Top Banner
Relasi antara Sustainable Development, CSR dan Comdev : sebuah tinjauan terhadap CSR PT Unilever Indonesia Tbk. Konsep Sustainable Development dan Perkembangannya Ide tentang sustainability atau suatu keberlanjutan pada dasarnya berakar dari pemikiran yang menyuarakan kesadaran untuk menjaga lingkungan dari kerusakan agar tetap bisa mendukung keberlangsungan hidup manusia (Kingsbury 2004 : 289). Dalam aspek pembangunan, ide berkelanjutan disadur dan menjadi bentuk terbaru dari rangkaian ide tentang pembangunan. Kingsbury menjelaskan posisi ide tersebut di ranah pembangunan. As a consequence of the high costs of development, in environmental as well as other terms, there has increasingly been discussion about ‘appropriate development’ and ‘sustainable development’, two ideas that often overlap. What is commonly referred to as ‘appropriate development’ is where the level of technology is suitable for the needs and conditions of the area undergoing the process of development and does not require environmentally destructive or economically unsustainable industry. Sustainable development similarly means the idea that development can be sustained primarily in ecological terms, but also economically, politically, and socially. (Kingsbury 2004 :283) Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini pada awalnya didefinisikan secara umum oleh World Commision on Economic Development (WCED) sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang
40

Relasi Antara Sustainable Development

Jul 31, 2015

Download

Documents

sanopaka
Welcome message from author
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Page 1: Relasi Antara Sustainable Development

Relasi antara Sustainable Development, CSR dan Comdev : sebuah tinjauan terhadap CSR PT Unilever Indonesia Tbk.

Konsep Sustainable Development dan Perkembangannya

Ide tentang sustainability atau suatu keberlanjutan pada dasarnya berakar dari pemikiran

yang menyuarakan kesadaran untuk menjaga lingkungan dari kerusakan agar tetap bisa

mendukung keberlangsungan hidup manusia (Kingsbury 2004 : 289). Dalam aspek

pembangunan, ide berkelanjutan disadur dan menjadi bentuk terbaru dari rangkaian ide tentang

pembangunan. Kingsbury menjelaskan posisi ide tersebut di ranah pembangunan.

As a consequence of the high costs of development, in environmental as well as other terms, there has increasingly been discussion about ‘appropriate development’ and ‘sustainable development’, two ideas that often overlap. What is commonly referred to as ‘appropriate development’ is where the level of technology is suitable for the needs and conditions of the area undergoing the process of development and does not require environmentally destructive or economically unsustainable industry. Sustainable development similarly means the idea that development can be sustained primarily in ecological terms, but also economically, politically, and socially. (Kingsbury  2004 :283)

Pembangunan berkelanjutan (sustainable development) ini pada awalnya didefinisikan

secara umum oleh World Commision on Economic Development (WCED) sebagai pembangunan

yang memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi

mendatang untuk memenuhi kebutuhannya (WCED, 1987). Tetapi definisi ini kurang

operasional. Kemudian Ismail Seragaldin dari World Bank mengemukakan definisi yang lebih

operasional, yaitu “pembangunan berkelanjutan dapat dilihat dari jumlah total kapital--sosial,

ekonomi, lingkungan, budaya, politik, personal-- yang ditransfer dari satu generasi ke generasi

berikutnya minimal sama” (Seragaldin 1996). Setelah itu, Daly (dalam Jalal 2011), menjelaskan

keberlanjutan tersebut berupa piramida yang didasari oleh Environment, Economy, Society dan

Well-Being sebagai puncak. Menurut Daly, tanpa berfungsinya sistem alam, semua akan runtuh,

Page 2: Relasi Antara Sustainable Development

tanpa berfungsinya sistem ekonomi, masyarakat tidak akan maju, dan tanpa berfungsinya sistem

sosial, masyarakat tidak bisa berkembang. Oleh karena itulah tiga sistem tersebut harus berjalan

secara seimbang untuk menciptakan kebaikan yang berkelanjutan.

Ide Sustainable Development dalam Corporate Social Responsibility (CSR)

Di sisi lain, pelaku bisnis, terutama perusahaan-perusahaan raksasa multinasional sedang

berupaya memperbaiki citranya yang serakah dan merugikan banyak pihak melalui

pengungkapan nilai-nilai kebajikan melalui media yang mereka sebut sebagai tanggungjawab

sosial perusahaan (Corporate Sosial Responsibility/CSR). CSR memuat nilai etika bisnis yang

menunjukkan perilaku etis dari perusahaan. Etika bisnis tersebut dianggap sudah ada sejak lama,

namun resminya konsep CSR baru didefinisikan sejak tahun 1953 dalam buku Social

Responsibility of Bussinesmen yang ditulis Howard Browen (Sukada dkk 2007:xiv).

Pada awalnya, bentuk CSR yang paling umum adalah pemberian bantuan terhadap

organisasi-organisasi lokal dan masyarakat miskin di negara-negara berkembang. Pendekatan

CSR yang berdasarkan motivasi karitatif dan kemanusiaan ini pada umumnya dilakukan secara

ad-hoc, partial, dan tidak melembaga. CSR pada tataran ini hanya sekadar do good dan to look

good, berbuat baik agar terlihat baik. Perusahaan yang melakukannya termasuk dalam kategori

”perusahaan impresif”, yang lebih mementingkan ”tebar pesona” (promosi) ketimbang ”tebar

karya” (pemberdayaan) (Suharto, 2008).

Seiring dengan perkembangan ide sustainability development, dunia usaha pun mulai

menyerapnya ke dalam kebijakan bisnis mereka, terutama dipahami sebagai upaya keberlanjutan

dari keuntungan yang bisa mereka peroleh (Kingsbury 2004 : 289). Adopsi prinsip sustainability

development kemudian menelurkan gagasan bussines sustainability atau corporate sustainability

Page 3: Relasi Antara Sustainable Development

yang merupakan pengakuan dan pengintegrasian tujuan dunia bisnis dengan tujuan

pembangunan berkelanjutan (Wilson 2002 dalam Sukada dkk 2007:35).  Kebijakan tersebut

melihat peran potensial perusahaan dalam pembangunan berkelanjutan adalah sebagai berikut :

“For the business enterprise, sustainable development means adopting business strategies and activities that meet the needs of the enterprise and its stakeholders today while protecting, sustaining and enhancing the human and natural resources that will be needed in the future.” (Business Strategy for  Sustainable Development (IISD), 1992 dalam Jalal 2011)

“…If sustainable development is to achieve its potential, it must be integrated into the planning and measurement systems of business enterprises.” (Robert Steele, AtKisson Group International dalam Jalal 2011)

Ide tentang sustainable development juga menjadi inspirasi bagi John Elkington dalam

melahirkan prinsip utama triple bottom line, yakni relasi yang seimbang antara profit, people,

and planet dalam manajemen perusahaan. Perusahaan dituntut tidak hanya memburu keuntungan

ekonomi belaka (profit). Melainkan pula memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan

(planet) dan kesejahteraan masyarakat (people) (Elkington 1998 dalam Suharto 2008).

Prinsip triple bottom line inilah yang kemudian menjadi tempat berpijak bagi konsep

CSR yang modern, karena itu, konsep CSR yang modern dianggap sebagai pembumian gagasan

besar “pembangunan berkelanjutan” (Sukada dkk 2007: 8). Sejarah panjang yang

mempertemukan konsep dan praktik dari CSR dan sustainable development dapat kita lihat dari

gambar di bawah ini yang merupakan time-line yang disarikan oleh Loew (2004 dalam Jalal

2011).

