Obat Lepra Leoandri Fahlefi 04124705117 Bagian/ Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/ RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang 2014 Pendahuluan Lepra (kusta, Morbus Hansen) adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae) dan menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, kulit, mukosa traktus respiratorius bagian atas, lalu dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat. 1 Diperkirakan jumlah penderita baru kusta di dunia pada tahun 2005 adalah sekitar 296. 499 jiwa (WHO). Dari jumlah tersebut, angka tertinggi terdapat di regional Asia Tenggara (201.635) diikuti dengan regional Afrika (42.814), Amerika (41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia. Di Indonesia, terjadi penurunan angka kejadian kasus baru pada penderita kusta dari tahun 1993 sampai tahun 2005. Pada tahun 1993, tercatat 12.638.740 jiwa menderita kusta. Sedangkan pada tahun 2005, ditemukan kasus baru sebesar 19.695 jiwa. Pada penyakit kronik seperti kusta, informasi berdasarkan data
This document is posted to help you gain knowledge. Please leave a comment to let me know what you think about it! Share it to your friends and learn new things together.
Transcript
Obat LepraLeoandri Fahlefi
04124705117Bagian/ Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya/RSUP dr. Moh. Hoesin Palembang
2014
Pendahuluan
Lepra (kusta, Morbus Hansen) adalah penyakit infeksi granulomatosa kronik
pada manusia yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae (M. leprae) dan
menyerang saraf perifer sebagai afinitas pertama, kulit, mukosa traktus respiratorius
bagian atas, lalu dapat ke organ lain kecuali susunan saraf pusat.1
Diperkirakan jumlah penderita baru kusta di dunia pada tahun 2005 adalah
sekitar 296. 499 jiwa (WHO). Dari jumlah tersebut, angka tertinggi terdapat di
regional Asia Tenggara (201.635) diikuti dengan regional Afrika (42.814), Amerika
(41.780) dan sisanya berada di regional lain di dunia. Di Indonesia, terjadi penurunan
angka kejadian kasus baru pada penderita kusta dari tahun 1993 sampai tahun 2005.
Pada tahun 1993, tercatat 12.638.740 jiwa menderita kusta. Sedangkan pada tahun
2005, ditemukan kasus baru sebesar 19.695 jiwa. Pada penyakit kronik seperti kusta,
informasi berdasarkan data prevalensi dan data umur pada saat timbulnya penyakit
mungkin tidak menggambarkan resiko spesifik umur. Walaupun kusta bisa
menyerang semua golongan umur, kasus terbanyak pada daerah endemik ditemukan
sebelum umur 35 tahun. Selain itu, pada pria juga lebih sering 1,5 :1 ditemukan
kasusnya daripada wanita.3,4
Kuman penyebab kusta adalah Mycobacterium leprae yang ditemukan oleh
dr. G.Armuer Hansen pada tahun 1874 di Norwegia. Bakteri ini merupakan bakteri
tahan asam (BTA) dan bersifat obligat intraseluler. M. leprae berbentuk basil dengan
ukuran 1- 8 µm x 0,5 µm. M. leprae biasanya berkelompok dan ada pula yang
tersebar soliter. Kuman ini hidup dalam sel terutama jaringan bersuhu dingin seperti
di daerah ekstremitas distal dan pada daun telinga. Masa belah diri kuman kusta ini
memerlukan waktu yang sangat lama dibandingkan dengan kuman lain, yaitu 12- 21
hari. Sehingga masa tunas pun menjadi lama, yaitu sekitar 2– 5 tahun. Pada
umumnya, pasien yang terinfeksi asimtomatik namun sebagian kecil memperlihatkan
gejala dan mempunyai kecenderungan cacat.4,5
Tinjauan pustaka ini dibuat dengan tujuan menambah wawasan mengenai
penyakit obat yang digunakan pada penyakit lepra secara umum. Adapun yang akan
dibahas pada tinjauan pustaka ini adalah patogenesis kusta, gambaran klinis
berdasarkan klasifikasi, pemeriksaan pasien, diagnosis banding, dan juga terapi dari
penyakit kusta.
PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari pengobatan yaitu untuk memutuskan mata rantai
penularan untuk menurunkan insiden terjadinya penyakit, mengobati dan
menyembuhkan penderita, mencegah timbulnya penyakit, dan untuk mencapai
tujuan tersebut, strategi pokok yang dilakukan didasarkan atas deteksi dini dan
pengobatan penderita4
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampisin,
klofazimin, dan DDS dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk
mengatasi resistensi dapson yang semakin meningkat, mengurangi
ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat, dan untuk mengeliminasi
persistensi kuman kusta dalam jaringan. 4
Obat antikusta yang paling banyak dipakai pada saat ini adalah DDS
(Diaminodifenil sulfon) kemudoan klofazimin dan rifampicin. Pada tahun
1998 WHO menambahkan 3 obat antibiotic lain untuk pengobatan alternative
yaitu ofloksasin, minosiklin, dan klaritomisin. Sejak tahun 1951 pengobatan
tuberculosis dengan obat kombinasi ditujukan untuk mencegah kemungkinan
resistensi obaat sedangkan MDT untuk kusta baru dimulai tahun 1971.1
Pengobatan kusta selama kehamilan dan menyusui
Kusta diperburuk selama kehamilan, sehingga sangat penting bahwa terapi
multidrug standar dilanjutkan selama kehamilan. Program Aksi untuk Penghapusan
Kusta, WHO, Jenewa telah menyatakan bahwa rejimen MDT standar dianggap aman,
baik untuk ibu dan anak, dan karena itu, harus dilanjutkan berubah selama kehamilan.
Sebuah jumlah kecil obat anti-lepra diekskresikan melalui ASI, tetapi tidak ada
laporan efek samping sebagai akibat dari ini kecuali untuk perubahan warna kulit
ringan dari bayi karena klofazimin. Perlakuan dosis tunggal untuk pasien kusta lesi
tunggal paucibacillary harus ditunda sampai setelah melahirkan. 6
Hormonal dan imunologi perubahan dalam penumpasan kehamilan
menyebabkan sel-dimediasi kekebalan dan memburuknya gejala. Bayi yang lahir dari
ibu dengan berat lahir rendah memiliki kusta dan peningkatan risiko terserang
penyakit itu.
WHO merekomendasikan MDT karena itu dilanjutkan selama kehamilan .Namun,
obat yang digunakan dalam pengobatan kusta tidak tanpa risiko dan pengobatan harus
selama masa pengobatan. Haruskah kehamilan terjadi meskipun tindakan pencegahan
ini, ada risiko tinggi kelainan berat janin. 1
Klofazimin kecuali sebagai obat antikusta dapat juga dipakai sebagai anti-
reaksi E.N.L, tetapi dengan dosis yang lebih tinggi. Khasiatnya lebih lambat dari
kortikosteroid. Keuntungan lain klofazimin dapat dipakai sebagai usaha untuk lepas
dari ketergantungan kortikosteroid. 1
Pengobatan reaksi reversal:
Perlu diperhatikan, apakah reaksi ini disertai neuritis atau tidak. Sebab kalau
tanpa neuritis akut tidak perlu diberi pengobatan tambahan. Kalau ada neuritis akut,
obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya juga disesuaikan dengan
berat ringannya neuritis, makin berat makin tinggi dosisnya. Biasanya diberikan
prednison 40-60 mg sehari, kemudian diturunkan perlahan-lahan. Pengobatan harus
secepat-cepatnya dan dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya
kerusakan saraf secara mendadak. 1
Anggoata gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Analgetik dan
sedativa kalau diperlukan dapat diberikan. Klofazimin dan thalidomid untuk reaksi
reversal kurang efektif, oleh karena itu jarang dipakai. 1
Pencegahan Cacat:
Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas dan
berkurangnya kekuatan otot. Cara terbaik untuk melakukan pencegahan cacat adalah
dengan melaksanakan diagnosis dini kusta, pemberian pengobatan MDT yang cepat
dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala dan tanda reaksi kusta yang disertai
gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan kortikosteroid sesegera mungkin. 1
Penatalaksanaan Reaksi Morbus Hansen
Pada prinsipnya pengobatan reaksi Morbus Hansen terutama ditujukan untuk: 7
1. Mengontrol neuritis akut untuk mencegah anesthesia, paralisis, dan kontraktur
2. Melindungi mata dan mencegah kebutaan
