TINJAUAN PUSTAKAEmbriologi Hidung
Perkembangan rongga hidung secara embriologi yang mendasari
pembentukan anatomi sinonasal dapat dibagi menjadi dua proses.
Pertama, embrional bagian kepala berkembang membentuk dua bagian
rongga hidung yang berbeda ; kedua adalah bagian dinding lateral
hidung yang kemudian berinvaginasi menjadi kompleks padat, yang
dikenal dengan konka (turbinate), dan membentuk ronga-rongga yang
disebut sebagai sinus.
Sejak kehamilan berusia empat hingga delapan minggu ,
perkembangan embrional anatomi hidung mulai terbentuk dengan
terbentuknya rongga hidung sebagai bagian yang terpisah yaitu
daerah frontonasal dan bagian pertautan prosesus maksilaris. Daerah
frontonasal nantinya akan berkembang hingga ke otak bagian depan,
mendukung pembentukan olfaktori. Bagian medial dan lateral akhirnya
akan menjadi nares (lubang hidung). Septum nasal berasal dari
pertumbuhan garis tengah posterior frontonasal dan perluasan garis
tengah mesoderm yang berasal dari daerah maksilaris. Ketika
kehamilan memasuki usia enam minggu, jaringan mesenkim mulai
terebentuk, yang tampak sebagai dinding lateral hidung dengan
struktur yang masih sederhana. Usia kehamilan tujuh minggu, tiga
garis axial berbentuk lekukan bersatu membentuk tiga buah konka
(turbinate). Ketika kehamilan berusia sembilan minggu, mulailah
terbentuk sinus maksilaris yang diawali oleh invaginasi meatus
media. Dan pada saat yang bersamaan terbentuknya prosesus unsinatus
dan bula ethmoidalis yang membentuk suatu daerah yang lebar disebut
hiatus semilunaris. Pada usia kehamilan empat belas minggu ditandai
dengan pembentukan sel etmoidalis anterior yang berasal dari
invaginasi bagian atap meatus media dan sel ethmoidalis posterior
yang berasal dari bagian dasar meatus superior. Dan akhirnya pada
usia kehamilan tiga puluh enam minggu , dinding lateral hidung
terbentuk dengan baik dan sudah tampak jelas proporsi konka.
Seluruh daerah sinus paranasal muncul dengan tingkatan yang berbeda
sejak anak baru lahir, perkembangannya melalui tahapan yang
spesifik. Yang pertama berkembang adalah sinus etmoid, diikuti oleh
sinus maksilaris, sfenoid , dan sinus frontal.
Embriologi Sinus Paranasal
Secara embriologik, sinus paranasal berasal dari invaginasi
mukosa rongga hidung, berupa tonjolan atau resesus epitel mukosa
hidung setelah janin berusia 2 bulan, resesus inilah yang nantinya
akan berkembang menjadi ostium sinus. Perkembangan sinus paranasal
dimulai pada fetus usia 3-4 bulan, kecuali sinus sphenoid dan sinus
frontal. Sinus maksila dan sinus etmoid telah ada saat anak lahir,
saat itu sinus maksila sudah terbentuk dengan sangat baik dengan
dasar agak lebih rendah daripada batas atas meatus inferior.
Setelah usia 7 tahun perkembangannya ke bentuk dan ukuran dewasa
berlangsung dengan cepat. Sinus frontal berkembang dari sinus
etmoid anterior pada anak yang berusia kurang lebih 8 tahun.
Pneumatisasi sinus sphenoidalis dimulai pada usia 8 10 tahun dan
berasal dari bagian postero-superior rongga hidung. Sinus-sinus ini
pada umumnya mencapai besar maksimal pada usia antara 15-18
tahun.
1. Sinus Maxillaris
Merupakan sinus paranasal yang terbesar. Terdapat dalam corpus
maxillae. Merupakan sinus pertama yang terbentuk, diperkirakan
pembentukan sinus tersebut terjadi pada hari ke 70 masa kehamilan.
Saat lahir sinus maksila bervolume 6-8 ml, yang kemudian berkembang
dengan cepat dan akhirnya mencapai ukuran maksimal yaitu 15 ml pada
saat dewasa. Berbentuk piramid berbaring dengan basis di sebelah
medial sedang apex di processus zygomaticus maxillae. Dinding
medialnhya merupakan dinding lateral cavitas nasi. Atapnya
merupakan lantai orbita. Sedangkan alasnya merupakan processus
alveolaris.Muara sinus maxillaris pada meatus nasi medius yaitu
pada hiatus semilunaris. Saluran ini terdapat pada dinding medial
sebelah anterosuperior. Innervasi oleh n.alveolaris superior dan
n.infraorbitalis. Vaskularisasi oleh a.maxillaris interna,
a.infraorbitalis, a.palatina mayor.2. Sinus Ethmoidalis
Dari semua sinus paranasal, sinus etmoid yang paling bervariasi
dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan
fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Terdiri atas beberapa
ruangan (4-17 pada tiap sisi), terletak di dalam labyrinthus
ethmoidalis di antara orbita dan cavitas nasi. Sel-sel etmoid,
mula-mula terbentuk pada janin berusia 4 bulan, berasal dari meatus
superior dan suprema yang membentuk kelompok sel-sel etmoid
anterior dan posterior. Sinus etmoid sudah ada pada waktu bayi
lahir kemudian berkembang sesuai dengan bertambahnya usia sampai
mencapai masa pubertas. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid
seperti piramid dengan dasarnya di bagian posterior. Ukurannya dari
anterior ke posterior 4-5 cm, tinggi 2,4 cm, dan lebarnya 0,5 cm di
bagian anterior dan 1,5 cm di bagian posterior, volume sinus
kira-kira 14 ml. Sinus etmoid berongga rongga terdiri dari sel-sel
yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat di dalam massa bagian
lateral os etmoid, yang terletak di antara konka media dan dinding
medial orbita. Berdasarkan letaknya, sinus etmoid dibagi menjadi
sinus etmoid anterior yang bermuara di meatus medius, dan sinus
etmoid posterior yang bermuara di meatus superior. Di bagian
terdepan sinus etmoid anterior ada bagian yang sempit, disebut
resesus frontal, yang berhubungan dengan sinus frontal. Sel etmoid
yang terbesar disebut bula etmoid. Di daerah etmoid anterior
terdapat suatu penyempitan infundibulum, tempat bermuaranya ostium
sinus maksila. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal
dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di
infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila.