Page 4: Relasi Antara Sustainable Development

 Gambar  1 : Pertautan Sustainable Development dan CSR (sumber : Loew 2004 dalam Jalal 2011)

Pengadopsian prinsip triple bottom line tersebut pada akhirnya membuat pemahaman

akan CSR semakin kompleks dan terukur. Oleh karena itulah, dengan meliputi beragam sudut

pandang dalam satu definisi terbuka tentang CSR, Blowfield and Frynas (2005, dalam Fynas

2009 : 6) mengajukan pemikirannya tentang CSR sebagai suatu istilah yang memayungi beragam

teori dan praktik dari (a) tanggungjawab perusahaan terhadap dampak operasionalnya bagi

masyarakat dan lingkungan alam, (b) perilaku bertanggungjawab dari perusahaan dalam

berbisnis dengan shareholder (pemilik saham) dan stakeholder (karyawan, pemasok/supply

chain, dll), dan (c) kebutuhan bisnis untuk mengelola hubungan perusahaan dengan masyarakat

luas, apakah untuk alasan menjaga kepentingan bisnis maupun untuk alasan kebaikan bagi

masyarakat. Lembaga standarisasi International Standard Organization (ISO) turut menguatkan

pemahaman tersebut dengan memberikan batasan pada CSR sebagai:

 “Responsibility of an organization for the impacts of its decisions and activities on society and the environment, through transparent and ethical behaviour that contributes to sustainable development, health and the welfare of society; takes into account the expectations of stakeholders; is in compliance with applicable law and consistent with international norms of

Page 5: Relasi Antara Sustainable Development

behaviour; and is integrated throughout the organization and practiced in its relationships. ” (ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility dalam Jalal 2011)

ISO 26000 menempatkan CSR sebagai pendekatakan yang integrative dan holistik, serta

saling ketergantungan antara ruang lingkup CSR dengan core business perusahaan. Adapun

ruang lingkup CSR yang menjadi standar dari ISO 26000 adalah the environment, community

involvelment and development, human rights,  labour practices, fair operating practices dan

consumer issues. Relasi antara ruang lingkup CSR tersebut dapat dilihat dari gambar yang

sertakan dalam lampiran ISO 26000 (dalam Jalal 2011).

Gambar 2 : Cakupan CSR (sumber ISO 26000: 2010 Guidance on Social Responsibility dalam Jalal 2011)

Praktik CSR melalui Community Development (comdev)

Implikasi dari pedoman ISO 26000 tersebut membuat prinsip-prinsip good corporate

governance, yang menjadi pijakan untuk mengukur keberhasilan program CSR. CSR yang baik

Page 6: Relasi Antara Sustainable Development

memadukan empat prinsip good corporate governance, yakni fairness, transparency,

accountability dan responsibility, secara harmonis, karena perbedaan mendasar diantara keempat

prinsip. Tiga prinsip pertama cenderung bersifat shareholders-driven, karena lebih

memerhatikan kepentingan pemegang saham perusahaan. Sementara itu, prinsip responsibility

lebih mencerminkan stakeholders-driven, karena lebih mengutamakan pihak-pihak yang

berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan. Di sini, perusahaan bukan saja dituntut mampu

menciptakan nilai tambah (value added) produk dan jasa bagi stakeholders perusahaan,

melainkan pula harus sanggup memelihara kesinambungan nilai tambah yang diciptakannya itu.

Dalam prinsip responsibility ini pendekatan community development semakin banyak diterapkan

karena lebih mendekati konsep empowerment dan sustainable development (Supomo dalam

Suharto 2008)

Berdasarkan tinjauan dari beberapa peneliti, pelaksanaan CSR di negara berkembang

lebih cenderung ke arah program comdev (lihat Kemp 2001, Susanto 2007, Sukada dkk 2007,

Mursitama dkk 2011). Seperti contoh,  Lembaga Konsultan A+ CSR Indonesia (2009),

menyatakan bahwa program comdev adalah praktik CSR paling populer di Indonesia karena

dianggap sebagai langkah strategis perusahaan berkontribusi positif bagi pembangunan rakyat

Indonesia. Oleh karena itulah CSR saat ini memiliki peran penting dalam kancah pembangunan

internasional. Di Negara berkembang, aktivitas-aktivitas CSR mengutamakan pengembangan

aspek pendidikan, kesehatan dan kesejahteran masyarakat di level lokal melalui program

comdev. Bahkan melalui CSR ini perusahaan juga berkomitmen untuk berperan serta pada

pencapaian United Nations Millennium Development Goals (MDGs) (Fynas 2009 : 103).

Akan tetapi, studi yang dilakukan oleh Jalal (2011) menunjukkan bahwa memang hanya

comdev yang menjadi sorotan CSR di negara berkembang. Sementara itu di negara maju, CSR

Page 7: Relasi Antara Sustainable Development

lebih kompleks, dengan tekanan ke banyak hal seperti perilaku bisnis berektika, HAM, hak

buruh, anti korupsi dan kepedulian lingkungan. Kemudian, penelitian tersebut juga menemukan

bahwa filantropi perusahaan adalah bentuk CSR yang memang paling umum dilakukan di negara

maju maupun negara berkembang. Ilustrasi dari penelitian tersebut dapat dilihat dari gambar di

bawah ini.

Gambar 3 : Penekanan CSR yang berbeda di negara maju dan negara berkembang (sumber : Kiroyan 2008 dalam Jalal 2011)

Selain itu, ISO 26000 juga menyarankan kegiatan CSR perlu diintegrasikan ke dalam inti

bisnis yang dilakukan perusahaan, dengan tujuan bisa memberikan keuntungan bagi perusahaan

(Sukada dkk, 2007). Sebagai bentuk keseimbangan dari profit, people dan planet, tidak dapat

dipungkiri, perusahaan sebagai entitas bisnis turut menyertakan kepentingan mereka dalam

aktivitas CSR-nya. Hal itu, dapat diwujudkan melalui penerapan comdev pada stakeholders

perusahaan (Charolinda 2006). Menurut Sukada dkk (2007:97), program comdev penting

dilakukan pada stakeholders, terutama pada komuniti lokal sekitar perusahaan atau komuniti

yang menjadi pemasok bahan baku (supply chain) bagi perusahaan, karena mereka memiliki

peranan yang menentukan bagi kelangsungan hidup perusahaan, yakni memberi dukungan untuk

Page 8: Relasi Antara Sustainable Development

menjaga keamanan dan kesinambungan operasional perusahaan. Dengan program comdev

diharapkan terjadinya peningkatan kapasitas dan partisipasi stakeholders dalam bekerjasama

dengan perusahaan (Pardede & Finnahari, 2007 : 208).  

Dalam program CSR, jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu

perusahaan dengan lainnya, tergantung pada core bisnis perusahaan yang bersangkutan. Sebagai

contoh, penelitian Supomo (2004) menunjukkan perusahaan ekstraksi seperti PT Aneka

Tambang, Tbk. dan Rio Tinto menempatkan masyarakat dan lingkungan sekitar sebagai

stakeholders dalam skala prioritasnya. Kemudian stakeholders dalam skala prioritas bagi

perusahaan manufaktur produk konsumen seperti Unilever atau Procter & Gamble adalah para

customer-nya. Selain itu, studi  Susanto (2007), menunjukkan bahwa Unilever juga termasuk

perusahaan manufaktur yang menempatkan supplier bahan baku sebagai stakeholders

prioritasnya.

Praktik comdev sebagai CSR yang dilakukan oleh PT Unilever Indonesia

Prioritas program comdev terhadap pemasok (supplier) tersebut merupakan salah satu

cara yang ditempuh Unilever dalam mengembangkan kriteria pertanian yang berkelanjutan atau

yang disebut dengan The Unilever Sustainable Agricultural Code (Unilever SAC). Unilever SAC

ini mencakup praktek-praktek yang harus dipenuhi seluruh pemasok termasuk petani, sebagai

acuan praktek pertanian yang berkelanjutan.

