Top Banner
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bencana banjir yang akhir-akhir ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dan khususnya di Jabodetabek merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan. Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan atau pola penutupan lahan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah mempengaruhi pola aliran banjir di suatu DAS. Pengelolaan DAS merupakan konsep jawaban terhadap permasalahan yang ada karena menyangkut pola pengelolaan sumberdaya air dan pola pengelolaan sumberdaya alam dalam batas dan fungsi yang saling terkait. Pengelolaan DAS dapat dengan jelas mempunyai batas ekologis dan dapat dengan jelas dibatasi di lapangan sebagai unit ekologis terkecil dalam satuan yang merupakan perpaduan antara manajemen sistem alam, sistem biologi dan manusia sebagai bagian dari sosial ekonomi sehingga memerlukan keterpaduan, koordinasi dan partisipasi masyarakat yang sangat luas. Pendekatan struktural yang dominan di bagian hilir selama ini mengindikasikan telah mengalami “kegagalan”, sehingga perlu dilakukan dengan pendekatan non struktural secara bersamaan yang melibatkan seluruh stakeholder dalam suatu DAS yang meliputi kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan. Mengingat kompleksnya permasalahan pengelolaan DAS maka diperlukan pendekatan yang terpadu melibatkan semua stakeholder dan dilakukan secara komprehensif sehingga diperlukan metode rehabiliatsi hutan yang tepat dengan pelibatan masyarakat secara massal karena besarnya masalah yang sudah ada. Metode pengambilan dengan cara
85

rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Jan 26, 2016

Download

Documents

Ardian Kusumah
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

BAB I   PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bencana banjir yang akhir-akhir ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia dan khususnya di

Jabodetabek merupakan indikator yang sangat nyata telah terjadinya kerusakan lingkungan.

Kegiatan dan aktivitas manusia yang bersifat mengubah pola tata guna lahan atau pola penutupan

lahan dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah mempengaruhi pola aliran banjir di suatu DAS.

Pengelolaan DAS merupakan konsep jawaban terhadap permasalahan yang ada karena

menyangkut pola pengelolaan sumberdaya air dan pola pengelolaan sumberdaya alam dalam

batas dan fungsi yang saling terkait. Pengelolaan DAS dapat dengan jelas mempunyai batas

ekologis dan dapat dengan jelas dibatasi di lapangan sebagai unit ekologis terkecil dalam satuan

yang merupakan perpaduan antara manajemen sistem alam, sistem biologi dan manusia sebagai

bagian dari sosial ekonomi sehingga memerlukan keterpaduan, koordinasi dan partisipasi

masyarakat yang sangat luas.

Pendekatan struktural yang dominan di bagian hilir selama ini mengindikasikan telah mengalami

“kegagalan”, sehingga perlu dilakukan dengan pendekatan non struktural secara bersamaan yang

melibatkan seluruh stakeholder dalam suatu DAS yang meliputi kegiatan rehabilitasi hutan dan

lahan.

Mengingat kompleksnya permasalahan pengelolaan DAS maka diperlukan pendekatan yang

terpadu melibatkan semua stakeholder dan dilakukan secara komprehensif sehingga diperlukan

metode rehabiliatsi hutan yang tepat dengan pelibatan masyarakat secara massal karena

besarnya masalah yang sudah ada. Metode pengambilan dengan cara simulasi dapat digunakan

Page 2: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

sebagai alat yang efektif untuk melihat permasalahan dan penanggulangan banjir khususnya

dalam memprediksi aliran permukaan (run off) dari suatu hamparan tipe penggunaan lahan.

Dalam mengatasi masalah banjir di DKI Jakarta dan Jabodetabek umumnya, banyak program sudah

dilakukan dengan curahan dana dan usaha yang besar, tetapi kejadian banjir tetap berulang.

Pendekatan teknis yang telah dan akan dilakukan belum sepenuhnya menggunakan DAS sebagai

unit analisis, tetapi cenderung bersifat parsial, sektoral atau terkait dengan kewenangan

pendekatan yang ada bersifat reaktif terhadap isu dan permasalahan sesaat.

Bencana banjir di Jakarta dan sekitarnya telah memasuki kondisi yang sangat parah, banyak

akitivitas kegiatan ekonomi dan sosial masyarakat yang terganggu, bahkan telah menimbulkan

kerugian harta dan jiwa yang sangat besar. Kejadian banjir besar th 1996, dan th 2002 telah

menimbulkan kerugian 9,8 trilyun rupiah, demikian juga kejadian besar pada tahun 2007 telah

merendam hampir 70% wilayah DKI Jakarta, dan sebagian wilayah Kabupaten Bogor, Kota Depok,

Kabupaten dan Kota Tanggerang serta Kota Bekasi.

Setidaknya pada kejadian banjir 2007 telah menyebabkan 55 orang menjadi korban meninggal

dunia, warga yang mengungsi mencapai 320.000 orang, dengan nilai kerugian sebesar 8,8 trilyun

rupiah, terdiri dari 5,2 trilyun rupiah kerusakan dan kerugian langsung dan 3,6 trilyun rupiah

merupakan kerugian tidak langsung.

Faktor yang berpengaruh terhadap kajadian banjir tersebut karena faktor alam dan faktor manusia.

Faktor alam terutama disebabkan karena curah hujan yang sangat tinggi, kondisi geomorfologi

DAS, dan pasang surut air laut. Sedangkan faktor manusia disebabkan karena kelembagaan

pemerintah dan masyarakat yang belum mantap, perubahan penggunaan lahan, pola penataan

yang tidak sesuai, serta sarana prasarana drainase yang belum baik. Faktor-faktor ini yang

menjadi indikator kerusakan lingkungan DAS sehingga bencana banjir terjadi.

Sehubungan dengan hal itu, harus diambil langkah-langkah untuk mengatasi masalah guna

mengendalikan banjir dengan berbagai upaya jangka pendek dan upaya yang mampu menjamin

keberhasilan jangka panjang, antara lain dengan meningkatkan kapasitas alamiah DAS.

Keberhasilan untuk meningkatkan kapasitas alamiah DAS akan tercapai jika pengelolaan DAS

dilakukan melalui perencanaan secara terpadu, rinci, terarah dan dapat menyelesiakan akar

permasalahan yang ada, dan solusi yang disampikan benar-benar berdasarkan akar masalah di

setiap DAS.

Permasalahan yang ada dapat dikelompokkan menjadi permasalahan teknis, koordinasi antar

lembaga, serta kesinambungan program dan kegiatan. Untuk menyelesaikan permasalahan yang

ada, perlu adanya koordinasi yang efektif dan efisien baik antar pemerintah provinsi, kabupaten

dan kota, maupun antar sektor, dengan dukungan dan partisipasi aktif masyarakat.

Wakil Presiden telah memberikan petunjuk-petunjuk, koordinasi dan kesepakatan yang harus

ditindaklanjuti dalam mengendalikan banjir. Departemen Kehutanan sesuai fungsi dan tugasnya

akan mengambil peran melalui kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan pada DAS-DAS yang

memberikan kontribusi banjir, yaitu DAS Ciliwung, Cisadane, Angke-Pasanggrahan, Krukut-Grogol,

Sunter, Cakung dan Kali Bekasi. Adanya kemauan politik, kelembagaan, program dan pendanaan

Page 3: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

yang berkesinambungan diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam penyelesaian banjir yang

dihadapi di wilayah Jabodetabek. Sehingga pengelolaan DAS yang multistakeholder harus dapat

terlaksana dengan baik agar dapat dengan jelas memberikan arahan dalam pengelolaan hutan dan

lahan pada DAS di wilayah Jabodetabek.

1.2. Tujuan

Tujuan dilakukannya penyusunan rencana detil penanganan banjir ini adalah :

1. Memeriksa akar permasalahan banjir serta solusi yang tepat dan konkrit.

2. Menganalisis tindakan-tindakan terhadap penanganan banjir pada masing- masing wilayah

DAS dan wilayah administrasi.

3. Melakukan kajian dan fokus kegiatan yang terkait dengan Rehabilitasi Hutan dan Lahan

pada wilayah DAS yang terkait.

4. Melakukan kajian simulasi dan analisis untuk menentukan jumlah dan sebaran kegiatan

yang dapat atau mesti dilakukan terkait dengan penanganan banjir.

5. Melakukan evaluasi terhadap program dan kegiatan yang paling optimal untuk

dilaksanakan.

6. Melakukan pemetaan kegiatan operasional yang mungkin dilakukan.

1.3. Manfaat Kegiatan

Manfaat kegiatan penyusunan rencana detil penanganan banjir ini antara lain:

1. Merupakan pedoman untuk melaksankan kegiatan Rehabilitasi Hutan dan Lahan secara

operasional di wilayah Jabodetabek.

2. Melakukan kajian komprehensif sehingga dapat dijadikan acuan dasar oleh seluruh

pemangku kepentingan di wilayah Jabodetabek.

3. Sebagai arahan dan pola pengelolaan DAS yang terkait dengan rencana Rehabilitasi Hutan

dan Lahan.

4. Merumuskan alternatif solusi untuk melibatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan

DAS.

BAB II METODOLOGI

2.1. Tahap Kegiatan Kajian

Kegiatan penyusunan rencana detil untuk penanganan banjir di wilayah Jabodetabekjur melalui

tahapan kegiatan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.1.

Page 4: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.1. Bagan alur kegiatan penyusunan rencana detil RHL untuk pengendalian banjir di wilayah

Jabodetabekjur.

1. Tahap pertama, melakukan review terhadap dokumen Rencana Tindak Rehabilitasi Hutan

dan Lahan Pada DAS Ciliwung, Cisadane, Angke, Pesanggrahan, Krukut-Grogol, Sunter,

Cakung dan Kali Bekasi Untuk Pengendalian Banjir di Wilayah Jabodetabek. Dokumen ini

memuat situasi/kondisi umum, permasalahan umum, arahan dan/atau rekomendasi

program, serta kelembagaan.

2. Tahap kedua, melakukan verifikasi lapangan untuk mengetahui kesesuaian atau kelayakan

lapangan atas Rencana Tindak tersebut di atas. Pada tahap ini dilakukan pembaharuan

dan pelengkapan data serta dilakukan konsultasi dengan para pihak terkait dan pihak lain

yang relevan di lapangan. Verifikasi lapangan ini dilakukan untuk seluruh DAS yang ada di

wilayah Jabodetabek.

3. Tahap ketiga, yaitu pengolahan data, baik yang bersifat spasial maupun non spasial.

4. Tahap keempat, melakukan analisis dan simulasi untuk menemukan atau memperkuat

rasionalitas atas fokus program-program yang direkomendasikan dari Rencana Tindak.

5. Tahap kelima, merinci dan menyajikan masing-masing program ke dalam format

perencanaan yang siap dioperasionalisasikan atau diimplementasikan.

2.2. Metode / Pendekatan

Page 5: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

2.2.1 Landasan Pendekatan Analisis Kegiatan

Kajian Rehabilitasi Hutan dan Reboisasi Lahan untuk pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek

mengacu atau berfokus pada program-program yang telah direkomendasikan/ direncanakan dalam

dokumen Rencana Tindak RHL untuk Pengendalian Banjir di Jabodetabek tahun 2007.

Program-program tersebut dapat dikategorisasikan ke dalam dua kategori atau aspek. Pertama,

program yang termasuk dalam kategori Teknis Sipil, dan kedua, program yang termasuk dalam

kategori Vegetatif. Rincian program setiap kategori disajikan pada Tabel 1.

Terhadap kedua kategori program tersebut di atas, dilakukan kajian untuk mendapatkan atau

mempekuat rasionalitasnya (rationale) serta untuk menentukan besaran dan sebaran. Selanjutnya

kajian kelembagaan dilakukan terhadap setiap kategori program.

Metode kajian Program Teknis Sipil dan Program Vegetatif serta pendekatan untuk kajian

kelembagaan diuraikan berikut di bawah ini.

Kajian kegiatan untuk menyusun rincian rencana tindak antisipasi banjir ini mempunyai landasan

analisis yang mengadopsi pendekatan sistem proses. Pendekatan ini digunakan karena kejadian

banjir yang terjadi di kawasan Jabodetabek dapat dianggap sebagai suatu hasil dari sistem

kawasan yang bekerja mulai dari hulu sampai dengan hilir dengan berbagai peubah dan parameter

yang ada dalam sistem tersebut. Sebagai suatu sistem proses yang menghasilkan kejadian banjir

maka sistem tersebut mempunyai sub-sub sistem yang saling terkait dan saling mempengaruhi

baik langsung maupun tidak langsung.

Page 6: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Masing-masing sub-sistem yang mempengaruhi setiap kejadian banjir tersebut analog dengan

aspek penutupan dan penggunaan lahan, hidrologi dan morfometri jaringan, iklim, geomorfologi

dan tanah, geohidrologi, topografi, infrastruktur pengendali banjir, rencana tata ruang sosial

ekonomi dan kelembagaan. Sebagai suatu sub-sistem, setiap aspek tersebut bekerja sesuai

dengan fungsinya terhadap kejadian banjir dan menghasilkan peubah dan parameter yang

berpengaruh terhadap sub-sistem yang lain. Oleh karena itu, dalam kegiatan ini perlu dilakukan

suatu analis untuk setiap sub-sistem tersebut sehingga dapat mengidentifikasi peran dan fungsi

masing-masing aspek tersebut terhadap kejadian banjir. Analisis-analisis yang dilakukan terhadap

masing-masing sub-sistem/aspek tersebut merupakan proses identifikasi masalah untuk

mendapatkan akar permasalahan kejadian banjir di kawasan Jabodetabek.

Proses identifikasi permasalahan akan menghasilkan akar permasalahan yang dapat dibagi

menjadi dua bagian yaitu akar permasalahan yang bersifat biofisik dan non-biofisik. Berdasarkan

akar permasalahan tersebut maka dilakukan suatu bentuk analisis guna mendapatkan rancangan

antisipasi dan penyelesaian akar permasalahan terhadap kejadian banjir. Analisis dan rancangan

antisipasi untuk aspek biofisik terdiri dari kegiatan-kegiatan inventori teknologi antisipasi, analisis

konservasi lahan, iklim dan cuaca, penutupan lahan, hidrologi, jaringan aliran dan infrastruktur

pengendali banjir. Dalam analis tersebut diperlukan data yang berbentuk numerik, tekstual dan

spasial yang dihimpun dari data sekunder maupun kegiatan survey di lapangan. Sedangkan untuk

aspek non-biofisik analisis dilakukan terhadap aspek sosial, kelembagaan dan pembiayaan yang

juga didukung data-data dari kegiatan pengumpulan data maupun survey dan wawancara.

Hasil analisis dan rancangan antisipasi banjir akan menghasilkan jenis, peubah, parameter dan unit

yang dapat digunakan sebagai indikator yang terukur untuk rancangan RHL. Berdasarkan pada

rancangan tersebut maka proses selanjutnya adalah menentukan jenis dan tujuan kegiatan. Dalam

kegiatan ini, secara umum akan didapatkan tiga bentuk kegiatan yang terdiri dari kegiatan

vegetatif, sipil teknis berbasis lahan dan sipil teknis berbasis alur sungai. Penjelasan terhadap

ketiga jenis kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kegiatan vegetatif; merupakan suatu bentuk kegiatan untuk meresapkan air hujan ke

dalam tanah melalui media tanaman (vegetasi) sehingga jumlah air yang menjadi limpasan

permukaan akan berkurang sampai dengan jumlah yang diinginkan. Kegiatan ini dapat

dilakukan jika tersedia lahan yang masih sesuai untuk dilakukan penanaman. Termasuk

dalam jenis kegiatan ini adalah penanaman vegetasi tetap, penghijauan, agroforestry dan

strip rumput, dan penghijauan di kanan-kiri sungai.

2. Kegiatan sipil teknis berbasis lahan; merupakan kegiatan untuk meresapkan air hujan

ke dalam tanah dan menampung air hujan di atas permukaan tanah sebelum menjadi

limpasan permukaan yang masuk ke dalam aliran/sungai melalui bangunan-bangunan sipil

teknis. Kegiatan ini dilakukan ditujukan untuk meresapkan air hujan sampai dengan jumlah

yang telah ditentukan. Termasuk dalam kegiatan ini adalah pembuatan sumur resapan di

kawasan pemukiman, pembuatan teras gulud, parit buntu/rorak, biopori dan embung.

3. Kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai di ordo sungai di bagian hulu;

merupakan kegiatan untuk menahan/ menampung air di badan air untuk waktu tertentu

sehingga sedimen dan air mempunyai waktu untuk meresap, dan mengatur kebutuhan air

Page 7: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

sesuai dengan kebutuhan air untuk kebutuhan masyarakat dengan cara membuat

bendung, gully plug, dam penahan, dan dam pengendali. Selain menahan/ menampung air,

kegiatan ini juga dapat memperpanjang waktu tempuh aliran sehingga dapat menurunkan

debit puncak dari suatu sungai sehingga air tidak sampai dalam waktu yang bersamaan ke

tempat di bagian hilir.

Ketiga kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan tersebut merupakan suatu bentuk kegiatan yang

saling berurutan dengan logika sebagai berikut: jika kegiatan vegetasi sudah tidak mampu lagi

menurunkan debit limpasan sampai dengan tingkat yang diinginkan, maka akan diterapkan

kegiatan sipil teknis berbasis lahan sehingga priorotas di lahan-lahan kritis harus ada upaya

kegiatan sipil teknis. Selanjutnya jika debit limpasan tidak dapat diresapkan atau ditahan di lahan

maka kegiatan sipil teknis berbasis alur sungai di ordo sungai pertama, diterapkan untuk

mengurangi debit puncak dari aliran. Ketiga jenis kegiatan tersebut harus disertai dengan kegiatan

yang bersifat non-fisik yang mencakup aspek kelembagaan, penyuluhan, pemberdayaan dan

pelibatan masyarakat dalam pelaksanaan dan pembiyaannya.

Setelah ditentukan jenis dan tujuan kegiatan, maka masing-masing kegiatan tersebut

diintegrasikan dalam suatu model hidrologi dan spasial untuk mengetahui respon kegiatan

terhadap kejadian banjir yang terjadi. Selain respon terhadap kejadian banjir, pemodelan hidrologi

dan spasial ini akan menghasilkan sasaran kegiatan berupa lokasi, luas dan jumlah/unit dari

masing-masing kegiatan. Setelah ditetapkan sasaran kegiatan, maka masing-masing kegiatan

dilakukan optimasi untuk mengatahui nilai optimal yang dapat memberikan dampak sesuai dengan

tujuan yang telah ditetapkan. Pada kajian ini, optimasi ditekankan kepada kegiatan vegetasi dan

sumur resapan karena kedua jenis kegiatan tersebut mempunyai respon langsung terhadap

kondisi hidrologi. Kegiatan optimasi tersebut akan menghasilkan target dan indikator yang terukur

dari masing-masing kegiatan. Berdasarkan pada tujuan, sasaran, target dan indikator dari masing-

masing kegiatan, maka dapat ditetapkan rincian rencana tindak kegiatan. Gambaran menyeluruh

dari penjelasan tersebut di atas dapat dilihat pada Gambar 2.2.

Page 8: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.2. Skema Kerangka Landasan Pendekatan Kegiatan RHL untuk Pengendalian Banjir.

2.2.2 Metode Kajian Sipil Teknis dan Vegetatif

a. Pendugaan Limpasan

Metode vegetatif maupun sipil teknis pada dasarnya ditujukan untuk menurunkan jumlah aliran

permukaan, mengendalikan daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran

permukaan. Untuk mendapatkan jumlah dan arahan lokasi yang “ideal” untuk lokasi tindakan

Rehabilitasi Hutan dan Lahan dilakukan dengan melakukan pemodelan secara spasial antara

parameter penutupan lahan, kondisi hidrologi setiap DAS di Jabodetabek.

Pedugaan limpasan ditujukan untuk mengetahui akar masalah, dan strategi penanggulangannya

secara efektif, sehingga jumlah aliran permukaan yang terjadi dapat diketahui dengan rinci.

Pendugaan limpasan permukaan menggunakan faktor topografi, jaringan sungai, tanah,

penggunaan lahan dan penyebaran pola curah hujan di setiap DAS.

Page 9: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.3. Skema Metode Pendugaan Limpasan.

Metode yang digunakan untuk menduga aliran permukaan adalah Metode Pendugaan Limpasan

yang skemanya disajikan pada Gambar 2.3 di atas. Analisis data menggunakan citra SPOT (5 x 5

m), kemudian dilakukan penafsiran tipe penggunaan lahan, kapasitas infiltrasi dan dugaan

limpasan permukaan di setiap tipe penggunaan lahan di masing-masing DAS, yang kemudian di-

overlay-kan dengan batas administrasi di wilayah Jabodetabek.

Bahan yang dipakai adalah Peta Rupa Bumi skala 1:25.000, peta liputan TM SPOT th 2004 dan peta

hasil penafsiran dari kegiatan pemetaan detail yang telah dilakukan. Analisis peta dilakukan untuk

mendapatkan peta tipe penggunaan lahan untuk menentukan koeifisien aliran permukaan di setiap

tipe penggunaan lahan. Hasil penafsiran penutupan lahan tersebut kemudian di-overlay dengan

batas DAS dan batas administrasi di masing-masing DAS yang dikaji.

b. Bilangan Kurva Aliran Permukaan

Metode Bilangan Kurva Aliran Permukaan (Curve Number) menggambarkan tentang hujan lebih

(rainfall excess) ditentukan oleh lima parameter, yaitu : penggunaan lahan, perlakuan (teknik

pertanian), kondisi hidrologi, kandungan air tanah sebelumnya dan grup hidrologi tanah yang

Page 10: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

mengacu pada SCS National Engineering Handbook, Section 4, Hydrology (1972) dan Ward and

Elliot (1995).

Data penggunaan lahan didapatkan dari peta penggunaan lahan, sedangkan data teknik-teknik

pertanian dan kondisi hidrologi didapatkan dari pengamatan di lapangan. Untuk menentukan grup

hidrologi tanah digunakan pendekatan dengan sifat-sifat tanah berdasarkan peta tanah pada

setiap DAS.

c. Waktu Konsentrasi (tc)

Waktu konsentrasi adalah waktu yang diperlukan aliran permukaan dari titik terjauh sampai luaran

DAS. Untuk menentukan waktu konsentrasi digunakan metode Kirpich (1940) yang dikombinasikan

secara spatial digital menggunakan model kecepatan aliran permukaan. Setelah diketahui debit

limpasan di setiap sel, maka tahap berikutnya adalah melakukan perhitungan kecepatan aliran.

Pemodelan kecepatan aliran akan menghasilkan dua keluaran yaitu nilai kecepatan aliran tiap sel

dan waktu konsentrasi setiap sel.

Pendekatan yang digunakan dalam pemodelan kecepatan aliran ini adalah menggunakan sistem

mekanik dengan memanfaatkan hukum kekekalan energi mekanik, Hukum Newton II, persamaan

momentum dan persamaan Bernoulli. Hukum kekekalan energi mekanik digunakan untuk

menentukan kecepatan awal (vo) yang dimiliki setiap sel sebelum air dalam sel tersebut tergabung

dengan air dari sel lain. Sebagai ilustrasi bagaimana kecepatan aliran dihitung dapat dilihat pada

Gambar 2.4.

Untuk setiap sel akan mendapatkan kecepatan awal yang diperoleh dari energi kinetik dan

momentum pada saat air hujan bertumbukan dengan suatu permukaan. Kemudian, dalam model

ini diasumsikan bahwa jumlah air yang akan dialirkan akan terlebih dulu dikurangi dengan nilai

yang terinfiltasi sesuai dengan keluaran sub-model limpasan permukaan. Setelah didapatkan

jumlah air limpasan, maka dengan menggunakan aplikasi Hukum Newton II pada bidang miring

akan didapatkan suatu nilai percepatan yang akan digunakan peubah untuk menghitung

kecepatan awal suatu aliran dengan arah (Fdir) yang tertentu seperti yang diperoleh pada sub-

model hidrologi permukaan. Kemudian, karena aliran ini telah mempunyai nilai v0 <> 0 maka nilai

kecepatan aliran pada waktu t adalah (vt) dengan persamaan seperti yang disajikan dalam

Gambar 2.4 Pendekatan ini menjadi masalah, jika ternyata terdapat dua titik dengan kemiringan

0% atau tidak terdapat perbedaan tinggi. Oleh karena itu, untuk bidang-bidang yang datar seperti

situ, danau atau waduk maka digunakan persamaan kekelan momentum dan persamaan Bernauli

untuk menghitung kecepatan aliran pada waktu t. Persamaan ini juga dapat dilihat pada Gambar

dibawah ini.

Page 11: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.4. Skema pemodelan kecepatan aliran limpasan permukaan.

d. Pemetaan DEM (Digital Elevation Model)

Peta DEM pada pekerjaan ini diturunkan dari peta kontur melalui proses digitasi Peta Rupa Bumi

Indonesia skala 1:10.000. Proses pemetaan lereng dan elevasi dilakukan dengan interval lereng

dan elevasi yang sesuai dengan kebutuhan pemetaan lereng untuk kesesuaian lahan pemukiman

(standar).

Digital Elevation Model (DEM) akan digunakan untuk memetakan topografi dan morfologi wilayah,

berupa pembuatan model colordraping image menggunakan efek cahaya untuk menampilkan

topografi dan kondisi geomorfologi medan. Pekerjaan ini juga akan dilengkapi dengan pembuatan

model 3 dimensi (3D View) untuk menyajikan tampilan topografi wilayah yang lebih interpretatif.

Contoh peta hasil pemetaan 3D-DEM, disajikan pada Gambar 2.5.

Page 12: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.5. Contoh Peta 3D-DEM Kawasan Hulu Cisadane dan Ciliwung.

e. Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan

Pada tahapan ini akan dilakukan analisis permukaan yang akan mempengaruhi sifat-sifat hidrologi

suatu permukaan. Sifat permukaan yang dianalisis adalah arah aliran, akumulasi aliran dan

pembagian Sub-DAS. Sebagai masukan data untuk menurunkan parameter permukaan yang akan

digunakan dalam analisis hidrologi permukaan adalah data topografi yang telah dikonversi sebagai

data DEM (Digital elevation model). Selanjutnya berdasarkan masukan data ini, disusun suatu

model guna menurunkan parameter-parameter permukaan seperti :

Derajat dan arah kemiringan permukaan,

arah aliran,

akumulasi aliran,

jaringan aliran (stream network),

batas-batas sub DAS.

Gambar 2.6 menyajikan tahapan model penurunan parameter hidrologi permukaan dengan

masukan data DEM. Keterangan rincinya disajikan pada halaman berikutnya.

Page 13: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.6. Tahapan Pemetaan Sifat Hidrologi Permukaan.

Derajat dan arah kemiringan lahan (slope); Kemiringan suatu permukaan ditentukan oleh

perbedaan tinggi pada dua tempat yang berbeda. Penggambaran perbedaan ketinggian antar

tempat dapat dinyatakan sebagai ketinggian setiap sel di mana setiap nilai ketinggian diberikan

dua indeks yang menyatakan koordinat lokasi (h(i,j)) (Gambar 2.7). Untuk menyatakan besarnya

kemiringan suatu lahan dapat digunakan satuan derajat kemiringan yang didapatkan dari tangen

sudut yang dibentuk oleh dua tempat dengan ketinggian yang berbeda, atau dinyatakan sebagai

persen yang didapatkan dari rasio antara nilai ketinggian dengan jarak proyeksi horizontal antara

dua tempat tersebut terhadap sumbu x dan y.

Gambar 2.7. Penggambaran Ketinggian di dalam Setiap Sel.

Berdasarkan penjelasan tersebut di atas, maka persamaan matematis yang digunakan untuk

mendapatkan kemiringan lahan (S) adalah sebagai berikut:

Page 14: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

………………………… (1)

Arah aliran; Arah aliran dimodelkan sebagai satu bentuk hasil turunan yang didapatkan dari arah

kemiringan lahan suatu sel. Seperti telah diketahui, bahwa setiap sel mempunyai data ketinggian

yang unik, sehingga untuk menentukan arah suatu aliran akan ditentukan dari nilai arah

kemiringan lahan yang paling curam yang didapatkan dari persamaan 1. Hal ini berarti bahwa

untuk menentukan arah aliran satu sel, maka harus dilakukan perhitungan nilai rasio ketinggian

dan jarak sel tersebut terhadap 8 sel di sekitarnya yang dibatasi oleh dua titik diagonal koordinat

(i-1, j-1) dan (i+1, j+1). Algoritma dari pemodelan penentuan arah aliran setiap sel tersebut dapat

dituliskan sebagai berikut, di mana Smax merupakan arah aliran :

Smax =0

FOR m = i-1 TO j+1

FOR n = j-1 TO j+1

……………………(2)

IF S > Smax THEN Smax = S

NEXT n

NEXT m

Setelah didapatkan nilai S yang paling curam (Smax), maka arah aliran suatu sel akan dinyatakan

sebagai bilangan 2n. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah penggunaan informasi arah aliran

tersebut bagi penurunan peubah dan parameter lain yang akan digunakan dalam penelitian ini.

Arah aliran tersebut akan menunjuk pada 6 sel di sekitar sel yang ditentukan arah alirannya (sel

target). Gambar 2.8 menunjukkan nilai arah-arah aliran dan contoh hasil perhitungan yang telah

dilakukan untuk menentukan arah aliran (Fdir).

Page 15: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.8. Nilai Arah Aliran dan Contoh Hasil Perhitungan Arah Aliran.

Akumulasi Aliran; Akumulasi aliran adalah jumlah sel yang terakumulasi di suatu sel tertentu yang

disebabkan oleh arah aliran sel-sel dalam suatu data DEM mengarah pada sel tersebut. Pemodelan

akumulasi aliran ini berguna untuk menentukan jumlah air limpasan permukaan yang diterima oleh

suatu tempat atau titik dalam suatu DAS. Jika kemudian titik tersebut dianggap sebagai keluaran

(outlet) bagi suatu jaring-jaring aliran, maka sel tersebut akan mendapatkan jumlah sel yang paling

besar jika dibanding dengan sel lain dalam suatu DAS yang sama. Secara matematis, akumulasi

aliran (Facc) ini dimodelkan sebagai fungsi dari arah aliran (Fdir) dengan persamaan sebagai

berikut :

……………………..(3)

Berdasarkan pada persamaan 3, maka dengan menggunakan contoh pada Gambar 2.7 akan

didapatkan jumlah sel yang terakumulasi pada suatu sel tertentu seperti yang disajikan pada

Gambar 2.9. Dalam batasan suatu DAS, nilai akumulasi aliran sama dengan nol menunjukkan

bahwa pada tempat-tempat tersebut merupakan batas DAS atau Sub DAS berupa punggung-

punggung bukit.

Page 16: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.9. Hasil perhitungan akumulasi aliran

Jaringan aliran (segment); Setelah parameter permukaan seperti kemiringan, arah aliran dan

akumulasi ditentukan, maka model berikutnya adalah penentuan jaringan aliran. Jaringan aliran

dapat disebut juga sebagai sungai atau badan air terbuka. Pada parameter ini penentuannya

ditentukan oleh parameter akumulasi aliran dengan nilai atau jumlah tertentu. Pada kajian ini,

jaringan aliran dimodelkan dengan sebuah asumsi bahwa jumlah sel akumulasi aliran dan jumlah

tersebut berfungsi sebagai peubah aliran permukaan. Berikut ini adalah model matematis

penentuan jaringan aliran.

………………………………(4)

dimana :

Stream : Badan aliran/sungai

nSel(n-order) : Jumlah sel minimum yang disyaratkan pada order yang sama sehingga suatu sel

dapat dikatakan sebagai sungai/ badan air.

Pada kajian ini yang dianggap sebagai badan aliran air atau sungai jika suatu sel mengakumulasi

jumlah sel tertentu yang ditentukan secara bebas atau dengan kata lain nilai nSel (n-order)

menjadi peubah bebas tergantung dengan tingkat ketelitian hasil model yang diiginkan. Sehingga

semakin kecil luas daerah kajian (misal, salah satu Sub-DAS Ciliwung) maka dimasukkan nilai yang

kecil, begitu pula sebaliknya.

