Top Banner
RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL Yufi Adriani, Cut Fauziah Itqoniah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ; Jl Kertamukti Raya No. 3-5, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Telp ; 081294638305, E-mail ; [email protected] 1. Lansia Indonesia pada masa Pandemi Populasi lansia di dunia meningkat dengan cepat (WHO, 2017). Begitupun di Indonesia, Badan Pusat Statistik mencatat hampir selama lima dekade (1971-2019), presentasi lansia di Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat menjadi 9.6 persen (sekitar 25 juta) dari jumlah penduduk. Dengan meningkatnya jumlah lansia, diharapkan lansia dapat tetap sehat dan produktif untuk dapat berperan dalam pembangunan bangsa. Lansia merupakan tahap perkembangan terakhir dalam rentang kehidupan seseorang. Perubahan dan adaptasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari akan sangat dirasakan seiring dengan menurunnya kondisi fisik, sosial dan psikologis yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kondisi kesehatan mental pada lansia. Lebih lanjut lagi, kondisi pandemi Covid-19 berdampak kepada para lansia termasuk mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Hal ini tergambar dari buku panduan yang diterbitkan oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan anak yang secara khusus membahas pentingnya perlindungan bagi lansia terutama lansia perempuan karena maraknya tingkat penipuan yang terjadi kepada lansia terkait dengan bantuan yang mengatasnamakan pemerintah. Meningkatnya jumlah lansia dan segala dinamika yang terjadi pada lansia, membuat tidak hanya keluarga, tetapi masyarakat bahkan pemerintah juga lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan lansia. Meskipun demikian, dengan kondisi saat ini, perhatian pemerintah terhadap kondisi psikologis dan kesehatan mental lansia belum terlihat maksimal. Pemerintah fokus memperhatikan kondisi fisik dan kesehatan lansia karena mereka rentan dan mudah tertular virus Covid-19, terlebih jika mereka memiliki penyakit bawaan sebelumnya. Hal ini menjadi
16

RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Nov 08, 2021

Download

Documents

dariahiddleston
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA TERHADAP KESEHATAN MENTAL Yufi Adriani, Cut Fauziah Itqoniah Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ; Jl Kertamukti Raya No. 3-5, Cirendeu, Ciputat, Tangerang Selatan, Banten. Telp ; 081294638305, E-mail ; [email protected] 1. Lansia Indonesia pada masa Pandemi

Populasi lansia di dunia meningkat dengan cepat (WHO, 2017). Begitupun di Indonesia, Badan Pusat Statistik mencatat hampir selama lima dekade (1971-2019), presentasi lansia di Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat menjadi 9.6 persen (sekitar 25 juta) dari jumlah penduduk. Dengan meningkatnya jumlah lansia, diharapkan lansia dapat tetap sehat dan produktif untuk dapat berperan dalam pembangunan bangsa. Lansia merupakan tahap perkembangan terakhir dalam rentang kehidupan seseorang. Perubahan dan adaptasi dalam menjalani kehidupan sehari-hari akan sangat dirasakan seiring dengan menurunnya kondisi fisik, sosial dan psikologis yang pada akhirnya bisa mempengaruhi kondisi kesehatan mental pada lansia. Lebih lanjut lagi, kondisi pandemi Covid-19 berdampak kepada para lansia termasuk mempengaruhi kesejahteraan psikologisnya. Hal ini tergambar dari buku panduan yang diterbitkan oleh kementerian pemberdayaan perempuan dan anak yang secara khusus membahas pentingnya perlindungan bagi lansia terutama lansia perempuan karena maraknya tingkat penipuan yang terjadi kepada lansia terkait dengan bantuan yang mengatasnamakan pemerintah.

Meningkatnya jumlah lansia dan segala dinamika yang terjadi pada lansia, membuat tidak hanya keluarga, tetapi masyarakat bahkan pemerintah juga lebih memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan lansia. Meskipun demikian, dengan kondisi saat ini, perhatian pemerintah terhadap kondisi psikologis dan kesehatan mental lansia belum terlihat maksimal. Pemerintah fokus memperhatikan kondisi fisik dan kesehatan lansia karena mereka rentan dan mudah tertular virus Covid-19, terlebih jika mereka memiliki penyakit bawaan sebelumnya. Hal ini menjadi

Page 2: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

informasi yang diberikan berulang-ulang kepada masyarakat dan menimbulkan ketakutan bagi para lansia ataupun anak-anak mereka. Informasi yang mereka garisbawahi dan selalu diingat adala bahwa sebaiknya lansia berada di dalam rumah saja, namun bagaimana kondisi kesehatan mental selama di rumah, dukungan apa yang mereka butuhkan dan kegiatan apa saja yang bisa dilakukan selama di rumah belum menjadi perhatian pemerintah saat ini.