Parameter yang tercakup dalam Unilever SAC adalah : perbaikan secara terus menerus, Agro-kimia dan bahan bakar, Tanah, Air, Keanekaragaman Hayati, Energi, Limbah, Modal Sosial dan Sumber Daya Manusia, Kesejahteraan Hewan, Rantai pasok dan perekonomian petani, dan pelaksanaan pelatihan (Sumber:Kabar Tani edisi 07/2011).

Page 9: Relasi Antara Sustainable Development

Unilever SAC ini merupakan perwujudan misi Unilever Sustainable Living Plan (Misi ini

mencakup (1) peningkatan kesehatan dan kesejahteraan; (2) pengurangan dampak lingkungan;

(3) peningkatan penghidupan), yang akan dicapai pada tahun 2020 sebagai komitmen Unilever

pada tujuan pembangunan berkelanjutan. Sesuai dengan kode tersebut, Unilever mengajak

partisipasi pemasok dan juga petani untuk mengadopsi praktek pertanian yang berkelanjutan di

lahan pertanian mereka. Di Indonesia, Unilever SAC akan diterapkan untuk komoditi kedele

hitam, gula kelapa, teh, lalu komodii lainnya secara bertahap (Kabar Tani, edisi 07/April 2011).

Terkait dengan itu studi Susanto (2007), terhadap CSR PT Unilever Indonesia

menunjukkan bahwa pembentukan Yayasan Unilever Indonesia Peduli (YUI) bertujuan untuk

menciptakan lembaga khusus yang menjalankan aktivitas CSR Unilever. Dalam pelaksanaan

CSR, YUI bekerjsama dengan berbagai kalangan masyarakat, baik dari LSM, pemerintah,

lembaga pendidikan, maupun kalangan bisnis. Salah satu prinsip CSR Unilever yang utama

adalah membangun sinergi kesuksesan bagi stakeholder (sebagai dampak rantai nilai). Dalam

CSR terhadap supplier, Unilever menerapkan Supplier Quality Management Programme

(SQMP) guna meningkatkan kinerja dalam setiap rantai pasoknya.

Selain itu, studi Radyati (2008), yang meneliti program comdev petani kedelai hitam

sebagai pemasok bagi produksi Kecap Bango untuk PT Unilever Indonesia menemukan tujuan

program ini adalah untuk menjaga keberlanjutan rantai pasok kedelai hitam yang berkualitas.

Program ini menjalankan strategi pemberdayaan yang memberikan peningkatan kapasitas

pengetahuan dan keterampilan pada kelompok tani binaan agar bisa menciptakan dan

memelihara varietas kedelai hitam unggulan. Dalam program ini, ada dua prinsip utama yang

menjaga keberlanjutannya, yaitu ; (1) adanya peran Unilever sebagai penjamin ketersediaan

pasar bagi petani, (2) adanya aspek technical assistance dalam pelaksanaan comdev, yakni

Page 10: Relasi Antara Sustainable Development

melalui kerjasama antara Unilever (YUI), perguruan tinggi (Universitas Gadjah Mada), LSM

pemberdayaan (Persada, Spektra dan FIELD) dan pemda setempat  (Radyati, 2008 : 94-96).

Diposkan oleh soel el noya di 21:40 Reaksi: Senin, 26 Desember 2011 Jurnal Penelitian 0 komentar

ADAPTASI KULTURAL TERHADAP POTENSI BENCANA LONGSOR

ADAPTASI KULTURAL TERHADAP POTENSI BENCANA LONGSOR

(Studi Kasus pada Masyarakat Kampung Cipicung Girang, Kelurahan Ciumbuleuit, Kecamatan

Cidadap, Bandung)

Oleh :RAHMAD EFENDI

170510080013Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran,

Jatinangor 2011

Lanskap Cipicung Girang

LATAR BELAKANG DAN RUMUSAN MASALAH

Kawasan Ciumbuleuit merupakan wilayah perbukitan yang padat penduduk di Kawasan

Bandung Utara (KBU). Kampung Cipicung Girang merupakan salah satu kampung berpenduduk

padat di kawasan Ciumbuleuit yang berada tebing perbukitan.  Kepadatan penduduk tersebut

Page 11: Relasi Antara Sustainable Development

tentunya beresiko meningkatkan potensi terjadinya tanah longsor yang bisa menjadi bencana

bagi masyarakat Cipicung Girang itu sendiri. Oleh karena itulah, penelitian ini ingin mengkaji

bagaimana perspektif masyarakat Cipicung Girang terhadap potensi bencana tanah longsor di

lingkungan tempat tinggal mereka. Hal tersebut kemudian dapat menunjukkan bagaimana

strategi adaptasi yang dilakukan masyarakat Cipicung Girang terhadap kondisi lingkungannya.

Berdasarkan masalah tersebut, pertanyaan pokok dalam penelitian ini mempertanyakan

mengenai :

1.      Bagaimanakah potensi bencana longsor di daerah Cipicung Girang ?

2.   Bagaimana adaptasi kultural masyarakat Cipicung Girang terhadap potensi bencana longsor yang

ada di sekitar mereka?

3.  Bagaimanakah tindakan masyarakat Cipicung Girang menghadapi potensi bencana longsor di

lingkungan sekitar tempat tinggal mereka ? 

STUDI PUSTAKA

Bencana Alam Tanah Longsor

Kajian antropologi melihat bencana sebagai kejadian yang meliputi kombinasi dari

berbagai agen yang memiliki potensi merusak dan memperlemah kondisi masyarakat. agen

perusak tersebut dapat berasal dari lingkungan alam, teknologi atau dari masyarakat itu sendiri

(Oliver & Smith, 1996). Sementara itu UU No. 24 tahun 2007 mendefinisikan bencana sebagai

“peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan

penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh faktor alam dan atau faktor non alam

maupun faktor manusia sehingga mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan

lingkungan, kerugian harta benda, dan dampak psikologis”. Kemudian Asian Disaster

Preparedness Center (ADPC) mendefinisikan bencana dalam formulasi “The serious disruption

of the functioning of society, causing widespread human, material or environmental losses,

which exceed the ability of the affected communities to cope using their own resources”

(Abarquez & Murshed, 2004). Definisi bencana seperti dipaparkan tersebut mengandung tiga

Page 12: Relasi Antara Sustainable Development

aspek dasar, yaitu : (1) Terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak

(hazard). (2) Peristiwa atau gangguan tersebut mengancam kehidupan, penghidupan, dan fungsi

dari masyarakat. (3) Ancaman tersebut mengakibatkan korban dan melampaui kemampuan

masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka.

Bencana dapat disebabkan oleh kejadian alam (natural disaster) maupun oleh ulah

manusia (man-made disaster) (BKNPB, 2006). Faktor-faktor yang dapat menyebabkan bencana

antara lain:

(1) Bahaya alam (natural hazards) dan bahaya karena ulah manusia (man-made hazards) yang menurut United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-ISDR) dapat dikelompokkan menjadi bahaya geologi (geological hazards), bahaya hidrometeorologi (hydrometeorological hazards), bahaya biologi (biological hazards), bahaya teknologi (technological hazards) dan penurunan kualitas lingkungan (environmental degradation). (2) Kerentanan (vulnerability) yang tinggi dari masyarakat, infrastruktur serta elemen-elemen di dalam kota/ kawasan yang berisiko bencana. (3) Kapasitas yang rendah dari berbagai komponen di dalam masyarakat.