Atap sinus etmoid yang disebut fovea etmoidalis berbatasan
dengan lamina kribrosa. Dinding lateral sinus adalah lamina
papirasea yang sangat tipis dan membatasi sinus etmoid dari rongga
orbita. Di bagian belakang sinus etmoid posterior berbatasan dengan
sinus sphenoid.Bagian-bagian dari sinus ethmoidalis disebut
cellulae ethmoidales. Dindingnya dibentuk oleh os frontale,
maxilla, os lacrimale, os sphenoidale, dan os palatina.Berdasarkan
muaranya, cellulae ethmoidales digolongkan menjadi:1. Cellulae
ethmoidales anterior yang bermuara di meatus nasi medius
2. Cellulae ethmoidales posterior yang bermuara di meatus nasi
superior dan supremaInervasi oleh n.ethmoidalis posterior dan
n.ethmoidalis anterior. Vaskularisasi oleh a.ethmoidalis posterior
dan a.ethmoidalis anterior.\3. Sinus Frontalis
Sinus frontal yang terletak di os frontal mulai terbentuk sejak
bulan ke emapat fetus, berasal dari sel-sel resesus frontal atau
dari sel-sel infundibulum etmoid. Sesudah lahir, sinus frontal
mulai berkembang pada usia 8-10 tahun dan akan mencapai ukuran
maksimal sebelum usia 20 tahun. Bentuk dan ukuran sinus frontal
sangat bervariasi , dan seringkali juga sangat berbeda bentuk dan
ukurannya dari sinus dan pasangannya, kadang-kadang juga ada sinus
yang rudimenter. Bentuk sinus frontal kanan dan kiri biasanya tidak
simetris, satu lebih besar dari pada lainnya dan dipisahkan oleh
sekat yang terletak di garis tengah. Kurang lebih 15% orang dewasa
hanya mempunyai satu sinus frontal dan kurang lebih 5% sinus
frontalnya tidak berkembang. Ukuran rata-rata sinus frontal :
tinggi 3 cm, lebar 2-2,5 cm, dalam 1,5-2 cm, dan isi rata-rata 6-7
ml. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding
sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus
frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan
fosa serebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah
menjalar ke daerah ini. Sinus frontalis bermuara ke meatus nasi
medius secara langsung atau melalui saluran yang disebut duktus
frontonasalis.Inervasi: n.supraorbitalis cabang dari
n.ophthalmicus.
Vaskularisasi: a.supraorbitalis4. Sinus Sphenoidalis
Sinus sfenoid terbentuk pada janin berumur 3 bulan sebagai
pasangan evaginasi mukosa di bagian posterior superior kavum nasi.
Perkembangannya berjalan lambat, sampai pada waktu lahir evaginasi
mukosa ini belum tampak berhubungan dengan kartilago nasalis
posterior maupun os sfenoid. Sebelum anak berusia 3 tahun sinus
sfenoid masih kecil, namun telah berkembang sempurna pada usia 12
sampai 15 tahun. Letaknya di dalam korpus os etmoid dan ukuran
serta bentuknya bervariasi. Sepasang sinus ini dipisahkan satu sama
lain oleh septum tulang yang tipis, yang letakya jarang tepat di
tengah, sehingga salah satu sinus akan lebih besar daripada sisi
lainnya. Terdapat di dalam corpus sphenoidale dan dapat meluas ke
os occipitale. Bermuara pada recessus sphenoethmoidalis. Sinus
sphenoidalis terbagi menjadi belahan kanan dan kiri oleh septum
tulang yang biasanya mengalami deviasi ke salah satu pihak. Dinding
depannya merupakan dua keping tulang tipis disebut conchae
sphenoidale. Letak os sfenoid adalah di dalam os sfenoid di
belakang sinus etmoid posterior. Sinus sfenoid dibagi dua oleh
sekat yang disebut septum intersfenoid. Ukurannya adalah tinggi 2
cm, dalamnya 2,3 cm, dan lebarnya 1,7 cm. Volumenya berkisar dari 5
sampai 7,5 ml. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dan nervus
bagian lateral os sfenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan
rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus
sfenoid. Batas-batasnya adalah : sebelah superior terdapat fosa
serebri media dan kelenjar hipofisa, sebelah inferiornya adalah
atap nasofaring, sebelah lateral berbatasan dengan sinus kavernosus
dan a.karotis interna (sering tampak sebagai indentasi) dan di
sebelah posteriornya berbatasan dengan fosa serebri posterior di
daerah pons. Inervasi n.ethmoidalis posterior. Vaskularisasi
a.maxillaris.
Anatomi Hidung
Hidung terdiri atas hidung luar dan hidung bagian dalam. Hidung
bagian luar menonjol pada garis tengah di antara pipi dan bibir
atas ; struktur hidung luar dibedakan atas tiga bagian : yang
paling atas : kubah tulang yang tak dapat digerakkan; di bawahnya
terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan ; dan yang
paling bawah adalah lobulus hidung yang mudah digerakkan.
Hidung Luar
Hidung bagian luar berbentuk piramid dengan bagian-bagian dari
atas ke bawah adalah sebagai berikut :
a. Pangkal hidung (bridge)
b. Batang hidung (dorsum nasi)
c. Puncak hidung (tip)
d. Ala nasi
e. Kolumela
f. Dan lubang hidung (nares anterior) Hidung luar dibentuk oleh
kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit, jaringan
ikat dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan atau
menyempitkan lubang hidng. Kerangka tulang terdiri dari :
a. Os nasal
b. Prosesus frontalis os maksila
c. Prosesus nasalis os frontalSedangkan kerangka tulang rawan
terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian
bawah hidung :
a. Sepasang kartiloago nasalis lateralis superior
b. Sepasang kartilago nasalin lateralis inferior (kartilago ala
mayor)
c. Tepi aterior kartilago septumHidung Dalam
Rongga hidung atau kavum nasi kanan dan kiri dipisahkan oleh
septum nasi. Pintu atau lubang cavum nasi bagian depan disebut
dengan nares anterior dan lubang bagian belakang disebut dengan
nares posterior (koana), yang menghubungkan nares posterior dengan
nasofaring. Bagian dari cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala
nasi, tepat di belakang nares anterior disebut vestibulum nasi.
Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar
sebasea dan rambut-rambut panjang yang disebut vibrise.
Setiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding, yaitu :
a. Dinding medial : septum nasi (dibentuk oleh tulang rawan),
bagian tulang adalah : lamina prependikularis os etmoid, vomer,
krista nasalis os maksila dan krista nasalis os palatina. Bagian
tulang rawan adalah : kartilago septum dan kolumela
b. Dinding lateral : 4 buah konka, yang terbesar dan letaknya
paling bawah adalah konka inferior, kemudian yang lebih kecil
adalah konka media, lebih kecil lagi ialah konka superior sedangkan
yang terkecil adalah konka suprema (rudimenter).
Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os
maksila dan labirin etmoid, sedangkan konka media, superior dan
suprema merupakan bagian darii labirin etmoid. Diantara konka-konka
dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut
meatus. Tergantung dari letak meatus, ada 3 letak meatus yaitu
meatus inferior, medius, dan superior. Meatus inferior terletak
diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral
rongga hidung, pada meatus ini terdapat muara (ostium) duktus
nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan
dinding lateral rongga hidung, pada meatus ini terdapat muara sinus
frontal, sinus maksila, dan sinus etmoid anterior. Pada meatus
superior yang merupakan ruang diantara konka superior dan konka
media terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.c.
Dinding inferior : merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh
os maksila dan os palatum
d. Dinding superior : sangat sempit dan dibentuk oleh lamina
kribriformis, yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.
Lamina krobroformis merupakan lempeng tulang berasal dari os
etmoid, tulang ini berlubang-lubang (kribrosa = saringan) tempat
masuknya serabut-serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior,
atap rongga hidung dibentuk oleh os sfenoidVaskularisasi
Bagian atas rongga hidung mendapat perdarahan dari a.etmoid
anterior dan a.etmoid posterior yang merupakan cabang dari a.
Oftalmika dari a.carotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.
Maksilaris interna, diantaranya adalah ujung a.palatina mayor dan
a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina bersama
n.sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang ujung
posterior konka media.