Kesehatan mental pada dasarnya bukan hanya berbicara tentang ketiadaan penyakit jiwa (mental illness), tetapi kesehatan mental didefinisikan sebagai hadirnya kebahagiaan dan kepuasan dalam hidup (emotional well-being), keberfungsian diri yang positif dalam hal aktualisasi diri (psychological well-being), dan keberfungsian sosial positif dalam hal nilai sosial (social well-being). Faktor-faktor pendukung kesehatan mental menjadi penting untuk diperhatikan pada kelangsungan hidup lansia, seperti religious coping yaitu salah satu strategi coping yang terkait dengan hal-hal sakral atau transendensi. Penelitian terdahulu mengatakan bahwa religious coping memiliki efek lebih besar dari sekedar mengurangi gangguan-gangguan dan dapat membuat kesehatan mental lebih baik. Dengan begitu, adanya penelitian yang mendasari penulisan bab dalam buku ini bertujuan untuk melihat apakah dengan adanya pandemi ini, religious coping dapat tetap mempengaruhi kesehatan mental pada lansia. Diharapkan penulisan bab dalam buku ini dapat menggambarkan kondisi kesehatan mental para lansia dan apakah agama menjadi faktor yang membantu mereka untuk tetap sehat mental.

2. Dinamika Tugas Perkembangan Lansia, Religious Coping dan

Kesehatan Mental Lansia 2.1 Dinamika Tugas Perkembangan Lansia Lanjut usia merupakan tahap terakhir dalam rentang kehidupan manusia. Individu yang dikatakan lanjut usia menurut UU Nomor 13 tahun 1998 adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun ke atas (BPS, 2019). Sutikno (2015) mengatakan bahwa lansia merupakan tahap yang rentan mengalami perubahan akibat penuaan. Karena menjadi lansia, artinya mengalami perubahan-perubahan yang cenderung kepada penurunan. Hal ini sesuai dengan hukum kodrat manusia yang disebut dengan ‘menua’ (Hurlock, 1980). Proses penuaan ini berpengaruh pada aspek fisik, psikologi, dan juga sosialnya.

Page 3: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Perubahan pada aspek fisik, psikologi, dan sosial lansia ini, dapat berpengaruh tidak hanya pada kesehatan fisik dan mental, namun juga pada keberfungsian melakukan aktivitas harian.

Seiring bertambahnya usia, keadaan fungsi tubuhpun menurun. Hal ini dapat menimbulkan permasalahan kesehatan dan juga dapat meningkatkan risiko disabilitas (BPS, 2019). Situasi ini diperberat dengan keberadaan multimorbiditas, yaitu satu orang lansia dapat memiliki lebih dari satu penyakit (Arisanti, Gondodiputro, & Setiawati, 2018). Selain itu, lansia mengalami penurunan fisiologis dan gangguan-gangguan yang mungkin terjadi pada seluruh organ tubuh, seperti berkurangnya kemampuan gerak (imobilitas), demensia yang terjadi akibat dari gangguan fungsi kognitif (intellectual impairment), gangguan fungsi pancaindra (impairment of senses), gangguan fungsi seksual (impotensi), gangguan sistem imun(immune deficiency), gagal jantung pada kardiovaskular, osteoporosis pada muskulokeletal (otot dan tulang), dan lainnya (Arisanti dkk., 2018; Papalia, Olds, dan Feldman, 2009).

Perubahan fisik ini mempengaruhi gerak lansia dalam bersosial dan bermasyarakat. Kondisi rapuh atau frailty pada lansia dapat menyebabkan individu yang pada awalnya mandiri, menjadi bergantung pada orang lain (Arisanti dkk., 2018). Selain karena fisiknya, lansia juga memasuki usia pensiun. Keadaan dimana secara usia, mereka merupakan bagian dari kelompok yang tidak produktif secara ekonomi, dan tentunya akan memperbesar pula kebergantungan lansia kepada kelompok penduduk usia produktif (BPS, 2019). Perubahan sosial lainnya yang dirasakan lansia adalah mereka mulai merasa kontak sosial atau interaksi dengan orang-orang yang dicintai maupun masyarakat menjadi berkurang, yang berujung pada kesepian (loneliness). Penyebab lain yang juga menyebabkan perasaan sepi pada lansia antara lain ditinggal hidup (cerai) atau ditinggal mati (meninggal) pasangan, anak-anak yang sudah menikah atau bekerja dan sibuk dengan kehidupannya, meninggalnya teman-teman seangkatan atau sejawat, hingga munculnya stigma masyarakat bahwa lansia merupakan makhluk yang lemah dan berujung untuk ‘memenjarakannya’ di dalam rumah.