Batas-batas sub DAS; Suatu DAS terdiri dari beberapa Sub-DAS. Seperti halnya penentuan jaringan

aliran, maka batas-batas Sub-DAS dimodelkan dengan menggunakan nilai akumulasi sel sebagai

parameter masukkannya. Pada bagian sebelumnya telah dijelaskan bahwa nilai akumulasi aliran

sama dengan nol menunjukkan bahwa suatu tempat adalah punggung bukit yang secara fisik

merupakan suatu titik yang digunakan untuk membatasi satu Sub-DAS dengan Sub-DAS yang lain.

Secara matematik, penentuan batas-batas Sub-DAS dimodelkan sebagai berikut:

………………………………(5)

Page 17: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

nSel adalah nilai yang digunakan untuk menentukan jumlah minimum sel yang disyaratkan dalam

menentukan Sub-DAS. Nilai nSel ini berasosiasi dengan luas minimum suatu area yang dapat

dianggap sebagai suatu sub-DAS.

f. Model Optimasi Sumur Resapan

Optimasi jumlah sumur resapan dan luas vegetasi dilakukan dengan menggunakan batasan

bilangan kurva yang merupakan parameter dalam perhitungan limpasan permukaan dan

merupakan fungsi dari kelompok hidrologi tanah dan jenis penutupan lahan. Optimasi dilakukan

dengan mencari nilai error terkecil terhadap bilangan kurva yang diminimumkan untuk

mendapatkan nilai debit rencana yang dikehendaki. Skema optimasi sumur resapan dan luas

vegetasi dapat dilihat pada Gambar 2.10.

Gambar 2.10. Skema Optimasi Jumlah Sumur Resapan dalam Suatu DAS.

g. Perhitungan Tinggi Muka Air Tanah (Water Table)

Pengukuran tinggi muka air tanah dilakukan dengan menggunakan Pizometer, di mana tinggi

muka air tanah di suatu tempat merupakan selisih dari tinggi kontur tanah setempat dengan

kedalaman sama dari permukaan tanah setempat, secara matematis dapat ditulis sebagai berikut :

H = E –d                  …………………………..(6)

Page 18: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Keterangan : h = Tinggi muka air tanah (m)

E = Elevasi permukaan tanah setempat (m)

d = Kedalaman muka air tanah dari permukaan tanah setempat (m)

Perhitungan debit maksimum yang dihasilkan dari setiap tipe penggunaan lahan dihitung

menggunakan persamaan:

Q = CIA / 360   …………………………………(7)

di mana:   Q = Debit limpasan maksimum (m3/det)

C = Koefisien aliran permukaan sesuai penutupan lahan

I = Intensitas hujan sesuai dangan waktu pemusatan aliran (mm/jam)

A = Luas DAS (Ha)

h. Pendekatan untuk Vegetatif

Penetapan lokasi areal berbagai bentuk rehabilitasi lahan seperti penanaman vegetasi tetap,

penghijauan, agroforestry, teras gulud, strip rumput, rorak, dam penahan, dam pengendali, gully

plug, embung, dan sumur resapan dilakukan melalui identifikasi lokasi yang nemungkinkan dengan

mengacu pada Pedoman Teknis Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan (GN-RHL/Gerhan)

yang dikeluarkan oleh Departemen Kehutanan tahun 2007.

Areal calon masing-masing bentuk rehabilitasi lahan dilakukan dengan cara meng-overlay peta-

peta yang sesuai dengan kriteria yang digunakan. Peta yang digunakan berupa peta kawasan

hutan, peta kekritisan lahan, peta penggunaan lahan, peta kemiringan lahan, dan peta tanah. Dari

hasil overlay dilakukan query poligon-poligon yang memenuhi kondisi seperti disebutkan di atas

yang merupakan areal yang perlu direhabilitasi.

Berdasarkan hasil identifikasi kemudian ditentukan areal prioritas yang perlu direhabilitasi dengan

mempertimbangkan juga tingkat bahaya erosi, tekanan penduduk dan aksesibilitas. Areal yang

semakin besar tingkat bahaya erosinya serta semakin tinggi tekanan penduduk dan

aksesibilitasnya menjadi semakin prioritas untuk direhabilitasi.

Untuk memberikan arahan lokasi berbagai bentuk rehabilitasi lahan, areal prioritas kemudian

dikombinasikan dengan hasil wawancara dengan petugas penyuluh kehutanan dan konfirmasi

dengan pejabat terkait di setiap kabupaten.

2.2.3. Pendekatan Kajian Kelembagaan

Dalam konteks pelaksanaan suatu program, kajian kelembagaan diperlukan untuk memastikan

bagaimana agar program tersebut dapat memenuhi tujuannya dan memberikan dampak yang

diharapkan. Lebih dari itu kajian kelembagaan dalam konteks program diperlukan untuk

memperbesar/meningkatkan dampak positifnya melampaui sasaran atau target yang ditetapkan

sebelumnya, dan juga untuk memelihara dan mengembangkan kesinambungannya.

Page 19: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Kelembagaan memiliki dua makna atau pengertian. Pertama, kelembagaan sebagai pranata/norma

atau ketentuan/prosedur yang mengatur hubungan masyarakat baik antar individu, antar individu

dengan kelompok, atau antar kelompok dengan kelompok (Schmid, 1987). Kedua, kelembagaan

sebagai organisasi. Dalam pengertian ini organisasi yang dimaksud baik yang berbentuk formal

(institusi/lembaga) atau non formal (kelompok masyarakat, rumah tangga).

Kajian kelembagaan Program Rehabilitasi Lahan dan Hutan untuk Pengendalian Banjir di wilayah

Jabotabek dilakukan untuk keperluan seperti yang dimaksud di atas, serta dikaji menurut kerangka

dua makna/pengertian di atas.

Pertama, kajian kelembagaan dalam kerangka makna/pengertian lembaga sebagai organisasi,

diidentifikasi siapa organisasi pelaksana program. Dalam kajian kerangka ini, fokus perhatian

ditujukan terhadap organisasi pelaksana yang berada di garis depan (frontliner) yang berperan

sebagai “ujung tombak” pelaksanaan program. Kemudian diidentifikasi isu-isu, harapan dan

kekhawatiran dari para frontliner berdasarkan pengalaman mereka selama ini di lapangan.

Kedua, kajian kelembagaan dalam kerangka makna/pengertian lembaga sebagai pranata, juga

sama diidentikasi isu-isu, harapan dan kehawatiran dari para pihak yang terkait dan

berkepentingan dengan pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek. Identifikasi digali berdasarkan

pengalaman mereka selama ini.

Terhadap hasil-hasil identifikasi isu, harapan dan kehawatiran, kemudian dianalisis dan diturunkan

program-program kelembagaan yang diperlukan. Kerangka analisis yang digunakan adalah dengan

menggunakan pendekatan Analisis Peran serta Analisis Dampak Kegiatan yang dikembangkan oleh

Gunawan dan Sujatnika (2007).

Termasuk dalam kajian kelembagaan adalah berkenaan dengan infrastruktur sosial, yakni suatu

prasyarat sosial yang perlu dipenuhi agar pelaksanaan program dapat berjalan dengan baik. Pada

tataran ini diidentifikasi kebutuhan-kebutuhan untuk memenuhi atau menguatkan prasyarat-

prasyarat sosial yang dimaksud.

Keseluruhan pendekatan kajian kelembagaan ini disajikan dalam framework, seperti disajikan pada

Gambar 2.11.

Page 20: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 2.11. Bagan Alur Kegiatan Kajian Rinci Rencana Tindak RHL untuk Pengendalian Banjir di

Jabodetabek.

BAB III ANALISIS KAWASAN

3.1. Kerangka Dasar Analisis Kawasan

Seluruh upaya pengendalian banjir di wilayah Jabodetabek yang dilakukan melalui pelaksanaan

program-program hendaknya mengacu pada peta permasalahan banjir. Jika kita gagal memahami

peta permasalahan tersebut, kita akan ragu atau kesulitan mendesain program. Selain itu hasil dan

dampaknya juga tidak sesuai dengan apa yang diharapkan. Hal itu dapat terjadi karena desain

program tidak mengacu pada akar permasalahan.

Page 21: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.1. Peta aliran permukaan sebagai kerangka dasar untuk memetakan permasalahan dan

pengendalian banjir.

Upaya pengendalian banjir pada dasarnya ditujukan untuk menurunkan jumlah aliran permukaan,

mengendalikan daya rusak aliran permukaan dan memperbaiki kualitas aliran permukaan. Fokus

program-program pengendalian banjir yang dilakukan mesti mengacu pada sifat alamiah aliran

permukaan, yakni upaya-upaya yang befokus untuk menahan dan meresapkan aliran permukaan.

Skema alir permukaan seperti ditunjukan pada Gambar 3.1 merupakan kerangka dasar untuk

memetakan permasalahan sekaligus pengendalian banjir.

Kenyataannya ada banyak gagasan atau inisiatif program yang telah dikembangkan kurang

berpijak pada peta permasalahan banjir. Program-program didesain secara mikro, sektoral/parsial,

atau reaktif. Beberapa isu permasalahan dan pengendalian banjir seperti itu acap kali muncul ke

publik, antara lain:

Banjir Jakarta dari tahun ke tahun cenderung semakin besar atau parah yang disebabkan

oleh sesuatu yang berada diluar kontrol, yakni perubahan iklim. Pandangan seperti itu

dapat memberikan dampak psikologis yang luar biasa bagi publik dan juga para praktisi

konservasi tanah dan air. Hal itu dapat diidentifikasi dari adanya sikap skeptis yang

kemudian beranggapan bahwa banjir adalah sesuatu yang tidak bisa dikontrol dan

dianggap sebagai kejadian bencana rutin yang harus diterima sebagai takdir.

Gagasan pembangunan bendungan dan kanal-kanal sebagai sesuatu yang fundamental

dan mendesak untuk segera direalisasikan. Sesungguhnya ada banyak pilihan upaya lain

untuk pengendalian banjir selain dari bendungan dan kanal-kanal dengan resiko dan biaya

yang lebih rendah serta memberikan efek yang cepat tetapi memerlukan pelibatan

masyarakat yang berkesimabungan.

Page 22: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Dua contoh isu di atas adalah salah satu alasan mengapa kita perlu memeriksa dan mengkaji

ulang Rencana Tindak. Hal ini diperlukan tiada lain untuk meneguhkan atau menegaskan kembali

bahwa program-program yang diturunkan benar-benar mengacu pada akar permasalahannya.

Setelah itu kemudian merincikan program-program tersebut ke dalam uraian-uraian yang lebih

bersifat operasional. Paparan tinjauan atau temuan dari banyak aspek berikut ini merupakan

pertimbangan dan/atau masukan untuk melakukan analisis dan simulasi rincian program rencana

tindak yang objektif dan rasional sehingga dapat menjadi jawaban dari akar permasalahan yang

ada.

Berdasarkan pada kerangka analisis yang telah dijelaskan pada Bab II dan penjelasan tersebut di

atas, maka pada bagian ini akan dijelaskan hasil-hasil analisis kawasan dari berbagai aspek yang

didahului dengan penjelasan tentang status kawasan, kondisi geohidrologi, deskripsi mengenai

jenis tanah, kondisi penutupan lahan, kelompok hidrologi tanah yang berpengaruh terhadap jumlah

limpasan permukaan, keadaan topografi dan kelerengan yang berpengaruh terhadap waktu

konsentrasi dan waktu tempuh aliran, deskripsi dan analisis kondisi curah hujan, hidrologi DAS dan

demografi sosial ekonomi serta kelembagaannya. Masing-masing dari aspek kajian tersebut akan

dijelaskan secara terpisah serta kaitannya dengan kondisi banjir yang terjadi.

3.2. Status Kawasan

Berdasarkan status kawasan hutan, luas total wilayah DAS di Jabodetabek yang merupakan

kawasan hutan seluas 11,7 %, sedangkan sisanya di luar kawasan hutan. Pembagian batas DAS

berdasarkan status kawasan disajikan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.2 di bawah ini.

Berdasarkan status kawasan wilayah Jabodetabek, yang merupakan area dalam kawasan hutan

terdiri dari Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasinal Halimun Salak di bagian

Page 23: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

selatan. Keberadaan taman nasional ini merupakan daerah resapan air dan penyangga untuk DAS

Ciliwung, Cisadane dan Kali bekasi di bagian hulu. Sedangkan hulu Sungai Angke dan Pesanggahan

berada di luar kawasan, tetapi di bagian muara terdapat Cagar Alam Muara Angke. Pada hulu DAS

Ciliwung terdapat Cagar Alam dan Taman Wisata Alam Telaga Warna. Sedangkan di bagian hulu

DAS Cisadane terdapat Taman Nasional Gunung Halimun. Diantara hulu Ciliwung dan Cisadane

terdapat Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Di DAS Kali Bekasi terdapat Taman Wisata

Alam/Hutan wisata Gunung Pancar. Di DAS Krukut dan Grogol terdapat Suaka Margasatwa Muara

Angke. Dari Tabel 3.1 terlihat bahwa luas total kawasan hutan 7 DAS tersebut hanya 11,7 % dari

total areal.

Gambar 3.2. Wilayah DAS Jabodetabek Menurut Status Kawasan (Baplan,

KepmenNo.SK.195/Kpts-II/2003 tgl 4 Juli 2003 dan Kepmen No.SK.220/Kpts-II/2000 tgl 2 Agustus 2000).

3.3. Geologi dan hidrogeologi

3.3.1. Geologi

Berdasarkan tatanan geologi daerah Jabodetabek termasuk ke dalam 2 zona fisiografi, yakni zona

Bogor, menempati wilayah Bogor yang dicirikan oleh adanya antiklinorium dengan arah barat-

timur dan wilayah Sukabumi merupakan kelanjutan dari zona Bandung yang dicirikan oleh adanya

tinggian yang terdiri dari sedimen tua menyembul di antara endapan vulkanik. Batas kedua zona

tesebut di lapangan tidak terlalu jelas karena tertutup oleh endapan gunung api Kuarter.

Page 24: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Batuan tertua menempati initi antiklin yang secara berurutan ditutupi oleh batuan yang lebih muda

yang tersingkap pada bagian sayap antiklin di bagian utara dan selatan. Berdasarkan peta geologi

lembar Bogor oleh A.C. Effendi, (1986) yang dikorelasikan dengan peta geologi lembar Jakarta oleh

T. Turkandi, (1992) dapat dikelompokan secara sederhana menjadi 3 satuan batuan, yaitu :

a) Batuan sedimen tersier

b) Batuan vulkanik dan terobosan

c) Batuan endapan permukaan

Tabel 3.2

Gambar 3.3. Distribusi Geologi di wilayah Jabodetabek

Geologi daerah Jakarta seluruhnya terbentuk oleh batuan sedimen yang berumur Miosen Awal-

Plistosen, batuan vulkanik dan endapan permukaan yang berumur sekarang. Secara singkat,

litostratigrafi daerah penyelidikan dari yang berumur tua hingga muda dapat dikemukakan sebagai

berikut di bawah ini.

Endapan Permukaan

a. Satuan Batu Pasir Tufan dan Konglomerat/Kipas Aluvium (Qav)

Tuf halus berlapis, tuf konglomerat berselang-seling dengan tuf pasiran dan batu apung. Tuf halus,

kelabu muda, berlapis tipis, pejal, merupakan bagian bawah dari satuan ini. Tebal yang tersingkap

sekitar 2 m. Sebagian lapisannya memperlihatkan perairan sejajar.

Page 25: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Tuf Konglomeratan, putih kekuningan, kemas terbuka, pemilihan buruk, membundar tanggung-

membundar sempurna, berbutir 1-3 cm, tersusun oleh andesit dan kuarsa, matrik tuf halus, tebal

kira-kira 1,5 m.

Tuf pasiran, kelabu muda, pemilihan buruk, berbutir halus-kasar, membundar tanggung-

membundar, bersusunan andesitan, bersisipan selang-seling dengan tuf konglomeratan.

