Page 1
Laporan Analisis Kebijakan
REPOSISI KELEMBAGAAN DAN TUPOKSI KEMENTERIAN PERTANIAN DALAM MEMPERCEPAT
TERWUJUDNYA KEDAULATAN PANGAN
Hermanto Achmad Suryana
Tahlim Sudaryanto Pantjar Simatupang
Erwidodo Ketut Kariyasa
Rangga Ditya Yofa
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN
2016
Page 2
1
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI ......................................................................................................... 1
DAFTAR TABEL .................................................................................................... 3
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. 4
I. PENDAHULUAN................................................................................................. 5
1.1. Latar Belakang Masalah .............................................................................. 5
1.2. Tujuan ....................................................................................................... 8
II. METODOLOGI PENGKAJIAN ............................................................................. 9
2.1. Lingkup Pengkajian .................................................................................... 9
2.2. Metoda Pengkajian ................................................................................... 10
III. ANALISIS FAKTOR STRATEGIS ..................................................................... 11
3.1. Analisis Faktor Strategis Domestik ............................................................. 11
3.1.1. Keanekaragaman Hayati dan Agroekosistem ........................................ 11
3.1.2. Sumberdaya Lahan Pertanian .............................................................. 11
3.1.3. Penyediaan dan Pemanfaatan Teknologi .............................................. 13
3.1.4. Ketersediaan Tenaga Kerja ................................................................. 14
3.1.5. Pasar Hasil Pertanian .......................................................................... 15
3.2. Lingkungan Strategis Internasional ............................................................ 17
3.2.1. Peningkatan Kebutuhan Pangan, Bahan Baku Industri Dan Energi ......... 17
3.2.2. Perubahan Iklim, Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam ................. 18
3.2.3. Kondisi Perekonomian Global .............................................................. 19
3.2.4. Tuntutan Globalisasai Dan Koherensi Kebijakan Antar Negara ............... 19
IV. ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN ......................................... 21
4.1. Kebijakan Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan ............................ 21
4.1.1. Kebijakan Kemandirian Pangan ........................................................... 21
4.1.2. Kebijakan Pengembangan Infrastruktur ............................................... 23
4.1.3. Kebijakan Peningkatan Sarana Pertanian ............................................. 25
4.2. Kebijakan Stablisasi Harga Pangan ............................................................ 28
4.2.1. Gejolak Harga Pangan Dunia dan Penanganannya ................................ 28
4.2.2. Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan di Indonesia .................................. 33
4.2.3. Kebijakan Impor, Cadangan dan Stabilisasi Harga Beras ....................... 34
Page 3
2
4.2.4. Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Kedepan ........................................ 37
4.3. Kebijakan Peningkatan Daya Saing ............................................................ 39
4.3.1. Status Daya Saing Negara dan Sektor Pertanian Indonesia ................... 39
4.3.2. Arah Kebijakan Peningkatan Daya Saing dan Kerangka Kelembagaan
Kementerian Pertanian ................................................................................. 44
Gambar 4.4. Determinan Daya Saing Bisnis (Porter, 1990) .................................. 45
V. KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PERTANIAN DAN PANGAN ..................................... 49
5.1. Perkembangan Pengaturan Kelembagaan Pertanian dan Pangan ................. 49
5.2. Pembagian Tugas dalam Penanganan Masalah Pangan ............................... 50
5.3. Kebijakan Kementerian PertanianBidang Pangan Saat Ini ............................ 52
5.4. Reposisi Kelembagaan Pertanian ............................................................... 53
5.4.1. Revitalisasi Kelembagaan Kementerian Pertanian(Opsi Pertama). ............. 54
5.4.2. Reorganisasi Kelembagaan Kementerian Pertanian Berdasar Perspektif
Sistem Agribisnis (Opsi Kedua) ........................................................................ 57
5.4.3. Reorganisasi Kelembagaan Kementerian Pertanian Berdasar Perspektif
Rantai Nilai Tambah (Opsi Ketiga)................................................................. 61
VI. KESIMPULAN ................................................................................................ 65
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 67
Page 4
3
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Instrumen Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan ......................................................... 30
Tabel 4.2. Daya saing Indonesia relative terhadap 10 negara anggota ASEAN pada 2010 ... 41
Page 5
4
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Daya saing negara-negara ASEAN 2000-2010 ..................................................... 41
Gambar 4.2. Skor indikator daya saing Indonesia padea 2000, 2005 dan 2015 .................... 42
Gambar 4.3. Peta Daya Saing Pertanian Indonesia (Dermoredjo, et al 2015) ....................... 43
Gambar 4.4. Determinan Daya Saing Bisnis (Porter, 1990) ...................................................... 45
Gambar 5.1. Skema Peran Kementerian Pertanian Berdasar Sistem Agribisnis ....................... 58
Gambar 5.2. Bagan Organisasi Kementerian Pertanian Menurut SistemAgribisnis (Opsi
Kedua). .............................................................................................................................................. 60
Gambar 5.3. Peran Kementerian Pertanian Berdasarkan Perspektif Sistem RantaiNilai
Tambah Komoditas Pertanian. ........................................................................................................ 62
Gambar 5.4. Bagan Organisasi Kementerian Pertanian Menurut SistemRantai Nilai Tambah
Komoditas Pertanian (Opsi Ketiga). ............................................................................................... 64
Page 6
5
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam era globalisasi, pembangunan pertanian Indonesia menghadapi
berbagai permasalahan terutama yang terkait dengan daya saing dan daya tahan
pertanian sebagai salah satu sektor dalam perekonomian nasional.Dalam era
perdagangan internasional yang sudah semakin terbuka, pertanian nasional harus
mempunyai daya saing baik di pasar domestik, maupun di pasar global.Era
globalisasi akhir-akhir ini juga ditengarai oleh tingginya gejolak harga dan pasokan
pangan dunia, terutama bagi beberapa komoditas pangan strategis yang merupakan
kebutuhan pokok bagi sebagian besar penduduk dunia.Oleh karena itu, sektor
pertanian nasional juga dituntut untuk mempunyai daya tahan yang tinggi.
Dalam era globalisasi, daya saing ekonomi suatu negara diukur dari tinggi
atau rendahnya produktivitas suatu negara. Pada saat ini telah dikembangkan suatu
indeks yang dapat menunjukkan daya saing ekonomi suatu negara yang dinyatakan
sebagai Global Competitiveness Index (GCI), yang merupakan satu himpunan dari
faktor-faktor kelembagaan, kebijakan dan faktor-faktor lain yang menentukan
produktivitas suatu negara (World Economic Forum, 2014). Adapun faktor-faktor
yang menentukan GCI adalah: (1) faktor-faktor yang merupakan kebutuhan dasar
dalam pembangunan enkonomi (factor driven economies), (2) faktor kunci yang
mendorong effisiensi dalam pembangunan ekonomi (efficiency driven economies),
dan (3) faktor kunci untuk menumbuhkan inovasi dalam pembangunan ekonomi
(innovation driven economies).
Berdasarkan pemahaman atas konsep daya saing ekonomi dalam era
globalisasi tersebut, pembangunan pertanian nasional saat ini dan kedepan mutlak
harus didukung oleh kebijakan pembangunan makro dan sektoral yang memfasilitasi
pembangunan infrastruktur pertanian dan pedesaan, seperti prasarana irigasi, jalan,
enrji dan komunikasi, yang merupakan kebutuhan dasar bagi sektor pertanian untuk
meningkatkan produksi dan produktivitasnya. Dalam rangka peningkatan
produktivitas pertanian, pembangunan pertanian juga harus didukung oleh faktor-
faktor yang dapat meningkatkan efisiensi produksi, seperti akses terhadap teknologi,
Page 7
6
akses pasar dalam negeri dan luar negeri, akses terhadap kelembagaan permodalan,
dan kebijakan pertanian yang mendorong peningkatan produktivitas pertanian.
Selanjutnya agar sktor pertanian mempunyai daya saing di pasar domestik dan
global, maka pembangunan pertanian harus pula didukung oleh kegiatan litbang
yang selalu menghasilkan inovasi dan lompatan teknologi untuk mengatasi masalah
peningkatan produksi dan produktivitas pangan secara berkelanjutan.
Pembangunan pertanian nasional dewasa ini juga menghadapi dampak dari
perubahan iklim global.Oleh karena itu, disamping memiliki keunggulan daya saing,
sektor pertanian juga dituntut untuk memiliki daya tahan. Daya tahan atau resilient
dimaksud didefinisikan sebagai kemampuan suatu sistem, komunitas, atau suatu
masyarakat yang terpapar oleh bahaya/bencana untuk bertahan, menyerap,
mengakomodasikan, dan pulih dari dampak bahaya/bencana tersebut secara tepat
waktu dan efisien, termasuk dalam mencegah dan memperbaiki kerusakan pada
bangunan infrastruktur dasar yang esensial beserta fungsinya (FAO, IFAD dan WFP,
2015)
Dalam kaitannya dengan daya tahan ini, mengingat bahwa sebagian besar
petani Indonesia merupakan petani kecil dan petani gurem, serta masih banyaknya
kelompok masyarakat yang berpendapatan rendah atau miskin, maka negara
berkewajiban untuk melindungi mereka dari dampak bencana atau risiko baik yang
ditimbulkan oleh gejolak pasokan dan harga pangan, dan risiko kegagalan produksi
sebagai dampak negative dari perubahan iklim global, serta dampak negative dari
bencana alam dan sosial. Oleh karena itu, perlu adanya kebijakan stabilisasi pasokan
dan harga pangan, terutama pasokan dan harga pangan pokok dan strategis, untuk
menjamin agar petani menerima harga yang wajar bagi hasil-hasil pertaniannya,
serta menjamin agar pangan pokok dan strategis dapat diakses secara fisik dan
ekonomi oleh konsumen, terutama bagi kelompok masyarakat miskin.
Dalam rangka stabilisasi pasokan dan harga pangan pokok dan strategis,
diperlukan instrumen kebijakan yang meliputi: (1) peningkatan produksi dalam
negeri bagi pangan pokok dan strategis melalui penyediaan sarana dan subsidi
sarana produksi, penerapan teknologi maju, dan perluasan areal tanaman, (2)
kebijakan harga pembelian pemerintah (HPP) untuk menjaga harga pangan pokok
dan strategis di tingkat petani, (3) pengelolaan cadangan dan distribusi pangan
Page 8
7
pokok dan strategis untuk stabilisasi harga di tingkat kosumen, serta bantuan
pangan untuk masyarakat miskin dan korban bencana, dan (4) pengendalian ekspor
dan impor pangan pokok dan strategis (Hermanto, 2015). Guna megurangi dampak
risiko produksi yang dihadapi petani, diperlukan pengembangan program asuransi
pertanian (Pasaribu, 2015).Di samping itu, untuk meningkatkan daya tahan
konsumen terhadap risiko ketersediaan pangan diperlukan program divesifikasi
konsumsi pangan berbasis sumberdaya lokal dan program perbaikan gizi masyarakat
(Rachmat, 2015).
Melihat kompleksitas peta permasalahan yang dihadapi oleh sektor pertanian
pada saat ini dan di masa yang akan datang, kebijakan pembangunan pertanian
haruslah bersifat komprehensif, lintas sectoral, lintas disiplin, dan lintas wilayah,
serta saling terkait dari hulu sampai ke hilir. Dengan demikian, diperlukan
kelembagaan kepemerintahan yang mempunyai kapasitas dan kewenangan yang
memadai untuk merencanakan, merumuskan, mengkoordinasikan,
mengharmonisasikan, melaksanakan (mengeksekusi), memantau dan mengevaluasi
kebijakan dan program pembangunan pertanian.
Pada Bab III dari tulisan ini akan membahas secara ringkas tentang dinamika
perubahan lingkungan strategis, baik lingkungan strategis domestik, maupun
lingkungan strategis global, yang dihadapi oleh pembangunan sektor pertanian dan
pangan di Indonesia. Bab IV dari tulisan ini akan mengalisa secara singkat tentang
kebijakan pemerintah dalam rangka mencapai ketahan pangan yang mandiri dan
berdaulat, terutama yang terkait dengan kebijakan peningkatan produksi pertanian
secara berkelanjutan, peningktan stabilitas harga pangan, serta peningkatan daya
saing produk-produk pertanian. Setelah mempelajari perubahan lingkungan
strategis, serta hasil analisis kebijakan pembangunan sektor pertanian, pada Bab V
akan dilakukan analisis dan usulan reposisi kelembagaan Kementerian Pertanian
yang diharapkan dapat melaksanakan tugas dan fungsi yang sesuai dengan visi dan
misi pembanguan pertanian, serta sesuai dengan kapasitas dan kompetensi
kelembagaan yang sesuai dengan tuntutan perubahan lingkungan strategis yang
dihadapi oleh pembanguan sektor pertanian pada saat ini dan pada masa yang akan
datang.
Page 9
8
1.2. Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk menghasilkan bahan masukan bagi perumusan
kebijakan yang terkait dengan upaya untuk melakukan reposisi kelembagaan dan
tupoksi Kementerian Pertanian dalam mempercepat terwujudnya kedaulatan
pangan, melalui suatu kajian yang komprehensif terhadap:
1. Permasalahan aktual yang dihadapi dalam rangka meningkatkan daya
saing dan daya tahan sektor pertanian di era perdagangan global dan
perubahan iklim global.
2. Kebijakan peningkatan produksi pertanian secara berkelanjutan, stabilisasi
pasokan dan harga pangan, utamanya bahan pangan pokok dan strategis,
serta peningkatan daya saing produk-produk pertanian,.
3. Aspek kelembagaan Kementerian Pertanian dipandang dari peran dan
fungsinya sebagai kelembagaan pemerintah yang mempunyai peran
utama dalam pembangunan pertanian yang mandiri dan berdaulat.
Page 10
9
II. METODOLOGI PENGKAJIAN
2.1. Lingkup Pengkajian
Kajian ini dilakukan untuk melakukan indentifikasi permasalahan
pembangunan pertanian pada skala nasional yang secara langsung ataupun tidak
langsung terkait dengan perubahan lingkungan strategis domestic dan global. Dari
kajian ini diharapkan dapat diketahui tentang kompleksitas masalah yang dihadapi
oleh Kementerian Pertanian untuk mecapai visi pembanguan pertanian sebagai
beruikut: “Terwujudnya sistem pertanian-bioindustri berkelanjutan yang
menghasilkan beragam pangan sehat dan produk bernilai tambah tinggi berbasis
sumberdaya lokal untuk kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani” (Kementerian
Pertanian, 2015).
Kajian ini juga dilaksanakan untuk melakukan analisis berbagai kebijakan
yang telah diterapkan pemerintah dalam rangka pembangunan sektor pertanian
terutama yang terkait dengan: (1) peningkatan produksi dan produkstivitas
pertanian secara berkelanjutan, (2) stabilisasi pasokan dan harga pangan di tingkat
produsen dan konsumen utamanya untuk bahan pangan pokok dan strategis, serta
kaitannya dengan perkembangan pasokan dan harga pangan di pasar global, serta
(3) peningkatan daya saing produk-produk pertanian.
Analisis kelembagaan Kementerian Pertanian dilakukan dari aspek peran dan
fungsi kementerian sebagai lembaga yang mempunayai kewenangan menetapkan
dan melaksanakan kebijakan untuk mengantisipasi dan mengatasi permasalahan
yang dihadapi sesuai dengan dinamika pembangunan pertanian yang memerlukan
penanganan secara secara komprehensif, lintas sektoral, lintas disiplin dan lintas
wilayah.Kajian dilakukan dengan dua skenario.Skenario pertama adalah bagaimanan
mengoptimalkan peran dan fungsi Kementerian Pertanian dengan asumsi bahwa
struktur organisasi pada unit kerja Eselon I tidak mengalami perubahan seperti yang
ada pada saat ini.Skenario kedua adalah bahwa Kementerian Pertanian dapat
merubah struktur organisasi pada tingkat unit kerja Eselon I, yang disesuaikan
dengan kondisi ideal yang diperlukan untuk dapat merencanakan, merumuskan,
mengkoordinasikan, mengharmonisasikan, melaksanakan (mengeksekusi),
Page 11
10
memantau dan mengevaluasi kebijakan dan program pembangunan pertanian yang
mandiri dan berdaulat.
2.2. Metoda Pengkajian
Kajian dilakukan dengan semaksimal mungkin memanfaatkan hasil telaahan
kepustakaan dan hasil analisis data sekunder. Hasil analisis dilengkapi dengan
informasi dan masukan dari para pakar yang terdiri atas pakar dari kalangan pejabat
pemerintah, akademisi, pelaku bisnis di bidang pangan dari kalangan BUMN dan
swasta dalam format diskusi kelompok terarah (FGD), dan forum konsultasi tatap
muka.
Pengumpulan data primer dilapang dapat dilaksanakan untuk melakukan
pendalaman terhadap permasalahan yang dianalisis, serta untuk mengukur secara
kualitatif respons dari Pemda dan petani terhadap suatu kebijakan
tertentu.Pengumpulan data primer dilakukan di provinsi Jawa Barat dan DKI Jakarta.
Page 12
11
III. ANALISIS FAKTOR STRATEGIS
3.1. Analisis Faktor Strategis Domestik
3.1.1. Keanekaragaman Hayati dan Agroekosistem
Indonesia terkenal kaya akan keanekaragaman hayati dan merupakan
sebagai salah satu negara di dunia yang memiliki keanekaragaman hayati tertinggi.
Namun demikian, baru sebagian dari kekayaan hayati tersebut telah dimanfaatkan
dan itupun belum secara optimal.Oleh karena itu, melalui pemanfaatan yang lebih
luas dan secara optimal melalui penerapan inovasi teknologi di bidang pertanian,
dengan tetap mengedapankan prinsip-prinsip ramah lingkungan dan keberlanjutan,
maka keunggulan keanakaragaman hayati itu dapat dijadikan sumber utama dalam
upaya mewujudkan kedaulatan pangan kedepan. Selain berfungsi sebagai sumber
pangan, pakan, bahan baku industry dan bio-energi, farmasi dan obat-obatan,
keanekaragaman hayati juga memiliki peranan penting dalam mempertahankan
keberlanjutan ekosistem.
