BAB 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Utara Cekungan Jawa Timur Utara membentang dari barat ke timur mulai dari Semarang hingga Surabaya sepanjang 250 km dengan lebar 60 - 70 km. Secara geografis terletak antara 110 o 30’ BT hingga 113 o 30’ BT dan 6 o 00’ LS hingga 7 o 30’ LS (Koesoemadinata dkk., 1994) (Gambar 3.1). Pada bagian utara cekungan dibatasi oleh Tinggian Meratus dari tenggara Kalimantan, bagian selatan dibatasi Sabuk Vulkanik Pegunungan Selatan Jawa (magmatic arc), sebelah barat dan baratdaya dibatasi oleh Busur Karimunjawa dan Paparan Sunda stabil dan di bagian timur cekungan dibatasi oleh Tinggian Masalembo-Doang. Cekungan Jawa Timur Utara ke arah utara berubah secara berangsur menjadi Cekungan Laut Jawa Utara, ke arah barat berhubungan dengan Cekungan Jawa Barat, di sebelah selatan menerus hingga Cekungan Kendeng dan berlanjut ke timur meliputi Pulau Madura (Djuhaeni, 1997). 13
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
BAB 3
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 Geologi Regional Cekungan Jawa Timur Utara
Cekungan Jawa Timur Utara membentang dari barat ke timur mulai dari
Semarang hingga Surabaya sepanjang 250 km dengan lebar 60 - 70 km. Secara
geografis terletak antara 110o30’ BT hingga 113o30’ BT dan 6o00’ LS hingga 7o30’
LS (Koesoemadinata dkk., 1994) (Gambar 3.1). Pada bagian utara cekungan dibatasi
oleh Tinggian Meratus dari tenggara Kalimantan, bagian selatan dibatasi Sabuk
Vulkanik Pegunungan Selatan Jawa (magmatic arc), sebelah barat dan baratdaya
dibatasi oleh Busur Karimunjawa dan Paparan Sunda stabil dan di bagian timur
cekungan dibatasi oleh Tinggian Masalembo-Doang. Cekungan Jawa Timur Utara ke
arah utara berubah secara berangsur menjadi Cekungan Laut Jawa Utara, ke arah
barat berhubungan dengan Cekungan Jawa Barat, di sebelah selatan menerus hingga
Cekungan Kendeng dan berlanjut ke timur meliputi Pulau Madura (Djuhaeni, 1997).
Gambar 3.1 Cekungan Jawa Timur Utara (modifikasi Koesoemadinata dkk., 1994)
13
Di Cekungan Jawa Timur Utara terdapat tiga bentukan struktur penting,
yaitu : Northern Platform (Paparan Utara), Central High (Tinggian bagian Tengah),
dan Southern Basin (Cekungan Selatan), sepanjang sayap utara dari busur vulkanik
Jawa saat ini (Kusumastuti dkk., 1999) (Gambar 3.2). Daerah telitian (Cekungan
Jawa Timur Utara) secara regional termasuk cekungan belakang busur (back arc
basin) Tersier yang terletak di sepanjang sayap selatan dari Cekungan Jawa Timur
Utara diantara Central High dan Southern Basin. Sepanjang sejarah Tersier, sebagian
besar dari daerah telitian terletak memanjang dengan arah sumbu timur-barat dari
pusat pengendapan (depocenter) Cekungan Jawa Timur Utara. Paparan benua stabil
di Cekungan Jawa Timur terletak antara Kraton Sunda di bagian utara dan Busur
Vulkanik di bagian selatan. Bagian barat Cekungan Jawa Timur Utara dibedakan
menjadi dua sub cekungan dengan dua arah yang berbeda. Cekungan Pati dengan
arah timur laut – barat daya sedangkan sub cekungan Cepu dan Bojonegoro dengan
arah timur – barat.