Tuf batu apung, kuning kecoklatan, kemerahan, mengandung konkresi besi (2-3 cm) dan fragmen

batu apung, membundar tanggung sampai membundar, garis tengah 3-5 cm dan kerikil kuarsa

yang bundar, menindih langsung tuf konglomeratan. Tebal sekitar 3 m.

Satuan ini membentuk morfologi kipas dengan pola aliran ”dischotomic”. Pengendapanya diduga

pada lingkungan darat, bahan pembentuknya berasal dari batuan gunung api muda di Dataran

Tinggi Bogor. Umur satuan ini diduga Pleistosen Akhir atau lebih muda. Tebal satuan ini diduga

sekitar 300 m. Satuan ini terlempar sangat luas, dari selatan ke utara. Di selatan pada lembar

Bogor membentuk kipas aluvium (Qa), sedangkan pada lembar Karawang merupakan satuan

Konglomerat dan Batu Pasir Tufan (Qav).

b. Endapan Pematang Pantai (Qbr)

Terdiri dari pasir halus-kasar, warna kelabu tua dan terpilah bagus. Sebarannya berarah timur-

barat searah dengan bentuk pasir sekarang. Kenampakan di lapangan sangat sulit dikenal karena

sudah tertutup oleh pemukiman. Namun masih tampak pada foto udara, yaitu berupa tanggul

dengan morfologi menggelombang.

Berdasarkan kenampakan morfologi dan batuan penyusunnya, diduga satuan ini terbentuk karena

endapan angin yang membentuk onggokan pasir (sand dune).

c. Aluvium (Qa)

Terdiri dari lempung pasir, kerikil , kerakal dan bongkahan. Endapan ini meliputi endapan pantai

sekarang, endapan sungai dan rawa. Sebaran satuan ini terlampar di sepanjang pantai utara dan di

sepanjang lembah sungai besar. Endapan ini menyebar luas ke arah timur pada lembar Karawang

yang terdiri dari endapan sungai muda (Qa), endapan dataran banjir (Qaf) dan endapan batu

dangkal (Qac).

Batuan Sedimen

a. Formasi Klapanunggal

Terdiri dari batu gamping koral dengan sisipan batu gamping pasiran, napal, batu pasir kuarsa

glokonitan dan batu pasir hijau.

Batu gamping koral, tersusun dari cangkang moluska dan koral, makin ke atas berubah menjadi

batu gamping pasiran, pejal, berlapis, kelabu muda, tebal 20-50 cm, kemiringan 200 dengan arah

Page 26: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

jurus timur laut-barat daya. Setempat mempunyai retakan dengan kemiringan 50-600 ke arah

timur laut.

Batu gamping pasiran, kelabu kekuningan, glokonitan, mengandung moluska, foraminifora dan

koral, berlapis baik dengan tebal 5-20 cm, kemiringan 20-500, setempat sampai 700 dengan arah

jurus timur laut-barat daya. Batu gamping ini berselingan dengan napal dan batu pasir hijau.

Beberapa sayatan sisipnya menunjukkan bahwa batu ini mengandung glokonit, moluska,

foraminifera, echinodermata dan bahan rombakan berupa kuarsa berhablur tunggal atau banyak,

felspar, fragmen batuan andesitan dan granitan, hornblenda, biotit, piroksen, epidot, turnalin dan

magnetit yang tersemen oleh sparit dan matrik mikrit.

Napal, kelabu, tidak berlapis dan lunak mengandung foraminifera, moluska, berhablur priti,

berselingan dengan batu gamping pasiran, tebal 40-200 m. Batu pasir kuarsa glakoinitan, kelabu

kehijauan, banyak mengandung kuarsa, berbutir halus hingga sedang, membundar tanggung-

bundar, terpilih baik, tebal 40-80 cm, menyisip dengan batu lempung.

Batu pasir, kehijauan, lunak, sebagian mengandung 80% glokonit, berbutir halus-sedang,

kandungan moluska, foraminifera, koral melimpah, juga terdapat bekas galian binatang (burrow).

Hasil analsis palaentologi menunjukkan bahwa batu pasirnya mengandung fosil foraminifera kecil,

plankton dan bentos, di antanya Globigerina venezuelana HERDBERG, kumpulan fosil tersebut

menunjukkan umur Miosen Tengah atau zona N9-N12 (Purnamaningsih, 1986, hubungan tertulis).

Pada batuan yang sama dijumpai fosil bentos, antara lain Uvigerina sp., brazilina sp., planulina sp,

dan gyoridina sp. Fosil tersebut menunjukkan bahwa formasi ini berlingkungan pengendapan

sublitoral luar-batial. Formasi ini tebalnya ratusan meter dan menyebar di bagian tenggara lembar,

meliputi daerah Rawaragos, Sungai Cibeber, yang membentuk morfologi ”hogbag”. Berdasarkan

bentuk sebaran dan umurnya, formasi ini menjemari dengan kelapanunggal.

Nama Formasi Jatiluhur pertamakali diusulkan oleh Effendi (1974) dan menerus ke lembar

Karawang dan lembar Bogor.

b. Formasi Bojongmanik (Tmb)

Terdiri dari perselingan batu pasir dan batu lempung dengan sisipan batu gamping.

Batu pasir, kelabu kehijauan, berbutir halus-sedang, membundar tanggung-membundar, terpilih

baik, tersusun oleh kuarsa dan banyak glokonit tebal 40-80 cm.

Batu lempung, kelabu kebiruan, berlapis baik, berstruktur perairan, agak padat, tebal berkisar

antara 10-30 cm.

Batu gamping, kelabu kekuningan, padat berlapis dengan tebal 50-100 cm, mengandung fosil

moluska dan koral. Pada beberapa tempat terdapat sisipan tipis tuf batu apung, breksi tufan, batu

pasir tufan dan sedikit sisa tumbuhan, berstruktur simpang siur. Di beberapa tempat dijumpai

sisipan batubara muda dan kuning kecoklatan bila sudah lapuk.

Analisis Palaentologi pada batu lempung dijumpai jejak fosil dan foraminifera plankton, diantaranya

Globigerinoides trilobus REUSS. Kumpulan fosil-fosil tersebut di atas menunjukkan umur Miosen

Page 27: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Tengah (N9-N13, Purnamaningsih, 1986, hubungan tertulis). Dengan dijumpainya fosil bentos

antara lain Robulus sp., maka formasi Bojongmanik diperkirakan diendapkan dalam lingkungan

laut dangkal terbuka, sublitoral dalam. Secara umum formasi ini menunjukkan perlapisan bagus

dengan struktur sedimen lapis bersusun, simpang siur dan struktur perairan, yang menunjukkan

sedimen ini diendapkan dalam lingkungan air yang berarus.

Tebal formasi ini diperkirakan mencapai 1.000 m. Berdasarkan kesamaan batuan dan umur

nisbinya, formasi ini dapat dikorelasikan dengan formasi Bojongmanik bagian bawah (Sudjatmiko,

dkk. 1989). Sebarannya meliputi daerah Pr. Rahang, Bojongsengket, Cikaau, Banakan dan lain-

lainnya.

Pada lembar Bogor, Formasi Bojongmanik (Tmb) ini tertindih oleh tuf dan breksi (Tmtb), sedangkan

pada lembar Jakarta tuf dan Breksi merupakan bagian dari Formasi Bojongmanik (Tmb).

c. Formasi Genteng (Tpg)

Terdiri dari tuf batu apung, batu pasir tufan, breksi, andesit, konglomerat dan sisipan lempung

tufan.

Tuf batu apung warna putih sampai kelabu, berbutir halus hingga kasar, bersifat asam hingga

menengah, berlapis baik, mengandung batu apung, kaca gunung api, kuarsa, mika, hornblenda,

dan pecahan batuan, tebal batuan sekitar 90 cm, setempat bersisipan tipis tuf debu dan kayu

terkesikkan.

Batu pasir tufan, kelabu hingga kebiruan, berbutir sedang hingga kasar, mengandung glokonit,

kuarsa dan kayu terkesikkan yang melimpah, berstruktur silang siur, tebal lapisan sampai puluhan

meter.

Breksi andesit, berstruktur perlapisan bersusun, berbutir pasir kasar hingga kerakal, menyudut

tanggung hingga membundar tanggung, berkomponen andesit basal, batu apung, kuarsa dan

gunung api, tebal lapisan dari beberapa sentimeter hingga puluhan meter. Di beberapa tempat

terdapat lensa-lensa tuf dan batu pasir terutama di bagian alasnya.

Konglomerat, kelabu tua, agak mampat, berbutir pasir kasar hingga kerakal, membundar hingga

membundar tanggung, berlapis baik, berkomponen andesit, kuarsa, batu apung, felspar, batu pasir

dengan masa dasar tuf pasiran, berstruktur lapis bersusun, tebal lapisan antara 15-60 cm,

terutama pada bagian bawah formasi.

Lempung tufan, berwarna kelabu kehijauan, lunak, tebal sekitar 5-10 cm, sebagai sisipan dalam

batu pasir. Di dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan stratigrafinya yang

menindih tak selaras Formasi Bojongmanik dan ditindih secara selaras Formasi Serpong, maka

formasi ini diduga berumur Pliosen awal-pliosen tengah. Marks (1956) menyatakan Pliosen awal

berumur pliosen awal-pliosen tengah, sedangkan Van Bammelen (1949) menyatakan berumur

Miosen-Pliosen Awal. Berdasarkan struktur sedimen dan batuan penyusunnya, diduga formasi ini

diendapkan dalam lingkungan litoral hingga darat.

Tebal lapisan ini diperkirakan puluhan hingga ratusan meter, sebarannya meliputi daerah-daerah

Dago hilir, Pasirawi, Celong, Pagedangan dan Curugwetan.

Page 28: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Nama satuan ini didasarkan persamaan litologi dan penyebarannya di lembar Serang, dengan

lokasi tipe di Desa Genteng, sebelah selatan Rangkasbitung, Banten.

Nama lain adalah ”Genteng Lagen” (Anonimous, 1938) atau ”Genteng Bed” (Van Bemmelen,

1949).

d. Formasi Serpong (Tpss)

Tersusun oleh perselingan konglomerat, batu pasir,batu lanau, batu lempung dengan sisa

tanaman, konglomerat batu apung dan tuf batu apung.

Konglomerat, hitam kebiruan, terdiri dari beraneka ragam komponen, yaitu andesit, basal, batu

gamping dan rijang, setempat terdapat fosil kayu, matriks pasir hitam, kemas terbuka, pemilahan

sedang, komponen berumur 7-12 cm, setempat sampai 30 cm, membundar-tanggung membundar,

berstruktur imbrikasi (”imbrication”). Pada umumnya mengisi bagian yang tererosi pada batuan

yang lebih tua (Formasi Bojongmanik). Di bagian atas, konglomerat ini mengandung batu apung

yang berukuran lebih kecil dari (3-5 cm) dengan matrik pasir tufan.

Batu pasir, kelabu kehijauan, halus-sedang, membundar tanggung-membundar baik, pemilihan

sedang, sebagian berstruktur silang siur, tebal lapisan 60-200 cm, berselang seling dengan

konglomerat.

Batu lanau, kelabu kehitaman, berstruktur perairan, mengandung banyak sisa tanaman seperti

daun, batang dan tunggul pohon, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 50-300 cm.

Batu lempung, kelabu kehitaman, pejal dan berstruktur perairan, mengandung sisa tanaman dan

bekas galian binatang, berselang seling dengan konglomerat, tebal lapisan 30-100 cm.

Konglomerat batu apung, putih kekuningan, komponen terdiri dari batu apung andesitan,

pemilihan baik, berukuran 3-5 cm, matrik tufan kelabu cerah, berselang seling dengan tuf batu

apung.

Tuf batu apung, putih, berbutir kasar, pemilihan jelek, membundar tanggung hingga membundar,

tersusun dari pasir kasar (lapili) bersusunan andesitan, berstruktur silang siur, semakin ke atas

semakin halus dan menjadi tuf halus yang berstruktur perairan, setempat bersisipan pasir hitam.

Kemiringan batuan 5-100 dengan arah jurus timur laut-barat daya.

Dalam formasi ini tidak ditemukan adanya fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang

menindih secara tidak selaras Formasi Bojongmanik dan Formasi Genteng, dan ditindih secara

selaras oleh batuan vulkanik muda. Diduga Formasi Serpong berumur Pliosen Akhir.

Berdasarkan kenampakan batuan, struktur sedimen dan bentuk sebarannya yang di sepanjang

sungai, maka formasi ini diduga diendapkan pada sungai tua yang berpola menganyam dan

bertanggul (levee), dan sebagian di endapkan pada lingkungan rawa.

Page 29: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Tebal lapisan ini sekitar 100 m, sebaran Formasi ini di sepanjang Sungai Cisadane, Sungai Cikeas,

Sungai Cileungsi, di Kampung Bodonglio dan Depok.

Batuan Gunung Api

a. Tuf Banten (QTvb)

Terdiri dari tuf, batu apung, breksi dan batu pasir tufan.

Tuf kaca, berwarna kelabu, terdiri dari masa dasar kaca, berkomponen felspar, mineral mafik dan

sedikit kuarsa, bersusunan andesit dan umumnya mengandung batu apung.

Tuf tua, berwarna kelabu gelap, terutama terdiri dari kepingan andesit dan batu apung serta

dengan sedikit felspar dengan tuf halus sebagai masa dasar.

Tuf hablur, berwarna kelabu putih, tersusun dari felspar, mika, minera, mafik, kaca dan sedikit

kepingan andesit serta batu apung.

Breksi batu apung, kelabu kecoklatan, komponennya menyudut-membundar tanggung, terpilah

buruk, kemas agak terbuka dan padu, berukuran 10 cm terdiri dari batu apung, andesit, obsidian

dan kaca gunung api.

Batu pasir tufan, berwarna putih kelabu, berbutir menengah sampai kasar, agak padat,

mengandung batu

apung, setempat terdapat sisa tumbuhan, umumnya menmunjukkan perlapisan silang siur.

Dijumpai beberapa sisipan tuf batu apung dengan tebal 10-15 cm dan andesit dengan massa dasar

tuf berbutir halus.

Di dalam satuan ini tidak dijumpai fosil. Berdasarkan kedudukan stratigrafinya yang menindih

secara tidak selaras Formasi Genteng dan Formasi Serpong, dan ditindih secara selaras oleh

batuan gunung api muda, satuan ini diduga berumur Plistosen Awal-Tengah, dan diendapkan

dalam lingkungan darat sampai daerah pasang surut.

Sebaran satuan ini terutama di bagian barat-laut Lembar, meliputi daerah Tanerang, Bojonglopang,

Cipondoh dan Pasir Gadeng. Tebalnya diduga sekitar puluhan meter.

Satuan ini merupakan lanjutan dari Tuf Banten dan Lembar Serang.

Penyelidik terdahulu menyebutnya sebagai Banten Tuff (Schreibner, 1925).

b. Endapan Gunung Api Muda (Qv)

Breksi, lahar, lava bantal, dan tuf breksi berselingan dengan tuf pasir atau tuf halus.

Breksi, kelabu kehitaman padat berkomponen andesit berukuran 1-15 cm, menyudut-membundar

tanggung, terpilah buruk dengan masa dasar batu pasir kasar bersusunan andesitan.

Lahar, kelabu kehitaman, padat, struktur kasar, aliran, permukaan kasar, komponen menyudut-

membundar tanggung, terpilah buruk.

Page 30: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Lava, berstruktur bantal, kelabu kehitaman, berhablur halus-sedang, porfiritik dengan piroksen dan

olivin sebagai fenokris, dan masa dasar dari plagioklas, di beberapa tempat berstruktur berongga

(Amigdaloidal) yang diisi oleh kalsit.

Tuf Breksi, kelabu-coklat, sebaran komponen 0,5-20 cm, tidak merata, terpilah buruk, kemas agak

terbuka, komponen dari andesit, batu apung, gelas atau pasir gunung api dan mineral terang,

tebalnya beberapa meter.

Tuf pasir berlapis, putih kekuningan, pemilahan jejak, berbutir halus-kasar, menyudut-membundar

tanggung, masa dasar pasair halus, tebal lapisan 2-15 cm, berselingan dengan tuf halus, dan di

bagian atas dengan tuf breksi.

