Top Banner
RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013) Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H) Oleh : Ahmad Bustomi Kamil NIM :1111048000046 KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436H/2015M
90

RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

Mar 06, 2019

Download

Documents

vuongminh
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF

TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA

(Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum (S.H)

Oleh :

Ahmad Bustomi Kamil

NIM :1111048000046

KONSENTRASI HUKUM KELEMBAGAAN NEGARA

P R O G R A M S T U D I I L M U H U K U M

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1436H/2015M

Page 2: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS
Page 3: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS
Page 4: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

iii

Page 5: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

iv

ABSTRAK

AHMAD BUSTOMI KAMIL NIM 1111048000046. RELEVANSI

PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF

TERHADAP PENGUATAN SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. (Analisis

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013).

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,

1436/2015 M.

Penelitian ini dilatarbelakangi adanya pengujian Undang-Undang Nomor 42

Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden oleh Mahkamah

Konstitusi Republik Indonesia. Dengan dibatalkannya Pasal 3 Ayat (5) Undang-

Undang Nomor 42 Tahun 2008, berdampak pada diselenggarakannya Pemilihan

Umum secara serentak antara Presiden dengan Legislatif untuk tahun 2019 dan

seterusnya. Pemilihan Umum tersebut diproyeksikan membawa implikasi pada

penguatan sistem presidensial di Indonesia. Namun apakah Pemilihan Umum

serentak mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial, serta variabel

apa saja yang mempengaruhi dalam rangka penguatan sistem presidensial.

Penelitian ini merupakan penelitian yuridis empiris normatif dengan

menerapkan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus

(case approach). Menggunakan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

1945 dan Putusan 14/PUU-XI/2013 untuk membuktikan relevansi Pemilihan Umum

serentak terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pemilihan Umum serentak Presiden

dengan Legislatif mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di

Indonesia. Namun untuk memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya

mengandalkan pemilu serentak tapi perlu didukung variabel lain dalam rangka

memperkuat sistem presidensial di indonesia, seperti meningkatkan parliamentary

threshold, mengubah sistem kepartaian dan sistem pemilu legislatif atau

memperkokoh bangunan koalisi yang telah dibentuk dengan ketentuan yang lebih

jelas dan baku.

Kata kunci: sistem pemerintah presidensial, coattail effect, parliamentary threshold,

penguatan sistem presidensial.

Pembimbing : H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H.

Nur Rohim Yunus, LLM.

Daftar Pustaka: dari tahun 1990 s.d tahun 2015

Page 6: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

v

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.

Segala puji dan syukur hanya untuk Allah SWT, karena berkat rahmat, nikmat

yang tidak terhingga banyaknya, Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan pada

Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga, sahabat serta para pengikutnya yang setia

hingga akhir zaman.

Dengan mengucapkan Alhamdulillahi Robbil ‘alamin penulis dapat

menyelesaikan skripsi dengan judul “RELEVANSI PEMILIHAN UMUM

SERENTAK PRESIDEN DENGAN LEGISLATIF TERHADAP PENGUATAN

SISTEM PRESIDENSIAL DI INDONESIA. (Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi

Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013)”. Penelitian ini merupakan salah satu

syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapat

bantuan, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak. Sehingga dalam kesempatan kali

ini penulis mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada terhormat :

1. Dr. Asep Saepudin Jahar, Ph.D Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Syarif Hidayatullah Jakarta

Page 7: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

vi

2. Drs. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H Ketua Program Studi Ilmu

Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H, M.Hum, selaku Sekretaris Program

Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang sudah

memberikan arahan serta masukan dalam penyusunan skripsi.

3. H. Syafrudin Makmur, S.H., M.H. selaku dosen Pembimbing I yang telah

bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan

saran dan masukan dalam penyusunan skripsi ini.

4. Nur Rohim Yunus, LLM. selaku dosen Pembimbing II yang telah bersedia

meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk memberikan saran dan

masukan dan bimbingan yang berharga dalam penyusunan skripsi ini

5. Kedua orang tua yang saya sangat cintai dan sayangi, Bapak Kamiludin

dan Ibu Rahyuni Thahir yang telah mendoakan, mendukung dan menjadi

motivasi untuk menyelesaikan skripsi ini. Hari-hari beliau sepenuhnya

untuk saya dalam menyelesaikan skripsi ini.

6. Kepada kakak perempuan saya Ilan Kamilah serta adik-adik saya yakni Az-

Zahra Nabilah Kamil dan Muhammad Ikhlasul Kamil yang telah menjadi

inspirasi dan penyemangat, dan juga tidak lupa untuk keluarga besar yang

selalu mendoakan Penulis agar penelitian ini terselesaikan.

7. Sahabat-sahabat seperjuangan Himpunan Mahasiswa Ilmu Hukum, Kelas

B Ilmu Hukum Angkatan 2011, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara

yang sekaligus menjadi keluarga yakni M. Rizki Firdaus, Azhar Nur Fajar

Alam, Moh Hisyam Rafsanjani, Zaimi Multazim, Muhammad Reza Haryo

Page 8: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

vii

Mahendra Putra, Rizky Ramandika, Dwi Puji Apriyantik, Nanda Narenda

Putra, Gari Ichsan Putro, Ridwan Ardy Prasetya, Rizky Arisandi, Ade

Putra Indrawan, Marwan, Muhammad Khaidar Muiny.

8. Kawan-kawan AMPUH (Angkatan Muda Peduli Hukum), PSHK (Pusat

Studi Hukum Kelembagaan Negara) dan FKMB (Forum Komunikasi

Mahasiswa Betawi).

Akhir kata, atas jasa dan bantuan para semua pihak yang terlibat serta juga

memberikan masukan, semoga Alah memberikan balasan yang berlipat. Penulis

berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi kalangan akademis, masyarakat

serta para pembaca secara umunya.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Jakarta, 09 Oktober 2015

Ahmad Bustomi Kamil

Page 9: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

viii

DAFTAR ISI

PERSETUJUAN PEMBIMBING ...................................................................... i

LEMBAR PENGESAHAN PENGUJI ............................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................ iii

ABSTRAK ........................................................................................................... iv

KATA PENGANTAR ……………………………………………………..... ..... v

DAFTAR ISI …………………………………………………………....... .... ...viii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang………………………………………………… .......... 1

B. BatasandanRumusanMasalah ................................................................ 6

C. TujuandanManfaatPenelitian ................................................................ 7

D. Tinjauan (Review) StudiTerdahulu………………………………...... . 8

E. KerangkaTeori…………………………………………………........... 9

F. MetodePenelitian………….............. …………………....................... 12

G. SistematikaPenulisan ……………………………………….... ......... 15

BAB II TEORI BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN

A. Paham Konstitusionalisme.................………………………… ... …. 17

B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances..19

Page 10: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

ix

C. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan .............................................. 21

1. Bentuk Pemerintahan .................................................................... 21

a. Bentuk Pemerintahan Republik .............................................. 22

b. Bentuk Pemerintahan Monarki ............................................... 23

2. Sistem Pemerintahan ..................................................................... 24

a. Sistem Pemerintahan Parlementer........................................... 25

b. Sistem Pemerintahan Presidensial........................................... 27

c. Sistem Pemerintahan Campuran ............................................. 29

BAB III SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

A. Sistem Pemerintahan di Indonesia ...................................................... 31

1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945

2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945

B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia ............................................................................................. 34

1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia ....................................................................................... 34

2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia ....................................................................................... 36

3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan

Presidensial di Indonesia ............................................................... 37

C. Variabel Yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial ..... 39

Page 11: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

x

1. Sistem Multipartai dalam Sistem Pemerintahan Presidensial ....... 40

2. Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial ......................... 41

BAB IV ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 14/PUU-IX/2013 DALAM PENGUJIAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG

PEMILIHAN UMUM PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

A. Relevansi Pemilihan Umum serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap

Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia ................ 45

B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor

14/PUU-XI/2013 ................................................................................. 56

C. Implikasi Pemilihan Umum Serentak Terhadap Sistem Pemilihan Umum

di Indonesia ......................................................................................... 60

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................ 66

B. Saran .................................................................................................... 68

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 70

Page 12: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Thomas Hobbes mengatakan bahwa manusia pada mulanya hidup dalam

suasana bellum omnium contra omnes (perang semua melawan semua).1 bellum

omnium contra omnes tercipta karna kondisi alamiah dimana manusia hidup

dalam situasi pranegara, jauh dari pemahaman tentang moral, institusi dan

undang-undang.2 Hal inilah yang menurutnya mendorong manusia untuk

mendirikan sebuah negara.

Sejak zaman dahulu, Motivasi paling umum yang mendorong manusia

untuk hidup dalam suatu negara adalah motivasi untuk menikmati kehidupan yang

lebih baik. Negara menjadi wadah untuk mencapai tujuan bersama. Hal ini

terbukti dengan perkembangan pengorganisasian negara mulai dari

nachwachatersataat atau negara penjaga malam sampai pada doktrin walfare

state atau negara kesejahteraan yang menganjurkan tanggungjawab lebih kepada

negara untuk mengurusi kesejahteraan sosial.3

Secara umum unsur pokok terbentuknya sebuah negara yaitu: (1) Adanya

rakyat (masyarakat) tertentu; (2) Adanya daerah (wilayah) tertentu; (3) Adanya

pemerintahan yang berdaulat. Menurut Mahfud MD Pemerintahan adalah alat

1Lili Rasjidi dan Liza Sonia Rasjidi, Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum, (Bandung: PT

Citra Aditya Bakti, 2012, Cet. Kesebelas), h. 83.

2Otto Gusti Madung, Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus Filosofis,

(Ledalero: Maumere, 2013, Cet. Pertama), h. 34.

3Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

(Jakarta: Sekertariat Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, 2006,

Cet. Kedua), h. 2.

Page 13: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

2

kelengkapan negara yang bertugas memimpin negara untuk mencapai tujuan

negara. Oleh sebab itu pemerintah seringkali menjadi personifikasi negara.4

Dalam menjalankan sebuah negara, dibutuhkan sebuah sistem pemerintahan

untuk menjaga kestabilan negara. Sistem pemerintahan digunakan untuk

menunjukkan bagaimana pemerintahan dalam suatu negara dijalankan. Di

dalamnya terdapat sistem hubungan dan tata kerja antara lembaga-lembaga negara

sebagai pemegang kekuasaan negara.

Menurut Carl J. Friedrich5 sistem adalah suatu keseluruhan terdiri dari

beberapa bagian yang mempunyai hubungan fungsional baik antara bagian-bagian

maupun hubungan fungsional terhadap keseluruhannya, sehingga hubungan itu

menimbulkan suatu ketergatungan antara bagian-bagian yang akibatnya jika salah

satu bagian tidak bekerja dengan baik akan memengaruhi keselurahannya itu.

Adapun pengertian pemerintah dalam arti luas meliputi seluruh organ

kekuasaan di dalam negara yaitu legislataif, eksekutif, dan yudikatif. Tetapi dalam

arti sempit, pemerintah (yang disebut bestuur) hanya mencakup organisasi fungsi-

fungsi yang menjalankan tugas pemerintahan (eksekutif) yang bisa dilakukan oleh

Kabinet dan aparat-aparatnya dari tingkat pusat sampai ke daerah.6

Karena itu apabila berbicara tentang sistem pemerintahan pada dasarnya

adalah membicarakan bagaimana pembagian kekuasaan serta hubungan antara

4Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, (Jakarta: PT Rineka

Cipta, 2001, Cet. Kedua), h. 64.

5Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, (Jakarta: Kencana, 2011, Cet. Kedua), h. 147.

6Moh. Mahfud MD, Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia, h. 66.

Page 14: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

3

lembaga-lembaga negara menjalankan keuasaan negara itu, dalam rangka

menyelenggarakan kepentingan rakyat.7

Sri Soemantri8 memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan sistem

hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan antara

eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan parlementer dan

sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa inggris disebut cabinet

government system dan presidential government system atau the fixed executive

system.

Dalam perkembangan negara modern, penyelenggaraan kekuasaan negara

didasarkan pada konstitusi.9 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis atau

yang lazimnya disebut Undang-Undang Dasar. Melalui Undang-Undang Dasar

kita dapat melihat negara mulai dari bentuk negara, bentuk pemerintahan, sistem

pemerintahan dan jaminan hak asasi manusia.

Dalam konteks Indonesia, konstitusi tertulis tertuang dalam Undang-

Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang telah mengalami perubahan menjadi

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (selanjutnya disebut

UUD NRI 1945). Di dalamya memuat mengenai bentuk negara dan bentuk

pemerintahan (Pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945) serta sistem pemerintahan.

7Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, h. 148.

8Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen UUD

1945, h. 148.

9Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2012, Cet. Kedua), h.

117.

Page 15: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

4

Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial,

sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh kalangan

perancang Undang-Undang Dasar 1945. Ciri-ciri penting yang ada di sistem

presidensial yakni10

:

1. Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala pemerintahan;

2. Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya presiden

bertanggungjawab kepada rakyat;

3. Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden tidak

dapat membubarkan parlemen;

4. Presiden memiliki masa jabatan tetap;

5. Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.

Akan tetapi, sistem presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum

amandemen adalah tidak murni, karena Presiden dalam menjalankan

pemerintahannya harus mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai

lembaga parlemen yang mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara.

MPR juga berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena

tuduhan pelanggaran haluan negara.11

Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945

(1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial.12

Hal ini dibuktikan dengan

dimuatnya ciri-ciri pokok sistem presidensial ke dalam Pasal 4 ayat (1), Pasal 6A

ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945.

10

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam

UUD 1945, (Yogyakarta: FH UII Press, 2005, Cet. Kedua), h. 59-60.

11

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi, (Jakarta: Sinar Grafika,

2012, Cet. Kedua) h. 97-98.

12

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013, h. 78.

Page 16: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

5

Dengan demikian, jelaslah bahwa negara Indonesia di era reformasi ini

menganut sistem presidensial. Karna ciri-ciri pokok sistem presidensial

disebutkan secara tegas dalam UUD NRI 1945. UUD NRI 1945 menempatkan

presiden dalam posisi yang kuat dan strategis, karna presiden tidak dapat

dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara limitatif oleh UUD NRI 1945

(Pasal 7A UUD NRI 1945).

Dalam hal pengisian jabatan Presiden, Pasal 6A ayat (2) menyebutkan

bahwa “Pasangan Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau

gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan

umum”. Pasal 6A ayat (5) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa: “Tata cara

pelaksanaan pemilihan Presiden dan wakil Presiden lebih lanjut diatur dalam

undang-undang”.

Berdasarkan ketentuan tersebut maka lahirlah Undang-Undang pelaksana

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden, yakni Undang-Undang nomor 23 tahun

2003 yang sekarang telah dicabut dan diganti dengan Undang-Undang Nomor 42

tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden yang

menghendaki Pemilu Presiden dilaksanakan setelah pemilihan umum Anggota

DPR, DPD dan DPRD (selanjutnya disebut Pemilu Legislatif).

Terkait Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008, telah dilakukan

permohonan Pengujian Undang-Undang oleh Effendi Gazali pada tanggal 10

januari 2013 kepada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, yang pada

intinya Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa model pelaksanaan Pemilu

Page 17: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

6

Presiden dan Wakil Presiden dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD

untuk pemilihan umum seterusnya dilakukan secara serentak.13

Menurut Mahkamah Konstitusi penyelenggaraan Pemilihan Presiden yang

dilakukan setelah Pemilu Legislatif melemahkan sistem presidensial yang hendak

dibangun oleh UUD NRI 1945. Negosiasi dan tawar-menawar (bargaining)

politik yang dilakukan dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan

dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintah, mempengaruhi jalannya roda

pemerintahan di kemudian hari.