Bagian depan hidung mendapat perdarahan dari cabang a.facialis.
bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang
a.sfenopalatina, a.etmoid anterior, a.labialis superior, a.palatina
mayor yang disebut plaksus kiesselbach (littles area). Pleksus ini
letaknya superficial dan mudah cedera oleh trauma, sehingga sering
menjadi sumber epistaksis, terutama pada anak.
Vena-vena hisung mempunyai nama yang sama dan berjalan
berdampingan dengan arterinya. Vena vestibulum dan struktur luar
hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus
kavernosus. Vena-vena hidnung tidak memiliki katup, sehingga
merupakan faktor predidposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi
sampai ke intrakranial.Persarafan
Bagian depan dan atas rongga hidung mendapat persarafan sensoris
dan n.etmoidalis anterior, yang merupakan cabang daro
n.nasosiliaris, yang berasal dari n.oftalmikus (N.V-1)
Ronngga hidung lainnya, sebaian besar mendapat persarafan
sensoris dan n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Selain
memberikan persarafan sensoris, ganglion sfenopalatina juga
memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung.
Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n. Maksila
(N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor,
dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion ini
terletak di belakang dan sedikit di atas ujung posterior konka
media.
Mukosa Hidung Rongga hidung dilapisi oleh mukosa yang secara
histologik dan fungsional dibagi atas mukosa pernafasan dan mukosa
penghidu. Mukosa pernafasan terdapat pada sebagian besar rongga
hidung dan permukaannya dilapisi oleh epitel torak berlapis semu
yang mempunyai silia dan diantaranya terdapat sel sel goblet. Pada
bagian yang lebih terkena aliran udara mukosanya lebih tebal dan
kadang kadang terjadi metaplasia menjadi sel epital skuamosa. Dalam
keadaan normal mukosa berwarna merah muda dan selalu basah karena
diliputi oleh palut lendir (mucous blanket) pada permukaannya.
Palut lendir ini dihasilkan oleh kelenjar mukosa dan sel
goblet.Silia yang terdapat pada permukaan epitel mempunyai fungsi
yang penting. Dengan gerakan silia yang teratur, palut lendir di
dalam kavum nasi akan didorong ke arah nasofaring. Dengan demikian
mukosa mempunyai daya untuk membersihkan dirinya sendiri dan juga
untuk mengeluarkan benda asing yang masuk ke dalam rongga hidung.
Gangguan pada fungsi silia akan menyebabkan banyak sekret terkumpul
dan menimbulkan keluhan hidung tersumbat. Gangguan gerakan silia
dapat disebabkan oleh pengeringan udara yang berlebihan, radang,
sekret kental dan obat obatan.
Mukosa penghidu terdapat pada atap rongga hidung, konka superior
dan sepertiga bagian atas septum. Mukosa dilapisi oleh epitel torak
berlapis semu dan tidak bersilia (pseudostratified columnar non
ciliated epithelium). Epitelnya dibentuk oleh tiga macam sel, yaitu
sel penunjang, sel basal dan sel reseptor penghidu. Daerah mukosa
penghidu berwarna coklat kekuningan.Sistem Transpor Mukosilier
Sistem trasnspor mukosilirer merupakan sistem pertahanan aktif
rongga hidung terhadap virus, bakteri, jamur, atau partikel
berbahaya lain yang terhirup bersama udara. Efektifitas sistem
transpor mukosilier dipengaruhi oleh kualitas silia dan palut
lendir. Palut lendir ini dihasilkan oleh sel-sel goblet pada epitel
dan kelenjar seromucinosa submucosa
Bagian bawah dari palut lendir terdiri dari cairan serosa
sedangkan bagian permukaanya terdiri dari mukus yang lebih elastik
dan banyak mengandung protein plasma seperti albumin, IgG, IgM, dan
faktor komplemen. Sedangkan cairan serosa mengandung lactoferin,
lisozim, inhibitor lekoprotease sekretorik, dan igA sekretorik.
Glikoprotein yang dihasilkan oleh sel mukus penting untuk
pertahanan lokal yang bersifat antimikrobia. igA berfungsi untuk
mengeluarkan mikroorganisme dari jaringan dengan mengikat antigen
tersebut pada lumen saluran nafas, sedangkan igG beraksi dalam
mukosa dengan memicu reaksi inflamasi dengan terpajan dengan
antigen bakteri.
Pada sinus maksila, sistem transport mukosilier menggerakan
sekret sepanjang dinding anterior, medial, posterior dan lateral
serta atap riongga sinus membentuk gambaran halo atau bintang yang
mengarah ke ostium alamiah. Setinggi ostium sekret akan lebih
kental tetapi drainasenya lebih cepat untuk mencegah tekanan
negatif dan berkembangnya infeksi. Kerusakan mukosa yang ringan
tidak akan menghentikan atau mengubah transport, dan sekret akan
melewati mukosa yang rusak tersebut. Tetapi jika sekret kebih
kental sekret akan berhenti pada mukisa yang mengalami defect.
Gerakan sistem transport mukosilier pada sinus frontal mengikuti
gerakan spiral. Sekret akan berjalan menuju septum interfrontal,
kemudian ke atap, dinding lateral dan bagian inferior dari dinding
anterior dan posterior menuju resesus frontalis. Gerakan spiral
menuju ke ostiumnya terjadi pada sinus sfenoid, sedangkan pada
sinus etmoidalis terjadi gerakan rektilininear, jika ostiumnya
terletak didasar sinus atau gerakan spiral jika ostium terdapat
pada salah satu dindingnya.
Pada dinding lateral terdapat 2 rute besar transport
mukoslirier. Rute pertama merupakan gabungan sinus frontal, maksila
dan etmoid anterior. Sekret ini biasanya bergabung didekat
infundibulum etmoid, selanjutnya berjalan menuju tepi bebas
prosesus unsinatus, dan sepanjang dinding medial konka inferior
menuju nasofaring melewati bagian antero inferior orifisium tuba
Eustachius. Transport aktif berlanjut ke batas epitel bersilia dan
epitel berskuamosa pada nasofaring. Selanjutnya jatuh ke bawah
dibantu oleh gaya gravitasi dan proses menelan.
Rute kedua merupakan gabungan sekresi sinus etmoid posterior dan
sfenoid yang bertemu di resesus sfenoetmoid dan menuju nasofaring
pada bagian postero superior orificium tuba eustachius.
Sekret yang berasal dari meatus superior dan septum akan
bergabung dengan sekret rute pertama yaitu diinferior dari tuba
eustachius. Sekret pada septum akan berjalan vertikal ke arah bawah
terlebih dahulu kemudian ke belakang dan menyatu di bagian inferior
tuba eustachius.Anatomi Sinus ParanasalSinus paranasal merupakan
rongga-rongga yang terdapat di dalam maxilla os frontale, os
sphenoidale, dan os ethmoidale. Dindingnya terdiri atas tulang
kompakta dengan dilapisi muco-endosteum yang berhubungan dengan
mucosa respiratoria pada cavitas nasi. Sinus paranasal diinervasi
oeleh cabang-cabang n.ophthalmicus dan n.maxillaris. Sinus
merupakan penonjolan/evaginasi dari cavitas nasi sehinga drainage
keluar dari cairannya menuju cavitas nasi secara langsung atau
tidak langsung. Dengan adanya hubungan ini maka rhinitis atau
radang pada cavitas nasi dapat menjalar ke sinus menyebabkan
sinusitis. Sinus pada waktu lahir kecil tapi mengalami perkembangan
pada waktu pubertas atau dewasa.Komplex Osteomeatal (KOM)
Merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasi oleh
konka media dan lamina papirasea. Struktur anatomi penting yang
mebentuk KOM adalah prosesus unsinatus, infundibulum etmoid, hiatus
semilunaris, bula etmoid, agger nasi dan resesus frontal. KOM
merupakan unit fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan
drainase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior yaitu sinus
maksila, etmoid anterior dan frontal.