Perasaan ‘terpenjara’ ini muncul karena adanya ketidakserasian persepsi antara lansia dan sosial. Pada sudut pandang lansia, lansia masih ingin melakukan banyak hal, ingin tetap aktif, ingin tetap produktif, dan tidak sedikit lansia yang masih ingin berkontribusi dalam masyarakat. Hal-hal tersebut dirasa para lansia dapat membuat senang dan bahagia.

Page 4: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Namun pada sudut pandang sosial, dengan penurunan yang terjadi pada aspek fisik, lansia digambarkan sebagai kelompok yang lemah, rentan, dan rapuh. Hal-hal ini dapat berpengaruh terhadap aspek psikologi lansia. Lansia akan merasa tidak bahagia dan tidak produktif. Selain itu, perubahan lainnya yang terjadi pada psikologi yaitu, perubahan dalam peran, yang awalnya orangtua lalu menjadi kakek dan nenek; lalu seringnya melihat dan bercerita terkait masa lalu baik kejayaan maupun kekecewaan; hingga peningkatan kecemasan terhadap kematian. Pengalaman dan perubahan-perubahan ini dapat meningkatkan stres pada lansia dan menyebabkan penurunan sumber daya mereka dalam menghadapi kehidupan sehari-hari (Sachs-Ericsson dkk. dalam Gerino, Rollè, Sechi, dan Brustia, 2017).

Menjadi lansia artinya menduduki puncak dari siklus hidup manusia, dimana tiap tahap sebelumnya bagaikan rantai yang saling terkait satu sama lain (BPS, 2019). Erikson mengatakan pada teori psikososialnya bahwa lansia memasuki fase integrity (keutuhan) versus despair (keputusasaan) (Papalia dkk., 2009). Pada tahap ini, manusia melakukan refleksi terhadap pengalaman demi pengalaman hidupnya. Mereka membangun hasil dari tahap-tahap sebelumnya dan berusaha untuk mencapai rasa keutuhan daripada keputusasaan atas ketidakmampuannya menghidupkan kembali masa lalu (Erikson dkk. dalam Papalia dkk., 2009). Bagi lansia yang berhasil menghadapi perubahan, refleksi, dan dinamika yang terjadi dengan baik, maka, fase integritas tercapai ditandai dengan pemahaman terkait makna hidup. Selain itu, kebijaksanaanpun berkembang, dimana menurut Erikson, kebijaksanaan atau wisdom ini merupakan karakter inti menjadi lansia (Gillibrand, Lam, dan O’Donnell, 2016). Kebijaksanaan ini ditandai dengan penerimaan terhadap kehidupan tanpa penyesalan yang besar dan menerima ketidaksempurnaan diri dan kehidupan (Papalia dkk., 2009). Aspek integritas yang dirasakan lainnya adalah memiliki cinta dan kasih kepada orang lain, dan juga memiliki rasa spiritual yang dapat meregulasi rasa takut dan kecemasan terhadap kematian (Ryff, 1982). Hal-hal ini akan berujung pada kesejahteraan diri dan meningkatkan kesehatan mental lansia.

Namun sebaliknya, lansia yang tidak dapat menghadapi perubahan dan dinamikanya dengan baik, akan merasakan keputusasaan serta takut akan menjadi tua (Gillibrand dkk., 2016). Mereka akan cenderung mengeluh dengan hal-hal yang terjadi, dengan perubahan-perubahan

Page 5: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

yang ada, hingga menyalahkan kegagalan orang-orang sekitar. Hal ini menurut Gillibrand dkk. (2016) mungkin merupakan cerminan dari lansia yang merasa kecewa karena tidak memiliki hal-hal yang dianggap sebagai kehidupan yang memuaskan. Walaupun memang beberapa keputusasaan tidak dapat terelakkan. Manusia perlu berduka. Namun, dengan keberdukaan yang tidak berlebihan, maka tidak akan merasa putus asa. Karena lansia yang masuk pada keputusasaan akan berdampak pada penurunan kesejahteraan, kebahagiaan, dan kesehatan mental lansia.

2.2 Religious Coping Folkman dan Moskowitz (2004) mendefinisikan coping sebagai perilaku dan pikiran yang dipakai untuk mengelola tuntutan internal dan eksternal dari situasi yang dinilai sebagai stress. Coping memiliki beberapa karakteristik penting (Taylor, 2015). Pertama, coping memiliki hubungan yang dinamis dengan peristiwa stres. Coping bukanlah tindakan yang dilakukan hanya sekali, namun serangkaian tanggapan yang terus menerus terjadi ketika menghadapi masalah dan dipengaruhi oleh lingkungan. Kedua, coping itu luas. Reaksi emosi seperti kemarahan, tindakan impulsif tanpa sadar, atau depresi sekalipun, dapat dikatakan sebagai coping. Namun, jika strategi coping digunakan secara tidak tepat bahkan cenderung ekstrem, mereka akan kehilangan statusnya sebagai coping device dan dampak lanjutnya, akan menimbulkan ketidakseimbangan dan tidak memiliki kontrol diri (Menninger dalam Lazarus dan Folkman, 1984).