Oleh karena itu, Presiden pada faktanya sangat bergantung pada partai-

partai yang mempunyai hak eksklusif dalam pencalonan Presiden (Pasal 6A ayat

(2) UUD NRI 1945) yang menurut Mahkamah Konstitusi dapat mereduksi posisi

Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem

pemerintahan presidensial yang dianut UUD NRI 1945.

Dari uraian di atas menarik untuk dikaji apakah pemilihan Presiden dan

Wakil Presiden yang dilakukan secara serentak dengan pemilihan Anggota

DPR,DPD, dan DPRD mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem

presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

1. Batasan Masalah

Untuk menghindari meluasnya pembahasan yang akan dibahas dalam

penelitian ini maka penulis membatasi masalah yang diteliti hanya terfokus

13

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 88.

Page 18: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

7

pada relevansi Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang dilakukan secara

serentak dengan Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD terhadap penguatan

sistem presidensial yang dianut oleh UUD 1945.

2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka pokok permasalahan

yang akan diteliti adalah :

a. Apakah Pemilhan Umum serentak mempunyai relevansi terhadap

penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945?

b. Apa dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia dalam

Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam pengujian Undang-Undang

Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden?

c. Apa implikasi pemilu serentak terhadap sistem pemilihan umum di

indonesia?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan, maka tujuan penulisan dalam skripisi

ini adalah:

a. Untuk mengetahui apakah pemilihan umum secara serentak mempunyai

relevansi terhadap penguatan sistem presidensial.

b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan Mahkamah Konstitusi republik

Indonesia dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013.

Page 19: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

8

c. Untuk mengetahui implikasi pemilihan umum serentak terhadap sistem

pemilihan umum di Indonesia.

2. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

a. Secara Teoritis

Penelitian ini dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan dalam

hukum tata negara khsususnya mengenai relevansi pemilu serentak

terhadap penguatan sistem presidensial yang dianut oleh UUD NRI 1945

serta mengetahui dampak pemilu serentak terhadap kefektivitan

pemerintahan. Selain itu dapat menambah pembendaharaan karya ilmiah

dengan memberikan konstribusi bagi perkembangan hukum tata negara di

Indonesia.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan menjadi kerangka acuan dan landasan bagi

penulis lanjutan, dan mudah-mudahan dapat memberikan masukan bagi

pembaca khususnya mengenai relevansi pemilu serentak terhadap

penguatan sistem presidensial yang dianut UUD NRI 1945.

D. Tinjauan (review) Kajian Terdahulu

Jurnal

Sodikin, Jurnal RechtVinding Volume 3 Nomor 1 April tahun

2014 yang berjudul “Pemilu Serentak (Pemilu Legislatif dengan

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden) dan Penguatan Sistem

presidensial.

Hayat, Jurnal Konstitusi Volume 11 Nomor 3, September 2014

yang berjudul “Korelasi Pemilu Serentak dengan Multi Partai

Sederhana sebagai Penguatan Sistem Presidensial

Page 20: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

9

Hukum Penelitian saya, Relevansi Pemilu Serentak Presiden dan Legislatif

Terhadap Penguatan Sistem Presdiensial di Indonesia.

Persamaan

Persamaan dari penelitian sebelumnya adalah sama-sama

menganalisis apakah pemilu serentak presiden dengan legislatif

berdampak pada penguatan sistem presidensial di Indonesia

berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

Nomor 14/PUU-XI/2013.

Perbedaan

Sodikin: Jurnal ini lebih mempersoalkan mengenai ambang batas

(presidential threshold) sebagai bentuk

pelemahan sistem presidensil yang tidak

dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi Republik

Indonesia.

Hayat: Jurnal ini meneliti bahwa sistem multi partai sederhana

mempunyai korelasi terhadap penguatan sistem

presidensial. Penelitian ini berangkat dari

perspektif efektivitas penyelenggaraan

pemerintahan, bahwa sistem multi partai

sederhana sangat cocok diterapkan di dalam

sistem presidensial

Penelitian saya: skripsi saya meneliti apakah pemilu serentak

presiden dan legislatif mempunyai relevansi

terhadap penguatan sistem presidensial ditinjau

dari teori pemisahan kekuasaan dengan prinsip

Checks and Balances dan ciri-ciri pokok sistem

presidensial yang menghendaki kedudukan

antara eksekutif dan legslatif adalah sejajar.

E. Kerangka Teori

1. Konsep Negara Hukum

Konsep negara hukum selalu terkait dengan ide negara hukum. Ide

negara hukum muncul dari latar belakang terjadinya kesewenang-wenangan

penguasa.14

Ide negara hukum sudah dikenal sekitar 500 SM oleh bangsa

Yunani Kuno. Ide negara hukum pertama kali dikemukakan oleh Plato

14

Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik, (Jakarta: Erlangga, 2010, Cet. Pertama), h. 10.

Page 21: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

10

dalam karyanya Politea (the Republic), Politicos (the Stateman), dan Nomoi

(the Law). Dan ide atau gagasan negara hukum mucul lagi di eropa barat

sekitar abad -17-18.

Ide negara hukum secara garis besar menghendaki adanya pembatasan

kekuasaan negara berdasarkan hukum. Hukum memegang peranan tertinggi

dalam kekuasaan negara, yang dibayangkan sebagai faktor penentu dalam

penyelenggaran kekuasaan negara. Hal ini sejalan dengan teori kedaulatan

hukum yang mengatakan bahwa kekuasaan yang tertinggi tidak terletak

pada raja, tidak juga pada negara tetapi berada pada hukum.15

Pada zaman modern, konsep negara hukum di Eropa Kontinental

dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julis Stahl,

dan lain-lain dengan menggunaka istilah Jerman yaitu Rechsstaat.

Sedangkan dalam tradisi Anglo Amerika, konseop negara hukum

dikembangkan oleh A.V. Dicey dengan sebutan The Rule of Law. Menurut

Julius Stahl, konsep negara hukum yang disebut Rechsstaat itu mencakup

empat elemen penting yaitu16

:

1. Perlindungan Hak Asasi Manusia.

2. Pembagian kekuasaan.

3. Pemerintahan berdasarkan Undang-Undang

4. Peradilan tata usaha negara.

Sedangkan A.V. Dicey menguraikan adanya tiga ciri penting dalam

setiap negara hukum yang disebut dengan isitilah The Rule of Law, yaitu:

1. Supermacy of Law.

15

Hendra Nurthahjo, Filsafat Demokrasi, (Jakarta:Bumi Aksara, 2008, Cet.Kedua), h. 37.

16

Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005), h.

122.

Page 22: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

11

2. Equality of Law.

3. Due Process od Law.

Profesor Utrecht membedakan antara negara hukum formil atau negara

hukum klasik, dan negara hukum materil atau negara hukum modern.

Negara hukum formil menyangkut pengertian hukum yang bersifat formil

dan sempit, yaitu peraturan perundang-undangan tertulis. Sedangkan negara

hukum materil yang lebih mutakhir mencakup pula pengertian keadilan di

dalamnya.

2. Teori Pemisahan Kekuasaan

Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri

kembali dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment”

(1960) yang berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum

tidak boleh dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke

membagi kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu

kekuasaan legislatif (legislative power), kekuasaan eksekutif (executive

power), dan kekuasaan Federatif (federatif power).

Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan

dengan mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan

negara menjadi 3 (tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif.

Panadngan Montesquieu inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion

of power di zaman sesudahnya.

Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara

struktural dalam organ-organ yang tidak saling mrncampuri urusan masing-

Page 23: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

12

masing. Kekuasan legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif,

kekuasaan eksekutif hanya dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan

demikian pula kekuasaan yudikatif hanya dilakukan oleh lembaga yudikatif.

Dalam pandangannya sebagai berikut17

:

“Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from

legislative and executive. Were it joined with the legislative, the life and

liberty of the subject would be exposed to arbitratry control, for the judge

would then be legislator. Were it joined with the executive power, the judge

might behave with violence and oppresion.”

Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan

negara itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara.

Satu organ hanya boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh

saling mencampuri urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika

tidak demikian, maka kebebasan akan terancam.

Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat

tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebuut

hanya berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi

kekuasaan tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan

antar cabang kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan,

dan bahkan ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama

lain dengan prinsip checks and balances.

F. Metode Penelitian

17

Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik, h. 25.

Page 24: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

13

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian

hukum normatif atau yuridis normatif. Penelitian normatif yaitu penelitian

hukum yang meletakan hukum sebagai sebuah bangun sistem norma. Sistem

norma yang dimaksud adalah mengenai asas-asas, norma, kaidah dari

peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian, serta

doketrin (ajaran).18

2. Pendekatan penelitian

Sehubungan dengan jenis penelitian ini, maka pendekatan yang

digunakan adalah:

a. Pendekatan Sejarah;

b. Pendekatan Perundang-undangan.

c. Pendekatan Comparatif (Perbandingan)

3. Sumber Penelitian (bahan yang dijadikan rujukan)

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat

autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri

dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam

pembuatan undang-undang dan putusan-putusan hakim.19

1) Perundang-undangan terdiri dari :

a) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

18

Fahmi Muhammad Ahmadi dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta:

Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010, Cet. Pertama), h. 31.

19

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Kelima), h.

141.

Page 25: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

14

b) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden

2) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder merupakan semua publikasi tentang hukum

yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Publikasi tentang

hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal

hukum, dan komentar-komentar atas putusan pendadilan. Tentunya

yang berkaitan dengan penelitian ini.20

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pengumpulan data

melalui studi dokumen/kepustkaan (library research) yaitu dengan

melakukan penelitian terhadap berbagai sumber seperti buku-buku yang

berkaitan dengan permasalahan, pendapat sarjana, surat kabar, artikel,

kamus dan juga berita yang penulis peroleh dari internet.

5. Metode Analisis dan Pengolahan data

Adapun untuk menganalisis data kualitatif ini penulis menggunakan

pola berpikir deduktif-induktif, yaitu deduktif-induktif ini digunakan untuk

menjelaskan bab II dan bab III. Setelah dijelaskan tentang inti dari

penelitian dan menarik kesimpulan dari suatu permasalahan konkret yang

dihadapi.

6. Metode Penulisan

20

Peter Mahmud Marzuki, h. 141.

Page 26: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

15

Dalam metode penulisan penelitian ini penulis menggunakan metode

penulisan sesuai dengan sistematika penulisan yang ada Buku Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta Tahun 2012.

G. Sistematika Penulisan

Untuk memberikan gambaran secara menyeluruh tentang isi skripsi ini, maka

penulis memberikan sistematikanya secara garis besar. Penulisan penelitian ini

dibagi menjadi lima bab, dimana setiap bab akan dibahas secara rinci sebagai

bagian dari keseluruhan penelitian ini dengan maksud untuk mempermudah

memahami penulisan penelitian ini. Adapun susunan sistematika penulisan skripsi

ini adalah sebagai berikut :

BAB 1 Pendahuluan

Merupakan pengantar untuk memahami garis besar dari seluruh

pembahasan. Dalam hal ini diuraikan mengenai latar belakang penulisan,

pokok permasalahan, metode pembahasan, serta sitematika penulisan

penelitian ini.

BAB II Tinjauan Umum tentang Kekuasaan Negara

Dalam bab ini akan membahas secara komprehensif mengenai kekuasaan

negara, mulai dari paham konstitusionalisme, doktrin Pemisahan

Kekuasaan dengan prinsip Checks and Balances. Serta juga membahas

mengenai teori bentuk dan sistem pemerintahan

BAB III Sistem Pemerintahan di Indonesia

Page 27: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

16

Dalam bab ini akan membahas mengenai sistem pemerintahan di

Indonesia, kemudian dilanjutkan membahas mengenai kedudukan

eksekutif dan legislatif dalam sistem pemerintahan presidensial di

Indonesia serta pola hubungan antar kedua lembaga tersebut. Dan juga

membahas megenai variabel yang mempengaruhi sistem presidensial

BAB IV Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor

14/PUU-XI/2013

Bab ini merupakan inti dari penelitian ini yakni dengan melihat dasar

pertimbangan Hakim Mahkamah Konsitusi dalam Putusan Nomor

14/PUU-XI/2013 serta menganalisis Putusan Mahkamah Konsitusi Nomor

14/PUU-XI/2013 terkait pemilu serentak.

BAB V Penutup

Dalam bab ini terdiri dari kesimpulan dan saran. Dalam bab ini penullis

mencoba menyimpulkan dan memberikan usulan-usulan mengenai

permasalahan yang telah dibahas dalam penulisan penelitian ini.

Page 28: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

17

BAB II

TEORI KEKUASAAN NEGARA

A. Paham Konstitusionalisme

Untuk mengetahui mengenai paham konstitusionalisme maka terlebih

dahulu memahami apa itu konstitusi. Istilah konstitusi dalam bahasa Indonesia

berpadanan dengan kata “constitution” (bahasa Latin), “contitution” (bahasa

Inggris), “constitutie” (bahasa Belanda), “constituonnel” (bahasa Perancis),

“versfassung” (bahasa Jerman). Istilah konstitusi berasal dari bahasa Perancis

yakni constituer yang berarti membentuk.1

Selama abad ke-16 dan abad ke-17 negara-negara bangsa (nation state)

mendapat bentuk yang sangat kuat, sentralistik dan berkuasa. Berbagai teori

berkembang untuk memberikan penjelasan mengenai perkembangan kekuasaan

yang kuat itu. Di Inggris pada abad ke-18, perkembangan sentralisme ini

mengambil bentuknya dalam doktrin „king-in parliament‟ yang pada dasarnya

mencerminkan kekuasaan tidak terbatas.2

Berawal dari kekuasaan yang liar dan tak terkendali, maka harus ada

konstitusi baik itu dalam sebuah negara republik, Federal, ataupun Serikat. Untuk

membatasi kekuasaan, semua konstiusi menjadikan kekuasaan sebagai pusat

perhatian, karena kekuasaan itu sendiri pada intinya memang perlu diatur dan

1 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara;

Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, (Bandung: Fajar Media Bandung, 2013, Cet. Pertama),

h. 206.

2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, h. 19.

Page 29: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

18

dibatasi sebagaimana mestinya. Karena itu pembatasan kekuasaan pada umumnya

dianggap merupakan corak umum materi konstitusi.3

Pada perkembangan selanjutnya istilah konstitusi pada umumnya

dipergunakan untuk menujuk kepada segala peraturan mengenai ketatanegaraan

suatu negara yang secara keseluruhan menggambarkan sistem ketatanegaraan.4

Konstitusi menjadi hukum dasar yang dijadikan pegangan dalam penyelengaraan

negara.5 Konstitusi dapat berupa hukum dasar tertulis yang lazim disebut Undang-

Undang Dasar, dan dapat pula tidak tertulis.

Undang-undang dasar menempati tata urutan peraturan perundang-

undangan tertinggi dalam negara. Dalam undang-undang dasar termuat pemegang

kedaulatan tertinggi, struktur negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan,

kekuasaan legislatif, kekuasaan peradilan dan berbagai lembaga negara serta hak-

hak rakyat.