Selain kaya akan sumberdaya hayati, Indonesia juga memiliki sumberdaya
biofisik (agroekosistem) yang cukup beragam untuk mendukung pembangunan
pertanian, seperti ketersedian lahan (lahan irigasi, kering, tadah/tadah hujan,
lebak/rawa), lahan dataran rendah dan tinggi, curah hujan yang merata di sebagian
wilayah, sinar matahari yang terus menerus sepanjang tahun, kelembaban udara,
serta setidaknya memiliki 47 ekosistem alami yang berbeda (Kementerian Pertanian,
2015). Kondisi ini menyebabkan Indonesia memungkinkan untuk dapat
memproduksi pangan sepanjang tahun. Mengingat produk-produk tersebut
diproduksi tidak merata di setiap lokasi dan waktu, sementara sentra lokasi
konsumen tidak selalu berada di sentra produksi, serta permintaan akan produk
tersebut relatif sama sepanjang tahun, maka tantangannya ke depan adalah
bagaimana produk-produk pertanian agar tersedia sepanjang musim di tingkat
konsumen.
3.1.2. Sumberdaya Lahan Pertanian
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas daratan mencapai 1,92
juta km2 dan luas perairan mencapai 3,26 km2. Menurut data BPS (2013), dari luas
Page 13
12
daratan 191,09 juta hektar, sekitar 95,81 juta hektar (50,14%) merupakan lahan
potensial untuk digunakan pertanian (Kementerian Pertanian 2015), dimana dari
luas tersebut sekitar 73,67% (70,59 juta hektar) merupakan lahan kering, 5,46%
(5,23 juta hektar) lahan basah non rawa, dan sisanya 20,87% (19,99 juta hektar)
lahan rawa. Namun demikian belum semua lahan potensial tersebut dimanfaatkan
untuk pertanian. Ada sekitar 34,7 juta hektar sebagai lahan cadangan, yang berada
di kawasan Areal Penggunaan Lain (APL) seluas 7,45 juta hektar, berada di Kawasan
Hutan Produksi Konversi (HPK) 6,79 juta hektar dan sekitar 20,46 juta hektar di
kawasan Hutan Produksi (HP).
Sampai saat ini, kegiatan untuk memproduksi pangan masih fokus pada lahan
irigasi yang pada umumnya sudah dikelola secara intensif khususnya di Jawa.Di sisi
lain, ketersediaan lahan sub optimal masih cukup banyak. Dengan semakin ketatnya
persaingan pemanfaatan lahan sawah irigasi untuk berbagai penggunaan, dan dalam
banyak kasus pemanfaatan untuk pangan berada dalam posisi lemah, maka
penyediaan pangan Indonesia ke depan akan tergantung pada kemampuan
teknologi dalam memanfaatkan lahan-lahan sub-optimal yang jumlahnya relatif
masih luas. Lahan sub-optimal adalah lahan yang secara alamiah mempunyai
produktivitas rendah (karena faktor internal seperti sifat fisik, kimia danbiologi
tanah, dan/atau faktor eksternal seperti iklim, lingkungan) dan lahan terdegradasi
akibat pengelolaan yang tidak tepat, termasuk lahan terlantar di lahan kering dan
lahan rawa. Oleh karena itu, pengelolaan lahan suboptimal perlu dilakukan secara
berkelanjutan (dengan memperhatikan aspek lingkungan) dan bersifat inklusif agar
petani dan masyarakat lokal dapat berpartisipasi aktif dalam rangka meningkatkan
kesejahteraannya dan mewujudkan kedaulatan pangan ke depan.
Peluang untuk mendapatkan tambahan produksi melalui peningkatan
produktivitas pada lahan-lahan sub optimal jauh lebih besar dibandingkan pada
lahan sawah irigasi yang produktivitasnya relative sudah mendekati kejenuhan.
Oleh karena itu, ketersediaan inovasi teknologi spesifik lokasi sesuai permasalahan
dan kebutuhan petani lahan sub optimal menjadi penting. Kebijakan pengembangan
infrastruktur pertanian pada lahan sub optimal yang kondisinya masih jauh
dibandingkan pada lahan irigasi patut menjadi perhatian ke depan.
Page 14
13
3.1.3. Penyediaan dan Pemanfaatan Teknologi
Sudah banyak inovasi teknologi bidang pertanian yang dihasilkan baik oleh
Kementerian Pertanian sendiri maupun lembaga peneltian lainnya, mulai dari proses
produksi di hulu hingga pengolahan di hilir. Banyak aplikasi inovasi teknologi yang
digunakan dalam industri pertanian modern di Indonesia untuk menghasilkan
produktivitas tinggi pada tingkat biaya produksi yang lebih rendah.Berbagai inovasi
teknologi yang telah dihasilkan tersebut mempunyai kontribusi nyata dalam
meningkatkan produksi pertanian serta mengurangi dampak perubahan iklim
ekstrim, seperti elnino, terhadap kapasistas produksi. Lebih dari 180 VUB (varietas
unggul baru) padi yang telah dihasilkan Kementerian Pertanian mampu
meningkatkan produktivitas padi rata-rata 0,5 ton/ha. Demikian juga ada sekitar 37
VUB kedelai dan 61 VUB jagung yang dihasilkan juga mampu meningkatkan
produktivitas rata-rata 0,5 ton/ha untuk kedelai dan 1,0 ton/ha untuk jagung.
Demikian juga untuk komoditas lainnya, termasuk peternakan.
Kalender Tanam Terpadu mempunyai peranan yang cukup penting dalam
meningkatkan produksi pertanian dan mengurangi dampak perubahan iklim yang
sangat ekstrim, karena Kalender Tanam Terpadu mampu memberikan informasi
tentang wilayah yang rawan banjir, kekeringan dan luas serangan OPT (organisme
pengganggu tanaman), rekomendasi kebutuhan varietas dan benih serta pupuk,
rekomendasi mekanisasi pertanian, dan standing crops yang sedang ada di
lapangan. Demikian juga halnya dengan teknologi pengelolaan sumberdaya air
sudah banyak tersedia dan berkembang, seperti teknologi panen air, teknologi
pemanfaatan air secara efisien melalui irigasi tetes, jaringan irigasi tingkat desa
(JIDES) dan jaringan irigasi tingkat usahatani (JITUT).
Selain itu, Kementerian Pertanian menghasilkan berbagai macam prototipe
alat dan mesin (alsin) pertanian. Dalam beberapa tahun terakhir Kementerian
Pertanian telah mampu memproduksi Indo Jarwo Transplanter dan Combine
Harvester yang dapat mengatasi terjadinya kelangkaan tenaga kerja, mahalnya
upah tanam dan panen, mempercepat pengolahan lahan, tanam, panen, dan
mengurangi kehilangan hasil. Mekanisasi mampu menghemat biaya produksi ±30%
dan menurunkan susut panen 10%, mampu menghemat biaya olah tanah, biaya
tanam, dan panen dari Rp 7,3 juta/ha menjadi Rp 5,1 juta/ha (Kementerian
Page 15
14
Pertanian, 2015). Ketersediaan teknologi alsin akan mendorong minat generasi
muda untuk terlibat dalam sektor pertanian, karena kegiatan pada sektor pertanian
akan menjadi menarik dan menguntungkan, serta sekaligus mengubah pandangan
masyarakat bahwa kondisi petani kita ke depan tidak lagi miskin, penuh lumpur,
pakai capil dan cangkul, akan tetapi sebaliknya akan banyak dikelola oleh generasi
muda yang professional dan memberikan keuntungan yang sama baiknya dengan
sektor lainya.
Tantangan ke depan dalam teknologi alsin, selain terletak pada kemampuan
untuk menciptakan teknologi alsin berkarakter spesifik lokasi, yang juga tidak kalah
pentinganya adalah bagaimana membangun kelembagaan pengelolaannya agar bisa
berkembangan secara berkelanjutan. Hal yang sama juga perlu dilakukan untuk
teknologi lainnya, selain sesuai dengan kebutuhan dan mampu menjawab
permasalahan petani, perlu juga adanya strategi dan terobosan baru dalam aspek
diseminasi agar lebih banyak diadopsi oleh petani dan pengguna lainnya.
3.1.4. Ketersediaan Tenaga Kerja
Salah satu keuntungan Indonesia dalam pengembagan sektor pertanian
adalah tenaga kerja yang cukup berlimpah. Pada saat sekarang jumlah penduduk
Indonesia sudah lebih dari 252 juta jiwa, dan bahkan, Badan Perencanaan
Pembangunan Nasional (Bappenas) memproyeksikan bahwa jumlah penduduk
Indonesia pada tahun 2035 mendatang akan mencapai 305,6 juta jiwa. Meski
begitu, peningkatan jumlah penduduk Indonesia tersebut dibarengi dengan
meningkatnya penduduk berusia produktif (usia 15 tahun sampai 65 tahun). Dengan
demikian, penduduk Indonesia yang produktif lebih banyak daripada penduduk yang
tak produktif (bonus demografi). Bonus demografi ini merupakan input produksi
potensial yang dapat dimanfaatkan dalam pembangunan pertanian ke depan.
Sebagian besar penduduk Indonesia berada di pedesaan dan memiliki budaya
kerja keras sehingga merupakan potensi yang besar dari ketersediaan tenaga kerja
pertanian. Sampai saat ini, lebih dari 35 juta tenaga kerja atau 26,14 juta
rumahtangga masih menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian. Namun
demikian, penyebaran jumlah tenaga kerja tersebut belum tersebar secara
proporsional sesuai dengan sebaran luas potensi lahan.Selain itu, pengetahuan dan
Page 16
15
keterampilan yang dimiliki masih belum cukup untuk mendukung pengembangan
pertanian yang berdaya saing.Oleh karena itu, upaya pemanfaatan keberadaan
penduduk yang besar di suatu wilayah dapat dilakukan melalui perbaikan
pengetahuan dan keterampilannya agar dapat bekerja dan berusaha di sektor
produksi, baik pada subsistem ptoduksi, pengolahan dan maupun pemasaran hasil
pertanian.Peningkatan kapasitas penduduk dalam hal pengetahuan dan keterampilan
pertanian dapat juga dilakukan melalui penempatan tenaga kerja pertanian terlatih
di daerah yang masih kurang penduduknya dan penyediaan fasilitasi pertanian
dalam bentuk faktor produksi, bimbingan teknologi serta pemberian jaminan pasar
yang baik.
Selain masalah kualitas sumberdaya petani, jumlah tenaga kerja terutama
dari kaum muda yang terlibat di sektor pertanianpun cenderung menurun sekitar
250 ribu orang dalam kurun waktu satu tahun, yaitu dari sekitar 39,22 juta orang
pada Agustus 2013 menjadi 38,97 juta orang pada Agustus 2014 (Balitbangtan
2014). Penyebab utama kurang tertariknya kaum muda untuk bertani selain
masalah prestise, juga pendapatan yang diperoleh dari sektor pertanian tidak
semenarik sektor lainnya. Oleh karena itu perlu adanya kebijakan baru dalam
pengembangan SDM dan pertanian ke depan agar fenomena aging farmingbisa
diatasi.
3.1.5. Pasar Hasil Pertanian
Jumlah penduduk yang cenderung meningkat merupakan potensi pasar
domestik yang cukup besar bagi produk-produk pertanian Indonesia. Di sisi lain,
seiring dengan membaiknya pendapatan per kapita penduduk maka permintaan dan
konsumsi per kapita untuk produk-produk pertanian yang masih rendah akan
mengalami peningkatan secara signifikan. Berubahnya penduduk dari kelompok
kelas berpendapat rendah ke kelas menengah secara otomatis akan menyebabkan
bergesernya pola permintaan pangan yang semakin beragam dengan tuntutan
kualitas dan keamanan pangan yang semakin tinggi. Oleh karena itu, ke depan di
samping jumlahnya yang semakin meningkat, pasar juga akan membutuhkan produk
pertanian yang semakin beragam dan berkualitas, sehingga akan membuka peluang
yang lebih besar bagi pengembangan produk-produk pertanian selain padi/beras.
Page 17
16
Oleh karena itu, kebijakan pengembangan komoditas pertanian lainnya kedepan
juga harus seimbang dengan kebijakan pengembangan komoditas padi, jagung, dan
kedelai yang sedang dilakukan pemerintah saat ini. Terjadinya pergeseran pasar
atau permintaan yang beragam ke produk non beras merupakan fenomena yang
positif karena akan mengurangi beban produksi beras dalam memenuhi
permintaannya.
Sejalan dengan era globalisasi dan perdagangan pasar bebas, maka produk
pertanian Indonesia juga berpeluang untuk mengisi pasar internasional, baik dalam
produk segar maupun olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri
dapat dimanfaatkan, maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi
produk pertanian Indonesia. Peluang pasar untuk produk-produk pertanian
Indonesia ke depan di pasar internasional akan semakin besar dengan terbentuknya
pasar tunggal di Kawasan ASEAN (Masyarakat Ekonomi ASEAN, MEA). Agar peluang
tersebut bisa dimanfaatkan secara baik, maka produk-produk pertanian Indonesia
harus diproduksi secara efisien dengan memanfaatkan keunggulan spesifik daerah
dalam rangka memperkuat daya saingnya di pasar global. Pasar domestik Indonesia
juga sangat berpeluang diisi oleh produk pertanian negara lain jika Indonesia tidak
mampu bersaing dengan produk pertanian negara lain. Daya saing sektor pangan
tidak hanya ditentukan oleh kegiatan on-farm dan off-farm, tetapi juga ditentukan
oleh factor dan sistem penunjang, seperti ketersediaan infrastruktur yang memadai,
sistem logistik yang handal dan efisien, iklim usaha dan investasi, dan sistem
pembiayaan yang handal, termasuk penganggaran yang lebih baik untuk penelitian
dan pengembangan (R&D).
Dalam perspektif kebijakan ekonomi pangan yang lebih luas, disamping
peningkatan daya saing, patut dipertimbangkan kebijakan sebagai berikut (PSEKP
2015): (1) optimalisasi perdagangan regional dan global dalam pemantapan
ketahanan pangan nasional, (2) peningkatan kapasitas produksi pertanian nasional
(lahan dan sumberdaya air), (3) upaya peningkatan produktivitas agar dibarengi
dengan pengembangan penanganan panen, pasca panen, dan pengembangan
produk, (4) perbaikan struktur pasar dan pembentukan harga yang dapat menjamin
tingkat kesejahteraan petani, (5) pengembangan diversifikasi konsumsi pangan dan
gizi untuk mengurangi tekanan terhadap permintaan pangan pokok beras; dan (6)
Page 18
17
peningkatan efektivitas koordinasi dan konsolidasi instansi terkait di tingkat pusat
dan daerah dalam upaya peningkatan produksi, daya saing, dan penegakan hukum
terkait dengan pelaksanaan regulasi pangan dan ketahanan pangan.
3.2. Lingkungan Strategis Internasional
3.2.1. Peningkatan Kebutuhan Pangan, Bahan Baku Industri Dan Energi
Tantangan global di masa mendatang adalah bagaimana penyediaan pangan
dan energi bagi penduduk yang jumlahnya semakin meningkat. Penduduk dunia
diperkirakan akan mencapai 9,5 milyar pada tahun 2050. Untuk memenuhi
kebutuhan tersebut maka produksi pangan di dunia harus naik sekitar 70%.Khusus
untuk negara-negara berkembang, produksi pangan bahkan harus meningkat sekitar
100%. Dinamika permintaan produk pangan juga akan terus bergeser dari dominasi
konsumsi produk pangan sumber karbohidrat kearah konsumsi produk pangan
sumber protein, dan unsur gizi lainnya (hortikultura, produk ternak dan ikan).
Perubahan pola konsumsi tersebut didorong oleh peningkatan pendapatan
penduduk, urbanisasi, dan kesadaran masyarakat tentang aspek gizi.Dinamika yang
terjadi pada segmen tengah dan hilir dari rantai pasok, yaitu berkembangnya
supermarkets, bisnis eceran lainnya, serta industri pengolahan pangan, turut
mempercepat perubahan pola konsumsi tersebut.
Bahan bakar minyak (BMM) dan bahan bakar gas (BBG) yang berasal dari
sumberdaya fosil merupakan hal yang tidak terlepas dari kegiatan kehidupan, yakni
sebagai sumber energi penggerak utama transportasi, industri dan juga
pertanian.Pada saat ini bahan bakar berasal dari fosil jumlahnya semakin
terbatas.Sejak dieksploitasi mulai abad 20an diperkirakan sumberdaya fosil semakin
langka. Dengan terbatasnya ketersediaan energi dan fosil, maka harus dicarikan
sumber energi alternatif lain. Beberapa komoditas pertanian yang dapat diolah
menjadi sumber energi, seperti kelapa sawit, jagung, ubikayu, tebu, jarak pagar dan
kotoran ternak dapat diolah menjadi sumber energi.Apabila sumber energi dari
hayati ini dapat dikembangkan dengan baik, maka ketergantungan terhadap BBM
semakin kecil. Dengan berkembangnya permintaan terhadap BBN maka akan
memberikan peluang pasar baru bagi produk hasil pertanian. Di pihak lain,
perkembangan tersebut akan menimbulkan persaingan baru antara produk pangan
Page 19
18
untuk konsumsi manusia dan untuk pakan dengan produk pangan untuk bahan baku
bioenergi.
3.2.2. Perubahan Iklim, Kerusakan Lingkungan dan Bencana Alam
Ancaman dan krisis pangan dunia beberapa tahun terakhir memiliki kaitan
sangat erat dengan perubahan iklim global. Dampak perubahan iklim global adalah
perubahan pola dan intensitas curah hujan, makin sering terjadinya fenomena iklim
ekstrim El-Nino dan La-Nina yang dapat mengakibatkan kekeringan dan banjir,
kenaikan suhu udara dan permukaan laut, dan peningkatan frekuensi dan intensitas
bencana alam. Bagi sektor pertanian, dampak lanjutan dari perubahan iklim adalah
bergesernya pola dan kalender tanam, perubahan keanekaragaman hayati, eksplosi
hama dan penyakit tanaman dan hewan, serta pada akhirnya berdampak pada
penurunan produksi pertanian.Sejak tahun 1898 telah terjadi kenaikan suhu yang
mencapai 1 derajatcelsius, sehingga diprediksi akan terjadi lebih banyak curah
hujandengan perubahan 2-3 % per tahun.
Tantangan ke depan dalam menyikapi dampak perubahan iklimglobal adalah
bagaimana membangun daya tahan (resilient) petani danpetugas lapangan dalam
melakukan prakiraan iklim serta melakukanupaya adaptasi dan mitigasi yang
diperlukan, sehingga bila bencara serupa terjadi lagi akan lebih siap dan lebih
mampu menghadapinya. Disamping itu, inovasi dan teknologi tepat guna
sangatpenting dan strategis untuk dikembangkan dalam rangkaupaya adaptasi dan
mitigasi terhadap perubahan iklim. Penciptaanvarietas unggul yang memiliki potensi
emisi Gas Rumah Kaca (GRK)rendah, toleran terhadap suhu tinggi maupun rendah,
kekeringan,banjir/genangan dan salinitasmenjadi sangat penting.