Gambar 3.2 Elemen tektonik Cekungan Jawa Timur Utara (Kusumastuti dkk., 1999)
Cekungan Jawa Timur Utara terisi oleh sedimen Eosen hingga Resen dengan
ketebalan lebih dari 5000 meter yang terendapkan secara tidak selaras di atas batuan
beku dan metasedimen Pra-Tersier yang merupakan economic basement. Secara
14
umum Cekungan Jawa Timur dapat dibedakan menjadi beberapa Zona geologi yang
berbeda, berturut – turut dari selatan ke utara adalah Zona Kendeng, Depresi
Randublatung, Zona Rembang dan Paparan Laut Jawa (Pringgoprawiro, 1983).
Terdapat perbedaan yang menyolok perihal sifat litologi dari endapan – endapan
yang berada di Zona Kendeng, Zona Rembang dan Paparan Laut Jawa.
Sedimen – sedimen klastik Zona Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan
turbidit yang selalu mengandung batuan piroklastik dengan selingan batunapal,
batuan karbonat dan merupakan endapan laut dalam. Sedangkan pada Zona Rembang
pada umumnya merupakan endapan paparan, yang kaya akan karbonat dan pasir
serta hampir tidak ada endapan piroklastik. Jalur ini merupakan paparan yang
melandai ke selatan. Ciri litologi yang umum adalah batulempung, napal dan
batugamping. Endapan ini menunjukkan lingkungan pengendapan yang tidak jauh
dari pantai dimana dasar lautnya mempunyai kedalaman yang tidak seragam,
sehingga sering dijumpai perubahan fasies.
Batuan berumur Miosen dan Oligosen tersingkap di Pegunungan Selatan yang
terletak di sebelah selatan dari Busur Vulkanik, sedangkan batuan berumur Miosen
hingga Pleistosen tersingkap di Zona Kendeng dan Celah Tuban (utara Zona
Rembang) yang berada di sebelah utara dari Busur Vulkanik tersebut.
3.2 Kerangka Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara
Perkembangan tektonik yang berkembang di Cekungan belakang busur Jawa
Timur tidak bisa lepas dari aktifitas penunjaman Lempeng Australia di bawah
Lempeng benua Asia yang menghasilkan busur magmatik. Daerah Cekungan Jawa
Timur Utara secara umum dibedakan menjadi empat propinsi tektonik (Darman &
Sidi, 2000), dari utara ke selatan yaitu (Gambar 3.3) :
1. Paparan benua stabil (Zona Rembang) dan zona transisi (Zona Randublatung)
2. Cekungan laut dalam labil (Zona Kendeng)
3. Zona Vulkanik (Sabuk Vulkanik)
4. Paparan benua bagian selatan (Pegunungan Selatan)
15
Gambar 3.3 Pembagian Struktur Regional Cekungan Jawa Timur Utara.
(Latief et al, 1990 dalam Darman & Sidi, 2000)
3.2.1 Perkembangan Tektonik Cekungan Jawa Timur Utara
Cekungan Jawa Timur ini mengalami tiga tahapan tektonik yang dikenal
berpengaruh terhadap seri batuan Kenozoikum di Indonesia (van Bemmelen, 1949
dalam Djuhaeni, 1997). Sejarah tektonik diawali dengan tumbukan lempeng antara
Samudera Hindia dan Lempeng Sunda pada Kapur Akhir (Gambar 3.4). Kemudian
diikuti fase tektonik tarikan (extensional tectonic) yang terjadi pada interval Kapur
Atas – Eosen Tengah, menghasilkan sesar - sesar tarik yang membentuk sistem
tinggian (horst) dan rendahan (graben) dengan orientasi arah timur laut-baratdaya.
(Gambar 3.5).
Gambar 3.4 Tumbukan Lempeng Samudera Hindia dan Lempeng Sunda pada Kapur Akhir sebagai awal tektonik pada daerah telitian (Koesoemadinata dkk., 1994)
16
Fase tektonik berikutnya berupa fase tekanan terjadi pada Miosen Tengah
yang ditandai oleh peristiwa penting di dalam distribusi sedimen dan penyebaran
flora dan fauna, juga oleh hiatus di daerah Cepu (Baumann, 1975 dalam Djuhaeni,
1997) dan dicirikan oleh perubahan fase transgresi menjadi fase regresi di seluruh
Zona Rembang (Muin, 1985 dalam Djuhaeni, 1997) yang menyebabkan
ketidakselarasan secara regional. (Gambar 3.6).
