Laporan ini terbit atas kerjasama antara : September 2011 Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan WWF Indonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries & WWF Rencana Kerja Perikanan Tuna Indonesia Perbaikan praktek pengelolaan menuju perikanan lestari dan bertanggungjawab
63
Embed
Rencana Kerja Perikanan Tuna Indonesiaditangkap dengan menggunakan Pancing ulur, Huhate, Rawai Tuna, Tonda, Pukat Cincin > 30 GT, Pukat Cincin < 30 GT, Jaring Payang dan Jaring
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Laporan ini terbit atas kerjasama antara :
September 2011
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan WWFIndonesian Ministry of Marine Affairs and Fisheries & WWF
Rencana KerjaPerikanan Tuna IndonesiaPerbaikan praktek pengelolaan menuju perikanan lestari dan bertanggungjawab
2
Rencana Kerja Perikanan Tuna Indonesia: Perbaikan praktek pengelolaan menuju perikanan lestari dan bertanggungjawab
Laporan ini dikompilasi oleh Richard Banks dan Anthony Lewis dari Poseidon Aquatic Resource Management
Untuk mendapatkan salinan dokumen ini, silahkan menghubungi sekretariat Program Perbaikan Perikanan
Disclaimer
Diijinkan mengutip atau memperbanyak sebagian atau seluruh tulisan dan data yang tercantum didalam laporan ini dengan mencantumkan Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia dan WWF-Indonesia sebagai sumber.
3
UCAPAN TERIMAKASIH
Kami mengucapkan terimakasih yang tak terhingga atas kontribusi pihak-pihak terkait yang terlibat dalam lokakarya Konsultasi Perbaikan Perikanan Tuna: Putu Suadela, SDI – KKP; Saut Tampubolon, SDI – KKP; P. Rahardjo, BRPL; M. Fathoni, PLN – KKP; Hengkie Wowor, DKP Bitung; Wawan Ridwan, WWF; Fery Sutyawan, SDI – DJPT; I Nyoman Sudarta, ATLI; Yulius, DKP SulUt; Abdul Salam, DKP SulTra; Imam Musthofa Z., WWF; Purwito M., KTI dan Komnas KAJISKAN; S. D. Retnowati S. P., PKP – DJPT; Abdullah Habibi, WWF; Blane Olson, Anova; Saut P. Hutagalung, PLN-MMAF; Jose Ingles, WWF; Jesse Marsh, WWF; Fayakun Satria, P4KSI; Diana Saraswati, WWF; Yanti D., PT. Ocean Mitramas; Ridwan Malik, SDI-KKP; Tri Arga W., DIT PLN; Miftahuddin, DKP; Moerdijani, ATI; Hary Christijanto, SDI; Tri Hanifah, PLN – KKP; Sadarma S. Saragih, PLN – KKP; Maskur Tamanyira, WWF; Bas Zaunbrecher, Anova; Anthony Lewis, fisheries expert
Selanjutnya kami sampaikan terimakasih kepada para reviewer yang memberikan masukannya pada draf dokumen ini: Jose Ingles, WWF; Jesse Marsh, WWF; Abdullah Habibi, WWF; Lida Pet Soede, WWF; William W. Fox, Jr, WWF; Purwito Martosubroto, KTI dan Komnas KAJISKAN.
Penyiapan dokumen ini mendapat dukungan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia serta WWF, kami mengucapkan terimakasih atas kontribusi mereka dalam finalisasi dokumen ini.
4
DAFTAR ISI
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM .........................................................................................................6
KATA PENGANTAR ........................................................................................................................................8
1. TATA KELOLA DAN TUJUAN PENGELOLAAN PERIKANAN NASIONAL ..........................................12
1.1 Memperbaiki tujuan pengelolaan untuk memastikan bahwa prioritas utama ditujukan demi keberlangsungan perikanan dan penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management/EAFM) baik di tingkat nasional maupun daerah .12
1.2 Memperluas sistem pengelolaan hingga ke tingkat daerah .......................................................12
1.3 Mendukung kebijakan-kebijakan internasional .............................................................................14
1.4 Menetapkan rencana-rencana pengelolaan khusus ......................................................................15
2.1 Merevisi struktur pengelolaan perikanan ......................................................................................16
2.2 Identifikasi tanggung jawab dan peningkatan kapsitas di seluruh lembaga pelaksana ............19
3. KEGIATAN PENELITIAN ..........................................................................................................................23
3.1 Meningkatkan kapasitas manusia dan kelembagaan dalam proses penilaian stok di Indonesia 23
3.2 Mengisi kekosongan/kekurangan data ...........................................................................................24
3.3 Memperkuat proses penilaian stok dan menetapkan Poin Acuan Target dan Poin Acuan Batas untuk sepsies-spesies tertentu (turut mencakup spesies non-target) .............................................26
3.4 dan 3.5: Diadopsinya strategi pengaturan pemanfaatan dan ditetapkannya peraturan serta perangkat pemanfaatan ..........................................................................................................................27
3.6 Pengumpulan data tangkapan sampingan ....................................................................................27
3.7 Peningkatan pengelolaan berbasis ekosistem .............................................................................29
3.8 Menetapkan/memastikan kembali batasan nasional terkait interaksi dengan spesies langka yang dilindungi/ETP ...............................................................................................................................31
3.9 Disusunnya strategi mitigasi tangkapan sampingan dan diterapkan melalui rencana pengelolaan .............................................................................................................................................32
3.10 Rencana Penelitian yang meliputi peningkatan kapasitas dalam menilai stok, EAFM, model ekosistem dan mengatasi permasalahan kekosongan informasi ....................................................33
4.1 Analisis resiko untuk mengetahui area-area utama terjadinya pelanggaran dan menentukan tidakan korektif yang tepat ...................................................................................................................34
4.2 Meninjau ulang peraturan hukum dan sangsi-sangsi terhadap pelanggaran ............................35
4.3 Membuat program pendidikan dan pelatihan/pelatihan masyarakat dengan jangkauan yang luas ...........................................................................................................................................................36
4.4 Memperkuat sistem pengelolaan berbasis komunitas untuk perikanan handline dan perikanan pantai lainnya .........................................................................................................................................37
4.5 Ditingkatkannya sistem pelaporan sehingga bentuk-bentuk pelanggaran dapat diakses oleh masyarakat .............................................................................................................................................37
4.6 Melatih dan memaksimalkan fungsi aparat penegak hukum serta menambah perangkat/perlengkapan pendukung yang dibutuhkan ........................................................................................38
5.1 Peninjauan dampak subsidi bahan bakar terhadap keberlangsungan perikanan, kapal-kapal motor berukuran 5-30GT dan < 5 GT ..........................................................................38
5.2 Mengevaluasi kemungkinan dialihkannya subsidi, dari subsidi bahan bakar menjadi subsidi yang lebih berdampak positif seperti pemberian insentif yang mendukung praktek-praktek perikanan berkelanjutan ........................................................................................................................38
LAMPIRAN 1: Skema usulan kegiatan untuk Rencana Kerja Program Perbaikan Perikanan (FIP) Tuna Indonesia ...........................................................................................................................................39
LAMPIRAN 2. Ringkasan Kegiatan (Concept Notes) Program Observer Ilmiah pada Perikanan Tuna Indonesia ....................................................................................................................................................52
LAMPIRAN 3: Contoh Analisis Resiko Strategis pada Perikanan Tuna Indonesia (Possible Draft Action) ..........................................................................................................................................................54
6
DAFTAR SINGKATAN DAN AKRONIM
ASTUIN Asosiasi Tuna Indonesia Indonesian Tuna AssociationATLI Asosiasi Tuna Longline Indonesia Indonesian Tuna Longline AssociationBBRSE Balai Besar Riset Sosial dan Ekonomi Research Agency on Social and Economy BPPL Balai Penelitian Perikanan Laut Marine Fisheries Research AgencyBPSDM KP Badan Pengembangan Sumberdaya
Manusia Kelautan dan PerikananMarine and Fisheries Human Resources Development Agency
DKP Dinas Kelautan dan Perikanan Fisheries Offices at Provincial and District level
Dirjen Direktorat Jenderal Directorate GeneralFKPPS Forum Komunikasi Pengelolaan dan
Pemanfaatan Sumberdaya ikanForum on Fishery Resources Utilization Management
KAPI Kapal dan Alat Penangkap Ikan Vessel and Fishing GearKEMLU Kementerian Luar Negeri Ministry of Foreign AffairsKKJI Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan Fish and Area ConservationKKP Kementerian Kelautan dan Perikanan Ministry of Marine Affairs and FisheriesKOMNAS KAJISKAN
Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan
National Committee on Fish Stock Assessment
KTI Komisi Tuna Indonesia Indonesian Tuna CommissionPDN Pemasaran Dalam Negeri Domestic MarketingPLN Pemasaran Luar Negeri Foreign MarketingPSDKP Pengawasan Sumberdaya Kelautan dan
PerikananSurveillance of Marine and Fishery Resources
P4KSIPusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumberdaya Ikan
Research Centre for Fishery Management and Conservation of Fishery Resources
POKMASWAS Kelompok Masyarakat Pengawas Community Surveillance GroupPUP Pelayanan Usaha Perikanan Fishing ServicesPUSKITA Pusat Analisis Kerjasama Internasional
dan Antar LembagaCentre for Analysis on International Cooperation and Inter Institution
SDI Sumberdaya ikan Fishery ResourcesSetkab Sekretariat Kabinet Cabinet Secretary
SelatanCommission for the Conservation of Southern Bluefin Tuna
CCM Anggota Komisi Kerja Sama Cooperating Commission MemberCMM Langkah Konservasi dan Pengelolaan Conservation and Management MeasureEAFM Pendekatan Ekosistem untuk
Pengelolaan PerikananEcosystem Approach to Fisheries Management
EEZ Zona Ekonomi Eksklusif Exclusive Economic ZoneETP Biota yang statusnya langka, terancam,
dan dilindungiEndangered, Threatened and Protected
FIP Program Perbaikan Perikanan Fishery Improvement ProgramFFA Dinas Forum Perikanan Forum Fishery AgencyFMA / WPP Wilayah Pengelolaan Perikanan Fisheries Management Area
7
ITQ Kuota yang Dipindahtangankan secara Individu
Individual Transferable Quotas
MSC Dewan Pengawas Kelautan Marine Stewardship CouncilMoU Nota Kesepahaman Memorandum of UnderstandingNPOA Rencana Kerja Nasional National Plan of ActionNTMP Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna National Tuna Management PlanPSA Analisis Produktivitas dan Kerentanan Productivity Sensitivity AnalysisRBF Kerangka Penilaian Stok Berbasis
ResikoRisk Based Framework
RFMO Organisasi Pengelolaan Perikanan Regional
Regional Fisheries Management Organisation
SICA Analisis Skala, Intensitas dan Akibat Scale Intensity Consequence AnalysisSC Komite Ilmiah Scientific CommitteeSPC Komisi Pasifik Selatan South Pacific CommissionTCC Komite Konservasi Teknis Technical Conservation CommitteeTAC Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan Total Allowable CatchTURF Hak Pemanfaatan Teritorial untuk
PerikananTerritorial User Rights in Fisheries
UNFSA Perjanjian Stok Ikan PBB United Nations Fish Stocks AgreementVDS Skema Hari Kapal Berlayar Vessels Days SchemeVMS Skema Pemantauan Kapal Vessel Monitoring SchemeWCPFC Komisi Perikanan Samudera Pasifik
Barat dan TengahWestern Central Pacific Fisheries Commission
WCPO Samudera Pasifik Barat dan Tengah Western Central Pacific Ocean
8
KATA PENGANTAR
Kesadaran akan pentingnya keberlanjutan sumberdaya perikanan untuk pemenuhan keamanan pangan yang berimplikasi pada keberlanjutan bisnis dalam jangka panjang, menyebabkan sebagian besar pengimpor berkomitmen untuk hanya akan membeli dan menjual produk-produk perikanan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab. Komitmen mereka diwujudkan dengan hanya akan membeli produk perikanan yang ditangkap dan dikelola secara ramah lingkungan dan bertanggungjawab dengan pendekatan ekosistem yang dibuktikan dengan adanya sertifikat ekolabel MSC (Marine Stewardship Council).