Kegiatan sektor pertanian juga menimbulkan konsekuensi masalah lingkungan
seperti: konflik antara kebijakan mendorong sektor pertanian dengan kebijakan
mempertahankan lingkungan alam; produksi pertanian yang tidak ramah lingkungan
juga dianggap sebagai sumber masalah penggundulan hutan dan kehilangan
keaneragaman hayati; penggunaan pupuk dan pestisida yang intensif telah
berdampak pada pencemaran lahan dan air; pertanian juga dipandang sebagai
penyumbang terbesar dari emisi gas rumah kaca dan dengan trend yang terus
meningkat.
Page 20
19
3.2.3. Kondisi Perekonomian Global
Pergeseran pusat kekuatan ekonomi terlihat dari menguatnya peran Asia
dalam dekade terakhir.Beberapa negara di Asia, seperti Jepang dan Korea Selatan,
telah lebih dulu maju dengan basis perkembangan sektor industrinya.Selanjutnya,
China dan India menyusul sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi regional
dengan statusnya sebagai negara emerging economies dengan penduduk terbesar
dan pertumbuhan ekonomi yang tinggi.Indonesia dan negara anggota ASEAN
lainnya juga mulai menunjukkan kekuatannya sebagai penggerak roda
perekonomian regional, seiring dengan pertumbuhan ekonomi yang terus melaju
serta besarnya jumlah penduduk yang menjadikannya sebagai modal sosial yang
besar maupun pasar yang potensial.
Pelaksanaan MEA 2015 memberikan konsekuensi bagi Indonesia terhadap
tingkat persaingan yang semakin terbuka dan tajam, terutama dalam perdagangan
barang dan jasa di kawasan ASEAN. Dengan semakin terbukanya pasar ASEAN bagi
para negara anggotanya, tingkat persaingan pun akan semakin tinggi. Sejalan
dengan era globalisasi dan pemberlakuan pasar bebas, produk pertanian Indonesia
juga berpeluang untuk dipasarkan ke pasar internasional, baik produk segar maupun
olahan. Apabila peluang pasar dalam negeri dan luar negeri dapat dimanfaatkan,
maka hal ini akan menjadi pasar yang sangat besar bagi produk pertanian
Indonesia.
3.2.4. Tuntutan Globalisasai Dan Koherensi Kebijakan Antar Negara
Volume produksi dan perdagangan pertanian global terus tumbuh dengan
pesat sejak tahun 2000 (OECD, 2016).Perubahan tersebut terutama sangat
menonjol di Asia dan Amerika Selatan, disertai pergeseran tentang perbandingan
relatif dalam wilayah produksi, sumber-sumber pasokan baru serta peningkatan
ketergantungan terhadap perdagangan internasional. Perdagangan produk pertanian
primer dan olahan telah meningkat dengan tajam dibanding dengan dekade
sebelumnya, yang menunjukkan bahwa pasar dunia mulai memanfaatkan benefit
dari lingkungan perdagangan berdasarkan aturan (rules-based trading
environment).Perdagangan produk pertanian juga cenderung tidak terkonsentrasi di
Page 21
20
negara-negara pelaku tradisional, yang mana peningkatan pusat-pusat produksi baru
telah mendorong terjadinya “pola perdagangan selatan-selatan”.
Kebijakan dukungan domestik telah mengalami restrukturisasi di banyak
negara produsen, dan untuk beberapa kasus dukungan produksi yang bersifat
distortif telah berkurang. Sebaliknya di sebagian negara lain, dukungan bersifat
distortif untuk mencapai swasembada bahkan meningkat. Secara keseluruhan,
semakin ada konvergensi dalam kebijakan dukungan antara negara maju dan
negara berkembang.
Selain kesepakatan perdagangan multilateral melalui forum WTO, beberapa
forum multilateral lainnya turut memperkuat praktek-prkatek kebijakan perdagangan
dan pertanian yang transparan dan tidak diskriminatif.Upaya mewujudkan koherensi
kebijakan antar negara terus disuarakan dan secara bertahap dilaksanakan oleh
semua negara.Indonesia yang selalu aktif menghadiri berbagai forum tersebut
memiliki kewajiban moral untuk juga melaksanakan kesepakatan tersebut.
Page 22
21
IV. ANALISIS KEBIJAKAN PEMBANGUNAN PERTANIAN
4.1. Kebijakan Peningkatan Produksi Pertanian Berkelanjutan
4.1.1. Kebijakan Kemandirian Pangan
UU No.18/2012 tentang Pangan mengamanatkan bahwa penyelenggaraan
pangan dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia yang memberikan
manfaat secara adil, merata, berkelanjutan berdasarkan kedaulatan pangan,
kemandirian pangan, dan ketahanan pangan.Kemandirian pangan adalah
kemampuan negara dan bangsa dalam memproduksi pangan yang beraneka ragam
dari dalam negeri yang dapat menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup
sampai di tingkat perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumberdaya alam,
manusia, sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat.
Untuk mewujudkan ketersediaan pangan, produksi pangan dalam negeri
dilakukan dengan cara: (1) bertumpu pada sumberdaya, kelembagaan, dan budaya
lokal; (2) mengembangkan efisiensi sistem usaha pangan; (3) mengembangkan
sarana, prasarana dan teknologi untuk produksi, penanganan paska panen,
pengolahan, dan penyimpanan pangan; (4) membangun, merehabilitasi, dan
mengembangkan prasarana pangan; (5) mempertahankan dan mengembangkan
lahan produktif; dan (6) membangun kawasan sentra produksi pangan.
Dalam penyelenggaraan produksi pangan dalam negeri, pemerintah
berkewajiban untuk melindungi dan memberdayakan petani dan pelaku usaha
pangan. Selain itu pemerintah juga berkewajiban untuk: (1) mengatur,
mengembangkan dan mengalokasikan lahan pertanian dan sumberdaya air; (2)
memberikan penyuluhan dan pendampingan; (3) menghilangkan berbagai
kebijakan yang berdampak pada penurunan daya saing; dan (4) melakukan
pengalokasian anggaran. Berkaitan dengan risiko produksi pangan, pemerintah
berkewajiban untuk mengantisipasi dan menanggulangi ancaman produksi pangan
(karena perubahan iklim, serangan OPT, pencemaran lingkungan, degradasi dan alih
fungsi lahan, disinsentif ekonomi, dll) melalui bantuan teknologi dan regulasi.
Sistem produksi pangan sangat kompleks dan diharapkan dapat melakukan
transformasi secara dinamis untuk merespon perubahan lingkungan strategis, baik
domestik maupun internasional. Dengan memperhatikan perubahan strategis
Page 23
22
tersebut dan amanat UU No.18/2012 tentang Pangan, maka sistem produksi pangan
kedepan harus memenuhi karakteristik sebagai berikut:
1. Resilient (berdaya tahan): mampu mengantisipasi, merespon dan
mengatasi berbagai risiko produksi dan pasar yang diakibatkan oleh bencana
alam, perubahan iklim, risiko alam lainnya serta gangguan eksternal lainnya
(pasar dunia, krisis ekonomi, sosial, dan politik). Sistem produksi pangan
yang resilient akan menjamin kestabilan pasokan pangan dari dalam negeri.
2. Inklusif: mampu memberikan sumber penghidupan yang layak dan stabil
bagi banyak pihak pada seluruh segmen rantai nilai. Sistem produksi pangan
yang inklusif juga diharapkan mampu menjamin ketahanan gizi bagi
penduduk miskin.
3. Efisien: memiliki produktivitas tinggi dalam penggunaan tenaga kerja,
sumberdaya alam, energi dan infrastruktur; mencapai skala usaha ekonomi
(economies of scale)dan mengurangi kehilangan hasil secara fisik maupun
kualitas pada seluruh tahap produksi serta kegiatan rantai pasok dari hulu ke
hilir.
4. Responsif terhadap konsumen: mampu memenuhi kebutuhan dan
preferensi konsumen (domestik dan internasional) tentang keragaman
pangan, kualitas, nilai gizi, harga, keamanan, dan etika.
5. Sensitif terhadap lingkungan: menghindari, mengurangi, dan
merehabilitasi dampak negatif dari produksi dan distribusi pangan (degradasi
lahan, penggundulan hutan, polusi air dan udara, dan emisi gas rumah kaca),
serta berkontribusi terhadap keberkelanjutan lansekap.
Kebijakan pangan saat ini difokuskan pada pencapaian swasembada untuk
beberapa komoditas pangan pokok terutama padi, jagung dan kedele (pajale). Di
pihak lain, perubahan struktur serta pola permintaan pangan menunjukkan
pergeseran dari konsumsi pangan sumber karbohidrat kearah konsumsi pangan
yang bernilai gizi tinggi (protein, vitamin dan mineral) seperti sayuran, buah-buahan,
produk ternak dan ikan. Indeks konsumsi komoditas serealia dan umbi-umbian
menurun menjadi masing-masing 87% dan 61% dalam periode tahun 1999-2010
(Dyck, et al., 2012). Sebaliknya indeks konsumsi sayuran dan buah-buahan telah
meningkat menjadi masing-masing 120% dan 125% dalam periode yang sama.
Page 24
23
Perubahan yang paling pesat terjadi untuk konsumsi daging dan susu yang
indeksnya meningkat masing-masing menjadi 205% dan 230%, walaupun nilai
absolutnya masih relatif rendah.
Dinamika perubahan pada sisi permintaan seperti di atas memberikan
implikasi perlunya transformasi perubahan struktural di sisi produksi melalui
diversifikasi kearah produksi bahan pangan yang bergizi dan sekaligus memiliki nilai
ekonomi tinggi.Namun demikian, perubahan struktural sektor pertanian belum
terjadi seperti yang diharapkan. Dalam periode tahun 2003-2013 jumlah petani
hortikultura dan peternakan menurun drastis sebesar masing-masing 37,4% dan
30,3%, sementara jumlah petani tanaman pangan hanya menurun 5,2%. Hal ini
menunjukkan bahwa secara relatif struktur pertanian Indonesia tetap didominasi
oleh usahatani tanaman pangan, sedangkan usahatani komoditas bernilai tinggi
yaitu hortikultura dan peternakan malahan menurun (Sudaryanto, 2016).
Penurunan jumlah petani komoditas bernilai tinggi tidak sesuai dengan
tingginya pendapatan petani yang mengusahakan komoditas tersebut. Petani
berbasis tanaman pangan menunjukkan pendapatan yang terendah, yaitu sebesar
Rp.1,8 juta/kapita tahun 2003 dan Rp.5,1 juta/kapita tahun 2013. Pada tahun 2003,
pendapatan tertinggi ditunjukkan oleh petani berbasis peternakan sebesar Rp.2,5
juta/kapita, namun pada tahun 2013 pendapatan tertinggi beralih kepada petani
berbasis perkebunan sebesar Rp.7,8 juta/kapita.
4.1.2. Kebijakan Pengembangan Infrastruktur
Salah satu kendala yang dihadapi dalam memacu produktivitas dan produksi
pertanian adalah karena kondisi dan ketersediaan infrastuktur pertanian yang belum
memadai (Kementerian Pertanian, 2015). Lebih dari 32% jaringan irigasi dalam
kondisi rusak dan masih terbatasnya jumlah waduk sehingga kapasitas produksi
lahan menjadi tidak optimal.Kerusakan tersebut terutama diakibatkan oleh banjir
dan erosi, kerusakan di daerah aliran sungai, serta kurangnya pemeliharaan irigasi
hingga ke tingkat usahatani. Selain itu, masih terbatasnya jalan usahatani, jalan
produksi, pelabuhan yang dilengkapi dengan pergudangan berpendingin udara,
sehingga menyebabkan biaya produksi dan transportasi produk-produk pertanian
Page 25
24
menjadi mahal dan perbedaan harga di tingkat produsen dan konsumen menjadi
semakin melebar.
Dalam upaya peningkatkan pelayanan ketersediaan air agar kapasitas
produksi lahan lebih optimal, maka kebijakan yang dilakukan pemerintah, dalam hal
ini kementerian Pertanian, adalah melalui perbaikan jaringan irigasi tingkat usahatani
(JITUT), jaringan irigasi desa (JIDES), serta jaringan irigasi tersier dan
kuarter.Pembangunan dan perbaikan infrastruktur yang terkait dengan
pengembangan sektor pertanian tidak hanya dilakukan oleh Kementerian Pertanian
sendiri, tapi dilakukan pula oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan
Rakyat, Kementerian Perhubungan, Pemerintah Propinsi/Kabupaten/Kota maupun
oleh masyarakat secara swadaya. Agar pembangunan infrastruktur tersebut dapat
memberikan manfaat yang besar, maka diperlukan koordinasi yang baik agar tepat
lokasi dan sesuai kebutuhan.
Beberapa upaya yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan infrastruktur
irigasi, antara lainadalah (Kementerian Pertanian 2015):(1) peningkatan fungsi
jaringan irigasi dengan mempertimbangkan jaminan ketersediaan air dan
memperhatikan kesiapan petani penggarap serta membangun daerah irigasi baru
khususnya di luar Pulau Jawa; (2) rehabilitasi 3 juta hektar jaringan irigasi rusak
pada daerah penghasil pangan utama dan mendorong kehandalan jaringan irigasi
yang menjadi kewenangan daerah melalui penyediaan Dana Alokasi Khusus (DAK)
maupun bentuk pengelolaan dari pemerintah pusat; (3) optimalisasi layanan
jaringan irigasi melalui operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi; (4)pembentukan
manajer irigasi sebagai pengelola pada satuan daerah irigasi; (5)peningkatan peran
petani secara langsung dalam perencanaandan pelaksanaan pengelolaan daerah
irigasi termasuk operasi dan pemeliharaan; (6) peningkatan efisiensi pemanfaatan
air irigasi dengan teknologi pertanian hemat air seperti System of Rice
Intensification(SRI), mengembangkan konsep pemanfaatan air limbah yang aman
untuk pertanian dan menggunakan kembali air buangan dari sawah (water reuse);
(7) internalisasi pengembangan dan pengelolaan sistem irigasi partisipatif (PPSIP)
dalam dokumen perencanaan daerah; dan (8)pengelolaan lahan rawa berkelanjutan
yang dapat mendukung peningkatan produksi pangan secara berkelanjutan dengan
Page 26
25
meminimalkan dampak negatif dari kegiatan pengelolaan tersebut terhadap
kelestarian lingkungan hidup.
Pada tahun 2010, rehabilitasi jaringan irigasi mencakup areal 102 ribu ha,
yang terus meningkat menjadi 212 ribu ha tahun 2011, 331 ribu ha tahun 2012, 489
ribu ha tahun 2013, dan 444 ribu ha tahun 2014.Selanjutnya selama lima tahun ke
depan (2015-2019) target rehabilitasi jaringan irigasi ditingkatkan lagi menjadi 3,2
juta ha. Pada tahun 2015 sudah teralisisasi sekitar 2,6 juta ha, sementara target
pada tahun 2016 sekitar 50 ribu ha, dan sisanya diharapkan sudah selesai pada
tahun 2017. Anggaran untuk infrastruktur pertanian di Kementerian Pekerjaan
Umum dan Perumahan Rakyat melonjak dari Rp.4,2-6,3 triyun tahun 2011-2014
menjadi Rp.10,2 trilyun tahun 2015.
Menurut OECD (2016) bentuk dukungan terhadap sektor pertanian
diharapkan secara bertahap beralih dari dukungan harga, pembatasan perdagangan
dan subsidi menjadi dukungan pelayanan umum (general support services), yang
meliputi infrastruktur, litbang, diklat, konservasi SDA, dan promosi
perdagangan.Bentuk dukungan tersebut berdampak pada akselerasi peningkatan
produktivitas dan produksi tanpa menimbulkan distorsi perdagangan. Pada tahun
2013-2015, nilai dukungan pelayanan umum baru mencapai 5,2% dari total
dukungan terhadap sektor pertanian, sedangkan di negara-negara maju
persentasenya sudah lebih dari 10%.
4.1.3. Kebijakan Peningkatan Sarana Pertanian
Dalam aspek sarana produksi, beberapa permasalahan utama yang dihadapi
petani adalah ketersediaan benih/bibit unggul bermutu sesuai keinginan petani,
serta penyediaan pupuk, dan alsin yang belum memadai.Terbatasnya ketersediaan
benih/bibit di sentra produksi mengakibatkan harga benih/bibit menjadi mahal,
bahkan banyak beredar benih/bibit palsu yang berdampak terhadap rendahnya
produkvitas pertanian.Masalah langka pasok dan lonjak harga untuk jenis input ini
masih sering terjadi. Penggunaan alsin yang masih rendah di tingkat petani
menyebabkan tingkat susut hasil masih tinggi (untuk padi sekitar 10-13%), biaya
pengolahan tanah, tanam, dan panen menjadi mahal dan butuh waktu yang cukup
lama karena sebagian besar masih dikerjakan secara manual.
Page 27
26
Untuk mengatasi permasalahan dalam sarana produksi, kebijakan yang
ditempuh pemerintah adalah melalui peningkatan ketersediaan sarana produksi
pertanian yang dibutuhkan petani sebagai implementasi UU No.19/2013 tentang
Pemberdayaan dan Perlindungan Petani.Sarana produksi utama yang selama ini
diberikan dan akan terus dilanjutkan oleh pemerintah untuk mendukung usaha
pertanian, adalah benih dan pupuk. Pemerintah pusat dan pemerintah daerah
berperan dalam menyediakan benih penjenis (breeder seed) dan benih dasar
(foundation seed) dan mengendalikan penyediaan benih pokok (stock seed) dan
benih sebar (extention seed) yang dilakukan oleh produsen benih melalui proses
sertifikasi dan akreditasi.
Dalam rangka pengembangan dan perluasan logistik benih/bibit, upaya-
upayayang dilakukan dalam lima tahun ke depan diantaranya adalah: (1) menata
kembali kelembagaan perbenihan/perbibitan nasionalmulai dari tingkat pusat sampai
daerah; (2) melindungi, memelihara dan memanfaatkan sumberdayagenetik
nasional untuk pengembangan varietas unggul lokal; (3) memperkuat tenaga
pemulia dan pengawas benih tanamanhingga di tingkat kabupaten/kota; (4)
memberdayakan penangkar dan produsen benih berbasis local; (5) meningkatkan
peran swasta dalam membangun industri perbenihan/perbibitan; (6) membangun
industri perbenihan dengan arah sebagai berikut: (a) kemandirian industri benih
nasional yang mencakupkemandirian produksi benih dan industri varietas; (b)
kemandirian penyediaan benih berbasis kawasan; (c) industri benih berbasis
komunitas; dan (d) riset berbasis perbenihan; (7) untuk mendorong
berkembangnya industri benih didalam negeri, maka importir benih
diharuskanmengembangkan perbenihan di dalam negeri sehingga menjadi produsen
benih; (8) menyediakan sumber bahan tanaman perkebunan melaluipembangunan
dan pemeliharaan kebun induk/entres sertapenguatan kelembagaan usaha (usaha
perbenihan kecil danbesar) dan kelembagaan UPJA perkebunan; dan (9) khusus
untuk membangun perbibitan ternak, peran swastadiarahkan pada kelangsungan
perbibitan ayam ras mulai darikeberadaan grand parent stock, parent stock sampai
final stock.