Fase tektonik ketiga merupakan aktifitas tektonik terbesar yang bersifat
tekanan dan berulang beberapa kali mulai Mio-Pliosen sampai dengan Pleistosen,
dimana mengaktifkan kembali sistem struktur sebelumnya dengan mengakibatkan
inversi dari graben berupa sesar - sesar turun dan naik, disertai pengangkatan yang
mengakibatkan kenampakan seperti sekarang ini. (Gambar 3.6)
17
Gambar 3.5. Fase pertama berupa fase ekstensional pada Eosen – Oligosen. (Koesoemadinata dkk., 1994)
3.2.2 Tektono - fisiografi
Van Bemmelen (1949) membagi Jawa Timur kedalam tujuh satuan tektono -
fisiografi berturut - turut dari utara ke selatan sebagai berikut :
1. Dataran alluvial Jawa Utara
2. Antiklinorium Rembang - Madura - Cepu
3. Zona Randublatung dan perbukitan Dander, Pegat dan Ngimbang
4. Zona Kendeng
5. Dataran tengah Jawa Timur
6. Sabuk vulkanik
7. Zona Pegunungan Selatan
Selanjutnya Martodjojo (1978) membagi Jawa Timur kedalam lima aktifitas
sedimentasi berturut - turut dari utara ke selatan sebagai berikut :
1. Paparan kontinen stabil (Zona Rembang)
2. Zona transisi (Randublatung)
3. Cekungan laut dalam labil (Zona Kendeng)
4. Zona vulkanik (sabuk vulkanik)
5. Paparan kontinen selatan (Pegunungan Selatan)
Cekungan Jawa Timur Utara terdiri dari dua buah rangkaian pegunungan
yang berjalan hampir sejajar dengan arah barat-timur dan dipisahkan oleh suatu
depresi ditengahnya.
18
Gambar 3.6. Fase kedua berupa fase tekanan Miosen Tengah yang diikuti oleh fase ketiga fase tekanan (Mio–Pliosen) menyebabkan inversi dari graben (Koesoemadinata dkk.,1994)
Gambar 3.7. Tektono - fisiografi Cekungan Jawa Timur Utara (Musliki, 1991)
Berdasarkan karakteristik tektonik, stratigrafi, paleogeografi dan potensi
hidrokarbon, Cekungan Jawa Timur Utara dibagi kedalam tiga zona tektono-
fisiografi (Musliki, 1991) (Gambar 3.7), yaitu :
1. Zona Rembang
Zona ini membentang dari batas utara Jawa dan pada bagian barat dipisahkan
oleh Depresi Lusi dari Zona Randublatung. Zona ini dibentuk oleh Depresi
Kening yang berada di tengah dan Depresi Solo atau Kujung melengkung pada
bagian timur. Secara umum zona ini merupakan suatu perbukitan dengan
intensitas tektonik lebih tinggi pada Zona Randublatung tetapi lebih rendah
intensitasnya dibanding Zona Kendeng. Zona ini dicirikan oleh adanya
Antiklinorium Rembang berupa jalur antiklin yang saling bertampalan
(superimposed). Litologi dominan pada zona ini adalah pasir dan sedimen
karbonat dengan sisipan napal dan lempung. Litologi ini diperkirakan
terendapkan pada daerah paparan kontinen (continental shelf). Zona Rembang
memiliki kapasitas sedimen berbutir kasar lebih banyak dibandingkan sedimen
berbutir halus, dengan laju pengendapan lebih lambat dari laju penurunan
cekungan.
19
Sedimen – sedimen pada Zona Rembang, memperlihatkan batuan dengan
kadar pasirnya tinggi disamping adanya batuan karbonat serta tidak adanya
endapan piroklastika. Sedimen – sedimen zona ini diinterpretasikan diendapkan
pada laut yang tidak jauh dari pantai, dengan dasar lautnya tidak seragam dalam
hal kedalaman yang disebabkan adanya sesar – sesar bongkah (block faulting).