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyadari bahwa sertifikasi ekolabel MSC merupakan salah satu persyaratan pasar ekspor oleh beberapa importir utama di beberapa negara dunia terutama Eropa dan Amerika yang makin meluas penerapannya. Mempersiapkan diri menuju target tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan bekerjasama dengan Program Kelautan WWF-Indonesia membantu memfasilitasi permintaan beberapa perusahaan perikanan tuna serta perikanan karang Indonesia dalam mendapatkan sertifikasi ekolabel MSC, dengan melaksanakan pre-assessment sebagai langkah awal untuk penilaian kesiapan perikanan terkait. Kajian awal yang meliputi informasi stok dan pemanfaatannya, pengaruh perikanan terhadap ekosistem, serta pengelolaan perikanan ini dilaksanakan terhadap perikanan tuna yang ditangkap dengan menggunakan Pancing ulur, Huhate, Rawai Tuna, Tonda, Pukat Cincin > 30 GT, Pukat Cincin < 30 GT, Jaring Payang dan Jaring Insang Hanyut serta perikanan karang Kerapu dan Kakap yang ditangkap dengan menggunakan Pancing Ulur, Rawai Dasar dan Tonda di perairan Indonesia.
Penilaian awal kesiapan perikanan karang dan Tuna terhadap sertifikasi ekolabel MSC, mengidentifikasi adanya beberapa poin positif yang perlu dijaga serta menjumpai adanya beberapa hal yang perlu diperbaiki dalam pengelolaan perikanan terkait di Indonesia. Rangkaian pertemuan konsultasi telah dilaksanakan pada September – Oktober 2010 untuk mengidentifikasi solusi serta stakeholder yang diperlukan untuk perbaikan agar perikanan terkait bisa mendapatkan sertifikasi ekolabel MSC di masa yang akan datang. Hasil konsultasi tersebut menghasilkan tiga dokumen penting; langkah aksi perbaikan perikanan Tuna, usulan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, serta langkah aksi perbaikan perikanan karang.
Kami selanjutnya yakin dan optimis, bahwa dokumen terkait jika dilaksanakan dengan baik dan didukung oleh semua pihak pada industri perikanan akan membantu tercapainya kesejahteraan masyarakat pesisir, keberlanjutan bisnis perikanan, serta berkontribusi nyata terhadap devisa bagi negara.
Kementerian Kelautan dan Perikanan menyadari bahwa sertifikasi ekolabel MSC merupakan salah satu persyaratan pasar ekspor oleh importir utama di beberapa negara dunia. Oleh karena itu, Kementerian kemudian bekerjasama dengan Program Kelautan WWF-Indonesia membantu memfasilitasi permintaan beberapa perusahaan perikanan tuna serta perikanan karang Indonesia dalam mendapatkan sertifikasi ekolabel MSC, dengan melaksanakan pre-assessment sebagai langkah awal untuk penilaian kesiapan perikanan terkait mulai Desember 2009 hingga Juni 2010. Kajian awal yang meliputi informasi stok dan pemanfaatannya, pengaruh perikanan terhadap ekosistem, serta pengelolaan perikanan ini dilaksanakan terhadap perikanan tuna (madidihang, mata besar dan cakalang) yang ditangkap dengan menggunakan Pancing ulur, Huhate, Rawai Tuna, Tonda, Pukat Cincin > 30 GT, Pukat Cincin < 30 GT, Jaring Payang dan Jaring Insang Hanyut di perairan Indonesia.
Hasil dari pre-assessment dengan menggunakan standar sertifikasi ekolabel MSC yang dilakukan auditor memberikan gambaran bahwa praktek penangkapan dan pengelolaan perikanan di Indonesia perlu dijaga dan diperbaiki. Hasil penilaian terdapat pada Gambar 1, Gambar 2 dan Gambar 3 dengan penjelasan warna Merah dan H (High) = menunjukkan rendahnya performa perikanan Indonesia pada komponen terkait serta prioritas yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan perikanan di Indonesia; warna Kuning dan M (Medium) = menunjukkan performa sedang perikanan Indonesia pada komponen terkait serta prioritas yang harus segera dilakukan untuk memperbaiki pengelolaan perikanan di Indonesia; serta warna Hijau dan L (Low) = menunjukkan menunjukkan performa tinggi perikanan Indonesia pada komponen terkait serta rekomendasi untuk menjaga performa pengelolaan perikanan agar tetap baik.
10
Gambar 1. Hasil pre-assessment dengan standar ekolabel MSC terhadap status stok perikanan tuna madidihang, mata besar dan cakalang di Indonesia.
Gambar 2. Hasil pre-assessment dengan standar ekolabel MSC untuk dampak perikanan tuna madidihang, mata besar dan cakalang terhadap ekosistem di Indonesia.
11
Gambar 3. Hasil pre-assessment dengan standar ekolabel MSC untuk pengelolaan perikanan tuna madidihang, mata besar dan cakalang di Indonesia.
Tujuan disusunnya dokumen ini yaitu untuk memberi gambaran tentang beberapa kegiatan baik yang sedang berlangsung maupun yang baru akan dilaksanakan serta tugas-tugas yang diusulkan pada workshop perencanaan Program Perbaikan Perikanan (FIP) yang diselenggarakan di Bogor pada tanggal 19-21 Oktober 2010. Dokumen ini pun meliputi beberapa prioritas (utama dan menengah), status terbaru (yang sedang berlangsung dan baru) dan kerangka waktu yang ditetapkan untuk menyelesaikan tugas-tugas awal. Tingkat prioritas dari masing-masing kegiatan ditetapkan berdasarkan level tertinggi dalam dokumen scoping FIP (Lampiran 1).
Berikut ini adalah beberapa target spesies yang terdaftar di dalam dokumen perbaikan perikanan tuna:
Cakalang/• skipjack tuna
Madidihang/• yellowfin tuna
Tuna mata besar/• bigeye tuna
Berikut adalah 7 jenis perikanan yang memiliki target tangkap spesies-spesies tersebut di atas:
Tuna handline• dengan target tangkap tuna madidihang dan mata besar;
Pole & line• dengan target tangkap cakalang;
12
Troll & line• dengan target tangkap cakalang;
Rawai/• longline dengan target tangkap tuna madidihang dan mata besar;
Purse seine• (> 30 GT) dengan target tangkap cakalang, madidihang dan tuna mata besar;
Mini purse seine• (< 30 GT) dengan target tangkap cakalang, madidihang dan tuna mata besar;
Gillnet• dengan target tangkap cakalang dan tuna madidihang.
Ring net / payang dengan target tangkap cakalang, madidihang, dan mata besar.•
Beberapa spesies tuna besar lainnya seperti albakora dan sirip biru tidak turut dipertimbangkan dalam konteks pra-penilaian sebelumnya, akan tetapi tindakan-tindakan dan aktivitas-aktivitas dapat dihubungkan dengan kedua spesies tersebut ketika dianggap perlu. Tuna sirip biru selatan tertangkap secara rutin dalam pengoperasian alat tangkap rawai/longline di Samudera Hindia. Selain itu, berbagai spesies tuna kecil dan spesies-spesies lainnya yang menyerupai tuna serta tangkapan sampingan dan spesies langka yang dilindungi (ETP) turut tertangkap dalam operasi penangkapan perikanan tuna. Oleh karenanya, tindakan dan aktivitas pun akan berhubungan dengan spesies-spesies tersebut.
Diharapkan bahwa Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) akan memimpin Rencana Kerja FIP dan mengkoordinasikan pengembangan tiap-tiap tugas di dalam Rencana Kerja tersebut. Adapun fungsi dari dokumen ini yaitu sebagai panduan mengenai jenis dan kisaran tugas yang diperlukan dalam Rencana Kerja agar sesuai dengan standar Dewan Pengawas Kelautan (Marine Stewardship Council/MSC). Rencana Kerja tersebut pun harus dikembangkan lebih jauh dengan dilengkapi kerangka waktu yang lebih spesifik. Hasil-hasil dari penerapan Rencana Kerja harus dilengkapi proses peninjauan ulang berkala baik secara internal maupun eksternal untuk memastikan bahwa hasil-hasil tersebut sesuai dengan standar MSC.
Ringkasan seluruh tugas dalam Rencana Kerja dapat dilihat pada Lampiran 1.
1. TATA KELOLA DAN TUJUAN PENGELOLAAN PERIKANAN NASIONAL
Dalam rangka melindungi masyarakat nelayan, penting kiranya untuk menjamin keberlanjutan jangka panjang sumber daya perikanan di mana mereka bergantung. Petunjuk penentuan skor MSC (MSC scoring guidepost) berfokus pada keberlangsungan perikanan, strategi pemanfaatan dengan prinsip kehati-hatian dan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan. Agar sesuai dengan standar MSC, diperlukan perubahan mendasar dalam praktek-praktek pengelolaan perikanan di Indonesia, pengelolaan perikanan harus difokuskan pada keberlanjutan sumber daya ikan sebagai kontributor pertumbuhan ekonomi, sedangkan yang berlangsung saat ini pegelolaan lebih diprioritaskan untuk meningkatkan jumlah produksi tanpa terlalu memperdulikan kelestarian stok ikan tersebut. Perubahan dalam tujuan atau kebijakan jangka panjang akan memungkinkan terpeliharanya level produksi bagi seluruh pengguna sumber daya baik di tingkat Kabupaten, Provinsi dan Nasional.
13
1.1 Memperbaiki tujuan pengelolaan untuk memastikan bahwa prioritas utama ditujukan demi keberlangsungan perikanan dan penerapan pendekatan ekosistem dalam pengelolaan perikanan (ecosystem approach to fisheries management/EAFM) baik di tingkat nasional maupun daerah
UU No. 31 Tahun 2004 membahas tentang keberlanjutan stok ikan. Perjanjian stok ikan PBB (United Nations Fish Stocks Agreement/UNFSA) telah diratifikasi oleh Indonesia pada tahun 2010. Dalam penerapannya, poin-poin dalam perjanjian tersebut harus digabungkan dengan sistem pengelolaan di tingkat nasional dan regional. Kebijakan dan tindakan pengelolaan harus berfokus pada penerapan langkah-langkah pencegahan, sebagai pengganti kebijakan-kebijakan pengembangan yang diberlakukan pada saat ini. Selain itu, pendekatan berbasis ekosistem untuk pengelolaan perikanan harus digabungkan ke dalam langkah-langkah pengelolaan, agar sesuai dengan petunjuk penentuan skor tertinggi dalam Prinsip 2 MSC. Langkah-langkah pencegahan dan EAFM bisa digabungkan dengan Legislasi Nasional atau Rencana Pengelolaan Perikanan Tertentu1. Pakar hukum harus turut terlibat dalam menentukan wilayah-wilayah yang paling tepat untuk penggabungan Langkah Kehati-Hatian (Precautionary Approach) dan pengelolaan berbasis ekosistem ke dalam proses pengambilan keputusan formal.
Kelompok Kerja SDI, P4KSI, KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten, PLN, KKJI, PSDKP
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Sedang:
3.1.1 Kerangka hukum & adat
3.1.3 Tujuan jangka panjang
1.2 Memperluas sistem pengelolaan hingga ke tingkat daerah
Perlu diperhatikan bahwa UU No. 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Derah menegaskan bahwa penyelenggara pemerintahan di tingkat Provinsi dan Kabupaten memiliki wewenang atas wilayahnya masing-masing. Dengan demikian KKP akan berperan sebagai fasilitator dan koordinator yang memastikan bahwa strategi dan langkah-langkah pengelolaan telah benar-benar diterapkan di seluruh spektrum pemerintahan. Demi kelancaran upaya tersebut maka diperlukan adanya kesadaran dari tiap-tiap penyelenggara pemerintahan di daerah mengenai prioritas-prioritas utama dalam Undang-Undang Perikanan Nasional dan komitmen terhadap UNSFA. Selain itu, mereka pun harus memahami tentang kebijakan-kebijakan perikanan internasional dalam bentuk Langkah-Langkah Konservasi dan Pengelolaan (WCFPC, IOTC dan CCSBT), dimana tindakan-tindakan yang diambil harus mendukung Langkah-Langkah Konservasi dan Pengelolaan tersebut (CMMs2). Dengan demikian kebijakan-kebijakan Provinsi/Daerah perlu ditinjau ulang untuk memastikan bahwa prinsip kehati-hatian dan strategi pencegahan berbasis ekosistem telah disertakan ke dalam sistem pengelolaan di tingkat daerah. Adapun tindakan-tindakan yang perlu dilakukan sehubungan dengan hal tersebut diantaranya yaitu:
Pembuatan pedoman/petunjuk (oleh KKP) bagi pemerintah di daerah untuk memastikan •tersosialisasinya tindakan dan perangkat pengelolaan utama kepada perikanan setempat (pendelegasian wewenang);
Penjelasan mengenai perangkat pengelolaan khusus di daerah dan target-target yang •
1 Sudah menjadi hal yang umum bagi negara-negara untuk mengubah undang-undang perikanan nasionalnya dan menyertakan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip pengelolaan perikanan berbasis ekosistem. Akan tetapi sebagaimana dijelaskan dalam panduan MSC, prinsip-prinsip MSC perlu digabungkan ke dalam sistem pengelolaan yang ada dan dalam hal ini adalah Rencana Pengelolaan Tuna. Meskipun demikian akan lebih baik jika keduanya yaitu Prinsip Kehati-Hatian dan Pedekatan EAFM disertakan ke dalam Undang-Undang Perikanan. 2 Langkah-Langkah Konservasi dan Pengelolaan RFMO (CMMs) biasanya hanya berlaku/bersifat mengikat di wilayah perairan ZEE nasional, dan tidak pada perairan kepulauan dan teritori. Akan tetapi pihak-pihak/negara-negara diharapkan untuk melanjutkan penerapan langkah-langkah pengelolaan tersebut di seluruh komponen industri perikanan tangkap.