Kebijakan pemerintah saat ini, selain melakukan upaya-upaya di atas dan
pemberian subsidi benih, juga ada kebijakan dalam meningkatkan ketersediaan
Page 28
27
benih unggul khususnya pada daerah-daerah yang belum terlayani oleh produsen
benih formal, yaitu dengan mengembangkan 1.000 Desa Mandiri Benih. Pada tahun
2015 sudah dikembangkan 600 Desa Mandiri Benih.
Penyediaan pupuk anorganik dan organik sebagian besar dilakukan oleh
Badan Usaha Milik Negara (BUMN).Penyediaan pupuk organik juga dilakukan oleh
pemerintah, swasta dan swadaya masyarakat. Selain itu juga didorong tumbuhnya
pengolahan pupuk organik yang diusahakan oleh kelompok tani, baik untuk
kebutuhan sendiri maupun untuk dijual ke kelompok lain yang membutuhkan. Dalam
pengelolaan dan pemanfaatan subsidi pupuk, dibutuhkan kebijakan pemerintah yang
dapat menjamin terlaksananya prinsip 6 tepat (yaitu tepat jenis, jumlah, mutu,
tempat, waktu dan harga) dalam alokasi dan distribusi pupuk sesuai kebutuhan di
masing-masing daerah melalui: (1) peningkatan peran kelembagaan usaha swasta
dan masyarakat dalam penyediaan/produksi secara mandiri dan pendaftaran benih
dan pupuk yang ramah lingkungan; (2) peningkatan pemahaman dan kesadaran
untuk menggunakan benih unggul bersertifikat dan penggunaan pupuk secara
berimbang; dan (3) pengawalan pembinaan dan pengawasan penggunaaan pupuk
bersubsidi, serta (4) penyaluran pupuk bersubsidi dengan memperhatikan aspek
spesifik lokasi/wilayah.
Dalam periode 2010-2016, rata-rata jumlah pupuk bersubsidi yang disediakan
pemerintah untuk memacu produksi pertanian dalam negeri sekitar 9,5 – 9,8 juta
ton. Mengingat biaya produksi pupuk semakin meningkat, sementara HET pupuk
yang ditetapkan pemerintah tidak banyak berubah, maka jumlah anggaran yang
dialokasikan untuk subsidi pupuk terus meningkat. Anggaran subsisi pupuk
meningkat drastis dariRp.10,4-18,8triliun tahun 2010-2014menjadi Rp.39,5 trilyun
tahun 2015. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan sarana produksi dalam
jangka panjang subsidi pupuk dikurangi secara bertahap.Dalam masa transisi
penyaluran subsidi diarahkan secara terbatas kepada petani kecil melalui
penggunaan kartu pintar (smart card).Dengan pendekatan tersebut kebocoran
penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani yang tidak berhak dapat dikurangi.
Upaya peningkatan sarana pertanian juga dilakukan pada alat dan mesin
pertanian (alsin).Dalam dua tahun terakhir, jumlah pengadaan dan distribusi alsin
mengalami peningkatan yang sangat tajam. Pada tahun 2013, jumlah alsin yang
Page 29
28
disediakan pemerintah sekitar 6.292 unit dan naik hampir dua kali lipat yaitu
menjadi 12.036 unit pada tahun 2014. Dalam upaya mendukung pengembangan
pertanian modern untuk menarik minat generasi muda untuk terjun pada sektor
pertanian serta meningkatkan nilai tambah dan keuntungan petani, bantuan alsin
yang didistirbusikan kepada petani oleh pemerintah pada tahun 2015 mengalami
peningkatan yang signifikan, yaitu mencapai 65.131 unit. Jenis alsin yang
didistribsuikan meliputi traktor, transplanter sampai combine harvester.Investasi
pemerintah untuk mendorong penggunaan mekanisasi perlu disertai dengan
pengembangan kelembaan pengelola.Keberhasilan pengembangan UPJA pada masa
lampau dapat dijadikan sebagai salah satu acuan dalam mengembangkan
kelembagaan alsintan di pedesaan.
4.2. Kebijakan Stablisasi Harga Pangan
4.2.1. Gejolak Harga Pangan Dunia dan Penanganannya
Rumah tangga tani di negara berkembang menghadapi banyak risiko dalam
berusahatani.Instabilitas harga merupakan salah satu risiko utama yang dihadapi
oleh rumah tangga tani, khususnya rumah tangga petani berlahan sempit.Bagi
petani miskin berlahan sempit, dampak instabilitas harga, yakni harga anjlok saat
panen dan melonjak saat musim paceklik, dapat sangat serius dan fatal, karena
disamping sebagai produsen bahan pangan mereka umumnya juga berstatus
konsumen (net food consumers). Karena petani kecil membelanjakan sebagian besar
pendapatannya untuk belanja makanan, maka lonjakan harga makanan sangat
mungkin memaksa mereka untuk mengurangi jumlah makanan yang dikonsumsi,
mengkonsumsi pangan lain yang lebih murah, mengeluarkan anaknya dari sekolah,
dan yang paling fatal membuat mereka kelaparan.
Keterjangkauan pangan (food affordability) merupakan salah satu komponen
penentu ketahanan pangan.Keterjangkauan pangan oleh masyarakat ditentukan
oleh tingkat harga eceran pangan yang harus dibayar oleh masyarakat (konsumen)
pada saat tertentu dimana konsumen bertempat tinggal.Di negara berkembang pada
umumnya, lebih dari 70 persen pengeluaran rumah tangga dibelanjakan untuk
memenuhi kebutuhan pangan. Disamping itu, lonjakan harga beras juga
Page 30
29
akanmemicu kenaikan harga barang-barang lain, memicu laju inflasi yang semakin
membebani masyarakat dan perekonomian nasional.
Akibat dari lonjakan harga pangan yang terjadi 2007-2008, FAO (2008) dan
USDA (Rosen et al., 2008) mengestimasi terjadinya tambahan jumlah orang miskin
sebesar 75 juta dan 133 juta. Sementera itu, hasil estimasi Bank Dunia (2008)
menunjukan tambahan penduduk miskin sebesar 105 juta jiwa, yang dikategorikan
penduduk sangat miskin. Kebijakan pangan berubah di banyak negara untuk
mengatasi hasil ini.Sementara krisis pangan telah mereda, masalah ketahanan
pangan dan kebijakan pangan perlu dikaji ulang.
Krisis pangan dunia 2007-08 tersebut telah mendorong banyak negara dan
masyarakat donor internasional mencari jalan untuk mengatasi kemiskinan dan
kelaparan, untuk memperbaharui upaya yang bertujuan untuk meningkatkan
produktivitas pertanian, dan untuk melindungi konsumen secara luas.Sementara
masyarakat internasional fokus kepada jaring pengaman dalam jangka pendek dan
mendorong pertumbuhan produksi pertanian jangka panjang, pemerintah negara-
negara berkembang mengejar sejumlah kebijakan untuk menstabilkan pasar
domestik dan untuk mengisolasi konsumen mereka dari gejolak di pasar gandum
dunia (Abbott, 2009).
Sebuah studi FAO (Demeke, Pangrazio dan Maetz, 2009) yang meneliti
respon kebijakan di 81 negara berkembang menemukan bahwa 43 negara
mengurangi tarif dan 25 negara memberlakukan pajak ekspor pangan untuk
mengurangi dampak negatif dari harga internasional yang lebih tinggi. Beberapa
negara menerapkan langkah-langkah domestik, misalnya pemotongan pajak atas
makanan dan subsidi, untuk mencegah terjadinya transmisi lonjakan harga dunia ke
pasar domestik.Tabel 4.1.memuat hasil survei lintas negara tentang kebijakan
stabilisasi harga pangan dan variasi instrumen kebijakan yang diterapkan.
Dari sudut pandang teoritis, alasan utama untuk kebijakan stabilisasi harga
terletak pada argumen kegagalan pasar atau pasar tidak bekerja dengan benar
(Rashid, S., 2007; Abbott, P., 2010). Ada tiga alasan untuk untuk melakukan
stabilisasi harga pangan, yaitu: (1) infrastruktur yang tidak memadai, (2) belum
berkembangnya lembaga mitigasi risiko seperti kredit dan asuransi pasar, dan (3)
Page 31
30
kurangnya perlindungan terhadap guncangan eksternal. Semua alasan tersebut
merupakan kasus kegagalan pasar.
Tabel 4.1. Instrumen Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan
Benua Afrika Asia Amerika
Latin Total
Negara yang disurvei 33 26 22 81
Kebijakan perdagangan Penurunan tariff dan biaya impor 18 13 12 43
Pembatasan dan larangan ekspor 8 13 4 25
Kebijakan Pasar Domestik
Menghilangkan/mengurangi PPN 14 5 4 23
Menyalurkan pangan bersubsidi 13 15 7 35
Pengaturan harga 10 6 5 21
Bantuan produksi
Bantuan produksi 12 11 12 35
Sistem Pengamanan produksi 6 4 5 15
Subsidi pupuk dan benih 4 2 3 9
Intervensi pasar 4 9 2 15
Sistem Pengamanan Konsumen Transfer tunai (cash transfer) 10 16 13 39
Source: Demeke, Pangrazio and Maetz, 2008
Secara garis besar, ada dua kategori kebijakan stabilisasi harga pangan,
yakni: (1) kebijakan intervensi langsung pemerintah atau kebijakan berbasis non-
mekanisme pasar (non-market based intervention), yang terdiri atas kebijakan harga
ganda (dual pricing) dan kebijakan penjualan dan pembelian langsung pemerintah
(government’s direct intervention on the sale and purchase of food), dan (2)
kebijakan berbasis mekanisme pasar (market based intervention), yang terdiri antara
lain Sistem Resi Gudang (SRG), pasar lelang, bursa komoditas dan pasar komoditas
berjangka (future market), serta asuransi tanaman dan asuransi indeks cuaca.
Secara empiris, stabilisasi harga pangan tidak mungkin dicapai jika hanya
mengandalkan ‘single’ instrumen kebijakan, melainkan merupakan resultante dari
beberapa instrumen kebijakan yang diterapkan. Misalnya, stabilisasi harga pangan
berlangsung efektif bila secara bersamaan diberlakukan kebijakan HPP, pembatasan
impor, operasi pasar, dan pengelolaan cadangan pangan nasional. Dilain pihak, satu
instrumen kebijakan bisa saja mempunyai tujuan ganda, tidak semata-mata untuk
tujuan stabilisasi harga tetapi mencapai tujuan lain. SRG, misalnya, disamping
Page 32
31
sebagai instrumen tunda-jual untuk stabilisasi harga jual petani juga bertujuan untuk
meningkatkan akses petani terhadap permodalan dari perbankan.
Setidaknya ada tiga alasan penting bagi negara-negara berkembang untuk
menggunakan opsi stabilisasi harga berbasis non-pasar.Pertama, intervensi berbasis
non-pasar tidak bertentangan dengan teori-teori ekonomi pasar. Teori ekonomi
mengatakan bahwa, dengan tidak atau belum adanya penyediaan infrastruktur dan
jasa publik yang memadai, mekanisme pasar (the invisible hand) tidak mampu
menjamin alokasi sumber daya secara efisien. Dalam situasi seperti ini intervensi
pemerintah secara teoritis dapat dibenarkan. Kedua, peraturan WTO memungkinkan
negara-negara berkembang untuk mengadopsi kebijakan berbasis-non-pasar,
termasuk pungutan variabel (variable levy), menjaga cadangan pangan strategis,
dan memberikan subsidi untuk pengembangan pasar sepanjang konsisten dengan
ketentuan WTO yang berlaku. Ketiga, negara-negara Asia telah sukses dalam
menerapkan kebijakan ini selama tahun-tahun awal Revolusi Hijau.Namun demikian,
kebijakan stabilisasi harga ini mendapat kritikan selama periode 1980-1990, karena
dinilai sangat mahal dan belum terbukti efektif dalam menghasilkan manfaat bagi
masyarakat miskin.
Sistem Resi Gudang (SRG) adalah mekanisme kelembagaan untuk
mengurangi beberapa sumber ketidakstabilan harga terutama kendala kredit
pembiayaan, di samping tujuan dan manfaat lainnya.Salah satu alasan utama
merosotnya harga pada saat panen raya adalah kenyataan bahwa petani, khususnya
petani kecil, terpaksa menjual sebagian besar hasil panen mereka untuk
memperoleh uang tunai guna membayar buruh, melunasi pinjaman, dan memenuhi
kewajiban sosial lainnya. Ketika pertanian didominasi oleh petani kecil maka pada
saat panen raya akan terjadi kelebihan pasokan yang menyebabkan harga tertekan
atau bahkan merosot. Jika petani tidak menghadapi keterbasan uang tunai dan
akses terhadap kredit, mereka bisa menyimpan atau menunda jual hasil panen
mereka dan menunggu peluang untuk menjualnya pada saat yang tepat dengan
harga jual yang lebih tinggi.Sebuah SRG yang efisien dapat membantu petani untuk
melakukan tunda jual dan sekaligus memperoleh kredit untuk usahatani berikutnya
dari lembaga keuangan dan perbankan.
Page 33
32
Pasar lelang juga telah banyak diterapkan di banyak negara berkembang,
namun umumnya masih bersifat konvensional, di mana kehadiran peserta lelang
disertai dengan barang yang akan di lelang. Pasar lelang tradisional semacam ini
tidak efisien karena melibatkan biaya ‘handling and transportation’ yang harus
ditanggung oleh peserta lelang, khususnya pemilik barang.Di samping itu, posisi
tawar penjual (pemilik barang) relatif lebih lemah dibandingkan pembeli, yang
umumnya berakibat harga jual barang lebih rendah karena ditentukan secara
sepihak oleh pembeli, terutama jika terjadi praktek kolusi antar pembeli.Pasar lelang
modern tidak mensyaratkan keberadaan barang di tempat lelang.Daya tawar pemilik
barang lebih kuat dan tidak harus melepas barangnya bila harga tertekan atau tidak
sesuai yang diharapkan.Dengan berkembang-luasnya SRG, pasar lelang modern
dapat berlangsung lebih efisien dan melibatkan volume dan nilai transaksi yang jauh
lebih besar, dimana pemilik barang tidak harus membawa barangnya, cukup
membawa dokumen RG untuk mengikuti pasar lelang.
Pasar berjangka seperti yang ada saat ini merupakan perjanjian kontrak
dimana petani (seller) dan pembeli (dealer) berkomitmen untuk melakukan
pertukaran masa depan hasil panen dengan uang tunai. Kedua pihak dapat bertukar
kontrak tertulis untuk tujuan ini dan mungkin menggunakan sejumlah kecil uang
tunai sebagai jaminan.Kontrak tersebut telah menjadi umum dan bahkan digunakan
sebagai jaminan atas pinjaman bank.Mereka juga dapat mengubah status kontrak
sebelum tanggal penyerahan/pengiriman produk. Jika pembeli (dealer) memutuskan
untuk tidak mempertahankan produknya, dia bisa menjual kontrak kepada pembeli
lain yang berminat. Demikian pula, jika petani (seller) tidak ingin menyerahkan hasil
panennya, dia dapat menggulirkan kewajibannya kepada petani lain yang berminat.
Asuransi tanaman merupakan mekanisme stabilisasi pendapatan (income
stabilization), bukan semata-mata skema stabilisasi harga. Ada beberapa bentuk
asuransi tanaman, antara lain, asuransi indeks cuaca, asuransi terhadap gagal
panen, dan asuransi terhadap bencana alam dan kekeringan. Asuransi tanaman
dapat berbasis pada mekanisme pasar atau berbasis pada non-pasar, tergantung
pada bagaimana program asuransi beroperasi. Asuransi tanaman disebut berbasis
mekanisme pasar jika berjalan tanpa intervensi langsung pemerintah dan ‘it is self-
sustaining’ dimana petani melakukan kontrak asuransi dengan premi yang
Page 34
33
ditentukan pasar. Di sisi lain, asuransi disebut mekanisme berbasis non-pasar jika
premi disubsidi atau dibayar oleh pemerintah atau oleh mitra petani.
4.2.2. Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan di Indonesia
Kebijakan stabilisasi harga pangan di Indonesia, yang menggunakan
kebijakan harga ganda (dual pricing), baru diberlakukan secara penuh untuk
komoditas gabah/beras. Dalam melaksanakan stabilisasi harga gabah/beras
pemerintah menerapkan secara bersamaan beberapa instrumen sebagai berikut: (1)
Harga Pembelian Pemerintah (HPP), (2) patokan Harga Jual Pemerintah (HJP) bagi
BULOG untuk operasi pasar, (3) pengelolaan stok penyangga oleh BULOG dan
operasi pasar sesuai HPP dan HJP, dan (4) pengendalian dan pembatasan impor
melalui penjadwalan impor, pengenaan tarif impor (Rp 450 per kg), kuota impor dan
lisensi impor (Erwidodo, 2015).
Perum BULOG menjadi pelaksana pengadaan beras, pengelolaan
stok/cadangan beras pemerintah (CBP), pelaksana impor (importir tunggal) untuk
beras kualitas medium, penyaluran beras untuk masyarakat miskin (Raskin), dan
operasi pasar untuk menahan lonjakan harga eceran beras. Secara umum, kinerja
pemerintah dan BULOG dalam menstabilisasi harga gabah/beras dinilai berhasil,
dimana di satu pihak telah mampu menjamin petani menerima harga yang layak
(diatas HPP) dan di lain pihak menjamin konsumen untuk membeli beras dengan
harga wajar yang tidak membebani mereka dan perekonomian nasional. Di samping
itu, program beras untuk orang miskin (Raskin), terlepas disinyalir kurang cost
efficient juga dinilai cukup efektif dalam menolong kelompok miskin untuk
memperoleh beras.