Kebutuhan akan naskah undang-undang dasar merupakan suatu

keniscayaan. Seluruh negara memiliki undang-undang dasar walaupun, sampai

saat ini, Inggris dan Israel tidak dikenal memiliki suatu naskah undang-undang

dasar tertulis. Undang-undang dasar di Inggris dan Israel tidak pernah dibuat,

tetapi tumbuh menjadi konstitusi dalam pengalaman praktek ketatanegaraan.6

3 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitualisme, h. 17.

4 A. Salman Maggalatung dan Nur Rohim Yunus, Pokok-pokok Teori Ilmu Negara;

Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia, h. 207.

5 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 117.

6 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, (Jakarta: Sekertariat Jendral MPR RI, 2012, Cet. Kedua), h.

118.

Page 30: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

19

Paham konstitusionalisme berawal dari dipergunakannya konstitusi sebagai

dasar hukum dalam penyelenggaraan negara. paham konstitusionalisme

mengemban the limited state (negara terbatas), dimana dalam penyelenggaraan

negara dan pemerintahan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan maka hal

tersebut tersebut harus dinyatakan dan diatur secara tegas dalam pasal-pasal

konstitusi. pada prinsipnya paham konstitusionalisme menyangkut prinsip

pembatasan kekuasaan.7

Pada prinsipnya paham konstitusionalisme adalah menyangkut prinsip

pembatasan kekuasaan. Konstitusionalisme mengatur dua hubungan yang saling

berkaitan satu sama lain, yaitu pertama, hubungan antara pemerintah dengan

warga negara; dan kedua, hubungan antara lembaga pemerintahan yang satu

dengan lembaga pemerintahan yang lain. Oleh karena itu, biasanya konstitusi

dimaksudkan mengatur tiga hal penting, yaitu menentukan pembatasan

kekuasaaan organ-organ negara, mengatur hubungan antara lembaga-lembaga

negara yang satu dengan yang lain, dan mengatur hubungan kekuasaan antara

lembaga-lembagan negara dengan warga negara.8

B. Teori Pemisahan Kekuasaan dengan Prinsip Checks and Balances

Konsep awal mengenai pemisahan kekuasaan ini dapat ditelusuri kembali

dalam tulisan John Locke, “Second Treaties of Civil Goverment” (1960) yang

7 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 119.

8 Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014, Empat Pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, h. 120.

Page 31: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

20

berpendapat bahwa kekuasaan untuk menetapkan aturan hukum tidak boleh

dipegang sendiri oleh mereka yang menerapkannya. John Locke membagi

kekuasaan negara menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu kekuasaan legislatif

(legislative power), kekuasaan eksekutif (executive power), dan kekuasaan

federatif (federatif power).

Oleh Montesquieu (1689-1755) pemikiran John Locke diteruskan dengan

mengembangkan konsep trias politica yang membagi kekuasaan negara menjadi 3

(tiga) cabang, yaitu legilatif, eksekutif, dan yudikatif. Pandangan Montesquieu

inilah yang kemudian dijadikan doktrin separtion of power di zaman sesudahnya.

Menurut Montesquieu, harus dibedakan dan dipisahkan secara struktural dalam

organ-organ yang tidak saling mencampuri urusan masing-masing. Kekuasan

legislatif hanya dilakukan oleh lembaga legislatif, kekuasaan eksekutif hanya

dilakukan oleh lembagan eksekutif, dan demikian pula kekuasaan yudikatif hanya

dilakukan oleh lembaga yudikatif.

Dalam pandangannya sebagai berikut9 :

“Again there is no liberty, if the judiciary power be not separetd from legislative

and executive. Were it joined with the legislative, the life and liberty of the subject

would be exposed to arbitratry control, for the judge would then be legislator.

Were it joined with the executive power, the judge might behave with violence and

oppresion.”

Yang diidealkan Montesquieu adalah bahwa ketiga fungsi kekuasaan negara

itu harus dilembagakan masing-masing dalam tiga organ negara. Satu organ hanya

boleh menjalankan satu fungsi (functie), dan tidak boleh saling mencampuri

9 Hotma P. Sibuea, Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-Asas Umum

Pemerintahan yang Baik, h. 25.

Page 32: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

21

urusan masing-masing dalam arti yang mutlak. Jika tidak demikian, maka

kebebasan akan terancam.

Konsepsi trias politica ini jelas tidak relevan lagi dewasa ini, mengingat

tidak mungkin lagi mempertahankan bahwa ketiga kekuasaan tersebut hanya

berurusan secara eksklusif dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan

tersebut. Kenyataanya dewasa ini menunjukan bahwa hubungan antar cabang

kekuasaan itu tidak mungkin untuk tidak saling bersentuhan, dan bahkan

ketiganya bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain dengan

prinsip checks and balances.10

C. Teori Bentuk dan Sistem Pemerintahan

1. Bentuk Pemerintahan

Secara umum, seringkali terjadi pencampuran dalam menggunakan

istilah “bentuk pemerintahan” dan “sistem pemerintahan”. Padahal kedua

hal tersebut mempunyai perbedaan mendasar. Sri Soemantri melihat bentuk

pemerintahan sebagai penggambaran struktur organisasi yang dipilih dalam

menjalankan negara.11

Sedangkan sistem pemerintahan yaitu mengenai

hubungan antar pemerintah dan badan yang mewakili rakyat.12

10

Jimly Ashiddiqie, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,

h. 35.

11

Hendra Nurtjhajo, Ilmu Negara; Pengembangan Teori bernegara dan Suplemen,

(Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005, Cet. Pertama), h. 40.

12

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010. Cet. Pertama), h. 23.

Page 33: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

22

Menurut Hanks Kelsen, bentuk pemerintahan diklasifikasikan menjadi

republik dan monarki. Jika kepala negara diangkat berdasarkan hak waris

atau keturunan maka bentuk pemerintahan tersebut disebut monarki.

Sedangkan jika kepala negara dipilih melalui pemilihan umum untuk masa

jabatan tertentu maka bentuk pemerintahan tersebut disebut republik.13

a. Bentuk Pemerintahan Republik

Bentuk pemerintahan republik telah dikenal sejak masa

pemerintahan Yunani klasik dan Romawi. Negara-negara kota (Polis

atau City State) di Yunani seperti Athena dan Sparta adalah republik.

Demikian pula Romawi, sebelum berkembang menjadi kerajaan atau

kekaisaran, adalah republik. Meskipun secara konseptual

pemerintahan Yunani klasik berbentuk republik, nama republik sendiri

itu tidak dikenal meskipun tulisan Plato Politea disalin dengan nama

republik.14

Pemahaman dan perwujudan bentuk republik berasal dari

Romawi, yaitu bahasa Latin res publica yang berarti segala sesuatu

berkenaan dengan (kepentingan) umum (rakyat). Baik di Yunani

Klasik maupun Romawi bentuk republik tidak dikaitkan dengan

jabatan presiden. Jabatan presiden yang dikaitkan dengan bentuk

republik pertama kali digunakan setelah revolusi Amerika Serikat dan

revolusi Perancis.

13

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 23.

14

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD

1945 dengan Delapan Negara Maju, (Jakarta: Kencana, 2009, Cet. Pertama), h. 42.

Page 34: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

23

Secara asasi paham republik mengandung makna bahwa

pemerintahan yang diselenggarakan oleh dan untuk kepentingan

umum (rakyat banyak). Karena itu, institusi kenegaraan dalam

republik harus mencerminkan kehendak umum dan ditentukan

berdasarkan kehendak umum (rakyat). Hal ini hanya dimungkinkan

kalau kepala negara bukan raja. Raja yang turun-temurun tidak

memungkinkan keikutsertaan umum (rakyat) untuk memilih dan

dipilih sebagai kepala negara.15

Dalam konteks Indonesia, bentuk pemerintahan Indonesia adalah

republik. Bentuk pemerintahan tersebut dinyatakan secara tegas dalam

pasal 1 ayat (1) UUD NRI 1945 yang menyatakan “Negara indonesia

ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Hal tersebut

dimaksudkan sebagai prasyarat bahwa pemerintahan yang dijalankan

untuk kepentingan umum (rakyat).

b. Bentuk Pemerintahan Monarki

Bentuk pemerintahan kerajaan biasanya ditandai seorang raja,

kaisar, sultan yang menjadi kepala negara. Jabatan tersebut diduduki

secara turun-temurun dan dijabat seumur hidup. Contoh negara yang

berbentuk kerajaan atau monarki adalah Inggris, Belanda, Nowergia,

Swedia dan Thailand.

M. Solly Lubis mendefinisikan monarki atau kerajaan sebagai

pemerintahan dimana kekuasaan negara dipegang oleh “satu” orang

15

Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, h.3.

Page 35: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

24

yang menjalankan kekuasaan itu untuk kepentingan semua orang.16

Pengertian yang agak berbeda disampikan oleh A. Appodorai yang

mengartikan monarki sebagai pemerintahan oleh seorang individu

yang tidak tunduk pada pembatasan hukum apapun, melakukan segala

sesuatu atas kehendak sendiri.

Dari perbedaan kedua pandangan tersebut maka monarki atau

kerajaan dapat di bagi menjadi dua bentuk :

1) Monarki Absolute, dimana kekuasaan raja tidak dibatasi

oleh apapun.

2) Monarki Konstititusional, dimana kekuasaan raja dibatasi

oleh Konstitusi.

Dalam perkembangannya bentuk-bentuk kerajaan dengan

kekuasaan absolut telah banyak berkembang menjadi pemerintahan

kerajaan atau monarki yang tunduk pada hukum, tunduk pada

kehendak rakyat, tunduk pada konstitusi (Monarki Konstitusional),

seperti di Inggris, Belanda, Belgia, Spanyol, Jepang dan Thailand.

2. Sistem Pemerintahan

Sri Soemantri17

memaknai sistem pemerintahan berkenaan dengan

sistem hubungan eksekutif dan legislatif. Ada dan tidak adanya hubungan

antara eksekutif dan legislatif melahirkan adanya sistem pemerintahan

parlementer dan sistem pemerintahan presidensial, yang dalam bahasa

16

M. Solly Lubis, Ilmu Negara, (Mandar Maju, 1990, Cet. Keempat), h. 55.

17

Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Amandemen

UUD 1945, h. 148.

Page 36: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

25

inggris disebut cabinet government system dan presidential government

system atau the fixed executive system.

Sejalan dengan pandangan di atas, Jimly Asshddiqie mengemukakan

sistem pemerintahan berkaitan dengan pengertian regeringsdaad, yaitu

penyelenggaraan pemerintahan oleh eksekutif dalam hubungannya dengan

legislatif. Cara pandang yang demikian sesuai dengan teori dichotomy, yaitu

legislatif sebagai policy making (taak stelling) sedangkan eksekutif sebagai

policy executing (taat verwezenlijking).18

Dari penelusuran berbagai literatur terdapat varian sistem

pemerintahan. Giovanni Sartori membagi sistem pemerintahan menjadi tiga

kategori: presidentialism, parliamentary system, dan semi-presidentialism.

Lebih variatif lagi Denny Indrayana membuat kategorisasi sistem

pemerintahan, yaitu sistem presidensial, sistem parlementer, sistem hibrid

atau campuran, sistem kolegial dan sistem monarki.19

Meskipun terdapat banyak varian, sistem pemerintahan yang dibahas

dalam penelitian ini dibatasi pada sistem pemerintahan presidensial, sistem

parlementer, dan sistem campuran. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia

memperlihatkan bahwa sistem kolegial dan sistem monarki tidak pernah

diterapkan.

a. Sistem Pemerintahan Parlementer

18

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 24.

19

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 25.

Page 37: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

26

Tercatat dalam sejarah, Inggris merupakan tempat kelahiran

sistem pemerintahan parlementer. Dari berbagai macam sistem

pemerintahan yang dikemukakan tersebut, sistem parlementer

merupakan sistem pemerintahan yang paling banyak digunakan di

seluruh dunia. Sejak Perang Dunia II dua pertiga dari negara-negara

dunia ketiga yang memilih sistem pemerintahan parlementer suskses

dalam transisi demokrasi.

Sistem pemeritahan parlementer merupakan sistem yang

ministeriele verantwoordelijk-heid (menteri bertanggung jawab

kepada parlemen) ditambah dengan overwicht (kekuasaan lebih)

kepada parlemen. Dengan argumentasi itu, sistem parlementer

dilandaskan bahwa parlemen adalah pemegang kekuasaan tertinggi

(parliament is soverign) atau dalam bahasa A.V Dicey parliamentary

supremacy.20

Di dalam sistem pemerintahan parlementer tugas atau kekuasaan

eksekutif diserahkan kepada badan yang disebut kabinet atau dewan

menteri. Kabinet ini nantinya dipimpin oleh seorang perdana menteri

yang mempertanggung jawabkan pemerintahannya kepada badan

perwakilan rakyat atau parlemen. Jadi dalam sistem ini kepala negara

tidak merupakan pimpinan yang nyata daripada pemerintahan, yang

memikul segala pertanggung jawaban pemerintahan adalah kabinet.

20

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, 28.

Page 38: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

27

Dari berbagai literatur dapat disimpulkan bahwa sistem

pemerintahan parlementer mempunyai ciri-ciri sebagai berikut21

:

1) Kepala negara hanya sebagai lambang/simbol negara yang hanya

mempunyai tugas-tugas yang bersifat fomal;

2) Pemegang kekuasaan eksekutif yang sebenarnya/nyata adalah

perdana menteri sebagai pemimpin kekuasaan eksekutif beserta

para menteri-menterinya. Perdana menteri bertanggung jawab

kepada badan perwakilan rakyat;

3) Perdana menteri sebagai kepala pemerintahan terpilih atas

dukungan mayoritas di parlemen;

4) Masa jabatan perdana menteri beserta kabinet ditentukan

berdasarkan dukungan mayoritas di parlemen.

Dari kriteria di atas selain ada pemisahan antara kepala negara

(head of state) dan kepala pemerintahan (head of government),

karakter paling mendasar dalam sistem pemerintahan parlementer

adalah tingginya tingkat dependensi atau ketergantungan eksekutif

kepada dukungan parlemen. Apalagi, eksekutif tidak pilih langsung

oleh pemilih sebagaimana pemilihan untuk anggota legislatif.

b. Sistem Pemerintahan Presidensial

Jika sistem pemerintahan parlementer terkait dengan

perkembangan sistem parlementer Inggris, sistem pemerintahan

presidensial tidak dapat dipisahkan dari Amerika Serikat. Amerika

21

Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010, Cet. Pertama), h. 259-262

Page 39: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

28

Serikat tidak hanya merupakan tanah kelahiran sistem presidensial,

tetapi juga sebagai contoh ideal karena memenuhi hampir semua

kriteria yang ada dalam sistem pemerintahan presidensial.

Menurut Jimly Asshiddiqie ada beberapa ciri penting dalam

sistem presidensial22

:

1) Presiden melaksanakan fungsi kepala negara dan kepala

pemerintahan;

2) Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, oleh karenanya

presiden bertanggungjawab kepada rakyat;

3) Presiden tidak tunduk kepada parlemen dan sebaliknya presiden

tidak dapat membubarkan parlemen;

4) Presiden memiliki masa jabatan tetap;

5) Presiden memegang tanggungjawab pemerintahan.