Jika terjadi obstruksi pada celah yang sempit ini, maka akan
terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang
terkait.
Fisiologi hidung
1. Sebagai jalan nafas
Pada inspirasi, udara masuk melalui nares anterior, lalu naik ke
atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah
nasofaring, sehingga aliran udara ini berbentuk lengkungan atau
arkus. Pada ekspirasi, udara masuk melalui koana dan kemudian
mengikuti jalan yang sama seperti udara inspirasi. Akan tetapi di
bagian depan aliran udara memecah, sebagian lain kembali ke
belakang membentuk pusaran dan bergabung dengan aliran dari
nasofaring.2. Pengatur kondisi udara (air conditioning)
Fungsi hidung sebagai pengatur kondisi udara perlu untuk
mempersiapkan udara yang akan masuk ke dalam alveolus. Fungsi ini
dilakukan dengan cara :
a. Mengatur kelembaban udara. Fungsi ini dilakukan oleh palut
lendir. Pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air,
penguapan dari lapisan ini sedikit, sedangkan pada musim dingin
akan terjadi sebaliknya.
b. Mengatur suhu. Fungsi ini dimungkinkan karena banyaknya
pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan
septum yang luas, sehingga radiasi dapat berlangsung secara
optimal. Dengan demikian suhu udara setelah melalui hidung kurang
lebih 37oC.
3. Sebagai penyaring dan pelindung
Fungsi ini berguna untuk membersihkan udara inspirasi dari debu
dan bakteri dan dilakukan oleh :
a. Rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi
b. Silia
c. Palut lendir (mucous blanket). Debu dan bakteri akan melekat
pada palut lendir dan partikel partikel yang besar akan dikeluarkan
dengan refleks bersin. Palut lendir ini akan dialirkan ke
nasofaring oleh gerakan silia.
d. Enzim yang dapat menghancurkan beberapa jenis bakteri,
disebut lysozime.
4. Indra penghidu
Hidung juga bekerja sebagai indra penghidu dengan adanya mukosa
olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga
bagian atas septum. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan
cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan
kuat. 5. Resonansi suara
Penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi.
Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang,
sehingga terdengar suara sengau.6. Proses bicara
Membantu proses pembentukan kata dengan konsonan nasal (m,n,ng)
dimana rongga mulut tertutup dan rongga hidung terbuka, palatum
molle turun untuk aliran udara.
7. Refleks nasal
Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan
saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Contoh : iritasi
mukosa hidung menyebabkan refleks bersin dan nafas terhenti.
Rangsang bau tertentu menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung
dan pankreas.Fisiologi Sinus ParanasalBeberapa teori yang
dikemukakan sebagai fungsi sinus paranasal antara lain adalah : a.
Sebagai pengatur kondisi udara (air conditioning) Sinus berfungsi
sebagai ruang tambahan untuk memanaskan dan mengatur kelembaban
udara inspirasi. Keberatan terhadap teori ini ialah ternyata tidak
didapati pertukaran udara yangdefinitif antara sinus dan rongga
hidung. Volume pertukaran udara dalam ventilasi sinus kurang lebih
1/1000 volume sinus pada tiap kali bernafas, sehingga dibutuhkan
beberapa jam untuk pertukaran udara total dalam sinus. Lagipula
mukosa sinus tidak mempunyai vaskularisasi dan kelenjar yang
sebanyak mukosa hidung.b. Sebagai penahan suhu (thermal insulators)
Sinus paranasal berfungsi sebagai buffer (penahan) panas ,
melindungi orbita dan fosa serebri dari suhu rongga hidung yang
berubah-ubah. Akan tetapi kenyataannya, sinus-sinus yang besar
tidak terletak di antara hidung dan organ-organ yang dilindungic.
Membantu keseimbangan kepala Sinus membantu keseimbangan kepala
karena mengurangi berat tulang muka. Akan tetapi bila udara dalam
sinus diganti dengan tulang hanya akan memberikan pertambahan berat
sebesar 1% dari berat kepala, sehingga teori ini dianggap tidak
bermaknad. Membantu resonansi suara Sinus mungkin berfungsi sebagai
rongga untuk resonansi suara dan mempengaruhi kualitas suara. Akan
tetapi ada yang berpendapat , posisi sinus dan ostiumnya tidak
memungkinkan sinus berfungsi sebagai resonator yang efektif. Tidak
ada korelasi antara resonansi suara dan besarnya sinus pada
hewan-hewan tingkat rendahe. Sebagai peredam perubahan tekanan
udara Fungsi ini berjalan bila ada perubahan tekanan yang besar dan
mendadak, misalnya pada waktu bersin atau membuang ingus.f.
Membantu produksi mukus. Mukus yang dihasilkan oleh sinus paranasal
memang jumlahnya kecil dibandingkan dengan mukus dari rongga
hidung, namun efektif untuk membersihkan partikel yang turut masuk
dengan udara inspirasi karena mukus ini keluar dari meatus medius,
tempat yang paling strategis.CARA PEMERIKSAAN
a. Anamnesis :
Keluhan utama penyakit atau kelainan di hidung adalah :1.
Sumbatan hidung
Sumbatan hidung dapat terjadi oleh beberapa factor. Sumbatan
terjadi terus menerus atau hilang timbul, pada satu atau kedua
lubang hidung, apakah sebelumnya ada riwayat kontak dengan bahan
allergen seperti debu, tepung sari, bulu binatang, trauma hidung,
pemakaian obat tetes hidung dekongestan untuk jangka waktu lama,
perokok atau peminum alkohol, apakah mulut dan tenggorokkan merasa
kering.2. Secret di hidung dan tenggorokkan
Keluarnya secret pada satu atau kedua lubang hidung. Dinilai
konsistensi secret, encer, bening, kental, nanah atau darah. Apakah
secret keluar pada pagi hari atau pada waktu-waktu tertentu
misalnya pada musim hujan. Sekret hidung yang disebabkan karena
infeksi hidung biasanya bilateral, jernih sampai purulen. Sekret
yang jernih seperti air dan jumlahnya banyak khas untuk alergi
hidung. Bila sekretnya kuning kehijauan biasanya berasal dari
sinusitis hidung dan bila bercampur darah dari satu sisi, hati-hati
adanya tumor hidung. Pada anak bila secret yang terdapat hanya satu
sisi dan berbau, sebaiknya curiga akan adanya benda asing dihidung.
Sekret dari hidung yang turun ke tenggorok disebut post nasal drip
kemungkinan berasal dari sinus paranasal.3. Bersin
Bersin yang berulang-ulang merupakan keluhan pada alergi hidung.
Perlu ditanyakan apakah bersin ini timbul bila menghirup sesuatu.