Banyak penelitian dilakukan untuk melihat berbagai aspek yang dapat dijadikan sebuah coping. Menurut Folkman dan Moskowitz (2004), hal ini dikarenakan penelitian terkait coping itu sendiri dinamis dan munculnya aspek-aspek baru yang membantu bidang ini bergerak maju. Salah satunya yaitu berkembangnya coping dengan pendekatan religi atau agama yang biasa disebut religious coping.

Dalam dua dekade terakhir, sejumlah studi yang menggunakan peran agama dalam adaptasi terhadap stressor utama kehidupan, telah menjadi tren dan mengalami peningkatan (Mohammadzadeh dan Najafi, 2017). Agama merupakan fenomena yang memiliki banyak fungsi dan dapat melayani berbagai tujuan. Agama telah banyak dikaitkan dengan tujuan psikologis seperti pengurangan kecemasan dan ketenangan diri, dikaitkan dengan tujuan sosial seperti perasaan solidaritas dan

Page 6: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

keterhubungan, juga dikaitkan dengan fungsi fisik seperti praktik keagamaan dapat membuat tubuh menjadi lebih rileks. Namun di atas segalanya, agama melayani tujuan akhir yaitu spiritualitas seperti transendensi dan keterhubungan dengan Tuhan (Pargament dan Raiya, 2007). Xu (2015) mengatakan, agama berfungsi sebagai kekuatan konservatif dalam proses coping dengan membantu menjaga rasa kebermaknaan dan koneksi spiritual selama krisis kehidupan.

Pargament, Feuille, dan Burdzy (2011) mengembangkan teori religious coping. Mereka mendefinisikan religious coping sebagai upaya untuk memahami dan mengatasi stressor kehidupan dengan cara-cara yang berkaitan dengan ‘sakral atau suci’. Kata ‘suci’ di sini tidak hanya berbicara tentang Tuhan, keilahian, atau kekuatan yang lebih tinggi, tetapi juga pada aspek kehidupan lainnya yang berhubungan dengan yang ilahi atau keilahian seperti hubungan dengan sesama yang mengaitkan ilahi di dalamnya.

Teori Pargament (Pargament dkk., 2011) menekankan beberapa poin. Pertama, religious coping menyajikan berbagai fungsi, termasuk pencarian makna, keintiman dengan orang lain, identitas, kontrol, pengurangan kecemasan, transformasi, serta pencarian kebutuhan dengan yang sakral atau spiritualitas itu sendiri. Kedua, religious coping bersifat multi-modal, melibatkan perilaku, emosi, hubungan, dan kognisi. Ketiga, religious coping merupakan proses yang dinamis, berubah-ubah sesuai waktu, konteks, dan keadaan. Keempat, religious coping multi-valent, ini adalah proses yang mengarah pada hasil yang bermanfaat ataupun berbahaya, dan dengan demikian, penelitian tentang religious coping mengakui “pahit dan manisnya” kehidupan keagamaan. Kelima, religious coping memiliki dua pendekatan kepada Tuhan yang masing-masing pendekatan atau dimensi memiliki perbedaan pada perhatiannya yang unik tentang hal-hal sakral atau suci. Tearkhir, karena fokusnya yang khas pada cara agama mengekspresikan dirinya dalam situasi kehidupan tertentu, religious coping dapat menambah informasi penting pada pemahaman kita tentang agama dan hubungannya dengan kesehatan dan kesejahteraan (well-being), terutama di antara orang-orang yang menghadapi masalah kritis dalam kehidupan.

Pargament dkk. (2011) mengklasifikasikan religious coping menjadi dua dimensi, yaitu positive religious coping dan negative religious coping. a. Positive religious coping mencerminkan hubungan yang ‘aman’

dengan kekuatan transenden, rasa keterhubungan spiritual dengan

Page 7: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

orang lain, dan pandangan dunia yang baik. Seperti memperlakukan Tuhan sebagi partner, melihat stressor sebagai bentuk cinta dan kasih Tuhan, dan dapat menafsirkan kembali stressor sebagai hal yang bermanfaat.

b. Negative religious coping mencerminkan ketegangan dan pergumulan spiritual yang mendasar dalam diri sendiri, dengan orang lain, dan dengan Ilahi. Seperti menafsirkan hal-hal yang terjadi sebagai hukuman yang diberikan oleh Tuhan dan mempertanyakan kekuasaan Tuhan.