Berdasarkan karakter yang dikemukakan salah satu karakter yang

utama adalah presiden memegang fungsi ganda yaitu sebagai kepala

negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Selain itu karakter sistem

presidensial juga dapat dilihat dari pola hubungan antara lembaga

eksekutif dengan legislatif. Pola yang bisa dilacak dengan adanya

pemilihan umum yang terpisah antara untuk memilih presiden dan

untuk memilih legislatif.

Pemilihan umum yang terpisah untuk memilih presiden dan untuk

memilih legilatif membawa dampak pada pemisahan kekuasaan

22

Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam

UUD 1945, h. 59-60.

Page 40: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

29

karena keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat. T. A.

Legowo mengungkapkan “.....karena petinggi-petinggi eksekutif

dipilih secara terpisah dengan legislatif, sistem presidensial

membawa ciri yang kuat pada pemisahan kekuasaan..”.23

c. Sistem Pemerintahan Campuran

Dalam sistem pemerintahan ini, badan eksekutif merupakan

bagian dari badan legislatif. Misalnya di Swiss yang disebut

Bundesrat (badan eksekutif) adalah badan pekerja dari

Bundesversammlung (badan legislatif). Dalam sistem ini badan

legislatif membentuk sub badan di dalamnya sebagai pelaksana tugas

pemerintah. Mekanisme kontrol terhadap badan legislatif dilakukan

langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.24

Lembaga referendum yaitu suatu pemungutan suara secara

langsung oleh rakyat yang berhak mengeluarkan suara untuk

menentukan tentang pendapat rakyat. Hal ini diterapkan di Swiss

dimana ada mekasnisme kontrol secara langsung dari rakyat yang

mengontrol tindakan-tindakan atau keputusan-keputusan dari badan

legislatif, seperti Bundesversammlung yang ada di Swiss.

Referendum di Swiss ada dua macam yaitu25

:

23

Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer

dalam Sistem Presidensial Indonesia, h. 41.

24

Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD

1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 56.

25

Ni‟matul Huda, Ilmu Negara, h. 268.

Page 41: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

30

1) Referendum wajib, ini adalah referendum yang menentukan

berlaku atau tidaknya suatu undang-undang atau suatu peraturan;

2) Referendum tidak wajib, ini adalah pemungutan suara yang dapat

dituntut oleh rakyat, untuk menentukan apakah suatu undang-

undang yang telah berlaku itu akan boleh terus berlaku atau tidak,

atau perlu diadakan perubahan-perubahan ataukah tidak.

Page 42: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

31

BAB III

SISTEM PEMERINTAHAN DI INDONESIA

A. Sistem Pemerintahan di Indonesia

1. Sistem Pemerintahan di Indonesia Sebelum Perubahan UUD 1945

Sistem Pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 Sebelum Amandemen

Bahwa secara konstitusional Negara Indonesia menganut sistem pemerintahan

Presidensial yang berarti bahwa pemegang kendali dan penanggung jawab

atas jalannya pemerintahan negara (eksekutif) adalah Presiden, sedangkan

para menteri hanyalah pembantu Presiden, dalam artian Presiden berperan

sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan, hal ini tertuang dengan

tegas di dalam:

a. Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden Republik

Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang

Dasar dan Pasal 4 ayat (2) UUD 1945 dalam menjalankan kewajibannya

Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden.

b. Pasal 17 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi “Presiden dibantu oleh

menteri-menteri negara”, sedangkan ayat (2) berbunyi “Menteri-menteri

itu diangkat dan diberhentikan oleh Presiden”. Hal ini memperkuat

penjelasan bahwa Presiden dalam UUD 1945 memiliki kewenangan di

dalam mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri negara, dengan

kata lain bahwa menteri-menteri negara tersebut tidak bertanggung jawab

Page 43: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

32

kepada Dewan Perwakilan Rakyat melainkan kepada Presiden sebagai

pembantu Presiden.

c. Penjelasan Bab III tentang Kekuasaan Pemerintah Negara UUD 1945 yang

menyatakan bahwa Presiden ialah kepala kekuasaan eksekutif dalam

negara. Untuk menjalankan Undang-Undang, Dia mempunyai kekuasaan

untuk menetapkan peraturan pemerintah (pouvoir reglementair).

Dilihat dari Pasal 1 ayat (2), Pasal 3 dan Pasal 6 ayat (2) UUD 1945

menetapkan bahwa MPR memegang kedaulatan rakyat dan mengangkat

Presiden dan secara otomatis maka pertanggung jawaban Presiden adalah

kepada MPR selaku pemegang kedaulatan rakyat dan memilih Presiden.

Sedangkan menurut Pasal 5 ayat (1) menyatakan bahwa Presiden bersama

dengan DPR membentuk kekuasaan legislatif, dengan kata lain bahwa

Presiden sendiri berhak menciptakan hukum untuk mengatur pertanggung

jawaban kepada MPR atas dasar Pasal-Pasal yang bersangkutan, dan Presiden

bekerja sama dengan DPR dalam menjalankan proses legislasi. Presiden dapat

menolak Rancangan Undang-Undang hasil inisiatif dari DPR, maka artinya

bahwa kekuasaan legislatif dalam pembentukan Undang-Undang bukan

berada di tangan DPR melainkan berada di tangan Presiden. Kekuasaan

Presiden itupun ditambah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1950

Tentang Mahkamah Agung, yang menyatakan bahwa Presiden memiliki

kewenangan dalam mengangkat danm memberhentikan anggota-anggota

Mahkamah Agung, sehingga itu menyatakan bahwa Presiden juga memiliki

kekuasaan secara yudikatif.

Page 44: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

33

Berdasarkan atas penjelasan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa

Presiden memiliki kekuasaan yang sangat besar (executive heavy) karena di

samping memiliki kekuasaan eksekutif, juga memiliki kekuasaan dalam

legislatif dan yudikatif sehingga mengakibatkan tidak adanya pemisahan

kekuasaan yang diatur secara tegas dalam UUD 1945.

2. Sistem Pemerintahan di Indonesia Setelah Perubahan UUD 1945

Sejak dahulu dikatakan bahwa UUD 1945 menganut sistem presidensial,

sekurang-kurangnya sistem itulah yang semula dibayangkan ideal oleh

kalangan perancang Undang-Undang Dasar 1945.1 Akan tetapi, sistem

presidensial yang dianut UUD 1945 sebelum amandemen adalah tidak murni,

karena Presiden dalam menjalankan pemerintahannya harus

mempertanggungjawabkannya kepada MPR sebagai lembaga parlemen yang

mempunyai kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara. MPR juga

berwenang memberhentikan Presiden ditengah masa jabatannya karena

tuduhan pelanggaran haluan negara, lagi pula pengertian haluan negara itu

sendiri bersifat sangat luas yaitu dapat pengertian politik dan hukum

sekaligus.

Oleh karena itu salah satu di antara kesepakatan Badan Pekerja Majelis

Permusyawaratan Rakyat saat melakukan pembahasan Perubahan UUD 1945

(1999-2002) adalah memperkuat sistem presidensial. Dengan kesepakatan

memperkuat sistem pemerintahan presidensial maka ciri-ciri penting dalam

sistem pemetintahan presidensial diakomodir kedalam UUD NRI 1945. Dalam

1Jimly Asshiddiqie, Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan Dalam UUD

194, h. 59-60.

Page 45: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

34

Pasal 4 ayat (1). Pasal 6 ayat (1), Pasal 7, Pasal 7C UUD NRI 1945 jelaslah

bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah sistem presidensial.

Menurut Dasril Radjab2 dari pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945

bisa disimpulkan bahwa sistem pemerintahan yang dianut oleh UUD NRI

1945 adalah sistem pemerintahan presidensial karena:

1. Presiden adalah kepala negara dan sekaligus merangkap kepala

pemerintahan yang memerintah penyelenggaraan pemerintahan sehari-hari

(Pasal 4 UUD NRI 1945);

2. Presiden dan Wakil Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, maka

tidak bertanggung jawab kepada parlemen baik kepada DPR ataupun

MPR (Pasal 6A ayat (1) UUD NRI 1945);

3. Presiden dan DPR menempati kedudukan yang sejajar sehingga Presiden

tidak berwenang membubarkan parlemen (Pasal 7C UUD NRI 1945);

4. Presiden mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri (Pasal 17 ayat

(2) UUD NRI 1945;

5. Presiden melaksanakan tugas dan wewenangnya selama lima tahun atau

dalam masa jabatan yang tetap (fixed term) (Pasal 7 UUD NRI 1945).

B. Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia

1. Kewenangan Eksekutif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia

2Abdul Ghoffar, Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan UUD

1945 dengan Delapan Negara Maju, h. 60.

Page 46: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

35

Bila merujuk pada teori trias politica Montesquieu, dalam konteks

Indonesia maka eksekutif dalam hal ini adalah Presiden. Dalam Pasal 4 ayat

(1) UUD NRI 1945 mengatakan “Presiden Republik Indonesia memegang

kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar”. Maka dapat

dipahami bahwa untuk melihat kewenangan yang dimiliki Presiden tidak

hanya merujuk hanya pada BAB III UUD NRI 1945 tentang Kekuasaan

Pemerintahan Negara.

Berikut adalah kewewenangan yang dimiliki Presiden menurut UUD

NRI 1945:

a. Kewenangan dalam bidang eksekutif meliputi:

1) Menjalankan pemerintahan (Pasal 4 ayat (1) UUD NRI 1945);

2) Menetapkan Peraturan Pemerintah untuk menjalankan Undang-

Undang (Pasal 5 ayat (2) UUD NRI 1945);

3) Memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan

Laut, Angkatan Udaara (Pasal 10 UUD NRI 1945);

4) Presiden dengan persetujuan DPR menyatakan perang, membuat

perdamaian dan perjanjian dengan negara lain (Pasal 11 ayat (1)

UUD NRI 1945);

5) Membuat perjanjian internasional dengan persejtujuan DPR (Pasal

11 ayat (2) UUD NRI 1945);

6) Menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12 UUD NRI 1945);

7) Mengankat duta dan konsul (Pasal 13 ayat (1) UUD NRI 1945);

Page 47: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

36

8) Mengangkat dan memberhentikan mentri-menteri (Pasal 17 UUD

NRI 1945);

9) Memberi gelar, tanda jasa dan lain-lain (Pasal 15 UUD NRI 1945).

b. Kewenangan dalam bidang legislatif meliputi:

1) Berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang (Pasal 5 ayat

(1));

2) Menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang

sebagai pengganti Undang-Undang (Pasal 22 ayat (1)).

c. Kewenangan dalam bidang yudikatif meliputi:

1) Memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan

pertimbangan Mahkamah Agung (Pasal 14 ayat (1));

2) Memberikan amnesti dan abolisi dengan memperhatikan

pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (Pasal 14 ayat (2)).

Dengan kewenangan Presiden yang diatur dalam UUD NRI 1945,

menempatkan posisi yang kuat dan strategis bagi Presiden. Selain karna

mendapat legitimasi yang kuat dari rakyat (dipilih secara langsung oleh

rakyat), presiden tidak dapat dijatuhkan selain dari alasan yang diatur secara

limitatif oleh UUD NRI 1945 (Pasal 7A UUD NRI 1945).

2. Kewenangan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial di

Indonesia

Seperti pada pembahasan sebelumnya bahwa sistem pemerintahan

adalah sistem hubungan mengenai eksekutif dan legislatif. Maka dalam

konteks Indonesia pemegang kekuasaan legislatif yakni membuat undang-

Page 48: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

37

undang adalah DPR. hal tersebut dinyatakan secara jelas dalam Pasal 20

ayat (1) UUD NRI 1945 “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan

membentuk undang-undang”.

Pasca Amandemen UUD 1945, selain dikembalikannya fungsi

legislasi kepada DPR, peningkatan peran DPR tidak hanya pada fungsi

legislasi tapi juga menyangkut fungsi pengawasan dan fungsi anggaran

(budget).3 Dalam menjalankan fungsinya tersebut DPR mempunyai hak

interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Selain dari kewenangan fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran

(budget), DPR mempunyai kewenangan untuk mengusulkan pemberhentian

Presiden kepada MPR (Pasal 7A UUD NRI 1945). Hal ini merupakan

bagian prinsip checks and balances atas peran Presiden yang tidak hanya

penting dan strategis tapi juga merupakan penerima mandat langsung dari

rakyat karna Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat.

3. Hubungan Eksekutif dan Legislatif dalam Sistem Pemerintahan Presidensial

di Indonesia

Hubungan Presiden dan DPR menjadi salah satu penentu dianutnya

sistem pemerintahan presidensial. Kedua lembaga ini mempresentasikan

hubungan lembaga eksektuif dan legislatif. Meskipun terdapat lembaga

negara lain yang digolongkan menjadi lembaga legislatif yaitu MPR dan

DPD, namun yang memegang kekuasaan legislatif secara nyata hanyalah

DPR menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD NRI 1945.

3Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Deomkrasi: Serpihan Pemikiran

Hukum, Media dan Ham, (Jakarta: Konstitusi Press, 2005, Cet. Kedua), h. 63.

Page 49: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

38

Posisi Presiden dalam hubungannya dengan DPR adalah sejajar

dengan prinsip hubungan yang saling mengawasi dan mengimbangi (checks

and balances). Menurut UUD NRI 1945 dalam hal tertentu kebijakan

Presiden harus memperhatikan pertimbangan DPR seperti pengangkatan

duta dan penerimaan duta dari negara lain. Presiden dalam menyatakan

perang, membuatan perdamaian dan perjanjian dengan negara lain, serta

membuat perjanjian internasional yang menimbulkan akibat luas harus

dengan persetujuan DPR.

Disisi lain, DPR dalam menjalankan fungsinya seperti fungsi

membentuk Undang-Undang harus dilakukan bersama-sama serta disetujui

bersama dengan Presiden meskipun kekuasaan membentuk Undang-Undang

ada di tangan DPR. Dalam fungsi anggaran dalam hal ini menentukan

Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), Presiden mengajukan

rancangan APBN untuk dibahas bersama untuk mendapat persetujuan DPR,

apabila rancangan tidak mendapat persetujuan DPR maka Presiden

menjalankan APBN tahun sebelumnya.

Dari pola hubungan diatas menunjukan adanya prinsip checks and

balances diantara kedua lembaga tersebut. Dengan adanya prinsip checks

and balances ini kekuasaan negara dapat diatur, dibatasi bahkan dikontrol

dengan sebaik-baiknya, sehingga kekuasaan oleh aparat penyelenggara

negara atau pribadi-pribadi yang kebetulan sedang menduduki jabatan

Page 50: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

39

lembaga-lembaga negara yang bersangkutan dapat dicegah dan

ditanggulangi dengan sebaik-baiknya.4

C. Variabel yang Mempengaruhi Sistem Pemerintahan Presidensial

Karateristik dasar sistem presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif

dan legislatif (executive is not dependent on legislative). karna baik presiden

mapupun anggota legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan

karateristik tersebut disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial

dalam hal stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada

legislatif, namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan

(divide government) dapat beriimplikasi deadlock.5

Menurut Scott Maniwaring pemerintahan yang terbelah (divide government)

terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh partai-partai yang

berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari rakyat, bisa saja

lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik dengan presiden.6

Berikut adalah variabel yang mempengaruhi sistem presdiensial :

1. Sistem Multipartai dalam Sistem Presidensial;

2. Koalisi dalam Sistem Presidensial.

4Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan

Penyempurnaan, (Yogyakarta: FH UII Press, 2014, Cet. Pertama), h. 143.

5Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,

Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, artikel diakses pada 18 Agustus 2015 dari

http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf, h. 2.

6Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni, 2009), h. 118.

Page 51: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

40

1. Sistem Multipartai dalam Sistem Pemerintahan Presidensial

Para ahli perbandingan politik, seperti Scott Mainwaring maupun

Juan J. Linz, sudah pernah mengingatkan bahwa secara teoritis sistem

presidensial dan sistem multipartai adalah “kombinasi yang sulit” dan

berpeluang terjadinya deadlock dalam relasi eksekutif dan legislatif.7 Scott

Mainwaring menambahkan bahwa konflik antara eksekutif dan legislatif

sering timbul bila partai-partai yang berbeda menguasai kedua cabang itu.

Konflik yang berkepanjangan dapat menimbulkan akibat yang buruk

terhadap stabilisasi demokrasi.8

Dalam sistem presidensial multipartai, presiden yang terpilih

cenderung akan tidak memiliki dukungan mayoritas di legislatif. Banyaknya

partai yang ikut pemilu (termasuk partai presiden) membuat sangat sulit

bagi satu partai memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada

minoritasnya dukungan presiden di legislatif, sekalipun partainya adalah

pemenang pemilu.9 Hal ini terjadi pemilu presiden tahun 2004 dimana

presiden terpilih yakni SBY-JK hanya didukung 12 persen dari suara di

DPR. walaupun pada akhirnya merangkul beberapa partai politik untuk

mendapatkan dukungan mayoritas di DPR.10

7Ni’matul Huda, Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan Gagasan

Penyempurnaan, h. 170.

8Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 118.

9Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,

Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.

10

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 124.

Page 52: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

41

Sistem Multipartai mulai diterapkan di Indonesia sejak tumbangnya

rezim Orde Baru. Pada awal kemunculan sistem multipartai yang ditandai

lahirnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1999 Tentang Partai Politik,

memberikan peluang besar bagi masyarakat untuk mendirikan partai politik.

Hal ini terbukti dengan bermunculannya ratusan partai politik dan 48

diantaranya dinyatakan memenuhi syarat untuk mengikuti Pemilu 1999.11

Ditambah lagi sistem pemilu legislatif di Indonesia menggunakan sistem

proporsional yang cenderung menghasilkan terfragmentasinya partai politik

di parlemen.

Sistem multipartai tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi kinerja

pemerintah terkait pelaksanaan sistem pemerintahan. Misalnya dalam fungsi

legislasi, banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya

konsolidasi antar partai politik.12

Hal tersebut terjadi karna banyaknya

kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi tidak

efektinya sistem pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Saiful

Mujani13

bahwa kesulitan sistem pemerintahan presidensial bukan saja pada

tidak mudahnya konsesus antara dua lembaga, antara eksekutif dan

legislatif, tetapi juga kekuatan-kekuatan dilembaga legislatif itu sendiri.

2. Koalisi dalam Sistem Pemerintahan Presidensial

12

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 119

13

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 118.

Page 53: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

42

Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya karateristik dasar sistem

presidensial adalah keterpisahan antara eksekutif dan legislatif (executive is

not dependent on legislative). karna baik presiden mapupun anggota

legislatif dipilih secara langsung oleh rakyat. Dengan karateristik tersebut

disatu sisi bisa dilihat sebagai kelebihan sistem presidensial dalam hal

stabilisasi pemerintahan karna eksekutif tidak bergantung pada legislatif,

namun disisi lain membawa dampak pada terbelahnya pemerintahan (divide

government) yang dapat beriimplikasi deadlock.14

Menurut Scott Maniwaring15

pemerintahan yang terbelah (divide

government) terjadi karna antara eksekutif dan legislatif dikuasai oleh

partai-partai yang berbeda. Karna keduanya mendapat mandat langsung dari

rakyat, bisa saja lembaga legislatif misalnya berbeda pandangan politik

dengan presiden Hal ini diperparah jika sistem presidensial dikombinasikan

dengan sistem multipartai.

Oleh karnanya untuk mendapatkan dukungan di parlemen dan

terhindar dari divide government (pemerintahan yang terbelah), hal yang

biasa dilakukan dalam sistem pemerintahan presidensial adalah koalisi.

Dalam praktik, koalisi merupkan cara paling umum dilakukan pemerintah

yang mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Seperti yang

14

Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu

Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.

15

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 118.

Page 54: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

43

dikemukakan Jose Antonio Cheibub16

, presiden yang tidak mengontrol

kekuatan mayoritas di lembaga legislatif melakukan langkah seperti

lazimnya yang dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam

sistem parlementer yaitu melakukan koalisi untuk mendapatkan dukungan

mayoritas di lembaga legislatif.

Dalam sistem pemerintahan presidensial, cara yang paling umum

dilakukan presiden adalah dengan membagikan posisi menteri kabinet

kepada partai politik yang memberikan dukungan kepada presiden di

lembaga legislatif. Dengan cara seperti itu, membagi kekuasaan dengan

semua partai politik yang mendukung pemerintah.

Sejak masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid Megawati

Soekarnoputri sampai era SBY praktik sistem pemerintahan di Indonesia

selalu menghadirkan minority government. Contohnya dalam pemilu

presiden tahun 2004 dimana SBY-JK menang secara mencolok dengan

mendapatkan suara sah 60.62%. namun tetap menghasilkan minority

government. Pasalmua partai politik pendukung awal SBY-JK hanya

mendapat 68 (12%) kursi di DPR. dengan kondisi itu, pemerintahan koalisi

menjadi pilihan yang tak terhindarkan.

Sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi dengan

mayoritas absolut (sekitar 70%) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden

Susilo Bambang Yudhoyono merangkul beberapa patai politik di luar

pendukung awal, tidak membuat pemerintahan menjadi lebih mudah

16

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 121.

Page 55: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

44

menghadapi setiap agenda ketatanegaraan yang bersentuhan dengan

kewenangan DPR. bahkan dalam banyak kejadian, partai politik yang

berada dalam barisan pendukung koalisi sering “mempersulit” agenda

pemerintah.17

17

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 115.

Page 56: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

45

BAB IV

ANALISIS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI REPUBLIK

INDONESIA NOMOR 14/PUU-IX/2013 DALAM PENGUJIAN UNDANG-

UNDANG NOMOR 42 TAHUN 2008 TENTANG PEMILIHAN UMUM

PRESIDEN DAN WAKIL PRESIDEN

A. Relevansi Pemilihan Umum Serentak Presiden dengan Legislatif Terhadap

Penguatan Sistem Presidensial di Indonesia

Dalam penelitian ini yang menjadi pusat perhatian adalah Pemilu serentak

antara Presiden dan Legislatif. Dalam penelitian ini membuka ruang pertanyaan

apakah pemilu yang dilakukan secara serentak antara Presiden dan Legislatif

mempunyai relevansi terhadap penguatan sistem presidensial di Indonesia.

Apakah yang dimaksud dengan penguatan sistem presidensial. Apakah hanya

pemilu serentak yang menjadi variabel dalam penguatan sistem presidensial.

Sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi1 dengan dibatalkannya

Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka mulai tahun 2019 praktik

penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden diselenggarakan secara serentak

dengan Pemilihan Umum Legislatif.

Pemilu serentak antara Presiden dan legislatif tidak hanya tercapainya

efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga membawa perubahan sistem

ketatanegaraan2, yakni:

1Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 87.

2 Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses pada

tanggal 18 Agustus 2015 dari

Page 57: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

46

1. Meningkatan efektifitas pemerintahan karena diasumsikan pemerintahan

yang dihasilkan melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu

legislatif lebih stabil sebagai akibat adanya oleh coattail effect3yakni

keterpilihan calon presiden yang dari parpol atau koalisi parpol tertentu

akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari parpol atau

koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya, penyelenggaraan pemilu serentak

berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden

terpilih.

2. Pembentukan koalisi politik4 yang mau tidak mau harus dilakukan

sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat memaksa parpol mengubah

orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung

oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan

platform politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi

ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol

pun diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking)

menjadi perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking).

http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITION%20PAPER%20PE

MILU%20SERENTAK%202019.pdf, h. 13.

3Dalam Tesisnya Shugart (1996) menyimpulkan bahwa bekerjanya sistem pemilu dalam

membentuk pemerintahan yang efektif dalam sistem presidensial, perlu mendapat perhatian

khusus. Menurut Shugart, jika waktu penyelenggaraan pemilu Presiden diserentakan dengan

pemilu legislatif akan menimbulkan coattail effect, yaitu (hasil) pemilihan Presiden akan

mempengaruhi (hasil) pemilihan anggota legislatif. Dalam Electoral Research Institute, “Pemilu

nasional Serentak 2019, h. 27.

4Pembentukan koalisi yang dimaksud didasarkan pada Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945

yang membuka ruang terjadinya koalisi.

Page 58: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

47

Dalam penyelenggaraan Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemilu

Legislatif ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi

keterpilihannya sebagai Presiden dan untuk mendapatdukungan di DPR dalam

penyelenggaraan pemerintahan, calon Presiden terpaksa harus melakukan

negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai

politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di

kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih

banyak bersifat taktis dan sesaat. Hal tersebut membuat Presiden sangat

tergantung pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi

posisi Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem

pemerintahan presidensial.5 Dengan demikian, menurut Mahkamah,

penyelenggaraan Pemilu Presiden harus menghindari terjadinya negosiasi dan

tawar menawar (bargaining) politik yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat.

Oleh karenanya menurut Mahkamah Konstitusi6, pelaksanaan Pemilu

Presiden setelah Pemilu Legislatif tidak juga memperkuat sistem presidensial

yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Pasangan Calon Presiden dan

Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan

partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat

melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah.

5Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 81.

6Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 81.

Page 59: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

48

Inilah yang menjadi titik tolak kenapa pemilu serentak diproyeksikan dapat

memperkuat sistem presidensial. Karena dari pemilu serentak diharapkan koalisi

yang dibangunberbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Namun

dalam rangka memperkuat sistem presidensial tidak dapat hanya mengandalkan

pemilu serentak. Ada beberapa variabel yang harus diperhatikan untuk

memperkuat sistem presidensial.

Dalam bab sebelumnya sudah dijelaskan bahwa karateristik sistem

presidensial adalah pemerintahan yang terbelah (divide government), dimana

Presiden dan legislatif dikuasai oleh partai yang berbeda. Hal tersebut disebabkan

karna pemilihan umum yang sejatinya terpisah antara untuk memilih Presiden dan

untuk memilih legislatif. Sekalipun presiden mendapat mandat langsung dari

rakyat, bukan berarti Presiden merupakan satu-satunya lembaga yang mendapat

mandat langsung dari rakyat karena mandat rakyat juga diberikan langsung

kepada lembaga legislatif. Bila mayoritas anggota legislatif menentukan pilihan

politik yang berbeda dengan Presiden, maka implikasi dari relasi antara Presiden

dan legislatif adalah deadlock (kebuntuan). Dukungan legislatif pun makin sulit

didapat jika pemerintahan presidensial dibangun dalam sistem multipartai.7

Banyaknya partai yang ikut pemilu menyebabkan sangat sulit bagi satu

partai untuk memenangkan pemilu secara mayoritas. Ini berujung pada

minoritasnya dukungan Presiden di parlemen, sekalipun partainya pemenang

7Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 116.

Page 60: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

49

pemilu.8 Hal tersebut terjadi pada tahun 2004 dimana Susilo Bambang

Yudhoyono dan Jusuf Kalla terpilih sebagai pasangan Presiden dan Wakil

Presiden dengan perolehan suara 60.62% namum tidak memiliki basis dukungan

yang memadai di DPR.9

Sistem multipartai tidak bisa dipungkiri dapat mempengaruhi kinerja

pemerintah terkait pelaksanaan sistem pemerintahan. Misalnya dalam fungsi

legislasi, banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya

konsolidasi antar partai politik.10

Hal tersebut terjadi karna banyaknya

kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi tidak efektinya

sistem pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh Saiful Mujani bahwa

kesulitan sistem pemerintahan presidensial bukan saja pada tidak mudahnya

konsesus antara dua lembaga, antara eksekutif dan legislatif, tetapi juga kekuatan-

kekuatan dilembaga legislatif itu sendiri.11

Sejalan dengan itu menurut J. Kristiadi12

, ketidakefektifan penyelenggaraan

pemerintahan disebabkan oleh kolaborasi sistem presidensial dengan multipartai

8Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu Serentak,

Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 2.

9Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 114.

10

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 119

11

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 118.

12

Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri suci Asmawati, “Pengaturan Kepartaian Dalam

Mewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil Yang Efektif”, Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni,

2009), h. 71.

Page 61: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

50

tak terbatas. Penggabungan dua variabel tersebut adalah kombinasi yang tidak

kompatibel karena mengandung kelemahan, yaitu :

1. Pertama, akan menimbulkan kemacetan karena presiden tidak selalu

mendapatkan jaminan mayoritas di parlemen sehingga dipaksa harus selalu

melakukan koalisi atau deal-deal politik dalam menangani setiap isu politik.

Hal ini berbeda dengan sistem parlementer, dimana partai mayoritas atau

gabungan partai-partai yang berhasil membangun koalisi membentuk

pemerintahan, sehingga selalu ada jaminan dukungan pemerintah oleh

parlemen.

2. Kedua, akan menimbulkan permasalahan yang kompleks dalam

membangun koalisi di antara partai-partai politik. Koalisi partai dalam

sistem presidensial dan sistem parlementer memiliki tiga perbedaan.

Pertama, dalam sistem parlementer partai-partai menentukan atau memilih

anggota kabinet dan perdana menteri, dan partai-partai ini tetap bertanggung

jawab atas dukungannya terhadap pemerintah. Sementara itu dalam sistem

presidensial, presiden memilih sendiri anggota kabinetnya akibatnya partai-

partai kurang mempunyai komitmen dukungan terhadap presiden. Kedua,

berlawanan dengan sistem parlementer, dalam sistem presidensial tidak ada

jaminan partai akan mendukung kebijakan presiden meskipun presiden

mengakomodasi beberapa tokoh partai politik dijadikan anggota kabinet.

Ketiga, dalam koalisi semacam itu dorongan partai politik untuk

melepaskan diri dari atau keluar dari koalisi lebih mudah dibadingkan dalam

sistem parlementer.

Page 62: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

51

Penerapan sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem

multipartai berimplikasi pada minimnya dukungan yang diperoleh Presiden di

lembaga legislatif. Oleh karnanya untuk mendapatkan dukungan di parlemen hal

yang biasa dilakukan dalam sistem pemerintahan presidensial adalah koalisi.

Seperti yang dikemukakan Giovanni Sartori13

, Presiden tetap memerlukan

dukungan legislatif. Tanpa dukungan, Presiden akan menghadai situasi sulit yang

mengancam stabilitas pemerintah. Biasanya, situasi seperti itu akan menimbulkan

konflik antara Presiden dan lembaga legislatif.