3. Mengurangi rasa sakit atau nyeri
4. Membunuh basil sehingga mencegah penularan penyakit
Untuk mencapai tujuan tersebut, prinsip pengobatan reaksi Morbus Hansen
adalah: 7
1. Pemberian obat antireaksi
2. Istirahat atau imobilisasi
3. Analgetik, sedatif untuk mengatasi rasa nyeri
4. Meneruskan pemberian MDT (untuk semua reaksi, bila tidak ada
kontraindikasi, maka pemberian MDT harus diteruskan)
Berdasarkan prinsip diatas, maka terdapat empat kelompok penatalaksanaan
pada reaksi Morbus Hansen tipe 1 dan tipe 2 yakni penggunaan anti inflamasi,
analgesik, fisioterapi, dan antibakteri. 7
a. Terapi anti inflamasi
Secara umum dikelompokkan menjadi dua yakni pada reaksi ringan dan
reaksi berat. Pada reaksi ringan yang umum digunakan adalah aspirin 600-
1200mg yang diberikan setiap 4jam, atau 4 hingga 6 kali perhari. Kloroquin
150mg yang diberikan 3 kali perhari. Apabila dikombinasikan, kloroquin dan
aspirin memberikan efek antiinflamasi yang lebih baik, tetapi dosis harus
dikurangi sering dengan perbaikan tanda dan gejala reaksi untuk mencegah
timbulnya efek samping. 6,7
Antimonial efektif untuk mengurang nyeri sendi dan tulang pada reaksi tipe
2. Antimonial trivalen organik kurang toksik dibanding yang inorganik
sehingga lebih disukai. Stibophen mengandung 8,5mg antimony per
mililiternya; 2 hingga 3 ml diberikan intramuskular, akan tetapi tidak boleh
melebihi dosis 30ml. Efek antiinflamasi thalidomide efektif pada neuritis dan
iridosiklitis reaksi tipe 2. Selain itu thalidomide sangat bermanfaat untuk
menggantikan kortikosteroid. Dosis 400mg perhari sampai gejala berkurang
dan dikurangi 50mg perhari. Thalidomide bersifat teratogenik sehingga tidak
boleh diberikan pada pasien usia subur. 7
Reaksi berat ditandai dengan paralysis atau anesthesia; ulserasi kulit yang
kadang disertai iritis, orchitis, artritis, dactylitis, dan demam; dan iridosiklitis
dan orchitis yang timbul sendiri. Apabila gejala tersebut muncul maka pasien
berada dalam tahap gawat dan perlu penanganan segera. 6
Kortikosteroid yang sering diberikan berupa prednison atau prednisolon
yang dimulai dengan 40-80mg tergantung dari berat ringannya gejala. Dosis
yang tinggi harus segera dikurangi hingga 40mg dalam beberapa hari.
Kemudian dosis dikurangi 5-10mg setiap dua hingga empat pekan. Respon
pasien diukur dengan memeriksa fungsi saraf tepi. Pasien morbus hansen tipe
BT biasanya memerlukan 2-6 bulan penggunaan, sementara tipe BL
memerlukan waktu 9 bulan. Kortison atau hidrokortison dapat digunakan
tetapi dosisnya lima kali lebih tinggi. Jika pasien reaksi tipe 1 mendapatkan
dapson dan kortikosteroid, dan kortikosteroid yang diperlukan dalam dosis
tinggi, dapson diganti dengan klofazimin. Kortikosteroid dapat menekan
sistem respon sistem imun dan meningkatkan pertumbuhan basil lepra
sehingga obat morbus hansen tetap harus diteruskan selama pemberian
kortikosteroid atau dapat diberikan klofazimin dan dapson monoterapi jika
pemberian MDT telah selesai. 7
Tabel 2. Penatalaksanaan reaksi Morbus Hansen 2
Pada reaksi tipe 2 karena kerusakan saraf tidak seberat reaksi tipe 1, maka
pilihan utama adalah thalidomide. Jika pasien dikontraindikasikan terhadap
thalidomide, maka digunakan prednisone 20-40 mg perhari dan diturunkan
seiring respon pasien. Respon yang lebih baik didapatkan bila thalidomide
dikombinasikan dengan steroid dosis rendah. 7
Klofazimin digunakan pada pasien yang tidak dapat menggunakan
kortikosteroid dan thalidomide. Untuk mendapatkan efek antiinflamasi maka
thalidomide diberikan dalam dosis tinggi. Biasanya diberikan 300mg perhari
selama dua pekan, dan menjadi 200mg perhari selama satu hingga dua bulan,
dan terakhir menjadi 100mg perhari. 7
b. Terapi analgesik
Pada reaksi ringan digunakan analgesik sekaligus antiinflamasi yaitu aspirin.
Pada reaksi berat aspirin digunakan sebagai analgesik disertai kortikosteroid
sebagai antiinflamasi. Ketika pasien mengeluh ansietas dan insomnia maka
dapat digunakan klorpromazin 25-50 mg pada malam hari atau 3 kali perhari.