Tuf halus, putih kekuningan, berstruktur perairan, mengandung fosil kayu yang terkesikkan,

moluska danbekas galian binatang ”burrow”. Di dalam tuf halus ini dijumpai adanya foraminifera

bentos jenis Bolivia sp., Non-ion sp. Dan tulang ikan. Batuan gunung api ini diduga plistosen dan

diendapkan dalam lingkungan darat, diperkirakan dari sumber Gunung Sudamanik. Di lembar

Bogor (Effendi, 1986), satuan ini disebut sebagai vulkanik tua tak terurai (Qvu). Tebal lapisan

beberapa puluh sampai ratusan meter. Sebarannya di sekitar Sungai Cipangaur dan Sungai

Cimanceuri. Adanya lava berstruktur bantal menunjukkan bahwa lava ini tidak jauh dari sumbernya

dan diendapkan dalam lingkungan air. Endapan gunung api muda ini menyebar ke Lembar Bogor

sebagai aliran lava (Qv) dan batuan Gunung Api tua tak dipisahkan (Qvu).

c. Andesit Sudamanik (Qvas)

Terdiri dari andesit. Andesit kelabu kehitaman, padat, porfiritik dengan piroksen, hornblenda dan

plagioklas sebagai fenokris dan bermassa dasar felsfar. Di beberapa tempat berstruktur meniang

atau ”sheeting”. Batuan ini membentuk kerucut tumpul di Gunung Sudamanik dan kerucut kecil-

kecil di sekitarnya. Diduga bahwa kerucut ini merupakan sumbat gunung api (”volcanic neck”) atau

“parasiticone” dari Gunung Sudamanik. Umur batuan ini diduga sama dengan atau lebih muda dari

endapan gunung api (Qv), yaitu Plistosen.

3.3.2. Hidrogeologi

Wilayah cekungan air tanah Jakarta terbagi ke dalam 4 bagian, yaitu :

1. wilayah dataran pantai yang meliputi utara Tangerang – Jakarta – Bekasi, wilayah

undak/terrace menempati bagian tengah cekungan, wilayah batuan dasar Tersier kedap

air/produktif kecil dan wilayah lereng gunung api salak dan Pangrango.

2. Wilayah dataran pantai dan undak/terrace, merupakan daerah dengan sistem akuifer

dengan aliran air tanah melalui ruang antar butir, debut sumur umumnya kurang dari 5

l/dtk terutama terdapat di wilayah Jakarta.

3. Wilayah lereng gunung api Salak dan Pangrango, merupakan daerah akuifer dengan aliran

melalui celahan dan ruang antar butir, debit sumur umumnya kurang dari 5 l/dtk, setempat

lebih dari 5 l/dtk.

Page 31: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

4. Wilayah batuan dasar tersier kedap air atau akuifer produktif kecil (pegunungan sebelah

timur dan barat).

Berdasarkan kesebandingan lempung laut dari berbagai sumur bor endapan kuarter di cekungan

air tanah Jakarta, Soekardi (1992) menyusun penampang hidrogeologi utara – selatan dengan hasil

sebagai berikut :

1. Kelompok Akuifer I, merupakan akuifer tak tertekan berkedalaman kurang daru 40 meter bmt.

2. Kelompok Akuifer II, merupakan akuifer tertekan atas dengan kedalaman 40-140 meter bmt.

3. Kelompok Akuifer III, merupakan akuifer tertekan tengah dengan kedalaman 140-250 m bmt.

4. Kelompok Akuifer IV, merupakan akuifer tertekakn bawah dengan kedalaman > 250 meter bmt.

Selanjutnya CRBDFS, menyusun diagram pagar di wilayah Jabotabek berdasarkan data sumur bor.

Tataan akuifer di wilayah Jabotabek terutama dijumpai pada akuifer endapan kuarter dan terbagi

ke dalam 3 zona akuifer, yaitu zona akuifer tak tertekan, zona akuifer tertekan tengah dan zona

akuifer tertekan bawah yang masing-masing zona ini dipisahkan oleh lapisan akuitar. Masing-

masing zona akuifer tersebut bervariasi dari kedalaman sekitar 20-60 m, 60-150 m, dan 150-250 m

bmt. Pada kedalaman yang lebih lanjut dijumpai batuan sedimen Polisen dan Miosen yang

umumnya berfungsi sebagai nir akuifer terutama pada endapan Plisen.

Keterdapatan air tanah di suatu daerah dipengaruhi oleh keterkaitan dari berbgai faktor

pendukung, seperti keadaan iklim, curah hujan, jenis litologi, struktur geologi, morfologi dan tata

guna lahan.

Mandala Air Tanah

Terutama didasarkan pada ciri morfologi, di Jakarta dapat dibagi menjadi 3 mandala air tanah,

yaitu mandala air tanah dataran, mandala air tanah perbukitan, dan mandala air tanah karst.

Mandala air tanah dataran; menempati dataran aluvium pantai dan dataran aluvium

sungai. Dataran patai berarah barat-timur meliputi utara Tangerang – Jakarta dan Bekasi

dengan lebar antara 6-16 km, selebihnya sebagian besar mandala air tanah dataran

terletak di bagian selatan hingga sampai di sekitar daerah Serpong dan Depok. Umumnya

mandala ini mempunyai sudut kelerengan antara 0-1,5%, ketinggian antara 0-100 m dpl.

Luas mandala ini sekitar 75% dari daerah penyelidikan. Litologi penyusun dari mandala ini

terutama terdiri dari endapan bersifat lepas dari endapan kuarter berupa kerakal, kerikil,

pasir, lempung dan terdiri dari endapan batuan padu tersier berupa batu pasir, breksi, tufa,

konglomereat dan batu lempung. Batu-batu lepas terutama diendapkan oleh sungai

Cisadane, Ciliwung dan Bekasi serta cabang-cabangnya berupa endapan aluvium pantai,

pematang pantai dan sungai purba di bagian utara meliputi utara Tangerang-Jakarta-

Bekasi. Ke arah lebih selatan dari daerah ini litologi penyusunnya berupa endapan kipas

aluvium berupa pasir, lempung dan kerikil yang semuanya bersifat tufaan. Tata guna lahan

di daerah ini berupa pemukiman, ladang, kebun buah-buahan, sawah dan industri.

Mandala air tanah perbukitan; menempati sekitar 20% dari daerah penyelidikan,

menempati bagian selatan dengan ketinggian sekitar 60-512 m dpl, umumnya bersudut

lereng 3-10% (kemiringan sedang) dan sebagaian di barat daya bersudut lereng 10-30%

Page 32: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

(kemiringan curam). Litologi penyusun dari mandala air tanah perbukitan terdiri dari

endapan tersier dan kuarter. Endapan tersier berupa batu lempung, batu pasir,

konglomerat, tufa dan sisipan batu gamping. Endapan kuarter terdiri dari batuan vulkanik

muda dan kipas aluvium. Batuan vulkanik muda terdiri dari breksi, lahar, tufa batu apung

di daerah lereng curam. Endapan kipas aluvium umumnya bersifart tufaan terdiri dari pasir

dan lempung. Penyebaran mata air mandala ini sedikit dijumpai, diantaranya adalah mata

air gabageang di daerah lereng utara Gunung Sudamanik bagian barat daya daerah

penyelidikan mempunyai debit 0,4 l/dtk. Tata guna lahan mandala ini berupa ladang,

belukar, sawah, pemukiman, kebun karet, kebun teh dan hutan.

Mandala air tanah karst; dicirikan oleh daerah batu gamping dengan gejala pelarutannya

oleh air. Proses pelarutan ini ditunjukkan oleh rongga-rongga dan permukaan-permukaan

runcing pada batu gamping tersebut. Luas mandala ini sekitar 5% dari daerah

penyelidikan, menempati bagian tenggara daerah penyelidikan. Litologi penyusun mandala

ini terdiri daribatu gamping koral dan bati gamping berlapis. Pemunculan mata air di

mandala ini mempunyai debit cukup besar dengan kiksaran 100-500 l/dtk (M.A. Cilalai).

Tata guna lahan di mandala ini berupa ladang dan belukar.

Daerah resapan air tanah utama di Jabodetabek antara lain daerah Parung, Sawangan,

Cileungsi, Gunung Putri, Citeureup, Cibinong, Pancoran Mas, Cisarua. Tingkat kelulusan

batuan sangat tinggi, yaitu diatas 10³ m/hari dengan jenis batuan endapan kipas aluvium,

aluvium sungai dan endapan gunung api muda. Dibagian selatan tingkat kelulusan relatif

rendah yaitu sebesar 10-1 sampai 10-2 m/hari. Daerah ini jenis tanahnya regosol, latosol

dengan curah hujan 2.500-5.000 mm ke arah selatan.

Daerah resapan sedang terdapat di daerah Megamendung dengan luasan relatif kecil dibanding

lainnya. Daerah resapan kecil tersebar di wilayah Parungpanjang, Cigudeg, G. Awi Bengkok, G.

Salak, G. Mandalawangi di selatan, G. Megamendung, G. Telaga, tersusun atas material gunung api

muda, endapan gunung api tak teruraikan, endapan gunung api tua, lava Formasi Cantayan dan

kompleks sedimen berselang seling dengan kelulusan air antara 10-1 sampai 10-2 m/hari. Curah

hujan antara 3.500-5.000 mm ke arah tenggara dengan jenis tanah grumusol dan andosol.

Menurut perhitungan imbangan air berdasar penggunaan lahan dan hujan th 1998 maka di

Kabupaten Dati II Bogor masih mampu meresapkan air sebanyak 7.837,09 x 106 m³/th. Nilai ini

sudah terjadi penurunan dibanding data th 1996 dengan resapan sebesar 7.980 x 106 m³/th.

3.4 Topografi, Kelerengan dan Kecepatan Aliran

Rata-rata bentuk DAS yang mengalir ke Jakarta adalah memanjang dari hulu ke hilir. Hanya DAS-

DAS besar seperti Cisadane, Ciliwung dan Bekasi yang mempunyai bentuk DAS membesar di

bagian hulu. Terkait dengan kondisi topografi dan kelerengannya, maka variasi lereng yang curam

terdapat di tiga DAS tersebut terutama di daerah hulu. Sedangkan bagian tengah dari DAS

tersebut berbatasan dengan bagian hulu dari DAS lain seperti Angke, Pasanggrahan, Grogol-

Krukut, Sunter dan Cakung yang mempunyai kelerengan relatif landai dari 0-15%. Dengan melihat

kondisi ini, maka pada saat aliran air permukaan di tiap DAS tersebut masuk ke dalam wilayah

Jakarta akan mengalami kecenderungan waktu konsentrasi yang lebih lama atau dengan kata lain

Page 33: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

mempunyai potensi genangan yang lebih tinggi. Berdasarkan pembagian kelas lereng di wilayah

DAS di Jabodetabek disajikan pada Tabel 3.3 dan Gambar 3.4 di bawah ini.

Keterangan: 1.Cisadane, 2.Angke, 3.Pesanggrahan, 4.Krukut & Grogol, 5.Ciliwung, 6.Sunter, 7.Cakung,

8.Kali Bekasi

Dengan menggunakan batasan kelerengan dan metode perhitungan kecepatan aliran seperti yang

dijelaskan pada Bab II, maka untuk setiap DAS di dapatkan waktu konsentrasi mulai dari bagian

paling hulu sampai dengan hilir seperti yang disajikan pada Tabel 3.4.

Dengan melihat waktu konsentrasi aliran terlihat bahwa DAS Cisadane mempunyai waktu yang

lama (18 jam) sehingga dari segi bahaya banjir lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS

Page 34: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

lainnya. DAS Angke, Pesangrahan, Krukut-Grogol dan Sunter mempunyai waktu pemusatan aliran

berkisar antara 4-7 jam sehingga perlu diwaspadai, sementara DAS Ciliwung memerlukan waktu

10,4 jam untuk berkumpulnya seluruh aliran apabila di wilayah Jabodetabek ada hujan yang

seragam dari hulu sampai hilir, sehingga masih ada waktu yang cukup untuk melakukan antisipasi

terhadap banjir yang mungkin terjadi di Jabodetabek.

Gambar 3.4. Pembagian kelas lereng di wilayah DAS di Jabodetabek.

3.5 Jenis Tanah dan Potensi Infiltrasi

Berdasarkan peta tanah klasifikasi USDA skala 1 : 250.000 dari Pusat Penelitian Tanah, daerah

kajian meliputi 8 tipe jenis tanah. Jenis tanah yang ada meliputi distrandept, distropept, eutropept,

hidraquent, paleudult, rendole, tropaquept, tropudalf dan vitrandept. Penjelasan masing-masing

jenis tanah ditunjukan pada Tabel 3.5.

Page 35: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Berdasarkan tebal solum, distrandept; distropept; eutropept; hidraquent; tropaquept dan

vitrandept memiliki tebal solum yang dalam. Paleudult memiliki tebal solum yang sangat dalam

sedangkan rendole tebal solumnya dangkal. Jenis tanah tropudalf memiliki tebal solum dalam –

sangat dalam.

Berdasarkan muka air tanah distrandept, distropept, eutropept, paleudult, rendole, tropudalf dan

vitrandept memiliki muka air tanah yang dalam sedangkan hidraquent dan tropaquept memiliki

muka air tanah yang dangkal–sangat dangkal.

Berdasarkan laju infiltrasi, distrandept dan vitrandept memiliki laju infiltrasi yang lebih tinggi

dibandingkan jenis tanah yang lainnya. Distropept dan eutropept memiliki tingkat laju infiltrasi

yang sedang. Laju infiltrasi tanah hidraquent berkisar antara rendah–sangat rendah. Sedangkan

paleudult, rendole, tropaquept dan tropudalf laju infiltrasinya rendah.

Peta sebaran jenis tanah menunjukkan di bagian hulu DAS Cisadane, Ciliwung dan Kali Bekasi

relatif lebih beragam jenis tanahnya dibandingkan DAS-DAS yang lainya. Distropept lebih

mendominasi jenis tanah di bagian hulu DAS Ciliwung dan Cisadane. Sedangkan di DAS Kali Bekasi

Page 36: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

lebih didominasi oleh jenis tanah tropudalf. Jenis tanah Paleudult lebih mendominasi di bagian

tengah DAS Ciliwung, Cisadane dan Kali bekasi atau di bagian hulu DAS Krukut dan Grogol,

Cakung, Sunter, Angke dan Pesanggrahan. Hampir seragam di bagian hilir daerah kajian lebih

didominasi oleh jenis tanah Tropaquept. Luas masing-masing jenis tanah setiap DAS ditunjukan

oleh Tabel 3.6 dan sebarannya ditunjukkan pada Gambar 3.5.

Page 37: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.5. Peta sebaran tanah dalam lingkup wilayah Jabodetabek (sumber: Pusat Penelitian

Tanah, Repprot)

3.6 Kelompok Hidrologi Tanah (Soil Hidrology Group)

Untuk menghitung karakteristik infiltrasi tanah U.S. Soil Conservation Service membagi tanah ke

dalam empat Soil Hidrological Group, yang didefinisikan sebagai berikut :

Grup A : potensi run-off rendah, tanah mempunyai laju transmisi air tinggi (laju infiltrasi final lebih

besar 0,72 cm/jam), tektur berpasir

Grup B : tanah mempunyai laju transmisi air tergolong sedang (laju infiltrasi final antara 0,72 –

0.36 cm/jam), tektur lempung berpasir

Grup C : tanah mempunyai laju transmisi air tergolong lambat (laju infiltrasi final antara 0,36-0,12

cm/jam), lempung berliat, lempung berpasir dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan

tanah –tanah berkadar liat tinggi

Grup D : potensi run-off tinggi, tanah mempunyai laju transmisi air tergolong sangat rendah (laju

infiltrasi final lebih kecil 0,12 cm/jam), tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat

berat, dan plastis.

Page 38: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Soil Hidrological Group di daerah kajian didominasi oleh grup C, yang paling banyak ditemukan di

bagian tengah daerah kajian. Hanya sebagian kecil ditemukan pada bagian hulu DAS Cisadane dan

Kali Bekasi. Group B lebih banyak di temukan pada bagian Hulu DAS Cisadane dan Kali Bekasi.