Dalam praktik, koalisi merupakan cara paling umum dilakukan pemerintah

yang mendapatkan dukungan minoritas (minority government). Seperti yang

dikemukakan Jose Antonio Cheibub14

, presiden yang tidak mengontrol kekuatan

mayoritas di lembaga legislatif melakukan langkah seperti lazimnya yang

dilakukan pemenang minoritas pemilihan umum dalam sistem parlementer yaitu

melakukan koalisi untuk mendapatkan dukungan mayoritas di lembaga legislatif.

Idealnya, untuk menjaga stabilitas pemerintahan dalam struktur politik

presidensial, partai Presiden haruslah partai mayoritas, yaitu partai yang didukung

suara mayoritas di parlemen, untuk menjamin stabilitas pemerintahan Presiden

terpilih agar presiden mudah mendapatkan dukungan secara politik dari parlemen

guna melancarkan kebijakan politik yang dibuat presiden.15

Namun, suara

13

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 120.

14

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 121.

15

Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke Kompromi, (Jakarta: PT.

Garmedia Pustaka Utama, 2010), h. 39.

Page 63: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

52

mayoritas ini sulit diperoleh oleh partai Presiden dalam situasi multipartai, kecuali

mengandalkan kolasi partai politik di parlemen dan kabinet agar dapat meraih

suara mayoritas untuk menjamin stabilitas pemerintahan.

Menurut Scott Mainwaring16

pembentukan koalisi dalam sistem

presidensial jauh lebih sulit dibandingkan koalisi dalam sistem parlementer

karena:

1. Dalam sistem parlementer, koalisi partai politik yang memilih

menteri-menteri dan perdana menteri. Karenanya, mereka

bertanggung jawab memberikan dukungan kepada pemerintah.

Sedangkan dalam sistem presidensial, Presiden membentuk sendiri

kabinetnya (presidents put together their own cabinets) dan partai

politik punya komitmen yang rendah untuk mendukung Presiden.

2. Berbeda dengan sistem parlementer, dalam banyak sistem

presidensial, anggota legislatif dari partai politik yang punya menteri

di kabinet tidak mendukung pemerintah.

3. Secara umum keinginan partai politik untuk membubarkan koalisi

lebih kuat dalam sistem pemerintahan presidensial

Dengan demikian untuk menghindari terjadinya divide government

(pemerintahan yang terbelah) yang berimplikasi pada deadlock (kebuntuan) dalam

relasi presiden dan legislatif serta untuk memperkuat sistem presidensial, maka

seperti yang dikemukakan Mark P. Jones dalam penelitiannya yang

mengungkapkan”.... all evidence indicates the functioning of presidential system

16

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 123.

Page 64: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

53

is greatly enhanced when the president is provide with a majority or near-majoriy

in the legislature”.17

Dengan kata lain, memperkuat sistem presidensial sangat

terkait dengan tersedianya dukungan politik yang memadai di lembaga legislatif

bagi seorang presiden. Dukungan politik di dapat dengan menyederhankan partai

politik yang ada di parlemen atau memberikan kemungkinan tersedianya koalisi

partai yang cukup untuk mendukung kebijakan-kebijakan presiden. Dengan

dukungan politik yang memadai di legislatif, presiden dapat menciptakan dan

mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau

perlawanan di legislatif.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa untuk memperkuat sistem

presidensial tidak bisa hanya mengandalkan pemilu serentak. Tapi juga dengan

menyederhanakan partai di parlemen atau mengadakan koalisi untuk mendapat

dukungan mayoritas di parlemen. Dengan begitu presiden dapat menciptakan dan

mengimplementasikan kebijakannya tanpa khawatir mendapat penolakan atau

perlawanan di legislatif.

Dalam konteks Indonesia untuk menyederhanakan partai politik di

parlemen dapat ditempuh dengan cara meningkatkan parliamentary threshold

(ambang batas keterpilihan) atau menggunakan sistem pemilu proporsional

dengan district maginitude (besaran daerah pemilihan) yang kecil. Dengan

demikian partai yang ada diparlemen tidak terlalu banyak sehingga memudahkan

konsolidasi dalam rangka misalnya menjalankan fungsi legislasi.

17

Dyajadi Hanan, “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu

Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, h. 3.

Page 65: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

54

Selanjutnya dalam masalah koalisi, menurut Bambang Cipto, koalisi adalah

suatu keharusan untuk membentuk pemerintahan yang kuat. Hakekat dari koalisi

itu sendiri adalah membentuk pemerintahan yang kuat (strong), mandiri

(autonomous), dan tahan lama (durable).18

Secara konstitusional, Pasal 6A Ayat

(2) UUD NRI 1945 membuka ruang adanya koalisi partai politik peserta pemilu.

Namun banyaknya partai politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi

yang dibangun untuk mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu “gemuk”

karena melibatkan banyak parpol. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan

pemerintahan hasil koalisi tidak dapat berjalan efektif karena harus

mempertimbangkan banyak kepentingan.19

Contohnya saja dalam pemerintahan era Susilo Bamba Yudhoyono,

sekalipun berhasil membangun pemerintahan koalisi dengan mayoritas absolut

(sekitar 70%) kekuatan politik di DPR, langkah Presiden Susilo Bambang

Yudhoyono merangkul beberapa patai politik di luar pendukung awal, tidak

membuat pemerintahan menjadi lebih mudah menghadapi setiap agenda

ketatanegaraan yang bersentuhan dengan kewenangan DPR. bahkan dalam banyak

kejadian, partai politik yang berada dalam barisan pendukung koalisi sering

“mempersulit” agenda pemerintah.20

18

Efriza, Political Explorer: Sebuah Kajian Ilmu Politik, (Bandung: Alfabeta, 2004), h. 316.

19

Iwan Satriawan dan Dhenok Panuntun Tri Suci Asmawati, “Pengaturan Kepartaian Dalam

Mewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil Yang Efektif”, h. 75.

20

Saldi Isra, “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi dalam Sistem

Presidensial”, h. 115.

Page 66: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

55

Oleh karenanya koalisi yang dibangun hendaknya dalam rangka untuk

memperkuat sistem presidensial. Parpol harus mengubah orientasi koalisi dari

yang bersifat jangka pendek dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis

kesamaan ideologi, visi, dan platform politik. Efek berikutnya dari koalisi

berbasis kesamaan ideologi ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi

para politisi parpol pun diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-

seeking) menjadi perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking).21

Dengan

demikian akan terbentuknya koalisi yang permanen, bukan koalisi pragmatis yang

hanya mengharapkan bagi-bagi jabatan di kursi kementerian.

Selain itu regulasi di level undang-undang juga perlu mengatur model

koalisi yang lebih permanen agar terbentuk kekuatan politik mayoritas yang akan

menopang pemerintahan yang kuat dan efisien. Hal senada juga disampaikan oleh

Jimly Asshiddiqie22

untuk menciptakan pemerintahan yang kuat dan efektif

diperlukan adanya koalisi permanen. Koalisi ini bisa dikukuhkan di dalam

undang-undang. Jika saat ini tidak terbentuk koalisi permanen, maka sulit untuk

menjalankan pemerintahan dengan efektif.

Pengaturan pelembagaan koalisi tersebut sangat penting untuk menjaga agar

partai koalisi pendukung pemerintah konsisten untuk mendukung jalannya

pemerintahan agar tercipta stabilitas pemerintahan dan untuk menghindari peran

ganda diantara partai koalisi yang sewaktu-waktu bisa menyerang kebijakan

pemerintahan yang dianggap tidak sesuai. Koalisi partai politik yang dilakukan

21

Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, h. 13.

22

Koalisi Permanen Dikukuhkan dalam Undang-Undang, diakses pada tanggal 1 September

2015 dari http://www.jimly.com/berita/show/164.

Page 67: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

56

pemerintah bukanlah sebuah penyimpangan namun merupakan bentuk menjaga

keseimbangan dan stabilitas sistem politik dan pemerintahan

B. Dasar Pertimbangan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia

dalam Putusan Nomor 14/PUU-XI/2013

Secara keseluruhan pertimbangan Mahkamah Konstitusi dalam perkara

pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum

Presiden dan Wakil Presiden, menurut hemat penulis dapat disederhanakan

menjadi tiga bagian yakni: Pertama, merujuk pada praktik penyelenggaraan

Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemillihan Umum DPR, DPD, dan

DPRD. Kedua, dengan melakukan penafsiran darioriginal intent (kehendak awal)

perumus perubahan UUD 1945 dan penafsiran sistematis. Ketiga, anggaran yang

dikeluarkan untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Pemilihan

Umum DPR, DPD, dan DPRD yang terpisah.

Pertama, dari praktik penyelenggaraan Pemilu Presiden pada tahun 2004

dan 2009 yang dilakukan setelah Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD

ditemukan fakta politik bahwa untuk mendapat dukungan demi keterpilihan

sebagai Presiden dan dukungan DPR dalam penyelenggaraan pemerintahan, jika

terpilih, calon Presiden terpaksa harus melakukan negosiasi dan tawar-menawar

(bargaining) politik terlebih dahulu dengan partai politik yang berakibat sangat

mempengaruhi jalannya roda pemerintahan di kemudian hari. Negosiasi dan

tawar-menawar tersebut pada kenyataannya lebih banyak bersifat taktis dan sesaat

Page 68: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

57

daripada bersifat strategis dan jangka panjang, misalnya karena persamaan garis

perjuangan partai politik jangka panjang.

Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung pada

partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi Presiden

dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan berdasarkan sistem pemerintahan

presidensial.23

Hal senada juga disampaikan oleh Hanta Yuda bahwa corak koalisi

yang dibangun di Indonesia tidak menjadikan kedekatan ideologi partai atau

common platform sebagai faktor determinan, tetapi lebih didasarkan pada political

intesert kekuasaan saja.24

Dengan demikian, menurut Mahkamah, penyelenggaraan Pemilu Presiden

harus menghindari terjadinya negosiasi dan tawar menawar (bargaining) politik

yang bersifat taktis demi kepentingan sesaat, sehingga tercipta negosiasi dan

koalisi strategis partai politik untuk kepentingan jangka panjang. Hal tersebut

sejalan dengan dipandangan Hamdi Muluk yang mengatakan dengan adanya

pemilu serentak mendorong partai-partai politik untuk sungguh-sungguh

mengedepankan ideologi dan platform partai, serta menghilangkan peluang

kompromi (politik dagang sapi) demi sebuah koalisi mengusung presiden.25

Kedua,dari sisi original intent (kehendak awal) perumus perubahan UUD

1945dan dari penafsiran sistematik yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi,

23

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 81.

24

Hanta Yuda, Presidensialisme Setengah Hati Dari Dilema ke Kompromi, h. 37.

25

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 39.

Page 69: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

58

menjelaskan bahwa apabila diteliti lebih lanjut makna asli yang dikehendaki oleh

para perumus perubahan UUD 1945, dapat disimpulkan bahwa penyelenggaraan

Pemilihan Umum Presiden dilakukan serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga

Perwakilan. Hal itu secara tegas dikemukakan oleh Slamet Effendy Yusuf sebagai

salah satu anggota Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja MPR RI yang mempersiapkan

draft perubahan UUD 1945 yangmengemukakan bahwa para anggota MPR yang

bertugas membahas perubahan UUD 1945 ketika membicarakan mengenai

permasalahan ini telah mencapai satu kesepakatan bahwa “...yang dimaksud

pemilu itu adalah pemilu untuk DPR, pemiluuntuk DPD, pemilu untuk presiden

dan wakil presiden, dan DPRD. Jadi, diletakkandalam satu rezim pemilu.”

Diterangkan lebih lanjut secara teknis bahwa gambaran pelaksanaan Pemilu

nantinya akan terdapat 5 (lima) kotak, yaitu “... Kotak 1 adalahkotak DPR, kotak

2 adalah kotak DPD, kotak 3 adalah presiden dan wakilpresiden, dan kotak 4

adalah DPRD provinsi, kotak 5 adalah DPRDkabupaten/kota.”

Dengan demikian, dari sudut pandang original intent dari penyusun

perubahan UUD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme

penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden, bahwa Pemilihan Umum Presiden

diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan.

Hal demikian sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) UUD 1945 yang menentukan

bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas,

yakni, “Pemilihan umumdiselenggarakan untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, DewanPerwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan

Dewan Perwakilan RakyatDaerah”. Berdasarkan pemahaman yang demikian,

Page 70: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

59

UUD 1945 memang tidak memisahkan penyelenggaraan Pemilu Anggota

Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Presiden.

Selain itu, dengan menggunakan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal

6A ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon Presiden danWakil

Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik

pesertapemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, frasa pemilihan

umum dalam rancang bangun UUD NRI 1945 merujuk pada Pasal 22E ayat (2)

UUD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakanuntuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,Presiden dan

Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”,bila dicermati maka

kerangka konstitusi menghendaki bahwa calon Presiden dan Wakil Presiden

sudah diusulkan sebelum pelaksanaan pemilihan umum diselenggarakan.

Dengan demikian, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun

penafsiran sistematis, kerangka konstitusi Pemilu Presiden dilaksanakan

bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan.

Menurut Mahkamah, dalam memaknai ketentuan UUD mengenai struktur

ketatanegaraan dan sistem pemerintahan harus mempergunakan metode

penafsiran yang komprehensif untuk memahami norma UUD 1945 untuk

menghindari penafsiran yang terlalu luas, karena menyangkut desain sistem

pemerintahan dan ketatanegaraan yang dikehendaki dalam keseluruhan norma

UUD 1945 sebagai konstitusi yang tertulis;

Ketiga, yang menjadi pertimbangan Mahkamah Konstitusi adalah terkait

biaya yang dikeluarkan dalam penyelenggaraan pemilihan umum.

Page 71: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

60

penyelenggaraan Pemilu Presiden dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan

secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan

penyelenggaraan lebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak

dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya. Hal

itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara

sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang antara lain untuk

memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Selain itu, Pemilihan Umum Presiden yang diselenggarakan secara serentak

dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan

waktu dan mengurangi konflik atau gesekan horizontal di masyarakat.

Hal tersebut sejalan dengan ayat Al-Quran dalam Surat Al-Nisa Ayat 58

yang berbunyi:

يأمركم أن تؤدوا األمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن إن للا

كان سميعا بصيرا ا يعظكم به إن للا نعم تحكموا بالعدل إن للا

Artinya: “Sesungguhnya Allah memerintahkan (menyuruh) kamu

melaksanakan (menunaikan/menyampaikan) amanat kepada yang berhak

menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara

manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi

pengajaran (pelajaran) yang sebaik-baiknya (sangat berharga) kepadamu.

Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS.4:58)

C. Implikasi Pemilihan Umum Serentak terhadap Sistem Pemilihan Umum di

Indonesia

Seperti dijelaskan dalam bab sebelumnya bahwa telah dilakukan pengujian

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan

Wakil Presiden oleh Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia atas permohonan

Page 72: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

61

Effendi Ghazali pada tanggal 10 Januari 2013. Dalam putusannya, Mahkamah

Konstitusi membatalkan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14

ayat (2), dan Pasal 112 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang

Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.26

Namun yang menjadi pusat perhatian dalam penelitian ini adalah Pasal 3

ayat (5) yang berbunyi: “Pemilu Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan

setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Dengan

dibatalkannya pasal tersebut berdampak pada model sistem Pemilihan Umum di

Indonesia. Berikut adalah penjelesan mengenai dampak atau implikasinya

terhadap sistem Pemilihan Umum di indonesia diantaranya:

1. Penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dengan Legislatif

Sebagaimana diketahui sebelumnya bahwa penyelenggaraan

Pemilihan Umum Presiden pada tahun 2004 dan 2009 dilaksanakan setelah

Pemilihan Umum DPR, DPD dan DPRD. Hal tersebut didasarkan pada

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 “Pemungutan suara untuk

pelaksanaa peilu Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 3 ayat (1) dilaksanakan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan setelah

pengumuman hasil pemilu bagi anggota DPR, DPD, dan DPRD ” dan Pasal

3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan

Umum Presiden dan Wakil Presiden.yang berbunyi: “Pemilu Presiden dan

Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota

DPR, DPD, dan DPRD”.