2.3 Kesehatan Mental Lansia Belakangan ini, fokus kebijakan sosial telah bergeser, dari perawatan dan penurunan gejala gangguan mental menjadi peningkatan kesejahteraan (Stephens, Breheny, dan Mansvelt, 2015). Perspektif terkait psikologi kesehatan telah berlawanan dengan model deficit (penurunan atau pengurangan) yang pernah ada (Gerino dkk., 2017). WHO mengatakan, selain pencegahan penyakit mental, penting pula peningkatan kesehatan mental dengan menangani dan menghindari faktor-faktor risiko, juga meningkatkan fungsi dan aspek positif dari kehidupan dan kesejahteraan (Mak, Chan, Cheung, Lin, dan Ngai, 2015). Menurut Korkeila (2000), kesehatan mental merupakan bagian tak terpisahkan dari kesehatan umum. Kesehatan mental mencerminkan keharmonisan antara individu dengan lingkungan, yangmana dipengaruhi oleh faktor biologis dan psikologis individu, interaksi sosial, struktur dan sumber daya masyarakat, dan nilai budaya (Korkeila, 2000).

Keyes (2002) mengatakan kesehatan mental merupakan kumpulan dari emosi dan perasaan positif (emotional well-being), dan juga fungsi-funsi positif yang dirasakan pada diri (psychological well-being), dan kehidupan (social well-being). Konsep kesehatan mental menurut Keyes ini, bergerak dari dua tradisi well-being, hedonic well-being dan eudaimonic well-being (Westerhof dan Keyes, 2009). Aliran hedonia ini menyamakan kesehatan mental dengan mengakui keberadaan emosi positif dan kebahagiaan. Aliran ini mewujudkan rasa bahagia tersebut dengan memaksimalkan frekuensi dan durasi perasaan positif dan meminimalkan perasaan negatif. Aliran ini melibatkan perasaan bahagia, kepuasan. Dan minat dalam kehidupan. Aliran ini dikenal dengan emotional well-being. Sedangkan aliran eudaimonia melihat kesehatan mental merupakan potensi manusia yang ketika disadari dapat

Page 8: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

menghasilkan positif dalam kehidupan. Tradisi ini mengatakan bahwa elemen penting dari kehidupan yang sejahtera tidak berbicara tentang kebahagiaan, namun berbicara tentang bagaimana seseorang dapat merealisasikan potensi yang dimiliki (Waterman, 1993). Tradisi ini melihat manusia dapat mengembangkan kemampuan dan kapasitasnya secara penuh untuk menjadi pribadi yang sejahtera bagi dirinya (psychological well-being) dan sejahtera sebagai warga bermasyarakat (social well-being).

Keyes memahami bahwa kesehatan mental sebagai ‘kondisi lengkap’ dimana individu bebas dari psikopatologi dan berkembang dengan tingkat emotional, sosial, dan psychological well-being yang tinggi (dalam Keyes, 2004). Ia mengatakan pula bahwa antara mental health dan mental illness memiliki garis kontinum yang berbeda. Ia memahami bahwa rendahnya kesehatan mental, bukan menandakan individu mengalami gangguan mental, namun individu itu sedang dalam kondisi yang tidak bahagia dan tidak merasakan fungsi positifnya. Begitupun menurut Prof. Dr. Hj. Zakiah Daradjat (dalam Syahid, 2016), pribadi yang sehat secara mental dapat diindikasikan dengan perasaan dicintai, aman, dihargai, dan sukses. Menurutnya, perkembangan mental memang memerlukan proses pendidikan, pembentukan karakter, dan pembinaan takwa yang berlangsung seumur hidup.

Berdasarkan konsep kesehatan mental yang telah dipaparkan, hal ini mengindikasikan bahwa lansia yang memiliki kesehatan mental yang baik, akan merasakan kebahagiaan, kepuasan akan hidup, merasakan nilai-nilai positif dalam diri dan dapat merealisasikannya dengan cara melakukan aktivitas yang disenangi, dan dapat berujung pada perasaan produktif yang dapat memberikan kebermanfaatan pada masyarakat. 3. Pengaruh Religious Coping terhadap Kesehatan Mental Lansia Religious Coping yang digunakan terutama oleh para lansia seringkali tergambar dari aktifitas mereka ketika menghadiri pengajian, membaca al-qur’an, sholat dan berdoa dengan frekuensi yang cukup tinggi. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Adriani (2018) yang menyebutkan bahwa aktifitas untuk mengikuti pengajian dan berkumpul dengan teman seusia dalam kegiatan keagamaan akan membuat para lansia merasa diterima dan memiliki teman untuk berbagi cerita dan menghilangkan rasa kesepian, namun dengan situasi khusus yang terjadi sekarang ini, yaitu situasi pandemi menyebabkan terbatasnya gerak para

Page 9: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

lansia untuk berkumpul dan bertemu. Bahkan dengan kecanggihan teknologi yang ada sekarang ini, ada keterbatasan dari para lansia dalam menggunakannya sehingga tentu saja akan mempengaruhi kesehatan mental mereka.