Sebagai akibatnya, dijumpai perubahan – perubahan fasies dijumpai di jalur ini.
Daerah lepas pantai Laut Jawa pada umumnya ditempati oleh endapan paparan
yang hampir seluruhnya terdiri dari endapan karbonat (Pringgoprawiro, 1983
dalam Ardhana, 1993).
2. Zona Randublatung
Meliputi perbukitan di daerah Blora, Cepu, Ngimbang dan Dander (van
Bemmelen, 1949) atau Zona Transisi (Martodjojo, 1978). Zona ini terdeformasi
lemah dan secara struktural lebih rendah dibandingkan Zona Kendeng dan Zona
Rembang. Antiklinorium Cepu dan tinggian lainnya seperti Pegat, Dander,
Ngimbang, dan Antiklin Grigis merupakan daerah yang terangkat, sebaliknya
Lusi, Kening dan Depresi Solo merupakan daerah rendahan. Litologi dominan
adalah napal dan lempung dengan sisipan pasir, kalkarenit dan sedimen
karbonat, sebagai reservoar penting yang diperkirakan terendapkan di atas
undulating continental slope. Zona ini memiliki kapasitas yang sama antara
sedimen berbutir halus dan kasar, dengan laju pengendapan rata - rata hampir
sama dengan laju penurunan cekungan.
3. Zona Kendeng
Berhubungan dengan Perbukitan Kendeng (van Bemmelen, 1949) atau
cekungan laut dalam labil (Martodjojo, 1978). Merupakan zona yang berbukit –
bukit, terbentuk akibat aktifitas tektonik yang sangat intesif sehingga
membentuk Antiklinorium Kendeng. Intensitas tektonik di Zona Kendeng
menurun dari arah barat ke timur. Sebaliknya, prospek hidrokarbon meningkat
dari arah barat ke timur. Zona Kendeng didominasi oleh sedimen klastik
gunungapi (volcano clastic) dan napal dengan sisipan lempung, pasir, dan
sedimen karbonat yang diperkirakan terendapkan pada cekungan laut dalam.
Sedimen berbutir halus lebih banyak dibandingkan dengan sedimen berbutir
20
kasar. Laju pengendapan sedimen lebih cepat dibandingkan laju penurunan
cekungan.
Zona Kendeng pada umumnya terisi oleh endapan turbidit yang selalu
mengandung batuan piroklastika dengan selingan napal serta batuan karbonat dan
merupakan endapan laut dalam. Pada umumnya sedimen - sedimennya terlipat kuat
dan tersesar sungkup ke arah utara.
3.3 Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Timur Utara di Daerah Zona
Rembang - Depresi Randublatung
Klasifikasi stratigrafi Cekungan Jawa Timur oleh Pringgoprawiro (1983)
(Gambar 3.8) dari tua ke muda :
1. Batuan pra-Tersier
Yang dimaksud dengan batuan pra-Tersier adalah semua batuan yang
berumur lebih tua dari Tersier dan yang letaknya mendasari batuan Kenozoikum dan
biasanya telah mengalami ubahan. Pada umumnya terdiri atas batuan ubahan yang
berderajat rendah, seperti batulumpur (mudstone), batulanau yang keras dengan urat -
urat kalsit atau pyrite, batusabak.
Batuan Tersier yang terdapat pada Zona Rembang selalu terletak secara tidak
selaras bersudut (angular unconformity) di bawah batuan Kenozoikum. Penentuan
umur belum dapat ditentukan secara pasti, meskipun demikian penentuan umur
secara radiometri telah dilakukan terhadap batuan pra-Tersier yaitu 100 juta tahun
atau Zaman Kapur.