14
diharapkan baik di tingkat provinsi dan kabupaten (termasuk Territorial User Rights in Fisheries/TURFs untuk perikanan skala kecil);
Bimbingan yang dilakukan KKP terhadap kantor/dinas-dinas Perikanan di tingkat Provinsi •dan Kabupaten;
Menugaskan seorang pengelola perikanan di tingkat nasional (KKP) yang dapat mengawasi •pelaksanaan dan kinerja kelompok pemerintahan terkait – Nasional, Provinsi dan Kabupaten;
Pengenalan proses peninjauan ulang sejawat (• peer review) yang digabungkan dengan prosedur pemantauan untuk memastikan kepatuhan dengan stretegi dan perangkat pengelolaan yang ditetapkan;
Menetapkan prosedur hukuman untuk menindak pelanggaran yang terjadi di Provinsi dan •Kabupaten3.
Langkah-langkah di atas perlu disertakan ke dalam legislasi Nasional dan Provinsi, dan dipertegas dengan Nota Kesepahaman (MoU), menetapkan peran dan tanggung jawab yang jelas bagi masing-masing organisasi. Adapun Nota Kesepahaman yang disusun (oleh KKP, bekerja sama dengan organisasi-organisasi di daerah) dapat mengacu pada poin-poin tersebut di atas.
Aktivitas dan perangkat ditetapkan dalam Draft Rencana Pengelolaan (Lampiran 2) yang penyusunannya masih terus dilakukan oleh KTI, aktivitas dan perangkat akan disesuaikan dengan tujuan dan sasaran utama yang didefinisikan di dalamnya.
Kelompok Kerja SDI, P4KSI, Dinas, PLN, KKJI, PSDKPPrioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Tinggi:
3.1.1 Kerangka hukum & adat
3.1.3 Tujuan jangka panjang
3.2.1 Tujuan khusus perikanan
3.2.2 Proses pengambilan keputusan
1.3 Mendukung kebijakan-kebijakan internasional
Indonesia adalah anggota dari IOTC dan CCSBT. Selain itu, Indonesia pun berencana untuk bergabung ke dalam WCPFC sebagai Anggota Komisi Kooperatif (Cooperating Commission Member/CCM). Otoritas di tingkat nasional sebagai anggota dari organisasi-organisasi pengelolaan perikanan regional (Fisheries Management Organisations/RFMOs) yaitu WCPFC, IOTC dan CCSBT memiliki kewajiban untuk menerapkan Konvensi dan Langkah-Langkah Pengelolaan di tingkat wilayah hukum tertentu khususnya di perairan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE). Penerapan langkah-langkah pengelolaan tersebut pun diharapkan dilanjutkan pada wilayah perairan kepulauan dan teritori, setelah dilakukan beberapa penyesuaian, sehingga upaya tersebut memungkinkan.
Pada saat ini untuk kawasan ZEE, WCFPC memberlakukan langkah-langkah pengelolaan dan konservasi (CMM, 2008-01) yang membatasi upaya penangkapan tetap stabil pada tingkat upaya yang sama dengan tahun 2004. Selain itu pada tahun 2010-2011, pada periode 1 Juli hingga 30 September tidak diperkenankan untuk menebar/menggunakan alat bantu rumpon, program observer
3 KKP kemungkinan akan mengalokasikan sejumlah dana pada pengelola/dinas di tingkat Provinsi dan Kabupaten. Ketika didapati kasus bahwa dinas Provinsi atau Kabupaten gagal menerapkan strategi pengelolaan yang ditetapkan maka KKP dapat memberi sangsi dengan tidak melakukan penyaluran dana pada dinas-dinas tersebut.
15
harus diberlakukan pada seluruh kapal penangkapan purse seine yang beroperasi di perairan ZEE (persentase cakupan mencapai 100%), dan cakupan program observer yang dilakukan di perikanan rawai/longline yaitu 20%. Terkait tangkapan tuna sirip biru, CCSBT mengharuskan Indonesia untuk mengadopsi TAC (Total Allowable Catch/jumlah tangkapan yang diperbolehkan) untuk membatasi jumlah tangkapan spesies tersebut.
Saat ini belum ada konvensi pengelolaan di Samudera Hindia yang relevan dengan Indonesia, namun diharapkan bahwa di masa yang akan datang sistem kuota nasional dapat diterapkan.
Keikutsertaan dalam proses pelaporan rutin dan penyebaran data, dan mendukung seluruh •kelompok kerja RMFO;
Menerapkan ketetapan RMFO di perairan ZEE dan menyertakan ketetapan tersebut ke dalam •peraturan nasional (misalnya pelarangan penggunaan rumpon selama 3 bulan, menjaga tingkat upaya penangkapan untuk tetap sama dengan level pada tahun 2004);
Mendukung dan melanjutkan penerapan langkah-langkah pengelolaan (CMMs) pada •armada-armada penangkapan domestik yang beroperasi di perairan kepulauan Indonesia4 (moratorium/penangguhan lisensi untuk kapal-kapal penangkapan purse seine dan longline), terutama ketika tingkat interaksi antara kapal-kapal penangkapan tersebut dengan juvenil tuna madidihang dan mata besar diketahui cukup tinggi. Langkah-langkah pencegahan lainnya yang dapat pula diterapkan yaitu peraturan mengenai ukuran mata jaring minimal pada perikanan purse seine (saat ini < 30 mm, bertentangan dengan ukuran yang pada umumnya digunakan oleh perikanan purse seine skala besar yang beroperasi di Samudera Pasifik yaitu 90mm5);
Penerapan tindakan pengelolaan untuk setiap perikanan yang beroperasi di perairan teritori/•pantai ketika interaksi dengan juvenil tuna madidihang dan mata besar diketahui cukup tinggi, misalnya perikanan purse seine, gill net dan ring net yang beroperasi di perairan Samudera Hindia.
Kelompok Kerja KKP (SDI, P4KSI, PUSKITA), KTI, KEMLU, SetKabPrioritas TinggiStatus Sedang dalam prosesKerangka Waktu 1 tahunIndikato Performa MSC Sedang:
3.1.1 Kerangka hukum & adat
1.4 Menetapkan rencana-rencana pengelolaan khusus
UU No. 31 Tahun 2004 menegaskan pentingnya penerapan Rencana Pengelolaan Perikanan, hanya saja UU tersebut tidak secara jelas menyebutkan apakah ketetapan ini hanya untuk perikanan tertentu saja atau secara keseluruhan6. Selain ketetapan internasional dan pentingnya penerapan kebijakan pengelolaan tuna yang koheren, Indonesia belum memiliki rencana pengelolaan yang khusus dirancang untuk perikanan tuna. Dengan demikian serangkaian langkah-langkah pengelolaan dilaksanakan melalui Surat Keputusan, tetapi tanpa diiringi dengan perhatian yang cukup dan tidak ada penilaian yang dilakukan terkait hasil/dampak dari penerapan Surat Keputusan tersebut. Negara-negara kepulauan lainnya seperti Filipina, PNG dan Solomon telah memiliki rencana pengelolaan tuna yang telah berjalan, dan rencana-rencana tersebut sesuai dengan Konvensi WCPO (Western and Central Pasific Ocean) dengan tingkat yang bervariasi.
4 Berdasarkan laporan terakhir (atuna.com, 17 Maret, 2010), moratorium lisensi telah mulai diberlakukan pada perikanan purse seine tetapi belum pada perikanan rawai/longline. 5 Pada ujung jaring (bunt)6 Pada saat ini KKP sedang dalam proses merancang Rencana Pengelolaan untuk perikanan skala kecil yang tersebar di beberapa WPP.
16
Indonesia perlu mengembangkan rencana pengelolaan nasional dan penerapannya terkait target tangkap tuna di berbagai wilayah hukum administrasi dan metode penangkapan.
Rencana pengelolaan tersebut harus memuat tujuan-tujuan jangka pendek yang jelas dan terukur, mencapai hasil perikanan berkelanjutan dan menggabungkan pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan. Berikut ini adalah poin-poin yang harus disertakan di dalam Rencana Pengelolaan:
Definisi tujuan dan hasil;•
Penerapan Konvensi RFMO; •
Penerapan perangkat nasional yang didasarkan pada strategi pemanfaatan yang •ditetapkan;
Penerapan langkah-langkah pengelolaan dan prinsip kehati-hatian, apabila dianggap perlu;•
Mengembangkan langkah-langkah mitigasi tangkapan sampingan ketika diperlukan• 7, di seluruh perikanan tuna yang beroperasi di wilayah perairan Indonesia;
Menerapkan sistem Pemantauan, Pengaturan dan Pengawasan (• Monitoring, Control and Surveillance/MCS) di seluruh perikanan tuna baik yang beroperasi di perairan ZEE, kepulauan dan teritori;
Mengadopsi proses peninjauan ulang (• review) Rencana Pengelolaan (internal dan eksternal).
Kelompok Kerja SDI, P4KSI, PUP, PSDKP, KTI dan asosiasi pihak terkait (ASTUIN, ATLI, DKP Provinsi dan Kabupaten, dll.) dan WWF.
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Tinggi dan sedang:
1.2.1 Strategi pemanfaatan
1.2.2 Peraturan dan perangkat penentuan pemanfaatan
2.1.2 Strategi pengelolaan spesies non target/retained
2.2.2 Strategi pengelolaan ikan umpan
2.3.2 Strategi pengelolaan spesies langka yang dilindungi/ETP
2.4.2 Strategi pengelolaan habitat
2.5.2 Strategi pengelolaan ekosistem
3.1.1 Kerangka hukum & adat
3.2.1 Sistem pengelolaan khusus-pada perikanan tertentu
7 Penilaian resiko akan menentukan jenis perikanan/pengoperasian alat tangkap apa saja yang memerlukan langkah-langkah mitigasi.
Gambar 1 adalah organogram dari struktur pengelolaan tuna yang direkomendasikan dalam workshop FIP perikanan tuna di Bogor pada tanggal 19-21 Oktober 2010 yang lalu. Poin yang ditekankan dalam organogram tersebut yaitu memperkuat peran Komisi Tuna Indonesia (KTI), sebagai organisasi independen yang akan memberikan laporan pada FKPPS. Secara resmi KTI akan melaksanakan tanggung jawab untuk mengawasi perencanaan pengelolaan perikanan dan tindakan-tindakan yang diambil oleh KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten. Komisi Tuna Indonesia harus beranggotakan stakeholder/para pihak terkait utama (sebagaimana dijelaskan dalam Gambar 1). Menteri (diharapkan) yang akan memutuskan dan mengangkat anggota-anggota dari komisi tersebut. Berikut ini adalah usulan untuk komposisi komisi:
Dipimpin oleh seorang ketua yang independen;•
Seorang pengelola perikanan yang memiliki dedikasi tinggi (dari KKP);•
Perwakilan dari Dinas Provinsi (terdiri dari 4 orang yang berasal dari pusat produksi utama •tuna seperti Manado, Kendari, Bali, dst.)
Pemimpin industri yang berasal dari masing-masing subsektor (industri, penangkapan di •kepulauan, perikanan artisanal);
Perwakilan dari perusahaan pembeli dan pengepul utama;•
Dua orang ilmuwan di bidang perikanan (seorang bertanggung jawab untuk wilayah •perairan Samudera Hindia dan seorang lagi Samudera Pasifik);
Seorang ekonom perikanan;•
Spesialis alat tangkap (KAPI)•
Seorang petugas tata-tertib/kepatuhan• (Dirjen PSDKP);
18
LSM yang bergerak di bidang lingkungan, contohnya WWF;•
Lain-lain, yang dianggap tepat (misalnya Perikanan Tangkap • KKP, Sumber Daya IKan KKP, BPSDMKP, PLN, PDN).