Untuk mengetahui pengaruh religious coping terhadap kesehatan mental lansia maka penulis terlebih dahulu melakukan penelitian yang digunakan sebagai landasan dan data dalam menulis bab kesehatan mental lansia. Penelitian yang dilakukan adalah penelitian kuantitatif yang melibatkan 282 lansia yang bertempat tinggal di kota Depok, Jawa Barat dan memenuhi kriteria juga tujuan penelitian. Karakteristik populasi pada penelitian ini yaitu individu berusia 60 (enam puluh) tahun ke atas yang masih mampu berkomunikasi dengan baik.

Gambaran umum dari 282 responden penelitian ini terdiri dari 206 lansia perempuan dan 76 lansia laki-laki; 180 lansia berusia 60-69 tahun, 89 lansia berusia 70-79 tahun, dan 13 lansia berusia lebih dari 80 tahun; 272 lansia beragama Islam dan 10 lansia beragama lain; dan 234 lansia sudah tidak bekerja sedangkan, 48 lansia lainnya masih bekerja. Adapun instrumen yang digunakan adalah Mental Health Continuum-Long Form (MHC-LF) yang dikembangkan oleh Keyes (2005) untuk mengukur keseatan mental dan Brief RCOPE oleh Pargament, Feuille, dan Burdzy (2011) untuk mengukur religious coping.

Selanjutnya, uji statistik hipotesis penelitian menggunakan teknik analisis regresi berganda (multiple regression analysis) dengan bantuan software SPSS 22.0. Proporsi pengaruh religious coping secara keseluruan (positive religious coping dan negative religious coping) terhadap kesehatan mental sebesar 28.2% dan sisanya, yaitu 71.8% dipengaruhi oleh variabel lain di luar penelitian. Hal lain yang juga ditunjukkan oleh hasil penelitian ini bahwa adanya pengaruh religious coping (positive religious coping dan negative religious coping) yang signifikan terhadap kesehatan mental pada lansia di Depok, Jawa Barat. Lebih lanjut lagi, hasil yang didapatkan pada penelitian ini menunjukkan bahwa kedua variabel yaitu positive religious coping dan negative religious coping memiliki koefisien regresi yang signifikan. Namun arah pengaruh keduanya memiliki perbedaan. Untuk variabel positive religious coping mendapatkan hasil positif yang artinya, semakin tinggi positive religious coping lansia maka semakin tinggi pula kesehatan mentalnya. Sedangkan negative religious coping, mendapatkan hasil arah negatif

Page 10: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

yang artinya, semakin rendah negative religious coping lansia, maka akan semakin tinggi kesehatan mentalnya, begitupun sebaliknya.

Hasil analisa statistik di atas memberikan kita gambaran bahwa lansia yang menggunakan positive religious coping dimana ia selalu melibatkan Allah SWT dalam setiap kegiatan dan keputusan yang dilakukan akan membuat lansia tersebut semakin sehat mental, dan sebaliknya, jika ia semakin jauh dari Allah SWT maka kesehatan mentalnya akan menurun.

4. Penutup Lansia yang secara aktif menggunakan kognisi, kepercayaan, dan praktek keagamaan dalam mengadapi stressor kehidupan, memberikan dampak positif terhadap kesehatan mentalnya. Hal ini pun tergambar dari hasil observasi penulis terhadap lansia. Seseorang yang telah memasuki usia lanjut, cenderung mengembangkan religious coping untuk menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi termasuk karena tingginya penglihatan akan kematian. Ditambah pula dengan kondisi pandemi Covid-19 saat ini, dimana lansia merupakan kelompok umur yang rentan terpapar virus dan mengadapi risiko signifikan mengalami kondisi kronis hingga kematian (WHO, 2020).

Penulis tidak mengasumsikan bahwa individu yang menggunakan positive religious coping menjadi selalu adaptif atau yang menggunakan negative religious coping menjadi naladaptif. Karena pada dasarnya, keduanya merupakan sarana pendekatan kepada Tuhan namun dengan cara pandang yang berbeda (Pargament dkk., 2011). Pargament, Smith, Koenig, dan Perez (1998) mengatakan bahwa penggunaan negative religious coping ini mungkin relatif berbahaya bagi sebagian orang, mungkin tidak penting bagi orang lainnya, dan mungkin juga dapat menjadi sumber pertumbuhan bagi yang lainnya. Hal ini tergambar pada beberapa lansia yang merasa mempertanyakan kekuasaan Tuhan, mempertanyakan cinta kasih Tuhan, dan merasa dihukum oleh Tuhan akan keberadaan stressor pada hidupnya merupakan salah satu bentuk penghambaan. Hal ini sesuai dengan pendapat Pargament dkk. (2011), yang mengatakan bahwa keberhasilan suatu metode koping ditentukan dari interaksi antara faktor-faktor personal, situasional, dan juga sosial budayanya, termasuk juga dukungan yang diberikan oleh orang-orag terdekatnya.