2. Formasi Ngimbang
Bagian bawah formasi ini terdiri atas perulangan antara batupasir, serpih dan
batulanau dengan sisipan tipis batubara. Foraminifera besar maupun plankton yang
dapat dipakai sebagai penunjuk umur dapat dijumpai pada formasi ini menunjukkan
umur Eosen - Oligosen Awal (Roskamil,1979), terletak tidak selaras diatas batuan
yang berumur pra-Tersier. Litologi yang sebagian besar terdiri atas endapan
gamping, disamping banyaknya foraminifera besar yang diketemukan dan sedikitnya
golongan plankton, menunjukkan lingkungan laut dangkal, tidak jauh dari pantai
untuk bagian atas dari satuan ini. Bagian bawah dari formasi ini batuannya tersusun
21
oleh perulangan batupasir, serpih, dan lanau dengan sisipan tipis batubara, sedangkan
bagian atas dari formasi terdiri dari batugamping dengan sisipan - sisipan tipis serpih
gampingan dan napal. Batuan - batuan tersebut diendapkan pada lingkungan laut
dangkal.
3. Formasi Kujung
Litologi formasi ini terdiri atas napal dan batulempung napalan, abu - abu
kehijauan, kuning kecoklatan dengan sisipan batugamping bioklastik, keras,
mengandung foraminifera besar dan ganggang. Formasi Kujung diendapkan selaras
diatas Formasi Ngimbang yang hampir seluruhnya terdiri atas batugamping.
Dibagian atas Formasi Kujung terletak secara selaras di bawah Formasi Prupuh.
Penentuan umur dari kedua strato tipe berdasarkan atas foraminifera plankton
menunjukkan Oligosen Atas atau zona P19 – N1 dari Zonasi Blow (1969).
Endapan napal abu - abu dari Formasi Kujung banyak mengandung
foraminifera kecil plankton maupun benthos. Ini menunjukkan suatu lingkungan laut
terbuka dengan kedalaman berkisar antara 200 – 500 meter atau pada zona bathyal
atas. Formasi Kujung yang diendapkan pada Zona Rembang membaji ke arah selatan
ke dalam cekungan yang lebih dalam dari Zona Kendeng dan diduga berubah facies
dengan Formasi Pelang. Ke arah lepas pantai, Formasi Kujung berubah facies
menjadi dangkal.
4. Formasi Prupuh
Formasi ini terdiri atas perselingan antara batugamping kapuran berwarna
putih kotor dengan batugamping bioklastik berwarna putih abu - abu muda. Formasi
ini diendapkan selaras diatas Formasi Kujung untuk selanjutnya bersentuhan secara
selaras pula dengan Formasi Tuban yang terletak langsung diatasnya. Formasi ini
mempunyai penyebaran yang luas dan menempati jalur yang sempit dan memanjang
pada Tinggian Tuban, mulai dari daerah Panceng di timur, melalui daerah Paciran,
Palang hingga Tuban di Barat. Formasi Prupuh keseluruhannya adalah Oligosen Atas
hingga Miosen Bawah atau zona N3 – N5 dari Zonasi Blow (1969).
Rasio antara golongan plankton dan benthos yang berjumlah 50 % – 60 %
menunjukkan pengendapan pada lingkungan neritik luar.
22
5. Formasi Tuban
Satuan batuan ini tersingkap disepanjang Kali Suwuk terutama terdiri atas
endapan batulempung yang monoton dengan sisipan - sisipan batugamping dan napal
pasiran, berwarna putih abu - abu, kaya akan foraminifera berada di bagian bawah
dari urut - urutan ini.
Di bagian bawah, Formasi Tuban berbatasan secara selaras dengan Formasi
Prupuh. Meskipun demikian persentuhan antara kedua satuan tersebut sulit dilihat di
lapangan karena kuatnya proses pelapukan. Formasi Tuban mempunyai penyebaran
yang luas di daerah Paciran dan Tuban, sepanjang Antiklin Panyaman, sepanjang
pantai utara mulai Tuban hingga Desa Panceng, di barat daya Tuban dan tenggara
Tuban.
Berdasarkan atas kandungan foraminifera plankton yang banyak diketemukan
pada formasi ini, maka umurnya adalah Miosen Bawah bagian tengah atau setara
dengan zona N5 – N6. Di daerah Kujung dan Prupuh, Formasi Tuban diendapkan
pada paparan dangkal, pada zona neritik luar dengan kedalaman antara 50 – 150
meter.