Agak mirip dengan beras, pemerintah menetapkan harga patokan gula tani
yang merupakan tingkat harga minimum yang harus diterima petani tebu pemilik
gula tani. Di samping harga patokan gula, pemerintah memperkenalkan sistem dana
talangan, yakni dana dari PG-PTPN dan swasta yang diberikan kepada petani
(pemilik gula tani) sebelum dilakukan pelelangan gula tani. Petani pemilik gula tani
akan memperoleh tambahan penerimaan dengan proporsi tertentu (60:40) bilamana
harga lelang lebih tinggi dari harga patokan. Untuk melindungi konsumen dari
kemungkinan lonjakan harga eceran, pemerintah melakukan pengaturan impor
Page 35
34
gula.Dengan kebijakan ini, diharapkan konsumen gula terlindungi dari lonjakan
harga gula dan petani tebu menerima harga gula layak untuk kelangsungan
usahatani tebunya (Erwidodo, 2014; Erwidodo, 2015).
Untuk komoditas pangan lain, pemerintah berkomitmen melakukan stabilisasi
harga pangan di tingkat konsumen, tetapi tidak stabilisasi harga pangan tingkat
produsen. Stabilisasi harga jagung, kedele, dan pangan lainya dilakukan pemerintah
dengan mengatur kran impor. Pemerintah selama ini seolah lepas tangan saat harga
jagung dan kedele merosot ketika musim panen raya tiba. Pemerintah hanya
sebatas menghimbau dan mengharap pedagang untuk tidak mempermainkan harga.
Situasi inilah yang sering dipertanyakan dan dikritisi publik, yakni mengapa
pemerintah lebih berpihak kepada konsumen tetapi kurang berpihak kepada petani.
Langkah pemerintah seperti ini tidak sesuai dengan amanat UU No. 19/2013 tentang
Perlindungan dan Pemberdayaan Petani sebagaimana diuraikan diatas. Berulangnya
kasus gejolak harga pangan dan dampak yang ditimbulkan serta semakin gencarnya
pengkritisan publik mendorong pemerintah untuk menerbitkan PP No 13 tahun 2016
tentang Perum BULOG dan Perpres No 48 tahun 2016 tentang Penugasan Kepada
Perum BULOG dalam mencapai Ketahanan Pangan.
4.2.3. Kebijakan Impor, Cadangan dan Stabilisasi Harga Beras
Pemerintah melakukan pengaturan dan pembatasan impor beras dan pangan
lainnya.Kebijakan impor ini bertujuan untuk mengamankan cadangan dan stabilisasi
harga pangan, melindungi petani agar menerima harga layak dan sekaligus
melindungi konsumen agar dapat membeli pangan dengan harga
terjangkau.Pengaturan dan pembatasan impor ditujukan untuk menghindari
melimpahnya produk pangan impor, khususnya pada saat panen raya, sehingga
tidak menekan harga di pasar domestik yang berpotensi merugikan petani
produsen.Sebaliknya, kran impor perlu dibuka manakala terjadi kekurangan pasokan
(shortage) dan lonjakan harga eceran yang berpotensi membebani konsumen.Inilah
esensi kebijakan pengaturan impor untuk tujuan stabilisasi harga beras/pangan yang
diterapkan pemerintah (Erwidodo, 2015).
Kebijakan pengaturan impor pangan sebenarnya hanya merupakan salah satu
instrumen untuk pengendalian harga pangan di dalam negeri.Sesuai dengan amanat
Page 36
35
UU Pangan No 18 tahun 2012, impor pangan merupakan alternative terakhir untuk
menambah pasokan pangan manakala terjadi shortage produksi di dalam
negeri.Pengalaman menunjukkan bahwa kebijakan impor yang selama ini dilakukan
oleh pemerintah telah berhasil mengendalikan (stabilisasi) harga beras dan pangan
strategis lainnya.
Untuk menghindari spekulasi dan dan sentimen pasar negative yang dapat
berakibat terjadinya gejolak harga pangan, pernyataan “impor atau tidak impor”
yang akan dilontarkan ke publik perlu disertai dengan kajian situasi produksi dalam
negeri secara seksama. Oleh karena itu, untuk menghidari spekulasi dan lonjakan
harga eceran pangan, seyogyanya pemerintah tidak menjadikan “impor atau tidak
impor” sebagai target (tujuan).Target Kementerian Pertanian seharusnya tetap
untuk meningkatkan produksi pertanian, stabilisasi harga pangan, peningkatan nilai
tambah dan daya saing produk pertanian, guna mencapai kesejahteraan
petani.Khusus untuk beras, kebijakan stabilisasi harga tidak hanya dengan
pengaturan impor tetapi juga dengan penerapan HPP, pengelolaan cadangan beras
pemerintah, cadangan beras untuk Raskin dan operasi pasar. Sementara untuk
bahan pangan lain pemerintah selama ini hanya mengandalkan kebijakan
pengaturan dan pembatasan impor (Erwidodo, 2015; Erwidodo, 2016).
Kebijakan impor beras dibedakan atas dasar jenis dan kualitas beras yang
diimpor, yakni beras kualitas medium yang hanya boleh diimpor oleh Perum BULOG
dan beras kualitas premium atau beras khusus yang diimpor oleh importir terdaftar
(IT).BULOG dapat mengimpor beras kualitas premium untuk tujuan komersial
setelah mendapat izin dari pemerintah.Beras kualitas medium merupakan beras
yang kualitasnya setara dengan beras yang diproduksi petani di dalam negeri. Beras
kualitas premium di antaranya termasuk beras Thai Homali, Japonica dan Bhasmati,
dengan kadar pecah 5 persen, sedangkan beras khusus di antaranya adalah beras
ketan, beras setengah masak, beras pecah 100 persen. Pemberian hak monopoli
kepada Perum BULOG untuk mengimpor beras dimaksudkan untuk melindungi
petani dari melimpahnya beras impor dan sekaligus menjaga stabilitas harga eceran
beras medium di pasar domestik.
Turun naiknya volume impor merupakan dampak langsung dari kebijakan
pengaturan impor.Sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 18 tahun 2012 Tentang
Page 37
36
Pangan, impor pangan (beras) hanya dilakukan bilamana produksi domestik dinilai
tidak mencukupi kebutuhan konsumsi.Di samping pertimbangan situasi produksi
domestik, dalam memutuskan besarnya volume impor, pemerintah memperhatikan
perkembangan harga eceran. Pemerintah lewat rapat koordinasi di Kantor Menko
Perekonomian memutuskan besarnya volume impor dan kementerian teknis, yakni
kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan, selanjutnya mengalokasikan
besarnya kuota impor bagi masing-masing importir terdaftar (IT) yang dinilai
berkinerja baik. Kebijakan pengaturan impor ini sering menimbulkan ‘conflict of
interest’ dan ketidak-pastian bagi pelaku impor yang pada gilirannya memicu
perilaku spekulatif dan memburu rente yang merugikan konsumen dan
perekonomian.
Cadangan pangan sangat diperlukan karena beberapa alasan, antara lain, (1)
proses impor untuk barang sampai ke tujuan memerlukan waktu, artinya terjadi
keterlambatan (delay), (2) permintaan pangan dalam jumlah besar dalam waktu
singkat akan memicu kenaikan harga di pasar dunia, (3) ketidak-pastian
menyangkut panen dan produksi, (4) fluktuasi harga musiman yang selalu terjadi.
Lebih lanjut, terjadinya gejolak harga pangan di pasar dunia yang tidak dapat
diprediksi, menyiratkan pentingnya pemerintah untuk mengelola cadangan pangan
sebagai salah satu instrumen kebijakan stabilisasi harga pangan di pasar
domestik.Keberadaan cadangan yang cukup disertai dengan pengelolaan yang
transparan menjadi salah satu kunci efektivitas kebijakan stabilisasi harga.
Secara garis besar stok beras BULOG terdiri dari (1) Cadangan Beras
Pemerintah (CBP) untuk operasi pasar, penyaluran untuk kepentingan darurat dan
bencana alam, penyaluran golongan anggaran PNS/TNI di wilayah Indonesia Timur,
dan kepentingan lain pemerintah, (2) cadangan beras untuk raskin, dan (3)
cadangan beras kegiatan usaha komersial. Pemerintah menugasi BULOG untuk
menyalurkan Raskin sebesar 230.164 ton per bulan untuk sekitar 15.144.000 rumah
tangga miskin.Kecuali cadangan komersial yang dibedakan secara fisik dan
pembukuannya, keberadaan cadangan BULOG pertama dan kedua hanya dibedakan
dalam sistem pembukuan, tidak dibedakan secara fisik dan kualitas, sehingga dapat
dipertukarkan.Stok komersial merupakan beras berkualitas lebih baik, baik yang
Page 38
37
berasal dari produksi domestik maupun dari impor, untuk tujuan komersial dari
Perum BULOG.
4.2.4. Kebijakan Stabilisasi Harga Pangan Kedepan
Pengalaman di banyak negara, termasuk beberapa negara maju,
memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan pokok melalui kombinasi
pengelolaan stok penyangga dan kebijakan impor secara terbuka dan transparan
dapat efektif tanpa perlu anggaran pemerintah yang besar. Untuk beras, kebijakan
stabilisasi harga yang selama ini dilaksanakan pemerintah, sebagaimana diuraikan
diatas, bisa dilanjutkan. Namun, kebijakan pengaturan impor sebagaimana tertuang
dalam UU Pangan No 18 tahun 2012, perlu tetap menjadi alternatif pasokan beras
manakala terjadi kekurangan pasokan/produksi di dalam negeri. Impor merupakan
salah satu instrumen kebijakan untuk stabilisasi harga beras.
Untuk kebijakan stabilisasi harga pangan lain (non beras) seyogyanya
pemerintah mulai menggunakan kombinasi intervensi langsung (non-pasar) dan
pendekatan pasar, mulai dari pengembangan jasa pergudangan dan SRG, pasar
lelang, pengembangan bursa dan pasar berjangka komoditas. SRG perlu
memperoleh perhatian serius untuk pengembangannya. Keberadaan stok petani di
gudang SRG dapat memperkuat keberadaan stok pangan untuk memenuhi pasokan
pada saat musim paceklik.
Seperti telah disebutkan diatas, komitmen ini tertuang dalam PP No 13 tahun
2016 tentang Perum BULOG dan Perpres No 48 tahun 2016 tentang Penugasan
Kepada Perum BULOG dalam mencapai Ketahanan Pangan. Dalam PP No 13,
Pemerintah melanjutkan penugasan kepada perusahaan untuk melaksanakan tugas
dantanggung jawab dalam rangka ketahanan pangan nasional, yaitu: (1)
pengamanan harga pangan pokok beras ditingkat produsen dan konsumen, (2)
pengelolaan cadangan pangan pokok beras Pemerintah, (3) penyediaan dan
pendistribusian pangan pokok beras kepada golongan masyarakat tertentu, (4)
pelaksanaan impor beras dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud
dalam butir (1), butir (2), dan butir (3) sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Selain tugas tersebut diatas, PP No 13 tahun 2016, juga
memberikan penugasan kepada Perum BULOG untuk melaksanakan tugas dan
Page 39
38
tanggung jawab untuk: (1) pengembangan industri berbasis beras, termasuk
produksi padi/gabah serta pengolahan gabah dan beras, dan (2) pengembangan
pergudangan beras.
Dalam Perpres No 48 tahun 2016, secara eksplisit Pemerintah menugaskan
Perum BULOG dan BUMN lain untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi
harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen, meliputi 11 (sebelas) komoditi
pangan pokok berikut: beras, jagung, kedelai, gula, minyak goreng, tepung terigu,
bawang merah, cabe, daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam. Secara khusus,
Pemerintah menugaskan Perum BULOG dalam menjaga ketersediaan pangan dan
stabilisasi harga pangan pada tingkat konsumen dan produsen untuk jenis pangan
pokok beras, jagung, dan kedelai. Selain ketiga pangan pokok tersebut, Pemerintah
melalui Menteri Perdagangan dapat menugaskan BUMN lain atau Perum BULOG
dengan persetujuan menteri BUMN dan berdasarkan Keputusan Rapat Koordinasi
(Menko Perekonomian).
Perum BULOG dalam menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga
pangan pada tingkat konsumen dan produsen, melakukan: (1) pengamanan harga
pangan ditingkat produsen dan konsumen, (2) pengelolaan Cadangan Pangan
Pemerintah, (3) penyediaan dan pendistribusian pangan, (4) pelaksanaan impor
pangan dalam rangka pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam butir (1),
butir (2), dan butir (3) sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, (5)
pengembangan industri berbasis pangan, dan (6) pengembangan pergudangan
pangan. Tugas pemerintah kepada Perum BULOG dan BUMN lain untuk stabilisasi
harga pangan lain terkait dengan pengembangan pergudangan perlu disertai dengan
upaya serius dalam menerapkan jasa SRG, sebagaimana diamanatkan dalam UU No
9 tentang Sistem Resi Gudang.
Untuk beras, Perum BULOG mendapat tugas untuk melakukan: (1)
pengamanan harga beras ditingkat produsen dan konsumen, (2) pengelolaan
cadangan beras Pemerintah, (3) penyediaan dan pendistribusian beras kepada
golongan masyarakat tertentu, (4) pelaksanaan impor beras sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan, (6) pengembangan industri berbasis
beras, termasuk produksi padi/gabah, pengolahan gabah dan beras, dan (7)
pengembangan pergudangan beras.
Page 40
39
Perpres No 48/2016, secara eksplisit memberi mandat kepada Menteri
Pertanian menetapkan: (1) besaran jumlah Cadangan Pangan Pemerintah yang akan
dikeIola oleh Perum BULOG, (2) besaran jumlah Cadangan Beras Pemerintah. Dalam
rangka pelaksanaan pengelolaan Cadangan Pangan Pemerintah, Menteri
Perdagangan menetapkan HPP, dalam forum keputusan Rapat koordinasi.
Perpres No 48 2016, menugaskan Perum BULOG melakukan stabilisasi harga
Pangan pada tingkat produsen dan konsumen.Stabilisasi harga Pangan pada tingkat
produsen, dilaksanakan dengan pembelian Pangan oleh Perum BULOG dengan
Harga Acuan atau HPP di gudang Perum BULOG.Namun, dalam situasi rata-rata
Harga Pasar setempat di tingkat produsen di atas Harga Acuan atau HPP, Perum
BULOG diberikan fleksibilitas harga pembelian pangan.Besaran fleksibilitas
pembelian harga pangan dan jangka waktu pemberian fleksibilitas pembelian harga
pangan diputuskan dan ditetapkan dalam Rapat Koordinasi.Stabilisasi harga pada
tingkat konsumen dilaksanakan melalui pelaksanaan operasi pasar oleh Perum
BULOG dengan harga Harga Eceran Tertinggi (HET).
4.3. Kebijakan Peningkatan Daya Saing
4.3.1. Status Daya Saing Negara dan Sektor Pertanian Indonesia
Daya saing merupakan konsep yang pengertiannya terus berkembang
sehingga definisinya pun beragam.Daya saing dapat dibedakan menurut subyek
pengukurannya.Pada tataran kesatuan administrasi wilayah, daya saing dapat
dimaksudkan sebagai daya saing negara atau daya saing daerah (provinsi,
kabupaten) yang didefinisikan sebagai kemampuan dalam meningkatkan
kesejahteraan rakyat dengan tingkat pengangguran terbuka serendah
mungkin.Pengertian kedua ialah daya saing bisnis atau perusahaaan yang
didefinisikan sebagai kemampuan menghasilkan dan menjual produk yang sesuai
dengan preferensi konsumen di pasar domestik maupun internasional sehingga
mampu memperoleh laba yang cukup untuk terus tumbuh berkembang
berkelanjutan mempertahankan pangsa pasar di dalam maupun di luar negeri.
Ketidakmampuan bersaing suatu daerah atau negara tidak menyebabkan
kebangkrutan negara tetapi akan berdampak pada penurunan kinerja ekonomi yang
diindikasikan oleh penurunan tingkat kesejahteraan penduduknya. Dengan
Page 41
40
perkataaan lain, peningkatan daya saing daerah atau negara merupakan kunci untuk
peningkatan kesejahteraan rakyat. Sementara kemampuan perusahaan bersaing
secara bisnis merupakan kunci pertumbuhkembangan perusahaan.Ketidak mampuan
bersaing secara bisnis dapat menyebabkan penurunan laba, produksi, dan bahkan
berakhir pada kebangkrutan perusahaan.Suatu sektor ekonomi ialah agregasi dari
seluruh perusahaan-perusahaan sejenis.Daya saing pertanian sebagai suatu sektor
ekonomi dapat dipandang sebagai perpaduan daya saing negara atau daerah di
mana pertanian berada dan daya saing usaha pertanian.Dengan demikian, daya
saing pertanian dapat didefinisikan sebagai kemampuan perusahaan-perusahaan
pertanian untuk terus tumbuhkembang secara berkelanjutan yang tercermin dari
peningkatan kesejahteraaan petani, laba perusahaan, dan pangsa pasar produk
pertanian di dalam maupun di luar negeri.
Daya saing (negara Indonesia) tentu berpengaruh nyata terhadap daya saing
pertanian. Penelitian daya saing (negara) Indonesia relatif terhadap negara-negara
anggota ASEAN lainnya yang dilakukan oleh Tan dan Tan (2014) menunjukkan
bahwa pada 2010 daya saing negara Indonesia berada pada peringkat ke 5 dari 10
anggota ASEAN, dengan skor yang masih jauh di bawah Singapura, Malaysia,
Thailand dan Brunei. Indonesia unggul atas Vietnam, Philippines, Cambodia, dan
Myammar.Walaupun tidak mengubah peringkat, jika dilakukan simulasi perbaikan
skor daya saing Indonesia meningkat nyata (Tabel 4.2.).Itu berarti peluang untuk
meningkatkan daya saing Indonesia masih terbuka lebar.
Penelitian itu juga menunjukkan bahwa indeks daya saing Indonesia
meningkat nyata pada periode 2000-2010 (Gambar 4.1.). Negara-negera lain yang
daya saingnya meningkat nyata ialah Malaysia, Vietnam dan Laos. Sedangkan
negara-negara yang mengalami penurunan daya saing ialah Thailand, Philipines,
Camabodia, dan Myanmar.Perbaikan daya saing Indonesia dipandang sebagai suatu
kejutan karena ternyata demikian tingginya sehingga mampu melampaui Vietnam
dan Philipines. Negara-negara yang juga dikategorikan sebagai pembuat kejutan
ialah Laos yang melampaui Myammar, dan Vietnam melampaui Philippines.