Apakah juga diikuti keluar secret yang encer dan rasa gatal di
hidung, tenggorok, mata, dan telinga.4. Rasa nyeri di daerah muka
dan kepala
Rasa nyeri di daerah muka dan kepala yang ada hubungannya dengan
keluhan di hidung. Nyeri di daerah dahi, pangkal hidung, pipi, dan
tengah kepala dapat merupakan tanda-tanda sinusitis. Rasa nyeri
atau rasa berat ini dapat timbul bila menundukkan kepala dan dapat
berlangsung dari beberapa jam sampai beberapa hari. 5. Perdarahan
dari hidung
Epistaksis dapat berasal dari bagian anterior atau posterior
rongga hidung. Perdarahan dapat berasal dari satu atau kedua lubang
hidung. Sudah berapa kali dan apakah mudah dihentikan dengan
memencet hidung saja. Apakah ada riwayat trauma hidung/muka
sebelumnya dan menderita penyakit kelainan darah, hipertensi, dan
pemakaian obat-obat antikoagulansia.6. Gangguan penghidu
Ini dapat berupa hilangnya penciuman (anosmia) atau berkurang
(hiposmia). Perlu ditanyakan apakah sebelumnya ada riwayat infeksi
hidung, sinus, trauma kepala dan keluhan ini sudah berapa lama.
b. Pemeriksaan Hidung Dan Sinus Paranasal
1. Pemeriksaan Hidung & Sinus Paranasalis dari Luar
Ada 3 keadaan yang penting kita perhatikan saat melakukan
inspeksi hidung & sinus paranasalis, yaitu :
1. Kerangka dorsum nasi (batang hidung).
2. Adanya luka, warna, udem & ulkus nasolabial.
3. Bibir atas.
Kulit pada ujung hidung yang terlihat mengkilap, menandakan
adanya udem di tempat tersebut. Adanya maserasi pada bibir atas
dapat kita temukan saat melakukan inspeksi hidung & sinus
paranalis. Maserasi disebabkan oleh sekresi yang berasal dari
sinusitis dan adenoiditis. Ada 4 struktur yang penting kita
perhatikan saat melakukan palpasi hidung & sinus paranasalis,
yaitu :
1. Dorsum nasi (batang hidung).
2. Ala nasi.
3. Regio frontalis sinus frontalis.
4. Fossa kanina.
Krepitasi dan deformitas dorsum nasi (batang hidung) dapat kita
temukan pada palpasi hidung. Deformitas dorsum nasi merupakan tanda
terjadinya fraktur os nasalis. Ala nasi penderita terasa sangat
sakit pada saat kita melakukan palpasi. Tanda ini dapat kita
temukan pada furunkel vestibulum nasi.
Cara kita melakukan palpasi pada regio frontalis sinus
frontalis, yaitu :
1. Kita menekan lantai sinus frontalis ke arah mediosuperior
dengan tenaga optimal dan simetris (besar tekanan sama antara sinus
frontalis kiri dan kanan). Palpasi kita bernilai bila kedua sinus
frontalis tersebut memiliki reaksi yang berbeda. Sinus frontalis
yang lebih sakit berarti sinus tersebut patologis.
2. Palpasi fossa kanina kita peruntukkan buat interpretasi
keadaan sinus maksilaris. Syarat dan penilaiannya sama seperti
palpasi regio frontalis sinus frontalis. Hindari menekan foramen
infraorbitalis karena terdapat nervus infraorbitalis. Perkusi pada
regio frontalis sinus frontalis dan fossa kanina kita lakukan
apabila palpasi pada keduanya menimbulkan reaksi hebat.
Syarat-syarat perkusi sama dengan syarat-syarat palpasi.
2. Rinoskopi Anterior
Ada 5 alat yang biasa kita gunakan pada rinoskopia anterior,
yaitu :
1. Cermin rinoskopi posterior.
2. Pipa penghisap.
3. Aplikator.
4. Pinset (angulair) dan bayonet (lucae).
5. Spekulum hidung HartmannDalam memegang spekulum hidung
Hartmann sebaiknya menggunakan tangan kiri dalam posisi horisontal.
Tangkainya yang dipegang berada di lateral sedangkan mulutnya di
medial. Mulut spekulum inilah yang kita masukkan ke dalam kavum
nasi pasien.
Cara memasukkan spekulum hidung Hartmann yaitu mulutnya yang
tertutup dimasukkan ke dalam kavum nasi pasien. Setelah itu dibuka
pelan-pelan di dalam kavum nasi pasien. Cara mengeluarkan spekulum
hidung Hartmann yaitu masih dalam kavum nasi, kita menutup mulut
spekulum kira-kira 90%. Jangan menutup mulut spekulum 100% karena
bulu hidung pasien dapat terjepit dan tercabut keluar. Vestibulum
hidung, septum terutama bagian anterior, konka inferior, konka
media, konka superior serta meatus sinus paranasal dan keadaan
mukosa rongga hidung harus diperhatikan.Begitu juga rongga hidung
sisi lainnya. Kadang-kadang rongga hidung ini sempit karena adanya
edema mukosa. Pada keadaan seperti ini untuk melihan bagian-bagian
yang disebut diatas lebih jelas dimasukan tampon kapas adrenalin
pantokain beberapa menit untuk mengurangi edema mukosa dan
menciutkan konka, sehingga rongga hidung lebih lapang.
Ada 4 hal yang perlu kita perhatikan pada pemeriksaan kavum nasi
(lubang hidung) bagian bawah,yaitu :
1. Warna mukosa dan konka nasi inferior.
2. Besar lumen lubang hidung.
3. Lantai lubang hidung.
4. Deviasi septi yang berbentuk krista dan spina.
Selanjutnya diperiksan ada tidaknya fenomena palatum mole yaitu
dengan mengarahkan cahaya lampu kepala ke dalam dinding belakang
nasofaring secara tegak lurus. Normalnya kita akan melihat cahaya
lampu yang terang benderang. Kemudian pasien kita minta untuk
mengucapkan "iii". Selain perubahan dinding belakang nasofaring
menjadi lebih gelap akibat gerakan palatum mole, bayangan gelap
dapat juga disebabkan cahaya lampu kepala tidak tegak lurus masuk
ke dalam dinding belakang nasofaring. Setelah pasien mengucapkan
"iii", palatum mole akan kembali bergerak kebawah sehingga benda
gelap akan menghilang dan dinding belakang nasofaring akan terang
kembali. Fenomena palatum mole positif bilamana palatum mole
bergerak saat pasien mengucapkan "iii" dimana akan tampak adanya
benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang nasofaring
berubah menjadi lebih gelap. Sebaliknya, fenomena palatum mole
negatif apabila palatum mole tidak bergerak sehingga tidak tampak
adanya benda gelap yang bergerak ke atas dan dinding belakang
nasofaring tetap terang benderang yang dapat ditemukan pada
paralisis palatum mole pada post difteri, spasme palatum mole pada
abses peritonsil, sikatriks, tumor nasofaring : karsinoma
nasofaring, abses retrofaring, dan adenoid.
