (3.860,21
Ha, 8,82%).
b. Inventarisasi dan monitoring potensi jenis yang dimanfaatkan
oleh masyarakat.
c. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba
yang terletak di Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros.
248,64 0,57 · Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah (44,05 Ha, 0,10%). c. Pembinaan habitat dan populasi.
d. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros.
1.024,03 2,34 · Pada umumnya merupakan areal yang ditumbuhi oleh tegakan
Kemiri (Aleurites moluccana ) dan sebagian lagi merupakan
tegakan Pinus merkusii yang homogen serta padang rumput.
d. Penelitian dan pengembangan.
e. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di Kecamatan
Mallawa, Kabupaten Maros.
2.380,96 5,44 e. Pemanfaatan potensi dan kondisi sumber daya alam sesuai
dengan kesepakatan dan ketentuan yang berlaku.
f. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep.
30,60 0,07
5. 1.331,38 3,04
a. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
49,62 0,11 · Ekosistem Karst (590,96 Ha, 1,35%). a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di Kecamatan
Simbang, Kabupaten Maros.
780,31 1,78 · Ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah (740,41
Ha, 1,69%).
b. Inventarisasi dan monitoring.
c. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
42,18 0,10 c. Rehabilitasi, pembinaan habitat dan populasi.
d. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba
yang terletak di Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros.
105,38 0,24 d. Penelitian dan pengembangan.
e. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep.
342,00 0,78
f. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di
Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep.
11,89 0,03
Lanjutan Lampiran 3. Matriks Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung
Zona Tradisional
Zona Rehabilitasi
6. 191,49 0,44
a. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
57,47 0,13 · Situs prasejarah berupa gua-gua purbakala. Gua prasejarah ini
adalah gua-gua yang ditemukan oleh Sarasin bersaudara pada
awal abad ke-19 dalam ekplorasi arkeologi di Sulawesi.
a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di Kecamatan
Simbang, Kabupaten Maros.
16,49 0,04 · Peninggalan lukisan-lukisan dinding gua serta benda-benda
purbakala lainnya, baik berupa artefak, fitur, maupun ekofak.
b. Pemanfaatan pariwisata alam, penelitian, pendidikan dan religi.
c. Wilayah kerja Resort Minasatene yang terletak di Kecamatan
Minasatene, Kabupaten Pangkep.
117,53 0,27 c. Penyelenggaraan upacara adat.
7. 4.193,08 9,58
a. Sebagian wilayah kerja Resort Bantimurung yang terletak di
Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros.
457,87 1,05 · Ekosistem Karst (661,75 Ha, 1,51%). a. Perlindungan dan pengamanan.
b. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di
Kecamatan Simbang, Kabupaten Maros.
441,37 1,00 · Ekosistem Hutan Hujan Non Dipterocarpaceae Pamah (3.501,31
Ha, 8,00%).
b. Pemanfaatan untuk menunjang kehidupan masyarakat.
c. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang yang terletak di
Kecamatan Tompobulu, Kabupaten Maros.
101,87 0,23 · Ekosistem Hutan Pegunungan Bawah (30,02 Ha, 0,07%). c. Rehabilitasi.
d. Sebagian wilayah kerja Resort Pattunuang dan Resort Camba
yang terletak di Kecamatan Cendrana, Kabupaten Maros.
1.166,59 2,67 d. Monitoring populasi dan aktivitas masyarakat serta daya dukung
wilayah.
e. Sebagian wilayah kerja Resort Camba yang terletak di
Kecamatan Camba, Kabupaten Maros.
352,05 0,80
f. Wilayah kerja Resort Mallawa yang terletak di Kecamatan
Mallawa, Kabupaten Maros.
1.301,20 2,97
g. Wilayah kerja Resort Balocci yang terletak di Kecamatan Balocci,
Kabupaten Pangkep.
270,66 0,62
h. Wilayah kerja Resort Tondong Tallasa yang terletak di
Kecamatan Tondong Tallasa, Kabupaten Pangkep.
101,47 0,23
JUMLAH 43.750,00 100
Zona Religi, Budaya dan Sejarah
Zona Khusus
LAMPIRAN 4 Peta Revisi Zonasi TN. Bantimurung Bulusaraung