Page 42
41
Tabel 4.2. Daya saing Indonesia relative terhadap 10 negara anggota ASEAN pada 2010
Negara
Eksisting Potensi perbaikan1
Skor Peringkat Skor Peringkat
Indonesia -0,0657 5 0,0959 5
Singapura 1.4463 1 1,5370 1
Malaysia 0,5766 2 0,6341 2
Thailand 0,2210 3 0,3140 4
Brunei 0,2039 4 0,4082 3
Vietnam -0,1878 6 -0,0158 6
Philippines -0,2574 7 -0,0660 7
Cambodia -0,5151 8 -0,3173 8
Laos -0,6295 9 -0,4261 9
Myammar -0,7923 10 -0,5511 10 Keterangan: 1 perbaikan sebesar 20 % dari 20 % (26) indikator terrendah.
Sumber: Tan and Tan (2014).
Gambar 4.1. Daya saing negara-negara ASEAN 2000-2010
Berdasarkan beberapa indicator yang menentukan daya saing, perbaikan
nyata dalam sepuluh tahun terakhir terjadi pada bidang persaingan usaha, regulasi,
standar dan aturan perundangan, daya tarik bagi investor asing, lembaga dan
tatakelola pemerintahan, kebijakan pemerintah dan keberlanjutan fiscal (Gambar
4.2.).Indikator-indikator yang masih relatif amat rendah dan tidak banyak
mengalami perbaikan ialah infrastruktur teknologi, kinerja produktivitas, standar
kehidupan, serta pendidikan dan stabilitas sosial.Ketiga indikator ini saling
berkaitan.Secara teoretis, infrastruktur teknologi, serta standar kehidupan,
Page 43
42
pendidikan dan stabilitas sosial merupakan determinan utama kinerja produktivitas.
Kiranya dicatat bahwa indikator-indikator dalam bidang standar kehidupan,
pendidikan dan stabilitas sosial tak lain ialah determinan kapabilitas sumber daya
manusia. Infrastruktur teknologi dan kapabilitas sumberdaya manusia merupakan
determinan utama kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang selanjutnya
menjadi penentu produktivitas. Dengan demikian, upaya peningkatan daya saing
Indonesia relatif terhadap negara-negara pesaingnya di ASEAN akan lebih efektif bila
lebih diprioritaskan pada peningkatan kapabilitas sumber daya manusia dan
pemacuan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Gambar 4.2. Skor indikator daya saing Indonesia padea 2000, 2005 dan 2015 (Tan and Tan, 2014)
Daya saing sektor pertanian merupakan permasalahan yang belum lama
mendapatkan perhatian para ahli.Penelitian di bidang ini masih belum banyak.Hasil
penelitian PSE-KP (Dermoredjo, et al 2015) menunjukkan bahwa dari 33 provinsi di
Indonesia ditemukan 15 provinsi yang memiliki daya saing, yaitu: (1) Jatim, (2)
Jateng, (3) Jabar, (4) Sulsel, (5) Lampung, (6) Riau, (7) Sumut, (8) Sumsel, (9)
Kalsel, (10) Sumbar, (11) Jambi, (12) Kaltim, (13) Bali, (14) Kalbar dan (15) Kalteng.
Sedangkan 18 provinsi yang kurang berdaya saing ialah: (1) Bengkulu, (2) NAD, (3)
Page 44
43
Sulteng, (4) DIY, (5) NTB, (6) Babel, (7) Sulut, (8) Banten, (9) Sultra, (10) Sulbar,
(11) Kepri, (12) NTT, (13) Malut, (14) Papua, (15) Papua Barat, (16) Gorontalo, (17)
Maluku, dan (18) DKI Jakarta. Jika dipetakan dalam wilayah NKRI maka tampaklah
bahwa provinsi-provinsi yang berdaya saing hampir seluruhnya berada di Pulau
Jawa, Sumatera dan Kalimantan, hanya Sulawesi Selatan yang berda di luar ketiga
pulau tersebut (Gambar 4.3.).Secara umum, pertanian yang lebih berdaya saing
adalah sentra-sentra produksi pertanian tanaman pangan dan perkebunan.Hal ini
menunjukkan perlunya pemerataan program peningkatan daya saing pertanian yang
merata menurut wilayah maupun menurut komoditas pertanian.
Gambar 4.3. Peta Daya Saing Pertanian Indonesia (Dermoredjo, et al 2015)
Berdasarkan penelitian yang dilakukan, Dermoredjo, et al (2015)
menyarankan arah kebijakan peningkatan daya saing pertanian Indonesia sebagai
berikut: (1) pembangunan sarana-prasarana pedesaan dan pertanian, (2)
peningkatan investasi penelitian dan pengembangan pertanian, (3) penigkatan
kapasitas SDM melalui pendidikan dan pelatihan, (4) peningkatan anggaran
pembangunan pertanian, (5) pengembangan industri hilir (pengolahan dan
pemasaran hasil), (6) koordinasi dan sinergi kebijakan antar sektor, dan (7)
peningkatan stabilitas sosial politik (keamanan, ketertiban dan kerawanan
sosial).Temuan ini konsisten dengan upaya peningkatan daya saing nasional
(negara) yang menekankan pada pengembangan kapasitas pengembangan inovasi
melalui pembangunan kapabilitas sumberdaya manusia serta ilmu pengetahuan dan
teknologi. Untuk peningkatan daya saing pertanian, Dermoredjo et al (2015)
menambahkan perlunya pengembangan rantai nilai industri pertanian terpadu
Memiliki daya saing
Kurang memiliki daya Saing
Page 45
44
(industri pengolahan dan pemasaran hasil pertanian), serta penciptaan lingkungan
pemberdaya agribisnis (agribusiness enabling environment) yang tercermin dalam
anggaran pembangunan pemerintah, koordinasi kebijakan antar sektor dan stabilitas
sosial politik.
4.3.2. Arah Kebijakan Peningkatan Daya Saing dan Kerangka
Kelembagaan Kementerian Pertanian
Dalam kaitannya dengan sektor pertanian pada pasar terbuka, kemampuan
bersaing adalah prasyarat agar Indonesia mampu memfasilitasi perusahaan-
perusahaan di sektor pertanian sedemikian rupa sehingga mampu
tumbuhberkembang dengan memperoleh laba yang wajar dan mempertahankan
atau bahkan meningkatkan pangsa pasar produk-produknya, yang secara
keseluruhan menjadi prasyarat untuk peningkatan kesejahteraan para petani dan
seluruh rakyat Indonesia secara berkelanjutan, yang pada intinya ialah tujuan akhir
pembangunan pertanian. Oleh karena itulah, peningkatan daya saing dan nilai
tambah pertanian dijadikan sebagai salah satu tujuan utama pembangunan
pertanian Indonesia.
Sebagaimana telah dijelaskan, daya saing Indonesia menunjukan perbaikan
nyata dalam 15 tahun terakhir namun masih berada di bawah beberapa negara-
negara ASEAN.Daya saing sektor pertanian juga masih belum merata di seluruh
provinsi.Oleh karena itu, peningkatan daya saing internasional sektor pertanian yang
merata di seluruh wilayah NKRI menjadi agenda penting untuk visi mewujudkan
kedaulatan pangan dan peningkatan kesejahteraan petani secara
berkelanjutan.Pertanyaan selanjutnya ialah bagaimana membangun dan
mempertahankan daya saing pertanian dan kaitannya dengan kerangka kerja
kelembagaan Kementerian Pertanian untuk mewujudkannya.
Ada dua pemikiran tentang landasan daya saing, yaitu keunggulan komparatif
dan keunggulan kompetitif.Keunggulan komparatif berpandangan bahwa daya saing
ditentukan oleh ketersediaan relatif sumberdaya alam.Negara memiliki keunggulan
daya saing pada komoditas atau produk yang berbasis pada sumberdaya yang
tersedia relatif lebih banyak.Perkembangan teori selanjutanya menyatakan bahawa
keunggulan kamparatif dapat diciptakan, tidak semata-mata ditentukan oleh
Page 46
45
kekayaan sumberdaya alam. Termasuk dalam hal ini ialah keunggulan ilmu dan
teknologi atau kualitas sumberdaya manusia, ekonomi skala usaha yang antara lain
ditentukan oleh struktur industri, dan lingkungan usaha pendukung invesasi dan
bisnis. Dalam kaitan ini, salah satu kerangka pikir yang dikenal luas dengan
peningkatan daya saing sektoral maupun produk ialah konsep “Berlian Porter”
(Gambar 4.4.).
Gambar 4.4. Determinan Daya Saing Bisnis (Porter, 1990)
Porter berpandangan ada enam factor penentu daya saing sektor ekonomi,
termasuk sektor pertanian, yaitu:
1. Kondisi faktor produksi (Factor condition): Sumberdaya manusia, sarana, ilmu
pengetahuan dan teknologi, modal investasi, dan infrastruktur yang diperlukan
sebagai input produksi dan fasilitasi proses produksi pertanian.
2. Kondisi permintaan (Demand condition): Kondisi permintaaan pasar domestik
dapat membantu perusahaan menciptakan keunggulan kompetitif apabila
permintaan produk di pasar domestik semakin kompleks dan demanding
(penuntut) yang memaksa perusahan-perusahaan produsen melakukan inovasi
lebih cepat dan lebih maju daripada para pesaing mereka.
3. Industri terkait dan pendukung (Related and supporting industries):
Keberadaan industri penghasil input (seperti industri perbenihan, pupuk, alat dan
Page 47
46
mesin pertanian, pasca panen dan pengolahan hasil pertanian) dan penyedia jasa
pendukung (seperti pembiayaan, sistem logistik) yang sangat penting untuk
mendorong inovasi dan internasionalisasi. Industri-industri ini menyediakan
sarana produksi dengan harga wajar dan berpartisipasi dalam proses up grading
sehingga merangsang perusahaan-perusahaan terkait dalam satu rantai nilai
melakukan inovasi. Konsisten dengan tinjauan sebelumnya, pengembangan
rantai pasok terpadu merupakan bagian dari kunci peningkatan daya saing
pertanian.
4. Strategi, struktur, dan rivalitas perusahaan (Firm strategy, structure and
rivalry): Cara bagaimana perusahaan-perusahaan dibentuk, menetapkan tujuan
dan dikelola, merupakan penentu keberhasilan usaha. Namun, adanya rivalitas
atau persaingan yang ketat sangat perlu untuk memaksa perusahaan-
perusahaan melakukan upgrading daya saing terus-menerus.
5. Pemerintah (Government): Pemerintah dapat memengaruhi keempat
determinan utama daya saing di atas melalui intervensi langsung. Pada intinya,
Pemerintah berfungsi sebagai regulator, fasilitator (menyediakan infrastruktur
dan layanan administrasi), pelindung (dari ancaman persaingan tak sehat dan
risiko usaha) dan pemberdaya (pemberian insentif dan bantuan usaha) sehingga
tersedia lingkungan usaha yang kondusif bagi pertumbuhkembangan dan
upgrading daya saing perusahaan-perusahaan.
6. Tak terduga (Chance): Kejadian-kejadian yang berada di luar kendali
perusahaan-perusahaan. Untuk sektor pertanian, kejadian tak terduga ini
termasuk gagal produksi karena bencana alam serta gejolak ekonomi, sosial dan
politik.
Porter berpendapat bahwa keenam determinan daya saing bisnis itu saling
memengaruhi.Butir 1-4 merupakan determinan utama daya saing, Butir 5
(Pemerintah) merupakan faktor pendukung.Sedangkan butir 6 (faktor tak terduga)
merupakan dterminan eksternal yang berada di luar kendala pelaku usaha maupun
pemerintah. Dalam konteks kebijakan pemerintah, isyu sentral ialah bagaimana
pemerintah melakukan intervensi terkait dengan kelima faktor lainnya, yaitu:
ketersediaan dan akses faktor-faktor produksi, pengembangan kondisi permintaan
Page 48
47
yang kompleks dan demanding, pengembangan industri terkait dan pendukung yang
efisien dan progresif, serta pembangunan sistem mitigasi dan adaptasi terhadap
risiko bencana. Tujuan kebijakan ialah memfasilitasi upgrading berkelanjutan daya
saing pertanian, atau kemampuan membertahankan daya saing secara
berkelanjutan.Strategi terbaik untuk itu ialah membangun klaster produksi pertanian
dengan industri terkait dan pendukung dalam suatu wilayah tertentu.Pada dasarnya,
strategi Kementerian Pertanian untuk membangunan wilayah sentra pengembangan
komoditas pertanian sejalan dengan pemikiran Porter tersebut.
Apakah relevansi pemikiran Porter itu dalam perumusan kerangka
kelembagaan Kementerian Pertanian?Aspek kondisi faktor produksi (Factor
condition) dan sebagian aspek tak terduga (terbatas pada yang terkait dengan
produksi pertanian) hampir seluruhnya termasuk dalam tugas pokok dan fungsi
Kementerian Pertanian selama ini. Pengecualian ialah pada infrastruktur irigasi,
pengadaan input pertanian manufaktur (pupuk, pestisida, pakan), dan investasi oleh
perusahaan besar pertanian. Aspek terkait penciptaan permintaan pasar yang
kompleks dan demanding serta penciptaan pasar bersaing sehat tidak termasuk
dalam tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian, melainkan hampir seluruhnya
termasuk dalam tugas pokok dan fungsi Kementerian Perdagangan.Aspek industri
terkait dan pendukung usaha pertanian juga berada di luar tugas pokok dan fungsi
Kementerian Pertanian, hampir seluruhnya termasuk dalam tugas pokok dan fungsi
Kementerian Perindustrian.Pembangunan mitigasi risiko pertanian hampir seluruhnya
berada di luar tugas pokok dan fungsi Kementerian Pertanian.
Berdasarkan tinjauan di atas maka kisi-kisi yang kiranya patut dijadikan
pertimbangan dalam menyusun kerangka kelembagaan Kementerian Pertanian
dengan perspektif peningkatan daya saing produk pertanian ialah:
1. Menyatukan kewenangan pengelolaan urusan produksi pertanian secara
terpadu mulai dari bidang prasaran, sarana, budidaya, pasca panen dan
pemasaran dalam satu direktorat jenderal.
2. Urusan pengembangan sumberdaya manusia di luar aparatur Kementerian
diintegrasikan dengan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian,
sementara pengembangan aparatur Kementerian integrasikan kedalam
Sekretariat Jenderal. Namun karena urusan pengembangan sumberdaya
Page 49
48
manusia ini mencakup aspek yang luas, gagasan ini masih memerlukan
kajian secara tersendiri yang lebih komprehensif.
3. Membentuk satu badan setingkat Eselon I untuk mengelola urusan yang
bersifat lintas Eselon-1, lintas Kementerian/Lembaga dan internasional.
4. Badan Ketahanan Pangan dipertahankan seperti status saat ini kecuali
pemerintah menetapkan lain.
Page 50
49
V. KEBIJAKAN KELEMBAGAAN PERTANIAN DAN PANGAN
5.1. Perkembangan Pengaturan Kelembagaan Pertanian dan Pangan
Memaknai Nawa Cita terkait dengan pencapaian kedaulatan pangan,
pemerintah saat ini bertekad untuk mencukupi seluruh kebutuhan pangan
penduduknya dari produksi pangan dalam negeri, dengan memanfaatkan secara
optimal sumber daya pembangunan domestik. Mempelajari Undang-Undang No. 18
Tahun 2012 tentang Pangan (UU Pangan), pada tataran makro kedaulatan pangan
diartikan negara memiliki hak untuk menentukan kebijakan pangannya secara
mandiri berdasarkan kepentingan nasional, tanpa dipengaruhi kepentingan lain.
Pada tingkat usahatani, kedaulatan pangan dapat diartikan petani diberi hak
menentukan sistem pangan yang sesuai dengan potensi sumber daya lokal yang
dimilikinya.
Mencermati kebijakan Presiden Jokowi dalam perombakan Kabinet Kerja
tanggal 27 Juli 2016 dan pernyataan Presiden pada saat Rapat Kabinet Perdana
Pasca Resuffle bahwa dalam waktu dekat ini ada dua prioritas, salah satunya
permasalahan pangan yang berkaitan dengan harga-harga pangan (Sumber:
Presiden RI.go.id); penanganan permasalahan tersebut dipercayakan pada Kabinet
dengan struktur kelembagaan pemerintahan yang tetap seperti semula. Isu
kelembagaan pemerintah yang menangani pangan pada tingkat nasional dibahas di
sini, karena UU Pangan mengindikasikan kompleksnya permasalahan pencapaian
ketahanan pangan berkelanjutan dan mengamanatkan kepada pemerintah untuk
membentuk kelembagaan pangan yang berada langsung di bawah Presiden paling
lambat tiga tahun dari terbitnya UU pangan, yang berarti November 2015. Proses
penyusunan konsep dan pembahasan kelembagaan pangan nasional tersebut sudah
dilakukan secara intensif pada berbagai tingkatan sampai di Kantor Sekretariat
Presiden. Dengan mengacu pada kebijakan terakhir dalam resuffle kabinet, dapat
disimpulkan kelembagaan pangan nasional yang langsung berada di bawah Presiden
tersebut nampaknya tidak dibentuk dalam waktu dekat. Sehubungan dengan itu,
penanganan permasalahan pangan seperti diinstruksikan Presiden harus
dilaksanakan oleh kementerian/lembaga terkait yang ada saat ini, termasuk
Kementerian Pertanian.
Page 51
50
5.2. Pembagian Tugas dalam Penanganan Masalah Pangan
Terkait dengan penataan kelembagaan dan tugas dan fungsi (tusi)
pengelolaan permasalahan pangan nasional, pada bulan Mei 2016 terbit dua
dokumen pengaturan yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 2016 tentang
Perusahaan Umum (Perum) BULOG (PP 13/2016) dan Peraturan Presiden No 48
Tahun 2016 tentang Penugasan kepada PERUM BULOG dalam rangka Ketahanan
Pangan Nasional (Perpres 48/2016). Dalam PP 13/2016 tersebut pemerintah
memberi penugasan kepada BULOG dalam rangka ketahanan pangan nasional,
khususnya untuk menjaga ketersediaan pangan dan stabilisasi harga pangan pada
tingkat konsumen dan produsen, berupa:
1. Pengamanan harga pangan pokok beras di tingkat produsen dan konsumen;
2. Pengelolaan cadangan pangan pokok beras pemerintah;
3. Penyediaan dan pendistribusian pangan pokok beras kepada golongan
masyarakat tertentu;
4. Pelaksanaan impor beras dalam rangka pelaksanaan tugas seperti pada butir
1, 2 dan 3, sesuai ketentuan peraturan perundang-undanganan;
5. Pengembangan industri berbasis beras, termasuk produksi padi/gabah serta
pengolahan gabah dan beras; dan
6. Pengembangan pergudagan beras.
Penugasan tersebut juga berlaku bagi pangan lainnya, yang diatur lebih lanjut
dalam Peraturan Presiden. Pengaturan tersebut diuraikan dalam Perpres 48/2016.