3. Rinoskopi Posterior
Untuk melihat bagian bagian belakang hidung dilakukan
pemeriksaan rinoskopi posterior sekaligus untuk melihat keadaan
nasofaring. Alat dan bahan yang kita gunakan pada rinoskopia
posterior, yaitu :
1. Kaca Nasofaring2. Spatula.
3. Lampu spritus.
Kaca nasofaring yang telah dihangatkan dengan api lampu spiritus
untuk mencegah udara pernapasan mengembun pada kaca. Sebelum kaca
ini dimaksukkan, suhu kaca dites dulu dengan menemplekannya pada
kulit belakang tangan kiri pemeriksa. Pasien diminta membuka mulut,
lidah dua pertiga anterior ditekan dengan spatula lidah. Pasien
bernapas melalui mulut supaya uvula terangkat ke atas dan kaca
nasofaring yang menghadap ke atas dimasukkkan melalui mulut, ke
bawah uvula dan sampai nasofaring. Posisi cermin jangan terlalu
jauh masuk ke dalam apalagi sampai menyentuh faring pasien. Refleks
muntah dapat timbul.Setelah kaca berada di nasofaring, pasien
diminta bernapas biasa melalui hidung, uvula akan turun kembali dan
rongga nasofaring akan terbuka.
Mula-mula diperhatikan bagian belakang septum dan koana.
Kemudian kaca diputar ke lateral sedikit untuk melihat konka
superior, konka media, dan konka inferior serta meatus superior dan
meatus media. Kaca diputar ke lateral lagi sehingga dapat
diidentifikasi tours tubarius,muara tuba eustachius dan fossa
rossenmuller, kemudian akca diputar ke sisi lainnya.
4. Transiluminasi (Diaphanoscopia)
Syarat melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia)
adalah adanya ruangan yang gelap. Alat yang kita gunakan berupa
lampu listrik bertegangan 6 volt dan bertangkai panjang (Heyman).
Pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia) kita gunakan untuk
mengamati sinus frontalis dan sinus maksilaris. Cara pemeriksaan
kedua sinus tersebut tentu saja berbeda. Cara melakukan pemeriksaan
transiluminasi (diaphanoscopia) pada sinus frontalis yaitu kita
menyinari dan menekan lantai sinus frontalis ke mediosuperior.
Cahaya yang memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri.
Hasilnya sinus frontalis normal bilamana dinding depan sinus
frontalis tampak terang.
Ada 2 cara melakukan pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia)
pada sinus maksilaris, yaitu :
Cara I. Mulut pasien kita minta dibuka lebar-lebar. Lampu kita
tekan pada margo inferior orbita ke arah inferior. Cahaya yang
memancar ke depan kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya sinus
maksilaris normal bilamana palatum durum homolateral berwarna
terang.
Cara II. Mulut pasien kita minta dibuka. Kita masukkan lampu
yang telah diselubungi dengan tabung gelas ke dalam mulut pasien.
Mulut pasien kemudian kita tutup. Cahaya yang memancar dari mulut
dan bibir atas pasien, kita tutup dengan tangan kiri. Hasilnya
dinding depan dibawah orbita tampak bayangan terang berbentuk bulan
sabit.
Penilaian pemeriksaan transiluminasi (diaphanoscopia)
berdasarkan adanya perbedaan sinus kiri dan sinus kanan. Jika kedua
sinus tampak terang, menandakan keduanya normal. Namun khusus
pasien wanita, hal itu bisa menandakan adanya cairan karena
tipisnya tulang mereka. Jika kedua sinus tampak gelap, menandakan
keduanya normal. Khusus pasien pria, kedua sinus yang gelap bisa
akibat pengaruh tebalnya tulang mereka.
5. X-Photo Rontgen
Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi
Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap
menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah
masih utuh ataukah tidak.
6. Pungsi Percobaan
Pungsi percobaan hanya untuk pemeriksaan sinus maksilaris dengan
menggunakan troicart. Kita melakukannya melalui meatus nasi
inferior. Hasilnya jika keluar nanah atau sekret mukoid maka kita
melanjutkannya dengan tindakan irigasi sinus maksilaris.
7. Biopsi
Jaringan biopsi kita ambil dari sinus maksilaris melalui lubang
pungsi di meatus nasi inferior atau menggunakan Caldwell-Luc..DUA
PENYAKIT HIDUNG TERSERING- RHINITIS ALERGIa. Definisi
Penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada
pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitasi dengan alergen yang
sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi
paparan ulangan dengan alergen spesifik tersebut. Menurut ARIA
2001, merupakan kelainan pada hidung dengan gejala
bersin-bersin,rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa
hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE..
b. Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawalai
dengan tahap sensitisasi dan diikuti dengan tahap provokasi/reaksi
alergi. Reaksi alergi dibagi 2, yaitu rekasi alergi fase cepat dan
reaksi alergi fase lambat. Reaksi alergi fase cepat berlangsung
sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya. Sedangkan
rekasi alergi fase lambat berlangsung 2-4 jam dengan puncak 6-8 jam
setelah pemaparan dan dapat berlangsung sampai 24-48 jam. Pada
kontak pertama dengan allergen atau tahap sensitisasi, makrofag
atau monosit yang berperan sebagai sel penyaji (APC) akan menangkap
allergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan
bergabung dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC
kelas II yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper (Th0).
Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1
(IL-1) yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1
dan Th2. Th2 akan menghasilkan berbagai sitokin seperti IL3, IL4,
IL5, dan IL13.
IL4 dan IL13 dapat diikat oleh reseptornya dipermukaan sel
limfosit B, sehingga sel limfosit B menjadi aktif dan akan
memproduksi immunoglobulin E (Ig E). IgE di sirkulasi darah akan
masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor Ig E dipermukaan sel
mastosit atau basofil sehingga ke dua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang
tersensitisasi. Bila mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar
dengan allergen yang sama, maka kedua rantai IgE akan mengikat
allergen spesifik dan terjadi degranulasi dan basofil dengan akibat
terlepasnya mediator kimia yang sudah terbentuk terutama histamin.
Selain histamine juga dikeluarkan prostaglandin D2, leukotrien D4,
leukotrien C4, bradikinin, PAF, sitokin. Inilah yang disebut rekasi
alergi tipe cepat.
Histamin akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus
sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin.
Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga
terjadi rhinore. Gejala lain hidung tersumbat akibat vasodilatasi
sinusoid.
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan
bersin berulang. Sebenarnya bersin merupakan gejala yang normal,
terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses
membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap
patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan,
sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin
patologis. Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer dan
banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang
disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda
alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring.
Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang garis hitam
melintang pada tengah punggung hidung akibat sering menggosok
hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat
dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung
bengkak. Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di mata
termasuk edema kelopak mata, kongesti konjungtiva, lingkar hitam
dibawah mata (allergic shiner). Tanda pada telinga termasuk
retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil
dari hambatan tuba eustachii. Tanda faringeal termasuk faringitis
granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid. Tanda
laringeal termasuk suara serak dan edema pita suara. Gejala lain
yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah
penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah,
kehilangan nafsu makan dan sulit tidur.
c. Diagnosis Rhinitis Alergi
Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak
terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan
dari anamnesis saja. Gejala rhinitis alergi yang khas ialah
terdapatnya serangan bersin berulang. Gejala lainnya adalah rinore
yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal,
yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Pemeriksaan rhinoskopi anterior
Tampak mukosa edema, basah, berwarna pucat atau livid disertai
adanya secret encer yang banyak. Bila gejala persisten, mukosa
inferior tampak hipertrofi. Pemeriksaan naso endoskopi (dapat
dilakukan bila fasilitas tersedia) Hitung eosinofil dalam darah
tepi
Hasil yang didapat bisa normal atau meningkat. Demikian pula
pemeriksaan IgE total seringkali menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit.