Minister
Law 31/ 2004, RFMO CCMs and
National and Regional Decreess
Indonesia Tuna Commission
Minister’s appointed experts
Government: KKP Capture fisheries,
KKP Marine Resources
Surveillance, , P4KSI, BPSDMKP, PLN, PDN), DKP
Province (4 positions for main production areas)
Management Plan Design
Non Government: WWF, ASTUIN,
ATLI, SFP, IMACS, Purse seiners, etc
Tuna fishery manager/ satker
National Plan coordination and
reporting
DG Capture Fisheries
District Fisheries Service
Provincial Fisheries Service
National Fishery Management Plan
implementation
Community Fishing Groups
PSDKP/Joint Tuna Compliance Working Group POKMASWAS Compliance
10-30 GT: Purse Seine, Pole &line, Troll & line, Long
line
> 30 GT: Purse seine, Long line,
Pole & line
Hand-line, Ring net and Gill net (< 10
GT)
Fisheries Managed Effectively
Gambar 4. Usulan organogram untuk pengelolaan perikanan tuna Indonesia, penjelasan struktur pelaporan dan hirarki kelembagaan
Ketua komisi haruslah seorang yang benar-benar independen, tidak memiliki hubungan tertentu dengan para pihak terkait. Ketua harus mampu mempromosikan penerapan rencana pengelolaan
19
secara efektif. Akan lebih baik jika ketua dan anggota komisi yang dipilih dari industri memiliki karisma yang kuat untuk memastikan dukungan industri dalam skala yang lebih luas, meskipun demikian tetap independen dan dapat bekerja berdasarkan persyaratan operasional yang tercantum dalam kerangka acuan FKPPS.
Adapun fungsi komisi yaitu sebagai berikut:
merumuskan Rencana Pengelolaan Perikanan (RPP) Tuna dan mengawasi pelaksanaannya, a) termasuk menetapkan indikator-indikator pengelolaan (kelimpahan stok, jumlah hasil tangkapan per unit usaha/CPUE, indikator-indikator ekonomi) dan merevisi Rencana Pengelolaan ketika dianggap perlu;
mengusulkan langkah-langkah pengelolaan yang memastikan bahwa Rencana Pengelolaan b) dapat terimplementasi secara efektif, dan jika memungkinkan sesuai dengan ketentuan pengelolaan yang ditetapkan RMFO;
melakukan peninjauan ulang (c) review) terhadap rencana pengelolaan berdasarkan hasil penilaian stok dan dampak-dampak ekosistem yang berlangsung;
secara rutin mengumpulkan dan menerima informasi, termasuk pengetahuan lokal serta d) menjelaskan bagaimana informasi tersebut telah digunakan atau digabungkan ke dalam proses pengambilan keputusan;
mendukung penelitian, program pendidikan dan pelatihan yang berhubungan dengan perikanan e) dan pengelolaan perikanan;
menentukan kerangka biaya untuk mendukung penelitian dan pengembangan dana, f) pengeluaran-pengeluaran operasional Komisi dan peninjauan ulang sejawat independen;
mempersiapkan atau mempromosikan kode praktis tentang hal-hal yang berkenaan dengan g) otoritas perikanan dan pihak terkait lainnya.
Frekuensi pertemuan seharusnya dilakukan setiap triwulan, berbeda dengan proses khusus yang berlangsung saat ini.
Berdasarkan persyaratan nasional, sebagaimana telah ditetapkan oleh KTI, FKKPS Provinsi bertugas untuk memastikan bahwa perikanan-perikanan yang berlokasi di daerah dikelola pada tingkat Provinsi dan Kabupaten. Strategi pemanfaatan dan perangkat pengelolaan akan dirumuskan di tingkat nasional, dan tindakan-tindakan serta batasan-batasan yang ditetapkan untuk daerah akan turut dibahas dalam RPP Tuna. Adapun fungsi utama dari Komisi yaitu memastikan penerapan RPP Tuna tersebut.
Harus dipastikan bahwa dalam mengelola spesies dengan tingkat migrasi tinggi seperti tuna, pemerintah di daerah tidak menerapkan peraturan yang bertentangan/bertolak belakang dengan pedoman yang ada di tingkat nasional.
RPP Tuna ditujukan untuk mencapai hasil-hasil yang sesuai dengan tujuan keberlanjutan untuk pengelolaan spesies dan ekosistem pendukung. Rencana tersebut harus:
Menetapkan perikanan dan target tangkap yang tercakup di dalam Rencana;•
Merancang tujuan-tujuan khusus pengelolaan perikanan dan menerapkan strategi-strategi •agar tujuan-tujuan khusus tersebut tercapai;
Mengidentifikasi hal-hal yang dibutuhkan dan penting dalam penelitian, termasuk data hasil/•upaya penangkapan yang akurat;
20
Menetapkan sumber-sumber yang dibutuhkan bagi penerapan rencana;•
Menggambarkan karakteristik biologis, ekonomi dan sosial perikanan;•
Mengidentifikasi dampak atau kemungkinan dampak yang ditimbulkan perikanan terhadap •ekosistem, termasuk dampak terhadap spesies non-target dan sumber daya aquatik lainnya;
Mengidentifikasi faktor-faktor ekologis yang dapat memberikan dampak terhadap kinerja •perikanan;
Menilai resiko-resiko terhadap ekosistem dan menetapkan strategi untuk mengatasi resiko-•resiko tersebut; dan
Merancang metode untuk memantau kinerja perikanan dan efektivitas rencana pengelolaan, •termasuk indikator keberhasilan, poin-poin pemicu untuk menunjang proses peninjauan ulang, penetapan tindakan, dan pelaporan kemajuan.
Kelompok Kerja SDI, DKP Provinsi dan Kabupaten, stakeholder/para pihak terkait, sebagaimana dijelaskan di atas.
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Tinggi
3.2.2 Proses pengambilan keputusan
Sedang
3.1.2 Konsultasi, peran dan tanggung jawab
2.2 Identifikasi tanggung jawab dan peningkatan kapsitas di seluruh lembaga pelaksana
Bentuk-bentuk kegiatan akan dicantumkan secara jelas di dalam RPP Tuna, dimana dalam kegiatan-kegiatan tersebut akan dibutuhkan peran serta dari para pihak terkait. Beberapa permasalahan utama yang perlu diatasi antara lain yaitu:
Unit-unit yang kecil, efisien serta hemat biaya harus dibentuk guna melaksanakan tugas-•tugas tertentu. Unit-unit tersebut akan mencakup seluruh elemen pelayanan publik dan meluas hingga kelompok-kelolpok masyarakat untuk perikanan skala kecil;
Tugas bagi masing-masing kelompok stakeholder akan ditentukan di dalam Kerangka Acuan •Kerja yang jelas;
Staff KKP/DKP dan kelompok pendukung yang beranggotakan pihak terkait/stakeholder •harus memiliki kapasitas yang cukup agar dapat melaksanakan tugas-tugas dengan baik, dan untuk membuktikan hal tersebut perlu dilakukan penilaian serta peningkatan kapasitas;
Duplikasi tugas harus dihindari (misal, penting kiranya untuk menentukan hubungan antara •pemerintahan di tingkat nasional dan provinsi);
Beberapa tugas akan disertai laporan/data/informasi yang harus diserahkan dalam kerangka •waktu tertentu untuk memastikan dukungan yang sesuai bagi kelancaran aktivitas-aktivitas yang telah ditetapkan oleh FKPPS/Komisi;
21
Hambatan-hambatan perlu diidentifikasi dan kendala perlu diselesaikan (misalnya •permasalahan hukum);
Selain fungsi pelaporan pada FKPPS, yang pada akhirnya akan diserahkan kepada Menteri, •tindakan-tindakan harus sesuai dengan Rencana Pengelolaan Perikanan Tuna, tanpa adanya variasi atau referensi untuk campur tangan politik;
Penerapan keputusan pengelolaan oleh otoritas yang ditugaskan;•
Ditetapkannya fungsi-fungsi kepatuhan dan tanggung jawab.•
Dalam situasi ini, tidak perlu dilakukan upaya untuk menemukan kembali arahan dalam pengelolaan. Jenis layanan FKKPS adalah gabungan dari dewan pengelolaan perikanan Australia dan Amerika. Beserta dengan organisasi regional serupa seperti SPC dan FFA, dewan-dewan pengelolaan perikanan tersebut dapat membantu dalam hal pertukaran atau penyediaan dukungan teknis jangka pendek.
Kelompok Kerja SDI, DKP Provinsi dan Kabupaten, stakeholder/para pihak terkait, sebagaimana dijelaskan di atas.
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Tinggi dan Sedang:
3.1.2 Konsultasi, peran dan tanggung jawab
3.2.2 Proses pengambilan keputusan
3.2.5 Pemantauan kinerja pengelolaan
2.2.1 Membentuk Satker8 Pengelolaan Perikanan Tuna
Pengelola perikanan/ketua Satker yang diangkat langsung oleh Dirjen Perikanan Tangkap akan melapor/menyerahkan laporan pada KTI. Adapun tugas-tugas seorang pengelola perikanan yaitu:
Menyiapkan agenda pertemuan; •
Memastikan bahwa laporan utama pihak terkait diserahkan – laporan hasil penilaian stok, •penilaian dampak ekosistem, tindakan-tindakan yang diperlukan terkait ketetapan RMFO, aktivitas dan tindakan Rencana Pengelolaan, tindakan kepatuhan, laporan ekonomi, respon dari industri;
Menginisiasi proses konsultasi, atas permintaan dari KTI;•
Memberikan dukungan teknis kepada otoritas pengelolaan;•
Berperan serta dalam analisis resiko kepatuhan PSDKP;•
Memantau kinerja organisasi-organisasi pengelolaan perikanan – baik di tingkat nasional, •provinsi dan kabupaten;
8 Dalam sistem hirarki KKP, Satker adalah organisasi pengelolaan yang diberikan wewenang untuk menyerahkan laporan.
22
Memantau staff pendukung di dalam Satker;•
Menginformasikan Komisi Internasional/RMFO mengenai langkah-langkah konservasi dan •pengelolaan yang di adopsi di area-area yang berada di bawah kekuasaan hukum/yuridiksi nasional termasuk perairan ZEE, kepulauan dan teritori.
Kelompok Kerja SDI, DKP Provinsi dan Kabupaten, stakeholder/para pihak terkait, sebagaimana dijelaskan di atas.
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Tinggi dan Sedang:
3.1.2 Konsultasi, peran dan tanggung jawab
3.2.2 Proses pengambilan keputusan
3.2.5 Pemantauan kinerja pengelolaan
2.2.2 Memperkuat peran KKP (Nasional), DKP Provinsi dan Kabupaten
Struktur KKP/DKPP/DKPD nasional, provinsi dan kabupaten harus diperkuat dalam melaksanakan peran-peran sebagai berikut:
Memfasilitasi sosialisasi kebijakan nasional melalui surat keputusan daerah;•
Menerapkan perangkat pemanfaatan nasional pada spesies-spesies tertentu dan ikan •umpan, termasuk:
Pengaturan perijinano
Penutupan penangkapan pada area dan musim tertentu o
Peraturan teknis untuk alat tangkap, termasuk peraturan yang membatasi pemasangan o rumpon;
Melakukan sistem pengumpulan data komprehensif di lokasi-lokasi pendaratan tuna yang •dihubungkan dengan:
Armada aktif berdasarkan ukuran kapalo
Laporan buku harian/Logbook yang mencakup data mengenai spesies yang tertangkap, o jumlah hari tangkap (lama di laut), interaksi dengan tangkapan sampingan, tangkapan buangan dan interaksinya dengan penangkapan menggunakan rumpon
Perijinan dan pencatatan mengenai pemasangan rumpon;o
Sampling di pelabuhan, guna memperoleh data mengenai komposisi spesies dan ukuran •(lihat pemaparan pada Sesi 3.2.1);
Melaksanakan proses sosialisasi yang tepat untuk memastikan pemahaman tentang kebijakan •pengelolaan dan sistem yang diterapkan, serta menginformasikan tanggapan pihak terkait kepada KTI;
Berpartisipasi dalam analisis resiko kepatuhan PSDKP;•
23
Menyediakan dukungan bagi organisasi pengelolaan di tingkat yang lebih rendah•
Menyusun laporan kegiatan dan meyerahkannya pada Satker Pengelolaan Perikanan Tuna/•KTI;
Mengevaluasi berbagai perangkat RBM untuk meningkatkan performa ekonomi dasar •perikanan dan memberikan solusi alternatif untuk permasalahan sosial dan budaya yang timbul dari waktu ke waktu.
Kelompok Kerja SDI, DKP Provinsi dan Kabupaten, stakeholder/para pihak terkait, sebagaimana dijelaskan di atas.