6. Formasi Tawun
Formasi ini didominasi oleh perulangan batupasir dan serpih pasiran
berwarna khas kuning coklat kemerahan hingga jingga dengan sisipan batugamping
banyak ditemukan pada formasi ini.
Formasi Tawun dimulai dengan lempung setebal 50 meter yang kemudian
disusul oleh perulangan batugamping pasiran. Makin ke atas batupasirnya semakin
mengandung lapisan - lapisan tipis lignit. Formasi Tawun terletak selaras diatas
Formasi Tuban yang tercirikan oleh batuan lunak (lempung dan napal). Formasi
Tawun mempunyai penyebaran yang luas di Zona Rembang barat, mulai dari daerah
lokasi tipe ke Timur sejauh Tuban dan Rengel, sedangkan ke barat satuan ini masih
dapat ditemukan di selatan Pati.
Fosil yang ditemukan menunjukkan bahwa umur formasi ini berkisar antara
zona N8 – N12 menurut Blow (1969) atau Miosen Awal bagian teratas hingga
Miosen Tengah.
23
Terdapatnya serpih pasiran yan berselingan dengan batupasir sepanjang urut -
urutan penampang dan sering terdapatnya kepingan lignit dan sisa tumbuh -
tumbuhan di dalam serpihnya, menunjukkan lingkungan tidak begitu jauh dari pantai
pada suatu paparan dangkal yang terlindung dengan kedalaman 0 - 50 meter.
Formasi Tawun ke arah Laut Jawa menipis dan berubah menjadi
batugamping (Roskamil, 1979). Ke selatan Formasi Tawun yang diendapkan pada
lingkungan dangkal dekat pantai di Zona Rembang Barat, berubah facies menjadi
endapan laut dalam dan kemungkinan besar bersilang jari dengan Formasi Pelang
yang berada di Zona Kendeng.
7. Formasi Ngrayong
Formasi ini berumur Miosen Tengah (N9 - N14). Tersusun oleh batupasir
kuarsa dengan selingan - selingan batulempung, lanau, lignit, dan batugamping
bioklastik. Pada batupasir kuarsanya kadang-kadang mengandung cangkang moluska
laut.
Formasi ini diendapkan pada lingkungan laut dangkal dekat pantai yang
makin keatas lingkungannya menjadi litoral, laguna, hingga sublitoral pinggir. Tebal
dari formasi ini mencapai 90 meter. Di Cekungan Jawa Timur Utara formasi ini
merupakan salah satu batuan reservoir minyak yang potensial.
8. Formasi Bulu
Formasi ini terdiri atas batugamping pasiran berlapis tipis, berbentuk tipis dan
pelat - pelat. Formasi ini diendapkan selaras di atas Formasi Nrayong. Hubungan
stratigrafi dengan Formasi Wonocolo yang terletak diatasnya adalah selaras. Formasi
ini mempunyai penyebaran yang luas sekali di Zona Rembang mulai dari daerah
Ngrejeng - Klumpit - Rengel di timur hingga daerah Purwodadi di barat dan
kemudian menghilang di bawah endapan alluvium di lekuk Pati. Ketebalan
maksimum dijumpai di daerah Taunan (239 m).
Disamping foraminifera besar, formasi ini juga kaya akan foraminifera
plankton yang menunjukkan umur antara zona N14 – N15 dari Blow (1969) atau
sama dengan bagian terbawah dari Miosen Akhir. Foraminifera plankton tidak
banyak dijumpai dan hanya terbatas dibagian atas dari satuan ini. Rasio plankton dan
24
benthos berkisar antara 30% – 40%. Menunjukkan diendapkan pada suatu paparan
dangkal dengan kedalaman berkisar antara 50 meter hingga 100 meter.