Jika nyeri sangat berat dapat digunakan opioid tetapi harus dalam pengawasan
ketat karena efek addiksi. Apabila nyeri muncul dalam waktu lama, maka
kortikosteroid atau klofazimin harus ditingkatkan, atau bahkan pasien perlu
operasi segera. 7
Prednison dan lignokain injeksi intraneural dapat diberikan tetapi sedapat
mungkin dihindari karena menyebabkan kerusakan saraf dan timbulnya
jaringan parut. Jika kortikosteroid tidak mampu mengurangi nyeri dan tidak
ada perbaikan saraf, maka diperlukan tindakan bedah. Apabila terdapat abses
saraf maka dilakukan aspirasi, jika gagal, maka dilakukan bedah terbuka
untuk mengeluarkan abses. Neurolisis adalah tindakan membebaskan saraf
dan epeneurotomi dapat menurunkan tekanan intraneural. Saraf yang tidak
dapat berfungsi lagi dan hanya menyebabkan nyeri dapat dioperasi untuk
menghilangkan nyeri. 7
c. Fisioterapi
Pada reaksi berat imobilisasi dapat mengurangi rasa nyeri, tetapi hal ini
memicu kontraktur terutama jika reaksi tersebut disertai dengan paralisis dan
artritis. Sendi harus diregangkan pada posisi fungsionalnya, dapat digunakan
bidai atau splint yang dipasang sepanjang hari dan dilepaskan jika pasien
melakukan terapi latihan. 7
d. Terapi antibakteri
Terapi antibakteri basil lepra harus dilanjutkan karena jika dihentikan maka
akan timbul efek samping yang lebih buruk terutama bila pasien mendapat
terapi steroid. Pada pasien yang baru pertama mengalami nyeri saraf maka
dapat diberikan klofazimin sebagai pengganti dapson dan rifampisin. Pasien
dengan morbus hansen tipe borderline dapat mengalami reaksi berat setelah
menggunakan dapson dapat diberikan klofazimin. Pada pasien reaksi tipe 2
yang mengalami ulserasi mukosa traktus reaspiratorius dapat diberikan
streptomisin. 7
Fenomena lucio memerlukan penanganan tersendiri yakni penggunaan
kemoterapi yang mengandung rifampisin. Steroid sebaiknya digunakan, tetapi
thalidomide dan klofazimin tidak efektif. 7
Daftar Pustaka
1. Rea, Thomas H. and Modlin, Robert L. Leprosy. In: Klaus W., Lowell A.G., Stephen I.K., Barbara A.G., Amy S.P., David J.L. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine Seventh Edition. United States of America: The McGraw- Hill Companies, Inc; 2008. p.1786- 1796
2. Hernani. Sejarah Pemberantasan Penyakit Kusta. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 1- 3
3. Hernani. Epidemiologi. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 4-8
4. William DJ, Timothy GB. Hansen’s Disease. In: William DJ, Timoty GB, Dirk ME. Andrews’ Disease of The Skin Clinical Dermatology Tenth Edition. United States of America: Elsevier, Inc.; 2006 p.342- 352
5. Lockwood D.N.J. Leprosy. In: Tony B., Stephen C., Neil C., Christopher G.. Rook’s Textbook of Dermatology Seventh Edition. United States of America: Blackwell Publishing; 2004, p.29.1- 29.21
6. Hernani. Diagnosis dan Klasifikasi. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 39-40
7. A.Kosasih, I Made W., Emmy SD., Sri LM. Kusta. Dalam: Djuanda, Adhi. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Indonesia: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2009. hal. 73- 88
8. Hernani. Pemeriksaan Klinis dan Charting. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 44 - 47
9. Sidharta, Priguna. Pemeriksaan Motorik. Dalam: Sidharta, Priguna. Tata Pemeriksaan Klinis Dalam Neurologi. Indonesia: Dian Rakyat; 2008, hal. 391- 398
10. Hernani. Pemeriksan Bakteriologis. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 59- 70
11. Hernani. Pengobatan. Dalam: Departemen Kesehatan RI. Buku Pedoman Nasional Pemberantasan Penyakit Kusta. Jakarta: Depkes RI Dirjen Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; 2008. hal 71- 7812. Hansen’s disease. In: James W D, Berger T G, Elston D M, editors. Andrews disease
of the skin clinical dermatology. 10th ed. Canada: Saunders-Elsevier; 2006. p343-52.
13. Rea T H, Modlin R L.Leprosy. In: Wolff K, Goldsmith L, Katz S I, Gilchrest B A, Paller A
S, Leffell D, editors. Fitzpatrick's dermatology in general medicine (two vol. set).
7thed. New York; McGraw-Hill Professional; 2008.p.1786-96.
14. Lockwood D N J. Leprosy. In; Burns T, Breatnach S, Cox N, Griffits C, editors. Rook’s