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Tinggi
3.2.2 Proses pengambilan keputusan
3.2.5 Pemantauan kinerja pengelolaan
Sedang:
3.1.2 Konsultasi, peran dan tanggung jawab
2.2.3 Memperkuat peran organisasi/komunitas nelayan
DKP Kabupaten adalah unit pemerintahan yang memiliki wewenang untuk mengelola kapal-kapal penangkapan berukuran < 5 m, tetapi berdasarkan catatan CPUE yang ada, jumlah kapal-kapal motor yang beroperasi seringkali ditentukan berdasarkan perkiraan. Elemen penting bagi komunitas pengelola perikanan yang berada di bawah sistem TURFs adalah untuk mencegah eksploitasi berlebih yang dilakukan perikanan-perikanan tersebut. DKP Kabupaten harus mendukung proses TURF dan menyampaikan respon mengenai tingkat partisipasi masyarakat atas penerapan sistem TURF kepada pengelola di level yang lebih tinggi. Selain itu, DKP pun perlu melengkapi sistem pengelolaan yang ditujukan untuk mendisiplinkan masyarakat perikanan dengan menetapkan sistem lisensi/proses pemberian ijin yang ketat kepada pedagang, contohnya dengan memastikan bahwa para pedagang membeli berdasarkan standar yang telah disepakati. Adapun beberapa persyaratan di dalam standar tersebut antara lain yaitu:
Membatasi pemasangan rumpon, terkait dengan bukti ilmiah;•
Ketika dianggap perlu/sesuai, menerapkan peraturan pembatasan jumlah tangkapan •sampingan, misalnya dengan mengembalikan spesies langka yang dilindungi kembali ke habitatnya dengan selamat;
Pengelolaan perikanan ikan umpan (terlokalisir) hingga pada tingkat yang berkelanjutan.•
DKP sebagai organisasi pemerintahan di tingkat daerah diharapkan dapat memberikan dukungan terhadap pengembangan organisasi-organisasi pengelolaan yang digerakan langsung oleh masyarakat. Dalam mengembangkan organisasi-organisasi masyarakat tersebut DKP dapat bermitra dengan LSM.
24
Pentingnya organisasi pengelolaan masyarakat adalah terkait alokasi TURF, dengan berdirinya organisasi-organisasi pengelolaan masyarakat proses alokasi TURF tidak lagi bersifat memaksa tetapi lebih kepada menciptakan lingkungan yang mendukung perubahan sistem pengelolaan ke arah yang lebih baik. Prospek mengenai partisipasi masyarakat di tingkat propinsi patut diuji. DKP/LSM/BRPL/Kelompok masyarakat memiliki tugas untuk:
Menetapkan struktur komunitas yang konsultatif;•
Menegaskan tujuan dan strategi;•
Menentukan area TURF;•
Menguraikan kebijakan-kebijakan pengelolaan secara jelas untuk mendukung sistem •TURF;
Menetapkan struktur pendukung dan peran pendampingan untuk memfasilitasi pengembangan •organisasi-organisasi masyarakat;Mengembangkan proses yang sesuai dengan budaya setempat dan menciptakan sebuah •struktur dukungan masyarakat untuk memfasilitasi penerapan TURFs (Dewan Penasihat Perikanan di tingkat desa), dan menentukan tindakan yang akan dilakukan oleh masyarakat (termasuk tindakan kepatuhan) dan mendukung fungsi-fungsi yang disyaratkan oleh otoritas di level yang lebih tinggi;
Menetapkan rencana-rencana pengelolaan yang dihubungkan dengan stok target dan •pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan melalui kelompok-kelompok masyarakat yang difasilitasi oleh pembimbing;
Memastikan keberlanjutan komitmen masyarakat terhadap penerapan sistem TURF – •kontak rutin antar komunitas dan petugas penyuluh, pertukaran informasi antar komunitas, pembahasan ulang mengenai struktur pengelolaan perikanan;
Menentukan tindakan penelitian yang dibutuhkan untuk memenuhi persyaratan mengenai •data konservasi dan pengelolaan;
Memastikan peran serta para pihak terkait lainnya – pedagang, DKP Kabupaten dan •kelompok-kelompok lingkungan;
Membangun komunikasi dengan kelompok-kelompok masyarakat lainnya.•
Kelompok Kerja SDI, DKP Provinsi dan Kabupaten, Masyarakat, Pengolah dan Pengepul, LSM
Prioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu 1-3 tahunIndikator Performa MSC 3.1.2 Konsultasi, peran dan tanggung jawab
3.2.2 Proses pengambilan keputusan
3.2.5 Pemantauan kinerja pengelolaan
3. KEGIATAN PENELITIAN
25
3.1 Meningkatkan kapasitas manusia dan kelembagaan dalam proses penilaian stok di Indonesia
Pembentukan dan dukungan yang berkelanjutan bagi pusat-pusat penelitian perikanan tuna di Benoa dan Bitung merupakan bagian penting dalam proses peningkatan kapasitas dalam rangka mengumpulkan, menyusun dan menganalisa data perikanan tuna Indonesia.
Agar dapat berpartisipasi dan memberikan kontribusi yang efektif terhadap proses penilaian stok regional, dibutuhkan peningkatan kapasitas di tingkat nasional, baik melalui pelatihan formal, termasuk mendorong para sarjana muda untuk ikut dalam program pelatihan dan meminta bantuan serta arahan dari RMFO dan lembaga-lembaga penelitian. Para ilmuwan Indonesia pun harus berperan serta penuh dalam proses penilaian stok regional dan hadir dalam pertemuan komite ilmiah. Terkait dengan peran serta tersebut, laporan tahunan pada RMFO pun harus ditingkatkan, sesuai dengan format yang telah disepakati untuk komite-komite WCPFC (SC dan TCC).
Struktur spasial dalam proses penilaian stok memberikan pemahaman mengenai dinamika stok pada skala sub-regional dan menginformasikan strategi-strategi pengelolaan nasional. Proses tagging/penandaan yang diujicobakan dapat menghasilkan perkiraan sementara mengenai tingkat eksploitasi dan menambah pemahaman mengenai dinamika stok dalam skala tertentu.
Pemerintah Indonesia harus bersedia untuk mengalokasikan lebih banyak dana dalam rangka membiayai proses pemberdayaan/peningkatan kapasitas di berbagai level yang dibutuhkan, misalnya pendanaan untuk pusat-pusat penelitian serta program-program pelatihan. Biaya yang dikeluarkan untuk upaya tersebut relatif kecil jika dibandingkan dengan nilai ekonomi yang dihasilkan sektor perikanan tuna. Selain itu, mengakses dukungan kelembagaan dari pusat-pusat regional lainnya, CSIRO, SPC dan menarik minat para donor internasional9 dapat dijadikan salah satu langkah dalam upaya peningkatan kapasitas.
Kelompok Kerja P4KSI, BRPL, KOMNAS KAJISKAN,BPSDMPrioritas SedangStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 3 tahun (pengembangan) dan pelaksanaanIndikator Performa MSC 1.2.4 Kapasitas penelitian
3.2 Mengisi kekosongan/kekurangan data
Pengumpulan data hasil tangkapan dan pendaratan perikanan tuna Indonesia pada dasarnya dilakukan di tingkat provinsi oleh kementerian nasional dan dinas provinsi yang berbasis di lokasi-lokasi pendaratan utama, di bawah koordinasi Dirjen Perikanan Tangkap dan DKP Kabupaten. Data yang berhasil dikumpulkan kemungkinan masih belum sempurna dan hanya didasarkan pada perkiraan. Data tersebut kemudian diserahkan pada otoritas provinsi dan nasional dan disusun berdasarkan WPP. Beberapa data perikanan tuna bahkan dikumpulkan di seluruh tingkat pemerintahan, tetapi dengan luas cakupan dan tingkat ketelitian yang bervariasi. Perkiraan jumlah
9 Rencana Kerja Regional untuk peningkatan Pengelolaan Perikanan se-Asia Tenggara yang ada pada saat ini memiliki tujuan utama “Peningkatan kemampuan dan kapasitas analitis ilmiah dalam pengumpulan informasi” sebagai kegiatan inti bagi negara-negara terkait termasuk Indonesia.
26
hasil tangkapan yang ada pada saat ini diangggap tidak lengkap dan tidak jelas, seringkali terdapat kekurangan informasi mengenai hasil tangkapan per spesies (proses identifikasi spesies seringkali tidak menentu atau spesies seringkali digabungkan dalam kelompok), per alat tangkap (data yang terkumpul hanya diperoleh dari beberapa provinsi) komposisi ukuran tangkapan (data terakhir yang dilengkapi komposisi ukuran hanya terdapat di dua pelabuhan), dan tingkat operasional data (catatan harian/logbook – sosialisasi terakhir hanya baru dilakukan pada perikanan dan pelabuhan tertentu). Kurangnya data per spesies tidak hanya berlaku pada target tangkap tetapi juga pada spesies non-target, tangkapan sampingan dan spesies langka yang dilindungi. Selain itu, terdapat pula kesenjangan signifikan dalam pengetahuan parameter biologis stok tuna sepeti pertumbuhan, reproduksi, kematian alami dll., dimana pengetahuan parameter biologis tersebut sangat dibutuhkan dalam proses penilaian stok.
3.2.1 Kelimpahan stok
Sistem pengumpulan dan penyusunan data yang ada pada saat ini baik di semua tingkatan (kabupaten, provinsi, pelabuhan perikanan utama dan nasional) harus ditingkatkan, sehingga data hasil tangkapan komprehensif dapat dikumpulkan berdasarkan format standar dan menghasilkan perkiraan hasil tangkapan per-tahun yang akurat, serta data per alat tangkap dan spesies dapat terkumpul setidaknya untuk spesies target dan non-target.
Program sampling dalam rangka memperoleh data komposisi dan ukuran spesies target maupun spesies non-target dari masing-masing perikanan harus diberlakukan di pelabuhan-pelabuhan utama perikanan tuna.
3.2.2 Komposisi armada
Profil sejumlah kapal-kapal motor yang beroperasi, dikelompokkan berdasarkan jenis alat tangkap harus dikumpulkan di tiap-tiap lokasi utama pendaratan tuna, data tersebut dapat digunakan untuk melengkapi penyusunan perkiraan jumlah hasil tangkapan per tahun.
Data hasil tangkapan dan produksi dari pihak industri pun harus dikumpulkan (misalnya pabrik pengalengan/loining, titik-titik pendaratan di luar pelabuhan resmi, pedagang, gudang penyimpanan, dll.) untuk melengkapi dan memperkuat data hasil tangkapan yang dikumpulkan DKP.
3.2.3 Produktivitas stok
Untuk memperoleh informasi mengenai trend laju tangkap atau indeks kelimpahan stok, data hasil tangkapan per unit usaha harus dikumpulkan melalui penerapan program logbook/catatan hasil tangkapan di sebagian besar pelabuhan dan perikanan sebagaimana yang ditetapkan dalam peraturan yang berlaku pada saat ini. Program pengolahan database yang tepat (misalnya SPC Tufman database) perlu diperkenalkan, dengan disertai pelatihan operasional dan pemeliharaan.
3.2.4 Struktur stok
Dikarenakan target tangkap/tuna merupakan spesies dengan tingkat migrasi tinggi, maka skala struktur stok tuna tidak terbatas pada WPP tetapi mencakup skala internasional. Perairan Indonesia dikenal sebagai area pemijahan dan pembesaran bagi spesies tuna besar Samudera Pasifik Barat dan Tengah, khususnya tuna madidihang dan mata besar.
Informasi struktur stok yang diperoleh melalui program tagging/penandaan dan studi-studi lainnya harus pula diterapkan pada perikanan tuna Indonesia, beserta inisiatif pengelolaan dan pelaporan hasil tangkapan yang tidak hanya diberlakukan di WPP tetapi seluruh perairan Samudera Pasifik dan Hindia yang masuk ke dalam wilayah hukum Indonesia termasuk perairan kepulauan.
27
Kelompok Kerja P4KSI, BRPL, SDI, industri (langsung dan melalui asosiasi industri)
Prioritas TinggiStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 3 tahun (pengembangan) dan pelaksanaanIndikator Performa MSC Tinggi:
1.2.3 Informasi/pemantauan
3.3 Memperkuat proses penilaian stok dan menetapkan Poin Acuan Target dan Poin Acuan Batas untuk sepsies-spesies tertentu (turut mencakup spesies non-target)
Hingga saat ini belum ada proses penilaian stok untuk spesies target maupun non-target yang telah berjalan. Selain itu, Indonesia pun belum memiliki poin-poin acuan target dan batas untuk tangkapan tuna meskipun beberapa batasan biologis telah ditetapkan. Pada level RMFO (WCPFC, IOTC), proses penilaian stok telah tersedia untuk hampir seluruh spesies target (tetapi tidak semua). Poin Acuan Target (TRPs) dan Poin Acuan Batas resmi belum digunakan oleh RMFO, meskipun demikian poin acuan pengganti telah tersedia.