Bencana dapat terjadi, karena ada dua kondisi yaitu adanya peristiwa atau gangguan yang

mengancam dan merusak (hazard) dan kerentanan (vulnerability) masyarakat. Bila terjadi

hazard, tetapi masyarakat tidak rentan, maka berarti masyarakat dapat mengatasi sendiri

peristiwa yang mengganggu, sementara bila kondisi masyarakat rentan, tetapi tidak terjadi

peristiwa yang mengancam maka tidak akan terjadi bencana.

Bencana terdiri dari berbagai bentuk, UU No. 24 tahun 2007 mengelompokkan bencana ke dalam tiga kategori yaitu: bencana alam, bencana non-alam dan bencana sosial. Fokus dalam kajian ini adalah bencana yang diakibatkan oleh peristiwa atau serangkaian peristiwa yang disebabkan oleh alam tanah  longsor. Tanah longsor adalah suatu peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan tanah seperti jatuhnya bebatuan atau gumpalan besar tanah. Meskipun penyebab utama kejadian ini adalah gravitasi yang mempengaruhi suatu lereng yang curam, namun ada pula faktor-faktor lainnya yang turut berpengaruh : (1) erosi yang disebabkan aliran air yang menciptakan lereng-lereng yang terlalu curam, (2) lereng dari bebatuan dan tanah diperlemah melalui saturasi yang diakibatkan hujan lebat, (3) gempa bumi menyebabkan tekanan yang mengakibatkan longsornya lereng-lereng yang lemah, getaran dari mesin, lalu lintas, (4) perusakan hutan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat. Akibat pertumbuhan penduduk yang menuntut terjadinya perluasan wilayah.

Tanah longsor adalah suatu peristiwa alam yang pada saat ini frekuensi kejadiannya

semakin meningkat seiring meningkatnya laju perusakan hutan. Selain itu, intensitas curah hujan

yang tinggi dan kejadian gempa yang sering muncul, secara alami akan dapat memicu terjadinya

tanah longsor (Suranto, 2008).  Fenomena tanah longsor akan berubah menjadi bencana alam

tanah longsor manakala menimbulkan korban baik berupa korban jiwa maupun harta benda

Page 13: Relasi Antara Sustainable Development

manusia. Jadi bencana tanah longsor merupakan peristiwa bergeraknya massa tanah dalam

volume relatif besar yang menimbulkan korban baik harta maupun jiwa manusia.

Relasi Manusia dan Alam

Rambo (1981) menggambarkan hubungan antara manusia dan lingkungan dalam bentuk

hubungan fungsional yang kemudian dikenalkan sebagai pendekatan sosio-biofisik. Hubungan

fungsional tersebut dapat digambarkan dalam bentuk hubungan interaksi dan interdependensi

antara sistam alam (natural system) dan sistem sosial (social system). Kedua sistem tersebut di

alam bertumpang-tindih karena setiap dinamika dalam sistem sosial akan mempengaruhi dan

juga dipengaruhi oleh sostem alamnya.

Otto Soemarwoto (1979) mengemukakan bahwa di dalam hubungan fungsional antara

lingkungan alam dan lingkungan manusia terdapat dua aliran yaitu : (1) aliran imanen ; manusia

dalam lingkungan sosial digambarkan terpisah dari lingkungan alamnya (biofisik), manusia

merasa terlepas dari sistem alamnya karena merasa mempunyai kemampuan untuk

menguasainya; dan (2) aliran transenden, manusia dengan sistem sosialnya membentuk satu

kesatuan, merupakan bagian integral dari sistem alamnya; mansia secara arif bijaksana merasa

mempunyai kepentingan yang sama dengan lingkungan hidupnya.

Selanjutnya Totok Gunawan (1983) mengemukakan bahwa Cliffort Gertz (1979) melihat

perkembangan kebudayaan manusia dari cara dan strategi manusia dalam menghadapi kondisi

dan situasi lingkungan alamnya dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu: (1) pendekatan

deterministic; disini dalam menghadapi lungkungan alam sekitar, kebudayaan manusia masih

dipengaruhi dan  ditentukan atau tergantung kepada kondisi lingkungan alamnya dan (2)

pendekatan posibilisme, mansia dengan peningkatan kebudayaannya mampu melakukan seleksi

dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan alam yang dihadapi, disesuaikan dengan kehendaknya.

Kelemahan pendekatan pertama kebudayaan lambat untuk bekembang, sedang kelemahan

pendekatan kedua keserakahan manusia dapat menyebabkan terjadinya tekanan-tekanan terhadap

ekosistem yang menjurus kepada degradasi kualitas lingkungan.

Adaptasi Kultural terhadap Kondisi Lingkungan

Page 14: Relasi Antara Sustainable Development

Banyak pendapat dan pendekatan tentang adaptasi. Diantaranya: Pendekatan

Deterministik (Semple et al), Pendekatan Posibilistik (Kroeber et al), Pendekatan Cultural

Ecology (Stewart, Geerzt et al), dan Pendekatan Ekosistem (Rappaport et al). Tapi pada dasarnya

adaptasi adalah usaha dari makhluk hidup (terutama manusia) untuk bereaksi terhadap keadaan

luar/lingkungan yang berubah, termasuk intervensi, gangguan dan ancaman. Hal ini sesuai

dengan konsep homeoesthasis yang dikemukakan oleh Eugene P.Odum: "Homeoesthasis adalah

suatu sistim biologis untuk tetap bertahan terhadap adanya perubahan dan untuk tetap berada

dalam keseimbangan dinamis (state of equilibrium) dengan sekitarnya." (Odum, 1996).

Adaptasi dalam ekologi juga sejalan dengan konsep-konsep tersebut. Terry Rambo

mengemukakan bahwa manusia akan melakukan strategi yang sesuai dengan pengetahuan

budayanya untuk menghadapi perubahan. Manusia yang mempunyai strategi yang tepat akan

berhasil, yang tidak mempunyai strategi yang tepat akan gagal dan mati (process of natural

selection) (Rambo, 1983).

Adaptasi dapat dikelompokkan sebagai berikut :

1.   Adaptasi Fisiologis : Berhubungan dengan sistim metabolisme, seperti juga seseorang yang

tinggal di dataran rendah harus tinggal di dataran yang sangat tinggi (Pegunungan Himalaya).

Orang tersebut harus menyesuaikan suhu, tekanan udara dan kadar oksigen yang lebih tipis untuk

bisa bertahan hidup.

2.   Adaptasi Morfologis : Berhubungan dengan struktur tubuh. Misalnya orang Eskimo pendek dan

kekar karena tinggal didaerah Artik, dan orang Afrika tinggi dan langsing karena tinggal di udara

panas.(Soemarwoto, 1985).

3.  Adaptasi Kultural : Berhubungan dengan teknologi, yang disesuaikan dengan keadaan sekitar.

Jadi adaptasi masyarakat terasing terhadap pembangunan banyak berhubungan dengan Cultural

Adaptation, bukan pada fisiologis dan morfologis. Adaptasi sosial-budaya tentunya tak dapat

dilakukan secara tiba-tiba, melainkan dilakukan secara bertahap. Pada tahap pertama akan terjadi

adaptasi karena perubahan teknologi (yang termudah), perilaku, pendidikan, kegiatan

bermasyarakat, rumah tangga, agama dan kepercayaan. Cohen (1974) menyebutkan bahwa

adaptasi dapat diterangkan dalam empat tahap:

      Tahap pertama adalah adaptasi yang paling mudah dengan perubahan habitat: perubahan

teknologi dan organisasi yang didapat dari hubungan-hubungan sosial/bermasyarakat/pergaulan.

Page 15: Relasi Antara Sustainable Development

       Tahap kedua adalah terhadap bentuk hunian, rumah tangga, organisasi politik, dan kekerabatan.