Uji kulit allergen penyebab dapat dicari secara invivo
Ada beberapa cara yaitu uji intrakutan atau intradermal yang
tunggal atau berseri atau Skin End-pont Titration (SET), uji cukit
dan uji gores. Kedalaman kulit yang dicapai pada kedua uji kulit
sama. Uji SET dilakukan untuk allergen inhalan dengan menyuntikkan
allergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya.
Keuntungan SET, selain allergen penyebab juga dapat alergi serta
dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui.
Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang
dapat diandalkan.Diagnosa biasanya ditegakkan dengan diet eliminasi
dan provokasi.Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh
dalam waktu 5 hari. Karena itu dalam uji provokasi, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari
selanjutnya diamati reaksinya.
d. Penatalaksanaan
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan menghindari kontak
dengan allergen penyebabnya dan eliminasi. 2. Medikamentosa
Antihistamin yang dipakai adalah antagonis histamine H-1 yang
bekerja pada reseptor H-1 sel target dan merupakan preparat
farmakologik yang paling sering dipakai sebagai lini pertama
pengobatan rhinitis alergi. Pemberian dapat kombinasi dengan
dekongestan secara peroral atau tanpa kombinasi. Antihistamin
dibagi 2 kelompok yaitu generasi ke-1 bersifat lipofilik yang
menembus sawar darah otak dan plasenta sehingga mempunyai efek
kolinergik, sedangkan generasi ke-2 bersifat lipofobik sehingga
sulit menembus sawar darah otak.
Preparat agonis adrenergic alfa dipakai sebagai dekongestan
hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau
topikal. Namun pemakaian topikal hanya untuk menghindari terjadinya
rhinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala
terutama sumbatan hidung akibat respon fase lambat tidak berhasil
diatasi obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
topikal. Kortikosteroid topikal bekerja untuk mengurangi jumlah sel
mastosit pada mukosa hidung, mencegah pengeluaran protein,
sitotoksik dari eosinofil, mengurangi aktifitas limfosit, mencegah
bocornya plasma.
3. Operatif
Tindakan konkotomi perlu dipikirkan bila konka inferior
hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara
kauterisasi memakai AgNO3 25%.
4. Imunoterapi
Desensitisasi dan hiposensitisasi cara pengobatan ini dilakukan
pada alergi inhalan dengan gejala yang berat dan sudah berlangsung
lama serta dengan pengobatan cara lain tidak memberikan hasil yang
memuaskan.
Komplikasi
Komplikasi rhinitis alergi yang sering ;
1. Polip Hidung
2. Otitis Media yang sering residif
3. Sinus paranasalSINUSITIS
Definisi
Sinusitis merupakan penyakit yang sering ditemukan dalam praktek
dokter sehari-hari, bahkan dianggap sebagai salah satu penyebab
gangguan kesehatan tersering di seluruh dunia. Sinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya
disertai atau dipicu oleh rinitis sehingga sering disebut
rinosinositis. Penyebab utamanya adalah salesma (common cold) yang
merupakan infeksi virus yang selanjutnya diikuti oleh infeksi
bakteri.
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinusitis, sedangkan
bila mengenai seluruh sinus disebut pansinusitis. Yang paling
sering terkena adalah sinus etmoidalis dan maksilaris, sedangkan
sinus frontal lebih jarang dan sinus sfenoid lebih jarang lagi.
Sinus maksila disebut juga antrum Highmore, letaknya dekat akar
gigi rahan atas, maka infeksi gigi rahang atas mudah menyebab ke
sinus disebut sinusitis dentogen. Sinusitis dapat menjadi berbahaya
karena menyebabkan komplikasi ke orbita dan intrakranial, serta
menyebabkan peningkatan serangan asma yang sulit diobati.Etiologi
dan faktor predisposisi
Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA
akibat virus, bermacam rhinitis seperti rhinitis alergi, rhinitis
hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti
deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan KOM, infeksi tonsil,
infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia seperti pada
syndrome Kartagener dan di luar negeri adalah penyakit fibrosis
kistik
Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab
sinusitis sehingga perlu dilakukan adnoidektomi untuk menghilangkan
sumbatan dan menyebuhkan rinosinusitisnya. Hipertrofi adenoid dapat
didiagnosis dengan foto polos leher posisi lateral.
Faktor lain yang juga berpengaruh adalah lingkungan berpolusi,
udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini
lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak
silia.Patofisiologi
Kesehatan sinus dipengaruhi oleh patensi ostium-ostium sinus dan
lancarnya klirens mukosilier (muccocilliary clearence) di dalam
KOM. Mukus juga mengandung substansia antimikrobial dan zat-zat
yang berfungsi sebagai mekanisme pertahan tubuh terhadap kuman yang
masuk bersama udara pernafasan.
Organ-organ yang membentuk KOM letaknya berdekatan dan bila
terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga
silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi
tekanan negatif di dalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya
transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai
rinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan,
Bila kondisi ini menetap, sekret yang terkumpul dalam sinus
merupakan media yang baik untuk tumbuhnya dan multiplikasinya
bakteri. Sekret menjadi purulen, keadaan ini disebut sebagai
rinosinusitis akut bakterial dan memerluka terapi antibiotik.
Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor
predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri
anaerob berkembang. Mukosa makin makin membengkak dan ini merupakan
rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa
manjadi kronik atau hipertrofi, polipoid atau pembentukan polip dan
kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi.
Klasifikasi dan Mikrobiologi
Konsensus internasional tahun 1995 membagi rinosinusitis hanya
akut dengan batas sampai 8 minggu dan kronik jika lebih dari 8
minggu.
Konsensus tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4
minggu, subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik lebih
dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya
merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secar
adekuat. Pada sinusitis kronik adalah faktor predisposisi harus
dicari dan diobati secara tuntas.
Menurut berbagai penelitian, bakteri utama yang ditemukan pada
sinusitis akut adalah Streptococcus Pneumonia (30-50%), Hemophylus
Influenzae (20-40%), Moraxella catarrhalis (4%). Pada anak
M.catarrhalis lebih banyak ditemukan (20%)
Pada sinusitis kronik, faktor predisposisi lebih berperan,
tetapi umunya bakteri yang lebih condong adalah kearah bakteri gram
negatif dan anaerob.Sinusitis Dentogen
Merupakan salah satu penyebab penting sinusitis kronik. Dasar
sinus maksila adalah pressesus alveolaris tempat akar gigi rahang
atas, sehingga rongga sinus maksila hanya terpisahkan oleh tualng
tipis dengan akar gigi, bahkan kadang-kadang tanpa tulang pembatas.
Infeksi gigi rahang atas seperti infeksi apikal akar gigi atau
inflamasi jaringan periodontal mudah menyebar secara langsung ke
sinus atau melalui pembuluh darah dan limfe.
Harus curiga adanya sinusitis dentogen pada sinusitis maksila
kronik yang mengenai satu sisi dengan ingus purulen dan napas
berbau busuk. Untuk mengobati sinusitis, gigi yang terinfeksi harus
dicabut atau dirawat, dan pemberian antibiotik yang mencakup
bakteri anaerob. Sering kali dilakukan irigasi sinus maksila.
Gejala Sinusitis
Keluhan utama rhinosinositis akut ialah hidung tersumbat
disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang
sering kali turun ke tenggorok (post nasal drip), dapat disertai
gejala sistemik seperti demam dan lemas.