Dalam Perpres ini tercermin penegasan posisi BULOG sebagai operator untuk
mengimplementasikan kebijakan pemerintah yang pengaturannya dilakukan oleh
regulator yaitu beberapa menteri terkait. Sebagai operator BULOG diberi tugas
besar dalam upaya pemenuhan kecukupan ketersediaan dan stabilisasi harga
pangan. Dari tiga sumber ketersedian pangan, pemerintah menugaskan BULOG
mengelola dua komponen sumber pangan, yaitu cadangan pangan pemerintah dan
impor pangan. Secara implisit, produksi pangan dalam negerisebagai komponen
utama ketersediaan pangan, tetap menjadi tanggung jawab Kementerian Pertanian.
Untuk melaksanakan hal tersebut dalam Keppres 48/2016 tersebut diatur:
1. Penetapan jumlah cadangan beras yang dikelola BULOG oleh Menteri
Pertanian dan penetapan harga pembelian pemerintah untuk keperluan ini
Page 52
51
(HPP) oleh Menteri Perdagangan berdasarkan Keputusan Rapat Koordinasi
yang dipimpin Menteri Bidang Perekonomian (Rakor Ekon).
2. Penetapan jumlah dan waktu pelaksanaan impor pangan ditetapkan oleh
Menteri Perdagangan.
BULOG, sebagai operator, bertugas melakukan stabilisasi harga pangan di
tingkat produsen melalui pembelian pangan. Harga pembelian pangan ditetapkan
pada HPP atau Harga Acuan (HA),bila rata-rata harga pasar setempat di bawah
kedua patokan harga tersebut. BULOG diberi fasilitasi fleksibilitas harga pembelian
pangan bila rata-rata harga pasar setempat di atas HPP atau HA. Sementara itu,
besaran jumlah, waktu, dan lokasi operasi pasar tidak diatur dalam Perpres 48/2016
ini. Untuk melakukan stabilisasi harga pangan di tingkat konsumen, BULOG
melakukan operasi pasar dengan harga paling tinggi sama dengan HET. Penetapan
berbagai harga tersebut oleh:
1. Besaran HPP ditetapkan Menteri Perdagangan berdasarkan Keputusan Rapat
Koordinasi Perekonomian.
2. Besaran HA ditetapkan Menteri Perdagangan.
3. Besaran HET ditetapkan oleh Menteri Perdagangan.
Perpres 48/2016 juga menegaskan bahwa jenis pangan yang menjadi tugas
BULOG untuk dijaga stabilisasi pasokan dan harganya adalah pangan beras, jagung
dan kedelai. Untuk stabilisasi dan pasokan harga pangan lainnya yang diidentifikasi
dalam Perpres yaitu gula, minyak goreng, tepung terigu, bawang merah, cabe,
daging sapi, daging ayam ras, dan telur ayam penugasannya oleh pemerintah dapat
diberikan kepada BULOG dan BUMN lainnya.
Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan tugas untuk stabilisasi ketersediaan
pangan dan stabilisasi harga pangan di tingkat konsumen dan produsen sebagian
besar berada di Kementerian Perdagangan, di bawah koordinasi Menteri Koordinator
Perekonomian. Sedangkan tugas Menteri Pertanian terkonsentrasi pada:
1. Untuk ketersediaan pangan: meningkatkan produksi pangan dalam negeri,
menetapkan besaran jumlah cadangan pangan/ beras pemerintah yang akan
dikelola BULOG;
2. Untuk stabilisasi harga di tingkat produsen: memberikan masukan mengenai
besaran HPP dalam forum Rakor Bidang Perekonomian.
Page 53
52
5.3. Kebijakan Kementerian PertanianBidang Pangan Saat Ini
Dari Renstra Kementerian Pertanian 2015-2019 dan kebijakan pembangunan
pertanian yang diimplementasikan dalam dua tahun terakhir (2015-2016) serta
perencanaan program dan kegiatan Kementerian Pertanian tahun 2017, dapat
diidentifikasi terdapat dua sasaran strategis Kementerian Pertanian yaitu (1)
pencapaian swasembada pajale (padi, jagung, dan kedelai) serta gula dan daging
sapi dan (2) stabilisasi harga pangan penting di tingkat produsen dan konsumen,
yaitu untuk lima komoditas di atas plus bawang merah dan cabai. Apabila kebijakan
dan program Kementerian Pertanian ini disandingkan dengan pengaturan yang
terdapat dalam PP 13/2016 dan Keppres 48/2016, maka perlu ada beberapa
penyempurnaan kebijakan dan program pangan di Kementerian Pertanian.
Pertama, dalam rangka pencapaian ketahanan pangan dan kedaulatan
pangan Kementerian Pertanian disarankan konsentrasi pada upaya peningkatan
produksi pangan, terutama pangan yang dianggap penting oleh pemerintahan saat
ini (Kepres 48/2016, pasal 2 ayat 2 yaitu: padi/beras, jagung, kedelai (untuk
tamanan pangan); kelapa sawit untuk minyak goreng dan tebu/gula (perkebunan);
bawang merah dan cabai (hortikultura); dan daging sapi, daging ayam ras, dan telur
(peternakan). Walaupun pada Keppres tersebut terigu dimasukkan dalam daftar 11
pangan pokok, namum terigu hampir seluruhnya diadakan melalui impor sehingga
Kementerian Pertanian tidak terkait dengan komoditas ini.
Kedua, dalam rangka mendukung ketersediaan pangan dari dua sumber
selain produksi domestik, yaitu cadangan pangan pemerintah dan impor, disarankan
agar Kementerian Pertanian proaktif untuk (1) menghitung kebutuhan cadangan
pangan pemerintah yang mampu mendukung stabilisasi harga pangan di tingkat
produsen dan konsumen, (2) menghitung ketersediaan ke sepuluh bahan pangan
yang berasal dari produksi dalam negeri untuk memenuhi kecukupan
pemanfaatannya di dalam negeri, termasuk untuk cadangan pangan atau stok, dan
(3) menghitung kebutuhan impor untuk 10 komoditas pangan tersebut jika terjadi
defisit ketersediaannya dari produksi dalam negeri, sebagaimanan ditentukan dalam
Kepres 48/2016, secara rinci mengenai jumlah, waktu, dan pelabuhan masuk.
Ketiga,dalam rangka stabilisasi harga pangan di tingkat produsen,
disarankan agar Kementerian Pertanian proaktif menghitung besaran HPP dan HA
Page 54
53
yang dapat memberikan insentif berproduksi bagi petani. Hasil perhitungan ini
disampaikan kepada Kementerian Kordinator Bidang Perekonomian (untuk HPP) dan
Kementerian Perdagangan (HA) secara tepat waktu (timely).
Keempat, untuk stabilisasi harga di tingkat konsumen, tidak ada penugasan
khusus kepada Kementerian Pertanian (Kepres 48/2016). Namun demikian,
disarankan Kementerian Pertanian proaktif memperlancar penyediaan pangan
sampai di pusat konsumsi. Untuk itu, Kementerian Pertanian perlu meredefinisi
lokus/tempat penyediaan pangan ini dari titik on-farm ke titik pusat konsumsi.
5.4. Reposisi Kelembagaan Pertanian
Dari hasil kajian terdahulu dapat diketahui bahwa permasalah pembangunan
pertanian kedepan semakin kompleks.Pembangunan di sektor pertanian dan pangan
semakin terkait dan tidak dapat dipisahkan dengan pembanguan di sektor hulu yang
menyediakan prasarana dan sarana pertanian.Selain itu, pembangunan sektor
pertanian juga tidak dapat terlepas dari pembanguan di sektor hilir yang terkait
dengan akses pasar, industri pengolahan, rantai pasok, dan sistem perdagangan
dalam dan luar negeri.Oleh karena itu, kedepan Kementerian Pertanian hendaknya
secara proporsional mempunyai kewenangan, tugas, fungsi dalam memfasilitasi dan
meregulasi pembanguan pertanian dari hulu sampai ke hilir.
Dalam kaitannya dengan reposisi tugas dan fungsi serta kelembagaan
Kementerian Pertanian ke depan, dari hasil kajian ini dapat diusulkan tiga pilihan
(opsi) reposisi kelembagaan Kementerian pertanian. Opsi pertama didasari oleh
asumsi bahwa selama tiga tahun ke depan Pemerintah tidak melakukan perubahan
struktur organisasi Kementerian Pertanian yang berlaku pada saat ini. Opsi kedua
dan opsi ketiga didasari oleh asumsi bahwa dalam jangka menengah Kementerian
Pertanian dapat melakukan restrukturisasi kelembagaannya sesuai dengan visi, misi,
dan tugas fungsinya yang diselaraskan dengan tuntutan perubahan lingkungan
strategis baik di dalam negeri, maupun lingkungan strategis global. Secara rinci
ketiga opsi reposisi kelembagaan Kementerian Pertanian dapat disampaikan sebagai
berikut.
Page 55
54
5.4.1. Revitalisasi Kelembagaan Kementerian Pertanian(Opsi Pertama).
Berdasarkan telaahan terdahulu, dalam periode tiga tahun ke depan
kemungkinan pemerintah tidak akan melakukan perubahan struktur organisasi
kementerian/ lembaga (K/L) yang ada saat ini, termasuk tidak akan membentuk
kelembagaan pangan nasional yang diamantkan oleh UU Pangan dalam waktu
dekat. Di fihak lain, pemerintah berkali-kali menegaskan bahwa permasalahan
pangan, pencapaian swasembada pangan, stabilisasi penyediaan dan harga pangan
menjadi salah satu prioritas pembangunan nasional. Sehubungan dengan hal itu,
Kementerian Pertanian perlu mengambil posisi aktif dan proaktif dalam menangani
permasalahan pangan ini.
Untuk menindak lanjuti posisi tersebut, Kementerian Pertanian disarankan
melakukan penajaman dan merevitalisasi kelembangan lingkup Kementerian
Pertanian yang ada saat ini melalui penegasan dan perluasan tugas dan program
pembangunan pertanian di unit kerja Eselon I, sebagai berikut:
1. Ditjen Tanaman Pangan melaksanakan program peningkatan produksi,
pengolahan dan pemasaran pangan dari tanaman pangan pangan (padi,
jagung, kedelai) dan pangan lainnya dengan mengintroduksi inovasi teknologi
baru dan unggul yang dapat meningkatkan produksitivitas, mengembangakan
pengolahan hasil, meningkatkan efisiensi pemasaran dan daya saing.
2. Ditjen Hortikultura melaksanakan program peningkatan produksi, pengolahan,
dan pemasaran pangan dari hortikultura (bawang merah dan cabai) dengan
mengintroduksi inovasi teknologi baru dan unggul yang dapat meningkatkan
produksitivitas, mengembangakan pengolahan hasil, meningkatkan efisiensi
pemasaran dan daya saing. Selain itu, ditambah pengaturan pola produksi
spasial dan antar waktu untuk mengatasi fluktuasi pola produksi musiman.
3. Ditjen Perkebunan melaksanakan program peningkatan ketersediaan minyak
sawit sebagai bahan baku minyak goreng dan produksi tebu sebagai bahan
baku gula pasir. Untuk minyak sawit yang terpenting adalah koordinasi untuk
menjamin ketersediaan komoditas ini sebagai bahan baku minyak goreng
untuk industri di dalam negeri, agar harga minyak goreng dapat stabil dan
fluktuasi harga minyak sawit dunia tidak tertransmisikan ke harga minyak
goreng dalam negeri. Untuk gula, Kementerian Pertanian perlu melaksanakan
Page 56
55
program peningkatan produksi tebu melalui peningkatan luas areal tanam,
produktivitas tebu, dan peningkatan rendemen gula. Kementerian Pertanian
perlu mendorong revitalisasi pabrik gula oleh BUMN bidang perkebunan.
4. Ditjen Peternakan dan Kesehatann Hewan melaksanakan program
peningkatan produksi hasil peternakan sumber protein hewani, bergeser dari
program swasembada daging sapi. Sesuai dengan Keppres 48/2016
konsentrasi peningkatan produksi hasil peternakan diarahkan pada
peningkatan produksi daging sapi, daging ayam (ras dan kampung) dan telur
ayam (ras dan kampung). Pola-pola pengembangan produksi peternakan
yang sudah diimplementasikan dapat dikaji ulang dan disempurnakan untuk
diimplementasikan lagi.
5. Badan Litbang Pertanian mengidentifikasi ketersediaan dan menyiapkan paket
atau komponen teknologi unggul dan baru sampai pada tahap siap
diimplementasikan untuk 10 komoditas pangan, termasuk penyediaan buku
petunjuk teknis penerapan teknologi untuk diseminasi/penyuluh dan
penyediaan benih/bibit siap diperbanyak oleh penangkar atau dibudidayakan
oleh petani/peternak.
6. Badan Pengembangan SDMP mendukung program peningkatan produksi 10
komoditas pangan melalui pemberdayaan dan pendampingan oleh
penyuluh/pendamping kepada petani dan peternak. Program pendampingan
kepada petani dilakukan secara intensif dalam keselurtuhan aspek agriibisnis,
termasuk akses terhadap sumber permodalan dan mengintegrasikan dengan
produk yang dihasilkan petani ke dalam rantai pasok komoditas
7. Menteri Pertanian menetapkan perluasan pengertian penyedian pangan dari
produksi dalam negeri semula pada titik on-farm menjadi pada titik/lokus
pusat konsumsi. Untuk itu, perlu ada perluasan tugas di Ditjen teknis produksi
pangan untuk memfasiitasi petani, kelompok tani, pedagang, koperasi, dan
pengusaha dalam rangka meningkatkan efisiensi distribusi atau tata niaga
pangan dari on-farm ke pusat konsumsi. Tugas ini dapat diberikan kepada
unit kerja Eselon II di Ditjen teknis produksi yang menangani langsung
produksi pangan, berupa tugas pembinaan panen dan pasca panen, logistik
Page 57
56
pangan dari on-farm ke pusat konsumsi, peningkatan efisiensi pemasaran
domestik, dan peningkatan daya saing 10 komoditas pangan.
8. Badan Ketahanan Pangan (BKP) diberi tambahan tugas sebagai pusat
perumusan alternatif kebijakan pangan nasional. Untuk itu kemampuan
analisis tentang permasalahan pangan di unit kerja ini perlu diperkuat.
Berdasarkan Kepres 48/2016, upaya stabilisasi pasokan dan harga pangan
sebagian besar menjadi tugas Kementerian Perdagangan, namun sebaiknya
Kementerian Pertanian proaktif dalam penentuan kebijakan pangan,
tertutama dalam mewakili kepentingan produsen untuk memelihara insentif
berproduksi. Dalam hal ini ada tiga gradasi peran Kementerian Pertanian yang
dapat dilaksanakan oleh BKP, yaitu:
a. Menyusun alternatif besaran cadangan beras/pangan pemerintah yang
penetapannya menjadi tugas Menteri Pertanian setelah dibahas dan
disepakati dalam Rakor Bidang Perekonomian;
b. Menyusun alternatif besaran HPP dan fleksibilitas harga pembelian
pangan pemerintah oleh BULOG, sebagai bahan masukan dalam Rakor
Bidang Perekonomian; dan
c. Menyusun alternatif HA dan impor pangan (jumlah, waktu, dan tempat
pemasukan) sebagai saran masukan ke Kementerian Perdagangan.
9. BKP ditugaskan untuk mem-back-up Ditjen teknis produksi dalam analisis
neraca keseimbangan pangan (produksi dalam negeri, cadangan pangan,
impor, kebutuhan konsumsi, kebutuhan bahan baku industri) dan analisis
harga 10 komoditas pangan. Hasil analisis ini dapat dijadikan bahan masukan
dalam rapat-rapat pangan pada Rakor Bidang Perekonomian.
10. Sebagai bagian penting dari upaya pencapaian ketahanan pangan
berkelanjutan, terutama di tingkat rumah tangga, program diversifikasi
penyediaan dan konsumsi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman
(B2SA) sebaiknya kembali dilaksanakan secara komprehensif oleh BKP,
sebagai salah satu program Kementerian Pertanian. Keberhasilan program ini
akan meningkatkan ketersediaan pangan sumber karbohidrat, protein dan zat
gizi mikro yang semakin beragam, meningkatkan kualitas asupan gizi
masyarakat, mengurangi tekanan pada gejolak harga pangan utama, dan
Page 58
57
menjadi katup pengaman bila terjadi kelangkaan pasokan pangan utama
karena perubahan iklim atau bencana alam.
11. Memberi tugas kepada Staf Ahli Menteri untuk mengkoordinasikan promosi
pasar dalam dan luar negeri, kerja sama internasional, serta sebagai
negosiator dalam forum-forum perdagangan bilateral, multilateral dan WTO.
5.4.2. Reorganisasi Kelembagaan Kementerian Pertanian Berdasar Perspektif Sistem Agribisnis (Opsi Kedua)
Dalam perspektif agribisnis, yaitu pendekatan sistem pertanian dari hulu ke
hilir, Kementerian Pertanian dapat memposisikan diri sebagai lembaga kementerian
yang secara proporsional mempunyai kewenangan dalam perumusan, penetapan
kebijakan dan pelaksanaan kebijakan pembangunan pertanian dari hulu ke hilir. Oleh
karena itu untuk dapat melaksanakan tugas dan fungsinya, Kementerian Pertanian
perlu dirancang untuk menjabarkan dan melaksanakan tugas dan fungsi
Kementerian Pertanian tersebut dengan perspektif transformasi produk menurut
simpul-simpul agribisnis, yaitu mulai dari : (1) Simpul Penyediaan Sarana dan
Prasarana, (2) Simpul Produksi (budidaya tanaman dan hewan), dan (3) Simpul
Pemasaran dan Peningkatan Daya Saing (Gambar 5.1.).
Kekuatan dari sistem organisasi menurut perspektif sistem agribisnis ini
adalah bahwa koordinasi dalam kebijakan penyediaan sarana dan prasarana untuk
memenuhi kebutuhan lintas komoditas dapat dikoordinasikan oleh satu unit kerja
Eselon I. Demikian halnya dalam promosi pemasaran dan peningkatan daya saing
yang menyangkut lintas komoditas dapat dikoordinasikan oleh unit kerja Eselon I.