Bagian Hilir semua DAS kajian termasuk dalam Group D, di mana daerah ini memiliki potensi

limpasan permukaan yang tinggi atau potensi transmisi air ke dalam tanah sangat rendah. Tabel

3.7 menunjukkan luas kawasan menurut SHG dan Gambar 3.6 menunjukkan sebarannya.

Page 39: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.6. Peta sebaran SHG dalam lingkup wilayah Jabodetabek (sumber: Pusat Penelitian Tanah,

Hasil Studi)

3.7. Kondisi Tutupan Lahan

3.7.1 DAS Cisadane

DAS Cisadane mengalir dari G. Salak di bagian selatan Kab. Bogor. Dibagian hulu bterdapat S.

Cikaniki, Cianten, Ciampea, Cinangneng, Cihideung, Ciomas, yang bersal dari bagian Bogor bagian

barat. Sementara di bagian hulu dibagian selatan terdapat S. Cinagara, Cimande, Cisadaen Hulu,

dan S. Ciapus. Kawasan hijau lebih banyak tersebar dari bagian hulu sampai bagian hilir (± 33 %).

Banyak wilayah dalam DAS ini termasuk dalam kawasan hutan. DAS Cisadane paling selatan

terdapat Taman nasional Gung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.

Page 41: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.7. Batas dan Bentuk DAS Cisadane

Penutupan lahan di bagian hulu didominasi oleh lahan pertanian semusim dan daerah ladang,

sawah dan tegalan. Khusus untuk daerah Cisadane hulu tertama di daerah Kec. Caringin dan

Ciawai yang meliputi Desa Pasir Buncir, Cinagara, Tangkil, Lemah Duwur dan Pancawati

merupakan daerah “lahan gontai” yang dikuasasi oleh para pengembang yang merupakan tanah

eks PTP XI perkebunan karet sehingga banyak masalah yang berkaitan dengan masalah sosial

terkait dengan status kepemilikan dan masalah sosial terkait dengan kesempatan kerja yang ada

sehingga memerlukan penanganan yang seksama.

Di bagian tengah yang meliputi Kota Bogor, Rumpin dan Serpong terdapat lahan terbangun

tersebar merata

di bagian tengah. Kurang lebih 17,7% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun. Daerah yang

termasuk pemukiman ± 15,45%.. Proporsi luasan tipe penutupan lahan yang lainnya di tunjukan

oleh gambar di bawah ini.

Gambar 3.8. Persentase Penutupan Lahan di DAS Cisadane

3.7. 2 DAS Angke

DAS Kali Angke memiliki bentuk hulu yang runcing dan memanjang. Bagian tengah yang lebih

tambun kemudian menyempit sampai hilir. Luas DAS ini ± 23.971 Ha. Hulu DAS ini berada di

perumahan Yasmin Bogor dan melewati wilayah Parung, Bojong Gede, Ciputat, Serpong dan

bermuara di saluran Mookevart. Konsentrasi daerah pemukiman berada di bagian hulu, dan

Page 42: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

tersebar sampai bagian hilir. Bagian hulu paling ujung lebih padat. Kurang lebih 45 % dari luas

total DAS adalah daerah pemukiman padat. Kawasan hijau lebih banyak tersebar di bagian hilir

dan hulu bagian tengah walaupun tersebar tidak merata. Proporsi setiap tipe penutupan lainnya

yang ada di DAS ini di tunjukan Gambar 3.9. di bawah ini.

Page 44: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.9. Batas dan Bentuk DAS Angke

Gambar 3.10. Persentase penutupan lahan di DAS Angke

Kawasan pemukiman yang ada di DAS Angke adalah Perumahan Taman Yasmin, Taman Persada,

Bukit Cimanggu Vila dan Bukit Mekar Wangi di Kota Bogor, serta perumahan Bilabong dan Telaga

Kahurupan di wilayah Kabupaten Bogor. Sementara di bagian hilir perumahan di sekitar Serpong,

Ciputat, Kebayoran lama dan perumahan di sekitar Kota Tanggerang, dan Jakarta Barat.

3.7.3 DAS Pesanggrahan

DAS Pesanggrahan bentuknya memanjang dan ramping. Bagian hulu lebih runcing dan melebar

menuju bagian tengah kemudian menyempit dan melebar kembali menuju hilir. Bagian hilir

bentuknya lebih oval dan lebih luas dibandingkan bagian hulu dan tengah. Hulu DAS Pesangrahan

terletak di perumahan Budi Agung, Tanah Sareal Kota Bogor dan bagian hilirnya bertemu dengan

saluran Cengkareng Drain. Luas kawasan DAS ini ±17.737 Ha.

Tipe penutupan lahan di DAS Pesanggrahan lebih di dominasi oleh lahan terbangun (± 60%).

Daerah pemukiman lebih banyak di temukan di bagian tengah sampai hilir. Diantara lahan

terbangun yang ada daerah Bogor, yaitu Bojong Gede, Cilebut, Depok, Sawangan, Pondok Cabe,

Kebayoran Lama, Cileduk, Kebon Jerung dan Srengseng di Jakarta Barat. Pemukiman padat paling

banyak ditemukan kurang lebih 38,43% dari luasan DAS adalah daerah pemukiman padat yang

tersebar paling banyak di daerah hilir, khusunya disekitar Kebayoran lama, Kedoya dan kebon

jeruk di jakarta Barat.

Page 45: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Berdasarkan hasil analisis hanya terdapat Kurang lebih 7% Kawasan hijau hanya sebagian kecil

berada di bagian hilir dan sebarannya tidak merata termasuk hutan kota di Srengseng Jakarta

Barat.

Page 47: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.11. Batas dan bentuk DAS Pesanggrahan

Gambar 3.12. Persentase penutupan lahan di DAS Pesanggrahan

3.7.4 DAS Ciliwung

Das Ciliwung lebih unik lagi dibandingkan dengan bentuk DAS-DAS yang lainnya. Sepintas terlihat

seperti corong. Bagian hulu yang melebar kemudian meyempit di bagian tengah dan memanjang

sampai ke hilir. Bagian hulu berada di daerah puncak Kab. Bogor sampai ke daerah Katulampa.

Bagian tengah berada di daerah Ratujaya, Depok dan bagian hilir DAS ini sampai ke Banjir Kanal

Barat daerah Manggarai. Luas DAS ini ± 37.472 Ha.

Di bagain hulu DAS Ciliwung terdapat dua perkebunan teh masing-masing PTP VIII Gunung Mas dan

perkebunan teh Ciliwung, yang berbatasan dengan Cagar Alam Talaga Warna dan Taman Nasional

Gunung Gede Pangrango. Seluruh wilayah Daerah hulu DAS Ciliwung terdapat di Kabupaten Bogor.

Masalah yang terdapat di hulu DAS Ciliwung adalah adanya pelanggaran terhadap tata ruang

khsususnya adanya pembangunan vila-vila yang tidak sesuai dengan fungsi resapan.

Daerah lahan terbangun DAS ini tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. Kurang lebih

45,8% dari total luas DAS ini adalah lahan terbangun yang meliputi daerah Megamendung,

Cisarua, Ciawi, Kota Bogor, Cibinong, Depok, Pasar Minggu dan Manggarai. Daerah yang termasuk

pemukiman ± 33,7%. Daerah pemukiman yang paling padat berada di bagian hilir DAS, sekitar

daerah Depok sampai Manggarai.

Page 49: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.13. Batas dan bentuk DAS Ciliwung

Gambar 3.14. Persentase Penutupan Lahan di DAS Ciliwung

3.7.5 DAS Sunter

Bentuk DAS Sunter unik, memanjang dengan sedikit berlekuk. Bagian hulu lebih runcing

dibandingkan bagian hilirnya dan sedikit membesar di bagian tengahnya, dengan luas area

±15.349 Ha. Dalam DAS ini dilalui oleh 2 sungai besar yaitu Kali Cipinang dan Kali Sunter.

Penutupan lahan lebih didominasi oleh lahan terbangun, baik pemukiman ataupun jalan yang

diperkeras seperti yang ditunjukan oleh Gambar 3.14. (± 63,6% dari luas wilayah DAS Sunter).

Kategori pemukiman yang sangat padat (pemukiman 80-100 %) lebih mendominasi di antara lahan

yang terbangun lainnya. Dibandingkan dengan tipe penutupan lahan lainnya yang ada,

pemukiman 80-100 % paling banyak menutupi wilayah DAS (36% atau ± 5.470,338 Ha), terutama

di bagian hilir DAS. Tipe penutupan lahan ini memiliki koefesien run off yang tinggi, artinya

Sebagian besar air hujan yang turun di kawasan DAS ini sebagian besar akan menjadi limpasan

permukaan. Sebaran kawasan hijau hanya sedikit sekali tersebar di wilayah DAS ini. Kawasan hijau

paling banyak tersebar terutama bagian tengah DAS, ± 22,9% berupa tanah kosong/rumput dan

tegalan/ladang. Hal ini memungkinkan sedikitnya daerah yang dapat meresapkan air. Jika kondisi

tersebut lebih didukung dengan saluran drainase yang buruk maka kemungkinan terbesar adalah

terjadinya banjir.

Karena padatnya pemukiman di sepanjang DAS sunter menyebabkan sungai ini mudah sekali

meluap sehingga sepanjang Rawamangun dan Cempaka Putih sering meluap yang hanya

Page 50: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

diakibatkan oleh hujan lokal. Oleh karena itu, penanganan masalah resapan menjadai sangat

penting. Di bagian hilir Kali sunter dan Cipinang akan disodet ke arah Bajir Kanal Timur (BKT) yang

sekarang masih dalam tahap pembangunan.

Page 52: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.15 Batas dan bentuk DAS Sunter

Gambar 3.16. Persentase Penutupan Lahan di DAS Sunter

3.7.6 DAS Cakung

Bentuk DAS Cakung hampir mirip dengan DAS Sunter namun bagian hulunya lebih ramping dan

runcing. Bagian tengah yang melebar dan menyempit ke bagian hilir. Luas DAS Cakung ± 13.403

Ha. Sungai yang melalui DAS ini adalah Kali Buaran dan Kali Cakung. Bagian Hilirnya terdapat

saluran Cakung Drainage.

Penutupan lahan di DAS Cakung lebih didominasi oleh lahan terbangun, baik pemukiman ataupun

jalan yang diperkeras. Kurang lebih 67% dari luas DAS ini tertutupi oleh lahan terbangun. Di antara

lahan terbangun yang ada, kurang lebih 84% adalah daerah pemukiman padat (pemukiman 80-

100 %). Jika dibandingkan luasan total DAS, daerah pemukiman padat kurang lebih 56,5 % (±

7.572 Ha). Lahan terbangun lebih banyak tersebar dari bagian tengah sampai hilir DAS. Kurang

lebih 12,64% dari luas total DAS adalah sawah irigasi. Tipe penutupan lahan ini lebih banyak

ditemukan di bagian hilir DAS. Hanya 13,43% dari luasan total DAS yang merupakan kawasan hijau

(perkebunan, semak belukar/ladang). Sebagian kawasan hijau di DAS Cakung banyak ditemukan di

bagian hulu dan sebagian lagi tersebar di bagian hilir.

Page 54: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.17. Batas dan bentuk DAS Cakung

Gambar 3.18. Persentase penutupan lahan DAS Cakung

3.7.7 DAS Kali Bekasi

DAS Kali Bekasi memiliki 5 Sub DAS besar, yaitu Kali Bekasi, Cikeas, Cileungsi, Citeurep dan

Cijanggel. Bagian hilir DAS ini bermuara di CBL (Cakung Bekasi Laut) Kab. Bekasi bagian Utara.

Bagian Hulu berada di Kab. Bogor. Luas DAS ini ± 51.785 Ha. Daerah lahan terbangun DAS ini

tersebar merata dari bagian tengah sampai hilir. Kurang kebih 31,20% dari total luas DAS ini

adalah lahan terbangun. Daerah yang termasuk pemukiman ± 27,5%. Daerah pemukiman yang

paling padat berada di bagian tengah sampai hilir DAS. Kawasan hijau lebih banyak tersebar di

bagian hulu karena merupakan dalam kawasan hutan. Proporsi luasan tipe penutupan lahan yang

lainnya di tunjukan oleh Gambar 3.19 di bawah ini.

Di bagian hulu Kali bekasi terdapat pemukiman Bukit sentul, serta lahan “bermasalah” di sekitar

Babakan Madang dan Cileungsi, sehingga berkurangnya atau hilangnya perkebunan karet di

bagian hulu yang berubah menjadi daerah pemukiman menyebabkan berubahnya aliran S. Cikeas

dan Cilengsi.

Di bagian selatan terdapat perumahan Sentul, Lapang Golf Sentul dan Gunung Geulis yang

merupakan hulu dari S. Cikeas, demikian juga perumahan dan lapang Golf di kanan kiri Jl Tol

Jagorawi, di sekitar Cibinong, Cileungsi dan Cimanggis memberikan konstribusi positif terhadap

naiknya debit S. Cikeas di sekiar perumahan Villa Indah Bekasi. Di bagian Sub DAS Cileungsi

terdapat kawasan industri yang padat di sekitar Pabrik semen Cibinong, Pabrik semen Holcim dan

kawasan industri Branta-Mulia. Selain itu, di daerah ini juga terdapat perumahan-perumahan

seperti Kota Legenda, Kota Wisata di Cibubur sehingga Sub DAS Cileungsi merupakan daerah yang

menyebabkan naiknya debit di DAS Kali Bekasi.

Page 56: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.19. Batas dan bentuk DAS Bekasi

Gambar 3.20. Persentase Penutupan Lahan di DAS Bekasi

3.8. Iklim dan Curah Hujan

3.8.1. Curah hujan

Unsur iklim dan curah hujan adalah faktor utama yang mengendalikan proses daur hidrologi di

suatu DAS. Kejadian banjir dan kekeringan merupakan salah satu kondisi yang disebabkan oleh

kejadian dan intensitas hujan di suatu kawasan. Bencana banjir di wilayah Jabodetabek adalah

salah satu kejadian yang disebabkan oleh jumlah aliran permukaan yang berasal dari hujan yang

tidak mampu lagi diresapkan ataupun diteruskan ke laut oleh berbagai jenis penutupan lahan yang

ada di kawasan tersebut. Iklim dan curah hujan kemudian sering dianggap sebagai sumber utama

penyebab terjadinya banjir yang di wilayah Jabodetabek.

Untuk mengetahui kebenaran dari anggapan tersebut di atas perlu disajikan data klimatologi unsur

curah hujan dari beberapa stasiun untuk periode waktu tertentu. Sebagai kawasan yang bertipe

iklim A di bagian hulu dan B di bagian tengah dan hilir menurut Schmit-Ferguson, kawasan ini

mendapat kejadian hari hujan yang banyak sepanjang tahunnya. Penggambaran kondisi iklim

wilayah dengan tipe iklim tersebut tidak dapat memberikan gambaran kondisi hujan pada saat

kejadian banjir.

Perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan pola hujan dan jumlah intensitas hujan sering

dianggap sebagai faktor yang menyebabkan kejadian banjir di kawasan Jabodetabek. Namun

Page 57: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

demikian, berdasarkan data curah hujan bulanan dan harian yang ada di kawasan ini tidak dapat

menjelaskan bahwa terdapat perubahan pola dan intensitas hujan. Data curah hujan bulanan di

stasiun Jakarta Obs (1866-2003) yang disajikan pada Gambar 3.21 menunjukkan bahwa tidak

terjadi perubahan pola hujan di kawasan ini. Dengan kata lain, anggapan bahwa penyebab utama

banjir wilayah Jabodetabek akibat perubahan iklim dan curah hujan adalah sama sekali tidak

berdasar data dan fakta.

Gambar 3.21. Curah Hujan Bulanan Jakarta tahun 1866-2003 (sumber: BMG)

Untuk menunjukkan bahwa pada tahun-tahun sebelum kejadian banjir tahun 1996, 2002, 2007

maka akan disajikan kondisi hujan harian di kawasan ini untuk rentang waktu 20-30 tahun terakhir

seperti yang disajikan pada Gambar 3.22 sampai dengan Gambar 3.25 yang meliputi stasiun hujan

(BMG) Citeko, Halim PK, Soekarno-Hatta dan Tanjung Priok.