       Tahap ketiga adalah dalam agama dan kepercayaan.

      Tahap keempat adalah yang paling sulit karena ini merupakan persepsi subyektif terhadap habitat,

lingkungan, nilai-nilai/norma-norma yang berhubungan dengan mata pencaharian, pemeliharaan

anak, taboo (pantangan), incest (hubungan sedarah), ritual-ritual/upacara-upacara, termasuk

musik dan tarian (kebudayaan).

Adaptasi lingkungan dalam tulisan ini ditekankan pada proses bagaimana seorang individu

melakukan pengambilan keputusan untuk mengadakan pilihan-pilihan interaksi dengan

lingkungan hidupnya. Bennet dalam bukunya “The Ecological Transition, Cultural

Anthropology and Human Adaption, mengatakan bahwa adaptasi adalah tingkah laku adaptasi

yang menunjuk pada tindakan. Adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari tindakan yang

diulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap lingkungan. Adaptasi adalah “refers

to the coping mechanism that humans displays in obtaining their wants or adjusting their lives to

the surroundings milieu to their lives and puposes” (Bennet, 1976 : 274).

Pendekatan antropologi terhadap respon perilaku individu dan organisasi terhadap

bencana memiliki kajian utama mengenai upaya masyarakat dalam mengantisipasi kemungkinan

buruk dari bencana. Dalam kajian ini kebudayaan dilihat sebagai sistem adaptif yang

memfasilitasi masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya bencana. Perkembangan sistem religi,

sistem pengetahuan dan teknologi, mata pencaharian dan organisasi sosial dilihat sebagai upaya

penyesuaian manusia terhadap kondisi lingkungannya, termasuk di dalamnya melalui persepsi

masyarakat mengenai potensi bencana dalam lingkungan tersebut (Oliver & Smith, 1996). 

Persepsi merupakan tanggapan atau pengertian yang terbentuk langsung dari suatu peristiwa

atau pembicaraan tapi dapat juga pengertian-pengertian yang terbentuk lewat proses yang diperoleh

melalui pancaindera. Persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau proses kognitif dari seseorang

terhadap lingkungannya yang dipergunakan untuk menafsirkan dan memahami dunia yang ada

disekitarnya (Winarso, 2002, dalam Suranto, 2008). Jadi persepsi mencakup penafsiran objek atau

tanda dari sudut pandang individu yang bersangkutan dan persepsi dapat mempengaruhi perilaku dan

pembentukan sikap. Lebih lanjut dijelaskan bahwa persepsi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor

antara lain: situasi, kebutuhan dan keinginan begitu juga keadaan emosi.

Page 16: Relasi Antara Sustainable Development

            Sebagai suatu hasil akal budi, persepsi merupakan bagian kehidupan sesorang yang

dipengaruhi kebudayaan milik suatu masyarakat. Artinya persepsi dipengaruhi kebudayaan

setempat. Dalam teori determinis lingkungannya, Marvin Harris (1979) menunjukkan bahwa

alasan-alasan materialismelah yang mendasari berkembangnya sebuah budaya di masyarakat.

Harris mengungkapkan adanya watak budaya yang dapat menerangkan bagaimana sebuah

masyarakat berevolusi dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan. Watak budaya tersebut

merupakan cara pandang masyarakat terhadap dunia sekitarnya, yang dengan kata lain bisa

dikatakan sebagai persepsi terhadap lingkungan.

Sistem pengetahuan masyarakat, watak budaya, persepsi dan sistem keyakinan disebut

Harris masuk dalam kategori suprastruktur. Oleh karena itu, berbagai pengetahuan lokal yang

mentradisi pada berbagai kebudayaan merupakan produk dari interaksi masyarakat dan

lingkungan tempat tinggalnya.  Terkait dengan hal tersebut persepsi masyarakat di berbagai

daerah mengenai bencana sangat bervariasi tergantung perkembangan kebudayaan di tengah

masyarakat di suatu daerah. Kemunculan berbagai pandangan tersebut dipengaruhi aspek-aspek

kepercayaan, adat istiadat serta riwayat sejarah masyarakat setempat. Berbagai pandangan yang

bervariasi tersebut melahirkan definisi yang berbeda di berbagai kebudayaan dan bahasa yang

berbeda. Pada akhirnya hal ini akan membedakan bentuk respons masyarakat terhadap bencana

tersebut (Putra, 2010).

Ada dua pengertian persepsi manusia terhadap lingkungannya (environment perception).

Pertama adalah proses manusia memperoleh pengetahuan lingkungan (objective environment)

melalui rangsangan-rangsangan yang diterimanya. Kedua tanggapan manusia terhadap

lingkungan (image of the environment) yang terdapat dalam pikirannya. Proses manusia

memperoleh pengetahuan lingkungan ditentukan oleh pandangan yang sifatnya individual

terhadap lingkungan, sesuai dengan kebudayaan yang dianutnya. Sebaliknya pandangan hidup,

motivasi ekonomi dan tradisi yang dianut masing-masing individu merupakan pertimbangan

yang menentukan bagaimana eksistensi kebudayaan itu mampu melakukan seleksi atau

menyaring rangsangan dari luar (objective environment). Dalam hal ini kebudayaan lebih bersifat

menyaring rangsangan-rangsangan dari lingkungannya. Hal ini kemudian dipelajari manusia

yang memungkingkan kebudayaan itu membentuk respon terhadap lingkungan yang lebih

bersifat kultural dan kemudian disosialisasikan kepada individu warga masyarakat yang lain,

akhirnya menjadi pola perilaku yang diterima dan diakui oleh masyarakat. (Ahimsa, 1994).

Page 17: Relasi Antara Sustainable Development

Menurut Mulyadi (2010) persepsi masyarakat Indonesia mengenai bencana terbagi atas dua

sisi yang berbeda. Sisi pertama disebut sebagai pandangan agamawi  yang melihat kepercayaan

masyarakat mengenai terjadinya suatu bencana alam lebih sering dipandang sebagai sesuatu

peristiwa yang disebabkan oleh ulah manusia yang melanggar tabu atau sering berbuat dosa. Sang

Pencipta atau kekuatan di luar manusia lah penyebab segala sesuatu bencana di muka bumi ini.

Berdasarkan pandangan tersebut, sikap manusia menjadi pasrah menghadapi resiko bencana yang

akan menimpa mereka.

Sisi kedua disebut Mulyadi sebagai pandangan duniawi yang melihat bencana alam

disebabkan oleh kesalahan yang dilakukan oleh manusia. Artinya, manusialah penyebab dari segala

bencana alam yang terjadi. Hal itu disebabkan oleh kelalaian manusia dalam menjaga kelestarian,

keseimbangan alam atau merusak alam secara tanpa sadar, sengaja, atau bahkan terstruktur. Bukan

“kutukan” atau cobaan sang Pencipta, tetapi manusia sendiri lah penyebabnya. Sesuatu yang dapat

diterangkan akal sehat yang dicari, bukan berdasarkan keyakinan atau sistem kepercayaan semata.

Mulyadi berpendapat bahwa pada saat ini masyarakat lebih cenderung pada pandangan

duniawi, yang terlihat dari berbagai upaya dalam mitigasi bencana berupa pengkajian, sosialisasi,

simulasi, pengembangan teknologi dan lainnya. Akan tetapi, unsur-unsur agamawi tidak sepenuhnya

hilang. Masih nampak hal-hal yang menandai unsur-unsur agamawi dalam melihat kasus bencana

alam. Bahkan dalam beberapa kasus pandangan masyarakat yang duniawi dan agamawi berjalan

beriringan.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kawasan kampung Cipicung Girang memiliki kerentanan dalam sistem alam berupa

rawan longsor dan kerentanan dalam sistem sosial berupa kepadatan pemukiman penduduk.