9. Formasi Wonocolo
Formasi Wonocolo pada umumnya terdiri atas napal pasiran yang berulang
dengan napal dengan sisipan batugamping kalkarenit dan batulempung. Pada napal
pasiran sering memperlihatkan struktur paralel laminasi. Formasi Wonocolo terletak
selaras diatas Formasi Bulu, untuk kemudian tertindih secara selaras oleh Formasi
Ledok. Formasi ini mempunyai penyebaran yang luas di Jalur Rembang dengan arah
barat – timur. Ketebalan Formasi Wonocolo pada umumnya menipis dari selatan ke
utara dan dari barat ke timur.
Umur dari formasi ini diinterpretasi bagian bawah dari Miosen Akhir hingga
bagian tengah dari Miosen Akhir atau zona N15 – N16 (Blow, 1969), penentuan
umur didasarkan atas kandungan foraminifera plankton. Lingkungan pengendapan
diperkirakan pada daerah laut terbuka, jauh dari pantai, pada kedalaman antara 100
meter – 500 meter, terletak pada neritik luar hingga bathyal atas. Dari barat ke timur,
formasi ini tidak mengalami perubahan facies yang berarti, akan tetapi ke utara napal
pasirannya berubah menjadi pasir napalan hal ini menunjukkan adanya suatu gejala
pendangkalan.
10. Formasi Ledok
Bagian bawah dari Formasi Ledok terdiri atas kalkarenit setebal 40 cm yang
terletak selaras diatas Formasi Wonocolo, untuk kemudian disusul oleh perulangan
antara batupasir gampingan kalkarenit, dan napal pasiran. Banyak dijumpai
kandungan mineral glaukonit terutama pada batupasirnya, dan secara setempat
dijumpai kalkarenit, batupasir gampingan, dan napal pasiran memperlihatkan
struktur silang - siur skala besar. Umur Formasi Ledok adalah Miosen Akhir bagian
atas atau zona N17 – N18 dari Blow (1969) berdasarkan atas kandungan foraminifera
plankton. Berdasarkan analisis mikropaleontologi dari perconto batuan yang berasal
dari berbagai lokasi menunjukkan adanya suatu pendangkalan yang berangsur mulai
dari bagian bawah menuju atas.
Diamati adanya perubahan fasies dari arah barat ke timur. Kearah utara (Laut
Jawa) dijumpai perubahan fasies dari batupasir gampingan ke batugamping. Ke arah
25
selatan formasi ini diduga berubah fasies. Formasi Kalibeng yang terletak di Zona
Kendeng. Ketebalan Formasi ini 230 meter. Diendapkan pada lingkungan neritik
pinggir sampai neritik luar.
11. Formasi Mundu
Satuan ini terdiri atas napal yang berwarna abu - abu kehijauan, putih
kekuningan jika lapuk, kaya atas foraminifera plankton. Bagian puncak dari formasi
ini seringkali ditempati oleh perselingan batugamping pasiran dan pasir napalan.
Bagian atas dari Formasi Mundu ini dikenal dengan Anggota Selorejo. Formasi
Mundu terletak selaras di atas Formasi Ledok kemudian tertindih secara selaras pula
oleh Formasi Lidah yang terletak diatasnya.
Formasi ini mempunyai penyebaran luas dengan ketebalan yang berbeda -
beda di Zona Rembang. Ketebalan maksimum dijumpai di Zona Rembang Selatan,
untuk kemudian menipis ke utara maupun ke selatan.
Umur Formasi Mundu keseluruhannya adalah Pliosen atau zona N18 – N21
menurut Zonasi Blow (1969). Dilihat dari perbandingan kandungan foraminifera
plankton terhadap benthos, maka terlihat adanya perbedaan lingkungan pengendapan
antara bagian bawah dan bagian atas dari Formasi Mundu. Perbandingan antara
foraminifera plankton terhadap benthos untuk bagian bawah dari formasi ini berkisar
antara 75% - 89% yang mengindikasikan endapan laut terbuka (bathyal tengah) pada
kedalaman antara 700 – 1100 meter. Sementara itu perbandingan antara foraminifera
plankton terhadap benthos untuk bagian atas berkisar antara 30% - 47%, yang
mencirikan pengendapan pada suatu paparan yang dangkal, laut terbuka, pada
kedalaman 100 – 200 meter (neritik luar).