26

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 87.

Page 73: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

62

Praktik penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden yang di laksanakan setelah Pemilihan Umum DPR, DPD, dan

DPRD didasarkan karna pertimbangan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 2 ayat (1)

UUD NRI 1945.27

Pasal 3 ayat (2) “Majelis Permusyawaratan rakyat

melantik Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dan Pasal 2 ayat (1) “Majelis

Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat

dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan

umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang ”. berdasarkan kedua

pasal tersebut karna Presiden dilantik oleh MPR, sehingga Pemilihan Umum

DPR, DPD, dan DPRD didahulukan agar terbentuk lembaga MPR yang

nanti MPR-lah yang melantik Presiden.

Sesuai dengan Amar Putusan Mahkamah Konstitusi dengan

dibatalkannya Pasal 3 ayat (5) Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008

Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden, maka mulai tahun

2019 praktik penyelenggaraan Pemilihan Umum Presiden dilaksanakan

secara serentak dengan Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD.

2. Efisiensi Anggaran Penyelenggaran Pemilihan Umum

Sekedar gambaran, pada tahun 2009, dana APBN yang digelontorkan

untuk penyelenggaraan pemilu mencapai Rp 8,5 triliun, sementara pada

27

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 76.

Page 74: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

63

tahun 2014 ini mencapai Rp 16 triliun, atau naik dua kali lipat.28

Sangat

disayangkan jika biaya yangsebesar itu tidak menghasilkan anggota dewan

dan pemimpin yang berkualitas, yang mampu membawa perubahan dan

kesejahteraan bagi bangsa ini.

Selama ini honor penyelenggara pemilu merupakan komponen

terbesar biaya pemilu. Honor petugas pemilu menyerap 65 persen biaya

pemilu.29

Itu berarti semakin banyak pemilu diselenggarakan, semakin

banyak anggaran yang dikeluarkan untuk membayar petugas karena honor

petugas dihitung berdasar jumlah kegiatan penyelenggaraan pemilu, bukan

berdasarkan beban pekerjaan masing-masing pemilu. Artinya, kalau dua

atau tiga pemilu disatukan penyelenggaraannya, honor petugas tetap dibayar

satu kegiatan penyelenggaraan pemilu.

Seperti yang dikemukakan oleh Komisioner Divisi Humas KPU, Dr.

Ferry Kurnia Rizkiyansyah30

, menyatakan jika Pemilu anggota DPR, DPD,

Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD dilaksanakan serentak maka terjadi

efisiensi dan efektivitas, setidaknya dalam tujuh hal: pemutakhiran data

pemilih, sosialisasi, perlengkapan TPS, distribusi logistik, perjalanan dinas,

honorarium, dan uang lembur. Jumlah dana yang bisa dihemat dan

28

Annisya Rosdiana dan Dian Susanthy, Pemilu Lima Kotak: Dampak Putusan MK atas

UU Pilpres dan Masa Depan Kepemimpinan Indonesia, (Bogor: Beastudi Indonesia-Dompet

Dhuafa, 2014), h. 79.

29

Ramlan Subakti, Didik Supriyanto dan Hasyim Asy’ari, Menyderhanakan Waktu

Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu Nasional dan Pemilu Daerah, (Jakarta: Kemitraan Pembaruan

Tata Pemerintahan, 2011, Cet. Pertama), h. 32.

30

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam

Pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil

Presiden, h. 11.

Page 75: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

64

digunakan untuk pemenuhan Hak-Hak Konstitusional lain Warga Negara

berkisar 5 sampai 10 Trilyun Rupiah.

Dengan adanya penghematan anggaran dalam penyelenggaraan

Pemilihan Umum, hal tersebut sejalan dengan ayat Al-quran dalam Surat

Al-Isra ayat 27 yang berbunyi:

رين كانوا إخوان الشياطين وكان الشيطان لربه كفورا إن المبذ

Artinya : “Sesungguhnya permboros-pemboros itu adalah saudara-saudara

syaitan, dan syaitan itu adalah sangat ingkat kepada Tuhannya”.(QS.17:27)

3. Penguatan Sistem Pemerintahan Presidensial di Indonesia

Pemilu serentak antara Presiden dan legislatif tidak hanya tercapai

tujuan efisiensi anggaran dan waktu, tetapi juga berdampak pada sistem

pemerintahan di indonesia. Pertama, peningkatan efektifitas pemerintahan

karena diasumsikan pemerintahan yang dihasilkan melalui keserentakan

pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil sebagai akibat coattail

effect31

, yakni keterpilihan calon presiden yang dari parpol atau koalisi

parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota legislatif dari

parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya, penyelenggaraan pemilu

serentak berpotensi memperbesar dukungan politik DPR terhadap Presiden

terpilih. Kedua, pembentukan koalisi politik32

yang mau tidak mau harus

dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat memaksa parpol

31

Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses pada

tanggal 18 Agustus 2015 dari

http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITION%20PAPER%20PE

MILU%20SERENTAK%202019.pdf, h. 13.

32

Pembentukan koalisi yang dimaksud didasarkan pada Pasal 6A Ayat (2) UUD NRI 1945

yang membuka ruang terjadinya koalisi.

Page 76: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

65

mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek dan cenderung

oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi, dan platform

politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi ini adalah

tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol pun

diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking) menjadi

perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking).

Dengan demikian, dukungan politik DPR dan koalisi yang dibangun

dengan kesamaan ideologi, visi, dan platform akan menghasilpemerintahan

yang efektif yang mampu menciptakan dan mengimplementasikan semua

kebijakannya yang sepenuhnya untuk kepentingan umum (rakyat) baik

melalui produk legislasi ataupun anggaran dapat terealisasi sehingga rakyat

dapat merasakan.

Page 77: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

66

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pemilu yang dilakukan secara serentak tersebut mempunyai relevansi

terhadap penguatan sistem Presidensial di Indonesia.Namun, untuk

memperkuat sistem presidensial tidak bisa hanya mengandalkan pemilu

serentak. Ada variabel lain yang mempengaruhi untuk memperkuat sistem

presidensial di Indonesia seperti sistem kepartaian dan koalisi yang dibangun.

Banyaknya partai yang ada di parlemen mengakibatkan sulitnya konsolidasi

antar partai politikmisalnya dalam fungsi legislasi, hal tersebut terjadi karena

banyaknya kepentingan yang dipertimbangkan. Ini menyebabkan menjadi

tidak efektinya sistem pemerintahan. Selain itu, dalam Pasal 6A ayat (2)

UUD NRI sebenarnya membuka ruang terjadinya pembentukan koalisi,

pembentukan koalisi yang sejatinya adalah membentuk pemerintahan yang

kuat (strong), mandiri (autonomous), dan tahan lama (durable). Namun

koalisi yang dibangun bukan koalisi didasarkan persamaan ideologi atau

persamaan platform tapi koalisi yang sifatnya pragmatisme yang syarat akan

politik transaksional. Tidak hanya itu koalisi partai politik yang terbangun

juga tidak memiliki aturan yang baku dan jelas dalam bentuk undang-undang

misalnya.

2. Mahkamah Konstitusi dalam pertimbanganya menjelaskan bahwa: Pertama,

penyelenggaraan Pemilu Presiden yang dilaksanakan setelah Pemilu

Legislatif tidak juga memperkuat sistem pemerintahan presidensial yang

Page 78: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

67

hendak dibangun oleh UUD NRI 1945. Ditemukan fakta politik dalam

penyelenggaraan Pemilu Presiden pada tahun 2004 dan 2009, bahwa untuk

mendapat dukungan demi keterpilihan sebagai Presiden dan dukungan DPR

dalam Penyelenggaran pemerintahan, calon Presiden terpaksa melakukan

negosiasi dan tawar-menawar (bargaining) politik terlebih dahulu dengan

partai politik yang berakibat sangat mempengaruhi jalannya pemerintahan di

kemudian hari. Negosiasi dan tawar-menawar tersebut padakenyataannya

lebih banyak bersifat taktis dan sesaat daripada bersifat strategisdan jangka

panjang, misalnya karena persamaan garis perjuangan partai politik jangka

panjang. Oleh karena itu, Presiden pada faktanya menjadi sangat tergantung

pada partai-partai politik yang menurut Mahkamah dapat mereduksi posisi

Presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem

pemerintahan presidensial. Kedua, berdasarkan sisi original intent (kehendak

awal) para perumus perubahan UUD 1945 dan berdasarkan penafsiran

sistematis dapat disimpulkan bahwa penyelenggaran Pemilu Presiden dan

Pemilu Legislatif dilakukan secara serentak.

3. Pemilu serentak membawa implikasi diantaranya : Pertama, peningkatan

efektifitas pemerintahan karena diasumsikan pemerintahan yang dihasilkan

melalui keserentakan pemilu presiden dan pemilu legislatif lebih stabil

sebagai akibat teori coattail effect, yakni keterpilihan calon presiden yang dari

parpol atau koalisi parpol tertentu akan mempengaruhi keterpilihan anggota

legislatif dari parpol atau koalisi parpol tertentu pula. Itu artinya,

penyelenggaraan pemilu serentak berpotensi memperbesar dukungan politik

Page 79: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

68

DPR terhadap Presiden terpilih. Kedua, pembentukan koalisi politik yang

mau tidak mau harus dilakukan sebelum pemilu legislatif diharapkan dapat

memaksa parpol mengubah orientasi koalisi dari yang bersifat jangka pendek

dan cenderung oportunistik menjadi koalisi berbasis kesamaan ideologi, visi,

dan platform politik. Efek berikutnya dari koalisi berbasis kesamaan ideologi

ini adalah tegaknya disiplin parpol, sehingga orientasi para politisi parpol pun

diharapkan bisa berubah dari perburuan kekuasaan (office-seeking) menjadi

perjuangan mewujudkan kebijakan (policy-seeking). Ketiga, efisiensi

anggaran dan waktu dalam penyelenggaraan Pemilu

B. Saran

1. Sistem pemilu idealnya didesain dalam rangka mendukung sistem kepartaian

dan sistem pemerintahan yang kuat dan efktif. Sistem multipartai saat ini tidak

kondusif jika dikombinasikan dengan sistem pemerintahan presidensial.

Presidensial terbukti hanya dapat berjalan efektif ketika dikombinasikan

dengan sistem dua partai atau setidaknya multipartai sederhana. Karena itu

strategi penyederhanaan jumlah partai politik menuju multipartai sederhana

dapat ditempuh melalui penerpan sistem distrik.

2. Dalam logika politik pemerintahan, sebenarnya bukan jumlah partai politik

perserta pemilu yang harus dibatasi, tetapi jumlah ideal kekuatan partai politik

yang perlu diberdayakan atau dirampingkan di parlemen. Dalam politik

keseharian, presiden atau pemerintah berhadapan dengan partai politik yang

Page 80: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

69

ada di parlemen. Karena itu, meningkatkan Parlialmentari Threshold (PT)

dapat mengurangi jumlah partai politik yang ada di parlemen.

3. Koalisi yang terbangun cenderung masih didasarkan kepentingan yang

pragmatis, yaitu memenangi perebutan kekuasaan dan koalisi di parlemen

hanya berbasisi isu pragmatis temporer. Bangunan koalisi lebih bercorak

transaksional sehingga sulit membangun pemerintahan yang kuat dan efektif.

Oleh karenanya hendaknya koalisi yang dibangun berdasarkan persamaan

ideologi atau persamaan platform. Selain itu, regulasi di level undang-undang

tampaknya perlu mengatur model koalisis yang lebih permanen agar terbentuk

kekuataan politik mayoritas yang akan menopang pemerintahan yang kuat.

Page 81: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

70

DAFTAR PUSTAKA

BUKUdan JURNAL

Ahmadi, Muhammad Fahmi dan Aripin, Jaenal. Metode Penelitian Hukum.

Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.

Asshiddiqie, Jimly. Format Kelembagaan Negara dan Pregeseran Kekuasaan

Dalam UUD 1945. Yogyakarta: FH UII Press, 2005.

__________, Jimly. Hukum Tata Negara & Pilar-Pilar Demokrasi. Jakarta: Sinar

Grafika, 2012.

__________, Jimly. Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Deomkrasi: Sepihan

Pemikiran Hukum, Media dan Ham. Jakarta: Konstitusi Press, 2005.

__________, Jimly. Konstitusi dan Konstitusionalisme. Jakarta: Konstitusi Press,

2005.

__________, Jimly. Lembaga Negara Pasca Reformasi. Jakarta: Sekertariat

Jendral dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia,

2006.

__________, Jimly. Pengantar Ilmu hukum Tata Negara Jilid II. Jakarta:

Sekertariat jendral dan Kepaniteraan MK RI, 2006.

Efriza, Political Explorer: Sebuah Kajian Ilmu Politik. Bandung: Alfabeta, 2004.

.

Ghoffar, Abdul. Perbandingan Kekuasaan Presiden Indonesia Setelah Perubahan

UUD 1945 dengan Delapan Negara Maju. Jakarta: Kencana, 2009.

Huda, Ni’matul. Hukum Tata Negara Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers, 2001.

_________, Ni’matul. Ilmu Negara. Jakarta: Rajawali Pers, 2010.

Page 82: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

71

_________, Ni’matul. Perkembangan Hukum Tata Negara: Perdebatan dan

Gagasan Penyempurnaan. Yogyakarta: FH UII Press, 2014.

Isra, Saldi. Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi

Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia.Jakarta: Rajawali Pers,

2010.

__________, Saldi. “Pemilihan Presiden Langsung dan Problematika Koalisi

dalam Sistem Presidensial”, Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni, 2009):

h.107 – 138.

Lubis, M. Solly. Ilmu Negara. Mandar Maju, 1990.

Maggalatung, A. Salman dan Yunus, Nur Rohim. Pokok-pokok Teori Ilmu

Negara; Aktualisasi dalam Teori Negara Indonesia. Bandung: Fajar

Media Bandung, 2013.

Manan, Bagir. Lembaga Kepresidenan.Yogyakarta: Gama Media, 1999.

Madung, Gusti Gusti. Filsafat Politik; Negara Dalam Bentangan Diskurusus

Filosofis. Ledalero: Maumere, 2013.

Marzuki, Mahmud Peter . Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana, 2009.

MD, Moh Mahfud. Dasar & Struktur Ketatanegaraan Indonesia. Jakarta: PT

Rineka Cipta, 2001.

Nurthahjo, Hendra. Filsafat Demokrasi. Jakarta:Bumi Aksara, 2008.

________, Hendra.Ilmu Negara; Pengembangan Teori bernegara dan Suplemen.

Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005.

Page 83: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

72

Pimpinan MPR dan Tim Kerja Sosialisasi MPR Periode 2009-2014.Empat Pilar

Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Jakarta: Sekertariat Jendral MPR

RI, 2012.