Relasi antara dua sistem yang mengandung kerentanan tersebut pada dasarnya bisa menghasilkan

suatu potensi bencana. Terkait dengan kondisi tersebut, masyarakat cipicung girang melakukan

adaptasi agar tidak terkena bencana tersebut. salah satunya adalah melalui adaptasi secara

kultural. Dalam adaptasi cultural masyarakat menyaring informasi yang mereka dapat dari alam

untuk mereka pelajari dan dijadikan pedoman dalam menyikapi kondisi rawan di lingkungannya.

Terkait dengan itu adaptasi kultural menghasilkan persepsi yang bersifat duniawi atau agamawi.

Dimana kedua persepsi tersebut pada akhirnya akan menentukan bagaimana tindakan masyarakat

dalam menghadapi potensi bencana longsor di sekitarnya. 

Page 18: Relasi Antara Sustainable Development

PEMBAHASAN

Potensi Bencana Longsor di Cipicung Girang

Dilihat dari kondisi fisik, derah Cipicung Girang sangat rentan terhadap bencana longsor.

Lereng perbukitan di sebelah Barat dan Timur yang menjadi lokasi hunian penduduk memiliki

kemiringan antara 45-80 derajat. Kemiringan sebesar itu sangat rawan terjadinya pergerakan

tanah. Tidak tersedianya cukup banyak pepohonan besar sebagai penahan membuat tanah lereng

semakin labil, jika terjadi hujan, air menggerus tanah dengan mudah sehingga menghasilkan

saluran-saluran air yang semakin lama semakin dalam. Selain itu banyaknya sampah yang

menumpuk di saluran air juga membuat semakin besar wilayah tebing yang tergerus air,

sehingga memancing terjadinya pergerakan tanah yang berujung longsor.

Potensi bencana tersebut bersifat laten, karena tanah longsor adalah suatu

peristiwa geologi yang terjadi karena pergerakan tanah yang disebabkan  gravitasi yang

mempengaruhi suatu lereng yang curam. Artinya, secara alami kejadian longsor sangat mungkin

terjadi pada lereng yang terjal. Selain itu, di Cipicung juga ditemukan penyebab longsor lainnya

seperti terjadi erosi yang disebabkan aliran air yang menciptakan lereng-lereng yang terlalu

curam, merapuhnya lereng dari bebatuan dan tanah akibat saturasi yang diakibatkan hujan lebat,

adanya tekanan dari getaran dari mesin dan lalu lintas di jalan raya punclut, serta adanya

perusakan hutan dan pemanfaatan lahan yang tidak tepat akibat pertumbuhan penduduk yang

menuntut terjadinya perluasan wilayah. Sejarah desa juga menunjukkan intesitas longsor yang

sering terjadi. Bahkan untuk saat ini daerah Cipicung Girang memiliki setidaknya empat titik

rawan terjadi longsor. Dalam kasus ini, daerah terjal yang dihuni ratusan rumah penduduk akan

sangat mungkin mengundang terjadinya bencana longsor.

Masalahnya, pertumbuhan penduduk di Cipicung Girang tidak di ikuti perkembangan

wilayah hunian karena lahan warga telah dibatasi tanah PT DAM dan tanah pemerintah. Hal

tersebut akhirnya meyebabkan terjadinya pembangunan rumah yang menumpuk di lereng terjal

bagian Timur dan Barat. Berdasarkan sejarah kampung pada awalnya masyarakat Cipicung

Page 19: Relasi Antara Sustainable Development

menghuni daerah lembah yang agak landai. Akan tetapi karena pertumbuhan penduduk,

pembangunan rumah terus dilakukan hingga mencapai perbukitan.

Masyarakat Cipicung yang membangun rumah di lereng perbukitan tentu beresiko

menjadi korban dari kerentanan fisik lingkungannya tersebut.  Harta benda dan jiwa mereka

terancam oleh dinding perbukitan yang tidak dapat diprediksi kapan akan runtuhnya.

Berdasarkan kemungkinan tersebut, daerah Cipicung Girang memiliki potensi bencana bagi

masyarakatnya. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa dalam sistem alam lingkungan Cipicung

Girang, terdapat unsur kerentanan berupa potensi terjadinya peristiwa longsor, sementara itu

dalam sistem sosial juga terkandung kerentanan berupa kepadatan pemukiman penduduk.

Pertemuan dua kerentanan tersebut berdasarkan teori akan mengakibatkan terjadinya bencana. 

Namun saat ini, bencana itu baru potensi, karena belum benar-benar menjadi bencana.

pendapat itu dinyatakan berdasarkan definisi Asian Disaster Preparedness Center (ADPC) yang

cukup jelas menunjukkan tiga point utama dari ciri bencana. Ciri pertama bencana adalah

terjadinya peristiwa atau gangguan yang mengancam dan merusak (hazard), hal ini memang

terjadi di Cipicung Girang, yakni seperti kejadian longsor yang sering terjadi.

Ciri kedua dan ketiga adalah terjadinya peristiwa atau gangguan tersebut mengancam

kehidupan, penghidupan, dan fungsi dari masyarakat, ancaman tersebut mengakibatkan korban

dan melampaui kemampuan masyarakat untuk mengatasi dengan sumber daya mereka. Dilihat

dari besaran pengaruhnya, kejadian-kejadian longsor di Cipicung Girang belum mencapai skala

sebesar ciri kedua dan ketiga tadi. Oleh karena itulah, longsor belum menjadi bencana bagi

masyarakat Cipicung Girang, tapi sudah tentu berpotensi menghasilkan bencana juga.

Adaptasi Kultural Masyarakat Cipicung Girang

Wilayah perbukitan terjal memiliki potensi terjadinya tanah longsor. Tanah longsor

tersebut bisa menjadi bencana apabila mendatangkan kerugian. Sebagai suatu peristiwa yang

mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, longsor bisa menjadi

bencana yang ditakuti oleh masyarakat. Sewajarnya masyarakat yang berada di wilayah rawan

bencana longsor memiliki pemahaman yang baik akan upaya pengurangan risiko bencana

longsor bagi mereka. Setidaknya masyarakat tidak membangun pemukimannya di daerah yang

rawan tersebut. Akan tetapi tidak demikian yang terjadi di kampung Cipicung Girang yang

Page 20: Relasi Antara Sustainable Development

tinggal di wilayah perbukitan Kawasan Bandung Utara. Meski diketahui memiliki potensi 

bencana longsor, wilayah Cipicung Girang saat ini semakin padat dihuni penduduk.

Kemungkinan bencana ternyata tidak membuat takut masyarakat Cipicung Girang.

Persepsi adalah suatu proses pemberian arti atau proses kognitif dari seseorang terhadap

lingkungannya yang dipergunakan untuk menafsirkan dan memahami dunia yang ada disekitarnya

(Winarso, 2002). Persepsi mencakup penafsiran objek atau tanda dari sudut pandang individu yang

bersangkutan dan persepsi dapat mempengaruhi perilaku dan pembentukan sikap. Terkait dengan

pendapat tersebut, masyarakat Cipicung Girang tentunya memiliki suatu persepsi terhadap

lingkungannya, terutama pada potensi longsor. Dalam bayangan masyarakat Cipicung Girang,

rupanya konsep bencana merujuk pada kejadian yang bersifat mengancam keselamatan hidup

mereka, dan longsor adalah salah satunya. Sebagian besar informan sadar bahwa kejadian

longsor memiliki potensi menjadi bencana.