3.3.1 Penilaian stok
Proses penilaian stok bagi spesies target dengan tingkat migrasi tinggi (P1) perlu diterapkan pada seluruh kisaran stok, misalnya dalam kisaran Samudera Pasifik Barat dan Tengah, tidak hanya dilakukan dalam tingkat nasional. Tidak lengkapnya data perikanan yang dimiliki Indonesia baik di tingkat Nasional, Provinsi dan Kabupaten menjadi sumber utama ketidakpastian dalam proses penilaian stok tuna regional. Oleh karena itu, perbaikan data dari seluruh perikanan tuna Indonesia, sebagaimana ditekankan pada Tindakan 3.1 harus disediakan untuk RFMO, sebagai kontribusi penting dalam proses penilaian stok regional. Salah satu komponen penting dalam upaya ini antara lain dengan melakukan rekonstruksi terhadap data historis perikanan.
3.3.2 Penetapan poin-poin acuan
Penetapan poin acuan nasional yang sesuai dengan UNSFA dan persyaratan MSC harus menjadi prioritas utama dan diharapkan selesai dalam kurun waktu 2 tahun, untuk kemudian digabungkan ke dalam RPP Tuna. Ketika poin acuan RFMO telah diadopsi, maka poin acuan tersebut dapat dimodifikasi dan diterapkan pada level nasional. Poin acuan berbasis biomas misalnya 0.5 BMSY = 0.2B0 dapat digunakan sebagai poin acuan batas (LRP) dan BMSY= 0.4B0 dapat digunakan sebagai poin acuan target (TRP).
Indonesia selanjutnya harus mendukung penetapan LRP/TRP pada pertemuan WCPFC (SDI).
Kelompok Kerja P4KSI, BRPL, KOMNAS KAJISKAN, SDIPrioritas Tinggi Status Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 2 tahun dan sudah berjalanIndikator Performa MSC Status stok1.1.1
Poin-poin acuan batas 1.1.2
1.2.4 Penelitian dan penilaian terhadap status stok
28
3.4 dan 3.5: Diadopsinya strategi pengaturan pemanfaatan dan ditetapkannya peraturan serta perangkat pemanfaatan
Strategi, peraturan dan perangkat pemanfaatan harus disertakan ke dalam RPP Tuna (1.4). Strategi pemanfaatan menetapkan aturan jelas yang menghubungkan langkah-langkah pengelolaan dengan Poin Acuan Batas dan Poin Acuan Target. Sedangkan perangkat pemanfaatan merupakan langkah-langkah pengelolaan yang diperlukan, dan akan selalu disesuaikan berdasarkan perubahan pada status stok.
Kelompok Kerja SDI, FKPPS, KTIPrioritas TinggiStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 2 tahun dan sudah berjalanIndikator Performa MSC Tinggi
1.2.1 Strategi pemanfaatan
1.2.2 Peraturan dan perangkat pemanfaatan
3.2.1 Rencana Pengelolaan
3.6 Pengumpulan data tangkapan sampingan
Pada saat ini informasi akurat mengenai jumlah total penangkapan (fishery removals) yang terdiri dari spesies target, spesies non-target, tangkapan sampingan, spesies langka yang dilindungi dan tangkapan yang dibuang/dikembalikan ke laut dan tidak didaratkan belum tersedia. Komposisi hasil tangkapan pada tiap-tiap perikanan, terutama tangkapan sampingan tidak diketahui secara pasti. Tingkat pemasangan rumpon dan interaksi rumpon-rumpon tersebut dengan beberapa perikanan atau berbagai spesies tidak terlalu dipahami, dan status stok ikan umpan yang ditangkap untuk mendukung operasi penangkapan perikanan pole-and-line, longline dan handline tidak diketahui.
3.6.1 Peninjauan informasi yang tersedia
Seluruh informasi yang tersedia mengenai spesies non-target/tangkapan sampingan (hiu, yang tidak dikategorikan sebagai spesies langka yang dilindungi), marlin, spesies-spesies pelagis lainnya, spesies langka yang dilindungi (mamalia laut, penyu, burung laut) dan spesies ikan umpan harus dikumpulkan dan ditinjau ulang untuk mengidentifikasi kekosongan/kekurangan data yang diperlukan/penting untuk proses penilaian resiko/pendekatan ekosistem untuk pengelolaan perikanan (EAFM), serta untuk menentukan apakah strategi-strategi pengelolaan perlu diterapkan pada perikanan atau spesies tertentu (lihat pembahasan pada Sesi 3.4).
3.6.2 Program observer
Informasi mengenai komponen-komponen ekosistem diluar spesies target biasanya dikumpulkan melalui program observer. Pertama-tama program observer tersebut harus dilakukan di seluruh perikanan tuna (utama) untuk menandai seluruh aspek operasional dan hasil tangkapan dari masing-masing perikanan, serta mengindentifikasi kemungkinan terjadinya interaksi antara perikanan dan spesies. Program observer sebaiknya dibuat berdasarkan pengalaman program observer sebelumnya pada perikanan rawai/longline Indonesia yang diprakarsai oleh WWF dan P4KSI/ACIAR, dan jika memungkinkan menggali beberapa komponen program observer WCPFC. Pada mulanya program tersebut akan dirancang sebagai program observer ilmiah (bukan kepatuhan), yang kemungkinan akan menyertakan proses pengumpulan sampel biologis termasuk materi untuk studi/pemodelan ekosistem. Dengan melihat sumber daya dan tenaga yang ada maka perlu dilakukan peningkatan, tetapi sebagai tahap awal, cakupan program observer diharapkan meliputi 20% perikanan purse seine10 yang beroperasi di perairan ZEE, 10% perikanan gillnet dan longline dan 5-10% perikanan 10 Untuk langkah awal, kemungkinan di atas ukuran tertentu seperti 250 GT.
29
lainnya seperti pole-and-line, troll-and-line dan handline.
Program pelatihan terkoordinasi bagi para observer perlu dilaksanakan, dan untuk penyelenggraan program pelatihan tersebut maka perlu disusun modul pelatihan dan dibutuhkan dukungan dana dari industri, LSM dan Pemerintah.
Ketika kondisi ekologis dengan resiko tinggi telah teridentifikasi maka program observer harus terus dilanjutkan dalam rangka mendukung sosialisasi strategi pengelolaan dan memastikan kepatuhan terhadap strategi tersebut.
Ringkasan kegiatan (Concept notes) untuk program observer pada perikanan tuna Indonesia dapat dilihat pada Lampiran 3.
3.6.3 Pengelolaan rumpon
Luas wilayah pemasangan rumpon perlu dibatasi, dan idealnya berdasarkan geographic information system (GIS), meskipun pada prakteknya akan melibatkan dokumentasi perijinan/persetujuan di tingkat provinsi dan kabupaten mengenai penentuan jarak dari pantai (pesisir/territorial), dan tingkat nasional untuk perairan ZEE/kepulauan. Digabungkan dengan upaya untuk menghitung/mengukur hasil tangkapan yang diperoleh di sekitar rumpon (berdasarkan volume, jenis/spesies, komposisi ukuran dan sejauh mana tingkat ketergantungan terhadap alat bantu rumpon) pembatasan wilayah penebaran rumpon dapat dijadikan dasar dalam menerapkan langkah-langkah pembatasan penggunaan rumpon atau Rencana Pengelolaan rumpon yang kemudian digabungkan ke dalam usulan RPP Tuna.
3.6.4 Pengelolaan ikan umpan
Lakukan pengkajian seluruh data yang tersedia mengenai penggunaan ikan umpan pada operasi penangkapan tuna yaitu pada perikanan pole-and-line, longline dan handline, khususnya di Indonesian dan negara-negara tetangga (PNG, negara-negara di kepulauan Solomon). Dengan keterlibatan para pihak terkait di masing-masing wilayah, kemudian disusun rencana pengelolaan ikan umpan atau panduan mengenai pembatasan jumlah hasil tangkapan ikan umpan yang dapat diterapkan di tingkat kabupaten/provinsi.
3.6.5 Model ekosistem
Perlu dilakukan model dampak yang diakibatkan oleh hilangnya perikanan ini (fishery removals) terhadap ekosistem dengan menggunakan model-model yang dikembangkan oleh RMFO (misalnya SPC). Pemodelan data intensif telah mulai diterapkan di wilayah timur Indonesia (Sunda/Landas benua Sahul), akan tetapi agar proses penilaian ekosistem di Samudera Pasifik dapat berjalan dengan lebih efektif maka dibutuhkan kumpulan data trophik tambahan dan sampel biologis, dan diperlukan usaha pengumpulan data yang lebih keras untuk melakukan upaya pemodelan serupa di perairan Samudera Hindia.
Kelompok Kerja P4KSI, BRPL, SDI, industri, WWF/LSM, Universitas, SPCPrioritas SedangStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 1 tahun (pengembangan), penerapan (tahun ke-2) berlangsung
dimana resiko diketahui tinggi
30
Indikator Performa MSC Sedang:
2.1.3 Informasi spesies non-target/retained
2.2.3 Informasi ikan umpan
2.3.3 Informasi spesies langka yang dilindungi/ETP
2.4.3 Informasi habitat
2.5.3 Informasi ekosistem
3.7 Peningkatan pengelolaan berbasis ekosistem
Kerangka penilaian berbasis resiko (risk-based assessment/RBA) untuk spesies non-target, spesies langka yang dilindungi, spesies ikan umpan serta dampak-dampak terhadap habitat masih perlu disempurnakan. Upaya perbaikan ini pun perlu ditindak lanjuti dengan peninjauan ulang data sebagaimana diuraikan di atas (3.3), dan untuk langkah antisipasi ketika data yang tersedia tidak memadai maka metode yang akan digunakan adalah SICA (Scale Intensity Consequence Analysis/Analisis Skala, Intensitas dan Akibat – analisis kualitatif, yang memerlukan informasi dari para pihak terkait) dan PSA (Productivity-Susceptibility Analysis/Analisis Produktivitas dan Kerentanan – analisis semi kuantitatif).
Melalui pelaksanaan penilaian berbasis resiko, dampak-dampak ekologis yang diakibatkan interaksi spesies/perikanan dan beragamnya tingkat resiko pada tiap-tiap spesies dan perikanan akan teridentifikasi. Selain itu, batasan-batasan nasional untuk spesies langka yang dilindungi (serta interaksi lainnya) dapat dikembangkan dan diterapkan (lihat pembahasan pada Sesi 3.3 mengenai fungsi program observer yaitu menjelaskan aspek-aspek operasional dalam perikanan tuna). Proses analisa tersebut akan memanfaatkan data yang diperoleh dari literatur (lihat 3.3) dan pengalaman dengan spesies yang sama atau serupa di Samudera Pasifik Barat dan Tengah serta Samudera Hindia.
Persyaratan-persyaratan utama/komponen-komponen yang disertakan dalam proses identifikasi dengan menggunakan metode SICA11:
Resiko-resiko yang muncul, dalam hal ini terkait aktivitas penangkapan;•
Skala spasial perikanan, misalnya persentase kisaran stok yang saling tumpang tindih dengan •aktivitas penangkapan;
Skala temporal, lamanya aktivitas penangkapan dimana interaksi antara spesies dan alat •tangkap akan berlangsung’
Tingkat intensitas penangkapan, mengidentifikasi dampak-dampak langsung dan •mengklasifikasikannya ke dalam dampak yang tidak berarti, dampak minor, dampak sedang, dampak besar, dampak yang berakibat fatal atau dampak yang mengarah pada bencana;
Konsekwensi yang ditimbulkan aktivitas penangkapan baik pada ukuran populasi maupun •kapasitas reproduksi.