Page 11: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Dengan adanya hasil penelitian yang dilakukan oleh penulis yang menunjukkan religious coping secara umum dan kedua dimensinya (positive religious coping dan negative religious coping) mempengaruhi kesehatan mental lansia. Diharapkan, hasil ini dapat digunakan sebagai salah satu solusi untuk lansia terutama pada masa pandemi Covid-19 ini, dimana lansia menjadi salah satu kelompok umur yang rentan terpapar virus Covid-19, sebagai sarana self-heal jika terjadi peningkatan stress, psikosomatis, atau penurunan kesehatan baik fisik, maupun mental. Dan juga dapat menjadi sarana untuk tetap dapat menjaga kondisi mental agar tetap merasa sejahtera dalam situasi saat ini.

Selain itu, disarankan kepada para lansia agar bisa meningkatkan mindfulness yaitu dengan memperhatikan diri sendiri dan lingkungan sekitar namun juga tidak terlalu banyak menyerap informasi negatif, lebih terbuka untuk menceritakan perasaan dan kecemasan yang dialami dan fokus terhadap diri dan kehidupannya saat ini. Mendekatkan diri kepada Allah SWT juga menjadi cara untuk tetap sehat secara mental berdasarkan hasil penelitian di atas. Selain itu untuk para significant others dari para lansia diharapkan dapat mendampingi dan membantu lansia dalam mengembangkan aspek-aspek yang berpengaruh positif terhadap kesehatan mental lansia.

Page 12: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

DAFTAR PUSTAKA

Adriani, Yufi. (2018). Happiness and Religiosity in Indonesia : A Phenomenological Study of Young Muslims. Dissertation. Deakin University. Victoria. Australia

Arisanti, N., Gondodiputro, S., & Setiawati, E., P. (2018). Kedokteran Keluarga di Layanan Primer. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran.

BPS. (2019). Statistik Penduduk Lanjut Usia 2019. Jakarta: Badan Pusat Statistik

Folkman, S., & Moskowitz, J. T. (2004). Coping: Pitfalls and Promise. Annual Review of Psychology, 55(1), 745–774. https://doi.org/10.1146/annurev.psych.55.090902.141456

Gerino, E., Rollè, L., Sechi, C., & Brustia, P. (2017). Loneliness, Resilience, Mental Health, and Quality of Life in Old Age: A Structural Equation Model. Frontiers in Psychology, 8, 2003. https://doi.org/10.3389/fpsyg.2017.02003

Gillibrand, R., Lam, V., & O’Donnell, V. L. (2016). Developmental Psychology (Second edition). Pearson Education Limited.

Hurlock, Elizabeth B. (1980). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepenjang Rentang Kehidupan. Edisi ke-5. Diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Gramedia.

Keyes, C. L. M. (2002). The mental health continuum: From languishing to flourishing in life. Journal of Health and Social Behavior, 43, 207– 222.

Keyes, C. L. M. (2004). The nexus of cardiovascular disease and depression revisited: The complete mental health perspective and the moderating role of age and gender. Aging & Mental Health, 8(3), 266–274. https://doi.org/10.1080/13607860410001669804

Keyes, C. L. M. (2005). Mental Illness and/or Mental Health? Investigating Axioms of the Complete State Model of Health. Journal of Consulting and Clinical Psychology, 73(3), 539–548. https://doi.org/10.1037/0022-006X.73.3.539

Korkeila, J. (2000). Measuring Aspects of Mental Health. 134. Lazarus, R. S., & Folkman, S. (1984). Stress, appraisal, and coping (11.

[print.]). Springer. Mak, W. W., Chan, A. T., Cheung, E. Y., Lin, C. L., & Ngai, K. C. (2015).

Enhancing Web-Based Mindfulness Training for Mental Health

Page 13: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Promotion With the Health Action Process Approach: Randomized Controlled Trial. Journal of Medical Internet Research, 17(1), e8. https://doi.org/10.2196/jmir.3746

Mohammadzadeh, A., & Najafi, M. (2017). Factor analysis and validation of the Brief Religious Coping Scale (Brief-RCOPE) in Iranian university students. Mental Health, Religion & Culture, 19(8), 911–919. https://doi.org/10.1080/13674676.2017.1282445

Papalia, D. E., Olds, S. W., & Feldman, R. D. (2009). Human development (11th ed). McGraw-Hill.

Pargament, K., Feuille, M., & Burdzy, D. (2011). The Brief RCOPE: Current Psychometric Status of a Short Measure of Religious Coping. Religions, 2(1), 51–76. https://doi.org/10.3390/rel2010051

Pargament, K. I., & Raiya, H. A. (2007). A Decade of Research on The Psychology of Religion and Coping: 25.