Ke arah utara dan timur formasi ini bersilang jari dengan Formasi Paciran. Ke
selatan di Jalur Kendeng sebaliknya formasi tersebut berubah facies menjadi Formasi
Kalibeng yang mempunyai ciri litologi yang serupa. Ketebalan dari Formasi ini
berkisar antara 75 dan 342 meter.
12. Formasi Paciran
Ciri litologi umum dari formasi ini adalah batugamping yang mempunyai
penyebaran yang relatif luas di Zona Rembang Utara, mulai daerah Tuban hingga
Pulau Madura. Ketebalan formasi ini hampir seragam. Di lokasi tipe adalah 105
26
meter – 125 meter. Formasi Paciran semula dikenal dengan nama Batugamping
Karren (Trooster, 1937), Formasi Madura (Brouwer, 1957). Umur formasi
diperkirakan adalah Pliosen hingga Pleistosen. Adanya kandungan organisme
pembentuk terumbu menunjukkan satuan ini diendapkan pada suatu lingkungan yang
memungkinkan tumbuhnya terumbu, yaitu di laut dangkal, dekat pantai, menghadap
ke laut, beriklim hangat, airnya jernih pada kedalaman tidak melebihi 50 meter, pada
zona litoral hingga sublitoral bagian tepi. Secara lateral satuan ini berseling jari
dengan Formasi Mundu dan Formasi Lidah. Tebal Formasi ini berkisar antara 105 -
150 meter.
13. Formasi Lidah
Formasi ini terdiri atas lempung berwarna biru tua yang monoton, plastis dan
jika lapuk berwarna coklat kuning. Satuan ini pada umumnya tidak berlapis dan tidak
mengandung pasir sama sekali, namun secara setempat dapat berselingan dengan
batupasir kuarsa yang mengandung glaukonit dan moluska laut. Di Sumur Tobo,
bagian bawah dari formasi ini disebut Anggota Tambakromo, terdiri atas
batulempung biru pada umumnya tidak berlapis, sedangkan bagian atasnya disebut
Anggota Turi yang terdiri dari perselingan antara batulempung biru dengan napal dan
batupasir. Di Antiklin Kawengan, Anggota Tambakromo dipisahkan dari Anggota
Turi oleh satuan batugamping yang disebut Anggota Malo dan terdiri dari
batugamping cocquina, berwarna coklat, sangat kasar, terpilah buruk, menyudut dan
keras.
Formasi Lidah terletak selaras diatas Formasi Mundu. Formasi ini di lokasi
tipenya tertindih secara selaras oleh Formasi Pucangan yang merupakan endapan
volkanik. Umur formasi ini diperkirakan adalah Pliosen atas hingga Pleistosen (N20
- N21). Formasi ini diendapkan pada lautan yang agak terlindung dengan kedalaman
sekitar 200 – 300 meter untuk bagian bawah dan berangsur-angsur menjadi dangkal
kearah atas. Tebal dari Formasi ini antara 130 sampai 575 meter.
27
Gambar 3.8. Kolom Stratigrafi Regional Cekungan Jawa Timur Utara (Pringgoprawiro, 1983)
28
3.4. Stratigrafi Daerah Telitian
Batuan yang terdapat di daerah telitian meliputi 1 batuan yaitu batuan
sedimen serta endapan aluvial. Satuan batuan yang terdapat di daerah Lebak dari tua
ke muda adalah sebagai berikut : satuan batuan batulanau, satuan batuan
batulempung, dan satuan batuan batupasir kuarsa. Di daerah Sukolilo dari tua ke
muda adalah sebagai berikut : satuan batuan batupasir kuarsa dan satuan
batugamping serta endapan alluvial. Sedangkan di daerah Pulaman dari tua ke muda
adalah sebagai berikut : satuan batuan batupasir kuarsa dan satuan batugamping.
Hubungan antar satuan batuan yang terdapat didaerah telitian adalah selaras.
Tetapi pada satuan batugamping Formasi Ngrayong semakin ke bagian barat lapisan
batugamping ini akan menghilang. Hal tersebut dapat di lihat dari stratigrafi daerah