Persyaratan-persyaratan utama/komponen-komponen yang disertakan dalam proses identifikasi dengan menggunakan metode PSA:
11 Lihat dokumen MSC FAM versi 2, hal. 86-106
31
Rata-rata usia pada saat matang •
Rata-rata ukuran pada saat matang •
Rata-rata usia maksimal•
Rata-rata ukuran maksimal •
Kematangan gonad•
Level trophik•
Kapasitas reproduksi •
Tumpang tindih antara perikanan dengan distribusi spesies (ketersediaan)•
Interaksi spesies dengan pengoperasian jenis alat tangkap tertentu (interaksi)•
Selektivitas alat tangkap•
Tingkat kematian paska tangkap untuk spesies tangkapan sampingan dan ETP•
Peningkatan kapasitas
Dalam upaya peningkatan kapasitas maka perlu dilaksanakan program pelatihan bagi para ilmuwan, dinas-dinas terkait, universitas dan LSM mengenai metode-metode penilaian dan penerapan EAFM pada perikanan tuna Indonesia. Selain itu upaya peningkatan kapasitas pun membutuhkan dukungan dana dan perluasan jaringan dengan badan-badan penelitian di luar negeri dan juga LSM. Masukan-masukan dari pihak industri harus turut disertakan dalam program pelatihan/workshop tersebut. Beberapa program pelatihan mengenai penilaian resiko telah mulai dilaksanakan dengan mengundang para pembicara dari CSIRO dan diikuti oleh para peneliti/ilmuwan/akademisi dari BRPL, selanjutnya BRPL dapat melaksanakan pelatihan terkait.
Kelompok Kerja P4KSI, BRPL, SDI, PSDKP, WWF/NGO, Universitas, keterlibatan multi-stakeholder, RFMOs, lembaga penelitian eksternal
Prioritas SedangStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 1 tahun (pengembangan), penerapan (tahun ke-2) berlangsung
dimana resiko diketahui tinggi
32
Indikator Performa MSC Sedang:
2.1.1 Penilaian spesies non-target/retained species
2.1.2 Pengelolaan spesies non-target
2.1.3 Informasi spesies non-target
2.2.1 Penilaian ikan umpan
2.2.2 Pengelolaan spesies ikan umpan
2.2.3 Informasi spesies ikan umpan
2.3.1 Penilaian spesies langka yang dilindungi/ETP species
2.3.2 Pengelolaan sepsies langka yang dilindungi
2.3.3 Informasi spesies langka yang dilindungi
2.4.1 Penilaian habitat
2.4.2 Pengelolaan habitat
2.4.3 Informasi habitat
2.5.1 Penilaian ekosistem
2.5.2 Pengelolaan ekosistem
2.5.3 Informasi ekosistem
3.8 Menetapkan/memastikan kembali batasan nasional terkait interaksi dengan spesies langka yang dilindungi/ETP
Indonesia telah mengadopsi serangkaian langkah-langkah untuk melindungi penyu, dan pada umumnya tingkat interaksi alat tangkap dengan penyu pada perikanan tuna dinyatakan relatif rendah. Selain itu, Indonesia pun menerapkan Rencana Kerja Nasional yang ditujukan untuk mengurangi jumlah tangkapan burung laut pada perikanan longline, dan Rencana Kerja Nasional terkait pengelolaan dan konservasi hiu yang baru-baru ini telah selesai disusun. Adapun interaksi dengan mamalia laut secara umum tidak dirasakan sebagai permasalahan yang berarti. Meskipun demikian, hasil program observer harus digunakan untuk menilai ulang Rencana Kerja Nasional mengenai resiko-resiko yang ditimbulkan perikanan terhadap seluruh spesies terkait (mamalia laut dan spesies langka yang dilindungi lainnya).
Kelompok Kerja SDI, FKPPS, KTIPrioritas SedangStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 1 tahun (pengembangan), penerapan (tahun ke-2) berlangsung
dimana resiko diketahui tinggi
33
Indikator Performa MSC Sedang:
2.1.2 Pengelolaan spesies non-target
2.2.2 Pengelolaan spesies ikan umpan
2.3.2 Pengelolaan spesies langka yang dilindungi
2.4.2 Pengelolaan habitat
2.5.2 Pengelolaan ekosistem
3.9 Disusunnya strategi mitigasi tangkapan sampingan dan diterapkan melalui rencana pengelolaan
Ketika tingkat resiko diketahui tinggi, maka strategi komprehensif perlu dikembangkan untuk mengelola dan mencegah resiko-resiko yang berdampak terhadap kelestarian ekosistem, dengan melibatkan seluruh pihak terkait baik dalam pengembangan maupun penerapan sistem pengelolaan tersebut.
Penerapan strategi pengelolaan perlu dipantau, dan keberhasilan setiap tindakan mitigasi dinilai secara berkala. Langkah pengelolaan dan mitigasi harus digabungkan ke dalam strategi, dimana strategi tersebut akan berbeda untuk setiap perikanan dan kemungkinan akan mencakup, antara lain:
Penutupan area penangkapan pada musim-musim tertentu; •
Modifikasi alat tangkap untuk meminimalisir interaksi dengan juvenil tuna dan spesies lainnya •yang sedang berada dalam status resiko tinggi, misalnya perubahan pada jenis mata pancing, ukuran minimal mata jaring, besar maksimal alat tangkap, dan lain-lain;
Membatasi pemasangan rumpon – jarak minimal, daerah-daerah yang dilarang/zona •eksklusif, pembatasan armada, dan seterusnya;
Pembatasan jumlah tangkapan spesies non-target;•
Kebijakan retensi untuk tangkapan sampingan (jika memungkinkan). •
Langkah-langkah di atas akan digabungkan ke dalam RPP Tuna.
Kelompok Kerja SDI, FKPPS, KTIPrioritas SedangStatus BaruKerangka Waktu 1 tahun (pengembangan), penerapan (tahun ke-2) berlangsung
dimana resiko diketahui tinggiIndikator Performa MSC Sedang:
2.1.2 Pengelolaan spesies non-target
2.2.2 Pengelolaan spesies ikan umpan
2.3.2 Pengelolaan spesies langka yang dilindungi
2.4.2 Pengelolaan habitat
2.5.2 Pengelolaan ekosistem
34
3.10 Rencana Penelitian yang meliputi peningkatan kapasitas dalam menilai stok, EAFM, model ekosistem dan mengatasi permasalahan kekosongan informasi
Sebuah rencana penelitian perlu disusun untuk menghasilkan pendekatan koheren dan strategis demi kebutuhan penelitian dan pemerolehan informasi baik di tingkat nasional, provinsi dan kabupaten dalam waktu yang singkat dan tepat.
Rencana penelitian terpadu harus turut mempertimbangkan persyaratan serta kebijakan nasional maupun internasional dan didukung dana memadai yang diperoleh dari industri, pemerintah dan donor.
Dengan didukung komitmen yang kuat dalam upaya pengumpulan data dan mengisi kekosongan dalam pengetahuan yang ada, komponen-komponen yang harus termuat dalam rencana penelitian antara lain yaitu:
Pengumpulan informasi, mengkaji dan menafsirkan informasi yang ada untuk mengetahui •kekosongan data dan sebagai panduan dalam perencanaan penelitian;
Menitikberatkan secara taktis pada spesies kritis dan spesies non-target, menyadari bahwa •pada saat ini perhatian pada sifat alami stok yaitu dengan tingkat migrasi tinggi masih kurang;
Porses penilaian resiko secara komprehensif, dengan menitikberatkan pada spesies non-•target/tangkapan sampingan dan spesies langka yang dilindungi;
Penerapan model ekosistem;•
Peningkatan kapasitas untuk menunjang pelaksanaan kegiatan;•
Meningkatkan kesadaran akan pentingnya penelitian, hasil yang diperoleh dan penerapannya •di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional;
Mengkaji dan menilai rencana penelitian secara berkala (termasuk dilakukan proses •peninjauan ulang eksternal).
Kelompok Kerja P4KSI, BRPL, SDI, Sekolah dan universitas perikanan setempat, RFMOs, lembaga penelitian eksternal
Prioritas SedangStatus Perpanjangan dari aktivitas yang sudah berlangsungKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Sedang:
Sistem penegakan hukum di Indonesia telah ditingkatkan melalui penyediaan pelatihan bagi petugas PSDKP, penguatan sistem hukuman dan penerapan VMS untuk kapal-kapal motor berukuran > 100 GT. Akan tetapi tingkat kepatuhan untuk sektor perikanan tuna tampaknya belum pernah diuji dan terdapat laporan yang menyatakan bahwa terdapat pemasangan rumpon-rumpon tanpa lisensi dalam skala yang besar.
4.1 Analisis resiko untuk mengetahui area-area utama terjadinya pelanggaran dan menentukan tidakan korektif yang tepat
Bersama dengan lembaga dan organisasi terkait lainnya (TNI AU, Polisi Laut, KKP, DKP, DKPD dan kelompok masyarakat), PSDKP harus mengkategorisasikan bentuk-bentuk pelanggaran berdasarkan tingkat keseriusannya dan menjelaskan kapasitas PSDKP dalam menindak bentuk-bentuk pelanggaran serta melaksanakan analisis resiko terkait penanganan terhadap pelanggaran-pelanggaran tersebut. Resiko-resiko utama dibagi ke dalam tiga bagian: resiko strategis, resiko spesifik, kemungkinan dan kensekwensi serta nilai/rating resiko dan tingkat kepatuhan dengan standar MSC, serta mekanisme untuk peningkatan tindakan.
Upaya peningkatan penegakan perangkat dan peraturan akan mencakup beberapa komponen berikut ini:
Sistem pemberian ijin untuk kapal-kapal motor, catatan hasil tangkapan/• log book dan sertifikat hasil tangkapan, serta ijin penangkapan;
Langkah-langkah terkait penggunaan rumpon – pembatasan jumlah rumpon berlisensi untuk •tiap-tiap kapal motor dan periode waktu larangan penangkapan di sekitar rumpon;
Ukuran minimal mata jaring dan modifikasi alat tangkap (membatasi penggunaan • J-hook dan menganjurkan penggunaan circle hook sebagai mata pancing ramah lingkungan);
Penutupan area penangkapan pada musim-musim tertentu; •
Retensi tangkapan sampingan dan pembatasan pengambilan sirip hiu misalnya peraturan •retensi/untuk membawa serta tubuh ikan hiu dan penentuan sirip hiu sekian % dari keseluruhan berat hiu yang didaratkan;
Rencana pengelolaan ikan umpan;•
Program penutupan area penangkapan pada musim-musim tertentu dipantau secara •berkala;
Partisipasi aktif dari masyarakat dalam upaya pemantauan wilayah-wilayah tertentu, area •yang dibebaskan dari aktivitas penangkapan dan lokasi pengoperasian alat tangkap.
Dalam menerapkan langkah-langkah tersebut di atas, jumlah aparat yang bertugas dapat ditingkatkan.
Kelompok Kerja PSDKP, DKP Provinsi dan Kabupaten /POKMASWASPrioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu Beroperasi selama 12 bulan dan akan terus berlanjutIndikator Performa MSC Prioritas tinggi
3.2.3. Ketaatan dan Penegakan
37
4.2 Meninjau ulang peraturan hukum dan sangsi-sangsi terhadap pelanggaran
Berdasarkan perangkat pengelolaan, Kebijakan-Kebijakan Nasional perlu disosialisasikan pada unit-unit pengelolaan di tingkat provinsi dan kabupaten. Serangkaian pembatasan dan penentuan denda yang harus diperbaharui dalam sistem perundang-undangan diantaranya mencakup:
Operasi penangkapan yang tidak dilengkapi surat ijin (sebagai mekanisme untuk meredam/•menghentikan tindakan serupa);
Perikanan yang mengoperasikan bentuk/ukuran alat tangkap yang tidak sesuai dengan •peraturan yang berlaku;
Operasi penangkapan yang dilakukan di area atau musim larangan bagi aktivitas •penangkapan.
Potensi-potensi pelanggaran sebagaimana diuraikan di atas harus ditindaklanjuti dengan pemberian hukuman, dan berakhir dengan pencabutan ijin (untuk jenis pelanggaran berulang). Operasi penangkapan yang tanpa dilengkapi surat ijin akan berujung pada penyitaan kapal, alat tangkap atau pemberian hukuman berat. Penetapan hukuman harus turut mempertimbangkan penilaian resiko, semakin tinggi tingkat resiko yang diakibatkan pelanggaran tersebut maka hukuman yang diberikan pun harus semakin berat.
Kelompok Kerja PSDKP, DKP Provinsi dan KabupatenPrioritas Tinngi (dan prioritas lebih rendah misalnya untuk beberapa permasalahan
terkait ekosistem) Status Jadwal hukuman baru untuk perairan ZEE, kepulauan dan pantai belakangan
ini diperkenalkan, tetapi untuk meningkatkan penerapan di tingkat Provinsi dan Kabupaten kemungkinan perlu ditinjau ulang secara khusus.