Penyajian curah hujan harian dalam bentuk grafik dimaksudkan untuk menunjukkan bahwa

sebelum tahun-tahun tersebut diatas telah terjadi curah hujan maksimum. Sedangkan untuk

penggambaran yang lebih jelas bahwa hujan bukan sebagai penyebab utama kejadian banjir di

kawasan ini maka data hujan harian dibuat menjadi jumlah hujan selama 3 hari berturut-turut.

Penggambaran jumlah curah hujan selama 3 hari berturut-turut dimaksudkan bahwa proses

kejadian banjir selalu diawali dengan nilai tanah (peresapan) dan kapasitas drainase yang telah

jenuh.

Page 58: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.22. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Citeko

(Jan 1985-Feb 2008).

Page 59: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.23. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Halim

Perdana Kusuma (Jan 1977-2006).

Page 60: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.24. (a) Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Soekarno-

Hatta (Jan 1985-Feb 2008).

Page 61: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.25. Fluktuasi Curah Hujan Harian dan (5b) Jumlah Curah Hujan 3 Harian di Stasiun Tanjung

Priok (1977-1983 dan 1989-2007).

Berdasarkan pada data curah hujan harian, maka untuk setiap DAS dalam kajian ini dibuat curah

hujan rencana harian untuk periode ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun. Selain dibuat periode ulang

curah hujan harian juga disusun periode ulang curah hujan tiga harian. Data curah hujan periode

ulang ini selanjutnya akan menjadi dasar perhitungan dan optimasi tindakan konservasi.

Dengan data-data yang disajikan tersebut di atas, dapat disimpulkan tidak ada kaitan yang

signifikan antara kenaikan pola curah hujan di wilayah Jabodetabek dengan kejadian banjir. Pola

hujan selalu sama dalam periode 1 abad tetapi pola hujan yang sama dampak masalahnya sangat

terasa dalam beberapa tahun terakhir terutama setelah th 1990. Demikianlah fenomena banjir

wilayah Jabodetabek terjadi murni karena masalah resapan yang berkurang akibat perubahan

penutupan lahan.

3.8.2. Curah hujan wilayah dan kejadian Banjir 1996, 2002 dan 2007

Page 62: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Analisis terhadap curah hujan wilayah pada saat kejadian banjir perlu dilakukan untuk mengetahui

sebaran jumlah hujan wilayah yang diterima oleh kawasan Jabodetabek. Dengan mengetahui

sebaran hujan wilayah di kawasan ini maka akan dapat diketahui debit curah hujan yang diterima

oleh kawasan ini. Pada analisis ini digunakan data curah hujan harian pada saat kejadian banjir

tahun 1996, 2002 dan 2007. Pada masing masing kejadian banjir tersebut disajikan hasil analisis

spasial selama hari terjadi banjir.

Curah hujan dan Banjir tahun 1996

Banjir pada tahun 1996 terjadi pada tanggal 3-6 Januari. Jumlah debit curah hujan yang diterima

pada saat mulai banjir untuk kawasan ini adalah 106,67 juta m3/hari pada tanggal 3 Januari.

Kondisi curah hujan dengan nilai yang relatif sama terjadi sampai dengan tanggal 5 Januari dan

mengalami peningkatan lebih dari dua kalinya pada tanggal 6 Januari yaitu 242,35 juta m3/hari

(Gambar 3.26). DAS-DAS besar seperti Ciliwung, Cisadane dan Bekasi mempunyai sumbangan

yang paling besar dalam kejadian banjir tahun 1996. Dalam Tabel 3.8 dapat dilihat bahwa DAS

dengan wilayah hulu yang luas menerima jumlah hujan yang lebih besar pada saat kejadian banjir.

Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 1996 dimulai dengan curah hujan yang

tinggi di wilayah hulu Ciliwung dan Bekasi serta sebagian wilayah hilir Cakung dan Bekasi yang

terjadi pada tanggal 3-4 Januari. Kondisi ini menyebabkan banjir di daerah hilir sungai tersebut dan

kemudian diperparah dengan curah hujan yang terjadi pada tanggal 6 Januari yang meluas untuk

seluruh wilayah Jabodetabek terutama bagian tengah dan timur. Gambar 3.26 menyajikan sebaran

hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.

Gambar 3.26. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.

Page 63: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.27. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 1996.

Curah hujan Banjir tahun 2002

Page 64: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Banjir pada tahun 2002 terjadi pada tanggal 28 Januari-2 Februari. Pada saat tersebut, jumlah total

debit curah hujan harian yang diterima kawasan ini per hari berkisar antara 39,51-205,21 juta

m3/hari. Kejadian hujan tanggal 28 Januari mempunyai debit yang paling tinggi dan banjir mulai

surut tanggal 2 Februari pada saat debit hujan adalah 39,51 juta m3/hari. Tabel 3.9 dan Gambar

3.27 menunjukkan jumlah dan pola debit hujan harian di setiap DAS yang mengalir di kawasan

Jabodetabek.

Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 2002 diawali dengan kejadian hujan yang

terjadi di bagian hilir (Jakarta). Pada saat tersebut kawasan yang banyak menerima hujan tersebut

adalah kawasan bagian Tengah dan Timur. Kemudian kondisi banjir tersebut ditambah dengan

hujan pada hari berikutnya di daerah hulu, terutama pada tanggal 30 Januari. Gambar 3.28

menunjukkan sebaran hujan wilayah pada tanggal 28 Januari- 2 Februari 2002.

Gambar 3.28. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002

Page 65: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.29. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002.

Curah hujan dan Banjir tahun 2007

Banjir pada tahun 2007 terjadi pada tanggal 2-5 Februari. Jumlah debit curah hujan yang diterima

oleh seluruh DAS di kawasan ini pada saat mulai terjadi banjir adalah 262,16 juta m3/hari. Kondisi

ini diperparah pada kejadian banjir pada hari berikutnya (3 Februari) yang berjumlah 528,45 juta

m3/hari. Banjir mulai surut pada tanggal 5 Februari dengan debit curah hujan harian yang diterima

Page 66: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

adalah 144,53 juta m3/hari, dan setelah tanggal tersebut jumlah curah hujan yang diterima mulai

menurun. Berbeda dengan kondisi tahun 2002, kejadian banjir tahun 2007 dapat disebutkan

bahwa hampir setiap daerah hilir menerima hujan.

Gambar 3.30 dan Tabel 3.10 menunjukkan jumlah debit curah hujan yang diterima kawasan

Jabodetabek.

Secara spasial dapat dilihat bahwa kejadian banjir tahun 2007 diawali oleh kondisi hujan lokal yang

terjadi di daerah hilir (2 Februari). Daerah hulu pada tanggal 3-4 Februari menerima jumlah curah

hujan tinggi hanya terdapat di hulu bagian Barat (Cisadane, Angke dan Pesanggrahan) dan hulu

bagian Timur (Bekasi dan Cakung) serta sebagian dari hulu Ciliwung. Oleh karena itu, kejadian

banjir 2007 dapat dikatakan bahwa pengaruh hujan lokal lebih dominan sebagai sumber air yang

menyebabkan banjir. Gambar 3.31 menyajikan sebaran curah hujan wilayah harian untuk kawasan

Jabodetabek.

Gambar 3.30. Jumlah debit curah hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2007

Page 67: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.31. Sebaran hujan wilayah harian pada saat kejadian banjir tahun 2002.

3.9 Hidrologi DAS

Berdasarkan perbandingan antara luas (A), panjang sungai (L), dan keliling DAS (P) diketahui

bahwa DAS-DAS di Jabodetabek mempunyai karaktersitik DAS selengkapnya disajikan pada Tabel

3.10 di bawah ini.

Page 68: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.32. Drainage faktor DAS

Berdasarkan faktor drainase DAS Pesanggrahan mempunyai faktor drainase yang terbaik, dalam

setiap ha terdapat 4 m sungai, disusul Ciliwung dan Kali sunter. Sedangkan berdasarkan

kekompakan bentuk DAS Pesanggrahan dan Cakung termasuk yang kompak sebagaimana

disajikan pada Gambar 3.33 di bawah ini.

Page 69: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.33. Faktor Kekompakan DAS-DAS di Jabodetabek.

Gambar 3.34. Faktor Bentuk DAS-DAS di Jabodetabek.

Berdasarkan faktor bentuk dan kekompakan maka pola aliran di DAS Cakung dan Krukut-Grogol

merupakan DAS dengan pola pemusatan aliran yang paling cepat, sehingga mudah sekali meluap.

3.9.1. DAS Cisadane

Luasan areal DAS Cisadane adalah 151.808 ha yang meliputi Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota

Tangerang dan Kabupaten Tengerang. Sumbernya (bagian hulu) berada di Gunung Salak –

Pangrango (Kabupaten Bogor) dan mengalir ke Laut Jawa. Panjang sungai ini sekitar 80 km.

Berdasarkan topografinya, bagian hulu DAS Cisadane merupakan daerah berbukit dengan

ketinggian mencapai 3.000 m dpl dan kemiringan lereng mencapai 40%. Sedangkan bagian hilir

sampai bagian tengah merupakan daerah datar hingga bergelombang.

Page 70: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

DAS Cisadane bagian hulu yang meliputi Kabupaten Bogor dan sebagian Kota Bogor didominasi

oleh penggunaan lahan sebagai berikut: hutan, ladang, perkebunan, pemukiman dan lahan

kosong. Sedangkan di bagian tengah dan hilir, penggunaan lahan didominasi oleh pemukiman,

ladang dan lahan kosong.

Dengan daerah tangkapan seluas 1.500 km2, Sungai Cisadane merupakan salah satu sungai

utama di Propinsi Banten dan Jawa Barat. Fluktuasi aliran Sungai Cisadane sangat bergantung

pada curah hujan di daerah tangkapannya (catchment area). Aliran yang tinggi terjadi saat musim

hujan dan menurun saat musim kemarau. Debit normal Sungai Cisadane adalah 70 m3/detik.

Antara tahun 1971 dan 1997, berdasarkan pemantauan di stasiun Pengamat Serpong, aliran

sungai terendah yang pernah terjadi tercatat sebesar 2,93 m³/detik di tahun 1991 dan tertinggi

973,35 m3/detik pada tahun 1997. Berdasarkan catatan bulanan antara tahun 1981 dan 1997,

aliran minimum terjadi antara bulan Juli dan September dengan rata-rata aliran di bawah 25

m³/detik.

3.9.2 DAS Kali Angke dan Pesanggrahan

Total luasan areal Kali Angke-Pesanggrahan adalah 65.256 ha yang meliputi tiga provinsi dan 8

kabupaten/kota, yaitu Provinsi Banten, Jawa Barat dan DKI Jakarta (Kota Tangerang, Kabupaten

Tengerang, Kabupaten Bogor, Kota Bogor, Kota Depok, Kota Jakarta Selatan, Kota Jakarta Barat

dan Kota Jakarta Utara). Kondisi topografi Kali Angke-Pesanggrahan yaitu datar hingga

bergelombang dengan ketinggian 0-300 m dpl dan variasi kemiringan lereng 0-25%. Panjang

kedua sungai ini adalah 82 km dan 66 km hingga bermuara di Cengkareng Drain.

Kali Pesanggrahan mengalir di antara Kali Ciliwung dan Cisadane. Di bagian hulu, Kali

Pesanggrahan mendapat suplesi dari Kali Pekancilan di Kota Depok dan saluran Kali Baru di daerah

Bojongsari. Pada bagian tengah, Kali Pesanggrahan mendapat pasokan dari Kali Grogol melalui

sudetan Grogol-Pesanggrahan. Sedangkan bagian hulu Kali Angke yaitu di Kecamatan Semplak

(Kabupaten Bogor). Kali Angke mengalir melalui Kabupaten Bogor, Kabupaten Tangerang, Kota

Tangerang dan Kota Jakarta Barat kemudian bertemu dengan Banjir Kanal Barat di daerah Pluit

(Kota Jakarta Utara).

Kali Pesanggrahan melalui daerah pemukiman yang kepemilikannya sudah sedemikian rupa

hingga menyebabkan sulitnya membuat tampang basah sungai yang memadai untuk mengalirkan

air maupun untuk memelihara kualitas badan air agar masih memenuhi persyaratan. Sejalan

dengan perkembangan pemukiman di wilayah Jabodetabek, terjadi perubahan daerah tangkapan

yang semula dapat menyerap air hujan (infiltrasi) menjadi aliran permukaan (excess run-off) yang

membebani daya tampung sungai. Akibatnya, debit aliran sungai yang tadinya kecil semakin lama

semakin besar dan pada lokasi tertentu terjadi luapan dan genangan sebagai akibat tidak

tertampungnya excess run-off yang semakin besar. Kondisi ini mengakibatkan terjadinya banjir

pada lokasi tertentu yang pada umumnya terjadi di daerah pemukiman.

Lebar sungai yaitu sekitar 12 m (menyempit di kawasan perkotaan). Debit normal Kali Angke yaitu

18 m3/dtk. Pada musim kemarau debit air relatif sedikit dan kualitas air buruk. Sedangkan pada

Page 71: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

musim hujan, debit air akan sangat melonjak karena besarnya air limpasan dari daerah hulu

maupun dari kawasan-kawasan pemukiman di sepanjang Kali Angke.

3.9.3 DAS Ciliwung

Berdasarkan letak geografisnya, Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung terletak antara 60 12` 55,14“

– 60 46` 2,16“ LS dan 1060 57` 53,64“ – 1070 00` 21,91“ BT. Menurut toposekuensnya, DAS

Ciliwung dibagi ke dalam tiga bagian, yaitu: hulu, tengah dan hilir, masing-masing dengan stasiun

pengamatan arus sungai di Bendung Katulampa Bogor, Ratujaya Depok dan Pintu Air Manggarai

Jakarta Selatan (Pawitan, 2002). Masing-masing bagian tersebut mempunyai karakteristik iklim,

fisik, penggunaan lahan, dan sosial ekonomi masyarakat yang berbeda.

Secara administratif pemerintahan, bagian hulu DAS Ciliwung sebagian besar termasuk wilayah

Kabupaten Bogor (Kecamatan Megamendung, Cisarua dan Ciawi) dan sebagian kecil Kota Madya

Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur dan Kota Bogor Selatan). Bagian tengah DAS Ciliwung

termasuk wilayah Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, Bojonggede dan Cimanggis),

Kotamadya Bogor (Kecamatan Kota Bogor Timur, Kota Bogor Tengah, Kota Bogor Utara, dan Tanah

Sereal) dan Kota Administratif Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya dan Beji). Bagian hilir

sampai dengan Pintu Air Manggarai termasuk wilayah administrasi pemerintahan Kota Jakarta

Selatan dan Jakarta Pusat, lebih ke hilir dari Pintu Air Manggarai termasuk saluran buatan Kanal

Barat. Sungai Ciliwung ini melintasi wilayah Kota Jakarta Pusat, Jakarta Barat dan Jakarta Utara.

Penggunaan lahan di bagian hulu dapat dikelompokkan menjadi lahan negara, hak milik dan hak

guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola oleh pemerintah c.q Balai Taman

Nasional Gede-Pangrango (Kawasan Taman Nasional), Balai Konservasi Sumberdaya Alam

(Kawasan Hutan Cagar Alam Telaga Warna) Departemen Kehutanan, dan PT Perhutani (Kawasan

Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan badan sungai dikelola oleh Pemda dan

pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air, Departemen Pemukiman dan Prasarana

Wilayah. Lahan milik pada umumnya digunakan untuk kebun, sawah tadah hujan dan teknis,

tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan dalam bentuk hak guna usaha

digunakan sebagai kebun (PTP VIII Gunung Mas dan PT Ciliwung). Lahan milik umumnya dimilki

oleh orang yang bertempat tinggal di luar lahan milik tersebut.