Ramlan, Didik, dkk. Menyderhanakan Waktu Penyelenggaraan Pemilu: Pemilu

Nasional dan Pemilu Daerah. Jakarta: Kemitraan Pembaruan Tata

Pemerintahan, 2011.

Rasjidi, Lili dan Rasjidi, Sonia Liza. Dasar-Dasar Filsafat dan Teori Hukum.

Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012.

Rosdiana, Annisya dan Susanthy, Dian. Pemilu Lima Kotak: Dampak Putusan MK

atas UU Pilpres dan Masa Depan Kepemimpinan Indonesia. Bogor:

Beastudi Indonesia-Dompet Dhuafa, 2014.

Satriawan, Iwan dan Asmawati, Dhenok Panuntun Tri Suci. “Pengaturan

Kepartaian Dalam Mewujudkan Sistem Pemerintahan Presidensiil Yang

Efektif”. Jurnal Konstitusi, II, No. 1 (Juni, 2009): h. 63 – 78.

Sibuea, P Hotma. Asas-Asas Negara Hukum, Peraturan Kebijakan dan Asas-

Asas Umum Pemerintahan yang Baik. Jakarta: Erlangga, 2010.

Tutik, Triwulan Titik.Konstruksi Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Amandemen UUD 1945. Jakarta: Kencana, 2011.

Yuda, Hanta. PresidensialismeSetengahHati Dari DilemakeKompromi. Jakarta:

PT. GarmediaPustakaUtama, 2010

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden.

Page 84: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

73

PUTUSAN

Putusan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia Nomor 14/PUU-XI/2013

WEBSITE

Hanan, Dyajadi. “Memperkuat Presidensialisme Multipartai di Indonesia: Pemilu

Serentak, Sistem Pemilu, dan Sistem Kepartaian”, artikel diakses pada 18

Agustus 2015 dari http://www.puskapol.ui.ac.id/wp-

content/uploads/2015/02/Makalah-Djayadi-Hanan.pdf.

Electoral Research Institute, “Pemilu nasional Serentak 2019”, artikel di akses

pada tanggal 18 Agustus 2015 dari

http://www.rumahpemilu.com/public/doc/2015_02_03_08_18_33_POSITI

ON%20PAPER%20PEMILU%20SERENTAK%202019.pdf.

Koalisi Permanen Dikukuhkan dalam Undang-Undang, diakses pada tanggal 1

September 2015 dari http://www.jimly.com/berita/show/164.

Page 85: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

IkhtIsar PutusanPErkara nOMOr 14/Puu-XI/2013

tEntanG

kOnstItusIOnaLItas PEnYELEnGGaraan PEMILIhan uMuM PrEsIDEn Dan WakIL PrEsIDEn

Para Pemohon : Effendi Gazali, Ph.D., M.P.S.i.D, M.Si

Jenis Perkara : Pengujian undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (uu 42/2008) terhadap undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945 (uuD 1945).

Pokok Perkara : Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 mengenai konstitusionalitas penyelenggaraan pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden bertentangan dengan uuD 1945:

- Pasal 1 ayat (2) mengenai Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang Dasar;

- Pasal 4 ayat (1) mengenai kekuasaan pemerintah yang dipegang oleh Presiden Republik indonesia;

- Pasal 6A ayat (2) mengenai pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum;

- Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum;

- Pasal 22E ayat (1) mengenai pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil selama lima tahun sekali;

- Pasal 22E ayat (2) mengenai pemil ihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

MAHKAMAH KONSTITUSIREPUBLIK INDONESIA

Page 86: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013

22

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

- Pasal 27 ayat (1) mengenai kewajiban warga negara menjunjung hukum dan pemerintahan tanpa terkecuali;

- Pasal 28D ayat (1) mengenai hak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta nperlakuan yang sama di hadapan hukum;

- Pasal 28D ayat (3) mengenai hak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan;

- Pasal 28H ayat (1) mengenai hak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan;

- Pasal 33 ayat (4) mengenai perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,berwawasan lingkungan, kemandirian serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.

amar Putusan : 1. Mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian;

1.1. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4924) bertentangan dengan undang-undang Dasar Negara Republik indonesia Tahun 1945;

1.2. Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden (Lembaran Negara Republik indonesia Tahun 2008 Nomor 176, Tambahan Lembaran Negara Republik indonesia Nomor 4924) tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat;

2. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya;

3. Menolak permohonan Pemohon untuk selain dan selebihnya; 4. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara

Republik indonesia sebagaimana mestinya.

Page 87: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013

23

tanggal Putusan : Kamis, 23 Januari 2014, pukul 14.53 WiB

Ikhtisar Putusan :

Pemohon merupakan perorangan warga negara indonesia, mengajukan permohonan pengujian Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 terhadap uuD 1945.

Mengenai kewenangan Mahkamah Konstitusi, berdasarkan ketentuan Pasal 24C ayat (1) uuD 1945, Pasal 10 ayat (1) huruf a undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah diubah dengan undang-undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, serta Pasal 29 ayat (1) huruf a undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, salah satu kewenangan Mahkamah adalah mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat finaluntuk menguji undang-undang terhadap uuD 1945. Karena permohonan a quo adalah mengenai pengujian uu 42/2008 terhadap uuD 1945, maka Mahkamah berwenang untuk memeriksa, mengadili, dan memutus permohonan dimaksud.

Mengenai kedudukan hukum (legal standing) Pemohon, berdasarkan Pasal 51 ayat (1) undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (uu MK) beserta penjelasannya, Pemohon memenuhi persyaratan untuk mengajukan permohonan ke Mahkamah Konstitusi, yaitu sebagai perorangan (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama) warga negara indonesia.

Pemohon mendalilkan bahwa hak konstitusional yang diberikan oleh uuD 1945, secara potensial dirugikan akibat diberlakukannya ketentuan Pasal 3 ayat (5), Pasal 9, Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 uu 42/2008 terhadap uuD 1945, dengan alasan-alasan pada pokoknya sebagai berikut:a. Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 berbunyi, “Pemilihan umum Presiden dan Wakil

Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD”. Ketentuan ini mengatur penyelenggaraan Pemilu menjadi dua kali pelaksanaan Pemilu (tidak serentak) yakni Pemilu anggota DPR, DPD, dan DPRD serta Pemilu Presiden dan Wakil Presiden sehingga bertentangan dengan Pasal 22E ayat (1) uuD 1945;

b. Pelaksanaan Pemilu yang lebih dari satu kali tersebut telah menimbulkan banyak akibat yang merugikan hak konstitusional warga negara. Pertama, kemudahan bagi warga negara untuk melaksanakan Hak Pilihnya secara efisien terancam.Kedua, dana untuk menyelenggarakan Pemilu yang tidak serentak menjadi amat boros dan seharusnya digunakan untuk memenuhi hak-hak konstitusional lain warga negara;

c. Original intent ketentuan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2) uuD 1945, dapat kita temukan ketika anggota MPR yang menyusun Amandemen Konstitusi pada tahun 2001, dengan jelas menyatakan bahwa Pemilihan umum memang dimaksudkan

Page 88: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013

24

untuk diselenggarakan lima tahun sekali (serentak) untuk memilih (sekaligus) Anggota DPR, DPD, DPRD, serta Presiden dan Wakil Presiden;

d. Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 yang berbunyi, “Pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden dilaksanakan setelah pelaksanaan pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD” bertentangan dengan Original intent Penyusun Konstitusi terutama Pasal 6A ayat (2) dan Pasal 22E ayat (1) dan ayat (2), sehingga harus dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Terhadap dalil perrmohonan Pemohon, Mahkamah berpendapat sebagai berikut:a. Penyelenggaraan Pilpres haruslah dikaitkan dengan rancang bangun sistem

pemerintahan menurut uuD 1945, yaitu sistem pemerintahan presidensial. uuD 1945 menempatkan Presiden dalam posisi yang kuat sehingga dalam masa jabatannya tidak dapat dijatuhkan oleh DPR selain karena alasan dan proses yang secara limitatif telah ditentukan dalam uuD 1945. Menurut Mahkamah, praktik ketatanegaraan hingga saat ini, dengan pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan ternyata dalam perkembangannya tidak mampu menjadi alat transformasi perubahan sosial ke arah yang dikehendaki. Hasil dari pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak juga memperkuat sistem presidensial yang hendak dibangun berdasarkan konstitusi. Mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi (checks and balances), terutama antara DPR dan Presiden tidak berjalan dengan baik. Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden kerap menciptakan koalisi taktis yang bersifat sesaat dengan partai-partai politik sehingga tidak melahirkan koalisi jangka panjang yang dapat melahirkan penyederhanaan partai politik secara alamiah. Berdasarkan pengalaman praktik ketatanegaraan tersebut, pelaksanaan Pilpres setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan tidak memberi penguatan atas sistem pemerintahan yang dikehendaki oleh konstitusi. Oleh karena itu, norma pelaksanaan Pilpres yang dilakukan setelah Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan telah nyata tidak sesuai dengan semangat yang dikandung oleh uuD 1945 dan tidak sesuai dengan makna pemilihan umum yang dimaksud oleh uuD 1945, khususnya dalam Pasal 22E ayat (1) uuD 1945.

b. Dari sudut pandang original intent dari penyusun perubahan uuD 1945 telah terdapat gambaran visioner mengenai mekanisme penyelenggaraan Pilpres, bahwa Pilpres diselenggarakan secara bersamaan dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan. Hal demikian sejalan dengan Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang menentukan bahwa yang dimaksud dengan pemilihan umum berada dalam satu tarikan nafas, yakni, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Selain itu, dengan mempergunakan penafsiran sistematis atas ketentuan Pasal 6A ayat (2) uuD 1945 yang menyatakan, ”Pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden diusulkan

Page 89: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013

25

oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”, dikaitkan dengan Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang menyatakan, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”, adalah tidak mungkin yang dimaksud “sebelum pemilihan umum” dalam Pasal 6A ayat (2) uuD 1945 adalah sebelum Pilpres, karena jika frasa “sebelum pemilihan umum” dimaknai sebelum Pilpres, maka frasa “sebelum pemilihan umum” tersebut menjadi tidak diperlukan, karena calon Presiden dengan sendirinya memang harus diajukan sebelum pemilihan Presiden. Dengan demikian menurut Mahkamah, baik dari sisi metode penafsiran original intent maupun penafsiran sistematis dan penafsiran gramatikal secara komprehensif, Pilpres dilaksanakan bersamaan dengan pemilihan umum untuk memilih anggota lembaga perwakilan.

c. Penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan secara serentak memang akan lebih efisien, sehingga pembiayaan penyelenggaraanlebih menghemat uang negara yang berasal dari pembayar pajak dan hasil eksploitasi sumber daya alam serta sumber daya ekonomi lainnya. Hal itu akan meningkatkan kemampuan negara untuk mencapai tujuan negara sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan uuD 1945 yang antara lain untuk memajukan kesejahteraan umum dan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Selain itu, Pilpres yang diselenggarakan secara serentak dengan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan juga akan mengurangi pemborosan waktu dan mengurangi konflikatau gesekan horizontal di masyarakat;

d. Mengenai pengujian konstitusionalitas Pasal 9 uu 42/2008, Mahkamah mempertimbangkan bahwa dengan penyelenggaraan Pilpres dan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dalam pemilihan umum secara serentak maka ketentuan pasal persyaratan perolehan suara partai politik sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden merupakan kewenangan pembentuk undang-undang dengan tetap mendasarkan pada ketentuan uuD 1945.

Dengan demikian berdasarkan uraian tersebut di atas, Mahkamah berpendapat dalil permohonan Pemohon beralasan menurut hukum untuk sebagian.

Pendapat berbeda (dissenting opinion):

Terhadap Putusan ini hakim Maria Farida yang memiliki pendapat berbeda dengan pendapat sebagai berikut:a. Telah diketahui tepat lima tahun yang lalu Mahkamah pernah memutus permohonan

pengujian konstitusionalitas Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008. Dalam Putusan Nomor 51-52-59/Puu-Vi/2008, bertanggal 18 Februari 2009, Mahkamah telah menyatakan, “...kedudukan Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 adalah konstitusional”. Hal demikian didasari bahwa Pasal 3 ayat (5) uu 42/2008 yang dianggap merupakan cara atau persoalan prosedural yang dalam pelaksanaannya menitikberatkan pada tata urut yang tidak logis atas dasar pengalaman yang lazim dilakukan bahwa

Page 90: RELEVANSI PEMILIHAN UMUM SERENTAK PRESIDEN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/30097/1/AHMAD... · R. O. G. R. A. M S. T. U. D. I . I L M U H U K U . M. FAKULTAS

Ikhtisar Putusan Mahkamah Konstitusi periode 2013

26

original intent Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 memang menentukan agar pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah “bersama-sama atau serentak”. Metode penafsiran original intent bukanlah segala-galanya. Selain metode tersebut masih banyak lagi metode yang dapat digunakan untuk memaknai suatu peraturan perundangundangan terutama dalam usaha menemukan hukum (rechtsvinding); Apabila metode penafsiran original intent digunakan terhadap Pasal 22E ayat (2) uuD 1945 yang berbunyi, “Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah” maka Mahkamah harus juga konsisten untuk tetap mendasarkan rezim pemilihan umum hanya pada pemilihan “anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah”. Dengan demikian, pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidaklah dapat dimasukkan ke dalam rezim pemilihan umum, sehingga Mahkamah tidak berwenang untuk mengadilinya karena original intent-nya tidak demikian. Konsekuensi tersebut harus dipahami agar konsistensi Mahkamah terhadap putusannya tetap terjaga;

b. Pasal 6A ayat (2) dan ayat (5), Pasal 22E ayat (2), dan Pasal 22E ayat (6) uuD 1945 Berdasarkan ketentuan tersebut, menurut saya, secara delegatif uuD 1945 telah menyerahkan kewenangan kepada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk mengatur tata cara pelaksanaan Pilpres, serta ketentuan lebih lanjut mengenai pemilihan umum, sehingga menjadi kebijakan hukum terbuka (opened legal policy) pembentuk undang-undang untuk merumuskan mekanisme terbaik tata cara pemilihan umum, termasuk dalam penentuan waktu antarsatu pemilihan dengan pemilihan yang lain. Selain itu, aturan presidential threshold sebagaimana tercantum dalam Pasal 9 uu 42/2008 merupakan kebijakan hukum terbuka yang pada prinsipnya tidak terkait dengan pengaturan serentak atau tidaknya pemilihan umum, baik Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan atau Pilpres;

c. Terkait dengan hal tersebut, saya konsisten dengan pendapat Mahkamah dalam Putusan Nomor 51-52-59/Puu-Vi/2008, bertanggal 18 Februari 2009 Terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai kesulitan yang akan dihadapi dalam penyelenggaraan Pemilu Anggota Lembaga Perwakilan dan Pilpres secara terpisah seperti yang dilaksanakan saat ini atau yang dilaksanakan secara bersamaan (serentak) seperti yang dimohonkan Pemohon, hal itu bukanlah masalah konstitusionalitas norma, tetapi merupakan pilihan kebijakan hukum pembentuk undang-undang. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, saya berpendapat, permohonan Pemohon haruslah ditolak untuk seluruhnya.

Panitera Pengganti,

ttd

LuthfiWidagdoEddyono