Kerangka Waktu 12 bulanIndikator Performa MSC Prioritas tinggi:
1.2.2. Peraturan dan perangkat pemanfaatan
3.2.1. Tujuan pengelolaan pada perikanan tertentu
3.2.3. Ketaatan dan Penegakan
Prioritas sedang dan rendah:
2.1.2. Spesies non-target (Strategi pemanfaatan)
2.2.2. Spesies tangkapan sampingan (Strategi pemanfaatan)
2.3.2. Spesies langka yang dilindungi (Strategi pemanfaatan)
3.1.1. Kerangka hukum & adat
4.3 Membuat program pendidikan dan pelatihan/pelatihan masyarakat dengan jangkauan yang luas
Masyarakat nelayan pun harus mengetahui dan memahami ko-managemen perikanan berupa langkah-langkah dan pengaturan yang diterapkan. Perlu dilakukan program pendidikan untuk menggugah kesadaran masyarakat nelayan mengenai dampak-dampak yang akan timbul sebagai konsekwesi dari pelanggaran yang terjadi, terutama pelanggaran terhadap peraturan yang membatasi upaya penangkapan yang akan berakibat pada menurunnya CPUE, penangkapan spesies juvenil (melalui pengoperasian alat tangkap tertentu), memasuki area penangkapan pada
38
saat diberlakukan larangan dan konsekwensi-konsekwensi lainnya yang disebabkan interaksi negatif pada ekosistem. Program pendidikan yang dilaksanakan oleh pengelola perikanan, bekerja sama dengan DKP Kabupaten, P4KSI dan WWF dengan dukungan nyata dari para pedagang dan pengepul harus memiliki jangkauan yang luas dan dilengkapi materi-materi publikasi yang inovatif termasuk penyebaran poster dan program pendidikan tambahan di sekolah-sekolah setempat. Dalam pelaksanaan program pendidikan tersebut dibutuhkan pihak-pihak tertentu (sumber daya) yang akan berdedikasi dalam waktu yang cukup panjang, yaitu 5 tahun penuh, dan program tersebut harus diperluas melalui pembentukan jaringan di masyarakat dan Kelompok Masyarakat Pengawas (POKMASWAS).
Program pendidikan tersebut pun harus harus dilengkapi dengan diadakannya pertemuan rutin masyarakat, dimana dalam pertemuan tersebut dapat diperoleh tanggapan mengenai keberhasilan atau kendala-kendala yang ditemukan dalam penerapan langkah-langkah pengelolaan.
Kelompok Kerja P4, WWF , KKP, DKP Provinsi dan Kabupaten , pengepul dan pengolahPrioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu Beroperasi selama 12 bulan dan akan terus berlanjutIndikator Performa MSC Prioritas tinggi:
1.1.1. Status stok
1.2.2. Peraturan dan perangkat pemanfaatan
3.1.4. Insentif untuk penangkapan berkelanjutan
3.2.1. Tujuan khusus-perikanan
3.2.2. Proses pengambilan keputusan
3.2.3. Ketaatan dan Penegakan
Prioritas sedang dan rendah:
3.1.1. Kerangka hukum & adat
3.1.2. Konsultasi, peran dan tanggung jawab
3.1.3. Tujuan jangka panjang
4.4 Memperkuat sistem pengelolaan berbasis komunitas untuk perikanan handline dan perikanan pesisir lainnya
Di bawah pengawasan DKPD dan PSDKP, nelayan harus menyetujui serangkaian standar, dan mengalokasikan tanggung jawab kepada para petugas pengawas yang terdiri dari anggota masyarakat itu sendiri. Sistem sirkulasi untuk tanggung jawab pengawasan sehari-hari di antara nelayan dapat dikaji lebih lanjut. Sebuah sistem yang diterapkan oleh para nelayan di Thailand dan Indonesia yaitu merancang kompensasi swadaya masyarakat yang digunakan untuk mendanai tugas-tugas pemantauan, akan tetapi sistem ini hanya akan diberlakukan pada para nelayan yang bersedia untuk berpartisipasi. Para nelayan perlu disediakan beberapa perlengkapan dasar seperti teropong, jaket/rompi keselamatan dan radio VHF untuk yang akan mendukung kinerja mereka terkait tigas-tugas kepatuhan. Masyarakat pengawas perlu diberi pelatihan mengenai peraturan-peraturan dalam proses pemantauan perikanan, keterampilan komunikasi dan penggunaan radio serta perangkat lainnya.
Kelompok Kerja POKMAS, PSDKP, DKP Provinsi, DKP KabupatenPrioritas TinggiStatus Berlangsung
39
Kerangka Waktu Beroperasi selama 12 bulan hingga 3 tahun (dikarenakan luasnya jaringan komunitas pantai) dan akan terus berlanjut
Indikator Performa MSC Prioritas tinggi
3.2.3. Ketaatan dan Penegakan
4.5 Ditingkatkannya sistem pelaporan sehingga bentuk-bentuk pelanggaran dapat diakses oleh masyarakat
Mengembangkan sistem pelaporan pelanggaran untuk kemudian diserahkan pada KTI dan seluruh pihak terkait. Pembeberan pelanggaran dan denda kepada publik akan memberikan efek jera kepada pelaku dan mencegah tindakan pelanggaran serupa berikutnya.
Kelompok Kerja PSDKP. DKP Provinsi/KabupatenPrioritas TinggiStatus BaruKerangka Waktu Beroperasi selama 6 bulan dan akan terus berlanjutIndikator Performa MSC Prioritas tinggi
3.2.3. Ketaatan dan Penegakan
4.6 Melatih dan memaksimalkan fungsi aparat penegak hukum serta menambah perangkat/perlengkapan pendukung yang dibutuhkan
Program pelatihan yang ada bagi para staff PSDKP harus ditingkatkan dengan turut mempertimbangkan sistem peraturan yang baru. Sistem tersebut mencakup pengetahuan dan penyebaran prosedur serta strategi (sebagaimana ditentukan dalam analisis resiko, 4.1). Modal aset perlu diuji berdasarkan persyaratan-persyaratan dalam peraturan baru. Solusi terbaik adalah memperluas pemberlakuan VMS (Vessel Monitoring System) hingga mencakup seluruh kelompok beresiko tinggi (di bawah batas < 100 GT) serta merekrut dan melatih para pengamat/observer. PNA (Parties to the Nauru Agreement, meliputi Federated States of Micronesia, Kiribati, Marshall Islands, Nauru, Palau, Papua New Guinea, Solomon Islands dan Tuvalu) saat ini sedang menguji coba penerapan VMS pada rumpon.
Kelompok Kerja PSDKPPrioritas TinggiStatus BerlangsungKerangka Waktu Beroperasi selama 18 bulan dan akan terus berlanjutIndikator Performa MSC Prioritas tinggi
3.2.3. Ketaatan dan Penegakan
5. LAIN-LAIN
5.1 Peninjauan dampak subsidi bahan bakar terhadap keberlangsungan perikanan, kapal-kapal motor berukuran 5-30GT dan < 5 GT
Terdapat bukti nyata12 yang menunjukan bahwa subsidi pemakaian seperti subsidi bahan bakar hanya menciptakan distorsi negatif bagi kapasitas armada dengan menghasilkan keuntungan palsu dan memicu kelebihan tangkap. Bagaimanapun, sejauh mana penyimpangan dan dampak relatif dari penyaluran subsidi bahan bakar kepada para nelayan skala kecil dan menengah tidak diketahui secara pasti. Oleh karena itu, BBRSE harus mengidentifikasi dampak subsidi bahan bakar untuk mengukur sejauh mana program penyaluran subsidi tersebut sesuai dengan Prinsip-Prinsip keberlanjutan MSC dan Pendekatan Ekosistem untuk Pengelolaan Perikanan (EAFM).
12 Dorsey, G., ADB/MMAF (2006), TNC (2008).
40
5.2 Mengevaluasi kemungkinan dialihkannya subsidi, dari subsidi bahan bakar menjadi subsidi yang lebih berdampak positif seperti pemberian insentif yang mendukung praktek-praktek perikanan berkelanjutan
Selain itu, BBRSE sebaiknya bekerja sama dengan KAPI untuk mengevaluasi penghematan biaya yang dapat dilakukan (contohnya melalui indentifikasi ketidaktepatgunaan emisi karbon) sebagai akibat dari pemakaian kapal motor yang tidak tepat guna dan defisiensi alat tangkap.
Kelompok Kerja BBRSE/KAPIPrioritas TinggiStatus Perpanjangan dari aktivitas yang adaKerangka Waktu 1 tahunIndikator Performa MSC Sedang:
LAMPIRAN 2. Ringkasan Kegiatan (Concept Notes) Program Observer Ilmiah pada Perikanan Tuna Indonesia
DASAR PEMIKIRAN
Dari delapan perikanan tuna yang masuk ke dalam cakupan Rencana Kerja FIP (Fishery Improvement Program), diantaranya yaitu handline, longline, pole-and-line, troll-and-line, purse seine > 30 GT, purse seine < 30GT, (drift) gillnet, dan ring net, terdapat bukti yang menunjukan bahwa ketika jumlah tangkapan sampingan dan tuna juvenil semakin banyak maka tingkat resiko ekologis pun akan semakin tinggi. Tangkapan sampingan dan tuna juvenil tersebut paling banyak ditemukan dalam pengoperasian alat tangkap gillnet, longline dan purse seine (kedua kategori ukuran). Meskipun demikian program observer sebaiknya dilakukan di semua perikanan. Pada dasarnya untuk perikanan yang hanya memberikan dampak ringan (pole-and-line, troll-and-line, handline), program observer hanya akan dilakukan satu kali dan pada perikanan yang memberikan resiko tinggi, program observer akan dilakukan secara rutin. Agar lebih mudah, mengingat kapal-kapal motor yang terlibat dalam sektor perikanan tuna jumlahnya sangat banyak dan tersebar luas, cakupan program observer awalnya akan dibuat terbatas. Skema program observer, baik yang hanya dilakukan sekali atau secara rutin, dirancang untuk kebutuhan ilmiah (bukan kepatuhan). Pegumpulan data pada perikanan yang tidak memberikan dampak signifikan (pole-and-line, troll-and-line dan handline) dapat pula dilakukan dengan sampling pada saat bongkar muatan di pelabuhan dan wawancara dengan nelayan.
TUJUAN
Tujuan utama dari program observer ilmiah yaitu penjelasan/penggambaran seluruh aspek dari tiap-tiap perikanan – hasil tangkapan (per operasi penangkapan) yang diklasifikasikan berdasarkan spesies (spesies target, tangkapan sampingan dan spesies langka yang dilindungi) dan ukuran, alat tangkap dan konfigurasi kapal motor, seletivitas alat tangkap, interaksi dengan rumpon dan spesies langka yang dilindungi, lokasi penangkapan sehubungan dengan batasan-batasan tata kelola dan lain-lain. Sampling biologis kemungkinan akan turut dilakukan.
PERENCANAAN
Pada tahap uji coba awal (dimulai pada akhir 2010 hingga awal 2012), analisis informasi yang diperoleh dari program observer sebelumnya, pelatihan dan penyusunan formulir/catatan harian dan program observer di beberapa perikanan (longline, purse seine, yang mencakup kedua ukuran kapal motor dan gillnet) diharapkan telah dapat dilaksanakan. Program observer kemungkinan akan dilaksanakan dalam 2 perjalanan tangkap/trip per tahun dari masing-masing pengoperasian alat tangkap di satu hingga empat pelabuhan (misalnya Bitung, Kendari, Ambon yang masuk ke dalam wilayah Samudera Pasifik Barat dan Tengah). Pada saat yang bersamaan, sampling data di pelabuhan dan wawancara dapat dilakukan di pelabuhan yang sama untuk perikanan lainnya. Selama fase konsolidasi (kemungkinan dimulai pada tahun 2013) yang dilanjutkan dengan studi kelayakan, luas cakupan program observer akan ditingkatkan, misalnya 20% untuk kapal-kapal purse seine berukuran besar, 10 % untuk longline dan gillnet dan 5% pada pengoperasian alat tangkap lainnya.
Jika dalam jangka waktu menengah atau panjang, pengamat/observer perlu memantau beberapa hal terkait kepatuhan seperti pelarangan rumpon, penutupan area, retensi penuh tangkapan, program observer ilmiah pun dapat digabungkan dengan program observer kepatuhan dengan cakupan yang lebih luas guna mendukung tindakan kepatuhan tersebut.
DUKUNGAN
Untuk memulai program observer, maka dibutuhkan dukungan yang kuat (baik finansial maupun SDM), lembaga yang akan bertanggung jawab (BPPL atau P4KSI), pengembangan database, kerja sama dengan lembaga-lembaga internasional yang telah berpengalaman dalam menjalankan program serupa misalnya WCPFC/SPC, CSIRO, sertifikasi observer dan lain-lain. Selama tahap uji coba awal, beberapa universitas terpilih dapat didaftarkan untuk turut serta dalam pelaksanaan program.