Keluhan nyeri atau rasa tekanan di daerah sinus yang terkena
merupakan ciri khas sinusitis akut, serta kadang-kadang nyeri juga
terasa ditempat lain (reffered pain). Nyeri pipi menandakan
sinusitis maksilaris, nyeri diantara atau dibelakang kedua bola
mata menandakan sinusitis etmoid. Nyeri dahi atau seluruh kepala
menandakan sinusitis frontalis. Pada sinusitis sfenoid, nyeri
dirasakan di vertex, ocipital, belakang bola mata dan daerah
mastoid. Pada sinusitis maksila kadang-kadang ada nyeri alih ke
gigi dan telinga.
Gejala lain adalah sakit kepala, hiposmia/anosmia, halitosis,
post nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak napas pada
anak.
Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosa,
kadang hanya 1 atau 2 dari gejala-gejala dibawah ini yaitu sakit
kepala kronik, post nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok,
gangguan telinga akibat sumbatan kronik di tuba Eustachius,
gangguan ke paru seperti brokhitis (sino-bronkhitis), bronkietasis
dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan
gasteroenteritis.
Diagnosis
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan fisik dengan rinoskopi
anterior dan posterior, pemeriksaan naso-endoskopi sangat
dianjurkan untuk diagnosis yang lebih tepat dan dini. Tanda khas
ialah adanya pus di meatus media (pada sinusitis maksila dan etmoid
anterior dan frontal) atau di meatus superior (pada sinusitis
etmoid posterior dan sfenoid)
Pada rinosinusitis akut, mukosa edema dan hiperemis. Pada anak
sering ada pembengkakan dan kemerahan di daerah kantus medius.
Pemeriksaan pembantu yang penting adalah foto polos atau CT scan.
Foto polos posisi water, PA dan lateral. Umumnya hanya mampu
menilai kondisi sinus-sinus besar seperti sinus maksila dan
frontal. Kelainan akan terlihat sebagai perselubungan, batas
udara-cairan (air fluid level) dan penebalan mukosa. CT scan sinus
merupakan gold standard diagnosis sinusitis, karena mampu melihat
anatomi dan sinus secara keseluruhan dan perluasannya, namun karena
mahal hanya dikerjakan sebagai penunjang diagnosis sinusitis kronik
yang tidak membaik dengan pengobatan atau pra-oparasi sebagai
panduan operasi sebagai panduan panduan operator saat melakukan
operasi sinus.
Pada pemeriksaan transiluminasi sinus yang sakit akan menjadi
suram atau gelap, pemeriksaan ini sudah jarang karena sangat
terbatas kegunaanya.
Pemeriksaan mikrobiologik dan test resistensi dilakukan dengan
mengambil sekret dari meatus medius/superior, untuk mendapat
antibiotik yang tepat. Lebih baik lagi bila diambil sekret yang
keluar dari pungsi sinus maksila.
Sinuskopi dilakukan dengan pungsi menembus dinding medial sinus
maksila melalui meatus inferior dengan alat endoskopi bisa dilihat
kondisi sinus maksila yang sebenarnya, selanjutnya bisa dilakuaka
irigasi untuk terapi.
Terapi
Tujuan terapi sinusitis adalah :
1. Mempercepat penyembuhan
2. Mencegah komplikasi
3. Mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan adalah membuka sumbatan di KOM sehingga
drainase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami.
Antibiotik dan dekongestan merupakan terapi pilihan pada
sinusitis akut bakterial, untuk menghilangkan infeksi dan
pembengkakan mukosa serta membuka sumbatan ostium sinus. Antibiotik
yang dipilih adalah golongan penisilin seperti amoxisilin. Jika
diperkirakan kuman telah resistens atau telah memproduksi beta
laktamase, maka dapat diberikan amoxicillin-klavulanat atau jenis
sefalosporin generasi 2. Pada sinusitis antibiotik diberikan selama
10-14 hari meskipun gejala klinik telah hilang.
Pada sinusitis kronik diberikan antibiotik yang sesuai untuk
kuman gram negatif dan anaerob. Selain dekongestan oral dan
topikal, terapi lain dapat diberikan bila diperlukan seperti
analgetik, mukolitik, steroid oral/topikal, pencucian rongga hidung
dengan NaCl atau pemanasan (diatermi). Antihistamin tidak rutin
diberikan karena sifat antikolinergiknya dapat menyebabkan sekret
jadi lebih kental. Bila ada alergi berat sebaiknya diberikan
antihistamin generasi 2. Irigasi sinus maksila atau Proetz
displacement therapy juga merupakan terapi tambahan yang dapat
bermanfaat. Imunoterapi juga dapat dipertimbangkan bila pasen
menderita kelainan alergi yang berat.
Tindakan Operasi
Bedah sinus endoskopi fungsional (BESF/FESS) merupakan operasi
terkini untuk sinusitis kronik yang memerlukan operasi. Tindakan
ini menggantikan hampir semua jenis bedah sinus terdahulu karena
memberikan hasil yang lebih memuaskan dan tindakan lebih ringan
tidak radikal.
Indikasinya berupa : sinusitis kronik yang tidak membaik setelah
terapi adekuat, sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang
irreversible, polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta
sinusitis jamur.Komplikasi
Komplikasi telah menurun secara nyata sejak ditemukannya
antibiotik. Komplikasi berat biasanya terjadi pada sinusitis akut
atau pada sinusitis kronis eksaserbasi akut, berupa komplikasi
orbita atau intrakranial.
Kelainan orbita, disebabkan oleh sinus paranasal yang berdekatan
dengan mata (orbita), yang paling sering adalah sinusitis etmoid,
kemudian sinusitis frontal dan maksila. Penyebaran infeksi terjadi
melalui tromboflebitis dan perkontinuitatum. Kelainan yang dapat
timbul ialah edema palpebra, selulitis orbita, abses subperiostal,
abses orbita dan selanjutnya dapat terjadi trombosis sinus
kavernosus.
Kelainan intrakranial, dapat berupa meningitis, abses
ekstradural atau subdural, abses otak dan trombosis sinus
kavernosus.
Komplikasi juga bisa terjadi bila sinusitis kronis berupa :
a. Osteomielitis dan abses subperiosteal. Paling sering timbul
akibat sinusitis frontal dan biasanya ditemukan pada anak-anak.
Pada osteomielitis sinus maksila dapat timbul fistula oroantral
atau fistula pada pipi.
b. Kelainan paru, seperti bronkhitis kronik dan bronkiektasis.
Adanya kelainan paru ini disebut sino-brokhitis. Selain itu dapat
menyebabkan kambuhnya asma bronkial yang sulit dihilangkan sebelum
sinusitis disembuhkan.DAFTAR PUSTAKAArsyad, Efiaty dkk. 2010. Buku
Ajar Ilmu Kesehatan Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala dan Leher.
Edisi ke enam Jakarta. FKUI
Guyton, AC, Hall, JE, Buku Ajar Fisiologi Kedokteran, 1997,
editor: irawati setiawan, ed. 9, 1997, Jakarta: EGC
Liston stephen L, at all. 2007. Edisi 6. Boies ; Buku Ajar
Penyakit THT. EGC jakarta.
Putz, Pabst. Atlas Anatomi Manusia Sobotta Bagian I Revisi Edisi
20. Balai Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta : 1995.Rohen
Johannes.W.&Ltjen-Drecoll E. 2012.embriologi fungsional
perkembangan sistem fungsi organ manusia.EGC.Jakarta1