Setelah mengetahui konsep mereka tentang potensi bencana longsor, perlu dilihat seperti

apakah mereka memandang penyebab bencana tersebut. Hasil penelitian menunjukkan, di satu

sisi, secara keyakinan, masyarakat Cipicung Girang melihat bencana terjadi akibat

ketidakbersyukuran mereka terhadap nikmat dari Tuhan. Sementara di sisi lain masyarakat

Cipicung menilai wilayah mereka rentan terhadap longsor, karena tidak tersedianya infrastuktur

saluran air hujan yang baik ditambah pembangunan rumah yang menumpuk hingga ke bagian

atas bukit.

Melalui pendekatan antropologi ekologi, respon perilaku individu dan organisasi terhadap

bencana sesungguhnya dapat dilihat dipengaruhi kebudayaan masyarakat tersebut. Dalam

pendekatan ini kebudayaan dilihat sebagai sistem adaptif yang memfasilitasi masyarakat dalam

mengantisipasi terjadinya bencana. Perkembangan sistem religi, sistem pengetahuan dan

teknologi, mata pencaharian dan organisasi sosial dilihat sebagai upaya penyesuaian manusia

terhadap kondisi lingkungannya, termasuk di dalamnya melalui persepsi masyarakat mengenai

potensi bencana dalam lingkungan tersebut

Persoalan tersebut kemudian dapat menunjukkan apa yang disebut Rambo sebagai relasi

antara sistem sosial dan sistem alam. Dimana dalam berhadapan dengan kondisi lingkungannya,

masyarakat Cipicung kemudian mengembangkan sistem sosial yang diupayakan adaptif untuk

mengatasi masalah lingkungannya. Hal tersebut dapat dikategorikan dalam suatu adaptasi

kebudayaan yang dilihat Cohen memiliki empat tahapan, yakani : Tahap pertama adalah

Page 21: Relasi Antara Sustainable Development

adaptasi yang paling mudah dengan perubahan habitat: perubahan teknologi dan organisasi yang

didapat dari hubungan-hubungan sosial/bermasyarakat/pergaulan. Tahap kedua adalah terhadap

bentuk hunian, rumah tangga, organisasi politik, dan kekerabatan. Tahap ketiga adalah dalam

agama dan kepercayaan. Tahap keempat adalah yang paling sulit karena ini merupakan persepsi

subyektif terhadap habitat, lingkungan, dan nilai-nilai/norma-norma.

Dalam pendekatan ini persepsi merupakan salah satu bentuk produk budaya hasil

interaksi masyarakat Cipicung dengan lingkungannya. Pengalaman panjang mereka dalam

berinteraksi dengan lingkungan telah mengajarkan mereka sejauhmana kemungkinan potensi

bencana tersebut terhadap keamanan hidup mereka. Jika dilihat dari sudut pandang persepsi,

pandangan duniawi dan pandangan agamawi memiliki peluang yang sama dianut oleh

masyarakat Cipicung Girang.

Pandangan duniawi melihat pendekatan kebudayaan adaptif mestinya berjalan disini.

Pandangan duniawi memungkinkan masyarakat Cipicung telah memahami kondisi wilayah

mereka dengan baik, sehingga mereka telah mengerti dan mampu beradaptasi dengan kondisi

rawan di lingkungan hidupnya tersebut, sehingga mereka tidak takut lagi dan bisa bertahan di

sana. Dari sudut pandang ini kita melihat masyarakat mempelajari dan memiliki pengetahuan

tentang potensi bencana tersebut. tidak hanya itu, pengetahuan tersebut juga mempengaruhi cara

hidup mereka, seperti dalam pemanfaatan lahan, pola pemukiman, aktivitas di lingkungan dan

sebagainya. Dengan demikian, masyarakat diasumsikan memiliki pengetahuan antisipatif

terhadap bencana yang terwujud dalam aktivitas keseharian seperti mencari pemukiman yang

relatif aman, tidak merusak lingkungan dan bijaksana dalam pemanfaatan lahan.

Terkait dengan itu, pandangan duniawi dan agamawi tersebut sesunggunhya

menunjukkan apa yang disebut Gertz sebagai pendekatan posibilisme dan deterministic, serta

konsepsi Soemarwoto tentang aliran imanen dan transenden dalam hubungan fungsional manusia

dengan alam. Pandangan duniawi masuk dalam kategori pendekatan posibilisme atau aliran

imanen, yang melihat manusia dalam lingkungan sosial digambarkan terpisah dari lingkungan

alamnya (biofisik), manusia merasa terlepas dari sistem alamnya karena merasa mempunyai

kemampuan untuk menguasainya, karena itu dengan peningkatan kebudayaannya mampu

melakukan seleksi dan adaptasi terhadap kondisi lingkungan alam yang dihadapi, disesuaikan

dengan kehendaknya.

Page 22: Relasi Antara Sustainable Development

Sementara itu  pandangan agamawi sendiri masuk dalam pendekatan deterministic atau

aliran transenden, yang melihat manusia dengan sistem sosialnya membentuk satu kesatuan,

merupakan bagian integral dari sistem alamnya; manusia secara arif bijaksana merasa

mempunyai kepentingan yang sama dengan lingkungan hidupnya. Dalam menghadapi

lingkungan alam sekitar, kebudayaan manusia masih dipengaruhi dan  ditentukan atau tergantung

kepada kondisi lingkungan alamnya.

Tindakan yang dihasilkan dari adaptasi Masyarakat Cipicung Girang terhadap Potensi

bencana Longsor

Relasi fungsional antara masyarakat cipicung girang dan lingkungannya telah berjalan

sejak lama, mengingat sejarah kampung cipicung girang yang sudah berdiri lebih dari seabad

silam. Dalam relasi tersebut, kondisi-kondisi lingkungan kemudian akan mempengaruhi sistem

pengetahuan masyarakat akan strategi mereka untuk hidup di wilayah tersebut. Salah satunya

terkait dengan kondisi lingkungan yang rawan longsor, masyarakat cipicung beradaptasi dengan

berbagai cara dan termasuk di dalamnya juga melakukan adaptasi secara kultural.

Dari hasil penelitian ditemukan adanya adaptasi kultural yang mengacu pada pandangan

agamawi dan duniawi yang ditunjukkan masyarakat. Dalam pandangan agamawi, masyarakat

memiliki semacam kepercayaan bahwa untuk menjaga keselamatan kampung dari marabahaya,

nenek moyang mereka mengajarkan untuk melakukan ritual pengorbanan hewan. Hal tersebut

masih mereka jalankan sampai sekarang. Namun ritual ini mengalami kemunduran karena faktor

mahalnya biaya yang akan dikeluarkan. Dalam hal ini dapat dilihat adanya pergeseran nilai

akibat perubahan kondisi perekonomian masyarakat. Pergeseran nilai ini tentunya akan

menurunkan tingkat keyakinan masyarakat akan ritual tersebut.

Sementara itu dalam pandangan duniawi, masyarakat Cipicung Girang mengembangkan

mekanisme antisipatif dan sistem gawat darurat bencana secara mandiri. Masyarakat melakukan

upaya pembersihan saluran air, karena mereka memiliki pengetahuan bahwa kerusakan saluran

air sebagai penyebab utama longsor. Menurut mereka, saluran air yang rusak akan membuat

tebing-tebing terkena erosi sehingga memicu terjadinya gerakan tanah yang berujung longsor.

Kemudian masyarakat selalu siap siaga jika terjadi longsor. Mereka akan segera memperbaiki

kerusakan-kerusakan yang terjadi akibat longsor karena mereka takut jika dibiarkan akan

Page 23: Relasi Antara Sustainable Development

memancing longsor yang lebih besar. Karena mekanisme antisipatif dan sistem tanggap darurat

bencana ini telah banyak memberikan manfaat, hingga saat ini masyarakat Cipicung Girang

mempertahankan keberlanjutannya melalui kerja bakti di setiap RT. 