Namun demikian salah satu kelemahannya adalah jika justru koordinasi antar unit
kerja Eselon I lemah. Dalam struktur organisasi di Kementerian Pertanian saat ini,
salah satu titik lemahnya adalah tidak adanya unit kerja Eselon I yang menangani
promosi pemasaran dan peningkatan daya saing komoditas pertanian yang bersifat
lintas komoditas, sehingga terjadi kesejangan dalam aliran produksi pertanian dari
hulu ke hilir. Kesenjangan ini akan berdampak paling tidak pada: (1) upaya untuk
meningkatkan produksi dan produktivitas tidak optimal karena petani kurang
didukung oleh kebijakan untuk meningkatkan akses pasar, baik di dalam negeri,
maupun di luar negeri yang bersifat lintas komoditas dan lintas sektoral; dan (2)
Page 59
58
upaya untuk meningkatkan nilai tambah dan daya saing produk pertanian yang
bersifat lintas komoditas dan lintas sektoral, baik di dalam negeri, maupun di luar
negeri, menjadi tidak optimal pula.
Gambar 5.1. Skema Peran Kementerian Pertanian Berdasar Sistem Agribisnis
Salah satu upaya untuk menghilangan kesenjangan yang terjadi, serta sesuai
dengan Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2015, yang menyatakan bahwa tugas
dan fungsi Kementerian Pertanian di antaranya adalah “perumusan, penetapan, dan
pelaksanaan kebijakan di bidang penyediaan prasarana dan sarana pertanian,
peningkatan produksi pertanian, serta peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu,
dan pemasaran hasil pertanian”, maka perlu dibentuk suatu unit kerja Eselon I yang
menangani koordinasi dalam perumusan dan implementasi kebijakan untuk
meningkatkan akses pasar dan daya saing produk-produk pertanian yang bersifat
lintas komoditas dan lintas sektoral. Dengan demikian, susunan, tugas dan fungsi
organisasi Kementerian Pertanian dalam perspektif agribisnis ini adalah sebagai
berikut (Gambar 5.2.):
1. Mengoptimalkan tugas dan fungsi unit kerja Ditjen dan Badan yang ada saat
ini, yaitu: Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian, Ditjen Tanaman Pangan,
Ditjen Perkebunan, Ditjen Hortikultura, Ditjen Peternakan dan Kesehatan
Page 60
59
Hewan, Badan Litbang Pertanian, Badan Penyuluhan dan Pengembangan
Sumber Daya Manusia Pertanian, Badan Ketahanan Pangan, dan Badan
Karantina Pertanian sebagaimana telah dibahas terdahulu (pembahasan pada
opsi peretama)
2. Membentuk Ditjen Pemasaran dan Peningkatan Daya Saing Pertanian (di
Malaysia: Federal Agricultural Marketing Authority, FAMA) yang mempunyai
tugas dan fungsi sebagai berikut:
a. Perumusan kebijakan di bidang penyelenggaraan peningkatan daya
saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian;
b. Pelaksanaan kebijakan di bidang penyelenggaraan peningkatan daya
saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian;
c. Penyusunan norma, standar, prosedur, dan kriteria (NSPK) di bidang
penyelenggaraan peningkatan daya saing, mutu, dan pemasaran hasil
pertanian;
d. Pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi atas pelaksanaan urusan
di bidang peningkatan daya saing, mutu, dan pemasaran hasil
pertanian;
e. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang penyelenggaraan
peningkatan daya saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian;
f. Catatan: Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK,
serta pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi bidang
penyelenggaraan di bidang pengolahan hasil pertanian tetap
dilaksanakan oleh masing-masing ditjen komoditas.
3. Memberikan penguatan pada tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan,
dengan harapan agar lembaga ini dapat menjadi cikal bakal terbentuknya
lembaga pemerintahan non-kementerian Badan Nasional Ketahanan Pangan
sesuai dengan amanat UU 18/2012 Tentang Pangan, dengan tugas-tugas
sebagai berikut:
a. Melakukan koordinasi dalam perencanaan produksi pangan pokok dan
strategis.
b. Memberikan masukan dalam perumusan kebijakan stabilisasi pasokan
dan harga pangan pokok dan strategis.
Page 61
60
c. Menyusun alternatif besaran cadangan pangan/beras pemerintah yang
penetapannya menjadi tugas Menteri Pertanian setelah dibahas dan
disepakati dalam Rakor Bidang Perekonomian.
d. Mengusulkan besaran besaran HPP dan tingkat fleksibilitas harga
pembelian pangan pemerintah oleh BULOG, sebagai bahan masukan
dalam Rakor Bidang Perekonomian.
e. Menyusun alternatif HA dan impor pangan (penentuan jumlah, waktu,
dan tempat pemasukan) sebagai saran masukan ke Kementerian
Perdagangan.
f. Sebagai pusat data dan informasi tentang produksi dalam negeri,
cadangan pangan, impor, kebutuhan konsumsi, kebutuhan bahan baku
industry dan enerji, serya analisis harga pangan pokok dan strategis.
g. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK, serta
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi bidang penyelenggaraan
diversifikasi pangan yang beragam bergizi seimbang dan aman (B2SA).
h. Perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK, serta
pelaksanaan bimbingan teknis dan supervisi bidang penyelenggaraan
penanganan kerawanan pangan dan gizi.
Gambar 5.2. Bagan Organisasi Kementerian Pertanian Menurut SistemAgribisnis (Opsi Kedua).
Page 62
61
5.4.3. Reorganisasi Kelembagaan Kementerian Pertanian Berdasar Perspektif Rantai Nilai Tambah (Opsi Ketiga)
Dalam perspektif rantai nilai tambah komoditas pertanian dari hulu kehilir,
Kementerian Pertanian dapat memposisikan sebagai lembaga kementerian yang
secara proporsional sesuai dengan lingkup tugas dan fungsinya mempunyai
kewenangan dalam perumusan, penetapan kebijakan dan pelaksanaan kebijakan
pembangunan pertanian mulai dari penyediaan prasarana, sarana, peningkatan
produksi, pengolahan, dan pemasaran menurut alur komoditas. Dalam
implementasinya, pengembangan rantai nilai tambah mulai dari penyediaan
prasarana dan sarana, peningktan produksi, pengolahan, pemasaran dan
peningkatan daya saing dilaksanakan oleh satu direktorat jenderal yang mempunyai
tugas pengembangan komoditas (Gambar 5.3.).
Salah satu kekuatan dari sistem organisasi menurut alur rantai nilai tambah
komoditas pertanian ini adalah, bahwa kebijakan penyediaan prasarana dan sarana,
kebijakan peningkatan produksi, kebijakan pengolahan hasil produksi, serta
kebijakan pemasaran dan peningkatan daya saing suatu komoditas pertanian dapat
ditangani secara terpadu, terkoordinasi dan tersinkronisasi dalam satu unit kerja
Eselon I yang menangani komoditas. Harapannya adalah, bahwa pengembangan
rantai pasok dan pembentukan nilai tambah pada masing-masing simpul di dalam
rantai pasok suatu jenis komoditas pertaian dapat dapat berjalan secara efektif dan
efisien.
Page 63
62
Gambar 5.3. Peran Kementerian Pertanian Berdasarkan Perspektif Sistem RantaiNilai
Tambah Komoditas Pertanian.
Salah satu kelemahan dari sistem organisasi dengan pendekatan rantai nilai
tambah komoditas ini adalah jika terjadi persaingan dan perbedaan kepentingan
dalam alokasi penggunaan prasarana dan sarana antar komoditas, serta jika ada
keterbatasan kapasitas unit kerja Eselon I dalam pengembangan pemasarana dan
peningkatan daya saing yang memerlukan koordinasi yang bersifat lintas komoditas
dan lintas sektoral. Kelemahan dari sistem organisasi dengan pendekatan rantai nilai
tambah ini dapat diatasi dengan membentuk suatu badan (unit kerja Eselon I) yang
ditugasi untuk mengkoordinasikan dan mensinkronisasikan perumusan kebijakan
dalam penyediaan prasarana dan sarana, serta kebijakan promosi pemasaran dan
peningkatan daya saing lintas komoditas dan lintas sektoral di lingkup Kementerian
Pertanian.Untuk melakukan reposisi kelembagaan, serta tugas dan fungsi organisasi
Kementerian Pertanian dalam perspektif rantai nilai tambah, perlu dilakukan
beberapa hal sebagai berikut (Gambar 5.4.):
1. Ditjen Tanaman Pangan mempunyai tugas dan fungsi perumusan dan
pelasanaan kebijakan, penyusunan NSPK, melaksanaan bimbingan teknis dan
supervisi, serta melaksanakan evaluasi dan pelaporan dalam bidang
Page 64
63
penyelenggaraan penyediaan prasarana dan sarana pertanian, peningkatan
produksi, serta peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran
hasil pertanian tanaman pangan.
2. Ditjen Perkebunan mempunyai tugas dan fungsi perumusan dan pelasanaan
kebijakan, penyusunan NSPK, melaksanaan bimbingan teknis dan supervisi,
serta melaksanakan evaluasi dan pelaporan dalam bidang penyelenggaraan
penyediaan prasarana dan sarana pertanian, peningkatan produksi, serta
peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian
tanaman perkebunan.
3. Ditjen Hortikultura mempunyai tugas dan fungsi perumusan dan pelasanaan
kebijakan, penyusunan NSPK, melaksanaan bimbingan teknis dan supervisi,
serta melaksanakan evaluasi dan pelaporan dalam bidang penyelenggaraan
penyediaan prasarana dan sarana pertanian, peningkatan produksi, serta
peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran hasil pertanian
tanaman hortikultura.
4. Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mempunyai tugas dan fungsi
perumusan dan pelaksanaan kebijakan, penyusunan NSPK, melaksanaan
bimbingan teknis dan supervisi, serta melaksanakan evaluasi dan pelaporan
dalam bidang penyelenggaraan penyediaan benih dan bibit ternak, produksi
ternak, produksi pakan, penyehatan hewan, dan peningkatan kesehatan
masyarakat veteriner, serta pascapanen, pengolahan, dan pemasaran hasil
peternakan.
5. Membentuk Badan Analisis Kebijakan dan Strategi Pertanian (di Korea Selatan
dan Australia: Agricultural Policy Bureau) yang mempunyai tugas dan fungsi
melaksanakan koordinasi dan harmonisasi dalam perumusan dan penyusunan
kebijakan dan strategi dalam pelaksanaan penyediaan prasarana dan sarana,
peningkatan nilai tambah, daya saing, mutu, dan pemasaran yang bersifat
lintas komoditas dan lintas sectoral di lingkup Kementerian Pertanian.
6. Memberikan penguatan pada tugas dan fungsi Badan Ketahanan Pangan,
dengan harapan agar lembaga ini dapat menjadi cikal bakal terbentuknya
lembaga pemerintahan non-kementerian Badan Nasional Ketahanan Pangan
sebagaimana telah disampaikan terdahulu (pembahasan opsi kedua).
Page 65
64
Gambar 5.4. Bagan Organisasi Kementerian Pertanian Menurut SistemRantai Nilai
Tambah Komoditas Pertanian (Opsi Ketiga).
Page 66
65
VI. KESIMPULAN
Seiring dengan dinamika perubahan lingkungan strategis, baik yang terjadi di
dalam negeri, maupun yang terjadi di luar negeri, masalah yang dihadapi dalam
pembangunan sektor pangan dan pertanian menjadi semakin kompleks. Sektor
pertanian dituntut untuk meningkatkan produksinya secara berkelanjutan untuk
memenuhi kebutuhan produks pertanian untuk pangan, bahan baku industry dan
energi sementara kapasitas produksi pertanian semakin berkurang karena
persaingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan, serta
meningkatnya risiko produksi produksi dan harga produk pangan dan pertanian.
Di era globalisasi perdaganan dan perubahan iklim global tersebut, sektor
petanian dituntut untuk mempunyai daya saing sekaligus daya tahan.Daya saing
dibutuhkan untuk meraih peluang dalam mengisi permintaan produk pangan dan
pertanian di dalam negeri dan di pasar global yang cenderung meningkat dalam
jumlah, kualitas dan keragamannya.Daya tahan diperlukan untuk bertahan,
menyerap, mengakomodasikan, dan pulih dari dampak risiko bencana secara tepat
waktu dan efisien, termasuk dalam mencegah dan memperbaiki kerusakan yang
ditimbulkannya.
Pembangunan di sektor pertanian dan pangan semakin terkait dan tidak
dapat dipisahkan dengan pembanguan di sektor hulu yang menyediakan prasarana
dan sarana pertanian.Selain itu, pembangunan sektor pertanian juga tidak dapat
terlepas dari pembanguan di sektor hilir yang terkait dengan akses pasar, industri
pengolahan, rantai pasok, dan sistem perdagangan dalam dan luar negeri.Oleh
karena itu, kedepan Kementerian Pertanian hendaknya secara proporsional
mempunyai kewenangan, tugas, fungsi dalam memfasilitasi dan meregulasi
pembanguan pertanian dari hulu sampai ke hilir.
Dalam kaitannya dengan reposisi tugas dan fungsi serta kelembagaan
Kementerian Pertanian ke depan, dari hasil kajian ini diusulkan tiga pilihan (opsi)
reposisi kelembagaan Kementerian pertanian. Opsi pertama, yaitu
melakukanrevitalisasi kelembagaan Kementerian Pertanian yang didasari oleh asumsi
bahwa selama tiga tahun ke depan Pemerintah tidak melakukan perubahan struktur
organisasi Kementerian Pertanian yang berlaku pada saat ini. Opsi kedua yaitu
Page 67
66
melakukan reorganisasi kelembagaan Kementerian Pertanian berdasar perspektif
sistem agribisnis, serta opsi ketiga yaitu melakukan reorganisasi kelembagaan
Kementerian Pertanian berdasar perspektif rantai nilai tambah. Opsi kedua dan
ketiga didasari oleh asumsi bahwa dalam jangka menengah Kementerian Pertanian
dapat melakukan restrukturisasi kelembagaannya sesuai dengan visi, misi, dan tugas
fungsinya yang diselaraskan dengan tuntutan perubahan lingkungan strategis baik di
dalam negeri, maupun lingkungan strategis global.
Page 68
67
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, Philip. 2010. Stabilisation Policies in Developing Countries After The 2007-08 FoodCrisis. Paper was first presented to the Working Party on Agricultural
Policy and Markets, 15-17 November 2010. Reference: TAD/CA/APM/WP(2010)44.
Abbott, Philip. (2009). Development Dimensions of High Food Prices. Paris, OECD.
Bank Dunia, 2008.Food Price Crisis in Africa. World Bank Research Digest, 3, 1-2.
Demeke, M., Pangrazio, G. & Maetz, M. (2008). Country Responses to the Food SecurityCrisis: Nature and Preliminary Implications of the Policies Pursued. Rome, Agricultural Policy Support Service, FAO
Dermoredjo, S.K. 2015. Pemetaan daya saing pertanian Indonesia.Pusat Sosial EkonomiDan Kebijakan Pertanian Badan Penelitian Dan Pengembangan
Pertanian Kementerian Pertanian. Bogor. Laporan Penelitian.
Dyck, J. et.al. 2012. “Indonesia’s Modern Retail Sector: Interaction with ChangingFood Consumption and Trade Patterns”. USDA Economic Research Service, Economic Information Bulletin No.24, June, dalam Ikhsan, M.A. Anwar, D. Purbasari, A.Tohari. 2014. “Transformasi
Struktural dan Permintaan Akan Pangan (mimeo).
Erwidodo, 2014. Reformasi Kebijakan Perdagangan Menuju Kemandirian dan
KetahananPangan Nasional. Dalam: Haryono. 2015 (eds). Reformasi Kebijakan Menuju Transformasi Pembangunan Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, IAARD
Press, Jakarta.
Erwidodo, 2015. Kebijakan Impor, Cadangan Pangan, Stabilisasi Harga dan
KetahananPangan Nasional Berkemandirian. Dalam: Pasandaran, E., dkk. 2015 (eds). Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian, IAARD Press, Jakarta.
Erwidodo, 2016. Government Supports and Incentives toward Realizing Self-Reliance
FoodSecurity. Dalam: Pasandaran, E. dan Haryono. 2015 (eds). Toward a Resilience Food and Nutrition Security in Indonesia. Indonesian Agency
for Agricultural Research and Development, IAARD Press, Jakarta.
FAO (2008). The State of Food Insecurity in the World: 2008. Rome, Economic and
SocialDevelopment Department, Food and Agriculture Organization of the U.N.
Page 69
68
FAO, IFADS, and WFP. 2015. Stregthening resilience for food security and nutrition. AConceptual Framework for Collaboration and Partnership among the
Rome-based Agencies. April 2015.
Hermanto. 2015. Stabilisasi Harga Pangan Pokok Dalam Rangka Kemandirian
Pangan.Dalam Pasandaran et al. (editor). Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. IAARD Press.
Kementerian Pertanian. 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian Tahun 2015 – 2019.
OECD. 2016. “Reaping the Benefits of Trade for Growth and Competitiveness inFarm
and Food Systems”. Background note, Agriculture Ministerial Meeting, Paris, 2016.
Pasaribu, S. 2015. Risiko Produksi Pangan: Tantangan dan Peluang. Dalam Pasandaran etal. (editor). Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. IAARD Press.
Porter, M.E. 1990. The competitive advantage of nations. New York: Free Press.
Rachmat, M. 2015. Tantangan dan Strategi Percepatan Pencapaian Ketahanan
PanganYang Mandiri dan Berdaulat.Dalam Pasandaran et al. (editor). Memperkuat Kemampuan Swasembada Pangan. IAARD Press.
Rashid, S., 2007.Food Price Stabilization Policies in Globalizing World. In: Andersen, PerPinstrup and Fuzhi Cheng, 2007 (Eds): Food Policies for Developing Countries: The Role of Government in the Global Food System. Cornell
University, Ithaca, New York.
Rosen, S., Shapouri, S., Quanbeck, K. & Meade, B. (2008).Food Security
Assessment, 2007.Washington, DC, Economic Research Service, United States Department of Agriculture.
Sudaryanto, T.2016. “Arah perubahan struktur pertanian Indonesia”, dalam B. Arifin (editor). “Sosial Ekonomi Pertanian: Catatan ringan alumni sosek IPB lintas angkatan”, IPB Press, Bogor.
Tan, K. G. and K.Y. Tan. 2014. Assessing competitiveness of ASEAN-10 economies.International Journal of Economics and Business Research 8
(4) 377-398.
World Economic Forum. 2014. The Global Competitiveness Report 2014-2015: Full
DataEdition. Kementerian Pertanian. 2015. “Rencana Strategis Kementerian Pertanian 2015-2019”, Kementerian Pertanian, Jakarta.