Pargament, K. I., Smith, B. W., Koenig, H. G., & Perez, L. (1998). Patterns of Positive and Negative Religious Coping with Major Life Stressors. Journal for the Scientific Study of Religion, 37(4), 710. https://doi.org/10.2307/1388152

Ryff, C. D. (1982). Successful Aging: A Developmental Approach. The Gerontologist, 22(2), 209–214. doi:10.1093/geront/22.2.209

Stephens, C., Breheny, M., & Mansvelt, J. (2015). Healthy ageing from the perspective of older people: A capability approach to resilience. Psychology & Health, 30(6), 715–731. https://doi.org/10.1080/08870446.2014.904862

Sutikno, Ekawati. (2015). Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan Gangguan Kesehatan Mental Pada Lansia: Studi Cross Sectional Pada Kelompok Jantung Sehat Surya Group Kediri. Jurnal Wiyata, 2 (1).

Syahid, Achmad. (2016). Being More Psychologically Healthy: The Concept of Mental Health According to Zakiah Daradjat and its Application in Islamic Educational Institutions. Ta’dib: Journal of Islamic Education, 21(1), 13-30.

Taylor, S. E. (2015). Health psychology (Ninth edition). McGraw-Hill Education.

Waterman, A. S. (1993). Two conceptions of happiness: Contrasts of personal expressiveness (eudaimonia) and hedonic enjoyment. Journal of Personality and Social Psychology, 64, 678–691.

Page 14: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Westerhof, G. J., & Keyes, C. L. M. (2009). Mental Illness and Mental Health: The Two Continua Model Across the Lifespan. Journal of Adult Development, 17(2), 110–119. https://doi.org/10.1007/s10804-009-9082-y

WHO. (2017). Mental health of older adults. https://www.who.int/en/news- room/fact-sheets/detail/mental-health-of-older-adults

WHO. (2020). WHO/Europe | Supporting older people during the COVID-19 pandemic is everyone’s business. https://www.euro.who.int/en/health-topics/health-emergencies/coronavirus-covid-19/news/news/2020/4/supporting-older-people-during-the-covid-19-pandemic-is-everyones-business

Xu, J. (2015). Pargament’s Theory of Religious Coping: Implications for Spiritually Sensitive Social Work Practice. British Journal of Social Work, 46(5), 1394–1410. https://doi.org/10.1093/bjsw/bcv080

Page 15: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

Profil Penulis

YufiAdriani,PhD,PsikologlahirdiJakartapadatanggal18September1982,adalahDosenTetapuntuk jenjangpendidikanS1dan S2 di Fakultas Psikologi UIN SyarifHidayatullahJakarta. Lulus dari ProgramSarjana Psikologi Universitas Indonesiapada tahun 2004, Program MagisterProfesi Psikologi Klinis pada tahun 2006dan terakhir menyelesaikan programDoktordariDeakinUniversity,Melbourne,Australia pada tahun 2018. Fokus dantopik penelitian terkait dengan Positive Psychology, Religiosity,MentalHealth, Psychological Well Being, Quality of Life dan Happiness.BeberapatulisanilmiahsudahdipublikasikandiJurnalInternasionaldanNasional terkaitdengan topik-topik tersebut.Tergabungdalamasosiasipsikologi internasional seperti APA, ISQOLS, ACQOL dan nasional danjugamenjadiassociateresearcheruntukWorldDataBaseofHappinessdanPPIMUINSyarifHidayatullahJakarta.

Cut Fauziah Itqoniah, biasa dipanggil Dinda atau Cut. Ia lahir di kota Depok, Jawa Barat, pada tanggal 7 Agustus 1997. Anak kedua dari lima bersaudara ini merupakan anak dari Ir.H.T.M. Yusufsyah Putra dan Hj. Linda Gondewa, S. Ag. Ia menempuh studi S1 di Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta (2016-2020). Ia memiliki ketertarikan dengan dunia positive psychology, psikologi klinis, dan

Page 16: RELIGIOUS COPING PADA LANSIA ; PENGARUHNYA …

dunia gerontologi semenjak Allah SWT takdirkan kepadanya untuk terlibat langsung dalam merawat dan menemani nenek juga (alm) kakeknya. Ia percaya bahwa ikhtiar menyoal pengorbanan juga usaha optimal, yang tentunya diiringi dengan tawakal, dan rezeki menyoal kejutan. Kepercayaannya ini akan mengiringi mimpi-mimpinya, salah satunya menjadi psikolog dan ibu yang tentunya shaleha. Ia ingin ilmu yang dimilikinya, walau hanya segenggam tangan, namun dapat tetap bermanfaat bagi diri sendiri, keluarga, masyarakat, hingga dunia, yang menjadi tabungan menuju surga-Nya.