Berdasarkan perilaku dan tindakan di atas, dapat dilihat bahwa masyarakat Cipicung

masih memegang pandangan agamawi meski hanya sebatas keyakinan, namun mereka lebih

mengutamakan pandangan duniawi dalam menghadapi potensi bencana di sekitar mereka. Jadi

sejalan dengan pendapat Mulyadi, pada masyarakat Cipicung Girang saat ini lebih dominan

pandangan duniawi yang membuat mereka mengembangkan sistem adaptif terhadap potensi

bencana longsor. Mereka mengembangkannya sebagai produk dari interaksi mereka dan

lingkungan, dan itulah apa yang disebut Harris sebagai kebudayaan.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, kajian terhadap persepsi masyarakat

Kampung Cipicung Girang terhadap potensi bencana longsor dapat disimpulkan dalam beberapa

point, yakni ;

1.  Potensi bencana longsor di Kampung Cipicung Girang bersifat laten, karena lingkungan

pemukiman masyarakat ada disekitar lingkungan fisik yang rentan berupa lereng perbukitan

yang terjal.

2.   Lingkungan pemukiman masyarakat Cipicung menjadi padat karena faktor pertumbuhan

penduduk tidak didukung dengan pengembangan wilayah. Artinya jumlah penduduk meningkat

akan tetapi jumlah lahan tetap.

3.   Dalam menyikapi potensi bencana longsor yang ada di sekitarnya, masyarakat Cipicung Girang

dominan menganut pandangan duniawi dengan mengembangkan sistem adaptif berupa

mekanisme antisipatif dan sistem tanggap darurat bencana. Sementara itu pandangan agamawi

semakin melemah, karena ritual sebagai salah satu aktivitasnya dinilai masyarakat akan

mengeluarkan banyak biaya sehingga tidak efektif dan efesien.

Page 24: Relasi Antara Sustainable Development

4.   Sistem adaptif yang dikembangkan merupakan respon masyarakat terhadap kondisi

lingkungannya. sistem adaptif menjadi suatu produk dari interaksi masyarakat Cipicung Girang

dan lingkungannya.

SARAN

Saran untuk masalah penelitian

     Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, sumbangan pemikiran peneliti dalam menanggapi

masalah penelitian ini adalah menyarankan agar masyarakat Cipicung Girang perlu lebih peduli

dan memahami wilayah tempat tinggal mereka agar semakin mampu mengantisipasi

kemungkinan terjadinya bencana. Kemudian masyarakat perlu lebih meningkatkan sistem

adaptifnya yang berupa mekanisme antisipatif dan sistem tanggap darurat bencana tersebut.

sistem adaptif tersebut perlu dikembangkan ke seluruh masyarakat agar mengundang partisipasi

masyarakat yang lebih besar. Selain itu penting juga memberikan pendidikan akan sistem adaptif

tersebut kepada anak-anak, karena merekalah yang nantinya akan  meneruskan estafet kehidupan

para orang tuanya.

Saran untuk penelitian selanjutnya

   Dalam penelitian ini, peneliti tidak sampai mengkaji bagaimana permasalahan tekanan

penduduk dan keterbatasan wilayah yang menjadi sebab utama kepadatan kampung Cipicung

Girang, dimana kepadatan tersebut memberikan kerentanan pada masyarakat terhadap potensi

bencana longsor dari lingkungannya. Oleh karena itu, peneliti menyerankan penelitian

selanjutnya bisa mengkaji persoalan tersebut, agar bisa lebih menjelaskan mengapa masyarakat

Cipicung harus terkungkung di wilayah rawan bencana tersebut.

  

Daftar Pustaka

Abarquez, I. and Murshed, Z. (2004). Community Based Disaster Risk             Management: Field Practitioner’s Handbook. Bangkok : ADPC.

Ahimsa, H.S.P.(1994). Antropologi Ekologi. Beberapa Teori dan             Perkembangannya dalam Masyarakat Indonesia, XX (4), p: 1-44.

Page 25: Relasi Antara Sustainable Development

Arce, Wilfredo F. (2001). Systematic Qualitative Data Research :             An Introduction for Filipino Practitioners. Manila : Ateneo             de Manila University.

  Babbie, Earl. (2001). The Practice Social Research. USA : Wadsworth.

Bannet, J.W. (1978). The Ecological Transition: Cultural and         Human Adaptation. New York: Pergamnon, 9 : 45-73.

Bell, A.P.(1980). Environmental Phsycology. Philadelpia : W.B. Sanders Co.

BKNPB.(2006). Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana          Tahun 2006-2009. Jakarta : Perum Percetakan Negara RI.

Cohen, A.Y. (1974). "Man in Adaptation, The Cultural Present".        Chicago: Aldine Publishing Company.

Creswell, John W.(1998). Qualitative Inquiry and Research Design:          Choosing Among Five Tradition. London: SAGE Publications.

Geertz, Clifford C.(1979). Involusi Pertanian: Proses perubahan           ekologi di Indonesia. Terj. Jakarta : Bhratara.

Gunawan, Totok. (1983). Analisis Ekologi dalam Kajian Geografi.           Seminar peningkatan relevansi metode pendidikan.           Fakultas Geografi, UGM.

Hagget, P. (1993). Geography, A Modern Synthesis. Revised Third Edition.            Harper & Row Publisher, New York.

Harris, Marvin. (1979). Cultural Materialism : The Struggle for a science of           Culture. New York: Random House.

Herawati, Erna.(2010). Proses Pengembangan Masyarakat. Materi Perkuliahan Pengembangan Masyarakat. Jurusan Antropologi Fisip Unpad. Tidak Diterbitkan.

Mulyadi, R Muhammad. (2010). Lumpur Lapindo: Melihat Bencana Alam             dalam Bingkai Budaya?. Artikel lepas. Tidak diterbitkan.

Odum, Eugene P. (1996). "Dasar-Dasar Ekologi", (Terjemahan            Ir.Tjahjono Samingan, Msc, FMIPA-IPB, Bogor). Yogyakarta :           Gajah Mada University Press.

Oliver, Anthony & Smith. (1996). Anthropological Research on Hazard and Disasters. Annual Review of Anthropology, Vol. 25. 303-328.

Page 26: Relasi Antara Sustainable Development

Putra, Ardian Perdana. (2010). Paper Paradigma Seputar Bencana :             Evolusi Cara Pandang Terhadap Bencana. (http://ardee.web.id/blog)

Rambo, Terry A. (1981)."Conceptual Approaches to Human Ecology:          A Sourcebook on Alternative Paradigms for the Study of Human          Interactions with the Environment. Honolulu: East-West          Environment and Policy Institute.

Rambo, Terry A.(1983). Conceptual Approaches to Human Ecology            Eas-West Centre. Honolulu: East-West Environment and Policy            Institute.

Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2007 Tentang Penanggulangan Bencana.

Soemarwoto, Otto. (1979). Pendekatan Ekosistem Terhadap Masalah Waduk.            Dalam Prisma tahun VII, No.6.

Soemarwoto,Otto. (1985)."Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan".            Jakarta : Jembatan,.

Suranto, Joko Purwoko. 2008. Kajian Pemanfaatan Lahan pada Daerah             Rawan Bencana Tanah Longsor di Gununglurah, Cilongok, Banyumas.             Tesis Program Pascasarjana Magister Teknik Pembangunan Wilayah             dan Kota Universitas Diponegoro Semarang. Tidak diterbitkan.

Yin, Robert K. (2006). Studi Kasus : Desain & Metode. Jakarta: Raja            GrafindoPersada .