Seperti halnya di bagian hulu, penggunaan lahan di bagian tengah dapat dikelompokkan menjadi

lahan negara, hak milik dan hak guna usaha. Lahan negara dalam bentuk kawasan hutan dikelola

oleh pemerintah c.q. PT Perhutani (Kawasan Lindung dan Produksi). Lahan dalam bentuk setu dan

badan sungai dikelola oleh Pemda dan Pemerintah c.q Balai Pengelolaan Sumberdaya Air,

Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah. Lahan milik umumnya digunakan untuk kebun,

sawah tadah hujan dan teknis, tegalan/ladang, pemukiman dan tempat rekreasi. Sedangkan lahan

dalam bentuk hak guna usaha digunakan sebagai kebun. Sementara itu, penggunaan lahan di

bagian hilir didominasi oleh lahan hunian (build up areas), jaringan jalan, badan sungai dan saluran

drainase lainnya, sedikit lahan hijau dalam bentuk taman.

Penggunaan lahan di DAS Ciliwung pada tahun 1990 menunjukkan bahwa tegalan merupakan jenis

penggunaan lahan terbesar yaitu 103,47 km2, kemudian kebun 69,56 km2, hutan 53,93 km2,

Page 72: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

sawah 51,37 km2 dan pemukiman 41,10 km2. Pada tahun 1996 luasan masing-masing jenis

penggunaan lahan tersebut berubah, yang semula pemukiman merupakan jenis penggunaan lahan

terkecil berubah menjadi yang terbesar (115,90 km2) kemudian tegalan 77,77 km2, kebun 57,30

km2, hutan 50,94 km2, dan sawah 16,65 km2 .

DAS Ciliwung terletak pada dataran landai (bagian hilir), bergelombang hingga pegunungan

(bagian tengah dan hulu). Daerah berbukit atau bergelombang yaitu mulai dari Kedungbadak ke

arah selatan sampai daerah Tugu Selatan (1.057m dpl). Semakin ke arah selatan dan timur

termasuk daerah pegunungan yang merupakan batas DAS, seperti Gunung Halimun (1.665 m dpl),

Gunung Kencana (1.796 m dpl), Gunung Megamendung (1.672 m dpl) dan Gunung Pangrango

(3.019 m dpl).

Bagian hulu DAS Ciliwung mencakup areal seluas 146 km2 yang merupakan daerah pegunungan

dengan elevasi antara 300 m sampai 3.000 m dpl. Di bagian hulu sedikitnya terdapat 7 Sub DAS,

yaitu: Tugu, Cisarua, Cibogo, Cisukabirus, Ciesek, Ciseuseupan, dan Katulampa. Bagian hulu

dicirikan oleh sungai pegunungan yang berarus deras dan variasi kemiringan lereng yang tinggi (2-

15% , 15-45% dan lebih dari 45%). Kondisi kemiringan sungai ini menyebabkan aliran air yang dari

hulu sungai berkecepatan tinggi tetapi pada daerah yang landai kecepatan aliran air berkurang

drastis, sehingga aliran air berpotensi meluap ke luar sungai (Gambar 3.35).

Gambar 3.35. Hubungan elevasi dengan jarak dari hulu S. Ciliwung

Bagian tengah mencakup areal seluas 94 km2 merupakan daerah bergelombang dan berbukit-

bukit dengan variasi elevasi antara 100 m sampai 300 m dpl. Di bagian Tengah terdapat dua anak

sungai, yaitu: Cikumpay dan Ciluar yang keduanya bermuara di S. Ciliwung. Bagian tengah S.

Ciliwung didominasi daerah dengan kemiringan lereng 2-15%.

Sementara itu, bagian hilir sampai stasiun pengamatan Kebon Baru/Manggarai pada elevasi P+8 m

mencakup areal seluas 82 km2 merupakan dataran rendah bertopografi landai dengan elevasi

antara 0 m sampai 100 m dpl. Bagian hilir didominasi daerah dengan kemiringan lereng 0-2 %

dengan arus sungai yang tenang. Bagian lebih hilir dari Manggarai dicirikan oleh jaringan drainase

yang sudah dilengkapi dengan Kanal Barat sebagai penangkal banjir berupa saluran kolektor.

Page 73: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Bentuk DAS Ciliwung mulai dari hulu sampai daerah Katulampa mempunyai bentuk dendritik.

Bentuk ini mencirikan bahwa antara kenaikan aliran dengan penurunan aliran ketika terjadi banjir

mempunyai durasi yang seimbang. Sedangkan ke arah hilir berbentuk paralel (memanjang) dan

makin sempit. Dengan bentuk seperti ini peranan daerah hulu semakin penting, kontribusi aliran

permukaan dari daerah ini cukup besar. Jika kondisi fisik khususnya perubahan penggunaan lahan

berubah maka akan mengakibatkan perubahan yang nyata terhadap karakteristik aliran sungai.

Berdasarkan rata-rata tebal limpasan bulanan di tiga stasiun (AWLR) yaitu stasiun Katulampa-

Bogor (luas 151,1 km2), stasiun Ratujaya-Depok (luas 246,4 km2), dan stasiun Kebon Baru-

Manggarai (luas 325,8 km2), selama 11 tahun (1977 – 1987) terjadi fluktuasi bulanan yang cukup

besar (Pawitan, 1989). Di stasiun Katulampa tebal limpasan selama 11 bulan selalu lebih besar dari

tebal limpasan di stasiun Ratujaya dan bila dibandingkan dengan stasiun Kebon Baru

perbedaannya semakin besar (Gambar 3.36). Hal ini menunjukkan bahwa daerah hulu Sungai

Ciliwung mempunyai kontribusi yang nyata terhadap banjir yang terjadi di daerah Jakarta. Banjir ini

diperparah lagi oleh kemiringan Sungai Ciliwung, mulai dari hulu di daerah Megamendung sampai

daerah Ciawi mempunyai kemiringan curam, antara Ciawi sampai Depok kemiringannya lebih

landai dan sampai Manggarai kemiringannya semakin kecil. Kondisi kemiringan sungai ini

menyebabkan aliran air yang dari hulu sungai berkecepatan tinggi tetapi pada daerah yang landai

kecepatan aliran air berkurang sehingga aliran air meluap ke luar sungai.

Berdasarkan data pencatatan tinggi muka air Sungai Ciliwung tahun 1974-2002 di stasiun Depok

menunjukkan bahwa perbedaan antara debit sesaat terbesar dan terkecil cukup tinggi (Gambar

3.37). Hal ini memberikan gambaran bahwa kondisi DAS Ciliwung terjadi gangguan keseimbangan

hidrologi. Pada waktu hujan hanya sebagian kecil air yang dapat diresapkan ke dalam tanah,

sisanya dalam jumlah besar yang menjadi aliran permukaan dan selanjutnya meningkatkan debit

air sungai. Tetapi sebaliknya air hujan yang menjadi aliran dasar (base flow) di sungai kecil

sehingga pada musim kemarau debit sungai sangat berkurang.

Page 74: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.36. Debit dan limpasan bulanan rata-rata Sungai Ciliwung (1977-1987).

Gambar 3.37. Fluktuasi Tinggi muka air Sungai Ciliwung Stasiun Depok.

Page 75: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Berdasarkan analsisis hidrograf pada kejadian banjir 2002 pola aliran di DAS Ciliwung Hulu di

dearah Katulampa, dalam tempo 1 jam air dapat naik dari 18,72 m3/det menajdi 343 m3/det dan

selanjutnya mencapai puncak aliran pada 525 m3/det. Dengan volume run off 5.628.852 m3 atau

setara dengan 3,78 cm atau 37,8 mm padahal curah hujan yang turun 51 mm sehingga koefisien

limpasannya mencapai 74,1% DAS Ciliwung hulu mengubah curah hujan menjadi aliran

permukaan. Data l selengkapnya disajikan pada Tabel di bawah ini.

Gambar 3.38. Hidrograf aliran Sungai Ciliwung di Katulampa tahun 2000

3.9.4 DAS Bekasi

Secara topografis, DAS Kali Bekasi terletak pada dataran landai dan perbukitan bergelombang.

Daerah dataran terletak pada kota bekasi yang merupakan bagian hilir DAS dengan elevasi titik

tengahnya pada 27 m sedangkan pada bagian hulu masih terdiri dari daerah bergelombang seperti

DAS Cikeruh, Cibadak, dan Cijanggel yang masing-masing terletak pada elevasi titik tengah pada

400 m, 509 m dan 417 m. DAS Cikeruh dan Cibadak memiliki lereng yang relatif terjal yaitu 25-

Page 76: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

40%. Kelerengan ini dibentuk oleh pegunungan yang terletak disebelah selatan DAS Bekasi

sementara dibagian hilir didominasi oleh kelerangan yang relatif rendah, yaitu antara 0-8%.

DAS Kali Bekasi hampir seluruhnya mempunyai bentuk wilayah datar dengan cekungan-cekungan

berupa rawa namun beberapa di antaranya telah berubah menjadi pemukiman dan industri.

Perbedaan tinggi tempat berkisar antara 0-15 meter dengan lereng kurang dari 3%. Secara garis

besar fisiografi DAS Kali Bekasi bagian Bekasi Utara dikategorikan sebagai dataran pantai (coastal

plain) dengan sub unit fisiografinya dibedakan menjadi beting pantai, dataran aluvial, tanggul

sungai atau levee dan cekungan/ perlembahan. Sedangkan wilayah lainnya yang mengarah ke

hulu Sungai Bekasi (Bekasi Selatan dan Bogor) sub unit fisiografinya dibedakan menjadi daerah

jalur sungai/pelembahan, daerah kipas vulkan, daerah perbukitan lipatan, daerah vulkan.

3.10. Tinjauan Sosial dan Kelembagaan

Karakteristik sosial yang paling menonjol dari DAS di wilayah Jabodetabek adalah pertumbuhan

penduduk yang sangat tinggi. Berdasarkan data BPS DKI Jakarta diketahui bahwa laju

perkembangan penduduk Jabotabek mulai tahun 1961 s/d tahun 2000 mengalami pertumbuhan

penduduk yang sangat pesat. Pada tahun 1961, jumlah penduduk Jabotabek baru mencapai 5,65

juta jiwa, Kemudian pada tahun 1971 menjadi 7,97 juta jiwa, tahun 1980 menjadi 11,65 juta jiwa,

tahun 1990 bertambah lagi menjadi 16,83 juta jiwa dan akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai

23,31 juta jiwa, Selain Kota Tangerang sebagai bagian hilir DAS Cisadane yang mengalami

pertumbuhan penduduk yang tinggi, Kota Bogor dan Kabupaten Bogor yang merupakan bagian

hulu dan tengah DAS Cisadane juga mengalami pertumbuhan yang sangat tinggi. Laju

pertambahan penduduk yang cepat ini adalah konsekuensi logis dari terpusatnya kegiatan

ekonomi dan pembangunan selama ini di wilayah Jabodetabek sehingga menyebabkan terjadi

migrasi dan pertumbuhan penduduk yang cepat.

Page 77: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Berdasarkan data Tabel 3.14. di atas terlihat wilayah Krukut & Grogol dengan jumlah penduduk

109/ha merupakan DAS yang terpadat penduduknya, disusul sunter 98 jiwa/ha, Cakung dengan 88

jiwa/ha dan Ciliwung 51 jiwa/ha, sehingga permasalahan sampah dan sanitasi lingkungan sangat

tergantung pada distribusi penduduk di suatu DAS.

Page 78: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

Gambar 3.39 Pola sebaran penduduk Daerah Jabodetabek tahun 2005

Isu-isu kelembagaan pengelolaan DAS telah cukup lama teridentifikasi. IPB (2001) misalnya

menyelenggarakan suatu lokakarya yang menghasilkan beberapa permasalahan terkait dengan

aspek kelembagaan dalam pengelolaan DAS secara umum, dan dalam beberapa hal situasi

tersebut masih dirasakan hingga saat ini, sebagai berikut:

Lemahnya Kelembagaan pengelolaan DAS

Kelembagaan pengelolaan DAS dirasakan kurang mantap. Hal ini dicirikan oleh masih

lemahnya tingkat koordinasi antar pihak yang terkait dalam pengelolaan DAS, kebijakan

pemerintah yang tidak konsisten dan pengawasan yang lemah. Koordinasi tampaknya

menjadi titik sentral kelemahan dalam pengelolaan DAS yang berakibat pada perencanaan

dan pelaksanaan pengelolaan DAS secara terpadu tidak pernah berjalan. Koordinasi yang

lemah ini disebabkan oleh permasalahan yang cukup mendasar antara lain karena masih

kentalnya “ego sektoral” yang menyebabkan persepsi, visi, dan misi tentang pengelolaan

DAS yang tidak sama. Pada tingkatan operasional, para pelaksana program rehabilitasi

lahan dan penghijauan tidak cukup punya komitmen dan masih berorientasi keproyekan.

Tata Ruang Yang Tidak Mantap

Permasalahan tidak mantapnya tata ruang wilayah menyebabkan penggunaan lahan

Page 79: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

seringkali tidak sesuai atau tidak mengikuti tata ruang yang ada. Sebagai implikasinya dari

persoalan tersebut menyebabkan sering terjadinya konflik dalam penggunaan lahan. Tata

ruang yang tidak mantap juga menyebabkan perencanaan dalam program rehabilitasi

lahan dan penghijauan yang dihasilkan tidak mantap pula.

Kurangnya Penegakan Hukum

Penegakan hukum adalah dalam rangka untuk mendapatkan kepastian hukum atas segala

aturan yang telah dibuat dan disepakati bersama. Penegakan hukum yang masih rendah

ini dibuktikan masih besarnya kegiatan illegal logging dan bentuk-bentuk pelanggaran di

bidang lingkungan. Kondisi ini tentunya dapat menyebabkan berbagai pihak dalam

masyarakat tidak/kurang mempunyai dorongan/insentif untuk turut serta menjaga dan

memperbaiki lingkungan DAS yang rusak. Pada sisi lain, adanya illegal logging

menyebabkan rendahnya harga kayu, di mana ini dapat berdampak pada tidak lakunya

kayu-kayu hasil penghijauan, yang pada akhirnya tidak memberikan insentif bagi

masyarakat untuk melakukan kegiatan penghijauan (hutan rakyat) karena produknya tidak

dapat dipasarkan.

Kurangnya Pendekatan Sosial Budaya

Kurangnya pendekatan sosial budaya cukup dirasakan oleh masyarakat dalam

perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan. Pendekatan program rehabilitasi

lahan dan penghijauan bersifat top-down, di mana aspirasi dari bawah kurang

diperhatikan. Kurangnya masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan menyebabkan

“sense of belonging” masyarakat terhadap kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan

rendah.

Kurangnya Sosialisasi Program

Kurangnya sosialisasi program juga dirasakan oleh berbagai pihak, khususnya pada level

tengah dan level bawah (masyarakat). Kurangnya sosialisasi ini menyebabkan tidak

adanya kesamaan persepsi, visi, dan misi program di antara para pihak yang terkait,

perencanaan yang tidak padu/selaras dan kurangnya bahkan tidak adanya pemahaman

manfaat pada tingkat masyarakat tentang kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan.

Sumberdaya Manusia yang Rendah

Kualitas sumberdaya manusia baik aparat maupun masyarakat sangat memegang peranan

yang sangat penting dalam setiap kegiatan pembangunan, karena faktor ini sangat

menentukan kualitas setiap kegiatan seperti perencanaan, koordinasi, dan pengawasan

serta rendahnya kesadaran akan manfaat hutan di DAS yang rendah. Rendahnya kualitas

sumberdaya manusia ini pun dapat menyebabkan permasalahan yang lainnya muncul.

Kurangnya Pertimbangan Ekonomi

Dalam setiap perencanaan program rehabilitasi lahan dan penghijauan sangat

mempertimbangkan masalah-masalah teknis biologis tetapi kurang mempertimbangkan

masalah-masalah ekonomi. Pertimbangan ekonomi dalam kegiatan rehabilitasi lahan dan

penghijauan ini sangat menentukan dan menjadi pendorong/motivator bagi masyarakat

untuk melakukan kegiatan rehabilitasi lahan dan penghijauan dengan baik. Beberapa

pertimbangan ekonomi yang perlu diperhatikan antara lain pemilihan komersial dan

Page 80: rencana detail penanganan banjir JABODETABEK.docx

disukai masyarakat, diversifikasi usaha, dukungan pasar untuk produk/hasil kegiatan

penghijauan melalui penyediaan/perbaikan infrastruktur pasar dan stabilisasi harga.